Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 03 Karya Stevanus S P

Sementara Helian Kong membentak, "Pemberontakan Li Cu-Seng cuma akibat, dan ada penyebabnya, Kalau semua prajurit Kerajaan bekerja dengan baik sehingga dicintai rakyat, Li Cu-seng takkkan mendapat begitu banyak pengikut betapapun pandainya dia membujuk orangg.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Tapi kenyataannya pengikutnya makin banyak, karena rakyat muak terhadap prajurit-prajurit macam kalian! Seenaknya menangkapi orang tak bersalah hanya untuk mengharap tebusan dari keluarga mereka! Kalian sama saja menyuburkan kebencian rakyat, dan mendorong orang-orang makin banyak untuk masuk barisannya Li Cu-Seng!"

"Aku… aku… Tidak…"

“Tidak apa? Selama penduduk berhasil kau injak, mereka nampak tidak berbahaya, namun mereka sudah memendam bibit kebencian dan tinggal menunggu saatnya untuk ikut-ikutan berontak bersama Li Cu-seng! Kau paham ini tidak?"

"Paham... paham..."

Helian Kong cukup tajam perataannya untuk mengetahui bahwa jawaban bernada ketakutan itu cuma asal-asalan saja. Bentaknya, "Ayo keluar, lihat bagaimana tingkah orang-orangmu!"

Terpaksa Ong Go ikut Helian Kong keluar. Di halaman itu, tawar-menawar antara para prajurit dengan keluarga tahanan masih berlangsung. Ong Go memutar otaknya sebentar. la merasa tertangkap basah. Memang sial bahwa hari itu ia kedatangan orang macam Helian Kong yang di jaman itu "sudah hampir punah". Benar-benar di Luar dugaan.

Namun demi menyelamatkan kedudukannya, ia terpaksa harus mengambil langkah yang sedikit mengorbankan anak buahnya sendiri. Dengan berlagak marah, tiba-tiba ia mendekati seorang prajuritnya yang tengah berbisik-bisik sambil menerima uang dari seorang penduduk. Prajurit sial itu dicengkeram lalu dibanting ke tanah dan dicaci maki,

"Keparat, jadi macam inikah yang kalian lakukan sebagai prajurit yang mestinya melindungi rakyat? Benar-benar memalukan aku! Kalian sudah melanggar pesanku agar...." Dan seterusnya.

Sambil mencaci-maki dan menuding-nuding, dia mengelilingi halaman itu dan menempeleng lagi beberapa bawahannya. Tentu saja para bawahannya jadi bingung, mengira kalau komandan mereka tiba-tiba kesurupan. Hari-hari sebelumnya sang komandan membiarkan saja praktek-pratek macam itu, bahkan sang komandan ikut main pula namun di "kelas kakap", sekarang kok malah...

Seorang prajurit yang giginya baru saja dijotos rontok, tetatih-tatih merayap bangun sambil mencoba protes. "Thong-leng, bukankah Thong-leng sendiri pernah juga...."

Sungguh seorang prajurit yang tidak bisa membaca gelagat tolol. Dan akhirnya hanya mendatangkan bencana buat diri sendiri. Ong Go sedang berusaha mengambil hati terhadap Helian Kong sudah tentu ia tidak memberi kesempatan prajurit itu ngoceh lebih lanjut. Cepat ia melompat untuk menginjak leher prajurit itu, sambil berkata,

"Kurang ajar, mau ditertibkan malah membantah! Ayo, siapa lagi berani buka mulut!"

Halaman itu penuh orang, tapi mendadak menjadi sunyi senyap dan menegangkan. Orang-orang sipil berkumpul berdesakan di salah satu sudut halaman, mereka takut dan bingung menghadapi perubahan sikap Ong Go.

Sedangkan para prajurit seolah sudah berubah jadi patung semua. Yang sudah terlanjur mengantongi uang lebih bingung dari yang baru tawar-menawar, mau disembunyikan ke mana uang itu nanti kalau digeledah oleh sang komandan yang "alim mendadak" itu?

"Berbaris tertib dan dengar perintahku!” teriak Ong Go pula.

Para prajurit segera berbaris tertib. Lalu Ong Go berdiri di atas bangku dan mulailah ia berpidato yang antara lain berisi anjuran agar prajurit-prajurit bertingkah laku "bersih" dan sebagainya. Dikuping para prajurit, itulah pidato paling ganjil di dunia.

Yang ganjil bukan ajaran moral tingkat tinggi yang banyak dikutib dalam pidatonya, melainkan karena ajaran itu keluar dari mulut Ong Go. Ini sama anehnya melihat dari mulut anjing tiba-tiba tumbuh gading yang bernilai tinggi. Karena para prajurit itu sudah tahu orang macam apa komandan mereka itu.

Helian Kong muak, karena tahu kalau "sandiwara" itu "dipentaskan" buatnya untuk menghibur hatinya, namun Helian Kong tidak terhibur dan malahan bertambah gemas. Apa jadinya masa depan negara kalau sebagian besar pejabatnya adalah orang-orang macam Ong Go? Pintar pidato bagus, namun kelakuannya sehari-hari bertolak belakang dengan isi pidatonya.

Sedangkan Ting Hoan-wi berdiri dengan sikap tidak ambil pusing. Dianggapnya segala yang terjadi di halaman itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Kemundian Ong Go mmutup pidatonya, dengan perintah. "Sekarang bebaskan semua tahanan yang kalian tangkap sewenang-sewenang! Cepat! Bebaskan tanpa syarat!"

Para prajurit dengan agak bingung seperti setengah mimpi menjalankan perintah itu. Bukankah dulu yang memerintahkan penangkapan-penangkapan itu juga sang komandan sendiri, dengan dalih untuk "mengisi kas"?

Kemuakan Helian Kong agak terobati melihat tahanan-tahanan dibebaskan. Di halaman itu juga terjadi pertemuan mengharukan antara para tahanan dengan keluarga masing-masing yang tadinya sudah sama-sama putus harapan. Terutama pihak keluarga yang tidak tahu bagaimana bias menyediakan sejumlah uang yang diminta oleh pihak tentara.

Tengah suasana mengharukan itu berlangsung, mendadak dua orang prajurit lari tergopong-gopong memasuki halaman itu dari arah jalanan. Langsung berseru-seru. Thong-leng! Thong-leng!”

“Ada apa?” Tanya Ong Go.

"Ada sekelompok pengungsi kelaparan yang menjadi liar, tak terkendali lagi. Mereka menyerbu kediaman Ciu Ti-koan (Hakim Ciu), untuk merampas bahan makanan dari rumah Ciu Tikoan!"

Wajah Ong Go berubah hebat, “Tikoan adalah pejabat negara, berani benar gelandangan-gelandangan liar Itu berbuat demikian!"

"Thong-leng, pengungsi-pengungsi kalap itu berjumlah banyak sehingga rumah Tikoan terkepung. Satu regu prajurit berusaha menolong Tikoan, namun belum berhasil menembus kepungan itu!"

“Pengungsi-pengungsi itu bersenjata?”

"Mereka membawa pentung, batu dan sebagainya."

Ong Go menoleh ke Helian Kong dan bertanya, "Bagaimana, Hu-ciang?"

Mendengar pertanyaan Ong Go kepada Helian Kong itu, barulah para prajurit di halaman itu tahu kalau tadi mereka salah tangkap di warung. Pengunjung berdialek barat-laut yang mereka sangka mata-mata pemberontak itu ternyata seorang Hu-ciang dalam Tentara Kerajaan, pangkatnya lebih tinggi dari Ong Go yang cuma berpangkat Cian-hu. Sekaligus terjawablah keheranan mereka kenapa tadi sang komandan tiba-tiba berpidato demikian bagus, karena ada atasan datang.

Helian Kong menjawab, "Bawa sebagian pasukanmu, kita lihat ke tempat kerusuhan itu!"

