Iblis Pulau Hantu

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Iblis Pulau Hantu Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Kita melihat dulu keadaan di sebuah gedung yang terletak di kaki gunung Cemara Kandang. Gedung ini tak terlalu tua. Bersebelahan dengan sebuah padepokan, berbatas pagar tembok pendek. Tampaknya kedua rumah itu masih satu halaman, karena di sebelah kiri gedung ada jalan yang cukup lebar menyambung dengan halaman padepokan atau pesanggrahan disebelahnya.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Karya Ginanjar

Di atas pintu gapura gedung tampak sederetan aksara yang bertulisan; GEDUNG RAJAWALI PUTIH. Sederet tulisan tertera pula pada pintu depan pesanggrahan pada sebuah papan beruku-ran dua depa kali setengah depa, yang bertulisan; Padepokan Rajawali Putih.

Jelaslah kalau gedung dan pesanggrahan itu adalah milik perguruan Rajawali Putih. Perguruan ini pada sepuluh tahun yang silam adalah sebuah perguruan besar yang terkenal diwilayah timur. Pendirinya adalah seorang pendekar yang berasal dari Kat Mandu, India.

Namun sejak sang pendiri perguruan itu kembali ke India, dan digantikan oleh salah seorang muridnya yang bernama Gubyar Parongga perguruan ini nampak sepi. Tampaknya seperti sudah tak ada kegiatan lagi.

Gubyar Parongga memang sejak diserahi pimpinan sebagai ketua perguruan, telah pula mengangkat beberapa orang murid. Bahkan mendirikan sebuah partai yang juga bernama Rajawali Putih. Partai ini cukup kondang dikalangan Rimba Hijau, sebagai partai penegak keadilan.

Namun agaknya tak ada jalan yang selalu mulus. Tak ada gading yang tak retak. Demikian juga dengan nasib dan keadaan partai Rajawali Putih. Dari luar tak nampak adanya keretakan ditubuh partai itu. Tapi dibagian dalam terlihat jelas adanya kericuhan.

Kemelut ditubuh partai Rajawali Putih memang sudah lama sejak diangkatnya Gubyar Parongga sebagai ketua. Seperti diketahui Gubyar Parongga adalah orang yang dipercayakan untuk memegang tampuk pimpinan perguruan tersebut.

Namun secara diam-diam Jipang Galih adik seperguruan Gubyar Parongga tak menyetujui pengangkatan itu. Walau kelihatannya dia tetap mematuhi peraturan perguruan. Jipang Galih cukup cerdik untuk menyembunyikan sebuah kitab ilmu silat sebelum terjadi pengangkatan ketua, walaupun belum diketahui siapa yang akan terpilih menjadi pengganti guru mereka.

Namun Jipang Galih sudah mendapat firasat, bahwa dirinya tak akan terpilih menjadi ketua. Karena dia mengetahui Gubyar Parongga amat pandai mengambil hati sang guru. Ketika Gubyar Parongga mengangkat Giriranti menjadi muridnya, Jipang Galih pun mengangkat pula seorang murid laki-laki bernama Suro Ragil.

Jipang Galih mewariskan ilmu-ilmu tidak saja dari jurus-jurus ilmu silat Rajawali Putih, tapi juga mewariskan ilmu silat dari luar yang dipadukan dengan jurus-jurus perguruan Raja-wali Putih.

Hal itu tak disetujui Gubyar Parongga. Dia berpendapat hal itu akan menghilangkan keaslian jurus-jurus perguruan Rajawali Putih. Jipang Galih membantah, bahwa jurus-jurus silat Rajawali Putih perlu dipugar, karena jurus-jurus tersebut sudah tak dapat disesuaikan dengan keadaan saat ini.

Namun Gubyar Parongga tetap tak dapat membenarkan pendapat adik seperguruannya. Dia memerintahkan Jipang Galih segera memusnahkan ilmu luar tersebut. Peraturan perguruan Rajawali Putih memang sangat keras. Siapapun pelanggarnya akan dikenakan hukuman bila me-lakukan kesalahan.

Akan tetapi terhadap adik seperguruannya Gubyar Parongga tak dapat berlaku kejam. Keputusannya agar Jipang Galih segera memusnahkan ilmu luar itu cukup sebagai peringatan keras agar tidak diulangi lagi. Sementara diapun sebenarnya belum mengetahui asal-usul Suro Ragil yang di-angkat murid oleh Jipang Galih. Namun hal itu tak perlu dipermasalahkan.

Agaknya keretakan ditubuh partai perguruan Rajawali Putih sudah tak bisa dipersatukan lagi. Karena Jipang Galih segera mengatakan maksudnya untuk mengundurkan diri. Tegasnya keluar dari perguruan tersebut. Mungkin pula hal itu memang sudah direncanakan sebelumnya oleh Jipang Galih.

Ternyata Gubyar Parongga telah dapat menduga akan maksud sang adik seperguruan. Dia tak menghalangi keinginan Jipang Galih untuk mengundurkan diri. Tapi dengan syarat, Jipang Galih tidak diperkenankan menggunakan jurus-jurus ciptaan perguruan Rajawali Putih.

Dia harus melakukan sumpah didepan arca Budha dan harus membuntungi sebelah tangannya didepan seluruh murid anggota partai Rajawali Putih. Tantangan berat itu agaknya sudah berada dibenak Jipang Galih. Persyaratan itu disanggupinya, dan segera dijalankan.

Demikianlah setelah semua persyaratan dikerjakan, dengan disaksikan puluhan pasang mata para murid anggota partai perguruan Rajawali Putih, Jipang Galih melangkah terhuyung-huyung keluar dari pintu gapura perguruan tersebut di papah muridnya Suro Ragil. Meninggalkan sepotong lengan berhamburan darah yang tergeletak di tanah.

Itulah peristiwa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Partai Rajawali Putih cuma tinggal namanya saja. Dan gedung serta pesanggra-han di kaki gunung Cemara Kandang cuma ting-gal puing dan reruntuhan belaka....

Sosok tubuh yang berdiri termangu-mangu memandang puing-puing reruntuhan itu sejak tadi, adalah seorang gadis berambut panjang. Ber-kulit putih dengan alis tebal. Wajahnya cukup cantik, dengan pakaian persilatan berwarna putih. Sebuah pedang tersoren dipunggungnya. Namun pada kelembutan wajahnya dapat dilihat bahwa dia seorang gadis yang berhati keras.

Tampaknya gadis ini seperti menyimpan dendam yang terkubur dalam dada. Terlihat ketika sepasang lengannya mengepal. Dan setetes air bening berguling dari pipinya. Siapa adanya gadis ini? Dialah GIRIRANTI, murid utama Gubyar Parongga.

Samar-samar diantara pandangan matanya yang mulai berkaca-kaca, tampak terbayang wajah seorang pemuda. Itulah pemuda murid Jipang Galih yang bernama SURO RAGIL. Terbayang pula saat perguruan Rajawali Putih masih jaya. Dan saat-saat mereka sering bertemu dan berlatih. Waktu-waktu luang mereka diisi dengan senda-gurau dan canda.

Sukar untuk dapat dikatakan, bahwa didalam relung hati Giriranti ada tertanam benih-benih cinta pada pemuda itu. Tapi kesemuanya itu lenyap, ketika terjadi peristiwa itu. Dan saat terakhir dari pertemuannya adalah ketika Suro Ragil melangkah pergi keluar dari pintu perguruan Rajawali Putih dengan memapah tubuh gurunya, Jipang Galih Meninggalkan sepotong lengan yang kutung berlumur darah.

Sejak itu Suro Ragil lenyap tak ada khabar beritanya lagi. Sejak kejadian itu Giriranti menampakkan perubahan sikap. Dia sering menyendiri, dan jarang berlatih. Dan gurunya Gubyar Parongga juga jarang keluar dari kamarnya. Tampaknya orang tua itu lebih banyak bersemadhi.

Kerinduan kian menggeluti diri Giriranti. Akhirnya dia nekad untuk pergi meninggalkan perguruan. Setelah menulis sepotong surat dan meletakkannya diatas meja kamarnya, Giriranti menyelinap dari padepokan dan lenyap dikegelapan malam meninggalkan tempat yang telah menggembleng dirinya selama ini.

Ternyata perbuatan nekat itu harus ditebus dengan mahal. Orang-orang perguruan Rajawali Putih mengejarnya untuk menangkap dirinya hidup atau mati. Hal yang sangat mengejutkan ialah dia dituduh telah melarikan kitab pusaka perguruan. Gubyar Parongga telah menuduh dia mencuri kitab pusaka dari ruang rahasia, dan melarikan kitab pusaka itu.

Tentu saja dia menyangkal tuduhan itu. Pertarunganpun tak dapat terhindarkan lagi. Giri-ranti terpaksa melakukan tindak kekerasan demi mempertahankan nyawanya. Akhirnya dia berhasil meloloskan diri dengan menimbulkan korban beberapa kawan seperguruannya yang tewas dan luka-luka.

Namun kemanapun dia pergi selalu di-bayangi oleh orang-orang perguruan Rajawali Putih, yang kesemuanya adalah kawan-kawan seperguruannya. Giriranti akhirnya menyerahkan diri dan bersedia ditangkap untuk dibawa menghadap sang guru.

Itulah awal dari penderitaannya. Terpaksa dia menjalani hukuman yang berat. Dan harus mendekam dalam penjara bawah tanah. Ditempat itulah dia mengalami penderitaan yang tak akan terlupakan selama hidupnya.

DUA

"Aku harus membalas perlakuan mereka! mendesis Giriranti. Tampak dia merapatkan gi-ginya seperti menahan geram, dan berusaha me-nahan jatuhnya air mata. "Tak ada jalan hidup bagi kelima manusia busuk itu selain kematian!" gumamnya dengan suara menggeletar.

Tubuhnya tampak tergoyang-goyang, dan air mukanya merah padam. Mendadak dia berseru keras. Suaranya berpantulan kesekitar tempat itu. Tiba-tiba dia mencabut pedangnya. Dan secercah kilatan menyambar ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tempat itu.

CRASS!

Itulah sambaran pedang si gadis yang telah menumpahkan kemarahannya pada sebatang pohon didekatnya. Batang pohon sebesar dua kali tubuh manusia itu terpapas dan putus. Sebelum batang pohon yang tumbang itu terbanting ke tanah, gadis ini gerakkan lengannya tiga kali berturut-turut.

Krakk! Krakk! Kraak!

Batang pohon itu hancur menjadi tiga bagian, dan jatuh berdebuman ke tanah menimbul-kan suara berisik menggetarkan tanah. Tampak gadis ini berdiri tegak memandang lurus ke depan. Sepasang matanya bersinar menggidikkan. Raut wajahnya kelam membesi.

Perlahan-lahan dia memasukkan kembali pedang ditangannya kedalam serangka. Kemudian dengan cepat dia membalikkan tubuh, dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Kelengangan pun kembali merayapi sekitar tempat itu. Puing-puing reruntuhan bekas gedung dan pesanggrahan perguruan Partai Rajawali Putih itu cuma jadi saksi bisu. Tak ada tanda-tanda adanya manusia disekitar tempat itu kecuali segerombolan burung yang terbang melintas diudara, dan lenyap dibalik hutan.

Kira-kira sepeminuman teh, dari arah barat terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Tak lama terlihat serombongan orang berkuda seperti mendatangi ketempat itu. Ternyata mereka adalah lima orang penunggang kuda yang seperti terdiri dari orang-orang kerajaan.

Penunggang kuda paling depan adalah seorang yang bertubuh tegap berkulit agak kehitaman. Mengenakan pakaian mirip seorang Adipati. Pakaiannya berwarna hitam dengan sulaman benang-benang emas pada bagian leher dan ujung-ujung lengan dan kaki. Lengkap dengan mahkota hitam bergaris-garis kuning emas serta perhiasan lain yang melekat ditubuhnya yang serba gemerlap.

Empat penunggang kuda dibelakang yang mengiringinya berpakaian mirip perwira-perwira kerajaan. Memanglah mereka orang-orang kerajaan adanya. Tujuannya belum diketahui, apakah cuma melintas saja di tempat itu atau memang menuju kebekas gedung dan pesanggrahan yang telah jadi reruntuhan itu.

Nyatanya ketika tiba didepan reruntuhan gedung markas perguruan Rajawali Putih tersebut, si penunggang kuda paling depan menghentikan langkah kudanya. Kelima orang kerajaan ini tampak mengamati bekas-bekas reruntuhan gedung itu.

"Sayang tempat ini kalau tak dibangun lagi, gusti Adipati!" berkata perwira di sebelah kirinya.

"Benar! itulah sebabnya aku mengajak kalian kemari. Aku memang merencanakan untuk membangun gedung yang terbengkalai ini menjadi sebuah tempat pemukiman yang baik!" sahut laki-laki ini. Ternyata dia memang seorang Adipati.

Sang Adipati ini tampak tersenyum-senyum sendiri. Tampaknya dia telah membayangkan di tempat itu bila telah tercipta sebuah gedung mungil dengan taman-taman yang indah, serta kolam berair jernih.

"Ya! tidak usah terlalu besar. Cukup dengan tiga buah kamar. Air untuk kolam dapat diambil dan disalurkan dari sumber mata air di sebelah sana. Aku akan menciptakan tempat ini menjadi sebuah Kaputren. Hawanya sejuk, dan sekeliling tempat ini berpemandangan indah. Ha-ha... sekali waktu aku kemari untuk beristirahat. Dan... hahaha..."

Sang Adipati menggumam dalam hati. Senyumnya semakin melebar. Agaknya dia telah membayangkan masa-masa yang akan datang yang akan dinikmatinya. Tiba-tiba sang Adipati mengernyitkan keningnya. Pandangan matanya tertuju pada halaman sebelah kiri pesanggrahan.

"Tampaknya ada yang aneh, seperti belum lama terjadi di tempat ini..." sentaknya dalam hati.

"Kau melihat pohon kayu yang roboh didepan reruntuhan padepokan itu, Ulo Rowo?" tanya sang Adipati pada perwira di sebelah kirinya.

"Ya! aku melihatnya! Apakah keanehannya, gusti?" sahut laki-laki bernama Ulo Rowo ini.

