Dewi Lintah
DUA EKOR KUDA seperti saling berpa-cu dengan cepat mendaki perbukitan itu. Kuda-kuda mereka bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan. Dapat dilihat cara berlarinya yang tangkas. Juga kedua penunggangnya bukanlah orang-orang biasa. Karena mereka juga merupakan para penunggang kuda yang gesit dan tangkas.
Yang seorang berpakaian kain kasar berwarna biru dengan sebuah pedang berada dipunggung. Dia seorang laki-laki muda yang tampan berkumis kecil. Rambutnya tergelung diatas kepala terikat sehelai kain warna kuning. Sedangkan yang seorang lagi ternyata seorang gadis berpakaian sutera merah kembang-kembang. Rambutnya terikat menjadi dua yang masing-masing bagian terikat sebuah pita warna putih.
Gadis ini juga menyoren pedang di punggungnya. Nyatalah kalau mereka orang-orang kaum persilatan. Dapat dilihat dari cara mereka berpakaian serta kelincahan-nya menunggang kuda. Walau bagaimanapun si gadis ternya-ta kalah lincah dan kalah cepat mendaki. Karena kuda hitam pemuda baju biru itu telah lebih dulu tiba diatas bukit.
"Hahaha.... kau kalah adik SRIGATI! Kudamu larinya seperti keong, mana mampu mengungguli kudaku?" teriak pemuda ini.
"Huh! Kau curang kakang BAYU! Kalau kau tak berlaku licik memotong jalan, tentu aku yang lebih dulu sampai diatas bukit!" berkata gadis ini dengan wajah merah dan napas terengah-engah. Dia baru saja tiba diatas bukit sepeminuman teh setelah pemuda itu terlebih dulu tiba.
"Hahaha... bukankah dalam pertandingan adu kecepatan ini tak ada larangan apa-apa. Kalau aku memotong jalan itu adalah karena kecerdikanku!" berkata si pemuda dengan tertawa.
"Tapi... tapi maksudku kita harus mengambil jalan lurus!" tergagap si gadis wajah semakin memerah seperti mau menangis.
"Ya ya, sudahlah! Aku anggap pertandingan kita kali ini berlangsung seri!" cepat-cepat si pemuda memotong bicara. Agaknya dia kenal situasi. Kalau si gadis dihadapannya suka ngambek, sukar untuk membujuknya.
"Huh! siapa mau begitu? kalau aku kalah, ya kalah!" berkata ketus si gadis. Membuat si pemuda jadi garuk-garuk kepala serba salah.
"Haiiih! sudahlah adik manis, nanti dilain waktu bila kita mengadakan pertandingan adu cepat lagi, aku berjanji tak akan berlaku curang!" membujuk si pemuda.
"Huh! aku tak akan mengadakan pertandingan lagi. Hari ini adalah hari yang terakhir kali!" sahut si gadis cepat. Srigati sudah dapat menduga bahwa bila kelak diadakan pertandingan lagi, tentu Bayu akan sengaja membiarkan dia menang dengan pura-pura kalah. Makanya dia menolak dan memutuskan tak akan mengadakan pertandingan lagi.
Pernyataan Srigati membuat Bayunanta semakin serba salah. Hatinya berkata "Wah kalau sudah begini, serba berabe!" Lag-lagi dia garuk-garuk kepala. Diam-diam dia menyesali mengapa tak sengaja membuat kekalahan tadi?
"Yah, sudahlah!" berkata Bayunanta dengan menghela napas. "Eh, adik Srigati! Dibawah bimbingan guru barumu tentu ilmu silatmu semakin maju pesat! Coba tunjukkan padaku jurus-jurus barumu yang kau peroleh dari Ki Ageng Sepuh itu!" berkata Bayunanta mengalihkan pembicaraan.
Srigati masih cemberut. Tapi mendengar kata-kata Bayunanta, dia menoleh dan melompat turun dari atas kuda. "Jangan kau memperolokkan aku, kakang Bayu! Kutahu, ilmu silatmu lebih tinggi dariku. Kau lebih hebat dalam permainan ilmu pedang. Apalagi kau dibimbing oleh ayahmu sendiri yang sudah punya nama besar dikalangan kaum persilatan. Siapa yang tak kenal dengan julukan ayahmu si Pedang Malaikat?"
"Ah, kau terlalu berprasangka buruk, adik Srigati! Juga kau terlalu menyanjung nama besar ayahku tapi aku tahu betul siapa Ki Ageng Sepuh. Dia bekas orang Istana yang telah mengundurkan diri dari Kerajaan. Menurut ayahku ilmu kedigjayaan gurumu itu amat tinggi, karena dia bekas hulubalang Kerajaan. Sungguh ayahmu Adipati. UMBUL WILAYA tak menyia-nyiakan kesempatan mengundang beliau untuk menjadikan kau sebagai muridnya!" berkata Bayunanta dengan melompat turun dari kudanya.
Srigati tersenyum. Sikap merendah Bayunanta telah merubah wajah cemberut Srigati menjadi cerah. "Ah, aku baru mempelajari lima jurus ilmu pedang. Aku akan perlihatkan padamu jurus-jurus itu. Tapi kuharap kau tidak mencelanya!" berkata Srigati.
"Bagus! segeralah kau perlihatkan!"
"Baik!" Srigati tarik keluar pedangnya dari belakang punggung. Bayunanta melangkah mundur, lalu melompat keatas batu dan duduk disana.
Srigati berkelebat melompat agak menjauh dari kedua ekor kuda tunggangan mereka. Tak lama dia telah memasang kuda-kuda dan mengkonsentrasikan diri untuk memulai jurus-jurus yang akan dimainkannya.
"Ini jurus Badai Menyerbu Bukit!" teriak Srigati. Mendadak tubuhnya mencelat dua tombak keudara. Dalam keadaan melambung itu pedangnya berkelebatan menabas angin beberapa kali menimbulkan suara bersiutan serta kilatan-kilatan cahaya berkredepan.
Gerakan ini dibarengi dengan teriakan keras yang menggetarkan udara. Ketika tubuhnya meluncur kebumi mendadak dia letikkan lagi tubuhnya. Kini kedua belah lengannya mengembang. Pedangnya kembali menabas dengan gerakan-gerakan menyilang. Hebat serangan ini karena pedangnya telah berubah menjadi seperti berpuluh-puluh banyaknya. Srigati melakukan dua kali salto lagi diudara, lalu berdiri tegak ditanah dengan kuda-kuda kokoh.
"Yang barusan adalah jurus "Elang Bayangan!" berkata, Srigati.
"Ah hebat! kedua jurus itu baru aku pernah melihatnya. Serangan-serangannya amat luar biasa!" ujar Bayunanta dengan kagum.
Srigati tak mendengarkan pujian itu tapi telah mulai meneruskan jurus-jurus selanjutnya. Demikianlah hingga sampai selesai mempertunjukkan kelima jurus ilmu pedang itu barulah Srigati berhenti. Jurus yang terakhir itu membuat mulut si pemuda tak hentinya memuji.
"Hebat! hebat! Sungguh luar biasa kelima jurus ilmu pedang itu, adik Srigati. Sudah kuduga Ki Ageng Sepuh seorang yang berilmu tinggi!"
Baru saja selesai Bayunanta bicara mendadak berkelebat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri sesosok tubuh, seorang kakek tua berambut putih tergelung rapih. Kakek ini berpakaian jubah warna putih sewarna dengan rambut dan jenggotnya.
"Wah, wah, wah! pujian itu sungguh berlebihan sekali. Aku si tua renta ini merasa ilmuku tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehebatan serta nama besar si Pedang Malaikat!"
Tentu saja membuat Bayunanta terkejut. Akan tetapi Srigati berteriak girang. "Guru....!" teriaknya dengan melompat menghampiri. Lalu dengan wajah berse-ri dia menjura menghormat. "Guru, ada apakah kau menyusulku kemari?" tanya Srigati.
"Hehehe.... anak bengal! Ayahmu mencari-carimu sejak pagi tadi. Aku sudah menduga kalau kau akan ketempat ini. Makanya aku menyusul kesini!" sahut Ki Ageng Sepuh dengan tersenyum.
Adapun Bayunanta segera mengetahui siapa adanya orang tua itu. Diapun segera menjura, dan berkata. "Selamat berjumpa Ki Ageng! Sungguh aku merasa malu nama ayahku selalu disanjung-sanjung. Padahal menurut kenyataan-nya ilmu Ki Ageng dibandingkan ayahku tidaklah dibawah ayahku!"
"Hehehe.... sudahlah! Mengapa harus saling memperebutkan tinggi rendahnya ilmu? Ilmu itu tak ada habisnya. Diatas langit masih ada langit! Tinggi rendahnya ilmu tak ada artinya kalau si pemilik ilmu itu tak dapat mempergunakannya di jalan kebaikan. Aku tidak menyanjung ayahmu, raden can bagus! Tapi kehebatan ilmu pedang Malaikat memang telah diakui oleh dunia persilatan! Dan kau sebagai pewarisnya tentu saja akan sehebat ayahmu!" berkata Ki Ageng Sepuh dengan tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Terima kasih atas pujianmu, Ki Ageng! Oh, ya apakah kedatanganmu untuk menjemput adik Srigati?" bertanya Bayunanta, yang tak dapat membantah lagi kata-kata orang tua itu.
"Benar, raden cah bagus. Hm, apakah raden yang bernama Bayunanta?"
"Tidak salah, Ki Ageng!" sahut Bayunanta dengan hati agak tergetar. Tatapan laki-laki tua itu amat tajam seperti begitu berpengaruh, hingga diam-diam pemuda ini terkejut.
"Guru, apakah aku harus pulang sekarang?" tiba-tiba Srigati berkata Ki Ageng Sepuh menoleh. "Sebenarnya tak perlu terburu-buru. Beliau sudah menitahkan aku untuk mencarimu dan Kau bisa menghadap nanti sore!" menyahut Ki Ageng Sepuh.
"Hm, maaf, raden cah bagus...." berkata laki-laki tua ini seraya menoleh pada Bayunanta. Tapi cepat-cepat pemuda ini memotong.
"Harap anda tak menggunakan kata raden, Ki Ageng!"
"Ya, ya, ya baiklah! Begini nak Bayunanta, ada sedikit pesan dari Kanjeng Adipati, yaitu...." Agak ragu-ragu Ki Ageng Sepuh meneruskan bicara.
"Katakanlah, Ki Ageng mengapa kau ragu-ragu?"
Tampak Ki Ageng Sepuh termenung sejenak, lalu memalingkan wajahnya menatap Srigati, kemudian menghela napas. "Begini sajalah! besok pagi aku akan mengunjungi tempat kediamanmu, sekalian aku ingin bertemu muka dengan ayahmu Tumenggung Ki GELAGAH!" berkata Ki Ageng Sepuh. Tampaknya dia enggan memberitahu apa pesan Adipati Umbul Wilaya pada Bayu-nanta.
"Baiklah kalau begitu, Ki Ageng! Oh, ya agaknya aku tak dapat berlama-lama lagi. Aku akan segera kembali pulang!" sahut Bayunanta, seraya menjura dan meminta diri. Kemudian mengangguk sekali pada Srigati. Gadis itu membalas dengan anggukan.
Ki Ageng Sepuh menghela napas, lalu ujarnya. "Baiklah, semoga kau tak berkecil hati, nak Bayunanta. Dan sampaikan salamku pada ayahmu...!" ujar orang tua ini.
"Baiklah, Ki Ageng!" selesai mengucap, Bayunanta bergerak melompat keatas kuda. Tak lama dia telah membedal kudanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Dalam perjalanan pulang Bayunanta tak habis pikir memikirkan apa-apa yang akan dikatakan Ki Ageng Sepuh itu. "Pesan apakah yang akan disampaikannya dari Adipati Umbul Wilaya padaku?" bergumam Bayunanta.
Sementara kudanya dipacunya semakin cepat. Tapi setelah melewati bukit itu dia memperlambat lari kudanya. Yang diingatnya masih Ki Ageng Sepuh. Sikapnya ketika berbicara beberapa kali melirik pada Srigati. Hal itulah yang menjadi buah pikirannya.
"Apakah Adipati melarang aku ber-gaul dengan anak gadisnya?" desah pemuda ini sambil menyeka keringat. Bayunanta memang menyadari - siapa diri-nya. Walau-pun dia anak seorang tokoh persilatan yang bernama besar, dan berpangkat Tumenggung, namun kepangkatan ayahnya diba-wah Adipati UMBUL WILAYA.
"Apakah aku dipandang rendah untuk bergaul dengan Srigati? Ataukah ayahnya mempunyai soalan dengan Adipati Umbul Wilaya?" berkata dalam hati Bayunanta menduga-duga. Tapi tidak bisa memastikan dugaannya benar atau salah. Demikianlah, dengan hati masygul dan benak penuh dengan bermacam pertanyaan dia menjalankan kudanya dengan tanpa semangat.
"Hm, sebaiknya aku bersabar menanti kedatangan Ki Ageng Sepuh besok pagi. Semuanya akan menjadi jelas dan terang! Mengapa aku banyak memikir yang tidak-tidak?" bergumam pemuda ini.
