Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 05 Karya Stevanus S P

Itulah luapan rasa kecewa seorang gadis, sekaligus kuatir akan keselumatan orang yang dicintainya. Belun cukup memukuli dan mendamprat Helian Kong, ia memutar tubuh menghadapi dan menuding Liong Tiau-hui,

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Kau sama saja! Hanya memikirkan kepentinganmu sendiri tanpa memikiri keselamatan Helian Kong! Kau sanjung-sanjung dia sebagai pahlawan agar mau memikul tugas berbahaya ini! Kenapa tidak kau sendiri saja yang masuk menghadap Kaisar? Kenapa tidak kau pertaruhkan batang lehermu sendiri, tapi menyuruh orang lain?!"

Siangkoan Yan sedang meluap emosinya, mestinya Liong Tiau-hui tidak menanggapi secara emosional pula. Apa mau di kata, perwira dari San-hai-koan itu juga seorang berdarah panas. Kata-kata Siangkoan Yan menusuk hatinya, dan diapun menjawab keras pula, "Baik! Akan kupertarahkan nyawaku sendiri untuk menghadap Kaisar, tidak perlu mengandalkan orang lain!"

Habis berkata demikian, ia terus membalik tubuh dan meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Siangkoan Heng dan Bu Sam-kui hendak mencegahnya, namun tak dapat. Akhirnya Bu Sam-kui juga berpamitan sekali untuk menyusul rekannya itu.

Sementara Siangkoan Yan masih berkata lagi kepada Helian Kong, "Silakan jadi pahlawan besar yang dikenang seribu tahun dan jangan hiraukan aku lagi!"

"Adik Yan, pahamilah."

Tapi Siangkoan Yan sudah membalikkan badan dan berlari masuk rumah, sambil menutupkan sepasang telapak tangannya ke wajahnya yang basah air mata. Hadirin lainnya cuma melongo melihat semuanya itu, tak bisa berbuat, apa-apa. Namun banyak yang dalam hati masih mengharapkan Helian Kong tetap mau memikul tugas itu.

Siangkoan Heng jadi agak malu gara-gara tingkah adiknya itu. Ia memberi hormat kepada semuanya, sambil memintakan maaf, "Saudara-saudara, maafkan adikku. Harap dimaklumi kalau anak perempuan di mana-mana sama saja. Kalau perasaannya sedang meluap, otaknya tidak bisa menerima pertimbangan apa-apa lagi. Tetapi setelah dia tenang, nanti atau besok, pastilah aku akan menegurnya."

Dan Helian Kong menambahkan, "Saudara-saudara sekalian juga jangan meragukan tekadku. Aku akan menerima tugas tadi sebagai saaatu kehormatan."

"Tapi aku jadi mau tahu, entah Ciu Kok-thio sedang menyiapkan rencana apa?" seorang perwira tiba-tiba bertanya.

Pertanyaan itu menyulitkan Siangkoan Heng. Maklum, rencana itu harusnya dirahasiakan rapat-rapat, tapi tadi Siangkoan Yan sudah mengungkapkan sedikit, sedikit nanum cukup mebangkitkan rasa ingin tahu pendengarannya. Seperti bau bakmi goreng yang membuat lapar orang yang mencium baunya. Siangkoan Heng menoleh kepada Helian Kong dengan sikap bingung dan minta tolong.

Helian Kong sendiri juga tidak tahu entah apa yang sedang direncanakan oleh Ciu Kok-Thio, yang agaknya mengikut sertakan pula keluarga Siangkoan. Tapi demi membantu Siangkoan Heng dari kesulitan, ia berkata, "Saudara-saudara, aku sendiri tidak mengetahuinya, tapi aku mohon pengertian saudara-saudara agar tidak mendesak saudara Siangkoan. Keberhasilan rencana itu mungkin sekali akan membawa perubahan baik ke dalam pemerintahan, kita percayakan saja kepada perencana dan pelaksananya."

Maka tidak ada yang berani tanya lagi. Semuanya kuatir, dari pada mengetahui lalu membocorkan sengaja atau tidak sengaja, lebih baik tidak mengetahuinya.

Acara selanjutnya tidak ada lagi yang penting untuk dibicarakan. Hanya makan minum dengan santai diselingi percakapan ringan. Menjelang tengah malam, satu persatu yang hadir mulai berpamitan untuk pulang.

Khusus ketika Helian Kong yang berpamitan, Siangkoan Heng bangkit untuk mengantarnya sampai ke pintu depan, bahkan sampai ke jalanan yang sepi di malam hari. Ia membisiki Helian Kong tanpa didengar oleh perwira-perwira lain,

"Saudara Helian, rasanya kecemasan adikku tentang keselamatanmu perlu kau pertimbangkan. Saat ini situasi di istana bukanlah saat yang menguntungkan untuk menghadap Kaisar."

"Karena Kaisar masih di bawah pengaruh Tiau Cui-hui yang dikendalikan oleh Co Hua-sun?"

"Benar. Kaisar sedang tertutup dari semua pertimbangan atau usul siapapun. Kalau kau berhasil menghadap dan kata-katamu tidak cocok dengan laporan Co Hua-sun, pastilah laporanmu yang di anggap palsu dan kau bisa dihukum mati. Tidak mungkin Kaisar lebih mempercayaimu dari pada Co Hua-sun."

Helian Kong mengangguk-angguk sambil melangkah pelan. Tapi anggukannya ternyata tidak berarti dia merubah tekad. "Aku paham, saudara Siangkoan. Tapi aku sudah berkeputusan untuk menghadap Kaisar dan menembus pengaruh Co Hua-sun yang selama ini mengungkung diri Kaisar. Syukurlah kalau Kaisar sudi mendengarkan dan menerima laporanku, tapi seandainya tidak mau percaya dan malahan aku dihukum mati, ya apa boleh buat. Taruhannya memang nyawa, tapi tidak pantas kalau kita berpeluk tangan saja membiarkan Kaisar terus dipengaruhi Co Hua-sun."

"Pertaruhan nyawa yang tidak seimbang, sebab hampir dapat dipastikan bahwa tindakanmu hanya akan berakhir dengan kegagalan, saudara Helian." kata Siangkoan Heng setelah menarik napas. "Paling tindakanmu hanya akan seperti sebutir kerikil yang di lemparkan ke air kolam, menimbulkan riak sebentar, habis itu tenang kembali. Takkan berpengaruh apa-apa, Co Hua-sun akan Ietap malang-melintang."

Helian Kong terus melangkah pelan di samping Siangkoan Heng, tak berkata apa-apa. Sedangkan Siangkoan Heng melanjutkan, "Padahal kalau saudara menghadap setelah Kaisar lepas dari pengaruh kecantikan Tiau Kui-hui dan Co Hua-sun, laporanmu akan diperhatikan dan barang kali menimbulkan perubahan besar ke arah kebaikan."

"Mana bisa Kaisar lepas dari pengaruh Tiau Kui-hui, kalau kita tidak berusaha?"

"Ciu Kok-thio dan ayahku sedang berusaha."

Mendengar itu, Helian Kong menghentikan langkahnya, perhatiannya tertarik mendengar ucapan Siangkoan Heng itu. "Boleh aku mengetahui cara itu, agar aku yakin bahwa saudara Siangkoan bukan hanya sekedar ingin mencegah aku dengan alasan yang dibuat-buat?"

Sahut Siangkoan Heng, "Urusan ini harus dirahasiakan, selain menyangkut martabat Kaisar sendiri juga agar Co Hua-sun tidak menyiapkan rencana tandingan untuk menggagalkan rencana Ciu Kok-thio ini. Saudara Helian mau berjanji untuk merahasiakannya?"

"Aku berjanji."

"Baik, dengarkan. Co Hua-sun menggunakan kecantikan seorang perempuan untuk menguasai pribadi Kaisar. Untuk melepaskan Kaisar dari jerat Tiau Kui-hui itu, terpaksa harus digunakan umpan perempuan yang lebih cantik dan lebih muda dari Tiau Kui-hui. Terpaksa sekali."

