IBLIS HITAM TANGAN DELAPAN
MATAHARI panas terik... sinarnya seperti membakar bumi. Tapi tak menjadi halangan bagi laki-laki bertudung itu untuk terus melangkahkan kakinya. Dia seorang laki-laki berkulit hitam legam. Wajahnya kaku dengan sepasang kumis tebal dan sejumput janggut di bawah dagu. Sepasang matanya berkilat menampakkan keangkeran yang tersembul di bawah tudung.
Di tangannya tampak sebuah tongkat berkepala ular. Bukan saja kulit dan tongkat kepala ular itu saja yang berwarna hitam. Akan tetapi baju yang dipakainya juga berwarna hitam. Sebentar lagi sepasang kakinya akan membawanya singgah ke sebuah desa di kaki bukit itu. Desa ini cukup ramai dan berpenduduk padat, dapat dilihat dari banyaknya rumah-rumah penduduk.
Akan tetapi ketika laki-laki bertudung ini muncul di mulut desa, berpasang-pasang mata telah memandang ke arahnya. Seketika wajah-wajah penduduk yang kebetulan tengah berada di luar jadi berubah pucat.
"Celaka dia datang lagi...!" berbisik seorang laki-laki di antara kerumunan orang di sebuah kedai di tepi jalan. Empat orang kawannya membelalakkan mata menatap ke arah laki-laki bertudung itu.
"Siapa?" bertanya si tukang kedai. Empat laki-laki itu tak menjawab, bahkan salah seorang cepat-cepat membayar harga makanan untuk lima orang. Kemudian dengan berikan tanda isyarat kelima orang itu segera angkat kaki menyelinap melalui pintu belakang kedai.
"Kembalinya...!?" teriak si tukang kedai. Akan tetapi kelima orang itu sudah menghilang.
"Aneh!? mengapa mereka tampak tergesa-gesa seperti ketakutan..." berkata pelahan si tukang kedai. Uang kembalian itu dimasukkan lagi ke dalam laci.
"Hm, tentu ada hubungannya dengan orang yang telah dilihat mereka. Coba kulihat siapakah yang datang itu?" berkata dalam hati si tukang kedai.
Akan tetapi baru saja dia mau keluar dari pintu kedai, mendadak sesosok tubuh sudah berdiri di hadapannya. Serasa terbang nyawa pak kedai ini melihat siapa adanya laki-laki yang muncul di hadapannya itu. Wajah orang tua ini seketika pucat pias bagi tak berdarah. Laki-laki bertudung itu ketukkan tongkatnya ke tanah seraya membentak.
"Hai! orang tua! Aku mau minum di kedaimu. Mengapa kau menghalangi di pintu?"
Bagai disengat kala pak kedai tersentak kaget. Hampir-hampir jantungnya copot saking terkejutnya.
"Oh, si... silahkan masuk Den! Si... silahkan duduk...!" tergagap-gagap... si tukang kedai mempersi-lahkan tetamunya dengan membungkuk-bungkuk.
"Hm, kau tentu mengetahui minuman kesukaan ku, bukan?" berkata si laki-laki bertudung seraya jatuhkan pantatnya ke bangku. Terdengar suara berkeriutan bangku tua yang didudukinya.
"Ko... kopi pahit, Den?" tanya pak kedai dengan agak ragu.
Laki-laki bertudung itu memang pernah singgah di kedainya. Dan duduk di tempat duduk yang sama. Akan tetapi kemunculan laki-laki bertudung ini tiga bulan yang lalu telah membuat kegemparan penduduk desa itu. Karena kemunculannya telah membawa maut. Pak kedai tak sempat untuk mengingat peristiwa lalu itu karena si laki-laki bertudung telah menyahut sambil tertawa parau.
"Bagus! ingatanmu masih tajam, pak tua! Nah, bikinkan aku secangkir kopi pahit dan jangan lupa, sepuluh tusuk sate kerbau!"
"Sate kerbau?" sentak hati pak kedai. "Celaka! aku tak menyediakan makanan itu lagi, sejak... sejak..." Di mata tukang kedai itu segera terbayang kejadian pada tiga bulan yang lalu.
Siang itu seperti biasanya, kedai pak Diro ramai dikunjungi orang. Duduk di kedai itu pula seorang pemuda Parta. Parta bekerja sebagai tukang kebun merangkap pembantu di rumah besar Raden Mas Sentono, seorang saudagar kelapa yang kaya di desa itu.
Parta seorang pemuda yang rajin disamping mempunyai paras yang tampan. Sejak dia bekerja di rumah besar saudagar kelapa itu bersama dengan ayahnya. Ketika menginjak remaja ayahnya meninggal karena sakit. Mungkin karena terlalu lelah bekerja. Pekerjaannya memang amat berat. Bahkan hampir-hampir sukar, untuk istirahat. Pekerjaan yang tiada putusannya, karena ada saja perintah yang harus dikerjakannya.
Parta meneruskan mengabdi pada keluarga saudagar itu, yang kian bertambah kaya. Akan tetapi sedikit menggunakan tenaga pekerja. Akibatnya Parta kewalahan dibuatnya. Sampai-sampai dia berniat mau berhenti bekerja pada saudagar itu yang telah di abdinya lebih dari tujuh tahun.
Akan tetapi Raden Mas Sentono melarangnya. Untuk menggembirakan hati Parta gaji Parta ditambah setengah kali lipat. Hal itupun tak membuat Parta semakin betah tinggal di rumah keluarga saudagar itu. Terlebih-lebih bila Raden Mas Sentono sedang pergi keluar sempat beberapa hari.
Jaka Lodan pemuda anak saudagar itu membebaninya pekerjaan yang berat-berat dan hampir tak ada putusnya. Tulang-belulang Parta serasa remuk karena memangguli karung-karung berisi kelapa, yang dikerjakannya terkadang sampai larut malam.
Pada kesempatan siang itu dia sengaja mendatangi kedai pak Diro untuk sekedar minum teh sekalian beristirahat. Di samping itu untuk mengatasi rasa jemunya karena sehari-hari bekerja. Kesempatan itu digunakan untuk bercakap-cakap dengan kawan-kawannya.
Saat itulah si Laki-laki bertudung muncul di kedainya. Laki-laki pendatang itu memesan secangkir kopi pahit dan sepuluh tusuk sate kerbau. Dan duduk di bangku lain. Pada saat itu juga, di saat Pak Diro menghidangkan pesanan si laki-laki bertudung, mendadak muncullah Jaka Lodan anak Raden Mas Sentono.
Pemuda itu membentak-bentak Parta dan memaki-maki pemuda itu. Jaka Lodan memang seorang pemuda berwatak kasar, pemarah juga berhati dengki. Karena sebenarnya dia membenci Parta disebabkan dia tak setampan Parta.
Parta memang banyak disenangi para gadis desa karena disamping ketampanannya juga Parta seorang yang lembut dan baik budi bahasanya. Berlainan dengan Jaka Lodan walaupun dia anak seorang hartawan tapi wataknya kasar, sehingga orang tak menaruh segan terhadap dia.
Pertengkaran pun terjadi. Parta tak dapat mengendalikan kemarahannya karena dia dimaki-maki dengan kata-kata keji. Apa lagi di hadapan kawan-kawannya. Parta balas memaki dengan maksud membela diri. Akan tetapi akibatnya dia harus merasai pukulan-pukulan dari dua orang tangan kanan Jaka Lodan. Parta terbanting ke tanah dengan tulang punggung terasa sakit bukan kepalang.
Pipinya telah bengap-bengap terkena pukulan dua orang anak buah Jaka Lodan. Parta jadi nekat. Dia bangkit berdiri dengan menahan rasa sakit di tubuhnya. Dengan menggerung keras dia menerjang kedua orang itu. Akan tetapi lagi-lagi Parta harus menjadi bulan-bulanan kedua lawannya, karena Parta tak mempu-nyai ilmu kepandaian silat sedikit pun.
Pada saat itulah kedua laki-laki yang tengah menghajar Parta tiba-tiba menjerit parau. Kedua tubuh itu terhuyung-huyung dengan tangan kaku seperti hendak menggapai leher. Sepasang mata mereka membeliak. Sesuatu telah menancap di leher mereka masing-masing.
Dan tampak mengalirkan darah! Sedetik kemudian mereka roboh terguling. Setelah dua tiga kali menggeliat meregang nyawa, kedua tubuh itupun tak berkutik lagi.
Membelalak mata Jaka Lodan seperti tak percaya pada penglihatannya. Ketika dia memeriksa pada leher kedua anak buahnya yang tewas itu tampak di masing-masing leher mereka tertancap sebuah bambu kecil tusukan sate!
Jaka Lodan tersurut mundur ketika satu suara tertawa dingin menembus telinganya yang didahului dengan bersyiurnya angin dan berkelebatnya bayangan hitam. Tahu-tahu di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh. Dialah si laki-laki bertudung.
Sekejap saja dia telah mengetahui kalau orang inilah yang telah membunuh kedua orangnya, karena mulut laki-laki ini masih menggayam sisa sate kerbau. Kaki Jaka Lodan kembali melangkah mundur.
Wajahnya berubah pucat bagi tak berdarah. Detik berikutnya dia telah balikkan tubuh dan berlari ketakutan jatuh bangun bagaikan dikejar setan!
Laki-laki bertudung itu melepaskan tatapan matanya pada Jaka Lodan lalu beralih pada Parta. Parta menatap laki-laki itu dengan jantung berdetak keras. Seumur hidupnya baru dia melihat orang dibunuh di depan matanya. Detak jantungnya semakin keras ketika laki-laki itu menghampirinya.
"Bangunlah anak muda! Hehe... tubuhmu amat baik untuk menjadi seorang pesilat dan tulang-tulangmu bagus! Kau bernama Parta, bukan?"
Parta mengangguk, seraya berdiri. "Hm, maukah kau ku ajari ilmu membunuh orang? Agar tak ada seorangpun yang berani menghina dan mempermainkan mu?"
Pertanyaan itu serasa petir yang menyambar di telinga Parta. Dia tahu kalau orang di hadapannya itu-lah yang telah menyebabkan kematian kedua kaki tan-gan Jaka Lodan. Akan tetapi dia tak menyangka sedi-kit pun kalau pertanyaan seperti itu bakal diajukan padanya.
"Aku... aku tak berniat mempelajari ilmu kejam semacam itu. Ma... maafkan aku bapak pendekar. Dan seharusnya kau tak membunuhnya..." sahut Parta.
"Kau tak mau?" bertanya lagi laki-laki bertudung itu.
Tampak wajahnya menampilkan keheranan juga kemasygulan. Parta menggeleng. Hatinya tergetar menyaksikan kedua mayat itu yang diketahuinya adalah orang-orang tukang pukulnya Jaka Lodan.
Betapapun Jaka Lodan banyak membuat kesengsaraan padanya juga telah membuat dia malu, akan tetapi sedikitpun dia tak berniat untuk membalas perlakuan kasar dan sewenang-wenang Jaka Lodan. Apalagi mempelajari ilmu membunuh orang!
"Bodoh!" bentakan menggelegar serasa membelah telinganya. Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba lengan laki-laki bertudung itu berkelebat. Dan...
Prak!
Parta roboh terjungkal. Kawan-kawannya dan para penduduk yang berkerumun melihat kejadian itu sama terpekik kaget. Mata pak Diro terbelalak. Apa yang dilihat mereka? Parta tergeletak tak berkutik lagi. Darah mengalir bercampur cairan otak dari kepala Parta yang rengkah. Pemuda itu telah tewas tanpa sempat berteriak lagi.
Gemparlah seketika semua yang berada di tem-pat itu, karena si laki-laki bertudung ternyata telah le-nyap entah kemana. Dari sejak kejadian itu pak Diro tak menyedia-kan sate daging kerbau lagi.
DENGAN tangan gemetar selesai menyeduh kopi pak Diro segera menyuguhkannya pada si laki-laki bertudung. Sementara hatinya kebat-kebit, bagaimana kalau si laki-laki itu menanyakan sate kerbau dan dia tak dapat menyediakannya? Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya.
Akan tetapi belum lagi dia sampai kemeja tetamunya, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi di luar kedai. Terlihat beberapa orang telah mengurung kedai disusul terdengarnya suara bentakan.
"Manusia keji yang berada di dalam kedai! Harap kau keluarlah! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
Laki-laki bertudung ini cuma perdengarkan suara dengusan di hidung. Lengannya meraba tongkat kepala ularnya. Pelahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu melangkah kaku ke pintu kedai. Sepasang matanya di bawah tudung memandang tajam keluar.
Tangan pak Diro yang memegang nampan berisi segelas kopi panas semakin menggetar. Akan tetapi bukan hanya tangannya saja tubuh laki-laki pemilik kedai itupun telah ikut gemetar. Kopi panas itu nyaris tumpah. Bahkan percikannya telah mengenai lengannya. Cepat-cepat dia meletakkannya di atas meja.
"Celaka! bakal terjadi pembunuhan lagi...!" desis pak Diro. Wajah laki-laki tua ini semakin bertambah pucat. Dia berdiri terpaku dengan tubuh gemetar dan mata membelalak memandang keluar.
Seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sorban membungkus kepala tampak berdiri di tengah enam orang laki-laki berpakaian biru yang membuat barisan setengah lingkaran mengurung kedai itu. Laki-laki ini sedikitnya berusia 45 tahun. Alis dan jenggotnya memutih seputih kapas. Dialah Ki Jagabaya, ketua pesantren Tegal Rejo dengan enam orang muridnya.
Ki Jagabaya memang telah berada di desa itu bersama keenam muridnya sejak sebulan yang lalu. Kedatangannya adalah atas undangan Raden Mas Sentono berkenaan dengan keinginannya untuk mengajari anaknya Jaka Lodan dengan ilmu-ilmu agama. Juga dengan maksud lain yaitu dia amat mengkhawatirkan kemunculan laki-laki bertudung itu.
Dia mengetahui kalau Ki Jagabaya di samping menjadi seorang guru agama juga memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan. Tentu saja diapun berharap Ki Jagabaya menurunkan pula ilmu-ilmu kedigjayaan pada puteranya, disamping itu den-gan bimbingan Ki Jagabaya mungkin dapat merubah watak anaknya menjadi orang yang baik dan juga berilmu tinggi.
Raden Mas Sentono memang pernah akan membawa anaknya ke Pesantren Tegal Rejo. Tapi ka-rena banyaknya urusan sampai dia melupakan hal itu. Namun tak ada kata terlambat.