Memikirkan demikian Bayunanta segera keprak tali kekang kudanya dan membedalnya untuk kembali berlari cepat. Sebentar saja dia telah jauh meninggalkan bukit dibelakangnya.
Akan tetapi dipersimpangan jalan dia berhenti. Agak segan dia untuk mengambil jalan pulang kerumah. Akhirnya dia memutuskan untuk membelok kekanan. Jalan ini adalah jalan yang menuju ke Kota Raja. Kuda hitam yang ditunggangi Bayunanta berlari cepat melintas dijalan sepi itu. Ternyata dia tak terus menuju ke Kota Raja, melainkan singgah ke sebuah desa yang cukup ramai.
Itulah desa Manunggal yang letaknya tak jauh dari Kota Raja. Sebuah desa yang cukup ramai oleh kepada-tan penduduk. Bayunanta belokkan kudanya kesebuah restoran sederhana ditepi jalan. Restoran itu berada ditengah desa, yang menjadi pusat keramaian.
Setelah tambatkan kudanya, dengan langkah lebar dia bertindak memasuki restauran yang sekaligus tempat penginapan. Seorang pelayan menyambut ramah dan mempersilahkan duduk. Mata Bayunanta memutari ruangan. Tampak didalam ruangan itu beberapa tetamu yang sedang bersantap.
Ternyata restoran itu cukup terkenal, hingga bukan rakyat biasa saja yang men-jadi tamunya, melainkan juga orang-orang Kerajaan banyak yang berkunjung kesitu. Disudut kanan ruangan terlihat empat orang perwira Kerajaan duduk santai menghadapi meja makan. Tampaknya mereka baru selesai makan. Karena diantaranya ada yang duduk menyelonjorkan kakinya diatas meja dengan mulut sebentar-sebentar menghembuskan asap rokok.
Sementara yang lainnya bercakap-cakap. Piring-piring nasi dan gelas diatas meja sudah kosong. Beberapa bangku sudah terisi pula dengan tetamu lainnya. Cuma meja disudut kiri itulah yang kosong. Bayunanta cuma melirik sekilas pada keempat perwira itu, lalu dengan langkah lebar beranjak menuju kemeja disudut sebelah kiri ruangan. Seorang pelayan buru-buru menghampiri.
"Pesan apa, den?" tanya si pelayan ramah dengan membungkuk-bungkuk.
"Hm, buatkan aku teh kental saja, tak usah diberi gula. Dan beri aku se-mangkok bubur hangat!" berkata Bayunanta datar.
Empat perwira itu melihat kedatan-gan Bayunanta masing-masing menatapkan matanya dengan wajah sinis. Dan terdengar mereka saling berbisik.
"Ssssst, kalian tahu, siapakah yang baru datang ini? Dialah anaknya Tumenggung; Ki Gelagah yang punya gelar si Pedang Malaikat!"
"Ya, ya! aku tahu. Bukankah dia bernama Bayunanta? tapi khabarnya dia bukan....."
"Ssssst! kalau sudah tahu, ya sudahlah! Jangan bicara disini, nanti dia dengar!" berkata lawannya mencolek lengan perwira ini memotong bicaranya.
Seorang perwira berkumis tebal bangkit berdiri dan menggebrak meja hingga semua orang menoleh. "Pelayan!" teriaknya keras. Lagak orang ini angkuh. Gebrakan pada meja itu tak begitu keras, tapi karena saat itu sedang dalam keadaan sepi membuat para tetamu menoleh.
Mereka memang sudah mengetahui siapa adanya empat perwira Kerajaan itu yang sering datang ke restoran itu. Sikap mereka rata-rata angkuh. Memang begitulah sikap kebanyakan para petugas Kerajaan. Merasa dirinya lebih dari orang lain.
Akan tetapi akibat gebrakan pada meja itu membuat sisa air dalam gelas memuncrat. Dan anehnya puncratan air itu justru kearah Bayunanta. Hingga membuat basah pakaian pemuda itu. Seperti tak tahu apa yang terjadi kembali dia berteriak kendati dilihatnya pelayan telah berjalan cepat menghampiri.
"Berapa semua harga makanan ini!" berkata si kumis tebal. Si pelayan segera menghitungnya. Lalu sahutnya.
"Jadi ng... lima belas ketip, den!"
Si kumis tebal merogoh sakunya, lalu mengeluarkan uang receh dengan menguras semua isi saku. "Nih! sisanya untukmu!" katanya dengan nada sombong.
Si pelayan segera menghitung. Tapi setelah dihitung ternyata cuma ada lima ketip. "Ku... kurang den!" ucapnya gagap.
"Apa?" bentak si kumis tebal.
PLAK! Satu tamparan keras melayang mengenai pipi si pelayan hingga laki-laki ini terhuyung dan mengaduh kesakitan. Uang ditangannya bergemerincing berjatuhan ke lantai. Laki-laki pelayan ini meringis memegangi pipinya yang memerah membekas lima jari tangan.
"Kau sungguh membuat malu aku! Sudah ku persen masih bilang kurang!" membentak lagi si kumis tebal. Dia sudah beranjak melangkah lagi. Sebelah lengannya diulurkan untuk menjambak rambut si pelayan muda itu. Tapi pada saat itu seorang laki-laki gendut cepat-cepat menghampiri seraya buru-buru menarik si pelayan. Lalu membungkuk-bungkuk dihadapan si kumis tebal.
"Maafkan dia, den. Pelayanku ini orang baru, harap anda memaklumi kesalahannya!" berkata si laki-laki gendut yang ternyata adalah si pemilik restoran.
"Haiih! kau mengapa bikin malu tetamu kita? Kau memang tak becus jadi pelayan. Sana, kau kerja didapur saja!" berkata marah si pemilik restoran.
Si pelayan yang masih menyeringai memegangi sebelah pipinya yang sembab, terbungkuk-bungkuk didepan si majikan. "Maafkan aku, juragan!" ujarnya. Lalu buru-buru beranjak keruang belakang. Namun masih sempat sekilas dia melirik pada si kumis tebal dan kawan-kawannya.
Laki-laki gendut itu memunguti sisa kepingan uang yang berserakan dilantai, lalu menjura didepan si kumis tebal yang masih bertolak pinggang. Wajahnya tampak merah padam. "Sekali lagi hamba mohon maaf atas ketololan pelayan hamba, raden!" berkata si laki-laki gendut.
"Hm, lain kali aku tak ingin hal ini terulang lagi!" berkata keren perwira berbadan kekar ini. Lalu menoleh pada ketiga kawannya, memberi isyarat untuk segera angkat kaki. Setelah merapihkan baju dan membetulkan letak pedangnya, si perwira berkumis tebal itu melangkah lebar keluar dari ruangan restoran itu diikuti ketiga kawannya. Bayunanta mengikuti den-gan pandangan matanya.
SI PELAYAN muda yang nasibnya sial kena tampar tadi ternyata tengah asik mengupas pisang dan memakannya tanpa memikirkan rasa sakit pada pipinya lagi. Dari ruang dalam dia melihat si kumis tebal dan kawan-kawannya melangkah ke luar restoran.
Mendadak dia menelan sisa pisangnya cepat-cepat, tiba-tiba kulit pisang itu melesat dari tangannya, dan meluncur jatuh tepat di depan kaki si kumis tebal yang tengah melangkah lebar.
Detik itu jugalah terdengar suara teriakan kaget si kumis tebal, diiringi suara berdebuk tubuhnya yang jatuh. Ternyata kakinya telah menginjak kulit pisang, hingga terpeleset.
"Keparat!" memaki si kumis tebal dengan wajah merah padam. Tentu saja kejadian lucu itu membuat para tetamu yang melihat tak dapat menahan tertawanya. Sementara si pelayan tadi sembunyi dibalik pintu dengan menahan tawa.
Pada saat itu pelayan yang seorang lagi telah selesai menyiapkan makanan pesanan Bayunanta, dan baru saja mau membawanya untuk dihidangkan. Akan tetapi mendengar suara mengaduh dan suara orang jatuh berdebuk, dia berhenti untuk melihat. Pelayan inipun terguncang-guncang menahan tertawa. Tadi dia telah melihat kawannya kena tampar dan dia memang sangat sebal pada perwira yang sombong itu. Dalam hati dia mengutuk. "Rasakan! Itulah akibat kesombonganmu!"
Akan tetapi karena gelinya nampan yang dipegangnya terguncang-guncang dan bubur panas serta air teh kental diatas nampan terguncang-guncang nyaris tumpah. Si pelayan ini cepat sadar. Tapi baru saja dia menenangkan diri mendadak mangkok berisi bubur panas itu melayang "terbang".
Pada saat itulah si perwira berkumis tebal itu baru saja mau merangkak bangun. Tapi mendadak...
PLOK!
Mangkok berisi bubur panas itu telah hinggap dimukanya, Tentu saja laki-laki perwira Kerajaan ini menjerit kaget dan meraung-raung kepanasan. Seketika gemparlah keadaan didalam restoran itu. Sementara si pelayan pembawa nampan itu cepat-cepat menghilang. Tiga orang kawan si perwira berkumis tebal itu men-cabut pedangnya.
Seperti sudah dapat menduga siapa yang melakukan perbuatan itu mereka berpaling pada Bayunanta yang masih duduk dikursinya. Tapi dia keheranan dengan kejadian aneh itu. Walau demikian matanya yang tajam dapat melihat gerakan sebuah lengan dibalik pintu. Dia menduga orang dibalik pintu itulah yang telah melakukan perbuatan itu. Tahu-tahu tiga orang perwira kerajaan itu telah melompat kehadapannya. Salah seorang membentak keras.
"Ini pasti ulahmu! Rupanya kau mencari gara-gara dengan kami?"
Bayunanta naikkan alisnya menatap mereka tak mengerti. "He? mengapa kalian menuduhku? Aku tak merasa telah melakukan apa-apa!"
"Sudah jelas kau yang memesan bubur panas tadi, kalau bukan kau siapa lagi?" bentak perwira Kerajaan bertubuh pendek kekar berkulit hitam itu. Dialah yang bernama Kala Murti.
"Hm, sejak tadi pesananku belum datang, dari mana kau bisa menuduhku seenaknya?" bela Bayunanta dengan tenang.
Ketiga orang ini saling pandang, tapi salah seorang telah membentak dengan suara keras "Bocah sombong! Apakah karena mengandalkan nama besar ayahmu yang punya julukan si Pedang Malaikat lantas kau bisa berbuat seenaknya membuat malu kami? Heh! ketahuilah bocah sombong! Tak lama lagi ayahmu bakal dipecat dari jabatannya! Kami telah mengetahuinya dari orang dalam! Dan ketahuilah, kau sebenarnya...."
Belum lagi habis kata-kata perwira ini mendadak dia menjerit ngeri. Darah memuncrat diudara, dan tubuh laki-laki ini ambruk kelantai. Bukan main terperanjatnya kedua perwira Kerajaan ini melihat temannya setelah berkelojotan, sesaat kemudian terkapar tak bernyawa lagi. Kematiannya amat mengerikan dan aneh, karena dari lehernya sampai dada tertera lima guratan memanjang yang merobek kulit dan daging laki-laki perwira ini.
Bukan saja kedua perwira ini saja yang terkejut, karena Bayunanta juga kaget karena sekelebat dia melihat bayangan kuning, disertai bersyiurnya angin. Tahu-tahu si perwira congkak itu roboh.
"Keparrat!" membentak Kala Murti dengan bringas. Tiba-tiba kedua perwira itu menerjangnya dengan tabasan pedang kearah Bayunanta. Namun sebelum mengenai sasaran, mendadak terdengar suara.
Trang! Trang!
Pedang mereka terlepas, dan detik itu juga terdengar teriakan parau menyayat hati ketika sebuah bayangan kuning berkelebat. Dan, robohlah kedua perwira Kerajaan itu dengan memuncratkan darah berhamburan diudara.
Kedua laki-laki perwira yang naas itu bernasib sama tak berbeda dengan kematian kawannya. Tampak guratan memanjang dileher mereka. Bayunanta telah melompat dari tempat duduknya. Matanya membelalak menyaksikan semua kejadian itu yang berlangsung dalam beberapa kejap.
Seketika para pengunjung restoran itu bubar berlarian ketakutan, bahkan ada wanita yang menjerit-jerit karena ngeri melihat darah. Saat itu juga tiba-tiba Bayunanta berkelebat keluar dari sebuah jendela diruangan itu. Matanya yang tajam dapat melihat bayangan sesosok tubuh yang berkelebat. Tak salah! Dialah si pelaku kejadian itu!
Bayangan kuning itu berkelebat cepat memasuki hutan kecil disisi desa itu. Bayunanta tak ayal segera berkelebat mengejar. Sementara itu didalam restoran keadaan bertambah panik si perwira kumis tebal yang baru saja berhenti meraung-raung setelah membersihkan mukanya dari bubur panas yang menutupi matanya. Dia mendengar suara jeritan beberapa kali membuat terkejut.
Ketika matanya telah dapat melihat lagi, dia putarkan tubuh untuk melihat apa yang telah terjadi. Mendadak dia telah diterjang oleh belasan pengunjung restoran yang berlarian dengan serabutan keluar. Hingga dia jatuh terjengkang, jadilah dia korban injakan kaki.
