Dewi Mutiara Hijau
ENAM BELAS tahun yang lalu... Suatu peristiwa terjadi di sebuah tempat di lereng gunung Sorik Marapi. Tak tercatat dalam sejarah adanya sebuah kerajaan tak bernama dan hidupnya seorang Raja tanpa mahkota yang memerintah kerajaan tersebut.
Senja mulai menyelimuti sekitar pedalaman di kaki gunung Sorik Marapi yang tegak menjulang ke angkasa. Puncaknya tertutup awan tipis yang berwar-na kemerahan disinari cahaya matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di cakrawala.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan-bentakan keras yang dibarengi dengan benturan-benturan senjata, berbaur dengan jeritan dan tangis seorang bocah. Ternyata di bawah bukit tengah terjadi suatu pertarungan seru.
Tampak dua sosok tubuh tengah bertarung menghadapi gempuran belasan orang laki-laki yang berpakaian hampir rata-rata sama, dengan wajah yang dicoreng moreng. Mereka mengenakan pakaian adat, dan tampaknya tengah mengejar dua orang buronan.
Adapun dua orang yang dikejarnya adalah dua orang laki-laki dan wanita. Si laki-laki mengenakan pakaian hampir mirip dengan pakaian adat, tapi dengan warna berbeda. Usia laki-laki ini lebih dari empat puluh tahun, menggendong seorang bocah perempuan berumur kurang lebih dua tahun berada dalam pondongannya.
Bocah itu menangis ketakutan. Lengannya mencengkeram kuat-kuat lengan baju laki-laki yang menggendongnya. Sementara laki-laki itu sendiri dengan sekuat tenaga bertarung mempertahankan nyawanya, termasuk nyawa bocah tersebut.
Sedangkan si wanita adalah seorang yang berusia lebih muda sepuluh tahun dari laki-laki itu. Rambutnya tergerai dan tampak kusut masai. Wajahnya pucat bagai tak berdarah. Akan tetapi dengan gigih dia bertarung membuyarkan kepungan. Tak seorang pun dibiarkan mendekat. Pedang di tangannya berkelebatan menghantam ujung-ujung tombak lawan.
Sambil terus mundur dan berada berdekatan dengan laki-laki itu, wanita itu mulai merasakan keletihan yang amat luar biasa. Sementara lawan-lawan mereka seperti sengaja mengulur waktu dan membiarkan mereka kehabisan tenaga. Karena kemana pun mereka bergerak selalu dibayangi para laskar adat itu.
Agaknya laki-laki itu mengetahui keadaan istrinya, karena diapun merasakan keletihan yang bukan kepalang setelah mengalami pertarungan dan dikejar-kejar hampir setengah hari.
"Istriku cepat kau selamatkan dirimu! Bawalah serta anak kita...! Biar aku yang menghalang!" berkata laki-laki itu, seraya melompat mendekati. Tampak pundaknya terkena goresan senjata tajam dan mencucurkan darah yang mengalir sampai kepergelangan tangan.
Dalam upayanya menyelamatkan diri dan nyawa anak itu dia cukup tangguh, dan hanya mengaami luka yang tak cukup berarti. Akan tetapi keletihan dan tenaga yang mulai berkurang membuat dia merasa tak dapat lolos dari kepungan manusia-manusia yang menginginkan nyawanya.
"Tapi, kakak..." sahut si wanita tergagap. Wajahnya pucat pias menatap laki-laki itu, lalu berganti menatap pada sang bocah perempuan.
"Cepatlah! Jangan hiraukan diriku...!" Suara si laki-laki setengah membentak. Dan dia segera mengasongkan anak itu.
Cepat wanita ini menyambutnya. Saat itu mereka berada di lereng Sorik Marapi. Hutan belukar, semak lebat dan jalan menanjak yang penuh akar, onak dan duri melintang di depan mata.
"Cepat, Rosma!" setengah membentak laki-laki itu memerintahkan istrinya agar cepat menyelamatkan diri.
Setitik air bening membersit di sudut mata wanita berusia tiga puluhan tahun itu, menatap sang suami yang siap menghadapi maut di depan mata. Sementara dia sendiri dan bocah perempuannya entah bisa selamat, entah tidak dari kepungan manusia-manusia yang mengejar nyawa mereka.
Wanita ini menggigit bibirnya menahan keharuan hati yang seperti tersayat-sayat. Dia mengangguk. Kemudian balikkan tubuh, dan berlari cepat menerobos semak belukar memasuki hutan rimba di hadapannya. Tiga orang mengejar dengan cepat. Akan tetapi dengan bentakan yang menggetarkan udara, laki-laki ini telah melompat menghadang.
"Iblis-iblis keparat! hadapi aku dulu!" Pedangnya menyambar. Terdengar teriakan kaget salah seorang dari pengejar, karena serangan mendadak itu tak sempat terelakkan. Tombaknya terlepas dari tangannya dan sepotong lengan melayang di udara. Kiranya tebasan kilat yang dilakukan laki-laki itu telah memutuskan lengan lawannya yang tak sempat menghindarkan diri.
"Setan Gelamangan!" memaki salah seorang dari kedua kawannya seraya melompat ke sisi. Sedang kawannya melompat ke arah sisi sebelah kanan. Wajah-wajah mereka terlihat beringas karena melihat laki-laki itu berhasil melukai salah seorang kawan mereka. Sementara sosok-sosok tubuh lainnya tanpa dapat terbendung lagi telah menerobos semak belukar mengejar buruannya. Sebagian lagi mengurung laki-laki itu.
"Cepat habisi dia, jangan sampai lolos!" Lebih dari sebelas orang mengurung laki-laki itu.
"Haha..hehe... Putu Langkan! Kau tak akan dapat menyelamatkan nyawamu, termasuk istri dan anakmu! Dewa Mambang Peri gunung Sorik Marapi telah murka, karena kau menolak memberikan anakmu untuk dikorbankan! Kini terimalah akibatnya!" seorang laki-laki berbaju kulit srigala berbentuk semacam rompi tertawa mengejek.
"Datuk Tangan Bertuah!?" sentak laki-laki bernama Putu Langkan ini terkejut.
"Haha... benar! aku sengaja menyusul, karena khawatir kau keburu tewas!" tukas laki-laki berkumis kelabu ini. Mulutnya menyeringai, dan matanya menyambar tajam pada Putu Langkan. "Kau sudah terdesak, sobat! Bagaimana? Apakah kau mau memberitahukan tempat rahasia Dewi Mutiara Hijau?"
Kata-kata Datuk Tangan berbisa mendesis di telinga Putu Langkan. Ternyata laki-laki orang dari pasukan laskar adat itu menggunakan ilmu mengirim suara yang hanya Putu Langkan yang dapat mendengarnya.
"Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku, Datuk keparat!" desis Putu Langkan dengan mata mendelik. Desisan itu terdengar Datuk Tangan berbisa.
"Haha... hehe... kalau begitu maaf, Tuan Putu Langkan! Terpaksa kau harus dilenyapkan, atas perintah Raja!" Selesai berkata, Datuk Tangan berbisa mengangkat tangannya. Enam pengawal segera menerjang maju untuk merencah tubuh laki-laki itu.
Trang! Trang!
Tiga batang tombak dan dua buah klewang terpental balik ketika Putu Langkan putarkan pedang menangkis serangan. Namun senjata-senjata keenam pengawal itu kembali meluruk ke arahnya. Kembali dia harus mempertahankan nyawa. Dengan membentak keras, Putu Langkan membabatkan pedangnya ke kiri dan ke kanan. Benturan-benturan senjata tajam ber-dentingan. Tubuh laki-laki itu melompat ke sana ke mari menghindari setiap serangan lawan.
Saat itu Putu Langkan sudah banyak membuang tenaga. Dan agaknya sudah habis bagi sang Datuk Tangan bertuah untuk mengulur waktu. Laki-laki yang berusia agak lebih muda dari Putu Langkan ini mengkerutkan keningnya, ketika tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan parau membelah udara.
Tampak dua orang anak buahnya terlempar dengan darah menyembur dari lambungnya yang terkoyak. Seorang lagi bergoseran sekarat. Luka memanjang membelah hampir sebagian dari tubuhnya yang mengoyak kulit dan daging dari leher sampai ke dada.
Apa yang sebenarnya terjadi? Putu Langkan mendadak seperti dimasuki roh setan. Tiba-tiba saja dia jadi beringas, dan tenaganya seperti menjadi bertambah berlipat ganda! Dengan menggeram marah lengannya menghantam ke depan. Pedangnya meluncur menusuk dan membabat para pengepungnya.
Kembali dua jeritan terdengar saling susul. Dua pengeroyok terlempar dengan keadaan luka mengerikan. Seorang terkoyak wajahnya yang hampir membelah separuh dari kepalanya, sedang seorang lagi tulang dadanya remuk!
Baru saja Datuk Tangan bertuah mau melompat, mendadak terdengar lagi beberapa jeritan berturut-turut. Tiga orang anak buahnya kembali terlempar dan berkelojotan meregang nyawa. Bukan kepalang terkejutnya sang Datuk melihat kejadian itu.
Seketika itu juga dia telah melompat seraya mencabut senjatanya. Tampak keadaan Putu Langkan telah berubah mengerikan. Kain ikat kepalanya telah terlepas. Rambutnya beriapan menutupi wajahnya yang bringas. Pedang di tangannya penuh berlepotan darah!
Tak terasa kaki Datuk Tangan bertuah menyurut mundur dua tindak. Sedangkan para pengepung yang lainnya tak ada yang berani mendekat. Melihat kemunculan sang Datuk, laki-laki yang telah kemasukan setan ini tertawa gelak-gelak. Suaranya terdengar menyeramkan.
"Haha..hahaha... Bagus! Ayo! hadapilah aku Datuk keparat! Datuk setan laknat! Kiranya semua ini adalah rencana busukmu!"
Datuk Tangan bertuah tak menjawab. Tapi segera membaca mantera-mantera. Bibirnya berkemak-kemik, dengan kedua lengan terkepal di depan dada. Tampak uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya. Mendadak dia membentak keras.
"Putu Langkan! lihatlah aku! Bukalah lebar-lebar matamu, dan lihatlah siapa aku? Kau berhadapan dengan seorang wakil dari Dewa Mambang Peri gunung Sorik Marapi! Bersujudlah di hadapanku! Bersujudlah! Kau harus menerima hukuman atas penolakanmu!"
Suara Datuk Tangan bertuah menggetarkan udara. Mengandung kekuatan hebat dari pengaruh il-mu hitam yang menindih dan mempengaruhi Putu Langkan yang tengah dimasuki roh setan.
Mendadak tubuh Putu Langkan tergetar hebat! Kekuatannya seperti punah. Wajahnya yang beringas perlahan-lahan memucat. Dan tampak berubah seperti ketakutan yang amat luar biasa melihat sang Datuk. Perintah bersujud itu kembali terdengar dan semakin meluluhkan kekuatannya. Pedangnya yang tadi digenggam kuat-kuat seketika terlepas. Dan detik berikutnya Putu Langkan telah jatuhkan dirinya berlutut dan bersujud di hadapan laki-laki itu.
"Haha.. bagus! Kini katakan sejujurnya di ma-nakah tempat rahasia Dewi Mutiara Hijau!" berkata Datuk Tangan bertuah dengan suara berubah lembut. "Kau pasti mengetahui karena ada bisikan gaib yang mengatakan kaulah orang yang mengetahui tempat rahasia Dewi Mutiara Hijau. Bila kau mau memberitahukan, kau akan selamat termasuk anak istrimu. Tapi bila kau menolak memberitahu maka jangan harap kau dan keturunanmu selamat dari maut!"
"Ampunkan hamba Datuk wakil Dewa Mambang Peri gunung Sorik Marapi...! Hamba benar-benar tak mengetahui tentang itu. Hamba hanya menemukan sebuah peta yang disimpan oleh istri hamba..." sahut Putu Langkan dengan suara lemah.
"Bagus, Putu Langkan! kau telah bicara sejujurnya. Aku akan memohonkan pengampunan dari Ra-a!" Datuk Tangan bertuah tersenyum menyeringai.
"Terima kasih! Terima kasih, Datuk wakil Dewa Mambang Peri gunung Sorik Marapi...! Oh, terima kasih...!" Putu Langkan kembali bersujud dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
Datuk Tangan bertuah tersenyum manggut-manggut. Tiba-tiba secepat kilat klewangnya menabas. Darah memuncrat ke udara. Tanpa dapat berteriak lagi Putu Langkan terjungkal roboh dengan kepala terlepas dari tubuhnya.
Kejadian mengerikan itu di luar dugaan. Bahkan anak buah sang Datuk tak menyangka sama sekali. Sesaat mereka terpaku memandang dengan ngeri melihat tubuh Putu Langkan tanpa kepala terkapar dalam kubangan darah. Akan tetapi detik itu sang Datuk telah membentak.
"Cepat kejar perempuan itu! Ingat! jangan sampai kalian membunuhnya!" Serentak mereka mengang-guk. Dan kejap selanjutnya belasan sisa anak buah Datuk Tangan bertuah segera berkelebatan memasuki hutan untuk mengejar istri Putu Langkan yang melari-kan diri bersama anak perempuannya.
Sang Datuk tertawa menyeringai menatap sosok tubuh Putu Langkan tanpa kepala. "Hahaha... istrimu si Rosma itu sayang kalau dibunuh! Dia cantik! Sudah lama aku mengharapkan jandanya...!" bergumam laki-laki ini. Kemudian membersihkan darah yang mengotori klewangnya, dan memasukkan lagi ke dalam serangkanya. Tak lama dia telah berkelebat menyusul masuk ke dalam hutan.
Malam gelap gulita menyelimuti alam. Sekitar lereng gunung Sorik Marapi menjadi hitam kelam. Perempuan bernama Rosma dan anak perempuannya yang berusia dua tahun itu belum diketemukan. Bahkan anak-anak buah Datuk Tangan bertuah yang mengejar terlebih dulu, telah kehilangan jejak buruannya.
