Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 06 Karya Stevanus S.P

Namun ketika berhadapan dengan Ting Hoan-wi. tidak lupa Siangkoan Yan mengangguk hormat dengan agak kikuk. Ting Hoan-wi membalas hormatnya sambil mengharap dalam hati; entah apa lagi yang bisa didengarnya dari Siangkoan Yan, untuk "dijadikan uang"?

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Namun Siangkoan Yan ternyata mengecewakan rasa ingin tahunya dengan berkata, "Helian Toako. Mari kita bicara empat mata.”

"Ah, kenapa kalau di sini?" sahut Helian Kong. "Disini kan cuma ada saudara seperguruan yang akrab dengan aku?"

Keruan Si angkoan Yan jadi canggung menghadapi situasi itu. Sekali lagi ia mengangguk ramah kepada Ting Hoan-wi, lalu berkata kepada Helian Kong, "Ini pesan Puteri Tiang-ping sendiri, bahwa pesan ini hanya untuk Toako sendiri”

Helian Kong paham kalau Puteri Tiang-ping maupun Siangkoan Yan amat sulit percaya kepada orang di luar "komplotan" mereka. Suatu sikap hati-hati mengingat tersebarnya kaki tangan Co Hua-sun di mana-mana. Kawan dan lawan susah dibedakan sebab semuanya sama-sama bersikap ramah. Karena itulah Helian Kong kemudian mengangguk dan berkata, "Baik, adik Yan. Mari ke ruang depan."

Ting Hoan-wi diam-diam kecewa mendengar itu, namun disembunyikannya perasaan hatinya. Ia juga tidak berani coba-coba mencuri dengar, sebab ia sadar walaupun ia seperguruan dengan Helian Kong, namun selisih ilmunya kelewat jauh. Kalau ia coba menguping, suara napasnya pasti akan terdengar oleh kuping Helian Kong yang tajam.

Padahal seandainya ia nekad menguping juga, iapun takkan mendengar apa-apa. Sebab pesan Puteri Tiang-ping itu adalah pesan tertulis yang diberikan oleh Siangkoan Yan berupa secarik kertas. Di atas kertas itu Helian Kong membaca tulisan indah sang puteri Kaisar,

"Besok siang Hong Sinshe (tabib Hong) akan masuk istana untuk memeriksa aku, menyamarlah jadi bujangnya.” Tertanda Cu Tiang-ping.

Singkat tapi jelas, Helian Kong langsung paham. Memang Puteri Tiang-ping lemah tubuhnya sejak umur 4 tahun Bahkan seorang penujum pernah meramalkan, kalau tidak terjadi mujijat atas dirinya, Puteri Tiang-ping takkan melebihi imur 20 tahun, dan takkan bisa menikah. Karena itu Puteri Tiang-ping secara berkala diperiksa oleh seorang tabib yang amat dipercayai oleh keluarga, istana. Tabib yang karena simpatinya kepada nasib puteri Kaisar itu. akhirnya menjadi anggota "komplotan"nya.

“Kalau begitu, besok pagi-pagi benar sebelum Hong Sinshe pergi ke istana, aku sudah harus di rumahnya." kata Helian Kong pelan sambil meremas surat itu. Sementara ia melihat Siangkoan Yan menberi isyarat tangan agar jangan bicara keras-keras.

Lalu gadis itu berkata berbisik-bisik. "Toako, aku punya kata-kata yang harus kusampaikan kepadamu. Tapi sebelunnya aku minta maaf."

"Coba kudengarkan."

"Jangan kelewat percaya kepada saudara seperguruannu," hanya itu bisik Siangkoan Yan sambil melirik waspada kepintu yang menghubungkan ruangan itu dengan ruang tengah.

"Adik Yan..." Helian Kong ingin bicara lebih lanjut, namun puteri Menteri Siangkoan Hi itu sudah memutar tubuh dan berlalu cepat.

Kemudian Ting Hoan-wi lah yang muncul di ruangan itu sambil tersenyum-senyum dan berkata, “Hebat kau A-kong."

Helian Kong menoleh penuh tanda tanya, “Hebat apanya?"

Sahut Ting Hoan-wi, "Di ibukota negara ini ternyata kau punya teman gadis-gadis cantik dari kalangan atas. Ada puteri Menteri, bahkan puteri Kaisar."

Helian Kong cuma menyeringai, kiranya yang dianggap hebat oleh Ting Hoan-wi hanyalah urusan macam itu. Hal-hal yang dapat membuat muka terang, membuat kebanggaan, bisa dipamerkan. Tapi Helian Kong tidak bicara apa apa, terlalu sulit menerangkan kepada Ting Hoan-wi bahwa hidup yang berarti bukan cuma karena tenpelan-tempelan luar semacam itu. Tak peduli tempelannya hebat sekalipun.

Sementara Helian Kong bungkam, Ting Hoan-wi bertanya lagi, "Nona Siangkoan tadi apakah menyampaikan undangan pesta dari puteri Kaisar?"

"Ah, tidak. Masa pesta terus-terusan setiap malam?”

"Bukankah itu hal wajar di ibukota negara yang berlinpah uang ini? Buat apa uang dikumpulkan kalau tidak untuk dinikmati? Bahkan pernah kudengar, kabarnya ada bangsawan yang mengadakan pesta besar sampai beberapa hari lamanya."

"Aku tidak termasuk golongan mereka. Teman-temanku juga tidak. Puteri Tiang-ping maupun adik Yan juga tidak.”

"Kalau begitu aku bisa menebak, pesan Puteri Tiang-ping itu tentu sehubungan dengan rencananu untuk menghadap Kaisar secara diam-diam, menembus penjagaan orang-orangnya Co Hua-sun. Betul tidak?"

Karena Ting Koan-wi adalah teman lama, hampir saja Helian Kong menjawab terang-terangan. Tapi peringatan Siang koan Yan tadi tiba-tiba terngiang sejenak di kepalanya. Diam-diam diamatinya sikap Ting Hoan-wi, dan dilihatnya sang kawan itu nampak begitu mengharapkan jawaban. Mungkin sekedar ingin tahu. Mungkin pula sekedar untuk diceritakan kepada orang lain untuk dipamerkan bahwa dia punya tanan-teman baik "orang atas". Dan Helian Kong tidak sampai kepada pikiran untuk menuduh lebih dari itu, biarpun cuma dalam hati.

Akhirnya ia menjawab juga dengan gaya enggan, "Ah, urusan rutin saja."

"Tapi bagaimana dengan rencanamu untuk menerobos ke istana dan menghadap Kaisar?"

"Ah, aku lebih suka tidak memikirkannya terlalu serius. Lebih baik kita jalan-jalan. Setuju?"

"Ah, kemarinpun aku sudah melihat lihat sampai Pek-giok-kio. Sekarang aku ingin duduk-duduk saja di rumah, kau pergilah sendiri A-kong."

Helian Kongpun kemudian keluar sendirian. Ia berjalan santai di sore hari itu dan ia memang tidak punya maksud apa-apa selain mengendurkan urat syarafnya sebelum memikul tugas berat. Namun sementara berjalan, timbul juga niatnya untuk mengunjungi Sinshe Hong yang esok akan ke istana untuk mengobati Puteri Tiang-ping. Maka biarpun langkahnya masih santai, akhirnya jadi punya tujuan tertentu, tapi tanpa terburu-buru.

Tiba disebuah persimpangan jalan, nampak orang-orang di tepi jalan minggir semua, biasanya itu pertanda akan ada rombongan pejabat yang lewat. Tiba tiba, pula Helian liong ingat, memang di jalanan itulah letaknya gedung kediaman Ciu Kok-thio, mertua Kaisar Cong-ceng, ayah Permaisuri Ciu (Ciu Thai-hou).

DHuar kebiasaan, kali itu jalan yang menuju ke gedung Ciu Kok-thio ditutup untuk, lalu lintas umum. Jalannya dijaga prajurit, orang- orang yang hendak lewat dihentikan dan disuruh lewat jalan lain. Yang lambat minggirnya ditendang atau didamprat. Yang agak mengejutkan Helian Kong ialah ketika di depan gedung Ciu Kok-thio dipenuhi prajurit-prajurit berseragara Kim-ih wi-kun (pengawal seragam sulam emas), pasukan istana yang jarang menampakkan diri di depan umum.

