Iblis Seruling Maut

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Iblis Seruling Maut Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Iblis Seruling Maut

SATU

BUKIT CADAS SILUMAN sian itu tampak lengang. Hutan rimba di sekitar bukit itupun diam membisu. Pantulan cahaya Matahari memercikkan cahaya kemilau dari permukaan sungai yang mengalir di bawah bukit itu.

Seekor elang melintas di atas bukit itu. Mendadak terdengar suara mengiyak dari elang itu ketika sebuah batu kecil meluncur dari bawah dan tepat menghantam elang tersebut.

Cerita Silat Indonesia Karya Ginanjar

"Kena!" terdengar suara teriakan di sebelah bawah. Seorang bocah laki-laki tanggung berpakaian warna abu-abu memburu ke arah elang yang jatuh itu untuk memungutnya. Wajah bocah tanggung ini menampakkan kegembiraan karena lemparannya berhasil mengenai sasaran dengan tepat.

Seorang kakek kurus berkulit hitam mengenakan jubah lusuh berwarna hitam yang sejak tadi duduk di atas batu dipanas terik itu melompat turun dari atas batu yang didudukinya. Matanya tajam seperti elang mengawasi bocah laki-laki itu seraya menghampiri si kakek dengan perasaan bangga.

Dia menyangka kakek itu akan memujinya. Tapi sikap si kakek membuat dia jadi melongo. Karena tanpa memandang sedikitpun ke arahnya. Bahkan bibir kakek ini mencibir, seraya berkata.

"Ilmu melempar batumu masih jauh dari sempurna, anak jelek! kau masih perlu banyak belajar!"

Tentu saja dia jadi melengak heran. Hampir sebulan dia mempelajari cara melempar batu, tapi setelah dia berhasil ternyata masih dibilang belum sempurna.

"Kalau begitu aku tak mau belajar melempar batu lagi! Percuma saja! Sampai kapan guru mengatakan aku sempurna? Dan sampai kapan aku harus terus melempar batu?" gerutu si bocah dengan wajah cemberut.

Mendengar kata-kata si bocah, kakek ini jadi tertawa tergelak-gelak. "Hahahahaha... anak jelek! Mengapa adat mu sejelek itu? Kau ini jelek, juga bodoh alias tolol!" berkata si kakek diantara derai tawanya.

"Kalau aku jelek, bodoh dan tolol mengapa kau mengambil aku sebagai murid?" berkata bocah ini dengan wajah masih memberengut.

Si kakek jadi berhenti tertawa. Wajahnya berubah seketika. Matanya membeliak menatap tajam bocah itu. "Bocah keparat! kalau saja aku tak memikirkan bahwa kau adalah orang yang kelak dapat mewujudkan cita-citaku, siang-siang aku telah membunuh mampus dirimu!" berkata dalam hati si kakek. Akan tetapi mulutnya berkata. "Anak jelek! karena kebodohan dan ketololan mu itulah aku mengangkatmu menjadi murid!"

Si bocah laki-laki itu jadi melengak. "Guru benar-benar aneh!" ujarnya. "Apa yang kau harapkan dari seorang murid yang tolol? Sampai seratus tahun pun aku belajar padamu tetap saja aku bodoh! kalau begitu buat apa kau berpayah-payah mengajari aku dengan bermacam-macam ilmu?"

Si kakek jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Cerdik juga kau!" katanya dalam hati. Diam-diam dia menyenangi watak anak itu yang beradat keras. Justru kekerasan dan keberanian demikian yang dia harapkan. Disamping berani mengucapkan kata-kata tanpa takut dimarahi atau diberi hukuman, juga watak bocah itu polos dan jujur serta berani menyangkal bila tak sependapat dengan kata hatinya.

"Kau benar, anak jelek! Tapi bukan bodoh dan tolol seperti yang kau maksudkan. Ketahuilah! Ilmu itu sedalam lautan. Di atas langit masih ada langit! Aku mengatakan ilmu lemparanmu belum sempurna karena masih ada ilmu yang lebih tinggi dari cara melempar batu seperti yang berhasil kau lakukan!"

"Kau lihatlah!" kata si kakek. Tiba-tiba dia membungkuk untuk menjumput sebutir batu. Saat itu memang ada dua ekor burung melayang di udara. Si kakek meremas batu itu, dan secepat kilat tanpa menoleh ke atas, jari lengannya menjentik. Pecahan batu itu meluncur deras dan menghantam kedua ekor burung itu. Dan tepat mengenai sasarannya dengan telak. Kedua ekor burung itu melayang jatuh ke bawah.

Bocah itu jadi terperangah. Bagaimana si kakek dapat melempar batu tanpa melihat sasaran? pikirnya Apakah gurunya mempunyai empat mata? "Hebat!" pujinya tak sadar. Dengan mata membelalak dia menatap si kakek dengan terkagum-kagum.

Yang di tatap tertawa tergelak-gelak. "Hehehehehe... kau akan dapat melakukan seperti itu bila kau rajin belajar!"

"Betulkah, guru?"

"Ya! bukan hanya itu, kaupun dapat memiliki ilmu-ilmu lainnya yang lebih hebat lagi!" sahut si kakek dengan tersenyum. Tapi sepasang matanya menyambar tajam menatap bocah laki-laki itu seperti mau menelannya bulat-bulat. Diam-diam dia berkata dalam hati. "Kau mempunyai tulang yang baik dan bakat yang hebat. Sayang, aku terpaksa harus mempergunakanmu untuk membunuh kedua orang tuamu sendiri!"

"Cukuplah untuk hari ini, anak jelek! Kau boleh memanggang burung elangmu..!" ujarnya. Lalu berkelebat lenyap dari hadapan si bocah laki-laki.

"Terima kasih guru!" teriak si bocah dengan girang. "Ah, kapankah aku memiliki ilmu sehebat guru?" berkata si bocah dalam hati memandang ke arah lenyapnya bayangan kakek itu dengan kagum.

Akan tetapi sebentar kemudian dia segera melompat dan berlari-lari ke arah sebuah pondok kecil dicelah tebing. Di depan pondok itu dia mencabuti bulu elang. Setelah selesai segera mengambil kayu bakar dari samping pondok. Tak lama kemudian dia telah memanggang nasi perolehannya disamping pondok.

Siapakah adanya bocah laki-laki itu? Dia bernama Guci Manik. Sejak berusia lima tahun telah berdiam dipuncak bukit Cadas Siluman bersama si kakek. Tak ada seorangpun yang mengetahui bahwa sesungguhnya bocah itu adalah seorang putera mahkota Kerajaan yang diculik.

Siapa adanya kakek berkulit hitam berwajah kaku dan bermata elang itu? Tiada lain dari seorang laki-laki bekas abdi Kerajaan, Dia bernama BEO ANINGKAL. Beo Aningkal dipecat dari jabatan Adipati karena dituduh melakukan perbuatan tercela yang merusak kewibawaan Kerajaan Purwacarita.

Rasa sakit hati dan dendam yang terpendam didada Beo Aningkal membuahkan rencana keji untuk membalas sakit hati itu. Bukan saja pada Patih Panji Rana akan tetapi juga pada semua orang kerajaan. Termasuk baginda Raja Citrasoma. Karena pemecatan itu langsung dari Prabu Citrasoma setelah mendengar pengaduan Patih Panji Rana.

Kegemparan terjadi di istana, ketika putera mahkota Guci Manik lenyap! Permaisuri Banowati menangis tak berkeputusan karena kehilangan putera yang disayangnya, yang kelak bakal dicalonkan menjadi pengganti ayahnya. Prabu Citrasoma panik dan memerintahkan Patih Panji Rana untuk mencarinya.

Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari dimana adanya sang putera mahkota yang kemungkinan diculik orang. Akan tetapi sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tak membawa hasil. Guci Manik lenyap bagai ditelan bumi! Hilang tanpa krana..!

Permaisuri jatuh sakit sampai beberapa bulan lamanya. Sang Prabu Citrasoma tak dapat berbuat apa-apa selain menghibur istrinya. Demikianlah, Guci Manik tetap tak ada khabar beritanya. Entah mati entah masih hidup. Prabu Citrasoma sudah menganggap puteranya tak ada lagi di dunia.

Untunglah sang permaisuri setahun kemudian hamil lagi. Kelahiran putera mereka yang ternyata seorang bayi perempuan agak menghibur hati Dewi Banowati. Walaupun adanya kemelut dalam istana mengenai lenyapnya putera mahkota, namun Prabu Citrasoma tetap memerintah kerajaan Purwa Carita dengan penuh tanggung jawab.


DUA

Waktu berlalu demikian pesat. Seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Beberapa tahun berlalu sudah. Pagi baru saja menjelma. Matahari menyorotkan sinarnya menerangi alam mayapada. Cuaca cerah tak berawan.

Pada saat itulah dari arah hutan muncul seorang laki-laki muda berkulit hitam. Berpakaian aneh, yaitu terbuat dari kulit harimau berbentuk rompi. Bercelana pangsi hitam. Pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit ular, terselip seruling dari bambu hitam.

Siapa adanya, pemuda ini tiada lain dari Guci Manik yang telah menjadi seorang pemuda dewasa. Guci Manik memang telah diperbolehkan turun gunung, dengan membawa tugas berat dari gurunya. Guci Manik telah berubah menjadi seorang pemuda gagah.

Walaupun berkulit hitam, tapi ketampanan wajahnya nampak jelas. Hidungnya mancung. Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya gondrong sebatas bahu. Dan memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan mata seekor elang jantan.

"Hari ini adalah hari pertama aku turun gunung!" menggumam Guci Manik. "Aku tak diperkenankan guru menggunakan namaku, entah apa sebabnya? Tapi gelar Iblis Seruling Maut pemberian guru cukup bagus! Aneh!? Nama guru aku juga tak mengetahui, kecuali gelar Hantu Elang Hitam. Tapi guru melarang mengatakan pada sembarang orang..."

Setelah tercenung sejenak, Guci Manik berkelebat cepat meninggalkan hutan itu. Segerombolan burung terbang ketakutan karena terkejut. Dalam beberapa kejap saja bayangan tubuh Guci Manik pun lenyap dari tempat itu....


Siang itu dua ekor kuda berlari cepat mengitari sisi hutan menuju arah timur. Penunggangnya adalah dua orang laki-laki dan wanita. Yang satu ternyata seorang pemuda berpakaian perwira kerajaan. Sedangkan yang satu lagi tak lain dari seorang gadis cantik berpakaian sutera merah. Rambutnya dikepang dua dengan pita berwarna kuning.

Gadis cantik berbaju merah ini ternyata mahir mengendarai kuda. Bahkan memiliki keberanian yang mengagumkan. Bagi seorang gadis biasa tentu tak berani melarikan kuda begitu cepat. Apalagi jalan-jalan yang dilalui penuh akar dan batu. Perwira muda yang dibelakangnya cuma geleng-gelengkan kepala melihat keberanian si gadis. Walaupun kagum akan tetapi dia khawatir terjadi hal yang tak diinginkan. Dia agak ter-tinggal jauh, karena tak membedal kuda begitu cepat.

"Aku harus menyusulnya! Haih! gusti puteri Retno Sekar terlalu gegabah. Agaknya dia mau menunjukkan kepandaian menunggang kuda dihadapanku..." pikir pemuda ini. Dia bernama Gaman Seto, seorang kepala prajurit Kadipaten. Serentak dia membedal kuda untuk menyusul gadis itu.

Kekhawatirannya benar-benar menjadi kenya-taan. Tiba-tiba dilihatnya si gadis menjerit kaget. Kuda yang ditungganginya terjungkal. Dan tampak tubuh gadis itu terlempar dari punggung kuda.

"Celaka!" sentak Gaman Seto dengan terperanjat. Kuda tunggangannya dilarikan cepat untuk memburu ke arah gadis itu dengan wajah berubah pucat.

Agaknya tubuh Retno Sekar akan terbanting ke tanah dengan kejadian itu. Bila hal itu terjadi dan si gadis tak dapat menyelamatkan diri, tentu lengan atau kakinya akan cidera. Akan tetapi detik itu sebuah bayangan berkelebat menyangga tubuh gadis itu...

Ketika Gaman Seto tiba ditempat kejadian, sepasang mata pemuda perwira Kerajaan ini jadi membelalak lebar. Tubuh Retno Sekar tampak berada dalam pondongan seorang laki-laki berkulit hitam. Bajunya terbuat dari kulit harimau. Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari Guci Manik.

"Hm, kau terlalu ceroboh membiarkan gadis ini menunggang kuda di jalan yang berbahaya! Untunglah aku berhasil menyelamatkannya..!" berkata Guci Manik dengan kerutkan kening menatap Gaman Seto.

Perwira muda ini melompat dari punggung kuda. Lalu menjura pada pemuda ini. "Terima kasih atas pertolonganmu, sobat. Aku... aku telah berusaha mengejar untuk mencegahnya, namun terlambat!" kata Gaman Seto.

Diam-diam dia memperhatikan orang di hadapannya. "Siapakah pemuda berkulit hitam ini? kalau tak memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin dia dapat menyangga tubuh Retno Sekar. Apalagi kejadian itu tak terduga..."

Gaman Seto memperhatikan ke arah jalan yang dilalui kuda Retno Sekar. Dan tempat bekas tergelincirnya kuda tunggangan gadis itu. Akan tetapi tak dilihatnya ada akar atau batu yang menghalangi jalan.

"Kudanya tergelincir ketika melintas dijalan ini!" kata Guci Manik. "Jalan disini memang agak licin oleh lumut!"

Gaman Seto manggut-manggut tanpa memperhatikan apakah memang jalanan itu berlumut atau tidak. Lalu melangkah menghampiri Guci Manik. Diam-diam hatinya agak mendongkol pada pemuda hitam itu, karena tak menurunkan Retno Sekar dari pondongannya.

"Dia masih tak sadarkan diri, mungkin terkejut dengan kejadian barusan. Biarlah aku menyadarkannya!" kata Guci Manik. "Disana ada sebuah sungai kecil. Dengan membasahi wajahnya dengan air, dia tentu akan cepat siuman."

Melengak Gaman Seto. Sebelum sempat dia menyahut, pemuda itu telah membawanya melompat dari situ.

"Hei! tunggu!" teriak Gaman Seto terkejut. "Sikap pemuda itu sungguh aneh dan amat mencurigakan. Jangan-jangan dia bermaksud tidak baik dengan gusti putri..." sentak pemuda perwira ini dalam hati.

Dengan khawatir dia melompat untuk mengikuti pemuda itu. Benar, seperti yang dikatakan pemuda berkulit hitam itu. Tak berapa jauh dari situ terdapat sebuah sungai kecil yang berair jernih.

Dengan gerakannya yang sebat, sebentar saja Guci Manik telah tiba ditepi sungai. "Tenanglah! aku akan membuat dia siuman lagi!" berkata Guci Manik melihat si perwira muda menyusulnya.

Guci Manik segera membaringkan tubuh Retno Sekar direrumputan. Lalu membungkuk untuk menyendok air dengan sebelah lengannya. Sementara Gaman Seto terpaku memandang Retno Sekar. Tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Pada saat itulah tiba-tiba Gaman Seto memekik keras ketika percikan air menyemprot wajahnya.

Semprotan air itu adalah ulah perbuatan Guci Manik. Di saat Gaman Seto mengaduh dengan terhuyung-huyung mengucak-ucak matanya yang perih bukan main. Pada detik itulah Guci Manik dengan sebat memondong tubuh Retno Sekar. Dan melarikan dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Gaman Seto marahnya bukan alang-kepalang. Begitu berhasil membuka mata dia jadi terperangah kaget, karena baik pemuda itu maupun Retno Sekar, kedua-duanya telah lenyap.

"Hah!? apa yang terjadi?" sentaknya terkejut. "Keparat! aku telah terpedaya!" Pucatlah seketika wajah Gaman Seto. Dia melompat kesana kemari dengan berteriak-teriak. "Penculik jahanam! pengecut licik! keluarlah kau dari tempat persembunyianmu! Mari hadapi aku secara kesatria!"

Dengan kalap Gaman Seto melompat kesana kemari mencari jejak pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun Gaman Seto tak berhasil menjumpainya.

Pada saat itulah terdengar ringkik kuda. Gaman Seto tersentak kaget. Dia sangat hapal dengan suara kudanya. Bagai disengat kala dia berkelebat melompat dan berlari cepat dengan bergegas untuk memeriksa dimana kudanya ditinggalkan. Terlambat!