Helian Kong menarik napas mendengarnya. Cara itu memang memalukan sekali. Yang dibicarakan adalah Kaisar Cong-ceng, lambang kehormatan kekaisaran. Namun tingkahnya ternyata memalukan, gila perempuan sehingga untuk melepaskannya dari belitan perempuan itu maka dipakailah umpan dengan perempuan lainnya.

Sementara Helian Kong masih termangu-mangu bungkam, Siangkoan Heng berkata lagi, "Agar saudara Helian tidak sia-sia memikul resiko, artinya resiko itu besarnya setimpal dengan hasil yang diharapkan, maka usaha menyelundup ke istana itu sebaiknya ditunda."

"Aku bisa disuruh menunggu sampai kapanpun." Helian Kong menukasnya dan menatap Siangkoan ikng tajam. "Tapi perut para prajurit yang kelaparan di San-hai-koan itu bisakah disuruh menunggu? Haruskah dengan perut kosong mereka menahan majunya tentara Manchu yang segar-bugar?"

"Kalau saudara Helian masuk istana dan gagal mengubah pikiran Kaisar, prajurit-prajurit di San-hai-koan itu akan kelaparan untuk waktu yang tidak terbatas."

"Saudara Siangkoan, berapa lama rencana Ciu Kok-thio itu berhasil membebaskan Kaisar dari pengaruh Tiau Kui hui?"

Siangkoan Heng menggaruk-garuk tengkuknya dan tergagap-gagap, "Tentunya ya harus sabar, sebab setiap bagian dari rencana itu harus dijalankan secermat-cermatnya agar tidak menimbulkan kecurigaan Co Hua-sun dan komplotannya. Perempuan cantik yang akan dijadikan unpan untuk menyaingi pengaruh Tiau Kui-hui itu sekarang juga sudah siap di rumahnya Ciu Kok-thio. Tanggal mencarikan kesempatan untuk...."

"Saudara Siangkoan, aku tanya berapa lama waktunya?" Helian Kong mengulangi pertanyaannya lebih keras.

Siangkoan Heng termangu-mangu sejenak, "Saudara Helian tahu sendiri kalau Kaisar sudah begitu tergila-gila kepada daging mulus umpan Co Hua-sun. Untuk mengalihkan perhatian Kaisar kepada umpan baru yang disediakan oleh Ciu Kok-thio ya tidak gampang, harus di laksanakan dengan..."

"Itu artinya tidak tertentu waktu nya!" suara Helian Kong keras. "Mungkin pasukan Jendral Ang Seng-tiu di San-hai-koan harus merampok rakyat untuk mengisi perutnya! Saudara Siangkoan, aku tidak bisa kalau harus menunda sampai selesainya rencana Ciu Kok-thio itu!" Habis berkata demikian, Helian Kong mempercepat langkahnya dan meninggalkan Siangkoan Heng.

Sesaat Siangkoan Heng berdiri termangu, tapi cepat-cepat iapun melangkah menyusul Helian Kong santoil memanggil, "Saudara Helian!"

Helian Kong berhenti dan memutar tubuh. Kedua leiaki muda itu kembali berhadapan, di tengah-tengah jalanan yang sepi tidak jauh dari gedung kediaman Menteri Siangkoan. Bayangan tubuh mereka yang jatuh ke tanah karena siraman cahaya rembulan, tidak berujud dua bayangan pendek, tapi menyambung menjadi satu bayangan memanjang. Seperti menyambungnya semangat kedua pecinta negeri itu.

"Saudara Helian, kata-kataku tadi tidak bermaksud menghalangi niatmu, tapi cuma sekedar dijadikan pertimbanganmu. Karena kau tidak sabar ingin segera menghadap Kaisar, aku hanya bisa memberi dorongan semangat dan menawarkan tenagaku. Apa-apa yang dipikul berdua tentu lebih ringan jadinya."

Sepasang tangan Helian Kong terulur untuk menggenggam erat sepasang tangan Siangkoan Heng. "Saudara Siangkoan, aku percaya ketulusan hatimu dan seluruh keluargamu, sebab bukan baru sehari dua hari aku mengenal keluarga kalian. Kita berbeda dalam cara, tapi setujuan dalam cita-cita menegakkan pemerintahan yang bersih dari pengaruh Co Hua- sun. Terima kasih untuk tawaran tenagamu, tapi kurasa lebih baik aku bekerja sendirian."

"Saudara Helian memandang rendah iImu silatku?"

"Hah? Mana berani aku memandang rendah ilmu silat murid Kim-hian Tojin dari Bu-tong-pai? Jangan salah paham. Kau punya kedudukan yang kurang menguntungkan kalau sampai ikut dalam penyelundupan itu, sebab semua orang di Pak-khia mengenalmu sebagai putera Menteri Siangkoan. Kalau sampai ikut tertangkap, kedudukan ayahmu jadi berbahaya. Co Hua-sun bisa menemukan bahan yang baik untuk memfitnah ayahmu, dan itu sama-sama tidak kita kehendaki bukan?"

"Tetapi...."

"Sudahlah. Kurasakan lebih baik membantu rencana Paduka Ciu Kok-thio supaya berhasil.Kadang-kadang kita memang harus melawan racun dengan racun. Perempuan cantik untuk menandingi perempuan cantik.

Habis berkata demikian, Helian Kong memberi hormat lalu beranjak pergi. Sayang ia tidak menanyakan siapa nama perempuan cantik yang bakal digunakan untuk menandingi Tiau Kui-hui da lam merebut hati Kaisar.

Helian Kong melangkah sendirian disepinya malam dengan pikiran bergolak. Pantas Co Hua-sun bisa malang-melintang semaunya, kiranya ia berhasil memanfaatkan kelemahan Kaisar Cong-ceng dalam soal perempuan, dengan menggunakan si selir cantik Tiau Kui-hui.

Kini Ciu Kok-thio merencanakan menandingi siasat itu dengan cara yang sama, dengan perempuan yang katanya lebih cantik dari Tiau Kui-hui. Berhasil atau gagalnya rencana itu sebenarnya sama-sama berakibat memerosotkan martabat Kaisar sendiri. Kalau rencana Ciu Kok-thio berhasil, hanya akan lebih membuktikan betapa Kaisar Cong-ceng hanyalah seorang lelaki hidung belang.

Kalau gagal, ya Kaisar tetap dijerat, pesona kecantikan Tiau Kui-hui yang sama artinya dengan tetap dalam genggaman Co Hua-sun. karena itu Helian Kong berharap, sama-sama memalukan hendaknya rencana Ciu Kok-thio itu berhasil. Memalukan ya memalukan, tapi pilihlah "memalukan yang menguntungkan".

Ia menarik napas dan menatap rembulan di langit kelam. Cuma separuh bulatan yang pucat. Jalanan sepi. Sayup-sayup di kejauhan terdengar teriakan penjual mi pangsit pikulan diselingi suara ketukan kayunya, berjuang sampai larut malam demi perut anak-isteri.

Helian Kong berani taruhan pasti mi pangsit itupun kekurangan garam, berarti juga kurang sedap, dan berarti pula kurang laku dan berarti pula kehidupan keluarga penjual mi pangsit akan makin sulit.

"Di mana-mana rakyat kecillah yang paling kena akibat perang yang berlarut-larut ini.” keluh Helian Kong dalam hati.

"Perang harus cepat selesai. Li Cu-seng harus segera ditumpas, tapi sebelumnya pemerintahan harus bersih dulu dari pengaruh Co Hua-sun dan komplotannya."

Tak terasa tinjunya terkepal keras, semangatnya berkobar memenuhi rongga dadanya. Langkahnya makin bergegas menyusuri jalan sepi itu. Namun langkahnya tiba-tiba tertegun, bahkan kemudian dengan gerak kilat ia telah menyembunyikan diri di balik sebatang pohon besar di pinggir jalan.

