Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 17 Karya Stevanus S P

ENTAH dari mana datangnya suatu pikiran, tiba-tiba Ho Tong menjawab, "Kalau begitu, Nyonya, kutuklah Liu Yok dengan kutukanmu yang paling dahsyat. Pasti besok pagi seluruh Seng-tin akan melihat Liu Yok kena bencana yang paling mengerikan, dan seluruh Seng-tin akan melihat betapa saktinya Nyonya dan betapa lemahnya Liu Yok!".

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S P

Wajah Nyonya Liong berubah hebat, kali ini dia bungkam lalu mengeloyor pergi. Orang-orang itu lega atas perginya Nyonya Liong. Mereka memang sedang bingung, sedang tidak bisa diajak berpikir.

Ho Tong berkata, "Hati-hati, saudara-saudara. Nyonya Liong pasti tidak berhenti dengan usahanya mempengaruhi kalian, bahkan juga akan mempengaruhi orang-orang lain."

Pang Se-bun menjawab, "Saudara Ho, jangan menambah bingung kami yang sudah bingung ini."

"Buat apa kalian bingung? Asal tidak menuruti bujukan Nyonya Liong kan habis perkara?"

"Saudara Ho, bayangkan bingungnya kami yang meyakini suatu kepercayaan dengan sepenuh hati tiba-tiba saja apa yang sudah kami yakini seyakin-yakinnya itu tidak seperti yang kami yakini, ternyata jauh bedanya. Lalu di dunia ini apa yang harus kami pegang dan kami percayai?"

Ho Tong bungkam, pengalaman seperti Pang Se-hiong dan teman-temannya memang belum pernah Ho Tong alami. Ho Tong belum pernah mempelajari suatu kepercayaan lalu meyakininya lalu tiba-tiba yang diyakini itu rontok berkeping-keping. Ia hanya pernah merasa berada di suatu alam asing yang menakutkan dan kemudian keluar dari alam lain itu entah bagaimana.

Ketika bertemu Liu Yok, ia berkesan akan ajaran yang dibawa Liu Yok, dan sedikit banyak ia sudah bisa dibilang menganut ajaran itu, bersama-sama Tabib Kian dan Pang Se-bun sekeluarga. Dalam hati Ho Tong sendiri seperti ada yang berkata,

"Bayangkan seandainya kau mempertaruhkan segalanya untuk suatu keyakinan dan ternyata keyakinan itu tidak seperti yang kau sangka, kau pasti kehilangan keseimbangan. Ini bukan saat yang tepat untuk menasehati Pang Se-hiong dan kawan-kawannya. Biarkan jiwanya mengendap dulu."

Tetapi Ho Tong tidak mematuhi bisikan itu, dan berkata kepada Pang Se-hiong, "Kalau kalian bingung, mari, kuperkenalkan kalian dengan Liu Yok. Dia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian dengan memuaskan, seperti aku juga merasa puas dengan jawaban-jawabannya."

Tetapi Pang Se-hiong menggeleng, dan adik iparnya yang bernama Un Lip-tong menyambung, "Kalau kami ketemu Liu Yok, apakah dia akan mendemonstrasikan bagaimana dia meruntuhkan langit dan membelah bumi? Supaya kebanggaan kami selama ini makin hancur berkeping-keping dan kami makin merasa tak ada artinya?"

"Justeru Liu Yok akan menjelaskan apa dan siapa, sehingga kalian sebagai manusia menyadari betapa berartinya kalian."

"Tidak, Kami mau pulang dulu,"

Ketika Itulah suara A-kun terdengar, "Kakak Lam, ayo kita pulang. Ingin kutunjukkan baling-baling kertas ini kepada Ayah dan Ibu...."

Pang Se-hiong dan teman-temannya merasa A-kun kali ini nampak normal seperti anak-anak lain, tidak terkesan sedikit pun sebagai "anak langit". Kalau beberapa waktu yang lalu minggat dari rumah karena "disuruh A-hwe demi menghindari dewa jahat yang bernama Liu Yok" sekarang pulangnya ke rumah entah disuruh siapa? Nampak boneka porselen A-hwe tidak lagi bersamanya.

"Baik, A-kun..." sahut Ek Yam-lam yang benar-benar bersikap seperti seorang kakak. Tetapi la masih menaruh perhatian kepada anggota-anggota kelompok keamanan yang kakinya melepuh tadi. Tanyanya kepada Pang Se-hiong, "Saudara Pang, bagaimana dengan mereka?"

"Terpaksa dimintakan obat kepada Tabib Kian," sahut Pang Se-hiong.

Ia memakai kata "terpaksa" sebab di jaman jaya-jayanya kelompok keyakinan ajaran Wong Lu-siok dulu, saat penganut-penganutnya banyak melakukan keajaiban bukan hanya keajaiban berjalan di atas api tetapi juga penyembuhan-penyembuhan ajaib, kelompok ini memburuk hubungannya dengan Tabib Kian.

Bahkan banyak yang pernah terang-terangan mengolok-olok Tabib Kian dan mengatakan Ilmu pengobatan Tabib Kian sudah tidak di-butuhkan lagi. Itulah saat-saat yang sempat membuat frustasl Tabib Kian. Namun kini Pang Se-hiong dan teman-temannya yang sudah ditinggalkan oleh kekuatan gaib itu pun membutuhkan Tabib Kian, Itulah sebabnya Pang Se-hiong memakai kata "terpaksa".

Ho Tong berkata, "Kebetulan Tabib Kian dalam beberapa hari ini ada di rumah saudara tuamu, Saudara Pang. Mari kubantu ke sana."

Pang Se-hiong ragu. Ia mendengar bahwa belakangan rumah kakaknya menjadi tempat berkumpulnya sekelompok kecil orang-orang yang mendengarkan ajaran yang dibawa Liu Yok. Liu Yok yang oleh kelompok pengikut Wong Lu-siok dibicarakan dengan nada kebencian dan permusuhan dan dianggap sebagai ancaman.

Meski Pang Se-hiong merasa ikatannya dengan kelompok Wong Lu-siok belakangan ini mengendor, "dewa" yang memberinya kedigdayaan menginjak api juga "sering libur", namun rasanya sungkan juga bertemu dengan "musuh besar" seperti Liu Yok. Maka demi mendengar Tabib Kian ada di rumah Pang Se-bun dan di rumah itu kemungkinan ada Liu Yok, Pang Se-hiong jadi ragu meneruskan niatnya.

Tetapi Ek Yam-lam malahan berkata, "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita bawa saudara-saudara yang cidera itu ke sana."

"Tetapi bagaimana kalau ketemu orang yang namanya Liu Yok?"

Ho Tong yang menjawab, "Ada apa dengan Liu Yok? Memangnya dia itu monster pemakan manusia?"

"Ajarannya menggoyahkan ajaran yang kita anut!" sahut Pang Se-hiong. "Lihat kakakku, bergaul beberapa hari saja dengan Liu Yok, ia sudah ganti keyakinan. Bukankan begitu, A-kun?"

Pang Se-hiong mencoba mencari dukungan dari keponakannya yang "anak langit" itu. Meskipun tingkah laku A-kun saat itu tidak sedikit pun menunjukkan sebagai "anak langit". A-kun menjawab dalam sikap kekanak-kanakan, "Ha? Paman tanya apa?"

"Bukankah kau pernah bilang Liu Yok itu dewa jahat? Liu Yok yang sering datang ke rumahku?"

Di luar dugaan dan harapan Pang Se-hiong bahwa A-kun geleng-geleng kepala dan menjawab amat polos, "Siapa itu Liu Yok? Melihat orangnya saja aku belum pernah. Yang jahat itu malahan A-hwe. Dulu ia baik, tapi sekarang sering mengancam dan menakuti aku."

Pang Se-hiong terjepit. Segan ke rumah kakaknya, tetapi teman-temannya yang merintih-rintih kesakitan itu harus ditolong Tabib Kian yang ada di rumah kakaknya.

Ek Yam-lam pun menengahi, "Ayo kita ke sana, aku pun hendak mengantar A-kun. Soal orang yang Liu Yok itu, asal kita tidak terpengaruh, kenapa harus takut bertemu dengannya?"

