Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta I Jilid 02 Karya Stevanus S P

"Ha-ha.... ditugaskan ketentuan sejarah? Enak saja kalau ngomong ketentuan sejarah itu bagaimana tampangnya? Gemuk atau kurus? Kelimis atau brewokan? Kapan dia menugaskan si maling Li Cu-seng untuk mengangkat diri sendiri jadi malaikat penolong?"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Tutup mulutmu! Kaisar Cong-ceng sesembahanmu itu bukankah juga cuma keturunan si pengemis jahat Cu Goan-ciang?"

"Hem, sekarang sebut saja namamu!"

"Oh Kui-hou."

Helian Kong agak terkesiap mendengar nama itu, sebab itulah nama seorang pendekar di kawasan barat laut yang pernah didengarnya. Tak terlalu heran kalau pendekar itu sudah menjadi pendukung Li Cu-seng, sebab di kawasan itu memang Li Cu-seng menancapkan pengaruh dengan kuatnya. Di kawasan itu Li Cu-seng tidak dianggap pemberontak atau pengacau, melainkan “Dewa penolong" bagi orang-orang yang bosan terhadap pemerintahan Kerajaan Beng.

Si kerempeng Oh Kui-hou bukan cuma memperkenalkan nama, tetapi bahkan juga mulai berusaha membujuk Helian Kong, "Sobat, masa depanmu masih panjang dan aku yakin ilmu silatmu pasti tinggi. Sayang kalau kau membuang umur dengan mengabdi kepada pemerintahan bobrok yang sekarang ini. Lebih baik marilah kita mendukung Joan-ong untuk membahagiakan rakyat."

Helian Kong tertawa, "Aku percaya ketulusan hati Li Cu-seng. Benar. Tulus memang. Tapi ketulusan hati saja tidak cukup, sebab orang tulus macam dia malah akan menjadi makanan empuk orang-orang licik. Dia pasti akan gagal untuk memperbaiki kehidupan rakyat karena dua hal. Pertama, perjuangannya berwawasan dangkal, dia cuma tahu mengobarkan kemarahan rakyat dan mengarahkannya, tapi lama-lama pasti takkan berhasil mengendalikannya. Dia akan di telan oleh banjir yang ditimbulkannya sendiri.

"Kedua, aku tahu di antara pembantu-pembantu Li Cu-seng ada orang-orang licik macam Lau Gong-bin yang hidung belang dan Gu Kim-sing yang ahli memfitnah teman sendiri. Li Cu-seng takkan dapat mengatasi kedua orang ini. Kedua orang inilah yang akan menikmati kemenangan kelak, apabila kalian berhasil. Bukan Li Cu-seng, bukan pula rakyat jelata yang selama ini dibujuk-bujuk untuk angkat senjata dan setor nyawa dimedan perang.

"Ketiga, Li Cu-seng tidak tahu apa-apa tentang membangun negara, kalau merobohkan negara mungkin dia memang pintar. Seandainya bisa merobohkan pemerintah yang sekarang, bisakah dia membangun yang lebih baik? Jangan-jangan dia berontak cuma karena sekedar ingin merasakan empuknya singgasana dengan bokong melaratnya? Aku yakin hanya kekacauan yang akan dihasilkan oleh kemenangannya. Karena itu, dia tidak boleh menang!"

Oh Kiu-hou merah padam wajahnya, lalu balas mengejek. "Jadi kau anggap Kaisar Cong-ceng tidak boleh disingkirkan karena pemerintahannya sudah adil, bersih dan bijaksana? Dan semua rakyat hidup sejahtera dibawah perlindungan pembesar-pembesar yang baik hati, begitukah?"

Sudah jelas itulah sindiran, sebalik kenyataan saat itu justru kebalikan dari kata-kata Oh Kui-hou itu. Helian Kong menarik napas dan menjawab prihatin, "Pemerintahan sekarang memang kuakui banyak kelemahan, tapi dalam pemerintahan juga masih banyak pembesar setia yang menunggu kesempatan untuk berbakti, baik sipil maupun militer. Kalau orang-orang korup kelak sudah kami singkirkan dan pembesar-pembesar setia menggantikannya, nah, rakyat akan mendapatkan kesejahteraannya tanpa perang."

Terkekeh-kekeh Oh, Kui-hou mendengar kata-kata itu. Sebuah mimpi yang amat indah. Sayang, Joan-ong dan segenap pengikutnya tidak percaya kalau mimpi itu bisa benar-benar terwujud. “Kami tidak sabar. Kami akan melakukan perombakan total."

"Itu tidak bijaksana. Kalau sebuah rumah ada satu atau dua gentengnya yang bocor, masa kau akan merobohkan seluruh rumah itu sehingga seisi rumah kehilangan tempat bernaung? Bukankah cukup menggantikan genteng yang bocor itu dengan genteng baru?"

"Satu dua genteng bocor? Ha-ha... sungguh pintar kau mengecilkan kejahatan pemerintah Beng! Bukan cuma satu dua genteng yang bocor, sobat, tapi seluruh bangunan sudah keropos. Penuh rayap, kecoak, tikus-tikus yang rakus! Inilah gambaran tepat untuk Kerajaan Beng sekarang ini!" suara Oh Kui-hou meninggi bersamaan dengan emosinya. "Rakyat butuh naungan baru, maka biarkan yang sekarang dihancurkan jadi abu lebih dulu, lalu biarkan Joan-ong membangun yang sama sekali baru di atas reruntuhan itu!"'

"Agaknya Li Cu-seng begitu bernafsu untuk berkuasa, sampai tidak segan-segan mengobarkan perang antara sesama bangsa Han. Pertentangan ini hanya menguntungkan orang-orang Manchu dari luar perbatasan San-hai-koan. Aku yakin Joan-ong mu tidak memikir sampai soal ini karena keterbatasan otaknya, ya maklum saja dia itu kan cuma…”

Tiba-tiba Oh Kui-hou dengan marah mengayunkan cambuknya di udara, deru cambuknya terdengar seperti angin prahara, ledakannya seperti petir. Dia marah karena Joan-ongnya direndahkan oleh Helian Kong begitu rupa. Katanya keras, "Semangat Joan-ong adalah semangat rakyat. Rakyat tidak merasa diperalat atau dipaksa oleh Joan-ong, melainkan sambil menyanyi gembira angkat senjata untuk memperjuangkan nasib sendiri. Siapapun takkan bisa membendung kami ! Seandainya Jengish Khan bangkit dari kuburnya dan memimpin angkatan perang sedahsyat dulu, ia tetap takkan dapat mengalahkan Joan-ong yang didukung jutaan rakyat! Apalagi cuma orang biadab dari timur-laut itu, sejengkal tanahpun takkan mereka peroleh!"

"Sobat, semangatmu berlebihan sehingga mengaburkan akal sehat. Aku hanya ingin mengingatkan."

"Tidak! Orang-orang yang masih rela menjadi anjing Cong-ceng Itulah yang perlu disadarkan, termasuk kau! Perlu kuingatkan sekali lagi bahwa peralatan perang kalian yang jauh lebih lengkap takkan bisa membendung semangat kami!"

Pelan-pelan kemarahan Helian Kong bangkit juga, ia hunus pedangnya sambil berkata, "Benar-benar keras kepala. Tapi malam ini kau akan kutangkap!"

Oh Kui-hou tidak gentar, “He-he-he, melihat sikapmu seperti ini, tidak salah dugaanku kalau kau cuna sekedar budak yang tak perlu menggunakan pikiran, cuma mengekor saja kepada sikap majikanmu yang lalim. Sayang. Aku pun takkan sungkan-sungkan lagi."

Ucapannya disambung dengan gerak cambuknya yang meluncur ke depan dengan gerak Leng-coa-siam-keng (Ular Sakti Melilit leher). Tampang dan bentuk tubuh Oh Kui-hou memang mudah menimbulkan kesan untuk diremehkan, tapi untunglah Helian Kong sejak semula tidak meremehkannya.