Padahal yang dilihatnya bukan musuh, namun prajurit kerajaan. Namun di Pak-khia orang harus waspada kepada siapapun, biarpun terhadap yang bajunya sama. Kawan atau lawan tidak bisa dilihat hanya dengan melihat bajunya, karena tertutup jauh di dasar hati masing- masing, sulit di ketahui.

Saat itu malam sudah larut, tapi kelihatan di mulut sebuah jalan ada sepasukan prajurit berjaga-jaga dengan senjata terhunus, kira-kira jumlahnya orang. Mereka menutup jalan itu agar tidak dilewati orang lain.

Pemimpin mereka adalah Song Thian-oh yang cukup dikenal oleh Helian Kong sebagai penjilatnya Co Hua-sun, sehingga kenaikan pangkatnya jauh lebih cepat dari teman-teman seangkatannya. Karena itulah Helian Kong emoh bertemu muka dan merasa lebih baik bersembunyi saja.

Sudah lama Helian Kong mengenal situasi di ibu kota negara itu, dan ia cukup paham apa artinya pengerahan pasukan di malam hari seperti itu. Tentu sedang ada penangkapan. Bukan penangkapan penduduk biasa, melainkan penangkapan seorang tokoh penting dalam pemerintahan. Penangkapan bermotif politik tingkat tinggi.

"Entah siapa yang ketiban sial malam ini, sehingga digerebek oleh kaki tangannya Co Hua-sun." pikir Helian Kong. "Coba aku melihatnya."

Seringan sehelai daun kering dihembus angin, tubuh Helian Kong melayang ke atas atap rumah terdekat.. Lalu seperti hantu saja ia bergerak cepet, ringan dan lembut memasuki kawasan pemukiman yang tengah diblokir pasukan -pasukan pro Co Hua-sun itu. Helian Kong diam-diam merasa heran,

"Aneh, seingatku tidak ada tokoh penting yang tinggal di kawasan ini, lalu siapa yang hendak ditangkap dengan pengerahan prajurit sebanyak ini?"

Helian Kong terus melesat di atas atap, tak terlihat oleh prajurit yang berjaga di mulut-mulut jalan di sekitar situ. Namun di dalam wilayah vang diblokir itu, anehnya, justru tidak nampak prajurit seorangpun. Jadi pasukan- pasukan itu hanya mengurung dari kejauhan, lalu siapa yang akan melakukan penangkapan?

Kemudian mata Helian Kong yang tajam melihat ada sesosok bayangan hitam berjongkok di atap rumah, hampir tidak kelihatan karena pakaiannya, larut hampir sempurna dalam hitamnya malam. Orang itu membelakangi Helian Kong. Cepat-cepat Helian Kong menghentikan larinya, lalu dengan gerakan tak bersuara ia bertiarap di atas genteng, mata dan kupingnya terbuka lebar untuk menangkap setiap gerak atau suara sekecil apapun dari sekitarnya.

Dilihatnya si bayangan hitam di depan itu tiba-tiba mengangkat sepasang telapak tangannya ke depan nulut sebagai corong, Lalu keluarlah suaranya menirukan burung malam, tiga kali berturut-turut.

Dan muncullah dari kegelapan itu belasan, puluhan, bahkan akhirnya ditaksir ratusan orang bersenjata, kadang senjata mereka berkilat kena cahaya rembulan. Mereka bermunculan dari tempat-tempat gelap, lorong-lorong, sudut-sudut, dan ada belasan orang yang agaknya memiliki ilmu meringankan tubuh cukupan, sehingga dapat berlari-lari ringan di atas genteng.

Melihat itu, pahamlah Helian Kong. "Kiranya Co Hua-sun menemukan cara beroperasi yang baru untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya. Pasukan yang resmi hanya menjaga didaerah luaran, sedang pelaksananya adalah tenaga-tenaga sewaan yang entah dari mana ini. Sedang kalau pelaksana-pelaksana bayaran ini kelihatannya bakal gagal menjalankan tugas, tentu pasukan pasukan di mulut jalan itu bertugas membantai mereka untuk melenyapkan jejak. Jadi Co Hua-sun dengan aman bisa cuci tangan."

Orang-orang bersenjata itupun menggerumut maju mendekati sebuah gedung besar berhalaman luas yang terang benderang, sebab diterangi ratusan lampion di segala sudut, dan dihalaman itu juga ditancapkan banyak obor. Helian Kong bergeser maju tanpa suara.

"Siapa yang akan diserang?" pertanyaan itulah yang masih mengganjal di hati Helian Kong.

Ia lalu berusaha mencari tempat yang lebih tinggi agar dapat melihat dengan jelas. Puluhan langkah di sebelah kirinya ada sebuah loteng bertingkat tiga yang mirip pagoda. Itu cukup memadai untuk dijadikan "tempat menonton." Helian Kong bergeser lembut ke arah loteng itu, geraknya dilindungi bayangan atap-atap rumah yang tinggi-rendahnya tidak rata.

Dan setelah tiba di loteng itu, naiknya ke atas tidak dengan melompat, melainkan merayap pelan di tembok dengan ilmu Pia-hou-yu-jio (cecak merayapi tembok). Tepat ketika Helian Kong tiba di atap paling atas, terdengar para penyerang itu bersuit keras lalu menyerbu ke dalam bangunan besar itu.

Dari tempatnya yang tinggi, Helian Kong melihat kalau halaman gedung itu penuh dengan para samurai Jepang yang tegak rapi di segala sudut. Pada kimono coklat mereka terlukis tiga potong bambu yang masing-masing beruas tiga, lambang keluarga Tokugawa yang saat itu sedang berkuasa di Jepang sebagai Shogun turun-temurun. Jelaslah kali ini sasaran Co Hua-sun adalah utusan dari Jepang.

Padahal dalam hubungan antara negara, bahkan antara negara-negara yang sedang bermusuhan sekalipun, utusan harus dijamin keselamatan oleh pihak tuan rumah. Apabila saat itu Kerajaan Beng tidak sedang dalam keadaan perang dengan Jepang, malahan Jepang bisa dijadikan sekutu untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan Ceng yang makin kuat dan berbahaya.

"Tindakan gila macam apa ini yang di lakukan Co Hua-sun?" geram Helian Kong dalam hati dengan darah yang mendidih. "Inilah usaha yang bisa mengobarkan perang dengan Jepang, berarti menambah musuh dan menjadikan keadaan tambah morat-marit. Lagi pula tindakan ini akan mencemarkan negara, dikira di negara ini tidak ada yang tahu tata-krama hubungan antar bangsa-bangsa berbudaya!"

Betapa gemuruhnya kemarahan dalam dada Helian Kong, namun ia masih menahan diri. Ia masih bertahan dalam kedudukannya sebagai penonton gelap. Gerombolan itu menyerbu dengan ganas. Bahkan prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang diperbantukan untuk ikut berjaga di situ, juga dibabat, dengan ganas. Mereka yang tidak menduga akan mendapat serangan itu, segera jatuh bergelimpangan.

Para samurai maju dan bentrok dengan penyerbu, pertempuranpun berkobar dengan hebat. Teriakan-teriakan nyaring membahana bercampur aduk dengan senjata-senjata yang gemerincing keras karena berbenturan. Di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, seorang samurai berusia kira-kira empat puluh tahun, dengan rambut di kedua pelipisnya sudah ubanan, nampak berteriak-teriak mengatur anak buahnya sambil menggunakan pedangnya untuk menunjuk-nunjuk kian kemari.

Seorang penyerang melompat ke arahnya dengan golok terayun kencang. Si samurai ubanan melompat seolah menyongsongkan tubuhnya untuk dibelah, pedangnya diangkat dan dipegangi gagangnya dengan dua tangan bersusun. Tidak terjadi semacam anggar atau adu jurus, sebab dering senjata beradu hanya terdengar satu kali.