Sementara tiga orang perwira lainnya pun mengalihkan pandangannya pada pohon tumbang yang ditunjuk Adipati ini. Serentak tanpa menunggu perintah, ketiga perwira ini segera melompat turun dari punggung kuda. Dan berkelebatan melompat mendekati pohon tumbang itu.

"Pohon ini seperti baru ditebas senjata tajam, dan terkena pukulan tenaga dalam yang hebat! Jelas seseorang yang berilmu tinggi yang cuma bisa melakukannya!" berkata sang Adipati, seraya melompat turun dari kudanya.

"Apakah maksudnya orang itu? apakah dia cuma sengaja menjajal senjata dan kekuatan pukulannya?" berkata Patek Ampel, perwira kedua dari Ulo Rowo. Perwira ketiga dan keempat adalah, Jala Wong dan Jala Gung.

Laki-laki Adipati ini tak menjawab. Matanya menjalari sekitar tempat itu. "Hm, cepat kalian periksa seluruh tempat ini. Dan kau Ulo Rowo ikut aku!" berkata dia.

Tiga perwira mengangguk, dan cepat berkelebatan melompat kesekitar reruntuhan. Sementara dia sendiri seraya menggamit perwira bernama Ulo Rowo itu segera berkelebat menuju kehutan kecil di sebelah timur. Ulo Rowo cepat membuntuti dibelakang sang Adipati.

"Kau masih ingat tempat rahasia yang terdapat ruangan penjara bawah tanah itu bukan, Ulo Rowo?" tanya Adipati berbisik seraya menahan langkahnya.

Perwira ini mengangguk. "Kita periksa ketempat itu. Siapa tahu orang itu bersembunyi disana. Didalamnya banyak lorong-lorong rahasia yang dapat digunakan sebagai tempat persembunyian!"

Disebelah depan tampak ada tangga unda-kan yang menurun. Mereka segera menuruni tangga batu itu yang membelok setengah lingkaran. Tampak sebuah pintu batu yang telah lama hancur menjadi puing.

Keduanya memasuki pintu itu, kemudian menemukan pintu lagi yang juga tinggal puing. Lorong itu kian masuk kedalam tanah. Setelah melewati beberapa lorong lagi segera tampak se-buah ruang bertembok besi tebal. Tapi pintunya juga telah jebol. Disini ada cahaya yang masuk dari lubang sebelah atas setinggi dua puluh kaki.

Diruangan ini ada tiga bilah penjara. Tapi yang lainnya masih dalam keadaan terkunci. Tampak rantai dan gembok yang telah berkarat. Hampir semua ruangan dipenuhi sarang laba-laba.

"Tak ada tanda-tanda ada orang yang memasuki tempat ini..." berdesis Adipati ini.

"Benar, gusti! kukira dia tak mengetahui adanya tempat ini, berarti bukan orang partai perguruan Rajawali Putih!" tukas Ulo Rowo.

"Belum tentu! Justru aku mencurigai siapa adanya orang itu. Walaupun seandainya dia bukan orang bekas partai kita, tapi setidak-tidaknya kau harus ingat. Siapa yang telah merusakkan penjara besi bawah tanah ini!" sanggah laki-laki ini.

"Apakah maksudmu orang persilatan yang telah melarikan GIRIRANTI dari penjara bawah tanah ini?" sentak Ulo Rowo.

"Hm! kalau bukan dia siapa lagi?" sahut sang Adipati. Ulo Rowo manggut-manggutkan kepala dengan wajah berubah pucat.

"Haha... kau tak usah khawatir dengan kemunculan orang itu. Sejak aku menemukan kitab yang disembunyikan Jipang Galih, kemudian mempelajari serta menyerap ilmu-ilmu dengan ju-rus-jurus yang hebat itu, kukira aku masih sanggup untuk menghadapi sepuluh orang macam dia!" sesumbar laki-laki ini.

Lagi-lagi Ulo Rowo manggut-manggut. "Tapi... selama tiga tahun lebih ini kukira ilmu orang itupun akan bertambah hebat!" kata Ulo Rowo.

"Kita lihat saja! Sayang kita belum mengetahui siapa adanya manusia itu!" berkata geram sang Adipati.

Tampaknya dia agak mendongkol dengan kata-kata Ulo Rowo yang meremehkan ilmu kepandaiannya. Setelah yakin bahwa orang yang dicarinya tak ada di tempat rahasia itu, mereka segera keluar dari ruang penjara bawah tanah itu. Ketika sampai diluar, tiga perwira itu telah berada di tempat itu.

"Apakah kalian menemukan orang disana?" tanya Adipati. Ketiganya menggeleng. "Tak ada tanda-tanda mencurigakan disekitar reruntuhan gedung juga pesanggrahan...!" sahut salah seorang melapor.

"Sudahlah! Mari kita kembali!" kata sang Adipati.

Mereka segera menghampiri kuda-kuda yang tak jauh dari tempat rahasia itu. Tak lama kemudian kelima orang kerajaan itu segera meninggalkan tempat itu. Sebentar saja rombongan pasukan berkuda itu semakin jauh, dan lenyap tak terlihat lagi.

Siapa adanya laki-laki Adipati itu? Dialah yang bernama RAH SANCA. Dalam urutan tingkat diperguruan Rajawali Putih termasuk setingkat dibawah Jipang Galih. Entah bagaimana sejak terjadi perpecahan ditubuh partai Rajawali Putih, Rah Sanca dan tempat orang saudara seperguruannya bisa menjadi orang-orang kerajaan.

Kalau saja gadis bernama GIRIRANTI itu tak terlalu cepat meninggalkan tempat itu, tentu akan terjadi pertarungan hebat. Karena kelima orang itulah yang menjadi musuh besarnya...

TIGA

NANJAR menepuk-nepuk pantat kuda berwarna coklat kemerah-merahan itu dengan tersenyum. "Nah! segar bukan? kini kau tak kepanaskan lagi!" berkata Nanjar. Seperti mengerti kalau sang majikannya telah selesai memandikan, kuda itu beranjak naik kedarat.

Nanjar membasuh mukanya diair sungai yang jernih itu, dan membasahi tenggorokannya dengan beberapa teguk air. Tak lama diapun beranjak ketepi. Gemercik air sungai berbatu-batu dilereng pegunungan yang sunyi lengang disiang hari itu memang membangkitkan selera untuk mandi atau membasuh muka, hingga Nanjar yang secara kebetulan lewat di tempat itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk turun kesungai.

Matahari saat itu tepat diatas kepala. Hawa panas membuat orang segan untuk melakukan perjalanan. Si Dewa Linglung biarkan kudanya mengisi perut dengan memakan rumput yang banyak tumbuh ditepi sungai. Sementara dia sendiri jatuhkan pantatnya dibawah pohon rindang. Lalu menyandarkan punggungnya melepas lelah.

Angin sepoi-sepoi yang berhembus menyejukkan badan dan membuat mata jadi mengantuk. Tak heran setelah beberapa kali menguap, Nanjar pun tinggal landas menuju kealam mimpi. Akan tetapi diantara sadar dan tiada telinga si Dewa Linglung seperti mendengar suara kuda meringkik keras.

Seketika dia terlonjak bangun. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat kuda yang baru selesai dimandikan mendadak terjungkal roboh. Binatang itu berkelojotan beberapa lama seperti meregang nyawa. Tapi beberapa saat kemudian terkulai tak bergerak-gerak lagi.

Nanjar terkejut melihat kejadian itu. Sekali gerakan tubuh dia telah melompat untuk memeriksa. Tampak pada leher binatang itu tertancap dua buah senjata rahasia. Tahulah Nanjar yang telah menyebabkan kematian kuda tunggangannya.

"Sialan! siapa yang telah melakukan per-buatan curang dan pengecut ini?" memaki Nanjar dalam hati. Sementara diam-diam dia memperhatikan sekitar. Nalurinya yang peka segera dapat mengetahui adanya seseorang yang bersembunyi dibalik semak belukar.

Diam-diam dia terkejut karena sekitar tempat itu telah dikurung oleh sosok-sosok manusia yang bersembunyi disekitar lereng pegunungan tersebut.

"Kurang ajar! apa maunya mereka? Mengapa membunuh kudaku seenaknya?" memaki Nanjar dalam hati.

Pada detik itulah berkelebatan sosok-sosok tubuh dari balik semak dan seberang sungai. Gerakan-gerakan tubuh mereka sangat gesit, pertanda memiliki ilmu-ilmu yang cukup tinggi. Da-lam waktu sekejap saja Nanjar telah dikurung oleh belasan sosok tubuh yang hampir rata-rata berpakaian warna hijau.

Yang agak aneh adalah para pengurung ini berwajah kaku, dan masing-masing hanya mempunyai sebelah kaki. Mereka menggunakan tongkat bercagak untuk penunjang sebelah kakinya.

Cuma dengan memperhatikan sekilas saja Nanjar telah mengetahui kalau mereka menggu-nakan topeng mirip kulit manusia yang satu sama lain mempunyai raut bentuk yang sama.

"Hem, apakah mereka perkumpulan yang menamakan diri Partai Iblis Berkaki Satu?" sentak Nanjar dalam hati. Dia memang pernah mendengar adanya sebuah partai yang bermukim diwilayah utara itu.

"Jika anda mau selamat, segera ikut kami untuk menghadap ketua!" salah seorang tiba-tiba berkata dengan suara dingin.

"Hm, siapa kalian? setelah membunuh kudaku seenaknya, lalu menyuruh aku menghadap ketua kalian. Apakah kesalahanku? Dan... apa maksud kalian sebenarnya?" berkata Nanjar dengan sinis acuh tak acuh.

"Jangan banyak bicara! kalau mau selamat segera ikuti perintah kami!" bentak salah seorang yang bertubuh agak tinggi besar. Sepasang ma-tanya menatap Nanjar tak berkedip dengan mimik wajah tetap kaku.

"Apakah kalian orang-orang partai Iblis Berkaki Satu?" tanya Nanjar tanpa pedulikan ancaman orang.

"Bagus! kalau kau telah mengetahui, mengapa tak menggubris perintah kami? Apakah kau ingin kami mengambil tindakan kekerasan?" membentak laki-laki didepan Nanjar.

"Hm, ingin kulihat apakah kalian mampu membuktikan ancaman itu?" Nanjar sengaja jual lagak dihadapan orang-orang itu tanpa menunjukkan sikap takut sama sekali.

Tentu saja membuat laki-laki dihadapannya melengak. Empat orang telah melompat maju. Tiba-tiba,

Whuuut! Whuuut! Whuuut!

Empat buah tongkat menyambar ke arah si Dewa Linglung dengan deras. Empat serangan ini ternyata serangan yang sangat membahayakan, yang dibarengi dengan bentakan membelah udara. Nanjar sudah dapat menduga akan hal ini, karena itu dia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dia sengaja menanti serangan tongkat lawan agar lebih dekat.

Tiba-tiba dengan gerakan secepat kilat lengannya mengibas diikuti liukan tubuh dengan jurus gerakan yang dinamakan Raja Siluman Ular menggoyang Bumi. Akibatnya dua orang menjerit kaget diiringi terlemparnya dua buah tongkat menjadi empat potong. Sedangkan si penyerangnya terlempar bergulingan.

Dua orang lainnya terperangah, karena serangan tongkat mereka menemui tempat kosong. Bahkan dia telah kehilangan lawan yang tengah diserangnya. Tahu-tahu tengkuk mereka telah disambar sepasang lengan yang mencengkeram bajunya.

Sebelum mereka sadar akan bahaya, kepala mereka telah beradu dengan keras. Pandangan mata mereka seketika menjadi gelap. Keduanya roboh mengabruk ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri. Nanjar kibas-kibaskan bajunya dan tepuk-tepuk tangannya seperti membersihkan kotoran debu yang menempel.

"Silahkan maju lagi yang mau cari penyakit!"

Tentu saja kejadian segebrakan itu membuat terkejut para pengurung dari orang-orang partai Iblis Berkaki Satu. Mereka tak menyangka dalam segebrakan saja empat orang kawan mereka roboh. Padahal serangan yang dilakukan adalah jurus yang sukar untuk dihindari lawan. Apalagi dilakukan oleh empat orang. Tahulah mereka kalau lawannya bukan orang sembarangan.

Tiga orang segera melompat maju. Ketiganya memakai jubah hijau tua berlengan lebar. Sepintas Nanjar sudah dapat menduga tiga ini adalah boleh dibilang tokoh yang mempunyai tingkat lebih tinggi dari yang lainnya. Dari gera-kannya yang tak menimbulkan suara ketika je-jakkan kaki ke tanah.

"Bagus! pantas kalau ketua kami wanti-wanti berpesan agar hati-hati menghadapi anda. Kiranya kepandaianmu lumayan juga!" berkata dingin salah seorang. Kemudian langsung memberi tanda pada kedua kawannya. Serentak ketika lengan mereka bergerak, dalam sekejap dimasing-masing lengan telah tercekal sebuah senjata ran-tai berbandulan kepala tengkorak.

"Hm, apakah masih ada senjata lain yang lebih baik dari rantai monyet yang kalian pergunakan?" ejek Nanjar dengan tetap sinis. Akan tetapi ketiga orang ini tanpa menggubris ejekan itu, segera lancarkan serangan. Kali ini mereka tak menyerang secara berbareng. Namun melakukan-nya secara bergantian.

Nanjar agak berlaku hati-hati karena tahu lawannya bukan lawan enteng. Sambaran bandulan kepala tengkorak lawan menimbulkan bau amis yang memuakkan. Ternyata dari lubang kepala tengkorak itu menyebar uap biru. Nanjar tahu kalau uap itu beracun.

Whuut! Whuuut!

Sambaran bandulan tengkorak lawan bergerak saling susul, diiringi serangan tongkat mengurung dari setiap arah. Gerakan mereka sangat gesit, setelah menyerang langsung melompat mundur. Lalu digantikan oleh kawannya.

Namun Nanjar juga tak kalah cepat untuk menghindarkan serangan. Tubuhnya berkelebatan melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Terkadang seperti orang mabuk, terkadang seperti lompatan kera. Dalam beberapa jurus itu senjata lawan tak satupun yang menemui sasarannya.

Mendadak salah seorang berseru keras. Tubuhnya berkelebat menerjang. Tongkatnya menyambar-nyambar laksana puluhan tombak yang mencecar lawan. Sementara bandulan rantai tengkorak terus mengelilingi menyemburkan uap biru.