Ketika dia perlahan-lahan bangkit duduk dengan seluruh tubuhnya terasa sakit, dilihatnya restoran itu telah sepi tak ada sepotong manusiapun. Tiba-tiba matanya terbelalak lebar ketika pandangannya terbentur pada tiga sosok tubuh kawannya yang berkaparan tak berkutik. Darah berceceran dilantai. Keadaan disekitar ruangan itu porak-poranda. Bangku dan meja bergelimpangan.
"Hah!? apa yang telah terjadi?" tersentak si kumis tebal. Sekejap dia telah melompat untuk memeriksa. Bukan kepalang terkejutnya si perwira kumis tebal ini melihat ketiga perwira kawannya telah tewas dengan luka yang mengerikan. Leher mereka sobek-sobek bagai disayat-sayat pisau.
"Celaka, aku harus segera melaporkan kejadian ini!" berkata dalam hati si kumis tebal dengan wajah pucat tak berdarah.
Sekejap dia telah melompat keluar ruangan. Dilihatnya seekor kuda tertambat dipagar halaman. Tak berayal dia segera lepaskan tali pengikat, dan sekali gerakkan tubuh dia telah melompat kepunggung binatang itu. Detik berikutnya perwira ini telah membedal kudanya dengan cepat meninggalkan tempat itu bagai dikejar hantu.
SOSOK TUBUH BERBAJU KUNING itu berkelebat cepat sekali melintasi hutan kecil itu. Sementara Bayunanta mengejar dibelakangnya. Namun dia merasa kalah cepat dalam hal ilmu meringankan tubuh, hingga sebentar saja bayangan orang yang dikejarnya lenyap tak ketahuan ke mana arahnya.
"Ah, sayang sekali aku tak dapat menyusulnya! Siapakah dia sebenarnya? Mengapa dia menolongku?" bergumam pemuda ini. Dia telah berhenti mengejar dan duduk di atas dahan pohon yang rebah.
Diam-diam dia merasa masygul sekali, tapi juga heran, karena si penolongnya itu justru tak mau bertemu muka dengannya. Akan tetapi Bayunanta tak menyadari kalau pada saat itu si baju kuning justru tengah mengintainya.
Dia seorang wanita yang berwajah cantik, berpakaian warna kuning. Rambutnya tergelung di atas kepala terhias sebuah tusuk konde berkepala kuning, "Dia tak boleh tahu siapa aku, akan tetapi aku juga tak ingin dia hidup terlalu lama. Saat ini belum waktunya aku membunuhnya!" berdesis wanita ini. Perlahan dia menyelinap lagi ke balik semak, lalu berkelebat lenyap.
Setelah termangu beberapa saat, akhirnya Bayunanta bangkit berdiri. "Sebaiknya aku pulang saja! Ah, peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang. Tiga Perwira Kerajaan yang masih hidup itu pasti akan melaporkan kejadian ini. Hm, baru kuingat si perwira berkumis tebal itu bernama KEN SUTA! Huh! perwira yang sombong! Suatu saat bila bertemu lagi akan kubalas penghihaannya! membathin Bayunanta.
Saat itu dia teringat ketika Ken Suta menggebrak meja yang mengakibatkan sisa air dalam gelas di meja Ken Suta memuncrat dan membasahi bajunya. Dia tahu perbuatan itu dilakukan dengan sengaja.
Dari gerakan itu dia dapat menerka Ken Suta seorang yang berkepandaian tinggi. Dia memang pernah bertemu laki-laki itu satu kali ketika beberapa pekan yang lalu dua orang perwira Kerajaan menghadap ayahnya. Salah seorang menunggu di luar.
Sikapnya angkuh. Mereka adalah dua orang utusan Senapati MARUTO, yang datang ke ketumenggungan untuk menyampaikan sepucuk surat pada ayahnya. Perwira-perwira itu memang merupakan kepala-kepala prajurit. Entah urusan apa dia tak mengetahui.
Perwira yang seorang bersikap ramah yang menanyakan ayahnya. Pada waktu itu ayahnya Tumenggung Ki Gelagah sedang kurang sehat. Surat itu diberikan pada dia, Bayunanta sempat menanyakan nama perwira yang berdiri di luar tak mau turut masuk dan bersikap angkuh itu.
Perwira itu pun memberitahu serta memperkenalkan namanya sendiri. Yang membuat Bayunanta merasa aneh lagi adalah bisik-bisik empat perwira Kerajaan itu yang sedikit didengarnya. Serta kalimat yang terputus dari salah seorang perwira yang membentaknya, karena sebelum selesai ucapannya perwira itu telah menjerit keras dan terjungkal roboh. Juga kata-kata seorang perwira yang mengatakan bahwa ayahnya tak lama lagi bakal dipecat dari jabatannya.
"Ada kesalahan apakah ayahku?" berkata Bayunanta dalam hati. Berdenyut-denyut kepala Bayunanta memikirkan persoalan-persoalan ganjil di benaknya. Belum lagi memikirkan "pesan" Adipati UMBUL WILAYA yang diperuntukkannya. Lalu ada lagi yang lebih aneh. Yaitu siapa adanya pelayan dogol yang kena tampar itu? Menurut pemikirannya si pelayan dogol itulah yang telah mengerjai Ken Suta dengan melempar kulit pisang dan menumpahkan bubur panas ke mukanya.
Jelas dia melihat gerakan lengan dari balik pintu. Lengan siapakah di balik pintu itu? Kalau bukan lengan si pelayan dogol itu lalu apakah ada orang lain yang berilmu tinggi yang sengaja mencelakai Ken Suta?
Namun pendapat kuat pemuda itu menyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh si pelayan dogol yang kena tampar. Tamparan itu keras sekali. Kalau orang biasa tentu setidak-tidaknya giginya akan tanggal! Tapi pelayan itu cuma terhuyung sedikit, dan mengaduh. Meringis memegangi sebelah pipinya yang sembab memerah membekas jari dan telapak tangan.
"Pelayan dogol itu pasti seorang yang berilmu tinggi! Aku yakin dialah yang telah membuat mangkuk berisi bubur panas untukku itu "terbang" ke muka Ken Suta!" gumam Bayunanta.
Bayunanta sesaat segera teringat pada kudanya yang ditinggalkan di halaman restoran. Segera dia bergegas angkat kaki ke luar dari hutan kecil itu. Baru saja dia tiba di ujung hutan yang menembus ke perkampungan, mendadak terdengar suara kaki-kaki kuda mendekat. Tentu saja pemuda ini jadi terhenyak, karena ketika diperhatikan kuda dan penunggangnya amat dikenalnya! Itulah kuda tunggangannya sendiri, dan si penunggang kuda hitam itu tak lain dari si pelayan dogol itu.
"Hai! Kebetulan. Aku baru saja mau menyusulmu untuk mengantarkan kudamu, tuan muda! Kulihat kau berlari cepat mengejar bayangan kuning tadi, apakah kau berhasil menyusulnya?" berkata si pelayan muda.
Pelayan muda bertampang dogol ini sebelah lengannya memikul sebatang kayu sebesar betis yang dibalut tali-tali kain. Sepertinya pengikat kayu yang pecah. Di ujung kayu mirip pentungan itu terikat sebuah buntalan kain berwarna putih yang sudah kumal. Selesai berkata si pelayan dogol itu melompat turun dari punggung kuda.
Bayunanta tersenyum heran. Namun dari kata-katanya dia semakin yakin bahwa pelayan bertampang dogol ini tak meleset dari dugaannya! Siapa yang dapat melihat berkelebatnya bayangan kuning yang telah membunuh tiga perwira Kerajaan itu kalau bukan seorang yang berilmu tinggi dan da-ri kalangan persilatan?
Bayunanta menjura, dan berkata. "Terima kasih atas kebaikan hatimu sobat! Kuharap emas tak menyembunyikan keasliannya! Dan sudah saatnya anda berhenti melakukan penyamaran. Mengapa anda masih menyebutku "tuan muda?"
Si pelayan dogol ini seperti terkejut tampaknya. "Eh, apa maksud kata-katamu, tu .. tuan muda, eh sobat? Aku tidak menyamar. Aku memang bekerja sebagai pelayan!" tergagap si pelayan dogol menyahuti.
"Bukankah anda melihat berkelebatnya bayangan kuning yang telah muncul dan membawa maut di restoran itu? Cuma mata yang telah terlatihlah yang mampu mengetahuinya!" ujar Bayunanta dengan terse-nyum.
"Siapa yang bilang aku melihat bayangan kuning berkelebat?" tukas si pelayan dengan membelalak dan wajah lugu. "Aku tak melihat apa-apa?" sambungnya dengan tampang dungu.
Tentu saja membuat Bayunanta terlengak heran. "Aneh, kau ini sobat! bukankah tadi kau bertanya mengenai bayangan kuning yang kukejar? Bahkan aku belum sempat menjawab pertanyaanmu!"
"He? benarkah tadi aku bertanya begitu?" si pelayan dogol ini menggaruk-garuk tengkuknya.
Bayunanta jadi melengak dan tersenyum. "Haii! masih muda sudah linglung...!" berkata Bayunanta dengan tertawa. Tiba-tiba Bayunanta seperti tersentak kaget. Matanya menatap tajam pada si pelayan itu. "He? Jangan-jangan dia ini si Pendekar Dewa Linglung!" berkata dalam hati Bayunanta.
Dugaannya semakin kuat. Karena dia memang pernah mendengar tentang seorang pendekar muda yang bertampang bodoh tapi ilmunya amat tinggi. Salah satu keanehannya adalah pendekar itu sering lupa seperti orang linglung Memikir demikian Bayunanta segera bertanya.
"Sobat! apakah anda si Pendekar Dewa Linglung?" tanyanya.
Mendadak pelayan dogol itu tertawa tergelak-gelak, lalu ujarnya. "Haiiih! dari mana kau tahu julukanku?"
"Jadi...anda benar-benar si Pendekar Dewa Linglung? Ah, sungguh kebetulan aku bisa berjumpa dengan anda!" berkata Bayunanta seraya menjura hormat.
"Ayahku Tumenggung Ki GELAGAH yang bergelar si Pedang Malaikat pernah menyebut-nyebut nama gelar anda. Sikap anda yang pelupa itulah yang membuat aku menduga anda pendekar muda yang gagah serta berilmu tinggi itu. Aku Bayunanta murid si Pedang Malaikat sangat girang sekali dapat berjumpa dengan anda. Dan terima kasih sekali lagi atas kesediaanmu mengantarkan kudaku!" ujar Bayunanta dengan wajah berseri, seraya mengelus-elus kepala kuda kesayangannya.
Pelayan dogol yang memang tak lain dari NANJAR alias si Dewa Linglung itu tak dapat mengelak lagi. Dia menepuk pantatnya seraya berkata dengan tertawa menyeringai. "Aiiih! ternyata penyamaranku sia-sia saja. Aku memang digelari orang si Dewa Linglung. Tapi sanjunganmu terlalu berlebihan, sobat Bayunanta! Eh, jadi kau murid juga anak si Pedang Malaikat? Wah, wah, wah...! Aku tak menyangka kalau ayahmu itu seorang Tumenggung! Beberapa bulan yang lalu aku memang telah berkenalan dengan ayahmu si Pedang Malaikat! Ilmu pedang ayahmu memang hebat. Nyaris saja aku terluka!"
"He? apa yang terjadi? apakah kalian pernah bertempur?" tanya Bayunanta heran.
"Ya, begitulah! Tapi hanya kesalahan paham saja. Bagaimana? Apakah keadaan ayahmu? Apakah luka dalamnya telah sembuh?" jawab Nanjar seraya balik bertanya.
"Ayah tampak biasa-biasa saja! Mungkin sudah sembuh. Apakah luka dalam itu adalah akibat bertarung dengan anda, sobat Pendekar?"
"Ayahmu tak pernah bercerita?" tanya si Dewa Linglung.
Bayunanta menggeleng. "Sejak tiga pekan yang lalu ayah tak pernah meninggalkan rumah. Mungkin mendapat cuti dari baginda Raja!" sahut Bayunanta. Saat itu dia baru teringat ketika dua orang utusan dari Senapati Maruto yang membawa surat untuk ayahnya beberapa pekan yang lalu. Mungkin surat dari Raja yang mencutikan ayahnya. "Apakah luka dalam itu akibat bertarung dengan anda?" tanyanya.
"Oh, bukan? Ayahmu tak pernah bercerita?"
Bayunanta menggeleng lagi. "Ayah tak pernah bercerita apa-apa!"
Nanjar segera ceritakan secara singkat kejadian beberapa bulan yang lalu. Yaitu ketika dia melewati sebuah desa di lereng gunung. Ada terjadi suatu perampokan. Saat perampok kabur, justru dia muncul di tempat kejadian itu. Kebetulan Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat memergoki. Dengan tanpa bertanya lagi si Pedang Malaikat langsung menyerang.