Akhirnya mereka semua berangkat, membawa, usung-usungan untuk membawa beberapa anggota pengawal yang melepuh kakinya itu. Ketika rombongan tiba di rumah Pang Se-bun. Nyonya Pang menyambut puterinya dengan rasa haru. Rasanya baru saja kehilangan A-kun dan sekarang mendapatkan kembali.

Nyonya Pang sebelumnya hanya menuruti anjuran Liu Yok agar setiap kali bersama-sama suaminya mengucapkan kata-kata memaafkan A-kun, tak terduga sebesar ini hasilnya. Tabib Kian juga sedang berada di rumah itu, dan ia langsung menangani pengawal-pengawal yang melepuh kakinya itu.

Pang Se-hiong, Ek Yam-lam dan lain-lainnya memasuki rumah itu dalam sikap, tegang karena "takut terpengaruh Liu Yok". Mereka juga siap dengan serentetan bantahan dan penolakan bila Pang Se-bun atau Tabib Kian mengajak mereka mengikuti keyakinan baru itu. Ternyata Pang Se-bun maupun Tabib Kian sedikit pun tidak menyinggung-nyinggung soal itu, dan mereka sibuk menolong yang memerlukan.

"Bawa ke ruang tengah yang udaranya lebih segar," perintah Pang Se-bun. Ruang tengah rumahnya memang dikelilingi kebun-kebun bunga dan banyak jendelanya, kalau jendela-jendela dibuka maka udara kebun bunga akan membanjiri ruangan dan menyegarkan orang-orang yang sakit.

Demikianlah, ruang tengah rumah Pang Se-bun jadi semacam "rumah sakit" mendadak. Tabib Kian sibuk dibantu Pang Se-bun, Pang Se-hiong, Ek Yam-lam, Ho Tong dan lain-lainnya. Mula-mula terasa canggung juga setelah selama ini hubungan mereka diwarnai saling curiga.

Namun lama-kelamaan makin "cair" juga. Tegur sapa yang wajar dan tidak dibuat-buat makin sering terdengar. Semua orang jadi merasa kembali hidup dalam suasana Seng-tin dulu, sebelum Beng Hek-hou datang. Ketika seluruh Seng-tin masih merasa sekeluarga.

Kemudian Liu Yok dan Cu Tong-liang muncul pula, dan orang-orang seperti Ek Yam-lam dan Pang Se-hiong sudah tegang, sekaligus merasa sayang "suasana Seng-tin masa lalu" akan rusak gara-gara Liu Yok. Ternyata tidak, Liu Yok begitu "cair" berkomunikasi dengan orang-orang yang baru saat itu dikenalnya, melenyapkan kecanggungan, dan membantu Tabib Kian membubuhkan obat luka bakar. Ternyata tidak ada ketegangan sama sekali, tidak seperti yang dikuatirkan oleh Ek Yam-lam dan lain-lainnya.

Setelah orang-orang yang terluka selesai diobati, Pang Se-bun dengan penuh sukacita berkata kepada semua orang, "Saudara-saudara, kita tinggalkan saudara-saudara yang terluka di sini, biar mereka beristirahat. Kita makan siang bersama, isteriku sudah menyiapkannya."

Setelah lenyapnya suasana canggung tadi, Un Lip-tong menyambut dengan bebas, "Kebetulan sekali, perutku sudah lapar!"

Orang-orang pun tertawa lepas, bebas, berkelakar sambil berjalan ke ruang makan. "Suasana Seng-tin masa lalu" makin terasa, bahkan Liu Yok dan Cu Tong-liang seolah-olah menjadi warga Seng-tin selama bertahun-tahun.

Belasan orang makan bersama mengelilingi sebuah meja besar. Nyonya Pang benar-benar menjadikannya mirip pesta sebagai ungkapan sukacitanya bahwa A-kun pulang ke rumah setelah tidak lagi dipengaruhi oleh "A-hwe".

Sejenak Ek Yam-lam, Pang Se-hiong dan lain-lainnya memang mengerutkan alis ketika melihat Liu Yok, Cu Tong-liang, Tabib Kian dan Ho Tong bersama-sama menundukkan kepala sejenak sebelum makan. Tetapi habis acara "mengheningkan cipta" itu Pang Se-bun mempersilakan semuanya mengambil makanan dan suasana ceria pun tak terusik.

Bahkan Pang Se-bun berkata, "jangan sungkan-sungkan. Yang biasa makan sambil menaikkan kaki di kursi, naikkan kakimu. Yang mau makan sambil bicara, bicaralah. Tidak ada aturan. Kita adalah keluarga, bukan sekumpulan orang-orang ningrat."

Liu Yok "mempelopori" dengan menaikkan satu kakinya, meletakkan sumpit dan menggunakan jari-jari tangan. Pang Se-hiong yang duduk di sebelahnya pun "mengikuti jejak" Liu Yok. Suasana jadi makin bebas dan makin ramai.

Namun tiba-tiba seorang pelayan di rumah Pang Se-bun menghampiri tuannya dan berkata, "Tuan, Lao Im yang punya kebun semangka di ujung selatan kota ini ingin menjumpai Tuan. Dia membawa sepikul semangka."

"Bagus!" kata Pang Se-bun sambil tertawa, tangannya masih memegangi paha ayam goreng. "Dari mana petani semangka itu tahu sedang ada pesta di sini lalu datang membawakan semangka? Suruh dia masuk, ajak makan sekalian!"

Si Pelayan keluar, tak lama kemudian masuk dengan seorang lelaki berpakaian sederhana yang membawa pikulan dengan dua keranjang besar yang agaknya berisi semangka. Bagian atas keranjang itu ditutupi daun-daunan dan rerumputan, mungkin untuk menahan cahaya matahari agar membuat semangka-semangkanya awet segarnya.

Orang-orang sudah bersorak sebab orang-orang Seng-tin tahu semangka dari kebunnya Lao Im berkwalitas nomor satu, dan mereka sudah membayangkan hidangan "cuci mulut" yang segar itu. Tetapi mereka heran melihat muka Lao Im yang murung, bukan muka seorang yang hendak menghadiri pesta. Lebih cocok muka itu "dipasang" di rumah kematian.

"Dari mana Paman Lao tahu sedang ada pesta disini?" tanya Un Lip-tong.

Lao Im menggeleng sedih. "Aku datang bukan untuk berpesta, tetapi untuk mengadu kepada Guru muda Pang yang adil bijaksana dan punya ilmu dewa."

Suasana makan bersama yang bebas-lepas itu tiba-tiba kembali diwarnai kecanggungan ketika Si Petani semangka "masih menyebut Pang Se-bun sebagai "Guru Muda" dan sekaligus menyanjungnya "punya ilmu dewa". Gelak tawa tiba-tiba menghilang berangsur-angsur.

Pang Se-bun harus menjawab dengan sangat hati-hati mengingat di situ juga hadir Ek Yam-lam dan lain-lainnya yang secara resmi masih dalam ajaran dari Bukit Buaya Putih biarpun belakangan ini sedang terombang-ambing. Kata Pang Se-bun hati-hati,

"Paman Lao, ada masalah apa, kami semua yang berkumpul di sini semuanya adalah warga Seng-tin, semuanya adalah keluarga. Katakan saja, tidak usah sungkan-sungkan."

Demikianlah secara halus Pang Se-bun mengisyaratkan dirinya bukan lagi "Guru Muda" segala. Melainkan menyatakan sanggup menolong Lao Im sebagai sesama warga Seng-tin, bukan sebagai "Guru Muda yang berilmu dewa" segala. Dengan bijaksana Pang Se-bun juga menyebut "kami semua yang berkumpul di sini" untuk siap menolong.

Bagi Si Petani Semangka yang sedang sedih itu, kata-kata Pang Se-bun itu tidak terlalu diperhatikannya benar. Dan mulailah Lao Im mengadu, tanpa merasa bahwa ia agak mengganggu jalannya pesta.

"Guru Muda Pang, Nyonya Liong itu entah kesurupan siluman dari mana, kok jadi begitu kelakuannya terhadapku? Padahal dulu-dulu antara dia dan aku tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Paling-paling aku hanya mengejek tetapi hanya secara kelakar, tidak sungguh-sungguh ingin menyakiti hatinya, bila dia ceritakan petunjuk-petunjuk gaib yang dia alami.

