Iblis Gila Pembangkit Arwah
Matahari baru saja tersembul dari puncak gunung. Cuaca cerah. Langit tak berawan. Di pagi itu seorang gadis berjalan cepat menyusuri jalan setapak. Langkahnya tergesa-gesa. Dia seorang gadis berpakaian sederhana. Namun dari gerak langkahnya dia bukan gadis sembarangan. Setidak-tidaknya orang yang mengerti ilmu silat. Mendadak terdengar suara orang dibelakangnya.
“Wintari! Tunggu! Hai! Mengapa kau meninggalkanku?” diiringi teriakan itu tersembul sesosok tubuh di tikungan jalan. Ternyata dia seorang laki-laki muda berpakaian putih kumal. Mendengar teriakan itu si gadis menoleh. Tapi justru dia melangkah lebih cepat.
“Hei! Wintari! Kau marah, ya? Tunggu dulu aku mau bicara!” teriak orang dibelakangnya.
Namun gadis ini tak memperdulikan. Bahkan kini mempercepat langkahnya dengan setengah berlari. Pemuda baju kumal ini jadi garuk-garuk pantat. Setelah membetulkan celana gombrongnya yang kedodoran dia menggerutu.
“Haiih! Apa salahku?”
Akan tetapi kejap selanjutnya tubuh pemuda ini mencelat ke udara. Bukan main terkejutnya sang gadis karena tahu-tahu pemuda itu telah berada di hadapannya. Dia hanya mendengar suara angin di atas kepala, tahu-tahu si pemuda itu telah jejakkan kaki lima enam langkah di hadapannya.
“Jangan halangi aku! aku benci kau! biarkan aku pergi!” membentak si gadis dengan wajah cemberut.
“Eh, eh, mengapa nona manis? Tunggu dulu. Kita bicara baik-baik. Jelaskan dulu mengapa kau tiba-tiba marah padaku?” berkata pemuda itu.
“Huh! tak perlu!” sahut si gadis ketus.
“Minggir!” bentaknya. Tiba-tiba lengannya meluncur untuk menghantam dada si pemuda.
Keruan saja pemuda ini jadi terkejut, karena jurus pukulan gadis itu bukan main-main. Hantaman tenaga dalam yang dilakukan dapat meremukkan isi dada. Untuk mengelakkan diri terpaksa pemuda itu doyongkan tubuhnya ke samping. Akan tetapi gadis ini justru menarik serangan. Mendadak lengan kiri gadis itu meluncur. Serangan kedua ini tak dapat dielakkan lagi karena pemuda itu seperti tak menduga.
Buk!
Terdengar benturan keras diiringi suara mengaduh pemuda itu. Tubuhnya terjengkang bergulingan. “Ahh! kau... kau...”
Pemuda itu masih sempat bangkit. Dari mulutnya menetes setitik darah. Tapi sedetik kemudian dia roboh lagi setelah perdengarkan suara mengeluh.
Melihat kejadian itu bukannya si gadis bergirang hati karena dia telah berhasil merobohkan orang yang akan merintanginya. Tapi justru membuat dia terkejut. Secara tak sadar dia telah mempergunakan ilmu pukulan dengan jurus mematikan. Dia mengetahui si pemuda berilmu tinggi. Tentu dapat berkelit dari serangannya. Tapi di luar dugaan serangan itu justru mengenai sasaran.
Gadis ini jadi berdiri menjublak kebingungan. Wajahnya berubah pucat. Tiba-tiba dia berlari menubruk ke arah pemuda itu, seraya berteriak kaget. “Nanjar! Ah, kak Nanjar...! kau... kau... mengapa kau tak mengelakkan seranganku?”
Diguncang-guncangkannya tubuh pemuda itu. Tapi pemuda itu tak bergeming. “Dia pingsan! Ah, pukulanku terlalu keras! Aku... aku memang keterlaluan!” berkata dalam hati Wintari.
Namun dia cepat sadar. Diperiksanya dada pemuda itu dengan membuka belahan baju bagian dada. Tersentak Wintari melihat lukisan tato bergambar seekor Naga melingkar.
“Ah, apakah dia si Dewa Linglung? si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?” Terbelalak mata dara ini. Melihat ada darah menetes disudut bibir pemuda itu gadis ini tampak amat khawatir.
Segera disalurkan tenaga dalamnya untuk membantu jalan darah pemuda itu agar menjadi lancar. Dia khawatir pukulan itu akan menyumbat pernapasan si pemuda dan meremukkan isi dadanya. Lengannya ditempelkan ke dada. Segera dia salurkan hawa hangat dari telapak tangannya.
Akan tetapi sekian lama dia berusaha menyadarkan pemuda itu, namun tak ada reaksi apa-apa. Bahkan napas pemuda itu seperti berhenti. Tubuh pemuda itu tak bergeming. Dalam kekhawatirannya dara ini jadi kebingungan. Akhirnya dia menangis terisak-isak se-raya memeluki tubuh pemuda itu.
“Kak Nanjar, oh... kak Nanjar...! Aku berdosa telah mencelakakan kau!” teriaknya histeris. Di guncang-guncangkan dan dipeluki tubuh pemuda itu dengan air mata mengalir deras membasahi dada bidang sang pemuda.
Di saat gadis itu meratapi dan menyesali dirinya, justru dia tak menyadari kalau lengan pemuda itu telah memeluknya erat-erat. Selang beberapa saat barulah dia sadar. Wintari merasai lengan hangat yang agak kasar itu mengelus-elus punggungnya. Ketika dia menatap ke arah wajah pemuda itu, ternyata si pemuda tengah cengar-cengir memandang padanya.
“Hahaha... jangan menangis nona manis. Tuhan belum mengizinkan aku mati!” berkata Nanjar.
“Hah!? kau... kau cuma berpura-pura saja?” sentak si gadis. Seketika wajahnya berubah merah dadu. Tiba-tiba dia melompat bangkit. Wajahnya berubah cemberut dan mulutnya keluarkan makian.
“Ih! dasar laki-laki ceriwis! kau... kau telah menipuku!” Tanpa menunggu lebih lama lagi dia telah berlari cepat tak menoleh lagi. Wajah gadis itu terasa panas. Dadanya berdebaran. Rasa malu yang bukan buatan terasa membuat wajahnya semakin panas. Wintari berlari cepat. Sebentar kemudian telah tak kelihatan lagi.
“Hei!? Wintari..! tunggu!” Nanjar alias si Dewa Lin-glung cepat bangkit untuk mengejar. Tapi dia segera menahan langkahnya. Hatinya berkata.
“Ah, biarlah dia pergi. Toh suatu ketika tak mungkin kalau tak mencariku. Bukankah dia memerlukan bantuanku untuk mencari jejak ayahnya yang diculik!” Akan tetapi berfikir begitu, hati kecilnya berkata lain.
“Heh! tempat ini belum kukenal. Apa lagi dia seorang gadis polos yang mudah dibodohi. Bagaimana kalau sampai dia di jahati orang?” Memikir demikian, Nanjar segera sambar buntalannya, dan kejap berikutnya dia telah berkelebat mengejar si gadis.
Bagaimana asal kejadian hingga Nanjar alias si Dewa Linglung muncul di tempat itu dan berkenalan dengan gadis manis bernama Wintari itu? Nanjar yang selalu berkelana sepembawa kakinya dan tak pernah mempunyai tempat kediaman tetap, suatu hari di bulan Suro dia memasuki tapal batas sebuah desa. Desa itu bernama desa Pring Gading.
Baru saja dia memasuki mulut desa telah terjadi kegaduhan. Seorang gadis dalam keadaan pingsan dikerumuni banyak orang. Segera Nanjar menyeruak masuk untuk melihat lebih dekat. Akan tetapi baru saja dia mau bertanya pada salah seorang didekatnya, mendadak seorang laki-laki kekar berpakaian bagus membentak keras dan menyuruh mereka bubar. Laki-laki itu mengatakan bahwa dia kakak gadis itu.
Tanpa menunggu lebih lama dia langsung memondong dara itu. Penduduk yang tadinya mau memberikan pertolongan tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan mereka bersyukur karena akhirnya keluarganya telah menjumpai gadis itu di desa mereka.
Nanjar agak curiga dengan tindak-tanduk laki-laki itu. Diam-diam dia menguntit laki-laki itu ternyata membawa seekor kuda yang ditambatkan disudut jalan desa. Sekali lompat dia telah berada dipunggung binatang itu setelah sebelumnya dia melepaskan tambatannya.
Gerakan melompat laki-laki itu dengan membawa beban seorang gadis dalam pondongannya cukup membuat Nanjar kagum. Jelas laki-laki itu berilmu tinggi. Selanjutnya dengan cepat dia mengeprak kuda untuk meninggalkan desa tersebut. Nanjar menyelinap ke belakang pondok. Diam-diam dia membuntuti laki-laki itu.
Ternyata laki-laki itu membawa sang gadis ke sebuah rumah terpencil di dalam hutan. Bukan kepalang terkejutnya Nanjar ketika mengintip, ternyata laki-laki itu mau memperkosa sang gadis. Tanpa ayal lagi dia bertindak saat itu juga. Sekali tendang pintu pondok itu menjeblak terbuka.
Kemarahan Nanjar tak terkatakan lagi. Tanpa ampun dia menghajar habis-habisan laki-laki itu. Namun Nanjar tak membunuhnya. Setelah puas menyiksa dia melepaskan laki-laki itu pergi. Tubuh laki-laki itu babak belur dihajar Nanjar. Dengan terseok-seok dia melarikan diri. Lalu menghilang dibalik rimbunnya hutan.
Nanjar terpaku menatap si gadis yang ternyata telah sadar dari pingsannya. Terjadilah perkenalan. Gadis itu memperkenalkan namanya. Ternyata dia bernama Wintari.
Terkejut Nanjar ketika mendengar prihal gadis itu. Ternyata dia telah beberapa hari mencari ayahnya yang diculik orang. Ayah gadis itu bernama Jagareksa, seorang guru silat di wilayah timur.
Suatu hari ketika ayahnya tengah beristirahat mendadak muncul serombongan orang berkuda. Mereka mengatakan dari Kota-raja, membawa perintah dari Raja untuk menangkap ayahnya dengan tuduhan ayahnya telah menyusun kekuatan untuk memberontak. Tentu saja membuat Jagareksa marah. Orang-orang berkuda itu tak sedikitpun mirip orang kerajaan.
Dan tuduhan itu hanya dibuat-buat. Jagareksa merasa dirinya telah difitnah. Karena dia pernah kedatangan utusan Adipati yang meminang anak gadisnya untuk dijadikan istrinya yang keempat. Pinangan itu ditolak dengan halus. Akan tetapi utusan itu mengancam bahwa penolakan itu akan membawa kesusahan pada dirinya.
Jagareksa merasakan adanya hal yang tidak wajar. Namun pertumpahan darah tak dapat terelakkan lagi. Seluruh anak buahnya tewas menghadapi lima orang berkuda itu. Sedangkan dirinya berhasil dilumpuhkan. Jagareksa ditawan. Dengan tangan kaki terikat dia dinaikkan ke atas kuda.
Kemudian dengan meninggalkan belasan mayat di halaman padepokan, mereka lenyap dibalik bukit. Kalau saja Sang ayah tak menotok tubuhnya serta menyembunyikan dia dibalik tumpukan kayu tentu dia sudah melompat keluar untuk menempur manusia-manusia itu.
Akan tetapi jangankan bergerak, bersuara pun dia tak dapat, karena sang ayah telah menotok pula urat suaranya. Dengan air mata berlinang dia melihat murid-murid gurunya bergelimpangan tak bernyawa. Serta melihat bagaimana sang ayah dikeroyok lima orang yang kemudian berhasil melumpuhkannya.
Tak sampai setengah hari totokan itu punah. Wintari menjerit histeris dan menangis terisak-isak memandangi mayat-mayat kawan-kawannya yang bergelimpangan tak bernyawa. Dia berlari masuk ke kamarnya untuk mempersiapkan senjata-senjatanya. Lalu melompat keluar untuk mengejar rombongan berkuda ke balik bukit.
Tujuan Wintari adalah ke Kota Raja. Dia yakin ayahnya ditawan disana. Akan tetapi dia tak begitu yakin yang menawan ayahnya adalah orang-orang kerajaan. Hal itu tentu ada hubungannya dengan pinangan Adipati yang telah ditolak ayahnya. Dalam keraguan dan antara lelah serta penatnya dalam menempuh perjalanan, dia tiba di desa Pring Gading.
Akan tetapi ketika tiba di tengah desa, mendadak kepalanya terasa berkunang-kunang. Dia roboh pingsan. Demikianlah! hingga muncul seorang laki-laki kekar berbaju bagus yang mengaku kakaknya. Kemudian membawanya pergi. Tak tahunya laki-laki itu memang sudah sejak lama menguntit Wintari. Di saat keritis dimana dia nyaris diperkosa laki-laki itu, muncullah Nanjar menolong dirinya...
Nanjar berkelebat cepat mengejar ke arah hutan. Saat itu matahari sudah mulai meninggi. “Haih! kemana perginya anak itu?” gerutu Nanjar.
Matanya jelalatan mencari-cari. Hampir setengah hari dia mengubak isi hutan tapi tak menjumpai dara manis itu. Ternyata hutan itu seperti tak ada habisnya. Terkejut Nanjar ketika sadar bahwa dia telah tersesat dalam hutan misterius yang sukar untuk mencari jalan keluar.
“Celaka! apakah ini yang namanya hutan Werid?” pikir Nanjar. Dia memang pernah mendengar nama hutan itu. Hutan yang aneh. Karena bila orang masuk ke dalamnya akan sukar untuk keluar lagi.