Teringat pengalamannya semalam di kediaman utusan Jepang, Helian Kong jadi menduga yang bukan-bukan. Pikirnya. "Apakah kali ini Co Hua-sun sudah begitu nekadnya hendak menangkap mertua Kaisar?"

Namun dugaannya buyar karena dari gedung Ciu Kok-thio sayup-sayup terdengar musik yang merdu. Ternyata digedung itu sedang diadakan pesta. Kemudian dari ujung jalan muncul sebuah rombongan yang megah sekali. Pengawalnya berjumlah ratusan orang dan berseragam mentereng.

Yang dikawal ialah dua buah joli yang beriringan. Joli yang di depan berwarna tirai kuning emas, sedang yang dibelakangnya warnanya bukan kuning emas tapi juga indah sekali. Kuningnya tirai joli itu adalah warna kerajaan. Tidak sembarang orang boleh memakainya.

Cepat-cepat Helian Kong melompat bersembunyi di sebuah lekukan tembok. Untung hari sudah agak gelap, sehingga ia gampang mendapat tenpat senbunyi yang bagus. Dari dalam gedung kediaman Ciu Kok-thio, nampak Ciu Kok-thio sendiri keluar diiringi belasan pembesar tinggi. Begitu tiba di depan pintu, mereka semua langsung berlutut dan menyambut serempak dengan seruan mereka,

'"Ban-swe! Ban-swe!"

Ternyata Kaisar Cong-ceng sendiri yang datang. Tirai tandu disingkap, lalu Kaisar Cong-ceng melangkah pelan dari dalam tandu dengan memakai jubah kuningnya yang indah bersulamkan naga. Meskipun sudah lima tahun menjadi prajurit, belum pernah Helian Kong melihat Kaisar sejelas ini biarpun hanya dari tempat persembunyiannya.

Kaisar Cong-ceng adalah seorang lelaki setengah umur, agak gemuk, sinar matanya tidak bercahaya dan kelihatan setengah mengantuk. Inilah tampang seorang yang sama sekali tidak pernah berpikir keras, hidup serba enak, tidak pernah menangani masalah apapun dengan tangannya sendiri.

Helian Kong jadi tidak heran lagi kalau orang macam ini begitu gampang didikte oleh Co Hua-sun. Sekaligus juga agak kecewa, sebab Helian Kong pernah melihat gambar Kaisar Cong-ceng hasil lukisan seorang seniman istana. Dalam gambar itu Kaisar Cong-ceng digambarkan gagah, tegap, berwibawa, bermata tajam. Tapi ya maklum, seniman istana itu tentu tidak berani mempertaruhkan batang lehernya waktu melukis diri Kaisar.

Sementara itu, dari joli yang satu lagi juga muncul seorang lelaki ubanan, jelas lebih tua dari Kaisar Cong-ceng. Tubuhnya gemuk, alisnya putih, namun dia tidak punya jenggot atau kumis sehelaipun, bahkan bekas-bekas cukuranpun tidak ada. Tampangnya jadi ganjil untuk ukuran lelaki normal. Jubahnya bagus, begitu pula topinya, dan sikapnya angkuh penuh Huasa.

Helian Kong langsung tahu kalau orang itulah thai-kam yang paling berHuasa di istana. Co Hua-sun. Darah Helian Kong menghangat melihat tokoh yang dibencinya, namun ia tetap bersembunyi.

Sementara itu, Kaisar Cong ceng mengusap jenggotnya dan berkata, "Kalian bangkitlah."

Serempak para pembesar yang berlutut itu menjawab, "Terima kasih, Tuanku!"

Setelah itu, barulah mereka semua bangkit. Dari kejauhan Helian Kong melihat di antara pembesar-pembesar itu terdapat Siangkoan Hi. Muncul dugaan Helian Kong bahwa acara itu agaknya ada kaitannya dengan "Bi-jin-ke" yang dirancang Ciu Kok-thio dan Siangkoan Hi untuk menandingi ”Bi-jin-ke"nya Co Hua-sun. Sama-sama menggunakan kecantikan wanita untuk berebut pengaruh di hadapan Kaisar!

Dugaannya diperHuat dengan melihat muka Co Hua-sun yang masam, nyata sekali ketidak senangan hatinya. Kepada Co Hua-sun, para pembesar juga memberi hormat, tapi tidak dengan berlutut. Sambut Ciu Kok-thio,

"Sungguh kehormatan besar buatku, kalau Co Kong-kong sudi juga mengunjungi rumahku yang reyot ini. Padahal aku tadinya mengira Kong-kong tak sudi datang kemari."

Co Hua-sun tertawa dingin melepaskan kemengkalannya, “Hem, tidak menyangka kalau aku ikut datang ya? Tidak menyangka atau memang tidak mengharap? Berani benar Kok- thio tidak mengundangku, tapi sekarang aku datang, nah, kau bisa apa?"

Sebagai mertua Kaisar, Ciu Kok-thio dihormati semua orang, namun kasarnya sikap dan kata-kata Co Hua-sun itu seolah disengaja untuk menunjukkan betapa besar keHuasaannya. Sehingga Ciu Kok-thio dianggapnya seperti pembesar bawahannya saja.

Dan semua orang pun tahu, Co Hua-sun berani bersikap seperti itu karena tahu Kaisar takkan berani membela mertuanya. Selain takut kepada Co Hua-sun, juga karena hubungan Kaisar dengan mertuanya sedang renggang, karena Kaisar sudah lama tidak mengacuhkan Ciu Hong-hou dan tergila-gila kepada Tiau Kui-hui.

Memang betul. Kaisar tidak menegur Co Hua-sun, malahan ikut-ikutan menyalahkan mertuanya sendiri meskipun dalam sikap lebih halus, "Gak-hu, agaknya kau memang kurang cermat, sampai kelupaan mengirim undangan kepada Co Kong-kong."

Betapa mendongkolnya Ciu Kok-thio ditegur demikian dimuka unum. Tapi demi kelancaran rencananya, ia harus menahan diri. Jawabnya, "Hanba akan mengadakan perjamuan khusus untuk minta maaf kepada Co Kong-kong. Sekarang hamba persilakan Tuanku sudi duduk di dalam, dan Co Kong-kong, mari silakan duduk di kursi kehormatan di samping Tuanku."

Suara musik dalam ruangan sudah terdengar, kaki Kaisar pun sudah siap melangkah masuk ke dalam ruangan. Namun mendadak muncul suatu peristiwa mengejutkan. Dari balik sebuah tembok di pinggir jalan, tiba-tiba melompatlah sesosok bayangan yang berteriak, "Tuanku, hamba mohon menghadap!"

Semuanya terkejut. Pengawal-pengawal Kaisar serempak berlompatan membentuk suatu pertahanan di depan Kaisar, menjaga kalau-kalau orang itu bermaksud buruk.

Namun orang itu tiba-tiba berlutut dan berkata, "Tuanku, hamba menghaturkan sembah sujud. Hamba mohon didengarkan untuk beberapa hal." kini terlihat jelas kalau orang itu berpakaian seperti seorang perwira.

Helian Kong yang ada di tempat sembunyinyapun kaget, karena melihat orang ini adalah Liong Tiau-hui, perwira bawahan Jenderal Ang Seng-tiu dari San-hai-koan, seorang perwira yang berangasan dan kurang pikir. Tindakannya kali ini tentu dilatar belakangi pertengkarannya dengan Siangkoan Yan kemarin malam.

Kaisar Cong-ceng yang hampir masuk ke gedung mertuanya itu, kemudian menghentikan langkah dan memperhatikan Liong Tiau-hui. "Siapa kau?" tanyanya sambil mengusap jenggot.

Sambil tetap berlutut, Liong Tiau hui menjawab, "Hamba Liong Tiau-hui, berpangkat Cian-bu, bawahan Jenderal Ang Seng-tiu!"

"Jenderal Ang Seng-tiu?" Kaisar mengulangi nama itu dengan sikap seperti asing mendengar nama itu.

Melihat sikap Kaisar itu, banyak pembesar setia yang mengeluh dalam hati, begitu juga Helian liong yang melihat dari kejauhan. Itu menandakan betapa Kaisar tidak ada perhatian sama sekali kepada urusan-urusan menjalankan pemerintahan, semuanya "diberondong' kepada Co Hua-sun. Bagaimana mungkin ia sampai bersikap asing kepada Jenderal Ang?

