Kecantikan istri Adipati Wukir Kamenda yang baru dipersunting beberapa bulan yang lalu banyak dibicarakan orang. Bukan saja dari kalangan Istana, tapi juga sampai ke desa-desa. Terutama disekitar Kadipaten.
Dewi Banondari, demikianlah nama wanita yang cantik rupawan itu. Sebenarnya Banondari adalah puteri seorang Empu atau pembuat keris dari sebuah desa terpencil dikaki gunung. Bagaimana perkenalannya sampai Adipati Wukir Kamenda bisa mempersunting dara yang cantik rupawan itu? Ternyata tidak terlalu berliku-liku.
Pada suatu hari sang Adipati menemukan sebongkah besi dilereng sebuah bukit ketika dalam perjalanan menuju Mataram. Bongkahan besi itu di simpannya. Sekembali dari Mataram dia merenung dalam kamar menimang-nimang besi itu. Terbetik dalam benaknya untuk membuat besi itu menjadi sebilah keris.
Keinginan itu disampaikan pada seorang bawa-hannya, yaitu Tumenggung Kandilangu. Secara kebetulan Tumenggung Kandilangu mengenal seorang Empu yang berdiam di sebuah desa terpencil dikaki gunung di wilayah timur Kota Raja. Maka diajaknya Adipati Wukir Kamenda ke tempat sahabatnya itu.
Kandilangu adalah seorang laki-laki yang sudah cukup usia. Laki-laki itu berusia sekitar 40 tahun lebih. Adipati Wukir Kamenda justru masih sangat muda dibanding usianya, karena sang Adipati baru berusia sekitar 20 tahun. Akan tetapi kemudian usia itu tidaklah menjadi penghalang buat seseorang untuk menjabat pangkat Adipati. Apalagi pemuda itu masih keponakan Patih Gajah Rono.
Tumenggung Kandilangu sendiri tak menyangka kalau sahabatnya Empu Tanuboyo mempunyai seorang anak gadis yang sudah remaja. Bahkan berparas cantik rupawan. Demikianlah. Kunjungan yang secara tak terduga itu telah membuat hati Adipati Wukir Kamenda terpikat dengan kecantikan Banondari.
Keris belum lagi selesai dibuat, sang Adipati langsung melamar gadis itu. Tak dapat dikatakan terkejutnya Empu Tanuboyo. Sukar baginya untuk menolak pinangan itu. Walaupun sebenarnya Banondari belum berhasrat untuk menikah, tapi atas desakan ayahnya terpaksa dia menerima pinangan Adipati Wukir Kamenda.
Pernikahan diadakan secara sederhana sekali. Karena memang permintaan Empu Tanuboyo. Beberapa hari kemudian Banondari diboyong ke Kadipaten. Demikianlah, hingga sudah beberapa pekan ini gadis gunung yang cantik rupawan itu telah menjadi istri Adipati Wukir Kamenda...
Tampaknya sepasang pengantin baru itu amat berbahagia. Terutama sekali adalah sang Adipati. Wajahnya selalu cerah berseri-seri. Demikian juga dengan Banondari sang gadis desa anak Empu Tanuboyo itu.
Kini nama si jelita yang cantik rupawan itu telah bertambah dengan sebutan Dewi Banondari. Semakin jelita dan anggun saja gadis yang sudah menjadi istri Adipati itu.
Sekilas orang akan menyangka Dewi Banondari sangat berbahagia. Betapa tidak? Suaminya seorang abdi Kerajaan dan orang dari kalangan Istana. Kini dia bukan orang biasa lagi, tapi orang yang termasuk golongan Ningrat. Berbeda dengan rakyat biasa.
Akan tetapi dibalik kebahagiaan itu ternyata terselip sesuatu yang mengganjal perasaan gadis itu. Perasaan itu hanya dia yang mengetahui. Dia memang tak menunjukkan kemurungan wajahnya dihadapan sang Adipati. Akan tetapi bila dia sedang sendirian didalam kamar, tampak dia termangu-mangu dengan wajah murung. Kebahagiaan itu terasa lenyap dan dia semakin dicekam perasaan hatinya.
Apakah yang menjadi keresahan sang Dewi Banondari? Ternyata dipelupuk mata gadis ini selalu terbayang wajah seorang pemuda bernama Sucitro. Pemuda itu adalah seorang pekerja yang sehari-hari membantu ayahnya. Empu Tanuboyo memang banyak menerima pesanan membuat alat-alat atau senjata apa saja.
Sucitro seorang pemuda pendiam. Sudah sejak berusia lima belas tahun dia tinggal bersama ayahnya. Tentu saja selama itu Banondari sedikit banyak mengetahui riwayat hidup pemuda itu. Dia seorang yatim piatu. Tutur bahasanya yang baik dan sikapnya yang sopan, serta perawakannya yang kekar membuat Empu Tanuboyo tertarik pada Sucitro.
Empu Tanuboyo memang memerlukan seorang pembantu untuk menempa besi-besi. Pekerjaan itu memakan tenaga besar. Bahkan sebulan sekali dia harus mengantarkan barang pesanan ke kota-kota yang cukup jauh.
Untuk itulah maka Empu Tanuboyo merasa kebetulan sekali bertemu dengan pemuda tanggung itu yang pada waktu itu masih berusia sekitar lima belas tahun. Dia merasa Sucitro orang yang sengaja dipertemukan Tuhan untuk menjadi pembantunya.
Maka sejak itu Sucitro tinggal bersama Empu Tanuboyo, dan orang tua itu menganggapnya sebagai anak sendiri. Hampir lima tahun mereka hidup seperti sebuah keluarga saja. Banondari telah menganggap Sucitro sebagai kakak kandung sendiri.
Akan tetapi walau bagaimanapun akhirnya Banondari dapat mengetahui kalau Sucitro menaruh cinta padanya. Walau Sucitro tak pernah mengatakannya secara terus terang. Tapi dari pandangan mata pemuda itu, Banondari dapat mengetahui.
Banondari sendiri belum dapat mengetahui apakah dia juga mencintai Sucitro. Karena bagi seorang gadis yang sehari-hari berdiam di rumah seperti dia tidak banyak pergaulan. Apalagi tempat tinggal mereka dilereng pegunungan yang sunyi.
Ketika pondok mereka kedatangan tetamu dari Kadipaten, yaitu Tumenggung Kandilangu dan Adipati Wukir Kamenda, semakin jelas kelihatan Sucitro menghindar. Bahkan ketika hari perkawinannya dengan Adipati Wukir Kamenda, Sucitro menghilang entah kemana.
Hal itulah yang membuat Dewi Banondari selalu resah. Semakin jelas kalau Sucitro diam-diam mencintainya. Dan semakin sukar bagi gadis ini untuk melupakan pemuda itu. Bisakah dia berbahagia diatas penderitaan orang lain? Mengapa dia tak dapat melupakannya? Bukankah dia sendiri belum bisa mengatakan kalau dia mencintai pemuda itu?
Dewi Banondari bergelut dengan bermacam pertanyaan dibenaknya. Dibukanya tirai jendela kamar. Pandangannya menatap jauh menembus keluar tembok tebal gedung Kadipaten. Hatinya mendadak menjadi sunyi.
"Sucitro...! Ah, kasihan kau..." berkata pelahan Dewi Banondari. Dan setitik air bening tersembul dari sudut kelopak matanya.
Tapi cepat-cepat Dewi Banondari menghapusnya. Lalu merapikan rambut, dan menghilangkan bekas-bekas air mata diwajahnya. Dia khawatir kalau sampai hal itu diketahui suaminya. Bagaimana kalau Adipati Wukir Kamenda mengetahui dia bersusah hati? Tentu akan mempertanyakan sebabnya.
"Aku kini telah jadi istri seorang Adipati. Aku harus melupakan Sucitro! Bukankah aku harus menjadi seorang istri yang baik...? Dan aku gembira karena telah berbakti pada orang tua dan menuruti kehendaknya!" berkata dalam hati wanita muda ini.
Kemanakah gerangan pemuda bernama Sucitro itu? Beberapa hari sebelum Banondari diboyong ke Kadipaten, Sucitro memang telah meninggalkan lereng pegunungan sunyi tempat tinggalnya selama ini. Dan entah telah berapa hari dia duduk dilereng tebing dipuncak bukit. Matanya menatap jauh ke arah cakrawala dengan pandangan kosong. Pernikahan Banondari dengan Adipati Wukir Kamenda telah membuat dia putus harapan. Hatinya hancur berkeping-keping.