Tidak Lama kemudian berbarislah seratus prajurit menuju ke tempat keributan itu. Di depan barisan berjalanlah Ong Go, Helian Kong dan Ting Hoan-wi. Ong Go mengira kalau Ting Hoan-wi juga seorang perwira tinggi yang sedang berpakaian sipil, maka sikapnyapun juga hormat dan bahkan menjilat. Sedangkan Ting Hoan-wi menikmatinya dengan wajar saja, dibiarkannya Ong Go keliru menyangka.

Rumah Tikoan ada di ujung desa, sebuah gedung besar dengan tembok halaman yang tinggi. Keiika pasukan Ong Go datang, dilihatnya rumah iiu sudah seperti kue raksasa direbut kawanan semut. Ratusan orang dengan pentung dan batu berteriak-teriak kalap, ada juga yang melempar-lemparkan batunya ke atap rumah.

"Bagi kami beras! Bagikan Beras!"

Ada yang menyandarkan kayu panjang di tembok, untuk memanjat, yang lain beramai-ramai mengangkat balok besar untuk di dobrakkan ke pintu. Berkali-kali, namun pintu gerbang itu terlalu kokoh, tiap kali Hanya bergetar sedikit.

Pintu gerbang kediaman para pembesar kerajaan umumnya memang tebal dan kuat, bahkan ada yang dilapis besi. Maklum, tempat kediaman mereka adalah simpanan harta kurun untuk anak-cucu, jadi harus dibangun dengan keamanan yang meyakinkan.

Beberapa orang berhasil memanjat sampai ke atas tembok. Namun dari balik tembok tiba-tiba bermunculan panah-panah yang langsung membuat pemanjat yang memanjat itu terjungkal jatuh. Kematian orang-orang itu seperiti minyak disiramkan ke dalam api, bukannya menjadikan mereka takut. Teriakan-teriakan menghebat.

"Mereka membunuh teman-teman kita!"

"Mereka tidak mempedulikan lagi nasib kita!"

"Hancurkan!"

Suasana tambah panas dan orang-orang kelaparan itu makin nekad. Ketika pasukan Ong Go sampai ketempat itu, rakyat yang biasanya takut kepada perajuri itu, kini muncul keberaniannya.

"Anjing-anjing itu datang!"

"Lawan saja, takut apa?"

"Kalau tidak sekarang memperjuangkan nasib, kapan lagi?"

“Mati kelaparan atau mati di ujung senjata sama saja!"

"Serbu! Lawan!"

Sebagian pengungsi berbalik untuk melawan pasukan Ong Go, sementara sebagian lagi tetap berusaha mendobrak pintu rumah Tikoan atau memanjat tembok dengan bandelnya. Kenekadan orang-orang itu memang mengejutkan.

Ong Go kaget sesaat, namun kemudian menjadi gusar. Kegusaran seorang penguasa yang semula ditakuti dan tiba-tiba dilawan. Tangannya sudah diangkat, siap menyuruh pasukannya menyerbu dan kalau perlu banjir darah.

Namun Helian Kong berkata. "Cian-bu, tugasmu menertibkan. Tetapi ingat, mereka adalah orang yang selama ini menderita dan pantas untuk marah. Jadi dalam tindakanmu kali ini hindarilah korban jiwa yang bisa menambah kemarahan mereka. Paham?"

Wajah Ong Go nampak tidak puas, "Hu-ciang, untuk apa berbelas kasihan kepada orang-orang yang tidak bisa diatur ini? Mereka sudah tidak punya rasa takut yang seharusnya mereka miliki, berani menyerbu rumah Tikotin dan melawan tentara kerajaan!"

"Pokoknya hindari korban jiwa!" bentak Helian Kong. "Aku tahu kerusuhan ini didalangi, si dalang tersembunyi itulah yang harus di tindak tegas, bukan mereka yang hanya dihasut dan diperalat."

"Kemana mencari dalangnya?"

"Aku sudah melihatnya!" kata Helian Kong sambil menatap ke satu arah.

Waktu itu para pengungsi sudah menyerang para prajurit. Biarpun mereka tidak terlatih dan bertubuh lemah karena selama ini kekurangan makan, apalah lagi dengan senjata yang cuma seadanya, tapi kemarahan mereka adalah sesuatu yang harus diperhitungkan. Para prajurit melawan dan pertempuranpun terjadi.

Helian Kong juga diserang oleh para pengungsi yang kalap itu, tapi ia sekedar menghindar atau melawan tanpa melukai. Pandangannya tak lepas dari seseorang di tengah kerumunan itu yang menarik perhatiannya.

Orang itu adalah pemuda seusia Helian Kong, pakaiannya juga lusuh seperti pengungsi-pengungsi lain, namun tubuhnya justru tegap dan segar, tak ada tanda-tanda kekurangan makan. Dialah yang berteriak-teriak menghasut di tengah-tengah para pengungsi, dengan tinju diacung-acungkan ke langit. Tiap kali ia berteriak, para pengungsi semakin berkobar kemarahannya.

"Inilah dalangnya” pikir Helian Kong yang mulai mengincarnya. Tubuhnya melambung melewati kepala orang-orang yang seperti gabah ditampi itu, dan cengkeraman Helian Kong langsung mengincar pundak kanan si pengobar kemarahan itu.

Orang itu kaget mendapat serangan namun kemudian dia terpaksa menunjukkan kemampuan silatnya. Secepat kilat ia bergeser sehingga luput dari serangan, lalu menjotos ke arah muka Helian Kong dibarengi sapuan ke kaki Helian Kong. Gerakannya tangkas dan bertenaga.

"Hem, ketahuan kedokmu sekarang...." dengus Helian Kong. "Tapi mau tidak mau kau harus ikut aku untuk mempertanggung-jawabkan ulah pengacauanmu ini.”

Langkah kilat Helian Kong seperti angin, bahkan tubuhnya seolah terbuat dari asap. Pukulan dan sapuan pemuda penghasut itu tak dapat mengenainya, sebaliknya malah cengkeraman Helian Kong siap ke arah urat pinggangnya. Ternyata pemuda itu mampu meladeni Helian Kong dalam beberapa gebrakan kilat. Namun sesudah itu, dia membalik tubuh dan menyusup kabur di antara orang banyak.

Helian Kong makin bernafsu menangkapnya, sebab sekarang ia yakin pemuda itu tentu pengikut Li Cu-seng yang disusupkan ke garis belakang untuk membuat onar. Helian Kong lalu ikut menyusup di antara orang-orang itu guna mengejar si dalang kerusuhan.

Namun sikap orang-orang itu terhadap Si perusuh dan terhadap Helian Kong ternyata berbeda. Kalau perusuh lewat, orang-orang minggir memberi jalan, kalau Helian Kong yang mau lewat maka mereka merintangi. Entah dengan pentung, batu atau pasir yang ditaburkan ke mata.

Sulitnya lagi, Helian Kong takkan tega berbuat kejam terhadap perintang-perintang. ini, sebab dianggapnya mereka tidak bersalah, hanya diperalat. Itulah sebabnya Helian Kong jadi kalah cepat menyusup di antara keributan itu.

Tapi bukan Helian Kong kalau gampang putus asa. la melontarkan tubuhnya ke atas, tak ubahnya seekor elang. Matanya yang juga setajam mata elang menyapukan pandangan, mencari buruannya. Selagi tubuhnya masih mengapung di udara, terlihatlah buruan itu tengah menyelinap kesana-kemari selicin belut di dalam lumpur. Langkah kakinya menunjukkan kalau dia benar-benar seorang pesilat, ulung.

Cepat-cepat Helian Kong menyedot napas, mengerahkan tenaga dalamnya dengan cara yang khusus dan tubuhnya tiba-tiba kehilangan bobot seperti segumpal kapas saja. Ketika ia mengibaskan tangan seperti orang berenang, tubuhnya melesat ke arah buruannya. Itulah jurus meringankan tubuh Liu-hun-piau-hui (Mega Mengalir).

