Geger Pedang Inti Es
Panas matahari seperti membakar bumi. Pulau itu tampak lengang seperti tiada penghuni. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Karena tampak diatas bukit tertinggi di pulau itu dua orang laki-laki. Yang seorang adalah seorang kakek berjubah sisik yang gemerlapan.
Bertubuh besar berkepala botak. Kumisnya yang putih berjuntai bagai misai naga. Siapa lagi kakek itu kalau bukan si Raja Siluman Naga. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang laki-laki yang masih muda. Bertampang gagah. Rambutnya gondrong terjuntai kebawah. Sementara tubuhnya dalam keadaan terbalik dengan posisi kaki diatas dan kepala dibawah.
Sedangkan sikakek bermisai panjang itu enak-enakan duduk bersila sambil meram melek ditempat teduh, membiarkan pemuda itu dalam keadaan demikian berjemur dipanas matahari yang menyengat kulit.
Pemuda itu tak lain dari Ginanjar adanya yang kini mempunyai panggilan Nanjar. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan pemuda itu? Tak lain dia tengah menerima gemblengan ilmu-ilmu kedigjayaan dari si Raja Siluman Naga, yaitu tengah melakukan latihan pernapasan tenaga dalam terbalik.
Hal seperti itu telah dilakukan selama enam hari berturut-turut. Hari ini adalah hari ketujuh atau hari terakhir dia melakukan latihan. Tentu saja dia hampir tak kuat menjalaninya, karena selama berturut-turut tujuh hari dia melakukan demikian dari matahari terbit hingga terbenam.
Keringat yang mengucur dari sekujur lubang pori-pori dari tubuhnya membuat batu tempat dia berjungkir itu basah. Sementara hawa panas yang menyengat kulit harus dirasakan selama melakukan latihan itu. Sungguh suatu pekerjaan yang amat berat. Namun hal itu dilakukan Nanjar dengan tiada mengeluh. Bahkan secara diam-diam Nanjar pancarkan hawa murni dari pusarnya kesekujur tubuh.
Untuk menahan hawa panas yang luar biasa itu. Hawa yang dikeluarkan itu adalah hawa tenaga dalam yang bernama hawa inti Es. Hingga dia tak merasakan panasnya matahari yang menyengat kulit. Kalau saja Nanjar tahu apa yang berada dalam benak si Raja Siluman Naga, tentu dia siang-siang sudah meninggalkan pulau itu atau mungkin membunuh mati kakek itu. Karena...
"Hehehe.... bocah ingusan yang tolol! Selesai kau menguasai ilmu tenaga dalam sungsang (terbalik) ini, bila kau telah kena kukibuli dan seluruh tenaga dalammu berpindah masuk kedalam tubuhku, maka aku sudah tidak memerlukan kau lagi!" berkata Raja Siluman Naga dalam hati.
Sementara matanya meram-melek seperti tengah merasakan kenikmatan. Mulutnya sebentar-sebentar menggayam panggang daging kelinci yang baru saja matang. Daging kelinci itu hasil buruan Nanjar, yang selama ini telah menyediakan puluhan kelinci yang ditangkapnya untuk santapan si kakek itu.
Raja Siluman Naga ternyata mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, akibat pertarungan dan benturan tenaga dalam dengan si Raja Siluman Bangau. Itulah sebabnya dia menahan Nanjar agar tetap tinggal di pulau itu, dengan menjanjikan akan menurunkan ilmu-ilmu kedigjayaannya pada pemuda itu.
Nanjar meneguk air liurnya mengendus wanginya bau panggang daging kelinci, perutnyapun mendadak berbunyi keruyukan. Dengan sudut matanya dia melirik si kakek yang asik menggayam santapannya dengan lahap. Tentu saja diam-diam pemuda ini menggerutu dalam hati.
"Kakek sialan! Mengapa dia makan di depanku seenaknya saja? Tunggulah, kalau aku telah menyerap ilmu-ilmu kepandaianmu akan kubalas perlakuanmu!" mengancam dia dalam hati.
Sementara dia segera kembali konsentrasikan lagi latihannya. Diam-diam Nanjar kerahkan kekuatan tenaga dalam inti Es-nya dengan menambah sepertiga lagi. Maka segera saja hawa dingin menebar kesekitarnya. Begitu hebatnya tenaga dalam inti Es yang dikeluarkan Nanjar, hingga sampai-sampai si kakek terkejut dan terlonjak kaget karena dia merasakan hawa dingin merembes kesekujur tubuhnya.
"Bocah! Apa yang telah kau lakukan?" teriak Raja Siluman Naga. Matanya melotot menatap pada pemuda yang tengah berjungkir balik itu. Akan tetapi mulutnya jadi ternganga karena tubuh pemuda itu sendiri seperti terlapis oleh es, yang menimbulkan hawa dingin luar biasa.
"Hei! bocah gendeng! Kau gunakan ilmu tenaga dalam Inti Es secara berlebihan! celaka....! kau bisa mampus!" teriak si kakek terkejut. Serta merta dia gerakkan lengannya menghantam ketubuh pemuda itu.
Buk! Akan tetapi menjerit si kakek ini. Tubuhnya terlempar kebelakang beberapa tombak dan terkapar tak berkutik. Apakah yang terjadi? Ternyata tubuh si Raja Siluman Naga seketika menjadi beku dan tampak sekujur tubuhnya dilapisi oleh es.
Adapun Nanjar yang telah menggunakan ilmu tenaga dalam Inti Es hampir tigaperempat bagian itu juga terkesiap, karena seketika dia merasa tubuhnya menjadi beku. Dalam keadaan kaget itu tahu-tahu dia rasakan hantaman pukulan si kakek yang menjadi gurunya itu. Namun yang didengarnya adalah suara jeritan si kakek Raja Siluman Naga itu. Kemudian dia tak mendengar apa-apa lagi.
Karena ketika dia melakukan penambahan tenaga dalam adalah dengan memejamkan mata, hingga Nanjar tak mengetahui kalau si kakek telah terjengkang ketika tenaga pukulannya beradu dengan tubuhnya. Tanpa dia sadari kalau itu adalah akibat ilmu Tenaga Dalam Sungsang yang telah dimilikinya dan dalam keadaan dipergunakan. Akibatnya adalah fatal bagi si Raja Siluman Naga, karena dia harus menerima resiko terhadap dirinya sendiri.
Nanjar sendiri dalam keadaan megap-megap tak bisa bernapas, karena lapisan es yang berada disekujur tubuhnya. Untunglah dalam saat demikian otaknya yang encer masih bisa bekerja. Seketika dia cepat merobah tenaga dalam Inti Es menjadi Tenaga dalam Inti Api. Sekejap saja lapisan es itu mencair lagi. Dan dalam keadaan bisa bernapas lagi itu, segera Nanjar cepat melompat untuk jejakkan kedua kakinya ke tanah.
"Huaaah! hampir aku celaka!" pekik Nanjar terengah-engah.
Akan tetapi baru saja dia memulihkan kekuatan dan mengendurkan urat-urat tubuhnya, matanya membelalak menjadi besar ketika melihat sosok tubuh si Raja Siluman Naga dalam keadaan terkapar tak berkutik.
"Guru....!? Kenapa kau?" teriaknya terkejut. Dan serta-merta dia melompat menghampiri. Tersentak kaget pemuda ini ketika melihat sekujur tubuh si Raja Siluman Naga dalam keadaan beku dan dilapisi es. Sekali lengannya bergerak maka hancurlah lapisan es itu meleleh menjadi cair.
"Guru! Guru....!" teriak Nanjar seraya mengguncang-guncangkan tubuh kakek itu. Sesaat antaranya terdengar suara keluhan si Raja Siluman Naga. Tubuhnya tampak bergerak. Dan dia melompat duduk. Sepasang matanya melotot menatap Nanjar yang berjongkok dihadapannya.
"Bocah sinting! apa yang kau perbuat hampir saja merenggut jiwamu dan jivvaku sendiri!" bentak kakek itu seraya melompat duduk dengan bersila. Kakek ini memang tak dapat berdiri karena kelumpuhan yang dideritanya.
"Haha... hehe... maafkan aku, guru. Aku iseng-iseng menambah tenaga dalam Inti Es yang aku pelajari dari almarhum guruku Ki Dharma Tungga. Aku memang mempergunakannya untuk melenyapkan hawa panas sengatan matahari. Tak kusangka kalau aku hampir mati terbungkus lapisan es!" berkata Nanjar dengan cengar-cengir.
"Dan hampir saja kau membunuhku!" bentak si Raja Siluman Naga.
"Hahaha.. salah sendiri, mengapa kau menghantamkan pukulanmu?" tertawa Nanjar.
"Setan! aku bermaksud menolongmu!" berkata si kakek dengan mendongkol. Sementara diam-diam dia bersukur karena dirinya telah terhindar dari kematian. Kalau saja pemuda itu tak menolongnya, mungkin siang-siang dia sudah berangkat ke Akhirat.
Akan tetapi di samping terkejut Raja Siluman Naga juga terheran. Bagaimana pemuda itu bisa memiliki ilmu tenaga dalam Inti Es yang sedemikian hebat? Seumur hidupnya baru dia melihat ilmu yang begitu tingginya, hingga sampai-sampai tubuh pemuda itupun terbungkus lapisan es yang nyaris merenggut nyawanya.
"Hm, bocah muridku, apakah kau memang memiliki ilmu sehebat itu didalam kesadaranmu sendiri?" bertanya si kakek.
"Oooo, tentu! tentu guru! Sudah sejak lama aku memilikinya!" sahut Nanjar berdusta. Sementara mulutnya masih tetap cengar-cengir. Kakek itu kerutkan keningnya seperti kurang yakin akan kata-kata Nanjar.
"Mengapa kau termenung, guru? Apakah kau tak percaya pada keteranganku?" bertanya Nanjar.
"Ya....! Aku percaya. Siapapun akan percaya, karena kau pernah menjadi murid Ki Dharma Tungga si Ketua Rimba Persilatan itu!" sahut Raja Siluman Naga ketus. Akan tetapi dengan hati mendongkol. "Dengan ilmu apa kau mencairkan gumpalan es pada tubuhmu, dan tubuhku?" tanya si kakek.
"Tentu saja dengan lawannya, yaitu ilmu tenaga dalam Inti Api!" sahut Nanjar dengan jumawa. Lalu bangkit berdiri. Tiba-tiba dia berpaling kearah sebuah pohon besar disebelah kirinya. "Lihatlah! pohon ini akan kubuat beku terlapisi es!" berkata Nanjar. Segera dia kerahkan ilmu tenaga dalam inti Esnya. Hawa dingin menebar.
Plak!
Nanjar menepuk batang pohon itu. Sesaat dia menunggu reaksinya. Daun pohon itu berhamburan jatuh terkena goncangan. Akan tetapi tak ada perubahan apa-apa. Batang pohon itu masih tetap utuh tanpa terlapisi es. Nanjar tersentak kaget. Seketika wajahnya berubah merah. Pada saat itulah terdengar suara tertawa terbahak-bahak si Raja Siluman Naga.
"Hahaha... hehe... hahaha.... mana buktinya? Hahah.... kau ngibul! sudah kuduga kau bisa lakukan pukulan itu di luar kesadaranmu! Tentu ada hubungannya dengan ilmu Tenaga Dalam Sungsang yang kau pelajari dariku!" berkata Raja Siluman Naga. Sementara diam-diam kakek itu amat bergirang, karena telah menemukan ilmu langka hasil perpaduan Ilmu Tenaga Dalam Sungsang dengan ilmu Tenaga Dalam Inti Es, walaupun baru sebagian dugaan saja.
"Tunggu dulu, guru! kau lihatlah!" teriak Nanjar. Kali ini Nanjar kerahkan tenaga dalam Inti Es sampai tigaperempat bagian. Hawa dingin membuat tubuh si Raja Siluman Naga menggigil. Dan....
Brakk!
Batang pohon itu patah berderak, dan terlempar dengan suara berdebum berkerosakan. Akan tetapi tetap tak ada lapisan es. Cuma butir-butir air saja yang mengembun melekat di batang pohon. Melihat demikian Nanjar jadi garuk-garuk kepala tidak gatal dan tersipu-sipu malu. Sementara si Raja Siluman Naga kembali tertawa terbahak-bahak karena merasa mendapat kemenangan.
"Hahaha.... apa kataku? kau cuma pintar ngibul. Apakah kau masih mau bilang kalau kau menguasai ilmu pukulan tenaga dalam Inti Es yang dapat membuat korban pukulan ter-bungkus es secara mutlak dan kau ketahui?"
Kali ini Nanjar tak dapat menjawab. Wajahnya semakin memerah.
"Nah, coba kau gunakan Tenaga Dalam Sungsang, seperti yang selama ini kau pelajari. Dan gunakan pukulan Inti Es mu untuk memukul batu besar itu!" ujar Raja Siluman Naga seraya menunjuk pada batu besar tak jauh dari tempat itu.
Tak ayal, Nanjar segera jalankan perintah gurunya. Dengan beberapa kali bersalto dia tiba didekat batu besar itu. Kejap selanjutnya dia telah jungkir balik dengan kepala dibawah dan kaki diatas. Kepalanya digunakan untuk pengganti kedua kakinya menempel di tanah. Segera dia gunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang. Dan menghantam batu besar di hadapannya dengan pukulan Inti Es-nya.
Plak! Hantaman jarak jauh itu mengenai sasaran. Tampak uap mengepul di sekeliling batu itu. Dan.... dalam sekejap saja batu besar itu telah terlapisi oleh es. Tertolonglah Nanjar dengan hasil yang demikian itu. Sepasang matanya membelalak. Nyatalah kalau kata-kata si Raja Siluman Naga itu benar. Ilmu pukulan Tenaga dalam Inti Es yang dapat membuat sasaran menjadi beku terlapisi es memang ada hubungannya dengan ilmu Tenaga Dalam Sungsang ciptaan Si Raja Siluman Naga!
"Nah! apakah kau masih tak percaya dengan kata-kataku?" teriak si kakek seraya melompat mendekati pemuda itu.
"Aku percaya, guru! Hehehe.... aku memang mengibuli kau! Harap kau memaafkan aku yang bodoh!" berkata Nanjar seraya melompat berdiri.
Tiga bulan berada di pulau itu telah membuat bertambahnya ilmu kedigjayaan Nanjar yang berhasil menyerap ilmu-ilmu si Raja Siluman Naga. Akan tetapi tetap saja Nanjar tak mengetahui rencana busuk si Raja Siluman Naga. Hingga pada suatu hari...
"Muridku! Kukira cukuplah sudah kau mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaanku. Selama ini kau telah bertambah pengetahuan dengan beberapa macam ilmu. Akan tetapi janganlah kau mengira kalau kau sudah tak dapat terkalahkan. Karena sesungguhnya tenaga dalammu masih teramat rendah!" berkata sang guru.
Nanjar cuma manggut-manggut. Dalam hati memang dia mengakui akan kata-kata gurunya dengan berpedoman dari guru-guru lainnya yang dia pernah berguru padanya. Karena di atas langit masih ada lagi langit!
"Seperti kau telah ketahui, sepasang kakiku telah mengalami kelumpuhan akibat pertarungan dengan si Raja Siluman Bangau. Rasanya aku sudah bosan untuk berpetualang di Rimba Persilatan. Biarlah, aku menetap dipulau ini..." ujar si Raja Siluman Naga.
"Jadi aku sudah boleh angkat kaki dari pulau ini, guru?" tanya Nanjar dengan wajah berubah girang.
"Nanti dulu, bocah! Jsngan kau potong penuturanku!" bentak si kakek.
Nanjar yang semula sudah mau berjingkrak jadi menyurut lagi duduk dengan menundukkan kepala. "Bukankah kau menginginkan anak burung Rajawali itu?" bertanya Raja Siluman Naga.
"Benar, guru....! Akan tetapi tak mungkin aku membawanya. Dia belum berapa pandai terbang. Aku khawatir akan menyusahkan saja, bila aku membawanya!" sahut Nanjar.
Raja Siluman Naga manggut-manggut. "Kau memang kuperbolehkan meninggalkan pulau ini. Akan tetapi tidak sekarang! Dan anak burung Rajawali itu biarlah aku yang merawatnya!"
"Bagaimana kau akan merawatnya, guru? sedangkan kau sendiri..." tukas Nanjar.
Akan tetapi si kakek tertawa terkekeh. "Hehehe.... apakah kau kira aku tak mampu berbuat apa-apa dengan kelumpuhan kedua kakiku ini?" berkata Raja Siluman Naga. "Apakah kau mengira tanpa kau merawatku aku akan mati? Hahaha... tidak sama sekali bocah! Aku memang sengaja menahanmu karena sudah kukatakaan yaitu aku akan mewariskan ilmu-ilmu kedigjayaanku padamu! Kau amat berkenan di hatiku, karena selama hidupku baru aku menemui seorang bocah yang semacam kau!"
Nanjar cuma membisu tak berkata-kata. Sementara wajahnya semakin memerah karena malu. Dia pernah bergurau pada si Raja Siluman Naga dan menduga kakek itu menahannya di pulau itu karena berharap dapat memperpanjang umurnya dengan adanya Nanjar ditempat itu.
"Atas kebaikan hati guru, tentu saja aku amat berterima kasih" berkata Nanjar.
"Lalu apakah yang selanjutnya harus kulakukan, guru?" tanya Nanjar, setelah sekian lama si Raja Siluman Naga termangu-mangu sambil mengelus kumisnya yang panjang menjuntai. Kakek itu menghela napas, lalu ujarnya.
"Mendekatlah kemari, bocah!" berkata dia.
Nanjar turutkan perintah itu dengan menggeser duduknya mendekati si kakek. Sementara hatinya bertanya-tanya, apakah yang akan dilakukannya terhadapku?" pikir Nanjar dalam hati.
"Nanjar, muridku! aku merasa terlalu banyak kelebihan tenaga dalamku. Dan kukira bagiku kini tak begitu memerlukannya lagi. Oleh sebab itu aku akan memberikan separuh tenaga dalamku padamu!" berkata si Raja Siluman Naga.
Nanjar terhenyak menatap kakek tua itu dengan mata mendelong. "Kau akan mewariskannya padaku?" tanya Nanjar seperti tak percaya.
"Ya, kukira kau tak usah menolaknya. Aku ingin kau membawa bekal didunia persilatan agak cukupan. Karena musuh-musuhmu bukanlah sedikit yang berilmu tinggi!" sahut si kakek.
Nanjar termangu sejenak. Tapi lalu berkata. "Yah, terserahlah. Kalau kau memaksa mana aku bisa menolak?" ujarnya sambil manggut-manggut. Akan tetapi diam-diam Nanjar bergirang hati atas kebaikan si kakek gurunya ini.
Nanjar turutkan perintah gurunya untuk duduk bersila dengan menghimpun tenaga dalamnya dipusar. Sementara telapak tangannya beradu menempel dengan telapak tangan si Raja Siluman Naga.
"Nah! kendurkan pernapasanmu, dan bersikaplah biasa saja, sementara aku akan menyalurkan tenaga dalamku kesekujur tubuhmu. Bila kau merasakan hawa hangat mengalir melalui telapak tanganmu, itu tandanya tenaga dalamku tengah menyalur ke tubuhmu. Kau harus sebarkan tenaga dalammu yang berada di pusar untuk menyambutnya agar tenaga dalamku segera menyatu dengan tenaga dalammu. Tapi ingatlah! Kau harus pergunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang!" ujar Raja Siluman Naga memberi penjelasan yang juga termasuk perintah.
Nanjar kerutkan alisnya. "Mengapa aku harus pergunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang, guru?" tanya Nanjar terheran. "Bukankah kalau aku akan mempergunakan tenaga dalam itu harus dalam keadaan jungkir balik?"