Ternyata Sucitro diam-diam telah mencintai gadis anak Empu Tanuboyo itu. Dia telah berniat tidak akan kembali lagi ke tempat itu. Akan tetapi hal itu dirasakan seperti mengganggu jalan pikirannya. Perbuatan semacam itu sangat tidak terpuji. Dia banyak berhutang budi pada Empu Tanuboyo yang telah merawat dan memeliharanya dan menjadi tempat bernaungnya selama ini.
Patutkah dia pergi begitu saja tanpa mohon diri? Perbuatan semacam itu seperti perbuatan pengecut, pada pikirannya. Apalagi dia telah meninggalkan pekerjaan yang belum terselesaikan. Yaitu membuat keris pesanan Adipati Wukir Kamenda.
Walaupun pada kenyataan Adipati itulah yang telah menghancurkan harapan dan cita-citanya, tapi kewajiban tetaplah kewajiban. Dan dia telah dipercayakan oleh Empu Tanuboyo untuk menyelesaikan keris itu. Sucitro menghela napas panjang seperti melepaskan beban berat yang menindih dadanya.
Walau dia telah mengambil keputusan untuk kembali pulang, tapi dia masih tak beranjak dari duduknya. Tak lama dia bangkit berdiri. Wajahnya mencerminkan kepastian yang telah bulat.
"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, tak perduli keris itu untuk siapa. Selanjutnya aku akan mohon diri...! Dunia ini teramat luas. Apakah aku akan selamanya mendekam dilereng gunung ini tanpa ada pengalaman apa-apa selain menempa besi?" kata Sucitro dalam hati. Dalam kelengangan yang mencekam dipuncak bukit itu, mendadak Sucitro seperti mendengar suara berbisik ditelinganya.
"Bagus, Sucitro! Selesaikanlah pekerjaanmu! Tahukah kau bahwa besi yang kau tempa itu kelak akan menjadi sebuah keris pusaka yang ampuh dan tak ada tandingannya! Milikilah keris itu, dan kelak tak akan ada seorangpun yang berani menghinamu!"
Suara aneh itu mendadak lenyap. Tiba-tiba cuaca kelihatan memburuk. Angin keras bertiup. Langit mendadak menjadi gelap. Kilatan-kilatan petir membe-lah langit. Sucitro terkejut melihat kejadian aneh itu. Wajahnya pucat pias. Jantungnya berdegup kencang dan hatinya berdebar-debar.
Akan tetapi kejadian itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian cuaca kembali cerah. Awan hitam seperti lenyap tak berbekas. Angin pun berhenti bertiup. Sucitro terpaku memandang sekitarnya.
"Aneh! benar-benar aneh! Apakah sebenarnya yang terjadi?" berkata Sucitro dalam hati. "Siapa pula orang yang membisiki di telingaku?" bertanya Sucitro dalam hati. Tapi tak lama dia segera berlari menuruni puncak bukit. Rasa takut masih nampak membayang pada wajahnya. Kejadian seperti itu baru dialami selama hidupnya. Tapi diam-diam dia mengingat-ingat kata-kata yang membisik ditelinganya.
"Besi yang kau tempa itu kelak akan menjadi sebuah keris pusaka yang ampuh dan tak ada tandin-gannya! Milikilah keris itu! Dan kelak tak ada seorang-pun yang berani menghinamu!"
Sucitro mengulang-ulang kata-kata aneh itu dalam hati. "Aku tak perduli suara siapakah itu! Akan tetapi akan kulihat buktinya. Sekarang aku harus segera kembali pulang ke pondok paman Empu Tanuboyo. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku...!"
Ketika pemuda itu sampai dipondok Empu Ta-nuboyo, didapati laki-laki tua tengah duduk termangu-mangu dihalaman depan. Melihat kemunculan pemuda itu tentu saja membuat dia terkejut dan tersentak kaget. Tapi seketika wajahnya berubah girang.
"Sucitro...! Ah, kemana saja kau? Haih! sukurlah kau datang kembali!" kata Empu Tanuboyo seraya bangkit berdiri.
"Paman tak usah mengkhawatirkan aku. Masakan aku mau meninggalkan kau seorang diri setelah tak ada Banondari?" sahut Sucitro tertawa.
"Tapi... kau pergi kemana? Mengapa sampai berhari-hari? Dan... kau tak menghadiri hari pernikahan adikmu Banondari." tukas Empu Tanuboyo.
"Maafkan aku, paman. Aku tak mau mengganggu kebahagiaan kalian..." Sucitro menyahut pendek. Lalu cepat-cepat melanjutkan kata-katanya. "Oh, ya! paman aku hampir melupakan pekerjaanku. Apakah keris pesanan itu sudah selesai?"
"Aku belum sempat melanjutkan pekerjaan itu, Citro. Dan lagi aku masih lelah..."
"Biarlah aku yang mengerjakannya, paman. Kukira dalam sepekan ini keris itu akan selesai berikut gagang dan sarungnya!"
Empu Tanuboyo tersenyum dan mengangguk. "Jangan terlalu memaksakan diri, Citro...! Bukankah si pemesan itu sudah menjadi menantuku sendiri"
"Hm, benar katamu, paman. Tapi aku ingin agar keris itu cepat selesai. Bukankah kita bisa mengerjakan yang lainnya? Dan... bila telah selesai biarlah aku yang mengantarnya ke Kota Raja. Sekalian aku mengucapkan selamat pada sepasang pengantin baru...!" sahut Sucitro dengan nada suara seperti sungguh-sungguh.
"Bagus, kalau begitu! Aku setuju sekali, Citro. Kau memang tak mengecewakanku...!" ujar Empu Tanuboyo dengan wajah cerah.
Pemuda itu tak menunggu sampai terlalu lama lagi, segera balikkan tubuh dan melangkah cepat ke arah belakang pondok tempat bekerja mereka. Laki-laki tua ini menatap punggung Sucitro hingga lenyap disamping rumah.
"Sungguh sayang, Citro...! Aku tahu isi hatimu. Tapi... aku tak dapat menolak pinangan Adipati Wukir Kamenda, karena aku tahu setiap keinginan seorang Adipati sukar untuk dibantah..."
Empu Tanuboyo berkata sendiri dengan suara pelahan. Dan menarik napas panjang. Kemudian me-langkah masuk ke dalam pondok.
Sucitro bekerja siang malam seperti tiada hentinya. Suara ketukan palu berkumandang dilereng pegunungan yang sunyi itu. Empu Tanuboyo cuma bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat pemuda itu. Dia tahu Sucitro berhati keras. Tekadnya untuk menyelesaikan keris pesanan Adipati Wukir Kamenda dalam waktu satu pekan membuat pemuda itu harus bekerja keras tanpa kenal waktu dan lelah.
Ternyata apa yang dikehendaki itu memang benar-benar terbukti. Sepekan kemudian selesailah pembuatan keris itu. Sebuah keris berlekuk tujuh memancarkan sinar hitam kebiru-biruan dengan gagang terbuat dari kayu jati berukir kepala harimau dan sebuah sarung keris yang indah baru saja selesai dibuat.
Sucitro terpaku beberapa saat menatap benda yang baru diselesaikan itu. Wajahnya tak menampilkan ekspresi. Entah puas, entah kurang puas ataukah bergirang hati. Yang jelas dalam benak pemuda itu berkecamuk bermacam pikiran. Apakah yang akan dilakukannya dengan keris yang sudah selesai itu?
Benarkah seperti kata-kata ghaib itu, bahwa benda itu akan menjadi sebuah keris pusaka tiada bandingannya? Kalau ternyata tidak, apakah dia akan tetap mengantarkannya ke Kota Raja, kepada Adipati Wukir Kamenda yang telah menghancurkan harapannya itu?
Ketegangan mulai menyelinap didiri Sucitro. Pada saat itulah tiba-tiba muncul Empu Tanuboyo memasuki ruangan kerjanya. Selama sepekan laki-laki tua itu tak berani mengganggu Sucitro. Tapi hari itu Empu Tanuboyo baru berani memasuki, karena ingin melihat hasilnya.