Sejak kejadian yang membuat heboh di desanya dan sejak dia mengetahui watak anaknya yang tidak baik, dia berharap kedatan-gan Ki Jagabaya bisa membuat dirinya menjadi tenang. Tentu saja Raden Mas Sentono tak segan-segan untuk membayar mahal kedatangan Ki Jagabaya dan enam orang murid guru agama itu untuk menetap di rumah besarnya. Walaupun Ki Jagabaya tak mengharapkannya.
Sejak sebulan yang lalu di belakang gedung Raden Mas Sentono digunakan menjadi tempat berlatih. Disamping diajari ilmu-ilmu agama Jaka Lodan juga diajari ilmu-ilmu bela diri.
Laporan lima orang pekerja mengenai kemunculan laki-laki bertudung itu telah membuat terkejut Raden Mas Sentono. Hal itulah yang memang amat ditakutinya. Sebaik laporan itu diterima, lalu disampaikan kepada Ki Jagabaya. Ternyata Ki Jagabaya telah mengetahui kemunculan laki-laki bertudung itu melalui salah seorang muridnya. Dan dia telah mempersiapkan diri untuk menyatroni manusia itu. Sepasang mata Ki Jagabaya hampir tak berkedip.
"Hm, kiranya kau si Iblis Hitam Tangan Delapan!" berkata Ki Jagabaya. "Sudah ku duga ternyata memang kau orangnya!" Ternyata Ki Jagabaya telah mengenalnya.
Si laki-laki bertudung perdengarkan suara tertawa dingin. Lengannya bergerak membuka tudung kepalanya, lalu melemparkan ke tanah. Ternyata laki-laki ini berambut lurus dan berwarna kecoklatan.
"Ada apa kau mencariku Kyai? Apakah kau masih mengharapkan aku insyaf dan berharap agar aku kembali lagi ke Pesantren Tegal Rejo?"
Pertanyaan ini membuat wajah Ki Jagabaya merah padam. Akan tetapi dia dapat menahan perasaannya. "Manusia sepertimu sudah tak ada harapan insyaf lagi! Sungguh aku tak menyangka kalau di dunia ini ada manusia busuk yang lebih busuk baunya dari pada bangkai! Perbuatanmu sudah keterlaluan, YUDANA!
"Walau kau masih keponakanku sendiri tapi tak ada ganjaran yang lebih baik darimu selain kematian! Ternyata kedatanganmu ke Pesantren Tegal Rejo tiga tahun yang lalu adalah cuma pura-pura insyaf saja! Padahal kau menginginkan pusaka leluhur ku yang ternyata kau pencurinya!
"Bukan itu saja! kau telah pula membunuh seorang muridku dan memperkosa dua orang murid perempuanku! Setelah kau kabur dari Tegal Rejo ternyata kau semakin edan! Membunuh, memperkosa, merampok dan sebagainya! Apakah perbuatan terkutuk semacam itu akan tetap kubiarkan?"
Napas Ki Jagabaya tampak memburu. Kemara-hannya seperti tak terbendung lagi. Akan tetapi laki-laki tua ini masih bisa menahan diri. Tubuh kakek tua ini tampak bergetar menahan gejolak perasaan dalam dadanya. Butir-butir keringat menetes dari dahinya. Ternyata dalam batin Ki Jagabaya Jengah terjadi peperangan besar.
Sejahat-jahatnya manusia pasti ada insyafnya. Akan tetapi datangnya insyaf itu sukar diketahui waktunya. Yudana adalah anak dari adik kandungnya sendiri yang bernama Teja Maruto. Teja Maruto menganut ilmu sesat. Maruto insyaf akan kesesatan jalan yang ditempuhnya.
Semua itu atas jerih payah Jagabaya yang merawatnya. Sayang Teja Maruto meninggal karena sakitnya sudah terlalu parah akibat terkena wabah ganas. Sebelum meninggal dia menitipkan anaknya yang bernama YUDANA agar dapat menjadi orang berguna di masyarakat.
Namun keinginan Teja Maruto tak terkabul. Yudana lenyap setelah pemakaman ayahnya. Yudana memang sudah menjadi seorang anak pasar yang sukar diurus. Pergaulan dengan kawan-kawannya banyak yang menjurus ke arah kejahatan. Mencari jejak Yudana seperti mencari jarum yang tercebur ke laut. Yudana menghilang tak ketahuan kemana rimbanya. Anak muda itu rupanya tak mau menetap di tempat kediaman Jagabaya.
Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengingat wajah orang. Ketika seorang la-ki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu menda-tangi Pesantren Tegal Rejo, Ki Jagabaya hampir tak mengenali lagi kalau laki-laki itu adalah YUDANA. Yu-dana datang dengan maksud menyatakan keinsyafannya, setelah bercerita panjang lebar mengenai riwayat hidupnya.
Air mata mengalir dari kedua mata laki-laki itu adalah pertanda bahwa keinsyafan memang telah mulai tiba di diri Yudana. Ki Jagabaya agak terkejut mengetahui bahwa gelar Iblis Hitam Tangan Delapan itu ternyata adalah nama gelar Yudana.
Kejahatan Iblis Hitam Tangan Delapan telah didengarnya sejak beberapa tahun belakangan ini. Sungguh dia tak menyangka kalau si Iblis Hitam Tangan Delapan itu adalah Yudana sang keponakan sendiri. Sedikitpun Ki Jagabaya tak menaruh syak wasangka pada Yudana.
Selama beberapa bulan dia menetap di Pesantren Tegal Rejo, Yudana menunjukkan sikap baik dan mulia memahami arti sebuah agama. Ki Jagabaya sering memergoki Yudana menangis di kamarnya. Hal itu menggembirakan hati Ki Jagabaya karena melihat Yu-dana tampaknya insyaf sungguh-sungguh.
Sejahat-jahatnya manusia tentu akan tiba ma-sanya untuk menemukan keinsyafan. Ki Jagabaya ber-syukur pada Tuhan dan berharap Yudana dapat men-jadi penggantinya kelak memimpin Pesantren. Sungguh tak disangka kalau dugaannya amat keliru. Ketika dia sedang tak ada di Pesantren, Yudana telah membunuh seorang muridnya dan memperkosa dua orang murid perempuannya.
Bukan kepalang terkejutnya Ki Jagabaya ketika mengetahui pusaka leluhurnya yaitu sebuah keris yang bernama Kyai Barong turut lenyap! Kegusaran hati Ki Jagabaya tidaklah terperikan. Dia bersumpah untuk membunuh manusia itu walaupun Yudana adalah keponakannya sendiri...
"Kyai! kalau kau menginginkan keris pusaka Kyai Barong, aku akan mengembalikan! Akan tetapi kalau kau menginginkan jiwaku apakah sudah kau perhitungkan baik-baik?" berkata Yudana alias Iblis Hitam Tangan Delapan.
Ki Jagabaya tak menjawab. Dalam batinnya masih berkecamuk peperangan antara pesan adik kandungnya dan sumpah yang telah diucapkannya. Akan tetapi keenam murid Ki Jagabaya tampaknya sudah tak sabar.
"Kyai guru! biarkan kami menangkap manusia keparat tak berbudi ini!" Dua orang telah maju ke muka seraya masing-masing mencabut senjatanya.
"Tahan!" membentak Ki Jagabaya. Kedua murid itu terpaksa kembali ke tempatnya, tapi tak memasukkan lagi masing-masing senjatanya yang telah telanjang.
Ki Jagabaya maju beberapa tindak mendekati si Iblis Hitam Tangan Delapan. "Mana keris Kyai Barong! Segera kau kembalikan padaku!" berkata Ki Jagabaya dengan suara datar.
Iblis Hitam Tangan Delapan masukkan lengannya ke balik jubah. Sekejap di tangan laki-laki itu telah tergenggam sebuah keris bergagang emas. Kerang-kanya terbuat dari perak berukir. Iblis Hitam Tangan Delapan tancapkan tongkatnya di tanah, lalu maju ke muka. Dengan kedua lengannya dia menyerahkan keris pusaka yang telah lebih tiga tahun berada di tan-gannya itu pada sang Kyai.
Pada jarak setengah tombak dia berhenti menunggu Ki Jagabaya mengambil keris pusaka itu. Sikap Iblis Hitam tampak amat hormat sekali. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang pada Ki Jagabaya.
"Terimalah Kyai...!" berkata Yudana.
Ki Jaga-baya tertegun sejenak. Dia belum bisa memutuskan peperangan dalam batinnya. Namun lengannya segera terjulur untuk meraih keris pusaka Kyai Barong. Di detik itulah tiba-tiba secepat kilat Yudana menarik gagang keris...
"Terimalah kematianmu, Kyai.!" Bentakan itu dibarengi dengan meluncurnya keris Kyai Barong ke arah ulu hati Ki Jagabaya.
Keenam murid Ki Jagabaya terkesiap. Akan tetapi terdengar teriakan parau dibarengi terlemparnya tubuh Iblis Hitam Tangan Delapan. Satu pukulan telak telah menghantam tubuh laki-laki yang dilakukan Ki Jagabaya.
Tubuh Yudana terlempar bergulingan. Namun secepat kilat dia sudah bangkit berdiri. Tampak wajah laki-laki ini pucat membiru. Jubahnya di bagian dada tampak hangus menggambarkan telapak tangan. Yudana menahan rasa nyeri pada dadanya. Sungguh dia tak menyangka kalau Ki Jagabaya sempat melakukan pukulan telak ke dadanya pada detik yang terlalu cepat itu.
Kalau saja dia tak memiliki ilmu kebal, tentulah jiwanya sudah melayang. Cepat-cepat disalurkan tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit itu. Memandang ke arah Ki Jagabaya, laki-laki tua itu tampak terhuyung beberapa langkah ke belakang. Keris pusaka Kyai barong ternyata telah bersarang tepat di jantung Kyai ini.
"Kyai guruuuu... !" hampir serentak keenam murid Ki Jagabaya memburu ke arah laki-laki tua itu. Betapa gusarnya kedua murid Ki Jagabaya yang sudah mencabut pedang ini.
Seketika itu juga langsung menghambur ke arah Yudana. "Iblis Hitam Tangan Delapan! aku akan adu jiwa denganmu!" membentak salah seorang yang bernama Arwana. Yang seorang lagi adalah adik kan-dungnya yang bernama Lugita.
Dua serangan pedang kedua pemuda yang be-ringas itu cuma menabas tempat kosong ketika Yudana dengan cepat berkelit menghindar. Bagai banteng kesurupan keduanya kembali menerjang. Tabasan dan tusukan pedang saling susul yang diiringi dengan kilatan-kilatan menyilaukan mata. Akan tetapi setiap kali Yudana berkelebat serangan-serangan maut itu lolos.
"Kau hanya mengantar kematian, bocah muda!" bentakan Yudana disusul dengan berkelebatnya tubuh laki-laki itu tepat ke belakang Arwana dan Lugita. Detik itu juga sepuluh jari-jari tangan Iblis Hitam Tangan Delapan mengembang. Dan... terdengarlah suara Prak! Prak! Kedua murid Ki Jagabaya itu perdengarkan jeritan pendek. Disusul dengan robohnya kedua tubuh pemuda itu dengan batok kepala pecah mengerikan!
"Iblis curang keparat!" bentakan keras terdengar di belakang Yudana. Tiga murid Ki Jagabaya telah menerjang ke arahnya.
Trang! trang!
Tiga batang pedang yang meluruk ke arahnya telah ditangkis dengan tongkat oleh si Iblis Hitam Tan-gan Delapan. Nyaris ketiga pedang itu terlepas. Ketiga pemuda murid-murid Pesantren Tegal Rejo ini merasakan telapak tangan mereka sakit sekali. Namun tak membuat mereka mundur. Segera mereka mengurung laki-laki itu.
Sementara itu seorang murid termuda Pesantren Tegal Rejo masih memeluk tubuh Ki Jagabaya. Pemuda ini bercucuran air mata melihat nasib tragis yang menimpa gurunya. Wajah Ki Jagabaya semakin memucat, Keris pusaka Kyai barong adalah keris ampuh yang mengandung racun luar biasa ganasnya. Kakek ini merasa tak ada harapan hidup lagi. Tapi dia masih bisa mengetahui siapa pemuda yang tengah memeluknya itu walaupun pandangan matanya mulai nanar.
"Muridku... Bayu Rana... cepatlah kau selamatkan jiwamu. Dia bukan lawanmu! Kau harus hidup! Dengarlah kataku!" ucapnya lirih pada pemuda itu.
"Tidak, Kyai guru! aku akan adu jiwa dengan manusia iblis itu!"
"Bodoh! kalau semua mati, siapa yang akan membalaskan dendam ini?"
Bentakan lirih itu serasa air dingin yang mengguyur kepala Bayu Rana. Pemuda ini menggigit bibirnya menahan kesedihan bercampur marah. Betapa dia melihat dua orang saudara seperguruannya telah tewas. Kini menyaksikan pertarungan ketiga orang saudara seperguruannya yang tampaknya mulai terdesak oleh serangan-serangan Yudana.
Walaupun keenam murid Ki Jagabaya adalah murid-murid yang terlatih dan berilmu tinggi namun lawannya bukanlah lawan yang bisa dirobohkan begitu saja. Karena tingkat ilmu kepandaian Yudana jauh berada di atasnya. Tampaknya si Iblis Hitam Tangan, Delapan hanya memperlambat kematian ketiga murid Pesantren Tegal Rejo itu, di samping dia dalam keadaan luka dalam akibat pukulan Ki Jagabaya.
Benar saja! Sepeminuman teh kemudian Iblis Hitam Tangan Delapan perdengarkan bentakan keras. Tubuhnya mendadak melesat ke atas. Ketika menukik tongkatnya menyambar laksana kilat. Terdengar suara berderak saling susul. Tiga pemuda itu menjerit panjang. Tubuh-tubuh mereka bertumbangan roboh.
Pada saat itu juga Ki Jagabaya telah membentak muridnya "Cepat kau cabut keris Kyai Barong ini dan segera pergi menyelamatkan diri!"
Bentakan itu seperti petir yang menggelegar di telinga Bayu Rana. Tak ada waktu lagi untuk berfikir. Secepat kilat di mencabut keris pusaka yang terhunjam di tubuh Ki Jagabaya. Dan detik itu pula Bayu Rana telah berkelebat ke belakang pondok. Lalu menghilang di semak belukar...