Untuk menambah luncurannya, tanpa permisi sepasang kakinya berlompatan di atas kepala orang-orang yang sedang berkerumun marah itu. Tiap kali ujung kakinya menutul ringan di atas kepala orang-orang itu, namun orang-orang yang dilewatinya tidak cidera sedikitpun, hanya seperti kejatuhan cecak.

Buruan itu menoleh. Melihat kehebatan ilmu muringankan tubuh Helian Kong, dia kaget dan melangkah makin cepat. Begitu keluar dari kerumunan, terdengar orang itu berteriak untuk mengerahkan tenaga dan semangatnya, maka sepasang kakinyapun tiba-tiba terayun begitu cepat, tubuhnya seperti terbang saja melesat keluar desa yang sepi.

Helian Kong mengenali ilmu meringankan tubuh lawan agaknya adalah Co-siang-hui (Terbang di atas Rumput) dari aliran Siau-lim-pai. Berarti masih serumpun dengan ilmu Helian Kong. Sebab perguruan Tiat-eng-bun dulunya juga berasal dari Siau-lim-pai.

Kini sang buruan maupun pemburunya sudah tiba di luar kampung yang sepi, sehingga lebih leluasa mengadu ilmu meringankan tubuh mereka. Keduanya seperti berlomba lari. Parit-parit dilompati, berliku-liku di antara pepohonan, mendaki lereng-lereng terjal seringan berlari di tanah datar, menuruni tebing seperti terbang. Apa lagi ditanah datar, mereka hanya nanpak seperti dua gumpal bayangan yang tidak jelas bentuknya.

Memang lihai ginkang (Ilmu meringankan tubuh) orang itu, tak kalah dengan Helian Kong. Namun lwekang (tenaga dalam) yang menjadi dasar semua bentuk luar ilmu silat, agaknya masih setingkat dibawah Helian Kong.

Maka setelah kejar-kejaran itu mencapai beberapa li di luar kampung, mulai ada tanda- tanda bahwa Helian Kong akan berhasil menangkap orang itu. Jaraknya senakin dekat, biarpun orang itu nanpak berlari dengan ngotot.

Namun orang i tupun menyadari. Ketika tiba di sebuah lereng menanjak, tiba-tiba disambitkannya sebuah benda bulat hitam hampir sebesar tinju ke arah Helian Kong, sambil terus lari.

Hampir-hampir Helian Kong menyampok benda itu dengan tangannya, tapi hidungnya tiba-tiba mencium bau belerang yang keras. Cepat ia menarik tangan dan melompat ke samping, tidak mau tersentuh benda itu. Benda itu jatuh dan meledak. Ternyata itulah senjata lempar yang lihai yang disebut Tok-bu-kim-ciam-ni-bo-tan.

Tok-bu (kabut beracun) dan kim ciam (jarum emas) diumpamakan sebagai anak yang “lahir" dari dalam bulatan besar itu, maka ditambahi sebutan "Cu-bo-tan" (peluru ibu dan anak). Bukan cuma ledakan dan kobaran api yang berbahaya seketika, karena ledakan itu disusul dengan sambaran jarum dalam radius limabelas-langkah.

Pontang-panting Helian Kong mengibaskan sepasang lengan bajunya untuk menghalau jarum-jarum gemerlapan itu. Tapi jarum-jarum itu baru pertama” dan masih ada "adiknya” berupa kabut beracun dari pecahan boa hitam itu.

Cepat-cepat Helian Kong melompat menjauhinya sambil mencari kedudukan di kepala angin, agar tidak usah menghirup kabut itu. Namun untuk tindakan berjaga-jaga, ia keluarkan sebutir obat. Siu-hoan-tan dari kantongnya, diremuknya lilin penbungkusnya lalu ditelannya isinya. Dan ketika bahaya lewat, buruannya sudah lenyap.

Helian Kong tahu kalau tidak mungkin lagi mengejar orang itu. Ia cuma menggeleng-geleng kepala dan menggerutu, "Pasti dia pengikut Li Cu-seng. Pintar benar pemberontak itu memanfaatkan keadaan. Tahu sedang ada minyak, mereka bawa apinya. Selagi ada ketidak puasan penduduk, mereka kirimkan penghasutnya."

Lalu Helian Kong melesat kembali ke kampung yang sedang dilanda kerusuhan tadi. Sepanjang jalan ia berpikir. "Perang ini tidak cuma mengadu senjata di medan laga, tapi juga berlomba merebut simpati rakyat. Kalau para pembesar Kerajaan sampai keliru menangani keresahan, Li Cu-seng lah yang akan merebut hati rakyat, dan itu berarti nasib Kerajaan Beng sudah divonis habis."

Kegelisahan mendorong langkahnya semakin cepat, seperti ada naluri yang mendorongnya. Dan setelah tiba di tempat keributan tadi, ia kaget melihat adegan mengerikan di tempat itu. Keributan sudah selesai, namun sungguh penyelesaian yang sama sekali tidak dibayangkan oleh Helian Kong. Rumah Tikoan sudah menjadi api unggun raksasa, dan tak terbayangkan betapa nasib penghuninya yang tidak sempat keluar.

Sementara di sekitar api unggun raksasa itu bertebaran mayat para pengungsi yang agaknya diperlakukan amat keras oleh Ong Go dan pasukannya. Masih ada pengungsi yang belum mati. Namun mereka disuruh berbaring tiarap berderet-deret, dijaga prajurit-prajurit yang matanya masih memancarkan kemarahan.

Melihat munculnya Helian Kong, cepat-cepat Ong Go menyongsongnya dan bertanya, "Bagaimana dongan penghasut itu, Hu-ciang?"

"Lari." sahut Helian Kong singkat pandangannya menyapu mayat-mayat yang berceceran itu sambil merentangkan tangan, dan bertanya, "Kenapa sampai begini? Kau lupa pesanku?"

"Aku tetap ingat pesan Hu-ciang. Tapi orang-orang ini semakin liar, tak bisa diatur lagi, sehingga pesan Hu-ciang mustahil dilaksanakan. Rumah Tikoan dilempari api sehingga terbakar. Tikoan dan keluarga serta orang-orangnya tidak terselamatkan lagi. Terhadap yang mau menyerah, aku ampuni, itulah mereka." Ong Go menunjuk deretan orang-orang yang tiarap itu. "...tapi yang tetap membangkang, ya apa boleh buat.”

Helian Kong termangu-mangu mendengar penjelasan itu. Akankah prajurit dan rakyat, bermusuhan, sehingga rakyat akan semakin mendukung pemberontakan Joan-ong Li Cu-seng? Ia tidak tahu Ong Go bohong atau tidak. Tadi memang sudah dilihatnya sendiri betapa beringas pengungsi-pengungsi itu. Dalam situasi rusuh dan panas itu, sulit menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.

Maka jatuhnya korban lalu menjadi semacam "keharusan" yang tidak bisa ditawar lagi. Entah siapa benar siapa salah, yang jelas jurang pemisah antara tentara kerajaan yang harus melindungi dengan rakyat yang harus dilindungi, malahan semakin lebar.

Sementara Ting Hoan-wi ikut bicara setelah ia menyarungkan pedangnya yang baru saja dibersihkan dari darah. Dalam keributan tadi. Ting Hoan-wi telah ikut membunuh entah berapa orang sebagai pelampiasan rasa jengkelnya yang terpendam selama ini. Ia berjalan mendekati Helian Kong sambil berkata.

"Kata-kata Ong Go Cian-bu benar, A-kong. Mana bisa kita berbelas kasihan kepada ratusan orang yang sudah kerasukan setan? Jangan-jangan malah kami sendiri nanti yang mampus."

Ong Go menatap Ting Hoan-wi dengan rasa terima kasih atas pembelaannya. Sampai saat itu ia masih menyangka Ting Hoan-wi juga sebagai perwira tinggi yang sedang berpakaian sipil, setidak-tidaknya berpangkat sama dengan Helian Kong. Itu disimpulkannya sendiri dari sikapnya terhadap Helian Kong yang seperti menghadapi teman sederajat saja. Dan sejauh ini Ting Hoan-wi tidak membantah, tidak mencoba membenarkan persangkaan keliru atas dirinya itu.

