Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7. Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 16 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

SI MANUSIA Kerbau menyingkir gentar. Wong Lu-siok yang mendampingi Siau Hiang-bwe itu diam-diam berpikir, "Kiranya begini sederhana caranya menghadapi mahluk-mahluk gaib. Langsung diperintah saja dengan limpahan kuasa dari Yang Maha Kuasa. Tetapi setelah masuk dalam tubuh kembali, apakah masih bisa melakukan ini?"

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S P

Kemudian Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok langsung memasuki rumah Nyonya Liong. Mereka menembus tembok begitu saja. Di dalam ruangan, nampak sudah ada belasan orang berkumpul, duduk melingkar. Di depan Nyonya Liong yang gemuk itu nampak ada benda pengundang arwah yaitu jailangkung, ditaruh lengkap dengan sesaji-sesajinya. Nyonya Liong sendiri nampak sedang duduk bersemedi.

Teman-temannya adalah keluarga dari orang-orang yang belum lama kehilangan anggota keluarganya karena meninggal dunia. Siau Hiang-bwe melihat ada Ciok Yan-lim dan isterinya, juga ada keluarga Ibun Lai. Selain mereka juga ada peminat-peminat lain seperti Nyonya Giam dan beberapa orang lainnya. Yang tidak nampak batang hidungnya malahan orang-orang dari kalangan "ajaran resmi" seperti Lui Kong-sim, A-kun dan sebagainya.

Siau Hiang-bwe prihatin dan gusar melihat semuanya itu. Prihatin melihat manusia-manusia yang mengharapkan petunjuk-petunjuk kehidupan dari yang tidak semestinya, sampai-sampai arwah orang-orang mati hendak dimintai petunjuk. Sekaligus gusar melihat mahluk-mahluk gaib yang memanfaatkan keingin-tahuan manusia itu untuk menyesatkan.

Siau Hiang-bwe jadi ingat kisah leluhur pertama umat manusia yang begitu menginginkan untuk tahu segala yang tersembunyi, sehingga melupakan anugerah Penciptanya dan terjebak dalam perangkap sang cikal-bakal kejahatan. Dalam ruangan itu juga ada mahluk-mahluk lain selain manusia, namun tak terlihat oleh manusia-manusia di situ.

Tetapi mahluk-mahluk bukan manusia agaknya bisa saling melihat dengan Siau Hiang-bwe serta Wong Lu-siok. Mahluk-mahluk itu menatap Siau Hiang-bwe dengan gusar, dan Siau Hiang-bwe pun menatap mereka dengan gusar pula. Dua jenis mahluk yang sudah ditakdirkan menjadi musuh bebuyutan selama ribuan tahun.

"Kau tidak diundang oleh nyonya rumah di sini!" geram suatu mahluk berwajah serem kepada Siau Hiang-bwe.

Siau Hiang-bwe menjawab tajam, "Dan kau diundang karena lebih dulu menipu nyonya rumah, memperkenalkan diri kalian sebagai penolong, padahal kalian adalah penipu, pembunuh dan pembinasa."

"Itu bukan urusanmu."

"Sekarang urusanku. Tidak boleh ada penipuan sedikit pun. Kubawa wewenang dan kuasa Yang Maha Kuasa untuk menerapkan hukuman-hukuman-Nya terhadap kalian!"

Wong Lu-siok diam-diam menganggap Siau Hiang-bwe ini kelewat nekad juga, membuat gusar para "tentara langit".

Mahluk seram itu menggeram, "Kau gila! Kau mencampuri urusan ini tanpa diundang. Kehadiran kami di sini lebih syah dari kehadiranmu. Kehadiran kami sesuai dengan kehendak Nyonya Liong."

Sahut Siau Hiang-bwe, "Nyonya Liong pasti tidak berkehendak untuk dibohongi, sedang kalian pasti akan membohonginya dan juga membohongi orang-orang di sini. Kebohongan itu yang akan kucegah, demi kehendak sejati Nyonya Liong."

Mahluk-mahluk itu gusar namun tak berdaya. Sudah tentu orang-orang di ruangan itu tak mendengar percakapan Siau Hiang-bwe dengan mahluk-mahluk itu, sebab itulah percakapan di alam gaib.

Sementara itu terlihat Nyonya Liong mengakhiri "semedi"nya, dan berkata kepada orang-orang di ruangan itu, "Seperti yang kukatakan kepada kalian, beberapa malam yang lalu aku berhasil menghubungi arwah orang-orang yang kalian cintai, yang sudah meninggal dunia, bahkan aku berbicara dengan mereka, dan ketika kusampaikan kepada mereka tentang betapa kalian merasa kehilangan, arwah-arwah keluarga kalian itu pun merasa terharu...."

Beberapa hadirin pun ketularan terharu dan mengusap mata mereka. Nyonya Ciok Yan-lim yang kehilangan puterinya, A-koan, bahkan sesenggukan, namun ditahan-tahan karena tidak mau mengganggu acara.

Di alam gaib, Siau Hiang-bwe menatap tajam ke arah mahluk roh di depannya, sehingga mahluk itu dengan agak gugup buru-buru menjelaskan, "Bukan aku yang menyamar sebagai arwah anggota-anggota keluarga orang-orang ini, beberapa malam yang lalu."

Siau Hiang-bwe berkata, "Dengan wewenang dan kuasa yang dilimpahkan kepadaku, keputusan siapa yang sudah menyamar sebagai anggota-anggota keluarga yang meninggal dari orang-orang ini, beberapa malam yang lalu, mereka digiling lembut sampai seperti dedak dan dihamburkan dengan angin ke seluruh bumi sampai ribuan tahun tubuh mereka tak dapat bersatu kembali."

Ada beberapa mahluk gaib di dalam dan di luar ruangan itu yang tiba-tiba menjerit ketakutan sebelum wujud mereka lenyap seperti disedot ke dalam ketiadaan. Mahluk-mahluk gaib yang masih ada menampakkan wajah ketakutan.

Siau Hiang-bwe berkata gagah, "Demi mahluk jenisku, yaitu manusia, yang kukasihi, aku takkan ragu bertindak sekejam-kejamnya kepada mahluk-mahluk sejenis kalian yang mencoba menyimpangkan umat manusia dari anugerah agung itu. Cobalah membantah kata-kataku kalau kau berani!"

Sementara itu Nyonya Liong berkata pula, "Saudara-saudaraku, lalu dalam perjumpaan gaib itu kumohon mereka mau menghubungi anak keluarga yang masih, di bumi, ternyata mereka bersedia, dan inilah harinya. Sebentar lagi mereka akan datang mengisi jalangkung itu."

Nyonya Liong kemudian bersuara memohon "arwah-arwah keluarga" untuk masuk ke lampion berbentuk orang-orangan yang bermaksud "menumpang arwah" itu. Di bagian dada dari patung kertas berkerangka bambu itu dipasangi sepotong arang diikatkan pada sepotong bambu, supaya "arwah itu" bisa menuliskan pesannya di sebuah kertas yang dilekatkan ke sehelai papan. Nyonya Liong lalu minta dua orang hadirin memegangi jalangkungnya dan satu orang memegangi kertas tulis berlandasan papan di depannya.

Di alam yang tak terlihat, mahluk-mahluk gaib menatap Siau Hiang-bwe dengan ragu. Mantera yang dilantunkan mereka sudah memanggil mereka, namun mereka gentar kepada Siau Hiang-bwe.

Siau Hiang-bwe memerintah tegas, "Jawab dia, dan nyatakan dirimu sebenarnya. Setiap kebohongan akan kuhukum seberat-beratnya!"

Si mahluk berujud setengah manusia setengah kerbau yang mengaku "dewa penguasa padang belantara" itu nampak sangat enggan, namun ia masuk juga ke dalam boneka kertas itu. Dua orang yang memegangi boneka kertas itu dapat merasakan bonekanya tambah berat, kemudian mulai bergerak-gerak. Arang yang diikatkan itu membentuk huruf-huruf di kertas yang dipegangi di depannya.

Sementara Siau Hiang-bwe dengan garang mengawasi Si Penulis Gaib itu dari alam yang sama dengan si penulis namun dari kedudukan yang jauh lebih tinggi dan jauh lebih berkuasa, menindas dan menekan mahluk gaib yang memasuki jailangkung itu agar menuliskan yang sebenarnya.