Derap kaki kuda telah terdengar menjauh! Ketika dia tiba dijalan itu yang tampak cuma punggung pemuda itu yang telah membedal kuda dengan cepat dengan memondong gadis itu.

"Keparat!" maki Gaman Seto dengan menggigit gerahamnya. "Aku tak boleh membiarkan dia kabur. Keselamatan gusti puteri berada ditanganku!" berkata dalam hati Gaman Seto. Detik itu juga dengan membentak keras dia telah mengejar si penculik itu.

Napas Gaman Seto tersengal-sengal. Perwira muda ini merasakan napas hampir putus. Akan tetapi mana mampu dia mengejar seekor kuda yang mem-bedal lari dengan cepat? Sebentar saja dia sudah jauh tertinggal di belakang.

TIGA

GUCI MANIK membedal kuda dengan cepat. Sementara benaknya mengatur rencana terkutuk. "Haha... gadis secantik ini sukar didapat. Hari ini aku sungguh beruntung mendapatkannya. Aku tak boleh melewatkan kesempatan baik ini begitu saja..."

Entah berapa lama Retno Sekar tak sadarkan diri setelah mengalami kejadian itu. Ketika dia mulai sadarkan diri, terkejutlah dia karena kaki tangannya serasa lumpuh tak dapat digerakkan. Semakin terke-jut dia ketika melihat dirinya berada di dalam sebuah pondok. Dan tubuhnya terbaring di atas balai-balai bambu.

Guci Manik segera menyembunyikan kuda rampasannya ke belakang pondok, setelah membaringkan tubuh gadis yang diculiknya dibalai-balai bambu dalam ruangan pondok itu. Dia tak mengetahui adanya sesosok bayangan yang menyelinap masuk ke pintu pondok. Sosok tubuh ini mendekati Retno Sekar.

Membelalak mata Retno Sekar melihat sesosok tubuh tahu-tahu muncul di hadapannya. Sebelum dia sempat berteriak, laki-laki yang menutup wajahnya sebatas hidung dengan secarik kain itu telah ulurkan lengannya menekap mulutnya, dan menotok urat suaranya. Kejap berikutnya dia telah berada dalam pondongan laki-laki itu.

Brak!

Sekali hantam daun pintu pondok itu hancur berkepingan. Laki-laki ini berkelebat melompat keluar pondok. Saat itu Guci Manik baru saja selesai menyembunyikan kuda. Bukan main terperanjatnya dia mendengar suara bergedubrakan dan melihat serpihan daun pintu bertebaran keluar pondok. Ketika melihat seseorang berkelebat keluar dan jelas terlihat memondong sesosok tubuh, Guci Manik terlonjak kaget.

"Bangsat! siapa kau?"

Bentakan itu disusul dengan gerakan melompat mengejar orang itu. Akan tetapi serangkum angin keras menyambar ke arahnya membuat dia melompat menghindar. Saat itu dipergunakan orang itu untuk berkelebat cepat angkat kaki dari tempat itu. Gerakannya ringan sekali walaupun gadis itu berada dalam pondongannya.

Guci Manik tertegun seperti kena sihir dalam terperangahnya karena kagum akan kegesitan orang itu. Dia baru tersadar ketika sosok tubuh yang membawa gadis yang diculiknya itu telah lenyap.

"Setan! Jangan lari bangsat!" Guci Manik berkelebat mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan. Entah kemana berkelebatnya orang itu. Dengan muka merah, Guci Manik memaki-maki.

Entah beberapa saat sudah berlalu. Laki-laki bercadar itu tiba-tiba menghentikan larinya. Lalu membaringkan tubuh gadis itu ditanah. Retno Sekar menatap dengan pandangan takut dan cemas. Dia mau berteriak, tapi suaranya tersangkut ditenggorokan. Laki-laki bercadar itu melepaskan cadar penutup wajahnya. Ternyata dia seorang laki-laki muda yang tiada lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung adanya.

"Hm, tubuhmu berat sekali. Aku tak tahu kemana harus mengantar mu, sebaiknya kau kubebaskan dari pengaruh totokan..."

Selesai berkata Nanjar ulurkan lengannya untuk membuka totokan ditubuh dara itu. Sekaligus membuka totokan pada urat suaranya. Merasai tubuhnya telah terbebas dari pengaruh totokan, gadis ini melompat bangun.

"Kau... siapakah? mengapa kau membawaku ke tempat ini? Kau pasti akan berbuat jahat!" teriak Retno Sekar dengan menyurut mundur.

"Haha... aku telah menolongmu dari tangan orang jahat, mengapa kau mengatakan aku mau berbuat jahat?" Nanjar tertawa geli.

"Aku, aku tak mengerti! Siapakah kau? Dan siapa yang kau maksudkan orang jahat itu?" sentak si gadis dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.

"Namaku Nanjar. Secara kebetulan aku telah membuntuti seorang laki-laki berbaju kulit harimau yang tindak-tanduknya mencurigakan. Ketika tiba di satu tempat tepat disisi jalan di sebelah timur hutan, aku melihat dua orang menunggang kuda. Penunggang yang paling depan adalah seorang gadis yang melarikan kuda begitu cepat.

"Aku sudah dapat menerka gadis penunggang kuda itu bukan gadis sembarangan dan amat mahir mengendarai kuda. Gadis penunggang kuda itu adalah kau sendiri! Tiba-tiba aku melihat laki-laki yang aku kuntit itu menjumput sebutir batu. Sebelum aku sempat mencegah, dia telah menyambit kudamu hingga jatuh tersungkur dan sebelah kaki depannya patah.

"Kau sendiri terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata laki-laki itu punya gerakan cepat untuk segera menyangga tubuhmu sebelum menyentuh tanah. Agaknya kau pingsan setelah mengalami kejadian mendadak itu. Namun mataku tak dapat dikelabui, karena aku melihat jelas dia menotokmu...!"

Nanjar berhenti sejenak dalam menuturkan kejadian itu untuk melihat reaksi si gadis. Akan tetapi dara ini cuma terpaku mendengarkan.

"Ketika kawanmu datang menyusul, laki-laki itu berpura-pura akan menyadarkan kau, tapi ternyata dia cuma berpura-pura saja?" Nanjar tuturkan kejadian dari awal hingga akhir tanpa ada satupun yang dilewatkan. "Demikianlah, hingga aku berhasil menolongmu dari niat jahat laki-laki berbaju kulit harimau itu!" Nanjar mengakhiri penuturannya.

"Jadi... jadi kau bukan orang yang menculik diriku?" sentak di gadis dengan wajah berubah cerah. Rasa cemasnya lenyap seketika. Dari sikap dan kata-kata pemuda berambut gondrong bertampang kumal tapi memiliki ketampanan dibalik kekusutan wajahnya itu, Retno Sekar dapat mengetahui pemuda itu tidak berdusta.

"Ya, kalau kau percaya!" sahut Nanjar.

"Aku. aku percaya..!"

"Hm, sukurlah! Nah, sekarang kau ceritakanlah siapa dirimu dan siapa pula kawanmu seperjalanmu itu? Kemanakah sebenarnya tujuanmu?" tanya Nanjar.

"Namaku... Retno Sekar!" sahut si gadis. Kemudian gadis ini segera menceritakan siapa adanya dia dan menerangkan siapa pemuda kawan seperjalanannya itu. Nanjar mendengarkan penuturan Retno Sekar dengan penuh perhatian.

EMPAT

"Sungguh aku tak menyangka kalau kau seorang puteri Adipati!" berkata Nanjar setelah mendengarkan penuturan gadis itu.

Retno Sekar tersenyum. "Kau tak perlu canggung denganku, sobat Nanjar. Panggillah aku dengan sebutan Retno Sekar saja!" ujar gadis ini.

"Baiklah, Retno Sekar! kukira sudah saatnya aku mengantarkan kau ke rumahmu. Aku khawatir berjumpa lagi dengan laki-laki berbaju kulit harimau itu. Dia bukan seorang laki-laki yang dapat dianggap remeh. Selain ilmunya tinggi, juga memiliki bermacam kelicikan!"

Gadis ini mengangguk. "Baiklah, sebelumnya aku mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikanmu..."

Nanjar cuma manggut dengan tersenyum. "Kau tak malu berjalan bersamaku hingga sampai ke Kota Raja?"

"Mengapa malu?" sahut Retno Sekar dengan kerenyitkan keningnya. "Kau seorang laki-laki yang gagah dan telah berbaik hati menolong dan mengantarkan aku sampai ke Kota Raja, tentu ayahku akan senang melihatmu!"

"Ha? tampangku begini kumal masih dibilang gagah?"

"Hihihi... kau memang tampan dan gagah, masakan aku berdusta?" Retno Sekar ternyata seorang gadis yang lincah. Usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Gadis ini tertawa geli melihat sikap Nanjar yang seperti seorang dungu. Sepasang matanya membeliak dengan biji mata seperti orang bermata juling, ketika mendengar dirinya dipuji tampan dan gagah. "Kau ternyata seorang pemuda jenaka, Nanjar! Sudahlah, hayo kita berangkat!" berkata Retno Sekar.

"Baiklah, tuan puteri..!" sahut Nanjar seraya membungkuk mempersilahkan gadis itu untuk lewat didepannya.

"Kau... kau memang konyol, Nanjar!" Retno Sekar tersenyum. Hatinya sangat girang karena berkenalan dengan pemuda itu. Diam-diam dia bermaksud menahan pemuda itu hingga beberapa hari di Kadipaten dengan demikian dia dapat mengenal lebih dekat.

Sepanjang perjalanan menuju Kota Raja, Retno Sekar tak banyak bicara. Tapi hatinya justru yang bicara tiada henti. "Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setahuku sifat orang Rimba Persilatan selalu aneh-aneh. Pemuda ini telah berjasa besar menyelamatkan diriku dari bencana. Ayah tentu akan memberinya penghargaan..." Sesekali dia melirik pada Nanjar yang berjalan di sebelahnya.

"Kau tidak letih, Retno?" tanya Nanjar tiba-tiba.

"Aku... aku tidak letih!" sahut Retno Sekar. Mendadak dia teringat ketika dirinya dipondong oleh pemuda itu. Mengingat demikian wajahnya menjadi bersemu merah. Entah mengapa diam-diam dia menginginkan hal itu terulang lagi. Tapi mana dia berani mengatakan bahwa dia minta dipondong?

"Hm, aku seorang anak Adipati. Tak boleh sembarangan berbuat sesuatu yang meruntuhkan martabatku didepan seorang laki-laki yang baru dikenal!" berkata Retno Sekar dalam hati. Akan tetapi walaupun hatinya mengatakan demikian, direlung hatinya yang lebih dalam mengatakan lain. "Aneh! Ayah selalu mengatakan demikian terhadapku. Apakah manusia harus dibedakan dengan derajat dan kedudukannya? Kukira tidak!" hati kecilnya membantah.

Apa yang tersirat dihati kecil Retno Sekar memang benar. Manusia tak dapat dibedakan dari derajat dan pangkat atau kedudukannya. Tapi manusia dibedakan karena perilakunya. Seorang pembesar Kerajaan bisa saja berbuat suatu hal yang tidak baik dan bisa menjatuhkan harkat kemanusiaannya. Seorang rakyat jelata bisa saja mempunyai kedudukan tinggi dimata orang banyak, karena budi kebaikan serta jasanya.

"Kita telah tiba diperbatasan Kota Raja, Retno! Apakah aku harus mengantarmu sampai ke Kadipaten?"

Pertanyaan Nanjar membuat Retno Sekar terkejut. Karena dalam perjalanan dia banyak melamun, hingga tak menyadari kalau telah tiba diperbatasan Kota Raja. Pada saat itu dikejauhan terlihat seekor kuda membedal cepat ke arah mereka. Ketika semakin mendekat Retno Sekar berteriak girang.

"Gaman Seto!" teriaknya.

Benarlah orang berkuda itu tak lain dari Gaman Seto si perwira muda Kerajaan yang mengawal kepergiannya ke suatu tempat. Karena kejadian ditengah jalan sekembali dari tempat yang dituju, perwira muda itu terpisah. Bukan main girangnya dia melihat kemunculan pemuda pengawal-nya itu dalam keadaan selamat.

"Gusti puteri..! Siapakah orang ini?" berkata Gaman Seto seraya melompat dari punggung kuda.

"Dialah yang telah menyelamatkan diriku, Gaman Seto! Hayo kau haturkan hormat padanya!" sahut Retno Sekar. Tak menunggu diperintah dua kali, Gaman Seto segera menjura dengan membungkukkan tubuh pada Nanjar. Nanjar membalas dengan menjura pula.

"Ah, secara kebetulan aku berada ditempat kejadian dan tak sengaja telah menolong gusti puteri Retno Sekar..." kata Nanjar.

"He? kau menyebutku gusti puteri?" Retno Sekar pelototkan mata memandang Nanjar.

Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya. "Aku cuma membahasakan dirimu pada pengawalmu ini" Nanjar menjelaskan.

"Tidak! kau harus tetap menyebutku Retno Sekar!" Retno Sekar berkeras dengan keinginannya.

"Ya, ya! aku secara kebetulan telah menolong Jeng Retno Sekar" Nanjar mengulangi kata-katanya dengan menatap pada Gaman Seto.

Walau sikap Gaman Seto kelihatan tak menampilkan perubahan apa-apa, tapi dalam hati perwira muda ini berkata. "Hm, agaknya Retno Sekar telah mendapat sahabat baru penggantiku? Aku sangsi apakah benar dia yang telah menolong dari tangan penculik itu!" Diam-diam dia memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai ke kaki dengan sikap kurang yakin.

"Siapakah namamu, sobat?" tanya Gaman Seto dengan suara agak ditekan. Entah mengapa perasaan "cemburu" tiba-tiba menindih dadanya.

"Namaku Nanjar, atau lengkapnya Ginanjar..."

Gaman Seto manggut-manggut. Sebelum Gaman Seto bertanya lebih lanjut Retno Sekar telah me-narik lengan Nanjar. "Sudahlah, Gaman Seto. Kau berangkatlah lebih dulu. Yang penting aku sudah selamat. Kau tak usah khawatir didamprat ayahku atau mendapat hukuman karena ketidak becusanmu mengawalku! Mari Nanjar! kau harus mengantarku sampai ke gedung Kadipaten!"

Gaman Seto tak dapat berkata apa-apa selain mengangguk dengan wajah berubah merah karena malu dikatakan tidak becus didepan pemuda itu. "Baiklah, gusti puteri..!" sahutnya.

Cepat Gaman Seto segera menghampiri kudanya dan melompat ke atas punggung kuda tunggangannya. Akan tetapi baru saja dia mau membedal kudanya mendadak Retno Sekar berkata.

"Tunggu!"

"Ada perintah apa lagi, gusti puteri?" tanya Gaman Seto dengan menyembunyikan kemendongkolan hatinya.

"Katakan pada ayahku untuk mengadakan penyambutan pada tetamu kita ini! Katakan bahwa tak lama lagi aku segera tiba!"

"Ba..baik, gusti puteri...!"

Seusai menyahut Gaman Seto segera membedal kudanya dengan cepat meninggalkan perbatasan itu. Hampir meledak rasanya dada Gaman Seto mendengar perintah itu. Dia adalah seorang perwira Kadipaten, akan tetapi di hadapan pemuda asing itu tak ubahnya seperti seorang pesuruh saja.

"Tidak! aku tak akan menyampaikan perintah itu pada Kanjeng Adipati walaupun aku harus menerima hukuman sekalipun!"

Gaman Seto merasa dirinya direndahkan di hadapan pemuda itu. "Tak seharusnya Retno Sekar bersikap demikian, walaupun pemuda itu telah menolongnya!" desis laki-laki ini dalam hati. "Seandainya aku dapat mengejar si manusia penculik itu, tentu nasibku tak sesial ini!" pikir Gaman Seto.

Gaman Seto menyesali kebodohannya yang kurang waspada. Hingga dia mudah diperdayai laki-laki berbaju kulit harimau itu. Dalam pencariannya mengejar laki-laki yang membawa lari Retno Sekar, Gaman Seto cuma menemukan kudanya di belakang sebuah pondok dalam hutan. Dengan hati kalut dia segera kembali pulang untuk melaporkan kejadian itu. Dia sudah pasrah untuk menjalani hukuman apapun karena peristiwa itu.