Beberapa saat Helian Kong menatap sedih mayat-mayat yang bergelimpangan itu, lalu gedung Tikoan yang dimakan api itu. Salah siapa? Akhirnya ia cuma, bisa menarik napas dan berkata, "Lain kali jangan sampai terjadi seperti ini. Bersikaplah baik terhadap rakyat, agar jangan rakyat membenci kita, dan menjadikan tanah subur buat hasutan yang disebarkan oleh pengikut-pengikut Li Cu-seng."

''Oh, tentu tentu..." begitu cepat, ringan dan tanpa dipikir lagi Ong Go menyahut, "Mulai besok akan kususun jadwal untuk ceramah kesadaran hukum bagi semua penduduk, agar..”

"Tidak perlu!" Helian Kong nenukas dengan suara tinggi sebagai tanda luapan emosinya. "Biarpun kau ceramah panjang lebar tiap hari, tapi rakyat akan menilai tingkah lakumu itu cocok atau tidak dengan isi ceramahmu? Tingkah lakumu yang baik lebih mempan sebagai contoh dari pada seribu ceramah!"

Ong Go mengerutkan alis kepalanya dan buru-buru menyahut, "Ya... ya... pesan Hu-ciang akan selalu kuingat ingat."

"Pemerintah manapun yang menimbulkan kebencian rakyat, sama dengan membunuh diri."

“Ya.... ya.... paham Hu-ciang."

Sementara Ting Hoan-wi bertanya "A-kong, bagaimana? Kita teruskan perjalanan atau tidak?"

Sahut Helian Kong, "Ya aku ingin secepatnya tiba di Pak-khia. Tapi aku ingin berpesan sedikit kepada. Ong Cian-bu."

Ong Gu mengutuk dalam hati, namun wajahnya menunjukkan sikap siap mendengarkan pesan-pesan itu, "Pesan-pesan Hu-ciang pastilah amat berharga untuk dijadikan pegangan bagi setiap prajurit sejati."

Sementara dalam hatinya mengutuk. "Kalau mau kentut cepatlah kentut, manusia sok alim, sok suci. Huh, setelah itu cepatlah minggat dari depanku!"

“Ong Cian-bu, aku tidak pintar ceramah seperti kau, tapi hari ini kutemukan bukti bahwa Li Cu-seng lebih dulu menyebarkan hasut itu diantara rakyat sebelum laskarnya sampai. Ini berbahaya. Kalau pasukanmu masih tetap sewenang-wenang kepada penduduk, seperti yang kulihat di halaman markasmu tadi, yakinlah bahwa Li Cu-seng takkan sulit merebut tempat ini, sebab rakyat sudah siap membantu mereka. Itu saja pesanku terserah kau mau terima atau tidak sebab kau bukan bawahan langsungku."

“Baik, Hu-ciang. Selamat jalan dan semoga aman sampai di Pak-khia.” Sahut Ong Go sopan namun bernada mengusir.

Helian Kong berharap mudah-mudahan Ong Go kapok dengan peristiwa tadi. Meskipun watak dasar seseorang itu sulit diubah, namun sering juga watak dasar itu menyesuaikan dengan keadaan, biarpun agak terpaksa dan sementara. Helian Kong tidak mengharap yang muluk-muluk seperti mengubah Ong Go jadi alim mendadak, cukup asal ada rasa takut bahwa rakyat bisa marah dan melawan.

Karena matahari belum miring benar ke barat, Helian Kong menganggap masih ada kesempatan melanjutkan perjalanan sedikit lagi sebelum gelap. Ia ingin segera tiba di Pak-khia untuk bergabung dengan pasukannya kembali. Maka berangkatlah ia bersama Ting Hoan wi, meninggalkan desa yang baru saja terguncang kerusuhan itu.

Ong Go menatap sampai Helian Kong lenyap ditelan lipatan-lipatan perbukitan di kejauhan. Setelah yakin Helian Kong benar-benar pergi, dengan geramya Ong Go memerintahkan kepada pasukannya, "Bunuh semua tawanan!"

Para prajuritnya menjalankan perintah dengan gembira seperti anak-anak mendapatkan mainan. Maka bergelundunganlah batok kepala tawanan-tawanan yang tadi belum sempat dibunuh karena kedatangan Helian Kong. Kini sempat-sempat sekali.

Bahkan Ong Go kemudian bertindak lebih jauh lagi, ia bawa pasukannya untuk menyerbu gubuk para pengungsi yang sebenarnya tidak ikut-ikutan membuat kerusuhan. Tapi Ong Go tidak peduli. Gubuk-gubuk itu dibakar, penghuni-penghuninya ditumpas, tak peduli orang-orang jompo, wanita dan anak-anak.

Setelah itu, batok-batok kepala para korban dicucukkan di ujung batang batang bambu. Dan diberi pengumuman singkat, dengan tulisan darah, "Tidak ada ampun buat pengikul-pengikut Li Cu-seng."

Orang-orang berharta yang selama ini mencemaskan keamanan kekayaannya sejak di desa itu banyak pengungsi berkeliaran, kini berbondong-bondong mendatangi Ong Go untuk mengucapkan selamat dan memuji-muji “tindakan pencegahan" Ong Go.

Namun lebih banyak yang biarpun mulutnya bungkam namun dalam hati menggugat sikap Ong Go yang kejam. Mereka yang tahu bahwa pengungsi-pengungsi itu adalah orang-orang malang yang terjepit keadaan, meninggalkan kemapanan yang sudah mereka miliki untuk mencari keselanatan. Tapi maut lebih dulu menghadang tanpa ampun. Banyak hati menggugat, tapi kalau di depan hidung mereka berjajar ujung-ujung tombak dan pedang, bisa apa?


Kota raja Pak-khia semakin dekat. Helian Kong dan Ting Hoan-wi dengan lancar melewati pos pemeriksaan terakhir, kira-kira sepuluh li di luar kota raja. Tengah mereka berjalan di sela-sela dataran berhutan, tiba-tiba dari dalam hutan terdengarlah derap kaki kuda dan teriakan-teriakan gembira gadis-gadis.

Ting Hoan-wi agak heran, sebab derap kuda biasanya "berpasangan" dengan suara lelaki-lelaki kasar, bukan suara gadis-gadis. Sedang Helian Kong rasanya mengenali suara-suara itu.

Seekor rusa tiba-tiba keluar menerobos semak-semak di pinggir hutan dan berlari ketakutan, berusaha menyeberangi sebuah lapangan rumput terbuka sebelum sampai ke jalanan. Tapi dari dalam hutan tiba-tiba melesat sebatang anak panah yang secara telak menghentikan harapan sang rusa.

Empat orang berkuda muncul dari dalam hutan. Dan meskipun pakaian mereka ringkas seperti lelaki, namun jelas mereka adalah gadis-gadis muda. Di tubuh maupun pelana kuda mereka bergantungan alat-alat berburu seperti lembing pendek, pisau, panah dan busur.

"Cici Ping, bidikan panahmu semakin lihai saja! Aku mengaku kalah kali ini!" teriak seorang gadis bermuka bulat telur dengan mata lebar. Tingkah lakunya nampak masih agak kekanak-kanakan.

Keempat gadis itu mendekatkan kuda-kuda mereka ke bangkai rusa. Gadis yang dipanggil "Cici Ping" itu sama cantiknya, bahkan di wajahnya ada semacam keanggunan kaum bangsawan, namun wajah itu agak pucat. Tentunya orang sulit membayangkan gadis selembut itu naik kuda dan menembakkan panah ke sasaran bergerak dan kena, tapi nyatanya demikian.

Dua gadis lainnya juga berpakaian lengkap seperti pemburu, tapi sikap mereka seperti pengiring-pengiring dari si "Cici Ping" itu. Sikap mereka seperti menjaga jarak dengan kedua gadis lain dan menghormat seperti lazimnya kaum bawahan. Mereka mengangkat bangkai rusa itu untuk menaikkannya ke atas punggung kudanya. Gerak-gerik mereka kelihatan tangkas dan cekatan, nampak cukup terlatih.