Sebab lawannya yang pendek dan kerempeng itu ternyata benar-benar berbahaya. Bukan cuma geraknya yang cepat, tapi desir cambuknya ketika membelah udara menunjukkan betapa hebat kekuatan yang tersimpan dalam tubuh kecil itu.

Cepat sekali Helian Kong menunduk dan menggeser ke samping, lalu ganti cahaya pedangnya mengejutkan lawannya dengan tikaman Liong-bun-ko-long (Bermain Gelombang di Pintu Naga), yang mengandung aneka ragam gerak kelanjutan dibalik kesederhanaannya.

Oh Kui-hou melompat mundur. Ia tidak segera balas menyerang, sebab merasa, kalau halaman itu kurang leluasa untuk memainkan cambuk yang tiga meter panjangnya itu. Terlalu banyak orang yang sering menyelonong masuk lintasan gerak cambuknya, sehingga geraknya tentu banyak terganggu. Cambuk yang lemas dan panjang itu memang lebih sulit dikendalikan dari pada pedang, maka arena yang sesak itu Jadi lebih menguntungkan lawannya.

Karena itulah Oh Kui-hou tiba-tiba melompat ke atas bagaikan seekor burung saja, dan hinggap di atas genteng. Teriaknya dari atas, "Anjing Kaisar, kemarilah kalau berani!"

Jawaban Helian Kong adalah langsung dengan lontaran tubuhnya ke atas genteng pula, pedangnya gemerlap di bawah cahaya bintang-bintang. Namun sebelum kakinya menginjak genteng, cambuk Oh Kui-hou telah melecut bertubi-tubi, mengurungnya. Bukan ujung cambuk saja yang bisa untuk menyerang, tapi bagian tengah cambuknya juga bisa melengkung atau membuat ling karan untuk menjerat. Benar-benar ilmu cambuk yang lihai.

Saat itu tubuh Helian liong masih mengapung di udara, maka "sambutan" Oh Kui-hou itu bisa menyulitkannya. Ia putar pedangnya dengan kencang seperti perisai, dan sepasang kakinya menendang berganda ke pinggir genteng. Bukan menendang sebenarnya, tapi lebih tepat disebut mencongkel. Dua lembar genteng yang kena kakinya langsung copot dari kerangkanya dan menderu kearah Oh Kui-hou, menyusup di antara bayangan cambuknya yang berlapis-lapis.

Gerakan cambuk mengendor, dan He-lian Kong berhasil merebut sebidang tempat berpijak, dengan melakukan salto yang mendarat empuk di atas genteng itu. Lawannya mau tidak mau kagum melihat ketangkasan dan akal cerdik Helian Kong. Begitu ujung kakinya menyentuh genteng, seperti serigala lapar, Helian Kong terus menerkam lawannya dengan cahaya pedangnya yang bergulung-gulung gemerlapan.

Oh Kui-hou mundur mencari ruang gerak bagi cambuknya yang panjang sambil menyentak balik cambuknya. Cambuk itu tiba-tiba berubah menjadi belasan lingkaran bertebaran menghadang langkah Helian Kong. Tiap lingkaran adalah perangkap, dan berarti saat itu ada belasan perangkap. Pedang Helian Kong bisa terjerat oleh lingkaran yang mana saja.

Pedang itu memang memasuki satu lingkaran dan terjerat, namun Helian Kong sekuat tenaga menyentakkan sambil mengiris. Ketajaman pedang Tiat-eng Po kiam itulah yang tidak dihitung Oh Kui hou. Maka biarpun cambuknya dibikin sangat kuat, tapi cambuk itu teriris hampir putus.

Meski tidak putus sama sekali, cambuk panjang itu jadi kehilangan sebagian besar kegunaannya untuk bertempur. Bagian mulai dari tangkai sampai yang teriris itu masih bisa dikendalikan, sebaliknya mulai dari irisan yang "kiwir-kiwir" itu sampai ke ujung sulit dikendalikan, malahan menjadi gangguan besar.

Mendongkol tapi juga kagum Oh Kui-hou dibuatnya. Puluhan lawan tangguh pernah dihadapinya, namun umumnya mereka sudah berusia sekitar setengah abad atau sudah punya nama terkenal. Berbeda dengan lawan kali ini yang masih "ingusan" tapi sudah merepotkan.

Cambuknya yang rusak itu dibuang begitu saja, lalu bentaknya, "Jangan gembira dulu, bangsat. Sekarang boleh kau rasakan Ban-siang-kun-hoat (pukulan Selaksa Gajah)!"

Rasanya janggal juga orang sekecil Oh Kui-hou hendak memainkan jurus "Selaksa Gajah" yang berkesan kuat dan dahsyat. Namun Helian Kong sadar lawannya tidak sedang melawak, ia tidak mau memandang enteng. Namun juga tidak mau berlaku tidak adil dengan menggunakan pedang untuk menghadapi tangan kosong, maka disarungkannya pedangnya.

Dan begitu Oh Kui-hou beraksi, nyatalah nama "Selaksa Gajah" itu memang pas. Ketika si kerempeng itu mulai merentangkan kakinya memasang kuda-kuda, terdengar kayu belandar penyangga atap yang diinjaknya itu berbunyi berkeriut separti hendak patah, menahan beban yang tiba-tiba menjadi berkali lipat beratnya.

Oh Kui-hou lalu melangkah dan tinjunya menyambar dari bawah ke dagu Helian Kong, disertai deru angin hebat sehingga baju Helian Kong berkibar. Helian Kong bergeser mundur dan Oh Kui- hou mengejar dengan tinju dibalik, dengan punggung kepalannya mau menghantam wajah lawannya, dibarengi jejakan kaki ke arah lutut. Gerakannya serba kuat dan cepat.

Cepat-cepat Helian Kong mengangkat satu kakinya dengan gerak Kim-ke-tok-lip (ayam emas berdiri di satu kaki) untuk menghindari jejakan ke lututnya, namun kakinya diteruskan menendang ke lambung lawan, disusul sepalang lengannya melengkung dan menyambar urat-urat besar di kiri kanan leher lawannya. Au-cu-hoan-sin (elang menyambar berputar).

Gaya tempur Oh Kui-hou keras dan kuat seperti gajah mengamuk, sedangkan Helian Kong ringan dan cepat seperti elang terbang, sesuai dengan ciri perguruan masing-masing. Pertarungan jadi agak lucu kelihatannya. Biasanya kalau seorang bertubuh kecil menghadapi musuh yang bertubuh besar, tentu akan menghindari benturan dan mencari keunggulan dari kelincahan dan kecepatan. Ini kebalikannya.

Oh Kui-hou bertempur dengan terjangan-terjangan yang lurus dan langsung terus menerus penasaran mengajak adu tenaga. Sebaliknya Helian Kong yang bertubuh tegap dan tinggi itu malah banyak berkelit dan berlompatan lincah, serangan-serangannya kebanyakan menyudut atau melingkar, menyambar bagian-bagian yang dianggapnya tak terjaga.

Begitulah, kalau dasar pelajaran silatnya berbeda sejak dari perguruan, maka gaya tempurnya pun berbeda, tak peduli bentuk tubuh masing-masing. Kalau pun ada penyesuaian, maka penyesuaian itu tidak banyak menyimpang dari ajaran aslinya.

Namun pertempuran di atas genteng itu nampaknya seimbang. Kedua pesilat sama-sama harus memeras keringat hanya untuk mendapatkan setitik keunggulan. Setitik keunggulan yang akan dipertahankan erat-erat untuk "dikembangkan" sebagai modal sampai tercapainya kemenangan. Tapi mencari keunggulan yang "setitik" itulah yang bukan main susahnya.

Malahan dalam hati masing-masing timbul kekaguman kepada lawan. Kekaguman yang pelan-pelan berubah menjadi saling menghormat. Biarpun terhadap musuh Helian Kong dan Oh Kui-hou merasa pantas untuk menaruh hormat, mereka tidak segan mengakui dalam hati, sebab sesama kesatria tidak harus selalu dijumpai sebagai kawan seperjuangan.