Padahal Jenderal itu adalah penjaga kota perbatasan San-hai-koan yang strategis, menjaga dari serangan Kerajaan Ceng di timur laut. Kalau San hai-koan jatuh, orang manchu gampang mendapat jalan untuk menyerbu ke wilayah kerajaan dengan gerak kilat, sebab pasukan berkuda mereka sudah terkenal kehebatannya. Namun kini Kaisar Cong-ceng malah bersikap seolah-olah tidak pernah punya bawahan yang bernama Ang Seng-tiu.

Liong Tiau-hui juga mengeluh dalam hati. Namun sudah terlanjur menghadap, diapun berkata lebih lanjut, "Tuanku, Jenderal Ang adalah panglima di San-hai-koan."

Kini Kaisar mengangguk-angguk sambil mengusap-usap jenggotnya lagi. Namun banyak orang yang sudah terlanjur kurang yakin, apakah anggukan itu berarti paham, atau cuma pura-pura pahan? "Jadi kau perwira bawahan Ang Goan-swe di San-hai-koan?"

"Benar, Tuanku."

Suasana sunyi sejenak. Orang-orang sudah siap mendengarkan, jangan-jangan Kaisar akan bertanya "San-hai-koan itu di mana" tentu harus menerangkan sambil memaki ketololannya dalam hati. Ternyata tidak, setolol-tololnya Kaisar ia masih juga ingat di mana letak San-hai-koan, maka pertanyaannya bukan soal dimana letak San-hai-koan, tapi, "kenapa kau sampai ke ibu kota Ini?”

"Hamba membawa laporan situasi medan dari Ang Ooan-swe, yang sudah hamba serahkan ke kantor Peng-po Ceng-tong beberapa bulan yang lalu. Tapi sampai sekarang laporan dari San-hai-koan itu belum...."

Wakt itulah Co Hua-sun tiba-tiba melangkah maju kesamping Kaisar, lalu membentak, "Liong Tiau-hui, apa kau tidak punya cara yang lebih sopan dari ini untuk menghadap junjungan kita. Dengan cara melompati tembok dan berteriak dari kejauhan terhadap junjungan kita, apakah masih bisa dibilang bahwa kau menghormati junjungan kita?"

Ketika bicara dengan Kaisar, Liong Tiau-hui masih menundukkan kepala, namun begitu mendengar suara Co Hua-sun, ia seperti ular kobra yang tahu kalau mangsanya mendekat. Liong Tiau-hui mengangkat kepalanya dan tatapannya yang berapi-api ditujukan ke arah Co Hua-sun. Lalu berkatalah ia, tapi tetap ke pada Kaisar,

"Tuanku, pasukan kami di San-hai-koan dalam keadaan amat kekurangan perbekalan, padahal kami harus menjaga serangan bangsa Manchu agar tidak melanggar perbatasan. Namun surat laporan kami tidak digubris oleh pegawai-pegawai di Peng-po Ceng-tong, hamba mohon perhatian. Tuanku!"

Terusik juga hati Kaisar Cong Ceng menerima laporan yang "serba beres" saja, seperti angin semilir yang membuat mengantuk. Kini kenyamanan itu "tersengat" oleh laporan Liong Tiau-hui itu. Tak sadar Kaisar menoleh ke arah Co Hua-sun dengan pandangan bertanya, kok bisa muncul urusan macam ini, padahal katanya "semua beres"?

Cepat-cepat Co Hua-sun membela diri sambil menuding Liong Tiau-hui, "Tuanku, perwira ini bicara seenaknya saja. Semua surat yang masuk ke Peng-po Ceng-tong tentu diteliti dan mendapat perhatian semestinya. Petugas-petugas di sana bekerja sebaik-baiknya. Tapi surat-surat yang hanya berisi keluhan-keluhan cengeng, rasanya memang tidak salah kalau dibuang saja ke tempat sampah, seperti surat Ang Goan-swe itu. Surat itu hanya berisi keluhan-keluhan remeh yang mestinya bisa diatasi sendiri oleh Ang Goan-swe. Tidak pantas seorang Jenderal Kerajaan Beng merengek-rengek minta dimanjakan macam itu!"

“Memang janggal juga bahwa Co Hua-sun lah yang menjawab gugatan ke alamat Peng-po Ceng-tong, padahal Co Hua-sun bukan Peng-po Siang-si (menteri pertahanan). Kedudukan Peng-po Siang-si saat itu memang dipegang oleh Jenderal Sun Toan-teng yang tidak sedang berada di Ibu kota. Tapi di Tong-koan untuk memimpin pertahanan terhadap serbuan kaum pemberontak dari barat laut.

Biar pun Jenderal Sun tidak ada, mestinya bukan Co Hua-sun yang menjawab gugatan Liong Tiau-hui itu. Namn dengan keluarnya kata-kata Co Hua-sun itu hanya makin menyingkap keadaan sebenarnya betapa kaum thai-kam yang sebenarnya Cuma hamba-hamba istana itu, telah campur tangan terlalu jauh dalam urusan pemerintahan. Mengurus yang bukan urusannya, mengambil posisi-posisi pemerintahan yang bukan bagiannya.

Tidak heran kalau pemerintahan jadi semrawut. Dalam menjalankan tugas, para pegawai panerintah bingung harus menerima perintah dari siapa, harus menyuruh siapa, laporan harus kepada siapa, semuanya kacau bisa membahayakan kedudukan sendiri. Kekacauan itu lalu dimanfaatkan yang pintar “mencari ikan di air keruh” untuk kepentingan Sendiri-sendiri.

Karena Itulah Liong Tiau-hui yang pernah merasakan di ping-pong'' oleh pegawai-pegawai Peng-po Ceng-teng itupun menjadi gusar mendengar kata-kata Co Ha-sun. Lupa akan sopan-santun di hadapan Kaisar. Ia tiba-tiba berdiri dan menuding Co Hua-sun dengan wajah merah padam,

"He. bangsat tua! Sudah cukup kau mengelabuhi Sri Baginda dengan laporan-laporan manismu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kau lakukan penipuan besar-besaran hanya untuk memperbesar kekuasaamu sendiri, benar tidak?"

Co Hua-sun tidak membiarkan Liang Tiau-hui nengoceh terus. Tak perduli melancangi perintah Kaisar. la memerintahkan para pengawal Kaisar. "Tangkap pengacau ini hidup atau mati! Dia hanya ingin merenggangkan hubungan antara Sri Baginda dengan abdi-abdinya yang setia!"

Para pengawal istana itu memang banyak yang sudah dipengaruhi Co Hua-sun. Sedang yang belum terpengaruhpun setidak-tidaknya sudah tak punya pendirian lagi, karena Kaisarpun bersikap lemah. Maka begitu si thai-kam tua yang amat berkuasa itu memerintah, mereka anggap sama saja dengan perintah Kaisar. Jadi tidak perlu lagi menunggu Kaisar, para pengawal terus menghunus senjata dan menyerang Liong Tiau-hui.

Sedangkan Liong Tiau-hui juga sudah lupa apapun karena kemarahannya, maka diapun menghunus pedangnya dan melawan dengan sengit, sambil berteriak-teriak mendamprat Co Hua-sun. Maka terjadilah pertempuran hebat di depan kediaman Ciu Kok-thio yang sebenarnya sedang bersiap untuk pesta, Liong Tiau-hui sendirian menghadapi belasan pengawal Kaisar. Inilah acara yang sama sekali tidak direncanakan.

Co Hua-sun tidak puas melihat pengawal-pengawal istana itu kurang cepat berhasilnya, apa lagi yang maju cuma belasan orang. Maka ia tambahkan perintahnya, "Maju semua! Cincang habis pengacau ini!"

Kaisar Cong-ceng diam saja, ia seperti membiarkan Co Hua-sun malang melintang di depan hidungnya. Sukar ditebak bagaimana isi hatinya.

Dari tempat sembunyinya. Helian Kong menyaksikan peristiwa itu dengan marah. Memang ia sesalkan tindakan Liong Tiau-hui yang tidak memikirkan panjang, ia tahu karena perwira San-hai-koan itu sudah tidak sabar melihat Co Hua-sun terus berkuasa. Namun yang menbuat Helian Kong marah adalah tindakan Co Hua-sun yang begitu lancang memberi perintah mendahului Kaisar, sedang Kaisar kelihatannya tidak berani mengekang sepak terjang Co Hua-sun.