"Tetapi siang ini dia menjumpaiku di kebun semangkaku, dan aku begitu ketakutan sebab sorot mata Nyonya Liong amat menakutkan, jauh dari biasanya. Dia mengoceh katanya sudah mengabdikan diri kepada Kejahatan Tertinggi dan diberi banyak kemampuan gaib, dia mengajakku untuk mengikat janji dengan sesembahannya, seperti yang dia perbuat.

"Aku ragu, dan dia pergi meninggalkan aku, katanya ingin memberi suatu tanda untukku. Dia mengutuk semua buah semangka di kebunku. Begitu dia pergi, kuperiksa seluruh semangka di kebunku dan ternyata semuanya sudah busuk penuh ulat-ulat, padahal paginya kuperiksa semuanya baik.

"Membusuknya semangka-semangka itu tidak wajar! Guru Muda Pang, Guru Muda Ek, kalian dianugerahi ilmu sakti para dewa, tolong selenggarakanlah upacara di ladangku agar terbebas dari kutukan jahat Nyonya Liong."

Lao Im datang mengadu karena ia mengandalkan Pang Se-bun. Ek Yam-lam dan lain-lainnya yang dikenal dekat dengan Wong Lu-siok, mengharapkan pertolongan dari mereka. Namun Pang Se-bun sendiri bingung, ia sudah meninggalkan kelompok Wong Lu-siok, sedangkan Ek Yam-lam meskipun masih dalam kelompok namun sedang merasa tidak ditopang kekuatan gaib sedikit pun.

Seluruh, kekuatan gaib "kerajaan langit" agaknya sedang memihak Nyonya Liong seluruhnya, padahal Nyonya Liong inilah yang justru mereka tentang. Karena itu, permintaan tolong Lao Im itu malah membuat tokoh-tokoh ajaran Bukit Buaya Putih maupun yang sekedar bekas tokoh macam Pang Se-bun jadi kikuk. Tak tahu harus menjawab apa.

Sedangkan orang-orang yang sudah membayangkan hidangan penutup berupa semangka berkualitas nomor satu kini kehilangan selera. Bisa diduga, semangka sepikul yang dibawa Lao Im pastilah semangka-semangka busuk berulat, sekedar untuk membuktikan laporannya.

Suasana meriah sirna berangsur-angsur, dan saat itulah terdengar Liu Yok berkata, "Paman Lao, pasti tidak ingin semangka-semangka Paman membusuk semua."

"Tentu saja, tetapi...."

Lao Im yang hampir berkeluh-kesah itu lebih dulu dihadang Liu Yok, "Coba, katakan apa yang Paman kehendaki dengan suara tegas dan keras. Tidak usah mempertimbangkan situasi, tidak usah pakai 'tetapi' "

Lao Im agak bingung mendengar permintaan Liu Yok yang belum dikenalnya itu. Yang diharap pertolongannya ialah "Guru Muda" Pang dan Ek, yang menjawab malahan pemuda asing yang tampangnya amat sederhana dan tidak ada keistimewaannya sedikit pun.

Permintaannya juga aneh, disuruh mengatakan kemauannya tanpa mempertimbangkan situasi. Mana bisa orang hidup di dunia tidak mempertimbangkan situasi? Dan apabila sudah mengatakan kemauannya, lalu akan terjadi peristiwa apa? Karena itu, setelah sekian lama mulut Lao Im bungkam saja.

Tanya Liu Yok, "Beratkah permintaanku, Paman Lao?"

"Tuan muda ini... siapa?" malah Lao Im balas bertanya.

Liu Yok tidak mau dibelokkan dari tujuan. "Aku Liu Yok. Beratkah permintaanku, Paman?"

"Entah alamat buruk apa ini, tahu-tahu kok semangka di ladangku membusuk semua...."

"Paman pasti tidak menginginkan itu bukan?"

"Biarpun tidak mengingini, tetapi sudah terjadi. Apa dayaku?"

"Begini, Paman, nyatakan saja keinginan Paman, ucapkan keras-keras, dan aku akan mendukung kata-kata Paman. Tidak usah menghiraukan yang terjadi."

"Tuan muda ini ada-ada saja...."

"Beratkah permintaanku, Paman? Sehingga Paman begitu sulit untuk memenuhinya?"

Selama tanya jawab Liu Yok dan Lao Im, semua orang diam mendengarkan. Yang pernah mendengar ajaran yang dibawa Liu Yok, samar-samar dapat menangkap arah atau inti kata-kata Liu Yok. Salah satu dasar ajaran yang mengatakan bahwa kehendak manusia adalah "wilayah suci" yang pantang dilanggar secara paksa, bahkan Sang Pencipta pun menghormatinya meskipun Sang Pencipta sendirilah yang menciptakan kehendak itu dalam diri manusia.

Namun Cu Tong-liang yang paling sering mendengarkan Liu Yok pun diam-diam merasa Liu Yok berlebihan kalau sampai menyuruh Si Petani Semangka mengabaikan situasi Manusia, yang dari lahir sampai mati menangkap situasi dengan panca inderanya lalu menyimpannya dalam jiwa, mustahil rasanya mengabaikan situasi.

Begitu juga Lao Im yang begitu sulit mengabulkan permintaan Liu Yok, padahal hanya disuruh mengucapkan keinginannya. Malahan Lao Im menatap Pang Se-bun dan Ek Yam-lam bergantian, minta tolong dengan tatapan matanya.

Pang Se-bun menarik napas dan berkata, "Paman Lao, coba ikuti permintaan Saudara Liu...."

"Guru Muda Pang, bagaimana tentang upacara mengusir kutukan jahat itu?"

"Kami pikirkan itu. Coba turuti Saudara Liu."

Lao Im benar-benar tersudut, akhirnya berkata juga, "Tentu saja keinginanku ialah semangka-semangkaku tidak busuk."

"Coba lebih tegas dan lebih keras, Paman."

"Tentu saja keinginanku ialah semangka-semangkaku tidak ada yang busuk!"

Liu Yok tertawa, "Keinginanku juga sama. Kugabungkan keinginanku dengan keinginan Paman dan jadilah demikian. Terkutuklah mahluk apa pun yang telah mencoba melanggar kehendak bebas manusia. Nah, teman-teman, terkabullah harapan kita menikmati hidangan penutup berupa semangka segar! Mana pisaunya?"

Orang-orang saling menoleh dengan bingung. Bukankah tadi Lao Im sudah bilang semangkanya busuk dan berulat? Mana mungkin semangka macam itu dijadikan hidangan penutup?

Tetapi Liu Yok sudah mengambil sebuah semangka, ditaruh di atas piring lebar di atas meja, lalu dipotong-potongnya. Lalu diambilnya sepotong dan digigitnya, sambil mengunyah ia memuji, "Semangkamu benar-benar nomor satu di Seng-tin, Paman Lao...."

Tak ada ulat seekor pun, dan tidak busuk. Habis sepotong, Liu Yok mengambil potongan kedua, namun sebelum mulai menggigit ia menoleh ke orang-orang sekitarnya yang sedang melongo menatapnya. "Kenapa kalian? Apa kalian suruh aku habiskan sendiri semangka lezat ini sepikul penuh? Aku sangat beruntung tetapi perutku takkan muat."

Ho Tong menjulurkan tangan mengambil sepotong, disusul Pang Se-bun, lalu Pang Se-hiong, lalu lain-lainnya. Lao Im tentu saja amat heran tetapi juga gembira. Sudah pasti dari kebun tadi semangkanya busuk semua, kenapa tiba di rumah Pang Se-bun ini jadi tidak busuk? Selain heran dan girang, Lao Im juga takut kalau orang-orang menuduhnya pembohong.

Maka selagi orang-orang menikmati semangkanya, Lao Im berusaha meyakinkan Pang Se-bun dengan panjang lebar bahwa ia tidak bohong. Tadi semangkanya benar-benar membusuk semua. Dengan sabar Pang Se-bun berkata,

"Tak seorang pun menuduhmu pembohong, Paman Lao. Semua orang Seng-tin tahu kejujuranmu. Tenanglah. Eh, mau pesta sekalian? Aku senang kalau Paman mau."

"Lebih baik aku pulang memberi tahu anak isteriku tentang keajaiban ini...." kata Lao Im sambil mengangkat pikulannya yang dikosongkan karena semangkanya ditinggal semua di situ. "Terima kasih, Guru Muda Pang, dewa-dewa sudah menolongku sebelum kuadakan upacara."