Untunglah dia menjumpai Retno Sekar dalam keadaan selamat. Dia menarik napas lega. Akan tetapi pemuda yang dikatakan telah menolong Retno Sekar telah membuat dia cemburu. Sikap Retno Sekar seperti tak memandang sebelah mata terhadap dirinya.

Memang tak dapat disembunyikan bahwa diam-diam Gaman Seto mencintai gadis puteri Adipati Sawunggana. Ketika mendapat perintah dari Adipati untuk mengawal Retno Sekar ke desa Weringin Kolot, tempat tinggal seorang guru silat yang bernama Ki Pandoyo, dia amat girang hati. Dengan demikian dia bisa mencurahkan perasaannya pada gadis itu.

Semua niatnya ternyata punah karena peristiwa itu. Walaupun dia dapat berlega hati dengan selamatnya Retno Sekar dari tangan si penculik, namun dadanya dibakar api cemburu yang panasnya tak terperikan. Dirinya tak ubahnya bagaikan seorang manusia kerdil yang tak ada harganya. Dengan wajah merah padam dia melarikan kudanya bagai kesetanan.

Ketika hampir mendekati pintu penjagaan Kadipaten, tiba-tiba Gaman Seto menghentikan lari kudanya. "Tidak! aku tak akan mematuhi perintah itu! Tak perduli apapun yang bakal terjadi!" berkata Gaman Seto dalam hatinya. Keputusannya telah bulat Detik itu juga Gaman Seto memutar kudanya dan menghilang ditikungan jalan...

LIMA

Nanjar yang tahu gelagat tidak baik melihat sikap Gaman Seto sang perwira muda itu dengan halus menolak ajakan Retno Sekar untuk mengantar sampai ke gedung Kadipaten dan menghadap ayah gadis itu.

"Lain kali kalau aku ada kesempatan tentu akan singgah di gedung kediamanmu!" kata Nanjar.

"Tidak! kau harus mengantarku sampai ke rumahku dan menemui ayahku!" Retno Sekar berkeras mengajak Nanjar untuk menghadap ayahnya.

"Terimakasih, Retno...! Tapi maafkanlah aku. Aku berjanji takkan melupakan dirimu..! Nah, sampai bertemu lagi!" selesai berkata Nanjar segera memutar tubuh, dan melangkah lebar meninggalkan tempat itu.

Gadis ini terpaku dengan wajah bersemu merah. Hampir-hampir dia menangis karena kecewanya. Tapi tak lama dia sadar bahwa dia tak dapat memaksa pemuda itu. Mungkin dia malu dengan keadaan dirinya, pikir Retno Sekar seraya mempercepat langkahnya untuk segera tiba digedung Kadipaten.

Sementara itu Nanjar telah berada di sebelah barat perbatasan Kota Raja. Senja hampir tiba ketika Nanjar memasuki sebuah desa. Mendadak Nanjar menahan langkah, ketika nalurinya yang tajam dapat merasakan adanya seseorang yang membuntutinya.

"Hm, siapakah orang itu? ada maksud apa membuntutiku?" berkata Nanjar dalam hati. "Ingin kulihat siapa manusianya! jangan-jangan si laki-laki ber-baju kulit harimau..."

Mendadak Nanjar mengalihkan niatnya untuk singgah ke desa itu. Langkahnya membelok ke arah kiri dimana padang rumput terbentang, dan sawah kering yang belum ditanami. Tepat diujung jalan tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan sesosok tubuh telah berdiri tegak menghadang dijalan yang akan dilalui. Dugaan Nanjar meleset jauh, karena orang yang menghadang itu tidak lain dari Gaman Seto si perwira Kerajaan.

"Tahan dulu langkahmu, pendekar gagah!" berkata Gaman Seto dengan suara dingin. Walaupun menyebut kata-kata "pendekar gagah", tapi Gaman Seto bermaksud menghina. Karena jelas tampak bibirnya mencibir dengan senyum tak sedap dipandang.

"Hei! kiranya kau, sobat Gaman Seto? ada apakah kau mencegat perjalananku?" tanya Nanjar dengan tersenyum. Diam-diam dia memperhatikan sikap perwira muda ini.

"Heh! kalau tak ada hal penting, tak mungkin aku menahanmu!" sahut Gaman Seto dengan suara angker.

"Ada hal yang penting?" Nanjar kerutkan keningnya. Diam-diam dia terkejut juga mendengar kata-kata Gaman Seto.

"Ya! suatu hal yang penting dan ada pertaliannya dengan kau!"

"Hm, aku tak mengerti, sobat! sebaiknya kau katakan saja apakah hal yang kau katakan penting itu hingga kau mencegatku?"

Gaman Seto menatap Nanjar dengan tatapan tajam. Sinar matanya menyorotkan api kecemburuan juga iri hati yang jelas terlihat oleh Nanjar. "Tahukah kau orang asing, dengan siapa kau berhadapan?" tanya Gaman Seto.

Nanjar naikkan alisnya dengan heran. "Bukankah kau bernama Gaman Seto?" sahut Nanjar dengan tersenyum.

"Heh! kau berhadapan dengan Panglima pasukan sayap kiri Rajawali Sakti, Kerajaan Purwa Carita. Aku bertugas sementara sebagai kepala prajurit Kadipaten atas persetujuan Gusti Patih Panji Rana. Dan atas permintaan Gusti Adipati Sawunggana!"

"Ooo... begitu? Jadi ada perlu apakah sebenarnya kau mencegat perjalananku, tuan Panglima?" tanya Nanjar tanpa menunjukkan rasa terkejut.

"Bagus! sebagai seorang panglima, aku patut mencurigai setiap orang asing yang masuk ke wilayah Kota Raja. Walaupun menurut Gusti puteri Retno Sekar, kau telah berjasa menolongnya!"

"Dengan dasar apa tuan Panglima mencurigai diriku?" tanya Nanjar.

"Gusti Puteri Retno Sekar tak sembarangan bergaul dengan orang biasa. Apalagi orang asing sepertimu. Akan tetapi sikapnya seperti tidak wajar! Aku curiga! jangan-jangan kau bermaksud tidak baik di belakang hari dengan kemunculanmu di Kota Raja! Dan siapa tahu laki-laki berbaju kulit harimau itu adalah kawanmu sendiri!" kata Gaman Seto dengan tegas.

Nanjar jadi membesarkan mata mendengar kata-kata Gaman Seto. Akan tetapi Nanjar sudah dapat menduga bahwa Gaman Seto sengaja cari perkara. Dasarnya adalah cuma rasa cemburu karena sikapnya Retno Sekar yang agak keterlaluan ketika berbicara pada perwira muda ini di hadapannya.

"Hahaha... apakah aku tak salah dengar? Aku menolong orang tanpa pamrih dan tak mengharapkan balasan apa-apa, juga tak perduli siapa yang aku tolong. Apakah dia seorang rakyat jelata atau anak seorang pembesar Kerajaan. Adalah aneh kalau kau mencurigai aku berkomplot dengan laki-laki berbaju kulit harimau itu..!"

"Kau boleh bicara sekehendakmu, tapi aku terpaksa harus menahanmu untuk sementara, demi menjaga hal yang tak diinginkan! Demi ketenteraman wilayah Kota Raja!" sambar Gaman Seto dengan suara tandas.

Nanjar jadi melengak. "Hm, manusia sombong ini agaknya perlu diberi pelajaran!" berkata Nanjar dalam hati. "Silahkan kau menahanku, tuan Panglima. Dengan cara bagaimanakah kau menghendaki?" tanya Nanjar dengan sikap tak melakukan perlawanan.

"Bagus! kau akan menjadi tawanan istimewa dan akan diperlakukan dengan baik bila kau tak melawan! Nah! Ulurkanlah kedua lenganmu!" berkata Gaman Seto seraya mengeluarkan sebuah borgol dari celah ikat pinggangnya.

Nanjar tak membantah. Kedua lengannya dijulurkan ke depan. Gaman Seto dengan gerakan sebat segera menggubat pergelangan tangan Nanjar, dan sekaligus menguncinya.

"Balikkan tubuhmu, dan ikuti jalan ini!" perintah Gaman Seto. Tanpa membantah Nanjar ikuti perintah itu.

"Akan kau bawa kemana aku?"

"Tak usah banyak bicara! ikuti saja apa yang kuperintahkan!"

"Baik! baik, tuan Panglima" sahut Nanjar dengan sikap seperti orang bodoh.

"Hm, ternyata tak sesukar seperti yang ku-bayangkan..." berkata Gaman Seto dalam hati. "Pemuda sedungu inikah yang telah berhasil merebut Retno Sekar dari tangan si penculik? Aku benar-benar tak percaya!"

Cuaca kian gelap. Nanjar terus digusur melewa-ti jalan-jalan penuh semak belukar. Sementara benak Gaman Seto bekerja mengatur rencana.

"Akan ku apakankah pemuda dogol ini? Apakah sebaiknya kuhabisi saja nyawanya ditempat ini?" pikirnya. "Untunglah dia menolak diajak menghadap Gusti Adipati. Hal itu akan membahayakan diriku. Aku akan didamprat habis-habisan oleh Gusti Adipati sebagai seorang pengawal yang tidak becus! Dan bisa-bisa aku dipecat dari jabatan Kepala Kadipaten! Untunglah pemuda dogol ini percaya bahwa aku adalah seorang Panglima Kerajaan, hingga aku tak susah-susah untuk menawannya!"

Benak Gaman Seto terus memikir. "Kalau saja pemuda dogol ini dapat ku peralat, tentu akan segera tercapai cita-citaku! Hm, sebaiknya kukorek keterangan dari mulut si dogol ini..." Mendadak Gaman Seto memerintahkan Nanjar berhenti.

"Ada apa tuan Panglima? tadi kau menyuruh aku berjalan cepat-cepat. Sekarang menyuruh berhen-ti..!" Nanjar jatuhkan pantatnya ditanah.

"Dengar, sobat! Hm, namamu Nanjar, bukan? Nah, dengar Nanjar! ada satu hal yang akan kubicarakan denganmu!" kata Gaman Seto dengan suara pelahan. "Aku akan melepaskanmu dan membebaskan kau dari tuduhan, asalkan kau berkata terus terang!"

Sejenak Nanjar tertegun, lalu menatap tajam-tajam wajah Gaman Seto. "Apakah yang akan kau tanyakan?"

"Bagus!" seringai Gaman Seto. "Ceritakanlah bagaimana kau bisa merebut Gusti Retno Sekar dari tangan penculik itu? itu pertanyaan kesatu! Pertanyaan kedua, apakah benar dia kawanmu ataukah kau memang tak mengenalnya? Dan ketiga! Apakah kau mempunyai ilmu kepandaian menundukkan hati perempuan?"

Nyaris Nanjar tertawa gelak-gelak mendengar ketiga pertanyaan itu. Pertanyaan yang terakhir itulah yang membuat dia hampir tertawa geli. Tapi dengan menahan senyum, Nanjar segera menyahut.

"Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa selain kepandaian menipu orang! Laki-laki berbaju kulit harimau itu aku tak mengenalnya. Secara tak sengaja aku melihat laki-laki itu memondong seorang gadis ke dalam sebuah pondok..." Nanjar berhenti sebentar. Untuk menyeka peluhnya yang mengalir didahi dengan kedua lengannya yang diborgol.

"Teruskan! teruskan!" Gaman Seto menelan ludah tak sabar.

"Tadinya aku tak perduli, kupikir aku tak perlu mencampuri urusan orang. Tapi ketika laki-laki itu keluar lagi untuk menyembunyikan kudanya di belakang pondok, aku segera masuk ke kolong rumah..."

"Apa yang kau lakukan dikolong rumah itu?" tanya Gaman Seto.

"Tadinya aku berniat mengintip. Tapi kubatalkan ketika melihat sebongkah kapur tak jauh didekatku. Lalu ku lumuri rambutku dengan kapur. Bukan saja rambutku, tapi juga sekujur tubuhku termasuk mukaku! Kemudian aku duduk di bawah tangga dengan bersila. Ketika laki-laki itu muncul lagi dan akan memasuki pondok, dia terkejut melihat aku. Karena tadi dia tak melihat siapa-siapa. Laki-laki itu melompat kaget dan dengan suara menggeledek membentakku. Dia menanyakan siapa aku. Aku katakan bahwa aku adalah seorang manusia setengah siluman yang menghuni pondok itu..." Nanjar berhenti sejenak untuk meleletkan lidah. Dilihatnya Gaman Seto dengan penuh perhatian, mendengarkan bualannya.

"Tampaknya dia percaya. Cuaca gelap dikolong rumah menolongku, hingga barut-barut bekas kapur yang ku balurkan di sekujur tubuhku tak terlihat. Segera kukatakan pada laki-laki itu bahwa perempuan yang dibawanya mengidap penyakit menular. Dan ku cegah meneruskan niatnya untuk menggagahi perempuan itu. Laki-laki itu manggut-manggut. Tampaknya dia percaya pada apa yang kukatakan. Kemudian aku menyuruhnya pergi ketujuh buah sungai untuk membersihkan tubuhnya, karena dia telah menyentuh kulit perempuan itu. Kukatakan pula bahwa kalau dia tak mematuhi syarat itu dia akan kena kutukan ku, karena telah sembarangan memasuki rumah kosong tanpa meminta izin padaku! Ketika dia pergi, aku se-gera menyadarkan gadis itu dan cepat-cepat kuajak meninggalkan tempat itu... hingga kemudian berjumpa dengan tuan Panglima di perbatasan Kota Raja."

Gaman Seto manggut-manggut, seraya berkata. "Kau sungguh cerdik! Nah, masih ada satu pertanyaan lagi, yaitu pertanyaan yang ketiga. Kau katakanlah dengan jujur apakah kau memiliki ilmu yang kusebutkan tadi?"

"Ketika setahun yang lalu aku tinggal dirumah kakekku, aku memang diberi wejangan untuk mengamalkan satu ilmu aneh. Aku sendiri tak mengetahui kegunaan ilmu itu..." kata Nanjar setelah termenung sejenak.

"Pasti ilmu yang kumaksudkan itu!" sentak Gaman Seto. "Katakanlah, amalan apakah yang kakekmu menyuruhmu mengerjakan?" tanya Gaman Seto dengan tak sabar.

"Pertama-tama kakek menyuruhku bersemadhi di sudut kamar dengan bertelanjang bulat, sambil mengucap. REP SIREP, SAPI LANANG SAPI WEDOK, MBAHMU ORA KETOK..! Selama satu hari satu malam terus menerus!"

Gaman Seto manggut-manggut. Lalu menyuruh Nanjar mengulangi beberapa kali. Setelah hapal, lalu dia menyuruh Nanjar meneruskannya.

"Kemudian setelah bersemedhi satu malam. Berturut-turut tujuh malam aku disuruh memutari rumah dengan telanjang bulat!"

"Dengan te...telanjang bulat?" sentak Gaman Seto terkejut.

"Ya! tapi kau tak usah khawatir, kakekku mengatakan bahwa tak seorangpun yang akan melihat. Karena setelah bersemedhi dan membaca amalan itu, tubuh akan terisi oleh ilmu ghaib hingga orang tak mampu melihat diri kita!"

Lagi Gaman Seto manggut-manggut. "Lalu masih adakah syarat lainnya?"

"Tidak, hanya itu!" sahut Nanjar.

"Bagus! kalau cuma begitu tak susah untuk mengerjakannya!" desis Gaman Seto dalam hati. "Terima kasih atas keteranganmu, sobat Nanjar! Aku masih ada beberapa pertanyaan lagi, tapi tidak sekarang! Cuaca sudah semakin gelap. Malam ini kita menginap disebuah dangau. Diujung hutan kecil ini kita akan menjumpai dangau itu..." kata Gaman Seto.

"Cepatlah! aku tak mau kemalaman di hutan ini! Setelah kau menjawab pertanyaanku, aku akan menepati janji untuk melepaskanmu!"

Nanjar cuma mengangguk. Kemudian bangkit berdiri untuk meneruskan langkah menyusuri jalan setapak di hutan kecil itu. Sebenarnya Nanjar dapat saja melepaskan diri dari belenggu. Tapi dia ingin tahu apakah yang akan ditanyakan Gaman Seto lagi?. Walaupun demikian Nanjar tak lepas dari kewaspadaan terhadap sikap Gaman Seto.

