Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 04 Karya Stevanus S P

Merekapun melanjutkan menaiki kuda mereka ke Pak-khia yang tidak jauh lagi, Helian Kong di tengah. Siangkoan Yan disebelah kirinya dan Ting Hoan-wi di sebelah kanannya. Sambil berkuda perlahan, Helian Kong bertanya kepada Siangkoan Yan,

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Adik Yan, apa benar, sudah begitu kuat pengaruh para thai-kam di dalam istana?"

“Bukan para thai-kam saja, bahkan sebagian besar pengawal istana juga sudah menurut kepada Co Hua-sun, karena sering diberi hadiah. Yang sebagian kecil tidak menurut terang-terangan, namun tidak berdaya, tidak berani menunjukkan perlawanan atau acuh tak acuh demi keselamatan diri sendiri."

"Kalau begitu, Puteri Tiang-ping di istana itu pasti akan lebih dikekang lagi segala tindakannya? Karena Wan Hoa-im tadi rupanya curiga kita telah mempengaruhi pikiran Puteri?"

"Sebelum ini pun anggota keluarga istana sudah tidak bebas. Tapi rasanya Co Hua-sun masih belum berani bertindak kasar, rupanya tahu masih banyak pendukung setia Kaisar di luar dinding istana, dan Co Hua-sun belum berani memancing kemarahan mereka terang-terangan. la masih dalam taraf membina dukungan dan mengumpulkan kekuasaan,"

"Namun yang dia lakukan sekarang ini sudah cukup menjengkelkan."

"Kasihan Cici Tiang-ping. Ia dan keluarganya seperti dipenjara dalam istana, oleh Co Hua-sun dan begundal-begundalnya. Sudah begitu, dalam keluarganyapun sedang mengalami sesuatu yang menyedihkan." tiba-tiba Siangkoan Yan terhenti bicara sampai di situ, sambil menoleh kepada Ting Hoan-wi sekejap.

"Ada apa?" tanya Helian Kong.

Diam-diam Siangkoan Yan menyesali kelancangan mulutnya, sampai hampir saja "bocor" dengan menceritakan rahasia keluarga kerajaan. Kepada Helian Kong memang dia percaya sepenuhnya, tetapi di samping Helian Kong masih ada Ting Hoan-wi yang baru dikenalnya beberapa jam.

Seorang yang kelihatannya terlalu banyak ingin tahu, terlalu banyak bicara dan juga tidak pernah malu atau sungkan menonjolkan dirinya. Tidak tepat kalau rahasia keluarga istana sampai didengar orang macam itu.

Benar juga, begitu Siangkoan Yan ragu-ragu melanjutkan, Ting Hoan-wi berkata sambil terkekeh, "Kenapa tidak kau teruskan bicaramu, adik Yan? Tidak apa-apa, aku toh orang sendiri, saudara seperguruan A-kong."

Kemudian wajah Siangkoan Yan berkerut mendengar Ting Hoan-wi ikut-ikutan memanggilnya "adik Yan" dengan mengandalkan hubungan seperguruannya dengan Helian Kong. Apa lagi nampaknya bernafsu sekali mengetahui keadaan rumah tangga kerajaan, rumah tangga Cici Ping nya yang ia sayangi seperti saudara sendiri. Kemudian mulut Siangkoan Yan malah terkunci kian rapat.

Helian Kong cepat-cepat mengobati kekecewaan Ting Hoan-wi sambil tertawa "A-hoan, buat apa mengorek-orek apa yang bukan urusan kita?"

Ting Hoan-wi cuma menyeringai kecut. Sebenarnya, jauh di dalam hatinya Ting Hoan-wi punya suatu maksud yang hanya diketahuinya sendiri. Ia ingin mengetahui pihak-pihak mana saja yang bergulat berebut kekuasaan di Pak-khia, siapa yang kira-kira paling kuat sehingga kelak bisa didekatinya untuk di jadikan, backin,nya dalam "bisnis garam"nya yang haram itu. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya.

Namun Siangkoan Yan ini sungguh menjengkelkan. Di tanyai keadaan rumah tangga istana, malah bungkam. Mereka akhirnya memasuki pintu gerbang kota Pak-khia, ibukota Kerajaan Beng.

Di sebuah persimpangan jalan, Siangkoan Yan memisahkan diri, namun sebelum berpisah, gadis itu berkata kepada Helian Kong dengan tersipu, "Toako, kakakku dan teman-teman lain tentu sudah ingin mendengar ceritamu selama kau pergi dari Pak-khia. Nanti sore mereka akan berkumpul di rumah, Toako juga diharapkan."

Meskipun gadis itu sudah berlindung di balik "kakakku dan teman-teman lain", tapi sikapnya itu menunjukkan kalau dialah sebenarnya yang mengharap kedatangan Helian Kong. Sikap Helian Kong masih jauh dari dibilang cinta, namun hatinya yang sedang dibalut kekecewaan itu mau tak mau agak tergetar juga oleh sikap Siangkoan Yan.

Sementara kepada Ting Hoan-wi, Siangkoan Yan cuma mengangguk kaku, lalu menderapkan kuda menyimpang jalan.


Ting Hoan-wi tercengang ketika melihat rumah yang didiami Helian Kong di Pak-khia. Ternyata kelewat, sederhana, padahal semula Ting Hoan-wi sudah membayangkan bahwa sebagai seorang berpangkat Hu-ciang dan kenal dengan "orang-orang atas" tentunya Helian Kong pas kalau menempati sebuah rumah besar yang bagus.

Namun kini dilihatnya tempat tinggal itu cuma sebuah rumah se derhana yang letaknya agak menjorok jauh dari jalan raya. Tidak ada perabotan mewah, yang ada cuma seperangkat alat latihan silat di halaman belakang, bergeletakan.

"Santailah di sini,” kata Helian Kong sambil menepuk pundak Ting Hoan-wi. Sambil menunjuk sebuah pintu tertutup, ia berkata, "Kamarmu di sana. Senangg tidak?"

"Ya...." Ting Hoan-wi mengantuk kurang bersemangat.

Sementara itu, seorang pemuda cilik beusia empat belas tahun yang selama ini ikut Helian Kong dan sering membantu-bantu, dengan gembira telah menyiapkan makanan.

"A-liok, bagaimana keadaannya selama kutinggal pergi?" tanya Helian Kong.

"Tidak ada apapun. Ada beberapa orang datang dan bertanya ke mana perginya Toako, tapi ya kujawab saja seperti pesan Toako dulu sebelum Pergi."

"Yang datang apakah teman-temanku sesama perwira?"

"Antara lain. Juga ada beberapa orang yang belum kukenal."

"Apa saja yang mereka tanyakan?"

"Wah cerewet sekali mereka bertanya. Tidak puas dijawab dengan garis besar saja, tapi tanya bertele-tele sekali, sampai nasi yang sedang kunasak di dapur jadi hangus karena kutinggalkan terlalu lama. Sudah begitu. para penanya itu menjengkelkan sekali karena mereka nampak tidak percaya jawaban ku."

Dalam hati Helian Kong tertawa dingin. Pikirnya, "Pasti begundal-begundal Co Hua-sun. Mereka mau mengetahui gerak-gerik siapa saja yang tidak berpihak kepada mereka. Hem, benar-benar mereka mau malang-melintang di Pak-khia ini."

Namun pikiran itu tidak diucapkan mulutnya, ia cuma bertanya kepada pembantunya, "Tapi kau tidak diapa-apakan, bukan?"

"Ya cuma dibentak-bentak dan dipelototi, dan kalau keluar rumah sering mereka buntuti. Tapi ya kubiarkan saja, sebab aku keluar rumah toh hanya untuk belanja sehari-hari. Akhirnya mereka bosan sendiri."

"Syukurlah kalau kau tidak diganggu."

"Makan siang sudah kusiapkan untuk Toako berdua."

Mendengar panggilan "Toako" itu diam-diam Helian Kong geli sendiri. Ketika ia kerumah Ting Hoan-wi beberapa saat yang lalu, ia dengar orang-orangnya Ting Hoan-wi memanggil Ting Hoan-wi dengan sebutan "Toako" maka langsung menyimpulkan kelompok Ting Hoan-wi adalah sebuah sindikat bawah tanah.