“Kalau benar ini hutan Werid, tentu Wintari pun telah tersesat seperti aku. Tapi mengapa aku tak menjumpainya?” pikir Nanjar tercenung. Dia duduk dibatang kayu menyeka keringat yang menetes di dahi.
“Haih! gara-gara perutku yang lapar, hingga dia ngambek lalu membuat aku susah seperti ini!” gerutu Nanjar memaki dirinya.
Teringat Nanjar ketika dalam mencari jejak orang-orang berkuda yang menculik ayah Wintari, mereka menginap di sebuah rumah tua yang tak berpenghuni. Untuk menjaga kesopanan, Nanjar sengaja bermalam di luar. Sementara Wintari mendapatkan sebuah ka-mar yang cukup baik. Setelah dibersihkan dapat di-pergunakan untuk tidur.
Menjelang tengah malam perut Nanjar melilit. Rasa lapar menyerang perutnya berkeruyukan. Nanjar duduk sementara otaknya berfikir. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari desa terdekat guna mengisi perut. Dengan berindap-indap dia segera meninggalkan rumah kuno itu, khawatir Wintari terbangun.
Nanjar tak menyadari kalau diam-diam Wintari telah membuntuti. Ternyata Wintari tak dapat tidur dalam kamar pengap itu. Hatinya gelisah. Wajah ayahnya yang lenyap diculik orang-orang berkuda itu selalu terbayang dalam benaknya.
Secara kebetulan Nanjar mendapatkan sebuah kedai yang masih buka setelah berhasil menemukan sebuah desa yang agak cukup jauh dari tempat mereka menginap. Sungguh di luar dugaan Nanjar kalau kedai itu adalah tempat berkumpulnya wanita-wanita nakal dan para hidung belang. Terdorong oleh perutnya yang lapar, Nanjar tak ambil peduli. Terpaksa dia singgah juga.
Setelah memesan makanan dua orang wanita mendekati. Mereka merayu Nanjar untuk berkencan. Merah muka Nanjar. Dia telah berjanji tak akan mengulangi kebodohan yang kedua kali. Walau wanita-wanita itu cantik dan menggiurkan, Nanjar menolak secara halus. Namun mana mereka mau diam sampai di situ saja? Dengan terus merayu mereka membujuk Nanjar untuk bermalam.
Terpaksa Nanjar pura-pura setuju dan memilih salah satu dari keduanya. Padahal dalam hati dia telah mengatur rencana. Di dalam kamar Nanjar menotok wanita itu, dan kabur keluar dari jendela. Semua itu dilakukan karena dia melihat tiga orang yang tukang pukul di tempat itu selalu mengawasi. Kalau dia menolak bisa membuat keributan.
Sungguh tak diduga ternyata Wintari memperhatikan dari tempat persembunyiannya. Dengan muka panas dia kembali ke rumah kuno. Hatinya menjadi masygul dan membenci Nanjar yang dianggap seorang pemuda hidung belang. Demikianlah, ketika pagi menjelang, dia mendapatkan Nanjar masih tidur mendeng-kur di luar rumah kuno.
Entah rasa benci entah rasa cemburu di hati Wintari. Yang jelas dia diam-diam angkat kaki tanpa sepengetahuan Nanjar. Ketika Nanjar terbangun dan sadar bahwa Wintari telah angkat kaki dari tempat itu, segera dia menyusul. Namun gara-gara dia pura-pura pingsan terkena pukulan sang gadis itu, Wintari marah lagi. Hingga dia tersesat di dalam hutan Werid karena mengejar dara itu...
Apa yang dikhawatirkan Nanjar memang benar. Karena Wintari ternyata telah masuk dalam perangkap dalam hutan Werid. Tujuh orang manusia bertopeng telah bermunculan di saat gadis itu tersesat dan mencari jalan keluar dari hutan misterius itu.
Belum sempat dia berbuat sesuatu, dua orang telah berkelebat melompat. Salah seorang menotok dengan gerakan kilat. Robohlah Wintari. Dan kejap selanjutnya dia telah berada dalam pondongan salah seorang dari tujuh orang bertopeng itu.
Hutan Werid memang benar-benar misterius, karena hanya penghuni hutan itu saja yang mengetahui jalan-jalan rahasia. Dalam beberapa kejap saja ketujuh manusia bertopeng itu telah lenyap tak ketahuan kemana arahnya.
Sementara itu Nanjar yang termangu-mangu tak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba mendengar suara tertawa dibelakangnya. Cepat dia balikkan tubuh untuk melihat. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat apa-apa. Suara tertawa itu jelas suara tertawa wanita.
“Heh!? Apakah kau Wintari?” teriak Nanjar. Mulutnya berkata begitu tapi hatinya menduga lain. “Rasanya tak mungkin kalau yang barusan tertawa itu Wintari! Suara tertawa itu renyah dan begitu merdu seperti aku pernah mendengarnya...” pikir Nanjar dengan tertegun.
“Gadis centil yang menggoda ku keluarlah! Mengapa kau tak berani unjukkan diri? Apakah kau tak punya hidung atau tampangmu jelek sekali?” teriak Nanjar. Matanya mengawasi ke setiap balik batang pohon. Akan tetapi tetap saja tak ada yang muncul. Nanjar jadi kesal. Akhirnya dia mengancam.
“Baiklah! kalau kau tak mau keluar, ingin kulihat apakah kau masih tetap mau bersembunyi atau mau melarikan diri! Aku akan bertelanjang bulat!” berkata Nanjar. Ancaman Nanjar benar-benar dibuktikan. Lengannya bergerak membuka tali ikat pinggangnya yang sering kedodoran.
Pada saat itulah terdengar suara disusul berkelebatnya sesosok tubuh melompat keluar dari balik semak. “Tunggu!”
Sesosok tubuh telah berdiri di hadapan Nanjar. Itu-lah tubuh seorang gadis yang membuat Nanjar terperangah kaget. “Ranggaweni!” sentak Nanjar terkejut.
“Kak Nanjar! kau... sinting!” berkata gadis itu. Akan tetapi cepat-cepat dia berpaling jengah, karena saat itu celana Nanjar merosot separuh. Cepat-cepat Nanjar betulkan celananya. Mulutnya tertawa girang.
“Eh, adik Ranggaweni! Bagaimana kau sampai berada di hutan ini? Kemana burung Rajawali mu si JABUR?” tanya Nanjar seraya lompat menghampiri.
Ranggaweni adalah murid si Raja Pengemis yang telah tewas di pulau misterius dalam pertarungan dengan si Raja Siluman Naga. Nanjar masih ingat pada pesan kakek itu di saat kematiannya, yaitu dia telah dipesan oleh si Raja Pengemis untuk menjaga muridnya itu.
“Aku tak membawa burung Rajawali itu. Dia ku tinggalkan, dan kusuruh menunggu di atas bukit!” sahut Ranggaweni sambil menunjuk ke arah barat.
“Lalu bagaimana sampai kau berada di hutan?” tanya Nanjar.
“Hm, seperti kau juga, kak Nanjar! Bukankah kau tak menemukan jalan keluar dari hutan ini?” Ranggaweni balik bertanya tanpa menjawab.
“Ya! aku tersesat! Hutan ini aneh! Aku mengejar seorang gadis. Aku khawatir dia mendapat kesusahan, karena dia gadis sebatang kara!”
Ranggaweni kerutkan keningnya. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada cemburu.
“Dia bernama Wintari!” sahut Nanjar, seraya kemudian menceritakan secara singkat tentang dirinya. Ranggaweni manggut-manggut. “Hutan ini aneh! Apakah ini yang bernama hutan Werid?” tanya Nanjar.
“Benar!” menyahut Ranggaweni. “Baiklah aku ceritakan bagaimana sampai aku berada di tempat ini dan tersesat seperti kau tak dapat menemukan jalan keluar!” lanjut Ranggaweni.
Gadis ini menghela napas. Setelah merenung sejenak, dia segera memulai pembicaraan. “Kau pernah mendengar nama Iblis Gila Pembangkit Arwah?” tanya Ranggaweni.
Nanjar memijit keningnya. “Rasanya tidak! Julukan itu seram benar, baru ini aku mendengarnya!” sahut si Dewa Linglung.
“Nah! untuk itulah aku mencarinya ke hutan ini! Karena hutan Werid ini adalah tempat tinggalnya. Untuk menyelidiki hutan ini kurasa agak sulit, oleh sebab itu Jabur kusuruh tunggu di atas bukit yang tak jauh jaraknya dari hutan ini. Tahukah kau ada hal apakah aku mencarinya?” tanya si gadis. Sepasang matanya menatap Nanjar dan Nanjar melihat jelas ada setitik air bening yang menggenang di kelopak matanya.
Nanjar menggeleng. “Ceritakanlah! apakah iblis itu telah mengganggumu?” sentak Nanjar. Nanjar amat mengkhawatirkan ada kejadian apa-apa yang menimpanya.
“Lebih dari setahun aku tak pernah berhasil mencarimu, dan selama itu banyak peristiwa yang telah terjadi!” berkata pelahan Ranggaweni. Dia berusaha menahan jatuh air matanya. Nanjar membiarkan gadis itu menahan perasaannya.
“Masih ingatkah kau pada seorang laki-laki pemilik Pedang Inti Es?” Pertanyaan itu membuat Nanjar segera ingat laki-laki pendamping Ranggaweni. Ya, pada laki-laki itulah Nanjar menaruhkan harapannya untuk menjadi penggantinya menjaga gadis ini.
“Maksudmu... Soma?” sentak Nanjar. “Ah, aku baru ingat! Kemana dia? Apakah kalian telah menjadi suami istri?” tanya Nanjar.
“Suami istri? Huh! apakah kau kira aku mencintainya?” menjawab Ranggaweni ketus. Akan tetapi dia menghela napas. “Dia memang mencintai ku! Orangnya gagah, juga berkepandaian tinggi. Tapi hatiku... hatiku entah mengapa tak dapat menerima cintanya...”
Nanjar jadi membungkam dengan seribu satu macam pertanyaan dibenaknya. Ranggaweni berpaling menatap ke arah hutan yang gelap. Nanjar melihat mata gadis itu mendelong menatap ke depan. Dia tak tahu apa yang menjadi sebab gadis ini sukar menuturkan peristiwa yang dialami.
Kalau saja Nanjar punya perasaan peka, tentu dapat menerka isi hati sang gadis, karena di hati gadis itu cuma ada satu nama yang selalu dirindukannya, yaitu Nanjar!
“Sudahlah adik Ranggaweni, kau ceritakanlah mengenai apa yang telah menimpa kalian! Dan kemanakah Soma?” akhirnya Nanjar buka suara.
“Soma telah tewas enam bulan yang lalu!” sahut Ranggaweni sendu.
“Hah!? siapa yang telah membunuhnya?” sentak Nanjar terkejut.
“Kekasihnya sendiri?”
“Soma punya seorang kekasih?”
“Ya! dia bernama Sripandu! murid Ki Pamutih atau si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” sahut Ranggaweni tanpa menoleh pada Nanjar.
“Jadi untuk itulah kau ke tempat ini?” tanya Nan-jar.
“Benar! Aku harus menuntut balas kematiannya!” Kali ini tampak tubuh Ranggaweni terguncang-guncang. Ternyata dia menangis terisak-isak. Dara ini tak dapat menahan kesedihannya.
“Sudahlah! aku akan membantumu mencari musuh besarmu itu! Kukira kau tak terlalu harus bersedih hati. Bukankah kau tak mencintainya?” berkata Nanjar seraya mendekati dan memegang pundaknya. Gadis itu makin terisak-isak. Terpaksa Nanjar menunggu sampai tangisnya reda.
“Justru aku merasa amat kehilangan, karena setelah dia tiada baru kusadari kalau aku mencintainya..” Akhirnya Ranggaweni berkata pelahan sambil menyeka air matanya.
Nanjar manggut-manggut. “Sudahlah, orang yang sudah mati mengapa masih kau kenang? Lebih baik kau pikirkan jalan keluar dari hutan ini! Kukira tempat ini amat berbahaya! Keberanianmu sungguh luar biasa berani menyatroni sarang si Iblis Gila Pembangkit Arwah!”
“Hm, percuma aku jadi murid si Raja Pengemis!” sahut Ranggaweni. “Eh! Dewa Linglung! Bukankah kau memiliki ilmu “terbang”, mengapa tak kau pergunakan untuk terbang keluar dari hutan ini?” tiba-tiba Ranggaweni berkata. Matanya menatap Nanjar dengan tandas, seperti tidak mengerti mengapa Nanjar tak mempergunakan ilmunya yang hebat itu?
Akan tetapi belum sempat Nanjar menyahut, telah terdengar suara tertawa berkakakan, diiringi menebarnya bau busuk yang amat luar biasa. Keduanya melompat mundur. Lengan mereka secara tak sadar saling berpegangan erat.
Bukan kepalang terkejutnya mereka ketika tahu-tahu entah dari mana telah bermunculan sosok-sosok tubuh yang amat menyeramkan. Mulut keduanya ternganga dengan mata membeliak. Karena yang bermunculan itu adalah mayat-mayat yang sudah rusak tak keruan. Mayat-mayat hidup! Tak terasa lengan Rangga Weni semakin erat mencekal bergelangan tangan Nanjar.
“Jangan takut! ini pasti perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” berkata Nanjar. “Siapkan senjatamu!” ujarnya para Ranggaweni. Tanpa berayal lagi gadis itu segera loloskan pedangnya dibalik punggung. Hawa dingin menggidikkan menebar. Itulah pedang Inti Es yang telah dipergunakan Ranggaweni.
Nanjar melirik sekilas. Dia tahu pedang itu milik Soma. Pedang yang pernah menghebohkan orang persilatan karena menginginkannya. Dia segera cabut keluar Seruling berkepala Naga dari balik bajunya.