Tentu saja sepasang mata laki-laki itu jadi membelalak takjub melihat sebuah keris yang amat bagus telah tergeletak diatas meja dihadapan pemuda itu. Lengkap dengan sarungnya.
"Hebat, kamu mampu menyelesaikannya dalam waktu sesingkat itu? Kau benar-benar hebat, Citro, kau pantas menjadi seorang Empu yang kelak menggantikan aku..."
"Ah, paman terlalu berlebihan. Terpaksa aku menganggap pekerjaanku selesai, karena aku harus menepati janjiku. Tempaannya masih kurang halus, paman. Sebenarnya masih memakan waktu beberapa hari lagi..." sahut Sucitro dengan wajah bersemu merah.
"Tidak, ini sudah cukup. Dan lebih dari cukup!" tukas Empu Tanuboyo setelah memeriksanya. "Ini sudah cukup sempurna! Aku tidak main-main, Citro. Kukira walau aku bekerja siang malam sepertimu, tak mampu aku menyelesaikan pembuatan keris sebagus ini dalam waktu singkat. Apalagi dengan gagang dan sarungnya...!"
"Ah, paman..., kau..."
"Haha... dari dulu aku sudah tahu sifatmu, kau selalu tak ingin dipuji. Tapi pujianku ini bukan main-main, Citro...!" Empu Tanuboyo menepuk-nepuk pundak anak muda itu.
"Tak apalah, Citro! Sebenarnya yang lebih kukagumi pada dirimu adalah... tekadmu! Dan tekad itu telah kau wujudkan dengan bekerja sungguh-sungguh. Tanpa kesungguhan hati dan tekad yang membaja, kukira apa yang kau harapkan itu tak akan terbukti!"
Sucitro hanya menundukkan kepala mendengar kata-kata Empu Tanuboyo.
"Nah, kapankah kau akan mengantarkan keris pesanan ini ke Kadipaten?" tanya Empu Tanuboyo.
"Sebaiknya sekarang juga, paman...." sahut Sucitro.
"Apakah tak sebaiknya besok saja? Kau masih lelah dan perlu istirahat" berkata Empu Tanuboyo.
"Tidak, paman. Kukira lebih baik hari ini saja. Bukankah lebih cepat selesai urusan ini lebih baik? Besok sore aku sudah kembali, dan malamnya aku bisa tidur dengan hati lega" Sucitro memasukkan keris itu ke dalam serangka dan menggenggamnya.
"Baiklah, kalau begitu. Hm, tunggu dulu, Citro! Aku akan mengambil kain pembungkus yang telah kusiapkan. Dan aku akan titip surat buat Banondari...!" Laki-laki tua itu melangkah keluar dari ruangan itu dan memasuki pintu pondok. Sementara Sucitro melangkah keluar dan berdiri menunggu.
"Apakah yang akan kulakukan? Apakah aku harus menyerahkan keris ini ke Kadipaten?" bertanya-tanya Sucitro dalam hati. "Hm, kalau keris ini hanya untuk diserahkan pada Adipati itu, buat apa aku harus bekerja siang malam menyelesaikannya?" bantah hatinya.
"Tidak, aku tak akan mengantarkannya kepada Adipati itu! Tapi... tapi benarkah keris ini keris pusaka yang tiada bandingnya, seperti kata-kata ghaib yang membisik di telingaku?"
Sucitro mengamati keris dalam genggamannya. Dengan rasa penasaran, Sucitro kembali mencabut senjata itu dari sarungnya. Diperhatikan dan ditatapnya benda itu tajam-tajam. Mendadak dia berkata dengan suara berdesis pelahan.
"Hai, keris, kalau kau benar-benar benda bertuah, perlihatkanlah tanda-tanda tuahmu! Tapi kalau kau memang besi mati belaka, tunggulah! Di tengah perjalanan nanti kau akan kulemparkan ke dasar jurang. Tak sudi aku memberikannya pada Adipati keparat itu. Karena tujuanku adalah memilikimu!"
"Cuih!" Sucitro meludahi keris itu tiga kali. Mendadak angin bertiup keras. Cuaca seketika berubah gelap. Secercah cahaya dari langit menyambar ke arah keris itu.
Terjadilah keanehan. Sucitro merasakan getaran yang hebat pada lengannya yang menggenggam benda itu. Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya, membuat dia menggigil dengan tengkuk meremang. Dan lapat-lapat ditelinganya terdengar bisikan ghaib seperti yang pernah didengarnya dipuncak bukit.
"Milikilah keris itu, Sucitro! Keris itu memang berjodoh untukmu, darahmu panas! Didadamu mengeram dendam kesumat yang timbul dari rasa cemburu! Tuah keris itu telah mengalir ke dalam darahmu! Para iblis telah merestuimu! Cucilah keris itu dengan darah! Dan kau akan melihat bukti tuahnya. Semakin banyak kau mencucinya, akan semakin hebat tuahnya. Dan semakin digjaya dirimu!"
Hampir tak percaya Sucitro mendengar bisikan aneh itu. Matanya membelalak, mulutnya ternganga dan darahnya seperti mengalir lebih cepat. Tapi selang sesaat keanehan itupun lenyap, bersamaan dengan le-nyapnya cuaca yang menakutkan itu. Sejenak Sucitro termangu-mangu. Kejadian aneh seperti dipuncak bu-kit itu terulang lagi. Dan dia masih mengingat semua kata-kata bisikan ghaib itu.
"Aku... aku harus mencuci keris ini dengan darah? Darah apa...? Darah siapa?" desisnya dengan tertegun.
Pada saat itulah Empu Tanuboyo muncul dan menghampirinya. Laki-laki itu seperti tak mengetahui akan kejadian aneh tadi. Dilengannya tampak secarik kain sutera kuning yang akan dipergunakan untuk membungkus keris pesanan Adipati menantunya.
"Citro... gunakanlah kain ini untuk membungkus keris itu. Dan ini sepucuk surat, tolong kau berikan pada anakku Banondari" kata laki-laki itu. Tapi baru selesai berkata, Empu Tanuboyo tiba-tiba bertanya. "Eh! Citro, kenapakah kau? Wajahmu pucat....! Kau pasti sakit karena terlalu lelah bekerja. Sudah ku-katakan tak usah kau berangkat hari ini!"
"Tidak paman, aku tidak sakit! Tak ada yang perlu kau khawatirkan pada diriku...!" sahut Sucitro.
Empu Tanuboyo merasa aneh dengan sikap pemuda itu yang tiba-tiba mengalami perobahan. Nada suaranya pun kedengaran parau dan berat. Dan sepasang mata Sucitro terlihat menggidikkan hati. Begitu tajam menatapnya membuat hatinya tersentak.
Melihat Sucitro menggenggam keris telanjang dengan tatapan mata tak berkesip ke arahnya entah mengapa tiba-tiba hati Empu Tanuboyo berdebar dan merasa ada sesuatu yang tak beres terhadap pemuda itu.
Saat itulah Sucitro melangkah maju setindak dan berkata. "Paman Empu, maafkan aku yang tak dapat membalas budimu yang begitu besar terhadap diriku. Aku... aku terpaksa..."
"Terpaksa? Apakah sebenarnya maksudmu, Ci-tro?" Hati Empu Tanuboyo mulai terasa tak enak. Dia terheran dengan kata-kata pemuda itu yang tak dimengerti maksudnya.
"Aku terpaksa harus memandikan keris ini?" kata Sucitro dengan suara tegas. Dan wajahnya seketika berubah mengelam. Sepasang matanya semakin tajam menatapnya.
"Memandikan keris?" Empu Tanuboyo masih tak mengerti.
"Ya, keris ini harus dimandikan dengan... darah! Yaitu darahmu!"
Seperti disengat kalajengking, la-ki-laki tua itu tersentak kaget. Matanya membelalak dengan wajah seketika berubah pias. Tapi pada detik itulah saat hari naas sang Empu. Secepat kilat keris ditangan Sucitro meluncur deras... dan menghunjam ke jantungnya!
Empu Tanuboyo menjerit parau dan roboh terjungkal. Darah merah menyebur dari dadanya. Laki-laki tua itu cuma menggeliat sekali, kemudian kepalanya terkulai dan nyawanya pun melayang ke Alam Baka.