Apa yang terbersit dibenak Gaman Seto saat itu? "Haha... aku telah berhasil mengorek keterangan dari pemuda dogol ini. Inilah saat yang baik untuk menghabiskan nyawanya karena aku telah tidak memerlukan lagi!"

Sambil melangkah mengikuti Nanjar di belakang, pelahan-lahan Gaman Seto menarik keluar klewangnya dari pinggang. Wajah perwira muda ini menyeringai. "Selamat jalan ke Akhirat, pemuda dogol!" berkata dia dalam hati. Klewangnya telah terangkat dan siap ditebaskan ke batang leher si Dewa Linglung.

"Eh, tuan Panglima! aku lupa mengatakan padamu! Ada satu syarat lagi untuk memiliki ilmu pemikat perempuan itu..!" kata Nanjar tiba-tiba. Secepat kilat Gaman Seto menyembunyikan klewangnya ke belakang punggung.

"A... apakah syarat itu, sobat Nanjar?" tanya Gaman Seto agak gugup.

"Selama kau memutari rumah sebanyak tujuh malam berturut-turut, kau tak boleh bicara apa-apa. Jangan lupa, kau harus memutari rumah sebanyak tujuh kali setiap malam. Pekerjaan itu cukup banyak halangannya, tapi kau harus tabah. Karena kalau gagal kau harus mengulanginya lagi dari semula!"

"Ya, ya! aku mengerti..!" sahut Gaman Seto manggut-manggut. "Sudahlah, percepat langkahmu..!" Gaman Seto sudah tak sabar untuk cepat menghabisi nyawa si Dewa Linglung. Mendadak Nanjar merandek.

"Ssst..! ada seseorang membuntuti kita di sebelah kanan hutan. Jangan-jangan si laki-laki berbaju kulit harimau itu yang membuntuti kita!" bisik Nanjar.

Gaman Seto berpaling ke arah yang ditunjuk Nanjar dengan mulutnya yang dimonyongkan.

"Kulihat sesosok bayangan menyuruk ke dalam gerombolan ternak disana itu!" Nanjar kembali berbisik.

Wajah Gaman Seto berubah tegang dan tampak membesi. "Bagus! kalau benar dia aku akan menangkapnya hidup-hidup. Dia telah mempermainkan aku!" Berkata Gaman Seto dengan geram. "Manusia busuk! keluarlah kau dari tempat persembunyianmu!"

"Whuut! Pras..!

Gaman Seto layangkan pukulannya menghantam semak belukar hingga rebah berhamburan. Klewangnya siap dipergunakan untuk menebas bila sosok tubuh orang yang bersembunyi itu muncul. Akan tetapi tak ada tanda-tanda dibalik belukar itu ada manusia.

Bukan kepalang terkejutnya Gaman Seto ketika kembali ke tempatnya ternyata pemuda tawanannya telah lenyap. Semakin membelalak mata perwira muda ini melihat rantai borgol yang tergeletak ditempat itu. Rantai borgol itu masih utuh dan dalam keadaan terkunci.

"Aneh! apakah dia...dia dapat menghilang? Atau punya ilmu mengecilkan tubuh?" berkata Gaman Seto dalam hati.

"Hah!? jangan-jangan dia benar-benar manusia se... setengah siluman?" sentak Gaman Seto mendesis. Tak ayal lagi perwira ini segera angkat langkah seribu dengan wajah pucat, lari terbirit-birit menerobos hutan meninggalkan tempat itu.

ENAM

"Jadi kau belum sampai ke desa Weringin Kolot menemui Ki Pandoyo?" tanya Adipati Sawunggana menatap anak gadisnya.

Retno Sekar Gadis itu menggeleng. "Karena kejadian itulah, niatku jadi terhalang, ayah..! Ah, sayang sekali pemuda itu tak mau kuajak menghadapmu"

"Siapakah nama pemuda itu dan darimanakah asalnya?"

"Aku tak menanyakan dia berasal dari mana, dia bernama Nanjar."

"Nanjar?" sentak Adipati Sawunggana dengan kerenyitkan keningnya. "Apakah orangnya bertampang seperti orang bodoh, berambut panjang sebatas bahu, kumal dan..."

"Benar, ayah! Tapi dia... dia sebenarnya tampan, walaupun tampak kumal. Dan dia memiliki ilmu yang amat tinggi! Buktinya dia berhasil menolongku dari tangan penculik itu..." potong Retno Sekar.

"Kau benar, anakku! Tahukah kau siapa pemuda itu? Dialah seorang tokoh muda Rimba Persilatan yang terkenal dengan gelar di Dewa Linglung. Bahkan ada pula yang menggelarinya si Pendekar Naga Merah! Dan dia pulalah yang pernah menolongku pada beberapa bulan yang lalu ketika aku dalam perjalanan ke Mataram atas perintah Gusti Prabu!"

Melengak Retno Sekar mendengar penuturan ayahnya sang Adipati Sawunggana. "Pantas kalau demikian, ayah! sayang... aku tak berhasil membujuknya untuk menghadap ayah" kata Retno Sekar dengan wajah penuh kemasygulan.

"Ya, sayang sekali. Akupun belum sempat mengucapkan terima kasih pada pemuda gagah itu. Anak muda itu agaknya tak mau aku memberi penghargaan padanya..."

Kemudian Adipati Sawunggana menuturkan kejadian yang dialaminya pada beberapa bulan yang lalu pada Retno Sekar. Pada kurang lebih empat bulan yang lalu Adipati Sawunggana mendapat perintah dari sang Prabu Citrasoma untuk mengantarkan surat dan upeti ke kerajaan Mataram yang berdaulat atas kerajaan Purwacarita.

Ditengah perjalanan ketika melintasi sebuah hutan yang bernama Alas Jajaten, mendadak rombongannya dihadang oleh segerombolan perampok. Terkejutlah Adipati Sawunggana ketika mengetahui kepala perampok itu tak lain dari Bantar Parean, yang bergelar si Gagu Tangan beracun.

Manusia yang terkenal kejam dan ditakuti di wilayah Alas Jajaten itu adalah bekas seorang buronan Kerajaan Mataram yang masih berkeliaran dan sering muncul mengganggu ketenteraman penduduk. Entah berapa puluh manusia telah melayang ditangannya.

Bukan saja dari pihak kaum kerajaan, akan tetapi juga dari pihak kaum pendekar. Manusia telengas ini muncul dan perginya bagaikan hantu. Agaknya dia dan komplotannya banyak mempunyai jalan-jalan dan tempat-tempat rahasia untuk bersembunyi.

Terjadilah pertarungan yang memakan korban belasan pengawal. Anak-anak buah Bantar Parean ternyata mempunyai ilmu yang tinggi. Baru anak buahnya saja sudah berhasil membunuh belasan prajurit yang terlatih. Entah bagaimana tingginya ilmu si Gagu tangan beracun itu?

Adipati Sawunggana mati-matian mempertahankan nyawanya. Dia berhasil menewaskan empat orang anak buah Bantar Parean, sementara prajuritnya cuma tinggal beberapa orang lagi.

Pada saat itulah muncul si manusia telengas itu. Pertarungan tak dapat dihindarkan lagi. Dengan semangat baja Adipati Sawunggana bertarung mempertahankan nyawa. Akan tetapi kehebatan ilmu Bantar Parean tidak cuma khabar beritanya saja. Nyaris leher Adipati itu putus disambar senjata si Gagu Tangan Beracun, kalau pada detik itu tak muncul seseorang yang menolong jiwanya.

Terpana Adipati Sawunggana melihat kehebatan pertarungan antara si penolong melawan Bantar Parean. Ternyata tak sampai lebih dari dua belas jurus, sang penolong itu berhasil menewaskan si Gagu Tangan Beracun. Beberapa anak buahnya yang melihat kematian ketua mereka segera melarikan diri. Ternyata si penolong itu tak kepalang tanggung bekerja.

Sisa-sisa perampok itu berhasil diringkusnya dan diserahkan pada Adipati Sawunggana. Sebelum Adipati Sawunggana sempat mengucapkan terima kasih, laki-laki muda yang bertampang kumal seperti orang bodoh itu telah berkelebat pergi. Adipati Sawunggana mencoba mengejar. Disamping ingin mengenal siapa adanya pemuda gagah itu dia juga ingin pemuda itu ikut ke Mataram.

Setidak-tidaknya pemuda itu akan mendapat penghargaan besar dari sang Prabu Kerajaan Mataram bila dia menceritakan kejadian tersebut, dengan bukti beberapa orang anak buah Bantar Parean, serta kepala si Gagu Tangan Beracun. Akan tetapi pemuda gagah itu cuma menyebutkan nama dan gelarnya saja. Lalu berkelebat lenyap.

Retno Sekar terpaku mendengar penuturan ayahnya. Begitu terpana dan terkesan dia pada kisah yang diceritakan sang ayah. Akan tetapi kembali dia menarik napas penuh kemasygulan mengingat dia gagal menahan pemuda gagah itu.

"Satu hal yang membuat aku heran yaitu, siapakah laki-laki berbaju kulit harimau yang diceritakan Gaman Seto dan yang telah menculikmu itu?" Adipati Sawunggana bangkit dari kursinya. Pandangan matanya menatap keluar pendopo.

"Kukira dia cuma penjahat picisan saja, ayah! Si Gaman Seto itulah yang tak becus mengawalku! Kukira dia belum pantas diangkat sebagai Kepala Prajurit Kadipaten! Ilmunya paling tidak tiga kali lipat di bawah pemuda yang telah menolongku!"

"Pendapatmu tidak benar, anakku...! Laki-laki berbaju kulit harimau itu tentu seorang tokoh hitam yang baru muncul di dunia persilatan. Menurut keterangan Gaman Seto ilmunya tak seberapa jauh diatasnya. Tapi orang itu amat licik dan berhasil memancing Gaman Seto hingga dia berada jauh dari kau. Di kesempatan itulah dia kembali ke tempat dimana kau pingsan, dan membawamu melarikan diri" tukas Adipati Sawunggana memprotes pendapat anak gadisnya.

"Mulai sekarang kau tak boleh kemana-mana, anakku! Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu" berkata Adipati Sawunggana setelah termenung sejurus lamanya.

"Tapi ayah...! aku belum menemui Ki Pandoyo, bukankah ayah telah mengizinkan aku berguru selama beberapa bulan ditempat kediamannya?" tukas Retno Sekar dengan wajah tertunduk menampakkan kekecewaan.

"Kau harus mengerti, anakku. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang menimpamu? Kau akan membuat susah ayah dan ibumu. Aku akan mengundang orang tua itu untuk menetap sementara disini. Bukankah kau dapat belajar lebih tenang?"

Retno Sekar tak menyahut. Pendapat ayahnya memang baik, tapi dia sudah bosan berdiam di Kadipaten. Kalau diizinkan ayahnya tentu dia sudah mencari guru diwilayah lain dan menetap di luar Kota Raja sampai dia kembali dengan membawa hasil ilmu kedigjayaan walaupun harus memakan waktu lama.

Agaknya Adipati Sawunggana mengerti akan perasaan anak gadisnya. Dia menghampiri seraya mengelus rambutnya Retno Sekar. "Nanti kalau keadaan sudah aman, ayah akan mengizinkan kau mencari ilmu di luar Kota Kadipaten. Sabarlah, anakku... bukan aku tak menyayangi dirimu, tapi justru karena ayah sayang padamu" hibur Adipati Sawunggana.

"Benarkah ayah?" Retno Sekar menatap ayahnya. Wajahnya tampak berubah berseri lagi. Adipati Sawunggana mengangguk.

"Oh, ayah... terima kasih. Kau.. kau baik sekali" Gadis ini memeluk ayahnya dengan berjingkrak girang. Tapi tiba-tiba segera melepaskannya lagi. Wajahnya merah. Karena girangnya dia lupa kalau dirinya telah dewasa. Entah mengapa ada perasaan malu terhadap ayahnya. Dia menunduk tersipu dan tiba-tiba saja berlari masuk ke ruangan dalam.

Adipati Sawunggana tersenyum melihat kelakuan anak gadisnya. Dan gelengkan kepala disertai tarikan napas panjang. "Haih, Retno...Retno... kau masih seperti anak kecil saja..!"

TUJUH

Hari masih pagi sekali. Suara burung masih terdengar berkicau melagukan nyanyian merdu menyambut munculnya sang surya diufuk timur yang baru menyembul dibalik gunung. Seorang laki-laki tua berjubah putih tampak keluar dari sebuah pondok besar yang boleh disebut sebagai pesanggrahan.

Siapa adanya orang ini tiada lain dari Ki Pandoyo. Pada beberapa tahun yang silam pesanggrahan itu terisi oleh tujuh orang murid-muridnya yang mempelajari ilmu kedigjayaan. Tapi saat ini pondok itu kosong. Tak seorangpun yang menetap di pesanggrahan itu. Karena ketujuh orang murid-muridnya telah menamatkan pelajaran.

Hanya sesekali ada tetamu yang datang mengunjungi padepokan itu. Paling tidak salah seorang dari murid-muridnya yang muncul untuk menyambangi. Itupun tak terlalu sering. Terkadang sampai beberapa bulan bahkan hampir lewat setahun, baru ada yang muncul.

Laki-laki tua yang sudah pantas disebut kakek ini memiliki tubuh kecil dan kurus. Wajahnya boleh dikatakan tinggal kulit dan tulang saja. Akan tetapi jangan disangka si kakek ini sudah jompo dan tinggal menunggu mati saja. Karena tulang yang terbalut kulit itu masih kuat. Ki Pandoyo memang memiliki perawakan demikian karena sudah kodrat dari Tuhan.

Walaupun demikian di dalam tulang dan kulit serta sedikit daging itu terisi kekuatan dahsyat. Cengkeraman tangannya masih dapat meremukan batang pohon kayu sekeras apapun. Dan pukulan tenaga dalamnya masih bisa menghancurkan batu gunung!

Di masa muda kakek ini sudah kenyang malang-melintang di dunia Rimba Hijau. Tak sedikit wilayah yang didatangi untuk sekedar mencari nama besar, disamping menyumbangkan tenaga demi membela kebenaran Melindungi si lemah dari si kuat yang menindas.

Pada belasan tahun yang silam dia digelari orang si Pedang Malaikat. Tak sedikit kaum golongan hitam yang tewas ditangannya. Sepak terjangnya membuat ciut nyali kaum penjahat yang berusaha melebarkan sayapnya di wilayah barat daya. Namanya harum di mata kaum pendekar, akan tetapi menjadi momok yang menakutkan bagi kaum golongan hitam.

Bahkan pernah dia diangkat menjadi ketua diwilayah barat daya untuk mempersatukan kaum pendekar di wilayah itu. Namun dia mengundurkan diri dengan alasan sudah cukup tua. Dan dia memerlukan ketenangan hidup. Sayang dia tak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangga. Istrinya lari meninggalkan dia dengan membawa seorang bocah laki-laki berusia satu tahun.

Mengapa demikian? Karena dia sudah tak mampu memberi kebahagiaan bathin pada sang istri. Pandoyo menyadari itu. Dan tak mencari kemana perginya sang istri. Kepahitan itu diterimanya dengan sabar. Akhirnya dia menetap di wilayah ini disebuah desa tenang dan damai. Yaitu desa Weringin Kolot yang terletak di sebelah timur perbatasan Kota Raja dan termasuk dalam wilayah Kerajaan Purwa Carita...

Telah dua hari dia menunggu-nunggu kedatangan tetamu istimewa yang akan mengunjungi padepokannya. Tapi yang ditunggu sampai saat ini masih belum muncul. Ki Pandoyo telah menerima sepucuk surat yang dibawa oleh seorang prajurit Kerajaan. Dalam surat Adipati mengatakan maksudnya untuk membawa puterinya ke padepokannya Puterinya berkeinginan mempelajari ilmu untuk menambah pengetahuan dalam hal ilmu kedigjayaan selama beberapa bulan, dan menetap di padepokannya.