Sementara itu mayat-mayat hidup itu dengan suara menggereng dihidung semakin mendekat mengurung mereka. Bau busuk membuat Rangga Weni nyaris mual mau muntah. Namun dia mencekal erat-erat hulu pedangnya, dengan menahan napas.
Suara tertawa mengekeh terbahak-bahak kembali berkumandang. “Heheheh..hehe.. Dewa Linglung! Sudah lama aku menantikan kedatanganmu! Kau telah masuk ke dalam hutan Werid, dan kau gadis cantik ternyata sahabatnya. Hehehe... mana mungkin kubiarkan kalian meloloskan diri lagi? Walaupun kau punya ilmu terbang sekalipun?”
Suara itu terdengar di beberapa arah. Akan tetapi tak nampak bayangan seorang manusiapun. Jelas Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pem-bangkit Arwah mempergunakan ilmu suara berpindah yang hebat.
“Iblis Gila Pembangkit Arwah! Manusia pengecut! Mengapa kau tak menampakkan diri?” membentak Nanjar.
Namun bersamaan dengan itu mayat-mayat hidup itu telah menerjangnya. Terpaksa Nanjar lepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Rangga Weni. Seraya berteriak dia mengirim pukulan ke arah depan.
“Awas, adik Weni! pergunakan pedangmu!” Pukulan tenaga dalam Nanjar lolos, karena mayat-mayat hidup itu bagaikan segumpal kapas berkelebatan melayang. Bahkan pukulan itu seperti lewat saja menembus tubuh mereka yang menyerupai bayangan.
“Setan keparat!” memaki Nanjar. Terpaksa dia melompat menghindari terjangan tiga mayat hidup. Adapun Rangga Weni tak berayal lagi segera menebaskan pedangnya. Sinar putih berkilat menimbulkan hawa dingin. Mata pedang Inti Es menimbulkan belasan larik sinar putih yang berkelebatan.
Namun seperti juga Nanjar tebasan pedang itu tak berarti apa-apa. Mayat-mayat hidup itu seperti bayangan yang tak mampu disentuh oleh ketajaman pedang sang gadis. Terpaksa dara ini melompat beberapa kali menghindari terjangan mayat-mayat hidup yang menyeramkan itu.
Baru saja kakinya menginjak tanah telah muncul lagi mayat hidup dibelakangnya. Rangga Weni menjerit karena terkejutnya. Pedangnya berkelebat menyambar. Namun sama seperti tadi. Tabasan itu lewat menyambar angin. Dalam tersentaknya dia menoleh pada Nan-jar. Terlihat Nanjar sendiri seperti kebingungan menghadapi serangan-serangan mayat-mayat hidup itu.
Napas Rangga Weni serasa sesak karena bau busuk yang menyengat hidung, disamping nyalinya jadi ciut. Karena rasa takut dan seram menghadapi mayat-mayat hidup itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa melengking tinggi. Kilatan warna pelangi berkelebatan di udara, disusul munculnya bayangan sesosok tubuh.
“Hihihi... permainan anak kecil mengapa siang-siang kau tunjukkan di depan dua bocah ini, sobat Ki Pamutih? Sungguh kau keterlaluan!”
Hebat akibat berkelebatnya sinar pelangi itu, karena mayat-mayat hidup itu perdengarkan jeritan parau. Tubuh-tubuh mereka lenyap. Sebagai gantinya di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh ramping. Dia seorang nenek berambut putih. Kulit mukanya berkeriput. Mengenakan jubah warna hijau.
Dewa Linglung dan Rangga Weni terperangah. Namun cepat-cepat Nanjar menjura seraya menghaturkan terima kasih. “Siapakah nenek? Ah, terima kasih atas pertolongan anda!”
“Hihihik... tak usah banyak peradatan, anak muda. Aku hanya memperingati kalian berdua. Sebaliknya kalian cepat keluar dari hutan ini!” Selesai berkata wanita tua itu kibaskan lengannya ke arah samping kiri. Segelombang cahaya hijau meluncur. Aneh! Hutan rimba itu seperti terkuak oleh cahaya itu. Hingga nampak kini di jalan memanjang yang menuju keluar dari hutan itu.
“Nenek! kau belum memperkenalkan siapa dirimu!” berkata Nanjar.
“Aih! bocah bawel! Cepatlah kalian angkat kaki, sebelum Nini GALUNGGUNG membiarkan kau mampus dikerubuti mayat-mayat hidup!”
Sebenarnya Nanjar tak merasa jeri dengan makhluk-makhluk itu walaupun tadinya dia bekas seorang yang paling penakut dengan setan. Justru dia ingin tahu tampang Ki Pamutih si Iblis Gila Pembangkit Arwah, yang mengendalikan mayat-mayat hidup itu. Akan tetapi ketika melihat pada Rangga Weni, gadis itu mengangguk memberi isyarat untuk segera angkat kaki.
“Baiklah, nek. Terima kasih Nini Galunggung! Budimu takkan kulupakan!” Selesai berkata Nanjar melompat menyambar buntalannya, dan kejap selanjutnya dia telah menggamit tangan Rangga Weni untuk dibawa melompat pergi.
Nenek keriput ini memperhatikan kedua anak muda itu yang berlari-lari menyusuri jalan yang menembus hutan itu. Hingga kemudian tak nampak lagi bayangan tubuhnya. Barulah dia balikkan tubuh memandang ke puncak pohon di sebelah selatan. Dia memang mengetahui bahwa sesosok tubuh yang diduganya adalah si Iblis Gila Pembangkit Arwah berdiri dicabang pohon itu.
Akan tetapi dia tak menampak bayangannya lagi. Ta-hulah dia kalau si Iblis Gila Pembangkit Arwah telah angkat kaki dari tempat itu. Terdengar nenek ini menghela napas dan berkata menggumam.
“Hm, dendammu sedalam lautan Ki Pamutih! Tapi bukan cara seperti itu kau melampiaskan dendammu!” Selesai berkata nenek yang bergelar Nini Galunggung itu perdengarkan tertawa melengking. Tubuhnya berkelebat. Sekejap telah lenyap tak ketahuan kemana perginya. Kesenyapan kembali merambah hutan Werid yang misterius itu....
Suara suitan menggema dari bawah puncak bukit di pagi yang baru saja merekah itu. Cahaya mentari masih lemah bersinar. Raja siang itu baru muncul dari peraduannya. Seekor burung Rajawali raksasa tampak terbang dari atas puncak bukit.
Itulah burung peliharaan Nanjar yang bernama Jabur. Mendengar suara suitan itu, sang Rajawali tampak seperti kegirangan. Dia terbang melayang memutari bukit mencari-cari dari arah mana suara suitan itu. Mulutnya tak hentinya mengeluarkan suara mengiyak.
Tak lama dia mendengar lagi suara suitan yang lebih nyaring. Jabur palingkan kepalanya. Tampaknya dia mengenali nada suara suitan itu. Kejap berikutnya dia telah terbang menukik dengan cepat. Dan dapat melihat dua orang dibawahnya. Itulah Nanjar dan Rangga Weni yang tengah menantikan kedatangannya.
“Jabur! Ah, kau makin gagah dan kuat saja!” teriak Nanjar, ketika burung Rajawali raksasa itu hinggap di atas batu dihadapannya.
Sekejap Nanjar telah melompat mendekati. Tak ayal langsung memeluk lehernya seraya mengusap-usapnya dengan terharu dan kasih sayang. Dia merasa amat rindu telah lebih setahun tak pernah berjumpa. Burung Rajawali itupun mengiyak pelahan. Sayapnya dikibas-kibaskan. Dia tampak girang sekali bertemu dengan majikannya yang lama.
Rangga Weni melompat mendekati. Dara ini cuma tersenyum melihatnya. Diam-diam dia merasakan elusan tangan Nanjar pada leher burung itu seperti terasa mengelus rambutnya. Dia menunduk dengan menghela napas.
Diam-diam terasa hatinya menjadi sunyi. Mungkinkah Nanjar mencintainya? Serasa jauh hatinya menerawang. Saat itu pula dia teringat pada Soma. Air matanya pun kembali menitik. Namun cepat-cepat dia menghapusnya. Rasa rendah diri dan malu menyelubungi jiwa gadis ini khawatir Nanjar menolak cintanya. Bukankah seorang pemuda gagah yang walaupun bertampang tolol seperti Nanjar akan banyak gadis yang menggilainya?
Mana mungkin dia ada perhatian pada dirinya? Mustahil kalau gadis bernama Wintari itu di-amdiam adalah kekasihnya? Pikiran Rangga Weni jadi kacau. Hatinya serasa remuk, karena orang yang menjadi pendampingnya selama ini telah tewas. Dia begitu khawatir kalau menemui kegagalan cinta lagi.
Hal itulah yang membuat gadis ini menjadi patah hati. Diam-diam dia melangkah mundur. Gerakannya dibuat pelahan khawatir Nanjar mendengarnya. Dibalik batu bukit yang nonjol dia menyelinap. Kejap selanjutnya Rangga Weni telah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, setelah dia menggoreskan sebuah batu runcing dibatu bukit.
Terkejut Nanjar ketika menyadari bahwa Rangga Weni tak kelihatan berada dibelakangnya. “He? kemana dia?” sentak Nanjar terkejut. Nanjar berpaling kekanan-kekiri. Bahkan melompat ke atas batu bukit yang agak tinggi. Tapi tak melihat adanya sosok tubuh Rangga Weni.
“Hm, dasar gadis bengal! Pasti dia sembunyi lagi!” gumam Nanjar tersenyum. Dewa Linglung garuk-garuk kepalanya memikir. Cara apa lagi yang akan dia lakukan untuk membuat gadis itu muncul dari tempat persembunyiannya? Cara seperti yang dia lakukan di dalam hutan itu rasanya tak berguna.
“Hm, cara ini kukira lebih baik!” berkata Nanjar dalam hati. Dia rogoh keluar seekor kelinci yang tadi malam ditangkapnya dalam perjalanan. Kelinci itu masih hidup. Cuma dengan sedikit totokan telah membuat binatang santapan itu tak berkutik.
“Jabur! Tentunya kau juga lapar? Baiklah! aku akan memanggang kelinci ini dulu. Nanti kita bersantap mengisi perut!”
Nanjar mengumpulkan kayu-kayu kering. Lalu membuat api unggun. Tak lama dia telah memanggang kelinci muda itu setelah menyembelih dan mengulitinya. Sebentar saja bau panggang daging kelinci yang sedap telah menebar dibawah bukit itu.
“Haha.. bau sedap ini mustahil tak mengundang munculnya gadis bengal itu. Pasti dia keluar dari persembunyiannya!” pikir Nanjar dalam hati.
Akan tetapi sampai daging panggang itu masak Rangga Weni belum juga muncul. Nanjar mulai tak enak perasaan hatinya. Selera makannya lenyap. Dilemparkannya panggang daging kelinci itu ke arah Jabur yang langsung menangkap dengan paruhnya. Nanjar cuma memperhatikan Jabur yang menikmati santapannya dan langsung menelannya.
“Jabur! Mari kita cari Rangga Weni!” berkata Nanjar seraya melompat ke punggung Jabur.
Burung Rajawali ini mengiyak pelahan. Tak lama dia kibas-kibaskan sayapnya. Kejap selanjutnya dia telah terbang ke udara. Tak lama burung Rajawali raksasa itu telah me-layang-layang memutari sekitar bukit. Nanjar yang berada dipunggung burung raksasa itu pentang matanya lebar-lebar mencari-cari kalau-kalau dibawahnya terlihat Rangga Weni. Akan tetapi sekian lama Nanjar mencari tetap saja dia tak menampak orang yang dicarinya.
“Ah, kemana perginya dia? Mengapa dia meninggalkan ku dengan diam-diam?” keluh Nanjar. Hatinya bertanya-tanya sendiri.
“Perempuan memang aneh! isi hatinya sukar diterka!” gumamnya. Nanjar tepuk-tepuk leher binatang itu. “Jabur! Mari kita kesana!” Nanjar menunjuk ke arah utara. Jabur mengangguk-angguk seperti mengerti. Tak lama dia terbang membelok lalu dengan cepat melayang ke arah yang ditunjuk Nanjar.
Sepasang mata bening itu tampak berkaca-kaca memperhatikan burung Rajawali itu yang terbang ce-pat ke arah utara. Itulah sepasang mata dari seorang dara jelita Rangga Weni. Gadis ini sembunyi dibalik bongkah batu. Matanya menatap ke arah si Jabur yang lenyap dibalik bukit. Gadis ini bangkit berdiri. Terdengar dia menghela napas.
“Selamat tinggal kak Nanjar. Kukembalikan si Jabur padamu! Biarkanlah aku pergi membawa diriku sendiri. Agaknya kita memang tak berjodoh. Semoga Tuhan selalu melindungimu...” bibir dara ini keluarkan suara mendesis. Dan air bening pada kedua kelopak matanya menetes turun membasahi pipinya.
Tak lama Rangga Weni balikkan tubuhnya lalu berkelebat meninggalkan lembah itu. Kemanakah tujuan Rangga Weni? Ternyata dia kembali ke arah semula, yaitu menuju ke hutan Werid. Dara cantik itu tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah menguntitnya. Dialah seorang la-ki-laki berwajah tampan. Siapa laki-laki penguntit itu? Dia tak lain dari si Pendekar Patah Hati.
Gerakan pemuda ini amat gesit. Ilmu larinya luar biasa. Tampak sebentar saja dia sudah hampir menyusul Rangga Weni. Tapi tiba-tiba dia memperlambat larinya, karena Rangga Weni secara mendadak menghentikan larinya. Mata gadis ini memandang ke depan. Ternyata sesosok tubuh tertelungkup menghalangi jalan.