Nanjar telah salurkan hawa murni dan menutup pernapasan. Dapat diakui ketiga lawan-nya memiliki kegesitan yang melebihi keempat orang tadi. Apalagi uap biru itu terus menerus menyembur kearahnya. Kalau menurutkan hati si Dewa Linglung sebenarnya dia akan mempermainkannya sampai beberapa jurus. Akan tetapi niat Nanjar berubah karena lawan main uap racun.

Seraya membentak keras Nanjar merubah gerakannya. Tubuhnya melambung enam tombak. Ketika menukik kedua lengannya direntangkan. Seketika menyambarlah angin keras berhawa dingin. Ketiga orang ini seperti terpukau. Salah seorang berseru memberi peringatan untuk menghindar.

"Awas! pukulan Inti Es!" Akan tetapi terlambat. Tiga jeritan terdengar merambah udara diiringi terjungkalnya tiga sosok tubuh itu. Uap putih mengepul ditubuh ketiganya. Satu persatu jatuh berdebuk dengan tubuh kaku.

Melihat kejadian itu serentak kawan-kawannya yang lain terperangah kaget. Dan... cepat sekali mereka berkelebatan melarikan diri. Sebentar saja sosok-sosok tubuh mereka telah lenyap dari tempat itu. Nanjar tak berniat mengejar, walau sebenarnya hatinya sangat mendongkol. Dia berdiri terpaku beberapa saat seraya menghela napas.

"Hm, siapa sebenarnya ketua mereka? Ingin sekali aku berkenalan dengannya! Dan apa maksud-nya ingin bertemu muka padaku? Heh! sebenar-nya kalau anak buahnya tak berlaku seenaknya saja, mungkin aku masih bisa berlaku baik!" berkata Nanjar dalam hati.

Nanjar menatap ke arah kudanya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sosok-sosok tubuh Orang-orang Partai Iblis Berkaki Satu yang bergeletakan di tanah.

Sebenarnya dia tak berniat membunuh mereka. Empat penyerang dalam gebrakan pertama hanya dibuat pingsan. Akan tetapi ketiga penyerang yang menggunakan uap beracun melalui senjata kepala tengkorak telah menemui ajalnya.

"Peristiwa ini akan berbuntut panjang. Tapi aku ingin mengetahui siapa adanya ketua Partai Iblis Berkaki Satu itu? Dan kegiatan apa yang di-lakukannya diwilayah ini?" gumam si Dewa Linglung...

EMPAT

Disebuah tempat rahasia. "Lapor, ketua! Kami tak berhasil menangkap pemuda berkuda coklat itu. Empat kawan kami dan tiga pemimpin regu tewas ditangan pemuda itu!" laki-laki berjubah hijau salah satu dari anggota partai Iblis Berkaki Satu melaporkan kejadian yang dialami regu mereka. Ternyata belasan orang yang melarikan diri itu telah berada diruang rahasia.

"Tapi kami berhasil membunuh kuda pemuda itu, ketua...!" lanjut laki-laki yang melapor.

"Bodoh!!!" Satu bentakan menggeledek membuat si pelapor ini terlonjak kaget. Demikian juga para anak buah yang lainnya. Sang ketua membesarkan mata, melotot tajam menatap para anak buahnya.

Laki-laki ini bertubuh tinggi besar, berjubah hitam. Mengenakan topeng tengkorak yang menutupi cuma sebagian muka saja. Si muka tengkorak sebelah ini tampaknya gusar bukan main mendengar laporan kegagalan itu. Ternyata sang ketua inipun berkaki satu. Sekali gerakkan tangan laki-laki ini telah mencengkeram baju anak buahnya yang memberi laporan.

"Aku bukan perintahkan kau membunuh kuda, tolol! Tapi menangkap pemuda itu. Bukankah sudah kupesan wanti-wanti, bahwa dia bukan pemuda sembarangan. Kalau kalian membujuknya dengan baik-baik untuk menghadapku, kukira takkan terjadi kesialan ini!"

"Ampun ket... ketua...!"

Laki-laki berjubah hitam ini mendengus geram seraya membantingkan tubuh anak buahnya ke lantai. "Semua keluar! Tinggalkan ruangan ini!" bentaknya dengan berang.

Tak ayal lagi belasan orang anak buahnya segera menyingkir pergi dan lenyap dibalik pintu batu. Kecuali seorang anak buah yang masih berada di tempat itu, yaitu si pelapor yang masih menyeringai kesakitan mengurut-urut punggungnya.

"Mengapa kau tidak cepat-cepat minggat, goblok?" membentak si ketua. Sekali lompat dia telah berada didekat laki-laki itu.

"Ampun ketua.... aku segera akan pergi..." terbungkuk-bungkuk si laki-laki naas itu, seraya mencoba bangkit berdiri. Tampaknya si topeng tengkorak sebelah tak sabar lagi untuk mengusir pergi anak buahnya. Kakinya bergerak melayang menendang tubuh laki-laki itu.

Sudah dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi. Akan tetapi sebelum tubuh laki-laki itu terlempar, mendadak terdengar teriakan kaget si muka tengkorak sebelah. Bukan tubuh anak buahnya yang terlempar, akan tetapi justru dia sendiri yang terjungkal.

Ternyata sebelum ujung kaki sang ketua mengenai sasaran, laki-laki itu dengan cepat balikkan tubuh dan menangkap pergelangan kaki sang ketua. Selanjutnya dengan gerakan cepat laki-laki itu membantingkan tubuh sang ketua kelantai.

Kejadian tak terduga itu tentu saja membuat si ketua jadi terperanjat kaget. "Keparat! Kau berani melawanku?" bentaknya dengan wajah berubah merah padam. Dengan cepat dia melompat bangun. Seumur-umur menjadi ketua baru kali ini dia diperlakukan sedemikian rupa oleh seorang anak buah. Dan hal ini adalah sangat mustahil.

Memang sangat mustahil. Dan kemustahilan itu segera terungkap. Tampak laki-laki anak buahnya itu menggerakkan tangan membuka topeng penutup mukanya. Dan dengan cepat sekali membuka pakaian jubah hijau yang dikenakan.

Hampir melejit sepasang mata si muka tengkorak sebelah melihat siapa adanya sang anak buah, yang tiada lain adalah pemuda yang diperintahkan untuk menangkapnya. Siapa adanya laki-laki itu ternyata tak lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung.

"Hahaha... baru kudengar ada seorang ketua yang jatuh terbanting oleh anak buahnya sendiri. Ha ha ha...."

Nanjar terpingkal-pingkal geli menahan tertawa. Sementara si ketua yang bernasib sial itu cuma melotot lebar memandang laki-laki di hada-pannya. Namun diam-diam hatinya mencelos. Terperanjatnya tak alang-kepalang. Tak terasa kakinya melompat setindak. Dan dengan cepat lengannya terjulur menyambar tongkatnya.

"Hm, andakah ketua Partai Iblis Berkaki Satu?" tanya Nanjar. Sementara matanya memperhatikan tampang laki-laki itu dari ujung rambut sampai kekaki.

"Aku hanya wakil ketua partai saja, sobat pendekar muda! Kedatangan anda sungguh mengejutkan sekali. Maafkan perlakuanku yang kurang sopan menyambut tetamu. Juga perbuatan anak buahku yang bertindak serampangan!" menyahut laki-laki ini.

"Haha... kukira aku telah membayar sikap kalian dengan memberi sedikit pelajaran. Sudahlah! hutangmu impas!" kata Nanjar dengan sikap jumawa. "Kau tidak memperkenalkan namamu?" tanya Nanjar.

"Aku Lembu Teleng. Orang Rimba Persilatan menjuluki diriku si Jagal Nyawa!" sahut laki-laki itu dengan suara kaku.

"Julukan yang seram! Apakah maksud tujuanmu ingin bertemu muka denganku adalah untuk menjagal nyawaku?" berkata Nanar dengan bertolak pinggang membelakangi.

"Sama sekali tidak, sobat pendekar gagah. Bukankah anda telah mendengar sendiri aku memaki kebodohan anak buahku? Sungguh aku menyesali peristiwa yang membuat anda kehilangan kuda, juga timbulnya korban dipihak kami!" sahut Lembu Teleng.

Nanjar perdengarkan dengusan dihidung, lalu balikkan tubuh. Matanya menatap tajam laki-laki dihadapannya. "Nah! Kini jelaskan maksud tujuanmu!" berkata Nanjar.

Lembu Teleng mengangguk. "Baik! Ikutlah aku!" katanya seraya melompat-lompat mendekati sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu gerakkan tongkatnya mengetuk sebuah batu persegi empat yang menonjol di sebelah atas pintu batu.

Terdengar suara bergerit. Pintu batu itu bergeser dan terlihatlah sebuah lorong. Dalam lo-rong itu terdapat tangga undakan yang menurun dan membelok kesebelah kiri. Sesaat Nanjar tertegun memandang lorong yang diterangi lampu-lampu obor kecil didinding batu.

"Sebuah tempat rahasia yang bagus! Atau sebuah ruangan perangkap?" pikir Nanjar dalam benak. Tapi si Dewa Linglung tak merasa jerih untuk segera mengikuti dibelakang si Jagal Nyawa yang telah lebih dulu melompat menuruni tangga batu memasuki lorong itu.

LIMA

Nanjar tertegun ketika tiba disatu ruangan agak lebar. Seseorang bertudung rumput yang menyembunyikan wajahnya, tampak duduk diatas sebuah batu berbentuk bulat. Lembu Teleng segera menjura, seraya berkata.

"Ketua! Aku telah membawa orang yang kau pesan ini, dengan tanda-tanda lengkap seperti yang ketua maksudkan!"

Terdengar suara ketukan tongkat si laki-laki bertudung rumput. Lembu Teleng mengerti. Cepat dia balikkan tubuh dan beranjak meninggalkan ruangan. Terdengar suara berderit, ketika pintu batu dalam ruangan itu bergerak menutup.

"Hm, siapakah kau?" berkata Nanjar dengan sikap tenang.

Tak ada suara sahutan, kecuali suara menghela napas. Namun tak lama terdengar suara orang itu. Suara yang bening merdu. "Selamat datang ditempatku, sobat Dewa Linglung.....!"

Nanjar kerutkan kening menatap orang itu. Yang ditatap pelahan-lahan membuka tudung rumputnya. Dan tampaklah seraut wajah wanita berambut tergelung berwarna putih. Wajah seorang nenek tua yang kaku tanpa senyum.

"Masih ingatkah kau padaku?" bertanya wanita berjubah hijau ini. Ucapannya diiringi gerakan melompat. Dalam sekejap dia telah berdiri di depan Nanjar.

Nanjar pentang mata memperhatikan siapa adanya wanita itu. "Ah! kalau tak salah bukankah kau si Seriti Hijau, Iblis Pulau Hantu?" sentak Nanjar terkejut.

Beberapa bulan yang lalu Nanjar pernah bertemu dengan wanita ini, ketika dalam perjalanan menuju kepulau Tangkil yang terpencil ditengah laut. Wanita ini mencegat perjalannya, membocorkan perahu dan membakarnya dengan hantaman pukulan Inti Api.

Tentu saja Nanjar marah dan mendongkol bukan main dengan ulah si nenek itu. Dengan baju basah kuyup dia melompat kedaratan pulau aneh yang batu-batunya hampir rata-rata berbentuk menyeramkan. Pertarungan tak dapat dihindarkan. Mereka saling menguji kepandaian lawan.

Ternyata nenek tua itu berilmu tinggi. Bahkan senjata tongkat hitamnya tak mempan oleh ketajaman pedang pusaka Naga Merah yang dimiliki Nanjar. Disaat pertarungan berjalan sudah lebih dari dua puluh jurus, tiba-tiba si nenek jubah hijau itu berseru untuk menghentikan pertarungan.

Lengannya menunjuk kepulau Tangkil yang letaknya tak seberapa jauh dari pulau aneh itu. Apa yang dilihat Nanjar? Ternyata pulau akan ditujunya itu telah terbakar hebat. Ledakan-ledakan menggelegar menghancur-leburkan pulau itu. Dalam waktu tak lama saja pulau itu musnah tenggelam.

Sadarlah Nanjar kalau wanita tua itu justru telah menyelamatkan jiwanya dari kematian. Mereka pun saling memperkenalkan diri. Dari si nenek yang bernama persilatan Seriti Hijau, dan bergelar si Iblis Pulau Hantu itu, tahulah Nanjar kalau orang yang mengundangnya bermaksud mencelakai para tokoh persilatan, termasuk dirinya.

"Benar! Ternyata kau tidak linglung, sobat Dewa Linglung! Tahukah kau apa maksudnya aku mencarimu? Dan mengapa aku ingin bicara empat mata padamu?"

Nanjar menggeleng. "Sama sekali tidak! rahasia apakah yang akan kau katakan?" sahut Nanjar.

"Mari silahkan duduk, sobat Pendekar Naga Merah! Kukira sudah saatnya aku memperkenalkan diri, siapa aku sebenarnya....!" berkata wanita ini seraya mendahului beranjak melangkah kesudut ruangan. Disudut ini terbentang sebuah tikar yang biasa dipergunakan untuk tidur.

Tak lama kemudian mereka telah sama duduk berhadapan. Iblis Pulau Hantu menarik sesuatu pada wajahnya. Tampaklah sebuah seraut wajah seorang wanita cantik berusia kira-kira 25 tahun lebih. Ternyata wanita ini mengenakan sebuah topeng kulit yang mirip kulit manusia.

Nanjar tertegun. Bagai seekor ular yang berganti kulit saja, wanita itu menarik kulit-kulit palsu pada tangan dan kaki. Kulit tua penuh keriput itu mengelupas habis. Yang tinggal adalah kulit halus mulus, putih dan sedap dipandang.

Seorang wanita berparas cantik dengan mata tajam membulat menatap Nanjar. Tatapan yang mengandung arti dan sukar diketahui. Nanjar terpaksa memandang, dan geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Ah...! Sungguh Tuhan Maha Kuasa, dapat ciptakan makhluk secantik kau, Seriti Hijau....!" kata Nanjar memuji.

Untuk pertama kalinya Nanjar melihat bibir si Iblis Pulau Hantu sunggingkan senyuman. Akan tetapi cuma sekilas. Senyum itu kembali lenyap.