Mendadak alam berubah menjadi gelap. Angin keras kembali berhembus. Diantara deru angin telinga Sucitro mendengar suara tertawa disekelilingnya. Suara tertawa yang menggidikkan. Itulah suara tertawa para iblis dan syaitan.
"Sucitro! Sucitro...! Kini takkan ada seorangpun yang berani menghinamu, lampiaskanlah dendammu! Kau telah menjadi seorang yang digjaya! Puaskanlah hasratmu! Penuhilah keinginanmu! Dengan keris ditanganmu kau bisa berbuat apa saja yang kau inginkan!"
Sucitro bagai terpaku ditempatnya mendengar suara itu. Suara yang kembali membisik ditelinganya. "Terima kasih! Terima kasih, suara ghaib!" desis pemuda ini dengan wajah menyeringai. Kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa terpampang pada wa-jahnya. Ketika keris itu diacungkan ke langit, mendadak cuaca kembali berubah terang, dan tiupan angin keraspun berhenti.
Sejenak Sucitro terpaku, tapi segera memasukkan kerisnya ke dalam serangka dan menyelipkan dibalik bajunya. Sesaat ditatapnya mayat Empu Tanuboyo. Kemudian balikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu menuruni lereng pegunungan.
Ketika Sucitro setengah berlari meninggalkan pondok Empu Tanuboyo barulah dia menyadari kalau gerakan tubuhnya ringan sekali. Dan yang lebih aneh, Sucitro mampu melompat sejauh lima-enam tombak, ketika melompati tempat terjal. Bukan kepalang girangnya Sucitro. Segera dia mempercepat perjalanan menuruni lereng pegunungan. Dan beberapa saat kemudian bayangan tubuh pemuda itu sudah tak kelihatan lagi....
Seorang prajurit datang menghadap Tumenggung Kandilangu. Laki-laki ini tengah berdiri merenung diteras rumah tempat kediamannya. Sebenarnya yang tengah direnungkan adalah tentang keadaannya dirinya sendiri.
Dia telah cukup usia dan telah beberapa hari ini dia mendapat cuti dari Adipati Wukir Kamenda selama satu pekan. Sudah lama dipikirkan tentang niatnya untuk mengundurkan diri. Rasanya dia telah cukup lama mengabdi pada Kerajaan. Ingin dia menjadi rakyat biasa. Menjadi petani mencangkul sawah dan ladang, dan hidup tenang tenteram.
Munculnya prajurit itu membuat dia tersentak dari lamunannya. "Gusti Tumenggung. Hamba membawa surat dari Kanjeng Adipati Wukir Kamenda...!" kata prajurit itu seraya membungkuk hormat dan memberikan segulung kertas kain kepada laki-laki itu.
"Hm, masa cutiku masih tinggal dua hari lagi. Ada hal apakah gerangan Adipati memberi surat padaku?" berkata dia dalam hati. Diterimanya surat itu dan cepat dibuka untuk mengetahui apa isinya.
Prajurit itu tak menunggu sampai Tumenggung Kandilangu membacanya. Dia segera mohon diri. Laki-laki tua ini hanya mengangguk. Dan prajurit itu cepat menuju ke tempat kudanya ditambatkan. Dia adalah prajurit utusan dari Kadipaten yang bertugas mengantarkan surat itu.
"Hei prajurit, tunggu dulu!"
Tentu saja panggilan itu membuat si prajurit menahan langkahnya. Tumenggung Kandilangu cepat menghampiri "Ada apakah, gusti? Apakah ada yang harus kusampaikan pada Kanjeng Adipati?" bertanya sang prajurit.
"Tidak, aku hanya mau bertanya. Siapakah namamu?"
Pertanyaan itu membuat si prajurit agak tertegun. Tapi segera menjawab. "Nama hamba... Kumbara. Ada apakah gusti menanyakan nama hamba?"
"Tidak apa-apa. Aku seperti baru melihatmu."
"Hamba baru bertugas kali ini menjadi prajurit utusan menggantikan tugas prajurit yang lama" berkata prajurit itu.
Tumenggung Kandilangu tersenyum manggut-manggut. "Haih, pantas saja aku tak mengenalmu. Baiklah! Terimakasih atas penjelasanmu!" kata Tumenggung Kandilangu.
"Hamba mohon diri, Gusti Tumenggung...!" kata prajurit itu dengan membungkuk.
Tumenggung Kandilangu mengangguk. "Baiklah!" sahutnya. Laki-laki ini menatap kepergian prajurit itu hingga lenyap dari pandangan. "Prajurit itu masih muda, gagah dan dari gerakan serta cara melompat ke punggung kuda dapat kuketahui dia bukan prajurit sembarangan!" berkata Tumenggung Kandilangu dalam hati.
"Hm, sekarang ini banyak orang-orang muda yang berilmu tinggi. Adipati Wukir Kamenda juga masih muda. Walau pengalamannya belum banyak, tapi memiliki kecerdasan serta ilmu yang tidak rendah. Aku ini telah semakin tua dan semakin rapuh. Kukira memang sudah saatnya aku mengundurkan diri. Biarlah orang-orang muda yang menggantikannya...."
Karena memikirkan prajurit itu serta keadaan dirinya sendiri, hingga Tumenggung Kandilangu sampai lupa membaca surat ditangannya. "Hm, apakah isi surat dari Adipati?" Laki-laki tua itu cepat membuka gulungan kertas, dan segera membacanya. Tak lama dia segera menggulungnya kembali. Sejenak dia termenung memandang jauh keluar halaman.
"Adipati menyuruh aku menemui Empu Tanuboyo, untuk menanyakan keris yang dipesannya. Tampaknya dia sudah tak sabar melihat hasil pembuatan keris dari bahan logam yang ditemukannya...!" berkata Tumenggung dalam hati.
Sebenarnya agak enggan dia menjalankan tugas itu, karena masih dalam masa cuti. Tapi sebagai seorang bawahan terpaksa dia harus mengerjakan pe-rintah tersebut. Dengan langkah agak gontai Tumenggung Kandilangu memasuki rumahnya.
Tak berapa lama tampak Tumenggung Kandilangu keluar dari rumah tua yang cukup besar itu dengan menunggang kuda. Tapi mengenakan pakaian biasa seperti rakyat jelata. Dia memang sedang dalam keadaan diluar tugas. Tugas yang tengah dijalankan kali ini adalah tugas pribadi Adipati Wukir Kamenda.
Tak dikisahkan perjalanan Tumenggung Kandilangu ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Laki-laki tua itu telah memasuki halaman pondok sang Empu. Sejak tadi Tumenggung Kandilangu telah merasakan keanehan. Hidungnya mencium bau busuk yang terendus hidung. Dia menduga bau busuk yang ditimbulkan dari binatang yang telah lama mati. Tapi semakin dekat ke pondok Empu Tanuboyo, bau busuk itu semakin santar.
Alangkah terkejutnya Tumenggung Kandilangu ketika mendapatkan sesosok tubuh manusia yang telah membusuk tergeletak dihalaman pondok mertua Adipati Wukir Kamenda. Dan bukan kepalang terperanjatnya ketika dia mengetahui sosok mayat itu tak lain dari mayat Empu Tanuboyo yang telah membusuk.
"Hah, siapakah yang telah membunuh orang tua ini?" sentak Tumenggung Kandilangu dengan wajah pucat.
"Aku harus secepatnya memberitahu Adipati!" berkata Tumenggung ini seraya melompat ke punggung kuda. Selanjutnya dengan membedal kudanya laki-laki itu meninggalkan tempat itu. Kejadian yang mengejutkan itu telah membuat dia terkejut luar biasa dan merasa harus segera melaporkan pada Adipati Wukir Kamenda.
Ketika dengan napas terengah-engah Tumenggung Kandilangu tiba di Kadipaten, lagi-lagi dia terkejut karena gedung Kadipaten dipenuhi para prajurit. Bahkan terdapat diantaranya Senopati Rah Butho dan Patih Gajah Rono.
"Apakah yang terjadi?" pikir Tumenggung Kandilangu. Ketika dia menanyakan pada sekelompok prajurit yang dihampirinya.
"Kanjeng Adipati dan istrinya tewas dibunuh orang?" sentaknya dengan wajah berubah kaget. Dan seketika itu juga tulang-tulang disekujur tubuh laki-laki tua itu seperti dilolosi.