“Heh!? siapa orang itu? Orang tidur ataukah mayat?” berdesis Rangga Weni. Pelahan dia mendekati. Matanya menatap tajam-tajam memperhatikan orang yang menelungkup itu. Barulah dia mengetahui kalau orang itu masih hidup, karena mendengar suara dengkurnya.
“Gila! siang hari begini masih tidur. Tapi mengapa dia memilih tidur di tengah jalan begini, mengganggu orang lewat?” berkata Rangga Weni dalam hati. “Sebaiknya aku lompati saja!” pikirnya. Tapi baru saja dia bersiap untuk melompat mendadak orang itu menggeliat lalu terlihat dia menguap.
“Huaaah! enak benar tidurku, sampai-sampai hari sudah siang!” Ternyata dia seorang laki-laki setengah tua berwajah jelek. Berambut gondrong tak terawat. Bajunya bertambalan dan tampak kumal sekali.
Orang itu mengucak-ucak matanya. Hidungnya kembang-kempis seperti mengendus-endus bau sesuatu. Memang dia mengendus bau harum dari tubuh seorang gadis. Tiba-tiba dia menoleh. Pandangan matanya beradu dengan tatapan dara cantik dihadapannya.
“Eh. paman... harap kau memberi jalan. Aku numpang lewat!” berkata Rangga Weni. Kata-katanya ramah. Sengaja dia tersenyum dan mengangguk. Rangga Weni menduga laki-laki itu seorang pengemis biasa. Sudah lumrah bagi seorang pengemis yang tidur semaunya, tak peduli diemper rumah atau di tengah jalan.
“Hehehe... silakan! silakan!” menyahut laki-laki itu seraya menggeser pantatnya kesisi. Sementara matanya yang menatap Rangga Weni tampak membinar. Bibirnya menyeringai menampakkan sebaris gigi yang besar-besar dan tampak menguning.
Rangga Weni menahan napas. Perutnya serasa mual rasanya mau muntah. Laki-laki pengemis itu amat kotor dan menjijikkan. “Terima kasih..!” ucap Rangga Weni, seraya bertindak melangkah. Akan tetapi terkejut dara ini karena kakinya serasa berat digerakkan seperti diberati beban beratnya ratusan kati.
Tahulah dia kalau si pengemis itu bukan orang biasa dan berniat mengganggunya. Namun sebagai murid si Raja Pengemis mana dia mau menyerah begitu saja pada pengemis keroco yang kotor dan menjijikkan itu? Dengan mengerahkan tenaga dalam dikedua kaki, dia enjot tubuh untuk melompat.
Apa yang dilakukan berhasil. Akan tetapi diluar dugaan tahu-tahu tongkat si pengemis yang sejak tadi dicekalnya telah menyambar ke arah kaki. Rangga Weni berteriak kaget. Namun dengan sebat lengannya bergerak menghantam ke arah tongkat. Gerakan menghantam itu disertai suara bentakan keras.
Akan tetapi betapa terkejutnya gadis ini karena dia merasa satu tenaga yang amat kuat telah membetot tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu dia tak bisa berbuat apa-apa. Sekilas dia melihat laki-laki pengemis itu tertawa menye-ringai. Sepasang lengannya terpentang siap menyangga tubuhnya.
Sedetik lagi tubuh dara itu akan jatuh dalam dekapan si pengemis. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara jeritan parau. Tubuh si pengemis terjungkal roboh. Tenaga sedotan itu lenyap. Bahkan tubuh Rangga Weni seperti terdorong kebelakang.
Dengan sebat dara ini gunakan kelihaiannya untuk menahan keseimbangan tubuhnya. Dan dengan gerakan melompat jungkir balik dia telah jejakkan kakinya ke tanah. Terkejut Rangga Weni ketika sebuah bayangan berkelebat disertai kata-kata.
“Bagus! Pengemis hina macam begitu tak patut menjamah tubuhmu, nona!” Sekejap dia telah melihat seorang laki-laki gagah telah berdiri dihadapannya. Ketika menatap ke arah si pengemis, ternyata pengemis itu telah rebah tak berkutik. Dikeningnya menancap dua buah jarum berwarna hijau. Jelas dia tewas karena jarum maut itu. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan laki-laki dihadapannya itu?
“Siapa kau? Mengapa kau membunuhnya?” sentak Rangga Weni terkejut. Diam-diam dia memperhatikan wajah orang.
“Hahaha... nyawa manusia tak berharga macam begitu mengapa kau harus mempedulikan? Tak sampai hatiku melihat kulitmu yang halus dijamah tangan-tangan kotor manusia ini!” sahut laki-laki itu sambil tertawa.
“Siapakah anda?” tanya Rangga Weni. Diam-diam dia waspada pada orang ini. Jelas dia seorang laki-laki yang kejam, walau diakuinya laki-laki itu berwajah tampan.
“Aku... namaku Arya Pandan, tapi orang menjuluki aku si PENDEKAR PATAH HATI!”
Tentu saja gadis ini tersentak. Tak terasa kakinya menindak selangkah kebelakang. “Anda seorang pendekar? Hm, tak sepantasnya anda berbuat sekeji itu!” kata Rangga Weni.
Pemuda itu hanya tertawa mendengar kata-kata Rangga Weni. “Hahaha... nona benar! Akan tetapi apakah salah kalau yang dibunuhnya adalah seorang manusia yang telah banyak melakukan kejahatan memperkosa puluhan gadis dan membunuh belasan manusia?”
Tentu saja jawaban Arya Pandan membuat Rangga Weni melengak.
“Sudahlah! mengapa mengurusi mayat manusia kotor yang nyawanya sudah pindah ke Akhirat? Mau kemanakah tujuan anda, nona? Boleh aku tahu siapa namamu?” Arya Pandan alias si Pendekar Patah Hati beranjak melangkah mendekati.
Rangga Weni terpaksa menarik napas. Walau bagaimanapun dia harus berterima kasih pada laki-laki dihadapannya ini, karena telah menolongnya. “Aku Rangga Weni. Tujuanku tak dapat kusebutkan!”
“Ah, tak apalah! Jalan ini menuju ke perbatasan Kota Raja. Kalau membelok ke kanan anda akan memasuki hutan yang bernama hutan Werid. Hutan itu amat angker! Aku hanya menemanimu saja sampai persimpangan jalan itu. Gadis secantikmu melakukan perjalanan seorang diri amat besar bahayanya, apakah nona Rangga Weni bersedia kuantar?” berkata si Pendekar Patah Hati dengan sopan.
Rangga Weni jadi terdiam. Sejenak dia bingung untuk menjawab. Diam-diam hatinya berkata. “Orang ini telah menolongku. Dia berilmu tinggi. Apakah aku akan menolak kebaikkannya?” Akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah! tapi hanya sampai persimpangan jalan itu saja. Selanjutnya silahkan anda mengambil jalan sendiri, dan tak usah memperdulikan aku!” berkata Rangga Weni.
“Hahaha... baik! baik! Aku cuma mau mengantar sampai persimpangan jalan itu!” sahut Arya Pandan. Tak banyak berayal Rangga Weni segera teruskan langkahnya dengan berlari cepat. Arya Pandan mengikuti disamping gadis itu. Diam-diam Rangga Weni mengakui kehebatan gerakan lari Arya Pandan.
“Aneh! mengapa dia bergelar si Pendekar Patah Hati?” dalam hati Rangga Weni bertanya-tanya. Namun dara ini terus berlari. Sedikitpun dia tak lepas dari kewaspadaan, karena khawatir dicelakai orang kedua kalinya.
Namun dalam beberapa saat dalam perjalanan itu kecurigaannya hilang. Arya Pandan bersikap biasa-biasa saja. Tak ada tanda-tanda dia seorang yang berhati jahat. Diam-diam dia bersyukur dengan kemunculan pemuda ini yang telah menyelamatkan dirinya dari bahaya. Hatinya bergidik, bagaimana kalau sampai dia jatuh ke tangan pengemis itu? Sukar dia membayangkannya.
Kira-kira semakanan nasi. Arya Pandan berkata. “Kira-kira dua ratus langkah lagi kita akan sampai dipersimpangan jalan dibatas wilayah Kota Raja. Nona Rangga Weni akan kemana?” Pertanyaan Arya Pandan membuat Rangga Weni sedikit terkejut. Karena dalam berlari-lari itu pikiran Rangga Weni kosong.
Rangga Weni perlambat larinya. “Aku... aku akan menuju ke hutan Werid!” jawabnya dengan mengatur napas yang tersengal. Diam-diam dia kagum karena Arya Pandan tampaknya tak merasa lelah sedikitpun.
“Nona Rangga Weni mau ke hutan Werid?” tanyanya seperti tak percaya.
“Benar! Mengapa? apakah kau merasa aneh?” tanya Rangga Weni.
“Cukup aneh! Tapi aku kagum dengan keberanian anda!” menyahut Arya Pandan. Jawaban Arya Pandan terputus, karena persimpangan jalan sudah didepan mata.
“Nah! aku hanya mengantarmu sampai disini! sampai jumpa, semoga tak terjadi apa-apa dengan dirimu, nona Rangga Weni!” berkata si Pendekar Patah Hati. Tubuh laki-laki itu berkelebat. Sekejap saja dia sudah lenyap.
Rangga Weni terhenyak. Dia menghentikan larinya. Begitu cepat Arya Pandan menghilang hingga dia tak sempat lagi mengucapkan terima kasih. Namun Rangga Weni segera berteriak keras-keras. “Terima kasih atas budi baikmu, sobat Pendekar Patah Hati! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu!”
Rangga Weni terpaku sejenak. Dia menatap ke arah jalan yang menuju ke hutan Werid. Rasa seram menyelinap dalam hatinya. Namun tekadnya bulat. Dia akan mencari wanita bernama SRI PANDU murid si Iblis Gila Pembangkit Arwah guna membalaskan dendam kematian Soma!
Dia tak peduli apa yang akan terjadi. Walau dia akan cuma tinggal namanya saja di dunia ini! Dimantapkannya hatinya. Dan dara ini jejakkan kakinya untuk segera berlari cepat menuju ke arah hutan Werid.
Pendekar Patah Hati berlari cepat melalui jalan terjal dengan memotong arah terdekat menuju ke hutan Werid. “Hahaha.. aku harus mendahului dia. Gadis semulus itu sukar kudapatkan. Sungguh bodoh kalau dia kubiarkan tanpa kusentuh!” menggumam Arya Pandan. Mulutnya tertawa menyeringai. Dipercepat gerakan larinya. Sebentar kemudian dia telah tiba ditepi hutan. Arya Pandan menyelinap masuk kebalik semak rimbun. Apa yang dilakukannya ditempat itu.
Dia duduk bersila. Matanya terpejam. Bibirnya komat-kamit seperti tengah membaca mantera-mantera. Tak lama dia membuka mata dan bangkit berdiri. Setelah melihat kekiri dan kanan, dia keluar dari balik semak. Wajah laki-laki ini tampak berubah kaku. Matanya memancarkan hawa yang menggidikkan bagi yang melihat.
Tampak dia rangkapkan lagi tangannya ke atas dada. Bibirnya kembali berkemak-kemik membaca mantera. Tak lama sepasang tangannya tergetar. Tiba-tiba Arya Pandan gerakkan kedua belah tangannya merentang. Hawa dingin mencekam meluncur dari kedua telapak tangannya. Kedua tangannya kembali menyatu.
“Nah! selesai!” mendesis mulut laki-laki ini. “Untuk sementara dia takkan pergi jauh dari tempat ini. Sementara aku segera menemui si Iblis Gila Pembangkit Arwah untuk meminta petunjuknya. Kakek tolol itu akan tetap menjadi penghuni kamar penjaranya sendiri, sampai aku memutuskan untuk membunuhnya, atau dia mati keracunan!” Selesai menggumam, tubuh Arya Pandan berkelebat masuk kedalam hutan dan lenyap terhalang rimbunnya pepohonan.
Siapakah sebenarnya ARYA PANDAN? Bagaimana sampai dia dapat menguasai si Iblis Gila Pembangkit Arwah? Marilah kita dengar peristiwa pada beberapa bulan yang silam...
Asalnya peristiwa adalah ketika Ki Pamutih bertarung menghadapi puluhan orang-orang Kerajaan yang akan menangkapnya. Secara kebetulan Arya Pandan berada tak jauh dari tempat pertarungan itu. Laki-laki yang bergelar si Pendekar Patah Hati itu bermata jeli, dan diam-diam punya rencana panjang untuk perjalanan hidupnya. Dia melibatkan diri dalam pertarungan, dan membantu Ki Pamutih yang bergelar menyeramkan itu.
Rasa simpati Ki Pamutih akhirnya tertanam pada Arya Pandan, hingga dia berkenan membawa pemuda itu ketempat persembunyiannya, yaitu dihutan WERID. Kehebatan Ki Pamutih walaupun bermata buta sangat mengagumkan, karena dengan kepekaannya dapat mengetahui jalan-jalan rahasia dihutan yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun itu. Bahkan dia mempunyai belasan anak buah yang dipasang dan diperintahkan menjaga disekitar hutan yang menjadi tempat tinggalnya itu.
Rencana Arya Pandan menjadi kenyataan. Orang tua itu kena di bujuk dengan tipu dayanya, hingga dia diangkat menjadi murid. Arya Pandan diperkenalkan pada seorang gadis yang menjadi anak angkatnya, bernama SRI PANDU. Sripandu adalah seorang gadis yang berparas cantik yang amat disayangi oleh Ki Pamutih. Ternyata selama beberapa bulan menjadi murid kakek itu. Arya Pandan berhasil merayu Sripandu, hingga gadis itu menyerahkan dirinya bulat-bulat dalam pelukannya.
Selama enam bulan menjadi murid laki-laki tua itu, tak sedikit Arya Pandan mewarisi ilmu-ilmu aneh si Iblis Gila Pembangkit Arwah alias Ki Pamutih itu. Namun benih yang tertanam dirahim Sripandu lambat laun semakin membesar juga. Sripandu telah hamil tiga bulan.