Terpaksa Datuk Tangan bertuah dan anak-anak buahnya menunda pengejaran itu sampai terbit fajar. Malam yang gelap dan dingin itu mereka lewati dengan menginap di dalam hutan. Besoknya di kala fajar menyingsing, mereka meneruskan pelacakan mencari jejak perempuan itu.
Datuk Tangan bertuah membagi tugas untuk mendapatkan hasil yang memungkinkan dan tak memakan waktu lama. Dia berpendapat Rosma masih berada di sekitar tempat itu. Untuk mendaki puncak gunung pun rasanya sulit. Apalagi wanita itu membawa serta seorang bocah kecil. Walaupun dia mempunyai ilmu silat, tapi tak seberapa kekuatannya. Dan Datuk Tangan bertuah mengetahui itu.
"Kepung sekitar hutan ini sampai ke sisi lereng bukit itu!" perintah sang Datuk sambil menunjuk ke arah bukit batu yang tampak seperti menggantung di sisi lereng. "Periksa semua semak belukar! Aku yakin dia masih berada di sekitar tempat ini!"
"Baik, paman Datuk! Siap paman Datuk!" sahut mereka serempak. Lalu menyebar seperti yang telah di-tugaskan.
Datuk Tangan bertuah berdiri termangu. Rasanya dia sudah tak sabar untuk segera menemukan wanita itu. Sementara benaknya berpikir. "Heh! Peta rahasia itu tak boleh jatuh ke tangan orang lain! Karena ilham dan bisikan gaib itu telah ku peroleh dengan susah payah. Ya! Tak seorangpun yang kubiarkan memilikinya...!"
Hampir setengah hari mereka mencari dan mencari, akan tetapi sungguh aneh! Rosma dan anak perempuannya lenyap tak berbekas. Usaha mereka untuk menemukan wanita itu mulai menipis. Datuk Tangan bertuah yang ikut turun tangan mencari juga tak dapat menemukan jejak perempuan itu.
"Gila! kemana lenyapnya dia?" pikir sang Datuk dengan wajah merah padam dan tubuh letih lesu. "Apakah dia dan bocah itu disembunyikan hantu?" Datuk Tangan bertuah menggerutu dengan gigi berkerot-kerot. Setelah sekian lama mereka mencoba melacak lagi, namun tak juga mereka dapat menemukan. Maka sang Datuk pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan pelacakan.
"Semua berkumpul!" teriak Datuk Tangan bertuah. "Kita kembali saja! Besok atau lusa kita cari lagi ke mana jejak perempuan itu dengan membawa perbekalan yang cukup!"
Datuk Tangan bertuah menyadari anak buahnya tak dapat dipaksakan untuk terus mencari, karena tak adanya perbekalan. Sementara rasa lapar dan haus sudah menggerogoti perut dan tenggorokannya. Akhirnya sang Datuk dan anak buahnya kembali pulang dengan tangan hampa. Bah-kan den-gan membawa korban dari beberapa anak buahnya yang tewas dan luka-luka.
Datuk Tangan bertuah mengulangi usahanya mencari jejak Rosma pada keesokan harinya, namun sia-sia. Bahkan sampai lebih dari sebulan pencarian itu yang terus diulangi, tapi tetap tak membawa hasil. Rosma seperti lenyap ditelan hutan rimba.
Putus sudah harapan Datuk Tangan bertuah untuk menda-patkan peta rahasia yang menunjukkan tempat berse-mayamnya Dewi Mutiara Hijau. Yang berarti sia-sialah jerih payahnya mendapatkan petunjuk gaib.
Waktu berlalu demikian pesat. Tak terasa enam belas tahun telah lewat. Banyak sudah perubahan demi perubahan yang terjadi pada alam dan manusianya. Waktu yang telah lewat tak dapat terulang lagi. Yang kecil menjadi besar, yang muda menjadi tua. Dan yang tua akan mati.
Namun kematian tak ada seorangpun yang mengetahui. Tak kecil tak besar, tak muda tak tua. Kalau ajal sudah di ambang pintu, maka mautpun akan datang merenggut nyawa.
Pedalaman di kaki gunung Sorik Marapi pun telah mengalami banyak perubahan. Di sana telah berdiri sebuah bangunan besar kokoh bertembok batu. Itulah istana Datuk Tangan bertuah yang telah mengangkat dirinya menjadi Raja tanpa mahkota. Di sekitar bangunan istana itu tersebar puluhan rumah penduduk dan rakyat yang mengabdi pada sang Datuk.
Ternyata Datuk Tangan bertuah mempunyai pengaruh yang amat besar. Terbukti dia tak ada seorang pun penduduk sekitar wilayah kaki gunung Sorik Marapi yang menolak dirinya mengangkat menjadi Raja. Menggantikan Raja lama yang telah tua. Walaupun rakyatnya telah sepakat mengangkat sang Raja tua itu sebagai Raja seumur hidup.
Yang amat gila adalah perbuatan sang Datuk. Dia menyeret raja tua itu dan memasukkannya ke dalam penjara bawah tanah yang memang sengaja telah dibangun. Kemudian dengan paksa mengawini dua orang puteri kembar Raja Tua itu. Tak seorangpun yang berani menentangnya. Karena mereka tahu Datuk Tangan bertuah orang sakti. Kini Datuk Tangan bertuah menjadi orang yang amat berkuasa di pedalaman itu.
Dalam usianya yang hampir lima puluh tahun, kesaktian sang Raja tanpa mahkota tidak berkurang. Walaupun kulitnya telah berubah mengeriput, namun tenaganya masih dapat disamakan dengan tenaga kuda. Semua itu karena dia selalu melatih diri dan menambah ilmu dan kekuatannya. Karena Datuk Tangan bertuah menginginkan kehidupan sampai seribu tahun.
Mengapa sang Datuk berambisi sedemikian besar? Karena dia menginginkan kekuasaan yang lebih besar lagi, untuk menjadi orang yang paling berkuasa di tanah Pulau Emas itu. Yang menjadi tumpuan dan harapannya adalah, karena dia masih punya harapan untuk menemukan tempat rahasia Dewi Mutiara Hijau!
Dalam suatu petunjuk gaib setelah dia bertapa selama empat puluh hari, Datuk Tangan bertuah beroleh harapan besar. Karena suara gaib yang didengarnya mengatakan dia akan dapat menemukan Dewi Mutiara Hijau setelah melewati waktu enam belas tahun. Waktu yang dinantikan selama itu kini telah tiba. Semangat sang Datuk menggebu-gebu karena harapannya akan menjadi kenyataan.
Tampak di ruang depan istana, Datuk Tangan bertuah berjalan mondar-mandir dengan menggendong tangan. Dari mulutnya terdengar suara menggumam.
"Waktunya telah tiba...! Waktunya telah tiba! Hm, inilah saatnya aku akan berhasil mencapai cita-citaku. Selama enam belas tahun aku bersabar menunggu!" Mendadak dia tertawa tergelak-gelak. Seakan-akan kejayaan dirinya sudah terlaksana. "Haha-ha..hehe... Datuk Tangan bertuah akan berkuasa di seluruh pulau Andalas! Aku akan taklukkan raja-raja dari kerajaan di tanah Jawa!" Lengannya menyambar kendi arak di atas meja. Kemudian menenggaknya sampai ludas.
"Pengawal!" mendadak dia berteriak keras. Tergopoh-gopoh empat orang pengawal istana mendatangi, kemudian membungkuk memberi hormat.
"Ada titah apakah Tuan ku Datuk memanggil kami?" berkata salah seorang pengawal.
"Hm, panggil Panglima Bodong Jenong! suruh menghadap ku!" perintah sang Raja Datuk Tangan bertuah.
"Se... sekarang, tuan ku..?"
"Ya! sekarang, goblok!" bentak Datuk Tangan bertuah dengan mata melotot.
"Ba... baik, tuan ku! segera hamba laksanakan!" Pengawal ini segera membungkuk dan berjalan mundur. Kira-kira sepuluh langkah baru berdiri. Kemudian membalikkan tubuh, dan segera berjalan cepat keluar dari ruangan istana.
"Dan kau bertiga...." kata sang Datuk seraya menunjuk pada ketiga pengawal, sambil menutup hidung. "Kalian pergi mandi, sana! Cepaat! sebelum aku muntah mencium bau kecoa dari tubuhmu!" bentak sang Datuk.
"Ooh...!? Ba... baik, tuan ku Datuk!" sahut mereka serempak. Persis seperti yang dilakukan pengawal tadi, ketiga pengawal ini melangkah mundur sepuluh langkah, kemudian putar tubuh, dan... ngacirlah mereka untuk pergi ke kamar mandi di barak di belakang istana.
Baru saja ketiga pengawal itu lenyap, sang Datuk bersin berturut-turut lima kali. Inilah bersinnya yang terakhir.
"Hoatssyiiih!" Lendir kental pun berhamburan dari mulut dan hidungnya. "Pengawal jorok! tidak disiplin! Hu...ha...ha.. Haotssyiih!" Bersin yang paling akhir ini membuat sang Datuk terjungkal dari kursinya.
Mendengar kegaduhan di ruang depan istana, tiga pelayan wanita yang masing-masing berusia sekitar enam puluh tahun muncul dari pintu tengah. Tanpa menunggu perintah mereka berlarian memburu ke arah sang Datuk.
"Oalaa! Dewa Mambang..!?" teriak salah seorang. "Cepat! cepat beri pertolongan...!" Sibuk nian ketiga pelayan tua itu memberi pertolongan dan mencoba mengangkat tubuh sang Datuk.
"Cepat bantu aku mengangkat, Si buhui!" teriak perempuan tua baju kuning. Dia dan seorang perempuan kawannya tengah mencoba mengangkat tubuh Datuk Tangan bertuah yang terjerambab tak bergerak.
"Tunggu! Susur ku jatuh...! Oh, di mana ya? tadi menggelinding ke mari?" Perempuan tua baju hijau yang gemar menyirih tembakau dan selalu menye-lipkan gumpalan tembakau di sudut mulutnya itu si-buk mencari susurnya.
"Cepaat! tanganku sudah pegal, nih!" teriak si nenek baju kuning. Kawannya yang berbaju merah pun menggerutu. "Oalaaah, Si buhuy... Si buhuy...! Kau hanya memikirkan susurmu saja!"
"Nah, ini dia!" teriak girang wanita tua kurus kering itu. "Sudah ku terka, pasti menggelinding ke sini...." Cepat dijumputnya gumpalan tembakau yang basah oleh air ludah itu, kemudian menyelipkannya ke sudut mulutnya.
"Siap! aku datang membantu!" teriak Si buhuy. Kemudian dengan berjuang sekuat tenaga mereka mengangkat tubuh sang Raja untuk didudukkan. Bumi serasa berputar. Alam serasa gelap.
Datuk Tangan bertuah merasakan pandangan matanya berkunang-kunang. Namun tak lama diapun sadarkan diri, karena ketiga nenek peot itu dengan telaten menguruti teng-kuk dan memijit kepalanya bergantian.
"Hu!... di mana aku?" bertanya sang Datuk dengan pandangan mata masih samar-samar.
"Di istana, tuanku Datuk!" sahut si nenek baju kuning.
"Si... siapa kalian?" tiba-tiba Datuk Tangan bertuah membentak.
"Kami tiga pelayan istana... tu.. tuanku Datuk" sahut ketiga nenek dengan serentak. "Kami melihat tuanku Datuk terjatuh dari kursi. Kemudian kami berusaha menolong membangunkan...!" Si buhui menjelaskan.
Pandangan mata sang Datuk pun kembali terang. Seketika wajahnya menjadi merah karena malu. "Ka... kalian pergilah semuanya! Cepat! aku bisa bangun sendiri!" berkata Datuk Tangan bertuah.
"Baik, tuanku Datuk!" serempak para inang itu menyahut. Kemudian sama-sama membungkuk, dan melangkah mundur. Sayang belum sampai sepuluh langkah, kaki Si buhuy membentur jambangan bunga di sisi ruangan. Tak ampun lagi dia jatuh terjengkang.
"Aiii! Si buhuy yang malang...!" teriak kaget kedua kawannya. Dengan cepat mereka menolong membangunkan nenek pelayan istana itu.
"Pinggangku...! Aduuh, pinggangku... patah rasanya" merintih Si buhuy. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Sebelah tangannya mengurut-ngurut pinggangnya.
"Ssst! sudahlah! tahan saja!"
"Ayo, cepat kita ke belakang!" Kedua nenek itu menarik tangan Si buhuy. Yang seorang memapahnya. Tunggu...!" tiba-tiba Si buhuy menahan langkah.
"Ada apa lagi?"
"Itu... su.. ssu... susurku! Susurku terlepas tadi ketika aku jatuh!"
"Oalaaaah! Dewa Mambang...! Susur lagi???" mendelik mata kedua inang. Namun kali ini mereka tak mengubris kata-kata Si buhuy Dengan cepat mereka menarik lengan nenek itu, setengah paksa Si buhuy diseret masuk. Tak lama ketiga pelayan istana itu lenyap di pintu ruang belakang istana....
Sementara Sang Datuk masih berdiri tegak di tempatnya. Bibirnya menggumam. "Ini gara-gara bau tubuh ketiga pengawal itu! Kurang ajar! mereka harus diberi hukuman!" Selesai menggerutu, sang Datuk se-gera beranjak memasuki ruangan dalam istana untuk berganti pakaian...
Kita menengok ke satu tempat jauh di sebelah selatan gunung Sorik Marapi. Wilayah ini berada dalam kekuasaan seorang raja muda yang bergelar Datuk Raja Baganang. Kekuasaannya cukup luas dan dia amat disegani oleh rakyatnya. Wilayah kerajaan yang tadinya aman itu ternyata telah terusik oleh kemunculan orang-orang jahat yang membuat keonaran.
Tentu saja hal itu membuat keadaan yang aman tenteram menjadi kacau. Di sana-sini terjadi perampokan, pemerkosaan dan berbagai kejahatan lainnya. Laporan-laporan yang diterima sang Raja muda membuat sang pemimpin rakyat ini menjadi terkejut.