Disamping terkejut Ki Pandoyo juga berbesar hati karena tenaganya masih diperlukan. Dengan penuh kerendahan hati Ki Pandoyo segera menulis surat balasan untuk disampaikan pada Adipati Sawunggana, lalu memberikannya pada si prajurit utusan ini. Sehari kemudian utusan itu datang lagi dengan membawa sepucuk surat bahwa Retno Sekar puteri Adipati Sawunggana akan datang beberapa hari lagi untuk berkenalan terlebih dulu, sebelum memberi keputusan kapan akan memulai berguru.

Namun sampai beberapa hari Ki Pandoyo menunggu kedatangan tetamu istimewa nya, tapi tak kunjung muncul. Hal itu cukup membuat resah laki-laki tua ini.

"Aneh! apakah Gusti Adipati membatalkan niatnya?" gumam Ki Pandoyo dengan suara mendesah. Pandangan matanya menatap gumpalan awan hitam di arah barat.

Entah mengapa perasaannya mendadak kurang enak. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa seolah ada sesuatu bakal terjadi. Selama beberapa tahun dia menetap di padepokan itu belum pernah merasakan hal semacam itu. Mendadak saja hatinya gelisah. Ki Pandoyo melangkah memasuki pondok padepokan.

"Ada apakah gerangan yang bakal terjadi?" desahnya heran.

Baru saja dia menindak dua langkah mendadak terdengar desiran angin dibelakangnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya. Terkejutnya Ki Pandoyo melihat sesosok tubuh telah berdiri kira-kira empat lima tombak di hadapannya.

"Aha! maaf orang tua! aku telah membuat kau terkejut!"

"Siapakah kau anak muda?" sentak Ki Pandoyo dengan suara tenang walaupun hatinya diam-diam agak heran melihat kemunculan seorang pemuda di tempat kediamannya. Pemuda itu berbaju kulit harimau. Bertampang gagah. Tapi sikapnya kurang sopan, karena dia berdiri dengan bertolak pinggang. Rambutnya hitam lurus, panjangnya sebatas pundak. Sebuah seruling hitam terselip dipinggangnya. Siapa adanya pemuda ini Ki Pandoyo, tak mengenalnya. Bahkan tadi dia mengira salah seorang muridnya yang muncul.

"Apakah ini Padepokan Weringin Kolot?" tanya Guci Manik tanpa menjawab terlebih dulu pertanyaan Ki Pandoyo.

Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Benar-benar dia dikunjungi seorang tetamu tak diundang yang bersikap kurang ajar. Tapi dengan sabar Ki Pandoyo menyahut. "Dugaanmu tidak salah, anak muda. Ada kepentingan apakah kiranya, anak? Apakah kau memang sengaja ingin kemari atau secara kebetulan saja lewat ditempat ini?"

"Haha.. dibilang kebetulan, ya memang kebetulan. Tapi dibilang sengaja, aku tidak sengaja!" sahut Guci Manik dengan tertawa asam.

"Apakah maksud ucapanmu, anak muda?!" Ki Pandoyo masih bersabar.

"Artinya, aku memang entah kapan bakal datang ke padepokan ini. Dan secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Bukankah itu tidak sengaja? Tapi memang kebetulan sekali. Aku toh tak perlu mencari-cari lagi dimana adanya padepokan yang bakal aku datangi kelak? Nanti atau sekarang sama saja. Lebih cepat selesai urusanku lebih baik..!" sahut Guci Manik dengan tertawa.

Lagi-lagi Ki Pandoyo kerenyitkan keningnya. Ditatapnya pemuda itu tajam-tajam. "Siapakah kau sebenarnya, anak muda? Siapakah yang kau cari di padepokan ini, dan ada urusan apakah sebenarnya?"

"Baiklah ku sebutkan siapa diriku. Aku bergelar si Iblis Seruling Maut!" sahut Guci Manik. "Tujuanku adalah menemui orang yang bernama Pandoyo, atau lebih tepat bergelar si Pedang Malaikat!"

"Urusan apakah yang membawa langkahmu ke mari untuk menemui si Pedang Malaikat?" tanya Ki Pandoyo dengan hati kian tersentak. Gelar Iblis Seruling Maut itu baru hari ini dia mendengarnya.

"Aku akan minta petunjuk pada bekas pendekar tua yang gagah perkasa itu. Terutama petunjuk ilmu kedigjayaan. Serta ku ingin melihat kehebatan Pedang Malaikat yang pernah membuat gempar Dunia Persilatan belasan tahun yang lalu. Apakah pedang itu masih tajam atau sudah menjadi besi tua...?"

Bagi seorang tokoh tua yang sudah banyak makan asam-garam Rimba Hijau, jelas dia sudah mengetahui apa maksud kata-kata pemuda itu. Yaitu datang untuk mencari perkara. Tapi apakah tujuan sebenarnya dia masih meragukan. Di zaman seperti sekarang ini memang banyak bermunculan tokoh-tokoh muda kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi. Hal itu dimaklumi Ki Pandoyo. Segera dia berkata.

"Siapakah gurumu, bocah? mulutmu tajam setajam pedang. Punya ilmu simpanan macam apakah kau hingga membuat kesombonganmu melewati batas ukuran?" Kata-kata Ki Pandoyo menusuk tajam.

"Haha... aku bukan seorang bocah kecil yang harus membawa-bawa nama guruku. Katakan saja di mana pendekar tua itu!" Ternyata jawaban Guci Manik lebih tajam menusuk ulu hati Ki Pandoyo.

"Bocah sombong! bukalah lebar-lebar matamu. Akulah orang yang kau cari itu!" berkata Ki Pandoyo dengan suara sedingin salju.

"Aha., sudah kuduga memang kau orangnya. Tapi tampang malaikat walau aku belum pernah melihat tidak seperti kau! Haha... Entah macam apa pedang yang pernah membuat gempar kalangan Rimba Hijau itu?"

Merah padam wajah Ki Pandoyo. "Bocah sombong! Hari ini kalau aku tak merobek mulutmu yang kotor itu, ku cabut gelarku dan takkan kupergunakan lagi!"

Whuuut! Whuuutt!

Ki Pandoyo telah melancarkan serangan tenaga dalam dengan kibasan lengan jubahnya yang gombrong. Hawa panas menyambar ke arah Guci Manik. Tapi dengan lompatan indah bagai seekor burung walet, Guci Manik melompat menghindar.

Duk! Sambaran keras tahu-tahu menghantam dada Guci Manik. Kalau saja dia tak gembungkan dada untuk menangkis serangan tiba-tiba itu, dapat dipastikan tulang dadanya akan hancur atau patah-patah terkena tendangan keras yang dilancarkan Ki Pandoyo. Akan tetapi cukup membuat Guci Manik menjerit kaget. Tubuhnya terlempar beberapa tombak.

Merah padam wajah Guci Manik. Dalam dua jurus saja nyaris jiwanya melayang menghadapi pen-dekar tua itu. Ternyata nama si Pedang Malaikat bu-kan main-main. Kali ini Guci Manik tak memandang enteng. Akan tetapi tetap saja kesombongannya tak dapat ditutupi.

"Hai, orang tua! jurus tendangan mu sudah berkurang tenaganya. Tulang-tulangmu pun telah mulai rapuh. Sebaiknya kau keluarkan pedang pusakamu yang kau banggakan untuk membuktikan ucapanmu. Haha... kukira sudah sepantasnya kau beristirahat di liang kubur!"

"Bocah sombong! rasakan ini!" Ki Pandoyo membentak keras seraya mengirim serangan pukulannya yang bernama Pukulan Telapak Malaikat.

Bummm!

Bumi bergetar. Asap membumbung ke udara, dan hawa panas menebar! Akan tetapi Guci Manik lenyap tak kelihatan batang hidungnya.


DELAPAN

Bukan kepalang terkejutnya prajurit Kadipaten utusan dari Adipati Sawunggana yang diperintah menjemput Ki Pandoyo, ketika mendapatkan laki-laki tua itu dalam keadaan tak bernyawa terkapar didepan pondok padepokan. Kematiannya amat mengerikan, karena dari sekujur lubang di tubuhnya mengalirkan darah kehitaman. Setelah memperhatikan mayat, dengan wajah pucat pias dan tengkuk meremang si prajurit utusan itu bergegas angkat kaki dari tempat itu.

"Aku harus segera melaporkan hal ini pada gusti Adipati!" desis si prajurit utusan. Dia bernama Lugut. Laki-laki ini menbedal kudanya bagai dikejar setan.

Keringat dingin mengembun ditengkuknya. Mendadak kudanya meringkik panjang. Binatang ini seperti berubah jadi liar. Bagaimanapun kepandaian Lugut menunggang kuda, tapi tak luput dari naas. Lugut terjungkal jatuh dari punggung kudanya.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul sesosok tubuh yang tak lain dari Guci Manik. Dengan gerakan gesit pemuda ini berkelebat menahan kuda yang liar itu. Aneh! begitu pemuda itu melompat ke atas pungungnya, kuda itu mendadak jadi jinak.

Dengan tertawa menyeringai Guci Manik membedal kuda si prajurit. Dalam beberapa saat saja pemuda itu sudah tak kelihatan lagi. Cuma suara derap kaki-kaki kuda yang lapat-lapat semakin menjauh. Kemudian lenyap, meninggalkan sisa-sisa debu yang mengepul.

Lugut mengucak-ucak matanya dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. "Si... siapa orang itu? Edan! dia telah merampas kudaku! Bagaimana aku harus pulang ke Kadipaten?" memaki si prajurit. Akhirnya dengan melangkah cepat terpaksa si prajurit sial itu melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, kalau tak mau mati ketakutan ditempat itu.

Laporan prajurit utusan yang tiba di kadipaten dalam keadaan lesu pada sore hari itu, membuat Adipati Sawunggana terkejut bagai disambar petir.

"Kau tak melihat siapa-siapa dipondok pesanggrahan itu?" tanya Adipati Sawunggana.

"Ampun, gusti! kecuali orang yang merampas kuda hamba, tak ada siapa-siapa lagi ditempat itu..." sahut Lugut.

"Kau hapal wajah dan bentuk perawakan si perampas kudamu?"

"Ya, hamba masih ingat. Dia seorang laki-laki yang masih muda. Berparas gagah. Rambutnya lurus panjang sebatas leher. Berbaju dari kulit harimau. Matanya agak sipit dan memakai ikat kepala warna kuning!" bertutur Lugut.

"Berbaju kulit harimau?" sentak Adipati Sawunggana. "Jangan-jangan dia orang yang telah menculik Retno Sekar..."

"Apakah dia yang telah membunuh Ki Pandoyo?" berkata Adipati Sawunggana dalam hati. "Tahukah kau ke mana arah orang itu melarikan kudamu?" tanya Adipati Sawunggana.

"Ke arah barat, gusti..!" sahut Lugut pasti.

"Hm, aku harus menemui Patih Panji Rana untuk menceritakan hal ini. Aku khawatir dia memasuki Kota Raja melalui pintu perbatasan sebelah barat!" desis sang Adipati dengan wajah berubah tegang. Firasatnya mengatakan bahwa bakal ada kerusuhan di Kota Raja.

Bergegas Adipati Sawunggana masuk ke dalam ruangan. Tak lama telah keluar lagi dengan pakaian lengkap. Sebilah keris pusaka yang biasanya disimpan dalam kamar, telah terselip dipinggangnya.

"Siapkan kudaku!" perintahnya pada pengawal. Prajurit itu dengan sigap segera menjalankan perintah, berlari cepat ke ruang belakang gedung Kadipaten. Tak lama dia telah muncul di halaman dengan menuntun seekor kuda putih lengkap dengan pelananya.

Adipati Sawunggana mengumpulkan semua prajuritnya. Kemudian membagi tugas serta melipat gandakan penjagaan di sekitar gedung Kadipaten. Saat itu Retno Sekar muncul di pintu pendopo.

"Hendak kemanakah ayah?" sentak gadis ini. "Apakah yang terjadi?" Retno Sekar yang tampaknya baru bangun dari tidur itu melompat mendapatkan ayahnya.

"Tak ada apa-apa, anakku..! Tenanglah! Aku hanya mengkhawatirkan terjadi sesuatu ditempat kita, sementara kepergianku. Aku akan menghadap kanjeng Gusti Patih. Ada hal penting yang akan kusampaikan. Kuharap kau tak keluar rumah. Temani ibumu yang sedang sakit. Jangan kau membuat sesuatu yang mencemaskannya..!" kata Adipati Sawunggana.

Setelah berkata, Adipati Sawunggana segera melompat ke punggung kuda tunggangannya, dan membedal dengan cepat keluar dari pintu gerbang Kadipaten. Sebentar saja lenyap dari pandangan mata gadis itu. Pintu gerbang segera ditutup kembali oleh dua orang prajurit.

Sementara barisan prajurit lainnya segera menyebar ke masing-masing tempat penjagaan. Retno Sekar tertegun beberapa saat. Tapi tak lama dia beranjak masuk ke dalam gedung dengan benak masih dipenuhi pertanyaan....


Beberapa hari sudah Nanjar melacak jejak si peniup seruling aneh yang diberitakan orang adalah si manusia penebar maut. Karena setiap terdengar suara seruling aneh itu, tak lama akan terjadi huru-hara yang berlanjut dengan kematian! Datang dan perginya manusia peniup seruling itu seperti setan.

Sebentar muncul diwilayah perbatasan sebelah barat, sebentar kemudian lenyap. Dan ada berita muncul di wilayah pintu Kota Raja sebelah selatan. Hal itu membuat Nanjar menjadi jengkel, karena sepertinya orang itu mengajak dia main kucing-kucingan.

Nanjar sebentar-sebentar jatuhkan pantatnya duduk ditanah, setelah sekian kali mondar-mandir karena tak dapat memutuskan arah yang akan dituju.

"Siapakah si peniup seruling setan itu?" gerutunya dengan menendang mental sebuah batu. Tapi karena dia menyalurkan kemengkalan hatinya tanpa perhitungan. Batu yang ditendangnya justru mental balik dan menghantam tulang keringnya. Akibatnya si Dewa Linglung mengaduh kesakitan. Dan berjingkrak-jingkrak dengan wajah menyeringai.

"Aduuh! Aduuh! sialan" maki Nanjar dengan wajah menahan sakit. Mendadak dia tersentak kaget, ketika tiba-tiba telinganya lapat-lapat mendengar suara seruling. "Si peniup seruling setan?" sentak Nanjar terkejut. Segera dia memasang telinga untuk mengetahui dari arah mana asal suara seruling itu. Mata Nanjar menatap tak berkesiap ke arah hutan kecil di sebelah timur.

Dengan gerakan ringan dia berkelebat melompat tanpa menimbulkan suara, mendekati ke arah suara seruling itu. Dengan melompat dari pohon ke pohon agar kedatangannya tak diketahui lawan, Nanjar semakin mendekat ke arah asal suara. Tapi dia jadi ter-tegun karena mendadak suara seruling itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi mencekam...

"Sial! mengapa berhenti?" desis Nanjar. Dia menunggu suatu gerakan yang dapat memungkinkan lawan bergerak ke arah lain. Sementara dia tetap memasang mata dan telinga untuk siap menyergap. Akan tetapi suara itu benar-benar lenyap. Tak ada tanda-tanda di sekitar hutan kecil itu ada manusia. Mendadak suara seruling itu kembali terdengar lapat-lapat Nanjar tersentak.

"Kunyuk! suara seruling itu pindah ke hutan sebelah barat! Ya! di hutan sebelah sana..." memaki Nanjar. Disamping heran, Nanjar juga jadi penasaran. Segera dia berkelebat menerobos hutan untuk mendekati asal suara seruling yang sudah pindah tempat itu.

Lagi-lagi Nanjar kehilangan jejak suara. Menda-dak dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang bergerak cepat sekali. Melayang seperti sebuah bayangan setan ke arah lamping bukit.

"Itu pasti makhluknya!" teriak Nanjar dalam ha-ti. Kali ini Nanjar sudah siap untuk segera membekuk lawannya. Tak ada jalan yang paling baik selain mempergunakan ilmu terbang yang diandalkannya. Sedetik kemudian tampak tubuh si Dewa Linglung telah melayang bagaikan seekor elang menerobos dedaunan, dan membumbung melewati puncak pohon. Benar saja! Sesosok bayangan terlihat berkelebat ke arah bawah tebing. Nanjar menukik cepat bagaikan elang yang menyambar mangsa.

Whuuuk!

