Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 01 Karya Stevanus S P

LELAKI muda itu semakin cepat menderapkkan kudanya, desa kediaman kekasih hati sudah melambai memanggilnya. Puncak-puncak pegunungan gersang kemerah-merahan yang berderet disebelah kiri jalannya, seolah mengalir kebelakang dengan cepatnya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Semangat si penunggang kuda itu makin segar ketika di kejauhan sudah nampak deretan rumah rumah dari sebuah desa, biarpun masih kelihatan kecil-kecil seperti deretan kotak-kotak korek api. Di desa itu kekasihnya menunggu.

Desa itu semakin memanggilnya, mena warkan kedamaian selagi suasana perang menyesakkan napas di mana-mana, Helian Kong, penunggang kuda itu, benar-benar berharap suasana perang belum dan jangan pernah menodai desa di depannya itu. Ia seperti musafir di gurun yang bosan melihat pasir terus, dan suatu ketika juga merindukan genangan air yang biru menyegarkan sebelum melanjutkan langkah.

Kudanya di lecutnya agar lari lebih keras. Jarak dengan desa itu terus diperpendek. Sekali-kali sempat ia melambaikan tangan kepada peladang-peladang di pinggir jalan yang agaknya belum lupa kepada Helian Kong, meskipun sudah lima tahun anak muda itu meninggalkan desa untuk bertugas dalam Tentara Kerajaan.

Wajah peladang-peladang itu nampak cerah, bukan wajah-wajah yang dihantui perang. Mereka bekerja sambil tertawa dan bersenandung, biarpun tanah di bawah kaki mereka cukup gersang dan tergolong pelit dalam menpersembahkan hasil buminya.

Toh mereka mengolah tanah dengan sungguh-sungguh. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi mereka kecuali tidak diganggu dalam mengolah tanah mereka sendiri, tanpa campur tangan orang lain biarpun orang itu berkedok "memperjuangkan nasib" mereka yang "terbelakang" kata mereka.

"Bersyukurlah kalian Helian Kong berkata dalam hati. "Karena desa kalian terpencil dan kurang subur, malah bebas dari bencana perang. Bebas dari incaran pihak-pihak yang berperang, baik Tentara Kerajaan maupun pengikut-pengikut si pemberontak Li Cu-seng, kaum Pelangi Kuning.

Memang, pihak mana mau membuang tenaga hanya untuk memperebutkan desa yang subur ya tidak, strategis ya tidak? Desa itu tidak terdapat dalam peta perang jenderal-jenderal kedua belah pihak. Karena itulah malah selamat dari bencana perang yang berkecamuk hampir di seluruh belahan utara wilayah kekaisaran.

Bermula dari wilayah barat laut ketika Li Cu-seng menghimpun pengikut untuk angkat senjata menantang pemerintah pusat. Penberontakan petani yang mulanya dianggap enteng oleh pemerintah pusat, ternyata kemudian meluas demikian cepat sehingga pemerintah pusat mulai bersungguh-sungguh menanganinya, biarpun agak terlambat. Dikatakan terlambat, sebab kaum pemberontak sudah terlanjur menguasai satu wilayah yang cukup luas di barat-laut.

Helian Kong termasuk orang asali wilayah barat laut pula. Ia lahir di kota Leng-ciu di propinsi Kam-siok, kota yang bersejarah sebab berabad-abad sebelumnya pernah menjadi ibukota sebuah negeri merdeka, Kerajaan Se-he. Ketika Helian Kong umur limabelas tahun, laskar penberontak berhasil merebut kota itu dan membakar rumahnya, sebab ayah Helian Kong adalah seorang pegawai Kerajaan Beng, biarpun pegawai rendahan, sehingga dianggap musuh oleh laskar pemberontak.

Seluruh keluarganya lalu mengungsi masuk propinsi Ho- pak yang masih aman, masih dikuasai pe merintah pusat, dan di desa itulah mereka mendapat rumah baru. Karena pengalaman masa kecil itulah maka Helian Kong mendapat kesan kuat bahwa. kaum pemberontak adalah orang-orang jahat yang harus dibasmi.

Maka dalam usia 20 tahun Helian Kong masuk tentara kerajaan. Karena ketangkasan dan keberaniannya, maka kini dalam usia duapuluh lima tahun ia sudah berpangkat Hu-ciang dan dipercaya sebagai Ban-hu-thio (komandan 10.000 prajurit) di Pak-khia; ibu kota negara. Sering mendapat tugas di garis depan untuk menghadapi pemberontak.

Gapura desa kini sudah di depan mata. Helian Kong melambatkan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang ke luar masuk gerbang desa itu dengan wajah damai, wajah yang tidak tahu kalau di bagian lain dari negerinya ada sesama manusia saling bantai secara massal. Helian Kong melompat turun dari kudanya dan menuntunnya.

Ia benar-benar bersyukur melihat kedamaian desa itu. Gapuranya bersih dan terawat, orang-orang berjalan dengan santai tanpa tergesa-gesa seperti orang-orang kota. Kalau di tempat lain orang digelisahkan perang, maka di tempat ini justeru waktu seolah-olah berhenti. Tak ada yang tergopoh-gopoh, tak ada orang berlarian panik, seolah desa ini terletak di dunia lain. Tidak sama dengan dunia di mana manusia berebut "kebenaran" tapi kebenarannya sendiri-sendiri.

Helian Kong bertegur sapa dengan ramah dengan beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, sambil meneruskan langkahnya. Runah-rumah di kiri kanan desa itu sederhana namun utuh. Bukan ambruk atau setengah ambruk dengan tembok hangus menghitam seperti di tempat lain. Perang benar-benar belum menyentuh kehidupan desa ini.

Rasa kangen Helian Kong kepada Tan Wa-wan kekasihnya menghebat, ia tidak langsung ke ramahnya sendiri, sebab sudah tidak ada anggauta keluarganya yang tinggal di rumah itu sejak orang tuanya meninggal. Ia menuntun ku danya langsung saja, ke rumah Tan Wan-wan....

Dan ia tercengang melihat rumah i tu sudah jauh lebih bagus dari lima tahun yang lalu, ketika ditinggalkannya ke Pak-khia untuk masuk Tentara Kerajaan. Tembok sekeliling rumah sudah ditinggikan. Pintu yang dulu selalu terbuka lebar, siap menerima tamu-tamu de ngan ramah, kini tertutup rapat biarpun siang hari bolong.

Helian Kong mengikatkan kuda pada sebuah pohon di pinggir jalan lalu mengetuk pintu. Mula-mula memang ada mengetuk, tapi karena tidak juga ada yang membuka pintu, akhirnya ia jadi menggedor daun pintu tebal bercat merah itu. Beberapa saat suasana tetap sunyi. Helian Kong mulai heran, kenapa begini sepi? Apakah orang sekeluarga sedang pergi semua? Ia lalu memukul pintu lebih keras.

Tiba-tiba di balik dinding itu terdengar derap langkah beberapa orang, lalu sunyi. "Siapa?!" dari balik pintu terdengar pertanyaan yang keras dan kasar, suara lelaki. Suara yang asing bagi He lian Kong.

Toh ia menyahut juga, "Aku Helian Kong ...."

"Helian Kong siapa? Apa keperluan mu?" suara dari dalam malahan semakin kasar setelah mendengar nama Helian Kong, dan pintu belum terbuka sedikitpun juga.

Helian Kong makin heran. Kalau penanya dibalik pintu itu adalah orang lama keluarga itu, tentunya mengenal namanya. Namun orang itu masih bertanya juga. Apakah rumah ini sudah ganti penghuni? "Aku Helian Kong sahabat tuan muda kalian, Ting Hoan-wi!"

Nama yang disebutkan itu adalah kakak misan Tan Wan-wan, yang sejak kecil sudah yatim piatu dan ikut orang tua Tan Wan-wan. Ting liban-wi bukan cuma sahabat Helian Kong, tapi juga saudara seperguruannya, sama-sama murid Tiat-eng-cu (Si Elang Eesi) Nyo liong dari Teng-hong.