Terjadilah pertarungan seru. Nanjar tak sempat memberi penjelasan lagi karena si Pedang Malaikat tanpa ampun menyerangnya dengan gencar. Untunglah pada saat itu muncul seorang tak dikenal yang menahan serangan si Pedang Malaikat. Orang itu menjelaskan bahwa Nanjar tak bersalah, dan bukan manusianya yang melakukan perampokan.
Bahkan dia telah berhasil menawan perampok sesungguhnya. Perampok itu dibunuh di depan mereka dan orang tak dikenal itu berkelebat pergi. Akhirnya Nanjar dan si Pedang Malaikat berkenalan dan si Pedang Malaikat meminta maaf atas kekeliruannya. Saat itu si Pedang Malaikat mengatakan bahwa dirinya dalam keadaan terluka dalam, karena salah satu pertempuran yang belum lama dialami.
Nanjar diam-diam memuji kagum karena dalam keadaan terluka dalam ternyata ilmu pedangnya masih dalam keadaan hebat dan berbahaya, hingga Nanjar agak kewalahan menghadapinya. Dari penuturan Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat itu musuhnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, yang bergelar "DEWI LINTAH". Demikianlah Nanjar menuturkan kejadiannya secara singkat.
Bayunanta manggut-manggut walau diam-diam hatinya terkejut bukan main. Siapakah wanita yang punya gelar aneh itu? dan ada permusuhan apakah dengan ayahnya? Namun Bayunanta puas dengan penjelasan si Dewa Linglung.
Matahari makin meninggi sepenggalah. Panas terik seperti membakar kulit. Bayunanta mengajak si Dewa Linglung sing-gah ke rumah kediamannya. Tapi Nanjar me-nolak dan mengatakan masih ada urusan yang akan diselesaikan. Akhirnya mereka berpisah.
Nanjar berkelebat lenyap, membuat pemuda itu tertegun kagum. Tak lama diapun segera melompat ke punggung kuda, lalu membedalnya dengan cepat meninggal-kan tempat itu. Sementara hatinya merasa tak tenang. Karena kejadian yang membawa korban kematian orang-orang Kerajaan pasti akan berbuntut panjang...!
KEN SUTA lari terbirit-birit sipat kuping. Napasnya tersengal-sengal ketika dia tiba di pintu gerbang istana. Dua penjaga gerbang terkejut melihat siapa perwira yang muncul dengan wajah melepuh seperti tersiram air panas dan pucat pias.
"Ada apa, apakah yang terjadi?" berkata dalam hati kedua orang pengawal itu, sementara Ken Suta terus menerobos masuk. Tak lama dia sudah menghadap pada Senapati Maruto.
"Kejadian apakah yang membuatmu tergesa-gesa menghadapku, Ken Suta? dan kenapa mukamu bengkak-bengkak melepuh begitu?" bertanya Senapati Maruto dengan terkejut.
"Celaka! celaka gusti Senapati, tiga orang kawan hamba tewas oleh Bayunanta anak Tumenggung KI Gelagah si Pedang Malaikat! Ini semua perbuatan dia yang menganiaya hamba!" tuturkan Ken Suta.
"Hah!? benarkah! Sudah sampai sebegitu jauhkah dia berani berbuat kurang ajar? Ini bukan kurang ajar lagi, tapi suatu pemberontakan!" sentak laki-laki berusia 40 tahun lebih ini yang bertubuh tegap dari berperawakan tinggi besar itu dengan terkejut.
"Ceritakan kejadiannya! Bagaimana sampai pembunuhan itu bisa terjadi?" bertanya Senapati Maruto dengan tak sabar.
Dengan segera Ken Suta segera menceritakan kejadiannya. Tentu saja dengan dibumbui kedustaan padahal dia belum tahu sama sekali siapa yang sebenarnya telah membunuh ketiga perwira kawannya. Sedangkan mengenai halnya si pelayan restoran yang telah mencegatnya di jalan dan merampas kudanya tak diceritakan sama sekali.
Ken Suta memang tak menduga, ketika dia membedal kuda hitam yang ditungganginya mendadak telah dicegat oleh seseorang yang bertolak pinggang di tengah jalan. Bukan main terkejutnya dia karena orang itu tak lain si pelayan dogol yang kena tamparannya.
Walaupun dia cukup terkejut, namun Ken Suta masih keluarkan bentakan garang. Dan tanpa menghentikan kudanya terus menerjang si pelayan itu Akan tetapi mendadak kudanya meringkik keras dan terjungkal. Dia sendiri terpelanting. Untung dia berlaku gesit untuk melompat hingga tak sampai terjatuh dengan kepalanya terlebih dulu.
Tahu-tahu dilihatnya si pelayan dogol itu telah berada di atas punggung kuda yang sudah bangkit berdiri. Betapa geramnya Ken Suta bukan alang-kepalang di samping terkejut. Tenaga apakah yang demikian besarnya yang telah membuat kudanya terjungkal dan dia terlempar dari punggung kuda? Si pelayan itu dengan cengar-cengir dan mulut mengunyah sesuatu tertawa mengejek seraya berkata.
"Hahaha... gara-gara terpeleset kulit pisang mukamu jadi bonyok begitu! sungguh kasihan!"
Mendelik mata Ken Suta. Mendadak dia telah menghunus pedangnya. "Keparat! pasti kau yang telah me-lempar kulit pisang itu!"
Si pelayan dogol alias Nanjar cuma tertawa tergelak-gelak. Bahkan terpingkal-pingkal geli di atas punggung kuda. Semakin merahlah muka Ken Suta. Tiba-tiba dia telah menerjang beringas dengan pedangnya. Akan tetapi dia menjerit kesakitan. Pedangnya terlempar dan dia mengaduh-aduh memegangi pergelangan tangannya yang seperti dipatuk ular.
Ketika dia memeriksa ternyata pergelangan tangannya membiru. Ternyata di saat Ken Suta menyerang dia tadi dengan gerakan cepat lengan Nanjar menyelinap ke kantung bajunya. Dan sebutir kacang meluncur cepat sekali mengenai pergelangan tangan Ken Suta.
"Hm, kuperingatkan! sebaiknya kau cepat angkat kaki dari mukaku, sebelum aku balas menamparmu hingga gigimu rontok!" berkata keren si pelayan dogol. Tiga-empat kacang dilemparkan ke udara. Dan...hap! hap! hap! Dengan mudah sekali kacang-kacang itu masuk ke mulutnya. Tak lama si pelayan dogol telah kembali mengunyah kacang sambil ongkang-ongkang kaki tanpa melirik sekejappun pada Ken Suta.
Membeliak mata laki-laki Perwira Kerajaan ini. Tahulah dia kalau dirinya tengah berhadapan dengan seseorang tokoh persilatan berilmu tinggi yang tengah menyamar. Tak ayal dia segera putar tubuh dan angkat langkah seribu tanpa menoleh lagi....
Bukan main marahnya Senapati Maruto. Dadanya naik turun dengan muka beru-bah merah padam. Selesai melapor, Ken Suta minta diri untuk mengobati lukanya, setelah memberitahu di mana letak restoran tempat kejadian.
Senapati Maruto segera perintahkan anak buahnya untuk segera pergi ke tempat restoran itu untuk mengangkut tiga mayat perwira Kerajaan yang tewas. Lalu cepat dia dengan bergegas per-gi menghadap baginda Raja untuk melapor-kan kejadian itu.
Berita laporan pembunuhan tiga perwira kepala prajurit oleh Bayunanta telah sampai ke telinga Raja. Tentu saja membuat sang Prabu Ganda Kusumah marah besar. Lalu membuat surat perintah penang-kapan Bayunanta beserta Tumenggung Ki Ge-lagah dengan tuduhan pemberontak!
Kemunculan Adipati UMBUL WILAYA dengan membawa sepasukan prajurit dan membawa surat perintah pemecatan serta penangkapan Tumenggung Ki Gelagah beserta Bayunanta, membuat terheran-heran Tumenggung tua itu.
"Baginda Prabu telah memecat dan memerintahkan penangkapan atas diriku dan anakku Bayunanta? Kami dianggap mau memberontak? Apakah kesalahan kami?" bertanya Ki Gelagah.
"Hm, apakah kau tak mengetahui, atau pura-pura tidak tahu? Sudah jelas anakmu Bayunanta membunuh tiga perwira Kerajaan, apakah itu bukan suatu permulaan dari pemberontakan?" berkata tegas Adipati Umbul Wilaya.
"Membunuh tiga orang perwira Kerajaan?" tukas si Pedang Malaikat terperanjat.
Adipati Umbul Wilaya tak menyahut, melainkan tersenyum sinis. Bahkan meludah di lantai, seraya berkata. "Untung hal ini terbongkar. Karena aku tak sudi puteriku berhubungan dengan anakmu. Ternyata kalian adalah golongan orang-orang pemberontak!"
"Siapa yang mau berbesan denganmu Adipati?" tanya Ki Gelagah.
"Aku tak tahu-menahu hubungan anakku dengan puterimu. Tapi jangan memfitnahku! Tak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Apalagi membunuh orang-orang Kerajaan!" berkata Ki Gelagah dengan sua-ra bergetar.
"Sudahlah! Serahkan dirimu untuk kami tawan, Ki Gelagah! Surat keputusan baginda Prabu tak dapat diganggu-gugat. Hal ini bukan pitnah, tapi kenyataan! Panggil anakmu si Bayunanta untuk segera menyerahkan diri!" bentak Adipati Umbul Wilaya. Lalu berikan isyarat pada para pengawal. Serentak belasan pengawal bersenja-ta segera berlompatan mengurung laki-laki tua itu.
"Hm, bersabarlah dulu, sobat! Aku akan panggil anakku dan tanyakan hal ini. Bila kenyataannya memang benar anakku bersalah, kami rela untuk ditawan dan me-nerima hukuman, tapi jangan menuduh kami sebagai pemberontak!" berkata Ki Gelagah dengan setenang mungkin.
"Jangan coba-coba bergerak walau selangkahpun Ki Gelagah! Biarkan para prajuritku memeriksa gedungmu!" berkata tegas Adipati Umbul Wilaya.
Adipati ini segera perintahkan para prajuritnya untuk menggeledah gedung Ki Gelagah. Tapi sebelum mereka berlompatan memasuki ruangan, mendadak Bayunanta muncul. Serentak para pengawal segera berlompatan mengurung dengan senjata terhunus.
"Bagus! sikap kesatriamu mungkin bisa meringankan hukumanmu, anak muda! Segeralah serahkan diri untuk kami tawan. Sang Prabu yang akan berkenan memutuskan hukuman untuk kalian!" ujar Adipati den-gan wajah berseri.
"Bayunanta! benarkah kau telah me-lakukan pembunuhan pada tiga orang perwira Kerajaan?" tiba-tiba Ki Gelagah membentak pemuda itu.
"Sama sekali tidak, ayah! Bukan aku yang telah membunuhnya!" sangkal Bayunanta.
"Tak ada gunanya kau melakukan pembelaan, anak muda! Kau bisa menyangkal nanti di pengadilan Kerajaan. Sekarang bersiaplah untuk kami tawan, karena telah ada surat perintah dari Baginda Prabu untuk menawan kalian ayah dan anak!"
"Lalu siapa yang melakukan?" bentak Ki Gelagah tanpa mempedulikan ucapan Adipati Umbul Wilaya.
"Seseorang yang berpakaian serba kuning! Aku telah mengejarnya, namun dia menghilang di hutan kecil. Ah, mengapa tuduhan begitu keji itu kalian timpakan padaku? Sungguh mati aku berani bersum-pah! Apa yang kukatakan adalah sebenarnya!" sahut Bayunanta seraya berpaling pada Adipati Umbul Wilaya. "Pasti KEN SUTA yang telah memfpitnahku!"
"Hahaha...dialah yang menjadi saksi atas perbuatanmu! Orang berbaju kuning itu siapa lagi kalau bukan kawanmu yang telah kau persiapkan untuk memberontak! Heh! kukira tak ada lagi alasan. Dan su-rat keputusan dari Baginda Prabu tak da-pat dibantah! Pengawal tangkap mereka!" perintah Adipati.
"Keparat!" memaki Ki Gelagah. Lengannya bergerak menyobek surat di tangannya. Belasan prajurit yang akan menangkapnya mundur ketika Ki Gelagah mencabut pedang tipis yang terbelit di pinggang. Mereka agak ngeri karena laki-laki tua itu adalah bekas tokoh Rimba Hijau yang bergelar si Pedang Malaikat.
"Hahaha... Jangan menciut nyali kalian cuma mendengar nama besarnya! Pedang Malaikatnya sudah tumpul tak setajam dulu. Ibarat seekor macan dia sudah menjadi macan tua yang ompong! Hayo segera ringkus dia!" berkata Adipati seraya memberi perintah.
Tak ayal para prajurit itu segera maju menerjang. Mendadak empat prajurit menjerit ngeri dan terhuyung ambruk. Darah memuncrat ke udara. Pedang Malaikat itu telah meminta nyawa! Melihat demikian yang lainnya menyurut mundur. Tapi bentakan Adipati kembali terdengar menggeledek.
"Hayo maju! tak perlu kalian menawannya hidup-hidup! Bunuh mampus keparat pemberontak itu!"