Iblis Hitam Tangan Delapan berdiri tegak menatap ketiga murid Ki Jagabaya yang tewas. Kematiannya amat mengerikan, karena masing-masing kepala pemuda itu rengkah menyemburkan darah dan otak yang berhamburan.
Saat pertarungan itu terjadi tak seorang penduduk pun yang datang mendekat untuk menonton pertarungan. Masing-masing menutup pintu pondok. Termasuk pak Diro yang sejak tadi telah menutup kedainya. Akan tetapi bukan mereka tak menonton pertarungan itu karena masing-masing mengintai dari balik-balik pintu dan jendela dengan hati kebat-kebit.
Sekali berkelebat tubuh Iblis Hitam Tangan Delapan telah berada di hadapan sosok tubuh Ki Jagabaya. Dengan ujung kakinya laki-laki ini membalikkan tubuh yang tertelungkup tak bergerak itu. Paras mukanya seketika berubah.
"Keparat! keris Kyai Barong lenyap! Hm, pasti dibawa pergi salah seorang murid Kyai bodoh ini!" sentak Yudana. Tubuhnya bergerak memutar menatap ke beberapa arah. Tak lama dia telah berkelebat ke arah barat dan lenyap di balik pepohonan...
BEBERAPA bulan kemudian... dua ekor kuda berpenunggang dua orang pemuda tampan memasuki mulut desa. Kedua pemuda itu. terlalu tampan bila disebut laki-laki. Walaupun dandanannya mirip laki-laki tetapi kulit dan potongan pinggulnya tak dapat disembunyikan. Jelaslah memang kedua penunggang kuda itu memang dua orang gadis adanya.
"Ssst, adik Ranti! Coba kau tanyakan pada orang itu, apakah dia dapat menunjukkan rumah Raden Mas Sentono?" berkata pelahan gadis yang berbaju putih.
Gadis berbaju hijau yang bernama Ranti itu menoleh ke arah yang ditunjuk kawannya. Terlihat seorang laki-laki tua sedang duduk beristirahat di ba-wah pohon rindang. Tampaknya baru habis bekerja mencangkul tanah, karena di sampingnya tergeletak sebuah cangkul.
Ranti arahkan kudanya untuk mendekati orang tua itu. Melihat seorang penunggang kuda mendekati dia, laki-laki tua ini agak terkejut. Dia memang sedang terheran tak seperti biasanya ada dua penunggang ku-da memasuki desanya.
"Eh, bapak! bolehkan aku bertanya?" tanya si gadis tanpa turun dari kudanya. Sebelumnya dia telah menjura dengan membungkukkan tubuh.
"Apakah yang akan kau tanyakan anak muda?" sahut orang tua itu. Agaknya orang tua itu tak mengetahui kalau orang yang bertanya itu seorang gadis.
"Anu... pak! Apakah bapak mengetahui di mana rumah Raden Mas Sentono?" ujar Ranti.
"Raden Mas Sentono?" ulang laki-laki itu agak tersentak.
"Benar!"
"Kalau boleh aku mengetahui ada keperluan apakah anak sebenarnya?" tanya orang tua itu.
"Ah, kami datang dari Tegal Rejo! Maksud kami Pesantren Tegal Rejo. Tujuan kami adalah menemui guru kami yang berada di desa ini dan berdiam sementara di rumah Raden Mas Sentono..." menerangkan Ranti.
"Oh...!?" Laki-laki tua itu seperti tersentak kaget. "Jadi anak adalah muridnya Ki Jagabaya?" tanyanya memastikan.
"Tidak salah! kedatangan kami berdua adalah untuk menemui Ki Jagabaya!" berkata Ranti seraya menoleh pada kakak seperguruannya. Gadis yang bernama Rara Weni ini memang tengah mendatangi dengan menjalankan kudanya tak terlalu cepat.
Orang tua itu manggut-manggut. Lalu cepat-cepat berkata. "Kalau kalian mau ke rumahnya ikutilah jalan ini. Setelah membelok ke kiri segera akan terlihat rumah besar yang bagus. Itulah rumah Raden Mas Sentono...!"
"Oh, terima kasih atas petunjukmu pak tua!" Ranti menoleh pada Rara Weni. "Ayo kita kesana!" ujarnya pada gadis kawannya. Kedua kuda itu segera mencongklang cepat meninggalkan tempat itu.
"Haih! aku tak sampai hati menceritakan kejadian itu. Biarlah itu, Biarlah Jaka Lodan sendiri yang menceritakannya..." berkata orang tua ini pelahan. Lalu beranjak mengambil parang dan cangkulnya. Tak lama dia telah bergegas untuk pulang ke pondoknya.
Ketika kedua kuda dan penunggangnya itu tiba di halaman gedung Raden Mas Sentono, pada saat itu seorang pemuda baru saja keluar dari pintu gedung akan menuju ke halaman. Laki-laki muda ini tak lain dari Jaka Lodan. Melihat dua penunggang kuda itu menghampiri ke arahnya Jaka Lodan tertegun seraya berhenti melangkah.
Ranti cepat melompat turun dari kudanya keti-ka tiba di hadapan pemuda itu. "Anda pasti yang bernama Jaka Lodan putera Raden Mas Sentono, bukan?"
"Tidak salah!" sahut Jaka Lodan. "Siapakah anda sekalian?"
"Namaku Ranti dan ini saudara seperguruanku Rara Weni!"
"Kami dari Pesantren Tegal Rejo." tambah Rara Weni.
"Oh...!" sentak Jaka Lodan terkejut, "Maksud kedatangan kalian?"
"Kami mau menemui guru kami Kyai Jagabaya!" menjelaskan Ranti.
Wajah Jaka Lodan tampak berubah muram. Tapi cepat-cepat dia berkata. "Silahkan masuk, sobat-sobatku! Ah, tak baik kita bercakap-cakap di luar!" Jaka Lodan mendahului melangkah ke tangga batu.
Rara Weni dan Ranti men-gangguk. Setelah menambatkan kuda keduanya segera mengikuti Jaka Lodan untuk melangkah masuk ke da-lam ruangan gedung Raden Mas Sentono.
"Sebenarnya sukar bagiku untuk menjelaskan... tapi kejadian ini memang harus kalian ketahui!" berkata Jaka Lodan membuka percakapan.
"Kejadian apakah? Apakah yang telah terjadi dengan Kyai guru?" sentak Ranti. Perubahan wajah Jaka Lodan sejak berada di luar gedung tadi diam-diam telah diperhatikan olehnya. Hatinya mulai terasa tidak enak dan merasa ada sesuatu yang telah terjadi.
"Kyai guru Jagabaya telah tewas!" berkata Jaka Lodan.
"Oh..,!?" hampir berbareng kedua gadis ini berteriak tertahan.
Keduanya saling tatap dengan wajah pucat. Ranti menundukkan wajah. Lengannya meremas rambutnya. Setitik air bening bergulir di pipinya.
"Apakah yang telah terjadi sebenarnya? Ceritakanlah, agar kami puas dan mengetahui kematiannya. Dan ke mana pula enam orang saudara seperguruan kami?" bertanya Rara Weni. Gadis ini cukup tabah walau dia tak dapat menyembunyikan kesedihan. Tampak sepasang bola matanya berkaca-kaca.
Sejenak Jaka Lodan terdiam. Setelah menghela napas segera dia menceritakan kejadian itu dari awal sampai akhir. "Cuma seorang dari saudara seperguruanmu yang berhasil selamat. Akan tetapi tak tahu kemana perginya, kalau tak salah dia yang bernama Bayu Rana!"
"Iblis keparat! Aku bersumpah akan kubunuh manusia terkutuk itu dengan tanganku sendiri!" teriak Ranti dengan wajah merah padam dan napas menggebu! Tampak betapa gusarnya gadis ini.
"Tenanglah kakak Ranti! Kematian adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Menyimpan dendam sama seperti menyakiti diri sendiri!" berkata Jaka Lodan.
"Jadi aku harus mendiamkan saja kematian Kyai guru? Apakah itu sikap seorang murid yang berbakti?" tukas Ranti dengan mata melotot gusar menatap Jaka Lodan.
"Bukan itu maksudku...! Tapi dalam keadaan kita seperti ini akan cuma menemui kesulitan saja jika kita menghadapinya. Dia bukan tandingan kita!" sahut Jaka Lodan dengan agak gelagapan.
"Benar adik Ranti! Kukira untuk sementara kita bersabar. Suatu saat kelak kita bisa membalaskan sakit hati dan dendam kita pada manusia itu!"
Jaka Lodan manggut-manggut. "Tidak salah apa yang dikatakan kakak Rara Weni. Aku walaupun cuma berguru pada Ki Jagabaya beberapa bulan, tapi telah menganggap beliau adalah guruku sejati. Mana mungkin aku membiarkan manusia itu hidup gentayangan menyebar kejahatan?"
Ganti pada Rara Weni yang manggut-manggut membenarkan.
"Sudahlah kakak Ranti! Mari kita menengok makam Kyai guru dan saudara-saudara seperguruan kita? Oh, ya! Maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu...!" Jaka Lodan mencekal lengan Ranti. Gadis ini masih menelungkup terisak-isak.
"Ayolah dik Ranti...!" Rara Wuni, menghibur seraya mengelus-elus pundak dara itu.
Akhirnya Ranti bangun berdiri. Jaka Lodan mendahului melangkah keluar gedung melalui pintu samping.
"Dimana makamnya?" tanya Rara Weni.
"Di sebelah timur sana tak jauh dari sini...!" sahut Jaka Lodan.
Tak lama ketiganya telah bergegas melangkah meninggalkan gedung Raden Mas Sentono. Beberapa saat kemudian ketiga muda-mudi itu telah berada di depan makam. Kuburan Ki Jagabaya berada di sebelah kanan agak terpisah dengan kuburan kelima murid-nya. Ranti berdiri di hadapan batu nisan Ki Jagabaya. Air matanya mengalir deras membasahi pipi dan bajunya.
"Kyai guru! Tenangkanlah arwahmu di alam Baka. Hidupku tak akan tenteram sebelum memba-laskan dendam ini!" berkata Ranti setengah berbisik.
Langit semakin suram. Cahaya Mentari sebentar lagi sirna. Tak berapa lama ketiganya telah meninggalkan makam itu.
"Kuharap kalian tak terburu-buru pulang. Aku adalah murid terakhir Kyai guru yang paling bodoh. Kalau kalian sudi tinggal beberapa hari disini dan tak keberatan untuk memberikan sedikit petunjuk mengenai ilmu silat aku akan senang sekali...!" berkata Jaka Lodan penuh harap.
Kedua gadis itu saling pandang. Rara Weni tersenyum seraya ujarnya. "Ah kau terlalu merendahkan diri Jaka! Kukira ilmu silatmu tak berada jauh di bawah kami. Oh, ya! ke manakah ayahmu?"
Pertanyaan Rara Weni membuat Ranti baru tersadar karena dia tak melihat adanya Raden Mas Sentono. Gedung itu sepi lengang dan tampak seperti tak terawat. Berbeda dengan Jaka Lodan. Pertanyaan itu membuat dia sejenak tercenung. Setelah menghela na-pas. Jaka Lodan menyahut.
"Ayahku... Oh, ya! Aku lupa menceritakan. Ayah sudah lama sakit. Penyakitnya aneh. Dia tak dapat mengingat apa-apa lagi. Itulah sebabnya aku merasa sepi sendirian di rumah besar ini..."
Rara Weni dan Ranti terhenyak saling pandang. "Dimana beliau sekarang?" Pertanyaan Ranti membelah kesunyian.
Jaka Lodan bangkit berdiri. "Marilah kuantarkan ke tempatnya!"
Kedua gadis itu mengikuti Jaka Lodan memasuki ruangan dalam. Setelah menuruni tangga undakan segera tiba di sebuah lorong bawah tanah. Ternya-ta lorong ini menuju ke sebuah ruangan yang penuh dengan karung-karung berisi kopra. Agaknya ruang ini merupakan sebuah gudang tempat penyimpanan ko-pra. Di ujung ruangan ini ada sebuah ruangan lagi yang pintu nya terkunci dari luar.
"Inilah kamar tempat ayahku! Kalian dapat melihatnya dari lubang itu!" ujar Jaka Lodan sambil menunjuk pada sebuah jendela berjeruji.
Membelalak mata Rara Weni dan Ranti ketika melihat dari jendela berjeruji itu tampak sosok tubuh kurus kering tergolek di sudut ruangan.
"Penyakit apakah yang dideritanya?" bisik Rara Weni pada Ranti.
"Entahlah! mengapa dikurung di tempat ini? Ah kasihan sekali!" sahut Ranti.
"Mari kita ke atas lagi!" ujar Jaka Lodan. Nanti kuceritakan mengenai penyakit ayah yang aneh!"
Ranti dan Rara Weni mengangguk. Segera mereka bergegas mengikuti Jaka Lodan keluar dari ruan-gan bahwa tanah itu.
MATAHARI baru saja tenggelam ke balik bukit ketika ke dua ekor kuda berpenunggang dua pemuda itu meninggalkan mulut desa. Tampaknya keduanya agak tergesa-gesa khawatir kemalaman di jalan. Mereka tak lain dari Ranti dan Rara Weni. Kedua gadis itu menolak menginap di rumah Raden Mas Sentono.
Apa yang menjadikan me-reka menolak menginap itu adalah karena rasa curiga pada Jaka Lodan. Sikapnya di balik keramahannya seperti ada udang di balik batu. Apalagi setelah melihat keadaan Raden Mas Sentono yang mengiriskan hati. Seolah-olah pemuda itu sengaja menyekapnya di ruang bawah tanah.
"Cepatlah Ranti! kita harus tiba di desa Temanggung kalau tak mau kemalaman di jalan!"
Ranti mempercepat lari kudanya menyusul Rara Weni yang membedal kuda tunggangannya seperti orang dikejar setan. Kedua gadis itu bersyukur karena perjalanan mereka diterangi cahaya rembulan yang cukup terang benderang. Akan tetapi ketika melintasi sebuah belo-kan jalan, sesosok tubuh tampak berdiri menghadang.
Hati kedua gadis ini jadi tersentak. Malam-malam begini ada orang menghadang di tengah jalan pasti berniat tidak baik. Pikir Ranti. Tiba-tiba dia membedal kudanya lebih cepat menyusul Rara Weni. Rara Weni terkejut, karena justru dia telah menahan kudanya.