Maka pada suatu hari Datuk Raja Baganang segera mengumpulkan para menteri dan panglima-panglima kerajaan untuk berembuk.
"Menteri perang! Menteri Keamanan! Dan... para Panglima Kerajaan lainnya! Sengaja aku mengundang kalian untuk berkumpul, karena aku akan membicarakan masalah penting mengenai wilayah kerajaan kita...!" Datuk Raja Baganang memulai bicara.
"Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan kita sejak beberapa tahun belakangan ini adalah kerajaan yang aman dan sentausa. Semasa aku menjabat sebagai Raja muda di negeri ini, tak pernah kekurangan suatu apa pada rakyat. Karena aku selalu melihat kehidupan rakyat dari bawah! Melihat sesuatu memang harus dari yang paling bawah. Bila keadaan rakyat golongan bawah sudah makmur, maka golongan atas sudah tentu makmur! Akan tetapi bila kita melihat dari atas dulu, belum tentu demikian. Golongan atas kelihatannya makmur. Akan tetapi tidaklah demikian dengan keadaan rakyat golongan bawah. Karena rakyat golongan bawah belumlah tentu makmur!" ujar sang Raja muda. Kemudian meneruskan pidatonya.
"Mengapa aku mengatakan demikian? Karena sudah menjadi kebiasaan bahwa kedudukan atas akan membuat orang menjadi silau. Pangkat tinggi bisa membuat orang lupa atau khilaf. Karena di saat itulah manusia mudah lupa diri. Seperti kata pepatah; lupa kacang pada kulitnya...! Tak jarang kita mendengar bahkan melihat bukti nyata, bahwa banyak rakyat kecil yang ditindas! diperas! diperbudak sewenang-wenang...! Terkadang laporan yang diterima Raja tidak sesuai dengan kenyataan!"
Kembali sang Raja muda berhenti sebentar untuk menatap pada para Menteri dan Panglima-Panglimanya. Mereka semua menundukkan kepala mendengarkan dengan hidmat. Beberapa Menteri tampak manggut-manggut. Yang paling terlihat jelas adalah sikap Menteri Keamanan.
Wajahnya sepucat kain lusuh. Walaupun kepalanya manggut-manggut, tapi keringat sebesar-besar kacang mengalir turun dari pelipisnya. Walau sang Raja muda tak menatap kepadanya, tapi seolah-olah pandangan mata Raja tertuju pada dia. Untunglah lanjutan kata-kata baginda Datuk Raja Baganang dalam pidatonya membuat sang Menteri menarik napas lega.
"Aku tidak menuduh kalian para Menteri dan Panglima memberikan laporan palsu...! Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya memberikan perumpamaan. Karena bukan hanya seorang Menteri saja yang bisa berbuat salah! Seorang Raja seperti akupun bisa melakukan kesalahan! Tapi selama ini adakah kesalahan yang kalian lihat dalam pemerintahanku?" Pertanyaan itu serempak disambut dengan kata-kata yang berbareng riuh.
"Tidaaaak...!"
Sejenak sunyi hening. Semua yang hadir terdiam menunggu pembicaraan Raja selanjutnya.
"Syukurlah...!" berkata sang Raja muda.
"Nah! sebagaimana kalian melihat sendiri, rakyat dalam keadaan tenteram, makmur kertaraharja. Tapi belakangan ini mulai banyak terjadi kekacauan! Bukan hanya laporan saja yang telah kudengar. Bahkan aku melihat sendiri dengan mata kepala, bahwa rakyat benar-benar terancam oleh munculnya berbagai kejahatan yang tadinya sembunyi-sembunyi, kini telah main kekerasan. Entah apakah pengacau itu dari golongan luar, ataukah dari golongan dalam yang sengaja menyamar...! Hal inilah yang perlu kita rembugkan! Kita musyawarahkan, bagaimana cara untuk menanggulanginya. Atau untuk melenyapkan kekalutan itu! Karena kalau kita biarkan berlarut-larut, akan sangat membahayakan bagi keselamatan Kerajaan!"
Sejenak semua terdiam. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. "Nah! Itulah yang akan kukatakan sebagai bahan pemikiran kita dalam pertemuan kita ini! Selanjutnya aku serahkan pada Penasihat Kerajaan untuk memberikan seulas kata, sekapur sirih untuk kita sekalian...!"
Demikianlah, seusai penasihat Kerajaan mem-beri kata sambutan. Maka para Menteri dan Panglima segera mengadakan perembugan mengenai langkah-langkah yang akan mereka laksanakan demi menanggulangi berbagai kejahatan yang melanda wilayah Kerajaan dan meresahkan rakyat Kerajaan Bunga Teratai itu.
Hasil musyawarah dan kata sepakat segera didapatkan. Yang banyak berperan dalam hal ini adalah tugas Menteri Pertahanan dan Panglima Perang. Maka setelah kata sepakat disetujui oleh baginda Datuk Raja Baganang, selesailah perundingan itu. Para Menteri dan Panglima dipersilahkan kembali ke rumah masing-masing. Rencana-rencana selanjutnya diatur oleh Menteri Pertahanan dan Panglima Perang di luar istana.
Tiga hari setelah perundingan di istana Bunga Teratai.... Dari ujung jalan tampak tersembul sesosok tubuh. Langkahnya ringan dan lebar. Ternyata dia seorang pemuda berpakaian kain putih dari bahan kasar. Yang tampak agak lucu adalah celananya yang gombrong dan sebentar-sebentar sambil mulutnya terus bersiul-siul, lengannya membenarkan celananya yang kedodoran.
Di bahunya menggemblok sebuahbuntalan kain butut yang bertambal. Rambutnya ikal, gondrong dan tampak awut-awutan. Sepasang ma-tanya mirip mata orang yang kurang tidur. Namun anehnya dia melangkah dengan biasa saja tanpa keli-hatan lesu atau letih. Siapa adanya laki-laki ini? Tiada salah lagi! Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung.
"Hm, ini sudah wilayah Kerajaan Bunga Teratai...! Bagus! aku sudah cukup letih melakukan perja-lanan jauh. Tak lama lagi tentu segera aku tiba di Kota Raja..." berkata Nanjar dalam hati.
Sementara matanya memperhatikan sebuah tugu yang berukiran sebuah lukisan berbentuk bunga Teratai yang berada di sisi ja-lan. Itulah tugu perbatasan Kota Raja. Dan ukiran bunga Teratai itu adalah lambang dari Kerajaan Bunga Teratai.
Nanjar mempercepat langkahnya. Tampaknya dia ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan. Akan tetapi baru saja sepeminum teh dia mengayunkan kakinya, mendadak terdengar bentakan keras.
"Berhenti!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya tiga bayangan sosok tubuh. Dan dalam waktu sekejapan saja dia telah dikurung oleh tiga orang laki-laki yang berperawakan kekar. Masing-masing pakaiannya berwarna berbeda. Akan tetapi mempunyai ikat kepala rata-rata berwarna putih. Walaupun bentuk dan besar-kecilnya berbeda.
"Eh? ada apa nih? Ko' tiba-tiba aku dikurung...? Siapakah kalian?" Nanjar putarkan tubuhnya. Matanya menatap satu-persatu orang yang mengurungnya.
"Tak usah banyak tanya! Kalau kau mau selamat, menyerahlah! Kami akan membawamu ke tempat ketua kami! Biar ketua kami yang memeriksamu...! Kalau ternyata kau tak bersalah, kau dibebaskan!" berkata laki-laki baju kembang berwarna biru.
Dewa Linglung terpaksa menuruti keinginan ketiga orang tersebut. Dia digiring memasuki jalan di dalam hutan jati. Beberapa saat antaranya mereka telah sampai di tempat yang dituju.
"Kita berhenti di sini!" berkata laki-laki yang menodongkan ujung klewangnya ke punggung Nanjar.
Nanjar memandang ke arah depan dan memperhatikan sekitarnya. "Hm, manakah ketua kalian?" tanya sang Pendekar.
Ketiga laki-laki itu memberi tanda dengan dengan dua buah jari mulutnya, tak menjawab. Tapi salah seorang menggunakan suitan, yang dilakukan tangan yang dimasukkan ke dalam.
Sesosok bayangan berkelebat keluar dari balik bongkah batu besar yang berada di sebelah depan. Nanjar memperhatikan gerakan orang yang baru datang ini. Gerakannya cukup gesit. Kedua kakinya menginjak tanah tanpa menimbulkan suara. Jelas seorang yang berkepandaian tinggi.
Ternyata pendatang ini seorang yang bertubuh sedang, tidak kekar seperti ketiga laki-laki itu. Pinggangnya pun ramping. Walau orang ini mengenakan topeng yang membungkus seluruh kepala, dan menutupi tubuhnya dengan jubah hitam, tapi Nanjar dapat menerka dia seorang wanita.
"Heh! andakah ketua ketiga kecoa ini?" tanya Nanjar.
Ketiga laki-laki itu sejenak jadi plototkan mata mendengar Nanjar menyebut mereka, tiga kecoa. Tapi tak berani mengadakan tindakan apa-apa. Serentak mereka menjura. Salah seorang berkata.
"Orang ini kelihatan mencurigakan. Harap ketua memeriksa isi kain buntalannya. Ternyata dia juga menyembunyikan senjata di balik pakaian di belakang punggungnya!" berkata salah seorang. Kali ini yang bicara adalah laki-laki yang bercambang bauk lebat.
Dari balik topeng, tampak terlihat sepasang mata yang menatap tajam berkilat-kilat menatap Nanjar. Yang tersembul dari dua buah lubang pada kain topeng penutup kepala.
"Siapakah namamu, sobat? Dan apa tujuanmu memasuki wilayah Kota Raja?" bertanya sang ketua. Suaranya tajam dan ketus. Dugaan Nanjar memang tak salah. Karena dari suaranya dia sudah dapat mengetahui dari jenis mana sang ketua itu.
"Pertanyaan yang sopan...!" sahut Nanjar. "Tapi juga aneh! Mengapa tanya-tanya soal nama dan tujuanku memasuki Kota Raja segala? Memangnya ada apa, sih? Apakah setiap orang yang dianggap mencurigakan akan ditahan dan disidang seperti ini?" Nanjar garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Keadaan Kota Raja sedang gawat. Banyak orang jahat menyelusup untuk membuat kekacauan. Kami adalah orang Kerajaan yang menyamar...!" berkata si ketua, seraya mengeluarkan lambang bunga Teratai dari balik bajunya.
"Oo... begitu?" Nanjar baru mengerti. "Apakah ketiga sobat yang menangkapku juga orang-orang Kerajaan?"
"Benar! Mereka adalah tiga orang prajurit pilihan yang mendapat tugas untuk memata-matai dan menangkap orang yang mencurigakan!" sahut si ketua.
Nanjar manggut-manggut. Merasa memang ada baiknya dia menjelaskan maksud tujuannya, maka Nanjar pun memperkenalkan diri. "Namaku, Nanjar! Lengkapnya Ginanjar...! Tujuanku adalah mau menemui seseorang yang bernama Kecak Mendala. Katanya dia berdiam di dalam Kota Raja kerajaan Bunga Teratai"
Kalau saja tak mengenakan topeng, akan terlihat paras muka si ketua berubah seketika. Tiba-tiba lengannya bergerak cepat. Tahu-tahu sebuah pedang tipis telah berada di genggaman tangannya. Detik berikutnya ujung senjata si ketua telah menempel di kulit leher Nanjar.
"Katakan! ada hubungan apa kau dengan Panglima Kecak Mendala?"
Walaupun terkejut bukan main, namun Nanjar masih bisa tersenyum. Kecepatan gerakan lengan si ketua itu memang mengagumkan. Seandainya Nanjar mampu berkelit pun setidak-tidaknya kulit lehernya akan kena serempetan ujung pedang tipis si ketua. Tapi dia sengaja tak menggerakan tubuh sedikitpun. Karena dia berkeyakinan tak mungkin wanita bertopeng itu akan menurunkan tangan keji untuk membunuhnya.
"Cepat katakan! Ada hubungan apa kau dengan Panglima Kecak Mendala?" membentak lagi si ketua karena melihat Nanjar masih berdiri terpaku.
Tapi Nanjar malah tersenyum dan berkata. "Aneh...!? Kau katakan bahwa kau adalah orang Kerajaan, tapi mengapa kau bersikap seperti ini? Aku sendiri baru mengetahui kalau Kecak Mendala adalah seorang Panglima Kerajaan Bunga Teratai. Apakah dia seorang penjahat besar? Kalau dia seorang penjahat mengapa menjabat sebagai seorang Panglima Kerajaan? Dan kalau dia seorang Panglima mengapa kau tak menghargai sahabatnya dan bersikap seperti ini?"
"Hm, aku... aku hanya khawatir kau mata-mata yang sengaja datang untuk membuat kekacauan!" ujar si ketua seraya menurunkan pedangnya. Tampaknya dia sadar kalau dia telah terbawa rasa curiga yang amat besar.
"Maksudmu kau khawatir secara diam-diam Panglima Kecak Mendala akan mengadakan pemberontakan? Hingga kau mencurigaiku turut berkomplot dengannya?" terka Nanjar.
"Secara terang-terangan aku tak menuduh. Tapi setiap orang berhak mencurigai. Walaupun pada sesama orang Kerajaan!" sahut si wanita bertopeng dengan suara tegas.
"Bagus! Itu tandanya kau adalah seorang abdi Kerajaan yang jempolan!" Puji Nanjar.
"Cukup! saat ini aku tengah memeriksa dirimu! Setelah kau menjawab pertanyaanku, segera kau buka isi kain buntalanmu untuk diperiksa!" bentak si ketua.
"Haha... baik! baik! Seorang tawanan memang harus menurut pada perintah orang yang menawannya kalau tak ingin celaka!" kata Nanjar dengan tertawa. "Tapi apakah yang sebenarnya telah hilang atau dicuri orang, hingga kau harus memeriksa isi kain buntalanku?"
"Kau benar-benar cerewet! Tapi tak apalah, aku akan memberitahukanmu! Yang telah hilang adalah sejumput perhiasan yang telah dicuri orang dari dalam kamarku!" sahut si wanita ketua.