Cuma sayang, kedudukan mereka yang berseberangan membuat mereka wajib bertempur terus. Alhasil, pertempuran antara keduanya tidak mengendor. Atap rumah yang miring dan licin itu tidak menjadi halangan mereka untuk bergerak seleluasa di tempat datar saja. Bahkan serang-menyerang kadang-kadang demikian cepatnya sehingga bayangan tubuh mereka berbaur jadi satu, menjadi gulungan kehitaman di bawah cahaya sepotong rembulan yang pucat muram.

Namun ada satu soal yang menjadi pemikiran Helian Kong. Tiap langkah Oh Kui-hou ternyata luar biasa beratnya dalam menerapkan ilmu Ban-siang-kun-hoat. Tiap kali terdengar belandar rumah penyangga atap itu berderak-derak, dan genteng-genteng remuk terinjak atau melorot ke bawah.

"Kalau begini terus, aku yakin rumah ini bisa ambruk tidak lama lagi." pikir Helian Kong. Dan ia merasa keberatan, sebab inilah rumah Tan wan-wan yang menyimpan banyak kenangan indah buatnya. Karena itulah ia bermaksud memancing musuhnya untuk bertempur di tempat lain.

"Oh Kui-hou." ucapnya disela-sela deru pukulannya sendiri maupun lawannya. "...bagaimana kalau kita cari tempat mengadu ilmu yang lebih leluasa lagi?"

"Ha-ha... kau kuatir aku merobohkan rumah ini? Tidak, aku memang akan merobohkan rumah bangsat Ting Hoan-wi ini...." sahut Oh Kui-hou. Dan serangannya malah semakin menghebat, sehingga rumah itu seperti digetarkan gempa bumi ataupun prahara yang hebat.

Helian Kong lalu memancing kemarahan lawan, "Aku punya jurus silat simpanan yang tidak leluasa kumainkan di sini. Karena itu, kalau kau takut kepada jurus ampuhku itu, tidak pindah ya tidak apa-apa."

"Ha-ha, sungguh tajam mulutmu. Mau mencoba membohongi aku, agar berkesempatan kabur?"

Habis berkata demikian, Oh Kui-hou mendesak dengan jurus Sam-po-lian-hoan (Tiga Langkah Berantai) dengan segenap kekuatan. Terdengar gemeretak kayu belandar makin hebat, genteng-genteng yang melorot jatuh juga makin deras.

Biarpun langkah Helian Kong ringan seperti mengambang, tapi ia tidak bisa dirobohkan oleh desakan dahsyat itu. Tiga langkah Oh Kui-hou dipunahkan tekanannya dengan tiga langkah berputar. Pada langkah ketiga, Helian Kong tiba-tiba menyergap serempak dengan tangan dan kakinya.

Sepasang telapak tangannya mendorong naik lengan Oh Kui-hou yang belum sempat ditarik, itulah gerak Pai-bun-tui-san (Mengatur Pintu Menolak Gunung). Kuda-kuda Oh Kui-hou belum mantap karena habis melangkah, maka tubuhnyapun agak terangkat terbawa lengannya yang penuh tenaga.

Lalu Helian Kong menyusulkan tendangan Ho-hou-hoan-sin (Macan Merunduk Membalikkan Tubuh) ke arah selangkangan lawannya. Tapi luput, sebab lawannya telah melompat dan melakukan gerak putaran di udara untuk menghindar.

Kena atau tidak, buat Helian Kong yang penting saat itu adalah berpindah arena sebelum rumah itu ambruk. Maka begitu lawannya mundur, Helian Kong melesat pergi sambil menantang. "Ayo, berani mengikuti aku atau tidak?"

Tubuh kecil Oh Kui-hou seperti bola karet yang dipantulkan ke dinding, segera "terbang" menyusul Helian Kong menghilang ke kegelapan malam.

Sementara pertempuran di halaman rumah itu tetap berlangsung sengit, biarpun tidak lagi ditunggui oleh jago andalan masing-masing pihak. Phoa Kim-gun dan Ting Hoan-wi makin sengit menghantamkan atau menyabet dengan sepasang tongkat baja dan pedang mereka. Ilmu mereka jelas tak bisa dibanding Oh Kui-hou maupun Helian Kong, tapi mereka saling membenci sampai ke tulang sungsum, sehingga itulah yang membuat pertempuran jadi hebat.

Namun dalam pertempuran antara masing-masing pihak, keseimbangan mulai goyah. Dalam keberanian, kekejaman dan ketangkasan main senjata, anggap saja kedua pihak seimbang. Tapi Phoa Kim-gun mendatangkan jumlah anak buah yang lebih banyak, sehingga pihak Ting Hoan-wi mulai terancam. Kedua pihak sudah berkurang dengan orang-orang yang tewas, namun pihak penyerbu makin kuat dan ganas dalam mendesak pihak tuan rumah.

"Tumpas semua orang dan musnahkan tempatnya!" itulah perintah Phoa Kin-gun yang bernada amat mendendam.

Ting Hoan-wi mulai meraba ngeri. Bukan menyesal karena dulu telah meracuni orang-orangnya Phoa Kim-gun untuk merebut garam mereka. Bukan. Selagi harga garam melambung sehingga sama dengan emas, tindakan itu dirasakan tepat dan tidak perlu disesali.

Boleh jadi tindakan itu dianggap kotor oleh pendekar-pendekar terhormat, namun dianggap hal biasa buat kaum bawah tanah seperti mereka. Namun Ting Hoan-wi menyesal karena kurang banyak mengumpulkan anak buahnya di situ, sehingga sekarang kedudukannya menjadi sulit.

Ketika ia melirik sekejap ke atas genteng, ia makin ciut nyalinya melihat Helian Kong sudah tidak ada di situ, juga lawannya. Maka Ting Hoan-wi pun memaki dalam hati, "Bangsat, percuma aku jamu Helian Kong dengan makanan-makanan mahal. Di saat gawat ini malah dia menghilang dan tidak mau menolongku."

Sementara kelompok Phoa Kim-gun makin beringas, biarpun harus "tukar-menukar" nyawa namun mereka semakin mendepak dan mengurung. salah seorang dari mereka berhasil melemparkan obor ke atap rumah, dan atap rumah perlahan mulai terbakar. Kemudian obor obor lain dilemparkan ke segala penjuru, sebagian besar menimbulkan kobaran si jago merah yang rakus melahap apa saja.

Dari bagian belakang rumah itu lalu terdengar jeritan panik para pembantu rumah tangga, lelaki maupun perempuan. Suasana jadi tambah kacau tak karuan. Ting Hoan-wi semakin sedih dan gusar. Bukan nasib orang-orangnya yang dipikirkan, namun akan musnahnya rumah warisan pamannya yang telah diperindahnya dengan banyak biaya itu? Juga kekayaan yang tersimpan didalamnya? Yang selama ini dikumpulkan dengan menghalalkan segala cara?

Sementara itu Helian Kong dan Oh Kui-hou masih berkejaran seperti dua ekor burung merpati yang dilombakan. Melesat cepat di atas atap-atap rumah dan pepohonan, sampai akhirnya tibalah mereka di luar desa yang gelap gulita, hanya mengandalkan penerangan rembulan.

"He, penakut, berhentilah!" teriak Oh Kui-hou sanbil mengerahkan tenaga dan semangatnya untuk bisa memburu lawannya. Namun buruannya juga bergerak makin cepat, sehingga jarak antara kedua nya seakan tidak berubah.

“Hem, kiranya panglima-panglima Kerajaan Beng semuanya berwatak pengecut seperti ini, pantas kalau negaranya makin bobrok!" kini Oh Kui-hou mencoba menghentikan dengan ejekan tajam.