"Minggir!" bentak Ranti yang berdarah panas. "Kalau kau tak mau minggir jangan salahkan aku kalau kudaku menerjangmu!" berkata Ranti dalam hati.
Akan tetapi alangkah terkejutnya gadis ini, ketika tahu-tahu kudanya meringkik panjang. Hembusan angin keras telah menerpa ke arahnya. Kuda tunggangannya meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya. Kejadian mendadak itu membuat Ranti terkejut tiada kepalang.
Tak ampun lagi dia telah terpental jatuh dari kudanya. Akan tetapi dengan kegesitan yang dimilikinya Ranti masih bisa bersalto untuk menyentuh tanah dengan kaki terlebih dulu.
"Hahaha... hati-hati gadis cantik sayang kalau kulit tubuhmu tergores tanah!" Sosok tubuh itu tahu-tahu telah berdiri di hadapan Ranti.
Bukan kepalang terkejutnya Ranti karena melihat siapa adanya orang yang di hadapannya itu. "Jaka Lodan!? Apa artinya ini?" bentak Ranti seraya menyurut mundur dua tindak.
"Artinya? Hm, aku tak bisa melepaskan kalian pergi begitu saja!" sahut Jaka Lodan dengan tertawa menyeringai.
Saat itu Rara Weni telah melompat dari punggung kuda. Gadis inipun terkejut melihat orang yang menghadang itu ternyata Jaka Lodan. Diam-diam kecurigaannya semakin besar. Buktinya pukulan tenaga dalam pemuda itu sedemikian besarnya hingga mampu menahan terjangan kuda Ranti, bahkan mem-buat terpental jatuh gadis itu.
"Katakan apa maumu sebenarnya?!" bentak Ranti. Lengannya telah siap mencekal gagang pedangnya untuk menjaga segala kemungkinan.
Jaka Lodan menatap kedua gadis itu dengan sepasang mata berkilat-kilat. "Haha... malam ini begitu indah diterangi cahaya purnama. Aku ingin kalian menemani aku bermesraan. Kuharap kalian mengerti...!"
"Bedebah! mulutmu terlalu kotor. Jaka! Kami bukan perempuan jalang seperti yang kau kira!" maki Ranti dengan mata mendelik gusar.
Rara Weni terkesiap kaget mendengar kata-kata Jaka Lodan. Sikap Jaka Lodan mendadak berubah seperti sikap seorang pemuda berandal. Diam-diam dia waspada untuk menjaga diri.
"Haha... bukankah kalian sudah tidak suci lagi? Kalau sekedar melayani aku kukira tidak menjadi halangan!" kata-kata ini membuat wajah kedua gadis itu berubah merah. Terlebih-lebih wajah Ranti yang terasa panas. Tapi diam-diam Ranti terkejut, dari mana Jaka Lodan dapat mengetahui rahasia pribadinya itu? Rara Weni yang biasanya bersikap sabar kali ini tak dapat menahan kegusaran hatinya.
"Jaka Lodan mulutmu sungguh lancang! Hm, ada hubungan apakah kau dengan Yudana si Iblis Hitam Tangan Delapan?" bentak Rara Weni. Napas gadis ini kelihatan memburu. Namun gadis ini masih bisa menahan diri. Benaknya bekerja cepat untuk ajukan pertanyaan itu.
Jaka Lodan tersenyum. "Dia Guruku!" sahutnya dengan tenang.
Kalau ada petir di tengah malam begitu tidaklah membuat kedua gadis itu terkejut. Akan tetapi jawaban Jaka Lodan membuat sepasang mata gadis itu membelalak karena terkejut. "Bedebah! pantas kalau kelakuanmu lebih mirip iblis!" bentak Ranti.
Kedua gadis ini secara berbareng telah mencabut masing-masing senjatanya. Wajah keduanya beringas karena baru mengetahui kedok Jaka Lodan sebenarnya.
"Bagus! silahkan berbuat sesukamu kalau kau telah melangkahi mayat kami!" bentak Rara Weni.
"Haha... jangan berbuat setolol itu, gadis-gadis cantik!"
Akan tetapi kedua gadis itu telah menerjang Jaka Lodan dengan kemarahan meluap-luap. Sungguh di luar dugaan kalau ternyata gerakan Jaka Lodan demikian gesitnya. Serangan-serangan maut kedua da-ra itu dengan mudah dihindarkan. Bahkan dia melayaninya dengan tertawa menyeringai.
"Haha... ayo, keluarkan semua kepandaian kalian!" teriak Jaka Lodan disela tabasan dan tusukan pedang kedua gadis itu.
Semakin gusarlah Rara Weni dan Ranti. Kedua gadis itu segera merubah gerakan menyerangnya. Kali ini lebih cepat, hingga yang nampak adalah dua gulungan sinar putih yang menerjang Jaka Lodan. Namun masih saja Jaka Lodan sukar disentuh kulit tubuhnya. Gerakannya bagaikan bayangan yang berkelebatan mengaburkan pandangan mata kedua gadis itu.
Pada jurus kedua puluh tiba-tiba Jaka Lodan perdengarkan bentakan. "Cukuplah dengan permainanmu, gadis-gadis cantik!" Begitu habis suara bentakan itu mendadak Rara Weni dan Ranti perdengarkan teriakan mengeluh. Sekejap kemudian kedua tubuh dara itu roboh. Kedua pedang mereka telah terlepas masing-masing dari tangannya.
"Iblis keparat! bunuhlah aku!" teriak Ranti. Ketika melihat Jaka Lodan melangkah mendekati.
"Haha... aku akan membunuhmu kalau aku telah puas mencicipi tubuhmu!"
Pemuda ini gerakkan lengannya menotok urat suara gadis itu. Sehingga Ranti cuma bisa berteriak-teriak tanpa mengeluarkan suara. Gerakan Jaka Lodan sungguh diluar dugaan kedua gadis itu. Dia memancing dengan hantaman pukulan kosong ke arah Ranti. Ranti mengelak dengan membuang tubuhnya ke kanan.
Hal itulah yang diharapkan Jaka Lodan. Detik itu dengan sekali menghantam ujung kakinya berhasil membuat pedang Ranti terlepas. Sebelum Ranti menyadari tahu-tahu Jaka Lo-dan telah menotoknya.
Rara Weni yang merasa mendapat kesempatan untuk menyerang punggung Jaka Lodan tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Akan tetapi diluar dugaan pemuda itu membuang tubuhnya ke samping. Tahu-tahu ujung kaki Jaka Lodan telah menyambar pergelangan tangan.
Pedangnya terlepas. Selanjutnya Rara Weni cuma bisa merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku ketika satu totokan hinggap di tengkuknya. Tak ampun lagi dia menjerit roboh...
Kini sepasang mata gadis bernama Rara Weni inilah yang membelalak. Jaka Lodan menghampirinya dengan mata liar bagai sepasang mata serigala. Bibirnya menyeringai meneteskan air liur. Wajah Rara Weni seketika pucat pias tak berdarah. Dia sudah dapat menduga apa yang bakal dilakukan pemuda itu.
"Haha... kau tak usah menjerit, manisku. Aku akan memperlakukan kau baik-baik!" berkata Jaka Lodan. Lengan pemuda itu terjulur ke wajah Rara Weni.
"Hm... kau lebih cantik dari Ranti. Tapi Ranti pun tak begitu jelek! Aku akan bermesraan denganmu dulu...!" Suara Jaka Lodan mendesah di telinga sang gadis ketika pemuda itu mendekatkan wajahnya. Sekujur tubuh Rara Weni menggeletar.
"Tidak! Tidaak! Oh, lepaskan aku! lepaskan aku...!" teriak Rara Weni ketakutan.
"Keparat! kau tak bisa diajak lemah lembut!" membentak Jaka Lodan. Satu tamparan keras membuat kepala gadis itu terkulai. Pingsan!
Kini Jaka Lodan tidak bersikap lemah lembut lagi. Lengannya bergerak kasar merenggut pakaian gadis itu. Hingga dalam beberapa kejap saja sekujur tubuh dara itu telah polos tanpa sehelai benang pun menutupinya. Dengan cepat Jaka Lodan melolosi pakaiannya sendiri. Tampaknya dia sudah tak sabar menahan gejolak hawa nafsunya.
Sepasang mata Ranti membelalak tak berkedip menyaksikan apa yang terjadi pada diri Rara Weni. "Iblis keparat!" teriaknya. Tapi suaranya lenyap ditenggorokan.
KEJADIAN apakah sebenarnya di tempat kediaman Raden Mas Sentono beberapa bulan yang lalu? Bagaimana sampai Jaka Lodan bisa memiliki kepandaian tinggi dan mengaku murid si Iblis Hitam Tangan Delapan? Marilah kita guar kisahnya....
Ketika pertarungan terjadi antara murid-murid Pesantren Tegal Rejo dengan si Iblis Hitam Tangan Delapan. Jaka Lodan menyaksikan dari tempat persembunyian. Dia melihat Ki Jagabaya dalam keadaan terkulai di pelukan pemuda muridnya setelah tubuhnya tertancap keris Kyai Barong.
Pemuda ini menyaksikan pertarungan itu dari awal hingga akhir. Apa yang tersirat dibenak pemuda ini? Ternyata dia mengagumi kehebatan Iblis Hitam Tangan Delapan. Dia juga menyaksikan salah seorang murid Ki Jagabaya bernama Bayu Rana yang berhasil meloloskan diri dengan membawa keris Kyai Barong yang dicabut dari tubuh gurunya.
Lalu melihat si Iblis Hitam membalikkan tubuh Ki Jagabaya yang nampak terkejut karena tak menemukan keris Kyai Barong di tubuh laki-laki tua itu. Ketika Iblis Hitam Tangan Delapan berkelebat lenyap. Jaka Londan cepat menyelinap kembali ke gedungnya.
Dengan napas terengah-engah dia menceritakan kejadian yang menewaskan Ki Jagabaya dan murid-muridnya pada Raden Mas Sentono ayahnya. Laki-laki tua ini terhenyak di kursi. Wajahnya memucat seputih kertas.
"Orang yang bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan itu hebat sekali, ayah! Aku akan mencarinya. Aku akan berguru padanya!"
Kata-kata Jaka Lodan bak petir yang menggelegar di telinga Raden Mas Sentono. "Kau gila!? Dia itu manusia iblis telengas! Kau mau berguru pada seorang Iblis?" membentak Raden Mas Sentono. Matanya mendelik, dadanya turun naik karena marahnya.
"Hm, lupakan niat gilamu itu, Jaka! Cepat kau kumpulkan orang-orang kita dan penduduk untuk bantu menguburkan mayat-mayat mereka. Aku merasa bertanggung jawab atas kematiannya!" berkata Raden Mas Sentono dengan wajah pucat. Sekujur tubuh laki-laki tua ini serasa lemah lunglai mendengar kematian orang-orang Perguruan Pesantren Tegal Rejo. Hatinya terpukul pula dengan pernyataan anak laki-lakinya.
Selesai pemakaman jenazah-jenazah itu Raden Mas Sentono termangu-mangu duduk di kursi berukirnya. Hati orang tua ini resah. Usianya semakin tua. Rasa enggan untuk meneruskan usahanya mulai terasakan olehnya. Batinnya benar-benar terpukul mendengar kata-kata Jaka Lodan. Anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan usahanya ternyata seorang yang berpandangan picik!
Demikianlah! Sejak kejadian itu Raden Mas Sentono lebih banyak termangu-mangu berdiam diri. Tubuhnya semakin menyusut. Dia seperti tak memikirkan kesehatannya lagi.
Kemanakah Jaka Lodan? Pemuda itu lebih banyak diluar rumah. Entah kemana perginya pemuda itu tak seorangpun yang mengetahui. Ya! kemanakah gerangan perginya anak muda itu? Ternyata Jaka Lodan tiada bosannya mencari dan mencari jejak Yudana si Iblis Hitam Tangan Delapan.
Niatnya untuk berguru pada orang itu tak dapat dihalangi. Demikianlah, setiap hari dia melakukan pelacakan ke pelbagai tempat. Terkadang tiga hari baru dia kembali ke rumahnya. Keadaan sang ayah sudah tak dipedulikan lagi.
Orang tua itupun seperti orang yang hilang ingatan. Sehari-harian hanya duduk termangu-mangu di kursinya. Tubuhnya semakin menyusut. Kerut-kerut wajahnya semakin nyata. Raden Mas Sentono seperti sudah tak memperdulikan Jaka Lodan lagi. Bahkan dia tak tahu pergi atau pulangnya anak muda itu.
Ternyata usaha Jaka Lodan untuk menemui je-jak Iblis Hitam Tangan Delapan membawa hasil. Kebulatan tekadnya untuk berguru pada manusia telengas itu tak menemui banyak rintangan.
"Hm, tulang-tulang tubuhmu cukup baik! Kuharap kau tak akan mengecewakanku, anak muda! Pulanglah! Aku akan segera datang!"
"Terimakasih, guru...!" sahut Jaka Lodan dengan wajah gembira. Bergegas dia kembali pulang ke gedungnya. Didapat ayahnya masih termangu-mangu di kursi. Sedikitpun tak memperdulikan kedatangan dia.
"Aku harus menyingkirkan agar tak menjadi pengganggu ku!" pikir Jaka Lodan dalam hati. Demikianlah! Jaka Lodan yang telah mempelajari ilmu menotok, segera mempergunakannya untuk menotok ayahnya Raden Mas Sentono. Dia telah menyiapkan ruangan di bawah tanah untuk menyekap sang ayah. Tanpa kesukaran dia segera menyelesaikan pekerjaannya.
Malam yang dinantikan pun tiba. Iblis Hitam Tangan Delapan muncul digedungnya. Dan sejak itulah dia mempelajari ilmu-ilmu manusia iblis itu tanpa seorangpun yang mengetahui. Ternyata si Iblis Hitam Tangan Delapan telah berbaik hati untuk memberikan sepertiga tenaga dalamnya.
Sekujur tubuh Jaka Lodan bermandi peluh ketika pemuda itu selesai melampiaskan nafsu bejatnya. Dengan senyum kepuasan yang terbayang di wajahnya pemuda itu merapikan pakaiannya kembali. Matanya menatap pada sosok tubuh Rara Weni yang tergolek tak bergerak.