Dari udara Nanjar menghantam punggung orang itu dengan pukulan jarak jauh, diiringi bentakan keras. "Berhenti setan seruling!"

Brasss!

Hantaman yang dilontarkan Nanjar membuat tanah berlubang hangus. Tapi manusia itu lenyap entah kemana "Setan alas!" maki si Dewa Linglung dengan geram.

Mendadak terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dibelakangnya. Bukan kepalang terkejutnya Nanjar ketika membalikkan tubuh, melihat seorang kakek berjubah hitam tampak duduk di atas sebatang pohon kayu dengan kaki menjuntai.

"Pukulan Kilat Bhuana yang hebat! hehehe... nyaris tubuhku hangus terpanggang. Kaukah gerangan yang bergelar si Dewa Linglung alias si Pendekar Naga Merah?" Suara si kakek terdengar bagai tonggeret yang merobek udara membuat gatal telinga.

Nanjar melen-gak heran, karena orang itu mengenali dirinya. "Hm, dugaanmu tak salah, orang tua! Siapakah kau sebenarnya? Dan apa yang kau lakukan ditempat ini?" Si kakek kembali tertawa terkekeh-kekeh, kemudian sahutnya. "Bukankah kau tengah mengejar si peniup seruling setan? Hehehe... setelah bertemu mengapa kau menanyakan lagi?"

"Heh! jadi kaulah manusia penyebar maut itu? Bagus! Aku memang mengejar si peniup seruling maut itu. Kalau kau manusianya sungguh kebetulan sekali. Tapi sebelum aku membekukmu, katakanlah apa maksudmu sebenarnya dengan perbuatan yang kau lakukan itu?"

"Hehehhe... anak muda! aku tak dapat menceritakan padamu mengenai urusanku itu. Tapi yang jelas kau adalah orang berbahaya yang bakal menjadi penghalang langkahku. Oleh sebab itu aku sengaja memancing mu ke tempat ini untuk membunuh mu!" sahut si kakek berjubah hitam dengan suara tak sedap didengar telinga.

"Hm, jadi maksudmu demikian? aku akan sangat berterima kasih kalau kau mampu membunuhku. Tapi kalau ucapanmu tak terbukti jangan menyesal kalau aku yang akan menghentikan perbuatan kejimu untuk selama-lamanya!" berkata Nanjar dengan sikap jumawa.

Si kakek tertawa lagi terkekeh-kekeh. Seperti geli melihat lawan berani jual lagak di hadapannya. "Bagus! dengan rela akan kuserahkan kepalaku bila kau sanggup menghadapi ilmu "Membetot sukma" dari seruling ku!" ujar si kakek.

"Katakan dulu siapa nama dan gelarmu, tua bangka sombong! sebelum kau mengatakan jangan harapkan aku mau melayanimu!"

Si kakek tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Nanjar. "Heheh.. hehe.. sudah lama aku mengharapkan pertemuan dengan seorang pendekar aneh yang punya gelar terkenal di setiap penjuru jagat, setelah bertemu orangnya mana mungkin kau tak melayaniku main-main?" berkata si kakek jubah hitam.

"Baiklah! agar kau tak kecewa, sebelum nyawamu kukirim ke luar dunia akan kukatakan siapa nama dan gelarku. Aku bernama Beo Aningkal! Gelarku tak jauh dari senjata andalan ku ini, yaitu si Iblis Seruling Maut!"


Di lain tempat tepatnya di sebelah selatan perbatasan Kota Raja, ternyata tengah terjadi kerusuhan karena menyusupnya seorang pemuda berbaju kulit harimau yang membunuh dua orang penjaga perbatasan. Pemuda itu tak lain dari Guci Manik. Akan tetapi tak begitu mudah bagi Guci Manik untuk menyusup ke wilayah Kota Raja.

Karena puluhan prajurit Kera-jaan telah melakukan penjagaan ketat. Melihat munculnya pemuda yang dicurigai dengan ciri-ciri yang telah dipesankan, segera mereka mengurung si pemuda berbaju kulit harimau itu.

Akan tetapi mendadak enam orang prajurit menjerit dan terjungkal roboh. Tiga orang perwira yang mengepalai tiga regu prajurit jadi tersentak kaget melihat bagaimana hanya dengan mengibaskan lengan, enam orang prajurit telah roboh tewas seketika. Tahu-lah mereka kalau mereka tewas oleh serangan senjata rahasia si pemuda pengacau itu.

Tiga perwira ini melompat maju. Mereka adalah Pradigdo, Karmenda dan Bomaranu. Ketiganya adalah perwira kelas satu yang memiliki ilmu tinggi dan telah mendapat tanda penghargaan dari patih Panji Rana. Tidak sedikit jasanya dalam memberantas pengacau.

"Manusia telengas! sebutkan siapa dirimu sebelum kepalamu kami pisahkan dari batang lehermu! Apa maksudmu mengacau diwilayah kerajaan kami?" membentak Bomaranu.

Laki-laki perwira kerajaan ini telah mencabut senjata andalannya, sepasang tombak pendek bermata tiga. Sementara Karmenda bersenjatakan sebilah pedang dan Pradigdo menggunakan se-buah tombak panjang bervariasi sepasang kapak di ki-ri kanannya. Keduanya mengurung Guci Manik siap untuk menerjang maju.

"Hahaha... keroco-keroco macam kalian tak pantas berhadapan denganku! Apakah tak ada orang yang lebih pantas untuk menghadapiku?" ejek Guci Manik. Membuat ketiga perwira Kerajaan ini jadi naik darah. Akan tetapi mereka tak terpancing emosi.

"Heh! untuk menangkap seorang penjahat semacam kau, tak perlu mengotori tangan pemimpin kami. Lekaslah kau sebutkan siapa kau. Dan apa tu-juanmu mengacau diwilayah Kerajaan kami?" bentak Bomaranu.

"Haha... baik! baik! Aku si Iblis Seruling Maut bertujuan merebut kekuasaan Kerajaan Purwacarita! Nah! menyingkirlah kalian kalau kalian tak ingin kehi-langan nyawa!" sahut Guci Manik dengan suara tajam.

Meletuplah kemarahan ketiga perwira Kerajaan ini. Serentak mereka menerjang setelah diberi aba-aba oleh Bomaranu. Sepasang tombak pendek Bomaranu meluncur deras menusuk ke arah dada dan perut la-wan. Namun dengan cepat Guci Manik miringkan tubuhnya ke samping menghindari serangan.

Akan tetapi segera kakinya menjejak tanah untuk melompat jungkir balik ketika tabasan pedang Karmenda menabas ke arah kakinya. Saat tubuhnya berputar di udara tombak panjang bermata kapak Pra-digdo menyambar ganas diiringi bentakan laki-laki perwira kerajaan itu.

"Mampus!"

Akan tetapi gesit luar biasa gerakan Guci Manik. Secepat kilat dia berhasil menangkap badan tombak setelah terlebih dulu menghantam benda maut itu dengan angin pukulannya. Nyatalah tenaga dalam si pengacau muda ini amat tinggi. Karmenda terkejut ka-rena senjatanya nyaris terlepas.

Selagi dia terperangah, tiba-tiba pangkal tombak menekan keras ke dadanya. Menjeritlah perwira Kerajaan ini. Darah menyembur di belakang punggungnya. Pangkal tombaknya telah menembus dadanya hingga ke punggung.

Karmenda terjungkal roboh dengan serangan merobek udara. Setelah menggeliat dengan mata membelalak lebar, perwira inipun terkulai tak bergerak lagi. Melihat kematian Karmenda meledaklah kemarahan Bomaranu dan Pradigdo.

Kedua perwira ini segera me-nerjang dengan serangan-serangan ganas. Pedang di tangan Pradigdo menyambar-nyambar laksana seekor Naga mengamuk. Sedangkan sepasang tombak pendek bermata tiga Bomaranu menusuk dan mendesis-desis ketika dipergunakan menyerang lawan dengan gencar.

Guci Manik agak terkejut melihat serangan-serangan ganas lawannya. Akan tetapi selama belasan tahun dia telah digembleng oleh seorang tokoh kosen yang mengajarinya ilmu-ilmu tinggi. Dalam hal kejelian mata serta kelincahan tubuh tampaknya telah dikuasai Guci Manik. Segera saja sepasang mata elangnya dapat melihat dimana kelemahan-kelemahan lawan.

Sambil menghindari setiap serangan, Guci Manik menunggu kesempatan baik untuk melepaskan pukulannya. Di jurus keenam belas, tiba-tiba pemuda itu membentak keras. Tubuhnya berkelebat ke udara di saat sambaran pedang dan tombak lawan siap memanggang tubuhnya.

Detik itulah yang dinantikan, karena segera Guci Manik lepaskan tendangan ke arah Pradigdo. Krak! Terdengar suara berderak yang diba-rengi terlemparnya tubuh perwira itu diiringi jeritan pendek. Tubuh Pradigdo berguling-guling beberapa kali, lalu berhenti. Tampak lehernya terkulai mengucurkan darah. Ternyata tulang leher perwira muda itu telah patah.

Jeritan berikutnya merambah udara ketika cengkeraman tangan Guci Manik hinggap di kepala Bomaranu. Lima jari-jari tangan Guci Manik telah amblas menoblos batok kepala perwira kerajaan ini. Bomaranu perdengarkan jeritan menyayat hati. Bersa-maan dengan melesatnya tubuh si pemuda berbaju kulit harimau ke tanah, tubuh perwira kerajaan inipun roboh ke depan nyawa lepas seketika.

Puluhan prajurit yang melihat kejadian itu serentak mundur dengan nyali menciut. Akan tetapi sebagian lagi menerjang dengan tombak dan pedang terhunus. Kenekatan sekelompok prajurit-prajurit ini ternyata tak ubahnya bagai kayu lapuk yang menyongsong kobaran api.

Karena segera terdengar jeritan saling susul diiringi terjungkalnya tubuh-tubuh para prajurit itu ketika ratusan jarum-jarum maut mengandung racun meluruk kearah mereka. Buyarlah sisa pasukan kerajaan yang memang nyalinya sudah ciut itu, melarikan diri....

"Haha.. haha... sudah kukatakan, kalian cuma keroco-keroco yang hanya akan mengantar nyawa saja!" Guci Manik tertawa gelak-gelak. Namun sesaat wa-jahnya berubah membesi. Matanya yang tajam bagai mata elang menatap ke arah menara istana kerajaan Purwacarita yang sudah terlihat dikejauhan.

"Hm, tunggulah kau patih PANJI RANA! manusia pemfitnah yang telah menyebabkan kematian ayahku, dan pembunuh serta pemerkosa ibuku! Hari ini aku Guci Manik akan memisahkan kepalamu dari ba-tang lehermu! Dan kau Prabu Citrasoma. Hari ini adalah hari kau melepaskan kekuasaan. Akulah yang kelak bakal menggantikan kedudukanmu menjadi Raja kerajaan Purwacarita!" Setelah tertawa berkakakan si Iblis Seruling Maut berkelebat ke arah Istana kerajaan Purwacarita....

SEMBILAN

Kegelisahan hati Retno Sekar sejak kepergian ayahnya Adipati Sawunggana semakin memuncak, karena telah dua hari dua malam sang ayah belum kem-bali dari Istana. Bukan gadis itu saja yang gelisah, akan tetapi semua prajurit kadipaten mulai was-was akan adanya sesuatu yang telah terjadi dengan Adipati Sawunggana.

Ketidak sabaran Retno Sekar untuk keluar dari gedung Kadipaten semakin nyata dengan berkemasnya gadis itu memakai pakaian singsat lengkap dengan pedang di pinggang. Retno Sekar beranjak keluar dari dalam gedung. Tapi dia kembali lagi ke ruang dalam, dan tampak merenung sejenak di pintu ruangan.

Dua orang pengawal yang memperhatikan tingkah lakunya segera melangkah menghampiri. "Hendak kemanakah, gusti Puteri?" tanya salah seorang pengawal itu.

Retno Sekar menoleh. Sejenak dia menatap wajah si pengawal. "Hm, tidak tahukah kau bahwa aku sedang cemas memikirkan ayah yang tak kunjung datang? Kalian tampaknya tenang-tenang saja! Bagaimana kalau terjadi sesuatu di Istana?"

"Kami hanya menjalankan perintah gusti Adipati, gusti puteri..!" sahut si pengawal dengan menunduk hormat.

"Aku akan menyusul ayah ke Istana. Hatiku tak enak! Jangan-jangan ada terjadi sesuatu disana..." berkata Retno Sekar.

"Maaf, gusti puteri. Bukan hamba mencegah, tapi hamba hanya mengingatkan bahwa gusti Adipati telah melarang gusti puteri meninggalkan gedung Kadipaten!" kata pengawal yang satunya setelah mem-bungkuk hormat.

"Aku mengerti, tapi aku tak dapat berdiam diri lebih lama untuk melihat keadaan ayah di Istana!" kata Retno Sekar. Selesai berkata, Retno Sekar segera berlari ke halaman gedung. Agaknya dia telah memutuskan untuk pergi menyusul sang ayah.

Namun pada saat itu juga tiga bayangan tubuh berkelebat menghadang. Ternyata mereka adalah tiga orang kepala regu pengawal Kadipaten. Ketiga laki-laki ini menjura di hadapan Retno Sekar.

"Ampun gusti puteri. Hamba telah dipesan untuk mengawasi gusti puteri dan mencegah gusti puteri meninggalkan gedung Kadipaten..."

Melengak Retno Sekar. Sepasang alisnya naik dengan mata menyorot tajam pada ketiga pengawal itu. "Walau Gusti mu memerintahkan demikian, tapi kalian tak dapat mencegah keputusanku. Aku tetap akan ke istana untuk mengetahui keadaan beliau!" ucapnya dengan ketus.

"Ampun gusti puteri. Kami hanya diperintah oleh kepala prajurit Gaman Seto. Kalau gusti puteri berkeras juga, tunggulah! hamba akan mengatakan hal ini padanya" berkata pengawal yang bertubuh tegap dengan kumis tipis di atas bibir itu. Dia bernama Gundila. Retno Sekar sejenak tercenung. Tapi kemudian dia menghela napas.

"Baiklah! panggil Gaman Seto untuk menghadap ku!"

"Siap, gusti puteri!" sahut Gundila seraya membungkuk. Kemudian bergegas melangkah pergi menuju barak di belakang gedung. Sementara dua orang kawannya masih tetap berdiri ditempat semula. Retno Sekar menghela napas. Wajahnya tampak kusut. Kecemasan menggayuti dadanya.

Serasa tak sabar dia menanti kedatangan Gaman Seto. Entah mengapa hatinya mendadak jadi berdebar-debar. Pada saat kesabarannya hampir habis, tampak Gundila muncul sambil berlari-lari ke arahnya. Tapi tanpa Gaman Seto si kepala prajurit itu.

"Mana Gaman Seto?" tanya Retno Sekar dengan suara agak ditekan.

"Ampun Gusti Puteri..! Dia... dia tengah bersemadhi. Hamba tak berani mengganggu. Sebaiknya gusti puteri menunggu sampai semadhinya selesai!" sahut Gundila dengan tergagap. Retno Sekar membelalakkan matanya.

"Bersemadhi? Dalam saat seperti ini masih sempat-sempatnya bersemadhi segala! Hm, biarlah aku yang menemuinya!" Selesai berkata Retno Sekar beranjak menuju barak dengan langkah cepat. Semen-tara Gundila cuma menatap pada puteri Adipati itu dengan mulut ternganga.

Alangkah terkejutnya Retno Sekar ketika membuka pintu kamar barak, mendapatkan Gaman Seto dalam keadaan duduk bersila disudut ruangan. Yang membuat dia terkejut dan membelalakkan mata adalah laki-laki kepala prajurit Kadipaten itu duduk dengan keadaan tubuh bertelanjang bulat.

Setengah menjerit, gadis itu menutupkan pintu kamar keras-keras. Lalu berlari cepat, keluar dari ruangan barak itu. Suara berdentamnya daun pintu yang dihempaskan keras-keras oleh Retno Sekar membuat Gaman Seto terlompat bangun dari semadhinya.

"Hah!? seperti kudengar suara jeritan gusti puteri Retno Sekar?" sentak Gaman Seto dengan tertegun sejenak.

"Apakah dia telah memasuki kamarku?"