"Perhiasan milikmu?"
"Benar!"
"Setahuku orang yang selalu menyimpan perhiasan di kamarnya adalah seorang perempuan.... Jadi benarlah dugaanku, kau bukan seorang laki-laki!" kata Nanjar sambil tersenyum.
"Aku tak mengatakan aku laki-laki! Tapi aku juga tak mengatakan aku seorang perempuan!" kata wanita bertopeng ketus. "Sudahlah! Cepat kau jawab pertanyaanku!" bentak si ketua.
Nanjar mengangguk. "Baik! aku akan ceritakan padamu tentang hubunganku dengan sahabatku itu." kata Nanjar.
Kemudian segera menceritakan bagaimana dia dapat berkenalan dengan Panglima Kecak Mendala di tanah Jawa. Perkenalan mereka sudah sejak setahun yang lalu. Yaitu ketika terjadi huru-hara meletusnya sebuah gunung berapi. Nanjar berusaha menyelamatkan nyawa penduduk dari genangan lahar. Tak sedikit harta dan ternak yang menjadi korban.
Di saat itulah dia melihat seorang laki-laki tengah sibuk memberi pertolongan pada penduduk sekitar lereng gunung yang tertimpa bencana. Gerakannya amat gesit. Begitu cekatan sekali orang itu memberi pertolongan. Akhirnya keduanya saling bahu membahu memberi bantuan serta pengungsian bagi penduduk desa tersebut. Mencarikan ransum, menolong yang terluka dan sebagainya.
Mereka pun berkenalan. Orang itu memperkenalkan dirinya. Dia bernama Kecak Mendala, berasal dari tanah seberang. Yaitu dari kepulauan Andalas. Peristiwa setahun yang lalu itu seperti terbayang jelas di pelupuk mata Nanjar. Sebelum berpisah, Kecak Mendala memberikan sebuah peta yang menunjukkan tempat di mana Kecak Mendala berada.
Selain itu Kecak Mendala juga memohon kesediaannya untuk datang ke tempatnya, karena dia memerlukan bantuan untuk memecahkan rahasia sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya harta yang tak ternilai harganya. Kecak Mendala memberikan separuh peta itu. Sedangkan separuh lagi dibawanya.
Dengan demikian secara setengah paksa Nanjar mau tak mau diharapkan kedatangannya di Pulau Andalas. Nanjar berjanji tahun di muka akan mencari Kecak Mendala untuk membantu menyelidiki peta rahasia itu.
Sampai di sini Nanjar mengakhiri penuturannya. Sejak dari awal sampai akhir si ketua mendengarkan penuturan Nanjar dengan serius. Dia memuji ketulusan hati serta sifat kependekaran Nanjar dan Kecak Mendala dalam membantu orang yang menderita kesusahan. Pada perihal peta, seketika wajahnya berubah.
Tapi diam-diam benak si ketua ini berfikir. "Hm, aneh! Dari penuturan pemuda ini dapat diketahui si Kecak Mendala itu orang baik-baik. Tapi bisakah aku menghilangkan kecurigaanku bahwa bukan dia yang mencuri perhiasanku? Karena aku memang pernah melihat dia memasuki kamarku...! Kalau bukan dia pencurinya, lalu siapa? Dan kalau memang benar dia pencurinya, untuk apakah perhiasan yang tak berharga buat dirinya itu?"
Wanita bertopeng ini tercenung beberapa saat. "Apakah sebenarnya di balik semua ini?" berkata dia dalam hati. Kembali benaknya memikir. "Aku yakin bukan perhiasan itu yang diinginkan si pencuri, tapi pembungkus perhiasan itu! karena baru kusadari kalau benda yang kupergunakan untuk membungkus itu adalah sebuah peta rahasia!"
Dilihatnya si pemuda masih berdiri menatap padanya. "Bolehkah aku melihat sepotong peta yang berada padamu itu?" tanya si ketua ini dengan suara halus.
"Haha... mengapa tidak? Asalkan nona mau membuka topeng dan memperlihatkan wajah secara terang-terangan. Hingga aku bisa mengetahui apakah nona seorang gadis cantik ataukah seorang nenek keriput penuh jerawat?" kata Nanjar dengan tersenyum dan menyipitkan sebelah matanya.
"Huh! laki-laki ceriwis!" memaki si ketua. Mendadak dia melompat ke depan. Lengannya meluncur cepat untuk menampar pipi Nanjar.
Dewa Linglung cepat miringkan tubuhnya menghindar. Tiba-tiba secepat kilat lengannya bergerak menangkap pinggang wanita bertopeng itu. Gerakan itu ternyata diteruskan dengan mendorong tubuh si ketua hingga terjerembab ke tanah.
Tentu saja membuat kaget wanita bertopeng itu karena dalam keadaan jatuh itu lengan Nanjar masih memeluk pinggangnya. Sesaat si ketua melihat bumi berputar. Ternyata Nanjar dengan memeluk erat wanita itu telah menggulingkan tubuh beberapa kali.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar jeritan saling susul merobek udara. Apakah yang terjadi sebenarnya? Kiranya pada saat si wanita bertopeng mengangkat tangannya untuk menampar pipi Nanjar, tiba-tiba Nanjar mendengar suara bersiutannya benda-benda halus membias udara yang meluruk ke arah mereka.
Tak berayal Nanjar menangkap pinggang si ketua setelah berhasil menghindari tamparan. Kemudian mendorong tubuh si wanita bertopeng dan bergulingan di tanah beberapa kali. Puluhan senjata rahasia yang meluruk ke arah mereka berhasil lolos dari sasarannya. Akan tetapi ketiga prajurit kerajaan itu terjungkal roboh terkena serangan gelap tersebut.
Nanjar telah melepaskan pelukannya dan melompat berdiri dengan siap siaga. Si wanita bertopeng pun dengan gerakan sebat segera bangkit berdiri. Kalau saja dia tak mengenakan topeng, akan terlihat wajah wanita itu pucat pias. Dilihatnya ketiga orang anak buahnya telah berkaparan meregang nyawa. Tapi selang beberapa detik mereka tak bergerak lagi, karena nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Di saat itulah tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak-gelak yang memecah udara sekitar hutan kecil itu. Suara tertawa itu berhenti. Dan sebuah bayangan kuning dan merah berkelebat muncul dari balik kerimbunan daun pohon besar. Jejakkan kaki kedua sosok tubuh itu menimbulkan getaran di tanah yang terasa pada telapak kaki.
"Haha..hohoho... cara menghindarkan diri yang pintar! Di samping nyawa selamat, tapi dapat merasai hangatnya tubuh seorang gadis! Kau benar-benar pintar, Dewa Linglung...!" gembor si laki-laki baju merah.
Ternyata dia seorang laki-laki yang bertubuh miring ke kanan. Perawakannya disebut jangkung tapi pendek. Disebut pendek tapi jangkung. Mungkin karena tubuhnya yang miring itulah hingga sukar menerkanya.
Berbeda dan berlawanan dengan laki-laki berbaju kuning, kalau si baju merah bertubuh miring ke kanan, adalah si baju kuning ini tubuhnya miring ke kiri. Wajah keduanya hampir tak dapat dibedakan. Sama-sama berambut panjang sebatas punggung. Bertampang kasar. Muka penuh brewok dengan sepasang mata sipit seperti meram.
Di pinggang masing-masing tergantung gelang-gelang besi dengan ukuran besar. Gelang-gelang besi itu terikat menjadi satu hingga tak mengeluarkan bunyi bila mereka bergerak.
Kalau Nanjar terkejut melihat kemunculan kedua orang ini, sebaliknya si wanita bertopeng merah wajahnya dan terasa panas. "Manusia-manusia busuk! Kalian membunuh orang dengan cara licik dan pengecut! Bahkan berbuat seenak perutmu saja! Kalian harus menebus kematiannya dengan jiwamu!"
"Haha...hoho... Dewa Linglung! Serahkan peta rahasia yang berada ditanganmu! Orang macammu mudah terpikat oleh perempuan! Kami diperintahkan ketua untuk membunuhmu dan mengambil peta itu! Tapi biarlah aku ampuni jiwamu! Asalkan kau berikan benda itu, dan kau boleh minggat secepatnya dari wilayah ini! Jangan sampai guru sendiri yang turun tangan!" menggembor si baju merah.
Nanjar jadi gelagapan mendengar kata-kata si brewok miring ke kanan ini. "Apa... apa maksudmu? Ketua siapa..?" Sentak Nanjar.
Tapi si baju merah telah membentak lagi. "Manusia pandai berpura-pura! Setelah nyawa busukmu diampuni Ketua, kau kembali mau berkhianat! Ternyata kau tidak menyerahkan benda itu pada ketua! Bahkan mengarang cerita bohong guna menipu gadis bertopeng ini! Huh! sekarang berpura-pura tak mengenal Ketua? Kau memang layak dibunuh mampus!"
Semakin gelagapan Nanjar mendengar kata-kata si brewok baju merah. Adapun si wanita bertopeng jadi terkesiap mendengarnya.
"Heh! ternyata kalian semua adalah manusia-manusia busuk!" teriak wanita ini seraya menunjuk Nanjar dan kedua manusia miring itu.
"Eh? tu... tunggu..!" teriak Nanjar gelagapan.
"Manusia keparat! ternyata kaulah yang telah mencuri perhiasan berikut peta itu!" Bentakan si wa-nita bertopeng disusul dengan serangan dahsyat. Pedang tipisnya tahu-tahu telah menabas ke arah Nanjar.
Whuuut! whuuut!
Nanjar tersentak kaget. Untunglah dengan gesit dia sempat mengelakkan diri. Tapi secara berbareng si baju merah miring ke kanan dan si baju kuning miring ke kiri telah melakukan serangan. Dua pukulan berbahaya meluncur ke arahnya. Nanjar tahu pukulan itu berisi tenaga dalam tinggi, karena hawa panas yang menyambar membuat tubuhnya serasa terpanggang.
Nanjar tak menggunakan pukulannya untuk memapaki kedua serangan yang telah dihimpun itu hingga menghasilkan tenaga dua kali lipat. Akan sangat besar bahayanya. Namun dengan gerakan gesit dia menggunakan ilmu melompat Kera Sakti. Gerakan melompat jungkir balik itu ternyata banyak menolongnya. Karena bertubi-tubi kedua lawannya melakukan serangan selalu mengenai tempat kosong.
Sambil mengelakkan diri, Nanjar berpikir dalam benak, siapakah adanya kedua orang miring itu yang mengenal julukan dirinya? Tapi dia tak dapat berpikir lebih banyak karena serangan pedang tipis si wanita bertopeng tak memberi peluang sedikitpun pada Nanjar untuk beristirahat.
Diiringi bentakan-bentakan keras wanita ketua ini menerjang dengan tabasan dan tusukan pedang tipisnya. Tentu saja dalam beberapa jurus saja si Dewa Linglung kelihatan mulai terdesak. Yang menyebabkannya adalah karena Nanjar tak ingin menurunkan tangan keji sebelum mengetahui siapa adanya kedua orang itu. Disamping Nanjar ingin pula mengetahui ketua mereka. Dan hal lainnya yaitu diapun tak ingin melukai si wanita bertopeng.
Melihat keadaan Nanjar mulai terdesak, si baju merah perdengarkan suara tertawa mengejek. "Ha-ha..hehe.. ternyata nama Dewa Linglung cuma nama kosong saja! Kabarnya memiliki senjata pedang mustika Naga Merah. Ingin kulihat kehebatan pedang mustika itu! Apakah dia mampu memainkannya dengan baik?"
"Hohoho... pedang mainan anak-anak! Paling-paling dia cuma membawa-bawa untuk menakut-nakuti tikus!"
Merahlah seketika wajah Nanjar. Ketika suatu saat ada peluang yang baik, Nanjar melompat mundur dua tombak. "Heh! dua manusia miring! agaknya kau mau merasakan ketajaman pedang mustika ini? Baiklah! jangan menyesal kalau kepalamu menggelinding dari batang lehermu!" berkata Nanjar dengan suara dingin. Mendadak secepat kilat dia mencabut senjata musti-kanya.
Memancarlah seketika secercah sinar merah menerangi sekitar tempat itu. Tak terasa si wanita bertopeng melangkah mundur. Matanya membelalak karena takjub melihat keanggunan pedang di tangan Nanjar. Adapun kedua laki-laki bertubuh miring ke kanan dan ke kiri itu perlihatkan senyuman di bibir.
Si baju merah menoleh pada kawannya. Bibirnya mendesis. "Hehe... pancingan kita mengena! Inilah kesempatan mendapatkan pedang Naga Merah yang merupakan kunci utama di samping sepotong peta rahasia yang berada ditangannya..!"
Si baju kuning mengangguk. "Mari kita mulai..!" si Baju kuning memberi isyarat. Serentak keduanya segera meloloskan gelang-gelang besi yang tergantung di pinggang masing-masing.
"Bagus! ingin kulihat kehebatanmu memainkan pedang mustika itu! Kami akan menghadapimu dengan senjata istimewa kami!" berkata si baju merah.
Sringng..! Sringng..!
Si baju kuning melompat ke belakang Nanjar. Di kedua lengannya digenggam erat masing-masing lima buah gelang di tiap lengan. Sementara si baju kuning dengan sigap segera memasang kuda-kuda. Di kedua lengannya tergenggam senjata aneh yang berjumlah sama seperti yang berada di tangan kawannya.
Wanita bertopeng ini agaknya merasa dia lebih baik menjadi penonton. Karena perasaan malu tiba-tiba menyelinap dihatinya kalau dia harus ikut-ikutan mengeroyok. Cepat dia melompat menjauh. Dengan berdiri di atas batu pada tempat ketinggian dia bisa menyaksikan jalannya pertarungan. Sementara hatinya berkata-kata.