Sudah itu selesai Bayangan tubuh si samurai dan lawannya berpapasan cepat dan seolah-olah saling menembus lewat, namun ada cairan merah muncrat banyak. Si samurai masih utuh, dan lawannya sudah roboh dengan tubuh terbelah rapi dari ubun-ubun sampai ke selangkangan.

Helian Kong melihatnya, dan kagum akan gerakan Kenjitsu (ilmu pedang) itu. Begitu lugas dan yang ditawarkan kepada lawan hanya satu macam. Maut. Para pendekar Jepang tidak kenal belas kasihan dalam pertempuran, mereka hampir tidak kenal istilah "menang tanpa membunuh." Menang ya membunuh kalah ya dibunuh. Kenjitsu mereka terlalu lugas.

Namun para penyerbu terus merangsek dengan ganas. Korban-korban dari kedua pihak mulai berjatuhan. Dari dalam gedung muncul kembali sepasukan samurai yang langsung terjun ke kancah adu nyawa. Mereka bukan cuma bersenjata pedang, tapi banyak juga yang menegang lembing bertangkai panjang.

Seorang samurai pemain lembing, begitu terjun ke gelanggang langsung dengan cepatnya mengambil tiga nyawa dengan kecepatan senjatanya. Dua dipatuk dengan ujung lembing, satu dengan tangkai lembing yang bisa untuk meretakkan jidat.

Helian Kong menonton sambil berkomentar dalam hati. "Begundal-begundal Co Hua-sun ini sekarang kena batunya oleh Kenjitsu dan Yarijutsu (ilmu Lembing) dari negeri matahari terbit ini. Tapi para pendekar dari seberang itu hendaknya tidak sampai timbul kesan kalau ilmu silat di negeri ini hanya seperti yang di tunjukkan para penyerang itu."

Demikianlah dalam diri Helian Kong bertentangan dua macam perasaan. Kalau menurut kebenciannya terhadap orang-orangnya Co Hua-sun. ia senang kalau mereka digagalkan oleh para samurai itu. Namun ia juga kuatir, jangan-jangan peristiwa itu akan menimbulkan sikap meremehkan dari pendekar Jepang terhadap kaum pendekar di daratan? Maklum kedua negeri bertetangga itu sudah berabad-abad tersaing dalam urusan silat.

Di arena, si samurai ubanan masuk ke gelanggang dengan langkah-langkah pendek tapi cepat, wajahnya tetap kaku seolah tertutup selapis topeng logam. Namun tiap lawan yang mendekati atau didekatinya, celakalah mereka. Sabetan pedangnya terlalu dahsyat untuk ditangkis, terlalu cepat untuk coba dielakkan. Banyak para penyerang yang tubuhnya sudah terpotong oleh pedangnya.

Namun di antara pembunuh-pembunuh sewaan Co Hua-sun itu juga ada jago-jago tangguh yang memang dipersiapkan untuk menghadapi jago-jago pengawal utusan Shogun, jadi bukan cuma berjumlah banyak saja. Dari antara mereka muncul seorang tua berambut putih tergerai, mukanya yang bengis itu berwarna merah, muncul menghadang amukan si samurai ubanan yang tengah menyebar maut.

Si rambut putih ini memegang senjata berupa rantai, dan di kedua ujungnya dipasangi bola-bola besi sebesar jeruk. Senjata itu disebut Lian-cu-tui (martil berantai). Sambil memutar-mutar pelan kedua bola besi, orang itupun melangkah pelan mendekati si samurai jago Kenjitsu.

Naluri kependekaran selangkah, memperingatkan ada lawan tangguh didepannya, ia lalu menghentikan langkahnya. Biarpun wajahnya tetap kaku, namun sorot matanya yang dingin itu mulai terasa "menghangat", ujung-ujung bibirnya yang semula terkatup rapat, mulai bergerak-gerak sedikit seperti orang kedutan. Genggaman dua tangannya pada gagang pedangnya dipererat.

Si rambut putih bersenjata martil terbang juga waspada. Tadi sudah dilihatnya betapa mantap pedang itu memotong tubuh korban-korbannya. Geraknya nampak sederhana, namun untuk mencapai taraf itu entah sudah berapa puluh tahun latihannya, mengorbankan berapa banyak kesenangan orang hidup untuk menggeluti ilmu pedangnya. Mata si martil terbang itu dapat merasakannya dan ia tidak mau salah langkah dalam hal yang paling kecil sekalipun, agar tubuhnya tidak usah dipotong seperti babi di pasar.

Kedua jagoan itu berhadapan dalam jarak sepuluh langkah. Mata mereka tajam saling bertatapan, mendahului benturan senjata mereka. Orang-orang dari kedua pihak sama sama tahu dan menyingkir agak jauh dari kedua orang itu, memberi kedua jagoan itu keleluasaan untuk saling mengukur ilmu.

Si martil terbang mulai mengambil prakarsa lebih dulu. Sepasang bola besi di ujung-ujung rantainya berputar makin cepat, dan kakinya mulai menggeser ke samping untuk mencoba mengitari lawan. Tapi lawannya tidak mau di dekte ia melangkah mengimbangi. Ia emoh diri nya dijadikan titik pusat putaran lawannya yang berarti jatuh dalam posisi bertahan. Karena itu diapun bergeser searah dengan lawannya, sehingga belasan langkah kedua orang itu membentuk garis sejajar.

Lalu si Samurai mulai membuka perangkap. Sambil tetap tergeser pelan, tangan kirinya dilepas dari gagang "tachi" (pedang panjang)nya, sehingga tinggal tangan kanannya. Perlahan tangan kanannya memegang pedang itu direntang ke belakang dengan gaya seperti ayam ketika sedang membersihkan bulunya. Mata pedangnya menghadap ke bumi. Dengan demikian seluruh isi tubuhnya sebelah kiri terbuka lebar sekolah menantang untuk diserang. Langkahnya tetap dalam irama yang tak goyah, tatapan matanya juga tetap.

Si martil terbang yang bernama Hu Kai-beng ini adalah pembunuh bayaran yang sering "terima pesanan" dari Co Hua-sun. Permainan martil berantainya memang cukup lihai, dan senantiasa ia melatih ketrampilannya dalam membunuh sebab itulah sumber mata pencahariannya.

Ketika semangatnya sudah memuncak Hu Kai-beng mendadak mengubah arah langkahnya. Tadinya ia bergeser ke kiri, sekarang tiba-tiba membentak dan melompat pendek ke kanan, sepasang bola besi di ujung rantai serempak menggempur sisi kiri lawan yang dianggapnya kosong dari pertahanan karena pedang lawan merentang jauh di sisi kanannya. Satu bola besi meyambar ke pelipis, lainnya ke sambungan lutut.

Namun si samurai cepat berputar Seperti gasing sambil merunduk dan menerkam, pedangnya menyambar seperti piringan perak yang melebar dan menyambar ke rusuk Hu Kai-beng. Serangan tidak dihadapi dengan sikap bertahan, namun dijawab dengan serangan pula.

Hu Kai-beng lompat menghindar sambil melepaskan rantainya ke udara untuk diluruskan. Ketika menyerang tadi, bola-bola besi itu tergerak berlawanan dan kini sengaja dilepas agar rantainya terpentang kembali, setelah itu barulah disambarnya lagi sambil melompat turun. Begitu rantai di tangan, ia siap menyerang lagi, namun terhenti tertegun ketika melihat, si samurai lawannya sudah berdiri seperti sebuah gunung, tegak pedangnya berkilat dan teracung ke langit dipegangi dengan dua tangan.

Hu Kai-beng jadi tak berani sembarangan bergerak. Dalam kebingungan sepersekian detik ilulah si samurai yang menerjang dengan tebasan tegak lurus yang dahsyat. Hu Kai-beng menghindar sambil luncurkan lagi bola-bola besinya. Keduanya bergerak serba kilat, teriakan keduanya berbarengan mengguntur dahsyat.