Akan tetapi wajah Jaka Lodan menampakkan keterkejutan. Sekejap dia sudah membungkuk untuk mengguncang-guncang tubuh dara itu. Telinganya di tempelkan kepada gadis itu. Tak ada suara denyutan jantung di telinganya. Ternyata dara itu telah tewas di saat Jaka Lodan melampiaskan nafsu hewannya.
"Keparat! Dia sudah mampus!" maki pemuda itu dengan wajah masygul. Disentakkannya tubuh Rara Weni hingga menggelinding dan tersangkut di semak belukar.
Tentu saja semua itu tak luput dari pandangan mata Ranti. Gadis ini segera mengetahui nasib Rara Weni kakak seperguruannya itu. Pandangan matanya menjadi gelap. Bumi serasa berputar. Gadis ini menjerit histeris. Jeritan yang hanya tersekat di kerongkongannya. Selanjutnya dia telah tak sadarkan diri lagi....
Apa yang dilakukan Jaka Lodan kemudian? Dia menjambak rambut gadis itu. Diseretnya ke atas tebing. Selanjutnya sekali sentak, tubuh Ranti melayang ke dalam jurang.
"Heh! lebih baik kau menyusul saudara seperguruanmu ke Akhirat!" berkata Jaka Lodan. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat lenyap dikegelapan malam....
SELEWAT dua kali musim penghujan seorang pemuda berambut gondrong memasuki mulut sebuah desa dengan langkah lebar. Pemuda ini berbaju dan bercelana gombrong. Pakaiannya terbuat dari bahan kasar. Di punggungnya tergemblok sebuah buntalan yang bertambal. Melihat tampang dan gayanya berjalan tak pelak lagi kalau pemuda ini adalah Nanjar alias si Dewa Linglung.
"Desa apakah ini? Tak ada sepotong manusiapun yang berada di luar rumah!" Gerutu Nanjar. Sejak dari mulut desa sampai ke tengah desa memang tak dijumpai penduduk yang kelihatan batang hidungnya.
"Hm... akan kuperiksa apakah pondok-pondok ini ada penghuninya?" cetusnya dalam hati. Mulailah Nanjar memeriksa. Pondok demi pondok diperiksa. Akan tetapi sudah belasan pondok diperiksanya memang tak ada seorang pun penghuninya.
"Aneh! Apakah penduduk desa ini telah mengungsi semua dari desa ini?" pikir Nanjar.
Langkah kaki Nanjar terhenti di depan sebuah gedung tua yang tak terurus. Sejenak dia memperhatikan gedung itu. Telinganya dipasang tajam-tajam untuk mendengar barangkali ada suara-suara manusia. Akan tetapi cuma kelengangan saja yang terdengar. Sunyi, sepi!
"Hm, desa mati!" mendesis Nanjar. "Rumah ini adalah rumah yang paling bagus di sekitar desa mati ini! Entah kemana pemiliknya?" Nanjar gerakkan tubuhnya untuk melompat. Sekejap dia telah injakkan kaki di depan tangga undakan. Matanya menjalari sekitar gedung. Hampir setiap sudut tembok rumah tua itu penuh dengan sarang laba-laba. Entah mengapa Nanjar penasaran sekali untuk memeriksanya...
Dengan hati-hati dia membuka pintu depan gedung tua itu. Ternyata tak terkunci. Terdengar suara berderit. Pertanda pintu itu tak pernah dimasuki orang. Tersentak kaget pemuda ini ketika beberapa ekor kelelawar bertebaran memperdengarkan suara mencicit. Agaknya binatang-binatang itu terkejut dengan kemunculan Nanjar. Binatang-binatang itu lenyap masuk ke dalam sebuah lubang yang terdapat dilangit-langit ruangan.
"Haih! mengagetkan orang saja!" gerutu Nanjar. Hampir saja dia melompat saking terkejutnya. Rasa penasaran Nanjar untuk mengetahui isi gedung, tak bertuan itu membuat dia terus memeriksa ruangan demi ruangan. Hingga akhirnya dia sampai di lorong bawah tanah.
Alangkah terkejutnya Nanjar ketika memeriksa sebuah ruangan yang tertutup melihat sesosok kerangka di dalam ruangan itu. Hawa busuk dan bau pengap menyerang hidung Nanjar membuat dia tak berlama-lama berada dalam ruangan itu.
"Aneh! kerangka siapakah dalam ruangan tertutup itu?" pikir Nanjar. "Pintu ruangan terkunci dengan gembok besar. Berarti seseorang telah memenjarakannya dalam ruangan itu sampai menemui ajalnya!"
Cepat-cepat Nanjar keluar lagi dari dalam gedung tua yang menyeramkan itu. Niatnya untuk menginap di gedung itu dibatalkan. Apalagi Nanjar memang agak penakut dengan yang namanya hantu. Hal itu dialami sejak kecilnya.
"Hai... jangan-jangan aku didatangi hantu bila menginap di tempat ini!" desisnya dengan bulu tengkuk meremang.
"Hm, sebaiknya aku segera angkat kaki dari desa mati ini!" Nanjar yang telah mengambil keputusan segera menindak keluar untuk segera meninggalkan gedung tua itu. Cuaca memang semakin gelap. Sebentar lagi malam akan segera menyelimuti sekitar desa mati itu. Mendadak terdengar suara tertawa mengikik membangunkan bulu tengkuk. Darah Nanjar tersirap. Tengkuknya seketika meremang.
"Hantu...!?" sentaknya terkesiap. Suara tertawa itu walaupun agak jauh dan lapat-lapat, tapi dalam keadaan lengang seperti itu terdengar amat jelas.
Detik itu juga Nanjar telah berkelebat sembunyi ke balik tembok. Hatinya kebat-kebit. Suara tertawa itu semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Tak berapa lama sesosok bayangan putih berkelebat muncul tepat di depan gedung tua itu entah dari mana datangnya.
Sesosok tubuh berjubah putih ini memang menyeramkan. Mukanya memang muka tengkorak! Rambutnya tergerai putih. Sebuah tongkat yang juga berkepala tengkorak tergenggam di tangan kanannya. Gerakan yang seringan kapas itu tak menim-bulkan suara.
Akan tetapi sepasang kakinya ternyata menempel di tanah. Nyatalah kalau makhluk ini bukan hantu, hati Nanjar agak lega. Tapi diam-diam dia menahan napas khawatir makhluk yang lebih menyerupai hantu itu mengetahui tempat persembunyiannya.
"Hantu" ini kembali perdengarkan suara tertawa mengikik panjang. Suara tertawa itu ternyata lebih menyerupai tangisan. Tak lama kemudian makhluk itupun berkelebat lagi. Lalu lenyap dikeremangan malam yang mulai menjelang. Lapat-lapat masih terdengar suara tangisannya yang membuat orang yang mendengar akan meremang bulu tengkuknya.
Sesaat Nanjar tertegun mengawasi ke arah lenyapnya makhluk itu. Hatinya bertanya-tanya. "Aku yakin dia bukan hantu! Tapi pasti dia seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi. Entah siapa dia adanya?"
Namun tentu saja Nanjar tak menemukan jawaban. "Hm, aku punya pendapat pasti makhluk itu sering berkunjung kemari. Kemunculan makhluk itu kuduga ada hubungannya dengan desa mati ini. Setidak-tidaknya membuat penduduk desa ini amat ketakutan hingga mereka telah meninggalkan desanya untuk pindah ke tempat lain!"
"Eh, mengapa tak ku kuntit dia? Ku ingin tahu siapa dia sebenarnya? Suara tertawanya mirip tangisan...? Ah, sepertinya dia mempunyai dendam yang tak terbalaskan! Apakah ada hubungannya dengan kerangka manusia di dalam gedung itu?" berkata Nanjar dalam hati. Sesaat Nanjar telah berkelebat mengejar ke arah timur. Kelengangan kembali mencekam desa mati itu...
"Berhenti!" Satu bentakan keras membuat Nanjar terkesiap. Tahu-tahu di depannya telah berkelebat muncul sesosok bayangan putih yang menghadang di depannya. Tentu saja membuat si Pendekar Naga Merah alias Dewa Linglung jadi melengak. Ternyata yang menghadangnya adalah justru manusia hantu itu sendiri.
"Siapa kau? Dan apa maksudmu menyelidiki gedung tua di desa mati itu? Dan apa maksudmu membuntuti diriku?"
"Jadi dia telah mengetahui sejak aku menginjakkan kaki di desa mati itu?" Pikir Nanjar.
Namun buru-buru dia menjawab. "Mohon anda jangan salah sangka. Namaku Nanjar! Aku tak bermaksud jahat dan tak punya tujuan apa-apa selain cuma mengetahui siapa anda sebenarnya...!" sahut Nanjar polos.
Diam-diam segera dia mengetahui kalau mahluk di hadapannya itu adalah seorang wanita. Jelas dari suaranya juga potongan tubuh makhluk itu. Kini tahulah Nanjar kalau orang di depannya itu mengenakan sebuah topeng tengkorak, karena ketika berbicara mulutnya tak bergerak-gerak.
"Hm...! Namamu mengingatkan akan seorang pendekar kesohor yang bergelar si Dewa Linglung! Apakah kau adanya?"
"Hehe... kalau tidak salah memang aku orangnya!" sahut Nanjar.
"Kalau begitu kita kawan sendiri!" berkata wanita bertopeng tengkorak itu. Lengannya bergerak membuka topeng yang dikenakannya. Ternyata topeng tengkorak itu menyatu dengan rambut putih palsunya. Segera terpampang di depan mata Nanjar seraut wajah cantik seorang gadis.
"Ah ternyata anda seorang gadis yang cantik!" puji Nanjar. "mengapa anda mengenakan topeng yang menyeramkan begitu?"
Cadis itu tak menjawab pertanyaan Nanjar. Bibirnya tersenyum. "Senang sekali aku dapat berjumpa dengan anda. Bolehkan aku bersahabat denganmu?"
"Haha... mengapa tidak?" sahut Nanjar dengan tertawa.
Nanjar alias si Dewa Linglung yang secara tak sengaja singgah di desa mati itu ternyata telah membuat dia bersahabat dengan seorang gadis cantik yang menyembunyikan wajahnya di balik sebuah topeng tengkorak. Kemunculan Nanjar seperti seorang Dewa Penolong yang amat diharapkan gadis itu. Siapakah gerangan gadis cantik bertopeng hantu itu? Tampaknya sukar untuk dapat dipercaya.
Namun kenyataan telah membuktikan bahwa memang harus dipercaya. Gadis itu tak lain adalah salah seorang murid wanita Ki Jagabaya Ketua Pesantren Tegal Rejo. Dia adalah yang bernama Rara Weni! Seperti telah diceritakan Rara Weni terkena tamparan Jaka Lodan ketika pemuda itu mau melam-piaskan nafsu bejatnya.
Gadis itu terkulai tak sadarkan diri. Dan den-gan buas Jaka Lodan menyelesaikan emosi kebinatan-gannya. Akan tetapi alangkah terkejutnya Jaka Lodan ketika memeriksa gadis itu ternyata nyawanya telah melayang. Nadinya tak berdenyut lagi. Jaka Lodan beranggapan dia telah terlalu keras menamparnya.
Dengan geram bercampur masygul tubuh gadis itu disentakkan hingga terlempar dan tersangkut di semak belukar. Kemudian Jaka Lodan menyeret tubuh Ranti, adik seperguruan gadis itu. Gadis yang satunya ini bernasib lebih tragis lagi, karena dia dilemparkan ke dalam jurang.
Agaknya Yang Maha Kuasa belum mentakdirkan Rara Weni mati, karena sebenarnya dia hanya mati suri. Seseorang telah lewat di tempat itu dan menolong dirinya. Orang itulah yang kemudian menjadi gurunya. Rara Weni menceritakan riwayat hidupnya.
Nanjar manggut-manggut mendengarkan dengan serius. Diam-diam dia memuji keterus-terangan itu. "Bagaimana dengan saudara seperguruanmu yang bernama Ranti itu?" tanya Nanjar.
"Dia kami temukan tewas di dasar jurang! Aku yakin si Jaka Lodan itu telah melemparkannya!"
"Apakah kau tak mempunyai dugaan dia membunuh diri?" tukas Nanjar.
Rara Weni gelengkan kepalanya. "Ranti seorang yang keras hati. Tak mungkin dia melakukan hal itu!"
"Kau tinggal seorang diri di dalam goa di dasar jurang ini apakah tak membuat kau takut?" tanya Nanjar seraya melangkah keluar goa. Lalu tengadahkan kepala menatap ke atas tebing. Puncak tebing itu memang tinggi sekali.
"Hihihi.... kalau aku takut percuma aku bergelar si Iblis Tengkorak Putih!"
"Bukankah kau katakan itu gelar gurumu?"
"Memang! Sebelum wafat guru telah mengijinkan aku memakai gelar itu, bahkan menggunakan juga topeng tengkoraknya berikut kepala tengkorak senjata ini!"
Nanjar kerenyitkan keningnya. "Kukira itu tidak baik! Kalau gurumu mempunyai musuh, kau akan terlibat dengan urusan gurumu!" berkata Nanjar. "Eh, apakah penduduk desa mati telah pindah ke tempat lain karena gara-gara ketakutan dengan kemunculanmu?" tanya Nanjar, tiba-tiba dia teringat pada desa yang tak berpendudukan itu, ketika pertama kali dia melihat kemunculan Rara Weni yang dikiranya hantu.
"Desa itu telah lama menjadi desa mati, sebelum aku muncul dengan pakaian hantu. Dari seorang penduduk yang tersisa, seorang kakek tua renta yang kutemui, dia menceritakan bahwa penduduk desa tersebut memang pindah ke tempat lain.
Pasalnya karena di desa mereka telah menjadi tempat tinggalnya manusia telengas yang bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan! Manusia musuh besarku itu memang menetap di gedung Raden Mas Sentono dan menjadi guru si Jaka Lodan anak laki-laki hartawan tua itu.
Kerangka manusia yang berada di ruang bawah tanah adalah kerangka Raden Mas Sentono. Menurut keterangan, Jaka Lodan telah memenjarakan ayahnya di ruang itu karena tak mau ayahnya menjadi penghalang dan pengganggunya dalam mempelajari ilmu-ilmu dari si Iblis Hitam Tangan Delapan!"
"Aku terkadang muncul di desa mati itu mencari tahu kalau-kalau si Iblis Hitam Tangan Delapan atau Jaka Lodan bisa kutemui. Ketika aku telah melihat kau memasuki desa mati itu, diam-diam aku mengutit mu....!" Rara Weni akhiri keterangannya.
