Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 18

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 18 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

ORANG-ORANG dalam rumah saling pandang dengan ketakutan. Seorang berdesis, "Tidak salahkah kupingku? Ketukan pintu itu oleh manusia atau oleh serigala-serigala tadi?"

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S P

"Serigala mana bisa mengetuk pintu?"

"Dalam keadaan normal memang tidak bisa, tetapi apakah saat ini keadaannya normal? Bukan hal aneh kalau serigala yang sedang ditunggangi kekuatan jahat itu bisa meniru suara ketukan untuk memancing dan memangsa kita!"

"Mengerikan, kalau sampai...." suara orang dalam rumah itu terhenti karena ketukan di pintu depan terdengar lagi, dan kali ini ditambah suara,

"A-seng, A-hun, kalian di dalam?"

Kakak beradik yang sedang dalam rumah itu menggigil, bisik Si Kakak, "Astaga, serigala-serigala itu bisa berbicara."

"Dan suaranya seperti suara Kakak Ho Tong."

Suara di luar pintu terdengar lagi, "He, kalian dengar aku tidak? Aku dititipi barang belanjaan oleh Paman Kiong, pemilik warung beras itu. Tadi menjelang sore ibu kalian berbelanja di warung itu, sudah membayar tetapi lupa membawa belanjaannya karena terlalu asyik mengobrol. Ketika aku mampir warung Paman Kiong, aku dititipi beras belanjaan ibu kalian. Paman Kiong kuatir malam ini tidak ada yang ditanak di dapur kalian."

A-seng dan A-hun saling pandang. Kata-kata orang di luar pintu itu membuat rasa lapar mereka kembali diaduk-aduk. Tadi sore memang ibu mereka pergi membeli beras, tapi lupa ketinggalan di warung, dan ketika hari sudah gelap dan hendak mengambilnya ke warung, tahu-tahu bermunculanlah serigala-serigala memasuki kota yang membuat seluruh orang Seng-tin mengunci diri dalam rumah.

Malam itu, ibu dan kedua anak laki-lakinya itu hanya makan sisa-sisa nasi siang tadi yang tak memadai untuk menghilangkan rasa lapar mereka. Tetapi mereka terlalu takut untuk membuka pintu, sebab pikiran mereka yang dicekam ketakutan itu beranggapan mana ada orang mempertaruhkan nyawa berkeliaran di luar yang penuh serigala, kalau bukan orang itu "serigala yang menyamar"?

Sekian lama suara Ho Tong terdengar di luar halaman dan mengetuk-ngetukkan tanpa digubris. Sampai suara itu berhenti sendiri. A-seng dan A-hun lega, namun sekaligus juga diingat kembali akan rasa lapar mereka. Tiba-tiba di luar halaman luar terdengar gedebuk, seperti ada suara benda berat dijatuhkan dari tembok halaman.

"Kak, apa itu?" desis A-hun tertahan. "Apakah serigalanya melompati tembok halaman?"

"Ssst...." Wajah kedua kakak beradik itu memucat ketika mendengar langkah-langkah kaki yang sudah tidak di luar halaman lagi melainkan sudah di dalam halaman. Suara langkah itu mendekati pintu, dan suara ketukan di pintu membuat jantung kakak-beradik itu hampir copot.

"A-seng, A-hun, ini aku, Ho Tong. Aku terpaksa memanjat dinding karena kalian tidak membukakan pintu halaman."

"Kak.... bagaimana? Kita bangunkan Ibu?"

"Jangan... coba diintip dari celah-celah pintu...."

Si Adik mengintai dari celah-celah di antara papan pintu, dan melihat di luar memang Ho Tong yang membawa bungkusan besar. "Dia memang Ho Tong, Kak."

"Bagaimana kalau.... itu siluman yang sedang mengubah rupa?"

"Kalau siluman pasti bisa menembus dinding begitu saja, tidak perlu ketuk-ketuk pintu. Lagipula... aku lapar sekali, Kak. Tak mungkin bisa tidur dengan perut selapar ini."

"Baik. Kita ambil resiko membuka pintu. Aku yang buka, kau berjaga di belakangku. Kalau ternyata yang datang ini... Siluman, cepat tutup pintunya!"

Demikian mereka membuka pintu dengan hati-hati, dan lega ketika yakin bahwa yang di depan pintu benar-benar Ho Tong. Apalagi membawa beras.

"Ini belanjaan ibu kalian yang ketinggalan di warung Paman Kiong," kata Ho Tong sambil menyodorkan bungkusan itu.

A-seng menerimanya. "Terima kasih, Kakak Ho. Maafkan sikap kami, kami benar-benar takut....."

"Tidak apa-apa, dalam suasana aneh begini, siapa tidak takut? Aku pun amat takut, tetapi mengingat beras ini penting bagi kalian, kupaksakan diri."

"Tetapi... apakah Kakak Ho tidak bertemu dengan serigala-serigala itu?"

"Untungnya tidak. Kalian lihat, aku utuh bukan?"

"Tetapi Kakak Ho benar-benar mempertaruhkan nyawa. Urusan beras ini kan bisa ditunda besok?"

"Ya... aku kira kan A-hun sudah tidak tahan lapar. Dia kan tidak boleh telat makannya?"

A-seng tertawa, sementara adiknya yang gemuk dan gembul itu merengut.

Kata Ho Tong pula, "Nah, sekarang aku tidak berani pulang. Aku kuatir perjalanan pulangku takkan beruntung saat aku berangkat kemari."

"Tidur di sini saja, Kakak Ho."

"Ya."

A-hun kemudian merengek, "Kak, berasnya segera ditanak...."


Menjelang fajar, serigala-serigala itu meninggalkan Seng-tin kembali ke tengah padang belantara, begitu juga jutaan kelelawar itu. Namun warga Seng-tin masih juga mengurung diri di rumah masing-masing, atau di rumah orang lain karena tak sempat pulang. Ketakutan yang mencekam semalam-malaman tak gampang dihilangkan dalam waktu singkat.

Ada sebuah keluarga yang terdiri dari hampir seluruhnya wanita, kecuali si kepala rumah tangga. Semalam-malaman keluarga itu disiksa kecemasan karena si kepala rumah tangga yang lelaki itu pergi sejak sore dan kemudian tidak pulang. Entah ke mana. Seisi rumah cuma berani berharap-harap agar sang suami atau ayah menumpang berlindung di rumah siapa saja yang disinggahinya. Tapi kadang-kadang terlintas juga kecemasan kalau membayangkan sang ayah atau suami itu nekad hendak pulang ke rumah lalu ketemu serigala-serigala.