Hu Kai-beng menggeliatkan tubuh sambil bergeser. Ia merasa rusuknya tiba-tiba dingin, namun ia tidak mau membuang waktu hanya untuk memeriksanya, sebab ia sudah terlalu berpengalaman dan sudah ribuan kali disapa sang maut, begitu dekat. Ia tahu pasti hanya pakaiannya yang robek bukan kulit dagingnya. Dan sepasang martil terbangnya kembali berdesing menyambar. Kedua orang itupun kembali bertempur hebat.

Sementara itu, seorang jagoan Jepang lainnya bersenjata Bisento (Tombak bermata lebur), setelah mengamuk dan merobohkan belasan orang, akhirnya bertemu Juga lawan yang bersenjala sepasang kampak pendek, yang mampu mengimbanginya dalam sebuah pertarungan sengit.

Helian Kong menyaksikan semuanya itu dengan tegang. la mencemaskan nasib orang-orang Jepang itu. Kalau sampai utusan Shogun itu terluka seujung rambutpun, bisa saja terjadi perang kembali antara Kerajaan Beng dengan Jepang, apalagi antara dua kerajaan itu masih terdapat "luka lama" selama berabad-abad yang mudah pecah kembali.

Helian Kong tidak menghendaki hal itu. Saat itu situasi Kerajaan Beng sudah cukup morat-marit. Selain menghadapi pemberontakan akan Li Cu seng yang makin meluas di kawasun Timur Laut, juga ada ancaman Kerajaan dari timur laut. Kalau harus ketambahan musuh Jepang, tentu akan semakin parah lagi.

Namun kecemasannya agak berkurang melihat betapa gigihnya pasukan samurai itu itu bertahan. Dalam soal jumlah maupun ketrampilan tempur, bisa dibilang kalau kedua belali pihak seimbang. Namun ada dua faktor yang membuat kawanan samurai itu agaknya akan berhasil memastikan kemenangan dengan memukul mundur semua penyerang.

Pertama dalam semangat tempur. Para pembunuh bayaran itu bertempur demi uang, mereka hanya mau ketemu keuntungan namun enggan rugi. Sebaliknya para samurai bertempur benar-benar untuk menjunjung kehormatan pihak mereka, mempertaruhkan nyawa dalam pengabdian total kepada sang junjungan. Semangat berani mati menjiwai gerak tempur mereka.

Kedua, prajurit-prajurit Jepang itu lebih terikat dalam kesatuan, karena memang mereka berasal dari satu pasukan, jadi bisa bertempur dengan kompak tanpa membawa maunya sendiri-sendiri. Sedangkan kelompok pembunuh itu adalah gabungan dari beberapa gerombolan, yang saling bersaingan Satu sama lain untuk menunjukkan siapa! yang paling hebat dan berhak akan hadiah terbanyak yang disediakan Co Hua-sun.

Karena itu tidak bisa di harapkan kalau antar kelompok saling membantu, kalau kelompok lain celaka mereka malah akan bergembira. Begitulah, makin lama terlihat para samurai makin unggul. Mereka bertempur melingkar menghadap keluar, dan perlahan lingkaran itu melebar, mendesak para penyerang ke arah dinding-dinding halaman.

Mayat-mayat, bergelimpangan malang melintang di halaman itu. Hu Kai-beng makin marah dan beringas melihat pihaknya terdesak. Dan dalam marahnya dia siap melakukan kecurangan demi memenangkan pertempuran itu.

Di tengah-tengah deru dan kelebat sepasang martil terbangnya maupun pedang lawannya, tiba-tiba terdengar Hu Kai-beng membentak keras, ayunan senjatanya makin kencang. Namun itu bukanlah serangan yang sebenarnya, hanya satu cara untuk memperoleh suatu peluang kecurangan.

Lalu ia melompat mundur beberapa langkah. Samurai lawannya sama sekali tidak menduga kalau lawannya sedang menyiapkan perangkap licik. Samurai itu memburu dengan pedang teracung ke depan, dipegangi dua tangan. Hu Kai-beng tertawa dingin, tiba-tiba ia menggerakkan sepasang bola besi di ujung rantainya dengan cara sedemikian rupa, sehingga berbenturan satu sama lain. Berbenturan tepat di depan, tubuh s i samurai.

Sepasang bola besi itu tiba-tiba, meletup pecah, mengeluarkan asap asap hitam beracun yang langsung memenuhi arena. Hu Kai-beng sendiri selamat dari pengaruh asap hitam itu, sebab dia sudah mengulum obat penunahnya di dalam mulut. Yang kena adalah si samurai. Kontrol dirinya yang cermat itu seketika buyar.

Namun ia masih nekad maju sambil menyabetkan pedang sekuatnya. Tidak kena, malahan tambah sempoyongan. Mulutnya mengeluarkan caci-maki bahasa Jepang yang menyatakan kemarahannya. Sedangkan Hui Kai-beng tanpa rasa malu sedikitpun tertawa terbahak-bahak. Rantainya diayunkan untuk membelit leher lawannya.

Hu Kai-beng memang tidak malu, namun Helian Kong yang jadi penonton di atas atap itulah yang merasa malu sendiri. Apa kata pendekar-pendekar Jepang itu kalau kelak pulang ke negeri mereka lalu bercerita tentang pendekar pendekar negeri daratan yang merebut, kemenangan dengan cara licik?

Karena itulah Helian Kong turun tangan. Meluapkan kemarahan terhadap begundal-begundal Co Hua-sun, sekaligus menyelamatkan kehormatan para pendekar tanah daratan.

Rantai Hu Kai-beng meluncur seperti ular perak dan hampir berhasil membelit leher si samurai, yang tengah kehabisan sebagian besar daya tempurnya gara-gara asap beracun itu. Namun Hu Kai-beng sendiri tiba-tiba mendapat serangan. Remukan genteng bagaikan hujan deras tiba-tiba menyerbu ke wajahnya dengan menibawa desir angin yang tajam.

Ancaman hebat di ambang kemenangan itu mengejutkan Hu Kai-beng. Untung dia tangkas menggulingkan diri, sehingga serangan itu cuma melewati atas tumbuhnya, namun beberapa anak buahnya yang berdiri di belakangnya yang bertumbangan menjadi korban, karena pecahan-pecahan genteng menyusup kedaging mereka. Mereka melolong kesakitan.

Hu Kai-beng dengan gusar melompat bangun sambil membentak, "Siapa yang...." tapi bentakannya tidak selesai, sebab sesosok bayangan menerjangnya seperti burung elang, juga sambil membentak gusar.

"Bangsat, kau tidak menjaga kehormatan pendekar-pendekar daratan dari mata pendekar-pendekar asing!"

Dan bayangan itu tahu-tahu sudah di depan hidungnya dan melancarkan dua serangan. Dua jari tangan kiri mengancam sepasang mata dengan tipu Ji-liong jio-cu (dua naga mencuri mutiara), sedang dua jari tangan kanan dirapatkan seperti belati menusuk ke tubuh Hu Kai-beng dengan tipu Wan-kong-sia-hou (merentang busur memanah macan).

Serangan Helian Kong bergaya sederhana namun kecepatannya membuat Hu Kai-beng kelabakan. Mau menyelamatkan diri dengan rantainya juga tidak bisa, sebab jaraknya tanggung. Si pembunuh bayaran hanya bisa menggunakan setelah tangan untuk melindungi matanya, lalu melompat ke atas tembok di belakangnya.

Helian Kong ingin menangkap orang itu hidup-hidup untuk membongkar siapa dalang dibelakang tindakan yang menyalahi tata hubungan antar negara itu. Memang Helian Kong sudah ada dugaan dalam hatinya, tapi ia butuh saksi untuk memperkuat dugaannya agar bisa dibeber kan kelakuan Co Hua sun.

Karena itulah ia melompat mengejar Hu Kai-beng, dan loncatannya lebih pesat. Bahkan cengkeraman kedua tangannya sudah siap memtekuk leher Hu Kai-beng. Hu Kai-beng tambah panik. Di tengah udara ia menyabetkan rantainya, tapi tak terarah, malahan berhasil dicengkeram oleh tangan kiri Helian Kong lalu disentakkan sekuatnya. Serentak kaki helian Kong menendang ke rusuk.