Pang Se-bun agak sungkan karena masih juga dipanggil "Guru Muda", lagipula ucapan terima kasih Si Petani Semangka ditujukan kepadanya. "Paman, tidak ada perananku sedikitpun juga dalam peristiwa aneh ini, sebab aku pun bingung."

Sementara Liu Yok berkata, "Pulanglah, Paman. Sebelum Paman memberitahukan kejadian di sini, isteri Paman akan lebih dulu memberitahumu bahwa semua semangka di ladang tidak jadi membusuk satu pun."

Setengah percaya setengah tidak Lao Im bergegas pulang. Sepeninggal Lao Im, tak lama kemudian pelayan Pang Se-bun memberitahu, "Tuan, Guru Muda Yao Kang-beng ada di luar, dia berpesan agar Guru Muda Ek cepat kembali."

"Kenapa tidak dipersilakan masuk?" tegur Pang Se-bun kepada pelayannya.

"Sudah kupersilakan, katanya dia hanya ingin memanggil Guru Muda Ek serta.... Nona A-kun agar kembali ke markas."

"Puteriku tidak akan kembali ke sana, tempatnya di sini. Dan dengan kemauannya sendiri puteriku sudah pulang kemari. Soal Saudara Ek, silakan sampaikan sendiri ke orangnya. Orangnya di sini."

Ek Yam-lam bangkit dari kursinya, memberi hormat kepada Pang Se-bun dan semua orang, katanya, "Biar aku pulang dulu, daripada nanti Saudara Yao membuat keributan di sini. Kepada kalian semua, ku utarakan isi hatiku terang-terangan, aku merasakan kembali udara persahabatan yang pernah hilang dari kota ini." Habis berkata demikian, Ek Yam-lam pun melangkah keluar.

Pang Se-hiong dan anggota-anggota pengawal yang tidak terluka pun berpamitan pulang, yang terluka dititipkan di rumah Pang Se-bun untuk memudahkan Tabib Kian merawat mereka.

"Beritahu keluarga mereka, agar tidak membuat cemas mereka..." pesan Pang Se-bun kepada adiknya tentang orang-orang yang dirawat itu.

"Baik, Kak," sahut Pang Se-hiong sambil bersendawa kekenyangan. Meski tidak mengucapkan kata-kata seperti Ek Yam-lam tadi, sorot mata Pang Se-hiong nampak riang, puas menikmati perjamuan tadi, bukan makanannya melainkan suasananya. Suasana persahabatan macam tadi memang tidak pernah dirasakan di Seng-tin selama hampir setahun sejak Beng Hek-hou datang.

Ketika berjalan bersama-sama meninggalkan rumah Pang Se-bun, Pang Se-hiong dan teman-temannya membicarakan peristiwa ajaib semangka itu. "Heran, bagaimana ya bisa terjadi begitu?"

"Ya, padahal tidak sedikit pun kulihat orang yang namanya Liu Yok membaca mantera atau menggerak-gerakkan tangan seperti penyihir. Ia bicara biasa saja, meminta Paman Lao mengucapkan kehendaknya lalu ia didukung dan terjadilah keajaiban itu."

Tetapi ada juga yang bersikap tidak percaya. "Liu Yok orangnya baik dan aku pun tidak menyangkal perasaanku sendiri bahwa aku menyukai dia. Tetapi soal semangka yang katanya busuk lalu bisa jadi baik itu, tidak kulihat sendiri dengan mataku. Paman Lao membawa semangka dalam pikulannya dan ditutupi rerumputan dan daun-daunan, kita tak bisa melihat semangka itu benar-benar busuk dan berulat atau Paman Lao sekadar hendak menjelek-jelekkan Nyonya Liong. Aku tidak melihat perubahan semangka dari busuk ke segar dengan mataku, jadi aku belum yakin ini benar-benar keajaiban...."

"Ya, aku juga ragu. Yang jelas tak bisa disangkal ialah yang dilakukan oleh Nyonya Liong di tempat latihan kita tadi."

Demikianlah terjadi percakapan pro-kontra antara mereka. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Dan mereka berpapasan lagi dengan Nyonya Liong yang gemuk itu. Percakapan mereka kontan terhenti seperti jengkerik diinjak sarangnya begitu bertemu dengan nyonya gemuk itu.

Rupanya Si Nyonya Gemuk belum berhenti berkeliling Seng-tin sambil mencari pengikut, memamerkan kemampuan gaibnya dan juga menakut-nakuti. Tubuh tambun perempuan itu seolah menyumpal lorong, katanya sambil tertawa-tawa, "Bagaimana? Sudah kalian pikirkan tawaranku tadi?"

Pang Se-hiong dan teman-temannya terlalu takut untuk menentang terang-terangan, maka mereka hanya menjawab licin, "Sedang kami pikirkan, Nyonya. Tawaran Nyonya sungguh menarik."

Ternyata jawaban itu tetap kurang menyukakan hati Nyonya Liong. "Keraguan kalian untuk segera menerima tawaran junjungahku adalah penghinaan baginya. Harusnya kalian, juga seluruh orang Seng-tin, langsung menerimanya dengan sukacita, tidak pikir-pikir segala. Bayangkan kekuatan dan kesaktian yang akan segera menjadi milik kalian. Tapi kalian orang-orang Seng-tin memang sombong, dan kalian akan segera merasakan akibat kesombongan kalian. Apa yang terjadi di ladang semangka Lao Im hanyalah contoh kecil!" Habis itu Nyonya Liong bergegas pergi dengan gusar.

Sia-sia keceriaan yang dibawa Pang Se-hiong dan teman-temannya dari rumah Pang Se-bun, sekarang lenyap karena ancaman Nyonya Liong. Ancaman dari seorang yang sudah mereka lihat sendiri kehebatannya.

"Wah, bagaimana ini? Kita diancam selagi kekuatan kita sendiri menghilang entah ke mana...."

"Dia bilang... yang terjadi pada Lao Im hanya contoh kecil. Kalau begitu, mungkin benar bahwa semangka-semangka Paman Lao telah membusuk... dan pulih kembali..." yang berkata ini adalah teman Pang Se-hiong yang tadi sempat mencurigai pulihnya semangka Lao Im hanyalah tipuan.

"Sekarang yang penting, bagaimana kita? Dewa-dewa dan panglima-panglima langit pujaan kita sedang enggan menjawab panggilan kita, siapa yang akan melindungi kita dari kutukan jahat "Nyonya Liong?"

"Bagaimana kalau... kita terima saja tawaran Nyonya Liong?" usul seseorang dengan wajah cemas.

"Gilakah kau? Lalu kita jadi seperti Nyonya Liong yang terang-terangan bahwa tujuannya adalah menjadikan kejahatan sebagai hukum tertinggi dan menghancurkan umat manusia?"

"Kalau tidak... kita dihancurkan kutukan jahat itu...."

"Tidak. Kita boleh berharap bahwa kita seberuntung Paman Lao."

Orang-orang itu berpisah, menuju rumah masing-masing tanpa kesamaan pendapat. Melintas dalam pikiran beberapa orang untuk balik ke rumah Pang Se-bun dan minta tolong Liu Yok. Namun pikiran tinggal pikiran, tak kunjung berubah jadi tindakan nyata sebab terhalang perasaan bahwa bagaimanapun juga Liu Yok adalah "orang asing".

Pang Se-hiong memasuki rumahnya yang berdempetan dengan bengkel besinya. Ketika ia baru saja memasuki halaman rumahnya, ia hampir bertabrakan dengan isterinya yang sedang membawa dua ember kayu. Isteri Pang Se-hiong adalah seorang wanita bertubuh kokoh dengan kulit kehitam-hitaman. Tidak canggung melakukan pekerjaan-pekerjaan lelaki, termasuk pekerjaan yang memerlukan otot.

"Ke mana?" tanya suaminya.

"Memanggil pulang anak-anak, sekarang kan hampir sore?"