Maka pintu itupun berderit dan terbuka, tapi cuma sejengkal, menandakan belum lenyapnya kecurigaan. Muncul seraut wajah lelaki yang keras, garang dan asing. Biarpun sebelah tangannya masih disembunyikan di balik pintu, namun Helian Kong tahu tangan yang tersembunyi itu memegang senjata. Bahkan dari celah-celah pintu juga terlihat beberapa lelaki bersenjata bertebaran waspada di halaman dalam.

Kalau ini dianggap sikap hati-hati, maka inilah sikap hati-hati yang berlebihan. Di desa yang aman-tenteram ini, masa seorang tamu disambut dengan cara ini? Kerinduan terhadap kekasih tiba-tiba dihempas kecemasan yang menghebat dalam diri Helian Kong. Tak seorangpun dari orang-orang itu pernah dikenalnya dan entah kenapa mereka ada di rumah itu dengan membawa senjata?

Ia melangkah maju untuk mendorong pintu yang terbuka sedikit itu. Lelaki yang di belakang pintu mencoba menahannya, balikan dibantu beberapa temannya. Tapi tenaga gabungan mereka tetap tak bisa menandingi tenaga Helian Kong. Penahan-penahan pintu itu berpelantingan roboh ke belakang dan daun pintupun terbuka lebar.

Kini Helian Kong melihat jelas di halaman itu ada limabelas orang lelaki bersenjata. Semuanya menatap penuh kecurigaan kepada Helian Kong, senjata-senjata mereka sudah disiapkan untuk menyerang. Bahkan dari halaman samping bermunculan beberapa orang lagi, lagak mereka benar-benar seperti menemui musuh besar.

Memang Helian Kong tahu keluarga Tan punya beberapa bujang pembantu, sebuah keluarga yang agak terpandang, namun bujang-bujang itupun semuanya mengenal Helian Kong. Kini dari mana datangnya lelaki-lelaki bertampang gali ini?

”Apakah keluarga Tan masih berdiam di sini?" tanya Helian Kong.

"Rumah ini didiami keponakannya, Ting Ibako (kakak Ting)", jawab lelaki yang menjenguk keluar tadi. Ia baru saja bangun dari jatuhnya dan tangannya sudah menggenggam tangkai golok erat-erat.

"Ting Boan-wi maksudmu."

"Ya."

"Aku ingin menemuinya."

Lelaki-lelaki itu saling berpandangan, seolah mencari persetujuan tanpa kata. Lalu lelaki yang menjenguk ke luar tadi berkata, "Baik, akan kupanggilkan Ting Ibako. Tetaplah di situ dan jangan kemana-mana.”

Benar-benar bukan sambutan yang ramah, sama sekali di luar dugaan, membuat perasaan Helian Kong jadi tidak enak. Tapi mudah-mudahan sikap itu tidak mewakili sikap keluarga itu. Sementara menunggu keluarnya Ting Hoan-wi, Helian Kong menyapukan pandangannya untuk memperhatikan keadaan rumah itu.

Alangkah banyak perubahannya, meski bentuk aslinya masih meninggalkan jejak. Rumah itu sekarang nampak mewah, sehingga Helian Kong malah merasa agak asing. Seandainya ia tidak benar-benar hapal letak rumah kekasihnya di kampung itu tentu ia mengira dirinya sudah tersesat masuk rumah orang tak dikenal.

Tidak lama kemudian, dari dalam rumah muncul dua orang beriringan. Yang satu ialah si "ganjal pintu" tadi. Sedang yang satu lagi membuat Helian Kong bimbang, benarkah yang dilihatnya itu Ting Hoan-wi atau bukan?

Maklum, dulu Ting Hoan-wi berdandan ringkas, sederhana, dandanan kaum petani pedesaan pada umumnya. Bahkan tidak jarang bertelanjang dada kalau sedang bekerja di ladang atau di kandang ternak. Tapi yang muncul kini adalah seorang bertubuh agak gemuk dan berkumis, berdandan perlente dengan jubah satin biru laut, tangan kanannya memegang pipa tembakau dari gading.

"A-kong!" panggilan itulah yang membuat Helian Kong merasa pasti bahwa yang dihadapinya itu benar-benar Ting Hoan-wi. "Kenapa tidak kirim kabar dulu bahwa engkau akan kemari?"

Helian Kong melangkah menyongsong sambil tersenyum, "Memang aku sebenarnya tidak ada rencana kemari. Wah, kulihat kau tambah makmur ya?"

Kedua saudara seperguruan itu saling menyongsong sambil mengembangkan tangan, lalu berpelukan. Kemudian Helian Kong mundur selangkah untuk mengamati-amati pakaian bagus sobatnya itu. "Kau seperti jutawan muda. Kerja apa sekarang, A-hoan?"

Inilah pertanyaan yang membuat Ting Hoan-wi gelagapan sejenak dan membuang muka untuk menghindari tatapan tajam Helian Kong. Jawabannya agak terbata, “Yaa.... sedikit-sedikit aku belajar dagang, dengan modal tinggalan paman..."

Untung saja pikiran Helian Kong sedang dipenuhi soal Tan Wan-Wan, sehingga sikap Ting Hoan-wi yang agak ganjil itu lolos dari perhatiannya. Sementara itu, Ting Hoan-wi lalu menghadap ke arah orang-orang bersenjata itu sambil merangkul Helian Kong, katanya,

"Saudara-saudara kuperkenalkan inilah saudara seperguruanku yang ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari diriku yang tidak becus ini. Dia juga seorang perwira dalam Tentara Kerajaan."

Sambil berkata demikian, Ting Hoan-wi mundur sedikit dan dari belakang Helian Kong dia memberi isyarat kedipan mata kepada orang-orang bersenjata itu. Sebagian dari mereka agak kebingungan menafsirkan isyarat itu, disuruh membacok atau bagaimana?

Untung ada di antara mereka yang lumayan cerdas se hingga cepat mengerti maunya Ting Hoan wi. Mereka lalu menyarungkan senjata dan memberi hormat kepada Helian Kong Si "ganjal pintu" tadi berkata dengan sopan mewakili teman-temannya, "Ah, kiranya kami berhadapan dengan Helian Taijin yang sudah lama kami dengar nama besarnya dan kegagahannya. Maafkan kekasaran sikap kami tadi."

Di belakang punggung Helian Kong Ting Hoan-wi mengangguk puas. Lalu ia menepuk pundak Helian Kong sambil mengajak dengan ramah, "A-kong, ayo kita duduk-duduk di dalam."

Dan kepada orang-orangnya, Ting Hoan-wi berpesan serius, 'Tetaplah berjaga dengan waspada."

"Baik, Toako!" sahut orang-orang itu serempak.

Diam-diam Helian Kong merasa hubungan antara Ting Hoan-wi dan orang-orangnya itu agak janggal, tidak lazim. Kalau mereka anak buah atau pelayan di rumah itu, tentu akan memanggil "Cu-jin" (majikan) atau "Toaya" (tuan besar) atau .sejenisnya. Panggilan "Toa-ko" (kakak) itu mengingatkan Helian Kong akan panggilan dalam organisasi-organisasi sindikat bawah tanah.

Dalam kelompok macam itu memang sering digunakan panggilan bernada "kekeluargaan" untuk menjaga kekompakan, kompak dalam melakukan kejahatan. Berbeda dengan sebutan-sebutan resmi sesuai dengan kedudukan masing-masing yang biasa dalam organisasi terbuka.

Namun Helian Kong tidak berkata apa-apa. Ia ikuti saja Ting Hoan-wi berjalan masuk. Ia masih agak kikuk untuk langsung menanyakan Tan Wan-wan, sementara Ting Hoan-wi yang terus menyerocos di sampingnya itu tidak sepatah ka tapun menyebut-nyebut tentang Tan Wan-wan.

Setelah melewati ruang depan yang memang mirip aula markas sindikat dengan senjata-senjata dalam rak berjajar sepanjang tembok, lalu mereka berbelok dan masuk ke ruang tengah. Dan di ruangan tengah inilah Helian Kong berhenti karena tertegun kaget.