"Nanjar! Maukah kau membantuku?" bisik wanita ini lirih. Sepasang matanya menatap Nanjar lekat-lekat.

Nanjar balas menatap dan bertanya heran. "Membantumu? apakah yang harus kubantu?"

"Hm! aku bertanya apakah kau bersedia membantuku?" ulang Seriti Hijau serius. Nanjar tertawa kecil.

"Sebenarnya pertanyaanmu sudah terjawab, nenek Iblis Pulau Hantu! Sebagai seorang yang tahu diri, karena jiwanya pernah kau tolong masakan aku harus menolak membantumu? Asalkan untuk kebaikan, aku pertaruhkan kepalaku untuk membantu, hitung-hitung membalas jasa orang..." menjawab si Dewa Linglung.

"Kalau tidak karena membalas jasa, kau tak akan mau membantuku?" tanya Seriti Hijau agak ketus.

Nanjar garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Bukan begitu maksudku, nenek manis. Tentu saja aku akan membantu siapa saja yang memerlukan bantuanku, tak perduli membalas jasa orang atau tidak. Yang penting demi kemanusiaan, dan untuk kebaikan! Nah! katakanlah, apa yang harus kulakukan!"

"Bagus kalau begitu!" kata wanita ini. Untuk kedua kalinya Nanjar melihat bibir Seriti Hijau tersenyum. Tapi kembali senyum itu lenyap. Terdengar dia menghela napas, seperti merasakan beban berat yang menindih dadanya.

"Sebenarnya aku malu meminta pertolonganmu... tapi hanya inilah jalan satu-satunya yang harus kutempuh!" berkata Seriti Hijau lirih. "Tahukah kau bahwa sebenarnya aku dalam keadaan terluka dalam akibat pertarungan dengan seorang tokoh Rimba Hijau yang menginginkan jiwaku?" lanjut Seriti Hijau.

Nanjar tersentak kaget. "Aku sama sekali tak mengetahui....! Siapakah tokoh persilatan itu? Mengapa dia menginginkan jiwamu?"

"Dia adalah orang yang telah mengundangmu kepulau Tangkil!"

"Maksudmu si Pendekar Cendekiawan?" sentak Nanjar terperangah.

Seriti Hijau mengangguk. "Dia bukan seorang pendekar, tapi manusia dajal yang berkedok pendekar!"

Nanjar jadi melototkan matanya lebar-lebar. "Manusia keparat itu tengah kucari jejaknya. Sungguh tak kusangka kau telah bertarung dengannya! Dia benar-benar manusia licik, keji dan telengas! Kalau tujuanmu adalah untuk membantu melenyapkan manusia terkutuk yang telah membunuh belasan pendekar itu, dengan rela hati walaupun tak kau pinta aku siap membantumu!" kata Nanjar dengan lengan mengepal geram.

"Bukan itu persoalannya..." sahut Seriti Hijau tenang.

"Jadi... jadi apa maksudmu?" Nanjar jadi terheran. Lagi-lagi dia menggaruk tengkuknya karena tak mengerti dengan maksud Seriti Hijau.

Wanita ini kembali menghela napas sejenak. Tiba-tiba dia menyibakkan jubah hijaunya dibagian depan. Nanjar membelalakkan mata. Keruan saja si Dewa Linglung jadi terpukau, karena melihat sepasang aurat yang membuntal padat terpampang didepan matanya.

"Apa maksudmu?" sentak Nanjar dengan wajah berubah.

"Kau perhatikan sekitar dada dan perutku, apakah tak kau lihat warna kehitaman?" kata Seriti Hijau.

Nanjar tersentak. Sadarlah dia kalau wanita itu tak berniat kotor seperti sangkaannya. Benar saja apa yang dikatakan wanita itu. Disekitar buah dada dan bagian atas pusar tampak warna kehitaman. Agak samar karena ruangan bawah tanah itu cuma diterangi obor-obor kecil didinding ruangan.

"Ya! aku melihatnya...." kata Nanjar tergagap. Mau tak mau darahnya berdesir melihat pemandangan didepan matanya.

Seriti Hijau kembali menutupkan jubahnya. Lalu berkata. "Itulah luka dalam pada tubuhku akibat pukulan beracun yang dilontarkan si Pendekar Cendekiawan..."

Nanjar manggut-manggutkan kepala. "Punya masalah apakah kau dengan manusia itu? Tampaknya dia benar-benar mau membunuhmu secara perlahan, agar kau mati secara tersiksa!"

"Masalahnya tak terlalu rumit. Karena aku tak mau bergabung dengan dia. Tujuan si Pendekar terkutuk itu adalah menumpas semua kaum pendekar lurus. Dan dia menginginkan aku sebagai pendampingnya. Tentu saja mau memanfaatkan tenagaku demi kepentingannya!"

"Manusia gila! kukira dia orang yang tidak waras. Apakah dia bertujuan mengangkat diri menjadi orang yang berkuasa di Rimba Hijau?"

"Kukira begitu!" sahut Seriti Hijau.

"Racun apakah yang dipergunakannya?" tanya Nanjar dengan perasaan khawatir. "Apakah kau memerlukan bantuanku untuk membantu menyembuhkan luka dalammu?" tanya Nanjar.

Wanita ini tersenyum. Kali ini senyumnya tampak melebar. Hingga dimata Nanjar wajah Seriti Hijau tampak semakin manis menawan hati.

"Dugaanmu tepat, sobat Dewa Linglung! Racun yang dipergunakannya adalah racun yang amat langka didunia ini. Racun ini diserap dari sejenis tumbuhan cendawan yang hidup seratus tahun sekali. Aku tak tahu nama jenis Cendawan itu. Menurut si Pendekar Cendekiawan, dalam jangka waktu tak sampai enam bulan nyawaku akan melayang, dengan didahului hancurnya bagian-bagian dalam tubuhku sedikit demi sedikit. Benar seperti yang kau katakan. Manusia terkutuk itu mau membunuhku secara perlahan-lahan..."

"Edan! benar-benar manusia setan, dedemit, iblis!" memaki Nanjar.

Seriti Hijau tertawa mengikik. "Hihi... setan, dedemit atau iblis sama saja masih satu keturunan!"

Nanjar garuk-garuk tengkuknya. "Haih, dalam keadaan terluka dalam sedemikian parah dan menakutkan, masih sempat-sempatnya dia tertawa..!" berkata dalam hati Nanjar.

Sehabis tertawa, wajah Seriti Hijau kembali berubah keruh, seperti kehilangan semangat. Setelah menghela napas, Seriti Hijau berkata lirih. "Sebaiknya kau mendengar ceritaku, sebelum aku memerlukan bantuanmu, Nanjar...!"

Nanjar yang tengah memikirkan bagaimana caranya menolong jiwa wanita itu, cepat mengangguk. Dia memang ingin mendengar kisahnya bagaimana sampai wanita itu bisa bersembunyi di tempat rahasia ini, dan menjadi ketua dari partai Iblis Berkaki Satu.

ENAM

Lembu Teleng berjalan mondar-mandir diluar ruangan. Tampaknya hatinya seperti resah. Wajahnya sebentar merah padam, sebentar surut memucat.

"Hm, sekian lama aku menunggu, tapi perempuan itu belum memberi jawaban. Rasanya aku tak sabar lagi! Tapi aku masih khawatir pada dia. Apakah racun itu benar-benar telah mempengaruhi dirinya?" berdesis Lembu Teleng alias si Jagal Nyawa.

Siapa sebenarnya Lembu Teleng ini? Dialah sebenarnya ketua partai Iblis Berkaki Satu, yang menguasai wilayah itu. Pada dua bulan berselang seorang wanita melangkah terhuyung melewati wilayah kekuasaannya. Sebagai golongan para begal yang melakukan kejahatan secara licik dengan cara main serang lalu sembunyi, Lembu Teleng cepat menerima laporan dari anak buahnya.

Tentu saja Lembu Teleng segera muncul untuk melihat sang calon korban. Napsu iblisnya seketika timbul, karena dia memang jarang melampiaskan kelaki-lakiannya diwilayah itu. Selain sebagai buronan Kerajaan, juga dia terpaksa harus menghilangkan jejaknya dengan tak munculkan diri dan bersembunyi di tempat rahasia itu.

Namun dia berpatokan, bahwa setiap orang yang melewati tempat itu harus dibunuh, demi keamanan dirinya. Tak dinyana sang korban justru berilmu tinggi, bahkan telah mengobrak-abrik anak buahnya. Akibatnya dia dan semua anak buahnya harus bertekuk lutut di kaki wanita itu.

Lembu Teleng diberi kebebasan berbuat diluar, akan tetapi dalam kekuasaan si wanita itu. Demikianlah, apa yang diperintahkan si wanita selalu dituruti demi menjaga dirinya dari bahaya yang lebih besar. Namun selama itu hasrat didalam dada Lembu Teleng tetap menggebu. Antara berani dan takut yang menjadi satu. Walau dia telah mengetahui kalau sang Ketua sebenarnya dalam keadaan terluka dalam sangat parah.

Tapi setelah membawa Nanjar menghadap sang "ketua", Lembu Teleng merasa dirinya seorang yang teramat bodoh, karena telah diperalat wanita itu. Namun tampaknya Lembu Teleng telah mempunyai rencana sendiri dengan semua itu.

Rencana itu datangnya memang terlambat, dan baru saat ini dia menyadari kebodohannya. "Hm! tak apa! Terlambat atau tidak tak menjadi soal. Walaupun dengan adanya pendekar muda bertampang tolol itu, toh mereka takkan dapat lolos dari perangkapku!" berkata dalam hati Lembu Teleng. Tampak bibirnya bergerak menyeringai, lalu menyelinap dari ruangan itu.

Secara singkat Seriti Hijau menuturkan kejadian, sejak dia kalah bertarung dengan si Pendekar Cendekiawan yang licik dan banyak tipu daya. Dia terpaksa harus menyelamatkan diri dari kejaran manusia itu. Ternyata si Pendekar Cendekiawan tak terus mengejar. Karena manusia itu yakin bahwa suatu saat, Seriti Hijau pasti akan mencari dia untuk mendapatkan obat penawar racun.

"Apakah saat ini si Pendekar Cendekiawan berada di pulau Hantu?" tanya Nanjar.

"Dugaanmu tepat sekali, Nanjar! Manusia licik itu memang menguasai pulau bekas tempat berdiamku. Kukira dia masih setia menungguku. Waktu enam bulan itu sudah tinggal satu bulan lagi. Dan aku mulai mengalami penderitaan hebat sejak tadi malam. Sampai mati aku tak akan mengemis padanya untuk meminta obat penawar racun.

"Untunglah aku sejak jauh-jauh hari telah memesan pada anak buahku, orang-orang partai Iblis Berkaki Satu untuk mencari kalau-kalau melihat kau. Dan menahanmu untuk dibawa menghadap aku. Secara kebetulan kau justru lewat diwilayah ini. Nasibku sungguh beruntung, karena dipertemukan dirimu. Hanya kaulah harapanku untuk menyembuhkan luka dalam ditubuhku ini..."

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Nanjar.

Seriti Hijau sejenak termenung. "Aku menemukan sebuah kitab mengenai cara memusnahkan racun jahat. Secara kebetulan kau mempunyai pedang mustika yang dapat menyedot racun. Kau bisa gunakan cara itu untuk membantuku mengeluarkan racun dalam tubuhku!" kata Seriti Hijau dengan suara perlahan.

Dalam ruang itu memang mereka tak bicara keras, karena khawatir didengar orang-orang partai Iblis Berkaki Satu. Seriti Hijau secara singkat telah menuturkan kejadian, bagaimana sampai dia diangkat sebagai ketua di tempat itu. Kalau tidak dengan cara cerdik mengakali mereka, tentu siang-siang sejak beberapa pekan yang lalu Seriti Hijau sudah berbalik dikuasai orang-orang partai Iblis Berkaki Satu. Karena mereka mengetahui dirinya dalam keadaan terluka parah.

Apalagi dalam pertarungan menghadapi Lembu Teleng, telah menguras tenaga dalamnya. Dengan cara untung-untungan dia berhasil menggertak laki-laki ketua partai itu. Padahal kalau Lembu Teleng mengetahui, tentu dengan mudah Lembu Teleng dapat merobohkan dirinya. Sedikit ilmu sihir yang dimiliki Seriti Hijau ternyata mampu membuat ciut nyali Lembu Teleng.

Dan untungnya pula Lembu Teleng me-mang sedang sangat hausnya dengan perempuan. Mungkin dia berharap suatu ketika dapat menak-lukkan wanita cantik itu untuk melampiaskan napsu bejatnya sebelum dia mengirim nyawa wanita itu ke liang Akhirat.

Dengan alat-alat penyamar yang memang selalu dibawanya, Seriti Hijau menyulap wajahnya didalam ruangan itu. Semakin menciutlah nyali Lembu Teleng. Hingga setiap perintah Seriti Hijau terpaksa harus dituruti.

Nanjar membelalakkan mata menatap wanita itu. "Haih! dasar linglung! Mengapa aku tak ingat kalau pedang mustikaku dapat kupergunakan untuk menyedot racun?" sentak Nanjar. Hampir saja dia menampar pipinya sendiri. Untung kebiasaan itu tak berkelanjutan. Nanjar hanya mengusap-usap pipinya sambil memaki kebodohannya.

Tapi dalam hati diam-diam Nanjar mengeluh. "Celaka! bagaimana aku harus mengobati lukanya, kalau luka itu berada dibagian..."

"Nah! tunggu apa lagi? segera kau mencoba senjata pusakamu untuk menyedot racun ditubuhku! Walau aku masih ragu dengan cara pertama ini, tapi setidaknya tak membuat aku penasaran. Kalau memang berhasil memang yang kuharapkan. Tapi kalau gagal, terpaksa harus pakai cara kedua..."

"Apakah ada cara kedua selain menggunakan pedang mustika ini?" sentak Nanjar yang tanpa ayal segera meloloskan pedang mustika Naga Merah dari belakang punggung.

"Ya! cara kedua itu nanti saja dibicarakan, setelah mencoba dengan jalan ini. Siapa tahu berhasil..." sahut Seriti Hijau seraya membuka jubahnya.