Isterinya pergi, Pang Se-hiong pun menimba sumur untuk mengisi bak air. Sambil bekerja, Pang Se-hiong terus memikir-mikirkan peristiwa-peristiwa hari itu. Mulai saat kekecewaan melanda ia dan teman-temannya ketika gagal menginjak api seperti biasanya, ditambah dengan omongan Nyonya Liong yang membeberkan bahwa sesembahan Pang Se-hiong dan teman-temannya ternyata bukanlah dewa-dewa kebajikan seperti yang selama ini disangka pemuja-pemujanya, melainkan penguasa-penguasa gaib jahat yang menurut Nyonya Liong bertujuan menghancurkan umat manusia.

Pang Se-hiong memang tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang dikatakan Nyonya Liong. Tetapi kalau direnungkan-renungkan, kenapa "panglima langit" yang biasanya membantu dengan kekebalan waktu menginjak api itu kini tidak muncul waktu dipanggil-panggil dalam doa dengan gelar-gelar mulianya? Jangan-jangan benar kata Nyonya Liong bahwa penguasa-penguasa gaib itu sudah bosan dipanggil dengan samaran dan ingin menunjukkan identitasnya terang-terangan, identitas yang jahat?

Pikiran yang terombang-ambing membuat Pang Se-hiong kehilangan semangat kerja. Baru menimba beberapa kali, ia sudah berhenti lalu masuk ke rumahnya dan tidur-tiduran di sebuah dipan di ruang tengah, meski matahari masih tinggi. Ia tidur miring, menghadap ke seberang ruangan, menghadap gambar "dewa api Persia" yang ditempel di dinding dan dipujanya tiap malam.

Gambar yang diberi oleh Wong Lu-siok dan sudah "diberkati", gambar yang sekian lama menjadi saluran kekuatan dari alam gaib ke dalam tubuh Pang Se-hiong sehingga Pang Se-hiong tidak takut api. Sambil berbaring miring Pang Se hiong bertanya ke arah gambar itu, "Siapakah Paduka sebenarnya? Dewa api sang penerang jagad, atau dewa jahat pemusnah manusia?"

Di alam lain yang tak terjangkau indera-indera jasmaniah manusia biasa, meskipun berada juga dalam ruangan itu, si "dewa api" nampaknya ingin melakukan sesuatu menanggapi kata-kata Pang Se-hiong itu, tetapi langkahnya ragu karena tertahan seorang prajurit berpakaian gilang-gemilang yang menatapnya tajam-tajam sambil memegangi pedang yang seolah membara di tangannya.

"Pang Se-hiong berhak mendapat jawaban dariku!" si "dewa api Persia" berkata sambil menunjuk ke arah Pang Se-hiong yang sedang berbaring di dipan.

Si prajurit menyala berpedang api menjawab, "Tentu. Kau boleh menjawabnya, tetapi aku akan ikut mendengarkan jawabanmu. Sesuai tugasku, aku harus mengawasi agar semua orang di Seng-tin ini tidak disesatkan, tidak ditipu oleh kau dan teman-temanmu. Kau dan teman-temanmu harus membeberkan siapa diri kalian sebenarnya, sifat jahat kalian, dan kalian tidak boleh mengaku-aku sebagai penolong, pemberi keberuntungan dan sebagainya. Kalau kau dan teman-temanmu sudah membeberkan diri apa adanya dan masih ada manusia yang rela memuja kalian, aku takkan merintangi. Artinya manusia itu memilih dengan sadar setelah tahu siapa kalian sebenarnya, tidak karena ditipu oleh janji-janji menyesatkan. Kami menghormati pilihan yang dibuat manusia...."

Si Mahluk Api menggeram gusar dan sekujur tubuhnya seakan menyala, ia amat tidak suka bahwa dirinya hanya bisa tampil terang-terangan kepada orang-orang Seng-tin, dengan demikian tak dapat menipu, "He, kau ini mahluk yang mulia, kenapa rela menjalankan perintah dari mahluk rendahan yang terbuat dari tanah liat yang namanya manusia? Tidakkah kau merasa terinjak?"

"Aku bangga mematuhi ketentuan Penciptaku, kepada-Nya aku mengabdi. Penciptaku memberi ketentuan agar kami menjaga mahluk yang bernama manusia, ya kami jalani itu. Kau akan gagal kalau mencoba membujuk aku untuk memberontak kepada Sang Pencipta, seperti yang kau lakukan bersama teman-temanmu dulu."

"Dengan cegahanmu, kau membuat celaka beberapa teman Pang Se-hiong. Kaki mereka melepuh kena api karena tidak kami lindungi."

"Itu yang harus kami laksanakan berdasar kemauan Siau Hiang-bwe. Orang-orang itu melepuh kakinya, tetapi jiwanya barangkali bisa ditarik dari kesesatan."

"Kau juga tidak dapat mengusirku dari sini, Pang Se-hiong memberi tempat untukku di hatinya. Buktinya dia memasang gambarku...." bantah Si Mahluk Api pula sambil menunjuk gambar yang ditempel di dinding dan dipuja Pang Se-hiong.

Si Prajurit Berpedang Api menjawab, "Ya, kau mendapat tempat karena membohongi Pang Se-hiong. Kau mengaku sebagai pelindung dan penerang kehidupan serta memberi kekuatan dan kesaktian. Coba kau ungkapkan diri terang-terangan betapa jahatnya kau, betapa kau hendak menarik manusia sebanyak-banyaknya ke kekelaman abadi, tentu Pang Se-hiong takkan memujamu...."

"Tetapi kau lihat sendiri, perempuan gemuk itu tetap memuja dan bersekutu dengan kami, bahkan mengikat janji abadi dengan banyak dari kami, padahal Nyonya Liong sudah tahu siapa kami. Nah, apa katamu?"

"Perempuan itu terdorong oleh nafsunya untuk menjadi amat berkuasa dengan memiliki banyak kelebihan dari dunia kita, dan ia mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk kekekalan jiwanya. Ia sudah memilih, bahkan memilih dengan bebas di bawah pengawasan kami, bisa apa lagi kami?"

"Sekarang biarkan Pang Se-hiong memilih."

"Silakan. Tetapi tanpa tipuan, tanpa paksaan."

"Kau benar-benar sudah diperbudak manusia."

"Kami dan manusia sudah ditentukan tempatnya masing-masing."

Sementara Pang Se-hiong dengan rasa kecewa terus menatap gambar pujaannya, sampai ia mengantuk dan tertidur. Dalam mimpinya, Pang Se-hiong kembali berada di tempat ia dan teman-temannya hendak berlatih tadi. Adegan demi adegan diulangi kembali oleh Pang Se-hiong. Mulai saat itu ia dan teman-temannya bersimpuh di depan gambar "dewa api dari Persia" memohon perlindungan dari api dan tajamnya senjata.

Cuma kali ini tempatnya terasa agak lain bagi Pang Se-hiong. Sekan-akan ada dua alam yang berbeda dirangkap jadi satu. Selain sebuah halaman tertutup yang sepuluh hari sekali dijadikan tempat latihan kekebalan, juga nampak dikelilingi gunung-gunung gersang dengan geronggang-geronggang gua yang menganga, dalamnya gelap menyeramkan.

Lalu di halaman tertutup itu, sehabis Pang Se-hiong dan teman-teman memuja, mereka mulai menumpuk bara api yang akan diinjak-injak. Ikat kepala kuning pemberian Wong Lu-siok mulai dipakai, mantera-mantera mulai dibaca, lalu beberapa orang dengan berani mulai menginjak api, namun kemudian menjerit kesakitan dan mengaduh-aduh karena kakinya melepuh. Yang lain-lainnya yang belum terlanjur menginjak api, termasuk Pang Se-hiong, kaget. Mereka bingung kenapa tiba-tiba mereka tidak kebal api lagi?

Ketika itulah Pang Se-hiong melihat Nyonya Liong melangkah memasuki halaman tertutup itu. Bersamaan dengan datangnya Nyonya Liong, Pang Se-hiong melihat dari gua-gua di bukit-bukit gersang itu bermunculan macam-macam mahluk aneh dan mengerikan yang langsung membentuk suatu barisan besar di belakang Nyonya Liong. Bukan hanya dari gua-gua di bukit, bahkan bumi pun merekah dan mengeluarkan berjenis-jenis mahluk dahsyat bersama asap beraroma belerang.

Dari langit beterbangan turun mahluk-mahluk elok dengan tampang dan dandanan seperti lukisan alam gaib di tempat-tempat pemujaan. Mahluk-mahluk yang oleh para pemuja-pemujanya dikenal sebagai "mahluk-mahluk suci" yang menguasai berbagai kekuatan alam maupun nasib dan garis hidup manusia.