Begitu fajar tiba dan suara serigala tak terdengar lagi, si isteri sekaligus ibu yang cemas itu pun berkata kepada anak-anaknya. yang perempuan semua, "Kalian jangan ke mana-mana. Ibu akan mencari ayah kalian, tutup dan palang pintunya selama Ibu pergi."

"Ibu akan mencari ke mana?"

"Pertama-tama mungkin ke warung bakmi itu, kemarin malam ayahmu bilang mau ke sana."

Ternyata baru saja pintu dibuka, Si Suami sudah di depan pintu. Keluarga itu jadi kegirangan. Satu-persatu orang-orang mulai keluar rumah, membuat suara-suara di jalanan untuk menimbulkan situasi normal kembali dan mengusir ketegangan. Orang-orang yang semalam terkurung ketegangan dalam rumah pun satu demi satu keluar rumah.

"Yang semalam itu benar-benar gila, belum pernah terjadi seperti itu."

"Ancaman Nyonya Liong benar-benar terbukti."

"Yang aku herankan, ke mana perginya mahluk-mahluk suci yang selama ini kita puja, yang katanya akan selalu melindungi dan memberkahi kita?"

"Kata Nyonya Liong, semua mahluk gaib sudah memihak kepadanya, termasuk yang selama ini kita puja."

"Kalau memihak Nyonya Liong, berarti semalam ikut... menteror kita melalui serigala-serigala dan kelelawar-kelelawar itu?"

Yang ditanya tidak menjawab dengan kata-kata, cuma dengan pandangan putus asa. Pandangan dari orang yang ditinggalkan oleh pelindung andalannya.

"Eh, semalam ada korban jiwa apa tidak ya?"

"Entahlah. Kalau di pasar mungkin kita bisa mendengar banyak."

"Ingin rasanya aku ke pasar, tetapi apakah jalan ke sana aman?"

"Aku kira sudah aman sekarang."

Matahari mulai bersinar cerah di atas padang ilalang seperti hari-hari sebelumnya. Di pasar Seng-tin satu demi satu penjual mulai menggelar dagangan, pembeli-pembeli juga mulai berdatangan. Tetapi kali ini suasananya lebih ramai karena banyak orang datang ke pasar bukan untuk berjual beli melainkan hanya ingin bertukar berita tentang peristiwa semalam.

Cerita-cerita jadi semakin bervariasi, bumbu-bumbu untuk menambah serunya kisah pun tidak lupa ditambahkan. Dan ketika pertanyaan sampai ke "apakah semalam ada orang yang jadi korban" maka tak terdengar ada yang jadi korban.

Selain tentang tak adanya korban jiwa, dalam cerita-cerita itu muncul pula kesaksian-kesaksian sulit dipercaya tentang "orang-orang nekad" yang dalam keadaan sebahaya itu masih sempat memikirkan dan memperhatikan orang lain. Misalnya Ho Tong yang sempat-sempatnya mengantarkan beras.

Dan ada juga selain Ho Tong yang melakukan hal serupa, misalnya memberi tahu suatu keluarga bahwa anggota keluarga yang dicemaskan ternyata dalam keadaan selamat di suatu tempat. "Orang-orang nekad" yang membuat sebagian besar warga Seng-tin seolah diingatkan kembali bahwa Seng-tin pernah hidup sebagai sebuah keluarga besar yang anggota-anggotanya saling memperhatikan. Sesuatu yang hampir mereka lupakan.

Tanpa seorang pun mengucapkannya, namun dalam hati sebagian besar warga Seng-tin ada pengakuan, bahwa dalam peristiwa semalam bukan hanya kekuatan jahat yang dilepaskan Nyonya Liong yang beroperasi dengan dahsyat menakutkan, melainkan ada kekuatan lain yang juga bekerja, kekuatan yang sifatnya bertentangan dengan kekuatan Nyonya Liong.

Kekuatan yang membuat beberapa warga Seng-tin, misalnya Ho Tong, menyempatkan diri untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Menyempatkan diri di saat tekanan ketakutan dahsyat mencekam. Pembicaraan orang-orang di pasar itu tiba-tiba terhenti ketika melihat sekelompok orang memasuki pasar.

Yang berjalan paling depan adalah Nyonya Liong sendiri, diikuti empat orang yaitu Lui Kong-sim, Yao Kang-beng, Ban Ke-liong si tukang keramik dan Ciok Yan-lim, si tukang peti mati. Ada ratusan orang di pasar itu, namun tak seorang pun berani bersuara, bahkan bernapas pun tak berani terlalu keras. Suasana jadi sunyi sekali.

Dalam suasana sesunyi itu, suara Nyonya Liong tidak perlu keras-keras untuk bisa didengar setiap orang, "Semalam kalian sudah mengalami sendiri dahsyatnya kekuatan kami. Apakah kalian belum juga mau mengakui junjungan kclmi dan menyembahnya?"

Tak ada yang menjawab, suasana tetap sunyi. Nyonya Liong melanjutkan, "Kalian ini aneh, apa keberatannya memuja junjungan-junjungan kami? Padahal selama ini kalian sudah memujanya, sudah memasang gambarnya atau patungnya di rumah kalian. Nah, pribadi yang sama itulah yang kupuja sekarang. Kenapa kalian malah meninggalkannya?"

Orang-orang itu tetap membungkam.

"Apakah karena kalian baru tahu sekarang kalau tokoh-tokoh gaib yang dulu kalian puja itu ternyata penguasa-penguasa jahat, bukan penguasa-penguasa yang baik seperti sangkaan kalian waktu kalian puja dulu?"

Orang-orang di pasar tidak menjawab, namun kesunyian itu terkoyak suara derit engsel pintu dari warung rempah-rempah kepunyaan Pang Se-bun. Warung itu memang saling membelakangi dengan rumah kediaman Pang Se-bun. Warungnya menghadap pasar, rumah kediaman menghadap ke jalan besar.

Serempak orang-orang menoleh ke arah suara itu, dan melihat Pang Se-bun melangkah keluar dengan wajah ramahnya yang sudah dikenal oleh orang-orang Seng-tin. Pang Se-bun lalu membuka papan-papan penutup warungnya, dibantu oleh Liu Yok yang belum dikenal banyak oleh orang-orang Seng-tin.

Sikap Pang Se-bun yang begitu santai, tak terpengaruh ketegangan akibat hadirnya Nyonya Liong dan pengikut-pengikut-nya, justeru menampilkan wajah tegang di pihak Nyonya Liong dan pengikut-pengikutnya.