Tentu saja sebentar kemudian terjadilah pertarungan seru yang membawa maut. Belasan tombak dan pedang meluruk ke arah Ki Gelagah yang menyambutnya dengan tangkisan-tangkisan. Suara gaduh teriakan dan jeritan ngeri membaur di ruang pendopo gedung Ketumenggungan itu.
SEMENTARA ITU Bayunanta melihat puluhan prajurit maju menerjang dengan senjata-senjata telanjang, terpaksa mencabut pedangnya. Sebentar saja terjadi pertarungan dua kelompok. Satu kelompok menghadapi Ki Gelagah, dari sekelompok lagi menyerbu Bayunanta.
Ternyata si Pedang Malaikat dan anaknya ini sukar untuk dirobohkan. Bahkan korban dari pihak para prajurit semakin bertambah. Adipati Umbul Wilaya tak dapat membiarkan hal itu terus terjadi.
Tiba-tiba dia bersuit keras. Dan tiga bayangan tubuh berkelebatan muncul di ruangan itu. Ketiga sosok tubuh itu ternyata salah seorang adalah laki-laki kekar berkulit hitam bertubuh cebol, lengannya mencekal sebuah senjata gaetan panjang. Ujungnya berbentuk mirip gergaji.
Sedangkan yang seorang lagi, laki-laki berjubah merah berkepala botak. Laki-laki ini mencekal tongkat berkepala tengkorak. Pada ujung tengkorak itu tersembul mata tombak. Sedangkan yang seorang lagi adalah orang yang telah kita kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Sepuh. Laki-laki ini bertangan kosong. Detik itu juga Adipati Umbul Wilaya berteriak memerintahkan para prajuritnya untuk mundur.
Bayunanta dan si Pedang Malaikat saling berpandangan. Lalu keduanya segera saling mendekati. Segera mereka pentang mata dan melihat kemunculan ketiga orang itu. Terkejut Bayunanta melihat Ki Ageng Sepuh terdapat di antara ketiga orang tangan kanan Adipati Umbul Wilaya. Ki Gelagah memandang sinis.
"Ayah! Mari kita hadapi mereka sampai titik darah penghabisan!" berkata Bayunanta bersemangat Pemuda ini tak menampakkan keciutan nyalinya.
Laki-laki tua ini menatap pada pemuda itu. "Apakah kau berada di pihak benar, Bayunanta?" tanyanya dengan melototkan matanya.
Bayunanta mengangguk. "Aku berani bersumpah, ayah! Aku tak bersalah!" sahut Bayunanta dengan wajah polos. "Aku memang sudah menduga kejadian itu akan berbuntut panjang. Mengenai perihal pemecatan ayah memang telah disebut-sebut oleh empat perwira Kerajaan itu sebelum kejadian. Agaknya seperti ada hubungannya dengan aku! Begitukah ayah?" sambung Bayunanta berbisik.
"Benar Bayunanta! Sayang keadaan mendesak begini, bagaimana aku bisa menceritakan padamu?" bisik Ki Gelagah dengan menghela napas.
"Dalam pertempuran nanti carilah kesempatan meloloskan diri, anakku! Nanti aku menyusulmu! Kau tunggulah aku di lembah tempat kita dulu biasa berlatih!" bisik Ki Gelagah.
"Tapi aku tak dapat meninggalkan kau bertempur sendiri, ayah! Tidak! biarlah aku tetap bersamamu bertarung sampai titik darah penghabisan!" sahut Bayunanta.
"Katakan sekarang juga ada rahasia apakah mengenai diriku?" Bayunanta mendesak.
Sementara itu para prajurit yang mengurung telah mundur. Dan ketiga orang itu telah melompat mendekat. "Hahaha...ada rahasia apakah yang kalian bisikkan, Ki Gelagah? Sebaiknya kalian menyerahkan diri sebelum kasip! Siapa tahu baginda Raja akan memperingan hukuman kalian!" berkata Ki Ageng Sepuh.
Ki Gelagah kertak gigi gerahamnya hingga berkerot. "Hm, kudengar kau telah mengundurkan diri dengan jabatanmu, ternyata kini kau menjadi begundalnya Adipati Umbul Wilaya?" berkata Ki Gelagah dengan sinis.
"Aku cuma sekedar mengajari ilmu kedigjayaan puteri kanjeng Adipati, tapi mana aku bisa menolak kalau Kanjeng Adipati menyuruhku untuk membekuk seorang pemberontak macam kau? Hahaha...ternyata nama besar Pedang Malaikat telah pudar. Kau tak dapat memproklamirkan dirimu lagi sebagai seorang pendekar!" Tukas Ki Ageng Sepuh dengan tertawa.
"Heh! Apakah kau mengira dirimu suci? Kau anggap aku tak mengetahui kalau kau telah dipecat dengan tidak hormat dari kedudukanmu! Aku heran, mengapa kau bisa jadi begundal Adipati Umbul Wilaya?" balas mengejek Ki Gelagah dengan melotot gusar.
Merahlah muka Ki Ageng Sepuh. "Ajalmu sudah di ambang pintu masih banyak tingkah bicara seenak perutmu! Segera bersiaplah untuk mampus!" bentak Ki Ageng Sepuh.
Whuuk! Whuuuk!
Dua aliran gelombang dahsyat meng-gebu ke arah si Pedang Malaikat. Laki-laki tua ini berseru santar. Pedang ti-pisnya diputar hingga mengeluarkan suara mencicit. Maka buyarlah serangan itu.
"Hebat!" teriak si gundul jubah merah. Tubuhnya berkelebat. Sedangkan senjata tongkat kepala tengkoraknya menderu meluncur ke arah batok kepala Ki Gelagah. Namun di Pedang Malaikat tak tinggal ber-diam diri. Dengan gerakan sebat dia men-gegos ke samping.
Pedang tipisnya menangkis. Trang! Terdengar suara beradu dua batang logam. Terkejut si gundul jubah merah, karena terasa tangannya bergetar kesemutan akibat benturan itu. Namun tak kalah terkejutnya si Pedang Malaikat. Karena tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Diam-diam hatinya mem-batin. "Haih! Tenaga dalamnya cukup tinggi! Aku harus hati-hati. Namun kepala tengkorak itu lebih berbahaya"
Benar juga dugaan si Pedang Malaikat. Tongkat kepala tengkorak itu mendadak mencecarnya dengan bertubi-tubi. Dari dua buah lobang mata tengkorak itu menda-dak menyemburkan jarum-jarum berbisa. Dengan berseru keras memperingatkan Bayunanta, dia berkelebat melompat. Pedang tipisnya digunakan untuk menyampok. Buyarlah jarum-jarum maut itu. Adapun Bayunanta telah berkelebat ke arah kiri. Namun satu bentakan keras dibarengi dengan kilatan putih menyambar ke arahnya.
"Bocah, jaga seranganku!"
Whuut! Whuut! Trang! Trang!
Bayunanta menangkis dengan pedangnya. Percikan lelatu api menebar di uda-ra. Sebentar saja Bayunanta telah bertarung seru menghadapi laki-laki cebol itu. Serangan-serangannya mengandung maut. Terpaksa Bayunanta menghadapi dengan hat-hati. Dengan segenap daya pemuda mi men-geluarkan jurus-jurus ilmu kepandaiannya.
Sementara si Pedang Malaikat terpaksa harus menghadapi serangan dua lawannya. Walaupun Ki Ageng Sepuh tak menggunakan senjata. Namun sepasang tangannya lebih berbahaya dari tebasan pedang! Terpaksa dia menggunakan kelihaian nya untuk bertarung mati-matian. Sementara Adipati Umbul Wilaya cuma berpeluk tangan menunggu hasilnya.
Ki Ageng Sepuh menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam. Diam-diam dia terkejut juga karena si Pedang Malaikat yang tampaknya sudah seperti macan ompong itu ternyata masih amat tangguh. Satu tebasan pedang orang tua itu nyaris menyerempet kulit pundaknya. Beruntung cuma kain jubahnya saja yang tersobek.
"Bedebah! segera pergilah kau ke Neraka!" bentaknya. Kali ini dia gunakan ilmu kecepatan tubuhnya untuk berkelebat, hingga yang nampak hanya kelebatan bayangan putih saja.
Mata tua si Pedang Malaikat mulai nanar. Sedangkan dia harus mengkonsentrasikan panca inderanya dalam menghadapi si gundul jubah merah yang menyerang tanpa memberi waktu sedikitpun untuk beristirahat. Di samping sebentar-sebentar dia harus gulingkan tubuhnya atau melompat kesana-kemari menghindari semburan jarum-jarum maut!
Sungguh di luar dugaan kalau kali ini dua lubang di kepala tengkorak itu bukan menyemburkan jarum beracun lagi. Akan tetapi, menyemburkan uap yang berbau amis. Mendadak disaat dia lengah satu pukulan dahsyat meluncur ke arah punggungnya. Pada saat itu juga serangan uap beracun menerjangnya dari arah depan.
Tersentak si Pedang Malaikat. Mendadak dia berseru keras. Dengan gerakan jurus Seribu Bayangan Malaikat tubuhnya berputar bagai baling-baling. Pedang tipisnya berubah jadi segulung sinar perak.
Akibatnya di luar dugaan. Karena saat itu juga terdengar teriakan kaget si jubah merah. Perutnya terasa dingin. Dia melompat mundur. Alangkah terperanjatnya dia karena lambungnya telah terkena tebasan pedang maut si Pedang Malaikat.
Darah menyembur. Laki-laki jubah merah ini terhuyung ke belakang. Dan dengan mata membeliak tubuhnya roboh terguling. Cuma beberapa saat meregang nyawa, laki-laki itupun tewas dengan usus yang ambrol berhamburan!
Bukan alang kepalang terkejutnya Ki Ageng Sepuh, karena serangannya dapat dipatahkan. Bahkan tahu-tahu kilatan pedang si Pedang Malaikat telah memapas putus lengannya.
BAYUNANTA yang mendengar jeritan-jeritan menyayat hati merasa khawatir akan keselamatan ayahnya. Perhatiannya menjadi buyar. Karena di samping dia kurang pengalaman dalam bertempur juga serangan si cebol itu memang amat berbahaya. Tubuh cebol itu sungguh sulit dis-erang karena gesitnya bergelindingan ke sana ke mari.
Serangan-serangan si cebol lebih sering diarahkan ke kaki. Hingga dia hampir tak ada kesempatan untuk menjejakkan kakinya ke tanah. Pada saat itulah mendadak si cebol robah serangan. Senjata gaetannya meluncur kearah leher berkelebat ganas.
Terperangah Bayunanta. Namun pada saat itu terdengar bentakan keras merobek udara. Secercah kilatan membelah udara. Terdengar jeritan parau. Tubuh si cebol roboh sebelum senjatanya sempat menyentuh kulit tubuh Bayunanta. Tubuh laki-laki cebol itu sapat sebatas pinggang.
Belum lagi sempat Bayunanta mengetahui siapa yang telah membantunya, mendadak berkelebat bayangan tubuh di sebelahnya. "Cepat angkat kaki dari sini Bayunanta!"
Itulah suara si Pedang Malaikat. Bukan main girangnya anak muda ini mengetahui siapa yang telah menolongnya. Tak ayal lagi dia segera berkelebat mengejar bayangan tubuh si Pedang Malaikat yang telah berkelebat terlebih dahulu.
Adipati Umbul Wilaya baru tersadar kalau orang yang akan ditangkapnya telah kabur melarikan diri. "Bedebah! Kurang ajar! cepat kejaar!" teriaknya memberi aba-aba pada pasukan prajuritnya. Betapa kecewa dia karena tiga orang andalannya tak mampu membekuk si Pedang Malaikat dan muridnya. Bahkan mereka yang menjadi korban dan kehilangan nyawa!
Si Pedang Malaikat dan Bayunanta berhasil lolos dari penangkapan, walaupun laki-laki tua itu dalam keadaan terluka dalam karena telah menghisap uap beracun. Sementara Adipati Umbul Wilaya dengan geram cuma bisa memaki-maki anak buahnya. Ki Ageng Sepuh sendiri telah menghilang entah kemana karena malu pada Adipati, dengan membawa potongan lengannya yang putus.
Kita beralih pada Nanjar alias si Dewa Linglung, Setelah pergi meninggalkan hutan kecil itu dia berkelebat ke arah barat. Sebentar saja dia telah memasuki sebuah lembah ngarai yang sunyi. Sekitar tempat itu melulu bukit-bukit batu terjal yang nampak terlihat.
"Hm, bisikan melalui tenaga dalam yang disalurkan ke telingaku menyuruhku ke lembah ini! Suaranya jelas suara wanita yang kedengarannya merdu.
Siapakah dia? Apakah si manusia misterius berbaju kuning yang lolos tak dapat dikejar Bayunanta? berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Di atas batu besar Nanjar berdiri mengawasi sekitarnya. Keadaan sudah berangsur senja. Dia agak ragu apakah bisikan itu menipu dia? Karena sebenarnya dia akan ke Kota Raja untuk memenuhi undangan Ki Patih Gajah Menggolo. Perkenalan dengan Mahapatih itu adalah ketika dia menolong seorang gadis cantik bernama LAKSMI DEWI.