Di tengah-tengah tembok dan merapat tembok, ada meja sembahyang yang komplit. Yang membuat Helian Kong tertegun adalah nama-nama yang tertulis di atas sepasang papan arwah yang di sembahyangi di situ Itulah nama ayah dan ibu Tan Wan-wan. Jadi suami isteri yang ramah dan dikenal baik oleh Helian Kong itu ternyata "sudah pindah" ke lewat jauh tempatnya.

Helian Kong terharu. Namun ia juga mengerutkan kening melihat biarpun meja sembahyang itu cukup mewah, sesajiannya komplit, lilin-lilinnya menyala, namun di tempat menancapkan hio tidak ada bekas-bekasnya kalau sering disembahyangi mungkinkah Ting Hoan-wi tidak pernah menyembahyangi paman dan bibinya yang telah merawatnya sejak kecil? Helian Kong masih ingat betapa baiknya suami isteri almarhum itu kepada Ting Hoan-wi yang yatim piatu itu, seperti kepada anaknya sendiri.

Karena Helian Kong berhenti melangkah, Ting Hoan-wi juga berhenti. Ketika tahu Helian Kong sedang menatap meja sembahyang itu, cepat-cepat Ting Hoan-wi menarik napas untuk mendemonstrasikan suatu kesedihan, sebelum ditanya sudah menjelaskan dulu, "Paman wafat tiga tahun yang lalu karena kesehatannya yang memburuk, bibi menyusul setahun kemudian. Ah, betapa aku merasa amat kehilangan mereka, karena aku sudah ditinggal kedua orang tuaku keti ka umur dua tahun. Paman dan bibi adalah pengganti-pengganti kedua orang tuaku."

Sejenak Helian Kong lupa kepada Tan Wan- wan. Katanya, "A-hoan, kalau ada hio. aku ingin sembahyang."

"Hio? Tentu saja selalu tersedia," sahut Ting Hoan-wi tanpa pikir panjang, namun kemudian terperangah dan tersipu sendiri sebab di meja itu tidak ada hio. Ia kelabakan. Di meja tidak ada hio, di seluruh ruangan itu juga tidak ada, dan Ting Hoan-wi pura-pura sibuk mencari-cari, "Lho, kok habis? Wah, benar-benar aku lupa. Ketika tadi pagi aku bersembahyang, rupanya itulah batang-batang hio yang terakhir. Biar kusuruh orangku beli di warung sebentar."

Bergegas ia kebelakang untuk menyuruh seorang pembantunya, lalu kembali ke ruangan tengah untuk menemui He-lian Kong. "A-kong, sementara menunggu hio i tu, mari minum teh dulu di ruangan belakang."

Terpaksa Helian Kong cuma memberi hormat kepada sepasang papan arwah itu tanpa hio, dengan membungkuk dalam-dalam tiga kali. Dengan agak canggung Ting Hoan-wi menempatkan diri di samping meja, membalas tiap penghormatan yang sama, menjalankan kedudukannya sebagai hau-lam (anak lelaki yang berkabung).

Setelah itu barulah mereka ke serambi belakang untuk duduk-duduk menghadap kebun bunga yang ada kolam ikannya. Seorang pembantu perempuan mengantarkan teh. Dan sampai dua cangkir teh habis dihirup oleh Helian Kong, Tan Wan-wan yang dirindukannya belum nampak batang hidungnva. Ting Hoan-wi memang bicara terlalu banyak, tapi tak sepatah katapun menyebut tentang Tan Wan-wan.

”A-kong, sebagai seorang perwira dijaman perang ini, kenapa sempat juga kau tinggalkan pasukanmu untuk datang ke mari?"

"Aku minta cuti sebentar dari panglima atasanku, minta ijin pergi ke Teng-hong karena mendengar kabar kalau suhu (guru) jatuh sakit. Dalam perjalanan kembali dari Teng-hong ke Pak-khia itulah aku sengaja mampir ke mari untuk menjenguk Wan..."

Cepat-cepat Ting Hoan-wi menghadang dengan pertanyaan lain yang mengarah ke jurusan lain, "Oh, bagaimana keadaan Suhu sekarang?"

"Suhu sudah wafat."

"Oh...." kembali Ting Hoan-wi berusaha kelihatan sedih.

Sedangkan Helian Kong bertanya, "A-hoan, apakah berita tentang sakitnya. Suhu tidak sanpai kepadamu? Kudengar dari salah seorang murid bahwa kau juga sudah diberi kabar, kenapa tidak datang? Suhu tidak menikah sampai akhir hayatnya, dan sebagai gantinya dia menganggap kita berdua sebagai anak-anaknya sendiri. Sampai menjelang ajalnyapun dia masih mengharap untuk bertemu kau terakhir kalinya, tapi dia kecewa karena kau tidak datang."

Ting Hoan-wi tidak berani menentang sorot mata Helian Kong yang seolah menegur itu. Jawabnya sambil menarik napas, "Yah, akupun begitu menyesal tidak dapat menunggui Suhu di saat saat terakhirnya. Tapi yah.... bagaimana, ya? Aku benar-benar amat sibuk belakangan ini usahaku maju pesat dan menuntut sepenuh perhatianku. Urusan penting antri di depanku tak habis-habisnya. Hari Geng-beng tahun depan aku berjanji akan mendatangi makam Suhu di Teng-hong untuk membakar dupa"

Helian Kong tidak menjawab. Ia cuma merasa bahwa Ting Hoan-wi sekarang benar-benar berbeda dengan Ting Hoan-wi yang dulu. Mungkinkah hidupnya yang makmur itu mempengaruhi juga kepribadiannya? Alangkah besar budi gurunya yang telah memberikan ilmunya dengan tekun, tapi untuk menjenguk di saat gurunya menjelang ajalpun ternyata Ting Hoan-wi tidak sempat. Biarpun sudah di beri kabar.

Maka nasib Tan Wan-wan jadi menggelisahkan Helian Kong. Tak sabar lagi, Helian Kong menyingkirkan rasa sungkannya dan menanyakan perihal gadis itu, "A-hoan, di-mana Wan-wan? Kenapa sejak tadi dia belum kulihat?"

Rupanya jauh sebelum hal itu ditanyakan, Ting Hoan-wi sudah siap akan jawabannya Namun ketika menjawab toh harus dengan jidat agak berkeringat dan gugup, "Aku.... aku mintakan maaf buat adik sepupuku itu, A-kong. Terus terang saja.... dia sudah.... ya sudah..."

Keruan saja Helian Kong jadi ikut-ikutan berkeringat dingin melihat sikap Ting Uoan-wi itu. Ia membayangkan jangan-jangan di meja sembahyang tadi masih ada satu papan arwah yang kelupaan ditaruh di situ?

"Dia kenapa.?" tak terasa Helian Kong mencengkeram pegangan kursinya kuat-kuat.

"Dua tahun yang lalu, setelah ibunya meninggal dunia, Wan-wan lalu..."

Cengkeraman Helian Kong pada pegangan kursi tambah kuat, sampai jari-jarinya memutih. Ting Hoan-wi juga tegang karena kuatir kalau Helian Kong marah mendengar kabar tentang Tan Wan-wan. Tapi sudah setengah jalan, terpaksa ia maju terus,

“Setelah bibiku meninggal, tiba-tiba kami dengar kabar bahwa Tentara Kerajaan mengalami kekalahan hebat di wilayah barat laut, sehingga harus mundur ratusan li dengan membawa kerusakan hebat."

"Kabar itu terlalu di besar-besarkan oleh pihak pemberontak," geram He-lian Kong. "Sekarang ini, Jenderal Sun Toan-teng telah mendirikan markas komando di Tong-koan. Berandal-berandal pemberontak itu jangan harap bisa melewati garis pertahanan Jenderal Sun, bahkan Jenderal Sun yang akan maju pada kesempatan yang tepat untuk memotong leher Li Cu-seng!"