Semuanya itu dilakukan sementara kedua orang itu masih terapung di udara, ketika melompati tembok pembatas halaman itu. Hu Kai-beng untung-untungan menyusun sebuah upaya beladiri dengan memasang sikut untuk melindungi rusuk dari tendangan.

Memang kena ditangkisn namun tendangan itu terlalu dahsyat tenaganya sehingga tubuh Hu Kai-beng terpental dan menggelosor di tanah pada punggungnya, membuat garis tebal dan panjang di permukaan tanah. Di jalanan di depan gedung besar itu. Secepat kilat Helian Kong menerkam lagi. Kedua tangan Hu Kai-beng berhasil diterkam terus ditekuk ke belakang. Lenyaplah segala daya perlawanan si pembunuh bayaran.

"Siapa menyuruhmu?" bentak Helian Kong garang.

"Aku... aku... tidak di suruh siapapun." Hui Kai-beng merintih tapi masih mencoba berbohong. "Kukira tamu dari seberang itu tentu membawa harta benda yang banyak dan berharga untuk di persembahkan kepada Kaisar, jadi... jadi... kami mencoba merampoknya."

Namun Helian Kong tak gampang dibohongi. Mana ada perampokan biasa yang beroperasi di suatu tempat disudut kota yang lebih dulu justru diblokir oleh pasukan resmi? Pengingkaran Hu Kai-beng menambah kegusaran Helian Kong. Satu tangan tetap menelikung, tangan lainnya dengan gemas menjambak rambut Hu Kai-beng sehingga pembunuh itu menyeringai kesakitan, merasa seolah kepalanya hendak dikuliti mentah- mentah.

"Jawab yang benar atau harus kukelotok kulit kepalamu?" bentak Helian Kong. "Kau kira tidak kulihat pasukan-pasukan yag pro Co Hua-sun mengamankan tempat sekitar ini, agar kalian leluasa beroperasi? Nah, siapa yang menyuruhmu?"

“Aku... aku... hanya...”

Si pembunuh bayaran tidak sempat melanjutkan pengakuannya, sebab dari ujung jalanan muncul sepasukan pemerintah dengan membawa obor-obor. Yang paling depan adalah Song Thian-oh sendiri. Tangannya masih memegang sebuah busur, yang baru saja melontarkan sebatang panah untuk menembus leher Hu Kai beng. Dengan demikian terbungkamlah Hu Kai-beng untuk selama-lamanya, takkan bisa dijadikan saksi untuk membongkar latar belakang peristiwa itu.

Dengan geram Helian Kong melepaskan cengkeramannya atas tubuh Hu Kai-beng yang sudah jadi mayat. Lalu ia berdiri dengan tegar di tengah jalan, bersikap seperti seekor banteng yang murka, menghadap Song Thian-oh dan pasukannya.

Adanya Helian Kong di t ampat itu manbuat Song Thian-oh beberapa detik salah tingkah dalam mengatur sikapnya. Akhirnya ia menyapa, "Eh, Helian Hu-ciang."

“Buat apa kedatanganmu ini Song-Hu- ciang?"

"Kudapat laporan kalau tamu-tamu negara itu diserang penjahat, lalu kubawa pasukan kemari untuk menyelamatkan."

"Hem..." Helian Kong mendengus sinis. "Sejak tadi kau dan pasukanmu sudah di mulut jalan itu, jaraknya kemari tidak lebih dari seratus langkah. Alangkah lambatnya jalannya pasukanmu."

"Jadi... jadi Helian Hu-ciang... sudah sejak tadi ada di sini?!"

"Ya."

"Kenapa malah tidak memberi tahu kami?" untuk memperbaiki posisinya yang terdesak, Song Thian-oh balik menuduh.

"Aku justru berhasil menangkap dia untuk menanyai siapa yang menyuruhnya." Helian Kong balik menggertak sambil menuding mayat Hu Kai-beng.

"Hah? Dia sudah bicara apa saja kepadamu?" Song Thian-oh mendadak panik sendiri, apakah panahnya tadi masih kurang cepat untuk membungkam mulut Hu Kai-beng?

Helian Kong tertawa mengejek melihat kepanikan Song Thian-oh itu, sengaja ia tidak mau menjawab untuk membingungkan Song Thian-oh. Kata-katanya malah melenceng ke urusan lain. "Song Hu-ciang, kalau mau menolong tamu-tamu negara itu, cepatlah."

Bersamaan dengan berakhirnya kata kata itu, tubuh Helian Kong telah melompat ke atas tembok, kemudian melesat ke atap untuk nongkrong menonton di situ.

Song Thian-oh menarik napas, jelas bahwa rencana pokok untuk menciderai tamu-tamu negara itu takkan terlaksana, maka terpaksa rencana cadangannya, yaitu "melenyapkan jejak." Maka sambil mengibaskan pedangnya, terluncurlah perintahnya yang bengis, "Tumpas semua penjahat yang hendak mencelakakan tamu-tamu negara! Jangan biarkan hidup seorangpun!"

Para prajurit tahunya ya cuma menjalankan perintah, tanpa tahu lika-liku politik "orang-orang atas" dibalik semua peristiwa itu. mereka menyerbu masuk. Sebenarnya, tanpa bantuan pasukan Song Thian-oh, para samurai sudah berhasil menekan berat lawan mereka yang makin kocar-kacir. Banyak yang sudah terbunuh dan sisanya terus didesak mundur.

Namun jalan untuk mundurpun kemudian terhalang oleh pasukan Song Thian-oh. Maka betapa malangnya nasib pembunuh-pembunuh bayaran yang gagal "menjalankan pesanan" itu. Pasukan Song Thian-oh maju didahului panah-panah beterbangan yang merobohkan banyak penyerang. Setelah panah, barulah tombak dan pedang tampil ke depan untuk mengambil peranan dengan ganasnya.

Di atas genteng. Helian Kong menyaksikan semua itu dan geleng-geleng kepala sambil berdesah sendirian, "Cara menutup rahasia yang tidak tanggung tanggung. Hebat kau, bangsat tua Co Hua-sun, tapi jangan senang-senang dulu. Tidak lama lagi akan ku lucuti kedokmu."

Namun Helian Kong tetap diam, menjaga peranannya untuk jadi penonton kembali, setelah tadi ia terlibat dalam waktu yang singkat. Ia biarkan semuanya berlangsung, selain menganggap pantas kalau pembunuh-pembunuh bayaran itu menerima ganjarannya, ia juga tidak ingin bentrok dengan Song Thian-oh di hadapan orang-orang Jepang. Bagaimanapun juga, ia dan Song Thian-oh sama-sama perwira Kerajaan Beng, kalau sampai bertengkar di depan orang-orang asing tentu akan memalukan Kerajaan Beng sendiri.

Kedatangan pasukan Song Thian-oh memang mempercepat penumpasan. Segera ratusan pembunuh bayaran itu bergelimpangan jadi mayat di halaman itu, habis tapis. Di pihak para samurai juga ada puluhan orang yang gugur begitu pula dari pihak pasukannya Song Thian-oh.

Dengan berlagak sebagai penolong. Song Thian-oh mendekati komandan para samurai itu untuk memberi hormat dan menanyakan, "Kami mohon maaf bahwa tuan-tuan telah dikejutkan oleh ulah bandit-bandit itu. Tapi sekarang sudah aman."

Komandan para samurai ialah yang bersenjata "bisento" tadi yang sebelumnya telah berhasil merobek perut lawannya dengan ujung tombak lebarnya. Ia membalas hormat Song Thian-oh, namun karena tidak paham bahasa Cina, ia melambaikan tangan kepada penterjemahnya untuk mendekat dan membantu pembicaraan.

Penterjemah itu seorang samurai kurus dan berjidat lebar, nampak nya juga seorang pemain pedang yang tangguh. Ketika berjalan mendekati, ia baru saja menyarungkan pedangnya setelah dibersihkannya dari darah. Ia lalu memberi hormat komandannya dan kepada Song Thian-oh juga.