Kini kalau ada orang mendengar A-liok memanggilnya ’Toako" mungkinkah juga akan menyangka dia dan A-liok tergabung suatu sindikat, Tentu saja tidak, sebab hal itu hanya karena keakraban antara Helian Kong dan A-liok yang sudah seperti kakak beradik.

Ketika Helian Kong memperkenalkan A-liok kepada Ting Hoan-wi, maka A-H-ok membungkuk hormat. Sedangkan Ting Hoan-wi yang memandang A-liok hanya sebagai seorang kacung, mengacuhkan saja. Kemudian kedua, saudara seperguruan itu menikmati makan slangnya. Cuma, belum selesai makan siang itu, tiba-tiba terdengar pintu depan di ketuk.

A-liok buru-buru meletakkan sapu lidinya, tapi Helian Kong sudah bangkit dan berkata, "Biar kubuka sendiri.” Lalu Helian Kong ke pintu depan, dan membukanya. Tercenganglah dia ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Dua orang berseragam thai-kam, namun agaknya berbeda pangkat.

Kaum thai-kam di istana yang berjumlah sepuluh ribu orang itu disusun seperti sebuah pasukan, dengan jenjang-jenjang kepangkatannya. Itulah akal Co Hua-sun agar "pasukan" itu setiap saat gampang digerakkan dengan satu komandonya. Untuk berbagai keperluan.

Yanig berdiri di depan berusia sekitar empat puluh tahun, mukanya kelimis seperti umumnya para thai-kam. Jubahnya merah tua berikat pinggang batu giok, topinya beludru hitam berbentuk persegi dan berjambul bulu burung di bagian depannya. Biarpun gerak-geriknya kebanci-bancian, namun di pinggangnya ia menggantungkan, pedang.

Sedang yang berdiri di belakangnya adalah seorang thai-kam berpangkat agak rendah. Tangannya menyangga sebuah nampan bertutup kain sutera biru, dan membawa pedang di pinggangnya pula.

Helian Kong kenal thai-kam yang berpangkat lebih tinggi itu, namanya Bu Goat-long salah seorang kepercayaan Co Hua-sun sendiri. Jadi kedudukannya cukup penting.

Melihat keluarnya Helian Kong, Bu Goat-long langsung tersenyum ramah sekali lalu memberi hormat lebih dulu, katanya dengan suaranya yang kecil, "Selamat datang kembali ke Pak- khia, Helian Hu-ciang."

Helian Kong amat tidak suka kepada golongan thai-kam yang dianggapnya terlalu banyak ikut campur dalam pemerintahan, padahal mereka itu resminya hanyalah abdi-abdi istana. Namun demi sopan-santun, dia membalas hormat juga sambil berkata, "Bu Kong-long ada urusan apakah?"

"Aku ditugaskan oleh Co Kong-kong yang terutama ialah mengucapkan salam sejahtera atas kembalinya Helian Hu-ciang dengan selamat di Pak-khia."

Betapapun enggannya, terpaksa Helian Kong mempersilakan tamu-tamunya duduk ke ruang depan. Bu Goat-long duduk, tapi pengiringnya tidak ikut duduk, ia cuma berdiri di belakang kursi Bu Goat-long sambil tetap memegangi nampan yang kelihatannya cukup berat itu.

“Hu-ciang, aku menyampaikan salam hangat Co Kong-kong." Bu Goat-long membuka pembicaraan dengan mencoba menimbulkan suasana menyenangkan.

Sebaliknya sikap Helian Kong biar pun sopan, namun masih tawar saja, "Terima kasih."

Bu Goat-long terus maju, "Co Kong kong sungguh gelisah ketika mendengar bahwa Hu-ciang pergi lama dari Pak-khia, dan Kong-kong amat menguatirkan keselamatan Hu-ciang."

Diam-diam Helian Kong mengutuk dalam hati, "Kuping Co Hua-sun betul-betul tajam, gerakan paling kecil dari tiap orang yang tidak disenanginya tidak lepas dari pendengarannya." Lalu Helian Kong berkata, "Aku tidak pergi secara sembunyi-sembunyi, bahkan aku mengantongi surat jalan dari Peng-po Geng-tong kementerian pertahanan)."

"Oh, jangan salah paham,..." buru-buru Bu Goat-long tertawa ramah. "Bukan Kong-kong mencurigai Hu-ciang, dia hanya cemas akan keselamatan Hu-ciang, sebab Kong-kong tidak mau kehilangan Hu-ciang sebagai perwira yang berbakat, cerdas, berilmu silat tinggi dan amat setia kepada kerajaan. Sungguh sayang kalau sampai mengalami hal-hal yang kurang baik, sebab di luar Pak-khia sekarang ini kurang aman, banyak orang-orangnya Li Cu-seng berkeliaran."

"Terima kasih." kembali cuma kata kata itu jawaban Helian Kong.

Sikap dingin Helian Kong tidak membuat Bu Goat-long cepat menyerah. Senyum ramah tidak lenyap dari mukanya. Dengan gerakan jari yang lembut, ia memberi isyarat kepada thai-kam pengiringnya. Pengiringnya itu maju dengan sikap hormat mendekati meja, meletakan nampan itu di atas meja, lalu Bu Goat-long dengan gerak yang tenang membuka tutup nampan itu.

Helian Kong melihat potongan-potongan emas disusun rapi berbentuk piramida. Seluruh beratnya kalau ditaksir bisa mencapai seratus tahil. Seratus tahil emas, jumlah yang tidak bisa dibilang sekedar lumayan. Ting Hoan-wi yang mengintip dari balik tirai ruangan tengah, diam-diam juga ikut menelan ludahnya.

Tapi Helian Kong justru bersikap amat tenang, Bu Goat-long ditatapnya dengan tajam disertai pertanyaan yang tajam pula, "Untuk apa ini?"

“Hanya sebagai tanda penghargaan Co Kong-kong kepada seorang muda yang amat berbakat dan setia kepada kerajaan."

Dalam hati Helian Kong tidak percaya kalau pemberian itu "sekedar tanda penghargaan" tanpa pamrih di baliknya. Ia sudah tahu Co Hua-sun itu orang macam apa. Pasti sedang berusaha menjerat dirinya agar memihak Co Hua-sun.

Hati Helian Kong mulai panas, dibayangkannya entah berapa banyak orang yang berhasil "dibeli" oleh Co Hua-sun dengan cara itu? Inilah biang-keroknya sehingga pemerintahan jadi morat-marit.

Namun biar hatinya panas, akal sehat Helian Kong masih mampu mengendalikannya. Co Hua-sun mengirim hadiah semahal itu tentu ada maksudnya. lebih baik tidak usah cepat-cepat menunjukkan kemarahannya untuk coba memancing apa maksud Co Hua-sun sebetulnya. Karena itulah Helian Kong dengan cerdik mulai mengubah sikapnya, mulai bersandiwara.

Beberapa kali ia melirik tumpukan emas di meja itu, lalu berkata setelah menarik napas, "Co Kong kong begitu baik kepadaku, sungguh aku tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikannya yang setinggi gunung dan selebar lautan."

Wajah Bu Goat-long makin cerah. "Syukurlah kalau Hu-ciang-tahu bahwa Co Kong-kong amat pandai menghargai abdi-abdi kerajaan yang setia. Sungguh keliru desas-desus yang mengatakan selama ini Kong-kong amat ambisius dan mau merebut kekuasaan, menyingkirkan dan memfitnah pembesar-pembesar setia dan sebagainya. Itu semua keliru!"

Biarpun dalam hatinya mengutuk, Helian Kong pura-pura mengangguk-angguk sambil berkata, "Memang kita semua perlu bersikap terbuka agar tidak terjadi salah-paham.''