Dengan terheran-heran Pang Se-hiong melihat mahluk-mahluk elok yang biasa dipuja itu ternyata bergabung dalam satu barisan dengan mahluk-mahluk menjijikkan yang keluar dari guha-guha dan rekahan bumi. Pang Se-hiong bingung melihat ini, jalan pikirannya yang sudah lama diyakininya dan bahkan diyakini leluhurnya, kini terjungkir-balik tak keruan.

Menurut pemahaman lama Pang Se-hiong, mahluk-mahluk gaib yang jahat yang disebut "siluman" dan biasanya bertampang mengerikan, bermusuhan dengan mahluk "suci" yang umumnya bertampang anggun dan biasa dipuja di tempat-tempat pemujaan, dibuat patung-patungnya dan gambar-gambarnya.

Dipercayai turun-temurun bahwa "siluman" bermusuhan dengan "para dewa" untuk melambangkan kejahatan bermusuhan abadi dengan yang dipercaya sebagai kebaikan. Maka kalau orang diganggu kekuatan jahat, mereka pun memuja dan meminta tolong kepada "kekuatan yang baik" untuk mengusir yang jahat itu.

Tetapi sekarang Pang Se-hiong melihat yang jahat itu bercampur aduk dengan yang "baik", yang keluar dari perut bumi dan bertampang menjijikkan itu bersatu barisan dengan yang turun dari angkasa dengan tampang-tampang elok mereka. Mereka satu golongan! Para pengganggu dan para "penolong" ternyata satu golongan!

Pang Se-hiong melihat, di antara siluman-siluman yang keluar dari gua dan dari perut bumi itu beberapa di antaranya pernah dilihat tampangnya di jagad kasar. Pang Se-hiong ingat, apabila anak buah gerombolan Beng Hek-hou sedang berkelahi dan makin kesurupan, maka ujud mereka pun berubah pelan-pelan, ada yang keluar sisiknya, ada yang keluar cakarnya, bulunya, taringnya, tanduknya dan sebagainya.

Bahkan Beng Hek-hounya sendiri dapat berubah total menjadi seekor harimau besar berbulu hitam. Mahluk-mahluk yang pernah memunculkan diri lewat anak buah Beng Hek-hou itulah yang kini dilihat Pang Se-hiong di alam mimpinya. Yang membuat Pang Se-hiong penasaran, ialah melihat mahluk-mahluk itu berada dalam satu barisan dengan mahluk-mahluk "suci" yang terlukis dalam gambar-gambar atau lukisan-lukisan yang dipuja pengikut-pengikut Wong Lu-siok.

Terlihat dalam barisan itu ada "A-hwe", "teman" A-kun yang tampangnya mirip boneka yang dibawa-bawa A-kun, namun kini nampak dewasa, berdandan serba merah, dan matanya garang kenakutkan. Juga nampak berbagai tokoh gaib yang gambar dan patungnya beterbangan di Seng-tin, dianggap sebagai "penolong" atau penangkal pengaruh jahat, ternyata bergabung dengan siluman-siluman jelek itu.

Diiringi oleh pasukannya itulah Nyonya Liong memasuki halaman tertutup itu, dan terlibat percakapan dengan Pang Se-hiong dan teman-temannya. Percakapannya persis percakapan siang tadi, yang intinya ialah, Nyonya Liong menjanjikan kekuatan hebat bila Pang Se-hiong dan teman-temannya mau menjadi sekutu mahluk-mahluk yang berbaris di belakang Nyonya Liong itu. Percakapannya persis tepat seperti siang tadi.

Pang Se-hiong dan teman-temannya menolak, apalagi kemudian Ho Tong datang mendukung penolakan Pang Se-hiong dan teman-teman. Nampak mahluk gaib yang mengikuti Nyonya Liong itu amat gusar, paras muka mereka jadi menakutkan menatap Pang Se-hiong dan teman-teman, namun herannya, mereka tidak juga menerkam Pang Se-hiong sekalian. Marah tetapi tidak berani, entah apa yang mereka takuti.

Pang Se-hiong menoleh ke sekelilingnya untuk melihat apa atau siapa yang menyebabkan mahluk-mahluk gaib itu takut. Kemudian Pang Se-hiong samar-samar dapat melihat bahwa di sekitar tubuh Ho Tong ada cahaya lembut mengerudungi Ho Tong, begitu lembutnya sehingga kalau tidak diperhatikan benar-benar takkan tampak. Apakah pasukan gaib di belakang Nyonya Liong itu gentar kepada cahaya lembut itu? Ho Tongnya sendiri kelihatan ketakutan kepada Nyonya Liong.

Mimpi Pang Se-hiong berantakan ketika isterinya pulang, mengguncang-guncang tubuhnya sehingga bangun. "He, sore-sore begini kok tidur. Sudah selesai menimba atau belum?"

Pang Se-hiong terbangun geragapan dengan keringat membasahi tubuhnya, katanya kepada isterinya, "Maaf, aku tertidur dan bermimpi. Untung hanya mimpi."

"Kakak kelihatan lesu, ada apa?"

Pang Se-hiong belum putus harapan bahwa suatu kali nanti dewanya akan menjawab permohonannya, ia belum mau menerima mentah-mentah begitu saja omongan Nyonya Liong dan juga mimpinya. Ia bertekad nanti malam akan lebih khusyuk memuja.

Sambil duduk dengan masih mengantuk, ia menatap gambar, yang ditempelkan di dinding, sambil melontarkan pertanyaan dalam hati, "Benarkah kau sejahat yang dikatakan Nyonya Liong, dan sekarang sudah memihak Nyonya Liong dan meninggalkan aku?"

Tidak tahan oleh pertanyaan menggelisahkan yang menggedor-gedor jiwanya, sore itu juga Pang Se-hiong meninggalkan rumahnya dan menuju ke bekas kediaman guru silat Ciu Koan. Ia akan bertanya kepada siapa saja yang bisa ditemuinya di tempat itu.

Ketika ia melangkah masuk bekas kediaman Ciu Koan itu, ia merasakan suasana yang berbeda dari biasanya. Biasanya diruangan depan nampak orang-orang Seng-tin yang khusuk memohon di depan berbagai arca, suasananya terasa di alam lain. Tetapi kali ini hanya kelihatan satu dua orang yang sedang bersujud. Halaman depan dan samping nampak kotor dengan dedaunan kering yang rontok dari pepohonan perindang.

Langkah Pang Se-hiong menyusur halaman samping, dan langkahnya tertegun ketika melihat di pojok halaman ada patung porselen "A-hwe" yang dulu suka dibawa-bawa A-kun itu sekarang terhunjam kepalanya ke dalam debu, bercampur daun-daun kering. Patung porselen kecil yang dulu menjadi alat komunikasi A-kun dengan dunia gaib, dan apa yang A-kun beritahukan ternyata benar-benar menjadi kenyataan.

Pang Se-hiong mematung beberapa saat. Sedang runtuhkah kerajaan gaib yang selama beberapa bulan ini begitu mencekam jiwa orang-orang Seng-tin, sekarang sedang runtuh, mengecewakan pemuja-pemujanya?

Pang Se-hiong melangkah ke ruang tengah yang biasanya dianggap suci, tidak sembarangan orang boleh ke situ. Namun kali ini Pang Se-hiong melangkah ke situ tanpa ada yang mencegahnya. Gelap. Saat itu sudah rembang petang tetapi lampu belum dipasang. Entah ke mana perginya Bibi Ciu dan Ciu Bian-li yang biasa merawat tempat itu.

Pang Se-hiong terus melangkah ke belakang, dan ketika ia memasuki ruang tempat dulu berlatih silat, barulah ia menjumpai orang. Tiga orang, yaitu Ek Yam-lam, Ciu Bian-li dan Bibi Ciu. Sedangkan Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Suara langkah kaki Pang Se-hiong membuat ketiga orang itu serempak menoleh.

Takut dimarahi karena telah melanggar tempat terlarang, Pang Se-hiong coba menjelaskan dengan takut-takut, "Maafkan kalau aku menyelonong tidak sopan. Aku sampai ke ruang tengah, tidak ada yang kutemui. Jadi aku...."