"Dia meremehkan kita...." desis Lui Kong-sim gusar. "Menganggap kita tidak ada sama sekali....."

"Tunjukkan kekuatan sihirmu, Nyonya Liong...." hasut Ciok Yan-lim. "Beri contoh kekuatan hebat dari Kejahatan Tertinggi agar dilihat orang-orang Seng-tin."

Semula orang-orang Seng-tin ketakutan sekali kepada Nyonya Liong dan kelompok kecilnya, yang semalam berhasil mendatangkan ribuan serigala dan kelelawar ke Seng-tin. Namun justru ketika Lui Kong-sim dan Ciok Yan-lim mencoba mendorong Nyonya Liong untuk mencelakakan Pang Se-bun dan Liu Yok, tiba-tiba di antara orang-orang Seng-tin ada yang berani bicara meskipun suaranya rada gemetar,

"Apa salahnya orang membuka pintu warungnya?"

Ketika Nyonya Liong dan kawan-kawannya menoleh ke arah Si Pembicara, Si Pembicara pun tiba-tiba berkerut gentar dengan wajah tegang dan pucat. Sementara dalam hati ia menyalahkan diri sendiri, "Nah, mampuslah kau sekarang. Dasar mulut lancang. Apa sangkut-pautmu dengan mati hidupnya Pang Se-bun yang bukan sanak-kadang sehingga kau membahayakan diri dengan berkata seperti tadi kepada Nyonya Liong?"

"Kau ingin dikutuk sekalian?" geram Lui Kong-sim kepada Si Pembicara tadi, membuat Si Pembicara tambah pucat membeku.

Tetapi tiba-tiba terdengar suara pembicara kedua yang membela pembicara pertama, "Paman Lao Im benar, Nyonya Liong. Apa salahnya Juragan Pang membuka pintu warungnya, hingga hendak dikutuk?"

Beberapa kepala mengangguk-angguk mendukung, meski dalam suasana ketakutan di bawah tatapan mata yang menakutkan dari Nyonya Liong dan pengikut-pengikutnya.

Sikap saling membela meskipun takut-takut itu memang membuat gusar Nyonya Liong, atau lebih tepat, membuat gusar kekuatan yang bersarang di dalam Nyonya Liong. Kekuatan-kekuatan yang semula menikmati puja dan sembah rakyat Seng-tin yang dibohongi bahwa yang mereka sembah itu "baik dan sangat menolong".

Kemudian datang kekuatan yang lebih besar yang memaksa kekuatan yang disembah rakyat Seng-tin itu agar keluar dari benteng-benteng kebohongannya, menampilkan wajah aseli sebagai pembohong, pembunuh dan pencuri, sehingga putuslah hubungan mereka dengan pemuja-pemuja mereka.

Kekuatan-kekuatan gaib itu kemudian "pindah rumah" ke Nyonya Liong karena Nyonya Liong tetap bersedia menghamba mereka meski tahu siapa mereka sebenarnya. Nyonya Liong tidak tertipu, melainkan dalam kehendaknya yang bebas memilih untuk bersekutu dengan kekuatan-kekuatan jahat itu.

Kini, kekuatan-kekuatan jahat itu seolah ditantang ketika melihat orang-orang Seng-tin saling membela, saling memperhatikan, menjadi rantai kemanusiaan yang kokoh.

Kata Nyonya Liong lantang, "Orang-orang Seng-tin, peristiwa semalam adalah bukti kekuatan kami! Apakah kalian tidak takut kalau kami menunjukkan kekuatan yang lebih besar lagi?"

Orang-orang Seng-tin lebih ketakutan dari tadi. Saat itulah Pang Se-bun yang sudah selesai membuka warungnya, melangkah didampingi Liu Yok mendekati Nyonya Liong, katanya ramah dan hormat,

"Syukurlah semalam tidak ada seorang pun warga Seng-tin yang celaka. Apakah kekuatan gaib yang kau lepaskan itu berbaik hati kepada warga Seng-tin, ataukah ada kekuatan yang lebih besar yang menahannya agar tidak mencelakai orang, dan kekuatan yang dilepaskan Nyonya Liong itu tidak mampu?"

Setitik harapan timbul di hati orang-orang Seng-tin ketika mendengar kata-kata Pang Se-bun yang bernada menentang Nyonya Liong. Semenjak Nyonya Liong tampil di Seng-tin dengan ajakan-ajakan dan ancaman-ancaman serta demonstrasi kekuatan hebatnya, warga Seng-tin jadi bingung dan kehilangan pegangan kenapa dewa-dewa dan dewi-dewi yang diperkenalkan oleh kaum Bukit Buaya Putih itu diam dan tidak menolong?

Mereka sudah tanya-tanya ke beberapa tokoh yang dianggap "dekat dengan kerajaan langit" seperti Pang Se-bun atau Ek Yam-lam, tapi yang ditanya juga bingung. Orang bingung bertanya kepada orang bingung. Orang Seng-tin sekarang lega melihat Pang Se-bun menunjukkan sikap tegas terhadap Nyonya Liong.

"Mudah-mudahan kekuatan suci para dewa membuat mundur Nyonya Liong dengan segala ulahnya yang menakutkan...." beberapa orang diam-diam berdoa dalam hati.

Belum sempat Nyonya Liong menjawab, Liu Yok sudah ikut mendukung Pang Se-bun, "Jawab dan jangan berbohong."

Dalam dada Nyonya Liong menggemuruh kegusaran hebat dari berjuta-juta balatentara dunia gaib, tetapi kata-kata Liu Yok terlalu kuat untuk mereka bangkang. Kata-kata dari seorang manusia penerima anugerah untuk melarang dan mengijinkan di dunia kasar dan di dunia gaib. Limpahan kekuasaan kepada manusia-manusia penyambut anugerah itulah yang dalam beberapa hari belakangan memaksa balatentara langit membuka kedoknya terhadap warga Seng-tin.

Karena tidak berani melanggar larangan berbohong yang diucapkan Liu Yok, tetapi juga tidak ingin berkesan lemah di depan mata warga Seng-tin, penguasa gaib di dalam diri Nyonya Liong menjawab secara tidak langsung,

"Kekuatan kami hebat. Kami pernah membuat burung-burung di udara menjadi buas lalu menyerbu sebuah desa, mematuk mata orang-orang di desa itu sehingga desa itu menjadi desa orang-orang buta. He-he-he. Hai, warga Seng-tin, itu belum sampai kulakukan atas kalian, pasti kalian pun takkan suka kalau itu sampai terjadi."