"Tepat! Tepat sekali! Sudah lama Kong-kong mendengar kalau Hu-ciang adalah seorang yang bijaksana, ternyata bukan omong-kosong, Kalau Co Kong-kong mendengar sendiri kata-kata Hu -ciang yang terakhir barusan, pasti sangat melegakan hati beliau. Hu-ciang benar-benar sesosok pribadi yang sempurna! Berilmu tinggi, cerdas, setia, masih muda tapi tidak berangasan dan mampu berpikir panjang."

Dan kata-kata sanjungan lainnya meluncur bertubi-tubi, menandakan betapa lihai dan terlatihnya Bu Goat-long dalam urusan demikian. Helian Kong sendiri sampai merinding mendengar penjilatan sehebat itu terhadap dirinya. A-liok keluar untuk meletakkan dua cangkir teh di meja, lalu masuk kembali.

"Silakan, Kong-kong,'' Helian Kong mengajak tamunya minum teh.

Keduanya meletakkan daun-daun teh di dasar cawan, lalu menuangkan air panas, dan sesaat kemudian mereka sudah menghirup teh mereka. Setelah cangkir-cangkir di letakkan kembali, berkatalah Bu Goat-long,

"Selain aku membawa salam hangat dari Kong-kong, aku juga minta agar Hu-ciang suka mendengarkan satu pesan dari Kong-kong."

"Nah, ini dia, ikannya mulai mendekati umpan di mata pancing," pikir Helian Kong. Tapi ia berusaha agar wajahnya iidak berubah.

Sementara Bu Goat-long telah berkata, "Co Kong-kong amat prihatin, akan adanya golongan dalam pemerintahan yang bersikap memusuhi beliau. Padahal beliau adalah seorang yang besar jasanya terhadap Kaisar, misalnya ketika pemberontakan Gui Hian-tiong dulu, siapa yang mempertaruhkan nyawa membela Kaisar? Tak lain adalah Co Kong-kong, namun sekarang ternyata banyak orang dengki yang diam-diam tidak menyukai Co Kong-kong, atau bahkan terang-terangan. Pengaruh golongan ini nampaknya makin meluas."

Hati Helian Kong tergelitik mendengar "ratapan" Co Hua-sun yang lewat mulut Bu Goat-long itu, seolah-olah dirinya tidak bersalah tapi dibenari. Dengan lain kata, ingin menempatkan diri di pihak yang bersih dan pembenci-pembencinya itulah yang bersalah. Karena itu betapapun Helian Kong ingin menahan diri untuk memancing, tak urung tercetus juga kata-katanya,

"Adanya ketidak-puasan yang makin meluas itu mungkin karena melihat Co Kong-kong campur tangan kelewat banyak dalam jalannya pemerintahan, bahkan mempengaruhi Kaisar dalam keputusan-keputusannya. Campur tangan itu mengakibatkan Kaisar menghukum mati beberapa pembesar setia, padahal mereka itu jasa-jasanya melebihi jasa-jaasa Co Kong-kong." Bicara sampai di sini, suara Helian Kong sedikit meninggi karena emosinya mulai ikut bicara.

"Semua yang Kaisar lakukan, kita harus percaya tentu ada alasannya, mungkin suatu alasan yang tidak perlu diumumkan agar tidak menimbulkan keresahan. Memang ada beberapa pembesar yang telah dihukum karena mereka terbukti berniat berkhianat."

Begitulah Bu Goat-long menyebut "yang Kaisar lakukan," sehingga menghindarkan tanggung jawab Co Hua-sun. Padahal Helian Kong tahu bahwa Co Hua-sun lah dalang dibalik perintah-perintah Kaisar itu. Karena itu mendengar Bu Goat-long agaknya hendak membebaskan Co Hua-sun dari tanggung jawab, Helian Kong jadi sulit mengendalikan emosinya lagi.

"Alasan yang tidak diumumkan itulah yang membuat banyak orang gusar! Kami memandang bahwa tersingkirnya beberapa pembesar setia itu hanyalah karena Co Kong-kong ingin bisa malang-melintang dalam pemerintahan, maka orang-orang yang merintangi lalu disingkirkan. Aku kuatir dalam waktu dekat ini akan muncul Gui Hian-tiong kedua!''

Kata-kata tajam Helian Kong itu jelas dialamatkan kepada Co Hua-sun. Gui Hian-tiong adalah seorang thai-kam dari jaman Kaisar Hi-cong. Ketika tahta baru saja dialihkan kepada Kaisar Cong-ceng, hampir saja Gui Hian-tiong berhasil merebut kekuasaan dengan menyingkirkan Kaisar Cong-ceng yang masih belum berpengalaman.

Saat itu Co Hua-sun lah yang menolong Kaisar, sehingga pemberontakan Gui Hian-tiong berhasil, ditumpas dan Gui Hian-tiong sendiri dihukum mati. Akibat jasa Co Hua-sun itu, selanjutnya Kaisar Cong-ceng jadi kelewat percaya kepada Co Hua-sun sehingga banyak yang kuatir kalau thai-kam itu malah akan menjadi "Gui Hian-tiong kedua" sebab sudah banyak pembesar setia yang difitnah dan disingkirkannya.

Kini Helian Kong terang-terangan mengucapkannya di depan orang kepercayaan Co Hua-sun, keruan utusan itu merasakan gelagat kurang baik. "Cuaca cerah" tiba-tiba jadi terancam petir kemarahan yang siap meledak. "Maksud... maksud Hu-ciang..."

"Ketidakpuasan di luar istana takkan lenyap sebelum Co Kong-kong menyadari kedudukannya kalau dia cuma hamba, bukan perangkat pemerintahan menghentikan campur tangannya dalam pengambilan keputusan oleh Kaisar dan kembali ke tugas-tugas aslinya sebagai hamba!"

Bu Goat-long masih mencoba bersikap tenang agar tugasnya tidak gagal masih menganggap kemarahan Helian Kong hanya pura-pura saja, lagak jual mahal, bukankah tadi ia sudah melirik-lirik ke tumpukan emas di atas meja? Karena itulah Bu Goat-long meneruskan cara semula,

"Hu-ciang, aku akan menjadi perantara untuk menjalin saling pengertian antara kau dan Co kong-kong. Kuharap Hu-ciang sudi bicara juga kepada orang-orang yang membenci Co Kong-kong itu, sebab Hu-ciang adalah seorang yang berpengaruh di antara mereka. Kalau Hu-ciang berhasil memadamkan kebencian mereka terhadap Co Kong-kong he-he-he... Co Kong-kong bukannya seorang yang tidak tahu berterima kasih.” Bicara soal "tahu berterima kasih” Bu Goat-long mulai berani cengengesan lagi.

Sementara rasa muak sudah hampir menjebolkan dada Helian Kong. Ternyata beginilah salah satu cara Co Hua-sun menyebarkan pengaruh, dengan uang emas Kebetulan kali ini kebentur Helian Kong yang berpendirian teguh, tapi berapa banyak orang yang mampu tidak tergeming menghadapi godaan menggiurkan ini?

Sedangkan ketika Bu Goat-long melihat. Helian Kong berdiam diri, mengira kalau perwira itu akan bisa dibujuk maka ia melanjutkan, "Urusan peranan Co Kong-kong dalam pemerintahan baiklah kita kesampingkan dulu, mari kita bicarakan masa depanmu yang masih panjang, Hu-ciang, he-he-he....Co Kong-kong pernah bilang, tidak pantas seorang perwira yang banyak jasanya seperti Hu-ciang, tinggal di rumah sekecil ini. Co Kong-kong sedang merencanakan untuk membangun sebuah rumah yang mantap di…”

"Tidak perlu!" gelegar puara Helian Kong yang tak bisa menahan kemarahan. Bahkan tangannya menyapu tumpukan emas di meja sehingga jatuh bertebaran. "Ambil semua ini dan minggat!"

Perubahan sikap itu mengejutkan Bu Goat-long. Sesaat wajahnya memucat, lalu menjadi merah padam. Ia menggebrak meja dan berkata, "Helian Kong, manusia tak tahu diuntung! Co Kong-kong menghargaimu, kenapa kau bersikap setolol ini? Kau kira bisa melawan kekuasaan Co Kong-kong? Tidak. Kekuasaan Co Kong-kong takkan tergeser seujung rambutpun. Karena kau telah menghina Co Kong-kong, jangan menyesal di kemudian hari!"