"Dewa Linglung...? Ah, serasa aku pernah mendengar paman Menteri Perang menyebut-nyebut gelar yang aneh itu? Apakah dia si pendekar yang juga digelari si Pendekar Pedang Naga Merah?" membisik hatinya. "Ah! kalau benar dia orangnya, berarti dia seorang pendekar yang berada di jalan lurus! Tak mungkin dia bermaksud buruk pada kerajaan Bunga Teratai. Akan tetapi dikhawatirkan dia diperalat untuk tujuan tidak baik. Aku tak dapat menuduh Panglima Kecak Mendala berniat buruk, karena belum ada bukti! Tapi lenyapnya peta yang telah kusimpan selama empat belas tahun itu cukup untuk aku bercuriga padanya..!"
Wanita bertopeng ini tak dapat berpikir lebih jauh, karena dia harus memusatkan perhatiannya pada jalannya pertarungan yang sudah dimulai sejak beberapa detik barusan. Terlihat si kedua miring mulai mengadakan gempuran pada lawannya. Gelang-gelang besi si baju merah dan kawannya si baju kuning ter-nyata merupakan senjata hebat yang amat berbahaya.
Setiap kali benda itu dilempar akan kembali ke arah pemiliknya. Bahkan benda-benda itu seperti menurut pada kehendak pemiliknya. Dapat ditarik di mana di-perlukan tanpa harus membentur senjata lawan. Mereka melakukan serangan dengan bekerja sama. Setiap serangan akan disusul dengan serangan berikutnya.
Hingga tampaknya Nanjar cukup sulit menghadapi senjata-senjata aneh itu. Karena dengan bekerja sama seperti itu mereka menggunakan senjatanya sebanyak dua puluh buah yang dipergunakan untuk menyerang saling bergantian.
Cring! Cring! Cring!
Lima gelang besi meluncur kelima bagian tubuh Nanjar. Menyusul serangan dari arah kiri yang dilakukan si baju kuning. Enam buah gelang besi menyambar ke arah tempat kosong di kiri-kanan si Dewa Linglung. Serangan semacam ini membingungkan Nanjar. Karena jalan untuk membuyarkan serangan adalah cuma memutar pedang atau menghantam dengan pukulan.
Sedang jalan untuk menghindari adalah dengan bergerak ke kiri atau ke kanan, ke depan dan ke belakang, atau ke tempat kosong dengan melompat ke atas. Sedangkan serangan si baju merah datang dari arah depan. Dari pertarungan beberapa jurus tadi. Nanjar sudah dapat membaca gerakan si Baju Kuning, yang selalu menyerang ke arah tempat kosong.
Bahkan kalau dia kurang waspada dan bertindak sembrono sudah sejak tadi dia terkena serangan gelang-gelang besi si Baju Kuning. Kali ini Nanjar gunakan jurus Menghantam Badai untuk menggempur lima gelang besi. Sedangkan pedangnya diputar ke kiri dan ke kanan.
Akan tetapi seperti juga tadi, secara mendadak gelang-gelang besi si Baju Merah secara aneh berhenti meluncur. Dan kembali ke tangan pemiliknya dengan meluruk pesat. Dalam sekejapan saja telah tergenggam lagi di tangan si Baju Merah. Putaran pedangnya ternyata cuma membelah angin, karena secepat kilat gelang-gelang besi si Baju Kuning balik lagi ke tangan si manusia miring ke kiri itu.
"Senjata edan!" memaki Nanjar dalam hati.
Singng! Singng..! Dua buah gelang tahu-tahu sudah meluncur lagi menyambar ke arah tengkuk dan punggung. Berbareng pula dengan serangan si Baju Merah lagi. Nanjar menggigit bibirnya. Memusatkan perhatian dengan sepenuhnya. Nalurinya sangat peka dan secara reflek dia dapat membuang tubuh dengan cara berguling di tanah. Kesempatan berguling itu dipergunakan Nanjar untuk menghantam dan menabaskan pedangnya ke arah kaki-kaki lawan.
Menggunakan cara ini ternyata cukup membuat kedua manusia miring itu agak sukar menyerang lawan. Bahkan mereka kini harus melompat-lompat menghindari tabasan pedang Nanjar dan menghindari pukulan-pukulan si Dewa Linglung. Serangan dari arah bawah ini agak merepotkan mereka.
Karena gerakan Nanjar tak ubahnya bagai gerakan seekor ular. Itulah memang jurus-jurus Raja Siluman Ular yang telah dipergunakan Nanjar. Dengan jurus ini dia berada di atas angin, karena kedua manusia miring itu tak sempat mempergunakan senjata gelang-gelang besinya.
Si wanita yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, diam-diam merasa kagum melihat kelihaian Nanjar yang mampu membendung serangan lawan. Bahkan kini berbalik menyerang, yang tadinya cuma mampu bertahan.
Dua manusia miring yang berwajah hampir mirip satu dengan lainnya itu adalah dua orang yang berjulukan si Sepasang Iblis Gelang Maut. Dua tokoh berilmu tinggi yang pernah menggemparkan wilayah utara Pulau Andalas. Tujuannya adalah merampas peta berikut pedang Mustika Naga Merah. Disamping telengas, keduanya amat licik. Seribu satu kelicikan dimiliki mereka.
Tiba-tiba si baju merah memberi tanda dengan menggunakan isyarat suara melengking bagai suara serigala. Disusul dengan melompatnya kedua manusia itu ke udara. Gerakan tiba-tiba ini disusul dengan meluncurnya belasan benda-benda kecil ke arah Nanjar.
Tanpa ayal Nanjar gunakan pedang mustikanya menyampok serangan benda-benda itu. Terdengarlah serentetan letupan kecil-kecil. Letupan itu menimbulkan uap tipis berwarna hijau ungu. Nanjar terkesiap. Tapi apa mau keadaan sudah terlambat. Hidungnya mengendus uap tersebut yang ternyata mengandung racun dan obat bius yang amat memabukkan.
Seketika dia merasakan kepalanya menjadi berat dan berdenyut-denyut. Pandangan matanya nanar. Nanjar cepat melompat menjauhi tempat itu. "Manusia licik!" teriak Nanjar. Tapi suaranya tercekik di tenggorokan. Mendadak tubuhnya yang tegak berdiri itu menjadi sempoyongan. Detik berikutnya si Dewa Lin-glung roboh pingsan...
"Haha hehe... Cara apapun dalam bertarung halal dipergunakan? Ternyata hanya sebegitu saja kemampuan, Dewa Linglung!" tertawa bergelak si Baju Merah.
"Cepat geledah buntalannya!" teriak si Baju Merah ini. Sedangkan dia sendiri melompat untuk menjumput pedang mustika Naga Merah yang tergeletak di tanah.
"Cari peta itu! Kita harus segera angkat kaki secepatnya!" perintahnya pada sang kawan. Si baju kuning agaknya merasa tak perlu mencari di mana di-taruhnya peta itu. Karena dia menduga Nanjar pasti menyembunyikannya di dalam kain buntalannya. Se-kali sentak dia memutuskan ikatan kain buntalan. Kemudian...
"Benda itu pasti di dalam buntalan ini! Ayo, kita angkat kaki!" kata si baju kuning dengan menahan napas, karena khawatir mengendus uap senjata licik mereka sendiri.
Si brewok baju merahpun sudah tak tahan lama-lama menahan napas. Dalam keadaan demikian untuk menelan pel penangkal racunpun sudah tak berguna lagi, karena prosesnya agak lambat. Tak ayal lagi mereka segera berkelebatan melompat pergi, dan lenyap...
Entah beberapa saat Nanjar tak sadarkan diri. Ketika itu Nanjar merasakan pelahan-lahan dia mulai siuman. Sepasang matanya dibuka lebar. Tapi apa yang dilihatnya cuma tampak samar-samar. Dia mencoba untuk bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya terasa lemah-lunglai tak bertenaga. Makin lama pandangannya semakin jelas.
Kini tampaklah di hadapannya sesosok tubuh yang berdiri dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. Dialah sosok tubuh si wanita bertopeng yang telah membuka cadar penutup mukanya. Ternyata dia seorang gadis yang berparas cantik.
"Bagus! kau sudah sadar!" berkata si gadis dengan tersenyum.
"K... ka... kau si perempuan bertopeng itu?" tanya Nanjar lemah.
"Benar! Namaku Syiwandari..! Sudah dua hari kau tak sadarkan diri. Syukurlah akhirnya kau siuman" sahut gadis ini dengan suara lirih.
"Andakah yang telah menolongku?" tanya Nanjar terkejut. Segera dia teringat apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Bukan! tapi sahabatmu... Dialah Panglima Kecak Mendala!" sahut Syiwandari.
"Panglima Kecak Mendala?" sentak Nanjar terkejut.
Syiwandari mengangguk. "Nah, jangan banyak pertanyaan dulu. Kau minumlah obat ramuan ini untuk menyegarkan otot-ototmu dan memulihkan kesehatanmu..." Gadis ini mengasongkan sebuah mangkuk berisi ramuan yang masih hangat. Sejenak Nanjar menatap pada si gadis. Lidahnya serasa kelu untuk mengucapkan terima kasih.
"Minumlah! apakah kau khawatir aku meracunimu?" tanya Syiwandari dengan tersenyum melihat Nanjar masih memegangi mangkuk.
"Ah... tidak! tidak!" sahut Nanjar tergagap.
"Mengapa kau memandangku seperti itu?" tanya Syiwandari.
"Kau... kau ternyata seorang gadis yang cantik.'" sahut Nanjar tersenyum. "terima kasih atas kebaikanmu..."
Seketika wajah Syiwandari dijalani rona merah. "Pemuda ceriwis!" kata si gadis seraya melengos. Kemudian balikkan tubuh dan menghilang di balik pintu kamar ruangan itu.
"Eh? Non... nona! Kau mau ke mana...?" Nanjar tersentak kaget. Dia merasa telah bersalah menggoda orang.
"Aku akan memberi tahu Panglima Kecak Mendala bahwa kau sudah sadarkan diri!" menyahut suara si gadis dari arah pintu. Kemudian terdengar suara tindakan kaki yang melangkah cepat dan semakin menjauh. Kemudian lenyap.
Nanjar menghela napas. Hatinya diam-diam membathin. "Oh, Tuhan yang Agung! Aku bersyukur telah ada yang menolong diriku..." Ditatapnya mangkuk berisi cairan ramuan. Terendus bau yang harum menyegarkan pernapasan. Cepat dia meminum obat ramuan itu dan menenggaknya hingga habis.
Baru beberapa saat Nanjar diam termangu memikirkan peristiwa naas yang menimpa dirinya, mendadak terdengar suara langkah mendekati ruangan. Sesosok tubuh tersembul dari pintu. Seorang laki-laki berpakaian Perwira Kerajaan. Dia seorang laki-laki berusia 40 tahun lebih. Berkumis tebal di atas bibirnya. Sejenak Nanjar memperhatikan wajah orang itu.
"Sobat Nanjar, si Dewa Linglung! Apakah kali ini kau benar-benar linglung tak mengenalku lagi?" berkata laki-laki ini seraya melangkah mendekati.
"Ah? kau... kaukah Kecak Mendala? Panglima Kecak Mendala?" sentak Nanjar mengulangi kata-katanya.
"Benar! Tak usah pakai sebutan Panglima segala! Sebutlah aku Kecak Mendala saja" tukas laki-laki ini dengan tersenyum. Lalu menjabat tangan Nanjar. "Ah, serasa bermimpi aku dapat menjumpai kau... Ke... Kecak Mendala!" teriak Nanjar girang.
"Bagaimana keadaanmu, apakah sudah agak baikan?" tanya sang Panglima.
"Ya! aku sudah kembali seperti sediakala. Terima kasih atas pertolonganmu..." sahut Nanjar tersenyum.
Nanjar menanyakan bagaimana sampai dia berada di tempat ini. Kemudian Kecak Mendala segera menceritakan. Yaitu ketika dia tengah melacak jejak dua orang yang mencurigakan yang tengah dikuntitnya, namun kehilangan jejak. Dia terlambat tiba di tempat itu, karena justru orang yang dikuntitnya baru saja bertarung dengan Nanjar dan berhasil merampas pedang Mustika Naga Merah serta membawa lari buntalan milik pemuda itu.
Dia segera menolong Nanjar dan membawanya ke tempat tinggal seorang sahabat-nya yang berada di sebelah timur Kota Raja. Yaitu tempat tinggal ayah angkat Syiwandari. Perihal Nanjar itu dituturkan oleh gadis itu.
Nanjar menganguk-angguk. "Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, juga sampaikan terima kasihku pula pada... pada Syiwandari," kata Nanjar, setelah mendengar bahwa dengan telaten sekali gadis itu merawat dan menungguinya ketika dia pingsan.
"Siapakah mereka itu?" tanya Nanjar.
"Mereka dijuluki si Sepasang Iblis Gelang Maut! Dua orang sesat dari wilayah utara Pulau Andalas, yang kudengar dalam beberapa bulan ini berada di sekitar kaki gunung Sorik Marapi! Akupun mendengar adanya seorang yang berkuasa dan berilmu tinggi yang mengangkat dirinya menjadi seorang Raja tanpa Mahkota di kawasan sekitar kaki gunung itu. Menurut laporan mata-mata yang telah ku sebar, dia bergelar Datuk Tangan bertuah!" tutur Kecak Mendala. "Aku menduga dia berkomplot dengan Datuk itu..!" lanjut Kecak Mendala.
"Apakah ada hubungannya dengan peta rahasia itu?"
"Kukira begitulah!"
"Ah, sayang..! peta rahasia yang kau berikan sebagian itu telah digondol pergi si dua manusia miring itu!" keluh Nanjar.
"Haha... tak usah resah, sobat! Peta itu cuma peta palsu!" berkata Kecak Mendala seraya menepuk pundak Nanjar.
"Palsu?"
"Benar! Aku sengaja membuatkan peta palsu dan kuberikan padamu agar kau mau datang ke tempat ku! Kalau tidak demikian mana kau mau bersungguh-sungguh ke mari? Aku yakin kau pasti tertarik dengan dongeng itu dan akan membuktikan kenyataannya! Dongeng adanya sebuah tempat rahasia milik Dewi Mutiara Hijau yang menyimpan timbunan batu-batu permata yang tak ternilai harganya..!"