Song Thian-oh mengulangi kata-katanya tadi, lalu diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Si jidat lebar. Komandan samurai mengangguk-angguk, mengucapkan serentetan kata-kata, dan si jidat lebar meneruskannya kepada Song Thian-oh dengan bahasa Cina, "Terima kasih atas bantuan tuan. Junjungan kami selamat, tetap dilindungi sekelompok perwira pilihan, dan beliau tentu menghargai pertolongan tuan."

Song Thian-oh mengangguk-angguk pula dan berkata, "Sudah kewajiban kami untuk melindungi tamu dari negara sahabat."

Si jidat lebar menyalin kepada komandannya, komandannya berkata lagi dan si jidat lebar menterjemahkan lagi untuk Song Thian-oh, "Komandan kami bertanya, siapa orang-orang ini?"

Song Thian-oh menjawab lewat penterjemah, "Akan kami selidiki. Untuk itu mayat pembunuh-pembunuh ini akan kami bawa semua untuk diperiksa. Kami menduga mereka adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng, golongan pemberontak yang disebut Pelangi Kuning."

Komandan samurai menjawab lewat penterjemah pula. "Kami akan senang kalau urusan ini menjadi jelas, sehingga tidak merusak hubungan kedua negara. Tuan dipersilakan membawa pergi mayat-mayat ini untuk diperiksa.”

Kedua komandan itu kemudian saling menghormat, lalu Song Thian-on membawa pergi pasukannya dan mayat-mayat "yang akan diperiksa" itu. Padahal Sebenarnya hendak dimusnahkan untuk melenyapkan jejak.

Helian Kong juga berlalu diam-diam. Dalam hatinya ia bertekad, "Kalau aku kelak berhasil menghadap Kaisar, kejadian malam ini pun akan kulaporkan.”

Malam sudah larut, tapi Ting Hoan-wi yang berada di rumah Helian Kong itu belum tidur. Matanya bersinar-sinar menatap potongan-potongan emas yang berkilauan dan berjajar-jajar di meja di kamarnya. Di bawah cahaya lilin yang bergoyang alangkah indahnya dengan ujung jarinya sambil tersenyum sendiri. Tentu saja Ting Hoan-wi pernah punya emas sebanyak itu, bahkan berkali lipat lebih banyak, namun kelebihan dari emas-emas di hadapannya kini adalah gampang memperolehnya.

Itulah emas yang siang tadi dibawa oleh suruhannya Co Hua-sun untuk menjerat helian Kong, namun ditolak oleh Helian Kong. Namun sore tadi Ting hoan-wi mendatangi Bu Goat-long, mengadakan pembicaraan, menemui kesepakatan, dan emas-emas itupun masuk ke kantongnya. Ting hoan-wi juga mendapat janji, asalkan "bekerja dengan baik" maka hadiah-hadiah yang lebih menggiurkan bakal membanjiri kantongnya.

"Ternyata ada pekerjaan yang jauh lebih menguntungkan daripada menjual garam gelap.” pikir Ting hoan-wi gembira. "...yaitu menjual keterangan." Yang lupa ditambahkan ialah kata-kata "dan menjual kawan".

Tengah ia melamunkan betapa gagahnya kelak kalau berhasil menjadi orang kepercayaan Co Hua-sun, kuping Ting hoan-wi tiba-tiba mendengar suara pakaian berkibar di tengah sunyinya malam. Ia tahu tentu Helian Kong sudah pulang dengan melompati dinding, agaknya sungkan merepotkan A-liok yang sudah tidur itu untuk membukakan pintu.

Cepat-cepat Ting hoan-wi mengangkut emas-emasnya untuk ditaruh di bawah kasurnya, setelah kasurnya dirapikan lagi, diapun rebah di atasnya. Didengarnya suara pintu ruangan tengah dibuka. Ting Hoan-wi lalu bersuara dalam kamar dengan lagak seperti orang mengantuk, "A-kong?"

"Ya," jawaban itu memang suara Helian Kong. "Teruskan saja tidurmu, A-hoan."

Namun Ting Hoan-wi malahan keluar menemui Helian Kong. Lagaknya persis orang yang benar-benar baru saja bangun dari tidur, "Kau baru pulang?”

"Ya. Kau tidak kemana-mana selama aku pergi?"

"Tidak..." mula-mula Ting Hoan-wi bermaksud bohong, namun ketika ingat bahwa tadi A-liok melihat dia keluar rumah, maka buru-buru ia menambahkan, "Ya cuma keluar sebentar untuk melihat lihat."

Hellan Kong cuma mengangguk percaya.

"Kau pulang larut sekali." kata Ting Hoan-wi. "Tentunya pesta di rumah Menteri Siangkoan itu meriah sekali ya?"

Terhadap kawan dan saudara seperguruan ini, tentu saja Helian Kong meraba tidak ada salahnya berterus terang, "Bukan pestanya yang ramai, tapi pembicaraannya."

Ting Hoan-wi berlagak penasaran dan mengepalkan tinju, "Sayang, aku orang luar yang tidak diundang dalam pertemuan orang- orang gagah berani itu. Tapi seandainya aku diminta ikut membacok Co Hua-sun si manusia hina dina itu, pastilah aku sanggup!"

Ting Hoan-wi paham benar bahwa "tanda anggota" untuk kelompok yang berkumpul di rumah Menteri Siangkoan itu adalah kebencian terhadap Co Hua-sun. Maka agar kelak bisa menyelundup masuk ke kelompok itu untuk memata-matainya, ya harus ikut menunjukkan kebencian kepada Co Hua-sun. Itulah yang sedang di lakukan Ting Hoan-wi saat itu.

Tanpa prasangka, Helian Kong berkata, "Sudah terlalu berani Co Hua-sun bertindak melancangi Kaisar. Malam ini kulihat sendiri dia menyuruh orang-orang upahan untuk menyerang rombongan tamu dari Jepang itu. Untung serangan itu gagal. Kalau berhasil tentu sama artinya dengan mencarikan tambahan musuh buat Kerajaan Beng yang sudah kebanyakan musuh ini."

"Keterlaluan." Ting Hoan-wi geleng-geleng kepala. "Yang berkuasa itu dia atau Kaisar? Kenapa dia begitu lancang? Apakah Kaisar tak berdaya mengendalikan sepak terjangnya?"

Mulutnya berkata demikian, padahal dalam hati Ting Hoan-wi malah merasa bangga terhadap calon "bossnya itu. Sedangkan Helian Kong masih ingin menjaga nama baik Kaisar Cong-ceng, maka dihindarinya cerita Kaisar yang sedang gandrung kecantikan Tiau Kui-hui sampai lupa semua urusan, sehingga semua urusan diambil alih oleh Co Hua-sun.

Helian Kong cuma bilang, "Selama ini Kaisar memang hanya membaca laporan-laporan palsu Co Hua-sun dan komplotannya. Maka Kaisar masih mengira kalau Kerajaannya ini tetap aman tenteram tanpa masalah."

“Apakah Menteri Siangkoan sebagai pembesar yang jujur dan setia tidak dapat menperingatkan Kaisar akan ketidak beresan ini?" tanya Ting Hoan-wi.

"Hem, Co Hua-sun dan komplotan jahatnya boleh dibilang sudah membentengi Kaisar agar jangan sanpai bertemu dengan para pembesar jujur yang hendak melaporkan keadaan sebenarnya. Yang bisa menghadap hanyalah yang disetujui oleh Co Hua-sun, yaitu para kaki tangan nya sendiri, dan laporannyapun harus disetujui lebih dulu oleh Co Hua-sun."

"Ah, sungguh gila. Namun tentunya orang-orang yang setia haruslah mengambil tindakan, tidak boleh berpeluk tangan saja." Ting Hoan-wi mulai memancing halus.

Kata Helian Kong. "Jelas. Kami sudah merencanakan suatu tindakan."