Ternyata Ek Yam-lam menjawab ramah, "Tidak apa-apa, Saudara Pang. Kesinilah."

Pang Se-hiong melangkah takut-takut memasuki ruangan yang temaram tanpa lampu di senja hari itu. Langkahnya menyimpangi "miniatur Seng-tin" di lantai, dan ketika melihat arca besar "ratu langit" di ujung ruangan maka terdorong oleh kebiasaan, Pang Se-hiong pun bersujud sampai mukanya mengenai lantai, sedang Ek Yam-lam bertiga membiarkannya saja. Sikap mereka bertiga yang acuh tak acuh selagi ada orang bersujud itu pun bukanlah sikap yang biasa.

Habis bersujud, Pang Se-hiong bertanya, "Guru Muda Ek, aku datang dalam kebingungan untuk memperoleh jawaban pasti dari Guru Lui. Sebagai penghubung antara langit dan bumi, kuharap Guru Lui punya jawaban."

Ek Yam-lam menjawab, "Lui Kong-sim sendiri baru saja kebingungan, lalu ia memperoleh jawaban pasti dari Nyonya Liong. Dan sekarang ia ikut Nyonya Liong. Juga Yao Kang-beng."

Pang Se-hiong melongo, berdebar-debar bahwa apa yang ditakutkannya benar. Bahwa yang dipujanya selama ini adalah mahluk gaib yang jahat, bukan penolong.

Melihat kebingungan Pang Se-hiong, Ek Yam-lam bertanya, "Kenapa bingung, Saudara Pang? Merasa kehilangan pegangan?"

Lalu oleh Ciu Bian-li disambung, "Kecewa sih kecewa, kau punya banyak teman dalam kekecewaan, Kakak Hiong. Ada ratusan pemuja di Seng-tin yang sedang kecewa, antara lain ya kami bertiga ini...."

"Jadi kalian bertiga ini juga sedang kecewa?"

"Benar. Mulanya kami ragu apa yang dikatakan oleh Nyonya Liong. Kami anggap itu sebagai hujatan kepada penguasa-penguasa angkasa, masa penguasa-penguasa kerajaan gaib itu dikatakan sebagai penjahat-penjahat yang bertujuan menghancurkan manusia? Kami gusar, kami memohon kepada penguasa-penguasa gaib itu agar menghukum Nyonya Liong buat kelancangannya.

"Tetapi doa kami tak terjawab, malah kesannya makin kuat bahwa seluruh kekuatan gaib yang ada di Seng-tin memihak Nyonya Liong semuanya, dibuktikan dengan demonstrasi dahsyat kekuatan-kekuatan gaib oleh Nyonya Liong. Bukan hanya kekuatan-kekuatan gaib 'putih' yang diperkenalkan Guru Wong dari Bukit Buaya Putih, bahkan kekuatan-kekuatan hitam pendukung Beng Hek-hou dulu seolah-olah kembali bermunculan semua memperkuat Nyonya Liong. Ini aneh. Jadi sulit membedakan mana kekuatan putih dan mana yang hitam...."

"Lho, kok cocok dengan mimpiku sore ini?" pikir Pang Se-hiong. Tetapi tidak dikatakannya.

Sementara Bibi Ciu yang biasanya berwajah dingin dan angker itu menggerutu, "Ternyata yang namanya siluman dan dewa-dewa dari Bukit Buaya Putih itu setali tiga uang, ingin mencelakakan manusia."

"Sudah, Bibi, jangan kecewa. Anggap saja orang berpacaran. Tadinya kita kira pacar kita itu orang baik-baik, tak tahunya pencoleng. Ya hubungan putus, tetapi tidak seperti dunia kiamat."

Ek Yam-lam tertawa mendengar penggambaran Ciu Bian-li itu. Pang Se-hiong kemudian bertanya, "Kenapa kalian bertiga tidak ikut Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng sekalian?"

Bahwa Pang Se-hiong sudah tidak lagi mencantumkan sebutan "guru" dan "guru-muda" kepada kedua orang itu, menandakan bahwa dia pun sudah kehilangan hormat kepada kedua orang itu.

Jawab Ek Yam-lam, "Kami belum gila. Kalau sudah tahu yang dipuja itu ternyata mahluk jahat alias setan, mana sudi kami mengikutinya? Apalagi diajak mengikat janji abadi, bahkan setelah mati? Biarpun ditawari kebal api, kebal senjata, bisa terbang, bisa masuk ke tanah dan berjalan dalam tanah, bisa menunggang mega dan entah apa lagi?"

"Tetapi Nyonya Liong, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng kok mau?"

"Itu urusan mereka...." sahut Ek Yam-lam. "Aku sendiri, dulu pertama kali bertemu dengan Wong Lu-siok dan melihat ilmu gaibnya, aku kagum, juga didorong rasa butuh untuk menandingi ilmu Beng Hek-hou. Setelah Beng Hek-hou enyah dan aku menjalani ajaran Wong Lu-siok, terus terang saja aku merasa tidak bahagia, sering merasa bahwa aku hanya ditunggangi oleh kekuatan tertentu yang entah dari mana, aku merasa bukan lagi diriku sendiri."

Pendengar-pendengarnya tidak menjawab, namun serempak dalam hati mereka terdengar, suara hati mereka masing-masing, "Lho, kok sama?"

Tiba-tiba saja Ciu Bian-li, "E, omong-omong soal Wong Lu-siok, bagaimana dia sekarang?"

Mereka jadi ingat akan Wong Lu-siok yang dijebloskan ke kamar sempit oleh perintah Lui Kong-sim dulu. Dan mereka juga ingat si "penyihir wanita jahat" Siau Hiang-bwe yang sudah dijebloskan ke sel yang sama, lebih dua bulan yang lalu. Tiba-tiba saja suatu rasa bersalah mengusik hati mereka, tetapi tak ada yang berani mengatakannya terang-terangan.

"Bagaimana ya, mereka?" paling-paling itu yang dilontarkan Ciu Bian-li.

Dan bibinya menyahut, "Orang sudah sekian lama tidak diberi makan dan minum kok bagaimana. Ya terang mati...."

"Perlukah... kita tengok... mayat mereka? Mungkin kita bisa... menguburnya secara layak?"

Serasa semuanya memperoleh sebuah jalan untuk mengurangi rasa berdosa mereka. Jalan keluar yang tidak memadai, tetapi bisa sedikit mengurangi tekanan di hati mereka. Mereka berempat bangun lalu menuju ke ruang sempit tempat memenjarakan orang itu. Bibi Ciu menyalakan sebuah lampion bertangkai untuk menerangi jalan.

Ketika Pang Se-hiong tiba di depan pintu sel yang terbuat dari kayu tebal itu dan mulai membukanya, yang lain-lain sudah menutup hidung, berjaga-jaga terhadap bau busuk dua mayat manusia yang mereka kita akan mereka lihat. Mayat Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe.

Ketika pintu kayu tebal sudah terbuka, memang terhembus bau busuk, tetapi bau busuk yang tidak seberapa. Bau busuk udara pengab yang lama tidak mengalir, namun bukan bau busuk mayat. Keempat orang di depan pintu itu sama-sama tidak berani menatap ke dalam sel, namun setelah beberapa saat berkatalah Ek Yam-lam,

"Bibi Ciu, angkat lampionnya...."

Dengan terpaksa Bibi Ciu mengangkat lampionnya dan keempat orang itu ter-heran-heran melihat di dalam sel ada dua orang yang mengangkat telapak tangan untuk menutupi mata, silau oleh cahaya lampion karena sudah lama mata mereka tidak kena cahaya sedikit pun. Dua orang hidup! Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe. Mereka memang nampak agak kurus dan kotor, tetapi hidup. Rambut Siau Hiang-bwe yang dulu digunting gundul di lapangan, kini sudah tumbuh pendek.

"Kalian... masih... hidup?" Ek Yam-lam bertanya terbata-bata karena tak mempercayai pandangannya sendiri.

Tertatih-tatih Siau Hiang-bwe berusaha berdiri dengan berpegangan tembok, sambil matanya belum berani langsung menatap ke lampion. Wong Lu-siok ingin membantunya, namun Wong Lu-siok sendiri nampak begitu lemah. Ek Yam-lam melangkah masuk untuk menolong Wong Lu-siok, sementara Ciu Bian-li menolong Siau Hiang-bwe.