Pang Se-bun sudah marah dan hendak menantang Nyonya Liong, tetapi ia menahan diri dan berkata kepada Liu Yok, "Saudara Liu, hentikan dia!"

"Kenapa harus aku, Kakak Pang? Semua penerima anugerah dianugerahi limpahan kuasa yang sama, tergantung masing-masing berani menggunakannya atau tidak. Kakak Pang harus belajar berani menggunakannya, hasilnya akan sama denganku, tak ada bedanya...."

"Aku percaya. Tetapi kalau aku melakukannya di depan mata warga Seng-tin, sebagian warga masih menganggapku tokoh kepercayaan dari Bukit Buaya Putih, dan mereka akan kembali ke ajaran lama. Aku tidak mau itu terjadi. Kau saja, Saudara Liu."

Liu Yok menggeleng, "Itu pun bisa menimbulkan salah paham warga kota ini, Kakak Pang. Beberapa hari yang lalu, aku pernah disangka penjelmaan dewa dan orang-orang hendak bersembah sujud kepadaku, bahkan konon Ban Ke-liong si tukang keramik sudah membuat beberapa patungku. Ini jelas tak boleh terjadi."

"Kesalah-pahaman bisa dijelaskan belakangan, tetapi sebaiknya kau yang menghadapinya, Saudara Lui. Aku melihat dulu sambil belajar."

Akhirnya Liu Yok maju ke depan, matanya menatap mata Nyonya Liong dan berkata, "Kalian tak bisa melakukan itu di Seng-tin, karena aku keberatan. Penguasa langit macam apa pun dan dewa macam apa pun tidak boleh melanggar kata-kataku!"

"Karena kau dewa tertinggi ya?" ejek Ciok Yan-lim.

"Karena aku manusia," sahut Liu Yok. "Mahluk ciptaan termulia."

Nyonya Liong tiba-tiba menggeliat, tubuhnya yang gemuk itu berubah pelan-pelan, juga wajahnya, juga pakaiannya, semuanya terjadi di bawah cahaya siang bolong dan di depan ratusan mata orang-orang Seng-tin. Berubahlah Nyonya Liong menjadi seorang perempuan muda yang cantik, bertampang perempuan dari kawasan padang pasir dengan hidungnya yang mancung, bermahkota, berpakaian indah seperti ratu, seluruh pakaiannya dikuasai warna merah tua dan ungu.

Pada mantel terluarnya yang berwarna merah darah itu bersulamkan ratusan lambang dari kepercayaan-kepercayaan yang adar di dunia, dari kepercayaan-kepercayaan besar dan luas sampai kepercayaan-kepercayaan suku-suku terpencil yang terbatas pemeluknya. Sosok ratu berjubah merah itu berdiri mengambang di udara.

Pang Se-bun dan juga orang-orang yang pernah masuk ke tempat aula latihan tempat patung "ratu langit" alias "ibu tak berasal-usul" alias "ibu banyak kepercayaan di bumi" alias "pemberi berkah semua tempat siarah dan semua benda keagamaan" dapat segera mengenal bahwa tokoh gaib yang muncul terang-terangan di depan mata telanjang orang orang Seng-tin itu tampangnya persis dengan patung yang ditaruh di bekas aula iatihan silat di rumah almarhum Ciu Koan.

Kemunculannya yang terang-terangan itu sekaligus menyangkal anggapan orang bahwa mahluk gaib jahat selalu muncul hanya malam hari dan tampangnya selalu jelek menyeramkan. Yang muncul melalui Nyonya Liong kali ini muncul di bawah sorot matahari yang terang-benderang, tampangnya juga sangat memikat. Orang-orang Seng-tin gemetar menyaksikan itu.

Dari tengah-tengah udara, mahluk dari alam lain itu memperdengarkan suaranya yang merdu, "Orang-orang Seng-tin, jadilah pengikutku. Akulah yang akan mempersatukan seluruh agama di bumi pada akhir jaman kelak."

Liu Yok berkata, "Jangan menjerat orang. Kalau mau mengajak orang menjadi pengikutmu, jelaskan juga resikonya, supaya orang jangan tertipu!"

Mahluk dari alam lain itu dengan gusar menjawab, "Liu Yok, kau berani memerintahku?"

Jawab Liu Yok tenang, "Ya, aku memerintahmu. Dan berat bagimu kalau tidak mematuhi perintahku, sebab akulah pelaksana hukuman-Nya."

"Liu Yok, mahluk hina yang terbuat dari debu, jangan lupa siapa dirimu! Kau ini cuma anak seorang bajingan busuk bernama Liu Jing-yang, cucu luar seorang bandit yang dibenci banyak orang yang bernama Sebun Him!"

Dicaci sehebat itu, Liu Yok tertawa saja, sadar bahwa dirinya sedang dipancing untuk marah agar "turun ke kawasan alamiah" yang ada di bawah kendali musuhnya ini. Jawabnya, "Liu Yok yang itu sudah tidak ada lagi, kau salah alamat. Sekarang lihatlah siapa yang bersama aku di dalam sini...."

Ketika mengucapkan "di dalam sini" Liu Yok menunjuk dadanya sendiri. Saat itu sang ratu dunia gaib tiba-tiba menutup matanya seolah-olah silau, sambil memalingkan mukanya. Orang-orang Seng-tin ikut memandang Liu YOK dan mereka heran karena dada Liu Yok tak ada apa-apanya, tak ubahnya dada orang lain. Kenapa mahluk gaib itu nampaknya silau dan tak tahan?

Sebenarnya Liu Yok cemas juga. Yang dicemaskan bukan si "ratu langit" melainkan cemas kalau sehabis peristiwa itu lalu orang-orang Seng-tin memuja dan mendewa-dewakan Liu Yok. Untuk itu, Liu Yok juga berkata kepada mahluk gaib itu,

"Dan lihat pula yang ada di dalam Kakak Pang Se-bun, di dalam Paman Tabib Kian, di dalam Siau Hiang-bwe, di dalam Saudara Ho Tong, di dalam Kakak Cu Tong-liang! Pandang itu, kau lihat siapa?"

Dengan perkataan itu, Liu Yok sengaja memperdengarkan kepada warga Seng-tin bahwa kekuasaannya atas mahluk-mahluk gaib bukan karena kehebatan Liu Yok pribadi melainkan karena anugerah yang ia terima, juga yang diterima oleh Pang Se-bun, Ho Tong dan sebagainya tadi. Liu Yok ingin menunjukkan bahwa kuasanya itu bukan karena usahanya sendiri seperti menjalani bertapa atau menyiksa diri atau bersemedi dan sebagainya.