"Hm, aku akan membantumu untuk mencari tahu dimana adanya kedua manusia durjana itu! Dimana kita bisa mengadakan pertemuan? karena aku perlu memberitahukan padamu bila ternyata aku berhasil menjumpai salah satu dari mereka?" berkata Nanjar.
"Kau hendak mencari kemana?" balik bertanya Rara Weni.
"Aku akan mencari ke arah selatan!" jawab Nanjar.
Rara Weni tercenung sejurus. Tampaknya dia enggan berpisah dengan si Dewa Linglung. "Ah, sebaiknya kita mencari bersama-sama...!"
Nanjar garuk-garuk kepala. Berjalan bersama seorang gadis cantik seperti Rara Weni bukannya dia tidak mau, tapi Nanjar merasa risih dan kurang bebas.
"Kau keberatan?" pertanyaan Rara Weni berna-da kecewa karena Nanjar seperti berat untuk menjawab.
"Haha... tidak! Tapi.. tapi aku tak mau kau memakai topeng dan pakaian hantu itu!" ujar Nanjar dengan wajah nyengir seperti takut.
Rara Weni tertawa. "Baiklah! Aku takkan memakainya. Kapan kita berangkat?"
"Sekarang!" sahut Nanjar. Dia memang sudah tak betah tinggal dalam goa yang pandangan matanya terbatas pada dinding tebing.
Tak lama keduanya telah berkelebat mening-galkan goa di dasar jurang itu. Tampak Rara Weni benar-benar gembira. Semangat hidupnya seperti muncul lagi. Kedatangan Nanjar telah membuat dia yakin suatu saat dia akan berhasil membalaskan dendamnya....
MELACAK jejak si Iblis Hitam Lengan Delapan dan muridnya memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa kota dan desa telah disinggahi mereka, namun tanda-tanda adanya kedua manusia itu belum kelihatan.
Hampir setiap orang yang ditanyai menggelengkan kepala tak mengetahui dimana adanya kedua orang itu. Di hari ketujuh seorang pengemis tua menghampiri mereka. Tampaknya pengemis ini menaruh perhatian terhadap kedua orang ini.
"Siapakah kalian anak-anak muda? Apakah ada yang bisa kubantu?"
Nanjar kerenyitkan keningnya menatap pada si pengemis. Rara Weni menindak mendekati sebuah batu besar lalu duduk di atasnya. Di bibirnya terselip sebatang rumput yang sejak tadi digigitnya. Tampaknya Rara Weni mulai jemu pada pencarian yang belum membawa hasil itu. Kini muncul seorang pengemis tua. Apakah yang diharapkan dari pengemis itu?
"Kami mencari seseorang yang bernama Yudana. Dia bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan. Dan seorang lagi bernama Jaka Lodan. Usianya kira-kira hampir sebaya denganku! Pemuda itu murid laki-laki yang kusebutkan tadi! Apakah bapak dapat memberi ku petunjuk dimana adanya kedua orang itu atau salah satu dari keduanya?" berkata Nanjar.
Pengemis tua itu tercengung sebentar. "Agaknya yang anak cari adalah orang-orang kaum persilatan? Hm, aku tak mengenal nama-nama dan gelar itu. Akan tetapi aku cuma bisa memberi petunjuk seperti yang kau harapkan...!" sahut pengemis itu.
"Pada bulan dimuka nanti tanggal satu aku mendengar akan ada perayaan besar di puncak gunung Arjuno. Kabarnya akan diadakan pertandingan ilmu kedigjayaan. Nah! kalian datanglah ke sana!"
Hampir saja Nanjar berjingkrak kegirangan saking gembiranya. "Oh, terimakasih, pak tua! Petunjukmu amat berharga sekali! Ini, terimalah untukmu!" berkata Nanjar seraya merogoh saku bajunya, lalu berikan pengemis tua itu dua keping uang receh.
Pengemis tua itu manggut-manggut girang menerima pemberian Nanjar. "Boleh aku mengetahui siapa anak?" tanya si pengemis tua.
"Namaku... Nanjar!" sahut Nanjar. Selesai menjawab, si Dewa Linglung melompat ke depan Rara Weni. Lengannya mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Hayo kita tinggalkan tempat ini!"
"Kemana lagi?" tanya Rara Weni.
"Ke puncak gunung Arjuno!" sahut Nanjar.
"Kau yakin dapat menemukan kedua manusia iblis itu di sana?" tanya Rara Weni sambil berlari-lari mengimbangi kecepatan lari si Dewa Linglung.
Nanjar tertawa. Lengannya memeluk pinggang dara itu yang agak merapat berada di sebelahnya. "Haha... mengapa tidak? Setiap ada gula pasti ada semut! Dengan adanya berita pertandingan ilmu kedigjayaan di puncak gunung Arjuno, bisa dipastikan kedua guru dan murid bejat itu muncul di tempat itu!" berkata Nanjar.
"Ah, kau cerdas sekali Dewa Linglung! Petunjuk kakek pengemis itu amat berharga sekali!" kata si gadis dengan girang. Girang pula hatinya karena sikap Nanjar yang tak disangka-sangka itu. Lebih dari sepekan selalu bersama-sama dengan pemuda itu membuat hati si dara cantik ini sering berdebaran. Akan tetapi membayangkan akan keadaannya yang sudah mendapat aib, perasaan hatinya yang melantur dibuangnya jauh-jauh.
"Aku telah ternoda, mana mungkin dia ada hati terhadapku? Dia toh cuma bermaksud mau menolongku saja, tanpa pamrih apa-apa....!" pi-kirnya dalam hati.
Tiba-tiba Rara Weni tersentak kaget karena detik itu juga tubuhnya meluncur pesat ke udara. Hampir saja dia berteriak terkejutnya. Tapi baru dia menyadari ketika pemuda itu menunjuk ke bawah.
"Lihat! Ular...!" berkata Nanjar.
"Oh, banyak sekali?" sentak Rara Weni terkesiap. Barulah dia mengetahui apa arti pelukan pemuda itu. Dengan melakukan lompatan-lompatan seperti "terbang" itu Nanjar menjauhi tempat itu.
"Perjalanan ke gunung Arjuno akan memakan waktu paling sedikit tiga hari. Tanggal satu bulan dimuka akan menginjak waktu empat hari. Berarti kita punya waktu satu hari untuk menyelidiki apakah Iblis Hitam Tangan Delapan dan Jaka Lodan datang ke tempat itu?" berkata Nanjar, selepas menghindari bahaya.
"Apakah kau yakin si kakek pengemis itu tidak berdusta? Aku melihat sinar matanya yang aneh ketika menatapku..."
"Ah, resiko apapun akan kita tempuh! Bukankah kita sedang mencari bahaya? Kalau pengemis tua itu berniat mencelakakan kita, bukanlah suatu hal yang aneh! Rimba persilatan adalah tempatnya bahaya. Setiap detik dan saat nyawa adalah taruhannya!" ucap Nanjar dengan gamblang.
Benar saja apa yang dikatakan Nanjar. baru saja habis bicaranya mendadak terdengar suara tertawa terkekeh, diiringi berkelebat muncul dua sosok tubuh. Yang membuat Nanjar terkejut juga terheran adalah kedua orang itu berwajah dan berpakaian mirip satu sama lain. Diam-diam dia tersentak kaget ketika teringat akan siapa adanya dua orang kembar ini.
"Hm, apakah aku berhadapan dengan Dua Iblis Kembar Kenca Rupa dan Rupa Kenca?" bertanya Nanjar dengan sikap waspada.
"Heheheh.... tidak salah! Sepasang matamu cukup tajam. Mungkin kaupun telah punya firasat juga bahwa hari ini adalah hari yang sial buat kau si Dewa Linglung!" Laki-laki sebelah kiri yang bernama Kenca Rupa tertawa mengekeh selesai berkata demikian. Yang di sebelah kanan cuma menyengir menatap Rara Weni dengan menyeringai kurang ajar.
Diam-diam Rara Weni terkejut mendengar siapa adanya kedua orang itu. Gurunya pernah memperingatkan agar berhati-hati dengan orang ini. Mendengar kata-kata Kenca Rupa, Nanjar tertawa gelak-gelak.
"Haha... justru aku berfirasat bahwa hari ini aku akan mendapat rejeki, yaitu mengemplang dua kepala manusia kembar!"
"Kurang ajar!" memaki Rupa Kenca yang tadi cengar-cengir menatap Rara Weni. "Kakang Kenca Rupa. Biar aku meringkus bocah linglung ini, kau yang meringkus gadis ayu kawannya itu. Tapi ingat, jangan kau apa-apakan dulu. Tunggu sampai aku selesai mengurusi setan cilik ingusan ini!" Sekali lompat dia telah berada di hadapan Nanjar.
"Nah! Firasatku benar! Sudah datang orang yang minta lebih dulu dikemplang kepalanya!" ujar Nanjar.
"Setan kecil! Jaga seranganku!" bentakan Rupa Kenca disusul dengan kibasan jubahnya. Whuuuk! Sambaran keras menyambar ke arah si Dewa Linglung. Hawa panas bagaikan memanggang tubuh Nanjar. Namun dengan gerakan telapak tangannya mendorong ke depan. Angin panas itu berbalik menjadi serangkum angin yang siap membakar tubuh Rupa Kenca.
Terkejut laki-laki ini. Akan tetapi sepasang lengannya menyapu serangan balikan itu untuk membuyar ke empat penjuru. "Bagus! Ilmu kedigjayaan mu cukup lumayan, setan kecil! Kini jaga serangan berikutnya!" teriak Rupa Kenca. Mendadak tubuhnya melesat ke depan Nanjar. Sepasang lengannya bergerak cepat sekali me-nyambar ke batok kepala Nanjar. Sedangkan sebelah lagi menghantam dada si Dewa Linglung.
Nanjar perdengarkan bentakan keras. Mendadak dia doyongkan tubuh ke belakang hampir rata dengan tanah. Dua serangan berbahaya itu lolos. Akan tetapi ganti Rupa Kenca yang terkejut. Tahu-tahu ujung kaki Nanjar telah menyambar ke selangkangannya.
Cepat sekali Rupa Kenca merobah posisi untuk menghindarkan serangan itu. Dengan gerakan jurus Raja Iblis Menggeliat, dia berhasil mengelakkan diri. Gusarlah Rupa Kenca. Dalam dua jurus barusan dia sengaja menjajal lawan dengan serangan-serangan biasa. Ternyata nyaris dirinya kena pecundangi lawan. Mendadak Rupa Kenca cabut senjatanya berupa sebuah kipas.
"Hehehe.... jangan menyesal kalau senjataku akan menghirup darahmu, Dewa Linglung!" berkata Rupa Kenca. Selanjutnya dengan tak mengulur waktu lagi Rupa Kenca telah menerjang lawannya dengan serangan-serangan gencar. Hampir sukar dapat dilihat serangan-serangan Rupa Kenca. Tebasan Kipas maut tak ubahnya bagaikan kilatan-kilatan cahaya yang mengurung Nanjar dari segenap penjuru.
Namun Nanjar telah pergunakan jurus-jurus lompatan kera untuk mengimbangi serangan lawan. Sedangkan lengannya bermain dengan jurus ular. Setiap kali serangan lawan berhasil dielakkan setiap kali itu pula lengan Nanjar mematuk.
Tentu saja Rupa Kenca tak membiarkan dirinya terkena patukan itu. Dengan berteriak marah dia mempercepat serangannya. Namun terkejut Rupa Kenca karena justru sebaliknya patukan-patukan ganas lebih cepat lagi menyerangnya.
"Edan! Ilmu apa yang digunakan setan kecil ini?" sentaknya terkejut. Kali ini Rupa Kenca sudah habis sabarnya dan merasa dipermainkan oleh lawan. Dengan perdengarkan bentakan menggeledek mendadak tubuhnya lenyap terbungkus oleh bayangan kuning!
Sementara itu Rara Weni dengan sigap mengelakkan serangan-serangan Kenca Rupa. Bahkan dia tak berdiam diri untuk mandah diserang begitu rupa. Dara ini balas menyerang dengan gempuran-gempuran pukulan yang cukup membuat lawannya terkejut.
"Heh!? apa hubungannya kau dengan si Iblis Tengkorak Putih?" bentak Kenca Rupa.
"Dia guruku!" sahut Rara Weni seraya sarangkan pukulan tangannya menghantam pergelangan tangan lawan yang meluncur ke arah dada.
Whuuk! Pukulan ke arah dada itu telah ditarik lagi, namun sebaliknya Kenca Rupa beralih menghantam ke pangkal paha. Yang disebut menghantam itu ternyata cuma gerak tipuan tangan kirinya saja. Justru sebenarnya lengan kanannya yang secepat kilat bergerak menyelinap ke sela kaki si gadis.
Terkejut Rara Weni, jurus kurang ajar itu membuat sepasang matanya melotot dan wajahnya bersemu merah. Sebelum ujung jari Kenca Rupa menyentuh barang terlarangnya, mendadak gadis ini kipratkan rambutnya menghantam kepala lawan.
Kenca Rupa tersentak kaget. Sambaran rambut sang dara itu bisa mengakibatkan matanya buta bila terkena ujung-ujungnya. Gagallah niat Kenca Rupa mencolekkan jarinya, karena dia harus tarik lengannya lagi untuk menangkis serangan.
Pras....!
Perbuatan konyol Kenca Rupa telah ditebus cukup mahal. Karena detik itu juga dia berteriak kesakitan. Lengan jubahnya hancur terkena kipratan rambut Rara Weni. Bahkan sampai melukai kulitnya. Marahlah Kenca Rupa. Dengan membentak keras dia mencabut senjatanya. Senjata Kenca rupa bukannya sebuah kipas akan tetapi seuntai tasbih hitam.
Dengan senjata ini Kenca Rupa menyerang si gadis bertubi-tubi. Sambaran tasbih hitamnya seperti seekor ular yang mematuk ganas ke setiap anggota tubuh lawan. Mengetahui lawannya adalah murid si Iblis Tengkorak Putih, Kenca Rupa tak sungkan-sungkan lagi untuk segera merobohkan dara itu.
Rara Weni terdesak dengan serangan-serangan ganas ini. Membuat dia terpaksa harus kerahkan kekuatan sekuat tenaga untuk menghindari serangan.