Sementara Retno Sekar langsung masuk ke ruangan gedung Kadipaten. Disana dia duduk dikursi dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Nafasnya memburu seperti baru melihat setan.

"Apa-apaan Gaman Seto? Apakah dia telah gila melakukan semadhi dengan keadaan seperti itu?" berkata Retno Sekar dalam hati. Akhirnya Retno Sekar menggagalkan niatnya untuk keluar dari gedung Kadipaten. Otaknya rumit dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai ayahnya yang sampai malam menjelang tiba belum juga muncul. Juga memikirkan tingkah laku Gaman Seto yang aneh.

"Hm, aku curiga pada si Gaman Seto itu. Sejak dia diangkat ayah menjadi kepala prajurit, sikapnya terhadapku agak lain. Dia sering mencuri pandang bila aku tak memperhatikannya. Anehnya, dia tak mematuhi perintahku ketika aku menyuruhnya agar ayah mengadakan penyambutan pada pendekar muda bernama Nanjar. Bahkan melaporpun tidak! Tapi yang lebih aneh adalah, ayah selalu membela dia!" Retno Sekar teringat kejadian beberapa hari yang lalu.

Mendadak terbersit dibenaknya akan sesuatu yang membuat darahnya berdesir. "Hm, apakah si Gundila sengaja menjebakku agar aku memasuki kamarnya?" pikir Retno Sekar. "Heh! jangan harap kuampuni jiwanya bila dia berniat kurang ajar terhadapku! Hal ini akan kulaporkan pada ayah!"

SEPULUH

Malam semakin melarut... Retno Sekar tak dapat tidur di kamarnya, setelah menghibur ibunya yang masih terbaring sakit ditemani mbok emban. Hawa panas dalam kamar seperti dia berdiam di dalam Neraka layaknya. Retno Sekar melangkah keluar ruangan. Dilihatnya para pengawal masih tetap menjalankan tugas berjaga di sekitar gedung Kadipaten.

Tiba-tiba membelalak mata Retno Sekar melihat sesosok tubuh berlari-lari kecil dari samping gedung. Hampir saja dia menjerit saking terkejutnya karena melihat siapa adanya orang itu. Ternyata tiada lain dari Gaman Seto. Laki-laki kepala prajurit Kadipaten itu mengeluarkan suara bergumam dari mulutnya entah bicara apa.

Tapi yang membuat kaki Retno Sekar melangkah mundur dengan mulut ternganga dan mata membelalak adalah laki-laki itu berlari-lari kecil dengan tubuh membugil tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Bukan saja Retno Sekar yang merasa aneh dan terkejut melihat keadaan Gaman Seto, tapi juga puluhan prajurit yang menyaksikan hal itu jadi terheran-heran.

"Hai? Apa-apaan dia? Lho..? Kok? Apakah mataku tak salah lihat?" berkata seorang pengawal kepada temannya yang juga terbelalak melihat keadaan Gaman Seto si Kepala Prajurit yang berlari-lari kecil dengan tubuh membugil. Sementara bibirnya tiada henti bergumam menyebut kata-kata yang tak dimengerti.

"Gaman Seto, telah berubah ingatan! Ya! dia... dia telah gila!?" sentak pengawal kawannya.

Segera puluhan prajurit saling berdatangan. Semua mata jadi terpentang lebar-lebar menyaksikan keadaan Gaman Seto yang memalukan itu. Tapi tak seorangpun yang berani mendekati laki-laki itu. Sementara Gaman Seto sendiri tanpa mengacuhkan keadaan sekitarnya terus berlari-lari memutari gedung Kadipaten.

Setelah tujuh kali memutar, Gaman Seto memasuki kamarnya. Beberapa pengawal yang berada di pintu segera menyingkir melihat si Kepala Prajurit beranjak masuk ke ruangan barak. Terdengar pintu kamar ditutupkan. Rupanya Gaman Seto segera memasuki kamarnya dan tak keluar lagi hingga pagi.

Keadaan digedung Kadipaten semakin bertambah memusingkan otak. Karena persoalan Adipati yang belum kembali dari Istana telah bertambah dengan kejadian aneh, yaitu berubahnya pikiran Gaman Seto sang Kepala Prajurit Kadipaten. Pada malam berikutnya kembali Gaman Seto mengulangi perbuatan kemarin malam berlari-lari kecil memutari gedung Kadipaten dengan bertelanjang bulat.

"Gaman Seto telah menjadi gila! Oh, apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku segera menyusul ayah!" desis Retno Sekar dengan kecemasan kian memuncak. Baru saja dia mengambil keputusan mendadak terdengar suara seruling memecah kesunyian.

Puluhan prajurit yang berjaga-jaga di sekitar halaman gedung Kadipaten terkejut mendengar suara seruling itu. Sementara Retno Sekar sendiri terpana dengan berdiri mematung. Sukmanya seolah-olah terbetot oleh suara seruling itu. Puluhan prajurit berdiri mematung dengan mata membelalak dan mulut terkancing.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh, disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan hitam ke halaman gedung Kadipaten. Siapa adanya sosok tubuh ini tak lain dari Beo Aningkal alias si Iblis Seruling Maut. Ternyata diwilayah Kota Raja bukan hanya seorang yang menamakan dirinya si Iblis Seruling Maut. Karena si pemuda berbaju kulit harimau itupun menggelari dirinya si Iblis Seruling Maut.

Bagaimana sampai Beo Aningkal, si kakek penghuni Cadas Siluman itu bisa berada di gedung Kadipaten? Kisahnya demikian.... Ketika terjadi pertarungan antara si Dewa Linglung melawan kakek bernama Beo Aningkal yang menyebut dirinya bergelar si Iblis Seruling Maut ini, keadaan di Kota Raja tengah terjadi kegemparan. Guci Manik berhasil menyusup ke dalam Istana. Namun pemuda itu tak semudah itu melaksanakan maksudnya. Karena penjagaan di Istana amat ketat.

Agaknya Guci Manik menunda penyerangan untuk menunggu kemunculan Beo Aningkal, gurunya. Segera dia menyelinap dan bersembunyi di menara Istana. Ratusan prajurit mengepung sekitar istana, melakukan penjagaan dengan ketat.

Sementara pertarungan Nanjar dengan Beo Aningkal memakan waktu cukup lama. Gempuran suara seruling yang menimbulkan kekuatan hebat mempengaruhi syaraf Nanjar. Dalam keadaan kepala terasa berat dan pandangan berkunang-kunang, dia mencabut seruling simpanannya. Yaitu seruling yang selalu disimpannya, pemberian dari seorang tokoh wanita yang masih ada pertaliannya dengan Pedang Mustika Naga Merah.

Seruling yang terbuat dari tulang dan berukiran kepala Naga itu segera membersitkan suara melengking menindih kekuatan hebat seruling lawan yang nyaris membetot sukmanya. Bila dia tak teringat pada benda itu entahlah apa yang terjadi. Karena di saat itu Nanjar merasa sekujur tulang-tulang persendiannya serasa lemas. Dalam keadaan demikian akan mudah bagi lawan untuk merobohkannya.

Adu kekuatan tenaga dalam melalui suara se-ruling segera saling gempur. Ternyata kekuatan tenaga dalam Nanjar berhasil menggempur suara seruling Beo Aningkal. Kakek itu terkejut. Akan tetapi dengan tipu muslihat licik dia sengaja memancing Nanjar agar menjauhi Kota Raja. Saat itu adalah saat dimana dia akan mulai bergerak untuk menumpas orang-orang Kerajaan. Dengan mengumbar tenaga menghadapi si Dewa Linglung akan menguras habis tenaganya.

Dia tahu saat yang baik untuk kelak membunuh pendekar muda itu. Nanjar berhasil dijebak masuk ke dalam lubang perangkap. Agaknya Beo Aningkal tak berniat membunuh si Dewa Linglung saat itu. Segera dia menutup lubang jebakan. Dan cepat menuju ke arah Kota Raja. Demikianlah, hingga dia muncul digedung Kadipaten.

Kekuatan suara seruling yang mengandung tenaga dalam hebat mempengaruhi syaraf membuat puluhan pengawal Kadipaten tak berkutik bagaikan terkena tenung. Begitu juga dengan keadaan Retno Sekar, yang berdiri terpana dengan pandangan mata membelalak dan mulut ternganga.

Beo Aningkal terkekeh, seraya melangkah mendekati gadis ini. Lengannya bergerak menotok, dan dengan sebat dia memondong gadis itu ke atas pundak. Lalu dengan terkekeh dia melangkah lebar menuju pintu penjagaan. Puluhan prajurit cuma berdiri mematung tanpa bereaksi apa-apa.

BRAAAK!

Sekali hantam pecahlah pintu kayu jati yang menjadi pintu utama gedung Kadipaten itu dihantam pukulan lengannya. Pecahnya pintu gapura itu membuat semua prajurit sadar dari pengaruh kekuatan yang telah menenung mereka. Serentak saja mereka mengejar si kakek dengan berteriak-teriak.

"Penculik! penculik! Tangkaaap! Dia menculik gusti puteri Retno Sekar!" Suara gaduh dan hiruk-pikuk meledak di halaman gedung Kadipaten.

Gaman Seto pun baru tersadar dari pengaruh hebat itu. Serta-merta dia melompat mengejar ke arah pintu. "Goblok! Kalian membiarkan saja penculik itu kabur dari sini? Akan ku pecat kalian semua!" bentak Gaman Seto dengan wajah merah padam.

Akan tetapi yang dibentak cuma membelalakkan mata memandang ke bawah pusar sang Kepala Prajurit. Karena Gaman Seto memang tak mengenakan pakaian sama sekali alias membugil. Sadar akan dirinya, Gaman Seto membentak seorang prajurit. "Buka celanamu!"

"Ba... baik, den...!" sahut si pengawal dengan wajah pucat pias. Tanpa membuang waktu Gaman Seto segera mengenakan celana si prajurit. Selesai menutupi tubuh bagian bawah dan barang terlarangnya, Gaman Seto cepat menyambar tombak yang dicekal seorang prajurit. Selanjutnya bagaikan terbang dia mengejar si penculik anak gadis Adipati Sawunggana dengan berteriak-teriak.


BHLAARRRR!

Batu persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal lengan itu pecah berhamburan menjadi puing-puing kecil yang bertebaran di udara. Nanjar berhasil menjebol batu penutup yang memenjarakan dia di dalam lubang perangkap yang digunakan Beo Aningkal.

"Sial dangkalan! Aku tertipu si kakek keparat itu!" maki Nanjar dengan wajah merah padam dan napas memburu. Untuk menjebol batu penutup lubang itu telah menguras tenaga dalamnya hampir sepertiga bagian. Mendadak Nanjar punya firasat buruk dan sadar akan kelicikan lawan yang sengaja menjebak dia pada perangkap itu.

"Celaka! Aku baru ingat si laki-laki berbaju kulit harimau. Bukankah diapun mempunyai sebuah seruling yang mirip dengan seruling kakek keparat itu? Tentulah dia murid si kakek keparat itu!" sentak Nanjar dengan wajah pucat. "Pantas aku terkecoh oleh suara seruling yang membingungkan. Tentu kakek keparat itu sengaja memancingku agar menjauhi Kota Raja. Dengan demikian si pemuda berbaju kulit harimau itu bebas menyusup masuk ke Kota Raja untuk mengacau..."

Tiba-tiba Nanjar teringat pada Retno Sekar, gadis puteri Adipati yang pernah diculik si laki-laki berbaju kulit harimau. Entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawatirkan gadis itu. Seolah-olah pada penglihatannya gadis itu tengah dalam bahaya. Tak berayal lagi Nanjar segera berkelebat me-lompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tu-juannya cuma satu yaitu Kota Raja.


Adipati Sawunggana ternyata berada di sebelah timur Istana dengan dua puluh orang pasukan berkuda. Malam yang penuh ketegangan itu telah lewat tanpa terjadi sesuatu. Akan tetapi tampak nyata kegelisa-han laki-laki yang duduk dipunggung kuda ini. Entah berapa kali dia mondar-mandir memutari perkemahan. Ingatannya selalu tertuju pada istrinya yang tengah terbaring sakit, dan pada puterinya Retno Sekar.

Sejak tadi hatinya berdebaran tak menentu. Kegelisahan semakin memuncak ketika dia melihat fajar mulai menyingsing. "Sebaiknya aku kembali ke Kadipaten dulu..! Hatiku tak enak. Aku akan meminta izin dulu pada Gusti Patih Panji Rana" desis Adipati ini.

Mendadak terdengar suara seruling memecah keheningan pagi, membuat Adipati Sawunggana terlonjak kaget. Berita si peniup seruling maut yang telah membawa banyak korban di luar wilayah Kota Raja memang telah disiarkan kesegenap orang Kerajaan. Tentu saja terdengarnya suara seruling yang memecah keheningan pagi itu membuat kedua puluh perwira Kerajaan itu terkesiap.

Suara seruling itu mendadak berhenti. Tapi segera disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan hitam ke tengah perkemahan. Membelalak mata Adipati Sawunggana melihat kemunculan seorang kakek berjubah hitam yang memondong sesosok tubuh di atas pundaknya. Semakin membelalak mata laki-laki ini melihat siapa adanya orang yang berada di atas pundak kakek kurus berjubah hitam itu.

"Retno Sekar!? anakku..." sentaknya terperanjat. Saat itu beberapa perwira Kerajaan telah berlompatan mengurung dengan senjata-senjata terhunus.

"Hehehe... tentu kau Adipati Sawunggana, ayah angkat gadis ini! Sudah kuduga kau berada ditempat ini, karena ketika aku membawa bocah perempuan ini kau tak ada digedungmu karena kau tak menampakkan diri malam tadi!" berkata si peniup seruling kakek tua renta itu.

"Si... siapakah kau?!" bentak Adipati Sawunggana.

"Hm, lupakah kau padaku, Sawunggana? Aku Beo Aningkal! Sebelum kau menduduki jabatan Adipati, bukankah kau pernah melihatku?" sahut si kakek dengan senyum sinis. Sementara sepasang matanya menyorot tajam seolah sebilah pedang yang menyam-bar menatap sang Adipati.

"Beo Aningkal...?" desis Adipati Sawunggana terkejut. Wajah Adipati ini berubah pucat mengetahui siapa adanya kakek itu.

"Apa maksudmu dengan semua ini? Mengapa kau menculik anakku?" bentak Sawunggana dengan melangkah setindak seraya mencabut keris pusaka dipinggangnya.

"Hehehe... mengapa kau masih juga mengelabuiku? Mata tuaku sejak lama telah mengetahui kalau gadis ini adalah puteri sang Prabu Citrasoma yang sengaja disembunyikan ditempat kediamanmu! Karena Prabu Citrasoma khawatir terjadi penculikan lagi terhadap putrinya, setelah putera laki-lakinya lenyap diculik orang!" sahut Beo Aningkal dengan suara tandas.

"Belasan tahun aku menyimpan dendam pada orang-orang Kerajaan, karena fitnah keji Patih Panji Rana. Sehingga aku dipecat dari jabatanku sebagai Adipati dan diusir seperti anjing kurap!" sambung Beo Aningkal dengan suara parau yang melengking penuh dendam.

"Bukan saja aku mendendam pada Patih Panji Rana dan Sang Prabu Citrasoma yang telah memecat ku. Tapi juga terhadap seluruh orang Kerajaan Purwacarita! Takkan puas hatiku sebelum melenyapkan nyawa dan menghancur-leburkan Kerajaan ini! Nama Kerajaan Purwacarita harus lenyap dari muka bumi ini berikut orang-orang Kerajaan itu sendiri!" Lanjut Beo Aningkal.

"Oleh sebab itulah aku menculik Guci Manik, putera Sang Prabu. Dan selama belasan tahun aku mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan, yang kelak akan kupergunakan dia untuk melampiaskan dendam ku! Kini Guci Manik telah dewasa. Dan saat ini dia sudah menyusup masuk ke Istana. Tibalah saatnya aku membalas dendam! Tak lama lagi Guci Manik akan mengirim nyawa Sang Prabu Citrasoma ke Akhirat! Sejarah akan mencatat bahwa kematian Raja Kerajaan Purwacarita tewas di tangan putera Mahkota. Puteranya sendiri! Dan Kerajaan Purwacarita akan bergelimang oleh darah!"