"Nah, Cici Ping, kita sudah mendapatkan seekor rusa gemuk, cukup untuk pesta nanti malam, sekarang mau ke mana…." gadis lincah itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan menatap kesatu arah. "Eh, ada orang ke mari."

Yang mendekati adalah Helian Kong dan Ting Hoan-wi. Mereka menunggang kuda, sebab di pos pemeriksaan terakhir tadi mereka mendapat pinjaman kuda untuk mempercepat sisa perjalanan ke Pak khia. Begitu dekat, Helian Kong melompat turun dari kudanya untuk berlutut kepada gadis yang berwajah pucat itu, sambil berkata,

"Hamba menyampaikan sembah kepada Tuan Puteri Tiang-ping."

Ting Hoan-wi kaget melihat sikap dan kata-kata Helian Kong, cepat-cepat diapun melompat turun dan berlutut sambil berkata, "Hamba Ting Hoan-wi juga memberi hormat setinggi-tingginya kepada Tuan Puteri, Ampun tadi hamba tidak tahu."

Puteri Tiang-ping, puteri Kaisar Cong-ceng, agaknya kenal baik dengan Helian Kong. Sambil tersenyum, ia berkata ramah, "Bangunlah, kalian berdua. Saudara Helian, beberapa bulan kau tidak kelihatan di ibu kota, pergi ke mana saja?"

"Hamba pergi ke Teng-hong untuk menengok guru hamba yang sakit," sahut Helian Kong yang telah berdiri, namun belum berani melompat ke atas kudanya.

"...dan guru hamba juga. Ting Hoan-wi ikut bicara tanpa ditanya. Setelah ia tahu yang dihadapinya adalah puteri Kaisar yang kenal baik Helian Kong, Ting Hoan-wi tidak mau membuang kesempatan untuk merintis hubungan baik. Hubungan baik dengan kalangan atas jelas akan menguntungkan dalam "bisnis'nya kelak, begitu perhitungannya.

Puteri Tiang-ping dan gadis bermata lebar itu menoleh kepada Ting Hoan-wi dengan air muka agak heran. Sedangkan Helian Hong yang agak malu karena ulah temannya itu, buru-buru menerangkan, "Harap Tuan Puteri maafkan sikapnya, dia adalah saudara seperguruan hamba yang bernama Ting Hoan-wi."

Puteri Tiang-ping mengangguk-angguk, baru saja bibirnya bergerak hendak berkata sesuatu, lagi-lagi Ting Hoan-wi sudah menyerobot kesempatan bicara,

"Hamba ke Pak-khia untuk mengabdi kepada negara. Selama ini memang belum menjadi prajurit, tapi jasa hamba telah cukup besar karena telah mempertaruhkan nyawa melawan pengikut-pengikui Li Cu-seng, si bandit keparat yang tidak tahu membalas budi kepada pemerintah! Hamba berusaha menyalurkan garam bagi rakyat, karena selama ini antek-antek Li Cu-seng telah menghambat pengiriman garam dari pesisir timur, .sehingga rakyat menderita. Tapi hamba demi mempemperjuangkan nasib kerajaan Beng, tanpa takut telah...“

Seandainya Helian Kong tidak cepat-cepat memberi isyarat kepada Ting Hoan-wi, tentu "kisah kepahlawanan" itu masih, akan bersambung panjang lebar. Untung Helian Kong mengedipkan matanya dan Ting Hoan-wi pun berhenti bicara dengan wajah penasaran, ceritanya belum selesai kok sudah dipotong?

Selama Ting Hoan-wi menyerocos, Puteri Tiang-ping mengangguk-angguk, tapi sambil menahan tertawanya, setelah selesai Ting Hoan-wi bicara, berkatalah Puteri Tiang-ping agak berbasa basi, "Dimasa sekarang ini sungguh beruntung diantara rakyat kerajaan ada orang yang gagah berani seperti Ting Sianseng ini."

"Apakah hamba diperkenankan mengabdi dalam Tentara Kerajaan?"

"Urusan ini bukan wewenangku, tapi wewenang Peng-po Ceng-tong (Kementerian Perang). Ting Sianseng bisa mendaftarkan ke sana."

"Tapi... tapi” Ting Hoan-wi mulai kelihatan ragu-ragu. "Kalau tidak ada yang membantu dari dalam, aku kuatir harus mulai dari bawah sekali karena tidak ada yang mengenal kemampuanku."

“Aku tidak punya wewenang apa-apa Sianseng. Sudahlah."

Ting Hoan-wi masih hendak mendesak lagi, tapi Helian Kong buru-buru memegang tangannya kuat-kuat dan berkata, "A-hoan, urusan ini jangan sampai merepotkan Tuan Puteri."

Helian Kong berbuat demikian agar Ting Hoan-wi berhenti mendesak-desak Puteri Tiang-ping yang membuat Helian Kong jadi malu sendiri. Akhirnya Ting Hoan-wi memang diam, meskipun dengan perasaan penasaran kurang puas.

"Cukup untuk hari ini," kata Puteri Tiang-ping kepada teman-teman berburunya. "Ayo kita pulang."

Gadis-gadis yang tangkas itu sudah memutar kuda-kuda mereka dan siap berderap pergi, namun gadis bermata lebar itu tiba-tiba berkata kepada Puteri Tiang-ping, "Cici Ping, bagaimana kalau Toako Helian Kong sekalian jalan bersama kita sampai ke kota?"

Puteri Tiang-ping tiba-tiba berdehem keras sambil tersenyum menggoda gadis itu, gadis itu tiba-tiba menjadi tersipu wajahnya, begitu pula Helian Kong. Biarpun Helian Kong adalah "orang peperangan" yang sering disebut sebagai orang kasar, sebenarnya punya perasaan yang peka.

Selama ini ia bukan tidak merasa kalau Siangkoan Yan, gadis bermata lebar itu, diam-diam menaruh hati kepadanya. Namun Helian Kong belum berhasil mengosongkan hatinya dari bayangan Tan Wan-wan, maka terpaksa ia sering berlagak tidak tahu akan perasaan Siangkoan Yan, meskipun sering terlintas di pikirannya bahwa gadis puteri Menteri Siangkoan Hi itu manis juga.

Sesaat suasana antara Helian Kong dan Siangkoan Yan jadi kikuk. Siangkoan Yan kikuk karena Puteri Tiang-ping dengan jahil "membongkar” kandungan perasaannya. sebaliknya Helian Kong kikuk karena maunya berlagak acuh tak acuh namun sadar kalau "acting"nya kurang sempurna.

Untunglah Puteri Tiang-ping kemudian menolong mereka. Katanya sambil tertawa. "Baiklah. Hu-ciang, mau berjalan bersama kami sambil berkisah pengalaman mu selama tidak berada di Pak-khia?"

“Hamba menurut perintah Tuan Puteri," sahut Helian Kong.

Begitulah rombongan itu jadi “membengkak'' jumlahnya, tadinya empat orang, sekarang menjadi enam orang. Ting Hoan-wi merasa hatinya melompat-lompat kegirangan, mimpi pun ia tidak pernah kalau suatu saat akan berjalan satu rombohgan dengan Puteri Tiang-ping, puteri Kaisar sendiri. Angan-angannya mulai melantur kelewat jauh, eh, nasib orang siapa tahu.

Karena itulah sepanjang perjalanan dia banyak berbicara, berusaha menimbulkan kesan bahwa dirinya adalah orang yang cukup penting untuk diperhitungkan. Dia terus bicara, tentang apa saja, dan semuanya dibahas dengan gaya seolah-olah di dunia ini tidak ada hal yang dia tidak tahu.

Ketika mereka sudah melalui sebuah bukit, maka tembok kota Pak-khia pun sudah terlihat dari lereng bukit. Namun tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tambur, lalu nampak sebuah barisan panjang yang mengibarkan bendera-bendera menuju kota Pak-khia. Namun dalam jarak sejauh itu masih belum diketahui itu rombongan apa, sebab orang-orangnyapun nasih kelihatan kecil-kecil.