Mata Ting Hoan-wi bersinar-sinar mendengarnya. Untuk menutupi niat sebenarnya, ia pura-pura herkata dengan penuh semangat, "Bagus! Kedok Co Hua-sun harus segera dilucuti di depan Kaisar. Bagus-Bagus! Apa rencana kalian?"

"Teman-teman menitipkan laporan kepadaku, laporan-laporan yang selama ini hanya terkatung-katung di Peng-po Ceng-tong karena kurang uang pelicinnya. Nah, akulah yang harus menyampaikannya kepada Kaisar dengan cara menyelundup ke istana."

Ucapan Helian Kong itu tidak sepatah katapun lolos dari kuping Ting Hoan wi, mencatatnya baik-baik dalam otak tanpa keliru. Setelah itu ia mengangguk-angguk. "Itu bagus. Kalau saluran-saluran resmi sudah tersumbat semua oleh begundal-bogundal Co Hua-sun, memang diperlukan seorang pemberani untuk bisa menghadap Kaisar secara langsung. Bagus sekali itu. A-kong, apakah aku bisa membantumu?"

"Tidak usah. Makin banyak orang malahan akan makin repot, bukan makin lancar."

"Jadi akan kau lakukan sendiri?”

"Ya."

"Apa tidak berbahaya?" Ting Hoan-wi pura-pura cemas.

"Semua tindakan ada resikonya, tapi aku sendiri siap memikul resikonya."

"Kapan akan kau lakukan?"

"Makin cepat makin baik, tapi aku pun tidak mau gegabah. Akan kulakukan pada saat yang setepat-tepatnya."

"Aku benar-benar menguatirkan dirimu." Helian Kong tertawa pendek sambil menepuk-nepuk pundak Ting Hoan-wi, "Sudah. Tidurlah. Aku juga butuh istirahat untuk menyongsong hari-hari berat esok."

Lalu sambil menguap lebar-lebar Helian Kong melangkah ke kamarnya sendiri. Dari luar jendela, Ting Iloan-wi melihat cahaya lilin di kamar itu dipa damkan.

Ting Hoan-wi menunggu boberapa saat dengan membuat duapuluh lima hitungan dalam hatinya, kemudian melangkah berjingkat mendekati kamar Helian Kong dan mendekatkan kupingnya ke kertas jendela kamar itu. Didengarnya Helian Kong mendengkur lembut bagaikan anak kucing yang manis. Datar dan teratur. Kedengarannya Helian Kong memang sudah tidur pulas, setelah melewati hari-hari yang melelehkan, dan juga akan menjalani hari-hari berat esok.

Berjingkat Ting Hoan-wi masuk kamarnya sendiri. Bukan untuk tidur, melainkan cuma memadamkan lilin, lalu ke luar lagi. Ia mendekati dinding halaman dan melompat keluar dengan gerak tangkas. Ia pergi diam-diam.

Esok harinya, Helian Kong mencoba mencari hubungan dengan puteri Tiang-ping dalam istana. Namun Helian Kong sendiri tidak berani berkeliaran di dekat istana kuatir dicurigai. Ia hanya menghubungi Siangkoan Yan yang untungnya sudah reda kejengkelannya. Karena bujukan kakaknya, gadis itu sadar ia tidak boleh memberati perasaannya sendiri terhadap Heiian Kong, dengan cara menahan Helian Kong melakukan tugasnya.

Kemudian Siangkoan Yan menghubungi dayang-dayang kepercayaan Puteri Tiang-ping yang sering keluar masuk istana untuk berbagai keperluan. Lewat dayang dayang itulah sebuah pesan singkat dikirim kepada Puteri Tiang-ping.

"Bagaimana?" tanya Helian Kong yang menunggu di rumah keluarga Siangkoan, ketika melihat Siangkoan Yan kembali.

"Aku sudah tinggalkan pesan untuk Cici Ping di rumah tukang obat yang sering dikunjungi Kui-hun."

"Siapakah Kui-hun?"

"Seorang dayang kepercayaan Cici Ping, cerdik, ilmu silatnya lumayan dan kesetiaannya tidak diragukan. Dialah penghubung Cici Ping dengan orang-orang luar istana."

"Kapan kira-kira Puteri Tiang-ping menerima pesan itu, lalu menjawabnya?"

'Hari ini pastilah Cici Ping akan menerimanya, sebab tiap hari Kui-hun pergi ke tukang obat itu. Tapi supaya bisa keluar istana, Cici Ping haruslah menunggu sampai tibanya suatu alasan yang kuat. Kalau tidak, pastilah akan dipersoalkan oleh Co Hua-sun dan orang orangnya."

“Hem, namanya saja keluarga Kaisar, keluarga dari orang yang memegang kekuasaan tertinggi di negeri ini, tapi tak ubahnya orang dalam penjara saja."

"Memang begitulah kenyataannya."

"Saat ini Co Hua-sun baru berani menggunakan Kaisar sebagai boneka untuk menuruti kemauannya, karena sadar di luar dinding istana masih banyak orang yang menentangnya. Tapi kalau kelak Co Hua-cun berhasil menghimpun pendukung yang kuat, bukan mustahil dia berani mencelakakan Kaisar dan keluarganya secara terang-terangan."

"Cici Ping juga pernah bilang begitu kepadaku."

"Adik Yan, karena itu masihkah kau menghalangi aku untuk menyelundup ke istana dan menghadap Kaisar? Kalau tidak, mata Kaisar tetap akan ditutupi oleh Co Hua-sun agar tidak melihat situasi yang sesungguhnya.''

Siangkoan Yan menunduk menyembunyikan perasaannya, jawabnya lirih, "Asal berhati-hati, dan tidak usah berambisi jadi pahlawan kalau tidak perlu."

Helian Kong jadi ingat adegan dalam sandiwara tentang seorang prajurit yang dilepas ke medan laga oleh isterinya. Ia nyengir sendirian.

"Nah, adik Yan, aku pulang dulu. Nanti petang aku akan kemari lagi kalau-kalau sudah ada pesan balasan dari Puteri Tiang-ping. Syukur kalau Puteri sendiri yang datang, jadi bisa merundingkan rencana ini matang-matang."

"Baiklah."

Kepada Siangkoan Heng pun Helian Kong berpamitan. Tapi ketika akan berpamitan kepada Menteri Siangkoan Hi. ia diberi tahu kalau menteri itu sedang berada di rumah Ciu Kok-thio, mertua Kaisar. Helian Kong diam-diam membatin, tentunya dalam rangka pelaksanaan "Bi-jin-ke" (perangkap si cantik) untuk menandingi "Bi-jin-ke"nya Co Hua sun.

Helian Kong pulang. Tiba di rumahnya ia langsung makan sekenyang-kenyangnya lalu tidur untuk menyegarkan badan dan semangat. Sore hari, setelah latihan silat sebentar, Helian Kong mandi dan berganti pakaian untuk bersiap-siap ke rumah Siangkoan Yan kembali. Namun belum lagi ia keluar rumah, malahan Siangkoan Yan tiba lebih dulu di rumahnya. Gadis itu langsung mencari Helian Kong setelah dibukakan pintu depan oleh A-liok.

Waktu itu Helian Kong sedang duduk minum teh bersama Ting Hoan-wi di ruangan tengah. Bersamaan mereka menoleh dan meletakkan cangkir teh mereka ketika melihat Siangkoan Yan muncul. "Adik Yan baru saja aku mau ke tempatmu. Sudah ada jawaban?"

Ketika melihat Ting Hoan-wi ada juga di tempat itu, Siangkoan Yan jadi ragu-ragu bicara. Entah kenapa, perasaannya yang halus dan tajam merasa sulit mempercayai orang ini, tidak perduli dia adalah saudara seperguruan lelaki yang dicintainya. Rasa tidak percaya Siangkoan Yan banyak disebabkan karena sering melihat, mata Ting Hoan-wi diredupkan seolah menyelubungi isi hatinya....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.