Rupanya emosi Helian Kong bangkit, karena diapun ikut dalam pertempuran dahsyat itu dua tahun yang lalu. Tapi saat itu yang nomor satu ingin di ketahuinya ialah nasib Tan Wan-wan, ke kasihnya.

Ting Hoan-wi sejenak melirik wajah Helian Kong, lalu melanjutkan ceritanya yang tadi, "Aku tidak tahu bagaimana yang sebenarnya, cuma dengar-dengar saja. Yang jelas berita itu mencemaskan Wan-wan, eh, bukan cuma Wan-wan tetapi seluruh keluarga, aku juga. Aku mengupah seorang untuk mencari kabar tentang dirimu, menyelidiki daerah pertempuran itu. Orang itu kembali dengan kabar yang menambah kecemasan kami, yah.... tapi ini kata orang itu lho,... katanya Tentara Kerajaan Beng mundur ratusan li dalam keadaan parah, delapan dari sepuluh perajuritnya terbunuh.”

"Orang itu tidak dapat menilai keadaan yang sebenarnya." lagi-lagi Helian Kong menjadi panas hatinya. "Tentara kerajaan memang mundur, tapi mundur teratur dalam posisi bertahan yang kuat. Untuk menyusun kekuatan guna menyiapkan serangan balik yang dahsyat."

"Kabar itu membuat Wan-wan tidak berani mengharap dirimu lagi, takut kecewa. Ia yakin kau gugur, sebab ia tahu watakmu yang keras. Dalam pertempuran itu tentu kau tidak di garis belakang saja melainkan maju paling depan. Gagal mendapat berita tentang dirimu, Wan-wan lalu dengan sedih mendapat kesimpulan bahwa kau sudah gugur."

"Terus?"

"Setahun setelah itu, hati Wan-wan agak terobati sebab ia berkenalan dengan seorang pemuda dari Soh-ciu. Kemudian dia menikah dengan pemuda itu lalu diboyong ke Soh-ciu. Yah, begitulah."

Wajah Helian Kong memucat, tatapan matanya memudar hampir-hampir kosong. Dengan lesu diletakkannya punggungnya. ke sandaran kursi. Hatinya ditikam kekecewaan yang dahsyat. Kekasihnya telah menjadi milik orang lain. Beberapa saat lamanya ruangan itu dicengkam kesunyian.

Helian Kong duduk mematung tanpa kata. Ting Hoan-wi juga membisu namun dengan jantung berdebar-debar tegang. Akankah Helian Kong mempercayai ceritanya? Mudah-mudahan begitu. Dan kini ia menanti reaksinya. Tapi karena sekian lama Helian Kong membisu terus, tidak tahan lagi ia berkata, "Seandainya Wan-wan tahu kau masih hidup, tentu..."

Helian Kong cepat-cepat menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar Ting Hoan-wi menghentikan kata-katanya. Suaranya gemetar dan lemah, "Aku tidak menyalahkan kau ataupun wan-wan sebab kalian sudah melakukan apa yang kalian bisa. Aku paham Aku tidak berhak menyuruh Wan-wan menghabiskan waktu hanya untuk menunggu seorang yang tak tentu mati hidupnya di medan perang, seperti aku ini. Diapun berhak merencanakan masa depannya sendiri. Aku tidak menyalahkan dia."

"A-kong."

"Aku tidak menyalahkan dia... aku tidak menyalahkan dia."

Dan suatu peristiwa amat langka kini dilihat Ting Hoan-wi. Sahabatnya yang berjiwa tegar itu kini mengalirkan air mata. Namun Ting Hoan-wi boleh merasa lega bahwa Helian Kong kelihatan menpercayai ceritanya, sebab celakalah dirinya kalau sampai tidak percaya.

"A-kong, istirahatlah beberapa hari di sini. Aku tahu betapa besar pengabdianmu kepada negara, tapi tenangkan dulu jiwamu yang goncang di tenpat yang tenang ini, yang jauh dari bising nya peperangan. Bijaksana kalau untuk sementara waktu kau mengambil jarak dengan kesibukamu sehari-hari..."

Helian Kong mengangguk-angguk dan menggunakan ujung telunjuknya untuk mengusap air matanya. Air matanya begitu sedikit sehingga bersih cukup dengan satu usapan. Ketika itulah pembantu Ting Hoan-wi yang tadi disuruh membeli hio, telah datang kembali dari warung.

Helian Kong pun kemudian melaksanakan maksudnya yang semula untuk bersembahyang di depan meja abu sepasang "calon mertua" yang ternyata batal jadi mertua itu. Namun hal itu tidak mengurangi rasa khidmadnya dalam bersembahyang. Suami isteri yang sudah almarhum itu meninggalkan kebaikan yang cukup besar kepada dirinya.


Siang itu Helian Kong tidur di sebuah kamar yang mewah, bahkan kuda Helian Kong juga ikut dimanjakan dengan dikandangkan, diberi makanan, dimandikan, disikat bulunya. Tubuh Heliar. Kong seolah terbuat dari besi, bukan karena tergembleng di perguruan silat saja, tapi juga di medan-medan pertempuran yang belasan kali dialami.

Jiwanya juga bukan jiwa yang rapuh dan cengeng. Namun ia masih manusia dan belum jadi malaikat, maka berita tentang Tan Wan-wan itu cukup menggoncangkan jiwanya. Ia merasa lelah, ia butuh istirahat bukan buat tubuhnya namun jiwanya. Ia tidur pulas sampai sore dan ketika ia bangun maka pembantu-pembantu Ting Hoan-wi sudah mulai menyalakan lilin-lilin dan lampion-lampion di seluruh sudut rumah besar itu.

Salah seorang pembantu Ting Hoan-wi membangunkannya, bahkan siap membawakan air hangat yang dituangkan ke sebuah tong besar yang digotong ke dalam kamar Helian Kong. Bahkan ada seorang wanita muda berbaju lengan pendek yang siap membantunya mandi, misalnya menggosokkan punggung.

Pelayanan yang tersedia itu terasa kelewat mewah bagi Helian Kong, prajurit medan yang sering harus mandi di tempat-tempat kurang bersih, atau bahkan tidak mandi selama berhari-hari. Maka Helian Kong pikir, boleh juga sekali-sekali dirinya menikmati pelayanan seperti seorang pangeran.

Selama menikmati kemewahan itu, tak terasa ia berpikir, "Tak kusangka dalam lima tahun ini gaya hidup A-hoan sudah berubah begini banyak. Usahanya pasti menghasilkan untung besar, sehingga sanggup membiayai gaya hidup macam ini."

Selesai mandi, Helian Kong hendak disuruh memakai jubah sutera yang di dalam rumah itu disebut "pakaian sore". Tetapi Helian Kong membawa bekal pakaian sendiri, maka ia tetap lebih suka memakai pakaian kain katunnya yang t.ebal dan kuat, berpotongan ringkas.

"Di mana tuan muda kalian?" tanyanya kepada pelayan-pelayan yang sedang menyingkirkan tong air besar dari kamarnya.

"Cu-jin sedang di ruangan depan, sedang ada beberapa tamu."

Orang-orang ini benar-benar pembantu rumah tangga, karena itu mereka memanggil Ting Hoan-wi dengan sebuta "Cu-jin", bukan 'Toako".' Karena Helian Kong tidak ingin mengganggu Ting Hoan-wi yang barangkali sedang bicara urusan dagang dengan tamunya, maka ia menuju ke kebun bunga di belakang, menghirup udara sore yang segar.

Dulu ia sering juga berada di tempat itu bersama Tan Wan-wan. Belum jadi menantu tapi oleh orang seisi rumah sudah dianggap keluarganya sendiri. Namun kini tempat itu sudah berubah banyak. Kandang kerbau sudah lenyap, seluruh halaman itu sudah disulap menjadi taman indah yang lazimnya terdapat di rumah orang-orang kaya. Ada kolam ikan, ada pagoda-pagoda kecil, bangku batu, jalan setapak berlapis batu putih, jembatan kecil di atas kolam, gunung-gunungan, rumpun bambu cebol.