"Barisan apa itu?"

"Kita tunggu dan lihat, tapi sebaiknya tidak menampakkan diri," kata Puteri Tiang-ping. "Kita bersembunyi, rombongan itu akan melewati kaki bukit ini."

Ting Hoan-wi kurang paham mendengar kata-kata si Tuan Puteri itu, "Tuan Puteri adalah puteri Kaisar junjungan kita, kenapa takut bertemu rombongan itu? Tidakkah seharusnya menampakkan diri, agar orang-orang itu dapat menunjukkan hormatnya kepada Tuan Puteri?”

Puteri Tiang-ping tidak menggubris kata-kata Ting Hoan-wi itu, cuma menegaskan kembali kata-katanya tadi, “Kita bersembunyi dan jangan banyak bicara!"

Mereka lalu menambatkan kuda-kuda mereka di tempat rimbunnya pepohonan yang tidak gampang dilihat dari arah jalanan di bawah bukit. Setelah itu mereka bersembunyi di balik semak belukar, mengintai ke jalan raya.

Rombongan itu makin dekat, dan yang pertama-tana bisa dikenali ialah dua bendera besar di depan barisan itu. Yang satu adalah bendera Jit-goat ki (bendera Rembulan dan Matahari) bendera Kerajaan Beng. Sedang bendera yang satu lagi bergambar tiga batang bambu terjajar, masing-masing batang bambu terdiri tiga ruas.

"Eh, bendera apa itu?" Puteri Tiang-ping heran. "Melihat bendera itu dibawa sejajar dengan Jit-goat-ki, agaknya itulah bendera negara asing."

Sambil berkata demikian, Puteri Tiang-ping menoleh kepada Siangkoan Yan. Ia tahu sahabatnya itu banyak membaca dan pangetahuannya amat luas.

Dan Siangkoan Yan memang tidak mengecewakan para penunggu jawabannya, "Itu bendera lambang keluarga Tokugawa yang, sekarang berkuasa di Jepang sebagai Shogun. Shogun saat ini adalah Iemitsu Tokugawa, cucu Ieyasu Tokugawa yang berhasil menyatukan Jepang setelah mengalahkan Hideyori Toyotomi dan Ishida Mitsunari."

"Oh, begitu. Tapi kenapa tidak mengibarkan bendera kekaisaran, malahan mengibarkan bendera Shogun yang bagaimanapun juga berkedudukan di bawah Tonno (Kaisar)?"

"Karena Kaisar di Jepang hanya lambang, dijadikan sesembahan tapi tidak punya kekuasaan. Setahun sekali secara resmi Shogun bersujud kepada Tenno di Kyoto. Tapi Shogunlah yang punya kekuasaan di segala bidang kehidupan, bukan cuma dibidang militer saja," bicara sampai di sini, tiba-tiba Siangkoan Yan menghentikan kata-katanya, wajahnya penuh sesal menoleh kepada Puteri Tiang-ping sambil berdesis, "Maaf, Cici Ping, aku tidak bermaksud…”

Sebuah senyum pahit muncul di bibir Puteri Tiang-ping, gerakan tangannya menyuruh Siangkoan Yan berhenti bicara, sambil berkata, "Tidak apa-apa, adik Yan. Jadi Hu-hong (ayahanda Kaisar) tidak sendirian. Ada Kaisar lain yang senasib dengannya, Kaisar hanya namanya, tapi kekuasaannya di tangan orang lain."

Nampaknya Puteri Tiang-ping mencoba berkelakar, namun terdengar di balik kata-kata itu menyembunyikan kemarahan.

Helian Kong bisa memakluminya. Saat itu memang Kaisar Cong-oeng duduk di singgasana, tapi kekuasaannya tidak ada, jadi seperti boneka saja. Yang sebenarnya berkuasa adalah Co Hua-sun pemimpin kaum thaikam (orang kebiri). Masih mendingan di Jepang. Di sana kekuasaan dipegang keluarga Tokugawa, keluarga samurai.

Sedangkan Co Hua sun adalah lelaki yang dipandang rendah karena sudah bukan lelaki "komplit" lagi, sudah dikerat buah zakarnya. Di kalangan awam saja dipandang rendah, tapi malahan begitu mendominir jalannya pemerintahan.

Helian Kong dapat merasakan benar ketidakpuasan kalangan luar istana terhadap Co Hua-sun, sebab arus ketidak puasan terkuat justru berasal dari golongannya Helian Kong, yaitu golongan militer yang merata amat tidak pantas kalau mereka harus dibawah perinlah Co Hua-sun.

Sementara Puteri Tiang-ping masih mencoba berkelakar, "Jadi kalau saat ini kita kirim utusan ke negara asing yang dikibarkan bukan Jit-goat-ki, tapi benderanya Co Hua-sun?"

Namun tak ada yang berani tertawa menanggapi humor pahit puteri Kaisar itu. Rombongan pembawa bendera sudah lewat, disusul rembongan penabuh tambur dan terompet tanduk kerbau yang berseragam merah. Melangkah tegap sambil membunyikan musik yang bersemangat untuk mengiringi derap seluruh barisan.

Karena Siangkoan Yan bungkam terus tanpa komentar, Puteri Tiang-ping lalu berkata, "Adik. Yan, kenapa diam? Ceritamu tentang sejarah negeri tetangga kita itu amat menarik."

"Aku.... aku.... minta maaf. Kata-kataku tadi tidak bermaksud...”

"Aku tidak marah, kenapa kau ulangi terus permintaan maafmu? Ayo teruskan ceritamu." Puteri Tiang-ping mencoba mencairkan suasana.

Namun karena Siangkoan Yan masih berat mulut. Terpaksa Puteri Tiang-ping lemparkan umpan untuk memancing, "Dalam catatan di istana pernah kubaca, belasan tahun yang lalu di jamannya masih bertahta kakekku, Kaisar Hi-cong (1621-1628) pernah kita kirim utusan ke Jepang, untuk mengajak mereka bersekutu menghadapi Ceng-thai-cou dari Kerajaan Ceng (Manchu) yang baru saja merebut semenanjung Tiau-sian (Korea) dari Jepang. Waktu itu Jepang tidak menjawab secara pasti, dan baru sekarang mereka mengrim utusan."

Mau tidak mau Siangkoan Yan menjawab, "Saat Ceng-thai-cou (1616-1627) mencapai puncak kekuatannya, justru Jepang baru sembuh dari luka-luka perang saudara yang panjang antara keluarga Tokugawa dan keluarga Mitsunari, memperebutkan warisan kekuasaan Hideyoshi Toyotomi. Karena itulah tentara Jepang didepak keluar dari Tiau-sian oleh tentaranya Ceng-thai-cou, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan merebut kembali.

"Waktu itu Jepang juga baru memburuk hubungannya dengan Portugis, karena menuduh Portugis mendalangi pemberontakan orang-orang Kristen di Shimabara, yang ditumpas dengan kejam oleh Iemitsu Tokugawa. Padahal sebelumnya Portugis adalah pemasok senjata api. Mungkin saat itu mereka sedang membenahi urusan dalam negeri, sehingga tidak menyambut ajakan kita untuk bersekutu menghadapi Manchu."

"Sekarang mereka kirim utusan, apakah kira-kira merupakan jawaban dari ajakan Kakek Hi-cong dulu?”

"Mungkin benar. Jepang memang pernah berperang dengan kita, ketika mereka merebut semenanjung Tiau-sian di jaman Kaisar Thian-ke kita. Tapi setelah melihat tumbuhnya kekuatan Manchu, raja Jepang mulai melirik kita sebagai sekutu."

Puteri Tiang-ping mengangguk, "Mudah-mudahan persekutuan segera terwujud, agar dapat membagi beban dalam menghadapi ancaman orang Manchu yang makin tajam terasa di luar perbatasan timur-laut. Agar kita dapat mencurahkan perhatian lebih besar untuk menumpas pemberontakan Li Cu-seng di barat-laut."