Laksmi Dewi adalah seorang gadis yang bandel. Hingga dia berani keluyuran seorang diri. Sikapnya tak ubahnya bagai laki-laki tak betah di rumah. Hal itu sering membuat ayahnya Patih Gajah menggolo pusing memikirkan anak gadisnya yang bengal itu.
Minat Laksmi Dewi untuk berguru di luar Istana tak dapat dihalangi sang ayah. Walaupun dia telah mendatangkan seorang guru silat dan sastra. Dia merasa kurang puas dengan gurunya. Dan berniat mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu kadigjayaan.
Lebih dari satu pekan tidak pulang ke rumah membuat Mahapatih Gajah Menggolo kalang kabut. Tapi mendadak putrinya muncul bersama seorang pemuda kumal bertampang bodoh. Tentu saja membuat sang ayah keheranan. Dia sudah bermaksud mendamprat pemuda itu yang disangkanya menyembunyi-kan anak gadisnya.
Tapi Laksmi Dewi dengan cepat segera menuturkan apa yang telah terjadi dan mengatakan siapa adanya laki-laki itu. Segera dituturkan oleh Laksmi Dewi mengenai kejadian yang hampir merengut kehormatannya. Ternyata Laksmi Dewi telah tersesat di satu lembah yang terjal karena mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu kadigjayaan. Laksmi Dewi berpakaian mirip laki-laki dengan penyamarannya.
Tapi penyamarannya itu tak luput dari mata tajam kaum golongan hitam yang banyak menebar di luar batas Kerajaan. Segera dapat diketahui kalau dia seorang dara yang berparas cantik. Tiga orang kaum sesat yang menamakan dirinya Tiga Iblis Bukit Tunggul telah menguntitnya.
Di satu lembah yang luas penuh den-gan bukit-bukit batu dalam usahanya men-cari goa-goa, dia tersesat tak tahu jalan pulang. Laksmi Dewi pernah mendengar bahwa orang-orang sakti biasa bertempat tinggal di goa-goa atau menjadi seorang pertapa. Hal itulah yang mendorongnya untuk mencari dan mendatangi tempat-tempat itu guna memenuhi keinginan hatinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah menghadang di depannya. Dan mengurungnya dengan sikap yang memuakkan. Terkejut Laksmi Dewi. Tahulah dia kalau dirinya berhadapan dengan penjahat-penjahat cabul!
Laksmi Dewi yang diam-diam telah memiliki ilmu kedigjayaan, segera menca-but senjatanya yang disembunyikan. Sebuah Kipas tipis yang ujungnya tajam adalah senjata yang selalu dibawanya ke mana dia pergi. Senjata itu sengaja disuruh buatkan oleh ayahnya melalui seorang pandai besi. Bahkan dia selalu melatih diri menggunakan jurus-jurus dari senjata kipasnya yang dicampur aduk dengan pelajaran gurunya.
Namun sang guru tak begitu ahli dalam hal permainan kipas. Karena gurunya ahli dalam permainan toya atau tongkat. Hal itu tak memuaskan hatinya. Padahal dengan ilmu toya itu justru lebih baik bila dia mempelajari dengan sungguh-sungguh. Sayangnya dia hanya mau mempergunakan dengan senjata kipas. Karena praktis dan mudah disembunyikan.
Melihat ketiga orang itu tak sedikitpun dia menjadi gentar. Bahkan diam-diam dia akan menguji kelihaian nya menggunakan senjata kipas yang dicampur adukkan dengan ilmu gayanya sendiri. Ilmu tanpa guru memang bisa menghasilkan suatu ilmu yang terkadang bisa hebat! Akan tetapi tanpa suatu pengetahuan, hal itu akan sia-sia saja.
Demikian juga akan halnya Laksmi Dewi. Ternyata dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya tak menghasilkan suatu yang menggembirakan. Bahkan dia telah terdesak dalam pertarungan. Kipasnya hancur terkena hantaman tongkat lawan. Dan dalam beberapa jurus saja dia telah dibuat tak berdaya melawan salah seorang dari ketiga orang itu yang bersenjatakan sebuah tong-kat saja.
Rasa menyesal menyelinap dalam hati dara itu mengapa dia tak mendalami ilmu tongkat? Kini dilihatnya dengan tongkat itu senjata kipasnya dibuat tak berarti apa-apa. Namun sudah terlambat. Pada jurus berikutnya dia telah terkena totokan toya lawan hingga roboh dengan tak berdaya.
Terperangah Laksmi Dewi ketika ketiga orang itu berlompatan mendekati. Pandangan mata mereka liar menyelusuri bagian-bagian tubuhnya. Bahkan satu gerakan kilat telah membuat dia menjerit kaget karena pakaiannya sobek terkoyak. Putuslah sudah harapannya untuk bisa menyelamatkan diri.
Air matanya mengalir membasahi pipi. Telah terbayang dalam benaknya betapa tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan ketiga orang itu dalam memenuhi hawa nafsu kebinatangannya. Akan tetapi pada saat itu juga seorang pemuda kumal bertampang bodoh muncul di tempat itu. Semula dia mengira pemuda sial itu akan percuma saja berniat menolongnya karena tampangnya seperti orang yang tak berkepandaian apa-apa sama sekali.
Tapi di luar dugaan justru dalam beberapa jurus saja ketiga orang bejat itu dapat dirobohkan. Bahkan dihadiahi dengan membuat putus sebelah telinga mereka masing-masing. Pemuda kumal itu tak membunuhnya, tapi melepaskan lagi dengan ancaman berat, tak akan membiarkan mereka hidup bila masih belum merobah jalan hidup mereka yang sesat!
Pemuda kumal itupun membebaskan dirinya dari totokan. Nanjar lalu memperkenalkan dirinya dan bersedia mengantarkan Laksmi Dewi pulang. Sebenarnya Nanjar akan mengantar sampai tapal batas saja. Tapi Laksmi Dewi bersikeras untuk mengantarkannya sampai ke Kepatihan di Kota Raja. Demikianlah, Laksmi Dewi kemudian memperkenalkannya dengan ayahnya Mahapatih Gajah Menggolo.
SELAGI SI DEWA LINGLUNG termangu-mangu itulah mendadak terasa bersyiur angin dingin di belakang punggungnya. Nanjar berkelebat ke sisi serta memutar tubuh dengan sikap waspada. Tersentak Nanjar karena tak melihat apa-apa.
Mendadak lagi-lagi bersyiur angin di belakang, juga dari arah samping. Nanjar berseru keras seraya melompat "terbang" ke udara dan hinggapkan kaki di puncak batu tebing. Matanya memandang ke bawah bagaikan elang mengintai mangsa.
"Aneh!? Siapa yang main-main denganku?" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Akan tetapi sungguh heran Nanjar karena dia tak melihat adanya sesosok tubuh pun di bawahnya yang menampakkan diri. "Heh!? Apakah aku berhadapan dengan makhluk halus? Ataukah manusia yang mengundangku ke mari sengaja menakuti aku dengan mempergunakan ilmu Halimunan?" gerutu Nanjar dalam hati.
Pada saat itu pulalah kembali angin bersyiur halus. Tapi kali ini berbau wangi. Membuat Nanjar berdiri bulu tengkuknya dan melompati kembali dengan gaya "terbang" ke bawah. Betapa terkejutnya Nanjar karena kakinya serasa ada yang menangkap.
Membelalak mata Nanjar dan terkejutnya bukan alang-kepalang karena tahu-tahu dia sudah berada dalam pelukan seorang wanita. Diketahuinya karena dadanya menyentuh sepa-sang benda lembut kenyal, serta terlihat punggung seorang wanita di depan matanya.
Tersentak kaget si Dewa Linglung. Namun sebelum dia sempat melepaskan diri, mendadak dia mengeluh dan terkulai menggelosor. Ternyata si wanita itu telah menotoknya. Gerakan menotok yang sekaligus membuat orang pingsan karena hawa racun aneh dari lengannya tersalur melalui totokan yang hebat itu.
Ketika Nanjar sadarkan diri dia tersentak kaget karena tubuhnya sukar digerakkan. Semakin terkejut Nanjar karena kini dia berada dalam sebuah ruangan kamar yang bersih dan terbaring di tempat tidur berkasur empuk serta berbau harum.
"Hah? Di mana aku? Dan tempat apakah ini?" sentaknya terkejut.
Pada saat itulah terdengar tertawa wanita dan sesosok tubuh muncul di hada-pan Nanjar. "Hihihi...kau berada di tempat kediamanku, Dewa Linglung! Kau telah menjadi tetamu kehormatanku. Beristirahatlah dengan tenang!"
Nanjar mendelikkan matanya menatap wanita itu. Ternyata seorang wanita muda berparas cantik berdiri di hadapannya. Wanita itu berpakaian serba kuning. Tahulah dia kalau wanita inilah yang telah membunuh tiga perwira Kerajaan ketika terjadi kegaduhan di restoran.
"Hm, kaukah yang telah mengundangku datang ke lembah batu terjal?"
"Benar!" menyahut si wanita misterius.
"Kau mengetahui siapa aku, dan kau menganggap aku tetamu kehormatanmu, mengapa cara seperti ini yang kau gunakan menerima tetamu?" berkata Nanjar dengan suara ketus. Sementara diam-diam dia ter-kejut, karena di lengan wanita itu ter-cekal pedang pusaka yang disembunyikan dalam belahan kayu.
Wanita itu kembali tertawa, lalu berkata. "Cara apapun yang aku pakai itu hakku! Bagiku tak ada undang-undang yang menentukan harus bagaimana cara menerima tetamu!" tukasnya dengan mata melirik genit. Namun di balik cahaya mata itu ter-sembunyi kesadisan.
"Katakan siapa kau sebenarnya? Dan dari mana kau mengetahui siapa aku?" bentak Nanjar dengan mata melotot. Sementara matanya tak lepas dari pedang pusaka yang dicekal erat wanita itu.
"Hihihi... siapa aku? Kelak kau akan mengetahui di saat ajalmu telah hampir tiba. Dan dari mana aku mengetahui siapa kau adanya cukup melihat tampangmu yang bodoh. Dan pedang Mustika Naga Merah ini merupakan bukti kuat bahwa kau adalah si Dewa Linglung!"
Nanjar cuma bisa menelan ludah. Memang sejak pedang Mustika Naga Merah berada di tangannya, telah banyak diketahui oleh para tokoh Rimba Hijau. Bahkan masih ada beberapa tokoh persilatan yang mengincar benda pusaka itu untuk merebutnya.
Namun semua niat itu sia-sia. Bah-kan justru nyawa-nyawa mereka yang melayang karena kesalahan mereka sendiri. Walau Nanjar tak berniat membunuh, tapi dirinya terancam maut! Maka terpaksa hal itu dilakukan demi keselamatan jiwanya. Di antara para tokoh persilatan yang menginginkan pedang Mustika Naga Merah itu kebanyakan dari kaum golongan hitam.
Tentu saja adanya pedang pusaka itu di tangan Nanjar sudah bukan rahasia lagi. Bahkan kehebatan ilmu si pendekar Dewa Linglung mulai menyebar, di seantero wilayah. Dan dikenal sebagai pendekar bertampang bodoh, masih muda dan suka linglung.
"Lalu apa yang akan kau lakukan terhadapku? Bila mau membunuhku mengapa tak lekas-lekas kau melakukannya?" ujar Nanjar menantang. Dia sengaja berkata begitu karena melihat tak ada tanda-tanda wanita itu akan melakukan niatnya saat itu.
Wanita itu tertawa kecil. Tiba-tiba...Sreek! Dia telah mencabut pedang Mustika Naga Merah. Berkredep cahaya merah seketika. Pedang Pusaka itu memang indah dan menyeramkan. Karena berbentuk seekor Naga melingkar dengan ekor meliuk-liuk ke ujung bagian yang runcing. Sisik-sisiknya berkilauan memancarkan sinar merah.
"Pedang yang bagus!" puji si wanita tersenyum. Tiba-tiba wanita itu tertawa sampai terpingkal-pingkal. Hingga sampai-sampai mengeluarkan air mata. Pedang Mustika Naga Merah di tangannya tergetar memantulkan cahaya merah yang berkelebatan.
Nanjar jadi terheran-heran. Apakah gerangan yang ditertawakan wanita itu? Di samping heran diam-diam Nanjar juga terkejut karena suara tertawa wanita itu telah membuat rasa nyeri di dadanya. Jelas suara tertawa wanita itu mengandung tenaga dalam yang hebat.
Sadarlah Nanjar ka-lau dirinya telah terjatuh ke tangan seo-rang tokoh wanita yang berilmu tinggi dan berwatak sadis. Pantaslah kalau dirinya dapat dipecundangi. Memikir ancaman wanita misterius itu diam-diam hatinya menjadi agak ngeri! Tiba-tiba wanita itu berhenti ter-tawa. Lalu menatap Nanjar dengan sorot mata tajam.
"Bagus! Kelak Dunia Persilatan akan gempar dengan kemunculan SEPASANG NAGA MERAH! Hihihi... kita memang berjodoh! Kita memang telah dijodohkan untuk saling bertemu dan bersatu!" berkata si wanita seraya beranjak mendekati.