Hampir saja Helian Kong terjun ke arena itu untuk membantu Liong Tiau-hui, biarpun pedangnya tidak sedang di bawa. Namun tiba-tiba pundaknya dipegang dari belakang, disusul sebuah suara yang lembut merdu dari sebuah mulut yang harum, "Jangan dulu, Helian Hu-ciang."

Hu-ciang adalah pangkat yang kurang lebih sana dengan kolonel di jaman modern. Cepat-cepat Helian Kong membalik tubuh dan siap untuk berlutut, ”Tuan Puteri...”

Namun Puteri Tiang-ping yang menyamar sebagai lelaki jembel itu buru-buru mencegah, "Jangan berlutut, nanti menarik perhatian orang."

Di belakang Puteri Tiang-ping ada sebuah gang gelap untuk pembuangan sampah. Dalam keremangan senja hari, nampak di belakang Puteri Tiang-ping itu ada empat sosok bayangan. Yang tiga ramping kecil, yang satu tegap. Jelas itulah tiga perempuan dan satu lelaki. Mata Helian Kong cukup tajam untuk dapat mengenali mereka sebagai Siangkoan Yan, dua dayang kepercayaan Puteri Tiang-ping yang juga menyamar, dan lelaki itu adalah Bu Sam-kui, perwira dari San-hai-koan rekan Liong Tiau-hui.

Sementara Helian Kong telah bertanya kepada Puteri Tiang-ping, "Tuan Puteri, bukankah Tuan Puteri kabarnya sedang sakit?"

Puteri Tiang-ping tertawa pendek, "Kalau sakit, mana mungkin berkeliaran sampai kemari? Aku cuma pura-pura sakit, agar tabib Hong ada alasan untuk masuk istana, dan kau bisa membonceng dia dengan menyamar sebagai pembantunya."

"Tapi sekarang bagaimana dengan Liong Tiau-hui, dia betul-betul terancam. Biarpun karena kegegabahannya sendiri, masa kita berpeluk tangan saja membiarkan ia dicincang orang-orangnya Co Hua-sun?"

Puteri Tiang-ping menoleh kepada Bu Sam-kui sambil bertanya, "Bagaimana Bu Cong-peng?”

Bu Sam-kui menyahut, "Aku sudah berusaha mencegah dia melakukan ini, lebih baik menunggu hasilnya Helian Hu-ciang bertemu Kaisar sendiri. Tapi Liong Tiau-hui tidak sabar. Ia tidak mau dibilang takut bertindak sendiri, sehingga biasanya hanyalah mengandalkan orang lain. Dia lalu berangkat diam-diam."

Siangkoan Yan menundukkan kepala, teringat pertengkarannya dengan Liong tiau-hui beberapa malam yang lalu. Ia berdesis dengan perasaan bersalah, “Kata-kataku malam itu terlalu tajam buatnya. Akulah penyebab peristiwa ini."

“Kalau kita mementingkan rencana penyelundupan Helian Hu-ciang ke istana, kita harus biarkan Liong Tiau-hui menghadapi nasibnya sendiri malam ini” Bu Sam-kui tiba-tiba berkata dengan pedih, karena betapapun juga Liong Tiau-hui adalah rekannya sejak sama-sama berangkat dari San-hai-koan. "Kalau kita tolong dia sekarang, kita harus muncul sekarang dan rencana penyelundupan itu bisa berantakan.”

"Tidak, aku harus menolong." tukas Helian Kong. Tanpa menunggu yang lain setuju atau tidak, Helian Kong telah merobek ujung jubahnya sendiri, lalu ditutupkan ke mukanya sebagai kedok agar wajahnya tidak dikenali. Lalu katanya lagi dengan mantap, "Yang selama ini mengikat kelompok kita adalah setia kawan dalam suka dan duka.Kalau kesetia-kawanan dihilangkan, kita tercerai berai.'"

Lalu Helian Kong sudah hendak melangkah ke arena, namun Puteri Tiang-ping cepat menyambar lengannya dan berkata, "Tunggu. Lihat ke arena."

Terlihat Siangkoan Hi dan beberapa pembesar lainnya telah berlutut di depan Kaisar Cong-ceng, dan kata Siangkoan Hi, "Tuanku, hamba mohonkan ampun buat perwira itu. Biarpun kelakuannya kasar, namun sama sekali tidak bermaksud jahat. Jangan sampai dia mati."

Permohonannya didukung oleh beberapa pembesar. Kaisar Cong-ceng nampak bimbang. Sebentar mengusap jenggot, dilain saat menoleh kepada Co Hua-sun, lalu kembali mengusap jenggot. Sekian lama tidak berkata apa-apa, nampak takut mengambil kcputusan yang tidak sejalan dengan Co Hua-sun.

Sementara Kaisar ragu-ragu, keadaan Liong Tiau-hui makin gawat. Tubuhnya sudah mandi darah karena beberapa luka langkahnya sempoyongan. Memang diapun telah berhasil merobohkan empat pengawal yang mengeroyoknya, tapi ia sendiri tak ada harapan menyelamatkan diri. Kepungan di sekitarnya berlapis-lapis.

"Tuanku hamba sekalian memohon” Siangkoan Hi dan pembesar-penbesar lain mengulangi permohonan mereka.

Kaisar Cong-ceng masih saja kebingungan, dan malahan Co Hua-sun yang berkata, "Perwira itu jelas bermaksud jahat, kenapa Tuan-tuan katakan dia tidak bermaksud jahat? Merenggangkan hubungan Sri Baginda dengan pembantu-pembantunya yang terpercaya, apakah itu tidak jahat? Tuan-tuan membelanya, apakah Tuan-tuan kenal dia sebelumnya?"

Pembesar-perabesar manapun yang sudah diancam tuduhan seperti itu biasanya akan menggigil ketakutan dan mundur teratur. Salah- salah mereka bisa dilibatkan, dan kepala bisa protol dibawah golok algojo. Wajah Siangkoan Hi pun memucat, namun orang tua itu ternyata nekad juga, "Tuanku, hamba mohon."

Melihat keteguhan hati si menteri senior yang sudah mengabdi sejak jamannya Kaisar Hi-cong itu, hati Kaisar Cong-ceng agak tergerak juga. Kaisar menoleh kepada Co Hua-sun dan berkata, "Kong-kong, rasanya pemohonan mereka pantas kita..."

"Tidak perlu, Tuanku." sahut Co Hua-sun tegas.

"Tapi kesalahan perwira itu hanyalah..."

Dan di seluruh wilayah kekaisaranan, rupanya hanya Co Hua-sun yang berani menukas selagi Kaisar belum selesai bicara, "Kesalahannya besar sekali karena berani bicara ngawur di hadapan Tuanku. Dia tetap harus dicincang di tarpat ini juga."

Sikap Kaisarpun jadi serba salah, ingin menunjukkan kewibawaan, tapi takut kepada Co Hua-sun. Dengan pandangan menyerah, ia menatap Siangkoan Hi dan pembesar-panbesar lainnya yang masih berlutut, "Sudah kalian dengar sendiri keputusan Co Kong-kong? Jangan pertaruhkan batang leher kalian hanya untuk seorang perwira tak tahu adat.”

Para pembesar itupun bangun dari berlutut dan herpandangan dengan kecewa. Mereka merasa percuma saja memohon Kaisar, karena Kaisar tak berani menentang Co Hua-sun. Sesungguhnya bukan Kaisarlah yang pegang kekuasaan, tapi Co Hua-sun.

Para pembesar itupun menunduk lesu, di bawah tatapan penuh ejekan dari Co Hua-sun yang sekali lagi berhasil memamerkan pengaruhnya atas diri Kaisasar.

Pada saat yang sama Liong Tiau-hui sudah seperti binatang masuk perangkap. Meskipun masih meronta mempertahankan hidup di tengah lawan-lawannya yang mabuk darah, namun bagaimana nasibnya nanti sudah bisa diramal.