Sementara si ratu dunia gaib itu menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan di tengah-tengah udara. Posisi Liu Yok, Pang Se-bun, Ho Tong dan orang-orang yang disebut tadi kebetulan berpencaran, seperti mengepung Si Ratu Gaib, sehingga ke mana pun Si Ratu Gaib memandang maka ia akan memandang yang berada dalam orang-orang tadi, yang membuatnya silau dan gelisah.

Kata-kata Liu Yok sekaligus juga menyadarkan bahwa dalam diri mereka pun ada yang sama ditakutinya oleh mahluk-mahluk jahat, tak berbeda antara yang di dalam Liu Yok dengan yang di dalam mereka, Pribadi Yang Maha hadir itu.

Liu Yok pun melancarkan "jurus" berikutnya, "Oleh anugerah, kami ditinggikan melebihi semua pemerintahan dan kerajaan gaib di langit. Karena itu, jangan berani-berani lebih tinggi dari kami! Turun!"

Si ratu alam gaib itu pun terhempas ke tanah, dan meneruskan menggeliat-geliat seperti cacing di abu panas. Pengikut-pengikutnya seperti Lui Kong-sim, Yao Kang-beng, Ban Ke-liong dan Ciok Yan-lim mundur dengan menampilkan ketakutan hebat di wajah mereka. Sementara dari antara kerumunan orang-orang Seng-tin, Liu Yok melangkah maju mendekati Nyonya Liong yang sedang "dipinjam raganya" oleh ratu gaib itu.

Mula-mula Liu Yok tampil sendirian, tetapi kemudian ia menoleh ke orang banyak dan berkata kepada mereka, "Saudara-saudara warga Seng-tin yang sudah sekeyakinan denganku, mendekatlah bersamaku. Kerja sama kita akan melipat-gandakan tekanan kita terhadap penguasa-penguasa jahat yang berkumpul di dalam tubuh Nyonya Liong. Penguasa-penguasa jahat yang selama ini sudah menyiksa warga Seng-tin."

Beberapa orang nampak ragu menanggapi ajakan Liu Yok itu, mereka masih terbelenggu pikiran "tidakkah berbahaya kalau manusia sebagai mahluk yang lemah tanpa daya ini menentang penguasa penguasa gaib yang menentukan nasib manusia"? Meski sebagian kecil orang Seng-tin sudah menerima ajaran yang disampaikan Liu Yok, masih saja pikiran lama itu belum terkikis.

Tetapi ada beberapa orang yang ikut melangkah maju meski dengan langkah ragu. Ada Pang Se-bun, lalu Ho Tong, Tabib Kian, Cu Tong-liang, Siau Hiang-bwe, si pemilik warung bubur kacang dan beberapa orang lagi. Bahkan kemudian juga penganut-penganut baru seperti Pang Se-hiong yang baru dua hari menjadi penganut ajaran itu.

Lebih mencengangkan orang-orang ialah ketika munculnya tokoh-tokoh pembawa dan penyebar sekte dari Bukit Buaya Putih seperti Ek Yam-lam, Ciu Bian-li, Bibi Ciu dan bahkan si kecil A-kun, dan orang-orang tercengang ketika melihat Wong Lu-siok sendiri muncul bergabung menuruti anjuran Liu Yok.

Orang-orang itu membentuk lingkaran mengelilingi Nyonya Liong yang sedang gulung-koming dalam wujud "ratu langit" itu. Lalu orang-orang itu mulai saling bergandengan tangan melingkar.

Tindakan sepele seperti bergandengan tangan itu ternyata berakibat hebat kepada si "ratu langit", ia jadi seperti binatang buas, menggunakan raga Nyonya Liong untuk mencoba menerjang keluar lingkaran, mencoba memutuskan lingkaran. Gigi-giginya menyeringai buas dengan ai liur kental berleleran, mata terbelalak lebar. Tampang ayu si "ratu langit" sudah tak tersisa.

Selain sikapnya yang beringas menakutkan, dari mulut Nyonya Liong juga keluar bermacam-macam suara binatang, suara caci-maki dari bahasa yang aneh, bahkan aneh juga bahwa dari mulut yang gigi-giginya terkatup rapat itu bisa keluar suara tambur pasukan yang berangkat berperang.

Orang-orang yang bersama-sama Liu Yok berada dalam lingkaran itu banyak yang menjadi ketakutan melihat keberingasan dan kekalapan mahluk di tengah lingkaran itu, mahluk yang sudah sulit dikenali lagi apakah masih Nyonya Liong atau "ratu langit" atau jenis-jenis mahluk yang banyak bercampur jadi satu.

Dalam keadaan macam itu, beberapa orang sudah hendak kabur terbirit-birit saja. Namun Liu Yok membesarkan hati, "Jangan gentar, amuknya adalah amuk menjelang kekalahan! Hunus pedang dan panah Yang Maha Kuasa dan hujankan kepada musuh!"

Orang-orang masih bingung mendengar seruan Liu Yok itu, dan Liu Yok sendiri sadar bahwa kata-katanya tidak dimengerti oleh teman-temannya, maka Liu Yok menggantinya dengan kata-kata yang dapat dimengerti teman-temannya meskipun artinya sama dengan sebelumnya, "Hujani dengan kata-kata dari hukuman yang tertulis dalam buku, itu akan menyakiti kekuatan-kekuatan jahat itu!"

Lalu Liu Yok memulainya, "Hai penguasa-penguasa gaib, nasib kalian seperti sekam ditiup angin! Kalian dikejutkan dan diburu api merah Yang Maha Kuasa!"

Siau Hiang-bwe mengerti, dia pun sudah sering meminjam dan membaca buku Liu Yok, maka dia pun mengikuti jejak Liu Yok dengan "menembak" penguasa-penguasa gaib itu dengan kata kata dari buku, "Kelaliman dan kekerasan kalian menimpa kepala kalian sendiri!"

Tadi waktu Liu Yok mengucapkan, maka si mahluk gaib dalam lingkaran itu terhempas-hempas dan terombang-ambing, benar-benar seperti sekam dibawa angin. Lalu ketika Siau Hiang-bwe mengucapkannya, si mahluk gaib memegangi kepalanya sambil melolong kesakitan seolah-olah kepalanya ditimpa sesuatu, padahal baik Liu Yok maupun Siau Hiang-bwe tak nampak sedikit pun menyentuh tubuh Nyonya Liong.