Hal itu akhirnya terdengar oleh Ki Pamutih. Semula kakek itu marah besar pada Arya Pandan. Tapi mengetahui Sripandu amat mencintainya, kemarahannya menjadi buyar. Bahkan Ki Pamutih berniat menjadikan Arya Pandan pembantunya dalam mewujudkan cita-citanya menumbangkan Kerajaan Telaga Mandiri.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arya Pandan untuk mempelajari ilmu-ilmu hitam Ki Pamutih. Semua ilmu telah diturunkan pada Arya Pandan dalam waktu singkat. Cuma ilmu pembangkit arwah saja yang belum diwariskan. Bukan saja jalan-jalan rahasia dihutan Werid itu saja, akan tetapi juga kamar penjara bawah tanah yang dibangun Ki Pamutih telah diketahuinya.
Dengan kelicikannya Arya Pandan berhasil menjebloskan Ki Pamutih dalam kamar penjaranya sendiri. Semua itu karena Ki Pamutih tak mau menurunkan ilmu pembangkit Arwah. Ancaman akan membunuh Sripandu yang tengah mengandung membuat Ki Pamutih menurunkan ilmunya.
Arya Pandan adalah seorang ahli racun. Dengan racun yang dibubuhkan pada minuman dia berhasil melumpuhkan Ki Pamutih. Demikianlah. Ki Pamutih kini dalam kekuasaan Arya Pandan. Kekuasaan dihutan Werid mutlak ditangan Arya Pandan. Karena ketujuh anak buah Ki Pamutih itupun telah tunduk pada perintahnya.
Tubuh Arya Pandan berkelebat masuk kedalam hutan. Bagi orang biasa pasti akan terkurung dihutan itu tanpa bisa keluar karena setiap jalan dan pepohonan bentuk dan susunannya sama. Setiap tempat dan jalan rahasia dikuasai oleh kekuatan ghaib dan ilmu sesat yang merubah pandangan mata seseorang yang tersesat didalamnya.
Sukarlah diduga kalau dalam hutan Werid terdapat sebuah istana kecil yang indah. Anehnya di sekeliling istana itu adalah sebuah pemakaman. Inilah tempat tinggal Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah. Istana ini takkan nampak oleh mata biasa. Karena diselimuti oleh keghaiban. Akan tetapi bagi Arya Pandan yang sudah hapal merapal mantera, akan mudah menemukannya.
Ternyata Arya Pandan menuju ke istana ini. Cuma dalam waktu sepeminuman teh dia tiba ditempat yang ditujunya, yaitu sebuah kuburan besar. Didepan kuburan ini terdapat gapura serta sebuah patung singa.
“Haha..haha... Ki Pamutih! apakah kau masih hidup?” Kepalanya dijulurkan kemulut patung singa meneriakkan suara memanggil Ki Pamutih. Dibawah patung singa itulah penjara bawah tanah yang menjadi tempat penjara Ki Pamutih. Sejenak Arya Pandan menunggu jawaban dengan menempelkan daun telinganya ke mulut patung.
Akan tetapi dia tak mendengar suara sahutan Ki Pamutih. Arya Pandan kerutkan keningnya. “Hm, apakah dia memang benar-benar sudah mampus?” mendesis laki-laki ini. Tiba-tiba lengannya bergerak memutar kepala patung Singa. Terdengar suara berderak. Lantai dibawah patung itu bergeser membuka. Tampaklah sebuah lubang dan tangga undakan yang menuju kelorong bawah tanah.
Tak berayal lagi Arya Pandan segera memasuki lorong. Didalam lorong remang-remang itu terdapat sebuah ruangan kamar. Itulah penjara dibawah kuburan besar, tempat memenjarakan Ki Pamutih. Dengan mengungkit sebuah alat seperti tongkat yang menempel didinding, tampak menganga.
Cahaya lampu remang-remang tampak dari dalam ruangan tertutup itu. Lubang itu tak terlalu besar, tak lebih dari sebesar kepalan tangan. Melalui lubang itu Arya Pandan mengintip ke dalam. Terlihatlah sesosok tubuh dalam keadaan terbelenggu tangan dan kakinya oleh rantai yang menempel di dinding.
Tubuh itu menyender di dinding ruangan tak bergerak-gerak. Keadaannya sudah mirip dengan tengkorak hidup. Tulang-tulang dadanya bertonjolan. Jelaslah kalau kakek ini amat tersiksa dalam penjara bawah tanah ini.
Rasa penasaran untuk melihat keadaan Ki Pamutih membuat Arya Pandan membuka pintu besi penjara itu. Sesaat dia telah melangkah masuk. Ketika memeriksa ternyata Ki Pamutih memang telah tewas. Racun maut yang dicekokkan pada kakek ini cuma mengulur umurnya tak lebih dari tujuh bulan.
Hal itu diluar dugaannya. Akan tetapi dia benar-benar yakin setelah memeriksa kedua kali untuk membuktikan bahwa Ki Pamutih benar-benar telah mati. Dengan masygul Arya Pandan melangkah keluar. Sebenarnya dia tak mengharapkan kematiannya begitu cepat, karena dia masih memerlukannya untuk menggapai cita-citanya. Tiba-tiba dia merandek. Langkahnya terhenti, karena mendadak dia begitu khawatir kalau Ki Pamutih telah menipunya.
Akan tetapi sudah terlambat. Mata mayat Ki Pamutih tiba-tiba membuka. Lengannya bergerak, menggetar. Tiba-tiba mulut Ki Pamutih keluarkan suara mendesis. Lengannya menghantam punggung Arya Pandan disertai bentakan keras. “Mampuslah kau bocah durhaka!”
Angin panas menderu dibelakang punggung Arya Pandan. Laki-laki ini terkesiap bukan main. Kecurigaannya datang bersamaan dengan serangan mendadak yang diluar dugaan. Tentu saja membuat Arya Pandan kaget setengah mati.
Namun dia masih berusaha menolong jiwanya. Begitu merasai angin keras menderu dibelakang punggung, tahulah dia kalau dia diserang. Detik itu juga dia gulingkan tubuhnya ke lantai dengan gerakan secepat kilat. Terdengar suara mengguruh. Tembok penjara itu ambrol terkena pukulan tenaga dalam Ki Pamutih. Suara gemuruh itu diselingi oleh teriakan Arya Pandan.
Tubuhnya terlempar membentur tembok. Bahu kanan laki-laki ini sempat terserempet pukulan si Iblis Gila Pembangkit Arwah. Sakitnya bukan alang-kepalang. Saat itu Arya Pandan terhuyung-huyung. Kepalanya serasa diberati beban ribuan kati. Bahu sebelah kanannya menghitam hangus. Sakitnya seperti orang dikuliti.
Namun dia sadar kalau dirinya dalam bahaya besar. Dalam kepulan debu tampak bayangan sesosok tubuh pemuda ini berkelebat keluar ruangan melalui reruntuhan. Dengan menggelindingkan tubuh beberapa kali dia berhasil keluar dari reruntuhan ruangan kamar tahanan bawah tanah itu. Ketika muncul dari dalam lubang rahasia, tubuhnya dalam keadaan terhuyung.
Arya Pandan kertak gigi menahan sakit. Detik itu juga dia gerakkan tangannya merogoh saku baju. Sebuah benda dilemparkan kedalam lubang rahasia itu dimana Ki Pamutih masih berada didalamnya.
Bhlarrr! Terdengarlah suara ledakan hebat. Kuburan besar itu amblas menimbun ruang penjara bawah tanah itu. Sedangkan Arya Pandan telah berkelebat melompat jauh menghindari ledakan.
Laki-laki itu terhuyung memegangi bahu kanannya dengan wajah menyeringai puas. Matanya menatap pada kuburan tua yang telah amblas menimbun tubuh Ki Pamutih. “Keparat! Nyaris aku yang mampus! Kakek buta itu sungguh luar biasa ilmunya, hingga dapat membuat seolah-olah dia sudah tewas. Hahaha... kini kau benar-benar jadi penghuni tanah, Iblis Gila!”
Dengan hati mendongkol dan tubuh terhuyung-huyung dia memasuki istana. Akan tetapi rasa nyeri pada punggung dan dadanya membuat dia cepat-cepat duduk bersila untuk menyalurkan hawa murni dari tenaga dalamnya mengurangi rasa sakit. Lengannya menjumput dua butir obat pulung, lalu cepat-cepat ditelannya.
Tampak dari bibir laki-laki ini menetes darah kental kehitaman, pertanda dia terluka dalam cukup parah. Saat itu tujuh sosok tubuh berpakaian hitam mengenakan topeng warna hijau bermunculan. Itulah tujuh anak buah Ki Pamutih yang telah tunduk padanya.
“Heh! kemana saja kalian!?” bentak Arya Pandan.
“Kami baru saja menawan seorang gadis! Mendengar suara ledakan kami cepat-cepat kemari khawatir terjadi apa-apa di istana....” menyahut salah seorang.
“Hm, apakah kalian telah melihat kedatanganku?” tanya Arya Pandan.
“Ya! kami melihat!” ketujuh orang itu sama mengangguk.
“Mana tawanan kalian? Apakah sudah kalian masukkan dalam kamar tawanan?”
“Sudah, Ketua...!” sahut salah seorang, dan yang lainnya mengangguk.
“Bagus! Kembalilah jalankan tugasmu, aku dalam keadaan terluka! Iblis tua Ki Pamutih Ketua lama kalian sudah mampus terkubur dalam kamar penjaranya! Aku sudah tak membutuhkan dia lagi! Nah kalian pergilah jalankan tugas!” Lengan Arya Pandan mengibas.
Akan tetapi ketujuh orang itu tak beranjak pergi dari situ. Mereka sama terdiam saling pandang sesama kawannya. Arya Pandan kerutkan keningnya.
“He? Mengapa kalian tak cepat angkat kaki? Apakah sudah tak menurut perintahku lagi?” bentaknya keras.
Ketujuh orang itu sama menjura. Dan salah seorang berkata. “Kami sudah sepakat untuk mengundurkan diri! Kami kira hari inilah yang paling tepat waktunya. Kami takkan mencampuri urusan Ketua lagi!”
Tentu saja kata-kata itu membuat Arya Pandan tertegun. “Hm, aneh? Ada apa ini? Bukankah aku telah menjanjikan pangkat dan kemewahan bila kelak di kemudian hari aku berhasil merebut tahta kerajaan Telaga Mandiri? Mengapa kalian kini tiba-tiba mau mengundurkan diri?” Bertanya Arya Pandan dengan menatap ketujuh orang dihadapannya.
“Kami... kami... kami berubah niat, dan tak mengharapkan apa-apa lagi!” salah seorang menyahut dengan suara tergagap. Jelas wajah dibalik topeng hijau itu memucat.
“Jadi kalian tetap akan mengundurkan diri?” tanya Arya Pandan.
“Benar!” sahut mereka serempak.
Sejurus Arya Pandan terdiam. Tapi segera buka suara. “Baik! aku mengizinkan kalian. Mulai hari ini kalian bukan anggota ku lagi. Silahkan angkat kaki keluar dari wilayah hutan Werid!” Berkata Arya Pandan dengan suara dingin.
“Terima kasih, Ketua....!" serempak mereka sama menjura membungkukkan tubuh. Arya Pandan cuma mengangguk dengan wajah sinis. Ketujuh laki-laki bertopeng itu balikkan tubuh, dan melangkah keluar istana. Tak lama ketujuh laki-laki bertopeng itu telah berkelebatan berlari menuju jalan rahasia yang menuju keluar dari hutan Werid.
Arya Pandan keluarkan tertawa suara dingin. Tiba-tiba dia membaca mantera. Sepasang telapak tangannya bergerak menyatu. Uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya. Mendadak dia melompat keluar istana. Kedua lengannya terjujur diputarkan ke arah pemakaman disekitar istana itu. Bibirnya komat-kamit mengucapkan mantera.
“Arwah-arwah gentayangan, cegat ketujuh orang pembantuku itu! Jangan biarkan mereka keluar dari hutan Werid ini. Kecuali kematian yang akan menjemputnya!”
Selesai berkata Arya Pandan masuk kedalam istana. Sementara keadaan disekeliling istana terjadi keanehan. Bayangan-bayangan putih bermunculan dari makam itu. Itulah bentuk-bentuk sosok tubuh yang menyeramkan! Arwah-arwah gentayangan itu telah dikendalikan oleh Arya Pandan. Ya! dia memang telah berhasil menguasai ilmu Pembangkit Arwah.
Dengan suara menggerang dihidung makhluk-makhluk alam halus itu meluruk saling susul mengejar ke arah jalan yang dilalui ketujuh laki-laki bertopeng tadi. Cuaca mulai meremang. Sebentar lagi malam akan tiba. Suara-suara aneh membangunkan bulu roma terdengar dari sekitar hutan Werid.
Suasana menyeramkan mengembara disenja temaram yang penuh tragedi itu. Sementara bau busuk menebar membuat perut se-rasa mual. Dari balik ruangan istana yang mulai nampak remang itu terdengar suara tertawa Arya Pandan. Lapat-lapat terdengar rintih dan keluhan seorang wanita terbawa desahan angin malam....
Rangga Weni menggeliat.... Mulutnya keluar desisan dan rintih tertahan. Sepasang matanya terpejam. Sekujur tubuhnya bermandikan peluh. Sesaat dia meronta-ronta seperti sekarat. Tapi tak lama dia terdiam lunglai. Sekujur tulang-tulang tubuhnya serasa dilolosi. Tenaganya seperti lenyap musnah. Dan dia mengge-letak tak berdaya. Bau mayat tak sedap itu masih mengitari hidungnya.