Helian Kong tertawa dingin, "Memang dengan uangnya Co Hua-sun selama ini berhasil membeli banyak orang, tapi masih banyak pula yang takkan berhasil dia beli, biarpun si budak tua itu menumpuk intan berlian di depan hidungnya. Ingat saja Jenderal Su Ko-hoat dari Yang-ciu, Jenderal Thio Liong-gan di Ciat-kang, Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan, Jenderal Li Teng-kok di Kui-ciu. Jenderal The Ci-liong di Hok-kian dan masih banyak lainnya.

"Mereka adalah orang-orang yang tetap setia kepada Kaisar dan mereka punya pasukan yang kuat. Karena itu peringatkanlah kepada Co Hua-sun agar dia berhenti membisiki Kaisar dengan nasehat-nasehat beracunnya. Kalau tidak, hitung saja hari-harinya yang tersisa sebelum menjumpai kehancurannya!''

Bu Goat-long tidak menjawab, dengan gusar ia pergi tanpa pamit, Thai-kam yang satu lagi harus merangkak-rangkak untuk memunguti potongan Lempengan emas yang jatuh bertebaran, setelah itu diapun terbirit-birit menyusul Bu Goat-long.

Setelah mereka pergi, Helian Kong dengan kesal duduk di kursi dan menggeram sengit, "Bajingan-bajingan tengik, semakin terang-terangan mereka berusaha membeli pendirian orang lain!"

Lalu ia bangkit dan mondar-mandir di ruangan itu, seperti singa dalam kerangkengnya. Setelah agak tenang, barulah ia melangkah masuk ke ruangan tengah.

Ting Hoan-wi yang tadinya mengintip di belakang tirai, cepat-cepat kembali duduk di kursi makannya. Ketika Helian Kong masuk ke ruang tengah, Ting Hoan-wi sudah duduk dan berlagak tidak tahu apa-apa.

Di atas meja sudah tersedia masakan A-liok, yang biarpun sederhana namun biasanya Helian Kong melahapnya habis sampai butir nasi terakliir. Nanum kali ini Helian Kong tidak berselera makan. Ia duduk, namun tidak mengambil nasi melainkan arak. Ditenggaknya tiga cawan berturut-turut, lalu tanyanya kepada Ting Hoan-wi, "Nasinya kok masih utuh, kau belum makan?"

"Aku menunggumu."

"Percuma menunggu aku, sebab aku cuma ingin minum. Kau makanlah sendiri."

Maka Ting Hoan-wi tanpa sungkan-sungkan makan, namun sambil membayangkan potongan-potongan emas yang bertebaran tadi, yang ditolak begitu saja oleh Helian Kong. Ah, betapa sayangnya.

Sementara arak Helian Kong sudah sampai cawan ke tujuh, dan ia tiba-tiba bertanya lagi, "A-hoan, tadi kau mendengar percakapanku dengan tamuku tadi?"

Ting lioan-wi tiba-tiba tersedak, buru-buru diminumnya secangkir teh untuk melonggarkan tenggorokannya. "Tidak...." sahutnya.

"Emm... ya. Eh, bagaimana rencanamu untuk mengabdi dalam Tentara Kerajaan?"

"Aku sedang memikirkannya.”

"Lho, jadi dulu itu kau belum memikirkannya benar-benar?"

"Aku... aku pikir-pikir lagi, rasanya kurang berbakat di ketentaraan. Mungkin kurang... kurang disiplin, begitulah."

"Ya sudahlah, tidak ada yang memaksamu kok. Makanlah terus."

"A-kong..."

"Hem?"

"Siapa tamu tadi?"

"Apa kepentinganmu dengannya?"

"Ah, tidak ada kepentingan apa-apa. Cuma ingin tahu, sebab tadi dari ruangan ini kok kedengarannya seperti kau bertengkar dengannya.''

"Memang kami bertengkar. Masih untung dia, aku membiarkannya pulang dan tidak mencekiknya mampus disini juga...!”

"Siapa dia?"

"Bu Goat-long, salah seorang thai-kam begundal Co Hua-sun yang paling dipercaya."

Ting Hoan-wi tahu benar bagaimana harus membawa diri di hadapan Helian Kong. Maka diapun mengepal tinjunya dan berkata dengan geram, "Harusnya kau cekik saja begundal si bangsat tua itu. Bakal rusak negeri ini kalau orang macam dia berkeliaran terus."

Helian Kong yang tengah agak terpengaruh arak itu, terkesan oleh sikap Ting Hoan-wi itu. Katanya, "Nah, orang orang tidak bertanggung jawab macam itulah yang kini mengelilingi Kaisar rapat-rapat. Banyak laporan dari daerah-daerah yang seharusnya dibaca Kaisar, tidak sampai kehadapan Kaisar karena dicegat lebih dulu oleh Co Hua-sun dan komplotannya. Sebaliknya jarang sekali orang-orang di luar istana mendengar suara Kaisar sendiri, kebanyakan hanya mendengar suara Co Hua-sun yang mengatas-namakan Kaisar."

"Di mana kediaman Bu Goat-long?"

"Buat apa kau tanya?"

"Cuma ingin tahu."

"Sebagai thai-kam dia ya tinggal di bangsalnya Co Hua-sun di kompleks istana. Tapi ia sering mengunjungi adiknya yang buka toko buah-buahan di dekat lapangan Thian-an-bun."

Ting Hoan-wi diam-diam mencatat alamat itu dalam otaknya. Sementara itu Helian Kong telah bangkit dari kursinya dan menggeliat sehingga panggangnya gemeretak. "Aku mau tidur dulu. Nanti sore mau bertemu dengan teman-temanku. Mau ikut?"

"Tidak. Mau jalan-jalan saja."


Matahari terbenam, langit gelap. Helian Kong bergegas melangkah ke rumah keluarga Siangkoan. Pertemuan dengan teman- teman sesama perwira itu bukan sekedar melepas rindu, tapi juga ada hal-hal yang lebih penting. Ia ingin mendengar perkembangan apa saja yang terjadi di ibu kota selama ia tinggalkan, dan juga keterangan Siangkoan Yan yang tidak tuntas siang tadi membuatnya penasaran, dan ingin mendengar kelanjutannya sampai tuntas.

Waktu itu Siangkoan Yan tidak meneruskan ceritanya, sebab ada Ting Hoan-wi yang belum dipercaya benar oleh gadis itu. Bisa dimaklumi keengganan Siangkoan Yan menceritakan tentang keluarga istana di depan orang yang masih asing, sebab hubungan Siangkoan Yan dengan puteri Tiang-ping amat erat, sehingga Siangkoan Yan tidak memanggilnya "tuan puteri" melainkan "cici Ping" begitu saja.

Helian Kong sendiri bukan seorang yang getol mendengar rahasia keluarga orang lain, namun hal-hal yang menyangkut diri Kaisar, bagaimanapun juga akan menyangkut pasang-surutnya negara, karena itulah Helian Kong ingin mendengarnya lengkap dari Siangkoan Yan.

Sambil berpikir-pikir, tak terasa sampailah Helian Kong di sebuah gedung besar. Di kiri kanan pintunya tergantung dua rangkaian lampion yang masing masing rangkaian terdiri dari tiga lampion bundar, untuk penerangan. Lampion lampion itu bergoyang-goyang oleh angin malam yang lembut, mengingatkan akan bentuk anting-anting gadis Mongol. Di depan pintu ada sebuah tandu, dijaga sekelompok orang bersenjata yang berseragam seperti umumnya pengawal-pengawal pribadi para bangsawan tinggi.

"Sedang ada tamu rupanya..." pikir Helian Kong.

Pintu gerbang itu sendiri terbuka, jadi kalau ingin masuk tidak perlu mengetuknya. Helian Kong mendekati sekelompok bujang yang berdiri dekat pintu, dan ketika bujang-bujang itu melihat Helian Kong, mereka lebih dulu memberi hormat, "Hu-ciang, silakan masuk. Siauya (tuan muda) dan Siocia (nona) sudah menunggu di halaman samping bersama teman-teman Taijin."