Nanjar membelalakkan mata sambil menahan napas. Lagi-lagi satu pemandangan in-dah telah membuat dia secara tak sadar telah menelan ludah. Entah mengapa tahu-tahu teng-gorokannya serasa kering.

Seriti membaringkan tubuhnya terlentang diatas tikar. Sebagian tubuhnya terbuka. Hanya bagian bawah saja yang terbungkus jubah hijau menutup aurat si wanita ini.

Walau dalam keadaan seperti itu, tapi Nanjar tetap sadar kalau bukan saatnya dia mengumbar perasaan hatinya. Dia harus menyelamatkan jiwa wanita itu dari ganasnya racun yang mengeram ditubuh sang dara.

Nanjar telah siap mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot racun melalui pedang mustika Naga Merah. Dia segera pejamkan mata untuk menghimpun kekuatan tenaga dalam. Tampak lengannya menggetar dan berubah merah.

Sementara pedang mustika itu sendiri semakin membersitkan sinar merah yang menerangi sekitar ruangan. Setelah Nanjar merasa kekuatan tenaga dalamnya terkumpul, maka diapun telah siap untuk memulai bekerja.

"Maaf, aku harus menoreh sedikit kulitmu agar racun jahat itu dapat terserap, nona Seriti Hijau." berkata Nanjar seraya membuka matanya. Wanita ini mengangguk. Akan tetapi sebelum ujung pedang digoreskan kekulit tubuh Seriti Hijau, mendadak wanita ini mengeluh.

Sepasang matanya mendadak membuka. Tampak wajahnya menyeringai seperti menahan rasa sakit yang amat sangat. Detik itu juga wanita ini menjerit lirih. Lengannya bergerak memegangi dada dan perutnya. Lalu tubuhnya menggeliat-geliat disertai rintihan kesakitan.

"Oh! Aduuuh! Celaka!... ra... racun itu mulai bekerja lagi. Aaah...! Adduuuh! To... toloong aku Nanjar..."

Tentu saja Nanjar jadi terperanjat, dengan mata membelalakkan kebingungan. "Apa yang harus kulakukan? aku... aku belum menoreh kulitmu!" berkata Nanjar dengan sikap serba salah.

"Jauhkan pedang mustikamu! Dan... ce... cepat kau urut disini! Aduuuh...! Aku tak tahan sakitnya...."

"Di... disini?" tanya Nanjar dengan tergagap. Sementara hatinya sendiri berdebar tak keruan.

"Ya! cepat lakukan! oh..." Lengan Seriti Hijau mencekal erat pergelangan tangan Nanjar, lalu diletakkan diatas dadanya. "Kerahkan hawa murnimu, dan... urut sampai kebawah..." perintah wanita itu. Tentu saja Nanjar seperti gelagapan. Tapi mau tak mau dia harus melakukan karena tak tega melihat wanita itu yang mengerang-ngerang merasakan sakit pada isi dalam tubuhnya.

Dengan menahan napas dia cepat lakukan seperti yang diperintahkan wanita itu. Kemudian menyalurkan hawa murni dari kedua lengannya. Ternyata hal itu mengurangi rasa sakit si wanita. Tampak Seriti Hijau mulai mengurangi menggeliatnya. Wajahnya tak sepucat tadi. Bahkan berangsur-angsur mulai memerah.

Sementara itu Nanjar sendiri seperti orang yang serba salah. Hal demikian itu membuat darahnya serasa mengalir lebih cepat. Bahkan sekujur tubuhnya mulai mengucurkan keringat. Mendadak Nanjar berhenti mengurut, karena melihat wanita itu mulai tenang.

"Apakah telah hilang rasa sakitmu?" tanya Nanjar penuh kekhawatiran. Seriti Hijau membuka matanya. Sepasang mata itu tampak redup. Sedangkan napasnya tampak memburu.

"Agak lumayan...!" sahutnya lirih.

Nanjar menghela napas lega. "Apakah sewaktu-waktu kau menderita kesakitan seperti ini?"

"Benar! Sejak sepekan ini hampir setiap saat aku menderita. Dan baru bisa hilang rasa sakit yang luar biasa itu setelah dilakukan cara seperti tadi. Aku... aku melakukannya sendiri. Tapi kali ini rasa sakit itu semakin bertambah sepuluh kali lipat. Aku tak tahan, Nanjar! Oh! lebih baik aku mati saja...!" berkata Seriti Hijau seraya mencoba duduk. Tapi dia mengeluh, dan terlentang lagi dengan menyeringai kesakitan.

"Jangan bergerak dulu...!" berkata Nanjar. "Bagaimana? apakah aku boleh memulai lagi?" tanya si Dewa Linglung setelah memperhatikan wanita itu sesaat. Dia harus mengambil keputusan agar cepat mengeluarkan racun ditubuh si wanita.

"Jangan kau dekatkan lagi pedangmu, Nanjar! Aku takut akan kejadian seperti tadi...!" berkata wanita ini.

"Hm! jadi apa yang harus aku lakukan?" tanya Nanjar serba salah.

"Kukira tak ada cara lain selain memakai cara kedua..."

"Cara kedua? Ah, benar katamu! Nah! katakanlah cara kedua itu. Segera aku mengerjakan. Mungkin cara tadi tak dapat dipergunakan!"

"Kau mau melakukannya?" tanya Seriti Hijau lirih.

"Demi kesembuhanmu, aku bersedia melakukannya!"

"Cara kedua adalah.... kau harus melakukan diriku seperti seorang suami terhadap istrinya..." berkata Seriti Hijau.

Tentu saja Nanjar melengak. Hampir-hampir dia berteriak kaget mendengar apa yang dikatakan wanita itu. "Kau... kau bicara benar atau ngaco?" sentak Nanjar dengan mata membelalak.

Seriti Hijau mengangguk perlahan. Wajahnya tak menampilkan sikap dusta. Pandangan matanya tampak polos. Bahkan tampak sepasang mata yang bulat bening itu berkaca-kaca.

"Hal inilah yang diharapkan si Pendekar Cendekiawan. Lalu apakah aku harus mengemis padanya untuk melakukan penyembuhan dengan cara ini padanya?" kata Seriti Hijau dengan suara tergetar.

Nanjar terpaku menatap wanita itu tak bergeming. Lalu tertunduk dengan perbagai perasaan memenuhi benaknya. Apakah yang harus dilakukan? Membiarkan wanita itu tanpa memper-dulikannya, atau melaksanakan pengobatan dengan cara gila itu?

"Aku telah berhutang budi padamu, nona Seriti Hijau. Kalau tak ada cara lagi selain itu... yah! apa boleh buat." akhirnya Nanjar berkata lirih.

"Aku tak akan melupakan budi kebaikanmu, Dewa Linglung...." membisik Seriti Hijau dengan terharu. Dan Nanjar pun segera meloloskan pakaiannya....


TUJUH

ADIPATI Rah Sanca menggamit pinggang gadis cantik berkerudung hitam itu dengan tertawa menyeringai. "Hahaha... malam ini kau harus menerima lamaranku, Larasati!"

Wajah gadis ini berubah pias. Dia berusaha menepiskan lengan laki-laki abdi Kerajaan itu. Tapi sekali sentak tubuh gadis itu sudah berada dalam pelukannya. "Gusti Adipati! Ini aku belum bersedia untuk itu!" berkata gadis ini seraya meronta.

"Heh! sampai kapan aku harus menunggu? Selama ini aku masih bersikap sabar menunggu jawabanmu. Apakah aku harus memakai kekerasan?" sungut Adipati Rah Sanca, seraya mendorong tubuh gadis itu hingga membentur dinding ruangan kamar.

"Kekerasan bukanlah jalan yang dapat dibenarkan. Bukankah telah hamba katakan bahwa hamba harus menunggu sampai ramanda hamba pulang dari menjalankan tugas. Hamba harus mendapat restu dari ramanda..." kata gadis ini dengan sikap tenang.

Sepasang mata si gadis yang tersembul dari lipatan kerudung hitam yang menutupi wajahnya menatap sang Adipati dengan sorot tajam.

"Bagus! kau memang seorang yang sangat menghormat orang tua. Tapi malam ini kau harus melayaniku. Kau tak dapat menolak lagi dengan alasan apapun!" berkata Adipati Rah Sanca dengan suara ditekan.

Wanita berkerudung ini tersebut mundur. "Gusti Adipati! Tak ada cara kekerasan dalam melamar orang. Apalagi memaksa melakukan sesuatu yang diluar hukum. Apakah demikian buruknya sikap seorang abdi Kerajaan?"

Sesaat Adipati ini melengak. Tapi segera mengumbar tawa tergelak-gelak. "Bagus! aku menyukai kekerasan hatimu. Tapi terlambat! Kukira keteranganku ini bisa membuat kau mengetahui bahwa kekuasaan diwilayah ini berada dalam genggaman tanganku. Nah! dengar baik-baik, bocah manis. Ramandamu Tumenggung Banyuroto telah tewas ketika menjalankan tugas. Berarti tak ada yang harus kau tunggu-tunggu lagi!" berkata sang Adipati dengan tersenyum.

Adipati Rah Sanca cepat menyambung kata-katanya. "Tak usah bersedih. Bukankah kau berada dalam perlindunganku? Ramandamu tewas sebagai kesatria. Gugur sebagai kesuma bangsa!"

Laki-laki Adipati ini mengira gadis itu akan menjerit kaget, lalu menangis terisak-isak. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika justru suara bentakan nyaring yang didengarnya. "Manusia terkutuk! Kaulah pembunuhnya!" Sekali renggut gadis itu lepaskan kain kerundung penutup wajahnya.

Adipati Rah Sanca tersentak, wajahnya berubah kaget. "Hah! kau bukan Larasati? Siapa kau?" bentaknya serasa melangkah mundur setindak.

"Hm! aku memang bukan Larasati. Tapi aku adalah orang yang pernah kau jerumuskan dalam kehinaan. Selama ini aku telah melacak jejakmu. Ternyata kau pandai menyulap dirimu menjadi seorang Adipati diwilayah ini! Heh! Namun kebusukanmu terbongkar karena ulah perbuatanmu sendiri!"

Mata Adipati Rah Sanca melotot lebar menjalari sekujur tubuh wanita dihadapannya dari ujung rambut sampai kekaki. "Kau... kau GIRIRANTI...?" sentaknya terkesiap.

Wanita dihadapannya tertawa dingin. "Bagus! ternyata ingatanmu masih tajam, manusia bejat! Masih ingatkah kau pada perbuatan yang kau lakukan bersama empat orang saudara seperguruanmu, terhadap diriku?"

Rah Sanca menelan ludah. Kakinya kembali menyurut mundur. Akan tetapi tak lama dia sudah dapat menguasai diri lagi. "Ah, sudahlah, Giriranti...! Jangan mengingat masa lalu. Kau ternyata masih tetap cantik seperti dulu. Kuakui memang akulah yang merusak kehormatanmu pertama kali. Tapi saat itu aku dalam keadaan khilap. Sebenarnya aku kasihan melihat kau menjalani hukuman guru mendekam dipenjara besi bawah tanah! Pernah tersirat dalam benakku untuk menolongmu keluar dari tempat hukuman itu, untuk membawa lari kau. Tapi.... apakah yang harus kuperbuat? Sukurlah seseorang telah menolong dirimu. Kuharap kau mengerti, aku... sangat mencintai dirimu..." kata Adipati Rah Sanca dengan suara dibuat setenang mungkin.

"Gombal! laki-laki semacammu memang pandai memutar lidah. Aku sudah dapat membaca jalan pikiranmu. Hm! kau kira semudah itu mengakali aku?" membentak Girianti dengan suara dingin. "Ketahuilah! kedatanganku adalah untuk mengambil nyawamu! Dosamu sudah melebihi takaran. Dengan jabatan Adipati yang kau sandang bahkan membuat kau semakin bertindak sewenang-wenang. Kekuasaanmu telah kau pergunakan hanya untuk kesenangan hatimu belaka. Kau kira aku tak mengetahui perbuatanmu selama ini? Selain kau, akupun akan mengirim pula nyawa empat orang manusia keparat pengikutmu yang juga telah menodai diriku!" berkata Giriranti dengan napas memburu dan wajah semakin kelam membesi.

"Hahaha... ilmu kepandaian macam apakah yang akan kau tunjukkan dihadapanku, bocah manis?" mengejek Adipati ini. Namun dalam hati Rah Sanca dia membathin. "Selama lebih dari tiga tahun menghilang, tentu anak ini telah memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dianggap enteng, hingga berani sesumbar sedemikian rupa. Entah siapa orang yang telah menolongnya keluar dari penjara bawah tanah itu..."

Tapi sedikitpun tak nampak keterkejutan pada wajah Rah Sanca. Bahkan dengan bertolak pinggang dia berkata mengejek. "Nah! segera kau tunjukkan kebolehanmu, anak manis! Ingin sekali aku melihat, apakah ilmu kepandaianmu telah semakin maju...!"

"Bagus! kau bersiaplah untuk menemui kematian!" membentak Giriranti. Tanpa menunggu lagi Giriranti lancarkan serangan dengan dua kepalan menghantam ke arah dada lawan. Inilah jurus yang dinamakan Dua Kepalan Dewa.

Rah Sanca cepat mengegos menghindari serangan. Tampaknya sangat menganggap enteng serangan bekas saudara seperguruannya ini. Tak dinyana angin pukulannya saja membuat tubuhnya terhuyung, dan hawa panas menyerempet kulit tubuhnya.

"Gila! apakah tenaga dalamnya telah sedemikian tinggi?" sentak Rah Sanca dalam hati. Walau begitu Rah Sanca tak memperlihatkan keterkejutannya. "Serangan bagus! Ternyata jurus Dua Kepalan Dewa telah dapat kau mainkan dengan baik!" berkata Adipati ini.

"Hm! bukankah kau telah berhasil mencuri kitab yang disembunyikan paman Jipang Galih, dan telah menguasai isinya? Pergunakanlah ilmu yang kau dapat itu untuk mempertahankan nyawamu!" kata Giriranti dingin.

"Bocah sombong!" maki Rah Sanca. Nafasnya memburu, karena dia merasa dianggap en-teng oleh gadis bekas saudara seperguruannya separtai. "Jaga seranganku!" bentaknya. Dan menerjanglah Rah Sanca dengan jurus-jurus maut yang dilancarkan secara beruntun.