Pelahan dan pelahan dia menggerakkan kelopak matanya. Pikirannya mulai jernih. Dia merasa terbaring disatu pembaringan berkasur empuk. Ada bau harum kembang tercium dihidungnya. Agak melegakan pernapasannya dari bau busuk yang mengganggu hidung. Akan tetapi dia belum berani membuka kelopak, matanya. Yang terbayang dalam kilasan di benaknya adalah peristiwa yang dialami.
Ketika dia memasuki wilayah hutan Werid, dia terpaku. Karena setiap dia melangkah pepohonan selalu mengikutinya. Jantungnya berdegup keras saat itu. Hawa seram mengembara dihatinya. Dia mulai ragu. Matanya nanar melihat hal yang tidak wajar. Dia mulai merasa takut. Bulu tengkuknya meremang.
Apakah dia akan membatalkan niatnya? Tulang-tulang persendian sekujur tubuhnya serasa lemah seperti di lolosi. Dia tak mampu bangkit berdiri. Lenyaplah kegagahannya untuk menyatroni Sripandu, murid si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Pada saat itu sekilas dia melihat munculnya beberapa sosok bayangan. Namun dia telah kehilangan kekuatan untuk menjaga dirinya dari segala kemungkinan. Tahu-tahu dia merasa tengkuknya ditotok orang. Dia roboh dengan keluarkan keluhan tertahan. Selanjutnya matanya nanar. Dia tak tahu apa-apa lagi. Dia cuma merasa tubuhnya seperti terbang.
Itulah hal yang diingatnya. Tapi mengapa dia kini dalam keadaan terbaring dipembaringan empuk? Apakah yang telah terjadi dengan dirinya? Dia seperti baru saja mengalami suatu mimpi buruk. Mimpi yang amat menakutkan sekali. Kelopak mata Rangga Weni semakin cepat bergerak, dia sudah tahan untuk membukanya.
Tersentak kaget ketika dia mendengar suara laki-laki didekatnya. Ketika Rangga Weni membuka kelopak matanya, seketika dia jadi terperangah kaget. Dilihatnya sesosok tubuh tegap berkeringat berdiri memandangnya. Bibirnya tersenyum menyeringai. Sepasang mata laki-laki itu memandang tajam seperti mau menguliti tubuhnya.
Untuk kedua kalinya dia tersentak kaget. Kali ini tiada alang-kepalang karena dia melihat keadaan tubuhnya yang tak tertutup sehelai benangpun. Rangga Weni menjerit terkejut. Lengannya menyambar kain selimut. Sekejap dia telah melompat kesudut pembaringan.
“Hahaha.... jangan terkejut, adik manis! Inilah ruangan kamarku. Indah bukan? Tak perlu khawatir, kau tak akan hamil! Seandainya hamilpun kau bisa menggugurkan kandunganmu!” berkata Arya Pandan tertawa.
“Hah? keparat! Kau... kau telah...???”
“Hahaha.... sudahlah! Tubuhmu toh tidak habis. Kau sungguh cantik dan menggairahkan, nona Rangga Weni! Aku benar-benar puas haha...ha...”
Kalau saja ada halilintar menggelegar dimalam itu dia tak akan begitu terkejut. Akan tetapi menghadapi kenyataan itu, Rangga Weni seperti mendengar ribuan halilintar menggelegar ditelinganya. Kepalanya terasa menjadi berat ribuan kati. Tiba-tiba dia menjerit sekeras-kerasnya. Lalu tubuhnya terkulai roboh tak sadarkan diri.
Rangga Weni tak tahu apa-apa lagi. Bahkan untuk kedua kalinya ketika Arya Panda menyeringai buas menikmati tubuhnya dia tak lagi mengetahui. Malam semakin kelam. Suara-suara menyeramkan seperti melagukan irama setan terdengar di sekeliling istana dalam hutan Werid yang angker itu.
Raja siang telah menampakkan diri diufuk timur. Kira-kira sepenanak nasi, dari arah utara muncul bayangan hitam melintas di atas bukit. Ternyata itu adalah bayangan seekor burung rajawali raksasa. Burung besar itu melayang tinggi dan merendah. Segera tampaklah seorang pemuda duduk menunggang dipunggungnya.
Itulah burung Rajawali yang bernama Jabur. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Nanjar mengawasi ke arah depan dimana terbentang hutan rimba belantara.
“Itulah hutan Werid! Hayo cepat kita kesana, Jabur!” berkata Nanjar seraya menepuk-nepuk leher burung peliharaannya.
Si Jabur mengerti. Dia terbang cepat ke arah yang ditunjuk Nanjar. Sebentar kemudian dia telah memutari hutan Werid.
“Jabur! terbanglah agak merendah!” perintah Nanjar. Burung raksasa itu menurut. Lima tombak dari atas tanah, Nanjar tiba-tiba melompat turun.
Tubuhnya meletik indah. Lengannya terpentang. Hebat! Kini si Dewa Linglunglah yang melakukan sikap “terbang”. Dengan gerakan ringan dia turun dengan jejakkan kakinya ditanah berumput tebal.
Sementara itu si Jabur masih tetap berputar-putar. Nanjar keluarkan suara suitan nyaring dari mulutnya dua kali. Si Jabur seperti mengerti. Dia terbang menjauh. Melayang ke atas sebuah bukit kecil. Dipuncak bukit itu dia mendarat. Sementara itu Nanjar mulai pentangkan mata lebar-lebar untuk memeriksa isi hutan itu.
“Aku harus menyelidiki seluruh rahasia hutan Werid! Kukira Rangga Weni pasti kemari. Bukankah dia mau membalaskan sakit hati pada orang yang membunuh Soma?” berkata Nanjar dalam hati.
Sesaat kemudian Nanjar telah melompat dari tem-pat itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan ba-thin yang dimilikinya dia berusaha mencari jejak Rangga Weni dan mencari tahu dimana letak sarang utama Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Terkejut Nanjar ketika dia menjumpai tujuh sosok tubuh berkaparan tak bernyawa. Ketujuh orang itu tewas dengan leher terkoyak seperti terkena cengkraman binatang buas.
“Ini pasti bukan perbuatan binatang buas. Akan tetapi akibat perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!” sentak Nanjar dengan terkejut.
Nanjar menyingkapkan kedok kain hijau pada setiap mayat. Tampak masing-masing wajah dalam keadaan membiru. Dari lubang hidung, telinga dan mata serta mulutnya tampak mengalirkan darah hitam yang sudah kental.
Diam-diam Nanjar telah menghunus senjatanya Pedang Mustika Naga Merah. Cahaya merah segera tampak berkilauan disertai hawa dingin mencekam yang keluar dari badan pedang mustika itu.
Aneh! Nanjar hampir tak percaya. Begitu dia mencabut pedang mustikanya, keadaan dalam hutan itu berangsur-angsur berubah. Pohon-pohon yang rapat membentuk barisan yang sama di sekeliling tempat itu lenyap. Tampaklah samar-samar sebuah istana kecil dikejauhan. Disekelilingnya penuh dengan kuburan. Disana-sini banyak jalan-jalan kecil yang menuju keperbagai arah.
“Aneh!? Mengapa terjadi perubahan seperti ini?” pikir Nanjar dalam benak. Dia pernah tersesat di dalam hutan itu. Bahkan sampai setengah hari memutari isi hutan, tapi tak menjumpai adanya sebuah istana di dalam hutan ini. Kini begitu dia mencabut pedang mustika Naga Merah, semua yang dihadapannya men-galami perubahan.
Tahulah dia kalau Pedang Mustika Naga Merah telah melunturkan ilmu hitam yang menyesatkan untuk mengelabuhi mata orang di dalam hutan Werid. Melihat istana kecil yang berada di tengah pekuburan itu, hati Nanjar tercekat untuk menyelidiki. Dia yakin kalau itulah tempat tinggal Ki Pamutih.
Tak ayal dia sudah melompat ke arah istana itu. Bagi si Dewa Linglung yang sudah kepalang nekat untuk menyelidiki sampai tuntas tempat yang menjadi tempat Iblis Gila Pembangkit Arwah, sudah tak mempedulikan rasa takut lagi. Apa lagi pedang mustikanya telah tergenggam di tangan. Bahkan telah dilihatnya dengan mata-kepala sendiri akan kehebatan pedang mustika itu.
Dengan berindap-indap dia memeriksa setiap ruangan. Kembali dia terperangah melihat tiga sosok mayat terbujur dihadapannya. Kali ini mata Nanjar membeliak seperti mau keluar dari kelompaknya. Apa yang dilihatnya adalah tiga mayat wanita, dalam keadaan tergantung ditiang penglari. Salah satu dari tiga mayat itu adalah Rangga Weni.
“Adik Rangga Weni!?” teriak Nanjar dengan suara menggeletar. Lidah Nanjar serasa kelu. Matanya mendelong me-natap sosok mayat itu. Jelas mayat wanita itu adalah mayat Rangga Weni. Dengan menjerit keras Nanjar enjot tubuhnya untuk melompat.
Des! Pedang Mustika Naga Merah telah menyambar putus tali pengikat leher mayat wanita itu. Sekejap tubuh wanita itu telah dalam pondongannya. “Rangga Weni! Rangga Weni! Siapa iblisnya yang telah menganiaya dirimu? katakanlah! akan kucincang dia sampai lumat!” berteriak-teriak Nanjar dengan wajah merah padam. Hampir-hampir dia menangis sesenggukan. Namun setitik air bening meluncur turun dari sudut mata pemuda ini.
“Pembunuh terkutuk! Sungguh sadis perbuatannya!” menggumam Nanjar sambil menggigit bibir. Tiba-tiba dia menengadah ke atas. Dua mayat wanita yang tergantung itu salah satunya dalam keadaan perutnya menggembung. Dapat dipastikan wanita itu dalam keadaan hamil.
Nanjar kertak gigi, tak dapat menahan perasaan ha-tinya melihat kekejaman yang tiada berperikemanu-siaan itu. Tubuhnya melesat. Dan...des! des! Dia telah membabat putus tali pengikat leher mayat. Dengan gerakan cepat dia telah menangkap kedua mayat itu. Untuk selanjutnya dia kembali melompat turun. Pelahan-lahan dia membaringkan kedua mayat wanita itu.
“Kejam! sungguh kejam biadab!” memaki Nanjar dengan wajah merah padam. Tiba-tiba Nanjar berteriak keras-keras. “Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia iblis telengas! keluarlah kau! Aku akan lumatkan tubuhmu!”
Akan tetapi beberapa kali Nanjar berteriak-teriak, tetap tak ada siapa-siapa yang muncul diri.
“Iblis edan Ki Pamutih! perbuatan terkutukmu akan mendapat balasan setimpal! Keluarlah untuk meneri-ma kematian!” kembali Nanjar berteriak. Akan tetapi cuma suaranya sendiri yang terdengar berpantulan.
“Heh! Apakah manusia iblis itu telah meninggalkan tempat ini?” pikir Nanjar dalam hati. Sejenak dia menatap pada mayat Rangga Weni. Dileher jenazah itu tertancap sebuah jarum hijau. Pada keliling luka dilehernya terdapat tanda kehitaman.
Serta-merta dia mencabut jarum maut yang telah merenggut jiwa gadis ini. Diperhatikan baik-baik senjata rahasia itu. Jarum itu berbentuk segi tiga memanjang. Ujungnya agak gepeng membentuk seperti kipas.
“He? Aku pernah melihat senjata rahasia macam ini!” sentak Nanjar terkejut. Segera dia teringat akan satu peristiwa di Kota Raja. Ketika dia pada beberapa bulan yang lalu memasuki sebuah restoran yang cukup ternama. Di saat dia tengah bersantap dan memesan makanan, seorang laki-laki gemuk duduk dibangku sebelahnya pada meja disudut kiri restoran.
Laki-laki itu mengenakan topi tudung. Tampaknya agak mencurigakan, karena dia bersantap dengan terburu-buru. Tapi Nanjar tak pedulikan urusan orang lain. Mendadak muncul tiga orang perwira Kerajaan. Mereka adalah para perwira Kerajaan Telaga Mandiri. Secara kebetulan entah memang sengaja. Ketiga perwira Kerajaan itu mendapat tempat didepan meja laki-laki gemuk bertudung itu.
Nanjar memperhatikan salah seorang dari ketiga perwira kerajaan itu sering melirik pada si laki-laki gemuk bertudung. Tak lama si laki-laki gemuk bertudung selesai bersantap. Seperti tergesa-gesa dia membayar harga makanan. Lalu cepat berlalu dari restoran.
Dari sekilas pandangan saja, Nanjar telah mengetahui kalau salah seorang laki-laki dari tiga perwira Kerajaan itu memang tengah mengincar korban. Yaitu si laki-laki gemuk bertudung itu. Karena mendadak, begitu si laki-laki gemuk itu keluar, perwira kerajaan itu mengatakan perutnya mulas. Dia minta diri untuk kebelakang.
Nanjar yang ingin tahu cepat membayar harga makanan. Lalu keluar dari restoran. Dengan gerakan cepat dia menyelinap untuk mencari jejak si laki-laki gemuk tadi. Tampak oleh Nanjar laki-laki gemuk itu berjalan cepat menuju arah selatan. Matanya yang jeli segera dapat menangkap bayangan sosok tubuh perwira tadi yang permisi mau kebelakang. Benar dugaan Nanjar, perwira itu membuntuti si laki-laki gemuk.
Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu ditempat yang sunyi yang dilewati laki-laki gemuk itu terdengar jeritan parau tertahan. Nanjar memburu. Ketika dia tiba ditempat itu si laki-laki gemuk telah tewas. Dilehernya tertancap jarum hijau yang merenggut nyawanya.