Waktu itu mereka sudah tiba di sepetak sawah kering di luar desa, disana-sini nampak tumpukan jerami. Di tempat itulah Helian Kong tiba-tiba berhenti dan memutar tubuh menghadapi lawannya.

"Jangan besar mulut, sobat! Aku berlari bukan karena takut kepadamu, tapi menghindari kerusakan rumah orang tak bersalah," kata Helian Kong." Di tempat ini, akan kuladeni kau biarpun mengajak bertarung selaksa jurus.

"He-he, penyelundup garam yang licik itu kau anggap orang tak bersalah?" dengus Oh Kui-hou mengejek. "Jaman benar-benar sudah terbalik."

"Dia melakukan itu demi menolong rakyat yang menderita kekurangan garam karena ulah pemberontak-pemberontak busuk macam kalian!" bantah Helian Kong gusar. "Jangan banyak mulut, sekarang akan kuringkus dirimu!"

Lalu Helian Kong secepat kilat menggulingkan diri sambil menendang lutut lawannya, itulah gerak Bu-siang-iat-beng (Hantu Bu-siang Mencabut Nyawa). Meskipun membawa pedang, Helian Kong bersikap jantan dengan membiarkan pedang itu tetap dalam sarungnya yang tergendong di punggungnya, sebab lawanyapun tidak bersenjata.

Serangan itu agak mengejutkan Oh Kui-hou. Sebab semula Helian Kong bertempur dengan jurus-jurus khas Tiat-eng-bun yang setiap menyerang dari atas sambil melompat. Maka kini secepat dan setangkas itu Helian Kong menyerang bagian bawah, Oh Kui-hou agak terkejut memang.

Cepat Oh Kui-hou melompat, berputar untuk menyelamatkan kakinya, dibarengi sepasang tangannya yang menggempur berbarengan dari udara untuk mengarah kepala dan punggung lawannya. Gempuran itu berlandaskan ilmu silat Ban-siang-kun-hoatnya yang memang amat hebat.

Sayang yang kena cuma tanah. Gumpalan-gumpalan tanah seolah meledak berhamburan karena disemburkan dari mulut gunung berapi, meninggalkan lubang hampir sejengkal. Tapi Helian Kong tidak kena. Ketua Tiat-eng-bun yang masih muda itu telah melambung seperti sebilah bambu yang dilentingkan. Dia kini ganti di sebelah atas Oh Kui-hou dengan sepasang tangan terpentang siap menerkam.

Oh Kui-hou kelabakan. Daripada posisinya menjadi serba-salah, ia sekalian melompat ke depan sambil berputar berusaha kembali merebut posisi yang mantap. Sepasang tangannya disilangkan dan siap menangkis serangan dari atas.

Tak terduga serangan dari atas itu tidak datang, cuma tipuan, sebab sepersekian detik sebelumnya tubuh Heli-an Kong sudah anjlog melakukan gerakan Han-ya-pok-cui (Gagak Menyambar Air) dan tahu-tahu sudah berjongkok rendah di tanah, sepasang tangannya mencengkeram tanah yang lalu dihamburkan ke muka Oh Kui-hou.

Kali ini posisi Oh Kui-hou makin tak karuan. Selagi menghindari hamburan tanah ke wajahnya, kakinya tersapu kaki Helian Kong sehingga tubuhnya ambruk. Dan baru saja hendak melompat bangun, tahu-tahu kaki Helian Kong sudah menginjak dadanya, Dengan demikian Oh Kui-hou sudah kalah, kini nasibnya tergantung bagaimana sikap Helian Kong.

Selisih ilmu antara Oh Kui-hot dan Helian Kong sebenarnya hanya selapis tipis, harusnya pertempuran antara mereka memerlukan ribuan jurus untuk menentukan kalah dan menang. Namun ada sebabnya kenapa kini ia dapat di kuasai Helian Kong dalam waktu singkat.

Waktu pertarungan di atap rumah sebelumnya, Helian Kong sudah merasakan sendiri betapa tangguh dan rapatnya ilmu silat Ban-siang-kun-hoat lawannya. Tak mungkin mengatasi ilmu itu dengan main terjang begitu saja. Tak mungkin pula sekedar mengadu jurus. Namun Helian Kong diam-diam memperhatikan bahwa ilmu Oh Kui-hou itu kaku dan kurang cepat kalau harus mengubah arah menghadapi serangan yang berubah-ubah sudutnya.

Maka sambil berkejaran tadi, Helian Kong diam-diam memikirkan caranya untuk mengalahkan. Setelah cara itu di dapatkan dalam otak, dan tempat yang cocok juga ditemukan, diapun berhenti untuk mempraktekkan rencananya. Ia melakukan jurus-jurus kilat yang tak sempat diperhitungkan lawan, bergantian dari sebala sudut yang tak terduga, dan berhasil.

"Bunuh aku, begundal Kaisar!" dibawah injakan Helian Kong, Oh Kui-hou tidak menunjukkan sikap takut mati. "Ayo bunuh aku! Perjuangan Joan-ong takkan gagal hanya oleh kematianku! Semua orang mendukung perjuangan Joan-ong, pemerintahan yang dikuasai dorna sekarang ini pasti akan runtuh berkeping-keping seperti rumah jerami di hadapan prahara kemarahan rakyat!".

Di luar dugaan, Helian Kong justru mengangkat kakinya dari dada Oh Kui-hou, lalu melangkah mundur dan berkata, 'Bangun. Aku tidak akan membunuhmu!"

Beberapa saat Oh Kui-hou tidak bangun, tetap membiarkan dirinya berbaring di tanah. Rona kemarahan di wajahnya digantikan sikap terheran-heran. "Apa.... maksudmu?"

Sahut Helian Kong dingin, "Akan ku biarkan kau hidup untuk menjadi saksi kegagalan Li Cu-seng yang kalian sanjung-sanjung seperti malaikat maha sempurna itu. Kuberi kau kesempatan hidup terus untuk melihat bagaimana Li Cu-Seng cuma keledai tolol yang di tunggangi dan dituntun oleh Lau Cong-bin dan Gu Kim-seng, dorna-dorna yang berlagak pejuang rakyat itu!"

Wajah Oh Kui-hou menjadi merah padam. Ia melompat bangun, "Joan-ong pasti menang! Rakyat pasti menang! Pemerintahan korup Kerajaan Beng yang akan runtuh!"

"Aku sebenarnya malu terlalu cerewet, sobat, tapi karena aku kagum kepadamu sebagai seorang pendekar yang berwatak satria dan berilmu tinggi, aku mau memperingatkan sekali lagi," kata Helian Kong. "Penberontakan bukan cara yang tepat untuk menyelamatkan negara. Dalam pemerintahan kerajaan ada orang busuk macam Co Hua-sun, yang bukan saja kalian benci namun aku sendiripun amat membencinya.

"Tapi kalau kalian terus berontak, kalian meyulitkan kami untuk membersihkan orang-orang korup seperti Co Hua-sun itu. Lagi pula kalau perang antar sesama bangsa Han ini berlarut-larut, siapa yang untung. Tak lain adalah orang-orang Manchu yang sekarang sedang memupuk kekuatan di luar perbatasan San-hai-koan untuk menanti kesempatan mencaplok negeri leluhur kita. Yaitu kalau pihakmu dan pihakku sudah sama-sama babak belur."

Oh Kui-hou termangu. Perasaannya yang terdalam merasakan betapa tulusnya kata-kata Helian Kong, sama sekali tidak terdengar sebagai sekedar bujukan manis untuk membenarkan pihaknya sendiri. Ia menarik napas dan berkata,

"Kau benar-benar seorang prajurit sejati, prajurit berhati lurus. Harapanmu untuk membersihkan pemerintahan ini dari orang-orang korup, sungguh harapan semua orang yang mencintai negeri ini. Tapi biarpun mimpimu itu indah, mimpi tetap mimpi, takkan menjadi kenyataan. Joan-ong pernah bilang secara pribadi kepadaku.