Tempat itu seolah memang diubah, sengaja untuk memutuskan hubungan ke masa lalu yang pahit. Tapi itu tak banyak menolong Helian Kong. Pemuda itu masih saja terkenang Tan Wan-Wan. Di tempat itu ia pernah bersama gadis itu berbincang-bincang banyak, bercanda, bertengkar, sama-sama berangan-angan membayangkan masa depan yang mereka bayangkan lebih indah dari kenyataan.. Dulu. Kini Tan Wan-wan pasti sedang berada di sebuah taman yang jauh lebih indah, di rumah suaminya yang kaya raya di Soh-ciu.

Helian Kong menarik napas. "Bukan kesalahannya...." keluh Helian Kong sendirian.

Goresan-goresan warna jingga di dinding langit barat membuat Helian Kong merasa makin sepi. Tiba-tiba ia merasa hiruk-pikuknva pertempuran masih belum menguasai jiwanya lebih pedih dari kesepian itu. Ia memutar tubuh, membelakangi sisa sisa warna senja itu, menghadapkan wajahnya ke arah tenggara, ke arah kota Soh-ciu yang berjarak ratusan kilometer. Gumamnya, "Kuharap kau temukan kebahagiaan lebih besar di sana, itu sudah cukup bagiku."

Angin lembut mengusapnya, seolah menghiburnya. Angin itu agak berbau asin. Tiba-tiba Helian Kong menjadi heran. Di tempat yang jauh dari laut ini kenapa terasa bau garam? Ia lalu menyapukan pandangannya, sampai dilihatnya di sudut taman itu ada sebuah bangunan kayu yang mirip kotak raksasa ditaruh begitu saja, rapat, tanpa jendela. Bangunan itu memang tidak jelek, namun jelas diletakkan di situ tanpa maksud memperindah taman.

Tak terasa Helian Kong melangkah mendekati bangunan kayu itu. Dan angin yang asin makin tajam menerpa hidungnya. Hubungan Helian Kong dengan keluarga Tan Wan-wan memang cukup akrab, sudah biasa Helian Kong berkeliaran di rumah itu. Maka Helian Kong lalu mendekati bangunan kayu itu dan mendorong pintunya sehingga terbuka.

Suasana dalamnya remang-remang tanpa lampu. Lantai bangunan itu juga dari papan yang disusun lebih tinggi dua jengkal dari tanah. Dan di dalam ruangan itu ada keranjang-keranjang rotan dan karung bertumpuk-tumpuk yang penuh dengan garam, memenuhi sebagian besar ruangan itu.

Garam. Saat itu seluruh propinsi Ho-pak dan Shoa-tang sedang menjerit kekurangan garam. Pengiriman garam dari pesisir mengalami hambatan oleh orang-orangnya pemberontak yang menyusup. Itulah salah satu usaha kaum pemberontak untuk menggelisahkan penduduk agar pemerintah kerajaan segera roboh.

Karena garam memang merupakan bahan yang penting, maka akibatnya segera di rasakan rakyat. Kalaupun ada garam yang berhasil lolos dari blokade, harganya naik setinggi langit. Akhirnya hanya di dapur orang-orang banyak duit saja yang bisa mendapatkan garam.

Helian Kong tahu hal itu. Nanun kini dilihatnya garam tertimbun sebanyak itu. Pantas kalau gaya hidup Ting Hoan-wi yang dulunya bersahaja, kini tiba-tiba begitu mewah. Timbul dugaan Helian Kong, apakah Ting Hoan-wi sudah menjadi kaki tangan Li Cu-seng? Ataukah menimbun garam sebanyak itu sekedar untuk memanfaatkan situasi sulit demi keuntungan diri sendiri sebesar-besarnya?

Bagi Helian Kong, dugaan pertama maupun kedua sama sama tidak menyenangkan. Tapi semuanya baru dugaan, harus ditanyakan sendiri kepada Ting Hoan-wi kalau mau lebih jelas. Bukannya Helian Kong mau ikut campur atau mengatur orang lain, namun diapun punya prinsip yang tegas untuk menentukan siapa yang boleh jadi temannya dan siapa yang tidak.

Kebetulan waktu itu terlihat Ting Hoan-wi sedang melangkah menyeberangi taman. Melihat Helian Kong muncul dari arah pondok kayu itu, Ting Hoan-wi terkejut. Tapi lalu cepat-cepat tertawa sambil berkata, "A-kong, hidangan malam sudah disiapkan."

"Tamu-tamumu sudah pergi?"

"Sudah."

"Aku ingin tanya satu soal denganmu."

"Ya, sambil makan."

"Baik.”

Tidak lama kemudian, keduanya sudah duduk di meja makan yang bundar. Helian Kong melihat betapa berlimpahnya hidangan yang tersedia, bisa membuat orang lupa kalau jaman itu adalah jaman perang, jaman kesulitan.

Dan di luar dugaan, sebelum Helian Kong bertanya, malahan Ting Hoan-wi sudah bicara lebih dulu, "Aku menduga tentunya kau mau bicara soal garam itu bukan?"

Helian Kong menunda sepotong daging di ujung sumpitnya yang hampir masuk mulut. ’Ya...." sahutnya.

Ting Hoan-wi mengangguk-angguk, "Kugunakan itu untuk menolong banyak orang yang sekarang kesulitan mendapat garam. Kuputuskan untuk mempertaruhkan nyawa demi banyak orang, kutembus pagar betis begundal-begundal Li Cu-seng yang menghambat pengiriman garam dari pesisir."

"Apa benar pengikut-pengikut si pemberontak itu sudah berani bekerja demikian jauh di garis belakang Tentara Kerajaan Beng?"

"Bukan campur tangan langsung, tapi menggunakan sindikat-sindikat bawah tanah yang sudah dipengaruhi. A-kong, di sepanjang tepian Sungai Heng-ho dan di pantai timur bertebaran ratusan sindikat macam itu. Dan boleh dikata delapan puluh persen sudah terbujuk oleh Li Cu-seng, merekalah kepanjangan tangan Li Cu-seng di garis belakang tentara kita. Merekalah biang kesulitan garam belakangan ini. Dan kalaupun ada garam yang bisa lolos dari blokade mereka, harganya mencekik leher."

"Kau termasuk sindikat atau perorangan?"

"Ah, mana bisa aku bekerja sendirian? Aku memang menghimpun beberapa teman-teman yang bisa dibilang... yah, rela berjuang demi rakyat. Lalu kami selundupkan garam dari pesisir timur, lolos dari hadangan orang-orang Li Cu Seng,”

"Terus kau bagikan kepada penduduk dengan gratis, begitu?

"Ah, masa gratis? Memangnya tidak menghitung uang yang kami gunakan untuk membeli dari para pembuat garam juga ongkos-ongkos perjalanan tentunya tidak kuberikan dengan gratis, tapi kujual dengan harga terjangkau, sekedar supaya kami tidak rugi. Sedangkan modal tenaga dan pertaruhan nyawa tidak kami hitung, anggap saja berjuang demi rakyat!"

Gagah sekali gaya Ting Hoan-wi ketika mengucapkan kalimat terakhir itu sambil menatap untuk menunggu tanggapan Helian Kong. Helian Kong mengangguk anggukkan kepala dan bersantap dengan lebih santai. Ganjalan hatinya mulai mencair.

Merasa mendapat simpati, Ting Ho-an-wi lalu menyodorkan masalah. "Tapi belakangan ini ada kesulitan."

"Kesulitan?"

"Ya. Dalam perjalanan pengangkutan garam yang terakhir, kira-kira sebulan yang lalu, kami bentrok dengan sindikat yang kuat kaki tangan Li Cu Seng. Mereka mencoba menghadang dan merebut garam yang kami bawa. Beberapa musuh terbunuh, tapi seorang anak buah ku tertangkap."

"Lalu kalian tolong?"

"Sudah kami coba, tapi gagal. Dia dibawa musuh. Aku kuatir orangku itu tidak tahan siksaan musuh, lalu dia akan menunjukkan tempat ini. Itulah sebabnya kami di sini selalu harus waspada."