Setelah tulisan di kertas itu selesai dan dibaca, gemparlah orang-orang yang berkumpul di rumah Nyonya Liong itu. Sebab inilah tulisannya. "Akulah mahluk yang mendurhaka kepada Penciptaku dan sudah dibuang dari langit ke tiga, aku bukan penolong dan pemberi, begitu juga teman-temanku, tetapi kami ini pencuri, pembunuh dan pembinasa umat manusia. Kami yang menyamar sebagai arwah-arwah keluarga kalian, agar kalian tersesat dan terbiasa minta petunjuk arwah maka dapat kami tuntun untuk disesatkan."

"Nyonya Liong, bagaimana ini? Kami sudah menunggu dua hari untuk bisa mengadakan kontak dengan anak kami, Ibun Lai...." protes sepasang suami isteri setengah baya, orang tua Ibun Lai yang dulu dibunuh gerombolan Beng Hek-hou. "Kami juga sudah mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk menyediakan syarat-syarat yang kausebutkan...."

Nyonya Liong masih kebingungan hendak menjawab bagaimana, Nyonya Ciok sudah memprotes pula, "Bagaimana kontak dengan arwah anakku yang kau janjikan? Bagaimana aku bisa mengetahui keperluan-keperluannya di alam baka dan menyediakannya dari bumi? Oh, anakku yang malang...."

"Nyonya Liong, jangan-jangan kau mengkorupsi sesajennya?"

Hujan protes itu membingungkan Nyonya Liong. Ia lalu bertanya ke arah boneka kertas, "He, jangan main-main. Aku benar-benar sudah bertemu arwah keluarga-keluarga orang-orang ini, dan mereka sudah berjanji."

Di bawah tekanan Siau Hiang-bwe, mahluk dalam boneka kertas itu menjawab, "Kamilah yang menyamar sebagai arwah keluarga-keluarga kalian. Teman-teman kami yang menyamar itu sudah dihukum."

Nyonya Liong gusar karena ambisinya untuk menjadi seorang medium terkenal yang bisa mendatangkan banyak uang itu sekarang buyarlah. Mana bisa menimbulkan kepercayaan orang kalau kontaknya dengan dunia gaib bisa menimbulkan "salah sambung" yang parah seperti ini?

Tetapi Nyonya Liong juga tidak berani menghadapi secara langsung kepada mahluk yang berada dalam boneka kertas itu. Ia cuma mengancam, "Akan kulaporkan kepada Guru Lui, agar dia mengundang dewa untuk menghukum!"

Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok pun meninggalkan tempat itu tanpa terlihat, namun mereka meninggalkan ancaman kepada mahluk-mahluk gaib di dalam dan di sekitar rumah Nyonya Liong, "Takkan ada penyesatan lagi kepada orang-orang itu. Pelanggaran sesedikit apa pun akan menghasilkan hukuman yang berat."

Siau Hiang-bwe kemudian berkata kepada Wong Lu-siok, "Tiba saatnya kita akhiri tamasya kita, dan kembali ke kemah fana kita."

Wong Lu-siok tahu yang, dimaksud "kemah fana" ialah raga yang ada dalam sel sempit itu. Wong Lu-siok jadi kuatir, "A-kui, kalau kita sudah menjadi orang biasa lagi, tak bisa lagi melihat apa-apa di dunia gaib, bukankah kita jadi seperti orang-orang buta di hadapan musuh-musuh sejati umat manusia itu? Kita akan jadi makanan empuk?"

"Paman Wong, belajarlah untuk melangkah tanpa dipimpin mata tetapi dipimpin hati. Kalau kita terus berjalan dalam sabda-Nya, kita tetap sama meleknya dan sama ampuhnya dengan ketika mengalami anugerah semacam ini. Kita harus tetap percaya bahwa saat kita mengucapkan perintah melarang atau mengijinkan sesuatu di dunia gaib, perintah kita dilaksanakan, biarpun kita tidak melihatnya dengan mata jasmaniah kita."

"Tetapi, kalau aku kembali ke tubuhku, persediaan tulang-tulangku yang amat menyakitkan itu apakan akan terasa kembali?"

"Tidak. Rasa sakit itu akan lenyap."


Di rumah Pang Se-bun, Ho Tong merasa seperti seorang musafir yang kehausan di padang belantara, tiba-tiba menemukan air berlimpah-limpah, ketika mendengar jawaban-jawaban Liu Yok atas segala pertanyaannya. Begitu pula Pang Se-bun sekeluarga dan Tabib Kian.

"Cahaya yang sejati benar-benar sudah datang di Seng-tin...." kata Pang Se-bun penuh syukur. "Tidak seperti pertolongan palsu yang dibawa oleh si penipu Wong Lu-siok itu."

Liu Yok geleng-geleng kepala mendengar perkataan Pang Se-bun itu, "Wong Lu-siok itu orang baik, namun ia sendiri juga tertipu. Ia belajar ajaran-ajaran sekte Pek-gok-nia dan ilmu-ilmu gaibnya yang diharapkan akan menjadi modalnya untuk menegakkan kebajikan di muka bumi. Dia tertipu. Tetapi sekarang ini dia sudah bebas."

"Dari mana Saudara Liu tahu?"

"Karena diberi tahu."

Cu Tong-liang berhenti bertanya, sebab kalau Liu Yok sudah menjawab begitu maka urusannya adalah hati nurani. Kemudian Ho Tong lah yang bertanya,

"Saudara Liu, bagaimana caranya membebaskan Seng-tin?"

Liu Yok meraih sebuah apel yang disuguhkan oleh Pang Se-bun di atas meja, lalu menggenggam apel itu sambil bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, "Kalau kalian mau merebut apel itu dari tanganku, bagaimana caranya?"

"Begini...." sahut Ho Tong sambil mencengkeram apel ditangan Liu Yok itu dan hendak merebutnya secara kekerasan, tetapi Liu Yok memperkuat genggamannya sehingga apel itu pun hancur. Sebagian di tangan Ho Tong, sebagian di tangan Liu Yok.

"Apel ini hancur karena direbut dengan kekerasan," kata Liu Yok.

"Tetapi aku dapat sebagian!" kata Ho Tong.

"Benar, Saudara Ho, tetapi yang akan kita perebutkan di Seng-tin ini bukan buah apel, melainkan jiwa orang-orang Seng-tin. Itu yang akan kita bebaskan sama sekali dari kekuatan-kekuatan yang mencengkeram mereka. Apakah kau mau jiwa orang-orang Seng-tin hanya berhasil direbut sebagian dan dalam keadaan remuk seperti apel ini?"

"Bagaimana caranya?" Pang Se-bun bertanya karena Ho Tong membungkam.

"Hantam yang mencengkeramnya, sampai melepaskan yang dicengkeramnya."

"Tetapi... yang mencengkeramnya kan tidak terlihat? Bagaimana menghantamnya? Dan bagaimana kalau mahluk-mahluk gaib itu balik menyerang kita? Kita bisa celaka."

"Jangan kuatir, kalian akan kuajari."

Ketika itulah di luar pintu ada suara ribut-ribut, seorang pembantu Pang Se-bun tergopoh masuk. "Tuan, beberapa orang ingin menjumpai Tuan...."

Debar jantung Pang Se-bun belum lenyap benar akibat peristiwa serbuan Yao Kang-beng yang lalu. Namun ia keluar juga meskipun beramai-ramai didampingi Liu Yok, Cu Tong-liang, Tabib Kian dan Ho Tong. Ternyata yang datang adalah beberapa warga Seng-tin yang sudah dikenal oleh Pang Se-bun, namun mereka tidak bersenjata.

Kata mereka, "Guru Muda Pang!"

"Tunggu, Paman Kong," Pang Se-bun menukas. "Jangan lagi menyebutku 'guru muda' karena aku sekarang sudah di luar ajaran yang dibawa Wong Lu-siok. Panggil aku A-bun seperti dulu, karena Paman adalah teman baik mendiang ayahku."

Si Paman Kong melongo mendengarnya. Begitu juga beberapa orang yang bersamanya, mereka cuma saling menoleh dan saling pandang dengan bingung.

"Kalian kesini ada apa?" tanya Tabib Kian.

Orang she Khong menarik napas dan menjawab, "Kalau gur... eh, A-bun sudah di luar ajaran suci dari langit itu, rasanya... percuma saja kami datang kemari."