"Manusia iblis manakah yang telah melakukan perbuatan gila sekeji itu?" ucapnya dengan suara bergetar. "Ya, Tuhan...! Bencana apakah yang bakal terjadi? Aku baru saja menemui Empu Tanuboyo atas perintah kanjeng Adipati dan menjumpai orang tua itu telah menjadi mayat! Tengah bermimpikah aku? Ataukah ini semua dibawah kesadaranku?" berkata dalam hati sang Tumenggung. Tapi dia benar-benar merasa hal itu suatu kenyataan.
Didepan matanya dia melihat mayat Adipati Wukir Kamenda dan istrinya terkujur tak bergerak. Ketika dia membuka kain penutup kedua mayat, matanya membelalak lebar. Hampir-hampir dia tak percaya melihatnya.
Gadis anak Empu Tanuboyo itu tewas dengan dua luka mengoyak leher dan dada, tepat dibagian jantungnya. Dan keadaan mayat Adipati Wukir Kamenda lebih mengerikan lagi. Hampir sekujur tubuhnya penuh luka bekas tusukan senjata tajam. Bahkan kedua matanya tercongkel, hingga mayat itu sudah tak mempunyai biji mata lagi!
Kemunculan Tumenggung Kandilangu segera mendapat perhatian. Karena dia orang terdekat Adipati Wukir Kamenda. Bahkan dialah yang tengah dinanti-nantikan untuk dimintai keterangannya.
Dalam persidangan kilat itu, Tumenggung Kandilangu segera memberikan keterangan. Bahwa tadi pagi dia telah kedatangan seorang prajurit utusan Adipati Wukir Kamenda yang memberikan sepucuk surat. Yaitu surat perintah Adipati yang menitahkan dirinya untuk pergi menemui Empu Tanuboyo. Surat itu segera diperlihatkan kepada Patih Gajah Rono.
Patih Gajah Rono segera memeriksa surat tersebut. Setelah meneliti kemudian sang Patih segera menyuruh Tumenggung Kandilangu meneruskan penuturannya. Tanpa melebih atau mengurangkan, segera Tumenggung ini menuturkan semua kejadian dari awal hingga akhir dan hingga kedatangannya ke Kadipaten untuk memberi laporan....
Tugas Senopati Rah Butho adalah mengantar keberangkatan Tumenggung Kandilangu untuk membawa mayat Empu Tanuboyo ke Kadipaten. Dengan keadaan masih letih, terpaksa Tumenggung tua itu menjalankan perintah. Empat prajurit disertakan dalam perjalanan ke lereng gunung tempat kediaman sang mertua Adipati tersebut.
Maka iring-iringan pasukan berkuda tampak meninggalkan gedung kadipaten diikuti puluhan pasang mata dari para prajurit, dan tatapan mata Patih Gajah Rono.
"Mayat itu harus diperiksa. Apakah pelaku pembunuhnya orang yang sama. Dari luka-luka ditubuh Adipati Wukir Kamenda keponakanku itu juga istrinya, dapat kuketahui si pelaku menggunakan sebilah keris...!"
Berkata sang Patih dalam hati. Tiba-tiba wajah laki-laki ini berubah. Hatinya tersentak. "Hm, sebuah keris? Bukankah keponakanku itu bertujuan menanyakan pembuatan keris yang dipesan pada Empu Tanuboyo?"
Patih Gajah Rono berfikir keras untuk memecahkan persoalan pelik yang dihadapinya. Yaitu mengetahui siapa pembunuh Adipati Wukir Kamenda dan istrinya, juga si pembunuh Empu Tanuboyo.
Untuk itu dia harus mengetahui latar belakang dari kejadian tersebut. Orang yang menjadi tumpuannya adalah Tumenggung Kandilangu. Karena dia yang mengetahui perihal Empu Tanuboyo yang menjadi sahabatnya itu. Juga yang telah membawa Adipati keponakannya ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Hingga secara tak disangka-sangka Adipati Wukir Kamenda menjadi menantu Empu Tanuboyo karena memperistrikan anak gadisnya.
"Aku harus melakukan pemeriksaan ulang sekali lagi, setelah selesai mengebumikan para jenazah. Kukira hanya Tumenggung Kandilangu yang bisa mengetahui riwayat Empu Tanuboyo..." demikian pikir Pa-tih Gajah Rono.
Pada saat itu seorang prajurit mengendarai seekor kuda mendatangi Patih Gajah Rono yang berdiri dihalaman depan gedung Kadipaten. Sesampai dihadapan sang patih, prajurit itu melompat turun dari kuda tunggangannya. Lalu membungkuk memberi hormat.
"Gusti Patih..., perkenalkanlah hamba menyusul mereka untuk membantu menjemput jenazah Empu Tanuboyo!" berkata prajurit itu.
Patih Gajah Rono agak terkejut melihat kedatangan prajurit itu yang menghadap secara tiba-tiba. Bahkan baru dialaminya ada seorang prajurit seberani itu mengajukan permohonan yang biasanya hanya menunggu perintah dari atasan.
"Hm, siapa namamu, prajurit?" tanya Patih ini dengan mengerenyitkan keningnya menatap tajam-tajam wajah dan perawakan prajurit muda itu.
"Nama hamba, Kumbara! Jaka Kumbara...!" sahut prajurit itu.
Patih Gajah Rono manggut-manggut. Diam-diam dia agak menaruh kecurigaan pada prajurit muda itu. "Setahuku setiap prajurit Kadipaten selalu tak ketinggalan membawa senjata. Sebuah tombak atau sebilah pedang dipinggang. Kemanakah senjatamu?" tanya Patih Gajah Rono.
Ditanya demikian prajurit itu agak terkejut. Tapi segera menyahut. "Ampun gusti Patih! Hamba sengaja tak membawa tombak atau pedang karena hamba hanya akan membantu menjemput jenazah saja...!"
"Bagaimana kalau terjadi peristiwa yang tak terduga ditengah perjalanan? Dan bukankah itu melanggar suatu disiplin atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh atasanmu?"
Pertanyaan Patih Gajah Rono sejenak membuat prajurit muda itu tertegun. "Benar, paduka gusti Patih! Hamba telah melakukan kelalaian, harap Gusti Patih memaafkan!" sahut prajurit bernama Jaka Kumbara itu.
"Hm, jarang aku menjumpai seorang prajurit seberani kau. Tapi tak apalah. Aku memaafkanmu. Dan aku izinkan kau menyusul mereka untuk membantu membawa jenazah!" ujar Patih Gajah Rono.
Prajurit itu mengucapkan terimakasih, kemudian melompat kepunggung kuda dan membedalnya dengan cepat meninggalkan halaman gedung Kadipaten. Empat perwira kerajaan melompat ke hadapan Patih Gajah Rono setelah laki-laki itu memberi isyarat.
"Ikuti prajurit itu! Aku mencurigainya. Bila terjadi sesuatu kalian boleh menangkapnya dan secepatnya memberi laporan padaku!"
"Siap, Gusti Patih!" sahut keempat Hulubalang istana itu hampir berbareng. Kemudian cepat mereka menghampiri kuda masing-masing. Dan beberapa saat kemudian keempat Hulubalang itu telah membedal kuda menyusul si prajurit aneh yang bersikap mencurigakan itu.
Sementara itu Patih Gajah Rono melangkah masuk ke dalam pendopo. Wajahnya nampak tegang. Dia berjalan mondar-mandir dengan menggendong tangan.
"Sikap prajurit itu memang aneh...! Ah, aku baru ingat! Bukankah dia si prajurit yang diutus Adipati membawa surat pada Tumenggung? Ya! namanya Kumbara, lengkapnya Jaka Kumbara. Apakah dia telah bekerja sama pada Tumenggung Kandilangu? Dan mungkinkah kalau dia yang telah melakukan pembunuhan?" benaknya penuh berisi pertanyaan yang su-kar terjawab.
"Hm, sebaiknya aku memang harus menunggu kedatangan mereka, juga laporan dari empat hulubalang Istana!" desis Patih mengambil keputusan. Lalu beranjak ke ruang dalam.
Sementara itu keempat hulubalang yang menyusul si prajurit bernama Jaka Kumbara itu terus membedal kuda mengejar. Masih kelihatan kepulan debu didepan mereka, berarti si prajurit itu tak terlalu jauh untuk menyusulnya.