"Ia amat terluka akan kematian yang penasaran dari pembesar-pembesar setia seperti Kim Teng-pek atau Wan Cong-hoan, mati karena difitnah. Saat itulah Joan-ong merasa tidak ada harapan menyelamatkan negara kecuali dengan merombak total yang lama dan mendirikan yang baru. Di luar itu hanyalah usaha tambal-sulam yang tak banyak gunanya."

Habis berkata demikian, Oh Kui-hou membungkuk hormat dan berkata, ''Oh Kui-hou secara pribadi berhutang budi kepada Bun-cu (Ketua), mudah-mudahan di lain waktu ada kesempatan untuk membalas budi Bun-cu secara pribadi pula. Selamat tinggal!” Lalu tubuhnya melenting dan berkelebat lenyap ke balik gelapnya malam.

Helian Kong mendengar betapa Oh Kui-hou menekankan pada kata-kata "secara pribadi," itu artinya hutang berlaku bukan antara seorang perwira kerajaan dengan seorang tokoh pengikut Li Cu-seng, melainkan antara Helian Kong pribadi dengan Oh Kui-hou pribadi.

Urusan dunia persilatan yang dilepaskan dari paham politik masing-masing. Itu artinya pula, jika kelak Oh Kui-hou dan Helian Kong bertempur di medan perang antara laskar pemberontak dengan tentara kerajaan, maka hutang budi itu dianggap tidak mengikat Oh Kui-hou, yang bakalan ada hanya antara dua orang dari pihak-pihak yang bermusuhan.

Melihat perginya Oh Kui-hou, Helian Kong cuma geleng-geleng kepala sambil bergunam, "Seorang lelaki sejati, sayang keras kepala." Pada saat yang sama, saat melesat pergi meninggalKan arena tadi.

Oh Kui-hou juga menggumam penuh penyesalan, "Seorang lelaki sejati, sayang mengabdi di tempat yang keliru."

Demikianlah untuk sementara sang "kebenaran" harus dipecah dua. Helian Kong lalu melangkah balik ke desa, untuK melihat bagaimana kelanjutan pertempuran antara kelompok Ting Hoan-wi dengan kelompok Phoa Kim-gun. Belum sampai ke desa itu, Helian Kong sudah kaget melihat langit berwarna merah menyala, persis di jurusan runah Ting Hoan-wi. Helian Kong memacu langkahnya, sehingga ia berlari seperti terbang kearah nyala apa itu.

Masih kurang belasan langkah sebelum mencapai gapura desa, Helian Kong sudah lebih dulu berpapasan dengan Ting Hoan-wi terbirit-birit bersama tiga atau empat orang anak buahnya. Mereka tidak melalui jalan terbuka, melainkan menyusup-nyusup diantara ladang-ladang penduduk. Dilihat gelagatnya jelas pihak merekalah yang kalah.

Cepat Helian Kong memanggil, "A-hoan!"

Ting Hoan-wi dan sisa orang-orangnya berhenti berlari, namun beberapa kali mereka masih nenengok ke belakang dengan sikap kuatir kalau dikejar musuh, sambil mengatur napas mereka yang terengan-engah. Setelah itu, Ting Hoan wi memberondongkan kata-kata yang bernada menyalahkan Helian Kong.

"Ke mana saja kau, A-kong? Kenapa tidak bertempur bersama kami? seandainya kau tetap bertempur di tempatku, tentu takkan begini jadinya, ah."

Helian Kong mencoba memaklumi. Memang jaman itu jaman sulit. Jamannya orang gampang menuntut tapi sulit berterima kasih. Ditolong sebesar apapun masih merasa diabaikan, minta yang lebih besar lagi. Terpaksa Helian Kong harus menerangkan dengan sabar, "Aku juga bertempur melawan orang pendek kurus bersenjata cambuk panjang itu."

"Hanya melawan satu orang? Padahal banyak saudara-saudaraku yang terpaksa harus menghadapi dua orang atau lebih karena kalah jumlah, sedangkan kau cuma mengambil satu orang sebagai lawanmu. Dan setelah mengalahkan dia, kenapa tidak cepat-cepat kenbali ke rumah untuk membantu kami? Coba kau tidak terlambat, pastilah hartaku tidak akan ludes dimakan api. Sekarang ludes! Ludes!" bicara sampai di sini, suara Ting Hoan-wi meninggi dan mukanya sudah mewek-mewek hampir menangis.

"A-hoan, aku memang telah berhasil mengalahkan orang kurus itu, dan sedang berjalan balik ke rumahmu, tapi sudah lebih dulu ketemu kau di sini."

"Kenapa begitu lama?"

"Karena si kurus itu bukan tokoh silat sambarangan."

"Siapa dia?"

''Oh Kui-hou."

Sebagai seorang yang giat di dunia petualangan, sedikit banyak Ting Hoan-wi juga pernah mendengar nama jagoan lihai yang malang melintang di kawasan barat-laut itu. Ia terkejut ketika mendengar betapa tokoh itu sudah bersekutu dengan Phoa Kim-gun, saingan utamanya.

Diam-diam Ting Hoan-wi mulai gentar. Kalau benar Phoa Kim-gun sudah mendapat sekutu sehebat itu, masih mampukah dirinya sendiri menandinginya dalam urusan garam itu? Bahkan tinggal di tempatnya semula pun mungkin sudah tidak aman lagi.

"Ancaman makin besar, kalau aku nekad bertahan pasti akan remuk tergilas." Ting Hoan-wi mulai menimbang-nimbang dalam hati. "Aku harus tinggalkan dulu lapangan ini untuk memperkuat kedudukan, dan setelah kuat barulah terjun kembali ke dalam usaha ini untuk menyapu bersih semua saingan, dan memegang monopoli atas perdagangan garam kalau sudah begitu, aku bisa menentukan harga semauku, dan duniapun bisa kubeli."

Begitulah, dalam keadaan jatuhpun "otak dagang" Ting Hoan-wi tetap berjalan dengan baik. Dan ketika ia memikirkan cara "memperkuat diri" maka tak sadar ia melirik Helian Kong. Helian Kong bisa dijadikan jembatan unluk mencari hubungan dengan orang-orang berkuasa di Pak-khia. Namun ketika menatap Kobaran api di arah rumahnya, masih masygul juga hatinya, dan mulutnya terus meratap, "Hartaku… oh, kekayaanku… selamat tinggal."

Helian Kong berdiri di sebelahnya dan menatap ke arah yang sama dan tidak Kurang masygulnya. Namun yang disesalinya ialah papan arwah kedua orang tua Tan Wan-wan yang tak bisa diselamatkan. Untuk menyatakan hormatnya, Helian Kong berlutut ke arah kobaran api itu sambil memberikan doa, "Paman, bibi, maafkan aku tidak sempat menyelamatkan abumu. Mudah-mudahan api benar-benar menyempurnakan kalian, sampai tiba saatnya penjelmaan kembali."

Ting hoan-wi tidak berlutut, ia masih saja terlongong-longong sedih memikirkan hartanya yang musnah. la baru tersentak sadar ketika seorang antik buahnya tertanya, "Toako, sekarang bagaimana kita?"

Sesaat Ting Hoan-wi tergagap, lalu menjawabnya, "Kita bubarkan diri untuk sementara, situasi sedang tidak menguntungkan. Kalian beri tahu saudara-saudara yang lain agar lebih dulu ganti majikan. Kelak kalau sudah membaik, aku takkan melupakan kalian."

"Toako sendiri hendak ke mana?"

Ting Hoan-wi kembali melirik sekejap ke arah Helian Kong yang sudah bangkit dari berlututnya, sesaat ragu-ragu, apalagi ketika Helian Kong balik menatapnya. Tanya Ting Hoan-wi ragu-ragu "A-kong, kau keberatan tidak kalau aku berjalan bersamamu sampai ke Pak-khia?"