"Paman Kong, kau belum mengatakan keperluanmu kok terus hendak berbalik pulang begitu saja, apa tidak lebih baik dikatakan dulu keperluanmu? Siapa tahu kami bisa menolong?"

Tetapi Paman Kong itu mengeloyor pergi begitu saja dengan teman-temannya, membuat Pang Se-bun heran.

"Ada apa lagi di Seng-tin ini?" keluh Pang Se-bun.

Kata-kata Pang Se-bun hanya merupakan keluhan untuk melegakan hati, namun Liu Yok menyahutnya, "Akan ada sedikit kebingungan untuk sementara waktu, karena orang-orang seolah kehilangan pegangan. Tetapi kebingungan itu akan berdampak baik bagi sebagian besar orang."

"Penyebab kebingungan?"

"Mahluk gaib jahat yang selama ini menyesatkan pikiran orang-orang Seng-tin kali ini sedang dipaksa oleh kekuasaan yang tak terlawan oleh mereka, dipaksa untuk mengaku kepada orang-orang Seng-tin bahwa mereka itu aslinya adalah mahluk-mahluk pembawa bencana, bukan mahluk-mahluk pembawa berkat seperti pengakuan mereka.

"Kekuasaan yang memaksa mereka ialah A-kui yang membawa limpahan kuasa dan wewenang dari sebelah kanan tahta Yang Maha Kuasa. Pengakuan jujur mahluk-mahluk yang selama ini dipuja dan diandalkan orang-orang Seng-tin ini, biarpun pengakuan yang terpaksa sekali, membuat orang-orang Seng-tin bingung, itulah sebabnya mereka mencari Kakak Pang yang masih disangka bisa menjelaskannya menurut ajaran Bukit Buaya Putih."

"Aku tetap akan menjelaskan menurut ajaranmu, Saudara Liu," kata Pang Se-bun.


Ciu Bian-li, Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Bibi Ciu, A-kun dengan ketakutan duduk di depan altar ratu langit, menunggu keluarnya Lui Kong-sim, pengemban yang baru "kerajaan langit" yang menggantikan Wong Lu-siok.

Orang-orang itu berwajah murung dan takut semuanya, siap-siap menerima kemarahan dahsyat Lui Kong-sim. Kalau hanya marah masih tidak seberapa, yang mereka kuatirkan ialah kalau sampai Lui Kong-sim mengutuk "atas nama Ratu Langit" maka bisa-bisa kutukannya takkan terhapus seumur hidup.

Mereka gentar, sebab bisa dibilang tugas-tugas yang dibebankan oleh Lui Kong-sim gagal semuanya. Bahkan makin santer beritanya orang-orang Seng-tin yang tidak lagi mempercayai ajaran dari Bukit Buaya Putih.

Namun waktu Lui Kong-sim muncul di ruangan itu, kelima orang itu terheran-heran melihat wajah Lui Kong-sim yang cerah berseri-seri dengan jubah putihnya dan ikat kepala putihnya.

Seri wajah Lui Kong-sim itu malah semakin mendebarkan pengikut-pengikutnya. Mereka menaksir, pasti seri wajah itu karena sang "utusan langit" mengira tugas-tugas para pembantunya berjalan lancar. Tetapi entah bagaimana menakutkan wajah sang "utusan langit" hatinya kalau mendengar laporan kegagalan pembantu-pembantunya?

Mereka memulai pertemuan dengan sama-sama menghadap altar dan melantunkan lagu pujaan. Suasana terasa agak hambar, tak terasa adanya suasana magis seperti hari-hari sebelumnya.

Habis pemujaan, Lui Kong-sim memutar duduknya menghadapi pembantu-pembantunya. Wajahnya cerah, "Semalam aku bersemedi memohon petunjuk Ibunda Ratu Langit, dan kuperoleh petunjuk bahwa berkat ketekunan dan kesalehan kita mengikuti ajaran-ajarannya, maka ajaran suci kita akan menemukan puncak kejayaannya di kota ini dalam waktu dekat. Kerajaan Langit mengutus seorang utusannya ke Seng-tin, yang harus kita sambut kedatangannya dan harus kita sembah-sujudi. Utusan yang bakal datang inilah penyempurna ajaran yang selama ini sudah kita jalani. Namanya ialah... Liu Yok."

Pendengar-pendengarnya hampir tak percaya mendengar itu. Beberapa hari ini yang terdengar hanyalah caci-maki dahsyat ke alamat Liu Yok. A-kun si cilik menyebut Liu Yok sebagai "dewa jahat yang hendak mencelakai A-hwe", begitu pula yang lain-lain menyebut Liu Yok sebagai musuh besar yang amat membahayakan ajaran mereka, termasuk Lui Kong-sim sendiri. Sekarang Lui Kong-sim sendiri tiba-tiba bilang bahwa Liu Yok harus disambut dan disembah-sujudi.

Lui Kong-sim melanjutkan, "Tentu kalian heran, aku pun heran ketika mendapat petunjuk itu, tetapi Sang Ratu menjelaskan bahwa pikiran kita selama ini yang menganggap Liu Yok sebagai musuh, ternyata adalah sikap yang salah. Sikap yang salah itu karena masih dipengaruhi oleh sisa-sisa pengaruh sihir hitam Beng Hek-hou, padahal kalau dipikir baik-baik, ajaran kita menjunjung kebajikan dan Liu Yok juga menjunjung kebajikan. Sama bukan? Sama-sama pendamba kebajikan, kenapa harus bermusuhan, kalau bukan diadu-domba oleh pengaruh jahat?"

Pendengar-pendengarnya mengangguk-angguk, kalau Sang Ratu Langit sudah memberikan petunjuk lewat bisikan gaib kepada Liu Kong-sim, mau apa lagi pengikut-pengikutnya kecuali menurut?

Tetapi Ek Yam-lam yang selama ini masih berusaha menggunakan akal sehatnya yang tersisa, diam-diam berpikir juga, apa yang menyebabkan perubahan sikap ini? Apakah karena kegagalan-kegagalan Ek Yam-lam dan teman-temannya? Misalnya laporan Yao Kang-beng kepada Ek Yam-lam yang gagal membasmi Pang Se-bun dan keluarganya, juga kegagalan Bibi Ciu dan A-kun memaksa penduduk bersumpah dengan mengutuk diri?

"Jangan-jangan ini hanya sekedar perubahan siasat, karena tak mampu menentang pengaruh Liu Yok yang makin keras di Seng-tin, lalu ganti haluan hendak merangkul Liu Yok?" Ek Yam-lam bertanya dalam hati.

Terdengar Lui Kong-sim berkata, "Sebarkan pesan kepada semua penganut ajaran kita yang masih setia, agar mereka tak menentang Liu Yok tetapi menyambut dan memujanya. Dialah utusan langit yang lebih tinggi dari aku. Juga perintahkan Ban Ke-liong untuk membuat patung Liu Yok sebanyak-banyaknya." Perintah pun dijalankan.

Ketika Liu Yok melangkah masuk ke warung bubur kacang itu, ia tercengang melihat Si Pemilik Warung tiba-tiba berlutut di depannya dengan kegirangan, sampai Liu Yok kaget. Dan kata-kata yang terhambur dari mulut orang itu membuat Liu Yok tambah kaget,

"Sungguh keberuntungan besar mendatangiku mulai saat ini, karena Yang Maha Mulia Utusan Langit berkenan mengunjungi tempat hina-dina ini. Kumohon, berkatilah warung ini dan seluruh hidupku."

Liu Yok tercengang, kemarin sikap Si Pemilik Warung juga ramah tetapi masih biasa. Sekarang kok jadi aneh-aneh begini? "He, ada apa ini? Siapa itu 'yang maha mulia utusan langit' segala?"

Si Pemilik Warung tidak bangkit dari berlututnya, melainkan terus menyanjung-puja Liu Yok, bahkan beberapa orang lagi berbuat serupa. Baik beberapa pengunjung warung maupun orang yang sedang lewat di jalan, yang tiba-tiba saja berlutut kepada Liu Yok dari luar warung.

"Kenapa kalian ini? Aku manusia biasa, warga kerajaan biasa. Bukan kaisar, bukan bangsawan, apalagi utusan langit segala."

Orang-orang masih berlutut, namun sanjung-puja dari mulut mereka berkurang, mereka terpengaruh oleh kata-kata Liu Yok itu.