Cu Tong-liang yang serba sedikit juga sudah pernah membaca buku Liu Yok, ikut mengucapkannya, meski sekedar meniru Liu Yok dan Siau Hiang-bwe. Wong Lu-siok yang sudah disadarkan Siau Hiang-bwe, tidak ikut bicara, meski tetap dalam lingkaran orang-orang yang bergandengan tangan itu.

Namun sambil melihat peristiwa di depan matanya, Wong Lu-siok melihat bagaimana "ratu langit" yang dulu ia puja-puja, sekarang tak berdaya dihajar Liu Yok dan lain-lainnya dengan ayat-ayat dari kitab suci, yang oleh Liu Yok diistilahkan sebagai "pedang dan panah yang Maha Kuasa".

Setelah sekian lama menghajar mahluk gaib itu, sehingga nampak sosok si mahluk gaib yang meminjam tubuh Nyonya Liong itu terkapar lemas di atas debu. Liu Yok pun menghentikan rentetan kata-katanya.

Si "ratu langit" itu mendesis dan berkata, "He, Wong Lu-siok, kau pernah kuberi kekuatan hebat sehingga memperoleh nama besar sebagai penyihir aliran putih, juga sebagai guru kerohanian yang dihormati orang, kenapa kau berbalik melawanku sekarang? Kembalilah bersekutu denganku, akan kulipat sepuluhkan pemberianku. Kau akan memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa-dewa jaman purba."

Wong Lu-siok menggeleng, "Aku takkan menjual jiwaku lagi. Dulu, orang-orang mengagumiku dan bahkan memujaku, tetapi jiwaku amat tertekan oleh siksaanmu. Sekarang jiwaku terasa bebas, bahagia. Ditawari apa pun aku takkan mau lagi seperti dulu."

Liu Yok menambahkan, "Lagipula kesaktian yang kau tawarkan itu toh tidak dapat membuatmu mampu menahan hukuman-hukuman Yang Maha Kuasa yang kami ucapkan tadi."

Si "ratu langit" kini beralih kepada A-kun, "Anak manis, A-hwe kangen kepadamu lho. Kenapa kau tinggalkan dia? Dia akan mengajakmu ke tempat-tempat yang indah."

Pang Se-bun sebagai ayah A-kun sudah berdesir dadanya, kuatir puterinya salah jawab dan masuk perangkap mahluk jahat itu. Ingat akan yang pernah dikatakan Liu Yok tentang wewenang seorang ayah atas anaknya yang belum dewasa dan belum sempurna kehendaknya, maka Pang Se-bun yang menjawab, "He, mahluk jahat, tidak akan kuserahkan anakku kepadamu."

Mahluk itu kemudian menawarkan kekayaan berlimpah kepada pemilik warung bubur kacang. Si Pemilik Warung Bubur itu sebenarnya sudah lama tidak puas akan tingkat perekonomiannya yang "begitu-begitu saja" dari tahun ke tahun, tawaran si mahluk jahat tentu menggoyahkan jiwanya. Namun mendengar suara dalam hati kecilnya, diperkuat dengan mendengar kesaksian Wong Lu-siok yang mantan "utusan ratu langit" itu, Si Pemilik warung itu pun akhirnya menolak dengan tegas.

Liu Yok bersyukur melihat keteguhan hati orang-orang itu. Lingkaran orang-orang itu jadinya tetap tak terputus. Kata Liu Yok kemudian, "Nah, mahluk jahat, kau sudah mendengar sendiri jawaban mereka. Mereka menjawab dalam keadaan bebas dari tekanan. Dan kau harus menghormati keputusan mereka, jangan sampai kulaksanakan lagi hukuman Yang Maha Kuasa kepada kalian. Aku tahu juga, kau di situ tidak sendiri tetapi dikelilingi hulubalang-hulubalangmu. Aku perintahkan, tunjukkan semua hulubalang bawahanmu!"

Si mahluk jahat meludah-ludah sengit dan menjawab dengan suara parau, "Liu Yok keparat, aku tidak di bawah perintahmu!"

"Kau dibawah perintahku, dan aku mampu memaksamu. Atau kulaksanakan lagi hukuman tadi?"

Mahluk itu meringkuk di tanah, membungkam. Liu Yok habis sabarnya, lalu dia mulai "menembak" lagi dengan kalimat-kalimat hukuman dari bukunya. Siau Hiang-bwe mengikutinya, juga Cu Tong-liang. Si mahluk mulai menggeliat-geliat dan hendak mengamuk seperti tadi, suara bermacam-macam binatang dan bahasa-bahasa aneh kembali berhamburan dari mulutnya yang berliur dan berdebu.

Amuknya makin dahsyat, dan berusaha menerjang keluar dari lingkaran orang-orang yang bergandengan tangan itu. Susah dipahami bahwa lingkaran yang seperti anak-anak bermain itu menimbulkan siksaan hebat kepada mahluk itu, tetapi begitulah kenyataannya. Dan seperti tadi, amukannya tak pernah berhasil memutuskan lingkaran itu.

Liu Yok pun tidak membuang waktu lagi, bentaknya, "Kuperintahkan, tunjukkan seluruh panglima-panglima jahatmu!"

Kejadian selanjutnya membuat orang orang seolah bermimpi. Bahwa Nyonya Liong tadi tiba-tiba mengalami "pengambil-alihan" lalu berubah ujud, begitu pula kini Nyonya Liong berubah-ubah ujud, bukan hanya satu kali melainkan puluhan kali.

Sambil terbanting-banting di tengah-tengah lingkaran, ujud "ratu langit" berangsur menghilang, namun tidak berarti menjadi Nyonya Liong kembali, melainkan ujud-ujud lain. Sebentar jadi seorang berdandan panglima perang jaman kuno, sebentar jadi seperti seorang berpakaian bangsawan negeri asing.

Sebentar berujud bidadari jelita yang dilukis di bangunan-bangunan kuno, sebentar berujud raksasa jelek menakutkan, sebentar berubah jadi hewan seperti ular besar, macan hitam, buaya putih, kura-kura, kelabang besar, atau binatang-binatang aneh seperti singa bersayap, manusia setengah ikan dan sebagainya.

Mengherankan pula bahwa di antara ujud-ujud yang berubah-ubah itu kadang-kadang nampak ujud-ujud "orang suci" yang dimuliakan di berbagai keyakinan. Rupanya itulah hulubalang-hulubalang si "ratu langit" yang dipaksa muncul oleh Liu Yok, dipaksa menampakkan diri melalui perubahan fisik Nyonya Liong.