"Hehehe... kau turuti sajalah perintahku!" berkata si kakek.
Walaupun dalam keadaan terheran dan tidak mengerti, namun Nanjar tak berani melanggar perintah. Diapun turutkan apa yang diperintahkan gurunya. Ketika dia rasakan hawa hangat memasuki telapak tangannya dan mengalir kesekujur urat-urat darahnya, Nanjar segera keluarkan tenaga dalam dari pusar untuk menyambut. Tentu saja dia gunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang seperti yang diperintahkan si Raja Siluman Naga itu.
Akan tetapi mendadak dia merasakan darahnya tersedot tenaga aliran hangat itu. Dalam keadaan demikian dia tersentak kaget. Dalam keadaan beberapa detik itu otak warasnya bekerja. "He? jangan-jangan dia bermaksud mencelakakanku!"
Akan tetapi terlambat. Disaat dia berusaha menghentikan aliran tenaga dalam dari pusat, mendadak tubuhnya seperti terkena aliran listrik. Pemuda ini menjerit parau. Dan tubuhnya terkulai, lalu jatuh terjengkang tak berkutik lagi. Nanjar rasakan tubuhnya seperti dilolosi tulang-belulangnya. Pandangan matanya menjadi gelap dengan mendadak. Dan dia terkapar tak sadarkan diri. Disaat sebelum dia pingsan lapat-lapat dia mendengar suara tertawa si Raja Siluman Naga.
"Hahaha.... hehehe.... hahaha.... bocah tolol! habislah sudah tenaga dalammu. Sia-sialah semua ilmu kepandaian yang kau miliki! Hahaha... kini tenaga dalamku telah bertambah berlipat ganda. Kelumpuhanku akan segera sembuh tak berapa lama lagi. Hahaha.... kau memang bocah sial yang membawa keberuntungan padaku!"
Nanjar terkesiap mendengar kata-kata itu. Akan tetapi dia sudah tak berdaya. Karena detik selanjutnya dia sudah tak tahu apa-apa lagi....
Tampak si Raja Siluman Naga setelah puas tertawa dengan kemenangannya yang telah berhasil mengelabui pemuda itu, segera gerakkan kedua lengannya seperti membentuk lingkaran diudara. Gerakan itu telah menimbulkan munculnya uap putih dan merah yang semakin lama semakin banyak.
Setelah melakukan tiga kali putaran itu, sepasang tangan si kakek bergerak mencekal kedua betis kakinya. Apakah yang terjadi? Uap-uap itu kini berpindah dan keluar dari pembuluh-pembuluh darah dikedua kaki Raja Siluman Naga. Selang tak lama kira-kira sepeminum teh si Raja Siluman Naga melepaskan cekalan pada kedua betis kakinya.
Sementara uap putih merah itu pelan-pelan mulai kembali lenyap. Tiba-tiba orang tua itu perdengarkan suara melengking keras disertai melambungnya tubuhnya ke udara. Saat berikutnya.... jleg!
Si Raja Siluman Naga telah jejakkan sepasang kakinya di tanah. Begitu kekarnya kedua kaki itu hingga tanahnya yang dipijak amblas sebatas mata kaki. Hebat, dan aneh! Dalam waktu sekejapan saja kedua kaki si kakek itu telah sembuh dari kelumpuhannya!
"Hahaha....hehehe... kini Raja Siluman Naga telah kembali menjadi seekor Naga yang utuh. Bahkan bertambah tenaga dalamnya!" tertawa berkakakan kakek itu, hingga kumisnya yang panjang menjuntai itu bergerak-gerak bagai misai Naga! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara bentakan.
"Naga pengkor! pengecut busuk! kedua kakimu akan tetap pengkor!" Dua sinar berkelebat. Dan...
Krraaak! Krraakk!
Raja Siluman Naga menjerit parau seperti suaranya mau menembus langit. Tubuh tinggi besar itu tiba-tiba ambruk ketanah. Dan tampak dua potong kaki yang hancur berserpihan membaur dengan menyemburatnya darah ke setiap penjuru.
Berguling-guling dan meraung-raung si Naga Siluman Naga memegangi kedua kakinya yang putus dan dalam keadaan hancur bersimbah darah. Ketika dia menatap kehadapannya yang tampak hanya punggung seorang kakek kurus tua renta yang memondong tubuh Nanjar dan berkelebat dari tempat itu....
Mendelik lebar mata si Raja Siluman Naga. Serta merta dia menggembor keras. Lengannya bergerak menghantam punggung kakek kurus itu. "Raja kunyuk! mampuslah kau!" Berbareng dengan bentakan keras itu serangkum angin dahsyat menyambar dari lengan kakek Raja Siluman Naga.
Bllarrrr!
Pohon besar itu tumbang dengan batang hancur. Nyaris saja dua korban melayang jiwanya kalau pada detik itu si kakek kurus tidak bertindak cepat mengelak dengan melompat. Hebat gerakan melompat si kakek kurus itu. Walaupun dengan membawa beban di pundak, namun masih bisa lakukan salto yang baik sekali.
Lengannya yang panjangnya melebihi panjang lengan manusia biasa menjangkau ujung ranting pohon, lalu berayun melesat kepohon lainnya. Dalam beberapa kejap saja bayangan si kakek kurus itu sudah lenyap di balik kerimbunan hutan.
Menggeram gusar si Raja Siluman Naga. Rasa sakit yang luar biasa pada kedua kakinya yang hancur tak dirasakan lagi. Dalam sekilas saja dia telah mengetahui kalau orang itu adalah si Raja Siluman Kera. Mana mau dia melepaskan manusia yang telah membuat hancur kedua kakinya begitu saja?
Detik itu juga dia gerakkan lengannya menotok kedua lututnya untuk menghentikan darah. Kejap berikut tubuhnya telah mencelat ke udara mengejar ke arah berkelebatnya tubuh Raja Siluman Kera.
Sementara itu Nanjar yang dalam keadaan tak sadarkan diri tak mengetahui lagi apa yang terjadi pada dirinya. Kakek penolongnya itu memang tak lain dari Si Raja Siluman Kera. Kakek kurus ini membawa tubuh Nanjar berkelebat turun dari puncak pohon, tepat di sisi tebing. Ternyata dia tak meneruskan langkahnya.
"Aku harus memeriksanya dulu. Tubuh bocah ini dingin sekali. Aku khawatir jiwanya tak dapat tertolong...." menggumam kakek ini. Dia tampak amat khawatir sekali dengan keselamatan si pemuda.
Akan tetapi baru saja dia mau memeriksa tubuh pemuda itu yang digeletakkan dirumput, pada saat itu juga terdengar suara berkerosokan disusul berkelebatnya sosok tubuh tubuh yang hinggap ditanah dengan kedua lengannya terlebih dulu. Siapa adanya sosok tubuh itu tak lain dari si Raja Siluman Naga!
"Kunyuk itu sial dangkalan! jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" menggembor si Raja Siluman Naga dengan bentakan menggeledek.
Pucat seketika wajah kakek kurus ini. Akan tetapi dia tampak tenang dalam situasi yang demikian itu. Diam-diam dia telah pasang kuda-kuda dan bersikap waspada untuk segera menghadapi pertarungan.
"Kunyuk tua licik! pengecut curang! Mengapa kau membokongku? Menyerang orang yang dalam keadaan lengah itu adalah suatu perbuatan pengecut!" bentak pula si Raja Siluman Naga yang telah duduk bersila diatas rumput.
"Hehehe....nguk! nguk! nguk! Perbuatan licik memang harus dibalas licik! Perbuatan curang pun harus dibalas curang! Bukankah itu namanya adil? Kau telah mengelabui bocah ini yang sudah jelas kau tipu mentah-mentah! Apakah perbuatanmu itu tidak keterlaluan?" menjawab si Raja Siluman Kera dengan mulut cengar-cengir. Akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya kebencian pada si Raja Siluman Naga.
"Tutup bacotmu! mengapa kau ikut campur urusan orang? Hm, bersiaplah kau untuk mampus siang-siang Raja Kunyuk! Akan tetapi sebelum kau pulang ke Akhirat aku mau bertanya, apakah kau datang bersama ketiga orang kawanmu?"
"Heh, aku cuma seorang diri! Hm.... aku tahu tentunya kau takut untuk berhadapan dengan Empat Raja Gila sekaligus!" ejek si kakek ini.
"Grrrrh.... jangan kata empat, seratus orang macam kau aku masih sanggup mengirim nyawanya ke Akhirat!" teriak Raja Siluman Naga. Dan bersamaan dengan itu dia telah menerjang dahsyat dengan cengkeraman ganas. Hawa dingin yang luar biasa menerpa kearah si Raja Siluman Kera.
Raja Siluman Kera yang memang sudah waspada tak berayal lagi untuk segera berkelit. Akan tetapi karena khawatir si Raja Siluman Naga lakukan serangan yang bisa mencelakai pemuda bernama Nanjar itu, Dia telah memapakinya dengan hantaman pula. Menderu angin dahsyat dari sepasang lengan Raja Siluman Kera.
Namun ternyata Raja Siluman Naga tak mau mengadakan benturan. Justru dia miringkan tubuh untuk segera berguling ke sisi. Dilain kejap dia sudah dalam keadaan jungkir balik berdiri dengan kepala menempel di tanah. Dan dengan gerak cepat yang telah disiapkan itu, Raja Siluman Naga telah gunakan pukulan Tenaga Dalam Sungsang!
Terkesiap Raja Siluman Kera. Sungguh dia tak menduga akan tipuan yang digunakan lawan dalam waktu cuma satu jurus saja. "Celaka....!?" dia membathin dalam hati.
Sungguh sukar diduga kalau Raja Siluman Naga tiba-tiba mencabut lagi serangannya. Sepertinya dia sudah menduga kalau si Raja Siluman Kera akan melompat ke arah kiri. Benar saja. Gerakan melompat si Raja Siluman Kera itu memang amat luar biasa gesitnya. Dengan gerakan melompat yang begitu cepat kakek kurus itu melompat ke sisi.
Akan tetapi justru Raja Siluman Naga telah mendahuluinya berada disana. Belum lagi Raja Siluman Kera jejakkan kaki di tanah, tiba-tiba pukulan Tenaga Dalam Sungsang telah menghantam kearah dadanya....
Menjeritlah si Kakek Raja Siluman Kera dengan suara parau. Pukulan dahsyat itu telak mengenai dadanya. Itulah pukulan tenaga dalam Inti Es yang telah dipergunakan dengan digabungkan dengan ilmu Tenaga Dalam Sungsang! Tak ampun lagi tubuh kakek kurus itu terlempar beberapa tombak dan terkapar tak berkutik lagi.
Sementara hawa dingin seperti membuat beku sekitar tempat itu. Apa yang terlihat adalah di antara uap yang menyelimuti sekitar pertarungan itu tampak terkapar tubuh si Raja Siluman Kera dalan keadaan terbungkus oleh lapisan es!
Kejadian barusan itu ternyata telah dilihat oleh Nanjar yang pada saat itu baru saja siuman dari pingsannya. Akan tetapi dia tak dapat gerakkan tubuh bahkan kaki dan tangannya. Semua persendian tulangnya serasa lemah lungiai tak bertenaga. Tenaganya serasa punah semua. Dia cuma bisa menatap keadaan sesosok tubuh yang terbungkus oleh lapisan es.
Tubuh siapakah gerangan dia tak mengetahui sama sekali. Sementara yang membuat heran adalah dia melihat si Raja Siluman Naga yang dalam keadaan jungkir balik memperlihatkan sepasang kakinya yang telah hancur putus!
Tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berkelebat ke arahnya. Kakek ini melototkan matanya menatap Nanjar. Nanjar cepat-cepat berbuat seolah-olah masih tak sadarkan diri.
"Huh! kau masih hidup, bocah! Ternyata kesialanmu telah merembet padaku!" berkata Raja Siluman Naga dengan hati mendongkol pada Nanjar.
Bret! bret!
Kakek ini tiba-tiba merobek jubahnya. Dan dengan duduk di rumput itu dia membalut kedua kakinya yang putus itu. Sementara Nanjar yang dalam keadaan baru tersadar itu sipitkan matanya mengintip apa yang dilakukan kakek itu. Sementara dia mulai mengingat-ingat kejadian yang dialami.
Dia mulai teringat akan kata-kata si Raja Siluman Naga yang tertawa terbahak-bahak disaat sebelum dia pingsan. "Hahaha.... haha.... bocah tolol! Habislah sudah tenaga dalammu! Sia-sialah semua ilmu kepandaianmu yang kau miliki ! Hahaha....kau memang bocah sial yang membawa keberuntungan padaku! Kelumpuhan kakiku akan segera sembuh tak berapa lama lagi ! Kau memang bocah sial yang membawa keberuntungan padaku!"
Ya! kata-kata itu masih terngiang ditelinganya! "Siluman tua ini telah menipuku! Tapi mengapa justru kedua kakinya hancur sedemikian rupa? dan siapa orang yang terkena pukulan Inti Es itu?" pikir Nanjar dalam benak. Namun Nanjar dapat menduga kalau orang yang terkapar itulah yang telah mengakibatkan kehancuran kedua kaki si Raja Siluman Naga.
Diam-diam Nanjar mengeluh dalam hati. "Celaka....! Ternyata manusia ini tak lain dari manusia telengas. Aku terjebak dalam perangkap karena kurang waspada. Haiiih! Betapa dungunya aku. Entah apa lagi yang akan diperbuatnya padaku. Aku sudah tak berdaya...."
Walaupun pemuda ini mengeluh dalam keputus asaan namun tidaklah dia mandah saja menerima nasib. Diam-diam dia kerahkan sisa tenaganya. Lengannya digerakkan untuk menggapai sebongkah batu sebesar kepalan tangan didekatnya ketika si Raja Siluman Naga tengah sibuk membalut kakinya dengan menyeringai menahan sakit.
Usahanya berhasil. Kini batu sebesar kepalan tangan itu telah berada dalam genggaman tangannya. Nanjar berusaha menghimpun sisa-sisa tenaga dalam untuk disalurkan kelengan. Hati pemuda ini membathin.
"Manusia ini ternyata selain jahat juga licik. Kalau dia berani mendekat untuk menganiayaku atau membunuhku, batu ini bisa kupergunakan! Kalau toh akhirnya aku harus mati, tapi aku puas karena setidak-tidaknya aku telah membuat cacat pada mukanya!"
Tekad Nanjar ternyata membawa hasil. Sisa-sisa tenaga dalamnya ternyata berhasil dikumpulkan pada lengan kanannya yang mencekal batu. Nanjar masih berusaha berbuat agar tangan kirinya bisa di gerakkan. Akan tetapi ternyata dia tak mampu untuk memindahkan tenaganya ke lengan kiri.
Kekuatan terakhir yang diandalkan Nanjar hanyalah pada tangan kanannya yang mencekal batu itu saja. Hati Nanjar kebat-kebit menanti saat-saat yang menentukan, menunggu selesainya si Raja Siluman naga membalut kakinya. Dan saat-saat tegang itupun akhirnya tiba....
Kakek berkumis bagai misai Naga ini telah selesai membalut kakinya. Dia menoleh menatap Nanjar yang masih terkapar tak berkutik menyender di dinding batu gunung. Raja Siluman Naga tertawa menyeringai.
"Heheheh... dalam keadaan seperti sekarang ini rupanya aku masih memerlukan kau bocah! Terpaksa aku mengulur waktu kematianmu. Akan tetapi kau harus menjadi seorang yang lupa akan asal-usulmu, juga lupa pada apa yang pernah kau alami! Heheheh...." berkata si Raja Siluman naga dengan suara mendesis.
Dia mengira kalau Nanjar masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Kakek ini beringsut mendekati Nanjar. Semakin dekat semakin kebat-kebit hati pemuda ini. Tiba-tiba Raja Siluman Naga ulurkan tangannya kearah kepala Nanjar. "Hehehe... totokan pada urat syarafnya ini akan membuat dia menjadi orang yang linglung. Dia takkan mengetahui kalau aku telah memperdayainya!" berkata Raja Siluman Naga dalam hati.
Akan tetapi beberapa inci lagi sebelum jari tangan si kakek menyentuh kulit kepala Nanjar, tiba-tiba Nanjar gerakkan tangannya menghantam ke arah mukanya. Kejadian yang di luar dugaan itu terlalu cepat. Si kakek tak dapat mengelakkan diri lagi. Dia menjerit parau ketika benda keras menghantam mukanya. Terdengar suara tulang yang hancur beradu dengan batu. Darah memuncrat seketika.
Namun jeritan kesakitan si Raja Siluman naga berbareng pula dengan keluhan Nanjar, karena toh jari-jari tangan si Raja Siluman Naga masih sempat menotok urat syarafnya. Seketika Nanjar rasakan kepalanya seperti digigiti ratusan semut. Pandangannya menjadi nanar. Dan.... dia kembali roboh tak sadarkan diri.
Adapun si Raja Siluman Naga meraung panjang mengerikan. Tubuhnya berguling-guling dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Namun tak berlangsung lama karena sesaat kemudian tubuh si Raja siluman naga diam tak berkutik. Darah merah masih menggelogok keluar dari mukanya. Keadaan muka kakek itu amat mengerikan, karena tulangnya telah hancur melesak ke dalam hingga sudah tak berbentuk lagi. Denyut nadinya ternyata telah berhenti. Nyawanya telah melayang....!
Tempat itu kini sunyi mencekam. Senja kian merayap jua. Pelahan-lahan Matahari pun tenggelam di balik bukit. Sementara puluhan kelelawar terlihat bermunculan mengitari puncak bukit....
EMPAT MUSIM telah lewat berturut-turut. Waktu berlalu seperti melesatnya anak panah. Di pertengahan musim dingin itu tampak lima buah perahu bergerak mendatangi palau terpencil itu. Kelima perahu itu masing-masing pada bagian depan tegak berdiri salah seorang dari belasan orang yang berada pada tiap-tiap perahu. Siapakah adanya mereka ini? Dan ada maksud apakah mendatangi pulau terpencil itu? Marilah kita ikuti....
Perahu yang berada dibagian tengah mempunyai ukuran lebih besar dan tampak lebih bagus dari yang lainnya berada paling depan di antara semua perahu. Hingga kelihatannya barisan perahu itu membentuk ujung tombak. Dilihat dari sikap orang yang berdiri didepan perahu itu, dapatlah diduga kalau laki-laki berpakaian serba ungu itu adalah sipemimpin dari rombongan itu.
"Kita segera mendarat!" berkata laki-laki itu. Usia laki-laki ini dapat ditaksir yaitu berusia sekitar tiga puluhan tahun lebih. Sikapnya gagah dan berwibawa. Memanglah dia tak lain dari ketua rombongan ini.
"Apakah ketua yakin pulau ini yang dimaksud dalam peta?" bertanya salah seorang yang duduk di belakang laki-laki ini tanpa memegang dayung.
Dia seorang laki-laki berjubah kuning. Usianya sekitar 40 tahun, berwajah lancip dengan sejumput jenggot didagunya. "Aku yakin pulau inilah yang dimaksud, paman KULIPALA! Apakan kau berpendapat ada pulau lagi ditempat ini?" balik bertanya laki-laki itu. Yang ditanya putarkan kepala memandang ke sekitar tempat di perairan itu de-ngan bangkit berdiri.
Lalu kembali menatap kedepan. "Kukira tak ada lagi selain pulau ini, ketua!" ujarnya pelahan. "Akan tetapi entah kalau di belakang pulau ini ada lagi sebuah pulau....!"