Kini mengertilah Helian Kong kenapa banyak orang bersenjata menjaga rumah itu. Rupanya mereka dipersiapkan untuk menghadapi pihak yang oleh Ting Hoan-wi dikatakan "sindikat yang menjadi kaki tangan Li Cu-seng" itu.

Dan sore itu Helian Kong melihat jumlah orang yang berjaga-jaga itu meningkat, semuanya ada tigapuluh orang. Dibantu beberapa anjing yang besar dan galak untuk mengawasi halaman belakang dan samping.

"A-hoan, yang kau lakukan itu menunjukkan bahwa kau memihak pemerintah yang syah. Dalam keadaan sulit seperti ini, kenapa tidak minta bantuan Tentara Kerajaan di pos terdekat?"

Perlahan Ting Hoan-wi meletakkan sumpit, menarik napas beberapa kali dan menjawab dengan wajah murung, "Ini pun masalah besar. Menghadapi kaki tangan pemberontak itu aku masih tidak gentar, anggap saja kekuatan mereka seimbang dengan kami. Tapi kesulitan terbesar bisa jadi datangnya dari.... maaf, justru dari pihak Tentara Kerajaan."

Ting Hoan-wi menyelipkan permintaan maafnya, sebab ia tidak melupakan kalau yang di hadapi adalah seorang Perwira. Helian Kong sendiri sudah maklum betapa banyak orang-orang korup dalam tubuh pemerintah, entah sipil entah militer. Ia sudah bisa membayangkan kesulitan apa yang bakal dihadapi Ting Hoan-wi kalau melaporkan kasusnya ke pihak Tentara Kerajaan. Bukan mendapat bantuan, bisa, jadi malahan akan ketambahan masalah baru.

Tapi Helian Kong bukan jenis orang yang suka "buruk muka cermin dibelah" Karena itu ia masih bertanya juga, "Kesulitan apa yang kau kuatirkan datang dari pihak Tentara Kerajaan?"

Sahut Ting Hoan-wi, "Kalau urusan ini diketahui mereka, malah aku akan terjepit. Di satu pihak dimusuhi orang-orangnya Li Cu-Seng, dari lain pihak pasti akan diperas habis-habisan oleh para orang korup dalam Tentara Kerajaan. Mungkin aku akan diancam dengan tuduhan macam-macam, dan untuk lepas dari tuduhan itu pastilah dibutuhkan uang tidak sedikit.

Para pemerasku pasti tak mau tahu kalau aku sampai begini tak lain hanya demi rakyat yang menderita, bukan memperkaya diri. Mereka takkan mau tahu soal itu, tahunya ya memanfaatkan kesempatan untuk memeras sebanyak-banyaknya".

Biarpun baru makan sedikit dan makanannyapun cukup lezat, nanun nafsu makan Helian Kong tiba-tiba lenyap. Pelan-pelan iapun meletakan sumpitnya. Apa yang dikatakan Ting Hoan-wi itu bukan omong kosong, tapi kenyataan yang banyak terjadi di mana-mana. Kerajaan Beng saat itu sedang menghadapi dua musuh berbahaya.

Dalam negeri ada pemberontakan Li Cu-seng yang makin meluas di wilayah barat laut, bahkan mulai merembes ke wilayah tengah, sedang di luar perbatasan timur-laut ada Keraiaan Ceng (Manchu) yang memendam’ nafsu ekspansi yang berbahaya.

Namun banyak pembesar Kerajaan Beng yang seolah lupa bahaya itu, melupakan tanggung jawab dan berlomba mengeruk keuntungan pribadi, tanpa mempedulikan kalau tindakan mereka menimbulkan kebencian rakyat dan melemahkan negara.

Helian Kong menyambar poci arak, dituangkannya isinya langsung ke mulutnya tanpa cawan, sebagian berceceran membasahi leber dan dadanya. Habis satu poci, disambarnya poci lainnya untuk dikosongkan pula, seolah dengan demikian ia ingin melarutkan kejengkelan dan kekecewaan yang menggumpal menyesakkan dadanya. Araklah jawabannya, biarpun cuma jawaban semu dan sementara.

Ting Hoan-wi membiarkan saja Helian Kong minum arak. Tidak apa-apa kalau sahabatnya itu mabuk sedikit, malahan akan bisa digunakan tenaganya demi keuntungannya. Tidak heran kalau Ting Hoan-wi malahan memberi isyarat kepada seorang pelayannya agar mengambilkan arak lagi.

"Begitulah kesulitanku, A-kong..." Kata Ting Hoan-wi kemudian dengan mimik muka yang berusaha menarik belas kasihan, "Keinginanku cuma meringankan penderitaan banyak orang, tidak tahunya malah celaka, macam ini."

Tiba-tiba Helian Kong menggebrak meja dan berkata dengan keras, "Kalau musuh datang, aku akan bertempur di pihakmu!"

Memang pernyataan seperti itulah yang diharapkan Ting Hoan-wi. Ia mengangguk-angguk puas sambil berkata, "Kalau demikian aku tidak perlu lagi gentar kepada siapapun."

Pelayan datang mendekat membawa poci arak di atas nampan, Helian Kong langsung menyambar poci itu dan arak-pun kembali memasuki mulutnya seperti pancuran. Setelah meletakkan poci yang tetap kosong, Helian Kong dengan muka merah karena pengaruh arak, berkata kepada pelayan, "Ambilkan pedang di kamarku!"

Bergegas pelayan itu ke kamar Helian Kong, dan kenbalinya ia membawa pedang yang sarungnya baja hitam, sedangkan pada bagian yang menghubungkan antara gagang dan batang pedang dihias ukiran seekor elang yang sedang mementang sayap. Tadi ketika Helian Kong datang, Ting Hoan-wi belum sempat memperhatikan pedang yang dibawanya. Kini setelah melihat jelas pedang itu, diam-diam Ting Hoan-wi merasa agak iri.

Karena ia tahu pedang itu adalah Tiat-eng Pokiam (Pedang Pusaka Elang Besi) yang tajam amat, dulu disandang oleh gurunya. Menurut peraturan perguruan, murid yang mewarisi pedang itu berarti juga mewarisi kedudukan sebagai ketua Tiat-eng-bun (Perguruan E-lang Besi) dan kitab pusaka Tiat-eng Pit-kip. Kini nelihat pedang itu sudah di tangan Helian Kong, berarti dia sudah menjadi Ketua Tiat-eng-bun menggantikan gurunya.

Demi tata-tertib perguruan, Ting Hoan-wi bangkit dari kursinya lalu menghormat pedang itu, kemudian meng hormat Helian Kong pula sambil berkata, 'Ting Hoan-wi, murid angkatan keenam, memberi hormat dan mengucapkan selamat kepada Bun-cu (Ketua)."

Perguruan Tiat-eng-bun semula berasal dari Siau-lim-pai. Kira-kira seratus tahun sebelumnya ada seorang pesilat berbakat dari Siau-lim-pai yang memisahkan diri dan mendirikan aliran silatnya sendiri. Tiat-eng-tun tergolong kelompok kecil, murid-muridnya dari seluruh negeri kalau dikumpulkan semua juga pasti tidak berjumlah lebih dari limapuluh orang. Namun perguruan kecil itu disegani karena banyak tokoh-tokohnya yang tangguh. Karena itulah Tiat-eng-bun tidak mungkin dikesampingkan dalam berbagai urusan.

Ting Hoan-wi mengimpikan, seandainya dirinya bisa menjadi Ketua Tiat-eng-bun, tentu akan banyak membantu kelancaran "usahanya". Namun kini dilihatnya pedang lambang kekuasaan Ketua itu sudah di tangan Helian Kong, ya apa boleh buat.

Cepat Helian Kong membangunkan Ting Hoan-wi dari berlututnya, ''Sudahlah A-hoan. Di luar acara-acara resmi perguruan, kita tetap teman biasa dan bersikaplah seperti biasa saja."