Baru saja habis Panglima Kecak Mendala berkata, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh memasuki ruangan diiringi bentakan. "Panglima! katakan sebenarnya! Apakah kau yang telah mencuri peta pembungkus perhiasanku di dalam kamarku?" Tahu-tahu Syiwandari telah berada di tempat itu dan menudingkan senjata pedang tipisnya dipunggung laki-laki itu.
"Ah? turunkan pedangmu, anak manis! Tak baik bicara dan menuduh sekasar dan serampangan seperti itu..?" berkata Kecak Mendala. Laki-laki ini menggerakkan punggungnya. Mendadak Syiwandari merasakan ada kekuatan yang telah mendorongnya, hingga dia terdorong mundur.
"Duduklah! Aku akan memberikan keterangan yang jelas mengenai tuduhanmu itu!" kata sang Panglima seraya memutar tubuh dan mendahului duduk di lantai.
Mau tak mau dengan wajah merah Syiwandari terpaksa jatuhkan pantatnya duduk dilantai di depan Panglima Kecak Mendala. Nanjar cuma berdiri menatap kedua orang itu silih berganti.
"Sobat Nanjar! Silahkan kaupun duduk mendengarkan apa yang akan aku tuturkan..!" berkata Kecak Mendala.
Si Dewa Linglung memang ingin mengetahui apa yang akan diutarakan. Maka diapun menuruti permintaan sahabatnya.
"Syiwandari..! Tahukah kau siapa sebenarnya ayah angkatmu?" Panglima Kecak Mendala memulai pembicaraan.
"Ayah angkatku! Mengapa paman Panglima menanyakan hal itu?" sahut Syiwandari tak mengerti.
Laki-laki ini menghela napas. "Jalan ceritanya cukup panjang..! Tapi biarlah aku akan menceritakan secara singkat saja. Ayah angkatmu adalah seorang yang misterius, aneh dan sangat jarang berbicara. Datang dan perginya sukar diketahui dan sangat jarang berada ditempat kediamannya sendiri. Nama sebenarnya adalah Sobali!"
"Dari mana kau mengetahui nama ayah angkatku?" tanya Syiwandari.
"Aku dan ayah angkatmu adalah sahabat yang paling dekat. Tentu saja aku mengetahui namanya. Bukankah sampai saat ini kaupun tak mengetahui siapa nama ayah angkatmu itu, bukan?"
Syiwandari tak menjawab. Panglima Kecak Mendala meneruskan ceritanya.
"Ayah angkatmu mengirim kau ke Kota Raja dan menetap digedung istana pada seorang juru tulis istana. Sesekali ayah angkatmu menengokmu. Dia amat menyayangi kau seperti menyayangi anaknya sendiri. Namun dia tak menampakkan rasa kasih sayangnya secara terang-terangan..."
"Jadi orang yang kuanggap ayahku itu bukan ayah kandungku? Kau jangan mengaco Paman Panglima!" sentak Syiwandari terkejut. Paras mukanya berubah.
"Aku tengah menuturkan riwayatmu. Dan cuma aku yang mengetahui tentang kau, anak manis! Nah, mau percaya atau tidak itu terserah kau..!" sahut Kecak Mendala.
Gadis itu terpaksa membungkam mulut. Tapi kali ini dia tampak agak menghormat pada laki-laki itu. Diam-diam dia membathin dalam hati. "Siapakah sebenarnya Panglima Kecak Mendala ini? Kalau benar orang yang kuanggap ayah itu bukan ayahku, dia pasti mengetahui siapa sebenarnya ayah kandungku!"
"Ayah angkatmu adalah orang yang amat kasih sayang terhadapmu. Secara diam-diam dia mengirim seorang guru silat agar anak angkatnya dapat mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan dan menjadi seorang perempuan yang tidak lemah. Setahun yang lalu ayah angkatnya memberikan secarik kain bergambar sebuah peta, dan melalui sepucuk surat, dia berpesan agar menyimpan benda itu dengan baik. Tepat ketika anak angkatnya yaitu kau sendiri telah berusia delapan belas tahun, ayah angkatnya mencuri peta itu kembali, tapi hanya sekedar untuk menyalinnya. Kemudian dia mengembalikan benda itu ke tempatnya semula..."
Sampai di sini Panglima Kecak Mendala menatap Syiwandari. Sementara hati gadis itu sendiri tercekat. Tanpa disadari Syiwandari menatap wajah Panglima Kecak Mendala tajam-tajam. Ada suatu prasangka yang tiba-tiba menyelinap dihati kecilnya. Tiba-tiba dia ajukan pertanyaan.
"Paman Panglima..! Aku pernah melihat paman sekilas keluar dari pintu kamarku. Apakah yang paman Panglima lakukan di kamarku?"
"Apakah kau merasa ada kehilangan sesuatu?" tanya Kecak Mendala.
"Ya! Kain pembungkus perhiasanku..! Tapi saat itu aku belum menyadari. Hal itu kuketahui setelah kuingat-ingat! Dan setelah kain pembungkus perhiasan berikut isinya lenyap untuk kedua kalinya!"
Kecak Mendala manggut-manggut. Mendadak Syiwandari ajukan pertanyaan.
"Benarkah paman Pernah memasuki kamarku?" desak Syiwandari dengan memandang tajam Kecak Mendala.
Laki-laki ini mengangguk.
"Lalu... apakah..." Sepasang mata gadis ini agak membelalak.
"Maksudmu apakah aku yang telah mengambil kain pembungkus itu dan mengembalikan ketempatnya lagi?" potong Kecak Mendala, karena melihat gadis itu seperti ragu mengatakannya.
"Y... ya, aku bermaksud mengatakan demikian..."
Mendadak Panglima Kecak Mendala tertawa gelak-gelak hingga suaranya berpantulan di ruangan itu. "Haha... anak manis! Pikiranmu cerdas! Memang akulah orangnya yang telah mencuri kain peta itu untuk kusalin, lalu kukembalikan lagi pada tempatnya!" kata Kecak Mendala dengan tersenyum.
"Oh? Jadi... jadi paman Panglima adalah ayah angkatku sendiri?" Sepasang mata Syiwandari membelalak lebar menatap sang Panglima.
Laki-laki ini mengangguk. "Benar! Akulah orang yang bernama Sobali itu..! Sedang nama Kecak Mendala aku pergunakan ketika aku telah diangkat menjadi seorang Panglima Kerajaan!"
Pucatlah seketika wajah Syiwandari. Sepasang mata yang membulat itu seketika menjadi berkaca-kaca. Tiba-tiba gadis ini memekik seraya merangkul kaki Panglima Kecak Mendala. "Ayah..! Oh, maafkan aku, ayah! Aku sungguh seorang anak yang tak membalas budi kepada orang tua.." terisak-isak Syiwandari menangis dengan air mata bercucuran.
Nanjar yang menyaksikan jadi tertegun dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Aii! pantas kalau ayah angkatnya bersikap aneh dan jarang berada di tempat kediamannya sendiri..." gumam Nanjar dalam hati.
"Sudahlah, anak manis! aku toh hanya sekedar seorang ayah angkat. Tak ada bedanya dengan ayahmu yang sekarang..." kata Panglima Kecak Mendala se-telah mengangkat bangun gadis itu.
Dalam waktu singkat keakraban tampak telah terjalin diantara ketiga orang di dalam ruangan itu. Tiba-tiba Nanjar berdiri dan menjura di hadapan Panglima Kecak Mendala. "Sobat Kecak Mendala..!" ujar Nanjar. "Sungguh gembira hatiku melihat kalian telah bersatu. Berarti lenyap pulalah syak-wasangka yang selama ini menghantui hati adik Syiwandari.
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian..! Sayang! Aku tak dapat berlama lama ditempat ini. Aku harus menyusul kedua manusia miring yang bergelar Si Dua Iblis Gelang Maut itu. Kukira dia menuju ke kaki gunung Sorak Marapi!"
"Tunggu! Kau jangan pergi dulu, Nanjar! Bersabarlah sampai besok pagi. Kau bisa menginap semalaman di tempat ini. Karena aku tengah merencanakan kapan waktunya untuk mencari tempat rahasia itu!" cegah Kecak Mendala, dia terkejut melihat Nanjar mengambil keputusan mendadak.
"Apakah tidak sebaiknya kita pergi mencari tempat itu bertiga?" sela Syiwandari.
"Kau akan ikut serta, anak manis?" tanya Panglima.
"Ya! Aku ingin melihat di mana paman menemukan diriku enam belas tahun yang lalu!" sahut si gadis balas menatap sang ayah angkat.
"Hanya untuk itu?" tanya Kecak Mendala.
"Juga untuk membantu kalian mencari tempat rahasia Dewi Mutiara Hijau. Aku yakin akan banyak kesukaran yang akan kalian hadapi. Biarlah aku menyumbangkan kebodohanku, hitung-hitung membalas budi paman Sobali!" sahut Syiwandari tegas.
"Aha... bagus! ternyata tak sia-sia aku mendidikmu dengan ilmu-ilmu silat. Kau terlalu merendahkan diri, anak manis..." puji Kecak Mendala.
"Bagiku aku tak berkeberatan, tapi bagaimana dengan sobat Nanjar? Apakah dia bersedia kita pergi bertiga?" sambung Kecak Mendala seraya berpaling pada si Dewa Linglung.
"Bagiku tak menjadi halangan. Bahkan aku senang sekali dapat pergi bersama-sama dengan seorang gadis manis seperti nona Syiwandari..." sahut Nanjar seraya menyipitkan sebelah mata pada gadis itu.
Kali ini Syiwandari tak memaki. Tapi hanya menundukkan kepala dengan wajah merah. Toh akhirnya keluar juga ucapannya. "Kakak Pendekar Dewa Linglung pintar sekali menggoda orang."
"Haha... sudahlah! bukankah wajar? Kalian masih muda-muda. Mengapa dapat disalahkan kalau orang memuji? Itu tandanya sobatku ini ada hati padamu. Siapa tahu kau ada jodoh dengannya...?" bisik Panglima Kecak Mendala pada sang gadis.
"Ah, paman...." Semakin merah wajah Syiwandari digoda demikian oleh sang paman alias ayah angkatnya. Satu cubitan tahu-tahu sudah diterima Panglima yang hampir berusia setengah abad itu. Dia mengaduh sambil tertawa tergelak-gelak.
Nanjar pun mengumbar gelak tawa, hingga gadis ini jadi serba salah. Karena tak tahan digoda, dia berlari dari ruangan itu dengan wajah terasa panas. Tapi diam-diam hatinya girang bukan main.
Sejak merawat pemuda yang bergelar si Dewa Linglung itu hatinya diam-diam sudah terpikat. Itulah sebabnya dia tak jemu-jemu merawat dan menunggui Nanjar hingga siuman dari pingsannya. Malam itu Panglima Kecak Mendala menjumpai Nanjar digedung tua yang ditempatinya. Syiwandari diperintahkan untuk pulang dahulu, karena rencana kepergian mereka adalah dua hari lagi. Syiwandari pun harus meminta izin pada ayah angkatnya di Kota Raja.
"Cepat sekali kau kembali, sobat Kecak Mendala?" tanya Nanjar melihat kemunculan laki-laki abdi Kerajaan itu.
"Ya! Ada hal penting yang akan kukatakan padamu mengenai rencana kita..." sahut Kecak Mendala.
Nanjar kerutkan keningnya. Segera dia mempersilahkan Panglima itu duduk.
"Pembicaraan ini hanya aku dan kau yang boleh mengetahui..." Panglima memulai pembicaraan, dengan suara berbisik. Selanjutnya dengan suara hampir tak kedengaran keluar kecuali hanya telinga Nanjar yang mendengarkan, Panglima ini mengatakan rencananya.
"Jadi tak seorangpun orang kerajaan yang mengetahui termasuk baginda Raja?" desis Nanjar.
Kecak Mendala mengangguk. "Ya! akupun telah mengancam Syiwandari untuk menjaga rahasia..."
Nanjar terdiam sesaat. "Baiklah! aku akan berangkat terlebih dulu sesuai dengan petunjukmu. Mudah-mudahan peta yang ini pun bukan peta palsu seperti yang lenyap di kamar Syiwandari, dan yang digondol pergi dua manusia miring itu..."
"Aku menjamin keasliannya, karena benda ini kudapatkan secara aneh. Yaitu mendengar suara gaib seperti dalam mimpi di saat aku sadar dan tidak sadar. Suara gaib yang sama seperti yang kudengar 16 tahun yang lalu! Aku yakin yang bicara itu adalah si Dewi Mutiara Hijau sendiri! Ketika aku terjaga kudapatkan secarik kain bergambar peta telah berada di atas perutku... Selama enam belas tahun menunggu kukira inilah saatnya!"
Nanjar manggut-manggut. Memang sesuatu yang musykil kedengarannya. Tapi justru membuat Nanjar semakin penasaran untuk membuktikan apa yang telah dituturkan Panglima itu mengenai peristiwa yang terjadi enam belas tahun yang lalu itu.
Panglima mengeluarkan peta dari kain kulit yang tampak sudah usang dari balik jubahnya. Lalu memberikan pada Nanjar. "Inilah peta aslinya. Agar tak membuat kau ragu-ragu, maka kaulah yang memegangnya untuk petunjuk jalan. Aku telah membuat salinannya. Segera aku akan menyusulmu beberapa hari lagi bersama Syiwandari..."
Nanjar menerima benda itu. Setelah memperhatikan sejenak, lalu segera menyimpannya ke balik baju. Panglima julurkan tangannya untuk menjabat lengan Nanjar. "Aku segera akan kembali ke Kota Raja. Berhati-hatilah, jangan sampai ada seorangpun yang mengetahui!"
Nanjar mengangguk. "Kapan kau akan berangkat?" tanya Panglima.
"Mungkin sekarang juga!"
"Bagus! Nah aku kembali ke Kota Raja!" Selesai berkata Panglima balikkan tubuh dan melangkah keluar ruangan. Tak lama dia berkelebat lenyap dari pintu ruangan gedung itu. Sejenak Nanjar terpaku ditempatnya.