Melihat ujud-ujud itu, orang-orang Seng-tin dengan rasa ngeri melihat ujud-ujud yang selama ini mereka puja, karena mereka sangka sebagai penolong dan pemberi keberuntungan. Itulah ujud-ujud yang pernah mengilhami Ban Ke-liong untuk membuatkan patung-patung dari porselen. Sementara orang-orang melihat dengan rasa ngeri, Nyonya Liong terus saja bertukar ujud.

Di antara ujud-ujud yang ditampilkan, muncul pula ujud tokoh-tokoh dalam sejarah, raja-raja atau bangsawan-bangsawan berbagai bangsa yang diyakini "keturunan dewa" atau "penjelmaan dewa" yang "turun ke dunia untuk membasmi kejahatan di jamannya".

Kadang Nyonya Liong juga berujud menjadi seperti api yang menyala, gumpalan asap hitam, bahkan lumpur, dan pernah juga menghilang selama beberapa detik. Rupanya itulah semua hulubalang sang ratu langit yang dipaksa ber "parade" menampilkan diri oleh Liu Yok.

Selain ketakutan melihat bermunculannya tokoh-tokoh dari negeri gaib itu, warga Seng-tin sekaligus juga terbuka mata hatinya bahwa tokoh-tokoh gaib itu ternyata bisa dipaksa mematuhi seorang manusia seperti Liu Yok. Manusia yang menyadari anugerah Penciptanya dan menerima anugerah itu dengan yakin.

Setelah penguasa-penguasa gaib itu selesai bergiliran memamerkan ujudnya, akhirnya yang nampak kembali adalah ujud Nyonya Liong. Nyonya gemuk itu nampak berantakan terpuruk di tanah berdebu di tengah-tengah pasar Seng-tin itu, terengah-engah, berkeringat, ingus dan air liurnya tak berhenti mengalir keluar dari hidung dan mulutnya, bercampur darah, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya kusut. Ia nampak begitu kelelahan dan kesakitan.

Liu Yok berkata, "Sudah habis? Sudah menampakkan ujud semua yang bersarang dalam tubuh anak manusia ini?"

Nyonya Liong kelihatan mengangguk lemah. Namun Liu Yok masih mengeluarkan kata-kata untuk mengamankan keputusan-nya, "Kalau masih ada yang bersembunyi dan tadi belum menampakkan diri, maka akan kulepaskan pasukanku untuk mendatangi mereka di tempat persembunyian mereka dan menyeret keluar mereka."

Dari mulut Nyonya Liong terdengar desis lemah, "Sudah semuanya.... sudah semuanya... Liu Yok mahluk keparat, kau menyakiti aku...."

Sahut Liu Yok tenang, "Menjalankan amanat Bapakku memang terdiri dari dua sisi yang nampaknya seolah berlawanan, tetapi ibaratnya dua sisi dari sekeping mata uang. Sisi pertama, kepada mahluk yang sejenis denganku, yaitu manusia, aku adalah pelayan yang harus selembut-lembutnya dan sesabar-sabarnya, sisi ke dua, terhadap mahluk-mahluk jahat seperti kalian yang ribuan tahun menunggangi dan membohongi manusia, seenaknya menentukan nasib manusia, membuat manusia kehilangan keakraban dengan penciptanya.

"Terhadap mahluk-mahluk seperti kalian, kami harus keras sekeras kerasnya, kejam sekejam-kejamnya, seperti tertulis di bukuku bahwa kamilah pelaksana hukuman Yang Maha Kuasa, kamilah pemegang pedangnya. Kalian harus dipaksa melepaskan cengkeraman kalian atas manusia dengan tindakan-tindakan amat keras dari kami."

"Tetapi... banyak manusia mengabdi kepada kami."

"Dan itu memberiku alasan untuk menghajar kalian lebih berat lagi. Sekarang dengarkan, kubelenggu kalian dan kuberi kesempatan Nyonya Liong untuk kembali memilih tanpa jiwanya dipengaruhi, "Mari kita usung Nyonya Liong ke rumahnya. Paman Kian, tolong bawa kotak obatnya, Nyonya Liong memerlukannya."

Dengan menggunakan papan-papan seadanya yang dibuat jadi usungan, Nyonya Liong pun dibawa ke rumahnya. Liu Yok dan lain-lain mengikutinya. Di rumah Nyonya Liong yang hidup sendirian, setelah Nyonya Liong dibaringkan di kamarnya, Liu Yok sekali lagi menanyai Nyonya Liong tentang keputusannya untuk mengabdi kepada kekuatan-kekuatan jahat. Liu Yok mengatakan, kalau Nyonya Liong mau, perjanjian itu bisa dibatalkan dan kekuatan-kekuatan jahat yang gaib takkan bisa menuntut kalau manusianya teguh dengan keputusannya.

Mendengar tawaran Liu Yok itu, Nyonya Liong dengan sorot mata penuh kebencian menatap Liu Yok dan berdesis, "Penguasa-penguasa gaib itu membuat hidupku ada artinya. Orang-orang jadi gentar kepadaku, aku menentukan nasib mereka. Apa yang membuat orang lebih bangga dari itu?"

"Ada yang membuat manusia jauh lebih bangga dari itu, yaitu kalau manusia berada pada posisi yang tepat di hadapan Sang Maha Pencipta. Manusia menjadi mitra dialog-Nya, bertukar isi hati tanpa tirai, mengasihi dan dikasihi. Dan kekuatan-kekuatan yang dijanjikan oleh penguasa-penguasa itu, mana mampu menahan kekuatan Sang Pencipta melalui orang-orang yang menerima anugerahnya? Di pasar tadi buktinya...."

"Aku membencimu, Liu Yok, kau mempermalukan junjungan-junjunganku, kau mempermalukan kerajaan di angkasa. Dengan kehendakku yang bebas saat ini, kunyatakan bahwa aku akan tetap bersekutu dengan penguasa-penguasa gaib itu dan menerima kesaktian-kesaktian dari mereka! Aku tolak usulmu. Dan enyahlah dari sini!"

Liu Yok, Pang Se-bun dan lain-lain pun keluar dari rumah itu dengan hati yang sedih. Tiba di jalanan, Pang Se-bun bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu, kenapa tidak kau gunakan kuasamu untuk memaksa Nyonya Liong tunduk kepada sesembahan yang benar?"