Membelalak mata Nanjar karena wanita itu tiba-tiba membuka pakaiannya bagian atas. Yang membuat mata Nanjar semakin melotot adalah pada bagian tengah dada wanita itu tertera sebuah tatto bergambar seekor Naga Melingkar persis seperti bentuk pusaka. Naga Merah tanpa gagang.
"Kau lihatlah gambar Naga pada tubuhku! Akupun memiliki pedang Mustika Naga Merah yang serupa dengan Pedang Mustika Naga Merah di tanganmu!" berkata si wanita dengan tersenyum. "Tunggulah sebentar!" ucapnya lagi. Sekali berkelebat tubuh wanita baju kuning itu lenyap ke ruangan dalam. Tapi tak lama telah muncul lagi dengan membawa sebuah pedang di tangan kirinya.
"Nah! kau perhatikan sobat Dewa Linglung! Adakah perbedaan kedua pedang ini?" bertanya dia seraya mencabut pedang itu dari serangkanya lalu mendekati Nanjar untuk memperhatikan kedua pedang itu.
Mata Nanjar seperti nanar melihat kesamaan kedua pedang itu. Benar-benar tak ada bedanya, seolah sepasang pedang kembar. "Dari mana kau mendapatkan pedang yang serupa dengan pedangku?" bertanya Nanjar dengan heran.
"Hihihi... pedang ini sudah kumiliki lebih dari sepuluh tahun! Aku telah bersumpah tak akan mempergunakannya sampai munculnya kembaran pedang Mustika Naga Merah. Dan saat itulah aku akan mempergunakannya karena baik pedang itu maupun aku telah mendapatkan jodohnya!" sahut si wanita.
"Akan tetapi, kemunculan Sepasang Naga Merah tidaklah lengkap karena tubuhmu belum bertatto Naga seperti aku! Besok pagi aku akan mentatto dadamu seperti aku. Dan resmilah perjodohan kita!"
"Celaka! mengapa bisa begini?" menggumam Nanjar dengan perasaan yang luar biasa. "Jodoh? Aku berjodoh dengan wanita ini yang belum kuketahui asal-usulnya? Dan dia akan mentatto dadaku? Ah, betapa mengerikan" bisik hati Nanjar dengan mata membelalak.
NAH! malam ini kau bisa beristirahat dan tidur dengan nyenyak, Dewa Linglung!" berkata wanita itu seraya beranjak memutar tubuh.
"He? Bukankah kau mau membunuhku? mengapa mengurusi persoalan jodoh dan mentatto tubuhku segala?" teriak Nanjar.
"Hihihi...mau membunuhmu atau tidak apa urusanmu?" berkata si wanita dengan tertawa lalu berkelebat lenyap.
Tinggalah Nanjar yang tercenung dengan menelah ludah. "Aiiih! Nasibku mengapa sial begini? Lagi-lagi aku dipecundangi seorang perempuan" keluhnya.
Entah beberapa kali Nanjar mencoba melepaskan diri dari totokan si wanita, namun tetap tak berhasil. Membuat dia pu-tus asa dan menyerahkan diri pada nasib. Menjelang pagi disaat hawa dingin menyelinap kelubang pori-pori mendadak jendela kamar itu menjeblak terbuka. Membuat Nanjar tersentak bangun.
"Apa lagi yang kau mau lakukan?" bertanya Nanjar ketika melihat si wanita telah berdiri di depannya.
Di lengan wanita itu tampak sebuah keranjang kecil tempat seperangkat alat-alat menjahit yang biasa dipunyai seorang perempuan. "Bukankah telah kukatakan kemarin bahwa pagi ini aku akan mentatto dadamu!" sahutnya seraya meletakkan keranjang ke-cil itu di pembaringan.
"Aku tidak mau!" berteriak Nanjar.
"Kalau kau rewel aku akan jahit bibirmu sampai rapat!" berkata si wanita mengancam.
Kali ini dia berkata serius membuat Nanjar terpaksa tutup mulut. Ngeri juga kalau sampai si wanita benar-benar menjahit bibirnya. Terpaksa dia menelan ludah basi dengan menyumpah-nyumpah dalam hati.
Tak menunggu lama lagi lengan si wanita telah bergerak membukai pakaian Nanjar hingga nampak dada bidangnya. Lalu wanita itu mengambil segulung kertas dari balik pakaiannya. Gulungan kertas itu ternyata bergambar seekor Naga melingkar mirip dengan ukiran pedang Mus-tika Naga Merah.
Setelah memperhatikan sejenak, lalu mulailah melukis gambar Naga itu memin-dahkannya ke dada Nanjar dengan mempergu-nakan alat penghitam alis. Ternyata si wanita seorang yang pandai melukis. Dalam waktu singkat selesailah pekerjaannya. Kini dia mengambil sebuah jarum alat menjahit. Siaplah sudah dia untuk mulai mentatto dada si Dewa Linglung.
Nanjar sudah mau buka mulut lagi. Tapi melihat jarum dan benang yang menjuntai panjang di belakang alat menjahit itu rasa ngeri kembali timbul. Terpaksa dia tutup mulut dengan hati kesal.
Mendadak dia mengaduh kesakitan. Dadanya serasa digigit semut api. Ternyata si wanita sudah mulai bekerja mentatto dengan menusukkan ujung jarumnya ke kulit tubuh pasiennya.
"Hihihi...tidak terlalu sakit. Men-gapa kau macam anak kecil? Lama-kelamaan rasa sakit yang seperti digigit semut itu akan menjadi rasa nikmat!" berkata si wanita dengan tersenyum. Selanjutnya dengan cepat dia mulai lagi menusuk-nusukkan ujung jarum itu tanpa memperdulikan Nanjar yang masih mengaduh-aduh. Bekerja si wanita itu memang sangat cepat. Dalam waktu tidak seberapa lama selesailah dia mentatto dada Nanjar.
Darah menggenang di kulit tubuh si Dewa Linglung akibat ribuan tusukan jarum. Wanita itu segera mengambil sapu tangan untuk menyeka genangan darah. Lalu dari keranjang kecil itu dia mengambil se-macam serbuk berwarna merah. Serbuk itu dibaurkan pada dada Nanjar menutupi lubang-lubang luka berbentuk lukisan Naga itu.
Kemudian dia membubuhkan semacam cairan yang terasa dingin meresap. Tapi tak membuat rasa perih pada luka. Entah cairan apa. Mungkin obat luka. Selesailah sudah si wanita mentatto. Dia membenahi alat-alatnya lalu memasukkan dalam keran-jang kecil.
Nanjar mencoba gerakkan kepala un-tuk melihat dadanya. Tampak lukisan Naga yang amat mirip dengan pedang Mustika Naga Merah tertera di dadanya. Nanjar rebahkan kepalanya lagi ke bantal dengan menghela napas lega. Rasa sakit yang menyiksa itupun akhirnya berakhir.
Dipejamkannya matanya membayangkan nasib apa lagi yang bakal dialaminya? Dia kini tak ubahnya bagaikan boneka hidup yang diperbuat semaunya oleh si wanita baju kuning. Justru pada saat itu si wanita baju kuning tengah menatapnya. Tatapan yang begitu tajam diarahkan pada lukisan tatto Naga di dada Nanjar. Sebentar pandangannya beralih pada wajah pemuda itu, lalu merayap menjalari sekujur tubuh si Dewa Linglung.
Pelahan bibirnya yang tersungging senyuman kecil itu semakin melebar. Dan akhirnya terdengar suara tertawa puas si wanita baju kuning. Nanjar membuka matanya. Dilihatnya si wanita tengah terta-wa menatapnya.
"Hihihi... lukisan tatto di dadamu selesai sudah! Kini resmilah perjodohan kita! Sepasang Naga Merah akan segera muncul tak lama lagi di Dunia Persilatan! Dan darah akan memercik membasahi bumi sebagai tumbal sepasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah!"
"Apa kau bilang? Kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan tumbal?" tanya Nanjar dengan mata membeliak.
"Benar! Sepasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan 100 jiwa manusia untuk memandikannya dengan darah manusia!" sahut si wanita baju kuning.
"Gila!" teriak Nanjar terkejut.
"Hihihi... itulah persyaratannya, Dewa Linglung! Dan hari ini juga kita harus bersatu!" berkata si wanita dengan mata liar menatap Nanjar. Tiba-tiba wanita itu telah melemparkan keranjang jahitannya. Dan kejap selanjutnya dia telah membuka seluruh pakaiannya. Sementara sepasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah tertancap di atas meja.
"Hah!? kau mau melakukan apa?" sentak Nanjar terperangah.
Tapi wanita itu tak menjawab selain mendekati Nanjar. Dan tanpa bicara sepatahpun dia meloloskan seluruh pakaian Nanjar. "Kita akan bersatu! kita akan bersatu! kau dengarkah itu Dewa Linglung?" desis si wanita dengan mata kian nyalang dan napas mendesah. Mendadak tubuh wanita itu lenyap!
Nanjar kian terperangah. Tahu-tahu dia merasakan tubuhnya menjadi berat membuat Nanjar gelagapan dan bulu romanya berdiri. Apakah dia berhadapan dengan hantu atau peri? Tapi hawa harum semerbak telah tercium olehnya membuat dia kehilangan kesadarannya.
Kepalanya menjadi pening berdenyutan, dan dia tak sadarkan diri lagi. Nanjar terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya dia tengah berkencan dengan seekor lintah sebesar manusia. Mendadak lintah sebesar manusia, itu sirna. Nanjar terperangah kaget dan tersadar lagi. Terkejut Nanjar seperti dipagut ular, karena dia dalam keadaan tanpa busana dan sekujur tubuh penuh dengan lendir.
Ruangan kamar itu sunyi hening. Tak terasa lagi beban berat di atas tubuhnya. Tak ada lagi bau harum. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh mengingat mimpinya. Hiiii..! sungguh mengerikan! desisnya.
"Ke mana perginya wanita itu?" sentak Nanjar dengan mata jelalatan ke sana ke mari. Tapi tak ada tanda-tanda adanya wanita itu di ruangan kamar.
Serentak bulu tengkuk Nanjar meremang. Lagi-lagi dia membathin. "Jangan-jangan wanita itu bukan manusia?"
Matanya segera tertuju pada sepasang pedang di atas meja. Pedang kembaran Naga Merah. Aneh, ketika Nanjar melompat bangun ternyata dia telah terbebas dari pengaruh totokan. Cepat dia bergerak menyambar pakaiannya. Lalu mengenakannya dengan cepat. Kembali dia menatap pada sepasang pedang.
"Bagus! dia pasti sedang pergi! Le-bih baik aku segera kabur dari tempat hantu ini!" pikir Nanjar. Aneh! Ketika lengannya akan meraih sepasang pedang itu mendadak pedang yang satunya lenyap!
Mata Nanjar jadi kian membelalak, dia tak mengerti. Semua yang dilihat dan dialami seperti kenyataan. Tapi mengapa sepasang pedang itu seperti khayalan saja? Pada kenyataannya Pedang Mustika Naga Merah tetap cuma satu!
"Apakah mataku telah tertipu? Ah, perempuan siluman itu pasti mempergunakan ilmu sihir. Ataukah dia siluman atau peri? Ataukah aku cuma bermimpi? Tapi... tapi gambar Naga yang bertatto di dadaku ini tak lenyap? Aneh..!?" desis Nanjar dengan mata membelalak melihat tatto Naga di dadanya.
Saat itu bulu tengkuknya kembali meremang. Tak ayal dia cepat sambar Pedang Mustika Naga Merah di atas meja berikut serangkanya yang tergeletak di dekat pedang. Lalu berkelebat ke luar ruangan kamar melalui jendela. Dan angkat kaki tak menoleh lagi meninggalkan tempat itu.
JANGAN-JANGAN DIA Si DEWI LINTAH!" bergumam Nanjar, seraya dengan cepat gu-nakan ilmu lari cepatnya meninggalkan lembah itu.
Tengkuknya meremang membayangkan dirinya telah berkencan dengan seekor lintah sebesar manusia. Pada saat berlari-lari itulah mendadak telinganya mendengar suara-suara yang terdengar seperti dari relung hatinya.
"DEWA LINGLUNG! kau tak usah resah! Aku memang si Dewi Lintah. Kini aku telah menyatu dengan tubuhmu! Kini kita telah bersatu! Kau dengarkah kata-kataku? Kau adalah aku dan aku adalah kau! Kini tunaikan kewajibanmu memandikan Sepasang Pedang Mustika Naga Merah. Pada dasarnya pedang itu adalah dua, tapi cuma terlihat satu! Pedang Mustikamu kini memerlukan darah! Darah! Ya, darah manusia! Darah orang-orang yang kubenci! Darah orang yang akan menghalangi niatku, juga sumpahku!"
Tengkuk Nanjar seperti ditiup angin salju. Dingin meremang. Dia tersentak kaget, tapi tak berhenti berlari. Bahkan kian cepat. Dan dia baru berhenti setelah napasnya tersengal-sengal. Pada saat itulah Nanjar baru sadar kalau kakinya telah membawanya ke Kota Raja. Aneh! Nanjar seperti terbawa oleh satu kekuatan yang dia tak dapat menolaknya. Tahu-tahu dia telah bergerak memasuki Istana.