"Tampaknya urusan ini demikian rumit! Tapi aku telah bertekad ingin mengetahui sampai tuntas. Di samping aku harus menebus kekalahanku pada si dua manusia miring itu, dan merebut kembali pedang mustika Naga Merah!" berkata Nanjar dalam hati.
Tak lama setelah mengambil keputusan, Nanjar segera meninggalkan tempat itu. Dan berkelebat lenyap menembus kepekatan malam......
Selama dalam perjalanan mengikuti petunjuk, Nanjar berpikir keras. Dia merasa agak aneh dengan sikap Panglima Kecak Mendala. Demikian banyak dia membuat peta yang sukar pula bagi Nanjar untuk meyakinkan keasliannya. Walaupun peta ditangannya dikatakan peta yang asli, namun keraguan itu tetap menyelinap dihatinya.
) "Memang agak aneh..!? Apakah ada seorang sahabat yang dengan begitu mudah mempercayakan sebuah peta di tangan seorang yang belum begitu lama bersahabat?" pikir Nanjar. "Sedangkan peta ini berisi petunjuk ke suatu tempat yang penuh timbunan harta yang tak ternilai harganya!"
Nanjar jatuhkan pantatnya di atas batu, di kaki bukit. Matanya memandang hutan belantara yang menebar di sekitar punggung gunung Sorik Merapi.
"Masalah ini sungguh sukar dipecahkan, di samping aku belum yakin benar dengan segala macam cerita tahayul! Tapi justru semakin membuat aku penasaran. Benarkah di dunia ini ada makhluk yang bernama Dewi Mutiara Hijau? Apakah dia seorang ma-nusia atau seorang Peri? Ataukah benar-benar seorang Dewi yang turun dari Kahyangan?" desis si Dewa Linglung.
"Aii! benar-benar celaka! Aku terlibat dengan urusan si Kecak Mendala. Tapi aku sudah terlanjur berjanji membantunya disamping ingin tahu kebenaran "dongeng" si Panglima itu! Yang lebih penting adalah aku harus merebut kembali pedang mustika Naga Merah dari tangan si Dua Iblis Gelang Maut!"
Nanjar melompat berdiri. Ditepuk-tepuknya pantatnya yang penuh debu dan tanah. Kemudian dia mengeluarkan kain peta dari balik baju. Peta ini kelihatannya memang sudah kuno. Kainnya seperti telah lapuk. Tapi aneh? tulisan tintanya seperti masih baru!" Hati Nanjar tercekat. Semakin penasaran dia untuk meneliti peta rahasia itu.
"Tak salah lagi! Gambar peta ini belum lama dibuat! Hm, aku agak curiga dengan si Kecak Mendala! Jangan-jangan...."
Tiba-tiba, Nanjar berkelebat melompat dari tempat itu. Dengan gerakan cepat tak menimbulkan suara dia telah bersembunyi dibalik bongkah batu. Ternyata telinganya telah mendengar gerakan dan suara orang yang mendatangi...
"Siapakah yang datang?" Pikir si Dewa Linglung. Dari celah bongkah batu dia mengintip ke arah ujung semak belukar. Terlihat ranting-ranting bergoyangan. Bahkan terdengar suara ranting semak yang patah seperti dipatahkan orang. Tak lama tersembul dua sosok tubuh.
Hampir Nanjar mengeluarkan suara karena terkejut. Siapa yang muncul tiada lain dari si dua manusia miring ke kiri dan miring ke kanan, yaitu si Dua Iblis Gelang Maut. Nanjar menahan napas dan mengambil keputusan berdiam diri ditempat. Diperhatikannya apa yang akan dilakukan kedua orang itu, karena dilihatnya dia berhenti tepat di dekat batu besar tempat Nanjar tadi duduk di situ.
"Tempat ini adalah lokasi bagian terakhir dari petunjuk peta! Coba perhatikan, kakang Katok!" berkata si baju kuning seraya membeberkan dua carik kain yang dipersatukan di atas batu besar bekas tempat duduk Nanjar.
"Pendapatmu tidak salah!" sahut si baju merah yang ternyata bernama Katok. "Coba teliti, adakah tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tempat rahasia harta pusaka Dewi Mutiara Hijau?"
Si baju kuning segera meneliti dengan seksama. Selang sesaat dia berkata. "Bulatan ini kukira menunjukkan bahwa batu besar inilah yang harus dibuat patokan!" katanya. "Lihat! Ada tanda panah yang menunjuk ke arah sana sini! Berarti kesana... karena disebelahnya adalah tanda yang menunjukkan hutan rimba dipunggung sebelah selatan gunung Sorik Marapi!"
Katok si baju merah segera melompat ke arah yang ditunjuk adik seperguruannya. "Hei! lihatlah! aku menemukan sebuah batu berbentuk kukusan!" teriak si baju Merah.
Hati si baju kuning terlonjak girang. "Tunggu! aku akan melihatnya!" Dan laki-laki brewok ini sudah berkelebat ke arah Katok.
"Bagus! Inilah kunci rahasianya!" berkata si baju kuning.
"Bagaimana cara membukanya?" tanya Katok. "Apakah kau yakin benar batu ini sebuah pintu tempat rahasia itu?" Katok menggaruk-garuk kepalanya. Batu berbentuk kukusan itu besarnya hampir dua depa.
"Aku tidak mengatakan pintu, tapi kunci!" kata si baju kuning. "Di bawah tanda berbentuk segitiga yaitu tanda untuk batu yang kita temukan ini ada tertulis kata-kata. "Burung elang terbang ke langit kiri..."
"Apa arti kata-kata itu?" sungut Katok dengan membanting kaki. Dia tampaknya sudah tak sabar lagi untuk menemukan tempat tersimpannya harta pusaka Dewi Mutiara Hijau.
"Haa..! aku tahu artinya!" teriak si baju kuning. "Artinya kita harus menggeser batu ini dengan memutar ke arah Kiri!"
"Pakai diputar-putar segala? Apa maksudnya?" sungut si baju merah. Agaknya dia kurang mempercayai tafsiran sang adik seperguruan.
"Percayalah! Adikmu Katik takkan meleset tafsi-rannya!" seru si baju kuning yang merasa yakin. "Mengenai maksudnya aku mana mengetahui? Yang pent-ing kita mencoba mengerjakannya! Tapi aku yakin ini adalah kata-kata rahasia agar tak sembarang orang mengerti, dan harus ditafsirkan!"
"Hm, aku berpendapat sebaiknya kita gunakan saja pedang mustika Naga Merah untuk membelah batu ini. Bukankah si Panglima Kecak Mendala mengupah kita untuk merebut pedang mustika ini dari tangan si Dewa Linglung? Kukira tentu gunanya adalah untuk membuka pintu dengan membelah batu ini. Kata-kata "burung elang terbang ke langit kiri" adalah ja-lan untuk kita "terbang" yang maksudnya adalah kita mengambil jalan ke sebelah timur setelah berhasil mendapatkan harta pusaka itu,.!"
"Ngawur!" bentak Katik. "Aku tak setuju! Soalnya aku yakin pendapatkulah yang benar!"
Sementara itu diam-diam Nanjar terus memperhatikan. Kebetulan bongkah batu tempat sembunyinya berada ditempat yang agak tinggi. Hingga dia melihat jelas kedua manusia miring itu saling adu mulut.
"Hm, mereka telah menemukan tanda yang dimaksud dari petunjuk peta. Peta yang sepotong pasti peta rampasan yang ku sembunyikan di dalam kain buntalanku. Yang sepotong lagi entah didapatkan dari mana?" berkata Nanjar dalam hati. "Dugaanku tentu peta pemberian si Kecak Mendala, tak ubahnya seperti yang diberikan padaku! Ingin kulihat, apakah yang akan ditemukan mereka di tempat itu?"
Walau hatinya serasa sudah tak sabar untuk merebut pedang mustika Naga Merah dari tangan Katok, si manusia miring ke kanan itu. Tapi Nanjar harus menahan sabar untuk melihat hasil penemuan kedua orang itu.
Ternyata keputusan jatuh di tangan Katik si adik seperguruan Katok si baju merah. Untuk pertama kalinya dia mengalah dan menyetujui pendapat sang adik seperguruan. Segera kedua manusia miring itu singsingkan lengan baju untuk menggeser batu berbentuk kerucut itu ke arah kiri.
Sementara Nanjar menunggu dengan sabar dari balik bongkah batu ditempat persembunyiannya, yang kira-kira berjarak lima belas tombak. Suasana hening merayapi sekitar hutan di lereng bukit itu. Yang terdengar adalah suara napas Katok dan Katik yang tengah mengerahkan tenaga untuk menggeser batu kerucut bergaris tengah dua depa.
Tiba-tiba suasana hening itu dipecahkan oleh bunyi ledakan dahsyat! Pecahan batu membumbung ke udara bercampur debu. Tentu saja membuat hati Nanjar terlonjak kaget. Karena ledakan itu berasal dari tempat si Dua Iblis Gelang Maut.
Membelalak mata Nanjar melihat diantara pecahan batu kecil yang menebar di udara, tampak terlihat serpihan-serpihan tubuh manusia! Itulah tubuh Katok dan Katik yang hancur beserpihan akibat meledaknya batu kerucut yang tengah digesernya....
Mendadak mata Nanjar tertuju pada secercah cahaya merah yang melayang di udara berbaur dengan serpihan batu dari tulang serta bagian tubuh manusia. Itulah pedang mustika Naga Merah yang terlempar ke udara. Detik itu juga dia telah melesat dari tempat persembunyiannya.
Tap! Sekali lengannya terjulur dia berhasil menangkap gagang pedang. Detik berikutnya tubuh si Dewa Linglung tampak melayang turun dan jejakkan kaki di tanah. Pedang mustika itu telah tercekal dilengannya.
"Ah!? syukurlah pedang pusaka ini tak cacat sedikitpun..." Nanjar berseru girang, setelah memeriksa pedang itu memang benar-benar pedang mustika miliknya. Dan tak cacat sedikitpun akibat ledakan itu.
Setelah memasukkan pedang pusakanya ke sarung di belakang punggung, Nanjar berdiri terpaku menyaksikan bekas tempat terjadinya ledakan. Diam-diam hatinya bergidik menyaksikan kejadian itu. Jelaslah! Kalau Panglima Kecak Mendala telah sengaja memasang jebakan untuk membunuh kedua manusia itu, yang telah diperalatnya untuk keinginannya mencapai maksud dan tujuannya memiliki pedang mustika Naga Merah.
"Heh! beruntung aku dapat menahan sabarku, hingga aku tak turut terjebak dalam perangkap si Kecak Mendala!" berkata Nanjar dalam hati. "Kini ingin kubuktikan apakah peta yang inipun peta yang akan mengantarkan nyawaku ke Akhirat...?" desis si Dewa Linglung.
Kemudian dia mulai mengikuti petunjuk peta. Berbeda dengan tempat yang ditunjukkan dalam peta Katok dan Katik yang tewas dengan mengerikan, peta yang di tangan Nanjar berada ditempat yang berlawanan. Persis seperti yang ditemukan Katok dan Katik si Dua Iblis Gelang Maut, Nanjar pun menjumpai batu yang berbentuk sama.
"Hm, inilah saatnya aku membuktikan!" Desis Nanjar seraya melompat sejauh sepuluh tombak. Dari tempatnya berdiri Nanjar menghantam batu kerucut itu dengan pukulan jarak jauh.
Bersamaan dengan hancurnya batu itu terden-garlah dua kali ledakan berturut-turut. Tanah menyemburat ke udara bercampur batu-batu yang berhamburan. Tempat sekitar bekas ledakan Menjadi hangus terbakar.
"Manusia keji! licik!" maki Nanjar dengan mata mendelik. Seandainya dia berlaku bodoh, tentu nasibnya tak akan berbeda dengan si Dua Iblis Gelang Maut yang sial itu.
Setelah termangu-mangu beberapa saat lamanya di tempat itu, Nanjar berkelebat pergi dari tempat itu, dengan perasaan lega. Hatinya bersyukur pada Yang Maha Agung karena dia dapat selamat dari kelicikan Panglima Kecak Mendala.
Di pagi subuh sesosok tubuh tampak muncul dari arah selatan tugu perbatasan dengan menuntun seekor kuda. Ternyata dia tak lain dari Syiwandari. Gadis ini berhenti ditempat itu seperti menunggu seseorang.
Tak terlalu lama, dari arah barat terdengar suara langkah kuda mendatangi. Kemudian berhenti di dekat tugu. Suara Syiwandari memecah kesunyian, "Tepat sekali kedatanganmu, paman Sobali. Aku belum lama menunggu..."
Laki-laki itu tak lain dari Panglima Kecak Mendala, yang memakai pakaian biasa. Dia mengangguk. "Bagus! Marilah kita segera berangkat!"
"Baik paman..!" sahut Syiwandari. Gadis ini cepat menghampiri kudanya. Kemudian melompat sigap ke atas punggung kuda.
Kecak Mendala alias Sobali segera memutar kuda kejurusan timur. Dan membedal kuda dengan cepat. Gadis ini mengeprak tali kendali. Sekejap antaranya dia telah menyusul di belakang kuda sang Panglima....
Selama dalam perjalanan, Kecak Mendala memberi isyarat pada sang gadis agar tak bercakap-cakap. Syiwandari mengerti, karena dikhawatirkan keberangkatan mereka diketahui orang. Segera dia memperlambat kudanya agar sang paman berada di depan, yang tadinya telah direndengi karena dia ingin mengajak laki-laki ayah angkatnya itu bercakap-cakap.
Kecak Mendala seperti mengejar waktu. Dia harus tiba di hutan sebelah timur sebelum fajar. Semen-tara benaknya terus bekerja, mengatur rencana-rencana selanjutnya yang akan ditempuhnya.
"Aku harus lebih cepat dari si Datuk Tangan Bertuah! Aku tak ingin secuilpun harta Dewi Mutiara Hijau jatuh ke tangannya..! Untuk melenyapkan manusia itu akan kupergunakan cara yang paling mudah, yaitu cara seperti yang kulakukan terhadap Katok dan Katik, serta si Dewa Linglung! Hehehe...! tentu saat ini si Dewa Linglung sudah mampus!"