Ternyata si Jaka Kumbara ini mengetahui keempat penunggang kuda berada dibelakangnya. "Hm, sudah kuduga, aku pasti dicurigai...! Tapi mereka percuma saja mengejarku...!" berdesis si prajurit dengan tersenyum. Mendadak dia membelokkan kudanya dengan tajam ke arah semak belukar.
Terdengar ringkik binatang itu dan suara berderak ranting dan dahan yang patah. Didetik itu tampak tubuh si prajurit melesat dari punggung kuda. Gerakannya cepat sekali. Dalam beberapa kali berkelebat saja bayangan tubuhnya lenyap entah kemana. Ketika empat hulubalang Istana itu melintasi tempat itu, salah seorang perwira menghentikan kudanya.
"Tahan!" teriaknya memberi tanda pada ketiga kawannya.
Patahan ranting yang berserakan disisi jalan serta ringkikan kuda disemak belukar telah membuat kecurigaan perwira ini. Tentu saja ketiga kawannya segera menahan kuda masing-masing, lalu bergegas menghampiri sang kawan.
Membelalak mata mereka melihat kuda si prajurit yang terjerumus masuk ke dalam semak. Tapi penunggangnya sendiri tak kelihatan. Serentak mereka berlompatan dari atas kuda. Lalu menyebar mencari jejak prajurit itu.
Tapi sejauh itu mereka mencari tak diketahui kemana lenyapnya sang prajurit bernama Jaka Kumbara itu. Tempat itu habis dilacak, namun hasilnya sia-sia. Keempatnya segera berunding, lalu mengambil keputusan. Ternyata mereka memutuskan untuk memberi laporan pada Patih Gajah Rono.
Tak lama keempat hulubalang segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing, dan segera membedal cepat meninggalkan tempat itu, kembali ke Kadipaten...
"Benarlah dugaanku! Prajurit itu pasti musuh yang menyelinap ke dalam gedung Kadipaten! Kuperhatikan caranya melompat kepunggung kuda serta sikapnya yang tak mungkin dilakukan oleh seorang prajurit, kecuali menunggu perintah atasannya! Jangan-jangan dialah si pembunuh keponakanku!" berkata Patih Gajah Rono dengan wajah berubah merah padam.
"Apakah perintah Gusti Patih selanjutnya?" kata salah seorang perwira dengan wajah menunduk.
"Sudah, pergilah sana! Kita hanya menunggu kedatangan Tumenggung Kandilangu, karena aku sudah tak ada rencana lagi selain itu!"
Keempat perwira itu mengangguk, lalu segera mengundurkan diri. Baru saja keempat perwira itu beranjak pergi, mendadak terdengar suara derap langkah-langkah kaki kuda mendatangi gedung Kadipaten. Tampak dua orang prajurit yang turut menyertai kepergian Tumenggung Kandilangu telah kembali. Langsung mereka menghadap dengan wajah pucat pias.
"Ada apa lagi?" sentak Patih Gajah Rono dengan ketegangan memuncak.
"Gusti Patih! Kami belum sempat sampai ditempat tujuan telah dihadang oleh seseorang yang memakai pakaian keperajuritan. Lalu... prajurit itu meminta kami kembali saja. Dia mengatakan bahwa dia sendiri yang akan membawa mayat Empu Tanuboyo ke Kadipaten! Kemudian..." Prajurit itu berhenti sebentar untuk menghapus keringat didahinya.
"Kemudian bagaimana?" bentak Patih Gajah Rono tak sabar.
"Kemudian terjadi perdebatan dengan Gusti Senopati, karena beliau merasa prajurit itu telah berbuat lancang. Karena kata-kata Gusti Senopati kasar, telah membuat prajurit itu naik pitam. Dia menghina gusti Senopati sebagai seorang abdi Kerajaan yang tak becus menangkap penjahat..."
"Lalu bagaimana seterusnya?" sentak Patih Gajah Rono dengan hati tak sabar.
"Gusti Senopati marah, dan menampar prajurit itu. Ternyata dia memiliki ilmu kepandaian, dan mampu mengelakkan tamparan Gusti Senopati. Dua orang kawan kami maju untuk menangkap prajurit yang telah membuat keonaran itu. Tapi mereka bahkan jadi korban! Prajurit itu berilmu tinggi. Dalam beberapa jurus saja kedua kawan kami terjungkal, dan...tewas! Saat ini Gusti Senopati tengah bertarung dengan prajurit gila itu..."
"Edan, aku jadi penasaran ingin tahu siapa sebenarnya prajurit itu, dugaanku semakin kuat, dialah si pembunuh yang kita cari!" berkata Patih Gajah Rono.
"Siapkan kudaku!" perintah sang Patih. Keadaan di gedung Kadipaten menjadi gempar ketika Patih Gajah Rono membedal kuda keluar dari halaman, diikuti belasan perwira Kerajaan. Dibagian depan adalah dua orang prajurit yang tadi yang menjadi penunjuk jalan.
Sementara itu dilereng gunung pada sebuah tempat tepi sungai berbatu-batu tampak tengah terjadi pertarungan seru antara dua orang abdi Kerajaan. Ternyata si prajurit bernama Jaka Kumbara itulah yang tengah bertarung dengan Senopati Rah Butho. Dua orang prajurit tampak tergeletak tak bernyawa dengan dada remuk dan batok kepala rengat.
"Manusia busuk, katakan kau siapa sebenarnya!" bentak Senopati Rah Butho dengan menebaskan klewang panjang memapas pinggang lawan.
"Haha... Senopati semacammu lebih baik segera melepaskan jabatan saja kalau cuma punya ilmu menggebah anjing!" ejek si prajurit seraya mengelakkan diri. Gerakannya sangat gesit. Sambaran ganas senjata Senopati seperti tak dipandang mata.
Semakin gusar Senopati Rah Butho. Dengan membentak keras dia menyerang dengan jurus-jurus mematikan. Klewangnya berubah jadi segulung sinar putih yang menderu-deru menyambar mengurung lawannya.
Melihat lawannya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat dan mematikan, prajurit ini agak terkejut. Sejak tadi dia telah mempersiapkan diri karena lawannya bukanlah lawan enteng.
"Heh, aku memang mengharapkan beroleh lawan berat. Kini saatnya aku mengeluarkan senjataku!" berkata si prajurit dalam hati.
Dengan gerakan gesit dia melakukan lompatan-lompatan menghindari serangan gencar sang Senopati. Disatu kesempatan diapun mencabut senjatanya. Secerah sinar hitam kebiruan tampak berkredep ditangannya. Ternyata sebuah keris telah tergenggam. Itulah keris KUTUKAN IBLIS. Siapa adanya prajurit itu memang tiada lain dari Sucitro adanya.
Whuuuut! whuuut!
Trang!
Terdengar teriakan kaget Senopati Rah Butho, ketika tiba-tiba klewangnya terpental dan terlepas dari cekalannya. Dia merasakan benturan keras yang menggetarkan lengan dan membuat aliran darahnya serasa berhenti. Hawa dingin merayap ke sekujur tubuhnya. Dan terlihat olehnya si prajurit berdiri tegak dengan wajah menyeringai menatapnya. Ditangannya tercekal sebuah keris yang memancarkan hawa menggidikkan.
"Haha...haha..ha... ilmu kepandaianmu tak ada artinya, Senopati! Lebih baik kau serahkan jabatanmu secara baik-baik. Aku akan mengampuni nyawamu. Dan biarkan aku yang menggantikan kedudukanmu!" berkata si prajurit alias Sucitro dengan wajah menyeringai dan sepasang mata memancarkan kengerian bagi yang melihatnya.
Sejak tadi Tumenggung Kandilangu cuma menjadi penonton saja, tanpa berani mengambil tindakan apa-apa. Dia mengetahui Senopati Rah Butho adalah orang yang mudah tersinggung bila dia turut campur urusannya. Apalagi cuma menghajar seorang prajurit.
Akan tetapi diam-diam sejak tadi hatinya sudah terperanjat, karena dalam segebrakan saja dua orang prajurit sudah tewas terbunuh ditangan anak muda berpakaian prajurit Kadipaten itu. Dan semakin terkejut ketika mengenali dialah prajurit yang mengaku bernama Kumbara.