"Hm, nanti kita periksa. Nah, kalian kayuhlah lebih cepat. Aku sudah tak sabar untuk memeriksa pulau ini!" berkata sang ketua. Perahu dibagian tengah itu tampak melaju lebih cepat, yang segera diikuti oleh empat perahu yang mengiringnya.
Hingga dalam waktu tak seberapa lama kelima perahu itupun mendarat di pulau tersebut. Dan serentak para awak perahu itupun berlompatan ke pasir. Sementara laki-laki ketua ini telah melompat lebih dulu. Dari saku bajunya dikeluarkan secarik kertas kulit. Lalu tampak dia mengamati kertas kulit itu yang tak lain dari sebuah peta.
Lima orang pemimpin dari masing-masing regu yang mengetuai belasan anak buah, segera berkumpul mengelilingi sang ketua itu.
"Kalian berlima segera berpencar. Bawalah masing-masing anak buah kalian untuk melacak situasi pulau ini. Kita perlu mengetahui ada tidaknya penghuni di pulau ini dan...." ujar sang ketua seraya menunjuk setelah sejak tadi menatapkan pandangannya pada puncak bukit yang tertinggi itu. "Nah, aku beri kesempatan beristirahat beberapa saat. Bubarlah! Nanti setelah ada tanda isyarat dariku, kalian mulai jalankan tugas!" berkata laki-laki ini.
Kelima orang itu menyahut serempak. "Baik, Ketua....!"
Lalu mereka bubar. Masing-masing kembali ke kelompoknya. Kecuali laki-laki tua berjubah kuning itu yang masih berada didekat sang ketua. Akan tetapi baru saja kelima orang itu bubar, tiba-tiba terdengar suara para anak buah mereka menjadi riuh. Masing-masing kepala menengadah keatas. Apakah yang dilihat mereka? Kiranya seekor burung Rajawali yang cukup besar terbang mengitari di atas kepala mereka disertai suara berkiak-kiak.
"Rajawali raksasa....? Ah, baru sekali ini aku melihat burung sebesar itu!" berkata laki-laki ketua itu dengan mendongak ke atas memandang kagum.
"Santapan lezat! Dagingnya tentu enak!" berkata si laki-laki tua jubah kuning. Tiba-tiba lengannya bergerak kebalik jubah. Seutas rantai yang berbandulan sebuah trisula hitam telah berada dalam genggaman tangannya. Ketika putaran burung rajawali itu berada di atas kepalanya, laki-laki bernama Kulipala ini mendadak lemparkan trisula itu ke udara. Suara mendesing yang disertai menyambarnya senjata itu kearah leher, membuat burung Rajawali itu terkejut.
"Keaaaaakk!" Rajawali itu mengiyak panjang. Sayapnya digunakan untuk menghempas benda pembawa maut itu. Hempasan sayap burung itu menimbulkan angin keras hingga trisula maut itu miring ke kiri. Dan dia berhasil menghindarkan diri. Tentu saja dia jadi marah karena ada yang mengganggunya.
Tiba-tiba sekali memutar, dia telah menukik menyambar si jubah kuning. Cakarnya terentang memperlihatkan kuku-kukunya yang runcing. Paruhnya terbuka mengeluarkan suara yang mengiyak nyaring.
Terkesiap seketika si jubah kuning karena tak menduga serangannya akan menemui kegagalan, dan diluar dugaan justru si burung Rajawali itu justru telah menyerangnya dengan ganas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara suitan nyaring yang diiringi kata-kata.
"JABUR! jangan kau kurang ajar! Tetamu yang datang biarlah aku yang menyambut!"
Mendengar suara suitan itu si burung rajawali seketika batalkan serangannya. Dia terbang kembali ke udara dan berputar-putar, lalu meluncur terbang untuk hinggap di puncak pohon. Namun tiada hentinya dia mengeluarkan bunyi keras mengiyak.
Saat itu sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat. Dan membelalak mata si jubah kuning karena dihadapannya telah berdiri tegak seorang laki-laki muda berambut gondrong. Memakai ikat kepala dan ikat pinggang kulit ular. Bajunya compang-camping tapi bertampang gagah.
"Hahaha.... daging burung itu tidak enak sobat! Harap kau tidak menginginkannya!" berkata pemuda ini. Siapakah adanya laki-laki ini? Dialah Ginanjar alias Nanjar, yang selama ini menetap di pulau itu.
"Apakah anda pemilik burung Rajawali itu?" bertanya Kulipala dengan memandang tajam.
"Hm, benar! Aku juga penghuni tunggal di pulau ini!" Sahut Nanjar. "Ada apakah kalian datang beramai-ramai ke pulauku?" tanya Nanjar dengan krenyitkan dahi memandang puluhan orang di tempat itu.
Cepat-cepat si laki-laki ketua dari rombongan itu menjura dihadapan Nanjar seraya berkata. "Kami adalah orang-orang dari perguruan Tapak Nenggala, Aku sendiri sebagai ketuanya. Namaku JAKA NINGRAT. Dalam Rimba Persilatan orang menggelari diriku si Jalak Emas! Kedatangan kami kemari adalah mencari tahu kebenaran tentang adanya sebuah benda pusaka di pulau ini yang kami ketahui dengan petunjuk sebuah peta! Bolehkan aku tahu siapa anda?"
"Benda pustaka?" tersentak Nanjar. "Benda pustaka apakah yang mereka maksudkan?" berkata Nanjar dalam hati. Karena selama dua tahun lebih dia menetap di pulau itu dia tak mengetahui adanya benda pusaka itu ditempat itu.
Melihat sikap Nanjar yang terpaku heran itu, kedua orang itu saling pandang. Sementara nanjar jadi garuk-garuk kerjala seraya berkata. "Namaku Nanjar! Aku tak mengerti, benda apakah yang kalian maksudkan? Dan darimana peta itu kalian dapatkan?" tanya Nanjar.
"Hm… sobat! Kami mengira pulau ini adalah pulau kosong. Tak tahunya berpenghuni. Benda yang kami cari itu adalah sebuah Pedang Pusaka yang bernama Pedang Pusaka INTI ES! Peta ini kami dapatkan dari seseorang yang tak mau menyebutkan namanya!" sahut Jaka Ningrat dengan memperhatikan wajah pemuda itu seperti menyelidik, apakah pemuda gondrong itu sebenarnya sudah mengetahui ataukah pura-pura tidak tahu?
"PEDANG INTI ES?" Nanjar terheran-heran. "Aku baru mendengar nama pedang Pusaka demikian. Aneh! Aku tak tahu adanya benda Pusaka itu di pulau ini. Hm, jangan-jangan kau kena dikibuli orang itu. Di pulau ini tak ada sepotongpun benda pusaka!" berkata Nanjar.
Mendengar jawaban Nanjar kembali Jaka Ningrat saling pandang dengan Kulipala. Orang tua jubah kuning itu mendengus. "Heh! Apakah kami bisa percaya begitu saja pada kata-katamu? Kau tentu tidak seorang diri tinggal di pulau ini. Kalau kau punya guru, tentu gurumu mengetahui! Ketahuilah! kami tidak akan pulang kembali tanpa Pedang Pusaka INTI ES itu di tangan kami!" berkata ketus Kulipala.
Mendengar kata-kata Kulipala, Nanjar jadi tertawa tergelak-gelak hingga tubuhnya terguncang-guncang. Adapun para anak buah perguruan Tapak Nenggala segera saja telah membuat pagar betis mengelilingi Nanjar. Masing-masing siap menerima perintah untuk meringkus pemuda berbaju compang-camping itu.
Akan tetapi belasan orang tetap berjaga dengan senjata terhunus untuk menghadapi segala kemungkinan dari serangan si burung Rajawali yang masih bertengger di puncak pohon.
Setelah reda dari tertawa gelinya, Nanjar berkata. "Di pulau ini takkan kalian jumpai siapa-siapa kecuali aku sendiri. Aku memang mempunyai enam orang guru. Tetapi kesemuanya sudah berdiam di dalam tanah. Kalau kalian tidak percaya, silahkan periksa seluruh tempat. Di atas puncak bukit tertinggi itu kalian akan dapati sebuah goa, dan enam buah kuburan yang berjajar. Selain enam buah kuburan itu kalian takkan dapat menemukan siapa-siapa. Haha... kalau toh keenam guruku mengetahui semasa hidup, tentu benda Pusaka itu sudah ada di tanganku!" ujar Nanjar dengan suara agak keras. Lengannya menunjuk ke arah bukit tertinggi di tengah pulau.
Hampir semua mata menatap kesana. Suasana sejenak menjadi hening. "Kami akan memeriksa!" tiba-tiba suara Jaka Ningrat memecah keheningan.
"Silahkan! silahkan! aku tak keberatan. Kalau kalian dapatkan benda apa saja di atas bukit itu ambil saja kalau kalian mau!" ujar Nanjar.
"Hm, Paman Kulipala dan kalian Bendowo, Jalantra dan Kebojalu serta dua regu berada disini. Yang lain ya ikut aku!" perintah Jaka Ningrat pada anak buahnya. Segera saja anak buah itu memecah menjadi dua rombongan.
Rombongan yang sebagian segera mengikuti di belakang Jaka Ningrat. Dan yang lainnya tetap berjaga di tempat itu.
Nanjar memperhatikan semua itu dengan tersenyum. Dilihatnya semua anak buah Jaka Ningrat seperti mengawasi dirinya. Akan tetapi tampak pula ada yang mengawasi si Jabur dengan sikap waspada.
Diam-diam di hati Kulipala timbul niatnya untuk mengetahui sampai di mana ilmu kedigjayaan Nanjar. Akan tetapi dia tak secara langsung melaksanakan niatnya. Dia melangkah mendekati seraya berkata.
"Sobat muda. Bolehkah aku tahu siapa adanya kelima orang gurumu yang sudah kau katakan mati itu?"
"Hm, aku tak pernah merahasiakan tentang diriku. Mereka adalah si EMPAT RAJA GILA, Raja Siluman Naga, dan yang seorang lagi adalah si Raja Siluman Bangau. Tepatnya mereka adalah para RAJA-RAJA GILA!"
Tentu saja mendengar jawaban Nanjar seketika wajah Kulipala jadi berubah pucat pias. "Empat Raja Gila? Raja Siluman Naga? Dan Raja Siluman Bangau?" Kulipala terperanjat.
"Hahaha... benar! apakah engkau pernah mendengar nama-nama itu?" tanya Nanjar dengan cengar-cengir.
"Apakah mereka yang pernah mendapat julukan si ENAM IBLIS PULAU KAMBANGAN pada puluhan tahun yang silam?" bertanya Kulipala.
"Hehehe... betul! Tidak salah! Ketiga guruku si Raja Siluman Ular, Raja Siluman Harimau, dan Raja Siluman Biawak pernah bercerita padaku!" ujar Nanjar serentak.
"Oh, maafkan kebodohanku sobat muda. Aku tak mengetahui kalau kau adalah murid mereka. Guruku bersahabat baik dengan keenam orang gurumu itu!"
"Hm, begitukah? siapa nama gurumu?" tanya Nanjar dengan memandang tajam.
"Beliau adalah Ki BROJOL IRENG, yang bergelar si Iblis Tengkorak Bolong!" Sahut Kulipala dengan wajah berkeringat.
"Hahaha... kalau begitu kita adalah sahabat!" berkata Nanjar.
"Ya! Kita adalah sahabat!" berkata Kebojalu dan kedua kawannya. Serentak ketiga orang itu menjura dihadapan Nanjar. Nanjar balas menjura. Akan tetapi tiba-tiba melompat mundur, seraya berkata.
"Eh, nanti dulu! Keempat guruku memang berasal dari golongan sesat, akan tetapi telah lama cuci tangan dan tak memunculkan diri di dunia persilatan hingga akhir khayatnya. Adapun si Raja Siluman Naga dan Raja Siluman Bangau aku tak mengetahui perbuatan apa yang dilakukan di luar.
"Gurumu si Iblis Tengkorak Bolong adalah seorang manusia keji dan sadis! Seperti yang pernah diceritakan ketiga guruku yaitu Raja Siluman Ular, Harimau dan Biawak! Aku tak bisa mengaku kalian sebagai sahabat, karena aku belum tahu tindak tanduk apa yang kalian lakukan diluar!" berkata Nanjar.
"Hm, kau sok alim, sobat! Di dunia ini susah menjadi orang baik-baik! Gurumu pernah menjadi seorang sesat, bahkan dua orang gurumu kau tak mengetahui tindakannya yang dilakukan di luar. Apakah tak mungkin kalau guru-gurumu mewariskan kejahatan kepadamu?" sambar berkata Kulipala, yang segera ditimpali dengan anggukan kepala ketiga orang kawan seperguruannya.
"Yah, kalau begitu terserah kalian sajalah! Yang penting aku bisa mengakui kalian sahabatku bilamana tindakan kalian dijalan yang benar!" berkata Nanjar dengan garuk-garuk kepala. Dia tak dapat berdebat lebih jauh.
"Baik! baik! hal itu bisa kuterima! Kita bicara yang lain saja!" ujar Kutipala. Kali ini dia sudah unjukkan sikap seperti biasa lagi.
"Kau selalu menyebut keempat orang gurumu si empat Raja Gila dengan hanya menyebut tiga orang saja tanpa mengikut sertakan si Raja Siluman Kera. Apakah yang terjadi dengan gurumu yang satu itu? Apakah pula yang menyebabkan kematian keenam orang gurumu?" bertanya Kulipala.
Nanjar tertekun sejenak mendengar pertanyaan itu, lalu dia menghela napas. "Kisahnya cukup panjang sobat. Tapi baiklah, aku akan ceritakan secara singkat mengenai kematian mereka..." ujar Nanjar lirih.
"Akan kuceritakan yang seingatku saja!" sambung Nanjar dengan tersenyum pedih. Tampak wajah pemuda itu agak berubah trenyuh mengingat nasib gurunya si
EMPAT RAJA GILA.
Demikianlah, secara singkat Nanjar ceritakan kejadian kematian keempat gurunya si Empat Raja Gila. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Nanjar dalam keadaan tak sadarkan diri telah terkena totokan pada urat syaraf di bagian kepalanya oleh si Raja Siluman Naga.
Akan tetapi dengan sebongkah batu sebesar kepalan tangan, Nanjar berhasil membuat Raja Siluman Naga menemui kematian. Sementara Raja Siluman Kera masih tetap terkapar terbungkus lapisan es tanpa diketahui nasibnya.
Mungkin saja Nanjar akan tinggal namanya saja di dunia ini kalau menjelang pagi tidak muncul tiga orang ke pulau yang terpencil itu. Mereka adalah Raja Siluman Ular, Raja Siluman Harimau dan Raja Siluman Biawak. Nanjar mendapat pertolongan ketiga orang kakek itu. Akan tetapi mereka tak dapat menyelamatkan nyawa Raja Siluman Kera yang telah tewas!
Dengan usaha ketiga orang gurunya yang amat menyayanginya itu, Nanjar bisa memiliki lagi kekuatan tenaga dalamnya. Hampir empat bulan Dia mendapat rawatan ketiga "Raja" itu, hingga kesehatanmya berangsur pulih. Dalam kesempatan itu mereka banyak bercerita mengenai riwayat mereka pada Nanjar.
Begitu terharu Nanjar ketika ketiga kakek itu menyatakan bersedia memberikan masing-masing tenaga dalam mereka padanya, setelah bersusah-payah memulihkan ingatan Nanjar yang nyaris jadi linglung!
Pada kesempatan itulah setelah ingatan Nanjar kembali pulih, dalam suatu gurauan ketiga orang gurunya mengolok-olok dengan panggilan si bocah linglung. Dan Nanjar seketika ingat akan kisah dirinya yang pernah mempunyai julukan si Dewa linglung.
Mendengar olok-olok gurunya itu Nanjar tertawa dan menceritakan kisah lucu tentang dirinya itu. Tentu saja seketika ketiga kakek itu tertawa terbahak-bahak. Dan selanjutnya ketiga gurunya menjuluki Nanjar si DEWA LINGLUNG.
Akan tetapi gelak-tawa dan kegembiraan mereka ternyata adalah awal dari perpisahan. Karena ketiga kakek yang amat menyayanginya itu didapati Nanjar telah tewas setelah memberikan tenaga dalam mereka secara serempak pada Nanjar.
Demikianlah! Nanjar dengan hati sedih menguburkan jenazah ketiga gurunya itu di atas bukit tertinggi di pulau itu berdekatan dengan kuburan si Raja Siluman Bangau, Raja Siluman Naga,dan Raja Siluman Kera yang telah lebih dulu tewas.
Ketiga "Raja" itu walaupun mengetahui si Raja Siluman Naga berhati busuk, akan tetapi tidak mengubur jasad si kakek yang pernah menjadi kawannya itu dengan kuburan yang terpisah. Namun sengaja membuat kuburan para Raja-raja Gila itu bersatu.
Ternyata disaat mereka semua tewas, Enam Iblis Pulau Kahyangan itu tetap terkubur berdampingan. Walaupun sejak beberapa belasan tahun mereka hidup sendiri-sendiri. Kecuali Empat Raja Gila yang masih tetap bersatu! Nanjar mengakhiri penuturannya dengan helaan napas panjang.
"Itulah sekedar riwayat singkat mengenai kematian mereka!" ujar Nanjar. Semua anak buah perguruan Tapak Nenggala sama mendengarkan penuturan Nanjar dengan seksama.
"Apakah kesemua gurumu tak ada yang menceritakan perihal Pedang Pusaka INTI ES itu padamu?" tanya Kulipala dengan kening dikerutkan. Nanjar gelengkan kepala, sambil ter-tawa.
"Hahaha... kau masih saja mencoba mengorek keterangan dariku mengenai segala pedang pusaka tai kucing! Apakah kau kira aku membual? Aku tak menyembunyikan senjata apapun kecuali potongan pedang ini!" berkata Nanjar seraya loloskan sepotong kayu yang terselip di punggungnya.
Justru mata Kulipala sejak tadi memperhatikan terus potongan kayu itu. Tentu saja semakin tercekat hati Kulipala mendengar Nanjar mempunyai sepotong pedang. Tak banyak bicara Nanjar segera keluarkan dari belahan kayu itu sebuah benda. Itulah potongan pedang yang selalu dibawanya.
Lalu diperlihatkan dihadapan Kulipala yang memandang dengan mata dibesarkan. Begitu pula Kebojalu, Bendowo dan Jalantra rurut memperhatikan.
"Apakah itu bukannya potongan pedang INTI ES?" berkata Kulipala dengan nada curiga.
"Hm, aku tak tahu! Benda ini punya sejarah yang amat penting bagiku yang tak perlu kalian mengetahui!" berkata Nanjar seraya kembali menyimpan benda itu dalam belahan kayu itu.
"Berikan padaku, aku akan memeriksa lebih jelas!" berkata Kulipala dengan nada berubah kasar.
"He? kalian tak berhak memaksa orang! Kukira sudah saatnya aku pergi dari pulau ini! Aku tak mau tahu dengan segala macam urusan kalian!" berkata Nanjar seraya menyimpan benda itu.
"Huh! kau kira semudah itu kau angkat kaki dari sini?" membentak Kulipala. Detik itu juga dia memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk mengurung.
Serentak ketiga laki-laki itu telah cabut senjata masing-masing. Sementara Kulipala sendiri telah loloskan senjata rantai Trisula hitamnya. Akan tetapi Nanjar cuma tersenyum. Tiba-tiba dia bersuit keras. Segera saja terdengar sahutan suara burung Rajawali yang segera terbang menghampiri. Kulipala tersentak. Tapi senjatanya telah menyambar deras kearah Nanjar.
"Hahaha... aku tak ada selera untuk bertarung, sobat!" Ucapan Nanjar dibarengi dengan melompatnya tubuh pemuda itu ke udara.