Baru saja Nanjar mau membentak untuk mengejar bayangan tubuh perwira kerajaan itu, mendadak sebuah sinar rahasia kembali meluncur kearahnya. Untung dia berlaku gesit. Dengan pura-pura terkena senjata rahasia, dia mengeluh lalu pura-pura roboh. Senjata itu terselip disela kedua jarinya.
“Heh! mampus! siapapun tak berhak mencampuri urusan orang-orang Kerajaan!” terdengar suara perwira kerajaan itu memaki. Nanjar menahan napas. Untung perwira itu tak memeriksa dirinya mati atau hidup. Dia terus berkelebat cepat kembali ke restoran.
“Hm, belum saatnya aku membekuknya. Aku tak tahu persoalan. Apa kesalahan orang gemuk ini?” berkata Nanjar dalam hati. Dengan cepat dia menyelinap pergi setelah menyimpan jarum maut itu dilipatan bajunya.
Demikianlah kisah yang dingatnya. Dia telah menyelidiki siapa adanya perwira Kerajaan itu. Ternyata dia bernama ARYA PANDAN. Perwira kerajaan itu ternyata masih ada pertalian saudara dengan Raja. Yaitu keponakan Raja Kerajaan Telaga Mandiri.
Siapa adanya laki-laki gemuk itu? Dia adalah bekas seorang pelayan yang dipecat dari keluarga Arya Pandan. Pelayan itu banyak tahu rahasia keluarga Arya Pandan yang membenci Raja. Bahkan berambisi merebut tahta Kerajaan. Kemunculan pelayanan itu direstoran ternyata telah dikuntit oleh Arya Pandan yang menyamar menjadi perwira biasa.
Padahal dia adalah seorang kepala Perwira Kerajaan. Demikianlah kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya Pandan untuk menghabisi nyawa pelayan gemuk itu demi membungkam mulut.
Pada saat Nanjar tengah tercenung itu tiba-tiba terdengar suara tertawa dibelakangnya. Dengan gerakan kilat dia balikkan tubuh. Pedangnya siap dipergunakan. Akan tetapi dia terperangah, karena sosok tubuh dihadapannya adalah seorang nenek tua keriput berambut putih.
“Nini Galunggung!” sentaknya diantara girang dan terkejut.
“Hihihi... nasib kalian memang buruk, karena musibah telah menimpa kalian. Gadismu itu mati muda, karena ketelengasan manusia biadab yang mabuk kekuasaan juga berwatak jahat. Akan tetapi kau salah terka kalau orang yang membunuhnya adalah si Iblis Gila Pembangkit Arwah Ki Pamutih. Karena dia sendiri sudah menjadi makanan cacing tanah dibunuh manusia telengas itu!”
“Siapakah maksudmu, Nini?” sentak Nanjar terkejut. Dia menatap pada wajah keriput yang telah menolongnya keluar dari hutan Werid beberapa hari yang lalu.
“Dialah orang yang bernama Arya Pandan! Anak angkat Patih Arya Bandura yang berambisi merebut kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri. Keadaan dalam kerajaan memang semrawut. Sebaiknya kita kaum pendekar memang tak mencampuri urusan itu, karena kita hanya rakyat biasa. Akan tetapi kejahatan manusia yang melampaui batas tidaklah bisa kita biarkan begitu saja!” ujar nenek ini dengan suara tandas namun berwibawa.
“Benar, Nini...! Aku sependapat denganmu!” Nanjar membenarkan. Dalam hati diam-diam Nanjar berkata. Jarum hijau ini memang milik Arya Pandan! Dugaanku tidak meleset, tapi sungguh diluar dugaan kalau manusia itu mampu membunuh Ki Pamutih si Iblis Gila Pembangkit Arwah!?
“Apakah Nini sudah memeriksa bahwa Arya Pandan sudah angkat kaki dari tempat ini?” bertanya Nanjar.
“Ya! Aku yakin! Tapi hutan Werid ini masih mengandung kekuatan ghaib dari ilmu hitam Arya Pandan!” sahut Nini Galunggung.
“Heh? Jadi dia telah mewarisi ilmu si Iblis Gila itu?” sentak Nanjar terkejut.
“Benar apa yang kau katakan! Sebaiknya kau segera semayamkan ketiga jenazah itu, dan segera tinggalan tempat ini. Aku akan berjaga-jaga selama kau bekerja!” berkata si nenek dengan serius.
“Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nini...!” sahut Nanjar dengan girang. Tapi nada wajahnya masih menampakkan kesedihan karena kematian Rangga Weni. Ditatapnya wajah jelita gadis itu yang memucat. Seolah-olah dara itu tidak mati, karena seperti tidur lelap.
“Adik Rangga Weni...! Maafkan aku. Haih! aku tak dapat menjagamu. Maafkan aku kakek Raja Pengemis...!” berkata Nanjar pelahan dengan hati sedih. Tak berayal Nanjar segera pondong satu persatu ketiga jenazah itu.
Salah seorang dari mayat itu adalah Sripandu. Sedang mayat gadis yang satu lagi Nanjar tak mengenalnya. Selama menggali tanah untuk memakamkan ketiga jenazah itu Nanjar teringat pada Wintari.
“Ah, dimana gerangan adanya gadis itu? Apakah dia telah pula menjadi korban biadab itu?” pikir Nanjar dalam benak. Tak lama selesailah Nanjar melakukan penguburan ketiga jenazah itu.
Di depan makam Rangga Weni Nanjar tertunduk. Lagi-lagi dia berkata perlahan dengan suara berat. “Semoga Tuhan menerima arwahmu disisi-Nya. Maafkan aku adik Rangga Weni. Ternyata Tuhan menghendaki kita tidak berjodoh untuk menjadi pasangan suami istri...”
Selesai berdo’a Nanjar bangkit berdiri. Dilihatnya Nini Galunggung masih berdiri menatapnya. Seakan-akan nenek itupun tampak bersedih dengan nasib tra-gis ketiga gadis itu, terutama Rangga Weni.
“Kemana tujuan anda, Nini Galunggung? Apakah anda punya pendapat manusia telengas itu akan kembali kemari?” tanya Nanjar, seraya melangkah mende-kati.
“Benar! Firasatku mengatakan dia masih akan kembali kemari! Sebaiknya kita menunggu dia sampai tiba saat kemunculannya!”
Baru saja Nini Galunggung selesai berkata telah terdengar suara tertawa terbahak disusul berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan main terkejutnya Nanjar karena sosok tubuh itu memang Arya Pandan. Akan tetapi yang lebih membuat dia terkejut adalah sosok tubuh yang mendampinginya. Dia seorang gadis berbaju putih, yang tak lain dari Tari, si gadis yang telah kehilangan ayahnya. Anehnya gadis itu menggandeng tangan Arya Pandan erat-erat seperti layaknya dua orang kekasih yang tak mau berpisah.
“Hahahaha.... Sungguh aku tak kecewa berhadapan dengan seorang tokoh persilatan yang mempunyai nama kesohor. Dewa Linglung! Tempo hari kau bisa lolos dari tanganku karena pertolongan perempuan tua genit ini! Tapi hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari kematian!”
“Tutup mulut kotormu, manusia telengas!” membentak Nanjar. Dia sudah melompat mendekati Arya Pandan. Pedang Naga Merah dilintangkan di atas dada.
“Hihihi.... serahkan orang ini padaku, suamiku! Biar aku yang mengirim nyawanya keliang Akhirat!” Tiba-tiba Tari berkata dingin. Matanya menatap tajam pada Nanjar.
“Tari!? bagaimana mungkin manusia iblis itu adalah suamimu?” berkata Nanjar dengan heran. Nanjar melihat ketidak wajaran pada diri gadis itu. Sementara itu Arya Pandan tertawa gelak-gelak, matanya menatap pada Nini Galunggung.
“Hahaha...bagus! Biar aku yang menghadapi nenek peot ini!” berkata Arya Pandan.
“Hahaha... lebih baik kau buka kedok keriputmu, nenek peot! Aku malas bertarung dengan orang yang menyamar seperti itu. Kau pasti punya wajah cantik! Ataukah kalau perlu aku yang akan menguliti kulit mukamu?”
“Manusia kurang ajar!” membentak Nini Galunggung.
Sebelah tangan Nini Galunggung terangkat. Menyambarlah kilatan cahaya perak menghantam ke arah dada Arya Pandan. Akan tetapi Arya Pandan telah siap menghadapi. Dia gerakkan sepasang lengannya melingkar. Uap hitam memapaki serangan itu. Terdengar suara bagai obor amblas kedalam air. Hebat kekuatan ilmu Menghalau Petir dari Arya Pandan, membuat Nini Galunggung berseru kagum.
Tapi dia telah melompat untuk menerjang, jurus-jurus pukulannya yang lebih bahaya. Arya Pandan mengimbangi terjangan lawannya dengan gerakan silat yang aneh. Karena terkadang tubuhnya lenyap, terkadang muncul dengan tubuh yang terpecah menjadi belasan tubuh. Ilmu hitam Arya Pandan membuat Nini Galunggung cukup sulit menyarangkan pukulannya.
Bahkan serangan-serangan balik dari Arya Pandan lebih dahsyat dan berbahaya. Berkali-kali Nini Galunggung menyarangkan pukulannya, akan tetapi lawan selalu menggunakan ilmu hitam untuk menghindar. Mulut Arya Pandan tampak selalu berkemak-kemik membaca mantera-mantera.
Sementara itu Nanjar terpaksa menghadapi terjangan Wintari dengan mengelakkan diri. Dengan mempergunakan ilmu Kera dan Ular dengan mudah Nanjar menghindar. Melihat demikian, Wintari gusar. Tiba-tiba dia telah mencabut pedangnya. Terkejut Nanjar karena itulah pedang Inti Es milik Rangga Weni.
Nanjar yang telah memasukkan pedang Mustika lagi dalam menghadapi Wintari terpaksa harus hati-hati menghadapi serangan Wintari yang mengandung maut. Selang dua puluh jurus, Nanjar mengatur siasat untuk membuat roboh orang tanpa melukainya. Dengan jurus Biawak Sakti Membongkar Bukit dia mengubah serangan. Sambaran pedang Inti Es telah diimbangi dengan gerakan jurus Ilmu Bangau.
Pertarungan memang telah terpecah menjadi dua tempat yang agak berjauhan. Nanjar memang sengaja membuat tempat pertarungan menjadi terpisah. Dia harus menyelamatkan Wintari dari pengaruh kekuatan ilmu hitam Arya Pandan. Dia yakin gadis itu kena pengaruh manusia iblis itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu Ki Pamutih. Tiba-tiba Wintari menjerit, karena gerakan menotok dari jurus Ilmu Bangau Nanjar berhasil mengenai sasaran.
“Wintari! sadarlah! kau kena pengaruh ilmu hitam Arya Pandan. Kalau kau mau mengetahui siapa orang yang telah membunuh ayahmu, dialah orangnya!” teriak Nanjar. Nanjar sengaja memancing dengan hal yang tak diketahuinya sama sekali. Tujuannya adalah untuk memulihkan pengaruh ilmu hitam yang menguasai syaraf Wintari. Nanjar sendiri heran Mengapa Wintari tampaknya telah berobah menjadi orang yang tak wajar? Bahkan ilmu-ilmu silatnya berbeda dengan yang biasa dimilikinya.
“Keparat!” terdengar bentakan keras. Tahu-tahu sambaran sinar hijau membumbung ke arah Nanjar. Itulah serangan Arya Pandan yang menyerang dengan serangkum senjata rahasianya.
Whuuuk! Trrang!
Kibasan sinar merah membuyarkan rangkuman sinar hijau dari jarum-jarum maut yang mengandung racun itu. Ternyata ditangan Nanjar telah tercekal pedang Mustika Naga Merah. Akan tetapi sambaran tombak pendek Arya Pandan tak dapat ditangkis Nanjar, karena bersamaan dengan itu pedang Wintari menyerang ke arah tenggorokan.
Buk!
Nanjar mengeluh. Tubuhnya jatuh terlempar bergulingan. Dia berhasil mengelakkan serangan Wintari, akan tetapi sambaran tombak Arya Pandan tak dapat di elakkan. Untunglah pada detik itu Nanjar sempat menangkis dengan buntalan kainnya. Dengan pengerahan tenaga dalam, buntalan kain itu menjadi sekeras batu. Akan tetapi tak urung tubuh Nanjar terlempar. Dan tak urung tombak Arya Pandan menembus buntalan kain dan menancap dua inci dikulit dada pemuda itu.
Pada saat itu terdengar bentakan keras Nini Ga-lunggung yang menghantamkan serangannya. “Jangan curang!”
Sinar perak dan pelangi menyambar laksana kilat. Namun lagi-lagi uap hitam telah menghalangi serangan itu. Arya Pandan cuma membaca mantera dengan menggerakkan tangannya, tahu-tahu muncul uap hitam yang membentengi tubuhnya laksana dinding baja yang tak dapat ditembus.
Bukan main terkejutnya Nanjar maupun Nini Galunggung, karena bersamaan dengan lenyapnya uap hitam itu, tubuh Arya Pandan pun lenyap. Saat itu juga Nanjar teringat pada Wintari. Dilihatnya gadis itu tengah terpaku menatap Nanjar. Sepasang matanya tampak redup seperti menyesal telah melakukan serangan yang nyaris membuat jiwa Nanjar melayang.
“Adik Wintari...! Syukurlah kau sadar! Aku akan melindungimu!”
Nanjar melompat mendekat. Akan tetapi bukan kepalang terkejutnya si Dewa Linglung. Karena mengetahui nyawa Wintari sudah melayang. Tampak dileher gadis itu tertancap jarum hijau. Gadis itu telah tewas dalam keadaan berdiri.
“Keparat! sungguh-sungguh biadab!” berteriak Nanjar dengan marah. Dipeluknya tubuh gadis itu lalu dipondongnya. Wajah Nanjar tampak merah padam karena gusarnya tiada terperikan.