"Apa yang menyebabkan kalian bertindak begini?" tanya Liu Yok. "Kumohon juga saudara-saudara bangkit dari berlutut. Mari bicara dengan sikap sederajat. Aku manusia, saudara-saudara juga manusia."

Diperlukan bujukan yang agak lama untuk bisa mengajak orang-orang itu bersikap normal, dan akhirnya berhasil juga. Warung bubur kacang itu untuk sementara jadi sebuah tempat pertemuan. "Nah, sekarang saudara-saudara bisa bercerita kenapa bersikap seperti tadi?"

"Menurut Yang Mulia, apakah sikap kami tadi keliru?"

"Ya, keliru. Sama kelirunya dengan sebutan 'yang mulia' kepadaku."

"Baiklah, Tuan Liu...."

"Bagaimana kalau 'saudara' saja dan jangan 'tuan'?"

Tidak mudah untuk mengajak orang-orang itu bangun dari berlututnya tadi, dan kini juga tidak mudah membuat mereka bersikap wajar kepada Liu Yok. Tetapi akhirnya berhasil juga, dan dari mulut merekalah Liu Yok mendengar tentang "pesan dari langit" untuk menyembah Liu Yok.

"Hebat...." pikir Liu Yok. "Mahluk-mahluk jahat di kota ini tidak henti-hentinya berusaha menyesatkan manusia. Mereka kini tidak menentang aku secara terang-terangan, melainkan mengangkat dan menjunjung aku. Aku tahu siasat mereka, agar aku jadi sombong, lalu jatuh ke sifat-sifat alamiah yang lama dan akhirnya jadi makanan empuk musuh-musuhku."

Liu Yok bersyukur dalam hati bahwa ia diwaspadakan dari kejatuhan karena kesombongan, sebab siapa manusianya yang tidak senang dan bangga disanjung orang sekota? Namun Liu Yok juga gusar terhadap mahluk-mahluk jahat di Seng-tin yang ganti siasat.

Sekilas muncul niat Liu Yok untuk mendatangi rumah bekas kediaman Ciu Koan itu dan mengobrak-abrik berhala-berhala di situ. Namun terpikirlah sesuatu, kalau ia mengobrak-abrik tempat itu dan tetap selamat, bukankah rakyat Seng-tin akan semakin memuja Liu Yok? Akhirnya, untuk sementara Liu Yok hanya bisa menasihati orang-orang itu,

"Saudara-saudara, aku manusia persis seperti kalian. Kalau kulitku kena pisau, akan berdarah, darahnya merah seperti kepunyaan kalian. Aku berdaging, bertulang, doyan bubur kacang...."

Pendengar-pendengarnya malah bingung. "Jadi... bagaimana dengan patung-patung Tu... eh, Saudara Liu yang sudah terlanjur kami puja?"

"Patung siapa? Patungku?"

"Benar."

Liu Yok sedih bercampur geli. Ia melihat di Seng-tin ini dipuja berbagai mahluk gaib dalam bentuk patung, ada patung dewa ini-itu, ada bidadari, ada panglima langit segala, baru sekarang ia mendengar di Seng-tin muncul satu "dewa" lagi, yaitu Liu Yok.

"Saudara-saudara, kalian tidak bisa begini terus, mudah diombang-ambingkan orang. Disuruh menyembah ini menyembah itu, sekarang kalian disuruh memuja aku. Ini sudah keterlaluan."

"Kami dengar, Saudara Liu adalah satu-satunya orang yang mengeluarkan perkataan menentang penguasa-penguasa gaib tanpa terkena kutukan. Siapa yang bisa begitu kalau bukan penjelmaan dewa yang lebih tinggi dari penguasa-penguasa gaib di Seng-tin ini?"

Liu Yok geleng-geleng kepala. "Saudara-saudaraku, dengarkan aku, kalian keliru. Kekeliruan pertama, kalian menganggapku satu-satunya yang seperti itu. Itu keliru. Ke dua, waktu manusia diciptakan, dialah mahluk yang dianugerahi kemuliaan besar, satu-satunya mahluk yang diajak bercengkerama dan bertukar isi hati dengan Sang Pencipta. Manusia. Bukan dewa dan dewi, bukan bidadari, bukan si penyesat yang menamakan diri ratu langit atau ratu angkasa. Bukan. Manusia. Kita."

"Kami?"

"Ya. Apa bedanya kalian dan aku?"

"Lalu patung-patung itu... diapakan?"

"Musnahkan. Termasuk patungku."

"Lalu tentang benda-benda keramat, pembawa keberuntungan, benda-benda keagamaan yang disucikan dan dipercaya berkhasiat juga."

"Musnahkan juga."

"Kami... takut."

"Kalian manusia kan? Mahluk termulia."

"Tetapi mahluk-mahluk gaib bisa mengamuk, kami celaka nanti."

Liu Yok sadar bahwa orang-orang itu tidak boleh dipaksa mengikuti cara berpikirnya dan keyakinannya. Ia menarik napas lalu berkata, "Kalau belum berani ya sudah. Kumohon kepada Yang Maha Kuasa agar tidak ada apa-apa."

Di warung itu kemudian Liu Yok mengajari orang-orang dengan kata-kata sederhana tentang manusia yang dipulihkan ke kedudukan semua oleh Sang Pencipta, bukan karena manusia itu berhasil melakukan sejuta kebajikan sehari atau sejuta aturan agama sehari, tetapi semata-mata oleh belas kasihan Sang Pencipta. Ketika Liu Yok selesai berbicara, Si Pemilik Warung memasukkan benda-benda keramatnya ke dalam karung dan diserahkan kepada Liu Yok.


Di rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan, si cilik A-kun sedang menangis sendirian di sudut halaman belakang. Ek Yam-lam yang pernah bersahabat baik dengan Pang Se-bun, mendekati gadis cilik puteri Pang Se-bun itu dan bertanya, "A-kun, kenapa?"

Beberapa saat A-kun menatap ragu ke arah Ek Yam-lam. Selama ini memang hanya Ek Yam-lam di rumah itu yang bersikap cukup lunak kepada A-kun, dan ini sesuatu yang baik yang diterima oleh jiwa kanak-kanak A-kun. Jiwa kanak-kanak yang membutuhkan banyak kasih sayang dan perhatian, namun selama itu jiwa A-kun seolah dibentengi dan dibungkus oleh "A-hwe" sehingga jiwa A-kun sulit tampil keluar, dan itu menyebabkan orang, tua A-kun sendiri sulit memahami tingkah laku A-kun.

Bukan itu saja, jiwa A-kun juga sulit menerima sentuhan-sentuhan dari luar karena "terlapis" A-hwe, mahluk dalam alam gaib itu. "A-hwe" menjadi penyekat antara jiwa A-kun dengan segala yang di luarnya. Entah kali ini A-hwe sedang pergi ke "mana" A-kun merasakan perhatian Ek Yam-lam. Jiwanya tersentuh.

Ek Yam-lam sendiri merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya. Ternyata sejak dirinya dimasuki "dewa" ia juga agak sulit berperilaku menurut kemauannya sendiri, ada penghalang kuat. Kalau ia ingin menolong orang, ternyata ia akhirnya tak berbuat apa-apa karena ada yang mencegahnya dengan paksa.

Tetapi kali ini mungkin "dewa" yang menghuni Ek Yam-lam mungkin "sedang rapat" dengan "A-hwe"nya A-kun, cegahan dalam jiwa Ek Yam-lam tidak terasa. Ketika timbul belas-kasihannya kepada A-kun, ia pun menunjukkan sikap belas kasihan dan A-kun pun menanggapi tanpa terhalang.

Alangkah leganya jiwa manusia bersentuhan dengan jiwa manusia lainnya. Kalau sudah lega begini, baru terasa bahwa selama ini "tokoh-tokoh kerajaan langit" yang masuk ke jiwa mereka dengan dalih membantu itu ternyata menjajah, membuat tidak beres banyak urusan. Ek Yam-lam merasa ada sedikit jiwanya yang pulih, ketika ia duduk di sebelah A-kun dan membelai anak yang sedang bersedih itu.

A-kun pun sambil sesenggukan dan sebentar-sebentar menghirup ingusnya yang menjulur keluar lubang hidung, berkata, "Aku... mau... pulang...."