Ternyata sukar untuk diduga kalau selama ini Kecak Mendala ada hubungan dengan si Datuk Tangan Bertuah alias si Raja tanpa mahkota itu. Bahkan hari itupun tak luput dari liputan sang Datuk yang bermukim di wilayah lereng Sorik Marapi.
Manusia yang berilmu batin tinggi ini dapat mengetahui melalui mata batinnya akan kemunculan Panglima Kecak Mendala, karena hari itu adalah hari yang bertepatan dengan saat yang dijanjikan oleh si Dewi Mutiara Hijau.
"Hm, Kecak Mendala pasti tengah menuju ke goa Cadas Putih dengan membawa gadis itu! Aku tak boleh mempercayai manusia itu untuk memberikan padaku sebagian harta Dewi Mutiara Hijau. Dan... he-heheh... akupun tak bodoh untuk membiarkan dia mengangkanginya. Nasibnya tak akan berbeda jauh dengan nasib si PUTU LANGKAN, enam belas tahun yang lalu!" desis si kakek berjubah hitam ini dengan senyum menyeringai.
Kemudian dia bangkit berdiri dan menyambar tongkat hitamnya. Sesaat kemudian dia telah berkelebat lenyap dari dalam ruangan gedung istananya....
Gerakan Datuk Tangan Bertuah secepat terbang menerobos hutan rimba, bagaikan bayangan iblis saja layaknya. Sementara itu Kecak Mendala telah tiba di goa Cadas Putih. Kedua ekor kuda tunggangan me-reka telah ditambatkan.
Kecak Mendala memberi isyarat pada Syiwandari untuk mengikuti dia. Dengan benak penuh pertanyaan gadis ini mengikuti sang ayah angkat. Di depan goa yang penuh sarang laba-laba Kecak Mendala duduk bersimpuh. Laki-laki ini memberi isyarat pada Syiwandari untuk berjongkok didekatnya. Tampak bibir Kecak Mendala komat-kamit mengeluarkan suara berdesis.
"Dewi Mutiara Hijau! Hari ini adalah tepat enam belas tahun, sejak aku menemukan seorang bocah perempuan ditempat ini. Seperti janjimu, aku telah memelihara bocah itu hingga dewasa. Dan aku membawanya kemari..! Seperti janjimu kau akan memberikan imbalan berupa harta yang tak ternilai harganya. Maka ku mohon penuhilah janjimu, Dewi..!"
Syiwandari terpaku dengan membelalakkan mata menatap ke arah goa dan Kecak Mendala berganti-ganti. "Jadi di tempat inilah aku ditemukan? Dan... Dewi Mutiara Hijau itu siapakah? Apakah dia ibuku?" Kebat-kebit hati si gadis dengan peluh dingin mengembun di kuduknya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berderak. Dibarengi munculnya asap tipis berwarna putih, terjadilah keajaiban. Goa itu tiba-tiba terbelah menjadi dua bagian. Kedua bagian itu bergeser ke kiri dan ke kanan. Dari bagian tengah memancar sinar kuning dan hijau bercampur kepulan asap putih tipis yang menimbulkan cahaya indah menyilaukan mata.
Mendadak terdengar suara merdu diiringi munculnya sesosok tubuh wanita berambut tergerai sampai ke pinggul. Wajah wanita ini cantik luar biasa. Sekujur tubuhnya penuh dengan untaian mutiara hijau. Kecak Mendala dan Syiwandari memandang takjub. Tak pelak lagi inilah sang Dewi Mutiara Hijau! pikir Kecak Mendala.
"Hihihi... aku akan tepati janjiku, Kecak Mendala. Panglima yang gagah! Saatnya memang sudah tiba! Kemarilah kau anak manis..!" Tiba-tiba wanita yang membuat penglihatan orang menjadi nanar oleh kilauan mutiara itu ulurkan lengannya ke arah Syiwandari.
Aneh! seperti ditarik oleh kekuatan gaib, Syiwandari bangkit berdiri. Dan melangkah mendekati sang Dewi Mutiara Hijau. Lengan gadis itupun terjulur untuk menyambut uluran tangan wanita misterius itu. Sepasang mata Syiwandari tak berkedip menatap wanita di hadapannya. Mulutnya serasa terkunci tak mampu mengucapkan sepatah kata.
"Hihihi... saatnya telah tiba! saatnya telah tiba! Silahkan masuk, Kecak Mendala. Harta itu milikmu kalau kau menginginkannya. Tapi perlu kuberitahukan, bahwa sudah sekian banyak orang yang menginginkan harta itu! Dan kau memang tidak sendiri..! Dan perlu juga kuingatkan bahwa harta itu cuma akan membawa malapetaka saja. Hanya orang-orang yang berjiwa tenang sajalah yang tak menginginkannya! Apakah kau akan tetap ingin memilikinya, panglima gagah?"
Pertanyaan itu sejenak membuat Kecak Mendala berubah raut wajahnya. Antara ragu dan kebimbangan menjadi satu dengan keinginan yang menggebu gebu. Dengan suara menggeletar akhirnya Kecak Mendala berkata. "Aku... aku akan tetap memilikinya, Dewi! Tak seorangpun kubiarkan memilikinya!"
Dewi Mutiara Hijau tersenyum, lalu menoleh pada Syiwandari yang ternganga tanpa mampu berkata-kata. "Mari, anakku..! kita pergi!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu mendadak tubuh keduanya lenyap sirna. Tentu saja membuat terbelalak mata Kecak Mendala dan mulut ternganga penuh keheranan. Tapi hanya sesaat. Karena detik itu juga dia telah melompat masuk ke dalam celah yang memancarkan sinar hijau dan kuning menyilaukan mata itu.
Ternyata pula hal itu tak luput dari sepasang mata yang membelalak menyaksikan kejadian tersebut. Siapa adanya orang itu, tidak lain dari sang Datuk Tangan Bertuah.
Pandangan mata Datuk Tangan Bertuah seperti nanar menyaksikan dengan mata membelalak lebar. Karena siapa adanya sang Dewi Mutiara Hijau itu tiada lain dari ROSMA. Ya, Rosma yang pernah dikejar-kejar enam belas tahun yang silam, namun hilang tanpa krana!
"Rosma? jadi kaukah sang Dewi Mutiara Hijau itu?" sentak sang Datuk dengan suara berdesis. "Dia tidak berubah dan masih tetap cantik seperti dulu...!" berkata sang Datuk dalam hati. Sejenak dia terpaku setelah bayangan kedua ibu dan anak yang telah saling bertemu lagi itu lenyap sirna.
Mendadak dia teringat pada harta pusaka yang tersimpan di dalam goa di depan matanya. Dan baru saja dia melihat berkelebatnya tubuh Kecak Mendala memasuki celah yang memancarkan cahaya menakjubkan itu.
"Hm, takkan kubiarkan kau menjamah harta pusaka itu, Kecak Mendala!" desisnya dengan wajah berubah kelam membesi. Dan berkelebatlah tubuh sang Datuk memasuki celah goa itu menyusul, Kecak Mendala.
Kalau kita menyangka cuma kedua orang itu saja yang menyaksikan kejadian tersebut, adalah salah! Karena masih dua pasang mata lagi yang turut menyaksikan keajaiban itu. Siapakah mereka? Seorang yang bersembunyi dibalik batu cadas, segera melompat keluar. Ternyata dia tak lain dari sang Raja Muda Kerajaan Bungo Teratai, yaitu Datuk Rajo Baganang.
Yang seorang lagi tiada lain dari Nanjar si Dewa Linglung! Melompatlah kedua orang ini dari masing-masing tempat persembunyiannya secara berbareng, membuat mereka sama-sama terkejut.
"Siapa kau?" bentak Datuk Rajo Baganang.
"Namaku Nanjar! Kedatanganku di tempat ini secara kebetulan saja, dan aku tak tertarik dengan harta pusaka itu! Aku hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan manusia licik bernama Kecak Mendala itu yang telah menipuku, dan hampir saja membuat aku cuma tinggal nama saja!" sahut Nanjar dengan tersenyum. Lalu melanjutkan. "Apakah aku berhadapan dengan baginda raja Kerajaan Bungo Teratai, Datuk Rajo Baganang?"
Nanjar yang punya ingatan tajam dan bermata jeli segera dapat mengenali laki-laki itu. Nanjar memang pernah menyelidiki istana pada beberapa malam yang lalu, dan dapat mengetahui siapa adanya orang yang dipertuan di Kerajaan Bungo Teratai itu. Bahkan secara diam-diam dia dapat mengutip pembicaraan sang Raja Muda dengan seorang Menteri Kerajaan.
Apa yang didengar Nanjar itu justru memperkuat dugaannya. Karena sang Raja Muda itu diam-diam mencurigai Panglima Kecak Mendala sebagai biang dari kerusuhan di Kota Raja.
"Dari mana kau dapat mengetahui siapa aku?" sentak Datuk Rajo Baganang dengan kerutkan kening.
"Secara kebetulan aku pernah melihat anda di dalam ruangan istana, ketika tengah mengadakan pertemuan rahasia empat mata dengan seorang Menteri Kerajaan anda..!" sahut Nanjar.
"He? Dia telah memasuki istana tanpa seorang pun yang mengetahui, tentulah dia seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi!" sentak sang Raja Muda dalam hati dengan terkejut. Sekali gerakan tubuh, Datuk Rajo Baganang melompat mendekati Nanjar. Sepasang matanya menatap Nanjar dengan tajam.
"Kalau kau berniat jahat, tentu akan semudah kau membalikkan telapak tangan. Siapakah anda pendekar muda? Dan ada persoalan apakah kau dengan Panglima Kecak Mendala?" bertanya sang Raja Muda dengan suara datar namun agak tandas.
Secara singkat Nanjar menceritakan perkenalannya dengan Kecak Mendala hingga kemudian dia tiba di tempat ini.
"Heh! sudah kuduga! dia sengaja membuat kerusuhan untuk mengalihkan perhatian. Dan harta pusaka itulah tujuannya!" gumam Datuk Rajo Baganang dengan wajah berubah merah padam.
"Akan kutangkap hidup-hidup manusia itu, dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya! Harta pusaka itu tak akan pernah dimilikinya!" teriak sang Raja Muda. Akan tetapi baru saja dia mau melompat menyusul masuk ke dalam celah goa, mendadak Nanjar telah melompat menghadang.
"Urungkan niat anda, sobat baginda Raja Muda!"
"Apa maksudmu, mengapa kau menahanku?"
Sebagai jawaban, tampaklah sesuatu telah terjadi di tempat itu. Tanah mendadak terasa bergetar. Hawa panas seperti merambat melalui telapak kaki. Goncangan-goncangan kian keras, membuat keduanya jadi terhuyung.
"He? apakah yang telah terjadi?" sentak Datuk Rajo Baganang.
Mendadak pintu celah goa yang memancarkan sinar kuning dan hijau itu tiba-tiba menutup. Nanjar dapat merasakan bergolaknya lahar panas dibawah telapak kaki. Tak berayal lagi si Dewa Linglung segera melompat dengan berteriak memberi peringatan pada sang Raja Muda. "Cepat menyingkir! Tempat ini akan meledak!"
Pucatlah seketika wajah Datuk Rajo Baganang. Dengan gerakan cepat dia melompat menjauhi tempat itu menyusul Nanjar. Baru saja beberapa detik mereka berada dibawah lereng, tiba-tiba terdengarlah ledakan-ledakan dahsyat memekakkan telinga. Lahar panas menyembur dari goa Cadas Putih. Batu-batu dan pasir menyembur ke udara. Gempa melanda sekitar lereng itu. Dunia serasa kiamat! Keduanya bergegas melompat menyelamatkan diri.
Diantara kepingan-kepingan batu, pasir dan lahar, tampak serpihan-serpihan tubuh manusia terlempar ke udara. Itulah tubuh-tubuh Kecak Mendala dan sang Datuk Tangan Bertuah! Hawa panas menebar ke seluruh lereng yang dilanda lahar mendidih, mengalir memusnahkan apa saja yang diterjangnya. Ledakan-ledakan itu baru surut setelah berlangsung beberapa saat.....
Lama kedua laki-laki ini termangu memandang alam yang hancur musnah! Lereng Sorik Marapi dalam beberapa kejap saja telah berubah seperti neraka saja layaknya. Sang Datuk Rajo Baganang seperti tak percaya melihat kejadian itu. Diam-diam dia bersyukur karena telah diperingatkan oleh si pendekar muda. Keduanya sama berpandangan. Dan mereka sama tersenyum setelah masing-masing menghela napas.
"Benar, seperti kata sang Dewi Mutiara Hijau! Harta itu akan membawa malapetaka!" berkata lirih sang Raja Muda.
Nanjar manggut-manggut, dengan tersenyum dan menggaruk-garuk tengkuknya. "Marilah kita tinggalkan tempat ini, sobat baginda Raja Muda! Keserakahan dan ketamakan agaknya tak direstui Tuhan terhadap manusia-manusia yang rakus. Mereka telah mendapatkan ganjarannya. Beruntunglah kita yang dapat terhindar dari malapetaka mengerikan ini..!"
Datuk Rajo Baganang mengangguk. "Kemanakah tujuan anda, sobat Nanjar?"
"Haha... aku hanya akan mengukur jalanan, meneruskan langkahku menyelusuri setiap tempat. Bagiku langit adalah atapku dan bumi tempat aku berpijak!" sahut Nanjar tertawa.
"Singgahlah ke tempat kediamanku..!"
"Terima kasih! Bukan aku menolak, tapi, baiklah lain waktu aku akan singgah di kerajaan mu bila kebetulan aku ke wilayah ini..!"
Keduanyapun berpisah. Datuk Rajo Baganang meneruskan perjalanan menuju ke Kerajaan Bunga Teratai. Nanjar melambaikan tangannya dari puncak bukit, kemudian dia pun berkelebat dari tempat itu...