Melihat Rara Weni terdesak Nanjar segera robah gerakkannya untuk menekan lawan. Justru saat itu Rupa Kenca tengah siap pergunakan jurus-jurus saktinya. Tubuh laki-laki itu lenyap terbungkus bayangan kuning jubahnya. Mendadak di saat Nanjar siap mengganti jurus serangannya, satu bentakan terdengar membelah udara.
"Tanggal nyawamu, bocah!" bentakan itu disusul dengan meluncurnya selarik sinar ungu ke arah si Dewa Linglung. Akan tetapi kali ini Nanjar telah siapkan satu pukulan untuk menyambut serangan itu.
Bhlang!
Terdengar pekikan Rupa Kenca. Tubuhnya terlempar empat-lima tombak. Apa yang terjadi? Tubuh Rupa Kenca berubah seperti sebuah arca yang terbungkus lapisan es. Hawa dingin mengembara di sekitar tempat itu! Dan senjata kipas maut manusia kembar itu hancur berkepingan.
Itulah jurus pukulan tenaga dalam sungsang yang bersumber dari tenaga dalam Inti Es yang telah digunakan si Dewa Linglung. Dia masih dalam keadaan kepala menempel di tanah dan sepasang kaki ke atas.
Melihat keadaan saudara kembarnya, Kenca Rupa terkesiap. Dia berkelebat memburu. Selanjutnya dengan gerakan cepat segera dipondongnya tubuh kaku saudara kembarnya. Dan berlalu dari tempat itu setelah meninggalkan ancaman.
"Tunggu saat pembalasanku, Dewa Linglung! Hari ini kami kalah, tapi suatu hari akan kau rasai pembalasan kami yang lebih keji!"
HAMPIR setengah hari Nanjar dan Rara Weni memutar sekitar puncak gunung Arjuno. Akan tetapi tak ada seorang manusiapun yang kelihatan batang hidungnya. Padahal hari itu sudah tepat tanggal satu bulan Rajah.
"Apakah mereka belum ada yang datang?" celetuk Nanjar. Dia mulai curiga dengan petunjuk si pengemis tua itu.
"Huh! jangan-jangan dia mau menjebak kita di tempat ini!" berkata Rara Weni. Gadis ini melompat mendekati pemuda kawannya.
"Kita sudah terlanjur datang ke tempat ini. Kalau dia mau menjebak kita mengapa tak lekas turun tangan?" berkata Nanjar. Suaranya sengaja dikeraskan hingga terdengar ke seantero puncak gunung.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh menyibak kelengangan. Dari lereng puncak sebelah depan tampak muncul sesosok bayangan abu-abu. Ringan sekali gerakannya, dalam beberapa kali melompat sosok tubuh itu sudah terlihat jelas dan hinggap di atas batu besar di depan mereka.
Segera terlihat siapa adanya sosok tubuh itu. Seketika paras Nanjar dan Rara Weni berubah. Karena orang yang muncul ini tiada lain dari si pengemis tua yang menunjukkan tempat ini.
"Heheh..heh... kalian dua orang muda memang sengaja ku jebak untuk datang ke tempat ini. Terutama kau Pendekar Naga Merah! Semoga kau tidak linglung seperti julukanmu yang satu itu!" berkata pen-gemis tua itu. "Apa yang kuinginkan memang tak jauh berbeda dari sangkaan kalian, karena aku akan membuat puncak gunung Arjuno ini sebagai tempat kuburan kalian!"
Tentu saja kata-kata si pengemis tua membuat Rara Weni gusar bukan kepalang. Wajahnya merah padam karena marahnya. Detik itu juga dia telah melompat ke depan seraya membentak. "Pengemis rudin! Aku sudah menduga hal ini! Akan tetapi kami tak takut mati! Silahkan, apa yang akan kau perbuat! Tapi katakan dulu siapa sebenarnya kau ini? Mengapa berniat mencelakakan kami?"
"Heheh...heh... akulah si Iblis Hitam Tangan Delapan yang kalian cari!" sahut orang tua itu. Lengannya bergerak menarik kulit mukanya. Ternyata di balik wajah palsu itu segera terpampang seraut wajah yang segera dikenalnya.
"Hah!?" seperti disengat kala, Rara Weni tersentak kaget. Tak terasa kakinya melangkah mundur dua tindak. Tapi detik itu juga wajah Rara Weni berubah beringas. Terbayanglah wajah gurunya yang tewas di tangan manusia iblis dan terbayang dirinya sendiri di saat diperkosa manusia yang masih keponakan gurunya itu.
"Demi arwah guru dan saudara-saudara seperguruanku aku telah bersumpah untuk membunuhmu manusia iblis! Kini telah datang saatnya kau menerima ganjaran atas perbuatanmu!" membentak Rara Weni. Sekali lengannya bergerak, dia telah mengirimkan serangan ke arah si pengemis tua alias Iblis Hitam Tangan Delapan.
Hantaman-hantaman dahsyat saling susul tidak sedikitpun memberi peluang bagi Iblis Hitam Tangan Delapan untuk jejakkan kaki agak lama di tanah. Sejak berguru pada Iblis Tengkorak Putih. Rara Weni bukanlah seorang wanita yang dianggap enteng lagi. Yudana cukup terkejut melihat serangan-serangan gadis itu yang jauh diluar dugaannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang telah cukup malang-melintang di dunia persilatan dan banyak makan asam garam dalam pertarungan, serangan itu tak membuat dia khawatir karena segera dapat mengetahui seberapa tingginya ilmu kedigjayaan sang dara. Diiringi satu bentakan menggeledek, mendadak tubuh Yudana lenyap!
Di detik itu juga tiba-tiba Rara Weni perdengarkan teriakan kaget. Plak! Tubuhnya terdorong ketika kedua lengan mereka beradu. Pandangan mata Rara Weni seperti nanar. Telapak tangannya terasa sakit bukan main. Tubuhnya terhuyung. Pada detik itulah tiga larik sinar kuning meluncur ke arah sang dara ini.
"Segera berangkatlah kau ke akhirat, bocah cantik!" teriak Yudana dengan tertawa mengekeh.
Nyawa Rara Weni cuma tinggal beberapa detik lagi. Cahaya kuning itu adalah tiga buah kancing baju terbuat dari tulang yang mengandung racun luar biasa dahsyatnya. Buktinya bau amis menebar tercium hi-dung tatkala tiga sinar kuning itu melesat dari lengan si Iblis Hitam Tangan Delapan.
Pada detik itu juga tiba-tiba tiga buah benda telah meluncur pesat menghantam mental ketiga buah senjata rahasia itu. Itulah tiga butir kacang tanah yang telah dijentikkan Nanjar untuk menggagalkan serangan si Iblis Hitam Tangan Delapan.
Mendelik mata Yudana melihat serangannya menemui kegagalan. Tahulah dia siapa yang telah menggagalkannya. Bibirnya tersenyum menyeringai. Dan dia telah gerakkan lengannya dengan kerahkan pukulan jarak jauh.
Whuuuuk...! Bhlarrr!
Hantaman itu mengenai tempat kosong. Tiga batang pohon sebesar paha terhantam hancur beserpihan.
"Jurus Menggempur Bumi yang hebat!" teriak Nanjar. Dibalik kepulan asap tipis tampak si Dewa Linglung berkelebat menghindari serangan. Namun detik berikutnya dua kali hantaman berturut-turut membuat pemuda itu kembali melejitkan tubuhnya ke udara untuk selamatkan diri.
"Simpanlah tenaga dalammu, Iblis Hitam! Aku khawatir kau kehabisan tenaga nanti di saat kau memang memerlukannya!" berkata Nanjar seraya menukik tajam. Itulah gerakan menukik jurus Bangau Sakti. Begitu kakinya menginjak tanah mendadak terdengar suara gerangan seekor harimau diiringi berkelebatnya sosok bayangan menerkam ke arah Yudana.
Brreet!
Terdengar suara robekan kain, berbareng dengan teriakan kaget si Iblis Hitam Tangan Delapan. Bukan kepalang terkejutnya dia karena tiba-tiba Nanjar telah menerjangnya dengan mempergunakan jurus Harimau!
Perubahan-perubahan gerakan Nanjar yang berjulukan si Dewa Linglung itu sukar diduga. Hingga kali ini dia harus menerima resiko yang tidak kecil. Punggungnya tergores dan mengucurkan darah yang terasa pedih di kulit. Jubahnya terkoyak hancur kena cengkeraman si Pendekar Naga Merah.
Nanjar yang merasa Iblis Hitam Tangan Delapan bukanlah lawan Rara Weni segera menerjang manusia itu. Sengaja dia membuat gerakan yang membuat lawan menciut nyalinya. Yudana memang telah bertindak kurang hati-hati dan terlalu memandang rendah lawan. Namun hal itu justru membuat Iblis Hitam Tangan Delapan menjadi beringas.
"Bagus! kau hadapilah ilmuku!" bentak Iblis Hitam Tangan Delapan. Mendadak dia melompat mundur dua tombak. Sepasang matanya menatap Nanjar tak berkedip. Kilatan cahaya aneh dari sepasang mata manusia ini seperti mengandung pengaruh ajaib.
Tampaknya Nanjar seperti terkesima menatap lawannya. Pada saat itu kelihatan sepasang lengan Iblis Hitam Tangan Delapan bergerak melingkar. Gerakan itu dilakukan secara perlahan. Akan tetapi segera tampak keanehan dari manusia itu. Sepasang lengannya men-dadak "tumbuh" seperti menjadi delapan!
Bukan itu saja. Tubuh manusia iblis inipun telah memecah pula menjadi empat sosok. Keempat sosok itu melompat dan memecah diri mencari dua bagian. Sebagian ke kanan dan sebagian lagi ke kiri. Kedua kelompok itu tiba-tiba memecah lagi, masing-masing berubah menjadi empat. Demikianlah seterusnya. Beberapa kejap saja Nanjar telah dikurung oleh berpuluh-puluh lawannya. Inilah ilmu terdahsyat si Iblis Hitam Tangan Delapan!
Saat itu Nanjar seperti terkena hipnotis, berdiri terpaku dengan mata yang berkesiap melihat perubahan demi perubahan pada tubuh lawannya. Akan tetapi tidaklah demikian. Karena Nanjar tengah memusatkan kekuatan batinnya untuk menghadapi sang lawan! Kali ini Nanjar memang tidak main-main, karena segera terlihat si Dewa Linglung telah mencabut keluar senjatanya, pedang mustika Naga Merah!
SESOSOK tubuh menyelinap ke balik batang-batang pohon. Bergerak kian mendekat ke arah tempat pertarungan di puncak gunung Arjuno itu. Gerakannya bagaikan seekor musang yang mengincar ayam. Beberapa saat saja telah berada di belakang gadis bernama Rara Weni itu.
Tiba-tiba secepat kilat sosok tubuh itu telah melompat tanpa menimbulkan suara. Lengannya bergerak menotok. Sebelum gadis itu perdengarkan teriakan kaget, lengan masuk sosok tubuh itu telah membekap mulutnya. Dan... detik selanjutnya dengan sebat tanpa menimbulkan suara, sosok tubuh itu berkelebat lenyap dari tempat itu dengan memondong korbannya....
Sementara itu, di bawah lereng gunung Arjuno, tampak seekor kuda berpenunggang seorang laki-laki muda berlari cepat menyusuri lereng terjal. Ternyata jalan yang ditempuh tak memungkinkan untuk mengendarai kuda. Laki-laki itu tarik kendali kudanya. Terdengar suara meringkik, yang di susul dengan berhentinya sang kuda tunggangan.
Sejenak dia termangu memandang ke atas, ternyata di seorang laki-laki. Usianya sekitar 19 atau 20 tahun. Pakaiannya dapat dikatakan pakaian seorang perwira atau hamba kerajaan. Wajahnya diliputi ketegangan. Tampak dia melompat dari punggung kuda. Kemudian dengan cepat menambatkan kuda tunggangannya di bawah sebatang pohon.
Sesaat dia menengadah memandang ke atas gunung. Hatinya agak diliputi keraguan. Akan tetapi kekerasan hatinya tampak membayang pada pancaran matanya yang tajam.
"Aku yakin, seyakin-yakinnya pada orang yang satu itu! Akan tetapi pengemis tua itu aku tak mengenalnya!" gumamnya lirih.
"Persetan dengan pengemis itu. Yang jelas aku telah melihat si Jaka Lodan! Bagaimanapun tampangnya manusia bernama Yudana, bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan itu, yang jelas pengemis tua itu jalan bersama Jaka Lodan! Jadi kuambil kesimpulan saja pengemis itu adalah si Iblis Hitam Tangan Delapan!" berkata tegas pemuda ini dalam hati.
Siapakah anak muda ini gerangan? Ada permusuhan apakah dia dengan Jaka Lodan dan Iblis Hitam Tangan Delapan? Dia tak lain dari Bayu Rana murid termuda Ki Jagabaya yang berhasil menyelamatkan di-ri dari kematian. Bagaimana sampai Bayu rana sampai di tempat ini dan menjadi seorang perwira Kerajaan, ceritanya cukup panjang....
Dengan membawa sepucuk keris berlumuran darah, Bayu Rana menyelinap dan berkelebat cepat untuk menyelamatkan diri. Hatinya tersayat melihat kematian guru dan saudara-saudara seperguruannya. Dadanya serasa terbakar oleh dendam sedalam lautan. Dia telah bersumpah untuk membalaskan dendam itu!
Nasib dan peruntungan orang di tangan Yang Maha Kuasa, baru beberapa puluh tombak dia melarikan diri, telah terdengar bentakan keras Iblis Hitam Tangan Delapan yang berhasil mengejar dan mengetahui jejaknya.
Mati-matian Bayu Rana mempertahankan nyawa juga keris Kyai Barong dari tangannya namun tak urung keris pusaka itu berhasil direbut juga oleh si Iblis Hitam Tangan Delapan. Di saat kematiannya diambang pintu, seorang kakek telah muncul dan memberikan pertolongan terhadapnya.
Melihat kemunculan kakek tua renta itu telah membuat ciut nyali Iblis Hitam Tangan Delapan. Saat itu juga dia segera berkelebat melarikan diri. Kakek itu tak mengejar. Bayu Rana mendongkol hatinya dan mengatakan mengapa si kakek tak membiarkan dirinya mati? Karena kakek itu telah membiarkan Iblis Hitam melarikan diri.