Ek Yam-lam tercengang. Dulu A-kun lari dari rumahnya, bukan karena diusir oleh orang tuanya melainkan hanya karena "diberi tahu A-hwe" bahwa akan ada "dewa jahat" bernama Liu Yok datang ke rumahnya untuk mencelakakan A-hwe. Pang Se-bun dan isterinya sudah sering datang ke bekas kediaman Ciu Koan itu untuk membujuk A-kun pulang, dan A-kun selalu menanggapinya dengan penuh kebencian, bahkan kutukan. Eh, sekarang tahu-tahu A-kun ingin pulang.

"Kenapa mau pulang?"

Perhatian Ek Yam-lam agak menenangkan A-kun, sehingga anak itu dapat menjawab lebih tenang meskipun kata-katanya masih sering tersekat, "A-hwe sekarang membuat aku takut. Ia tidak lagi sahabat yang menyenangkan, tidak lagi mengajakku ke taman-taman indah. Sekarang ia jahat. Semalam ia menjumpai aku dengan wajah mengerikan dan bilang aku harus menurut kepadanya, kalau tidak, aku akan dimasukkan ke sebuah gua yang amat gelap dan dari dalam guha itu terdengar suara macam-macam binatang buas dan jeritan orang-orang yang disiksa. Menakutkan sekali. Aku heran sekarang A-hwe kok sejahat itu...."

Ek Yam-lam termangu. Yang dialami A-kun kok hampir sama dengan dirinya? Semenjak Wong Lu-siok datang ke Seng-tin membawa ajarannya, Ek Yam-lam selain memuja sosok yang oleh Wong Lu-siok diperkenalkan sebagai "ratu langit, ibu segala kepercayaan suci di bumi" juga memuja tokoh gaib lainnya yang disebut "dewa kebijaksanaan".

Ban Ke-liong membuat patung "dewa kebijaksanaan" itu atas pesanan Ek Yam-lam setelah Ban Ke-liong mengaku mendapat ilham atau pandangan gaib lewat mimpi. Lalu lewat keahlian Si Tukang Keramik itu terujudlah patung kecil "dewa kebijaksanaan" yang tampangnya benar-benar anggun dan bijaksana. Ek Yam-lam memuja itu.

Sang "dewa" pun sering memperlihatkan diri dalam mimpi maupun ketika Ek Yam-lam bersemedi, memberi bisikan-bisikan gaib berupa "ajaran-ajaran kebijaksanaan" yang mulanya membuat Ek Yam-lam amat keranjingan dan senang. Namun sejak beberapa saat yang lalu, sang "dewa" dalam penampakan gaibnya menunjukkan wajah tidak seramah sebelumnya, sering membuat hati Ek Yam-lam tertekan dalam ketakutan.

Tiga malam yang lalu sang "dewa" muncul lagi dalam mimpi dan dengan wajah bengis mengeluarkan ancaman-ancaman mengerikan untuk Ek Yam-lam agar mematuhinya secara mutlak, tak tercermin "ajaran kebijaksanaan" sedikit pun dalam petunjuk-petunjuk gaib sang "dewa".

Habis itu, Ek Yam-lam tak lagi berhasil mengontak sang "dewa" meskipun bersemedi berjam-jam. Entah bersembunyi di mana sang "dewa" dan entah apa yang terjadi sehingga bersembunyi? Dulu Ek Yam-lam sedih kalau ia bersemedi tanpa hasil, sekarang, entah kenapa, terasa lega, meskipun ia tidak mengungkapkannya terang-terangan.

Kini mendengar kisah A-kun dengan "A-hwe"nya maka Ek Yam-lam mengambil kesimpulan, agaknya di "kerajaan gaib" sedang ada suatu peristiwa entah apa, makanya para mahluk gaib yang tadinya "baik-baik" tiba-tiba berubah jadi begitu pemarah, pengancam, bahkan tidak tedeng aling-aling lagi menyebut diri mereka sebagai pembinasa dan pembunuh apabila tidak dituruti kemauannya.

Mendadak mahluk-mahluk gaib itu jadi "jujur" menyebut siapa diri mereka sebenarnya. Jujur karena dipaksa. Tetapi... kekuatan macam apa yang dapat memaksa penguasa-penguasa gaib yang berabad-abad dijunjung dan ditakuti sebagai penentu nasib manusia? Yang dianggap dapat semaunya sendiri mencelakakan atau menguntungkan manusia?

Ek Yam-lam tak tahu jawabnya, tetapi mumpung bebas dari tekanan yang biasa menyelubungi jiwanya, Ek Yam-lam lalu menawarkan diri untuk mengantar pulang A-kun ke rumah Pang Se-bun.

A-kun mengangguk-angguk kegirangan sambil mengusap-usap air matanya. Ek Yam-lam tertawa dan ia lebih dulu membantu A-kun membersihkan ingusnya. Tangan Ek Yam-lam sendiri jadi kena ingus, tetapi melihat A-kun mulai tertawa dan hilang sedihnya maka Ek Yam-lam pun ikut tertawa.

Jari-jari yang kena ingus A-kun itu oleh Ek Yam-lam diusapkan seenaknya ke tembok, sehingga A-kun menegur, "Eh, Kakak Lam, ini bangunan suci lho."

"Tidak apa-apa, ingusmu juga ingus suci kok," sahut Ek Yam-lam seenaknya sambil tertawa. "Eh, kuantar pulang kau." Di bawah cahaya matahari yang cerah, Ek Yam-lam menggandeng A-kun menuju rumahnya.


Sementara di sebuah sel sempit dan gelap. Siau Hiang-bwe pun mencucurkan air matanya. Air mata sukacita. Pandangan jasmaniahnya memang terhalangi tembok-tembok sel yang tebal dan juga kegelapan pekat yang tak ada bedanya siang dan malam, tetapi pandangan batinnya yang berkali lipat tajamnya belakangan ini.

Sejak dia dijebloskan ke dalam sel dan mengalami "pengelupasan tabiat alamiah yang membungkus tabiat ilahiah", dapat melihat orang-orang Seng-tin satu demi satu sedang dibebaskan dari penjajah-penjajahnya dari alam gaib. Ucapan syukur yang meluap dari hati Siau Hiang-bwe tak tertampung oleh perbendaharaan kata yang dikenal oleh bahasa manusia.

Siau Hiang-bwe mempersembahkan segala puja dan kekagumannya kepada Yang Maha Esa, bahkan ketika suara lembut di hatinya yang akrab itu membisikinya bahwa diri Siau Hiang-bwe pun ada bagiannya, sebagai penyalur dari kuasa dahsyat itu.

Wong Lu-siok yang satu sel dengan Siau Hiang-bwe meskipun tidak dapat saling melihat, namun dapat merasakan sesuatu yang dahsyat hadir di ruangan itu. Kehadiran suatu Pribadi Agung yang amat berkuasa di alam semesta, bahkan paling berkuasa, namun kelembutan, kehangatan dan kasih sayang yang amat besar terpancar dari pribadinya.

Wong Lu-siok belum pernah merasa dirinya sekerdil ini, namun sama sekali bebas dari ketakutan. Merasa amat kecil dan lemah tetapi sekaligus merasa amat terlindung dan aman di dalam genggaman tangan kokoh tapi lembut.

Air mata Wong Lu-siok pun ikut meleleh, terbata-bata ia meluncurkan kata-katanya, "Kaukah orang yang diceritakan A-kui itu? Kalau ya, kumohon terus bersamaku...."

Lalu Wong Lu-siok merasa dirinya amblas tenggelam dalam lautan kehangatan dan kasih sayang yang tak terbayangkan sebelumnya.


Di jalanan, Ek Yam-lam dan A-kun bergandengan dengan wajah ceria, jalannya setengah berlompatan. Kalau A-kun yang masih kanak-kanak itu memang pantas berlompatan, tetapi Ek Yam-lam yang usianya dua puluh lima tahun, apalagi orang terpandang di Seng-tin karena jubah putih yang dipakainya.

Jubah yang menandakan dia "dipilih langit" sebagai salah seorang panutan di kota ini, merasa agak kikuk juga ketika tingkahnya yang kegirangan itu dipandang dengan heran oleh orang-orang di jalanan. Ek Yam-lam lalu agak mengendalikan diri, meski sebenarnya hatinya berlompatan kegirangan seperti A-kun. Dengan gaya anggun terkendali, Ek Yam-lam membalas salam hormat dari orang-orang di jalan.