Baru saja Helian Kong melangkah di halaman depan, tiba-tiba dilihatnya dari bangunan induk muncul dua orang tua yang berjubah pembesar sipil. Kedua-duanya sudah dikenal baik oleh Helian Kong. Yang usianya nampak lebih muda adalah Siangkoan Hi, seorang menteri ayah Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan.

Sedangkan yang berusia lebih tua dan nampaknya sedang diantarkan pulang oleh Siangkoan Hi, adalah Ciu Kok-thio mertua Kaisar Cong-ceng sendiri, atau ayah dari Ciu Hong-hou (permaisuri Ciu). Karena itulah Helian Kong menghentikan langkah dan cepat-cepat berlutut menghormat.

Melihat Helian Kong berlutut, kedua pembesar itupun berhenti melangkah. Siangkoan Hi berkata, "Hu-ciang kau sudah datang?"

Kemudian agar dirinya tidak disangka sedang membentuk komplotan, buru-buru Siangkoan Hi menerangkan kepada Ciu Kok-thio, "Paduka, inilah Hu-ciang Helian Kong, panglima pasukan kesebelas. Satu dari sedikit orang yang belum berhasil dipengaruhi oleh Co Hua-sun."

Ciu Kok-Lhio mengangguk-angguk puas, sementara Helian Kong berkata, "Salam hamba untuk Jiwi Taijin!"

Ciu Kok-Thio bersikap ramah. Dengan tangannya sendiri ia hendak membagunkan Helian Kong dari berlututnya, sambil berkata, "Bangunlah, Hu-ciang. Sungguh kagum aku dijaman seperti ini masih ada orang yang berpendirian teguh dan tidak ikut-ikutan menjilat Co Hua-sun."

"Terima kasih, Taijin." Helian Kong bangkit dari berlututnya.

"Teman-temanmu agaknya sudah menunggumu di halaman samping." sekali Ciu Kok-thio menepuk pundak Helian Kong, lalu meneruskan langkahnya sampai ke luar gedung itu, dengan diantarkan Siangkoan Hi.

Setelah mertua Kaisar itu masuk ke tandu dan pergi bersama pengawal-pengawal pribadinya, barulah Siangkoan Hi masuk kembali, dan dilihatnya Helian Kong masih berdiri di halaman.

"He, kenapa masih di sini? Teman-temanmu sudah menunggu di halaman samping. Bersenang-senanglah, jangan sungkan kepadaku.” Pembesar itu memang sudah kenal baik dengan Helian Kong, bahkan diam-diam mengharap perwira ini kelak jadi menantunya.

Helian Kong pun membungkuk hormat sekali lagi sebelum menuju ke halaman samping yang sudah ia ketahui jalannya. Pertemuan itu memang diatur Siangkoan Yan untuk menyambut kembalinya Helian Kong di Pak-khia. Yang hadir hanyalah orang-orang terbatas, tidak lebih dari sepuluh orang yang merupakan teman-teman Helian Kong, ditambah Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan. Semuanya berpakaian santai, bukan pakaian untuk pesta resmi. Kedatangan Helian Kong mereka sambut gembira.

Helian Kong pun menyambut salam hangat sahabat-sahabatnya itu, tapi ia terkejut melihat adanya dua orang perwira yang tak disangkanya akan muncul di ibu kota itu. Kedua orang itupun berdandan seperti lain-lainnya, dalan pakaian santai dan bukan seragam militer mereka.

Yang satu bertubuh tegap, mukanya bundar dan kulitnya putih bersih, namanya Bu Sam-kui. Yang satu lagi agak pendek tapi kokoh, kumis dan berewoknya seperti sikat kakus, suaranya keras, lebih-lebih bila tertawa. Namanya Liong Tiau-hui.

Kedua perwira itu mengejutkan Helian Kong karena muncul di situ, padahal mereka adalah perwira-perwira bawahan Jenderal Ang Seng-tiu yang bertugas di San-hai-koan, kota perbatasan timur laut, untuk menjaga serangan Kerajaan Ceng (Manchu).

Menyambut. Helian Kong, Liong Tiau hui mengulurkan sepasang tangannya yang dalam sekejap sudah saling genggam dengan sepasang tangan Helian Kong, lalu saling mengguncang lengan begitu akrabnya.

"Apa kabar? Kabarnya kau lari terbirit-birit diuber-uber anak buahnya La Cu-seng?"

Helian Kong tertawa mendengar kelakar itu, begitu pula semua orang di taman itu. Sedang Helian Kong cepat membalasnya, "Dan kau sendiri kenapa belum juga dibikin sate oleh orang-orang Manchu? Malah tambah gemuk, agaknya kau malahan yang bikin sate Manchu?"

Kembali orang-orang di taman itu tertawa. Kemudian Helian Kong menoleh kepada perwira San-hai-koan yang satu lagi. Kepada Bu Sam-kui, Helian Kong juga mengenal namun tidak terlalu akrab, apalagi pangkatnya setingkat di bawah Bu Sam-kui, maka sikapnya jadi setengah resmi, "Bu Cong-peng, kau di sini juga?"

Ketika ditanyai itu, agaknya Bu Sam-kui sedang melamun, maka dengan geragapan ia menjawab sekenanya, "Iya, iya... kami diutus Jenderal Ang untuk melapor ke Pak-khia. Ya... ya..."

Jawaban yang tak karuan itu membuat banyak perwira di situ diam-diam menahan tawanya, bahkan Siangkoan Yan hampir saja tertawa terkikik, namun cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan sambil menunduk.

Helian Kong pun sebenarnya geli, namun ia lalu berusaha "menolong" Bu Sam-kui dengan pertanyaannya, agar tidak lagi salah tingkah. "Baik-baikkah Jenderal Ang dengan pasukannya di San-hai-koan?"

Seri tawa Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui mendadak sirna mendengar pertanyaan itu. Sesaat kedua perwira itu bertukar pandangan, Liong Tiau-hui mengangguk sedikit dan Bu Sam-kui-lah yang menjawab,

"Ketika kami tinggalkan dua bulan yang lalu sih masih sanggup menjaga serbuan bangsa Manchu, biarpun dengan perbekalan yang serba kekurangan. Tapi entahlah sekarang."

"Lho,... apakah cukup gawat?"

"Sudahlah, tidak perlu dibicarakan dalam suasana gembira ini." Bu Sam-kui tiba-tiba mengibaskan telapak tangan di depan hidungnya sendiri, seperti mengusir lalat. "Nanti merusak suasana."

Tapi salah seorang perwira di tempat itu rupanya penasaran ingin mendengar berita seutuhnya dari San-hai-koan. Perwira itu lalu mendesak, "Bu Cong-peng, katakan saja. Kita berkumpul memang bukan untuk bergembira saja, tapi juga untuk bertukar pikiran tentang macam-macam masalah di negeri kita ini."

Banyak hadirin di tempat itu yang bersuara menyetujui ucapan si perwira itu. Siangkoan Heng sebagai tuan rumah cepat-cepat berusaha menguasai suasana, "Saudara-saudara, aku setuju bahwa acara utama kita adalah bertukar pikiran. Sebab kalau cuma makan-minum dan bergembira saja dalam suasana yang memprihatinkan ini, apa bedanya kita dengan pembesar-pembesar korup yang sering kita kecam? Tapi semuanya bisa dibicarakan dengan santai bukan? Silakan duduk dulu semuanya."

Para perwira itu lalu mengambil tempat duduknya masi ng-masing, kemudian Siangkoan Heng mengajak semuanya mengisi cawan dan mengangkatnya, "Untuk kejayaan dan keselamatan Kerajaan Beng!"

Semua mengangkat cawan dan menenggaknya. Untuk kedua kalinya Siangkoan Heng mengisi dan mengangkat cawannya, diikuti semuanya. "Untuk Jenderal Ang Seng-tiu yang dengan gagah berani bertempur di San-hai-koan menggadang serbuan orang-orang Manchu yang biadab! Semoga Langit meng-anurahkan ketabahan dan kegagahan kepada Jenderal Ang dalam mempertahankan tiap jengkal wilayah negeri kita!"