Terbelalak mata keempat orang itu dan puluhan orang-orang perguruan Tapak Nenggala, karena melihat pemuda itu melesat seperti "burung" menyongsong kedatangan si Rajawali. Dan sungguh mengagumkan. Karena kejap berikutnya si pemuda berambut gondrong itu telah hinggap di punggung burung Rajawali raksasa itu.
"Hahaha... lain kali kita berjumpa lagi, sobat-sobat! Sudah kurencanakan hari ini aku harus meninggalkan pulau ini!" teriak Nanjar dengan tertawa terbahak.
Dan belum lagi, mereka berbuat sesuatu, terdengar pemuda itu berteriak keras. "Jabur! Mari kita pergi!"
Selanjutnya mereka cuma bisa melihat dengan mulut ternganga memandang ke arah burung Rajawali yang terbang pesat membumbung ke udara meninggalkan pulau itu. Kulipala membanting kakinya dengan kesal, serta memaki-maki panjang pendek.
"Setan alas! Dedemit! Dia berhasil meloloskan diri!" Akan tetapi dalam hati diam-diam dia mengagumi kehebatan ilmu "terbang" pemuda itu. Seandainya terjadi pertarungan pun dia merasa belum tentu mereka dapat meringkus pemuda itu untuk merampas potongan pedang. Apalagi dengan adanya burung Rajawali raksasa itu...
Sesosok tubuh tegak berdiri di ujung tebing curam. Dibawahnya berdeburan ombak laut menghantam karang. Angin keras bersiutan menerpa tubuh semampai itu hingga rambutnya yang tergerai panjang berkibaran.
Dia ternyata seorang wanita dan tampaknya masih seorang gadis. Apa yang dilakukan gadis ini tak lain dia menatapkan pandangannya ke arah laut lepas. Ke arah batas cakrawala yang seolah tempat pertemuan langit dengan lautan. Dia berdiri tak bergeming dengan sesekali terdengar helaan napas panjang.
Gadis ini kenakan pakaian singsat seperti layaknya pakaian kaum persilatan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang pendek dengan sarungnya yang terbuat dari gading. Setitik air bening tampak tersembul dari sudut kelopak matanya, dan tampak sepasang mata dara itu telah berkaca-kaca. Tampaknya dara ini tengah mengalami kesedihan yang berkecamuk dalam dadanya.
Akan tetapi wajah yang seperti mau menangis itu mendadak berubah menjadi kaku lagi. Titik air bening yang siap turun kepipinya cepat dihapuskan oleh tangannya. Dan dia menggigit bibir, seperti menahan gejolak kesedihan yang mengamuk dalam dada!
Dia berhasil! Kekerasan hatinya telah membuat gadis itu batal menangis. Dia balikkan tubuh dan alihkan pandangannya dari laut lepas. Gadis itu ternyata seorang yang berparas cantik. Bibirnya melengkung bak busur panah. Matanya jeli dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya mancung dengan raut muka bulat sirih. Dari usianya gadis ini dapat diperkirakan berusia diantara sembilan belas atau dua puluh tahun. Cukup dewasa bagi usia seorang dara remaja!
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara tertawa menyibak kelengangan. Dara ini menoleh kearah datangnya suara itu. Sesosok tubuh berkelebat muncul dari balik batu cadas. "Hahaha... apakah yang tengah kau lamunkan kakak manis? Dari tadi kau kulihat termangu-mangu memandang kearah laut! Apakah kau terkenang pada seorang laki-laki yang menjadi kekasihmu?"
"Huh! Kau Hang Gada! Ada apa kau menyusulku kemari?" terkejut gadis ini mengetahui siapa yang datang.
"Aha, tidak bolehkan aku kemari menyusulmu? Aku ingin bercakap-cakap agak leluasa denganmu! Selama ini kita selalu mendalami latihan tanpa sempat bercakap-cakap. Waktu yang baik ini kukira sangat berharga untuk kita membicarakan masalah lain, selain masalah ilmu-ilmu kedigjayaan!" berkata laki-laki itu.
Ternyata Hang Gada ini adalah seorang pemuda gagah berkumis tipis dengan pakaian serba putih yang terbuat dari kain kasar.
Siapakah adanya gadis itu? Dia tak lain dari RANGGAWENI. Seperti telah diceritakan pada judul perdana Serial Dewa Linglung, Ranggaweni pergi meninggalkan pulau terpencil itu dengan dendam tersemat dalam dada.
Kematian si Raja Pengemis gurunya oleh si Raja Siluman Naga, telah membuat Ranggaweni menyimpan dendam kesumat dalam dadanya. Dia bertekad menuntut ilmu kedigjayaan untuk suatu saat kelak membalaskan kematian sang guru.
Hang Gada adalah saudara seperguruannya yang belum lama dikenalnya beberapa bulan yang lalu, sejak dia menjadi murid seorang kakek bernama Ki Bonang Luhur dipesanggrahan Gunung Putri.
Ki Bonang Luhur mempunyai tiga orang murid. Murid pertama adalah Badar Sora, seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun bermata buta. Sedangkan Ranggaweni secara kebetulan bertemu dengan Ki Bonang Luhur, yang kemudian mengajaknya untuk tinggal di Pesanggrahan Gunung Putri.
Selama setahun dia berguru, muncullah Hang Gada ke pesanggrahan Gunung Putri yang memohon untuk menjadi murid Ki Bonang Luhur. Kakek itu dengan senang hati menerima Hang Gada menjadi muridnya, karena sopan santun serta tutur kata Hang Gada yang lemah lembut menarik hati kakek itu.
Demikianlah. Selama tiga tahun lebih Ranggaweni berdiam di Pesanggrahan Gunung Putri memperdalam ilmu-ilmu kedigjayaan pada Ki Bonang Luhur. Hingga sampai saat ini.
Mendengar kata-kata Hang Gada, Ranggaweni tersenyum. Dalam hati dia memang menyukai pemuda yang berwajah ganteng ini, akan tetapi dia belum mengenal benar wataknya. Apalagi sejak dia selalu bersama si Raja Pengemis dimasa gurunya itu masih hidup, si kakek sering menasihati agar selalu berhati-hati dengan seorang laki-laki. Karena ketampanan wajah bukanlah ukuran dari pribadi seseorang. Rupanya bagus belum tentu sama dengan hatinya.
Oleh sebab itulah Ranggaweni tak begitu mengakrabi Hang Gada. Bahkan dia lebih dekat dengan Badar Sora sang kakak seperguruan yang buta mata. Dia sering mengajak bercakap-cakap. Akan tetapi yang dibicarakannya tak berkisar dari ilmu-ilmu kedigjayaan.
"Apakah yang kau mau percakapkan denganku, Hang Gada? Aku cuma senang melihat laut hingga aku sering datang ketempat ini!" berkata Ranggaweni.
"Aku juga senang melihat laut! Akan tetapi lebih senang bila sambil duduk bercakap-cakap di samping seorang perempuan secantikmu, kakak yang manis...!" Timpal Hang Gada dengan tertawa memperlihatkan sederetan giginya yang putih rata.
"Ah, kau mulai bicara macam-macam. Sayang sekali aku justru mau pulang. Aku khawatir guru sudah kembali, dan kau tinggalkan kakang Badar Sora seorang diri dipesanggrahan? Kasihan...! Dia tak ada yang menemani dan tak ada yang mengajaknya bercakap-cakap!" berkata Ranggaweni seraya beranjak melangkah untuk menuruni tebing.
"Tunggu, kakak Ranggaweni! Tidakkah kau mau memberi kesempatan padaku untuk membicarakan sesuatu padamu?" berkata Hang Gada seraya melompat tepat dihadapannya. Ranggaweni merandek.
"Apakah yang mau kau bicarakan?"
"Duduklah dulu. Nah itu ada batu besar. Kita duduk disana!" ujar pemuda ini seraya menunjuk ke sebelah kirinya.
"Mengapa tidak disini saja? Toh sama saja! Apa sih yang akan kau bicarakan itu?" Lagi-lagi Ranggaweni ulangi pertanyaan.
Akan tetapi cepat sekali Hang Gada menangkap pergelangan tangan gadis itu. Karena cepatnya dan secara tak diduga Ranggaweni tak dapat mengelakkan diri. Dengan tertawa Hang Gada menarik lengan Ranggaweni seraya berkata. "Ayolah, hari masih siang begini. Kukira besok pun belum tentu guru kembali dari menyelesaikan urusannya!"
Wajah Ranggaweni memerah. Akan tetapi dia tak dapat menolak untuk menuruti keinginan Hang Gada. Sesaat kemudian mereka telah sama-sama duduk diatas batu besar itu. "Nah, katakanlah apa yang kau mau katakan!" berkata Ranggaweni ketus.
"Ah, kakakku yang manis, kalau kau cemberut seperti ini sungguh kau tampak lebih cantik!" merayu Hang Gada.
Lengannya masih mencekal pergelangan tangan Ranggaweni. Dan diam-diam terasa jemari tangan si pemuda itu bergerak-gerak meremasnya. Berdesir darah Ranggaweni. Tak ayal dia segera tepiskan tangannya. Gadis ini mulai berprasangka tidak baik dengan adik seperguruannya itu.
Dinilai dengan usia memang tampaknya masih lebih tua Hang Gada. Akan tetapi karena Ranggaweni berguru pada Ki Bonang Luhur setahun lebih dulu, maka Hang Gada termasuk adik seperguruan.
"Kakak Ranggaweni, mengapa kau tampaknya selalu menjauhi aku? Kau lebih suka berlama-lama dalam bercakap-cakap dengan kakang Badar Sora!" Hang Gada mulai membuka percakapan.
"Hm, itukah yang kau mau katakan? Kakang Badar Sora adalah seorang tuna-netra. Dia banyak pengalaman dalam hal ilmu-ilmu kedigjayaan. Apakah salahku kalau lebih banyak mendekatinya? Kukira bisa menambah pengalamanku dalam ilmu yang aku pelajari!" sahut Ranggaweni polos.
"Heh! Bagaimana mungkin kepandaian ilmu silat orang buta dapat kau samakan dengan ilmu orang melek? Selama ini aku belum pernah melihat dia berlatih atau mempertunjukkan ilmu yang telah dimilikinya!" berkata Hang Gada dengan wajah kaku. Tampak dari sikap dan sinar matanya pemuda ini seperti cemburu pada Badar Sora.
Bahkan dari kata-kata itu jelas dia mengejek sang kakak seperguruan. Sikap dan kata-kata adik seperguruannya itu membuat Ranggaweni mendongkol, dan berkata ketus. "Hm, kau tampaknya meremehkan dia? Boleh coba kalau kau mau mengujinya!"
"Tidak perlu! Aku bukan seorang murid yang kurang ajar untuk menantangnya bertarung! Akan tetapi apakah kau mengira aku akan dapat dia jatuhkan dengan begitu mudah? Hahaha... Hang Gada bukanlah Hang Gada kalau cuma berkata tanpa ada buktinya!" Pemuda itu tertawa gelak-gelak.
Tentu saja melihat kesombongan pemuda adik seperguruannya itu hati Ranggaweni semakin mendongkol. "Hm, selama ini kita cuma berlatih tanpa bertarung sungguh-sungguh. Aku lihat kau masih banyak kelemahan. Tapi kata-katamu terlalu sombong! Ilmu apakah yang kau punyai hingga kau menjadi sombong sekali?" berkata Ranggaweni dengan membentak.
"Lho? mengapa kau yang marah? Hm, aku tahu kini. Kau tentu diam-diam telah jatuh cinta pada si buta itu! Pantas kau selalu menjauhi diriku! Nyatanya kau telah menganggap remeh diriku. Hahaha... Ranggaweni! Aku akan buktikan dengan menjatuhkan kau dalam tiga jurus!"
Tentu saja sesumbar Hang Gada membuat gadis ini naik pitam. "Bagus! bersiaplah untuk bertarung! Ingin kulihat bukti kata-katamu manusia sombong!" membentak Ranggaweni. Dan dia telah melompat berdiri.
Hang Gada yang sejak tadi telah berdiri menatap sang kakak seperguruan dengan tersenyum sinis. "Aku sudah siap! Silahkah kau menyerang terlebih dulu!"
Tentu saja Ranggaweni semakin mendongkol atas sikap pemuda itu. Tanpa menunggu waktu lama lagi, dia telah lancarkan serangan dengan pukulan beruntun kearah Hang Gada. Itulah jurus Kilat Menyambar Gunung! Hebat serangan itu. Ayal sedikit saja kepala dan dada Hang Gada akan remuk kena hantaman dahsyat bertenaga dalam luar biasa dari serangan Ranggaweni.
Akan tetapi aneh. Dengan ringan melejit kesana-kemari serangan itu lolos. Bahkan Hang Gada balas menyerang kearah pangkal paha. Serangan itu membuat Ranggaweni terkejut karena menimbulkan hawa panas. Dan yang membuat lebih terkejut lagi adalah sebelah lengan Hang Gada mengarah ke dada.
Percuma dia mempelajari bermacam ilmu tata kelahi selama tiga tahun. Serangan balasan Hang Gada berhasil dihindarkan dengan gerakan gesit miringkan tubuhnya ke kiri. Lalu lakukan salto untuk menghindari serangan tendangan ke arah pangkal paha.
"Bagus! Jaga serangan selanjutnya!" teriak Hang Gada. Kembali dia melompat... Yang dituju adalah kaki. Gerakan seperti mau menangkap kaki itu membuat Ranggaweni melompat ke udara. Akan tetapi sekejap tubuhnya telah menukik. Sepasang lengannya terarah ke bawah menghantam dengan pukulan tenaga dalam. Inilah jurus Haramau Sakti Menerkam Mega.
"Gila!?" membathin Ranggaweni dengan terkejut. Karena sosok tubuh Hang Gada sudah menggelinding kearah belakang tubuh melewati di bawah tubuhnya yang siap menghantam. Serangan barusan ternyata telah terbaca oleh Hang Gada. Tahu-tahu disaat kakinya menyentuh tanah dan dia batalkan serangan, berdesir angin pukulan ke arah punggungnya.
"Haiiiit!" Ranggaweni berteriak, seraya kembali mengegos ke samping. Dia lakukan beberapa kali salto menghindari serangan. Dalam dua jurus ini dia berhasil menyelamatkan diri. Akan tetapi pada jurus ketiga, dia dibuat terperangah karena tak berhasil mengejar kelebatan tubuh Hang Gada yang berkelebat cepat sekali mengelilinginya.
Disaat itulah, tahu-tahu dia rasakan angin bersyiur ke arah belakang leher. Dan tahu-tahu dia mengeluh dan berteriak tertahan. Tubuhnya mendadak roboh terhuyung. Dan saat berikutnya dia telah berada dalam pondongan Hang Gada yang cepat menyangga tubuhnya sebelum menyentuh tanah.
"Hati-hati, kakakku yang manis...! Haiih! hampir kau jatuh!"
Ranggaweni tak berdaya, karena totokan Hang Gada tepat mengenai sasaran. Gadis itu rasakan sekujur anggota tubuhnya lumpuh tak dapat digerakkan.
"Hahaha... aku telah buktikan kata-kataku, Ranggaweni! Kini apa yang mau kau katakan?" berkata Hang Gada dengan menyeringai.
"Lepaskan aku!" teriak gadis itu dengah wajah pucat.
Hahaha... alangkah bodohnya aku kalau melepaskan makanan yang sudah berada di tangan!" berkata pemuda itu dengan menyeringai. Percuma gadis itu berteriak-teriak, toh Hang Gada bukannya melepaskan totokannya bahkan membawanya dan memondongnya ke tempat yang rimbun di balik semak belukar. Di atas rumput tebal tubuh Ranggaweni dibaringkan. Dan....
Breeet!
Baju bagian dada gadis itu telah disentakkan dengan kuat hingga robek. Seketika dua buah benda bulat menonjol yang putih lunak itu tersembul. Teriakan Ranggaweni terputus ketika, sekali lagi lengan Hang Gada bergerak menotok. Lenyaplah suara gadis itu karena Hang Gada telah menotok urat suaranya.
"Hahaha... Ranggaweni! Sudah lama aku mengagumi kecantikanmu. Hingga aku berniat suatu saat aku akan mengecap kenikmatan dan kehangatan tubuhmu yang mulus. Dan... hari ini terkabul sudah apa yang aku idam-idamkan sejak lama!" berkata Hang Gada seraya lengannya menjulur untuk membelai dua buah bukit kembar itu.
Ranggaweni menjerit akan tetapi suaranya hanya mendesis. Matanya membeliak dengan wajah pucat-pias melihat apa yang dilakukan Hang Gada. Sementara Hang Gada seperti sudah tak sabar untuk menunaikan hasrat nafsu kebinatangannya. Saat berikutnya dia telah membukai pakaiannya.... Napasnya berdesahan akibat hawa nafsu yang telah bergejolak di dalam dada.
Akan tetapi pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan keras parau menggeledek. "Bajingan tengik! Manusia kotor! Apakah yang akan kau lakukan terhadap kakak seperguruanmu sendiri?!"
Bentakan itu diiringi dengan suara bersyiuranya angin keras ke punggung Hang Gada. Terkejut pemuda ini karena itulah sambaran tongkat yang meluncur deras untuk menggebuk punggungnya. Tentu saja membuat Hang Gada tersentak kaget. Namun dengan gerakan sebat dia miringkan tubuh, untuk jatuhkan diri bergulingan. Loloslah serangan itu.
Ketika dia melihat ke arah si pembokong terkejut bukan main dia karena seorang laki-laki bertubuh jangkung bermata buta yang telah dikenalnya berdiri di tempat itu. Siapa lagi orang itu kalau bukan BADAR SORA sang kakak seperguruan yang bermata buta.
"Hahaha.... kiranya ada orang buta tersasar kemari! Kasihan! Apakah kau tersesat mencari jalan? Kalau begitu akan kutunjukkan padamu arah jalan yang betul, yaitu jalan menuju ke Akhirat!" berkata Hang Gada dengan tertawa terbahak-bahak. Sementara dalam hati diam-diam dia membathin. "Aneh!? Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui aku berada di tempat ini?"
Namun begitu Hang Gada tak menunjukkan sikap terkejut. Bahkan dengan mengumbar tertawa dia sengaja mengejek Badar Sora.
"He! kiranya kau musang berbulu ayam! Sungguh tak kuduga kalau kau punya niat jahat. Selama ini kami telah tertipu. Sungguh amat kusesalkan guru telah menerimamu menjadi muridnya! Katakan padaku manusia jahanam, siapakah kau sebenarnya?" membentak Badar Sora dengan suara menggeledek parau. Tubuhnya berguncang karena gusarnya.
"Hm, baiklah! Kukira kini sudah saatnya aku membuka rahasia siapa adanya diriku!" berkata Hang Gada. "Aku adalah murid Nini BLORONG dari Goa Larangan! Namaku sebenarnya adalah NOGO PRAKOSO! Guruku punya dendam yang amat mendalam pada Ki Bonang Luhur. Tahukah kau apa sebabnya aku berguru pada Ki Bonang Luhur? Hahaha... kesatu, aku tertarik pada murid perempuannya yang cantik yaitu Ranggaweni. Kedua aku memang tengah menjalankan tugas guruku mencari kesempatan baik mencuri sebuah peta yang berada di tangan Ki Bonang Luhur. Yaitu peta rahasia tempat tersimpannya sebuah pedang Pusaka yang bernama Pedang Pusaka INTI ES!"