"Kau punya kehendak sendiri, siapa berhak melarangmu untuk pergi kemanapun kau suka? Tapi kalau aku boleh tahu, untuk keperluan apa kau ko Pak-Khia?"

"Mungkin akan kupertimbangkan untuk mengabdi sebagai prajurit Kerajaan,"

Jawaban itu bukan hanya mengherankan Helian Kong, tapi juga sisa-sisa anak buah Ting Hoan-wi. Helian Kong bungkam sesaat. Ada sedikat rasa tersinggung dalam hati, bahwa banyak orang memasuki tentara kerajaan hanya untuk pelarian, mencari majikan, mencari Kekuasaan dan sebagainya, padahal Helian Kong memandangnya sebagai pengabdian total.

Namun ia tidak bisa menutup mata bahwa prajurit sejati yang sesuai dengan idamannya itu entah cuma beberapa gelintir jumlahnya. Kalau misalkan disaring, jumlahnya untuk mempertahankan suatu kampung saja tidak cukup, apalagi seluruh wilayah kekaisaran.

Adalah kenyataan bahwa Kerajaan Beng saat itu tengah membutuhkan tenaga sebanyak-banyaknya untuk menghadapi pemberontakan Li Cu-seng di dalam negeri, dan menjaga bangsa Manchu dari seberang perbatasan.

Demi menghimpun Kekuatan itulah maka tidak terhindari Kalau Tentara Kerajaan kesusupan banyak orang yang berseragam prajurit, namun hanya mengabdi kepada perutnya sendiri. Helian Kong tidak berani menebak Ting Hoan-wi ini kelak entah masuk golongan yang mana?

"Bagaimana, A-kong? Kira-kira aku bisa tidak masuk ke dalam Tentara Kerajaan?"

"Kenapa tiba-tiba kau ingin menjadi prajurit?"

Sejenak berpikir, lalu menjawablah Ting Hoan-wi dengan gagahnya, "Sebagai lelaki, aku harus melakukan sesuatu yang berharga buat negeriku!”

Sementara orang-orangnya Ting Hoan-wi saling pandang dengan heran namun bungkam. Entah arwah pahlawan dari dinasti mana yang sedang merajuk tubuh Ting Hoan-wi. Namun mereka lihat Helian Kong mengangguk dan berkata,

"Baik, kalau kau mau pergi ke Ibu kota, marilah jalan sama-sama!" Ternyata Helian Kong baru menyebut soal "pergi ke Pak-khia" dan belum soal "masuk Tentara Kerajaan". Rupanya Helian Kong sendiri masih agak ragu akan kemurnian tekad sahabatnya ini.

Ting Hoan-wi telah membusungkan dada dan berpesan kepada sisa orang-orangnya, "Pergilah dan jalankan pesan ku tadi!"

Orang-orang itupun memberi hormat kepada Ting Hoan-wi dan juga Helian Kong, kemudian pergilah mereka sampai lenyap ke balik tirai malam. Setelah itu. Helian Kong masih bertanya sekali lagi, '’A-hoan, sudah mantap benarkah niatmu?"

"Jangan disangsikan lagi. Seorang lelaki sejati, sekali ambil keputusan takkan berubah lagi!"

"Baik. Kita terangkat sekarang juga, dan terpaksa harus jalan kaki, sebab kudaku sudah hangus dirumahmu yang terbakar."

Waktu itu agaknya sudah menjelang dini hari, sebab langit, di belahan timur sudah lebih muda warnanya dari belahan baratnya. Kedua saudara seperguruan itu mengarahkan langkah ke timur laut. Di desa yang mereka tinggalkan, para penduduk tahu kalau ada perkelahian hebat dan kebakaran. Tapi tak ada yang keluar menolong. Bahkan banyak orang bersuka-cita untuk menyukurkan kejadian itu.

"Mampus Ting Hoan-wi si pelit itu!"

"Benar. Punya persediaan garam tapi tak mau membagi kepada orang kesusahan, malahan menjualnya dengan harga yang mencekik leher!"

"Berhati binatang dia. Bahkan adik misannya perempuan pun dipaksa kawin dengan seorang pemuda kaya di Soh-ciu demi mendapat imbalan uang!"

Para penduduk itu tidak tahu kalau yang dikutuk sedang berjalan tegar ke Pak-khia "sebagai lelaki sejati" dan sedang bersiap-siap untuk "mengabdi negeri".


Beberapa hari kemudian, jalan raya antara propinsi Shoa-san dan Ho-pak sudah di jejaki sepasang saudara seperguruan itu. Di sini suasana perang sudah mulai terasa. Beberapa kali Helian Kong dan Ting Hoan-wi berpapasan dengan regu-regu prajurit peronda keamanan. Limapuluh orang tiap regu, menunggangi kuda, dan dengan tajam mengawasi pemakai-pemakai jalan lainnya.

“Baagus." Helian Kong berkata puas dalam hatinya. "Jalan ini adalah urat nadi yang menghubungkan Ibu kota dengan garis depan, karena itu harus tetap aman dan terkuasai dengan mantap."

Helian Kong juga yakin bahwa di antara lalu lintas itu tidak hanya dirondai oleh prajurit-prajurit berseragam dan terang-terangan memanggul senjata, tapi juga oleh prajurit-prajurit sandi yang menyamar dan berbaur di antara orang banyak.

Selain itu, sering nampak rombongan pengungsi dari arah barat, menuju ke timur. Mereka semua berwajah kuyu karena kekurangan makan dan kelelahan setelah berjalan jauh. Namun mereka memaksa diri sambil membawa apa saja yang masih bisa dibawa untuk menjauhi daerah perang, kalau tidak, di daerah perang itu mereka hanya akan tergencet tanpa daya oleh pihak-pihak yang bertikai.

Disalahkan kedua pihak dan tidak ada yang membela mereka. Oleh Tentara kerajaan dituduh memberi perbekalan kepada pemberontak, dan oleh pemberontak dituduh tidak setia kawan terhadap saudara-saudara senasib yang sedang berjuang. begitulah, di tuduh dari kanan kiri sambil diacung-acungi golok di depan hidung mereka.

Padahal di masa pacekiik itu, siapa mau dengan suka rela membagi berasnya untuk pihak yang berperang? Dimakan sendiri saja tidak cukup, apa lagi diberikan. Tetapi banyak orang telah mati penasaran karena tuduhan semena-mena itu. Maka jalan yang aman ya menjauhi aaerah perang saja.

Dj wilayah barat-laut, Liu Si-seng sudah dianggap raja olen pengikut-pengikutnya. Karena jumlan laskarnya makin banyak, Li Su-seng beranj membuka dua front pertempuran. Serangan ke timur berusaha merebut propinsi Ho-pak dan lbu kota Pak-khia sebagai simbol pemerintahan, front barat-daya berusaha merebut propinsi Se-cuan yang berlimpah hasil berasnya, untuk dijadikan basis perbekalan dalam perang jangka panjang.

Tetapi di kedua front itu Liu Cu-seng ketemu lawan-lawan tangguh. Di front timur ia kebentur Jenderal Sun Toan-teng dengan pasukannya yang kuat bermarkas di long-koan. Sedang di front barat-daya, propinsi Se-cuan di pertahankan oleh Jenderal Thio Hian-tiong dengan pasukan Tai-se-kun yang terkenal ketangguhannya.

Maka di front barat-daya Li Cu-seng hanya mengambil sikap bertahan sambil menjaga, sedang gempurannya dipusatkan untuk membobol pertahanan Jenderal Sun Toan-teng lebih dulu di Tong-koan.

Jalan raya yang sedang dilewati Helian Kong dan Tang hoan-wi itu adalah penghubung antara Tong-Koan di garis depan dan Pak-khia, ibu kota negara. Inilah "urat nadi" mata hidupnya pasukan Jenderal Sun sehingga tidak heran kalau di ronda dengan ketat sekali.