Dan yang lebih aneh, dua orang penjaga pintu gerbang tak melihat Nanjar masuk. Bahkan belasan pengawal yang dilewati tak mengetahui Nanjar menyelinap memasuki ruangan istana. Pada saat itulah terdengar bentakan menggeledek.
"Iblis perempuan! mau apa kau datang ke Istana?"
Bentakan itu disusul dengan bermunculannya pengawal-pengawal Istana. Di antaranya terdapat Senapati MARUTO! Dialah yang membentak barusan. Sekejap Nanjar telah dikurung oleh puluhan pengawal. Sungguh aneh, karena mereka tidak melihat adanya Nanjar, melainkan sosok tubuh seorang wanita berbaju kuning.
"Hihihi....Maruto! aku mau menemui suamiku! Apakah sang prabu dalam keadaan sehat?" terdengar Nanjar menyahut, tapi suaranya suara si Dewi Lintah.
"Hah?! Kau... kau sudah bukan seorang permaisuri lagi! Kau telah menjadi manusia setengah siluman! Pengawal bunuh dia!" teriak Senapati Maruto.
Serentak saja puluhan pengawal menyerbu ke arah Nanjar yang terlihat seperti si Dewi Lintah. Akan tetapi segera terdengar jeritan-jeritan merambah udara. Puluhan sosok tubuh pengawal itu bertumbangan roboh! Darah memuncrat membasahi lantai. Puluhan nyawa melayang seketika!
Membeliak mata Senapati Maruto. Dia melompat menerjang dengan klewangnya. Akan tetapi cuma dalam beberapa jurus saja senapati itu menjerit parau Pedang Mustika Naga Merah telah menembus dadanya.
Terhuyung laki-laki senapati ini. Dan terjungkal roboh dengan nyawa lepas dari tubuhnya. Tersenyum menyeringai si Dewi Lintah. Terbayang di matanya. Ketika laki-laki itu memperkosanya sebelum mengikat tubuhnya di dalam hutan. Saat berikutnya Dewi Lintah telah berkelebat memasuki ruangan dalam.
Prabu Ganda Kesumah mendengar ribut-ribut di luar ruangannya telah melompat ke luar dengan dengan mencekal keris. Pada saat itulah berkelebat bayangan sosok tubuh di hadapannya.
"Hihihi...suamiku! aku datang lagi! kali ini untuk meminta nyawamu!" berkata si Dewi Lintah dalam penjelmaannya melalui tubuh Nanjar.
"JAYENG SARI...! Kau...kau telah berada di alam halus! kembalilah ke alammu!" membentak Prabu Ganda Kesumah dengan menyurut mundur melihat wanita cantik berbaju kuning itu mencekal pedang berbentuk Naga yang berlumuran darah.
"Hihihi... siapa bilang aku sudah menjadi arwah kakang Prabu? Aku datang untuk menagih nyawamu! Bukankah kau yang telah memerintahkan orang-orangmu untuk membunuhku? Dan membiarkan tubuhku diterkam binatang buas? Semua itu karena kau menuduhku telah berzinah dengan seorang tukang kuda! Tuduhan yang hina dan tak masuk akal! Tukang kuda itu kau jatuhi hukuman mati, dan aku kau suruh bunuh di dalam hutan. Mereka sebelum menggantungku telah memperkosaku secara bergantian! Dapat kau bayangkan betapa sakit hatiku! Semua ini karena kau dipitnah oleh selirmu yang cantik. Yang akan kau jadikan seorang permaisuri! Tapi nyatanya? Hihihi... dia seorang keturunan Iblis!"
Terengah-engah napas Prabu Ganda Kesumah. Tubuhnya tergetar. Keris telanjang di tangannya pun ikut menggetar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Bulu tengkuknya berdiri meremang menatap wanita bekas permaisurinya pada dua puluh tahun yang lalu itu, yang tetap tak berubah. Masih tetap muda dan cantik.
Kemunculan bekas permaisurinya pada beberapa bulan yang lalu di Istana membuat dia ketakutan. Sang permaisuri cuma tertawa lalu lenyap. Sibuklah dia memanggil dukun-dukun sakti untuk membuat penangkal. Tak dinyana kini muncul lagi membawa malapetaka. Sementara itu sang permaisuri telah kembali berkata.
"Kulihat di matamu ada rasa menyesal, kakang Ganda Kesumah! Hihihi... Tapi sesalmu sudah terlambat! Nasibmu memang sial. Membuang hati mendapat duri! Permaisuri barumu ternyata membuahkan keturunan seorang bayi yang wajahnya mirip RASEKSA! Terpaksa kau merahasiakan kelahiran anakmu! Namun cuma bertahan sampai beberapa bulan akhirnya kau menyuruh orang kepercayaanmu untuk meracun bocah itu hingga mati! Karena kau tak ingin bocah itu kelak menjadi pengganti kedudukan mu membuat malu! Akhirnya permaisurimu yang cantik jelita itu kau usir dari Istana! Kau panggil dukun-dukun sakti untuk mengusirnya! Nyatanya dia sebangsa dedemit Hihi-hi... nyaris Kerajaan Mandaraka ber-Raja-kan seorang RASEKSA!"
Dewi Lintah tertawa mengikik, dan Prabu Ganda Kesumah kembali menyurut mundur. Wajahnya pucat-pasi bagai tak berdarah. Tenggorokannya teras kering. Saat itu Dewi Lintah telah berkata lagi.
"Ganda Kesumah! kau tak perlu menyesali sikapmu! Karena sudah terlambat! Kini aku datang untuk meminta nyawamu. Nah bersiaplah untuk mampus!"
"Oh, ya! masih ada yang perlu kukatakan! Akhirnya kau mengetahui juga Bayunanta adalah anakku. Anak yang sebenarnya berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau telah terlanjur menganggap dia anak seorang tukang kuda. Tenangkan hatimu di alam baka! Tak usah kau risaukan dia, karena akupun tak menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis. Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha mengelak. Namun ujung pedang yang haus darah itu telah lebih dulu memenggal lehernya. Kembali darah memuncrat disertai menggelindingnya kepala manusia. Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam tak berkutik selamanya bersimbah dalam genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah disusul dengan tewasnya para pengawal-pengawal Istana. Di mana cahaya merah berkelebat maka akan terdengar jerit kematian! Paniklah seisi Kota Raja. Masing-masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih Gajah Menggolo yang muncul di Istana setelah mendengar laporan terkejut bukan main-main karena melihat sebuah pedang berbentuk seekor Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh tangan setan membunuhi para prajurit Istana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sentaknya terkejut. Terperangah dia melihat pedang berbentuk Naga yang berkelebatan tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat! hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!" berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajahnya tampak pucat pias. Tubuhnya menggeletar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan demi ruangan. Didapati mayat bergelimpangan. Bukan main terperanjatnya laki-laki ini mengetahui Prabu Ganda Kesumah telah tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! Aku harus menyelamatkan keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia segera melompat ke luar dari ruangan itu, dan lenyap di belakang istana. Cahaya merah itu terus berkelebatan meminta korban. Akhirnya meluncur keluar dari Istana.
Disaat di istana dan Kota Raja tengah dilanda kepanikan itu, cahaya merah berkelebat memasuki hutan. Tampaklah sesaat kemudian sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung yang berdiri tertegun sambil memegangi pedang pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh! Mengapa aku memperbuatnya?!" berdesis Nanjar dengan wajah, pucat.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung telah berdiri si Dewi Lintah dengan tertawa mengikik. Di lengannya tercekal kembaran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung! Tak seorangpun yang melihat kau yang membunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi itupun di hadapan manusia yang telah memperkosaku! Di luar Istana aku tak menampakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu untuk membunuh musuh-musuhku! Kini telah sembilan-puluh delapan nyawa telah memandikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan marah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah banyak korban yang berjatuhan! Aku tak mau terus diperalat olehmu!" Nanjar menindak mundur dua langkah. Diam-diam dia telah mengkonsentrasikan diri untuk menghadapi wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dariku, Dewa Linglung! Karena kau telah berjodoh denganku!" berkata tegas Dewi Lintah.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek. "Dewi Lintah keparat! hari ini kau tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti bayangan sosok tubuh lain di belakangnya. Sebentar saja di hadapan mereka berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malaikat, Dewi Lintah tertawa mengikik. "Hihihi...kadal tua! agaknya kau masih mampu bertahan hidup setelah terkena pukulanku? Bagus! Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau membunuh darah dagingmu sendiri? Bagiku yang sudah dekat liang kubur, kematian tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih punya harapan besar untuk menjadi Raja menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandragiri!" membentak Ki Gelagah sambil menunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seperti disambar geledek mendengar dia adalah anak dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar Dewi Lintah itu adalah ibunya. Bentakan Ki Gelagah mendadak membuat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan itu digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah bertindak terlalu jauh. Dendammu memang tak dapat kau lupakan, akan tetapi kau telah mempelajari dan menganut ilmu iblis! Kau dapat merasakan kepedihan hatimu bagaimana rasanya disakiti hati! Akan tetapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah menyakiti hatiku? Kau lari dari sampingku karena kepincut pada ketampanan dan harta serta kedudukan! Dan kau berhasil menjadi istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya kelebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah yang mendendam pada Bayunanta. Karena Bayunanta adalah anak dari orang yang telah merebut isriku! Tapi aku telah memeliharanya dengan ikhlas berdasarkan kemanusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hutan ketika aku kebetulan lewat di hutan itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Beberapa bulan kemudian aku mendengar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah membuang permaisurinya di hutan belantara dalam keadaan hamil tua!
"Aku berkeyakinan bayi yang kutemukan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak mengira kalau kau masih hidup, karena tak jauh dari bayi merah itu ada tulang teng-korak manusia yang masih basah. Kukuburkan tengkorak manusia itu yang kuanggap adalah mayatmu!
"Betapa mendendamnya aku pada sang Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tindakan itu terlalu kejam! Tapi mengingat akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa tafakur dengan hati sedih. Aku menganggap kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Gelagah berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik air bening menggenang di pelupuk mata tuanya. "Akan tetapi, kini bocah yang kupelihara dengan ikhlas, bocah yang tak bersalah apa-apa ini akan kau bunuh juga? Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau Ki Gelagah merobek udara. Giginya gemerutuk menahan geram. Matanya berapi-api memandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seorang manusia? Seorang ibu yang telah mengandungnya? Seorang ibu yang tak pernah merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah tengkorak seorang penduduk yang digunakan untuk menipu orang Kerajaan agar menganggap kau telah mati! Nyatanya kau telah ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun yang sakit hati karena suaminya dibunuh! Dialah istri si Tukang Kuda yang telah difitnah berbuat serong padamu! Dia membawamu ke tempat seorang pertapa tua di satu lembah angker. Dari pertapa tua pemuja iblis itulah kau mempelajari ilmu-ilmu sesat!
"Sesungguhnya kau telah diperalat orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega membunuh jiwa anakmu sendiri? Darah dagingmu? Juga calon Raja penerus dan pemegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandaraka?"
Keheningan merambah suasana di hutan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar kisah dari si Dewi Lintah. Sedangkan si Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam keraguan. Tercenung dengan tatapan kosong. Dua tetes air mata mengalir membasahi kedua pipinya.
Pada saat itulah Bayunanta berteriak dengan suara menggeletar. "Ibuuu...." Pemuda ini melepaskan pedangnya. Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lintah dengan air matanya menggenang, lidah terasa kelu, dan kerongkongan serasa tersumbat.
"Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..! Selama ini teka-teki dan rahasia diriku terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah! Ternyata aku anak seorang permaisuri Raja. Walau kau seorang iblis sekalipun aku tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap mengakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah dagingmu ini memelukmu! Biarkan aku menangis di pangkuanmu. Biarkan air mataku tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap Bayunanta.
"TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis sesat! Aku tak pernah merawatmu! Menyusuimu! Menimangmu! Membesarkanmu! Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada mukakah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata bercucuran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah dagingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah. Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri. Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak. Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut.
Tapi pada detik itu juga berkelebat cahaya merah menangkis sambaran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri. Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya. Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti. Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya. Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu. Apakah yang mereka lihat? Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud menjadi mayat seorang nenek tua keriput berambut putih. Pedang Mustika Naga Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi ujud seekor lintah sebesar manusia! Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk. Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan. Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada diri Jayeng Sari bekas istrinya itu.
Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta. Lalu menepuk-nepuk pundaknya "Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri! Rakyat Mandragiri telah kehilangan Rajanya. Dan memerlukan seorang pemimpin pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! Kelak setelah selesai tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk mengembara lagi!" berkata si Pedang Malaikat.
Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si Pedang Malaikat. "Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara senandungnya yang lapat-lapat terdengar ke telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu. Tumbuh, besar, tua, dan mati! Terkadang mati oleh ganasnya api. Terkadang mati oleh alam. Juga mati karena bencana! Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan? Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas panjang. Sebutir air mata tergulir di pi-pinya. Tapi segera berpaling pada Bayu-nanta, seraya berkata. "Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan Semesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia? Bukankah hanya amal itulah yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat...!