Kembali cawan-cawan arak dikeringkan dengan sekali tenggak, juga oleh Siangkoan Yan yang seorang gadis. Cawan ke tiga diangkat pula, suara Siangkoan Heng makin keras. "Untuk Jenderal Sun Toan-teng di Tong-koan yang mempertaruhkan jiwa raganya untuk menghadapi bandit-bandit pemberontak Pelangi Kuning!"

Minum lagi. Ketika cawan keempat diangkat, Siangkoan liong berkata, "Untuk sahabat kita Helian Kong yang baru saja..."

"Tidak!" tiba-tiba Helian Kong berkata keras, sehingga semua orang menoleh kepadanya dengan pandangan bertanya-tanya.

Helian Kong mengangkat cawannya yang penuh arak, dan berkata, "Jangan untuk diriku pribadi. Kita minum untuk cita-cita kita mendukung Kaisar agar dapat menjalankan kekuasaannya secara wajar, bersih dari pengaruh kawanan dorna Co Hua-sun dan semua begundalnya! Hidup Kaisar!”

Kata-kata itu mendapat sambutan meriah, dan kembali semuanya minum arak. Habis itu, keluarlah pelayan-pelayan keluarga Si angkoan membawa nanpan-nampan hidangan, meletakkannya di atas meja-meja yang diatur di bawah pepohonan taman yang digantungi lampion-lampion besar.

Suasanapun jadi terasa agak seperti pesta, namun sulitlah membuat mereka lupa akan urusan-urusan yang sedang dihadapi oleh kekaisaran. Di tengah-tengah makan minum, seorang perwira mendadak bertanya kepada Bu Sam-kui,

"Bu Cong-peng, bagaimana sebenarnya keadaan pasukanmu di San-hai-koan?"

Kembali Bu Sam-kui geragapan dan tersedak, sebab ketika ditanyai, ia sedang melamun biarpun sambil makan. Lebih dulu ia minum, barulah bersuara, "Apa... apa tadi pertanyaanmu, Le Hu-ciang?"

"Bagaimana sebenarnya keadaan pasukanmu di San-bai-koan?"

"Terus terang saja, kami kurang perbekalan, sehingga dalam urusan perbekalan ini kami terpaksa sekali jadi memberatkan beban penduduk setempat. Tapi hal itu dilakukan benar-benar terpaksa, karena prajurit-prajurit kami tidak mungkin bertempur dengan perut kosong."

Helian Kong diam-diam menarik napas mendengar itu. Ternyata di mana-mana banyak kesamaan situasi. Tentara Kerajaan menjadi beban penduduk. Bedanya ada yang membebani dengan rasa terpaksa, karena tidak ada jalan lain. Ada yang malah menggunakan kesempatan untuk menginjak dan mencekik sekuatnya demi keuntungan pribadi.

Bagaimanapun, terpaksa atau tidak terpaksa, penduduk tetap harus mengurangi jatah makan mereka untuk sebagian disumbangkan kepada tentara. Belum lagi beban lainnya berupa rasa takut, bekerja dengan tidak aman dan sebagainya.

Helian Kong jadi ingat akan potongan-potongan emas yang dibawa Bu Goat long untuk menyuapnya. Itu pasti hanya sebagian kecil dari "arus uang'' yang hilir mudik di Pak-khia, ibukota negara. Tiap harinya entah berapa laksa tahil emas di Pak-khia itu yang berpindah ke sana kemari hanya untuk saling menyogok, saling menjatuhkan atau menjebak, saling membeli pendirian orang lain. Atau untuk berpesta-pora.

Tapi perbekalan para perajurit di garis depan sering diabaikan, sehingga tentara Kerajaan menjadi beban rakyat, padahal itu mestinya tidak terjadi kalau kiriman dari pusat lancar.

"Sebagian besar kekayaan terpusat hanya pada segelintir orang di Pak-khia," pikir Helian Kong pahit. "Tapi untuk penggunaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan."

Sementara itu seorang perwira bertanya lagi kepada Bu Sam-kui. "Bu Cong peng, jadi kau dan Liong Hu-ciang pergi ke Pak-khia ini tentunya untuk minta kiriman perbekalan bagi pasukan di San-hai-koan?"

"Begitulah."

"Surat dari Jenderal Ang Seng-tiu apakah sudah kau serahkan ke kantor Peng-po Ceng-tong ( kementerian perang)?"

"Pada hari kami berdua tiba di Pak-khia, langsung kami serahkan surat itu, agar segera sampai kepada Kaisar untuk dipertimbangkan dan dijawab."

"Bu Cong-peng menyuap berapa banyak kepada pegawai-pegawai Peng-po Ceng-tong?"

Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui nampak kebingungan mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang terasa aneh di kuping. Masa petugas-petugas di Peng-po Ceng-tong itu minta suap untuk menjalankan tugas yang memang sudah jadi kewajiban mereka? Bukankah mereka juga udah menerima gaji dari negara?

''Maksud Mo Cam-ciang bagaimana?” pertanyaan Liong Tiau-hui itu terdengar polos dan nyaris menggelikan. "Apakah itu perlu, sebab urusan yang kubawa ini bukan kepentinganku pribadi, tapi keselamatan negara? Kalau sampai San-hai-koan berhasil direbut orang Manchu, bukankah musuh akan mendapat jalan yang leluasa untuk menyerbu wilayah kekaisaran? Apakah pegawai-pegawai di Peng-po Ceng-tong tidak menyadari hal ini?"

Mendengar kata-kata Liong Tiau-hui yang begitu jujur dan tersungguh-sungguh, perwira-perwira lainnya menampilkan wajah iba menatap Liong Tiau-hui.

"Surat Jenderal Ang yang diserahkan ke Peng-po Ceng-tong itu mungkin sudah sampai....” seorang perwira berewokan menyela. ".... sampai ke keranjang sampah, karena tidak disertai uang sogokan.”

Liong Tiau-hui menjadi gusar mendengar itu, ia berdiri menggebrak meja dan membentak, "Li Tiang-hong! Apa maksud ucapanmu itu?"

Perwira itu memang bernama Li Tiang-hong, bawahan Jenderal Thio lian-tiong yang saat itu dengan pasukannya sedang mempertahankan propinsi Se-cuan dari serangan pemberontak. Kehadiran Li Tiang-hong di Pak-khia karena diutus Jenderal Thio untuk suatu urusan dengan pemerintah pusat.

Sahut Li Tiang-hong dengan tenang dan hormat, "Maafkan kata-kataku, Liong Hu-ciang. Bukan aku bermaksud mengecilkan hati kalian, tapi memang begitulah kenyataannya. Pegawai-pegawai Peng-po Ceng-tong itu korup semua, dari bawahan sampai atasan. Mereka tidak akan peduli urusan itu penting atau tidak bagi keselamatan negara, mereka cuma memandang uang sogokannya cukup atau tidak?

"Aku sudah enam bulan di Pak khia, tapi urusan yang kubawa masih terkatung-katung tak karuan. Kalau kutanyakan mereka, mereka cuma bilang sudah diurus, tapi surat Jenderal Thio entah sudah terselip di mana sekarang. Padahal sudah kusertakan uang sogokan, yang nampaknya dianggap kurang cukup oleh mereka."

Wajah Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui memucat, lalu mereka saling pandang dengan bingung. Liong Tiau-hui yang berangasan itu tiba-tiba berteriak, "Keparat! Kalau begitu akan kubakar sekali kantor Peng-po Ceng-tong! Apa gunanya bangunan sebagus itu kalau hanya menjadi sarang pegawai-pegawai bermental bobrok?"

Bu Sam-kui cepat-cepat meredakan kemarahan rekannya itu, "Sabar, Liong Hu-ciang. Penyelesaian menurut caramu itu tidak tepat, malah bisa mempersulit urusan. Kita bisa dituduh memberontak, dan itu berarti menyulitkan posisi Goan-swe Ang Seng-tiu karena kita adalah bawahan beliau."

“Kita harus bagaimana?"