Dikatakannya bahwa si Iblis Hitam Tangan Delapan telah merebut senjata pusaka keris Kyai Barong milik gurunya! Akan tetapi dengan tersenyum si kakek gerakkan lengannya ke balik jubah. Ketika dikeluarkan lagi tampak keris Kyai Barong telah berada di tangan kakek itu.
Terkejut dan girang hati Bayu Rana. Dan ketika itu juga dia telah bersujud seraya mengucapkan terima kasih tiada putusnya. Demikianlah, Bayu Rana kemudian memohon dirinya dijadikan murid kakek tua renta itu.
Kakek itu tak menolaknya dan membawa Bayu Rana ke tempat tinggalnya. Dua tahun berada di tempat si kakek dan berguru dengan orang tua itu telah membuat bertambahnya ilmu-ilmu kedigjayaan Bayu Rana.
Ternyata kakek itu adalah guru Adipati Kenikir. Ketika dua tahun kemudian Adipati Kenikir datang ke tempat tinggal gurunya, telah bertatap muka dengan Bayu Rana. Adipati Kenikir tertarik melihat pemuda itu dan menawarkan jabatan perwira pada Bayu Rana.
Desakan Adipati Kenikir telah membuat pemuda itu tak dapat menolak, hingga beberapa bulan kemudian Bayu Rana diangkat menjadi seorang prajurit kepala di Kadipaten. Kepergian Bayu Rana adalah diluar sepengetahuan Adipati Kenikir. Tapi dia telah meninggalkan sepucuk surat untuk sang Adipati yang juga kakak seperguruannya itu.
Bayu Rana keluarkan keris dari pinggang yang tersembunyi tertutup bajunya. Ditatapnya keris Kyai Barong yang telah merenggut nyawa Ki Jagabaya gurunya dahulu. Keris itu telah mempunyai warangka baru yang telah dibuatkan oleh seorang pandai besi di Kota Raja.
Ketika dicabut keluar segera terpancar cahaya ungu disertai hawa dingin yang menggidikkan. Cepat-cepat Bayu Rana masukkan lagi keris pusaka itu ke dalam warangka dan selipkan lagi di pinggangnya.
"Aku sudah tak sabar untuk membalas dendam! Biarlah! Sengaja aku tak mau mencampurkan urusan pribadiku ini dengan kakang Adipati Kenikir!" berkata Bayu Rana dalam hati.
Tekadnya telah bulat! Sejak dia melihat Jaka Lodan dan seorang pengemis tua dia diam-diam membuntuti. Ternyata Jaka Lodan dan pengemis itu menuju ke puncak gunung Arjuno dengan gerakan cepat.
Tak ayal Bayu Rana segera kembali ke pasukannya. Setelah membuat surat, lalu menitipkan pada seorang prajurit untuk diberikan pada Adipati. Dia sendiri tak turut kembali ke Kadipaten, tetapi segera bedal kudanya untuk menuju ke lereng gunung Arjuno. Itulah sebabnya siang itu dia telah berada di lereng gunung itu.
Setelah memikir sejenak untuk mengambil ke-putusan. Bayu Rana tak menanti lebih lama lagi untuk segera mendaki gunung Arjuno dengan memperguna-kan ilmu lari cepat.
TERKEJUTNYA Rara Weni tiada alang-kepalang melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Jaka Lodan! kau.... kau..."
"Hahaha... haha... sungguh tak kuduga aku masih bisa bertemu dengan kau Rara Weni! Ajaib! ternyata kau masih hidup? Ah, Tuhan benar-benar maha Kuasa! Aku masih bisa dipertemukan lagi padamu. Dan kau.... haha... kau semakin cantik saja, Rara Weni!" berkata Jaka Lodan dengan tertawa menyeringai.
"Manusia jahanam! Kau masih mengakui kekuasaan Tuhan?" meludah Rara Weni. "Cuih! mulut busukmu itu lebih baik kau simpan untuk di Neraka! Kau lepaskan aku, manusia pengecut! Kau tak pantas jadi laki-laki! Kau pun tak pantas jadi perempuan! Yang lebih tepat padamu adalah jadi binatang!"
Mengembung pipi Jaka Lodan bahwa gusarnya. Lengannya bergerak melayang menampar pipi gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dia telah menahannya, menarik pukulannya. "Haha... makilah aku sepuasmu, wong manis! Hari ini toh sudah menjadi ketetapan hari kematianmu juga kawanmu itu! Hahaha... setelah aku puas, segera aku akan kirim nyawamu ke Akhirat!"
Selesai berkata Jaka Lodan menarik pakaian dara itu dan mencabik-cabiknya hingga dalam beberapa kejap saja tubuh dara itu telah membugil...
Menjerit-jerit gadis itu dalam keadaan tak berdaya. Akan tetapi jeritan yang tak berarti. Karena dia tak mampu menggerakkan sedikit pun anggota tubuhnya untuk meronta. Bahkan jeritan dara itu seperti sebuah irama musik yang menambah gejolak birahi laki-laki terkutuk ini.
Dengan tertawa gelak-gelak dia segera melolosi pakaiannya sendiri. Selanjutnya bagaikan seekor seri-gala lapar yang melihat segumpal daging mentah, dia telah menerkam sosok tubuh di hadapannya...
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras yang dibarengi dengan terlemparnya tubuh Jaka Lodan membentur batu. Pandangan mata Jaka Lodan berputar-putar. Kepalanya serasa hancur saking kerasnya beradu dengan batu gunung.
Bukan main terkejutnya pemuda ini ketika melihat di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh dengan pakaian perwira Kerajaan. Dilihatnya pula Rara Weni telah bebas dari pengaruh totokan. Dara itu berkelebat melompat dan menyambar sisa-sisa pakaiannya untuk menutupi auratnya.
"Siapa kau?" membentak Jaka Lodan. Dalam keadaan ciut nyalinya dia masih sempat-sempat menggertak.
"Hm, kau tak mengenalku lagi karena aku mengenakan pakaian ini! Tapi kau akan ingat dengan nama Bayu Rana!"
"Bayu Rana?" sentak Jaka Lodan. Kau murid termuda Ki Jagabaya?"
"Tidak salah! Hari ini aku tak akan mengampuni kau lagi, Jaka Lodan! Kelakuanmu dan sekian banyak perbuatanmu telah membuat namamu tertulis dengan huru-hara besar sebagai buronan Kerajaan! Di samping itu pula kau punya salah pribadi denganku! Aku tak menganggapmu sebagai buronan kerajaan yang harus kutangkap. Akan tetapi aku menganggapmu sebagai manusia yang telah menjadi murid pembunuh guruku!" berkata Bayu Rana. Suaranya menggetar bahwa menahan gusarnya.
"Dia telah membunuh Ranti saudara seperguruan kita! Dan..." Teriak Rara Weni seraya melompat mendekati Bayu Rana.
"Cukup, Rara Weni! biarkan keris pusaka Kyai Barong ini yang mengirim nyawanya ke liang Akhirat!" potong Bayu Rana. Secepat kilat Bayu Rana telah mencabut kerisnya dari pinggang dan detik itu juga telah dihunjamkan ke tubuh Jaka Lodan.
Gerakan secepat kilat itu sukar untuk bisa dielakkan lagi. Seketika itu juga dada Jaka Lodan telah tertembus keris Kyai barong. Tepat di ulu hatinya!
"Hah!? kau...kau..." mendelik sepasang mata Jaka Lodan. Wajahnya mengelam. Lengannya terangkat untuk melakukan pukulan. Akan tetapi dengan perdengarkan jeritan parau, laki-laki itu terjungkal roboh. Setelah beberapa saat meregang nyawa, Jaka Lodan menghembuskan nafasnya. Nyawanya melayang ke Akhirat!
Nama Iblis Hitam Tangan Delapan memang bukan nama kosong! Dengan perdengarkan suara tertawa mengekeh yang tak ketahuan dimana arahnya, bayangan-bayangan manusia iblis itu telah menerjang ke arah Nanjar.
Nanjar perdengarkan suara tertawa gelak-gelak untuk menindih suara tertawa lawan yang mempengaruhi kekuatan batinnya. Pedang mustika Naga Merah menderu menabas barisan sosok tubuh lawan di sebelah kiri. Sinar merah berkelebat.
Crass!
Terdengar suara berderak batang-batang pohon yang tumbang, akibat terkena tebasan sinar pedang Naga Merah yang hebat. Akan tetapi bayangan-bayangan itu lenyap. Justru bayangan di sebelah kiri yang menerjang dia. Delapan bayangan hitam berbentuk ular tiba-tiba menerjang dari arah samping dan belakang. Itulah tongkat ular hitam, senjata maut Iblis Hitam Tangan Delapan yang amat berbahaya. Nanjar terkesiap melihat serangan tiba-tiba ini. Akan tetapi dia telah menyiapkan satu pukulan untuk menyambutnya.
Bhlarrr!
Percikan es menebar di udara.... Hawa dingin mengembara ke sekitar tempat itu. Batu gunung di tepi bawah itu hancur berantakan terkena serempetan hawa sakti dari pukulan tenaga dalam sungsang yang dilakukan Nanjar. Akan tetapi si Iblis Hitam Tangan Delapan alias Yudana luput dari serangan maut itu.
"Hahahah.... heheh... kau takkan dapat membunuhku, Dewa Linglung! Sebaiknya persiapkanlah dirimu untuk menjadi cacing tanah!" berkata Iblis Hitam Tangan Delapan. Suaranya masih tak menentu dimana arahnya.
Nanjar kerutkan keningnya. "Manusia ini harus diakali agar dia dapat menunjukkan dimana tubuh aslinya!" berkata Nanjar dalam hati. Akan tetapi Nanjar tak sempat untuk berpikir lagi, karena harus menghindarkan diri dari terjangan-terjangan berikutnya. Kelompok demi kelompok dari sosok-sosok tubuh Yudana serta ke delapan tangannya itu sukar untuk diikuti. Karena sebentar muncul sebentar menghilang. Disangka serangan ternyata cuma tipuan pandangan mata.
"Edan!" maki Nanjar. "Kalau terus-menerus begini bisa-bisa aku kehabisan tenaga dan kena kecolongan!" pikir Nanjar.
Diam-diam dia memusatkan perhatian pada sosok bayangan yang berada di tengah. Namun Iblis Hitam Tangan Delapan tak memberinya kesempatan sedikit pun untuk dia jejakkan kakinya agak lama di tanah. Mendadak Nanjar perdengarkan bentakan keras. Tubuhnya melambung ke udara setinggi tombak. Lompatan ini disusul dengan gerakan "terbang"nya untuk melayang di tempat yang agak jauh.
Hal ini membuat Iblis Hitam Tangan Delapan harus memburu ke arah yang bakal dituju itu. Dari udara inilah Nanjar segera dapat mengetahui mana tubuh asli si Iblis Hitam Tangan Delapan. Karena manusia itu harus bergerak melompat untuk memburu ke arah dia. Bayangan yang paling depan jelas adalah sosok tubuh lawannya yang asli!
Detik yang diharapkan segera dipergunakan sebaik-baiknya oleh di Dewa Linglung. Tubuhnya melayang ke samping dengan kecepatan tinggi. Tentu saja bayangan Iblis Hitam sang lawan secepat itu pula telah meluncur mengikuti. Akan tetapi inilah taktik Nanjar untuk merobohkan lawannya.
Dengan gerakan yang melebihi kecepatan suara, Nanjar telah melesat kembali ke arah semula. Lalu meluncur deras ke arah tadi. Bersama dengan gerakan itulah, Nanjar telah berpapasan dengan sosok tubuh Yudana. Secepat kilat pedangnya menabas.....
Del!
Darah muncrat ke udara. Sebuah benda yang tak lain dari kepala si Iblis Hitam Tangan Delapan tampak melayang di udara dan jatuh menggelinding ke lereng gunung. Sosok tubuh Iblis Hitam Tangan Delapan tanpa kepala itu terjungkal roboh. Darah merah menggelogok dari urat lehernya yang sapat! Saat itulah Rara Weni dan Baju Rana telah tiba di tempat pertarungan itu.
"Dewa Linglung...!" Teriak Rara Weni dengan wajah membersitkan kegirangan. Dara ini melompat memburu ke arah bayangan Nanjar yang barusan melompat setelah menamatkan riwayat manusia musuh besar Rara Weni itu. Akan tetapi dia tak menjumpai pemuda itu berada di tempat itu.
"Sudahlah, Rara Weni! Agaknya dia tak mau kau mengucapkan terima kasih! Marilah kita segera turun dari puncak gunung ini....!" berkata Bayu Rana seraya melompat mendekati gadis itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan. "Jaka Lodan! pasti kau orangnya!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya sosok tubuh di hadapan mereka. Terkejut Rara Weni, akan tetapi juga bergirang karena itulah sosok Nanjar si Dewa Linglung.
"Tahan!" teriak Rara Weni. Lengannya secepat kilat telah terentang menghalang di depan Bayu Rana. "Dia bukan Jaka Lodan!"
"Lalu siapa?" sentak Nanjar terkejut. Dia memang tak mengetahui kemunculan Bayu Rana yang telah menyelamatkan Rara Weni dan bahkan telah membunuh Jaka Lodan.
"Harap kau jangan salah paham! Dia adalah saudara seperguruanku, bernama Bayu Rana! Oh ya! kau mau melihat Jaka Lodan, bukan?" Rara Weni sambar buntalan kain di lengan Bayu Rana. Lalu secepat membuka buntalan itu.
"Inilah kepala Jaka.....???" Terkejut Rara Weni, karena tak melihat Nanjar berada di hadapannya lagi. Kepala Jaka Lodan yang dijambak rambutnya itu dibantingkan ke tanah.
"Dewa Linglung....! Ah, mengapa kau pergi begitu saja?" gumam dara ini dengan hati masygul.
Bayu rana geleng-gelang kepala. seraya berkata dengan tersenyum. "Dia malu karena salah menyangka orang! Sudahlah, Rara Weni. Kulihat di bawah lereng ada sepasukan laskar yang mendatangi. Agaknya kakang Adipati Kenikir telah menyusul ku bersama beberapa prajurit! Mari kita menyambutnya!"
Rara Weni melongok ke bawah. Benarkah apa yang dikatakan pemuda itu. Bayu Rana memungut kepala Jaka Lodan dan memasukkan ke dalam buntalan. Tak lama keduanya telah berkelebat turun dari puncak gunung Arjuna.