Ting Hoan-wi duduk kembali dan siap melanjutkan perjamuan. Tiba-tiba keheningan malam itu dirobek suara anjing menggonggong di halaman samping dan belakang. Bahkan dari halaman depan terdengar suara lelaki-lelaki saling membentak dan membenturkan senjata. Dugan akan kedatangan musuh dipertegas dengan laporan seorang anak buah Ting Hoan-wi yang berlari masuk ke ruang perjamuan itu,

"Toako, musuh datang!"

Mendengar itu Ting Hoan-wi lalu berdiri, dengan gerakan sigap ia melepaskan jubah panjangnya, sehingga kini ia cuma berpakaian ringkas. Biarpun belakangan ini tubuhnya makin gemuk karena makin makmur, namun masih kelihatan keras dan kekar. Seorang pelayan menyodorkan pedangnya, lalu diapun melangkah keluar disertai Helian Kong.

Ternyata pertempuran sengit sudah berkobar di halaman depan. Musuh agaknya tidak mau datang seperti pencuri yang merunduk-runduk dari belakang, melainkan memilih untuk seperti garong yang mendobrak pintu dan menyerbu. Tanda bahwa mereka yakin akan kekuatan diri sendiri, Ting Hoan-wi dan Helian Kong sampai ke halaman depan.

Di situ puluhan anak buah Ting Hoan-wi bertempur dengan puluhan orang yang semuanya memakai ikat kepala kuning. Pakaian para penyerbu itu beraneka ragam, ada yang seperti kuli dan ada pula yang seperti anak bangsawan, tapi ikat kepala kuning itu menyatukan mereka dalam satu barisan.

Ikat kepala kuning memang merupakan tanda umum pengikut Li Cu-seng, sehingga pemberontakan itu sering disebut pula dengan Pelangi Kuning. Inilah gerakan yang ciri-cirinya agak meniru gerakan Thio Kak di jaman Kaisar Han-leng-te belasan abad yang silam. Meniru pula gerakan Cu Goan-ciang, leluhur dinasti Beng, dan kawan-kawannya ketika menumbangkan dinasti Goan (mongol).

Tapi waktu itu Cu Goan-ciang menggunakan warna merah sebagai lambang gerakannya, sehingga gerakannya dalam sejarah dikenal dengan Pemberontakan Serban Merah. Karena Cu Goan-ciang adalah penganut Tiau-yang kau (agama penyembah matahari) dan warna merah diyakini sebagai warna matahari.

Pertempuran di halaman itu nampak seimbang, baik dari segi jumlah maupun mutu orang-orangnya. Kedua pihak terdiri dari lelaki-lelaki keras, petualang petualang yang tidak berkedip melihat muncratnya darah, bahkan sering bau darah itu mereka rindukan.

Tapi di pihak musuh ada dua orang yang belum turun gelanggang. Sikap mereka menunjukkan kalau mereka belum suka masuk ke gelanggang karena belum melihat adanya lawan yang setimpal.

Yang seorang adalah lelaki ganteng berkumis, dandanannya mewah sehingga tidak mirip orang pergi bertempur namun pergi ke pesta. Karena pakaian mewahnya itu, ia jadi ada kesamaan dengan Ting Hoan-wi. Ia memanggul senjatanya berupa sepasang tongkat baja. Ia menonton jalannya pertempuran itu dengan sikap tersenyun-senyum congkak, yakin pihaknya akan mendapat kemenangan.

Yang satu lagi sungguh kebalikannya dalam penampilan. Itulah seorang lelaki berumur kira-kira tigapuluh tahun, yang tampangnya sungguh akan menimbulkan rasa kasihan kalau dia ber jongkok di sudut pasar sambil menadahkan telapak tangan.

Orang ini hanya setinggi pundak orang normal, amat kurus, sepasang lengannya nampak bagaikan ranting-ranting kering yang ditempelkan sembarangan saja di tubuhnya yang setipis papan cucian. Lebih memelas lagi, ia nampak bersandar, diambang pintu halaman dan setengah tidur, pakaian yang menempel di tubuhnya juga kelihatan sembarangan saja.

Sementara itu, si perlente yang membawa sepasang tongkat itu berubah sikap menjadi beringas setelah melihat keluarnya Ting Hoan-wi. Ia melangkah maju menembus hiruk pikuknva pertempuran, suaranya menggelegar penuh dendam,

"Ting Hoan-wi, akhirnya ku temukan juga sarang busuk tempatmu bersembunyi selama ini! He-he-he, malam ini aku akan mengambil pulang limapuluh karung garam yang telah kau rampas dengan licik, setelah kau menjebak kami dengan hidangan beracun. Kami juga akan menagih nyawa sembilan belas saudara kami yang tewas ketika itu. Sembilan belas nyawa harus ditukar sembilan belas nyawa pula, termasuk nyawamu!"

Mendengar tuduhan itu, Helian Kong serta-merta menoleh kepada Ting Hoan-wi dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia menbenci perbuatan licik seperti meracuni lewat makanan. Kini mendengar orang itu menuduh Ting Hoan-wi berbuat demikian, Helian Kong jadi ingin mendengar penjelasan Ting Hoan wi sendiri.

Sebagai temannya selama bertahun-tahun, Ting Hoan-wi sudah hapal akan watak Helian Kong, apa yang disukainya dan apa yang dibencinya. Maka buru-buru ia menjelaskan, "Jangan percaya omong-kosongnya, A-kong. Dia cuma ingin menjelek-jelekkan diriku, sebab aku telah menentang perbuatan mereka yang menyengsarakan rakyat!"

“Siapa dia?”

"Peminpin gerombolan paling jahat di sepanjang Sungai Hong-ho, namanya Phoa Kim-gun dan julukannya Tiat-bwe-go (buaya buntut besi). Banyak orang tak bersalah menjadi korbannya, dan belakangan ini ia diperalat Li Cu-seng untuk menghambat lalu lintas perdagangan di Sungai Hong-ho, agar negara jadi kacau."

Itulah keterangan yang dicampuri hasutan, untuk mengobarkan kemarahan Helian Kong. Helian Kong yang baru saja kebanyakan minum arak itu memang terpengaruh. Geramya, "Kebetulan. Kalau belum sempat kupenggal leher Li Cu-seng, setidak-tidaknya bisa kupereteli dulu jari-jari tangannya yang menancapkan pengaruh di sepanjang Hong-ho."

Sementara itu di arena telah terdengar jerit kematian dua kali berturut-turut. Tiat-bwe-go Phoa Kim-gun telah meremukkan batok kepala mereka dengan sepasang tongkat balanya dan sambil berbuat demikian diapan menghitung, "Satu! Dua!"

Ting Hoan-wi gusar, ia melompat ke arena pula sambil mencabut pedang. Dua kali pedangnya berdesing bolak-balik dan dua anak buah Phoa Kim-gun dibabatnya pula. Diapun melakukannya sambil menghitung, "Satu! Dua!"

Begitulah, dua nyawa dibalas dua nyawa, demikianlah hukum tak tertulis di dunia sindikat. Kuat-lemahnya suatu kelompok ditentukan kesanggupan pemimpinnya dalam membela anak buahnya, tak peduli benar atau salah. Anak buah yang dibela sungguh-sungguh akan membalas dengan kesetiaan besar kepada kakak" mereka. Karena itulah dalam dunia hitam itu balas membalas dilakukan tanpa pertimbangan moral, hanya hitungan angka yang diperlukan.

Phoa Kim-gun dan Ting Hoan-wi sama-sama paham hal ini. Phoa Kim-gun harus membalaskan kematian "saudara-saudara"nya, begitu pula Ting Hoan-wi, agar mereka tetap kokoh bercokol sebagai pimpinan kelompok masing-masing.

Setelah sama-sama mencabut dua nyawa, kedua pimpinan itu bergebrak dengan sengit. Dengan gerakan Pek-ho-tok hi (bangau putih mencucuk ikan), ujung pedang Ting Hoan-wi lebih dulu meluncur ke dada Phoa Kim-gun.