Giriranti telah siap untuk menghadapi serangan Adipati ini. Tentu saja dia segera mengimbanginya dengan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Sebentar saja ruangan itu telah menjadi ajang pertarungan.

Akibatnya tembok ruangan ambrol, dan mereka meneruskan pertarungan diluar ruangan gedung Tumenggung itu. Jelaslah kalau gadis itu tak dapat dengan mudah untuk dirobohkan. Setiap serangan selalu dapat dihindarkan dengan baik. Bahkan setelah lewat belasan jurus, tampak Rah Sanca mulai terdesak.

Dalam hati Rah Sanca terkejut bukan main, karena setiap jurus yang dipelajari dalam kitab pusaka yang dicurinya seperti telah dapat terbaca oleh Giriranti. Namun dia belum lagi mengeluarkan jurus-jurus istimewa karena masih mengharapkan gadis itu dapat dirobohkan tanpa terluka berat. Dalam benak laki-laki berotak kotor ini masih mengharap dapat mengulang mencicipi kehangatan tubuh sang dara.

Mendadak Rah Sanca berseru keras. Seketika dia merobah serangan dengan jurus-jurus tipuan. Inilah jurus-jurus yang dinamakan jurus Memancing Naga Meninggalkan Sarangnya. Giri-ranti agak terkecoh. Serangan-serangan tipuan ini agak membingungkan dia. Apalagi saat itu hatinya dibakar dendam sedalam lautan untuk membunuh lawannya.

Sebenarnya hal ini takkan terjadi, karena dalam setiap pertarungan harus dapat bersikap tenang serta konsentrasi yang baik. Kelebihan emosi dapat membuat orang kehilangan kontrol, dan dapat mengakibatkan kefatalan pada dirinya sendiri.

Tampaknya Rah Sanca tahu gelagat baik. Hal itu cepat dimanfaatkan. Sambil menyerang dia membuat ejekan-ejekan yang membuat panas hati si gadis. Tentu saja Giriranti semakin berang. Beberapa kali sudah dia terjebak serangan tipuan. Nyaris saja serangan lawan mengenai sasa-ran. Beruntung dia memiliki kegesitan yang luar biasa. Hingga tak sampai dia kecolongan.

Namun ketika pada saat Rah Sanca menyerang ke arah selangkangan dengan disertai ejekan yang menyakitkan hati, dia tak dapat menahan emosi yang membakar dada. Giriranti sempat menghindar dengan melompat dua tombak berjumpalitan. Tak dinyana serangan itu lagi-lagi cuma tipuan. Justru Rah Sanca telah dapat memperhitungkan kemana arah bergerak lawan.

Disaat itulah dia merobah gerakan. Kakinya menotol tanah. Dan tubuhnya melambung keudara hampir bersamaan dengan lompatan salto Giriranti. Detik itulah kakinya bergerak menghantam.

BUK!

Tak ampun tubuh dara itu terlempar melayang dan jatuh bergulingan di tanah. Rah Sanca tak berhenti sampai disitu. Ketika kedua kakinya hinggap di tanah, langsung melompat mengejar tubuh lawan yang berguling-guling. Giriranti terperangah kaget. Tulang punggungnya serasa remuk terkena hantaman kaki lawan.

Ketika tubuhnya gulingan tubuhnya berhenti, secara reflek dia meloloskan pedang tipisnya yang terbelit dipinggang. Saat itulah dengan mengumbar tertawa Rah Sanca gerakkan lengannya menotok gadis itu. Didetik itulah kilatan pedang Giriranti menyambar...

Rah Sanca terperangah kaget. Tapi terlambat. Pedang tipis gadis itu telah menghunjam kelambungnya. Terasa benda dingin menembus daging tubuhnya, membuat rasa ngilu pada ususnya. Tubuh laki-laki ini limbung. Matanya membelalak dengan wajah menyeringai menahan sakit yang terasa sampai keubun-ubun. "Kau... kau..." suara Rah Sanca tergetar.

"Saat kematianmu telah tiba, manusia dajal!" berkata dingin Giriranti. Dan sekali menyentakkan pedangnya, seketika darah memuncrat, diiringi untaian usus yang ambrol keluar dari kulit perut laki-laki itu.

Rah Sanca mengerang bagaikan suara kerbau disembelih. Darah memancur dari luka lebar yang mengoyak lambung. Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung. Matanya membeliak semakin lebar. Kemudian dengan suara teriakan parau, tubuh Adipati itu roboh terkapar di tanah. Setelah mengalami sekarat, beberapa saat kemudian nyawanya pun melayang...

Giriranti tegak mematung bagai arca. Matanya menatap dingin pada sosok tubuh yang terlentang berkubang darah didekat kakinya. Tak lama terdengar suara helaan napas gadis ini seperti lega dari perasaan yang menindih dadanya. Dia mendongak menatap mega putih yang berarak dilangit.

"Guru...! Masih empat manusia lagi yang harus kulenyapkan, untuk membayar lunas dendam kesumatku..." terdengar suaranya bergumam.

Kemudian gadis ini cabut serangka pedang yang membelit dipinggang. Pedang berlumur darah itu dibersihkan dirumput. Lalu memasukkan kembali pedang tipisnya kedalam serangka. Kemudian berkelebat pergi dari tempat itu....

DELAPAN

Dua pasang mata sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu, hingga berakhir dengan kematian sang Adipati dengan lambung robek, dan isi perut membusai keluar. Ketika wanita itu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, kedua sosok tubuh ini melompat keluar dari tempat persembunyian.

Mereka dua orang berlainan jenis. Satu perempuan satu laki-laki. Kiranya tak lain dari Nanjar dan wanita kawannya adalah Seriti Hijau alias si Iblis Pulau Hantu. Bagaimana sampai mereka berada di tempat ini? Tentu saja tak terlalu sukar diterka.

Setelah Nanjar mau tak mau terpaksa melakukan cara gila demi menolong jiwa wanita itu, maka terlihatlah tampak jelas buktinya. Lingkaran kehitaman di sekitar dada dan perut Seriti Hijau hilang tanpa bekas. Tapi sebaliknya racun jahat itu justru mengendap dalam tubuh Nanjar.

Akan tetapi ternyata Nanjar berakal cerdik. Selama mengobati dia telah memindahkan racun dengan menyalurkannya kedalam badan pedang mustika yang digenggamnya. Dengan cara itu racun jahat tersebut cuma lewat melalui aliran darahnya dan langsung meresap ke dalam pedang.

Tampak badan pedang dalam genggamannya berubah menghitam, menutup sinar merah pedang mustika Naga Merah itu. Proses lewatnya racun itu tak urung membuat Nanjar terkulai terengah-engah, karena harus memporsir tenaga dalam untuk menyedot racun melalui cara gila, yang hampir-hampir membuyarkan konsentrasinya.

Seriti Hijau melompat bangun, dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Lalu menarik kain selimut untuk menutupi tubuhnya. Nanjar masih terlentang terengah-engah. Matanya terpejam. Sementara keringat hampir membasahi sekujur tubuhnya. Wanita ini mulai merasakan perobahan pada tubuh dan aliran darahnya, yang kembali normal.

Wajah yang tadi tampak pias itu kini berangsur-angsur kembali memerah. Tampaknya Seriti Hijau masih belum pulih benar dari alam kenyataan yang telah menyembuhkan luka dalamnya. Dalam proses pengobatan itu dia mengalami dua kali pingsan. Sukmanya seperti entah melayang kemana yang menyeret dirinya kealam mimpi.

Namun dalam keadaan setengah sadar tadi, dia mendahului melompat bangun dan menyambar jubah untuk menutupi tubuhnya. Namun kini berangsur-angsur ingatannya kembali pulih. Air matanya menggenang ketika dia sadar dari kenyataan itu. Seketika wajahnya berubah memerah, dan semakin merah. Hampir semerah seonggok darah yang menggenang diatas tikar.

Hati wanita ini tersentak. Lalu tundukkan wajahnya. Terasa air hangat mengalir kepipi. Namun cuma sesaat. Tampak seulas senyum terukir pada sudut bibirnya. Hatinya terasa lega. Dia tak merasa telah kehilangan. Bahkan ada rasa bahagia yang sukar terlukiskan tampak pada raut wajahnya.

Seriti Hijau melompat berdiri, dan dengan cepat mengenakan jubahnya dengan tubuh membelakangi Nanjar. Hampir bersamaan dengan bergeraknya wanita itu, si Dewa Linglung pun melompat bangun. Matanya membelalak melihat keadaan dirinya sendiri. Hampir-hampir dia berteriak kaget. Tapi segera sadar dari linglungnya.

Cepat dia membereskan pakaiannya. Baru saja selesai, suara lirih Seriti Hijau menyibak keheningan dalam ruangan itu. "Terima kasih atas pertolonganmu, Nanjar! Kini aku yang berhutang budi padamu..."

Nanjar garuk-garuk tengkuknya dengan mata menatap tajam wanita dihadapannya. "Kau telah sembuh dari pengaruh racun itu?" tanyanya ragu.

Seriti Hijau balikkan tubuh. Tampak bibirnya sunggingkan senyuman, seraya kepalanya mengangguk. Kemudian melangkah mendekati si Dewa Linglung yang terpaku menatap wanita itu. Dua langkah didepan Nanjar, wanita ini berhenti. Mendadak wanita ini sibakkan jubahnya dibagian dada.

Nanjar tersentak. Benaknya memikir. "Apa lagi yang diinginkan gadis ini? Apakah dia mau mengulangi perbuatan gila itu? Ah! gila! benar-benar gila!"

Akan tetapi wanita itu segera berkata lirih. "Kau lihatlah! Tanda kehitaman disekitar dada dan perutku telah lenyap...! Kau telah menolong jiwaku...! Entah bagaimana caranya aku membalas budimu?"

Benar saja. Ketika Nanjar memperhatikan, warna kehitaman itu telah lenyap tanpa bekas. Dia manggut-manggutkan kepala. Dan Seriti Hijau segera melipat kembali jubahnya. Barulah Nanjar sadar kalau dia telah mengalirkan racun ditubuhnya yang berhasil menyedot racun jahat pada tubuh wanita itu telah dialirkan kepedang mustikanya.

Cepat dia balikkan tubuh dan menjumput pedang Naga Merah yang menggeletak dibagian ujung tikar. Lalu memperhatikan badan pedang yang menghitam, menutup sinar merah pedang mustika itu. Nanjar berpikir sejenak. Tak lama tampak dia berdiri dengan menyilangkan kedua lengan diatas dada dengan mencekal erat gagang pedang. Sesaat terlihat tubuh si Dewa Linglung agak menggetar.

Ternyata dia tengah mempergunakan cara untuk mengeluarkan racun yang terserap dipedang mustika itu. Dengan kerahkan hawa murni serta kekuatan tenaga dalamnya, Nanjar mengusir keluar racun yang meresap dibadan pedang. Proses ini tak memakan waktu lama. Selang sepeminuman teh, tampak asap hitam mengepul dari ujung pedang berbentuk ekor naga itu.

Perlahan-lahan warna hitam yang menutup badan pedang tampak lenyap, dan pedang mustika itu menampakkan cahaya aslinya. Merah, semerah darah. Nanjar cepat masukkan pedang dalam warangkanya, tak lupa menyelipkan seruling tulangnya kebalik baju gombrongnya. Kemudian memberi isyarat pada wanita itu seraya melompat mendekati.

"Tutup jalan pernapasanmu! Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini!" bisik Nanjar.

Wanita itu mengangguk. kemudian menuruti perintah menutup hidungnya dengan cepat. "Jalan sini!" bisik Seriti Hijau, ketika melihat Nanjar akan melompat ke arah pintu batu.

Seriti Hijau menekan sebuah batu persegi yang menempel dinding ruangan. Sebuah lubang menganga ketika dinding itu bergeser. Wanita ini cepat merundukkan kepala memasuki lubang rahasia itu. Kemudian menyusul Nanjar. Dengan mengikuti dibelakang si Seriti Hijau, Nanjar tak henti-hentinya memuji kecerdikan wanita itu. Demikianlah, akhirnya mereka muncul dibelakang bukit dekat sebuah air terjun.

Mereka menyempatkan diri untuk mandi membersihkan tubuh diair terjun. Tak dapat diceritakan lagi, bahwa keakraban sebentar saja telah terjalin demikian erat diantara keduanya. Mereka meninggalkan tempat yang membawa kenangan itu dengan seribu satu kesan. Tampak Seriti Hijau menggelendot manja mencekal erat lengan si Dewa Linglung ketika keduanya melangkah pergi dari tempat itu.

Sementara itu Lembu Teleng ternyata telah mengatur rencana untuk mengerjai dua orang yang berada diruang rahasia. Lembu Teleng membawa sesuatu ketika keluar dari gudang tempat menyimpan bahan makanan. Wajahnya nampak menyeringai. Lalu berindap-indap mendekati ruangan dimana sang ketua mengurung diri.

"Dasar otakku tumpul! Aku tak ingat kalau masih menyimpan sisa bahan peledak berisi obat bius ini. Haha.. hehe... dengan cara ini aku akan membereskan mereka. Si Setan cantik berilmu tinggi itu sudah kuketahui kalau dia terluka dalam. Markas rahasiaku rupanya hanya digunakan sebagai tempat persembunyian! Dengan benda-benda ini akan terbebaslah aku dari tekanan si setan cantik itu. Dan kawannya si pendekar muda tampang bego itu segera kukirim nyawanya ke Akhirat. Dan... haha... hehe.. aku akan dapat mencicipi kehangatan tubuh si setan cantik!" pikiran-pikiran kotor Lembu Teleng memenuhi otaknya.

Tiba didepan pintu batu yang masih tertutup seperti tadi, Lembu Teleng siap menjalankan rencananya. Lengannya bergerak menekan batu empat persegi di bawah pintu. Ketika pintu batu itu berderit menggeser terbuka, cepat dia menggigit tali-tali sumbu yang menjulur dikedua benda bahan peledak ditangannya.

Detik selanjutnya dengan cepat dia melemparkan kedua buah benda bahan peledak itu kedalam ruangan tersebut. Kemudian segera menutup kembali pintu batu itu dengan menekan tombol rahasia. Lembu Teleng tak terus beranjak dari tempatnya. Lengannya siap menghantam bila orang yang dikerjai menerobos lewat pintu itu. Tapi dia yakin akan keampuhan senjata bahan peledak berisi obat bius itu yang mampu bekerja cepat.