Sedangkan Helian Kong, Siangkoan Yan, Puteri Tiang-ping, kedua orang dayang keraton dan Bu Sam-kui, semuanya sudah siap terjun ke arena untuk menolong Liong Tiau-hui. Namun muka mereka semua ditutupi kedok. Maklum, di tempat itu ada Kaisar Cong-ceng, ayah Puteri Tiang-ping, dan juga ada Siangkoan Hi, ayah Siangkoan Yan.

Nampaknya Bu Sam-kui belum benar-benar bulat tekadnya, tetapi ia kuatir dicap tidak punya setia kawan kalau tidak ikut bertindak. Sedangkan turun tangannya Puteri Tiang-ping lebih terdorong oleh perasaan malu melihat ayahandanya bersikap begitu lemah di bawah kendali Co Hua-sun, di depan mata banyak pembesar yang menyaksikannya.

Namun Helian Kong kemudian berkata. "Tuan Puteri, kurasa Tuan Puteri tidak asah ikut bertindak, lebih baik pulang ke istana. Terlalu berbahaya."

"Kenapa?"

"Biarpun kita semua memakai kedok muka, namun tak dapat dipastikan apakah kita akan tertangkap atau tidak. Kalau tertangkap lalu kedok kita dibuka, hamba kuatir akan menyudutkan posisi keluarga istana sendiri:"

"Aku tidak gentar."

"Hamba tahu, tapi peristiwa itu bisa membuka peluang bagi Co Hua-sun untuk lebih mencengkeramkan kuku kekuasaannya. Hamba harap, kita tidak menyediakan peluang itu bagi Co Hua-sun, karena itu sebaiknya Tuan Puteri bersih dari urusan ini."

Puteri Tiang-ping bisa memahami kekuatiran Helian Kong itu. "Kalau begitu hati-hatilah kalian. Kalau kalian terancam, lari saja, jangan sampai terbuka kedok kalian."

"Baik. Sekarang silakan Tuan Puteri kembali ke istana. Besok pasti hamba akan sampai ke istana dengan menyamar sebagai kacungnya Kong Sin-she, seperti pesan Tuan Puteri."

"Baik."

Kemudian Helian Kong menatap Siangkoan Yan sambil berkata, "Adik Yan. sebaiknya kau juga."

Tapi Siangkoan Yan menggelengkan kepalanya keras-keras, dan menjawab dengan gaya berani pendekar rimba persilatan, “Mohon ketua Tiat-eng-bun jangan mamandang remeh murid-murid Kin-hian Tojin, atau terpaksa kami anggap sebagai penghinaan terhadap Bu-tong-pai!"

Helian Kong akhirnya hanya bisa nyengir di balik kedoknya menghadapi kekerasan tekad gadis itu. Puteri Tiang-ping dan kedua dayang kepercayaannya, kemudian menyelinap lenyap ke gelapnya malam, untuk kembali ke istana.

Sedangkan Helian Kong segera mengajak Siangkoan Yan dan Bu Sam-kui, “Mari!"

Ketiga orang itu merunduk mendekati arena pertempuran. Setelah cukup dekat, lalu Helian Kong tiba-tiba melompat seperti seekor macan tutul, menyergap prajurit-prajurit istana yang berjaga di sekitar gedung kediaman Ciu Kok-thio itu.

Dengan libasan sepasang tangan dan sepasang kakinya yang mantap, beberapa prajurit berhasil digebraknya roboh dalam satu detik. Bahkan kemudian Helian Kong berhasil merebut sebatang tombak untuk melawan, karena pedangnya ditinggalkannya di rumah.

Siangkoan Yan tidak mau kalah. Ia pun melompat dari sudut gelap, pedangnya gemerlapan dalam perak, "Liu-seng-kan-goat (bintang sapu mengejar rembulan) dan seorang penjaga berhasil dirobohkan. Menyusul sepasang kakinya bergerak lincah, menendang dengan Wan-yo-tui (tendangan bebek) khas Butong-pai yang kena selangkangan dua prajurit istana, sehingga kedua prajurit itu roboh menyeringai dengan sepasang telapak tangan mereka mendekap selangkangan masing-masing.

Ketangkasan Siangkoan Yan melibatkan rasa kagum Helian Kong yang diam-diam meliriknya. Helian Kong jadi teringat, betapa jauh bedanya gadis itu dengan Tan Wan-wan, kekasihnya yang direbut orang. Sama-sama cantik. Tapi Tan Wan-wan ibarat setangkai bunga jelita, betapapun cantiknya namun juga begitu lemah diguncang angin yang tanpa ampun. Angin nasib. Sedangkan Siang koan Yan seperti pejuang wanita dalam dongeng lama. Biasa memegang pedang dan berkelahi, berwatak pantang menyerah terhadap ancaman yang bagaimana pun.

Dan bagaimana dengan Puteri Tai-ping? Di dalam tubuhnya yang lemah ternyata juga ada kemauan keras, rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan kekaisaran dari keruntuhan. Bisa diumpamakan apa dia? Helian Kong masih merasa betapa lembutnya tadi tangan Puteri Kaisar itu memegangi lengannya biarpun tidak sengaja.

Sadar kalau dirinya sedang melantur tak karuan, Helian Kong tertawa sendiri. "Hem, lelaki tak tahu diri, di tengah arena mati hidup ini malahan memikirkan gadis-gadis cantik." ia memaki dirinya sendiri. Kemudian lebih dipusatkannya perhatiannya kepada pertempuran.

Yang belum terjun ke arena adalah Bu Sam-kui. Biarpun tangannya sudah menggenggam pedang, masih saja ia ragu-ragu di tempat sembunyinya. Ia masih sibuk dengan pergulatan pikirannya ikut bertempur atau tidak?

Sedang Helian Kong dan Siangkoan Yan sudah tak sempat lagi menperhatikan Bu Sam-kui. Mereka bertempur seperti sepasang elang di angkasa, kadang kadang sendiri-sendiri, kadang-kadang berpasangan dan bekerja sana melabrak dan mengkocar-kacirkan prajurit-prajurit begundal-begundal Co Hua-saun itu.

Siangkoan Yan yang selama ini diam-diam mencintai Helian Kong, kini dalam pertenpuran itu dia merasakan gembiranya dan bahagianya bertempur berdampingan dan bahu-menbahu dengan idaman hatinya. Karena itu ia jadi bersamangat, malahan ke lewat bersemangat sehingga tidak jarang ia melakukan tindakan gegabah yang membahayakan dirinya sendiri.

Karena itu tidak jarang ia malah merepotkan Helian Kong yang berkali-kali harus menyelamatkannya, atau setidak-tidaknya berteriak memberi peringatan. Harus diakui kalau ilmu pedang maupun ilmu tendangan gadis itu cukup lihai, cuma pengalamannya yang masih hijau, emosinya masih terlalu menguasai tiap geraknya.

Kali ini dua perasaan yang mestinya bertentangan, benci dan marah kepada Co Hua-sun. Campur bahagia dan gembira karena bertempur berdampingan dengan kekasihnya. Perasaan campuran maha aneh yang barangkali hanya dimiliki oleh gadis-gadis yang sedang mabuk asmara.

Kemunculan dua orang berkedok itu mengejutkan Co Hua-sun. Sekelompok prajurit Gi-cian Si-wi (pengawal Kaisar) segera melingkar dengan senjata terhunus di seputar Kaisar menjaga keselamatannya. Bahkan ada yang membujuk agar Kaisar segera masuk ke dalam saja.

Co Hua-sun bertambah murka melihat orang-orang yang menentangnya. Teriaknya melengking seperti suara perempuan, "Tumpas! Tumpas! Tumpas semua!"

Makin banyak prajurit istana yang terjun ke gelanggang. Bahkan Bu Sam-kui yang masih bersembunyi itu akhirnya terlibat juga oleh mereka.

“He, disini masih ada satu lagi orang berkedok!" teriak yang melihat Bu Sam-kui.

Apa boleh buat, Bu Sam-kui tidak punya lagi pilihan lain kecuali bertempur. Dalam pada itu. Meskipun Liong Tiau-hui sudah luka-luka arang kranjang, namun tetap melawan dengan gigih. Bahkan nekad karena putus asa, karena ia melihat Kaisar Cong-ceng sudah berjalan masuk ke dalam gedung. Berarti takkan ada lagi kesempatan bicara dengan Kaisar. Antara dirinya dan Kaisar terhalang puluhan ujung senjata yang berkilat-kilat siap merajangnya.