Sambil menuntun, Ciu Bian-li berkata, "Maafkan aku, Cici Siau. Maafkan juga seluruh orang Seng-tin...."

Sambil melangkah tertatih keluar sel sempit itu, Siau Hiang-bwe menjawab, "Kau dan seluruh Seng-tin tidak bersalah. Kalian cuma tertipu dan dikendalikan oleh suatu pengaruh jahat...."

Sementara itu, begitu Wong Lu-siok tiba di luar sel, Bibi Ciu dan Pang Se-hiong bersujud sampai mukanya mengunjam tanah, kepada Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe. Kata Bibi Ciu dengan gemetar ketakutan,

"Kami mahluk hina dina ini telah melakukan dosa besar, menghina dan memenjarakan manusia-manusia penjelmaan dewa seperti Guru Agung Wong dan Siau. Aku mohon ampun dan jangan dikutuk...."

Wong Lu-siok kaget dan sedih melihat sesama manusia bersujud kepadanya, ia hendak membangunkan mereka, tetapi malah ia hampir roboh karena lemahnya. Ek Yam-lam buru-buru menangkap tubuh yang sudah kurus dan berbau itu. Dengan sedih Wong Lu-siok geleng-geleng kepala,

"Bangun, jangan berlutut kepadaku. Jangan mengulangi kesalahan fatal untuk kedua kali. Dulu kalian memuja aku sebagai 'utusan kerajaan angkasa' dan itu kesalahan besar, sekarang apakah kalian akan mengulanginya? Bangkitlah. Jangan berlutut kepadaku, aku manusia seperti kalian."

Bibi Ciu dan Pang Se-hiong saling toleh dengan kebingungan, mereka sedang kehilangan pegangan gara-gara pertemuan dan percakapan dengan Nyonya Liong, dan ketika mereka melihat Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe masih hidup setelah lama tidak makan minum, mereka anggap itu keajaiban yang menandingi keajaibannya Nyonya Liong dan mereka berharap akan mendapat pegangan kembali. Ternyata sikap Wong Lu-siok malah menyalahkan mereka.

Tanya Pang Se-hiong bingung, "Tetapi.... kalau bukan manusia istimewa yang dipilih langit, mana bisa tidak makan dan minum sekian lama dan tetap hidup?"

Wong Lu-siok menarik napas. "Aku harus mohon maaf kepada seluruh orang Seng-tin, aku harus berlutut di depan mereka semua, karena ajaran yang kubawa kepada mereka. Sekarang aku tahu bahwa semua manusia itu istimewa di mata dan di hati Seng-tin. Satu demi satu, pribadi demi pribadi, punya tempat di hati-Nya, asal manusia menyambut anugerah besar-Nya. Kalian pun sama istimewanya dengan Liu Yok, dengan Siau Hiang-bwe...."

"Maksudku... kami pun bisa meningkat-menjadi dewa?"

"Kalau manusia menjadi dewa, itu bukan meningkat tetapi merosot. Dari mahluk ciptaan tertinggi ke derajat mahluk yang lebih rendah. Kaum persilatan amat bangga kalau mendapat sebutan 'setengah dewa' padahal itu artinya turun derajat."

"Guru Wong... kami bingung...."

Ek Yam-lam menukas, "Saudara Pang, kami maklumi kebingunganmu, sebab aku sendiri juga bingung. Kita semua sedang bingung. Tetapi tidakkah kau ingat bahwa Guru Wong dan Nona Siau sedang lapar dan haus?"

Bibi Ciu cepat-cepat bangun, lalu berlari ke dapur untuk menyiapkan bubur. Sementara Wong Lu-siok yang dipapah Ek Yam-lam dan Siau Hiang-bwe yang dipapah Ciu Bian-li menuju ke ruang tengah. Pang Se-hiong menyalakan lampu-lampu di ruang tengah. Tak lama kemudian Bibi Ciu membawa hidangannya, wajah dingin dan angkernya dulu sekarang sudah "cair" dan "menguap" entah ke mana.

Orang-orang itu makan bersama. Wong Lu-siok serta Siau Hiang-bwe harus bersusah payah lebih dulu meyakinkan orang-orang lainnya agar tidak merasa minder karena bersantap bersama "manusia istimewa", meyakinkan orang-orang lainnya bahwa mereka semua sama dan sederajat dan layak bersantap bersama.

Habis bersantap, terjadi percakapan lama yang dipandu Siau Hiang-bwe, sementara Wong Lu-siok kadang-kadang ikut mengomentari. Orang-orang yang kehilangan pegangan itu pelan-pelan merasa mendapatkan pegangan kembali.

Larut malam, Pang Se-hiong melangkah kembali ke rumahnya. Tadi ia pergi dengan bingung, sekarang dengan rasa tenteram di hati. Ketika masuk ke dalam rumah, tiba-tiba hatinya guncang lagi melihat gambar pujaannya yang ditempel di dinding itu seolah melotot marah kepadanya. Namun dalam jiwa Pang Se hiong ada semacam rasa teguh yang membuatnya tidak menggubris gambar itu dan langsung ke kamar tidurnya.

Malam itu adalah malam yang bakal tak mudah dilupakan oleh warga Seng-tin. Malam ketika ratusan serigala di padang ilalang belantara digerakkan oleh suatu pengaruh dan mereka melolong panjang di pinggiran kota, begitu dekat dengan pemukiman penduduk. Dan sejuta kelelawar beterbangan mencicit-cicit di atas kota, dan hewan-hewan di Seng-tin menjadi gelisah semuanya.

Mendekati tengah malam, lolong serigala semakin menakutkan, bahkan hewan-hewan itu berkelompok-kelompok berada di jalan-jalan dan lorong-lorong Seng-tin. Pintu-pintu rumah di seluruh Seng-tin terkunci rapat semuanya, mengurung penghuni-penghuninya dalam pengabnya kengerian dan ketakutan.

"Inilah bukti dari ancaman Nyonya Liong tadi siang...." kata seseorang yang menggigil di belakang pintunya.

"Mungkin sebaiknya kita turuti saja kemauan Nyonya Liong. Dialah yang paling berkuasa di Seng-tin ini. Pengikut-pengikut Wong Lu-siok pun tidak berdaya mengatasi tindak-tanduk Nyonya Liong, malah sekarang Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng menjadi pengikutnya."

"Kabarnya Ban Ke-liong juga, dan beberapa orang lagi."

"Juga Ciok Yan-lim si tukang peti mati."

"Apakah orang-orang itu semua akan jadi sesakti dan setabiat dengan Nyonya Liong?"

"Mungkin saja, kalau kekuatan yang mengisi tubuh mereka berasal dari sumber yang sama."

"O, mengerikan sekali, mau jadi apa kota Seng-tin ini nantinya? Satu orang semacam Nyonya Liong sudah begitu menakutkan, mendatangi rumah demi rumah sambil mengajak orang-orang mengikuti jejaknya, apalagi kalau orang semacam itu bertambah-tambah jumlahnya. Oh, para dewa, para panglima angkasa, ke mana saja mereka? Kenapa mereka tidak lagi menolong kita seperti dulu mereka menolong kita dari Beng Hek-hou?"

Percakapan mereka terhenti ketika ada lolong serigala terdengar begitu dekat, di luar halaman rumah mereka. Untung pintu halaman tertutup dan terpalang kuat. Namun demikian suara kuku serigala-serigala yang menggaruk-garuk daun pintu dengan garang, berusaha masuk, membuat jantung para penghuni rumah berdentang-dentang. Belum lagi suara tubuh-tubuh kelelawar yang bertubi-tubi menghempas atap dan jendela.

"Ini pasti ulah Nyonya Liong, dia mengerahkan kekuatan gaibnya untuk menggerakkan hewan-hewan itu menteror seluruh kota. Oh, dewa, turun-tanganlah, selamatkan manusia-manusia lemah ini..."

"Aku ingin kencing, tetapi tidak berani keluar pintu...."

"Kencing di dalam saja...."

"Nanti bau...."

"Tampung kencingmu di buli itu...."

Tiba-tiba pintu halaman diketuk, dan orang-orang di rumah itu serempak terdiam seperti jengkerik diinjak sarangnya. Beberapa saat kemudian ketukan itu terdengar lagi...

Selanjutnya,
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.