Sampai disini Badar Sora tak dapat menahan kemarahannya. Tiba-tiba wajahnya berubah merah padam. "Bajingan keparat! Jadi kaulah yang bernama Nogo Prakoso? Bagus! Aku tak perlu jauh-jauh mencari manusia dajal yang telah memperkosa adikku! Bersiaplah kau untuk mampus!" Bentakan Badar Sora disusul dengan gerungan hebat. Lengannya bergerak menghantam ke depan.
Whuuuk! Blharrr!
Hantaman pukulan jarak jauh mengandung kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya itu membuat tanah menyemburat berlubang, dan hawa panas merambah ke sekitar tempat itu. Akan tetapi dengan gerakan gesit Hang Gada alias Nogo Prakoso telah melesat ke udara setinggi hampir sepuluh tombak.
Tubuhnya menukik bagai elang alap-alap. Sepasang lengannya bergerak menghantam melontarkan pukulan ganas. Uap hitam seketika menggulung ke arah batok kepala Badar Sora. Itulah pukulan ganas yang mengandung racun.
Akan tetapi laki-laki bermata buta itu cukup peka dengan serangan itu. Tongkatnya digerakkan berputar bagai baling-baling. Seketika menderulah angin keras bagai taufan yang bergulung-gulung menghantam buyar serangan itu. Bahkan ujung-ujung tongkat itu bagaikan bermata mengejar ke arah mana tubuh Nogo Prakoso berkelebat.
Nogo Prakoso tak menyangka kalau gerakan Badar Sora yang bermata buta itu begitu hebat. Bahkan serangan-serangan amat berbahaya mengandung maut! Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Dia bergerak agak ayal karena mencari jalan untuk menerobos kepungan Badar Sora yang mengejar terus dengan tongkat mautnya.
Hingga ketika dia menghindari serangan beruntun dari ceceran tongkat orang buta itu, satu pukulan telah mengenai sasarannya, tepat di punggung. Untunglah pukulan itu tak begitu keras. Dia terjungkal dengan berteriak tertahan. Saat itu tongkat si buta telah meluncur deras ke arah batok kepalanya. Berguling-guling tubuh Nogo Prakoso menghindari sambaran tongkat Badar Sora.
Akan tetapi saat itu juga di lengan Nogo Prakoso telah tergenggam sejumput paku beracun. Di saat yang tepat ketika dia berhasil menghindar kesisi dengan cepat dia cepat melontarkan paku-paku beracun itu ke arah Badar Sora.
Nogo Prakoso mengira serangan senjata rahasianya tak akan luput dari sasaran. Akan tetapi sungguh tak diduga kalau pendengaran laki-laki buta itu amat peka. Detik itu juga dia telah berkelebat melompat seraya putarkan tongkatnya yang menimbulkan angin keras. Berhamburanlah paku-paku beracun itu buyar kebeberapa penjuru.
Akan tetapi pada kesempatan itu Nogo Prakoso telah berkelebat tanpa menimbulkan suara, lalu mendekam dibalik batu. Keadaan menjadi sunyi hening. Badar Sora putarkan tubuh dan miringkan kepala untuk mencari dimana jejak musuhnya.
"Manusia bejat! Jangan kira kau mampu meloloskan diri dari tanganku! Sakit hati adik perempuanku Sukowati hari ini akan kubalaskan! Tahukah kau, akibat perbuatan terkutukmu dia telah nekat membunuh diri? Kini kau mau memperkosa pula adik seperguruanku! Sungguh kau manusia bejat yang pantas untuk dilenyapkan dari muka bumi ini! Unjukkan dirimu keparat! Apakah kau bernyali tikus? Bukankah kau murid si Nini Blorong? Tunjukkan ilmu-ilmu kedigjayaanmu!" berteriak-teriak Badar Sora dengan suara parau.
Akan tetapi tiada sahutan. Tempat itu hening mencekam. Nogo Prakoso masih tak beranjak dari tempat persembunyiannya. Bahkan mengeluaran suara napaspun dengan hati-hati khawatir terdengar oleh si buta. Akan tetapi wajah pemuda ini tampak menyeringai. Diam-diam dia telah merencanakan satu cara yang akan menghabisi nyawa Bandar Sora sekaligus!
Tampak dia salurkan tenaga dalamnya dengan diam-diam ke arah kedua lengan. Uap hitam terlihat mengepul tipis dari kedua lengan pemuda itu. Nyatalah memang Nogo Prakoso mempunyai ilmu pukulan beracun yang ganas.
Pelahan-lahan dia bangkit berdiri. Sepasang matanya berkilat menatap Badar Sora yang masih tegak berdiri dengan kepala dimiringkan ke setiap arah. Tampaknya dia masih sabar menunggu reaksi selanjutnya. Karena yakin Nogo Prakoso masih berada ditempat itu!
Sementara itu di udara pada jarak lima puluh kaki tampak seekor burung elang besar berputar-putar diatas tebing terjal itu. Bayangan hitam yang lewat sekilas di tanah membuat Nogo Perkoso menengadah memandang ke atas. Agak terkejut Nogo Prakoso kerena baru sekali ini melihat seekor burung Elang sebesar itu. "Apakah itu bukannya seekor burung Rajawali? Ah? begitu besarnya...?" berkata dia dalam hati.
Akan tetapi pemuda ini tak sempat berlama-lama untuk berdiam diri. Lengannya bergerak pelahan untuk menjumput sebongkah batu. Benda itu dilemparkan ke sebelah kiri Badar Sora.
Suara batu berderak itu membuat Badar Sora tersentak. Dan serta-merta dia telah membentak keras disertai gerakan tubuhnya untuk melompat. Tongkatnya menyambar ke arah suara itu yang dibarengi dengan sambaran pukulan bertenaga dalam.
Whuuut! Whuuuuk...! Bhlarrrr!
Batu-batu berhamburan hancur terkena hantaman tongkat dan hantaman pukulan Badar Sora yang menimbulkan hawa panas! Disaat itulah Nogo Prakoso melesat ke belakang Badar Sora.
"Mampuslah kau, si buta tolol!" membentak Nogo Prakoso berbareng dengan hantamkan pukulan mautnya ke punggung dan ke arah batok kepala Badar Sora. Kali ini serangan bokongan Nogo Prakoso pasti tak akan luput lagi.
Akan tetapi didetik yang menentukan hidup matinya Badar Sora, segelombang angin dahsat telah menolakkan tubuh Nogo Prakoso dari arah kanan. Terhuyung seketika tubuh pemuda itu, hingga angin pukulannya melesat tak mengenai sasaran. Bahkan tubuh pemuda itu terbanting ketanah. Pada detik itulah tiba-tiba Nogo Prakoso menjerit ngeri. Karena tongkat Badar Sora telah membenam di dadanya.
Badar Sora yang terkesiap kaget ketika mendengar suara bentakan di belakangnya dan deru angin yang membuat dia bergidik. Akan tetapi terkejut dia mendengar suara teriakan dan jatuhnya benda berat di dekatnya. Itulah suara Nogo Prakoso.
Tak ayal lagi dia telah gerakkan tongkatnya mengirim tusukan maut! Tak dapat dielakkan lagi serangan mendadak itu oleh Nogo Prakoso. Seketika dia menjerit parau ketika tongkat Badar Sora menembus dadanya.
Darah segar memuncrat ketika Badar Sora mencabut tongkat, dan mengelepar-gelepar tubuh Nogo Prakoso bagai ayam disembelih. Lalu terkulai tak berkutik. Napas pemuda itu telah putus seketika dengan wajahnya yang berubah menyeramkan. Sepasang matanya mendelik. Mulutnya terbuka dengan wajah yang berubah menjadi kehijauan.
Entah sejak kapan ditempat itu telah berdiri sesosok tubuh laki-laki muda berbaju compang-camping. Berambut gondrong dengan ikat kepala dan ikat pinggangnya dari kulit ular. Siapakah adanya pemuda ini? Dia tak lain dari Najar alias di Dewa Linglung.
"Sukurlah kau selamat, sobat! Dan musuhmu berhasil kau binasakan! Manusia bejat semacam dia memang pantas mampus!" berkata Nanjar.
"Siapakah anda? Oh, pasti anda yang telah menyelamatkan jiwaku!" tersentak Badar Sora mendengar suara laki-laki di belakangnya.
"Namaku... oh, tunggu dulu! Aku akan menolong istrimu!" Kata-kata Nanjar dibarengi dengan berkelebat tubuhnya ke arah Ranggaweni yang terlentang di rerumputan. Sekilas Nanjar dapat mengetahui kalau wanita itu terkena totokan.
Terkejut Ranggaweni melihat seorang laki-laki telah berada di hadapannya. Sesaat Nanjar terpaku menatap. Dia seperti mengenal wanita itu. Akan tetapi tak ayal dia telah membungkuk dan gerakkan tangannya membuka totokan.
Begitu merasa totokan ditubuhnya terbuka, Ranggaweni melompat bangun untuk segera menutupi bagian tubuhnya yang terlarang. Sepasang matanya menatap pada laki-laki muda berambut gondrong dan berbaju compang-camping di hadapannya.
"Kau... kau siapakah? Aku seperti pernah melihatmu... Ah, apakah kau... kau kak NANJAR?" setengah berteriak Ranggaweni ketika mengenali siapa adanya laki-laki itu.
"Hahaha... benar! Dan bukankah kau RANGGAWENI?" berkata Nanjar ketika segera mengenali pula siapa adanya gadis itu. Entah dorongan apa yang membuat tiba-tiba Ranggaweni melompat dan serta merta memeluk erat pemuda itu. Selanjutnya gadis itu telah menangis terisak-isak.
"Ah, kak Nanjar... kalau kau... kau tak datang menolong, entah apa yang terjadi dengan kakang Badar Sora. Dan.... aku tak tahu lagi bagaimana nasibku ditangan manusia bejat itu!" terisak-isak Ranggaweni berkata.
"Haiiih, sudahlah jangan nangis! Kalau melihat orang menangis justru aku jadi bingung!" berkata Nanjar dengan mata dibesarkan karena dua buah benda kenyal itu menekan didadanya, membuat darahnya tersirap.
Agaknya kata-kata Nanjar menyadarkan dirinya bahwa tidak pantas dia berlaku demikian. Seketika wajahnya berubah merah. Dan dia telah melompat untuk melepaskan pelukan. Selanjutnya tersipu-sipu malu dia tundukkan wajah dengan lengannya kembali menutupi bagian dadanya yang terbuka. Akan tetapi diam-diam dia tersenyum karena Nanjar menyangka Badar Sora suaminya.
Badar Sora melalui pendengarannya segera mengetahui siapa nama si penolongnya itu. Dia beranjak menghampiri, seraya menjura. "Terima kasih atas pertolongan itu sobat Nanjar...! Sungguh tak kuduga kalau kalian telah saling mengenal!" ujarnya dengan tersenyum.
"Ah, aku hanya kebetulan berada di atas tebing ini. Apakah kau yang bernama Badar Sora?" berkata Nanjar yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
"Benar, sobat! Ranggaweni adalah adik seperguruanku. Nyaris saja perbuatan cemar dilakukan pemuda keparat yang sudah mampus itu. Beruntung aku datang kemari. Akan tetapi mautpun nyaris merenggut jiwaku kalau kau tak datang menolong. Budi baikmu entah dengan apa aku membalasnya!" ujar Badar Sora. Dan sekali lagi dia menjura dalam-dalam pada Nanjar.
"Haiiih! Hidup adalah untuk saling tolong-menolong. Sudahlah sobat Badar Sora, mengenai pertolonganku itu baiknya kita bersukur pada Tuhan, karena semua nasib manusia adalah Tuhan yang menghendaki. Kalau umurmu masih panjang ada saja jalannya untuk kau bisa selamat!" berkata Nanjar dengan tersenyum. Dia agak rikuh karena berkali-kali Badar Sora menjura padanya.
"Oh, ya... apakah Ranggaweni itu bukannya istrimu?" tanyanya kemudian. Sementara kepalanya berpaling menatap pada Ranggaweni.
"Hihihi... siapa yang telah menikah? Kami adalah kakak dan adik seperguruan seperti yang telah dikatakan Badar Sora tadi!" tukas gadis itu dengan tertawa geli.
Nanjar jadi garuk-garuk kepala. Akan tetapi dia bergirang karena Ranggaweni masih tetap seorang gadis. Pada saat itu di udara terdengar suara mengiyak santar. Badar Sora pasang telinganya dengan sikap waspada. Adapun Nanjar segera menengadah berbareng dengan Ranggaweni. Tampaklah burung elang besar yang tak lain dari si Rajawali peliharaan Nanjar terbang berkeliling agak merendah. Mulut gadis itu seketika jadi ternganga.
"Ah? Bukankah itu burung Rajawali yang pernah membawa terbang kau, kak Nanjar?" bertanya dia memandang dengan mata membelalak.
"Ah? dugaanmu salah! Burung yang dahulu itu telah mati tenggelam di laut akibat pukulan si Raja Siluman Naga. Burung yang ini adalah anaknya, dan sudah menjadi peliharaanku! Burung yang dahulu itu bernama JABUR. Akan tetapi burung anaknya inipun kuberi nama JABUR seperti nama induknya!" berkata Nanjar seraya gerakkan tangannya kearah mulut. Dan terdengarlah suara suitan nyaris dari mulut pemuda itu.
"Jabur! kau turunlah...!" teriak Nanjar.
Mendengar suara suitan majikannya saat itu juga Jabur telah menukik dan terbang lebih rendah mengelilingi Nanjar. Kemudian hinggap diatas batu tak jauh dari pemuda itu. Burung raksasa itu keluarkan suara mengiyak melihat kedua orang yang berada disitu.
"Hahaha.... Jabur! mereka kawan kita. Yang ini adalah nona Ranggaweni dan yang ini adalah sobat Badar Sora."
Akan tetapi si Rajawali masih sibuk menjerit-jerit. Ternyata yang dilihatnya adalah mayat Nogo Prakoso. Nanjar maklum, karena baru pertama kali Jabur melihat bangkai manusia. Nanjar menoleh pada Badar Sora dan Ranggaweni.
"Bagaimana pendapat kalian? Apakah mayat laki-laki itu mau kalian kuburkan?" bertanya Nanjar.
Ranggaweni mendengus. "Tak layak rasanya mayat manusia bejat itu bila dikuburkan. Biarkan saja dia mati tak berkubur!" berkata Ranggaweni dengan wajah kesal. Masih nampak dendamnya pada Hang Gada alias Nogo Prakoso walau manusia itu sudah menjadi mayat. Sedangkan Badar Sora cuma diam tanpa memberi jawaban.
"Baiklah! Kalau begitu....." Nanjar tak teruskan kata-katanya. Karena dia telah menoleh pada sang burung Rajawali.
"Jabur! lemparkan mayat itu ke laut!" berkata Nanjar pada si Jabur.
Burung Rajawali raksasa itu mengeluarkan suara memekik beberapa kali. Tiba-tiba dia melesat terbang untuk kemudian menyambar tubuh Nogo Prakoso. Kejap selanjutnya tubuh pemuda yang tewas itu telah dibawa terbang dalam cengkeraman kakinya, menuju ke tengah laut.
Dan dari tempat ketinggian dua puluh kaki, mayat Nogo Prakoso dilepaskan si Rajawali kepermukaan laut. Tak lama burung Rajawali itu telah kembali lagi. Setelah berputar-putar lalu terbang merendah, dan hinggap diatas tempat dia bertengger tadi.
"Aih, burung Rajawali yang hebat! Ah, betapa senangnya kalau aku memilikinya!" berkata Ranggaweni diluar sadar. Dia tampak amat kagum pada kecerdikan si Jabur yang mengerti kata-kata manusia. Begitu patuhnya si Jabur pada sang tuan majikannya.
"Hahaha... kalau kau mau aku akan memberikannya padamu!" berkata Nanjar dengan tersenyum menatap Ranggaweni.
"Betulkah?" tersentak girang Ranggaweni. Menatap Nanjar seperti tak percaya.
"Mengapa tidak?" sahut Nanjar bersungguh-sungguh.
"Ah, dengan apa aku membalas kebaikan hatimu, kak Nanjar? Kau begitu baik sekali terhadapku...!" Girangnya sukar dilukiskan hati gadis itu. Hingga dia menatap Nanjar dengan mata membelalak berbinar-binar.
"Cukup dengan kau mengakui aku sebagai kakak kandungmu sendiri, dan kau harus patuh pada perintah dan nasihatku!" ujar Nanjar dengan kata-kata tegas. Hal itu memang diucapkan dengan sungguh-sungguh. Tentu saja membuat Ranggaweni tertegun.
Akan tetapi cuma sesaat. Karena selanjutnya gadis itu sudah jatuhkan dirinya untuk berlutut dihadapan Nanjar. Mulutnya keluarkan kata-kata yang menggeletar. "Kakak Nanjar! Aku bersedia dengan syaratmu itu. Dan aku akan memegang teguh janjiku. Aku akan mengakui kau kakak kandungku sendiri dan aku berjanji akan mematuhi setiap nasihatmu!"
Diucapkan kata-kata itu oleh Ranggaweni dengan rasa girang yang amat luar biasa, bercampur rasa haru. Dia memang telah menganggap kakak sendiri pada Nanjar sejak pemuda itu berdiam di rumah keluarganya pada beberapa tahun yang silam.
Ayahnya Ki Ronggo Alit semasa hidupnya pun amat menyayangi pemuda itu. Tentu saja dia tak menolak kalau hanya untuk memiliki si Jabur dengan menganggap Nanjar sebagai kakak kandungnya sendiri.
Sedangkan apa yang diucapkan Nanjar adalah memang bersungguh-sungguh, karena berdasarkan janjinya pada si Raja Pengemis (guru Ranggaweni) yang tewas oleh si Raja Siluman Naga. Disaat menjelang kematiannya si Raja Pengemis memang telah memohon pada Nanjar agar Ranggaweni yang telah dianggap cucunya sendiri, agar Nanjar mau menjaganya. (Baca : Serial Dewa Linglung nomor perdana RAJA-RAJA GILA).
Udara cerah. Langit tak berawan. Matahari semakin menggelincir ke arah barat. Puncak tebing itu kembali sunyi ketika ketiga orang di atas tebing tersebut beranjak meninggalkan tempat itu. Nanjar tak menolak ketika Ranggaweni dan Badar Sora mengajaknya untuk singgah kepesanggrahan Gunung Putri. Sementara di udara terbang mengikuti si Rajawali raksasa kearah tiga sosok tubuh manusia di bawahnya....
TIGA HARI berada di pesanggrahan Gunung Putri, Nanjar mengakrabkan Jabur pada Ranggaweni yang nampak sangat gembira sekali. Sejak dia masih bersama si Raja Pengemis memang gadis itu hampir sering bermimpi memiliki burung Rajawali raksasa yang pernah dilihatnya di atas bukit. Kiranya impian itu menjadi kenyataan! Berdiamnya Nanjar dipesanggrahan itu karena dia ingin bertemu dengan Ki Bonang Luhur, yang masih belum kembali dari turun gunung.
Tentu saja selama itu mereka masing-masing tuturkan pengalamannya. Tak lupa Nanjar menceritakan kejadian di pulau terpencil serta menceritakan tentang kematian si Raja Siluman Naga. Gadis itu agak kecewa mendengar penuturan Nanjar. Karena dia memang berambisi untuk membalaskan kematian gurunya pada si Raja Siluman Naga!
Akan tetapi dia juga menyadari kalau ilmu kepandaiannya belum apa-apa. Buktinya menghadapi Hang Gada alias Nogo Prakoso dia dapat dijatuhkan cuma dalam tiga jurus. Melihat begitu lemahnya ilmu beladiri yang dimilikinya, Ranggaweni memohon pada Nanjar untuk mengajarinya beberapa jurus ilmu kepandaian silat, sambil menunggu kedatangan Ki Bonang Luhur.