“Arya Pandan! iblis keparat! mengapa kau bunuhi gadis-gadis yang tak berdosa? Keluarlah! Ayo bertarung denganku secara kesatria! secara jantan! aku akan melayani kau sampai seribu jurus, sampai titik darahku yang penghabisan!” Nanjar berteriak-teriak seraya melompat kesana-kemari. Sikapnya seperti orang yang kurang waras.
Akan tetapi tak terdengar suara sahutan Arya Pandan. Bahkan yang membuat mereka terkejut adalah, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Angin keras bersiutan. Saat itu juga terdengar suara riuh disekeliling mereka. Tersentak kaget Nanjar maupun Nini Galunggung. Apakah yang dilihatnya?
Makhluk-makhluk menyeramkan dari mayat-mayat hidup telah bermunculan berpuluh-puluh banyaknya mengurung mereka. Yang lebih mengerikan adalah dari mayat-mayat hidup itu ada yang wajahnya sudah rusak dan anggota tubuhnya sudah tidak sempurna.
Melihatnya banyaknya makhluk-makhluk para awah itu tak mau membuat kaki Nanjar menyurut mundur. Demikian juga halnya dengan Nini Galung-gung. Nini Galunggung melompat mendekati Nanjar.
“Setahuku pedangmu pedang Mustika. Mengapa tak kau coba menggunakannya?” berbisik Nini Galunggung.
Otak Nanjar mendadak menjadi terang. Dia seperti diingatkan. Senjata pedang Mustika Naga Merah itu memang mengandung keghaiban. Siapa tahu dapat mengusir makhluk-makhluk setan itu? pikir Nanjar. Segera Nanjar pejamkan mata sejenak untuk menyatukan kekuatan bathinnya dengan mengingat yang Satu, yang Esa yaitu Tuhan Pencipta alam semesta. Dengan mengharap pertolongan Dia jualah segala kemukjizatan bisa terjadi.
Nanjar membuka matanya dengan keyakinan penuh. Tenaga dalamnya disalurkan kegagang pedang. Dengan memuji nama Tuhan dia gerakkan pedang itu melingkar. Tampak lengannya menggeletar. Tiba-tiba cahaya merah memancar dari badan pedang. Dalam gelap gulita itu seakan-akan ada seekor Naga melingkar yang menjulurkan ekornya berwarna merah menyala-nyala tengah berkelebatan.
Memang! Nanjar telah lepaskan jenazah Wintari yang dipondongnya. Tubuhnya berkelebat. Dan dia menerjang puluhan makhluk-makhluk para arwah itu dengan penuh keyakinan. Terdengarlah suara jeritan melengking disana-sini. Setiap kilatan merah menyambar maka akan terdengar jeritan kesakitan. Lalu sosok-sosok makhluk itu lenyap menjadi gumpalan asap hitam.
Kilatan-kilatan cahaya merah berbentuk Naga itu membuat Nini Galunggung berseru kagum. “Hebat! Pedang Mustika Naga Merah sungguh senjata yang luar biasa!”
Baru saja dia memuji, tiba-tiba terdengar suara aneh seperti puluhan batu dan ratusan pasir yang jatuh meluruk. Ketika dia menengadah. Terkejut nenek ini bukan kepalang. Karena atap istana itu runtuh.
“Aiiiiih! celaka!” sentaknya terkejut. Namun secepat kilat dia sudah menyambar jenazah Wintari dan melompat keluar untuk menyelamatkan diri.
Nanjar sendiri terkejut, karena tahu-tahu istana itu runtuh. Tiang-tiang dan temboknya luluh hancur seperti bubuk. Sementara kilatan petir tiba-tiba muncul berkredepan. “Ah?! apa yang telah terjadi?” sentaknya kaget. Sekilas dia melihat Nini Galunggung melompat dengan memondong jenazah Wintari.
Diapun berkelebat menyusul. Sedetik kemudian terdengarlah suara bergemuruh. Istana itu roboh ambruk, hancur luluh seperti disedot ke dalam bumi. Dari kejauhan keduanya memandang dengan mata tak berkedip dan mulut ternganga.
Berangsur-angsur cuaca menjadi terang benderang. Aneh! keadaan tempat itu semua berubah. Tempat itu menjadi sebuah tepat yang gersang. Semak belukar dan pohon-pohon tua cuma ada beberapa gelintir. Sedangkan di tengah tegalan bekas tempat istana itu berdiri ada sebuah arca yang sudah hancur. Bekas-bekas reruntuhan istana itu tak menampak bekasnya sedikitpun.
Di saat mereka tercengang keheranan itu mendadak terdengar suara bentakan keras menggeledek. “Dewa Linglung! Kau telah menghancurkan sesembahanku! Terimalah kematianmu!” Puluhan tombak bagaikan bayangan menderu ke arah Nanjar.
Itulah ilmu Tombak Dewa Murka yang dimiliki Arya Pandan. Pemuda itu muncul dengan kemarahan luar biasa. Bukan saja Nanjar telah memusnahkan ilmu Pembangkit Arwah, tapi juga membuat Arya Pandan jadi putus asa. Jelas akan gagallah seluruh cita-citanya. Musnah harapannya untuk menumbangkan kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri dan menggantikan menjadi Raja.
Kegelapan hati pemuda itu membuat dia menjadi gelap mata. Kemarahannya tak terbendung. Di saat semuanya menjadi berubah seperti wajarnya, dia menerjang keluar dari tempat persembunyiannya untuk menghabisi nyawa Nanjar. Nyaris tubuh Nanjar terpanggang menjadi sate kalau dia tak berlaku gesit. Dengan ilmu kera yang dimilikinya dia melompat-lompat menghindar.
“Keparat!” memaki Arya Pandan. Tangannya bergerak. Menderulah sinar hijau ke arah Nanjar yang baru saja lolos dari serangan maut. Ratusan jarum maut meluruk ke arah si Dewa Linglung.
Dalam keadaan demikian itu Nanjar sungguh tak menduga. Akan tetapi secara reflek dia gunakan pedang mustikanya untuk menangkis. Gerakan memutar pedang itu dibarengi dengan keyakinan. Aneh! Sinar hijau dari ratusan jarum maut itu mendadak punah, dan lenyap bagai terhisap masuk ke badan pedang.
Terperangah kaget Arya Pandan. Namun dia telah lancarkan serangan lanjutan yang telah dipersiapkan. Pukulan uap beracun yang jarang dipergunakan kalau bukan untuk menghadapi lawan yang kuat, hari itu telah dipergunakan. Arya Pandan telah siap lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya pada kedua kepalan. Tampak uap ungu menghambur ke arah Nanjar, ketika dengan membentak keras dia layangkan pukulan mautnya.
Nini Galunggung yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan jadi terkejut. Dia mengetahui pukulan itu amat berbahaya. “Pukulan Racun Ungu!” sentaknya terkejut. Dia sudah mau berteriak untuk memperingatkan si Dewa Linglung. Akan tetapi pada saat itu secercah kilatan merah telah terlebih dulu menyambar.
Terdengarlah suara jeritan melengking panjang. Tubuh Arya Pandan terhuyung-huyung. Matanya membeliak. Lidahnya terjulur. Ternyata dadanya telah tertembus pedang Mustika Naga Merah yang secepat kilat telah dilemparkan Nanjar. Tak lama tubuh Arya Pandan roboh terjungkal. Nyawanya melayang!
Ternganga Nini Galunggung melihat kejadian itu. Namun diam-diam dia bersyukur atas terhindarnya Nanjar dari maut. Akan tetapi bukan main terkejutnya Nini Galunggung ketika mengetahui Nanjar dalam keadaan terhuyung-huyung, dan jatuh terkapar.
Tak ayal dia melompat memburu. Dilihatnya bibir pemuda itu meneteskan darah. Matanya terpejam. Pada dadanya yang bergambar tato Naga itu tampak warna dan sedikit luka bekas tusukan tombak. Wajah pemuda itu pucat pasi.
“Nanjar! Ah, kau... kau terkena pukulan itu?” suara Nini Galunggung mengandung isak. Suara itu tampak terdengar lain seperti biasanya.
“Nanjar! Kau tak boleh mati! Aku tahu akibat pukulan itu! Tapi kau tak boleh mati begitu cepat!” berkata Nini Galunggung dengan penuh kekhawatiran. Dan.... tiba-tiba.... Plas! Dia telah merenggut kulit wajahnya.
“Kau... kau Roro? Hah!? Benarkah?” berkata Nanjar dengan suara tergagap.
“Benar! Benar sayang...! Aku Roro Centil! Maafkan aku, karena sengaja aku melakukan penyamaran. Rambutku sengaja ku semir putih! Hihihi... lucu bukan? Aku tampak seperti benar-benar telah tua!” menyahut Roro.
Akan tetapi sambil tertawa air mata gadis pendekar ini bercucuran. Dia tahu kalau nyawa Nanjar tak akan tertolong lagi. Benar saja! Tampak Nanjar berseru girang, akan tetapi langsung roboh lagi. Pingsan! Apa yang terjadi? Nini Galunggung ternyata bukan seorang nenek-nenek keriput. Akan tetapi dia seorang gadis jelita yang berwajah cantik rupawan.
“Nanjar! Kau lihatlah siapa aku? Aku.... aku RORO! Aku RORO! Kau dengarkah? Aku RORO CENTIL!” teriak Nini Galunggung seraya mengguncang-guncangkan tubuh Nanjar.
Mendengar demikian mata Nanjar mendadak terbuka. Hatinya tersentak. Bagaikan dipagut ular dia bangkit duduk. Sepasang mata pemuda itu membelalak memandang wajah rupawan terpampang didepan matanya.
Pucat seketika wajah Roro Centil. “Celaka! Dia tak boleh mati disini! aku harus meno-longnya walau untuk memperlambat kematian!” sentak Roro dalam hati.
Sekali sambar tubuh Nanjar telah berada dalam pondongannya. Roro menoleh pada mayat Wintari sebelum dia menindakkan kaki. Tangannya bergerak. Sinar perak menyemburat menghantam tanah. Seketika tanah menghambur menguruk tubuh jenazah gadis malang itu.
Tak lama terdengar suara lengkingan panjang Roro Centil. Tubuhnya berkelebat lenyap. Cuma terlihat sekilas bayangan hijau yang melesat keluar dari hutan Werid yang gersang. Tempat itupun kembali senyap mencekam....
Sebuah bayangan hitam tiba-tiba menyambar! Terkejut Roro mengetahui yang menyambarnya adalah seekor burung rajawali raksasa. Dengan gesit dara perkasa Pantai Selatan itu melompat menghindar.
“Jangan serang, Jabur!” teriak Nanjar tiba-tiba.
Tentu saja membuat Roro Centil terheran, karena mendengar orang yang dipondongnya berteriak. Tahu-tahu Nanjar melompat dari punggung Roro, dan jejakkan kaki di atas batu. Mulutnya tertawa menyeringai.
“Jabur! Jangan kurang ajar! Ayo, turun!” tiba-tiba Nanjar berteriak ketika melihat rajawali raksasa itu mau menyambar Roro lagi. Si Jabur menukik melayang ke arah Nanjar lalu hinggap didekat pemuda itu.
Roro Centil ternganga keheranan. “Nanjar? kau... kau pemilik burung raksasa itu? Dan kau tak kenapa-kenapa?” sentak Roro terkejut. Matanya membelalak menatap Nanjar.
“Hahaha... jangan khawatir, Roro! Tubuhku kebal terhadap racun! Burung Rajawali ini memang peliharaanku! Ah, senang sekali berjumpa denganmu, Roro...!” berkata Nanjar seraya melompat mendekati dara perkasa ini.
“Huuu, konyol!” gerutu Roro. Tiba-tiba wajah gadis ini berubah merah, jengah. Tadi dia telah memeluki dan menangisi nasibnya, ternyata pemuda ini hanya pura-pura pingsan saja.
“Roro...! Kuharap kau jangan pergi dulu. Aku... aku... cin... cin.. ta padamu...” suara Nanjar terdengar menggeletar.
“Gila! sinting!” memaki Roro dengan tersenyum. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Nanjar terkejut melihat gadis pendekar itu begitu cepat lenyap dari pandangan matanya. “Rorooo...!” teriak Nanjar.
Akan tetapi Roro benar-benar telah lenyap dari tempat itu. Nanjar berdiri menjublak dengan hati terasa sedih. “Haih! Aku sendiri tak mengetahui kenapa pukulan beracun Arya Pandan tak mempan ditubuhku?” berkata Nanjar dalam hati.
Nanjar tak menyadari kalau hawa racun itu telah tersedot oleh pedang mustikanya yang meluncur ke arah Arya Pandan dan berbalik menewaskan manusia telengas itu. Nanjar cabut pedang Mustika Naga Merah yang menancap ditubuh Arya Pandan.
“Jabur! Mari! aku akan naik ke punggungmu. Kita tinggalkan hutan Werid!” berkata Nanjar seraya melompat ke punggung burung Rajawali yang telah terbang mendekat. Tak lama seekor burung Rajawali raksasa terbang meninggalkan hutan Werid yang gersang. Dewa Linglung terlihat di atas punggungnya tengah memeluk leher binatang itu.
Di atas punggung Rajawali itu Nanjar baru teringat pada sesuatu... “Haih! Pedang Inti Es itu entah berada dimana? Kalau terkubur di istana hutan Werid yang hancur itu alangkah sayangnya....?”
Namun Nanjar hanya bisa bernapas lega karena telah melenyapkan seorang manusia durjana yang telah membawa kematian pada seorang gadis yang sangat dikasihinya, yaitu Ranggaweni.
“Gadis malang.... agaknya kau tak berjodoh denganku....” desis si Dewa Linglung dengan hati trenyuh.