Melihat senjata Senopati Rah Butho terlepas, Tumenggung Kandilangu melompat dengan membentak seraya mencabut keris pusakanya. "Katakan siapakah kau sebenarnya, anak muda? Bukankah kau prajurit yang telah membawa surat dari Adipati Wukir Kamenda, prajurit utusan dari Kadipaten?"
"Haha...haha... benar! Aku Jaka Kumbara! Memang aku yang telah menyampaikan surat dari Adipati Wukir Kamenda padamu. Surat itu kudapatkan dari prajurit yang memang diutus untuk tugas itu. Tapi sebelum sampai ketempatmu, aku telah mengirim nyawanya ke Akhirat. Kemudian aku yang meneruskan tugas itu!" sahut Jaka Kumbara alias Sucitro dengan tertawa menyeringai.
"Apakah tujuanmu sebenarnya?" sentak Tumenggung Kandilangu.
"Hm, tadinya aku akan membunuhmu, tapi aku segera mengurungkan niatku, karena aku merasa kau bukan lawan yang kuharapkan! Kau sudah terlalu tua, dan kupikir sudah cukup bagiku melampiaskan dendamku membunuh manusia-manusia yang kubenci. Yaitu Adipati Wukir Kamenda dan... dan istrinya!"
"Keparat, jadi kaulah yang telah melakukan perbuatan keji itu?" bentak Senopati Rah Butho dengan wajah beringas, seraya melompat berdiri dan menyambar klewangnya yang tergeletak di tanah.
Hampir tak percaya Tumenggung Kandilangu mendengar keterangan pemuda itu. Benaknya penuh pertanyaan. Siapakah gerangan pemuda itu? Tiba-tiba teringatlah sang Tumenggung pada beberapa pekan yang lalu ketika dia mengajak Adipati Wukir Kamenda ke tempat tinggal Empu Tanuboyo. Sekilas dia melihat adanya seorang pemuda berpakaian kotor berada disamping pondok laki-laki pembuat senjata itu.
"Katakan siapakah kau sebenarnya, anak muda? Dan dendam apakah hingga kau membunuh Adipati dan istrinya? Kuharap kau mengatakan sejujurnya!" Tumenggung Kandilangu kembali berkata.
"Dendam apa? Hahaha... siapa yang tak mendendam melihat gadis yang dicintainya direbut orang, aku adalah anak angkat Empu Tanuboyo, yang telah bertahun-tahun hidup bersamanya. Tapi aku merasa disisihkan, merasa tak dihargai karena aku hanya seorang pegawai, seorang kuli penempa besi! Cintaku amat besar pada gadis anak Empu Tanuboyo induk semangku. Walau aku tidak mungkin memiliki Banondari, tapi setidak-tidaknya orang tua itu menaruh perhatian padaku. Tapi... ternyata dia lebih tergiur dengan harta dan kedudukan. Aku dianggap seperti sampah tak berguna dan tak perlu lagi dihiraukan. Hal itulah yang menimbulkan dendam dan sakit hatiku!"
Sucitro berhenti sejenak, seraya menghapus keringat dirahangnya. "Dan... kini hatiku telah puas! Karena aku telah membunuh semua orang yang membuat aku sakit hati! Gadis itu telah mendapatkan cintaku dengan ku mengirimnya ke liang Akhirat!"
Kata-kata prajurit gadungan itu diakhiri dengan suara tertawa terbahak-bahak menggetarkan udara.
"Hentikan tertawamu, manusia iblis! Kau takkan dapat meloloskan diri!" Satu bentakan keras tiba-tiba terdengar membelah udara. Dan sebuah bayangan tubuh manusia berkelebat ke hadapan Sucitro.
Ternyata tiada lain dari Patih Gajah Rono, yang telah menyusul ke tempat pertarungan. Kemunculannya disusul dengan berlompatannya belasan perwira Kerajaan. Sebentar saja pemuda berpakaian prajurit itu telah terkepung dari segala jurusan.
Agaknya pertarungan tak dapat dihindarkan, dan pertumpahan darah segera akan terjadi, kalau pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Dan munculnya sebuah bayangan berkelebat.
Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri seorang kakek tua renta berjubah putih. Kakek ini bertubuh kurus kecil. Berkepala besar dan berambut cuma beberapa helai. Bagian ubun-ubunnya tampak berkilat dan gundul plontos.
"Heheheheh...hehe... bocah gendeng! Jangan mengumbar pertumpahan darah. Simpanlah kerismu, cucuku! Bukan saatnya kau menimbulkan bencana membuat keonaran. Pergilah tinggalkan wilayah ini!" Seraya berkata kakek ini menatapkan sepasang matanya yang membersitkan sinar aneh mempengaruhi Jaka Kumbara alias Sucitro.
Pemuda ini merasakan arus yang kuat menghunjam ke dalam pandangannya. Dia tersurut mundur. Hatinya penuh pertanyaan, siapakah adanya kakek itu, dia sama sekali tak mengenalnya. Tapi mengapa menyebutnya cucu terhadap dia?
Dan anehnya dia seperti tak sanggup menolak perintah si kakek. Lengannya yang memegang keris Kutukan Iblis tergetar. Dan secara diluar kesadaran dia telah memasukkan benda itu ke dalam serangkanya dipinggang, dibalik bajunya.
"Cepat tinggalkan wilayah ini. Dan jangan kembali lagi kemari!" Kata-kata si kakek kembali meluncur mengulang perintahnya.
Lagi-lagi Jaka Kumbara alias Sucitro tersurut mundur selangkah. "Baik, baik, kakek! Aku akan segera pergi meninggalkan tempat ini..." sahut pemuda itu dengan wajah pias.
Dan sebelum semua orang-orang kerajaan sempat berbuat sesuatu, Jaka Umbara telah melompat keluar dari kurungan belasan perwira yang mengurungnya, lalu berkelebat cepat dan lenyap dari pandangan mata mereka...
Saat kejadian itu berlangsung, Patih Gajah Rono dan Senopati Rah Butho serta Tumenggung Kandilangu seperti terkesima. Demikian juga dengan belasan perwira Kerajaan yang mengurung si prajurit gadungan. Barulah mereka sadar setelah pemuda pembuat keonaran itu pergi.
"Heh! Siapakah kau, kakek tua renta? Mengapa kau membiarkan manusia itu lolos dari tangan kami?" bentak Patih Gajah Rono dengan mata membelalak menatap si kakek aneh.
"Heheheh... aku si tua renta ini cuma menolong kalian. Menghindarkan terjadinya malapetaka yang lebih banyak lagi!" sahut si kakek.
"Apa maksudmu? Dan katakan siapa sebenarnya kau?" bertanya Patih Gajah Rono dengan memandang heran.
"Tahukah kau, kakek tua? Penjahat itu telah membunuh Adipati Wukir Kamenda. Kami harus menangkapnya untuk dihukum dan dihadapkan pada sang Prabu!" gembor Senopati Rah Butho menimpali kata-kata sang Patih.
"Aku tahu! Aku mengetahuinya, raden! Tapi apakah aku akan membiarkan korban-korban kembali berjatuhan? Padahal tenaga kalian amat dibutuhkan oleh Kerajaan. Dan, aku sudah mendapat firasat, bahwa kalian takkan mampu menghadapi pemuda itu!" sahut si kakek dengan tenang dan suara datar.
"Baiklah, kakek yang budiman. Kau tentu lebih arif dan lebih mengetahui dari kami. Kini ceritakanlah, apa sebabnya kau berpendapat demikian? Dan kau belum mengatakan siapa dirimu!" kata Patih Gajah Rono.
Patih Kerajaan ini agaknya dapat memaklumi bahwa kakek tua dihadapannya bukanlah orang sembarangan. Terbukti dia telah mampu membuat pemuda itu menuruti perintahnya. Namun hatinya masih penasaran sebelum mengetahui siapa sebenarnya kakek tua renta itu. Kakek ini manggut-manggutkan kepala dengan tersenyum.
"Namaku, Bimo Gundil. Orang-orang Rimba Hijau menyebutku si Pertapa Mata Dewa...!" si kakek memperkenalkan diri.