Nanjar tak keberatan, bahkan dia amat menyetujui usul itu, karena Nanjar memang telah menganggap Ranggaweni adik kandungnya sendiri. Juga dia merasa berhutang budi pada Ki Ranggo Alit ayah Ranggaweni.
Demikianlah! Hingga lebih dari tiga pekan Nanjar berada di pesanggrahan Gunung Putri. Selama itu Ranggaweni telah berhasil menghafalkan jurus-jurus silat dari Nanjar. Yaitu beberapa jurus silat Raja Siluman Harimau dan jurus-jurus ilmu silat Raja Siluman Bangau.
Cuma ilmu "terbang" si Raja Siluman Bangau sajalah yang Ranggaweni belum mampu menguasai. Ilmu itu harus dilengkapi dengan latihan tenaga dalam yang amat tinggi. Akan tetapi dengan sedikit tambahan ilmu silat dari Nanjar itu telah membuat Ranggaweni amat bergirang hati.
Sementara keakrabannya dengan si Jabur sang Rajawali raksasa itu semakin akrab. Kini burung itu telah mulai jinak dan menyukai pada Ranggaweni. Bahkan mau mematuhi perintahnya.
Akan tetapi Badar Sora, laki-laki itu lebih banyak menyendiri. Dia amat senang dengan adanya Nanjar dipesanggrahan itu. Dan melihat kemajuan-kemajuan Ranggaweni yang mendapat tambahan ilmu kedigjayaan dari si pemuda itu. Akan tetapi hatinya tak dapat tenteram. Karena dia selalu memikirkan keadaan gurunya yaitu Ki Bonang Luhur yang hingga sampai saat ini belum kembali.
Dihari keempat puluh, Badar Sora mendatangi ke tempat mereka biasa berlatih. Melihat kedatangan Badar Sora, Ranggaweni segera menyongsongnya. Adanya Nanjar di pesanggrahan itu memang membuat gadis ini hampir melupakan laki-laki buta itu. Karena dia selalu sibuk menekuni ilmu-ilmu silat yang dipelajari dari Nanjar. Juga sibuk mengurus si Jabur yang telah semakin akrab dengannya.
Bahkan telah beberapa kali gadis itu mencoba menaiki punggung si Rajawali raksasa untuk berputar-putar ditempat itu. Rasa ngeri telah berangsur-angsur lenyap ketika berada di udara. Rang-gaweni benar-benar amat girang luar biasa dapat mengendarai si Jabur.
Hari itu mereka hanya berlatih sebentar. Bahkan Nanjar lebih banyak mengajaknya bercakap-cakap mengenai masalah yang dihadapi Ki Bonang Luhur yang sampai saat ini masih belum kembali. Pada saat itulah Badar Sora muncul menghampiri.
"Ada apakah kakang Badar Sora? Tak biasanya kau kemari? Apakah ada suatu hal yang penting?" bertanya Ranggaweni seraya menyongsong kedatangan sang kakak seperguruan.
"Benar, adikku!" menyahut Badar Sora.
"Oh, ya! Mari kita duduk di bangku kayu itu...!" berkata Rangaweni, seraya membimbing lengan laki-laki buta itu dan menuntunnya mendekati bangku kayu bulat disisi padang rumput. Sementara Nanjar sudah beranjak mendekati.
"Apa khabar sobat Badar Sora? Ah, kau selalu menyekap diri dalam kamar. Sukurlah hari ini kau mau keluar!" ujar Nanjar tersenyum.
"Aku sehat-sahat saja! Bagaimana keadaan kalian?" balik bertanya Badar Sora.
"Kamipun baik-baik saja!" menyahut Nanjar dan Ranggaweni hampir berbareng. Keduanya sama menatap dan masing-masing sama tersenyum. Tak lama kemudian ketiganya telah terlibat dalam pembicaraan serius.
"Kamipun tengah memperbincangkan kepergian guru, kakang Badar Sora. Menurutmu pergi kemanakah beliau?" bertanya Ranggaweni.
"Aku sendiri tak mengetahui..." sahut Badar Sora.
"Apakah guru tak ada berkata-kata padamu mengenai maksudnya turun gunung?" tanya lagi Ranggaweni.
Badar Sora gelengkan kepala, seraya ujarnya, "Beliau tak mengatakan apa-apa, kecuali berpesan menjaga pesanggrahan baik-baik sepeninggalnya! Yang membuat aku penasaran adalah sampai lebih satu bulan beliau tak kembali. Dan lagi aku teringat akan kata-kata si Hang Gada yang sebenarnya dengan berguru di Gunung Putri ini adalah punya maksud mencuri Peta Rahasia mengenai pedang Pusaka INTI ES! Di samping dia memang berniat jahat terhadapmu!" tutur Badar Sora. "Manusia itu sebenarnya bernama Nogo Prakoso, murid Nini BLORONG dari Goa Larangan. Menurutnya guru pemuda itu ada permusuhan dan menyimpan dendam kesumat pada guru kita!" sambung laki-laki buta itu dengan serius.
"Heh! Lagi-lagi Pedang INTI ES!" berkata Nanjar dalam hati. "Apakah Ki Bonang Luhur guru kalian benar menyimpan peta rahasia mengenai Pedang INTI ES itu?" tanya Nanjar menatap Ranggaweni dan Badar Sora berganti-ganti.
"Entahlah, aku tak mengetahui! Apakah kau mengetahui hal itu, kakang Badar Sora?" tanya Ranggaweni pada laki-laki kakak seperguruannya.
Badar Sora menggelengkan kepala. "Aku juga tak tahu-menahu tentang hal itu! Cuma aku pernah mendengar guru berkata sendiri ketika beliau berada dalam bilik kamarnya!"
"Apakah yang dikatakannya?" desak Ranggaweni ingin tahu.
"Beliau mengatakan demikian. "Ah, dimana gerangan aku menyimpannya? Aku benar-benar lupa....!" Badar Sora menirukan apa yang diucapkan oleh Ki Bonang Luhur. "Apakah kakang tak menanyakannya pada waktu itu?"
"Tidak! Karena guru tak bertanya apa-apa padaku. Aku mengira guru mencari tasbihnya yang dia lupa meletakkannya. Karena guru tak pernah bertanya apa-apa aku mengira benda yang dicarinya itu telah diketemukan!" sahut Badar Sora.
"Apakah waktu kejadian itu si Hang Gada telah berada dipesanggrahan ini?" tanya Ranggaweni lagi.
"Ya! dia sudah berada di tempat ini kurang lebih sekitar lima-enam bulan!"
"Hah! kalau begitu benda yang hilang itu bisa diduga adalah peta rahasia mengenai Pedang Pusaka INTI ES itu! Jangan-jangan si Hang Gada edan itulah yang telah mencurinya!"
"Akupun beranggapan demikian. Sayang waktu itu dia keburu tewas sebelum sempat aku menanyainya!" berkata laki-laki buta ini dengan menghela napas.
"Tunggu dulu! ada suatu hal yang akan kuceritakan pada kalian!" Tiba-tiba Nanjar memotong pembicaraan. Nanjar yang mendengarkan sedari tadi segera teringat akan orang-orang Perguruan Tapak Nenggala yang diketuai oleh JAKA NINGRAT yang mendatangi pulau tempat dia berdiam. Tujuan mereka adalah mencari pedang Pusaka INTI ES itu, melalui petunjuk sebuah peta. Segera Nanjar ceritakan kejadian itu pada mereka.
"Apakah peta di tangan orang-orang Perguruan Tapak Nenggala itu adalah peta rahasia yang dimiliki Ki Bonang Luhur? tanya Nanjar.
"Entahlah!" menyahut Badar Sora setelah termenung sejurus.
"Kau tak menanyakannya dari mana mereka mendapatkan peta itu?" bertanya Ranggaweni seraya memandang tajam pada Nanjar.
"Aku telah menanyakannya! Akan tetapi Jaka Ningrat si ketua perguruan Tapak Nenggala itu cuma mengatakan peta rahasia itu didapatkan dari seseorang yang tak mau menyebutkan namanya!" jawab Nanjar.
"Kau tak mendesaknya?"
"Hm, aku malas untuk mendesaknya dan tak berniat mencampuri urusan mereka. Bahkan aku segera pergi meninggalkan pulau terpencil itu!"
"Ah, sayang sekali...! gumam Ranggaweni.
Hasil dari pembicaraan akhirnya mereka mempunyai dugaan kuat kalau peta rahasia di tangan Jaka Ningrat adalah peta rahasia milik Ki Bonang Luhur yang dicuri oleh Hang Gada alias Nogo Prakoso. Mungkin saja kalau pemuda itu telah memberikan pada gurunya si Nini Blorong. Nanjar berpendapat adalah lebih baik mendatangi tempat kediaman Nini Blorong untuk membuktikan dugaan mereka.
"Ah, usul yang sangat baik sekali! Aku setuju! kukira itulah jalan yang terbaik. Bukankah si Hang Gada itu mengatakan kalau dia murid si Nini Blorong? Dan dia mengatakan kalau gurunya mempunyai dendam kesumat yang amat dalam dengan guruku? Siapa tahu tujuan guru adalah ke tempat nenek itu dan telah terjadi apa-apa disana!" ujar Ranggaweni. Nanjar dan Badar Sora manggut-manggut.
"Apakah kalian mengetahui dimana letak Goa Larangan tempat tinggal si Nini Blorong?" bertanya Nanjar. Ternyata Badar dan Ranggaweni sama-sama tak mengetahui.
"Aku ada saran, bagaimana kalau kita berdua mencarinya?" tiba-tiba Ranggaweni berkata seraya mencolek lengan Nanjar.
Nanjar jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Dia memang sudah merasa bosan tinggal di Gunung Putri. Niatnya mencari Ki Bonang Luhur yang belum ketahuan dimana rimbanya tentu akan banyak kesulitan diperjalanan. Adanya Ranggaweni menyertai dia dalam perjalanan itu akan membuat dia kurang leluasa bergerak. Disamping itu Nanjar amat kasihan pada Badar Sora, yang tentunya sepeninggal mereka akan merasa kesunyian seorang diri.
Diam-diam dihati Nanjar timbul satu keinginan, yaitu menjodohkan Badar Sora dengan Ranggaweni. Dari sikap Ranggaweni terhadap Badar Sora, dia melihat gadis itu amat menyayangi laki-laki buta itu. Apakah mustahil kalau Ranggaweni menolak bila dia menjodohkannya?
Bukankah dengan demikian dia sudah termasuk menunaikan janjinya pada si Raja Pengemis? Oleh sebab itulah Nanjar tak segan-segan mengajari Ranggaweni beberapa jurus-jurus silat padanya. Juga menghadiahkan si Jabur padanya, walaupun dia amat menyayangi burung Rajawali itu.
"Adik Ranggaweni! Bukannya aku tak mau pergi mencari gurumu bersama-sama. Akan tetapi kukira lebih baik aku pergi seorang diri. Aku berpendapat sebaiknya kau tetap berada disini. Apakah kau tak kasihan pada kakang Badar Sora? Dia tinggal sendiri tak mempunyai teman bercakap-cakap. Percayakanlah hal gurumu itu padaku. Dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya...!" berkata Nanjar dengan suara lembut.
Mendengar kata-kata Nanjar, sejenak Ranggaweni tercenung. Lalu terdengar dia menghela napas. Akan tetapi mendengar kata-kata Nanjar, tiba-tiba Badar Sora bangkit berdiri. "Sobat Nanjar, aku tak keberatan bila adik Ranggaweni akan turut serta. Mengenai diriku tak usah kalian pikirkan!"
Akan tetapi Nanjar segara berkata. "Tidak, sobatku! Adik Ranggaweni harus tetap berada disini menemanimu. Bukankah begitu Ranggaweni?" ujar Nanjar seraya menatap pada gadis itu.
"Kalau kakak Nanjar menginginkan demikian, aku hanya menurut saja!" Sahut Ranggaweni dengan suara datar dan tundukkan kepala.
"Bagus! itu baru seorang adik yang baik! Nah! Tunjukkan padaku bagaimana ciri-ciri gurumu Ki Bonang Luhur agar aku mudah mengenalinya dalam pencarian jejaknya!"
Tanpa diperintah dua kali Ranggaweni segera beritahukan pada Nanjar ciri-ciri Ki Bonang Luhur. Dari perawakan sampai wajah dan pakaian yang biasa dikenakan.
"Baiklah! aku akan berangkat sekarang juga!" ujar Nanjar seusai Ranggaweni menuturkan perihal ciri-ciri gurunya.
"Apakah kakak Nanjar akan membawa Jabur turut serta?" tanya gadis itu tiba-tiba.
"Tidak! Bukankah si Jabur sudah kuhadiahkan padamu? Nah, rawatlah dia sebaik-baiknya agar kalian lebih akrab lagi. Ajarkan kalimat-kalimat lain padanya agar dia mengerti apa yang kau perintahkan! Nah, adik Ranggaweni, sobat Badar Sora aku berangkat!" Selesai ucapkan kata-kata tubuh Nanjar berkelebat melesat. Dan dalam beberapa kejap saja sudah tak kelihatan lagi menuruni lereng puncak Gunung Putri.
Gadis ini tertegun memandang dimana bayangan tubuh Nanjar menghilang. Setitik air bening menyembul di pelupuk mata. Ah, betapa inginnya dia selalu berdekatan dengan pemuda itu. Pemuda yang amat baik hati yang diam-diam telah pula merebut hatinya. Akan tetapi dia segera menghela napas dalam-dalam. Baginya tak mungkin untuk memikirkan hal-hal yang terlalu jauh. Bukankah Nanjar telah mengangkat dia sebagai adik kandungnya sendiri?
Ketika teringat adanya Badar Sora ditempat itu, cepat-cepat dia menghapus air matanya. Dan berkata pada Badar Sora dengan suara yang dibuat seperti tak terjadi apa-apa. Kalau saja Badar Sora bisa melihat, tentu dia akan melihat wajah gadis itu masih jelas membayangkan kesedihan.
"Oh, ya! Kakang Badar Sora. Hari sudah siang begini. Apakah kau telah lapar? Segera kuambilkan makanan untukmu...!"
"Terima kasih, adik Ranggaweni. Nanti sajalah. Aku belum merasa lapar. Oh, ya... Aku amat kagum padamu, kau seorang gadis yang amat patuh pada kakak angkatnya! Apakah kau tak kecewa karena tak dapat turut serta?"
"Mengapa aku harus kecewa? Aku sadar bahwa apa yang diinginkan kak Nanjar adalah jalan yang terbaik. Dan aku tak kecewa tak dibolehkan ikut. Aku senang menemanimu di sini!" ujar Ranggaweni dengan suara lembut.
"Apakah kata-katamu keluar dengan setulus hati?" Pertanyaan Badar Sora seperti menembus kedalam sanubari Ranggaweni. Seperti ingin mengetahui lebih jelas dan lebih dalam lagi.
"Ya, aku berkata setulus hati..." Tempat itu kembali sunyi lengang. Keduanya sama-sama terdiam. Entah perasaan apa yang berada direlung hati masing-masing.
Suara mengiyak diudara memecah keheningan. Membuat Ranggaweni menengadah menatap ke atas. Dilihatnya si Jabur terbang merendah. Entah dari mana dia. Dikakinya tampak tercengkeram seekor anak Rusa. Dengan menimbulkan angin keras burung raksasa itu menukik turun dan hinggap ditanah dihadapan Ranggaweni.
"Hai? Jabur...! kau habis menangkap rusa rupanya! Kebetulan! Apakah kau akan memberikan anak rusa itu pada kami?" berkata Ranggaweni seraya melompat mendekati. Burung raksasa itu menggerak-gerakkan kepalanya seolah mengangguk-angguk.
"Oh, Jabur! kau baik sekali. Terima kasih Jabur! kau amat pandai mencari makanan. Tentunya kau sudah kenyang makan, bukan?" Ranggaweni amat girang. Serta-merta dia memeluk leher burung Rajawali itu, mengelus-elusnya dan menciuminya dengan kasih sayang.
"Wah! hari ini kita akan makan besar!" berkata Badar Sora dengan perlihatkan wajah berseri.
"Benar, kakang Badar Sora! Segera aku akan mengulitinya. Sebentar sore kau bisa menikmati panggang daging anak rusa!" berkata Ranggaweni. Dan... gadis itu telah bergegas mengangkat rusa muda itu untuk segera dibawa berlari kearah pesanggrahan. Sementara si Jabur terbang mengikuti. Laki-laki buta itu tersenyum. Tak lama diapun beranjak meninggalkan padang rumput itu...
Nanjar seperti seekor kancil yang lepas dari kurungan, berkelebatan cepat menuruni lereng gunung tanpa menoleh lagi. Hati pemuda ini amat girang karena dia seperti terbebas dari kejemuannya tinggal dipuncak gunung putri. Dia tak tahu arah kemana yang harus dituju.
Akan tetapi hatinya mantap untuk menuju kearah utara. Entah beberapa saat dia berlari-lari, bahkan melompat dan "terbang" melewati jurang dan ngarai dalam, seolah Nanjar mau mempertunjukkan kehebatan ilmu kepandaiannya.
Namun sebenarnya tidaklah demikian. Karena Nanjar ingin lekas tiba di tempat permukiman yang banyak manusia. Selama ini dia mengurung diri di pulau terpencil dan menetap beberapa bulan di gunung Putri, serasa dia sudah jemu dengan kesunyian.
Nanjar ingin menikmati keramaian lagi seperti pada masa pengembaraannya dulu. Di samping itu dia perlu petunjuk dalam mencari jejak Ki Bonang Luhur yang tak diketahui dimana rimbanya. Perjalanan ke utara itu ternyata harus menembus sebuah hutan rimba. Akan tetapi bagi Nanjar hal itu tiada menjadi halangan! Dengan ilmu melompatnya yang diwarisi si Raja Siluman Kera, dengan mudah dia berkelebat kepuncak pohon.
Tak lama kemudian Nanjar sudah melompat dari pohon ke pohon dengan gerakan gesit seperti seekor kera saja layaknya. Ternyata sambil melompat pemuda itu masih sempat menyambar buah-buahan masak yang bergelantungan di dahan pohon.
Persis seekor kera saja layaknya, karena sambil melompat-lompat mulutnya tak berhenti menggayam. Di ujung hutan itu ternyata ada sebuah desa yang terlihat beberapa wuwungan rumahnya. Dari atas dahan Nanjar memperhatikan.
"Bagus! hari sudah sore. Aku bisa numpang menginap di desa ini!" berkata Nanjar dalam hati. Dan berkelebat dari batang pohon diujung hutan itu....
Sepekan sepeninggal Nanjar yang turun dari puncak gunung Putri, tampak belasan orang mendaki lereng puncak gunung itu. Gerakan mereka nampak gesit. Nyata sekali kalau para pendatang ini adalah tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi! Dalam waktu yang tidak lama belasan sosok tubuh itu telah berada di atas puncak gunung Putri.
Tampaknya mereka adalah sekelompok orang-orang yang akan menyerbu pesanggrahan tempat kediaman Ki Bonang Luhur. Terbukti masing-masing mereka telah menyiapkan senjata di tangannya. Akan tetapi mereka tidak sembrono untuk segera bertindak meyerbu. Mereka seperti mengatur rencana. Lalu dengan serentak menebar kelapan penjuru mengurung pesanggrahan Ki Bonang Luhur.
Siapakah gerangan mereka? Mudah diterka dengan melihat beberapa orang yang pernah kita kenal muncul di pulau terpencil tempat berdiam Nanjar. Diantara belasan orang itu ternyata adalaii si laki-laki jubah kuning bernama KULIPALA, si ketua perguruan Tapak Nenggala JAKA NINGRAT, dan tiga orang murid kepala dari perguruan Tapak Nenggala, yaitu JALANTRA, KEBOJALU dan BENDOWO. Selanjutnya adalah orang-orang yang belum dikenal.