Helian Kong dan Ting Hoan-wi kemudian nenjumpai sebuah desa, yang nampak kelewat padat penduduknya. Sebab selain rumah-rumah asli penduduk desa itu, juga nampak gubuk- gubuk yang didirikan oieh para pengungsi yang menempati dimana saja ada sejengkal dua jeng kai tanah kosong.

Bau tinja kering "produk” para pengungsi yang serba darurat "semerbak” memenuhi udara. Inilah benar-benar pemukiman yang jauh sekali dari syarat-syarat kesehatan atau kenyamanan, dan tempat pemukiman yang berjubel-jubel.

Tang Hoan-wi berjatah Sambil menutupi hidungnya dan menggerutu sedang Helian Kong merasa sedih melihat akibat perang itu. Entah siapa benar dan siapa salah, yang jelas rakyat kecil sudah jadi Korban lebih dulu.

"Ayo kita cari tempat, yang bersih untuk makan," ajak Ting hoan-wi. Maklumlah, mereka telah berjalan sejak pagi dan saat itu sudah lohor. Merekapun memasuki desa lebih ke dalam dan mencari warung.

Kaum pengungsi agaknya tidak berani mendirikan gubuk-gubuk mereka terlalu masuk ke dalam desa, mungkin penduduk desa itu keberatan. Maka di bagian dalam desa suasananya jadi agak segar, warung-warung banyak terdapat di sebelah-menyebelah jalanan utama.

Namun segera terlihat pemandangan yang agak ganjil. Semua warung rata-rata dijaga oleh tiga atau empat orang lelaki bersenjata. Entah duduk dekat pintu, atau bahkan berdiri di depan pintu dengan muka waspada.

Helian kong dan Ting Hoan-wi masuk ke sebuah warung, di situpun nampak beberapa lelaki penjaga yang dengan tatapan curiga menatap pedang-pedang yang dibawa Kedua saudara seperguruan itu. Namun mereka tidak mencegah, cuma, mengawasi.

Tukang warung datang mendekat dan menanyakan mau pesan apa, sambil menyebutkan sederetan nama makanan dan minuman yang tersedia di warungnya. Helian Kong memesan beberapa macam makanan dan arak.

Tidak lama Kemudian ketika si tukang warung Kembali mengantarkan pesanan, Helian Kong menggunakan kesempatan itu untuk bertanya kepadanya, "Pak, kulihat semua warung-warung di desa ini dijaga, Kenapa?"

Sahut si tukang warung, "Situasi sekarang benar-benar rusuh. Belum lewat sebulan yang lalu, ada warung dijarah habis oleh pengungsi-pengungsi kelaparan. Pemiliknya tak berdaya, malah dipukuli babak belur.”

"Di kampung ini?"

"Bukan, di desa sebelah barat. Namun ketika kami di sini mendengarnya, kami merasa perlu melakukan tindakan penjagaan. Kami upah beberapa pesilat untuk menjaga warung. Selain itu, Ong Thong-leng (Komandan Ong) dan pasukannya sudah berjanji akan menjaga desa ini. kalau ada kerusuhan yang tak bisa kami atasi sendiri, kami boleh langsung lapor kepadanya untuk minta didatangkan pasukan.

Helian Kong mengangguk-angguk. Merekapun kemudian melahap hidangan mereka. Seperti di tenpat-tempat ia in, makanan di warung ini pun terasa agak hambar, karena kurangnya garam yang melanda di segala tempat. Nanun dalam keadaan lapar, ibaratnya biarpun sayur mentah juga akan mereka lahap habis.

Sementara itu si tukang warung dari belakang meja kasirnya diam-diam menguping percakapan Helian Kong dan Ting Hoan-wi. Bukan isi percakapannya yang menarik, melainkan justru logat bicara Helian Kong, logat barat-laut. Helian Kong memang lahir dan sampai umur lima belas tahun di Leng-ciu, propinsi Kam-siok. Logat barat-lautnya tidak hilang-hilang juga meskipun dia sudah bertanun-tahun di propinsi Ho-pak.

Setelah si tukang warung yakin bahwa yang didengarnya itu benar-benar dialek barat-laut, si tukang warung menyelinap ke belakang warungnya. Di belakang warungnya ada seorang bocah tanggung sedang membelah kayu bakar, dan kepadanyalah si tukang warung berbisik, si bocah tanggung mengangguk-angguk paham lalu buru-buru pergi.

sementara itu Helian Kong dan Ting Hoan-wi sudah selesai makan, lalu mereka panggil si tukang warung untuk menanyakan harganya. Ketika si tukang warung menyebutkan harganya, maka Ting Hoan-wi menggebrak meja dengan gusar,

"Sepuluh tahil perak? Gila! makanan yang tak berarti dan hambar itu kau hargai semahal itu?"

Harga itu memang kelewat tinggi, namun si tukang warung pun sudah punya jawabannya, "Maaf, tuan-tuan, itu harga wajar di jaman sesulit ini. Gara-gara perang yang berlarut-larut, harga semua bahan-bahan makanan melambung tinggi. Kami harus menaikkan harga supaya tidak rugi. Kami juga harus mengupah penjaga-penjaga itu."

"Keparat!" Ting Hoan-wi sudah bangkit hendak menjotos, namun Helian Kong cepat-cepat mencegah, "Sudahlah, A-hoan. Tidak ada gunanya ribut-ribut. Situasi di mana-mana memang begini."

Waktu itu para penjaga sewaan itu sudah berjalan mendekati, siap turun tangan kalau diberi isyarat oleh si tukang warung. Namun agaknya kekerasan belum harus digunakan, sebab Helian Kong sudah mengeluarkan kantong uangnya, dan membayar seharga yang diminta oleh si tukang warung, tanpa menghiraukan Ting Hoan-wi yang masih penasaran karena merasa "digorok."

Lalu Helian Kong menarik tangan Ting Hoan-wi meninggalkan warung itu. Baru mereka beberapa langkah dari warung, muncullah serombongan prajurit yang dipimpin seorang perwira rendahan berpangkat tui-thio. Si tui-thio berteriak-teriak sambil setengah berlari, "He, kalian berdua, tunggu!"

Begitu Helian Kong dan Ting Hoan-wi menghentikan langkah, segera mereka terkurung oleh ujung-ujung tombak dan pedang yang mengelilingi mereka. Tui-thio yang berkumis tikus itu dengan garang menuding, "Kalian berdua kami tangkap."

"Apa salah kami?" tanya Helian Kong yang saat itu memang sedang berpakaian sipil biasa, bukan pakaian perwiranya. Maka ia jadi kelihatan seperti pesilat pengembara biasa.

Sahut si tui-thio, "Pokoknya kalian berdua Kami curigai, sebab dialek salah satu dari kalian menunjukkan asal kalian. Tentu kalian punya tujuan menyusup ke daerah ini, kami curiga kalian adalah pengikut-pengikut si bandit besar Li Cu-seng!"

Kembali Ting-Hoan-wi siap mengumbar kemarahannya, dan lagi-lagi Helian Kong berhasil mencegahnya. Bahkan Helian Kong menjawab dengan sabar, "Kami akan tuan-tuan bawa menghadap siapa?"

"Menghadap komandan Kami!"

"Baik, ayolah, a-huan. Semuanya akan beres.”

Lalu Helian Kong melangkah tenang dikawal prajurit-prajurit itu, dan Ting Hoan-wi mau tidak, mau harus mengikutinya. Si tukang warung menyeringai senang melihat adegan itu, sambil bergumam sendirian, "Mampus kalian, pengacau-pengacau. Sudah lama aku sebal terhadap kalian, karena gara-gara pemberontakan kalianlah maka harga-harga naik dan warungku jadi sepi!"

Yang dijadikan markas tentara di desa itu adalah sebuah gedung besar berhalaman luas. Dulunya rumah seorang kaya, namun Ketika pihak Tentara Kerajaan menempatkan pasukan di situ, penghuni gedung itu digusur dan cuma kebagian dua kamar di bagian belakang. Selebihnya dipakai para prajurit yang berjumlah duaratus orang. Ong Go, komandan yang berpangkat Cian-bu, menempati ruangan di bangunan ulama yang sebelunnya dipakai tuan rumah sendiri dan isterinya.