Selang kira-kira sepenanak nasi, tak ada tanda-tanda bergesernya pintu batu. Berarti rencana yang dijalankan berhasil dengan baik. Demikian pikir laki-laki ini. Lembu Teleng menekap hidungnya dengan sehelai kain Lalu menekan tombol pembuka pintu batu. Ketika pintu batu itu bergeser membuka, langsung dia melompat kedalam ruangan.

Asap putih tipis masih tampak memenuhi ruangan. Mata Lembu Teleng menjalari sekitar ruangan itu. Akan tetapi seketika dia jadi tersentak kaget, karena tak menjumpai adanya dua orang yang terkapar diruangan itu seperti yang dibayangkannya.

"Setan belang! kemana perginya kedua ku-nyuk itu?" mendesis Lembu Teleng. Tiba-tiba dia melihat sebuah lubang menganga didinding sebelah kiri ruangan. Sekali gerakkan kaki dengan menekan tongkatnya, dia telah melompat men-dekati. Alangkah terperanjatnya Lembu Teleng ketika menyadari bahwa kedua orang itu telah melo-oskan diri lewat pintu rahasia.

"Keparat! dua kunyuk itu telah minggat lewat pintu rahasia ini??? Edan! Haih! Otakku benar-benar tumpul! Mengapa aku tak ingat kalau dalam ruangan ini ada jalan rahasia...???"

Lembu Teleng membanting kakinya dengan geram. Lalu melompat keluar dari ruangan itu....

SEMBILAN

Siapakah perempuan yang hebat itu? Se-lain berilmu tinggi tampaknya dia juga sangat telengas!" berkata Nanjar. "Urusan dendam seperti ini kita tak bisa mencampuri..."

"Benar! Seperti yang telah kita dengar perempuan itu pernah dinodai Adipati ini, bersama empat orang kawannya! Tampaknya mereka bekas satu perguruan! Jelas Adipati ini pun bukan manusia baik-baik. Kematian dengan cara seperti ini cukup setimpal dengan perbuatannya!" kata Seriti Hijau dengan wajah dingin menatap sosok tubuh Rah Sanca yang membusai isi perutnya.

Nanjar manggut-manggutkan kepala, Tiba-tiba Nanjar tempelkan telunjuknya keatas bibir. "Sssst! ada orang datang....! Cepat kita sembunyi!"

Keduanya cepat berkelebat kembali ke tempat persembunyian yang tadi. Benar saja! Selang dua kali sepeminuman teh tampak empat orang berkuda mendatangi tempat itu. Siapa sangka kalau mereka adalah empat orang perwira kerajaan. Dan siapa adanya mereka tak lain dari bekas orang-orang perguruan partai Rajawali Putih.

Melihat keadaan gedung Tumenggung yang temboknya hancur, mereka sudah terkejut. Apalagi melihat seseorang yang terkapar di tanah berkubang darah, lengkap dengan pakaian Adipati. Seketika mereka melompat turun dari atas kuda masing-masing dan memburu ke arah mayat itu.

"Gusti Adipati???... Hah! siapa yang telah membunuhnya?" sentak salah seorang dengan wajah pucat. Keempat orang ini terperanjat kaget hingga berteriak tertahan.

Detik itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking tajam. "Setan-setan terkutuk! bagus, kalian datang mengantar nyawa!"

Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan dari belakang reruntuhan tembok gedung. Sekejap saja di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh. Siapa lagi kalau bukan wanita tadi, yaitu Giriranti.

Ternyata Giriranti yang pergi dari tempat itu, dikejauhan melihat empat ekor kuda mendatangi. Hatinya tersentak, dia menduga pastilah empat penunggang kuda berpakaian perwira kerajaan itu akan menuju kegedung Tumenggung. Walau belum dapat memastikan siapa adanya mereka, tapi gadis ini segera berkelebat mendahului kembali ke arah gedung.

Lalu sembunyi direruntuhan tembok. Gerakan gadis inilah yang ditangkap pertama kali oleh Nanjar. Dia tak menduga kalau kemudian muncul empat penunggang kuda terdiri dari orang-orang perwira kerajaan. Kemunculan empat perwira ini membuat Giriranti girang bukan main. Siapa mengira kalau musuh-musuh yang dicarinya telah datang sendiri tanpa dia harus bersusah payah mencari. Segera dia mengenali wajah-wajah keempat orang bekas satu partai yang telah menodainya itu.

Empat orang ini terkejut melihat munculnya seorang gadis berwajah dingin bertolak pinggang dihadapan mereka. "Siapakah kau, nona? mengapa menganggap kami setan-setan terkutuk?" bentak Ulo Rowo dengan terheran. Tapi hatinya telah mendapat pirasat buruk.

"Huh! ternyata orang-orang partai Rajawali Putih pandai menyamar menjadi perwira-perwira kerajaan! Tapi samaran kalian sudah terbuka kedoknya. Akulah Giriranti. Hidupku takkan tenang sebelum melenyapkan nyawa kalian yang telah banyak menumpuk dosa! Kalian segera akan menyusul manusia terkutuk tuan besarmu itu ke Neraka!"

Bagai melihat roh halus saja layaknya mereka belalakkan mata lebar-lebar terperangah. "Giriranti? murid ketua partai Rajawali Putih?" sentak Ulo Rowo. Seketika keempat perwira ini melangkah mundur dengan wajah pucat.

"Bagus! kalian masih ingat aku, berarti kalian juga masih ingat perbuatan terkutuk kalian terhadap diriku!" bentak Giriranti dengan suara sedingin es.

Tanpa dikomandokan lagi keempat perwira ini serentak mencabut senjatanya. Ulo Rowo bersenjatakan sepasang tombak pendek. Sedangkan ketiga kawannya mencabut klewang dari pinggang masing-masing. Detik selanjutnya mereka segera menerjang gadis itu dengan tabasantabasan dan tusukan maut.

Namun Giriranti bukanlah gadis yang setaraf lagi ilmunya walaupun keempatnya telah bertambah pula ilmu kepandaiannya. Kakak seperguruan mereka Rah Sanca saja yang menguasai penuh kitab pusaka Rajawali Putih menemui ajal ditangan gadis itu. Apalagi mereka yang cuma sedikit saja mempelajari tak sampai sebagian ilmu dalam kitab pusaka tersebut.

Kelebatan tubuh Giriranti bagaikan bayangan, bergerak lincah menghindari serangan. Kegesitannya laksana seekor walet. Hingga serangan-serangan mereka hanya mengenai tempat kosong.

Nanjar dan Seriti Hijau terus memperhatikan jalannya pertarungan. Diam-diam dalam hati mereka memuji kelincahan dan kegesitan gadis itu. Selang waktu empat belas jurus, tiba-tiba Giriranti merobah gerakannya. Tubuhnya mendadak lenyap dari pandangan keempat lawannya. Gerakan aneh dengan jurus Menipu Bayangan itu membuat mereka kehilangan jejak dan tak mengetahui kemana lawan mereka berkelebat.

Ternyata bukan keempat perwira itu saja yang keheranan. Tapi juga gadis itu sendiri terheran-heran. Jelas dia masih berdiri tegak diantara keempat lawannya. Tapi aneh! Justru empat perwira itu memburu ketempat kosong.

Sebenarnya tidaklah aneh! Karena tampak tadi bibir Seriti Hijau tampak bergerak-gerak. Nanjar yang juga terkejut dengan sikap keempat perwira itu akhirnya mengetahui kalau si Iblis Pulau Hantu yang tak berapa jauh dari tempat persembunyiannya, telah mempergunakan ilmu mengirim suara jarak jauh untuk membisiki gadis itu.

Kesempatan baik itu segera dipergunakan Giriranti untuk menggunakan pedang tipisnya. Detik itu juga tubuhnya berkelebat. Kilatan-kilatan menyilaukan mata membilas udara. Dan... seketika itu juga terdengarlah jeritan-jeritan mengerikan merobek udara.

Darah memuncrat disana-sini diiringi robohnya empat perwira kerajaan itu. Selanjutnya tampak perwira-perwira kerajaan itu berkelojotan meregang nyawa. Satu diantaranya langsung tewas dengan leher hampir putus. Dua orang robek lambungnya dan yang seorang mukanya berlumuran darah. Ternyata pedang tipis gadis itu telah membelah hampir sebagian kepala perwira ini.

Tak sampai hitungan dua puluh, keempat perwira kerajaan itu sudah tak bergerak lagi, karena masing-masing nyawanya telah melayang ke alam Baka. Gerakan pedang Giriranti memang te-ramat cepat dan sukar diikuti pandangan mata untuk mengakhiri pertarungan. Saat itulah dua bayangan berkelebat melompat munculkan diri.

"Jurus permainan pedang yang hebat!" berkata Nanjar dengan menggaruk-garuk tengkuknya. Dia telah berdiri didepan gadis itu.

Disebelah kiri si gadis terdengar pula suara. "Membunuh empat cecunguk rendah macam begitu mengapa harus membuang-buang waktu?"

Gadis ini balikkan tubuhnya dan menatap tajam orang yang bicara. "Hm! tentu kau yang telah mengajari aku tadi?" tanyanya dengan alis menukik tajam.

"Hihihi... benar! Aku tak sabar melihat kau bertele-tele melenyapkan nyawa perwira kentut itu!" menyahut Seriti Hijau.

"Itu adalah jurus Menipu Bayangan! Selama ini aku belum bisa memecahkan. Siapakah kau? mengapa kau mengetahui jurus itu dan bisa menguasainya?" kata Giriranti, yang dilanjutkan dengan pertanyaan.

"Aku tak punya nama asli. Sebut saja aku Seriti Hijau, dan boleh dengan gelarku sekalian. Aku bergelar si Iblis Pulau Hantu!"

"Iblis Pulau Hantu??" sentak gadis ini dengan wajah berubah.

"Hihihi... mengapa kau tampak terkejut mendengar gelar itu? Walau aku bergelar demikian, tapi watakku tak sejahat iblis! Dan... kau belum mengenal siapa adanya kawanku ini? Dialah yang bergelar si Dewa Linglung, atau si pendekar Naga Merah.

Nama aslinya pendek saja, yaitu Ginanjar! Tapi dia lebih senang dipanggil dengan nama yang lebih pendek, yaitu Nanjar!"

Giriranti alihkan tatapannya pada si Dewa Linglung yang kebetulan baru saja membetulkan celana gombrongnya yang merosot. Cepat-cepat gadis ini kembali memandang pada Seriti Hijau. "Guruku pernah memberi tugas padaku untuk mencari jejakmu. Ada persoalan apakah kau dengan guruku?"

"Hm, siapakah gurumu?" balik bertanya Seriti Hijau.

"Guruku bergelar si Pendekar Cendekiawan. Dialah yang telah menyelamatkan aku dari siksaan dalam penjara bawah tanah, dan melepaskan aku dari gangguan lima manusia terkutuk yang menodai diriku!"

Keterangan Giriranti mendadak telah melenyapkan senyuman yang tersungging dibibir Seriti Hijau. "Bagus! Tak ketemu gurunya, muridnya pun tak mengapa. Gurunya berwatak licik, tentu muridnya pun tak jauh berbeda. Kau tentu tak lebih licik dan culas melebihi si pendekar palsu itu!" membentak wanita ini.

Giriranti terkejut, seraya melangkah mundur. Pedangnya disilangkan didada. "Jangan menuduh seenaknya! Anggapanmu keliru besar kalau kau menyamakan aku dengan guruku! Walaupun dia telah menolongku dan mengangkat aku sebagai murid, tapi aku tak suka dengan watak dan perbuatannya! Ketahuilah! Aku telah melarikan diri dari pulau Hantu dengan tujuan mencari manusia-manusia yang telah menodaiku. Dendamku sudah terlaksana! Aku tak mencampuri urusan kalian dengan guruku!" berkata Giri-ranti dengan sikap gagah.

Seriti Hijau tertawa dingin, dan berkata mengejek. "Heh! apakah hal itu bukannya dianggap sebagai pengkhianatan? Kau termasuk seorang manusia yang tak tahu membalas budi!"

"Itu bukan urusanmu! Aku bebas menentukan sikapku, dan berhak memilih jalan mana yang harus kutempuh!" kata Giriranti ketus.

Nanjar yang tahu gelagat bakal runyam, segera melangkah ketengah mereka. "Kukira jalan terbaik adalah kita berdamai. Mencari permusuhan sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Mengalah adalah jalan terbaik!" kata Nanjar sambil mengangkat kedua tangan.

Lalu berpaling pada Seriti Hijau. "Kukira pendapat nona Giriranti ini benar juga. Jika langkah yang ditempuh gurunya adalah salah, dia berhak menentukan sikap untuk tidak mematuhi perintah. Walaupun dia dianggap seorang murid yang murtad atau seorang yang tak tahu membalas budi...!"

"Heh! Justru aku khawatir dia gunakan tipu daya. Dengan begitu dia bisa meloloskan diri dan kabur dari tangan kita!" tukas Seriti Hijau membantah.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras diiringi berkelebatnya sesosok bayangan putih. "Murid murtad! Sandiwaramu telah berakhir! Jangan kau menambah kericuhan lagi!"

Tentu saja seketika Nanjar dan dua wanita ini jadi terkejut melihat munculnya sosok tubuh berjubah putih di tempat itu. Yang paling terkejut adalah Giriranti. Seketika wajahnya memucat pias bagai tak berdarah. Tubuhnya menggeletar hingga nyaris pedang tipis yang digenggamnya terlepas. Laki-laki berjubah putih ini berwajah pucat. Paras mukanya menampakkan usia muda sekitar dua puluh lima tahun. Tanpa kumis dan jenggot.

"Pendekar Cendekiawan!" sentak Seriti Hijau dengan terkesiap. Tentu saja Nanjar terkejut mengetahui siapa adanya orang ini. Dia sudah siapkan diri untuk menghadapi pertarungan.

"Bagus! kita tak susah-susah menyatroni manusia berkedok pendekar ini. Mari kita hadapi bersama-sama!" bisik Seriti Hijau seraya melompat mendekati Nanjar.

Didetik itulah Girianti melompat ke depan. Pedangnya diacungkan dengan ujungnya menghadap ke arah dadanya sendiri Sepasang mata gadis ini tampak bersimbah air mata.