Jaka Ningrat mendahului melompat ke halaman pesanggrahan. Lengannya memberi tanda isyarat pada Jalantra, Kebojalu dan Bendowo untuk memasuki pintu pesanggrahan. Tak menunggu dua kali, ketiga laki-laki berperawakan kekar ini berkelebatan melompat memasuki pintu depan yang terbuka. Gerakan mereka tak menimbulkah suara.
Sementara beberapa orang yang menyelinap dari kanan-kiri dan belakang pesanggrahan telah pula berlompatan melalui jendela. Terdengar suara pintu didobrak di bagian belakang pesanggrahan. Bahkan satu sosok tubuh telah melompat keatas wuwungan pesanggrahan itu.
Jaka Ningrat menunggu hasil yang sudah direncanakan akan memuaskan. Akan tetapi tak terdengar apa-apa. Bahkan yang keluar adalah ketiga muridnya diiringi Kulipala dan sosok-sosok tubuh kawannya.
"Pesanggrahan ini kosong, guru! Tak kami jumpai sepotong manusiapun!" berkata Bendowo.
Sosok tubuh yang berada diatas genting tiba-tiba melompat turun. Gerakannya ringan sekali bagai tak bersuara jejakkan kaki ditanah. Ternyata dia seorang kakek tua yang menyeramkan. Berwajah pucat. Hidungnya melengkung bagai paruh burung betet. Rambutnya panjang sebatas bahu. Kumisnya mirip kumis tikus dan bermata merah.
Siapa adanya kakek berjubah hitam ini yang di pinggangnya melingkar seutas rantai berbandulan kepala tengkorak terbuat dari baja hitam. Dialah seorang tokoh hitam yang sangat telengas, yang berjulukan si IBLIS TENGKORAK BOLONG, Kakek ini adalah guru dari laki-laki jubah kuning yang bernama KULIPALA itu. Kakek ini menatap pada Jaka Ningrat. Dan berkata dengan mendengus.
"Hm, jelas mereka sudah minggat dari tempat ini! He! Jaka Ningrat! boleh kubertanya? Apakah kau mengetahui jelas kalau si Nogo Prakoso telah memberikan peta rahasia Pedang INTI ES yang asli milik Ki Bonang Luhur itu?"
"Aku kurang percaya! Buktinya kau tak dapat menemukan pedang pusaka itu di pulau terpencil itu! Jangan-jangan kau telah ditipunya! Aku memang akan membayar mahal bila kalian dapat menemukan pedang INTI ES itu. Karena benda itu berasal dari negeri TIBET! Atas pesanan seorang bangsawan Tibet itulah maka aku sangat mengharapkan sekali benda itu. Karena bukan saja imbalan harta benda, tapi juga penghargaan yang amat tinggi akan diberikan padaku dengan diketemukannya benda itu!"
Yang maju menjura adalah Kulipala. "Guru! sejak aku terikat menjadi anggota perguruan Tapak Nenggala dan menganggap Jaka Ningrat adalah saudaraku sendiri, aku merasa Jaka Ningrat tidak dapat dipersalahkan dalam hal ini. Karena akupun telah melihat tanda-tanda kebenaran peta rahasia itu. Benar tidaknya peta itu aku tak mengetahui. Juga apakah sobat Jaka Ningrat telah ditipu kami tak mengetahui. Yang jelas kami telah berusaha mencarinya. Dan sobat Jaka Ningrat tidak sedikit mengorbankan harta bendanya untuk memberi imbalan pada Nogo Prakoso yang berhasil mencuri peta itu dari tangan Ki Bonang Luhur!" ujar Kulipala.
"Di samping itu penemuan mayat Nogo Prakoso di tengah laut itulah yang membuat kami menyatroni tempat kediaman Ki Bonang Luhur di Gunung Putri ini. Karena kami yakin kematiannya ada sangkut pautnya dengan pemuda bernama Nanjar yang mendiami pulau terpencil itu! Pemuda yang mempunyai peliharaan burung Rajawali raksasa itu mempunyai potongan pedang yang kami curigai adalah potongan pedang Pusaka INTI ES!
"Aku menduga si pembunuh Nogo Prakoso adalah pemuda bernama Nanjar itu! Karena berdasarkan penyelidikan orang-orang perguruan Tapak Nenggala juga banyak penduduk desa, mereka melihat adanya seekor burung elang besar yang berada dipuncak Gunung Putri! Jadi jelasnya kami mengajak guru kemari adalah demi membantu kami menghadapi si pemuda itu yang telah bergabung dengan Ki Bonang Luhur dan para muridnya!"
Kulipala berhenti sejenak berkata untuk menoleh pada Jaka Ninggrat yang manggut-manggut membenarkan. Lalu lanjutkan kata-katanya lagi.
"Bocah muda bernama Nanjar itu adalah murid si EMPAT RAJA GILA, akan tetapi tepatnya guru pemuda itu adalah si ENAM IBLIS PULAU KAMBANGAN. Karena adanya enam buah kuburan yang berada di atas bukti di tengah pulau terpencil itu! Juga menurut pengakuan pemuda itu!" demikian tuturkan Kulipala.
Hal itu diungkapkan pada gurunya karena mereka menjumpai si Iblis Tengkorak Bolong, guru dari Kulipala ini di tengah perjalanan, ketika mereka akan berangkat ke Gunung Putri. Di samping itu Kulipala khawatir kalau sang guru murka. Dia mengenal watak kakek itu yang amat telengas, dan mengkhawatirkan Jaka Ningrat jadi pelampiasan kemarahannya karena tak menjumpai Ki Bonang Luhur di pesanggrahannya.
Mendengar penuturan muridnya, si Iblis Tengkorak Bolong jadi terlongong. Iblis Tengkorak Bolong sudah sejak lama malas keluar dari tempat persembunyiannya karena dia merasa perlu melatih diri untuk menambah kekuatan berkenaan dengan usianya yang sudah menua. Hingga untuk urusan itu dia mempercayakan pada muridnya.
Karena ditunggu-tunggu Kulipala tak munculkan diri, dia bermaksud mengunjungi tempat perguruan Tapak Nenggala. Memang dia telah mengetahui kalau Kulipala bersahabat baik dengan Jaka Ningrat. Jaka Ningrat adalah adik seorang Adipati yang mempunyai pengaruh cukup besar dibeberapa wilayah. Ternyata dalam perjalanan dia berjumpa dengan rombongan orang-orang perguruan Tapak Nenggala yang berangkat menuju ke Gunung Putri.
Tanpa bertanya lagi dia mengikuti. Dia memang telah mendengar kabar tentang berhasilnya Kulipala dan Jaka Ningrat mendapatkan peta rahasia pedang Pusaka INTI ES itu, dari ber-tanya pada salah seorang murid Jaka Ningrat. Sang murid perguruan Tapak Nenggala yaitu Bendowo, cuma mengatakan mau menangkap seseorang yang berdiam di pesanggrahan Ki Bonang Luhur, di puncak Gunung Putri. Orang yang ditangkapnya itu ada hubungannya dengan pedang Pusaka INTI ES.
Demikianlah hingga dia berada diantara rombongan muridnya itu. Adapun Kulipala mengetahui gurunya mengikut di antara rombongan sengaja tak menjumpainya dan merasa kebetulan dengan adanya kakek kosen gurunya itu berada diantara mereka. Berarti akan lebih mudah menangkap Nanjar serta membekuk Ki Bonang.
Mendengar disebutkanya nama si Enam Iblis Pulau Kambangan seketika wajah si Iblis Tengkorak Bolong yang semula terlongong, tiba-tiba berubah cerah.
"Hehehe.... bagus! kalau bocah itu murid si Enam Iblis Pulau Kambangan sangat kebetulan sekali. Aku bersahabat baik pada mereka pada dua puluh tahun yang silam. Biarkanlah kucari dia. Bukankah kau mengatakan bocah itu mempunyai peliharaan seekor burung Rajawah raksasa? Tentu akan mudah untuk menemukannya!" berkata si Iblis Tenggkorak Bolong dengan tertawa terkekeh.
KULIPALA yang mendengar maksud gurunya mengusulkan untuk membakar pesanggrahan itu. Adanya asap mengepul dari puncak gunung Putri tentu akan menarik perhatian. Hingga Nanjar munculkan diri. Laki-laki itu berpendapat walaupun nanti Nanjar tak bisa diajak berdamai dengan gurunya, untuk meringkus pemuda itu akan tidak begitu sukar!
Usul itupun disetujui. Hingga tak lama kemudian pesanggrahan itupun segera dibakar. Api berkobar, dan asap mengepul tebal mengalun keudara. Benar saja! Tak seberapa lama segera terlihat sebuah titik putih diudara. Semakin lama semakin dekat! Itulah seekor burung besar, yang tak lain dari burung Rajawali raksasa.
Burung Rajawali itu memang benar si Jabur adanya. Karena terlihat si penunggang burung adalah seorang gadis cantik yang tak lain dari Ranggaweni. Burung Rajawali itu terbang merendah mengitari pesanggrahan yang terbakar hebat dengan perdengarkan suara mengiyak tiada henti.
Adapun Ranggaweni yang berada di punggung burung itu terkejut melihat terbakarnya pesanggrahan tempat tinggalnya. "Hah? Apakah yang telah terjadi? Mengapa pesanggrahan bisa terbakar?" tersentak kaget gadis ini. Matanya memandang kebawah memperhatikan sekitar tempat di sekeliling pesang-grahan yang penuh dengan kobaran api. Tentu saja yang dicarinya adalah laki-laki buta bernama Badar Sora itu.
Dia amat mengkhawatirkan keselamatannya. Gadis ini memang sering pergi dengan menunggangi si Jabur ke pesisir pantai di atas tebing karang itu. Tempat dimana dia sering termangu memandang laut.
Semua itu adalah untuk mengisi kekosongan hatinya. Karena sejak sepeninggal Nanjar, Badar Sora jarang keluar. Bahkan dalam beberapa hari ini selalu menyekap diri dalam kamar. Karena itulah Ranggaweni sering pergi dengan menunggangi burung Rajawalinya.
Terkadang dia melatih diri dengan ilmu-ilmu silatnya yang baru dipelajari dari Nanjar. Terkadang cuma duduk termangu memandang laut. Serasa tak sabar dia menanti kedatangan Nanjar. Juga tak sabar dia menanti khabar berita gurunya yang tak ketahuan kemana rimbanya.
Pagi itu seperti biasa, Ranggaweni pergi dengan menunggang si Jabur. Jabur baru saja selesai berburu ikan di laut. Bahkan dia baru saja selesai memanggang ikan dan tengah menyantapnya. Disisakan beberapa ekor panggang ikan untuk Badar Sora. Sementara si Jabur bertengger dibatu cadas mengeringkan bulunya yang basah, dengan membentangkan sayapnya.
Tiba-tiba dia melihat ada asap mengepul dari arah puncak gunung Putri. Terkejut gadis ini. Wajahnya seketika berubah pucat! Dan serta-merta dia melompat menghampiri si Jabur. Melompat ke atas punggungnya dan memerintahkan burung Rajawali itu untuk terbang pulang...
Demikianlah! Hingga ketika melihat keadaan pesanggrahan yang terbakar membuat Ranggaweni terkesiap. Diperhatikan disekitar pesanggrahan tak dijumpai adanya sesosok tubuh manusiapun. "Ah, jangan-jangan kakang Badar Sora..."
Dia tak teruskan gumamnya karena si Jabur telah menukik merendah, dan hinggap di tanah. Tak berayal lagi dia segera melompat dari punggung binatang itu. Matanya jelalatan mencari Badar Sora. Akan tetapi baru saja dia mau berteriak memanggil, tiba-tiba berkelebatlah beberapa sosok tubuh keluar dari balik semak belukar.
Bahkan saat itu juga sebuah bayangan hitam telah berkelebat ke arahnya. Terkejut dia melihat seorang kakek berjubah hitam berwajah menyeramkan tengah julurkan lengannya untuk menotok. Akan tetapi detik itu juga dia telah membentak keras.
"Hah!? Siapa kalian?" Tubuhnya mendadak melejit ke atas. Loloslah serangan barusan. Itulah salah satu jurus melompat dari gerakan si Raja Siluman Bangau, yang baru dipelajari dari Nanjar.
"Hebat!" puji si Iblis Tengkorak Bolong yang terkejut karena gerakan menotoknya gagal. Di samping dia heran, karena orang yang dinantikan kedatangannya dan yang pernah menjadi murid si Enam Iblis Pulau Kambangan itu bukannya seorang pemuda, melainkan seorang gadis.
Ranggaweni jejakkan kakinya ke tanah. Segera dia melihat belasan orang telah mengurungnya dengan senjata-senjata di tangan. Kecuali si kakek seram berjubah hitam yang barusan menyerangnya tak mencekal senjata. Namun di pinggang kakek itu terbelit seutas rantai berbandulan kepala tengkorak!
"Siapakah kalian? Heh! pastilah kalian yang telah membakar pesanggrahan ini!" bentak Ranggaweni.
"Benar! Kami sengaja membakar pesanggrahan ini adalah untuk memancing keluarnya bocah laki-laki bernama Nanjar si pemilik burung Rajawali itu! Akan tetapi ternyata kau bocah perempuan yang muncul! Kemanakah gerangan si bocah laki-laki dan siapakah kau?" berkata Iblis Tengkorak Bolong dengan ajukan pertanyaan, karena herannya.
"Tak perlu kalian mengetahui siapa aku! Apa hubungannya kalian dengan pemuda itu? Dan segera kalian katakan, apakah yang telah kalian lakukan pada seorang laki-laki buta yang berada di kamar dalam pesanggrahan ini!" berkata Ranggaweni dengan suara keras menandingi gemuruhnya api yang melalap tiang-tiang kayu pesanggrahan itu.
"Hehehe... disini tak kujumpai seorang manusia. Apalagi seorang laki-laki bermata buta! Segera akan kuberitahukan siapa kami setelah meringkusmu, bocah cantik!" terutama menyeringai si Iblis Tengkorak Bolong. Dan serentak dia beri isyarat pada belasan orang yang mengurung si gadis untuk segera meringkusnya.
"Tangkap dia hidup-hidup. Awas jangan sampai kalian melukai kulitnya! Burung Rajawali itu adalah bagianku!" berkata si kakek. Kepalanya menengadah keatas, karena dia segera melihat si Jabur terbang ke arahnya dengan memekik-mekik keras. Benar saja burung Rajawali itu telah menyerangnya dengan sambaran dahsyat.
Akan tetapi dengan melompat gesit dia telah menghindarkan diri. Bahkan lengannya bergerak menghantam kearah burung itu. Angin keras bertenaga dalam itu menerjang Jabur. Namun Jabur dengan gesit menghindari, walau agak menyerempet angin pukulan itu merontokkan beberapa helai bulunya.
Gusar bukan main si Jabur. Dia terbang memutar dan kembali menyambar dahsyat. Kakinya siap mencengkeram. paruhnya siap mematuk.
"Hehehe... akan kuajak main-main burung Rajawali...!" mendesis mulut si kakek ini. Kembali dia melompat menghindar. Gerakan melompat kakek ini sengaja menjahui tempat itu. Dan si Jabur terpancing untuk mengejar.
Sementara itu beberapa orang yang mengurung Ranggaweni telah menerjang untuk meringkus gadis itu. Tentu saja gadis ini tak mau rnandah saja membiarkan dirinya diringkus. Dengan kertak gigi dia gerakkan lengannya menghantam kesana-kemari.
Bendowo yang tak menyangka akan serangan si gadis demikian hebat, kena hantam punggungnya. Menggelinding tubuh laki-laki yang sembrono ini dengan mengaduh kesakitan.
Melihat demikian, Jalantra dan Kebojalu menerjang serentak. Ranggaweni lakukan salto dengan gesit menghindar. Namun dia tak luput dari sambaran tangan Kulipala yang mencengkeram kearahnya. Kulipala memang telah menyimpan kembali senjata rantai Trisula, karena mau menangkap gadis ini hidup-hidup.
"Menyerahlah kau, gadis cantik! Percuma kau melakukan perlawanan!" berkata Kulipala dengan menyeringai.
Tentu saja Ranggaweni tak mau biarkan tubuhnya kena tercengkeram laki-laki bertampang ceriwis itu. Jurus Harimau Lapar Menerkam Mangsa segera dipergunakan setelah dia berhasil menghantam sepasang lengan Kulipala.
"Haiiii?" terkejut Kulipala, sebaik dia akan lakukan serangan lagi ke arah kaki, justru lengah dara itu telah sampai didepan mukanya. Dan....
Breeet!
Mengaduh laki-laki ini seraya menyampok. Namun toh kuku-kuku tangan Ranggaweni telah menggores mukanya. Beruntung dia telah membuang tubuhnya untuk menghindar. Kalau tidak, tentu lehernya kena dicengkeram.
"Hati-hati paman Kulipala! Aku datang membantu!" teriak Jaka Ningrat.
Laki-laki berkumis tipis berwajah tampan ini melompat kehadapan Ranggaweni. Lengannya terulur untuk menangkap pinggang. "Wahai, rampingnya pinggangmu, nona! Baiknya kau menyerah saja untuk jadi istriku!"
Membentak Ranggaweni seraya secepat kilat mencabut pedangnya di pinggang. Itulah pedang buntung yang selalu dibawanya. Yaitu pedang pusaka milik si Raja Pengemis yang patahan ujungnya berada pada Nanjar.
"Laki-laki ceriwis! Ini bagianmu!" teriak gemas Ranggaweni.
Terkejut Jaka Ningrat melihat kilatan pedang menyambar lengannya. Kejap itu juga dia telah batalkan serangan seraya membuang tubuh ke samping. Sambaran lengan itu berubah menjadi tangkisan untuk menepiskan pedang dengan mendorong kuat pergelangan tangan Ranggaweni. Terhindarlah dia dari sambaran pedang yang ganas itu.
"Serahkan dia pada kami!" Lima sosok tubuh berkelebat kebelakang Ranggaweni. Masing-masing lengan kelima orang itu mencekal sebuah jala sutera. Sementara senjata-senjata mereka terselip dipunggung. Kelima orang ini adalah tak lain dari si Lima Harimau Gunung Setan!
Ternyata kelima tokoh golongan sesat itu ikut serta dalam rombongan Jaka Ningrat. Tentu saja dia cuma mengharap upah besar. Memang mereka kerjanya sebagai tukang-tukang bunuh bayaran yang di sewa oleh Jaka Ningrat untuk urusannya. Ranggaweni balikkan tubuhnya dan menatap gusar pada kelima manusia itu.
"He? Pedangmu buntung? Apakah kau tak punya senjata yang baik, nona? Bagaimana kalau kami pinjamkan senjata untukmu?" berkata salah seorang yang bernama Brengos Suto. Sementara dia sudah putar-putar jalanya untuk meringkus sang gadis.
Akan tetapi pada saat teriakan dari belakang si Lima Harimau. "Tahan! aku mau bicara dulu pada gadis ini!"
Dan sesosok tubuh berkelebat. Ternyata tak lain dari Kulipala. Laki-laki ini baret-baret mukanya dan masih mencucurkan darah, bekas kena goresan kuku tangan Ranggaweni. "Eh, nona...! boleh aku tahu, apakah pedang buntungmu ada hubungannya dengan potongan pedang ditangan si pemuda bernama Nanjar itu?"
"Huh! Apa perlumu menanyakan hal itu?" bentak Ranggaweni melotot gusar.