Liu Yok menggeleng, "Berhadapan dengan setan-setan, bagaimanapun kuatnya mereka, kita dilimpahi kuasa tak terbatas oleh Sang Pencipta untuk memaksa mahluk-mahluk gaib itu tunduk. Tetapi kita tidak diberi sedikit pun atas kehendak manusia. Tidak boleh ada pelanggaran sedikit pun terhadap kehendak manusia, bahkan meski untuk tujuan baik. Sang Maha Pencipta yang menciptakan kehendak manusia pun menghormatinya. Tidak ada manusia menjadi penyembah yang terpaksa kepada Sang Pencipta."

"Jadi Nyonya Liong...."

"Mudah-mudahan mau merenung lalu mengubah keputusan. Kalau demikian, bisa tertolong. Kalau tidak mau tertolong, Yang Maha Kuasa sendiri pun takkan bisa menolongnya."

Peristiwa di pasar itu menjadi bahan obrolan warga Seng-tin sampai beberapa hari. Bahkan Liu Yok harus buru-buru meninggalkan Seng-tin untuk menghindarkan Seng-tin dari kesesatan baru, yaitu menyembah Liu Yok. Liu Yok pergi bersama Siau Hiang-bwe dan Cu Tong-liang, dan rombongannya bertambah satu orang, Wong Lu-siok.

Sebelum Liu Yok pergi, Pang Se-bun sempat menyalin seluruh isi buku milik Liu Yok, dan salinan itu menjadi tuntunan bagi Pang Se-bun, Ho Tong dan sebagainya untuk menapaki jalan yang sudah diawali. Hampir setiap sore di rumah Pang Se-bun berkumpullah orang-orang seperti Ho Tong, Ek Yam-lam dan sebagainya untuk membahas salinan buku Liu Yok itu. Jumlah orang yang berkumpul bertambah-tambah terus. Sampai tibalah saatnya Pang Se-bun dan kelompoknya mendapat "pekerjaan rumah" untuk mempraktekkan salinan buku Liu Yok itu.

Suatu pagi, ketika Pang Se-bun sedang membuka papan-papan warungnya, seorang berlari-lari dan berkata, "Kakak Pang, Nyonya Liong..., Nyonya Liong...."

"Kenapa Nyonya Liong? Bikin ulah lagi?" tanya Pang Se-bun. Diam-diam ia merasa agak gentar juga. Liu Yok dan Siau Hiang-bwe sudah pergi dari Seng-tin, kalau sekarang Nyonya Liong kambuh memamerkan ilmu gaibnya yang dahsyat, siapa bisa menanggulanginya? Namun ketika ia berpikir begitu, ia merasa bersalah dalam hati. Bersalah karena ia telah membuat Liu Yok jadi andalan, padahal itu salah menurut Liu Yok sendiri.

"Nyonya Liong..., meninggal dunia...."

Nyonya Liong memang tidak berkeluarga lagi, jadi kalau terjadi apa-apa, warga Seng-tin yang mengurusnya bersama-sama. Pang Se-bun sedih juga mendengar Nyonya Liong meninggal dunia selagi masih dalam ikatannya dengan kekuatan-kekuatan hitam di alam gaib. Ia termenung sesaat, lalu berkata,

"Kalau meninggal, ya tetangga-tetangga mengurusnya. Biayanya ditanggung seluruh warga kota besama...."

"Tak ada yang berani menyentuh mayatnya, Kakak Pang, sebab kata tetangga-tetangganya semalam ada kejadian aneh...."

Pang Se-bun berdebar, "Kejadian apa lagi?"

"Mari kita dengarkan saja."

Pang Se-bun terpaksa menuju ke rumah Nyonya Liong, ketika ketemu Ho Tong sedang membeli sesuatu di warung, Ho Tong diajaknya sekalian. Di rumah Nyonya Liong sudah banyak tetangga berkerumun, tetapi semuanya di luar pintu, tak ada yang berani masuk ke dalam.

"Di mana jenazah Nyonya Liong?" tanya Pang Se-bun ketika datang.

"Di dalam."

"Kenapa tidak segera diurus?"

"Kami takut kena apa-apa."

"Lho, kena apa-apa bagaimana?"

"Soalnya semalam ada kejadian seram."

"Kejadian seram bagaimana?"

Seorang tetangga yang rumahnya berseberangan dengan rumah Nyonya Liong lalu bercerita, "Semalam anjing-anjing di gang ini melolong semalam-malaman. Aku bangun dan hendak memeriksa di luar kalau-kalau ada orang jahat. Begitu kujenguk keluar, kulihat dari dalam kabut muncul sebuah kereta yang berhenti di depan rumah Nyonya Liong...."

"Kereta?" Pang Se-bun heran, sebab tak seorang pun penduduk Seng-tin yang punya kereta. Paling-paling joli.

"Ya, kereta beroda empat dan berwarna hitam seluruhnya. Dua ekor kuda yang menariknya juga berbulu hitam, saisnya juga berjubah hitam dan sepasang matanya seperti mata kucing di malam hari. Lalu kulihat Nyonya Liong juga dalam pakaian hitam keluar dari rumah itu, naik ke dalam kereta itu, lalu pergilah keretanya. Aku heran, kutanya Nyonya Liong, hendak ke mana malam-malam, tetapi ia tidak menjawab."

Beberapa tetangga lain memperkuat cerita orang itu. Pang Se-bun menarik napas, "Nyonya Liong sudah memilih pilihannya sendiri dengan segala akibatnya. Sekarang kita urus jenazahnya selayaknya manusia."

"Tetapi...."

Pang Se-bun tahu apa yang hendak diucapkan orang itu, dan ia menukasnya, "Kita mengandalkan perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan takkan terjadi apa-apa. Ayo."

Selain meninggalnya Nyonya Liong, warga Seng-tin juga mendengar kalau Lui Kong-sim, Ban Ke-liong serta Ciok Yan-lim pergi dari Seng-tin dan tak ada yang tahu ke mana mereka bertiga. Sedangkan Yao Kang-beng tetap di Seng-tin. Tetapi ia punya kebiasaan aneh. Ia jadi suka berdandan seperti perempuan, memakai gincu dan pupur segala, dan entah bagaimana datangnya keahlian, tahu-tahu ia bisa menirukan "tarian langit" padahal tidak pernah berlatih sebelumnya.

Menghadapi hal-hal seperti itu, Pang Se-bun selalu membesarkan hati orang-orang yang sering beribadah bersama di rumahnya, "Ini tugas kita, saudara-saudara. Yang bersama kita sama dengan yang bersama Saudara Liu Yok. Dengan berdoa dan menelaah salinan buku Saudara Liu, suatu kali kita pun akan dapat memulihkan Saudara Yao. Jangan putus harapan..."

TAMAT

Serial selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.