Tak kalah tangkasnya Phoa Kim-gun menyilangkan sepasang tongkatnya untuk menjepit dengan gerak Sin-ji-sik (gerakan "angka sepuluh"), sebab gerakan silang itu memang membentuk angka sepuluh ("+”) dalam aksara Cina. Phoa Kim-gun masih menambahkan lagi jejakan keras ke lutut Ting Hoan-wi.

Terancam dua serangan, Ting Hoan-wi cepat melangkah kesamping sambil menaikkan pedangnya, lalu turun kembali membacok pundak lawan dengan gerak Ki-eng-keng-ih (elang lapar menyisik bulu).

Kedua pinpinan gerombolan itu ternyata punya kemampuan silat yang seimbang. Maka kedua pihak sama-sama sulit untuk mendapat kesempatan menyerang dua jurus berturut-turut. Keduanya saling balas, sejurus dibalas sejurus, seperti sudah diatur gilirannya. Jadi seperti siswa-siswa perguruan silat yang sedang latihan Tui-jiu (serang menyerang dengan urut dan teratur). Namun pertarungan mereka tetap berbahaya, sebab kedua pihak dengan sungguh-sungguh dan penuh kebencian berusaha untuk membinasakan lawan.

Dari tepi arena Helian Kong melihat permainan silat Ting Hoan-wi ternyata belum maju banyak sejak lima tahun yang lalu, diam-diam ia menyesalkan. Mungkin karena terlalu sibuk "bisnis" maka latihannya dilakukan seenaknya. Tidak lupa sama sekali, tapi juga tidak bersungguh-sungguh meningkatkannya.

"Untungnya cuma ketemu lawan sekaliber Phoa Kim-gun...." pikir Helian-Kong. "Jadinya ya seimbang....."

Tapi Helian Kong belum ingin cepat-cepat terjun ke gelanggang. Sebagai seorang yang matang pengalaman di medan tempur, ia jadi punya semacam naIuri perang untuk tidak buru-buru memamerkan semua kekuatan di pihaknya. Masih harus ada suatu kekuatan yang tidak diperlihatkan, dibebaskan dari perhitungan musuh, sebagai kekuatan penentu di akhir pertempuran.

Diapun merasa pihak musuh juga berbuat demikian. Masih ada si pendek kurus yang masih saja enak-enak bersandar di ambang pintu gerbang dengan mata terkantuk-kantuk. Ujud orang itu memang nampak begitu remeh, tapi Helian Kong tidak mau melakukan kecerobohan dengan meremehkannya. Kecerobohan macam itu sudah terlalu sering mengantarkan seorang pesilat tangguhpun untuk melangkah menuju kekalahan. Karena meremehkan musuh.

Karena itu Helian Kong diam-diam mulai lebih banyak menperhatikan si kurus kecil itu. Antara Helian Kong dan si kurus pendek itu terpisah puluhan langkah, dan terhalangi pula oleh puluhan orang yang sedang mengadu nyawa. Namun getaran lembut dari Helian Kong agaknya terasa oleh orang itu pula, orang itu tiba-tiba merasa ada yang memperhatikannya.

Itulah getaran lembut sesama jagoan tingkat tinggi yang bisa dirasakan hanya oleh orang berilmu tinggi pula. Getaran yang mungkin sekali terpancar dari luapan rasa percaya diri masing-masing pihak, sekaligus menandakan terbangkitnya semangat tempur. Dua arus getaran bertemu, mengusik naluri, menyiagakan tubuh karena "radar" masing-masing sudah memperingatkan ada lawan tangguh di dekat mereka.

Mata si kecil pendek yang mulanya terpejam nyaman itu, tiba-tiba terbuka dan terpancarlah sorot mata tajam ke arah Helian Kong. Si kurus ini langsung sadar bahwa lawan yang setimpal kini sudah "tersedia" baginya.

Sementara Helian Kong pun mulai memasuki arena. Tidak melompat, tapi melangkah setapak demi setapak, tidak tergesa-gesa, tiap langkahnya berarti menyiagakan jiwa dan raganya setahap demi setahap memasuki pertaruhan nyawa yang entah bagaimana akhirnya nanti. Langkahnya lurus menyeberangi :halaman yang hiruk-pikuk, ke arah si kurus kecil.

Si kurus kecil menggeliat sebentar sambil menguap lebar, dan bergumam keras , "Ah, ada makanan keras, apakah aku bisa mengunyahnya?"

Tapi ia rasakan tubuhnya nyaman dan semangatnya siap, setelah menggeliat barusan. Ia menegakkan punggungnya, tidak lagi bersandar seenaknya. Dilepaskannya cambuk panjang, sepanjang tiga meter, terbuat dari kulit berpilin tiga, yang semula melingkari pinggangnya.

Lalu ia melangkah menyongsong Helian Kong. Garis yang dibuat kedua orang itu dengan langkahnya pasti akan menyambung di satu titik, sama pastinya kalau dua potong besi semberani yang berbeda kutub diletakkan berdekatan.

Dua orang anak buah Ting Koan-wi kurang menyadari bahaya dibalik tubuh kerempeng itu. Mereka menyerang si kerempeng dengan senjata, dan sulit diikuti bagaimana mulanya, tiba-tiba salah satu dari mereka malahan kena cengkeram lengannya lalu diayunkan berputar di udara. Seandainya tubuh itu kuas yang telah dicelup tinta, tentu telah menghasilkan gambar lingkaran besar di udara.

Namun si kerempeng tidak menganggap tubuh itu sebagai kuas, tapi rupanya sebagai pentung untuk dihempaskan ke tubuh temannya sendiri, dan kedua anak buah Ting Hoan-wi itu sama-sama terkapar tak berkutik lagi. Semuanya berlangsung begitu enak dan begitu singkat, kurang dari satu detik. Adapun si kerempeng sendiri bersikap seolah-olah tidak habis melakukan sesuatu, karena cepatnya gerak cengkeraman dan bantingannya tadi.

Selesainya bersamaan dengan Heli-an Kong yang berhasil membereskan pula dua orang anak buah Phoa Kim-gun yang baru saja berusaha membunuhnya. Sedetik sebelumnya, kedua penyerangnya masih penuh kepercayaan akan keberhasilan serangan mereka, dan sedetik sesudahnya harapan itu sirna.

"Jurus hebat!" kata-kata yang sama keluar bersamaan dari mulut Helian Kong dan si kerempeng, bukan untuk memuji diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sekaligus juga sama-sama meningkatkan kewaspadaan karena sadar bahwa yang akan mereka hadapi begitu tangguh, sampai memancing pujian tulus dari hati masing-masing.

Keduanya berhenti melangkah, jarak yang pas sudah ditemukan. Orang-orang kedua belah pihak yang sedang bertempur itupun menyingkir jauh, sehingga tersibaklah arena bagi Helian Kong dan si kerempeng untuk mengukur ilmu. Tidak ada lagi yang berani ikut campur, sebab berarti cari penyakit. Empat contoh sudah cukup berlebihan.

"Boleh aku tahu namamu?” tanya si kerempeng.

“Helian Kong, Ketua Tiat-eng-bun keenam. Hu-ciang dalam Tentara Kerajaan."

"Astaga, benar-benar kedudukan yang terpandang. Kudengar kemashuran nama gurumu, tetapi kenapa sekarang kau merendahkan kedudukanmu begitu rupa sehingga menjadi tukang kepruk gerombolan anjing ini? Apalagi memilih tempat pengabdian yang keliru dalam pemerintahan bobrok yang dibenci rakyat."

Helian Kong tertawa dingin sambil menatap ikat kepala kuning yang membebat kepala orang itu, "Keliru? Menurutmu, pengabdian yang benar adalah ikut dalam gerombolan pengacau pimpinan Li Cu-seng, menghambat pengiriman garam agar rakyat mengeluh, begitu?”

Tubuh si kerempeng bergetar menahan emosi. "Joan-ong junjungan kami adalah pahlawan, bukan pengacau. Ia ditugaskan oleh ketentuan sejarah untuk membuka lembaran baru. Dia adalah sesembahan yang lebih baik dari pada Kaisar Cong-ceng yang cuma menjadi boneka Co Hua-sun...!”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.