"Pemerintahan ini akan runtuh!" dalam kalapnya Liong Tiau-hui akhirnya berteriak keras-keras tanpa takut lagi. "Karena Kaisar tidak berwibawa dan hanya didikte oleh kawanan dorna! Kerajaan ini akan hancur!"

Kaisar Cong-ceng memucat wajahnya mendengar itu, namun ia terus melangkah ke pintu gedung dikawal orang-orangnya. Liong Tiau-hui yang terkurung musuh itu tidak dapat melihat kalau di bagian lain dari jalan itu sudah muncul tiga "orang berkedok" yang berusaha menyelamatkannya. Karena pandangannya terhalang oleh musuh-musuhnya itulah maka Liong Tiau-hui merasa sendirian, dan itu membuatnya makin nekad.

Helian Kong berusaha keras untuk mendekati Liong Tiau-hui-dengan menembus kepungan. Banyak lawan roboh, namun yang dihadapinya adalah prajurit-prajurit istana yang lebih tangguh dari prajurit-prajurit biasa. Maka alotnya Helian Kong dalam gerak majunya seperti kalau harus berenang di dalam adonan yang pekat.

Waktu itulah muncul perkembangan baru yang makin "memeriahkan" keadaan di situ. Dari ujung jalan yang lain, mendadak muncul puluhan sapi, kerbau, kuda atau keledai yang berlari-lari sambil mengamuk. Pantas kalau hewan-hewan itu mengamuk, sebab ekor mereka diikati sejumput rumput kering atau jerami yang dibakar. Jelas hewan-hewan itu berlari-lari melonjak-lonjak atau menyeruduk siapa saja. Dan karena jalanan itu sedang dipenuhi prajurit-prajurit istana, maka ya prajurit-prajurit itulah sasarannya.

Para prajurit itu kacau. Ada yang coba membunuh dengan senjata, tapi serangan yang kurang telak dan cuma melukai, malahan membuat "pasukan hewan" itu tambah beringas. Banyak prajurit kena serudukan kerbau atau tendangan kuda sehingga mati atau babak-belur, sedang hewan-hewan itu sendiri juga saling terjang sesamanya. Begitulah keadaan jadi tak keruan.

Setelah "pasukan Hewan" itu menimbulkan banyak kerugian, tiba-tiba dari arah munculnya tadi, kini muncul lagi sebuah gerobak reyot yang ditarik kerbau. Gerobak macam ini biasanya jalan pelan-pelan. Tapi yang ini mana bisa jalan perlahan, kalau pantat si kerbau sebentar-sebentar disundut dengan obor?

Sudah begitu, pada roda-roda gerobak itu dipasangi golok-golok tajam yang menghadap keluar diikat kuat pada jeruji-jeruji gerobak. Maka ketika roda berputar, golokpun ikut berputar. Alhasil gerobak maut inipun menimbulkan kerusakan hebat di antara prajurit prajurit istana.

Pengendali gerobak adalah seorang lelaki tegap berpakaian seperti orang desa yang sederhana, mukanya berkedok. Tangan kiri memegangi obor yang sebentar-sebentar diselamotkan ke pantat kerbau, sedangkan tangan kanannya memegang pedang yang dengan tangkas dimain kan dari atas gerobaknya untuk membabat roboh tiap prajurit yang terjangkau pedangnya.

Gerobak reyot itu berjalan pontang-panting dan melonjak-lonjak, tapi sepasang telapak kaki orang itu seakan melekat erat di lantai gerobak. Keseimbangannya terjaga dengan baik tidak terlempar, tidak sempoyongan, bahkan seperti mampu mengendalikan bobot agar gerobak itu tidak terbalik. Itulah hasil latihan kuda-kuda yang pasti tak didapat hanya dalam setahun dua tahun.

Namun penunggang gerobak bukan cuma dia seorang. Masih ada lelaki lainnya yang bertubuh kurus dan pendek, berkedok pula. Ia memegang cambuk kulit berpilin tiga yang panjangnya tiga meter lebih, diayun-ayunkan seperti seekor naga mengamuk. Tiap kali cambuk itu menyambar, tentu ada prajurit roboh tersabet. Selain itu, entah berapa banyak prajurit yang menjadi korban serudukan kerbau atau sapi, injakan kuda atau keledai, dan juga korban dari golok-golok yang berputar di roda gerobak itu.

Suasana di jalanan di depan gedung kediaman Ciu Kok-thio itu benar-benar kacau. Untung penduduk sipil sudah disingkirkan sejak tadi, kalau tidak tentu sudah banyak yang menjadi korban. Sementara prajurit-prajurit masih gigih berusaha mengatasi kekacauan, bahkan regu-regu lainnya juga didatangkan ke situ.

Helian Kong kini bisa melihat kedua penunggang gerobak itu. Melihat si kecil kurus yang mengayun-ayunkan cambuk Helian Kong jadi ingat seorang tokoh silat yang pernah bertempur dengannya. Itulah Oh Kui-hou. Pengikut Li Cu seng. Maka Helian Kong mulai menduga-duga, "Heran, berani benar pengikut-peng ikut Li Cu-seng ini muncul di ibukota negara."

Namun ia tidak sempat berpikir banyak. Bersama Siangkoan Yan dan Bu Sam kui ia masih harus menghadapi lawan yang begitu banyak. Lawan yang sama-sama prajurit kerajaan, namun berbeda kepentingan golongan masing-masing. Bahkan prajurit-prajurit yang terbunuh itu mungkin sekali tidak tahu urusan yang sebenarnya, tahunya cuna menjalankan perintah Co Hua-sun yang ambisinya selangit.

Karena kacaunya keadaan, mereka bahkan tak dapat melihat bagaimana keadaan Liong Tiau-hui yang akan mereka tolong. Kacau sekali. Sebab yang lari simpang-siur sekarang bukan cuma manusia, tetapi juga hewan-hewan yang meng ganas.

Saat itu Liong Tiau-hui sudah lemah karena luka-lukanya. Munculnya hewan-hewan beringas itu bukan berarti tambah menguntungkan baginya, malah tambah merepotkan. Sebab hewan-hewan itu tidak paham kawan atau lawan dan mereka menerjang siapa yang mereka lihat.

Beberapa kali Liong Tiau-hui berhasil menghindari hewan-hewan liar itu dengan langkah sempoyongan dan mata berkunang-kunang. Namun suatu saat seekor kerbau dengan buas memburunya, dan menyudutkannya ke sebuah tembok di pinggir jalan.

Seandainya Liong Tiau-hui berhasil membacok kerbau itupun, isi perutnya juga pasti akan berantakan kena sepasang tanduk yang runcing-runcing itu. Jadi si perwira San-hai-koan yang berani itu bakalan mati sampyuh hanya dengan seekor kerbau.

Namun hal itu belum terjadi, sebab detik itu juga Liong Tiau-hui tiba tiba merasa perutnya dibelit seperti tali yang kuat, lalu tubuhnya tersentak naik sehingga luput dari serudukan kerbau itu. Si kerbau hanya berhasil menyeruduk tembok yang tebal itu sehingga puyeng sendiri.

Yang menyelamatkan Liong Tiau-hui adalah si kurus pendek berkedok yang di atas gerobak itu. Sementara cambuknya berhasil membelit dan melambungkan tubuh Liong Tian-hui ,dia juga telah melayangkan tubuhnya dan hinggap di atas sebuah tembok tinggi di pinggir jalan.

Terhadap tubuh Liong Tiau-hui yang masih terbelit di ujung cambuk panjangnya, dia sentakkan kuat-kuat sehingga tubuh Liong Tiau-hui tergulung mendekat seringan sebuah mainan yoyo saja. Terus ditangkap dengan tangannya yang lain, lalu dijinjing dan dibawa kabur secepat kilat.

Si kusir gerobak juga tangkas melompat meninggalkan gerobaknya yang jalannya semakin tidak karuan. Diapun kabur menyusul kawannya. Sebelum pergi, ia melemparkan dulu obornya kepada gerobaknya. Begitu kena api gerobak itu meledak hebat. Langsung berubah menjadi kepingan-kepingan kayu berapi dan "Kembang api" yang muncrat ke segala arah.