Sementara itu, kini muncul barisan pengawal Kerajaan Beng yang berseragam sulaman benang emas. Mereka berjalan dua-dua dan amat panjang barisannya, Helian Kong menaksir ada seribu orang. Helian Kong juga kenal komandan pasukan itu adalah Song Thian-oh, berpangkat Hu-ciang. Namun Helian Kong tidak menyukai orang itu, sebab dianggap terlalu menjilat kepada Co Hua-sun.

Setelah barisan pengawal itu, lalu disambung rombongan utusan dari Jepang, yang ternyata berjumlah besar juga. Ada kira-kira seribu orang samurai (prajurit) berkimono coklat, pada dada dan punggung mereka tertera lukisan bandar kecil yang digambari lambang keluarga Tokugawa. Wajah para samurai itu kebanyakan dingin, hampir tanpa ekspresi. Langkah mereka tegap, bahkan agak kaku.

Namun mereka sudah dikenal keganasannya dalam pertempuran. Mereka adalah prajurit-prajurit berani mati yang kalau gagal dalam suatu tugas lebih suka merobek perut sendiri dari pada pulang menanggung malu. Itulah sebabnya di pinggang mereka terselip dua buah pedang. Pedang panjang ("tachi") untuk berkelahi, dan pedang pendek ("wakizashi") untuk melakukan bunuh diri merobek perut yang mereka namakan "seppuku".

Utusan Iemitsu Tokugawa adalah seorang lelaki Jepang setengah baya, memakai kimono rangkap dua yang indah, kepalanya memakai topi kain yang diikat dengan tali ke bawah dagu, kuda yang ditungganginya berdampingan dengan kuda seorang pembesar sipil Kerajaan Beng yang agaknya bertugas sebagai penyambut.

Pembesar kerajaan inipun dikenal oleh Helian Kong. Namanya Yo Goan-long dan juga merupakan kaki tangan Co Hua sun. Setelah rombongan samurai, kembali pasukan pengawal Kerajaan Beng ditempatkan di muka dan di belakang rombongan dari Jepang itu. Barisan itupun menjauh.

Setelah itu, barulah Puteri Tiang ping berenam keluar dari persembunyian mereka. Wajahnya nampak agak kecewa. "Nampaknya kita tidak boleh terlalu mengharap keuntungan besar dari kedatangan utusan negeri tetangga itu."

"Kenapa?" tanya Helian Kong heran. "Bukankah persekutuan negeri kita dengan Jepang akan memaksa orang-orang Manchu harus membagi perhatian ke dua arah?"

"Bahkan orang Manchu akan menghadapi tiga arah, kalau Lo-sat juga di hitung." sambung Siangkoan Yan.

Yang disebut "Lo-sat" oleh Siangkoan Yan itu adalah Rusia. Sejak tahun 1560 Rusia terus menaklukkan wilayah-wilayah sebelah timurnya yang mereka anggap "tak bertuan". Dan pada tahun 1600 penaklukan Rusia sudah mencapai tepi barat Sungai Amur, sedang tepian timur sungai sudah termasuk wilayah Kerajaan Ceng (Manchu).

Membayangkan pergulatan kekuatan-kekuatan di kawasan itu, diam-diam Helian Kong merasa prihatin. Di antara kerajaan-kerajaan itu, nyata sekali Kerajaan Beng lah yang paling lemah, paling keropos, selain karena administrasi pemerintahannya yang semrawut dan korup, juga masih menghadapi pemberontakan Li Cu-seng yang semakin meluas.

"Cici Ping, kau bilang persekutuan dengan Jepang takkan banyak memberi harapan, kenapa?” tanya Siangkoan Yan.

"Karena dari pihak kita yang menanganinya adalah Co Hua-sun, yang wawasannya hanya berpusat kepentingan diri sendiri. Peluang emas ini akan dibuang percuma kalau ditangani Co Hua-sun."

"Cici Ping, tidak bisakah Cici memperingatkan Sri Baginda, agar menangani sendiri dan tidak menyerahkan urusan ini kepada Co Hua-sun?"

Puteri Tiang-ping menarik napas. "Entah berapa kali aku dan Hong-hou Nio-nio (ibunda Permaisuri) menghadap Hu-hong (ayahanda Kaisar) untuk mengingatkan betapa berbahayanya memberi kekuasaan terlalu besar kepada Co Hua-sun. Tapi Hu-hong tak pernah memberi perhatian kepada saran-saran Hong-hou Nio-nio dan aku."

Sebagian beban di hati Puteri Tiang-ping seolah pindah ke hati Helian Kong dan Siangkoan Yan, sehingga wajah mereka jadi ikut-ikutan murung.

"Sudahlah, kita pulang dulu." akhirnya Puteri Tiang-ping berkata.

Mereka melepaskan ikatan kuda-kuda mereka, lalu menaikinya ke arah kota Pak-khia yang tidak jauh lagi. Puteri Tiang-ping mengajak teman-temannya melewati jalan lain, agar tidak usah lewat jalan yang sama dengan barisan tadi. Mereka lewat sebuah lorong hutan, jalan yang biasa dirambah para pemburu, sehingga kuda-kuda mereka tidak dapat berlari kencang.

Bahkan kadang-kadang mereka harus menundukkan kepala, agar jidat mereka tidak kena ranting-ranting pohon yang kadang-kadang terlalu rendah. Mereka menempuh beberapa tempat belukar atau menyeberangi sungai-sungai kecil yang dangkal dan berair jernih. Namun setelah mereka keluar dari hutan, tiba-tiba nampak puluhan penunggang kuda dari depan menyongsong mereka.

Selelah dekat, nampaklah mereka adalah sekumpulan lelaki yang semuanya bersenjata. Cuma agak aneh, biarpun mereka rata-rata kelihatan tangkas, muka mereka terlalu kelimis. Tidak ada kumis tidak ada jenggot, bahkan bekas-bekas cukurannya juga tidak ada. Muka mereka memang tidak ditumbuhi kumis atau jenggot dan tidak butuh pisau cukur. Merekalah para thai-kam (sida-sida) abdi istana, yang keluar dengan menyamar.

Puteri Tiang-ping sebetulnya enggan sekali bertemu dengan mereka, namun untuk menghindar tidak sempat lagi. Terpaksa rombongan berhenti, dan kemudian berhadapan dengan rombongan sida-sida yang menyamar itu.

"Wan Kong-kong, ada urusan apa kalian keluar sejauh ini dari istana, dengan membawa senjata segala?” Puteri Tiang-ping menyapa pimpinan rombongan sida-sida yang bernama Wan Hoa-im itu.

Wan Hoa-im memberi hormat, namun tidak turun dari kudanya. Sikapnya cukup menggambarkan bagaimana sikap para thai-kam terhadap keluarga istana. Hormatnya semakin berkurang. Puteri Tiang-ping berusaha menahan diri, sebaliknya Siangkoan Yan dengan gemas sudah siap menghunus pedangnya.

Cepat-cepat Helian Kong menangkap tangannya dan berbisik, "Adik Yan, tahan dirilah."

Karena tangannya dipegangi Helian Kong, Siangkoan Yan menjadi tersipu-sipu. Meskipun dalam hatinya masih mau lebih lama, tapi perlahan-lahan ia tarik tangannya agar lepas.

Ting Hoan-wi diam-diam memperhatikan semuanya itu. Benar-benar ia tidak menyangka kalau di Pak-khia itu ternyata Helian Kong punya banyak teman di "kalangan atas", Kenal baik dengan puteri Kaisar, bahkan agaknya “berpacaran" dengan puteri seorang menteri, demikian rekaan Ting Hoan-wi sendiri.

Namun Ting Hoan-wi juga tidak habis mengerti terhadap kawannya itu. Punya hubungan baik dengan "kaum atas" kok tidak "dimanfaatkan"? Sehingga hidup Helian Kong kelihatannya cuma, pas-pasan terus?