Suasana sunyi. Tidak ada yang sanggup menjawab "bagaimana"nya Liong Tiau-hui. Sampai suara Helian Kong memecahkan kesunyian itu, berat dan tenang, "Kalau laporan lewat Peng-po Ceng-tong banyak hambatan, kenapa tidak dicoba langsung menghadap Kaisar dan melaporkannya secara lisan saja?"

Semua mata menatap Helian Kong kini. Muncul setitik harapan setelah sekian lama menghadapi jalan buntu. Namun kata-kata Siangkoan Heng kemudian menyurutkan harapan itu, "Rasanya jalan itu malah lebih mustahil. Hari-hari belakangan ini Kaisar jarang mewujudkan sidang terbuka, ia hanya bisa menemui pejabat-pejabat yang sudah disaring sendiri oleh Co Hua-sun. Kalau kita bukan penjilatnya Co Hua-sun, sampai dunia kiamat pun jangan harap di ijinkan menghadap Kaisar.”

Para perwira itu banyak yang mengentakkan gigi atau mengepalkan tinju. Li Tiang-hong menggeram sengit, "Begitu hebat pengaruh bangsat kebiri itu di istana!"

"Kita bawa pasukan dan serbu saja istana! Kita paksa Kaisar menerima dan mendengarkan kita!" kata seorang, dan usulnya segera didukung Liong Tiau-hui dan orang-orang berangasan lainnya.

"Tidak!" suara Helian Kong yang menentang usul itu mengatasi hiruk-pikuk emosional itu. "Tindakan kekerasan macam itu bisa dijadikan alasan oleh Co Hua-sun untuk menuduh kita hendak berontak! Dia bisa membujuk Kaisar untuk menghukum mati kita, seperti yang dilakukannya terhadap Jenderal Wan, Cong-hoan almarhum! Kalau sampai demikian, tidakkah kita ini hanya korban-korban konyol yang malah akan lebih mengokohkan posisi Co Hua-sun?"

"Tanpa cara itu, kita tidak bisa apa-apa!"

"Tidak. Aku punya gagasan."

"Apa?"

"Menghadap Kaisar, tapi tidak dengan cara yang resmi,, sebab pasti akan dihalang-halangi oleh Co Hua-sun yang komplotannya begitu kuat menguasai seluruh sudut istana. Cukup salah satu dari kita yang menyelundup ke istana, sampai berhasil menemui Kaisar sendiri!"

Usul Helian Kong itu membuat semua orang tercengang. Sebab hal itu benar-benar sulit, sebab istana kekaisaran bukan kakus umum di sudut pasar di mana tiap orang bisa keluar masuk semaunya asal membayar dana kebersihan. Istana dijaga puluhan ribu pengawal, dan semuanya sudah dipengaruhi Co Hua-sun.

"Siapa yang bisa masuk sampai ke hadapan Kaisar tanpa diketahui orang-orangnya Co Hua-sun?" muncul pertanyaan itu.

Dan muncul jawaban yang sebenarnya bukan jawaban karena bernada tidak sungguh-sungguh, "Salah seorang dari kita harus mati lebih dulu, lalu arwahnya tentu bisa menyelundup masuk istana tanpa diketahui. Hanya arwahnya, bukan raganya."

Tapi tidak ada yang tertawa untuk kelakar itu. Namun ada juga yang bersungguh-sungguh memikirkan usul Helian Kong itu, dari beberapa pasang mata mulai menatap Helian Kong. Helian Kong tidak mengajukan dirinya. Tapi ia merasa dirinyalah, yang akan dipilih untuk menyelundup ke dalam istana. Kalau demikian, ia takkan menolak pemilihan itu, meskipun tentu saja akan menolak kalau harus "dijadikan arwah" lebih dulu.

Benar juga, setelah ribut-ribut sejenak, ada yang bersungguh-sungguh dan ada yang sinis itu, tiba-tiba terdengarlah suara seseorang keras "Bagaimana kalau Helian Hu-ciang saja yang menyelundup ke dalam istana?"

Suasana tiba-tiba jadi sunyi. Sampai terdengar lagi, "Pilihan tepat, kita semua percaya akan semangat juang Helian Hu-ciang, yang tak mempan tekanan keras maupun emas yang berkilauan."

Helian Kong paham, di balik kata-kata yang kedengarannya seperti sanjungan itu, ia sedang diingatkan agar tidak ingkar dari kepercayaan yang dibebankan oleh kawan-kawannya.

"Helian Hu-ciang, mau menerima tugas ini?"

"Baik," sahut Helian Kong tanpa pikir panjang sambil bangkit dari duduknya. Mantap.

"Toako!" Siangkoan Yan-lah yang kaget dan cemas. Gadis itu membayangkan, betapa Helian Kong, pria yang diam-diam dicintanya itu, akan memikul resiko yang demikian berat. Bukan saja terancam nyawanya, tapi juga nama baiknya, kehormatannya yang dibanggakan sebagai prajurit sejati.

Kalau gagal menghadap Kaisar dan tertangkap atau terbunuh oleh Co Hua-sun, pastilah Co Hua-sun akan langsung mengumumkan Helian Kong sebagai "pembunuh" atau "pengkhianat" atau entah apa lagi, sedang Co Hua-sun sendiri akan mengumumkan dirinya sebagai "penyelamat Kaisar." Siangkoan Yan sudah tahu watak Co Hua-sun itu.

Namun Helian Kong sendiri nampaknya sudah mantap tenar melakukan hal itu. Malahan ia kemudian berkata kepada Siangkoan Yan, "Adik Yan, bukankah kau sahabat karib Puteri Tiang-ping? Kumohon kau mau membicarakan urusan ini dengan Puteri Tiang-ping. Dengan bantuannya, rasanya keinginan untuk menghadap Kaisar tidak akan banyak kesulitannya, apalagi Puteri Tiang-ping sendiri tidak menyukai Co Hua-sun."

Yang mengucapkan itu memang Helian Kong, namun semua yang hadir di tempat itu juga menatap penuh harap kepada Siangkoan Yan agar mau membantu.

Sedang gadis itu beberapa saat hanya duduk mematung, tidak menjawab. Dalam hatinya ia amat meragukan keberhasilan rencana itu. Seandainya berhasil menemui kaisar, maka masih harus dipertanyakan bagaimana tanggapan Kaisar. Mungkin Kaisar berterima kasih karena laporan yang jujur, tapi juga bisa sebaliknya.

Bisa saja Kaisar malah memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menangkap Helian Kong, sehingga nasib Helian Kong akan seperti beberapa pembesar yang nekad pernah mencoba menggugat Co Hua-sun, jadi setan tak berkepala.

"Kaisar kehilangan akal sehatnya karena mabuk kecantikan Tiau Kui-hui, selirnya yang amat cantik, sehingga Ciu Hong-hou (permaisuri Ciu) sendiri pun tidak digubris oleh Kaisar, apa lagi cuma Helian Kong.” pikir Siangkoan Yan. "Tanpa Kaisar sadari bahwa Tiau Kui-hui hanyalah alat Co Hua-sun untuk meninabobokkan Kaisar agar Co Hua-sun bisa malang-melintang bersama komplotannya,"

Memang, saat itu gara-gara terbius kecantikan Tiau Kui-hui, Kaisar Cong-ceng sudah seperti boneka yang tak punya pendirian lagi, cuma menuruti apa saja yang dikatakan Co Hua-sun. Tapi di tengah-tengah para perwira yang sedang terkobar semangatnya dan mengarahkan harapan di pundak Helian Kong, Siangkoan Yan merasa amat sulit membuka mulut.

"Bagaimana, adik Yan?" Helian Kong mengulangi pertanyaannya melihat gadis itu diam saja.

"Aku mohon dibuat pertimbangan lagi…” semua menanti kelanjutan kata-kata gadis itu.

Lebih dulu Siangkoan Yan menarik napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya, lalu katanya, "Saudara-saudara, karena hubunganku yang cukup baik dengan Cici... eh, Puteri Tiang-ping, sedikit banyak aku tahu bagaimana suasana keluarga kerajaan saat ini.”