Orang-orang di jalan juga nampak ketakutan kepada A-kun. Tak peduli saat itu A-kun sedang bertingkah seperti kanak-kanak umumnya dan sedang tidak membawa boneka "A-hwe"nya, orang-orang tidak mudah melupakan A-kun "anak dewa" yang kata-katanya bertuah. Setiap kali A-kun mengucapkan suatu serapah kepada seseorang, maka orang itu benar-benar akan mengalami.

Bahkan bukan hanya kata-kata buruk, namun kata-kata yang kedengarannya menarik. Misalnya A-koan anak Ciok Yan-lim dijanjikan akan "diajak bermain ke taman yang indah dengan mahluk-mahluk elok yang belum pernah dilihat" dan malamnya A-koan meninggal dunia.

Tetapi saat itu A-kun sedang tidak peduli akan sikap orang-orang, ia sedang melangkah setengah berlompatan ke rumahnya, digandeng Ek Yam-lam.

Sambil menggandeng A-kun, Ek Yam-lam diam-diam membatin, "Dalam beberapa hari ini kulihat tampang Lui Kong-sim, Yao Kang-beng, Ciu Bian-li dan Bibi Ciu juga nampak bingung. Kemungkinan besar mereka pun sudah dijumpai penguasa-penguasa gaib pujaan mereka dan diancam seperti aku dan A-kun, mungkin juga penguasa-penguasa gaib itu sudah mengaku terus terang bahwa merekalah penguasa-penguasa yang kejam."

Tiba-tiba saja Ek Yam-lam merasa kasihan kepada teman-temannya itu. "Mungkin mereka pun sedang kebingungan, kehilangan pegangan karena yang mereka puja tiba-tiba berubah sifat."

Ketika mereka melewati seorang penjual mainan kanak-kanak, tiba-tiba A-kun berhenti dan menatap mainan-mainan itu dengan rasa ingin. Ek Yam-lam agaknya dapat menebak isi hati A-kun. "A-kun, kau ingin baling-baling angin itu?"

Yang diincar A-kun memang sebuah baling-baling kertas berkerangka bambu, barang murahan tetapi diberi warna-warna menarik bagi mata anak-anak. "Kakak Lam... punya uang?" sepasang mata bulat A-kun menatap penuh harapan ke wajah Ek Yam-lam.

Ek Yam-lam merogoh kantungnya dan meraba ada beberapa keping dalam kantong-kantong dalamnya, rasanya cukup untuk membeli baling-baling kertas itu. Ia pun tersenyum dan menggandeng A-kun mendekati Si Penjual.

Si Penjual Mainan adalah penduduk Seng-tin juga, dan wajahnya memucat ketakutan ketika melihat A-kun datang mendekat. Hendak menyingkir sudah tak sempat lagi, jangan-jangan malah menimbukan kemarahan kedua orang itu.

Ek Yam-lam menyodorkan uangnya sambil berkata, "Kakak Sam, beli baling-balingnya satu."

Si Penjual gemetar menerima uangnya, tangannya tak terkendali sampai uangnya berjatuhan. Dengan heran Ek Yam-lam bertanya, "Kakak Sam, apa kau sedang sakit? Kok tanganmu gemetar dan wajahmu pucat?"

"Tid.... tidak...." sahut Si Penjual sambil menggeleng canggung.

Sudah tentu Ek Yam-lam sebetulnya tahu penyebab sebenarnya dari pucat dan gemetarnya Si Penjual. Ek Yam-lam merasa ikut bersalah, karena ia telah ikut mendukung Wong Lu-siok dalam menyebarkan ajaran dari Bukit Buaya Putih. Ajaran yang menjadikan A-kun "anak dewa" dan ditakuti orang. Banyak orang Seng-tin telah menjadi korban ketakutan selama ini. Ek Yam-lam belum menyadarinya dulu, sekarang ia menyadarinya.

"Bukan suatu yang membanggakan kalau aku hidup sebagai orang yang dihormati tetapi ditakuti," pikirnya sambil melangkah menggandeng A-kun. "Ajaran kebajikan yang sejati tidak menimbulkan ketakutan."

Ketika melewati suatu tempat yang dikelilingi dinding tinggi, Ek Yam-lam melambatkan langkahnya karena mendengar suara pertengkaran ramai dari balik dinding, yang bertengkar itu nampaknya bukan cuma satu dua orang, melainkan belasan orang sekaligus.

Yang membuat Ek Yam-lam makin tertarik, ialah karena mengenali tempat itu sebagai tempat berlatihnya para pengawal kota. Berlatih berjalan di atas api, memanjat tangga golok, menggoreng tangan dan sebagainya.

Sambil menggandeng A-kun, Ek Yam-lam segera mencari pintu masuknya. Begitu tiba di balik dinding, ia melihat belasan orang yang dikenalnya sebagai anggota pengawal kota sedang berada di tempat itu, sebagian dari pengawal kota itu nampak terduduk di tanah dengan kaki melepuh kena api, merintih-rintih kesakitan.

Di halaman itu sudah digelar jalur selebar satu meter sepanjang hampir sepuluh meter yang ditaruhi arang membara. Biasanya anggota-anggota pengawal hilir-mudik di atas jalur api itu, namun kini tak nampak satu pun yang sedang berjalan di api, malah sibuk berbantah.

Yang membuat Ek Yam-lam heran ialah hadirnya Nyonya Liong, Si Gemuk, yang sama sekali bukan anggota keamanan kota. Nyonya yang sedang dibicarakan di mana-mana gara-gara gagalnya "acara memanggil arwah" yang diselenggarakan di rumahnya. Entah kenapa sekarang nyonya gemuk itu di sini.

Ketika Ek Yam-lam dan A-kun melangkah ke tempat itu, perbantahan serempak terhenti. Orang-orang serempak menghormat Ek Yam-lam dan A-kun, meskipun di antara pengawal-pengawal itu ada Pang Se-hiong, adik ayah A-kun. Ek Yam-lam mengangguk membalas salam mereka, sementara A-kun lebih asyik dengan baling-baling kertasnya.

Hanya Nyonya Liong yang tidak menghormati Ek Yam-lam berdua. Bahkan nyonya gemuk itu nampaknya tak terpengaruh sedikit pun akan "nama besar" A-kun sebagai pengutuk yang tak pernah meleset kutukannya.

"Ada apa di sini?" tanya Ek Yam-lam.

Pang Se-hiong mewakili teman-temannya, "Hari ini adalah hari latihan seperti biasanya, sepuluh hari sekali, untuk menguji ulang dan bahkan meningkatkan kemampuan kami demi tanggung jawab kami akan keselamatan kota ini. Tetapi hari ini terjadi sesuatu yang lain. Ketika beberapa orang dari kami mulai berjalan menginjak api, mereka menjerit."

Sambil menjelaskan, Pang Se-hiong juga menunjuk pengawal-pengawal kota yang bergeletakan merintih-rintih dengan kaki melepuh itu. Nampaknya kaki mereka sudah dibubuhi obat untuk luka bakar, namun tidak banyak menolong.

Kata Ek Yam-lam, "Jangan-jangan kalian lupa upacara pendahuluannya...."

Pang Se-hiong geleng-geleng kepala. "Mana bisa hal yang paling penting itu kami lupakan? Kami sudah memuja para dewa, mengenakan jimat-jimat dan membaca doa-doa yang diajarkan."

Ek Yam-lam memang melihat sebuah altar sembahyang di pinggir tempat latihan itu, dan juga melihat semua orang sudah mengenakan ikat kepala kuning bertuliskan "huruf langit" itu dan jimat jimat lainnya, Nampaknya semua syarat sudah dipenuhi, entah kenapa "panglima penjaga gunung berapi" yang dipuja itu tidak berkenan, begitu pula "dewa api" tidak melindungi.

Orang-orang itu mengharap jawaban Ek Yam-lam karena Ek Yam-lam adalah salah seorang pembantu Wong Lu-siok (sebelum Wong Lu-siok digusur Lui Kong-sim), dianggap pengetahuannya dalam ilmu dewa lebih tinggi dari mereka. Orang-orang itu tidak tahu bahwa Ek Yam-lam sendiri sebetulnya sedang bingung dan kehilangan pegangan. Namun Ek Yam-lam menahan diri untuk tidak garuk-garuk kepala, ia tetap berusaha bersikap berwibawa.