Ke markas itulah Helian Kong dan Ting Hoan-wi digelandang. Ketika masuk ke halaman, Helian Kong lihat halaman itu penuh Prajurit berjaga, dihalaman samping juga nampak sekelompok prajurit yang tak berbaju sedang latihan silat.

Namun di halaman depan itu selain prajurit juga nampak orang-orang sipil. Merekalah orang-orang yang punya keluarga di tahan karena berbagai tuduhan, dan kini keluarga para tahadatantu datang untuk memintakan kebebasan, tentu saja tidak dengan tangan kosong.

seorang lelaki tua tengah terbungkuk-bungkuk bicara dengan seorang prajurit yang garang bertolak pinggang. Di tangan orang tua itu ada sekantung uang yang disodor-sodorkannya sambil membujuk-bujuk, "Tolonglah kami, tuan. memang kami sekeluarga dari Kam-siok, tapi bukan pengikut Li Cu-seng. Kami mengungsi kemari justru karena menghindarkan mereka, kami rakyat biasa yang setia kepada pemerintah kerajaan. Benar, tuan. Tolonglah bebaskan anak lelakiku, ibunya sudah sakit-sakitan memikirkan dia terus." Dan sebagainya.

Si prajurit melirik ke kantong uang itu dan tiba-tiba dengan ketangkasannya yang menakjubkan ia sambar Kantong uang itu untuk dimasukkan ke balik bajunya. Katanya, "Kalau memang anakmu tidak bersalah, itu soal gampang. Nanti aku bicarakan dengan komandan. Siapa nama anak lelakimu?"

Adegan macam itu berlangsung di segala sudut halaman. Ada yang langsung "cocok harganya" dan ada yang masih tawar-menawar diselingi ratapan pedih. Prajurit-prajurit itu lagaknya tak ubah pedagang-pedagang di pasar ternak yang minta harga setinggi-tingginya. Jelaslah, penangkapan terhadap orang-orang berdialek barat-laut itu ternyata telah dijadikan "bisnis" yang amat menguntungkan bagi prajurit-prajurit di tempat itu.

Tangkap saja sembarang orang, nanti tentu keluarganya datang membawa uang. Kalau tidak ditebus? Perkuat tuduhan dan laksanakan hukuman mati, tentu keluarga para tananan yang lain tidak lagi berani main-main dan berusaha sungguh-sungguh mencari uang.

Padahal orang-orang yang diperas itu hidup sehari-harinya sudah cukup susah. Mereka adalah pengungsi-pengungsi yang bekalnya tidak banyak, toh bekal mereka dirampas juga, sehingga masa depan mereka jadi makin gelap.

Melihat semuanya itu, isi perut Helian Kong mendadak seperti diaduk oleh perasaan muak. Kendali dirinyapun lepas. Kedua lengannya terpentang, dan dua prajurit yang menjaga di kiri kanannyapun terdorong roboh. Terus ia sendirian melangkah lebar ke dalam bangunan besar itu.

"He, mau kemana kau?" para prajurit berteriak.

"Ketemu komandan kalian!" sahut Helian Kong dingin tanpa melambatkan langkahnya.

"Harus menunggu, Thong-leng sedang sibuk! Kau tahu aturan tidak?"

"Aku mau ketemu sekarang juga!"

"Benar-benar berniat mengacau! Tangkap dia!" tui-thio yang tadi memimpin penangkapan Helian Kong itupun melengking marah.

Tetapi lengkingannya terhenti seperti dicekik menaadak, sebab tangan kiri Helian Kong tiba-tiba mencengkeram bajunya begitu kuat, sampai tui-thio itu matanya melotot dan napasnya tersengal-sengal. Prajurit-prajurit lain hendak bertindak, namun ragu-ragu tertindas perbawa Helian Kong, juga khawatir kalau mengenai si tui-thio sendiri.

Sementara Helian Kong dengan wajah merah padam telah menyeretnya masuk ke dalam. Karena langkahnya lebar dan cepat, orang yang diseretnya jadi pontang-panting mengikutinya. Ting Hoan-wi tetap berdiri acuh di halaman itu, cuma menonton semua adegan itu, namun dalam hatinya dia membatin,

“A-kong benar-benar orang aneh. Di warung tadi digorok dengan harga tinggi oleh si tukang warung, dia masih bersabar dan membayarnya. Kini dia tidak satu sen pun dirugikan, cuma melihat orang lain yang dirugikan itu padahal bukan sanak-kadang, malah dia jadi semarah ini. Aneh. Bukankah diapun seorang prajurit kerajaan dan seharusnya memihak sesama prajurit? Bukankah setiap orang juga mencari keuntungan selagi ada kesempatan?"

Rupanya Ting Hoan-wi menganggap organisasi ketentaraan itu sama saja dengan sindikat yang pernah dipimpinnya. Dalam sindikat, teman satu sindikat harus dibela mati-matian tidak perduli salah benar. Kenapa para prajurit tidak?

Sementara itu Helian Kong telah menyeret tui-thio itu sampai ke ruangan tengah. Di situ Heiian Kong melihat tampang si komandan. Agak gemuk, seragam perwiranya acak-acakan, topinya ditaruhnya di meja dengan sembarangan saja. Dan ada benarnya kalau penjaga di luar tadi bilang "komandan sedang sibuk," sebab komandan itu memang sedang sibuk bercanda dengan seorang wanita genit di pangkuannya.

Sambil cengengesan dan menciumi leher serta pundak perempuan itu, tangannyapun gerayangan di balik pakaian si perempuan, remas sana-sini dengan asyiknya. Sedang si perempuan tertawa-tawa cekikikkan sambil menggeliat-geliat kegelian, agak terengah-engah.

Tapi Kedatangan Helian Kong yang menyeret seorang perwira bawahannya sungguh mengganggu acara asyik itu. Dengan gusar si perwira sudah melotot, siap membentak Helian Kong yang dianggapnya Lancang. Namun sebelum ia membentak, Helian Kong telah membanting sekeping tiat pai (lencana besi) berbentuk persegi ke meja.

Kemarahan Ong Go, perwira itu, berubah menjadi rasa kaget melihat lambang dan huruf-huruf pada lencana itu. Jadi tahu kalau berhadapan dengan seorang yang berpangkat Hu-ciang, lebih tinggi dari pangkatnya yang cuma Cian-bu. Ia melompat dari kursinya begitu sigap, sehingga perempuan di pangkuannya terpelanting. Cepat-cepat dipakainya topinya, lalu menjura kepada Helian Kong,

"Maafkan, Hu-ciang. Aku tidak tahu kedatangan Hu-ciang sehingga..."

"Aku yakin biarpun Li Cu-seng sendiri datang ke mari, kau baru tahu setelah dia muncul di bawah hidungmu!" bentak Helian Kong gusar.

Lalu sepasang tangan Helian Kong terulur menyeberangi meja untuk mencengkeram baju Ong Go dan diguncang-guncang sambil membentak, "Orang she Ong, apakah kau tahu hal apa yang paling mengancam tegaknya kewibawaan pemerintah kerajaan?"

Dengan tubuh terguncang-guncang dan wajah ketakutan, Ong Go menjawab dengan suara tak karuan tapi masih bisa diartikan, "Ya... ya….. aku paham, Hu-ciang. Yang paling mengancam pemerintah adalah pemberontakan si garong Li Cu-seng itu! Itulah sebabnya aku dan pasukanku di sini untuk menjaga keamanan supaya..."

"Bukan! Bukan itu!" semprot Helian Kong sambil mendorong tubuh Ong Go keras-keras sehingga terjengKang ke kursinya dan hampir-hampir terguling bersama kursinya. Untung perwira itu bisa segera berpegangan tembok...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.