Sampai disini Adipati Sawunggana tak dapat menahan amarahnya. "Hentikan ocehanmu, Beo Aningkal! Lepaskan gadis itu dari tanganmu! Kau takkan berhasil melaksanakan dendam gilamu! Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung! Takkan kami biarkan selangkahpun kau menindak sebelum melangkahi mayat kami!" bentak Adipati Sawunggana dengan suara lantang.

"Heheh..hehe.. aku memang akan mengirim nyawa-nyawa kalian ke pintu Akhirat!" Mendadak lengan Beo Aningkal mengibar ke belakang. Tiga orang perwira yang melancarkan serangan dari belakang menjerit keras dan terjungkal roboh. Terkejut beberapa kawan perwira itu melihat ketiganya tewas dengan tu-lang dada remuk terkena hantaman angin pukulan si kakek.

Serentak belasan perwira maju menerjang. Tapi lagi-lagi terdengar jeritan saling susul ketika dengan gerakan cepat sekali tubuh si kakek melesat ke udara. Lima jari tangannya mengembang melancarkan pukulan yang membersitkan uap hitam berbau amis. Tersentak kaget Adipati Sawunggana. Dalam beberapa jurus saja delapan perwira telah tewas di tangan kakek itu.

Di samping mengkhawatirkan Retno Sekar, Adipati Sawunggana mencari siasat untuk merobohkan lawan yang luar biasa saktinya itu. Karena adanya Retno Sekar dalam pondongan lawan membuat para perwira Kerajaan sukar melancarkan serangan. Disamping mulai jeri melihat kehebatan kakek itu. Mereka tak dapat bertindak sembrono untuk menempuh resiko yang berakibat kematian!

Mendadak kakek itu cabut keluar serulingnya dari balik jubah. Detik berikutnya segera terdengar suara melengking dari tiupan seruling yang menggetarkan gendang telinga. Kakek itu mempergunakan dua buah jari tangannya untuk melagukan irama tiupan serulingnya.

Nada-nada aneh yang mengalun itu menimbulkan segelombang kekuatan hebat yang mempengaruhi syaraf. Seketika mereka terpana oleh pengaruh suara itu hingga masing-masing menjublak bagai patung.

Detik-detik maut semakin dekat, karena tiupan suara seruling semakin melengking tinggi. Dan tampak beberapa orang perwira mulai terhuyung. Tampak darah kental berwarna hitam mengalir dari lubang hidung, telinga dan mulut mereka. Tak berapa lama empat perwira telah terjungkal roboh dengan nyawa melayang!

Keadaan Adipati Sawunggana pun dalam keadaan kritis. Laki-laki ini berusaha menekap kedua telinganya dengan tangan menggeletar. Keris pusakanya telah lepas dari genggaman tangannya. Adipati ini merasakan urat syarafnya bagai dibetot-betot dan sakit luar biasa. Dalam keadaan demikian dia tak dapat berfikir lagi. Agaknya tak lama lagi maut akan menjemputnya.

Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan. "Iblis tua! hentikan tiupan seruling mu!"

Whuuuk!

Sambaran angin keras tiba-tiba menerpa ke arah wajah si kakek. Plas! Suara seruling lenyap seketika. Dan disusul dengan suara berderak hancur. Ternyata sambaran angin itu telah membuat seruling di tangan Beo Aningkal terlepas. Benda itu menghantam batang pohon besar yang tak jauh berada dibelakangnya. Hingga membuat benda maut itu hancur beserpihan, dan melesak amblas ke batang pohon.

Bukan kepalang terkejutnya Beo Aningkal melihat si Dewa Linglung tahu-tahu telah muncul didepan mata. Belum hilang terkejutnya, mendadak sambaran dahsyat menghantam ke arah kakinya. Tersentak kaget kakek ini. Detik itu juga dia melesat menghindar. Tanah menyemburat meninggalkan lubang besar.

Di antara kepulan debu tampak berkelebat bayangan putih merambah udara. Teriakan kaget terdengar merobek udara dibarengi terlemparnya sesosok tubuh laksana dihempaskan dari langit ke bumi. Tampak tubuh si kakek terguling-guling beberapa kali ditanah. Dan baru terhenti setelah menabrak kemah hingga roboh membungkus tubuhnya.

Tampak kepala kakek itu terkulai diantara kain-kain kemah yang menggulung tubuhnya. Ada darah yang mengalir... dan tubuh itu tak bergerak lagi.

Terperangah seketika para perwira Kerajaan itu melihat sesosok tubuh melayang ringan dari udara dan jejakkan kaki ke tanah. Seorang pemuda berbaju putih kumal telah berdiri tegak ditempat itu dengan memondong tubuh seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Siapa adanya pemuda itu tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.

Bagai baru tersadar dari mimpi Adipati Sawunggana melompat ke arah pemuda itu. "Sobat pendekar Dewa Linglung! Oh, terima kasih atas bantuanmu..! Lagi-lagi kau menyelamatkan jiwaku. Sungguh kami tak menyangka masih bisa hidup. Seruling maut itu nyaris merenggut jiwa kami kalau kau tak datang tepat pada waktunya..!" berkata Adipati Sawunggana dengan membungkuk, menjura pada Nanjar.

Nanjar mengangguk. "Secara kebetulan aku tiba ditempat ini. Semua itu karena Tuhan masih menghendaki kita bertemu lagi, sobat Adipati!" sahut Nanjar seraya memberikan gadis dalam pondongannya pada laki-laki itu.

"Untunglah dia dalam keadaan pingsan. Kalau tidak, diapun akan menjadi korban ketelengasan manusia itu!"

Cepat-cepat Adipati Sawunggana menyambut Retno Sekar, puteri angkatnya. Sementara para perwira lainnya segera mendekati Nanjar. Masing-masing menjura pada pemuda ini dan mengucapkan terima kasih.

"Kalian tampaknya terluka dalam, juga kau sobat Adipati. Beristirahatlah kalian sambil mengobati luka dalam kalian. Dan yang terpenting adalah gadis ini. Kau harus menjaganya, sobat Adipati karena keselamatannya telah menjadi tanggung jawabmu..! Rawatlah dia. Biarlah aku yang akan menyelesaikan urusan dalam istana!"

Para perwira Kerajaan itu hampir serentak mengangguk. Adipati Sawunggana tak sempat berpesan lagi, karena kejap itu juga tubuh si Dewa Linglung telah berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Laki-laki ini menghela napas. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata bergumam pelahan.

"Pendekar muda..! Semoga Tuhan melindungi dirimu..."


Patih Panji Rana membelalakkan mata lebar-lebar melihat sesosok bayangan melompat dari atas menara diiringi suara tertawa gelak-gelak merobek ketegangan yang mencekam. Akan tetapi segera disusul dengan suara jeritan-jeritan menyayat hati.

Seorang pemuda berbaju kulit harimau tampak mengibaskan-ngibaskan lengannya kesana kemari. Desiran senjata-senjata rahasia menyambar ke arah belasan prajurit yang berjaga-jaga sejak tadi malam di sekitar pendopo Istana. Dalam waktu sekejapan saja belasan prajurit itu terjungkal roboh.

"Setan! kiranya dia bersembunyi di atas menara?" sentak Patih Panji Rana dengan wajah pucat. Kejap itu juga dia telah berkelebat melompat dari tempat berdirinya. "Manusia iblis! hentikan perbuatanmu!" membentak laki-laki tua berusia di atas lima puluh tahun ini.

"Haha... siapakah kau? Syukurlah kalau orang penting Kerajaan yang datang! Apakah kau Patih Panji Rana?" Guci Manik menatap tajam abdi Kerajaan itu. Agaknya dia sudah dapat menduga siapa orang itu.

"Benar! akulah Patih Panji Rana!" sahut abdi kerajaan ini dengan tersentak. Terasa tatapan mata pemuda itu bagaikan hunjaman pedang yang menembus ke dadanya.

"Bagus! bersiaplah untuk menjemput kematian. Karena aku segera akan mengirim nyawa busukmu ke liang Neraka!" berkata dingin Guci Manik.

"Heh! dendam apakah yang tersimpan di dalam dadamu, anak muda? Mengapa kau memusuhi orang-orang Kerajaan?"

Dalam terkejutnya Patih Panji Rana masih sempat untuk bertanya. Guci Manik tertawa gelak-gelak. Suara tertawa yang membuat hati Patih Panji Rana tergetar. Bahkan bulu tengkuknya meremang.

"Sebenarnya aku pantang menyebutkan namaku. Tapi biarlah aku memberitahukan siapa diriku, walau guruku melarangnya!" berkata pemuda ini sele-sai mengumbar tawa.

"Namaku GUCI MANIK! Aku datang dan muncul di Istana ini untuk membunuh seorang manusia yang bernama Panji Rana! Siapakah Panji Rana? Ha-ha.. dialah seorang Patih Kerajaan Purwacarita yang telah memfitnah ayahku yang bernama Beo Aningkal! Ayahku tewas karena menjalani hukuman mati atas perintah Prabu Citrasoma! Ternyata manusia bernama Panji Rana itu belum puas mengumbar hawa nafsu. Dia telah pula memperkosa ibuku! Akibat perbuatan terkutuk itu menyebabkan ibuku membunuh diri! Nah! Cukupkah penjelasanku? Kini setelah belasan tahun aku menuntut ilmu, hari inilah saatnya aku membalas dendam!"

Tersentak Patih Panji Rana mendengar kata-kata laki-laki muda berbaju kulit harimau itu. Dengan mata membelalak dia menatap pemuda itu tak berkesiap.

"Jadi kau... Guci Manik?" seru Patih Panji Rana terperangah. "Siapakah yang menceritakan peristiwa belasan tahun itu padamu, anak muda?" Suara Patih Panji Rana tergetar.

"Siapa lagi kalau bukan guruku yang telah menyelamatkan diriku dan mendidik ku selama ini. Aku tak mengetahui siapa nama guruku. Tapi dia menyebutkan gelar yang pernah disandangnya di dunia persilatan. Dia bergelar si Hantu Elang Hitam!" sahut Guci Manik.

"Hah!? Hantu Elang Hitam? Dia.. dialah yang sebenarnya bernama Beo Aningkal!" sentak Patih Panji Rana terkejut.

"Jangan ngaco! Beo Aningkal adalah nama ayahku yang telah tewas karena fitnah kejimu, Panji Rana!" bentak Guci Manik. "Hm, saat kematianmu sudah didepan mata, manusia busuk! Ternyata kau masih bisa memutar lidah! Pantas Sang Prabu Citrasoma percaya dengan kata-katamu, hingga tak segan-segan dia menjatuhkan hukuman mati pada ayahku! Haha-ha... hari ini hari yang terakhir kau hidup di dunia, patih busuk! Nah! terimalah kematianmu!" Kata-kata Guci Manik ditutup dengan pukulan ganas yang menghantam batok kepala laki-laki abdi Kerajaan itu.

Akan tetapi didetik itu tiba-tiba terdengar suara berteriak. "Tahan!"

Teriakan itu seperti amat berpengaruh pada Guci Manik yang serta merta mengalihkan pukulan mautnya ke udara.

Bhlarrr!

Ledakan keras terdengar merobek udara. Gema suara ledakan keras itu berpantulan ke seluruh ruan-gan Istana. Tahu-tahu di depan Guci Manik telah berdiri seorang laki-laki berpakaian keraton. Siapa adanya laki-laki ini tiada lain dari Prabu Citrasoma. Dari melihat pakaiannya saja Guci Manik telah dapat menerka siapa laki-laki itu.

"Heh! kau tentu Prabu Citrasoma, raja Kerajaan Purwacarita!"

"Benar, anak muda..!" sahut Prabu Citrasoma.

Suara laki-laki ini bergetar, sementara pandangan maqtanya menatap Guci Manik dari ujung rambut sampai ke mata kaki. Akhirnya kedua pasang mata mereka saling bentrok. Adanya pertalian darah di antara mereka membuat masing-masing merasakan adanya sesuatu yang menyentuh direlung hati masing-masing, Si pemuda bermata elang ini tertegun menatap. Bahkan dia merasa jantungnya berdetak keras.

"Anak muda! kalau kau benar bernama Guci Manik, aku pernah kehilangan seorang anak laki-laki pada belasan tahun yang silam. Dia bernama Guci Manik. Aku sendiri yang telah memberi nama anakku itu. Dia hilang diculik orang! Aku tak tahu siapa yang telah menculiknya. Tapi dugaanku adalah orang yang bernama Beo Aningkal! Dia bekas seorang Adipati yang ku pecat karena melakukan perbuatan yang memalukan dan menjatuhkan nama baik Kerajaan! Apakah kau mempunyai tanda hitam sebesar ibu jari di belakang punggung?"

Tersentak Guci Manik mendengar kata-kata Prabu Citrasoma. Entah kekuatan apa yang telah melunakkan hati pemuda ini hingga sorot matanya yang setajam mata pedang itu mendadak luruh. Bagai ada kekuatan aneh yang menggerak tangannya, Guci Manik membuka baju kulit harimau yang dikenakannya. Lalu balikan tubuh membelakangi Prabu Citrasoma.

Terpekiklah seketika sang Prabu Citrasoma melihat hitam yang benar ada dipunggung pemuda itu. "Guci Manik! kau... kau memiliki tanda hitam itu. Kalau begitu kau...kau adalah anakku! Kaulah anakku yang hilang diculik orang itu!"

Membelalak mata Guci Manik. Dia berdiri terpaku tak bergeming. Saat itu Patih Panji Rana telah berteriak girang, dan menyembah di hadapan pemuda itu.

"Gusti Raden Guci Manik. Benar! Kaulah putera mahkota Kerajaan Puwacarita!"

"Anakku..! Akulah ayahmu yang sebenarnya! Kaulah darah daging ku!" Prabu Citrasoma tak dapat membendung kegembiraannya. Dipeluknya Guci Ma-nik dengan kegembiraan meluap-luap. Entah kekuatan apa yang telah membuka mulut pemuda ini hingga terlontar kata-kata dari mulutnya.

"Ayah..! Oh, ayah...!" Guci Manik balas memeluk dan keduanya saling rangkul dengan erat seperti tak akan dilepaskan lagi.

Pada saat itulah muncul seorang perempuan tua kurus pucat. Tapi mengenakan pakaian keraton. Perempuan ini tak lain dari permaisuri sang Prabu Citrasoma.

"Guci Manik..!? benarkah kau Guci Manik?" berkata wanita ini dengan suara bergetar, sementara matanya menatap Guci Manik tak berkesiap.

"Anakku! Itulah ibumu! Ibumu yang telah melahirkan kau. Yang telah hampir habis air matanya menangisi dirimu, karena kehilangan anak laki-laki sangat dicintainya..!" berkata Prabu Citrasoma.

Sesaat Guci Manik menatap perempuan itu. Dan... terdengarlah pekikan pemuda ini seraya melompat memeluk wanita keraton itu. "Ibuuu...!"

"Anakku...!" Kedua ibu dan anak itu seketika saling berpelukan diiringi isak tangis kebahagiaan

Prabu Citrasoma menatap dengan air mata meleleh di pipinya. Laki-laki ini mendadak menengadah menatap ke langit. Dari bibirnya terlompat kata-kata dengan suara bergetar. "Dewata Yang Agung! Segala puji atasku yang telah mempertemukan kami kembali. Dan menyelamatkan Kerajaan Purwacarita dari kehancuran..!"

Entah sejak kapan sesosok tubuh telah berdiri di puncak menara Istana. Dialah si Dewa Linglung. Pendekar muda ini tersenyum. Lengannya menggaruk-garuk tengkuknya, menatap kejadian di bawahnya.

"Syukurlah tak terjadi pertumpahan darah..!" gumam Nanjar. Dari puncak menara dia melihat rombongan pasukan berkuda mendatangi ke arah Istana. Orang paling depan yang menunggang kuda adalah Adipati Sawunggana. Sedangkan disebelahnya yang menunggang kuda putih tak lain dari Retno Sekar adanya. Di bagian belakang adalah para perwira kerajaan yang mengiringi mereka berdua.

Di saat keharuan dan kegembiraan tengah berlangsung di Istana, si Dewa Linglung berkelebat lenyap dari puncak menara. Tak seorangpun mengetahui kalau si Pendekar Naga Merah yang turut ambil bagian dalam menumpas kejahatan manusia pengacau, telah meninggalkan tempat itu.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.