Sementara orang-orang menunggu jawaban Ek Yam-lam, maka Nyonya Liong terus menatap Ek Yam-lam dengan pandangan menantang dan mengejek. Sahut Ek Yam-lam mengambang ragu, "Untuk mengetahui penyebabnya, aku mungkin harus bersemedi lama."

Selagi Ek Yam-lam begitu ragu, Nyonya Liong sudah memberikan jawaban mantapnya, "Kau belum punya jawaban, aku sudah punya. Jawaban yang pasti dan terjamin. Ini jawabanku: Para penguasa gaib tidak menjawab kalian, karena kalian tidak memanggil mereka dengan nama mereka yang sebenarnya. Selain itu, kalian akan mendapat kekuatan yang berpuluh kali lipat dari sekarang ini, kalian akan bisa terbang, bisa mengambang di udara, bisa melepaskan senjata kalian terbang sendiri mengejar sasaran yang bersembunyi di mana pun dan seribu satu hal ajaib lainnya. Syaratnya, kalian harus rela mengikatkan diri dengan penguasa-penguasa gaib itu seumur hidup, ikatan yang tak akan diputuskan lagi, meskipun kalian sudah mengetahui siapa sebenarnya penguasa-penguasa gaib itu!"

Sebelum Ek Yam-lam menjawab, Pang Se-hiong sudah mendahului, "Nyonya Liong, kau anggap kami ini anak-anak kecil yang percaya dongeng macam itu? Kau pikir kami ini anak-anak kecil yang hendak kau tidurkan dengan cerita kuno tentang orang-orang yang bisa terbang dan senjata-senjata pusaka yang bisa mengejar musuh ke mana-mana? Dalam hal pengetahuan gaib, mana bisa kau melebihi Guru Muda Ek?"

Agaknya soal inilah yang diperdebatkan dari tadi antara Nyonya Liong dan para pengawal kota. Kalau Pang Se-hiong bersikap tidak mempercayai, sebaliknya ada seorang anggota keamanan lain yang malah bersikap ingin tahu,

"Nyonya Liong, tadi kau bilang kami salah menyebut nama para penguasa gaib sehingga mereka tidak menjawab panggilan kami. Di mana kami salah sebut? Biasanya kami memuja Dewa Api dan memuja segala gelar kehormatan sebagai cahaya umat manusia, penerang jagad dan seba-gainya. Biasanya kalau kami lakukan itu, segera kami mendapat jawaban dan kami pun tidak mendapat masalah untuk berjalan di atas api, memanjat tangga golok dan lain-lain."

Jawaban Nyonya Liong sambil tertawa dingin, "Ketahuilah, penguasa yang kupuja dan kalian puja juga, sebenarnya tidak seperti itu. Dulu ketika pertama kali mereka diperkenalkan oleh Wong Lu-siok kepada warga Seng-tin, memang gelar-gelar itu dipergunakan. Tetapi aku sudah mendapat petunjuk gaib bahwa penguasa-penguasa gaib itu sekarang tidak senang lagi berada di balik gelar-gelar itu, dan menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya.

"Yang kalian kenal sebagai 'ibu semua kepercayaan suci' itulah Ratu Kekacauan yang dikutuk sebagai pelacur yang memabukkan dunia dengan agama campur-aduknya, dialah ratu agama di ujung jaman penutup kelak. Yang kalian kenal sebagai 'dewa api' itu bukan cahaya umat manusia melainkan penggelap jagad ini agar umat manusia tidak dapat menemukan kebenaran.

"Tetapi kalau aku katakan ini, bukan berarti aku menghina mereka, bahkan aku memuja dan mengagumi mereka, dan penguasa-penguasa gaib itu lebih senang kepadaku karena pemujaanku lebih tulus. Aku tahu siapa mereka sebenarnya tetapi tetap menyembah mereka, tetap mengadakan ikatan-mati hidup dengan mereka. Aku lebih tulus dari orang-orang yang menyembah penguasa-penguasa gaib itu karena tertarik oleh gelar-gelar indah penguasa-penguasa gaib itu, seperti kalian.

"Karena ketulusanku itulah penguasa-penguasa gaib memberi aku kekuatan-kekuatan yang jauh lebih besar dan jauh lebih beragam dari kalian. Aku tidak membual. Dan aku bangga menjadi kaki tangan penguasa-penguasa itu untuk menghancurkan umat manusia demi junjunganku.

"Aku memang sekutu mereka, aku bangga aku jahat tetapi amat kuat, aku bangga junjunganku maha jahat tetapi juga maha kuat! Kalian juga akan diberi kekuatan-kekuatan itu kalau mau menjalin ikatan abadi dengan yang kusembah. Hidup Ratu Malam, hidup Ratu Dunia Kegelapan!"

Pendengar-pendengarnya mengkirik ketika mendengar Nyonya Liong tertawa lantang menutup kata-katanya yang mengguncangkan. Pendengar-pendengarnya memang bingung. Seperti yang pernah dikatakan Liu Yok di rumah Pang Se-bun, bahwa banyak orang Seng-tin akan kebingungan ketika sesembahan mereka dilucuti kedok-kedok indahnya agar menunjukkan wajah sebenarnya dari penguasa-penguasa gaib itu.

Begitulah Ek Yam-lam, Pang Se-hiong dan lain-lainnya melongo mendengar kata-kata Nyonya Liong itu. Pang Se-hiong mencoba meneguhkan hati teman-temannya ke keyakinan semula, dengan mengejek Nyonya Liong,

"Jangan membual, Nyonya. Lupakah kau ketika dicaci-maki orang banyak karena kegagalanmu memanggil arwah anggota keluarga beberapa orang?"

Sahut Nyonya Liong, "Ya, itu saat kekeliruanku mengenali siapa sebenarnya penguasa-penguasa gaib itu. Tetapi setelah kekeliruan itu, aku berpuasa dan bersemedi, siang malam mencoba mengontak dunia gaib. Dan berhasil. Penguasa-peng-asa gaib menampakkan diri kepadaku, terang-terangan membeberkan diri mereka, dan menawari aku apakah aku mau mengikat perjanjian kekal dengan mereka, imbalannya adalah kekuatan-kekuatan seperti yang kuceritakan tadi. Bisa terbang dan sebagainya. Aku setuju, dan inilah buktinya."

Nyonya Pang tiba-tiba menjatuhkan diri telentang di atas bara api, tanpa mantera, tanpa jimat. Bukan hanya kulitnya tak cidera sedikit pun, bahkan pakaiannya juga tidak terbakar sedikit pun, sehelai rambut pun juga tidak. Lalu Nyonya Pang menelungkupkan tubuhnya, dengan enaknya membenamkan wajahnya ke bara api seperti ke bantal saja.

Habis itu ia bangkit dan tertawa cengengesan sambil menunjukkan dirinya tidak apa-apa. Tubuhnya maupun pakaiannya. Padahal beberapa anggota pengawal kota yang tegap-tegap dan muda-muda itu melepuh kakinya dan masih mengaduh-aduh.

Semuanya tercengang, apalagi Nyonya Liong dalam keadaan sadar sepenuhnya waktu melakukan, sedangkan para pengawal baru bisa melakukan kalau sudah dalam keadaan kesurupan alias tidak sadar.

Nyonya Liong nampak bangga. "Kalian kagum ya? Itu belum seberapa. Lihat ini."

Ia mengambil sebatang pedang yang tergeletak df situ, dipegangnya terbalik lalu ditikam-tikamkan tanpa ragu ke sekujur tubuhnya tanpa membekaskan luka sedikit pun, bahkan juga bagian-bagian yang lemah seperti mata, leher dan sebagainya. Habis itu, pedang itu digigit ujungnya sehingga patah lalu dikunyah dan ditelan seperti orang makan kerupuk saja. Sepotong demi sepotong sampai pedang itu tinggal tangkainya saja.

Nyonya Liong belum puas dengan demonstrasinya, ia ingin melampiaskan dahaganya akan pujian orang setelah sekian lama ia diremehkan orang hanya sebagai "sok paranormal". Sekarang setelah suatu kekuatan atas alamiah bersarang di tubuhnya akibat ikatan janjinya dengan penguasa gaib, ia ingin memamerkan kehebatannya sebanyak-banyaknya.