Ternyata rongga-rongga di antara kayu-kayu gerobak itu dijejali bahan-bahan mudah terbakar seperti belerang, bubuk pembuat petasan, serbuk sendawa dan sebagainya. Gerobak yang menyala itupun menabrak kian kemari. Demikianlah, jalanan yang semula hanya diterangi lampion-lampion yang bergantungan di depan rumah Cio Kok-thio, sekarang terang-benderang dan hiruk-pikuk tak karuan.

Dalam suasana kacau itulah Helian Kong bersama Siangkoan Yan dan Bu Sam-kui meninggalkan arena dengan menyusup ke sebuah gang yang gelap dan berliku-liku di antara rumah-rumah penduduk sekitar tempat itu.

Bu Sam-kui larinya terpisah dari Helian Kong maupun Siangkoan Yan. Ia mendapat luka. Sambil mendekap pundaknya yang mengucurkan darah dengan telapak kirinya, ia melangkah di lorong yang entah di mana ujungnya. Pedangnya tak pernah lepas dari genggaman tangan kanannya. Untunglah para prajurit lebih mengutamakan menjaga keselamatan Kaisar serta Co Hua-sun dari pada memburu "para pengacau" itu.

"Keparat, semua ini gara-gara Liong Tiau-hui yang kurang pikir dan Helian Kong yang sok setia kawan." Ia mengutuk pelan. Pandangan matanya makin kabur, benda apapun yang dilihatnya nampak hanya campuran warna kuning dan hijau campur kabut putih yang berputar putar tak keruan arah. Itulah tanda-tanda kekurangan darah.

Ia menyandarkan tubuh ke sebuah tembok, terengah-engah memperbaiki napasnya. Mulutnya megap-megap mencari udara, biarpun udara di lorong itu sarat dengan bau air kencing para gelandangan.

"Kalau darahku tidak segera berhenti mengalir, aku akan mampus sebelum pagi." gumamnya sendiri.

Sadar bahwa ia tak mungkin terus-terusan berhenti di situ, Bu Sam-kui menguatkan langkah untuk maju lagi. Pedangnya dijadikannya tongkat untuk membantunya berjalan. Tapi pandangannya makin kabur, matanya berkunang-kunang, akhirnya dia roboh pingsan. Tempat robohnya adalah tepi sebidang tanah kosong berpagar kayu rendah.

Tanah itu ditanami macam-macam sayuran dan buah- buahan, di tengah-tengahnya ada sumur dengan tiang timba di atasnya. Biarpun dalam kegelapan, namun Bu Sam-kui masih melihatnya sebelum pingsan. Ke sumur itulah sebenarnya Bu Sam-kui mengarahkan langkah, namun tidak kuat lagi dan cuma sampai ke pagar.

Bagaimanapun itu lebih baik dari pada sampai ke sumur dalam keadaan begitu lemah. sehingta bisa terjerumus dan mati tenggelam. Tak lama kemudian, seorang lelaki berpakaian bujang muncul dari sebuah pintu kecil di tembok. Petak rumah itu rupanya terletak di bagian belakang sebuah rumah besar, sementara di bagian dalam rumah itu sayup-sayup kedengaran suara musik pesta.

Tengah orang itu melangkah hati-hati dalam kegelapan, tiba-tiba Bu Sam-kui mengerang, sehingga orang itu kaget. Hampir saja ia lari terbirit-birit karena mengira mendengar suara hantu. Namun setelah melihat dan yakin bahwa yang bersuara itu adalah seorang manusia pula seperti dirinya, ia jadi berani. Ia dekati tubuh Bu Sam-kui dan berjongkok di sebelahnya untuk maneriksa.

Lalu ia bangkit dan menghilang ke pintu kecil di tembok tinggi itu, namun kemudian keluar kembali dengan mengajak temannya. Ditarik-tariknya tangan temannya itu untuk diajak melihat tubuh Bu Sam-kui.

"Nah, benar tidak kata-kataku...?" katanya. "Orang ini membawa pedang dan terluka. Dia pasti adalah salah satu dari orang yang bertempur di jalanan di depan rumah tadi."

"Celaka... orang ini pengacau, sedangkan Kaisar dan beberapa pembesar lainnya sedang menjadi tamu di tempat kita, bagaimana baiknya sekarang?"

"Bagiku, langkah pertama yang jelas ialah tidak membiarkan orang ini mati karena luka-lukanya."

"Terus bagaimana?"

"Kalau kita laporkan Cu-jin (Majikan) saja"

"Hus! Cu-jin sedang menjamu tamu-tamu agung di ruang depan, mana mungkin sempat mengurusi seorang terluka yang tidak dikenal?"

"Bagaimana kalau Toa Hujin (nyonya besar)?"

"Tubuhnya sering tidak sehat belakangan ini."

"Bagaimana kalau... penari cantik itu?"

"Lebih tidak mungkin. Punya kekuasaan apa dia di rumah ini sehingga kita harus minta ijinnya? Lagi pula menurut acara yang sudah disusun, sebentar lagi dia harus menari di hadapan Kaisar."

"Bukan soal kedudukan, tapi harus ada yang mempertanggung jawabkan tindakan kita ini seandainya ada pihak yang tidak setuju, apa kita berani bertanggung jawab sendiri? Minta dituduh melindungi seorang pengacau? Nyidam tajamnya golok algojo menimpa tengkuk kita?"

"Kalau ingin menolong saja begitu berbahaya resikonya, lebih baik kita biarkan saja orang ini. Kita cuci tangan bersih-bersih."

Bujang-bujang itu kebingungan. Dalam hati mereka terjadi pertentangan antara keinginan untuk menolong, dengan ketakutan jangan- jangan tindakan mereka itu akan mendatangkan bencana dari pihak penguasa. Maklum, mereka orang-orang kecil yang dalam urusan apa pun selalu menempati kedudukan yang lebih lemah.

Sementara itu, kembali Bu Sam-kui mengerang kesakitan dengan mata tetap terpejam rapat. Akhirnya si bujang tua yang tadi pertama kali menemukan Bu Sam-kui, bertekad menolong karena tidak sampai hati. Katanya, "Sudah, biar aku yang tanggung jawab. Kalau ada yang tidak berkenan lalu kepalaku harus dipenggal, aku rela. Toh aku sudah tua, sisa umurku tidak banyak lagi. Buat apa sisa umur disayang-sayang dengan mengorbankan hati nuraniku?”

"Jadi?"

''Bantu aku menggotong dia kepondokku. Setelah itu jangan bilang siapa siapa."

"Baik. Ayolah."

Begitulah mereka berdua menggotong tubuh Bu Sam-kui ke pondok bujang tua bernama A-hok itu. Pondoknya terletak di pojok kebun itu, tidak jauh letaknya dari sumur. Dalam pondok itu hanya diterangi sebuah lilin besar perabotannya sederhana. Dan A-hok rela menyerahkan tempat tidur yang hanya satu-satunya di tempat itu untuk ditempati si terluka.

Setelah itu sibuklah ia membukai baju Bu Sam-kui. membersihkan luka, membubuhkan obat, membalut dan sebagainya. Semuanya dilakukan sendiri dengan sepasang tangannya yang kurus dan berkulit keriput.

Sementara itu, keadaan di depan gedung kediaman Ciu Kok-thio telah tenang. Para prajurit berhasil mengatasi keributan. Korban diantara para prajurit memang puluhan orang, tewas atau terluka, namun keadaan berhasil ditenangkan kembali.

Terjadinya keributan itu segera dijadikan alasan oleh Co Hua-sun. "Tuanku, peristiwa ini menandakan kalau keadaan kurang aman di Pak-khia, pengikut-pengikut Li Cu-seng rupanya sudah berani menyusup dan mengacau di sini. Tidakkah lebih baik Tuanku kembali saja ke istana?"

Sejak semula memang Co Hua-sun tidak suka pesta yang diselenggarakan Ciu Kok-thio ini. Ia tahu Ciu Kok-thio hendak menandingi "Bi-jin-ke"nya dengan tipu yang sama, tipu yang efektif mengenai kelemahan pribadi Kaisar Cong ceng dalam urusan perampuan. Selama ini Co Hua-sun berhasil memperbodoh Kaisar dengan menggunakan kecantikan Tiau Kui-hui.