"Hm, hal ini ada sangkut-pautnya dengan urusan kami. Karena kami menyatroni kemari adalah untuk merampas potongan pedang di tangan pemuda bernama Nanjar itu!" berkata Jaka Ningrat. "Untuk hal itu kami telah membayar mahal. Bukan saja harta-benda, akan tetapi tenaga dan bahkan jiwa menjadi taruhan kami untuk mendapatkan pedang Pusaka INTI ES!"
"Jadi kau mengira pedang buntung ini dan potongan pedang di tangan kawanku itu adalah pedang Pusaka INTI ES?" tanya Ranggaweni lantang bercampur kaget.
Kulipala menjawabnya dengan ketus. "Benar! kuharap kau serahkan saja pedangmu, dan kau takkan mendapat resiko lagi menghadapi kami!" Diam-diam laki-laki ini terkejut melihat pedang buntung itu mempunyai sinar kehijauan, mirip dengan potongan ujung pedang ditangan Nanjar yang pernah ditunjukan padanya di pulau terpencil beberapa bulan yang lalu.
"Hm, potongan pedang yang berada ditangan pemuda itu memang masih satu badan dengan pedang ini! Akan tetapi pedang ini bukanlah pedang Inti Es yang kalian maksudkan!" berkata Ranggaweni. Kini jelaslah duduk persoalannya mereka membakar pesanggrahan dan menyatroni ke Gunung Putri.
Pada saat itulah Jaka Ningrat telah memberi isyarat pada si Lima Harimau Gunung Setan untuk meringkus si gadis. Dan serentak kelima orang itupun merangsak maju seraya tebarkan jala dengan dibarengi peringatan pada Kulipala.
"Menyingkirlah sobat Kulipala! Biar kami ringkus dulu gadis ini! Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar jeritan saling susul. Kelima penyerang ini telah terjungkal roboh. Bahkan sebelah lengan Kulipala pun telah terpapas putus, ketika kilatan-kilatan cahaya berkelebatan di hadapan Ranggaweni yang timbulkan hawa dingin luar biasa.
Sesaat saja tubuh kelima Harimau Gunung Setan itu telah berkelojotan meregang nyawa. Masing-masing lehernya terpapas hampir putus. Dan jala-jala mereka bertebaran disana-sini.
Semakin terperangah Ranggaweni karena seketika tubuh-tubuh si Lima Iblis Gunung Setan telah menjadi kaku dengan kepulkan uap dingin. Bahkan darah yang mengalir dari luka di leher merekapun membeku. Dan di situ telah berdiri sesosok tubuh yang membuat matanya membelalak.
"Kakang Badar Sora...!? berteriak kaget Ranggaweni melihat siapa adanya sosok tubuh itu, yang memang tak lain dari Badar Sora.
Akan tetapi Badar Sora yang dihadapanya bukanlah Badar Sora yang bermata buta. Melainkan Badar Sora yang bermata melek, menatapnya dengan pandangan mata tajam bersinar bening. Di tangannya tercekal sebuah pedang bersinar perak.
"Hahaha...adik Ranggaweni! Jangan terkejut melihat aku! Nanti segera kau akan mengetahui siapa aku sebenarnya!" selesai berkata laki-laki aneh itu berkelebat. Dan dia telah melompat di hadapan Jaka Ningrat dan Kulipala, serta beberapa orang yang telah mencabut senjata dengan memandang tercengang pada laki-laki itu.
"Hm, apakah kalian menginginkan pedang pusaka Inti Es? Inilah pedang itu! Silakan kalian merebutnya!" berkata Badar Sora, seraya putarkan pedangnya. Segera saja hawa dingin mengembara ke sekitar tempat itu membuat tubuh orang dihadapannya menggigil. Dan tanpa terasa mereka menyurut mundur beberapa langkah.
Kulipala menggertak gigi, menahan sakit pada lengannya yang darahnya beku. Hawa dingin itu membuat dia tambah menggigil. Akan tetapi dia telah loloskan senjatanya, seraya membentak. "Hayo, bunuh dia! Rampas pedang pusaka Inti Es itu!"
Serentak saja mereka menerjang dengan senjata masing-masing. Akan tetapi seperti menerjang putaran angin salju yang membuat aliran darah membeku, mereka terpacak ditanah dengan mata membelalak kaget.
Akan tetapi cuma sesaat, karena segera terdengar jeritan mereka saling susul! Dibarengi bergelimpangannya tubuh-tubuh mereka bagai batang pisang yang roboh ditebang, ketika kilatan-kilatan cahaya kembali berkelebatan menyilaukan mata.
Ternyata dalam sekelebatan cahaya kembali berkelebatan menyilaukan mata. Ternyata dalam sekelebatan saja Badar Sora telah menghabisi jiwa-jiwa mereka. Mayat-mayatpun bergelimpangan ditempat itu dengan keadaan tubuh yang membeku!
Sementara kejadian itu berlangsung, Ranggaweni tak sempat memperhatikan lagi. Karena dia telah berkelebat melesat ke arah lereng gunung. Di sana tengah terjadi pertarungan seru antara si Jabur dan seorang kakek kurus berjubah hitam yang bersenjatakan seutas rantai berbandul tengkorak!
Siapa lagi kalau bukan si Iblis Tengkorak Bolong. Apa yang membuat kakek itu tampak terdesak adalah di punggung burung Rajawali itu menunggang sesosok tubuh manusia yang mencecarnya dengan pukulan-pukulan ganas!
Sukar diduga kalau si penunggang burung Rajawali raksasa itu adalah Ginanjar alias Nanjar adanya. Bahkan balas menyerang dengan senjata mautnya.
"Hahaha.... kakek Iblis Tengkorak Bolong! Lebih baik kau ganti gelarmu menjadi si kakek Iblis Liang Kubur! Karena sudah pantas kalau kau segera masuk kubur!" ejek Nanjar.
Rajawali terbang memutar, lalu menukik deras. Iblis Tengkorak Bolong menggerung keras. Bandulan tengkorak baja hitamnya meluncur menghantam ke arah Nanjar.
"Mampus kau keparat!" teriak si kakek.
Akan tetapi tiba-tiba Nanjar telah melompat untuk menangkapnya. Dan....
Wrrrrrr!
Tubuh Nanjar meluncur terbawa sentakan kuat rantai tengkorak itu yang di betot keras oleh si pemiliknya. Tentu saja terperangah kakek ini karena bandulan kepala tengkorak itu justru mengarah ke batok kepalanya!
"Edan!?" teriak si kakek terkejut. Kalau dia tak lompat menghindar, tentu batok kepalanya hancur lumat. Sementara Nanjar sudah melompat dengan bersalto beberapa kali setelah menghantamkan bandulan itu ke arah lawan.
Sekejap kemudian sepasang kakinya telah hinggap di tanah. Namun kembali tubuh pemuda itu melejit dengan gerakan jurus melompat Bangau Sakti Bentangkan Sayap. Sekejap dia telah tiba di hadapan si Iblis Tengkorak Bolong.
"Hayo, kakek! kita main-main lagi!" teriak Nanjar.
Mendelik mata si Iblis Tengkorak Bolong. Sungguh memalukan kalau dia harus jadi bulan-bulanan dipermainkan seorang bocah muda yang baru berhenti ingusan. Lengannya menyelinap ke balik saku jubah. Dan....
Bhussss!
Benda yang dilempar kearah Nanjar meletup, menimbulkan asap hitam yang menyengat hidung. Sekejap tubuh Nanjar telah terbungkus oleh kepulan asap hitam itu. Pemuda ini berguling beberapa tombak.
"Kakek sialan! kau main curang...! licik!" teriak Nanjar terbatuk-batuk. Dia melompat lagi untuk berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung roboh.
"Hehehe… yang penting siapa cepat dia yang menang! Kau masih kurang pengalaman, bocah! Dalam pertarungan pakai cara apapun boleh! Hehehe... kini terpaksa aku menotokmu!" berkata sikakek. Tubuhnya berkelebat. Lengannya terjulur....
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan parau merobek udara. Dan berbareng dengan teriakan itu tubuh si Iblis Tengkorak Bolong telah roboh terjungkal. Darah memuncrat ke beberapa penjuru. Selanjutnya tubuh kakek itu sudah menggoser-goser meregang nyawa.
Akan tetapi sesaat kemudian uap tampak mengepul di sekujur tubuh Iblis Tengkorak Bolong. Dan kejap berikutnya tubuh kakek itu tela berubah beku terlapisi es. Hawa dingin menebar merambah sekitar tempat itu.
Sesosok bayangan tubuh yang melesat cepat telah menghabisi nyawa si Iblis Tengkorak Bolong. Itulah sosok tubuh BADAR SORA yang telah berada di tempat itu dengan menggenggam pedang INTI ES di tangannya. Bersamaan dengan itu terdengar suara teriakan Ranggaweni yang memburu ke tempat itu.
"Kakak NANJAR...!" Teriakan gadis itu mengusik keheningan. Sejenak dia menatap pada sosok tubuh si Iblis Tengkorak Bolong yang terkapar beku. Lalu menatap pada laki-laki yang tegak berdiri dihadapannya, yang mencekal pedang INTI ES. Bibir gadis ini menggetar berucap kata.
"Ka..kakang Badar Sora....! kau..." Dia tak sempat teruskan kata-katanya karena segara berpaling menatap Nanjar yang masih terlentang tak berkutik.
"Oh!? Kakak Nanjar...!" teriakan bercampur isak terdengar dari mulut dara ini. Dia melompat untuk memburu ke arah sosok tubuh yang amat dirinduinya itu. Betapa dia amat mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi, tiba-tiba satu hal yang amat ganjil dan diluar dugaan terjadi didepan mata.
Mendadak Nanjar telah melompat berdiri diiringi suara gelak tertawa pemuda itu. "Hahaha... belum mati sudah ditangisi! Haiiih! Ranggaweni jangan khawatir, kakakmu masih hidup dan segar bugar!"
Tentu saja membuat mata dara ini jadi membelalak. Akan tetapi hatinya amat girang sekali karena Nanjar tak mengalami kejadian apa-apa. Kini dia menatap pada Nanjar dan Badar Sora berganti-ganti. Sungguh tak mengerti dia melihat kedua orang itu justru sama-sama tersenyum, menatapnya.
"Kakang Badar Sora, aku tak mengerti. Mengapa kedua matamu bisa melihat lagi? Dan dari mana kau peroleh pedang pusaka INTI ES itu? Dan kau kakak Nanjar! Apakah kau telah berhasil menemukan guruku Ki Bonang Luhur? Mengapa kedatanganmu bertepatan dengan kedatangan Badar sora?" Ranggaweni ajukan pertanyaan.
"Hahaha... nantilah kami ceritakan. Mari kita tinggalkan tempat ini! Puncak Gunung Putri sudah tak sesuai lagi untuk tempat tinggal kita!" berkata Badar Sora.
Nanjar mengangguk seraya menepuk pundak gadis itu. "Ya, marilah kita tinggalkan tempat ini. Kita menuju ke GOA LARANGAN!" berkata Nanjar dengan tersenyum menggamit lengan dara itu.
"Ke Goa Larangan..?" tanyanya tersentak. "Ketempat tinggal NINI BLORONG?" bertanya Ranggaweni.
"Benar! Sambil perjalanan, nanti kakang Badar Sora akan bercerita!"
Dengan masih terheran-heran, tepaksa Ranggaweni tak dapat tidak menuruti mereka meninggalkan puncak gunung Putri. Sementara si Jabur telah terbang keudara mengikuti ketiga orang dibawahnya. Sebentar-sebentar terbang merendah, terkadang berhenti bertengger dipuncak pohon. Lalu terbang lagi mengikuti. Matanya tajam, selalu tak lepas mengawasi kemana arah langkah ketiga orang yang telah menjadi tuannya.
Dalam perjalanan itulah Badar Sora bercerita pada Ranggaweni. "Sebenarnya mataku tidaklah buta, adik Ranggaweni..." Badar Sora memulai ceritanya. Lalu dengan panjang lebar laki-laki itu mengisahkan kejadian sebenarnya dan siapa gerangan dirinya.
Ternyata "kebutaan" mata Badar Sora adalah untuk mengelabui Hang Gada alias Nogo Prakoso. Jauh-jauh sebelum Nogo Prakoso menjadi murid Ki Bonang Luhur, sudah bakal diketahui kedatangannya. Nogo Prakoso yang di utus oleh Nini Blorong dari Goa Larang untuk berguru pada Ki Bonang Luhur.
Akan tetapi bukanlah untuk mencuri peta rahasia pedang INTI ES. Melainkan untuk mengelabui kaum golongan hitam yang menjadi musuh Nini Blorong, yaitu si Iblis Tengkorak Bolong.
Sebenarnya tak ada permusuhan atau dendam antara Nini Blorong dengan Ki Bonang Sepuh. Nogo Prakoso sebenarnya adalah anak angkat Adipati KALA BRAJA, yang menjadi kakak kandung Jaka Ningrat. Adipati Kala Brama mengetahui perihal sebuah benda pusaka yang bernama pedang INTI ES. Tapi hal itu bocor di telinga Nogo Prakoso.
Ternyata Nogo Prakoso yang menjadi anak angkat adipati Kala Brama mempunyai akhlak buruk. Didalam Kota Raja dia berbuat alim. Akan tetapi diluaran dia melakukan berbagai kejahatan. Bahkan berkomplot dengan orang-orang golongan hitam.
Oleh sebab itu Adipati Kala Braja mengirim anak angkatnya berguru pada Nini Blorong, di goa larangan. Nini Blorong memang pernah ada tali persaudaraan dengan guru Adipati yang sudah wafat belasan tahun.
Dan dari gurunya itulah diketahuinya tempat penyimpanan Pedang Pusaka INTI ES, setelah secara tak sengaja membongkar kitab-kitab peninggalan sang guru. Dan diketemukannya sebuah petunjuk mengenai adanya Pedang pusaka INTI ES di suatu tempat.
Ternyata kebocoran itu telah sampai ke telinga si Iblis Tengkorak Bolong dan muridnya. Juga telah sampai ke telinga JAKA NINGRAT. Adipati Kala Braja yang khawatir benda itu jatuh ketangan orang-orang golongan hitam, telah menitipkan peta pedang INTI ES pada Nini Blorong, akan tetapi tanpa setahu Nogo Prakoso.
Karena kejahatan watak Nogo Prakoso telah menyebar kemana-maha. Adipati diam-diam telah menitahkan Nini Blorong untuk membunuh saja pemuda bejat itu. Apalagi setelah diketahui asal usul pemuda itu, dia adalah anak keturunan seorang pengkhianat Kerajaan!
Diam-diam Nini Blorong telah mengorek keterangan dari Nogo Prakoso, yang menceritakan siapa dirinya. Dia memang ada berniat membalas dendam pada Raja karena ayahnya mati di tiang gantungan!
Nini Blorong yang bersahabat baik dengan Ki Bonang Luhur segera diam-diam mengadakan hubungan dengan kakek penghuni pesanggrahan di Gunung Putri itu. Ki bonang Luhur adalah seorang bekas Patih Kerajaan yang sudah lepaskan jabatannya.
Demikianlah, mereka berdua berembug mengatur rencana. Hingga kemudian muncul Nogo Prakoso di gunung Putri yang mengaku bernama Hang Gada. Saat itu Ranggaweni telah berguru pada kakek itu, Dan dia tak mengetahui kalau "kebutaan" mata Badar Sora adalah tipu muslihat saja.
Bandar Sora adalah bekas seorang kepala prajurit Kerajaan. Dia tahu jelas siapa adanya JAKA TIRTA, yang tak lebih dari anggota komplotan para begal yang pernah membobol uang kas Kerajaan.
Peta rahasia palsu yang memang sengaja telah dibuat oleh Ki Bonang Luhur kemudian dicuri oleh Hang Gada alias Nogo Prakoso. Lalu diberikan pada Jaka Tirta dengan imbalan yang cukup memuaskan. Semua itu tak luput dari sepengetahuan Badar Sora dan Ki Bonang Luhur. Sedangkan Ki Bonang Luhur sebenarnya sengaja menghilang dari gunung Putri untuk tindakan pengamanan. Sedangkan tugas membunuh Nogo Prakoso telah diserahkan oleh Badar Sora.
Demikianlah, hingga tewasnya Nogo Prakoso di tangan Badar Sora, yang secara kebetulan saat itu muncul Nanjar yang membantu serta menolongnya. Badar Sora memang mau menjalankan tugas itu kalau dengan bukti yang sudah jelas di depan matanya.
Kemudian diceritakan pula pada Ranggaweni bahwa dia dan Nanjar diam-diam sering bertemu. Dan Badar Sora telah menceritakan semua prihal rencana mereka melenyapkan manusia-manusia perongrong Kerajaan itu. Jadi pantaslah kalau Ranggaweni tak mengetahui. Bahkan Nanjar sendiripun tak tahu akan hal itu, kalau Badar Sora tak menceritakannya.
"Nah! jelaskah kau, adik Ranggaweni?! Badar Sora mengakhiri ceritanya.
Ranggaweni tercenung mendengarkan kisah itu. "Lalu bagaimana sampai kalian bisa muncul dengan berbareng di puncak gunung Putri? Bukankah sepekan yang lalu kak Nanjar pergi turun gunung. Sedang kau tak mengetahui kemana dia perginya?" bertanya Ranggaweni.
"Hahaha... itukan cuma siasatku saja! Padahal aku cuma berjaga-jaga di sekitar gunung Putri, karena kami telah menduga kedatangan orang-orang perguruan Tapak Nenggala yang bakal menyatroni kepesanggrahan Gunung Putri. Tentu saja mencari peta yang asli. Tapi ternyata dia menyangka pedang buntung kita adalah pedang pusaka INTI ES!" berkata Nanjar.
Ranggaweni manggut-manggut tersenyum. "Lalu dari mana kakang Badar Sora punya ilmu demikian hebat? Dan pula telah memiliki pedang pusaka Inti Es?" pertanyaan terakhir itu dijawab gelak-gelak oleh Badar Sora.
"Hahahaha... haha... aku adalah murid tunggal Nini BLORONG! Tentu saja pedang pusaka itu bisa berada di tanganku, karena telah lama guruku mendapatkannya."
Ternganga Ranggaweni. "Ah, betapa hebatnya gurumu! Muridnya saja begini hebat. Apalagi gurunya?" Gadis itu geleng-gelengkan kepalanya menatap kagum pada laki-laki gagah itu.
"Sudah, sudah! Jangan lama-lama menatap, nanti kau bisa jatuh cinta!" gurau Nanjar sambil cengar-cengir. "Akan tetapi jatuh cintapun boleh!" sambung Nanjar, seraya melompat. Lengannya menyambar buah mangga di ujung dahan pohon di tepi jalan itu. Lalu menggrogotinya dengan rakus.
Sementara keduanya jadi sama-sama tersenyum menatap Nanjar yang persis kera memakan buah. Apa lagi buah mangga itu asam dan masih muda. Mulut pemuda itu jadi menyeringai persis kera! Akan tetapi kemudian mereka sama-sama menatap. Dan sorot dua pasang mata itu saling bertemu.
"Oooooh, cintaaaa...! Nguk! nguk! nguk!" Nanjar berteriak-teriak seraya berjingkrakan menyindir kedua muda-mudi itu dengan berjumpalitan mirip kera, bahkan keluarkan suara yang amat mirip dengan kera.
Ranggaweni jadi tersipu dan menundukkan wajahnya. "Hihihi... kak Nanjar, kau persis monyet yang kesurupan!" teriak Ranggawuni, yang tak kuat menahan gelinya hingga dia tertawa terpingkal-pingkal. Badar pun tertawa terbahak-bahak.
Nanjar ulangi kata-katanya. "Oooooh, cintaaaaaa! nguk! nguk! nguk! nguk...!"