Tiba-tiba saja tubuhnya yang gemuk seperti balon itu terangkat dari tanah dan mengapung ke atas, sampai tiga meter. Ek Yam-lam dan lain-lainnya melongo. Rasanya Wong Lu-siok atau Lui Kong-sim penggantinya pun belum pernah terlihat melakukan yang sehebat itu.

Melihat orang-orang kagum, Nyonya Liong turun kembali, lalu katanya, "Bergabunglah denganku dan milikilah kekuatan-kekuatan hebat seperti tiga macam yang kupertontonkan tadi, juga banyak jenis lainnya. Kita akan menguasai dunia demi junjungan kita!"

Beberapa pengawal mulai tertarik melihat demonstrasi sedahsyat itu, dan nampaknya tidak sulit untuk memperolehnya. Buktinya, Nyonya Liong ini beberapa hari yang lalu masih tukang gosip yang tidak ada apa-apanya, tukang omong besar tentang dunia gaib yang tidak dipercayai seorang pun, sekarang sudah dapat melakukan perbuatan sedahsyat itu. Tak seorang pun pengawal bisa sehebat itu.

Namun yang membuat para pengawal itu ragu, ialah watak dari penguasa-penguasa gaib yang dibeberkan Nyonya Liong tadi. Jahat, bertujuan menghancurkan manusia dan sudah dikemukakan terang-terangan tadi, berasal dari alam yang gelap. Jadi kebalikan dari gambaran mereka selama ini, "ibu segala kepercayaan, pelindung semua tempat ziarah ke keagamaan", "pemersatu semua agama di akhir jaman" dan sebagainya.

Semua orang menunggu Ek Yam-lam berbicara, kata-katanya akan dijadikan pegangan sebab Ek Yam-lam adalah orang dekat Wong Lu-siok. Namun Ek Yam-lam sendiri sedang bingung, sementara Nyonya Liong terus mendesak, "Tunggu apa? Apa yang membuat kalian ragu?"

Salah seorang anggota pengawal akhirnya menjawab dengan suara ragu, "Kami ini pengikut-pengikut ajaran suci, jalan suci, kami tidak bisa memuja sejahat yang kau puja."

Nyonya Liong tertawa dingin sambil menepuk-nepuk pipi Si Pengawal, yang usianya belum dua puluh tahun itu. "He-he-he, Nak, kau bilang tidak mau menyembahnya tetapi kau sudah menyembahnya selama ini. Kau bersujud di depan patungnya tiap malam, dan bahkan kau pernah bersumpah untuk mengabdi kepadanya seumur hidup dan mengutuk dirimu akan menjadi gila jika kau mengingkarinya!"

Pengawal muda itu memucat wajahnya. Ia memang pernah bersumpah di depan patung pujaannya, dan tidak ada orang lain yang mengetahui sumpahnya itu, kenapa sekarang Nyonya Liong tahu? Dan kenapa Nyonya Liong bilang "kau sudah menyembahnya selama ini"?

Nyonya Liong tertawa pula. "Kenapa? Heran akan kata-kataku? Ketahuilah, yang kau puja itulah sekarang yang kupuja, bahkan dia berdiam di jiwaku karena aku lebih tulus. Dialah sang penghancur manusia!"

"Tidak! Tidak! Yang kupuja bukan sesembahan macam itu!" Si Pengawal membantah sambil geleng-geleng kepala. "Aku mengabdi kepadanya untuk beroleh kekuatan demi kebaikan umat manusia, menghancurkan yang jahat! Bukan sebaliknya!"

Nyonya Liong tertawa melengking seram, "Kau sudah bersumpah di depannya! Kau terikat abadi dengannya!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Bukan soal mau atau tidak mau, tetapi ikatan sudah terjadi. Itu yang berlaku. Kemauanmu sendiri sudah tidak penting lagi."

Sementara Ek Yam-lam mendengar percakapan itu dan diam-diam membatin, "Pantas kalau aku bersemedi seolah-olah hanya menyentuh tempat kosong, tak ada tanggapan. Kiranya semua mahluk gaib, termasuk pujaanku, sudah 'disedot' masuk ke dalam diri Nyonya Liong yang penyerahannya lebih total."

Pada saat yang sama Pang Se-hiong juga membatin, "Pantas kalau kekuatan-kekuatan itu hendak mengambil-alih tubuh manusia, manusianya ditenggelamkan dulu ke dalam ketidak-sadaran agar tidak mengetahui apa yang dilakukan tubuhnya sendiri. Kalau tahu, mungkin si manusianya keberatan."

Pang Se-hiong sadar akan hal itu berdasar pengalamannya sendiri. Kalau ia sedang tidak sadar karena dikuasai mahluk-mahluk gaib yang mendiami dirinya, ia jadi "sakti" dan bisa melakukan apa apa jauh melebihi kemampuan normalnya sebagai manusia biasa.

Tetapi lama-lama itu membuatnya tidak senang, sebab setelah ia sadar dan mendengar cerita orang tentang apa yang telah dilakukannya, sering yang sudah dilakukannya itu tidak sesuai dengan kemauan Pang Se-hiong sendiri.

Sementara itu Nyonya Liong terus membujuk orang-orang untuk menyerahkan diri secara total kepada junjungannya, dengan janji akan mendapat kesaktian hebat. Antara lain kesaktian melepaskan senjata untuk membunuh siapa saja yang tidak disukai.

"Kalian akan menjadi penentu nasib banyak orang!" seru Nyonya Liong bak tukang jual obat menawarkan dagangannya. "Coba pikir, kalian akan amat sangat berkuasa!"

Beberapa pengawal kota mulai tertarik hatinya. Ya, ini jauh lebih hebat dari yang pernah ditawarkan Wong Lu-siok dengan mantera-manteranya dan jimat-jimatnya.

Saat itulah tiba-tiba Ho Tong muncul, dengan melangkah pelan dan berkata kepada orang-orang itu, "Saudara-sudara, jangan jual jiwa kalian kepada mahluk-mahluk jahat itu, apa pun yang mereka tawarkan."

Nyonya Liong gusar karena Ho Tong datang mengacau. "He, bekas orang gila, jangan ikut campur!"

"Aku harus memberi tahu teman-temanku tentang resikonya mengikuti anjuranmu, Nyonya Liong. Bahkan Nyonya sendiri kalau mau dapat dibebaskan."

"Sekarang kau mau mencegah aku? Mencegah kekuatan tak terbatas yang di alam aku?"

"Kekuatan yang didalammu terbatas, Nyonya. Kekuatan itu pernah mengurung jiwaku di suatu alam asing, dan ternyata ada kekuatan yang lebih besar yang mengeluarkan aku dari sana, sehingga jiwaku sembuh. Berarti kekuatan di dalammu itu bukannya tak terbatas."

"Ingin mencoba kutukanku yang paling dahsyat?" Nyonya Liong mengancam.

Sebenarnya Ho Tong gentar juga melihat sepasang mata Nyonya Liong yang bersorot seram itu. Ho Tong sudah menganut ajaran yang dibawa Liu Yok tetapi baru beberapa hari, belum mendalam, belum seperti Liu Yok yang seenaknya saja mengancam segala penguasa gaib tanpa kena akibat apa-apa.

Nyonya Liong menyeringai melihat Ho Tong gentar, gertaknya, "Mau kubuat gila lagi?"

Namun akhirnya Ho Tong nekad dan berkata, "Kutukanmu takkan berakibat apa-apa kepadaku, Nyonya."

"Mau coba?"

Ho Tong membungkam, agak takut juga. "Ho Tong, kau datang terlambat dan tidak melihat kekuatanku tadi. Seandainya kaulihat aku tadi, pasti kau takkan berani bersikap setolol ini. Siapa yang mengajarimu sekarang? Orang yang namanya Liu Yok itukah?"

"Ya."

"Orang yang namanya Liu Yok itu bisa tiduran di atas bara api tanpa cidera?"

Ho Tong diam, karena memang belum pernah melihat Liu Yok berbuat demikian. Nyonya Liong tertawa bangga, "Aku bisa melakukannya, tanya orang-orang ini. He, apakah Liu Yok juga bisa dibacoki senjata tanpa terluka?"

Ho Tong tetap bungkam. Nyonya Liong mendesak lagi, "Liu Yok bisa mengambang di udara? Bisa terbang? Bisa melepaskan senjata secara gaib untuk membunuh orang? Bisa? Kesaktian macam apa yang dia punyai, yang pernah dia tunjukkan? Atau hanya omong saja...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.