Dan kini Ciu Kok-thio berusaha memecah perhatian Kaisar dari Tiau Kui-hui dengan menyediakan perempuan yang lebih muda dan lebih cantik. Co Hua-sun sudah mendengar desas-desus, konon perempuan itu adalah seorang penari dari Soh-ciu, kota asal Ciu Kok thio dan Ciu Thai-hou, Co Hua-sun tidak suka itu.

Co Hua-sun belum tahu apakah motif Ciu Kok-thio dengan tindakannya itu. Mungkin sebagai seorang ayah, Ciu Kok-thio tidak rela kalau anaknya yang tadinya menjadi "wanita pertama" disisi Kaisar, sebagai permaisuri, kini di buang begitu saja karena Kaisar dikuasai oleh Tiau Kui-hui.

Namun melihat betapa Ciu Kok-thio berhubungan akrab dengan pembesar-pembesar "bandel" semacam Siangkoan Hi dan lain-lainnya. Co Hua-sun cemas dibalik rencana itu ada maksud lain yang entah apa. mungkin untuk menyingkirkan Co Hua-sun pelan-pelan.

Maka bagi Co Hua-sun, yang paling aman ialah kalau Kaisar hidung belang itu tidak usah sampai melihat "umpan" yang disediakan oleh riu Kok-thio. maklum, biarpun sudah setengah abad, Kaisar kalau nelihat "daun muda" terus saja mendadak "muda kembali” Itulah kelemahan yang bisa dimanfaatkan oleh pihak mana saja "untuk berbagai keperluan.”

Begitu juga saat itu, meskipun Co Hua-sun sudah menganjurkan untuk pulang saja ke istana, namun Kaisar sudah terlanjur "bersemangat" dan tidak mau dicegah. Katanya, "Kong-kong, bukankah keamanan di seluruh wilayah kekaisaran selalu mantap, kuat, terkendali, bukankah begitu yang sering Kong-kong laporkan kepadaku? Kenapa sekarang kau bilang lain? Nah, omonganmu mana yang benar?"

Keruan Co Hua-sun terpengarah dan salah tingkah beberapa kejap. Memang selama ini ia terus mencekoki Kaisar dengan rasa tenteram palsu tentang wilayah kekaisarannya .untuk menutupi ke adaan sebenarnya yang semrawut dan ber golak. Kini tiba-tiba Kaisar mempertentangkan omongannya sendiri, keruan Co Hua-sun jadi serba salah.

"Tuanku,... hamba maksudkan..... apakah perjamuan ini cukup penting untuk dihadiri sendiri oleh Tuanku? Bukankah di istana sendiri sudah cukup berlimpah dengan apa saja yang Tuanku perlukan?"

Waktu itulah Ciu Kok-thio maju dan berkata, "Co Kong-kong, perjamuan ini kuselenggarakan untuk menghormati Sri Baginda, tidak ada maksud lain. Jangan berprasangka yang bukan-bukan."

"Ha, dengan kata-kata Kok-thio itu justru menunjukkan kalau kau punya maksud terselubung di balik ini!" dengus Co Hua-sun.

"Co Kong-kong, kau menafsirkan ucapanku semaumu sendiri, penuh kecurigaan yang kau tularkan kepada Sri Baginda. Kau benar-benar."

"Sudah!" Kaisar tiba-tiba menengahi. "Aku kemari bukan untuk disuguhi pertengkaran! Pokoknya aku harus menghadiri perjamuan ini!"

Mendengar itu Ciu Kbk-thio tersenyum penuh kemenangan, sedang wajah Co Hua-sun jadi masam, namun tidak berani berbantahan lagi. Menang tidak tercegah lagi kemauan Kaisar itu. Ia ingin melihat si penari Soh-ciu yang kecantikannya konon menggemparkan itu.

Maka dengan diiringi Ciu Kok-thio. Co Hua-sun, Siangkoan Hi dan lain-lain pembesar, Kaisar pun memasuki ruangan perjamuan. Di bagian luar gedung memang terkesan pengamanan yang ketat, maka di bagian dalam justru diusahakan berkesan indah dan santai. Dihias indah, digelari permadani, terang benderang oleh ratusan lentera lampion besar, bagian tengah ruangan dikosongkan untuk pertunjukan tari nanti.

Semuanya serba indah, serba mewah, membuat. orang lupa kalau masih berpijak di bumi, rasanya sudah terbang di langit lapisan ke tujuh. Bahkan bisa membuai lupa kalau di luar sana pembersihan mayat-mayat belum selesai. Tapi pesta ya pesta, yang luar ya biar di luar.

Namun bukan berarti di tempat ini tak ada pengamanan. Justru pengawal-pengawal Kaisar yang terbaik ditempatkan di sini, disebarkan, hanya saja tidak menyolok agar tidak mengganggu suasana santai. Pengawal-pengawal itu tidak berseragam sambil "sikep gaman" tapi memakai jubah pesta yang beraneka warna dan bertingkah laku tak ubahnya tamu-tamu lainnya.

Semua berlutut menyambut kehadiran Kaisar di ruangan itu. sampai Kaisar duduk dan memerintahkan semuanya bangkit dari berlututnva dan duduk di tempat masing-masing. Pestapun dimulai. Dengan diapit oleh Co Hua-sun yang cemberut dan Ciu Kok-thio yang berseri-seri, Kaisar Cong-ceng mulai menikmati hidangan-hidangan yang terse dia, sementara musik yang merdu mengalun dengan lembut. Mata, lidah, hidung dan kuping dimanjakan sekaligus.

Baik hidangan maupun araknya adalah kualitas nomor satu, senua baru sekedar "pembukaan" dalam usaha untuk membuat Kaisar larut dalam suasana pesta. Untuk semua itu, Ciu Kok-thio tidak menghitung lagi biaya yang harus dikeluarkannya.

Kemudian suara musik berirama lebih lincah, serombongan gadis penari berbaris keluar satu-satu dari pintu samping. Pakaian indah berkibar dan menyebarkan bau harum, langkah mereka gemulai mempesona. Semuanya penari pilihan. Baik wajah, bentuk tubuh maupun keahlian tari mereka. Soal inipun Ciu Kak-thio tidak mau ambil yang nomor dua, melainkan yang nomor wahid.

Disertai decak kagun semua hadirin kecuali Co Hua-sun, para penari dengan gerakan mempesona menghormat Kaisar. Kaisar tersenyum sambil mengusap-usap jenggotnya, begitu terpesona sampai cawan araknya hanya dipegangi saja dan belum juga diminum.

Co Hua-sun diam-diam melirik Kaisar dan geleng-geleng karena jengkelnya. Pikirnya, "Kentara sekali si bangsat she Ciu itu sudah menyiapkan acara ini dalam waktu lama, dengan amat seksama."

Musikpun meningkat, dan enambelas penari itupun mulai beraksi. Mereka semua memegang kipas bulu berwarna cerah dan menyuguhkan tarian yang mempesona. Gerak kaki dan pinggang mereka selemas tangkai teratai yang mengapung diair kolam, kibaran pakaian mereka kadang seperti mega berarak dan kadang seperti ribuan kupu-kupu yang terbang serempak, bau harum yang tersebar memabukkan seperti bau taman bunga dewa-dewi menurut dongeng.

Mereka membuat gerakan-gerakan perorangan maupun berkelompok yang indah. Seperti air bergelombang, atau seperti kembang rasaksa yang mekar lalu berhamburan pecah seperti ribuan kupu-kupu.

Kaisar benar-benar mulai merasa terangkat ke langit. Sedang wajah Co Hua-sun tetap seperti orang sakit gigi tiga biji sekaligus. Sedangkan Ciu Kok-thio puas melihat Kaisar terpesona. Padahal penari dari Soh-ciu yang menggemparkan itu belum keluar.

Tapi setelah merasa waktunya tiba, Ciu Kok-thio memberi isyarat kepada seorang pegawainya yang berdiri di belakang kursinya, Orang itu memahami isyaratnya dan segera berlalu. Itu tandanya bahwa si penari Soh-ciu harus tampil untuk merebut sukma Kaisar.

Kelonpok pemain musik juga sudah mendapat isyarat. Musikpun tiba-tiba melembut suaranya. Dencingan Khim hanya seperti air gemercik di bebatuan, seruling mendesau seperti hembusan angin sepoi. Tirai pintu samping tersibak dan muncullah penari dari Soh-ciu itu....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.