Sementara itu Wan Hoa-im tidak segera menjawab pertanyaan Puteri Tiang-ping tadi, malah agak mengacuhkannya. Pengaruh para thai-kam di dalam istana memang sudah begitu kuatnya. Kalau Kaisar Cong-ceng saja mereka perlakukan sekedar seperti boneka, apa lagi Puteri Tiang-ping yang cuma anaknya.

Sinar mata Wan Hoa-im malahan menatap penuh kecurigaan ke arah Helian Kong, seorang perwira yang di Pak-khia dikenal luas sebagai penentang pengaruh Co Hoa-sun yang terang-terangan. Kini Wan Hoa-im melihat betapa Helian Kong bersama-sama dengan Puteri Tiang-ping dan puterinya Menteri Siangkoan Hi yang juga penentang Co Hua-sun, maka Wan Hoa-im jadi curiga jangan-jangan mereka bertiga sedang membentuk komplotan rahasia untuk menyingkirkan Co Hua-sun, "bos"nya Wan Hoa-im??

"Wan Kong-kong, aku tanya kepadamu!" tiba-tiba terdengar suara Puteri Tiang-ping meninggi karena gusar.

Melihat kemarahan puteri Kaisar itu, ternyata Wan Hoa-im tenang-tenang saja. "Maaf, Tuan Puteri, hamba heran bahwa Helian Hu-ciang yang belakangan ini menghilang beberapa lama dari Pak-khia, sekarang tiba-tiba muncul kembali. Helian Hu-ciang, apa saja yang kau lakukan di luar kota Pak-khia selama ini?" Dalam pertanyaannya jelas mengandung nada curiga.

Helian Kong merasakannya, namun ia menjawab dengan ramah, "Sedikit urusan pribadi. Wan Kong-kong."

Wan Hoa-im mendengus tak percaya, lalu katanya kepada Puteri Tiang-ping, "Tuan Puteri, seisi istana menjadi gelisah karena Tuan Puteri pergi tanpa pamit. Maka hamba ditugaskan untuk menjemput dan mengawal Tuan Puteri sampai kembali ke istana dengan selamat."

“Aku mau pergi dan pulang kapan saja, itu urusanku. Tidak perlu orang lain repot-repot mengurusi aku."

“Harap Tuan Puteri jangan bersikap demikian, kami bertindak demikian karena menguatirkan keselamatan Tuan Puteri. Maklum, kabarnya ada banyak pengikut Li Cu-seng yang sudah menyelundup ke Pak-khia dan sekitarnya. Kami kuatir Tuan Puteri akan mengalami bahaya."

"Aku bisa menjaga diri."

"Hamba ditugaskan untuk mengiringi Tuan Puteri pulang sekarang juga. Silakan, Tuan Puteri." Mulai ada nada memaksa secara halus dalam sikap Wan Hoa im.

"Nanti aku akan pulang juga."

Kesabaran Wan Hoa-im makin tipis, di wajahnya yang kebanci-bancian itu tiba-tiba muncul seringai kejam. Katanya, "Kalau Tuan Puteri tidak mau pulang sekarang juga, tentu akan menyusahkan Ciu Hong-hou (Peimaisuri Ciu)."

Keruan Puteri Tiang-ping terkejut, "Kau hendak memaksa aku dengan mengancam keselamatan Ibundaku?"

"Kami hanya menjalankan kewajiban kami untuk melindungi segenap keluarga istana dari bahaya. Baik bahaya yang mengancam badan, maupun bahaya pencemaran pikiran oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab dengan kasak-kusuk mereka yang menjelek-jelekkan Co Kong-kong." sambil berkata demikian, Wan Hoa-im melirik kepada Helian Kong. Jelas dianggapnya Helian Kong sebagai wakil golongan yang suka "mencemari pikiran" itu.

"Diam!” bentak Puteri Tiang-ping sambil memajukan kuda dan menyabetkan cambuk ke muka Wan Hoa-im. Tapi cambuk kuda itu luput, sebab Wan Hoa-im buru-buru menunduk. Kemudian Puteri Tiang-ping yang sekian lama memendam rasa muak terhadap kawanan thai-kam itu, sekarang menumpahkannya dalam bentuk caci-maki yang sengit.

"Kalian mahluk-mahluk yang menjijikkan, tahu apa kalian tentang urusanku? Dengan hak apa kalian mencampuri urusan pemerintahan? Kalian cuma budak, Co Hua-sun juga tidak lebih dari pemimpin para budak, tetapi kalian telah bertindak seolah-olah penguasa-penguasa istana. Cuh!"

Segumpal ludah berhasil dihindari Wan Hoa-im, namun caci-maki Puteri Tiang-ping itu membuat Wan Hoa-im dan para thai-kam lainnya menjadi merah padam mukanya. Namun, bagaimanapun berpengaruhnya mereka dalam dinding istana, tapi belum berani "bermain api" dengan bersikap kasar terhadap anggaota keluarga istana.

Hal itu bisa menimbulkan kegusaran orang-orang yang masih setia kepada Kaisar di luar istana. Wan Hoa-im sadar benar akan hal ini, bahwa kaum thai-kam berkuasa di istana karena berhasil "menggenggam" keluarga istana sebagai "sandera". Karena itulah betapapun marahnya Wan Hoa-im, terhadap Puteri Tiang-ping ia cuma berani membalas dengan sindiran,

"Tak terduga selama di luar istana, Tuan Puteri benar-benar keracunan pikiran para pembangkang itu. Pasti akan menyedihkan keluarga istana lainnya."

Puteri Tiang-ping tidak berdaya setiap kali keluarganya disebut-sebut, sebab mati-hidup mereka semua di tangan Co Hua-sun. Terpaksa ia harus pulang ke istana saat itu juga, la menoleh kepada Helian Kong dan Siangkoan Yan, katanya sedih, "Aku pulang dulu."

Habis itu, kudanya dilecut sekuat tenaga sehingga kabur ke depan. Dan kedua orang dayangnya yang juga tangkas menunggang kuda itupun mengikutinya.

Wan Hoa-im tidak segera memimpin anak buahnya untuk mengejar Puteri Tiang-ping, tapi lebih dulu dengan pandangan kecurigaan dan kebencian ia menatap Helian Kong, Siangkoan Yan, dan bahkan juga Ting Hoan-wi yang baru sekali itu dilihatnya. Katanya dengan nada mengancam,

"Kuperingatkan kepada siapapun yang mencoba mengusik-usik Co Kong-kong pasti akan mengalami kegagalan. Itu sama saja dengan kencing menghadapi arah angin alias mengencingi diri sendiri."

Helian Kong tertawa dan menjawab, "Pasti Wan Kong-kong pernah mengalaminya, benar tidak?”

Keruan wajah Wan Hoa-im jadi merah padam sampai ke kuping-kupingnya. Sinar mata penuh dendamnya menatap Helian Kong, dan Helian Kong pun menentang sorot matanya dengan lurus tanpa gentar. Sesaat, mereka saling tatap penuh kebencian, mewakili dua golongan yang selama ini memang tidak pernah rukun.

Ternyata Wan Hoa-im tidak sanggup menentang sorot mata Helian Kong. Ia memutar kudanya, lalu dengan suara yang melengking seperti perempuan, dia memerintahkan anak buahnya, "Pulang!" Rombongan itu berderap pergi mengikuti arahnya Puteri Tiang-ping dan kedua dayangnya tadi.

Sambil menatap rombongan yang menjauh itu, Siangkoan Yan berkata, "Toa-ko, kau menimbulkan kemarahannya. Kalau dia mengadu kepada Co Hua-sun, lalu Co Hua-sun mengadu kepada Kaisar, kau bisa mendapat kesulitan."

"Aku tidak takut kepada kawanan dorna lidah ular itu," sahut Helian Kong tegar. "Orang macam Co Hua-sun, kalau tidak ada yang menentangnya, seluruh negeri akan ditelannya sendiri..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.