"Guru...! Aku memang murid murtad yang tak tahu membalas budi! Biarlah kuakhiri jiwaku! Kau tentu telah membaca surat yang kutinggalkan dikamarku, bahwa aku akan mencari manusia-manusia yang telah menodaiku untuk melampiaskan dendamku. Kini dendam itu sudah terbalaskan! Aku rela mati sebagai penebus pengkhianatanku!" berkata gadis ini dengan terisak-isak didepan laki-laki berjubah itu.

Selesai mengucapkan kata-kata itu pedang tipisnya segera dihunjamkan ke arah dadanya. Akan tetapi sebelum ujung pedang menyentuh kulit gadis itu, mendadak laki-laki berjubah putih itu mengangkat tangannya. Secercah kilatan putih meluncur dari bawah jubah menyambar bagai kilat.

Tringng...!

Pedang tipis yang siap mengantarkan nyawa gadis itu ke Akhirat mendadak terpental dan terlepas dari tangan gadis itu. "Bocah tolol!" membentak laki-laki ini. Sekali berkelebat si laki-laki berjubah putih telah mengangkat bangun gadis ini. Tentu saja Giriranti bagai tak percaya melihat sikap gurunya yang telah menyelamatkan jiwanya.

"Nyawamu lebih berharga dari perempuan laknat ini!" berkata si pendekar Cendekiawan seraya menunjuk pada Seriti Hijau.

Wanita ini mendelikkan matanya. "Huh! Mana lebih baik dari dirimu sendiri? Belasan kaum pendekar telah kau jebak hingga menemui kematian dipulau Tangkil. Nyaris saja kaupun membinasakan kawanku ini! Pendekar palsu berhati culas! Manusia hidung belang semacammu mana mungkin membiarkan muridnya mati bunuh diri? Hihi.. apalagi gadis secantik muridmu itu!" mengejek Seriti Hijau.

"Hm! sobat pendekar! Kuharap kau tak mencampuri urusan ini! Aku hanya mau membuka kedok kejahatan perempuan ini!" berkata dingin pendekar Cendekiawan seraya menatap tajam pada si Dewa Linglung.

Tentu saja Nanjar jadi tak mengerti, dan cuma bisa terlongong dengan mata sebentar menatap pada Seriti Hijau dan laki-laki berjubah itu silih berganti.

"Murid murtad! Kau lihatlah siapa aku sebenarnya?" tiba-tiba pendekar Cendekiawan membentak, seraya menjambret ke arah wajahnya. Selapis kulit yang menyerupai kulit manusia itu mengelupas. Sekejap saja terlihatlah wajah asli laki-laki berjubah putih ini.

Ternyata dia seorang kakek yang berwajah penuh kerut, berkulit muka putih dengan sejumput jenggot memutih tanpa kumis. Tentu saja selain Nanjar yang terkejut, terlebih-lebih lagi si Seriti Hijau.

SEPULUH

“MAHA GURU…!?” tersentak Seriti Hijau si Iblis Pulau hantu dengan wajah pucat bagai kertas.

“Hm, murid durhaka! Tipu dayamu sungguh licik! Setelah kau menjebak belasan pendekar dipulau Tangkil, kau memfitnah pula orang lain! Perbuatanmu sangat terkutuk! Sifat iri dengkimu masih menguasai hatimu yang kotor. Apakah kau belum cukup setelah membunuh saudara seperguruanmu Jipang Galih dan muridnya? Setelah kau berhasil membujuk dia untuk menyembunyikan kitab? Kemudian kau menjebak pula kakak seperguruanmu Gubyar Parongga dipulau Tangkil, hingga dia tewas bersama belasan orang kaum pendekar!

“Kini setelah kau puas menghancurkan perguruan partai Rajawali Putih, kau mau memperdayai pula seorang pendekar muda, yang tenaganya masih dibutuhkan para penegak kebenaran! Sungguh licik, jahat dan keji! Kejahatanmu telah melewati batas. Kebusukan hatimu melebihi busuknya bangkai!” suara kakek ini bagaikan menghipnotis Seriti Hijau, hingga dia cuma berdiri tegak dengan wajah pucat dan tubuh menggeletar memegangi tongkat tambangnya.

“Beruntung aku membuat kitab tiga jilid. Kitab jilid pertama adalah yang dipelajari lima murid berwatak bejat, yang telah ditukar oleh Jipang Galih, adik seperguruanmu. Kitab jilid ketiga kau rampas dari tangan Jipang Galih. Kemudian kau membunuh adik seperguruanmu beserta muridnya yang bernama Suro Ragil itu.

Ternyata kau tidak puas dengan kitab jilid kedua yang kau pelajari, hingga kau mencuri kitab jilid ketiga, yang sebenarnya tak seorangpun dari kedua saudara seperguruanmu kuizinkan menyentuh apalagi mempelajari kitab itu, sampai ada perintah dariku! Tapi dengan lancang kau telah memperalat Jipang Galih untuk mencurinya!”

Sampai disini kakek berjubah putih itu berhenti berkata untuk menghela napas. Wajahnya menampakkan kekecewaan yang mendalam terhadap ketiga muridnya yang diharapkan dapat membuat harum nama Perguruan Rajawali Putih. Tapi karena ulah perbuatan murid perempuannya, partai yang punya pamor besar diwilayah timur itu punah dengan keadaan menyedihkan….

Sementara itu Nanjar yang melihat situasi jadi berubah sedemikian rupa, jadi serba salah. Sebenarnya saking mendongkolnya karena merasa tertipu oleh Seriti Hijau, hampir saja lengannya bergerak menghantam ubun-ubun kepala wanita itu. Mendadak saja wajahnya menjadi merah ketika teringat bahwa dirinya telah dipermainkan, hingga dia melakukan cara gila didalam ruang bawah tanah markas Partai Iblis Berkaki Satu.

Akan tetapi teringat akan pesan si kakek yang segera diketahui adalah maha guru perguruan partai Rajawali Putih, terpaksa dia menelan ludah menahan geram. Sebelum wanita yang pucat pias dengan tubuh menggeletar itu menyadari, diam-diam dia telah berkelebat melompat dari belakang wanita itu tanpa menimbulkan suara.

Dilain pihak, Giriranti terbelalak memandang wanita itu dan gurunya silih berganti. Tahulah dia kalau kakek itu adalah maha guru perguruan Rajawali Putih. Guru dari bekas gurunya sendiri, yaitu Gubyar Parongga. Tentu saja diam-diam dia menyimak semua kata-kata sang maha guru alias kakek gurunya itu dengan seksama.

Merah padam seketika wajah dara ini mengetahui kelicikan dan kebusukan wanita itu, yang masih termasuk bibi gurunya. Sepasang mata gadis ini membinar menatap Seriti Hijau. Jelas sudah, pemuda yang dicintainya, Suro Ragil, telah dibunuh oleh wanita itu.

Dalam keadaan menunduk, diam-diam Seriti Hijau mencari jalan untuk meloloskan diri. Mencelos hatinya mengetahui Nanjar tahu-tahu telah tak berada dibelakangnya. Ketika melirik ke arah Giriranti, tampak gadis itu tengah melompat untuk memungut pedang tipisnya yang tergeletak di tanah.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah gadis itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah berhasil menangkap pinggangnya. Dan detik berikutnya ujung tongkat tambangnya telah menempel dileher gadis itu. Giriranti terkesiap. Niatnya menjumput pedang miliknya jadi gagal total! Bahkan kini dia dijadikan sandera oleh si Iblis Pulau Hantu.

“Lepaskan aku perempuan licik! Pengecut! Curang!” berteriak-teriak Giriranti. Namun tak ada artinya, karena sekali lengan wanita itu bergerak menotok, dia tak mampu berbuat apa-apa lagi.

Kake jubah putih ini tampak masih bersikap tenang. Sedikitpun tak menampakkan terkejut dengan kejadian itu. Bahkan dia berkata dengan suara sedingin salju. “Tak ada jalan hidup bagimu lagi, murid durhaka. Selain kau harus menebus kejahatanmu dengan kematian!”

Tapi dalam hati Seriti Hijau berkata lain. “Heh! Tak nantinya dia berani bertindak selama bocah perempuan ini menjadi sanderaku!”

Tak menunggu waktu lagi Seriti Hijau cepat melompat dari tempat itu. Kemudian berkelebat melarikan diri dengan terus menyandera Giriranti dalam pelukan tangannya. Seriti Hijau berkelebat kesana-kemari dengan gerakan melompat secara aneh. Seolah-olah bayangan tubuhnya lebih dari satu, berkelebatan ke arah yang berlawanan.

Ternyata wanita itu mempergunakan Ilmu Menipu Bayangan. Tak percuma dia bergelar si IBLIS PULAU HANTU. Berkelebatnyapun bagai bayangan hantu. Tahu-tahu tubuhnya muncul direlung batu bukit. Tampak wajahnya agak berseri dan bibirnya tersenyum menyeringai.

“Hihihi… tak ada tempat yang lebih bagus selain markas rahasia partai Berkaki Satu!” mendesis Seriti Hijau. Dibalik bukit dihadapannya yang berjarak sekitar dua ratus lie itu terletak air terjun. Tempat dia dan Nanjar keluar dari terowongan Rahasia markas Iblis Berkaki Satu. Jalan itu harus ditempuh dengan menerobos hutan yang kira-kira lima belas tembok lagi dibawah bukit.

Setelah memutar kepala memperhatikan sekitarnya, wanita ini segera bergerak melesat dari tempat itu, dengan memanggul tubuh Giriranti diatas pundak. Gerakannya cepat sekali menerobos hutan belukar. Sengaja dia mengambil jalan berliku-liku untuk menghilangkan jejak.

Ternyata dia mengambil jalan memutar, tak melewati bawah air terjun karena khawatir diketahui jejaknya. Tak berapa lama lewat sepenanak nasi tampak dia sembulkan kepala dipuncak air terjun. Dari atas bukit berbatu-batu itu dia mengawasi kebawah.

Mendadak timbul niat buruknya, karena merasa sudah tak memerlukan lagi Giriranti sebagai sandera. Dengan tersenyum iblis perlahan dia melangkah mendekati tepi tebing berbatu diatas air terjun. Dan… sekali lengannya mengayun, melayanglah tubuh gadis itu dari puncak air terjun. Akan tetapi bersamaan dengan melayangnya tubuh Giriranti, terdengar bentakan membelah udara.

“Iblis telengas! Kau berangkatlah ke Neraka!” bentakan itu disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan dibelakang wanita itu.

Alangkah terperanjatnya wanita itu ketika membalikkan tubuh, ternyata sang maha guru telah berada di tempat itu. Sebelum wanita ini sempat berbuat sesuatu, kakek itu telah gerakkan lengannya. Sinar ungu membersit menyambar tubuh wanita itu, yang tak sempat mengelakkan diri lagi.

Terdengar suara jeritan menyayat hati diiringi terlemparnya tubuh wanita itu melayang kedasar air terjun yang penuh dengan batu-batu cadas. Pukulan tenaga dalam yang dilontarkan kakek itu telah merenggutkan nyawa si Iblis Pulau Hantu ditengah jalan sebelum tubuhnya menghantam batu-batu cadas.

Air yang mengalir deras dihulu sungai itu berubah memerah. Tampak sosok tubuh si Iblis Pulau Hantu tersembul timbul tenggelam terbawa hanyut derasnya air terjun. Sekujur tubuhnya remuk hampir tak berbentuk lagi. Tak lama sosok mayat itupun lenyap tenggelam tak timbul lagi…

Bagaimanakah nasibnya Giriranti? Ternyata Yang Maha Pencipta belum mengizinkan dia tewas. Karena disaat tubuhnya terlempar melayang kebawah bukit curam air terjun itu, sesosok bayangan berkelebat bagaikan seekor burung elang yang menyambar.

Tahu-tahu tubuhnya telah berada dalam pondongan seseorang yang jejakkan kaki diatas batu disisi sungai. Siapa adanya orang itu tiada lain dari si Dewa Linglung.

“Haih! Hampir saja jiwanya melayang! Perempuan setan pulau Hantu itu benar-benar berhati kejam!” bergumam Nanjar seraya letakkan tubuh gadis itu diatas batu. Kemudian memeriksa pernapasannya. Ternyata Giriranti Cuma pingsan, dan dalam pengaruh totokan si Iblis Pulau Hantu.

Cepat dia gerakkan tangannya membuka totokan dengan mengurut dibeberapa tempat tubuh gadis itu. Tak lama Giriranti pun membuka matanya. Mendadak dia tersentak bangun.

“Oh!? Dimana perempuan Iblis itu? Dan…. kau? Apa yang telah terjadi dengan diriku?”

Nanjar tersenyum sambil berkata. “Kau tak apa-apa bukan? Jangan khawatir manusia culas berhati kejam itu telah pindah tempat ke alam Baka! Kakek maha gurumu telah mengirim jiwanya ke Akhirat! Secara kebetulan aku melihat perempuan iblis yang menyanderamu melemparkan tubuhmu dari atas air terjun itu. Untunglah aku sempat menolongmu…!” kata Nanjar menjelaskan.

Giriranti membelalakkan matanya menatap Nanjar. Entah perasaan apa yang berkecamuk dalam hati gadis itu. Yang jelas tampak bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan kata-kata terima kasih. Tapi mendadak dara itu roboh terkulai tak sadarkan diri. Nanjar cepat menyangganya.

Dari atas lamping batu bukit tampak si kakek berjubah putih berdiri tegak menatap ke arah bawah. Memandang si Dewa Linglung yang melangkah perlahan meninggalkan tepian air terjun, kemudian membawanya berkelebat cepat dari tempat itu. Sebentar saja bayangan tubuh si Dewa Linglung lenyap terhalang rimbunnya hutan lebat.

Kakek jubah putih masih tetap berdiri tegak dilamping batu bukit. Tanpa membuat gerakan apa-apa. Tampak seulas senyum tersembul dari bibirnya. Tatapan matanya dialihkan kelangit, menatap awan putih yang beriringan diantara langit biru yang memayungi jagat.

Terdengar suara helaan napasnya membias udara. Pertanda hati kakek ini merasa lega. Tak lama orang tua itupun balikkan tubuh, dan berkelebat lenyap dari puncak bukit itu….

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.