Semuanya masih bungkam mendengarkan. Lalu Siangkoan Yan melanjutkan, "Suasana dalam keluarga kerajaan akan mempengaruhi sikap Kaisar dalam menghadapi urusan apapun. Apakah Kaisar akan jadi sabar atau gampang marah, itu dipengaruhi suasana keluarganya. Benar tidak?"

Banyak yang setuju mendengar kata kata itu, biarpun belum tahu ke mana arahnya. Memang masuk akal. Itu pengalaman semua lelaki yang sudah punya isteri. 'Tanggal muda kalau habis gajian, wajah isteri tentu berseri-seri, dan kalau sudah tanggal tua biasanya wajah sang isteri juga akan semakin banyak kerutannya.

Sudah tentu suasana keluarga kerajaan yang hendak diomongkan oleh Siang koan Yan itu bukan urusan uang di kantong. Karena itu semuanya tetap menunggu ke mana arahnya kata-kata Siangkoan Yan.

"Nah, bagaimana sikap Kaisar terhadap Helian Toako seandainya dia ber-hasil menghadap, juga tergantung suasana keluarga Kaisar Benar tidak?"

"Benar!" sahut seorang perwira bernama Le Koan-wi. "Nona Siangkoan, kau tahu bagaimana suasana keluarga Kaisar sekarang ini?"

Langsung Siangkoan Yan ke inti masalahnya, masalah yang sebenarnya kurang pantas di sebar-luaskan karena menyangkut kehidupan pribadi keluarga Kaisar, tetapi karena menyangkut juga mati-hidupnya Helian Kong, terpaksa Siangkoan Yan mengutarakannya di hadapan semua yang hadir,

"Saat ini Kaisar sedang... yah, sedang tergila-gila kepada kecantikan Tiau Kui-hui. Semua omongan selir cantik itu diturutinya, padahal omongan Tiau Kui-hui tidak lain ya omongan Co Hua-sun yang didiktekan sebelumnya. Walaupun kelak Helian Toako berhasil menghadap, takkan lebih hanya menyerahkan batang lehernya pada Kaisar. Kaisar takkan menggubris kata-katanya.”

Wajah perwira-perwira pembenci Co Hua-sun itu mendadak jadi murung semua, terutama yang urusannya sedang terkatung-katung di tengah jalan seperti Bu Sam-kui , Liong Tiau-hui dan Li Tiang-liong. Kalau cara menyelundupkan Helian Kong itu tak memberi harapan, lalu masih ada cara apa lagi?

"Kapan suasana keluarga Kaisar memungkinkan untuk mendengarkan Helian Hu-ciang?" suara Liong Tiau-hui hampir berteriak karena kesalnya. "Satu bulan? Tiga bulan? Satu tahun? Atau takkan pernah, sehingga prajurit-prajurit kami di San-hai-koan mati kelaparan karena kehabisan perbekalan?"

Siangkoan Yan nampak bingung menghadapi sikap Liong Tiau-hui itu. Ia bisa memahami kegelisahan para perwira yang selama ini urusannya di "pingpong" oleh pegawai-pegawai Peng-poCeng-tong. padahal situasi di garis depan semakin gawat dan membutuhkan perhatian Kaisar.

Tapi di lain pihak Siangkoan Yan juga menguatirkan Helian Kong, jangan-jangan ke istana hanya untuk "setor kepala"? Selama Kaisar masih terbuai kecantikan Tiau Kui-hui; selama itu pula ia enggan mendengarkan laporan yang tidak enak, maunya yang enak-enak saja.

Sesaat suasana jadi ribut, sampai terdengar suara Le Koan-wi keras, "Tidak ada gunanya kita berbantah tak karuan! Kita serahkan saja kepada Helian Hu-ciang sendiri. Berani meneruskan rencana ini atau tidak? Memang nyawa dan nama baik taruhannya! Tapi kalau Helian Hu-ciang tidak bersedia, kita tidak boleh menghinanya. Atau ada orang lain yang bersedia?"

Sebelum Helian Kong menjawab, Siangkoan Yan cepat-cepat mendahuluinya, "Saudara-saudara! Jangan menganggap keadaan dalam keluarga kerajaan itu takkan berakhir. Titu Bi jin-ke (perangkap wanita cantik) yang dijalankan oleh Co Hua-sun atas diri Kaisar dengan menggunakan Tiau Kui-hui itu akan tiba saatnya berakhir. Itulah saat yang aman untuk menghadap!"

"Kapan saat berakhirnya?”

"Saat ini Paduka Ciu Kok-thio, mertua Kaisar, sedang merencanakan."

"Adik Yan!" Siangkoan Heng tiba-tiba menukas sambil menatap adiknya dengan tajam, kuatir kalau adiknya melanjutkan kata-katanya. Maklum, apa yang sedang dipersiapkan oleh Ciu Kok-thio itu bukanlah sesuatu yang bisa sembarangan diumumkan. Memang, semua yang hadir di situ boleh di kata segolongan, sama-sama penentang Co Hua-sun, tetapi siapa berani menjamin takkan membocorkan rencana Ciu Kok-thio?

Mungkin bukan membocorkan dengan sengaja, tapi tanpa sengaja, misalnya waktu mabuk arak. Apa lagi kalau mengingat betapa giat Co Hua-sun meluaskan pengaruh dengan seribu satu mneam cara..Mengancam, membujuk, menipu, menjebak dengan wanita, menjerat, dengan uang, menyogok, mengadu domba dan entah bagaimana lagi. Itulah yang dikuatirkan Siangkoan Heng sehingga dia mencegah adiknya bicara lebih lanjut.

Helian Kong dapat merasakannya pula ada sesuatu yang tersembunyi, tidak pantas diketahui orang banyak. Karena itu ia berdiri dan berkata kepada Siangkoan Yan, "Adik Yan, sudahlah. Tugasku memang mengandung resiko, tapi aku tetap akan memikulnya. Aku berjanji untuk berhati-hati dan tidak cuma nekad saja. Kalau gagal, rasanya aku masih bisa kabur atau bersembunyi dengan jurus kura-kura.''

Maksudnya berkelakar untuk membuat Siangkoan Yan tertawa, namun wajah gadis cantik itu justru memucat, butiran-butiran keringat dinginnya berkelap kelip di jidat, kena cahaya lampion di pohon yang bergoyang pelan kena angin malam. Hampir-hampir gadis itu tidak dapat menahan tangisnya.

"Toako, kau akan bunuh diri dengan cara itu? Dengan berkedok pahlawan?" desis Siangkoan Yan lirih. Desisnya lirih namun terdengar nyata di tempat yang tengah dicengkam kesunyian itu, dan dalam suaranya itu terungkap semua perasaannya terhadap diri Helian Kong.

Para perwira yang menyaksikan adegan itu cuma bisa saling menoleh sambil menarik napas. Mereka maklum, betapa banyak tugas seorang pahlawan yang gagah berani pun sering gagal hanya oleh rengekan atau air mata seorang perempuan.

Semuanya diam, kecuali si berangasan Liong Tiau-hui yang tidak biasa menyimpan isi hati. Di tengah kesunyian itu, Liong Tiau-hui menarik napas keras-keras dan menperdengarkan suaranya yang mirip keluhan, “Mungkin nasib dinasti Beng sudah akan sampai ke ujungnya, kalau semangat para pahlawannya sudah di lumpuhkan oleh air mata wanita.”

Helian Kong merasa dilecut oleh kata-kata itu, maka dia berkata kepada Siangkoan Yan, "Adik Yan, pahamilah. Tugasku tidak berat, aku bisa menyamar dan dengan bantuan Tuan Puteri Tiang ping, pastilah aku akan…”

Pecahnya tangis Siangkoan Yan memutuskan bicaranya. Dengan jengkel Siangkoan Yan memukul-mukul dada Helian Kong dengan sepasang tinjunya yang kecil, seperti menabuh tambur saja, ucapnya di sela-sela tangisnya, "Kau memang tidak menggubris perasaanku, kekuatiranku! Berangkatlah dan mampuslah, aku tidak peduli lagi kepada lelaki sok pahlawan macam dirimu...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.