Membelalak mata Patih Gajah Rono mendengar nama kakek aneh itu, seketika dia menjatuhkan diri berlutut. "Oh, maafkan aku yang tak tahu siapa dirimu, Eyang...! Aku Gajah Rono menghaturkan sembah sujud ke hadapan Eyang...!" berkata Patih Gajah Rono dengan wajah berubah pias.
Melihat kelakuan sang Patih, Senopati Rah Butho dan Tumenggung Kandilangu serta sekalian para perwira Kerajaan lainnya jadi turut menjatuhkan diri berlutut menuruti sang pemimpinnya. Walaupun masing-masing belum mengetahui siapa adanya kakek aneh itu.
"Ah, ah...! Bangunlah kalian semuanya! Apa-apaan kalian ini, mengapa berlutut dihadapan aku si tua bangka orang gunung ini?" berkata si kakek Bimo Gundil dengan wajah berubah merah.
"Dari paduka Prabu hamba mengetahui Eyang Bimo Gundil adalah sesepuh Kerajaan Whirata yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri. Kami yang bermata buta ini sungguh tak menghormati pada Eyang. Maafkanlah kekhilapan kami..." sahut Patih Gajah Rono seraya menjura.
"Hm, sudah, sudahlah, jangan mengungkit riwayat lama. Saat ini aku bukan apa-apa. Mari kalian duduklah mendengarkan penuturanku...!" kata kakek Bimo Gundil dengan suara bernada sungguh-sungguh. Agaknya apa yang akan dituturkan adalah hal amat penting bagi mereka.
Ringan sekali gerakan si kakek ini ketika melompat ke atas batu besar. Tahu-tahu dia telah duduk diatasnya. Semua yang berada ditempat itu segera mengelilinginya dengan duduk diatas rumput.
"Apakah yang akan aku tuturkan adalah mengenai anak muda tadi. Tahukah kalian mengapa kalian ku larang menempur pemuda itu? Karena dia bukanlah lawan yang akan semudah itu untuk kalian menangkap atau meringkusnya. Mengapa kukatakan demikian? Karena aku telah mengetahui adanya suatu bencana yang bakal ditimbulkan oleh pemuda itu.
"Dari hasil tirakatku kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, aku telah mendapat firasat akan munculnya sebuah benda yang bakal menimbulkan korban dan malapetaka. Yaitu sebuah keris yang bernama Keris KUTUKAN IBLIS! Keris pembawa malapetaka itu berada ditangan pemuda tadi! Nah, pahamkah kalian bahwa apa yang aku lakukan adalah hanya menghindari malapetaka itu pada kalian semua, terutama pada Kerajaan Whirata!"
Tentu saja penjelasan Eyang Bimo gundul membuat semua yang berada ditempat itu menjadi terperangah kaget.
"Keris Kutukan Iblis?" sentak Patih Gajah Rono dengan wajah berubah tegang. Demikian juga dengan Senopati Rah Butho dan Tumenggung Kandilangu. Wajah-wajah mereka jadi berubah pucat. Nama keris itu saja sudah membuat bulu roma berdiri.
"Aku hanya bisa menyuruhnya pergi meninggalkan wilayah ini. Itupun dengan kekuatan batin yang kumiliki!" kata Eyang Bimo Gundil melanjutkan kata-katanya.
"Tampaknya Eyang telah mampu menguasai pemuda itu dengan kekuatan ilmu batin yang Eyang miliki, akan tetapi mengapa Eyang tak menyuruh dia memberikan keris itu? Bukankah tanpa keris itu dia dapat kita ringkus?"
Senopati Rah Butho yang sejak tadi cuma diam saja, agaknya tak dapat menahan diri untuk membuka mulut. Dia menganggap cara kakek itu sama saja dengan memindahkan malapetaka ke tempat lain. Karena itu dia menyanggah cara si kakek yang cuma mengusir pemuda itu, tapi malapetaka akan tetap mengancam di wilayah lain.
Senopati Rah Butho telah merasakan betapa hebatnya keris itu yang telah mampu membuat terlepas klewangnya. Yang paling hebat adalah hawa dingin yang menyambar dan membekukan aliran darah ditubuhnya.
Mendengar sanggahan Senopati Rah Butho, Eyang Bimo Gundil tertawa terkekeh-kekeh, membuat sang Senopati melengak heran. "Heheh... heheh... tidak semudah itu, raden...! Kekuatan bathinku tak mampu untuk melakukan hal itu. Tanpa setahu kalian aku telah mencobanya. Tahukah kalian bahwa pemuda itu telah menjadi sakti dengan adanya keris Kutukan Iblis itu ditangannya?
"Lalu apakah kalian akan menganggap aku membiarkan pemuda itu menyebar bencana di wilayah lain? Sama sekali tidak! Justru itulah yang menjadi tugasku dan tugas kaum pendekar untuk melenyapkan keangkara-murkaan. Nah! Silahkan kalian kembali ke Kerajaan atau segera pergi mengurus mayat Empu Tanuboyo, lalu secepatnya kembali ke Kadipaten. Aku telah lebih dulu mengetahui kematian Empu Tanuboyo, karena aku sudah menduga dari tempat tinggal Empu itulah asalnya malapetaka dan bencana!"
Selesai berkata, si kakek aneh tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi alangkah terkejutnya semua yang berada ditempat itu, karena melihat eyang Bimo Gundil telah lenyap entah kemana. Tapi suara tertawanya masih terdengar terkekeh-kekeh. Namun tak lama kemudian suara itu semakin menjauh dan lenyap...
Patih Gajah Rono segera perintahkan Tumenggung Kandilangu untuk menuju ke tempat Empu Tanuboyo dengan disertai empat orang perwira kerajaan untuk membawa mayat laki-laki pembuat senjata itu. Kini persoalan siapa pembunuh Adipati Wukir Kamenda dan istrinya telah jelas. Dan semakin jelas setelah ditemui sepucuk surat didekat mayat Empu Tanuboyo.
Yaitu sepucuk surat yang ditujukan kepada istri Adipati, yaitu Dewi Banondari putri sang Empu. Dalam surat itu ada disebut-sebut nama Sucitro. Tentulah yang dimaksud adalah si pemuda bernama Jaka Kumbara itu. Jelas pemuda itu telah menggunakan nama samaran pada dirinya.
Selang tak berapa lama tampaklah iring-iringan pasukan Kerajaan meninggalkan lereng gunung sunyi itu dengan membawa jenazah Empu Tanuboyo yang malang. Dikejauhan tampak cahaya merah membersit ke langit. Hari memang telah menjelang senja. Dan hari itu adalah hari berkabungnya Kerajaan Whirata.
Namun mereka masih bisa menarik napas lega karena bahaya bisa tersingkirkan, walaupun hati mereka masih kurang puas. Karena biang malapetaka itu masih bercokol diatas bumi ini. Dan masih menjadi teka-teki apakah kaum pendekar dan Eyang Bimo Gundil bisa menumpasnya?
Kita beralih kesatu tempat di wilayah timur, dimana berdiri sebuah perguruan yang bernama Perguruan Tongkat Suci. Pesanggrahan ini berada diatas sebuah bukit kapur dikelilingi lembah yang juga bernama Lembah Tongkat Suci. Ketua perguruan ini adalah sepasang suami istri yang bergelar si Sepasang Srigala Putih.
Murid-murid perguruan Tongkat Suci tengah bersukacita, karena guru mereka baru saja memperoleh karunia seorang bayi perempuan. Memang sejak lebih dari lima tahun sepasang suami istri itu mendambakan seorang keturunan. Kiranya keinginan mereka terkabul, setelah sembilan bulan guru perempuan mereka mengandung. Dan hari ini sepasang Srigala Putih memperoleh seorang keturunan.
Sang suami yang digelari si Srigala Putih Jantan itu bernama Pranajaya, dan istrinya yang digelari si Srigala Putih Betina bernama Purbarini. Sejak mereka mendirikan perguruan di wilayah itu, tidak sedikit Sepasang Srigala Putih ini menanam persahabatan dengan para tokoh pendekar. Tentu saja berita itu segera disiarkan ke beberapa tempat untuk mengundang para sahabat si sepasang pendekar.
Pranajaya adalah seorang laki-laki berusia ku-rang lebih 35 tahun. Seorang laki-laki berwajah tampan, berwibawa dan berilmu tinggi. Kerendahan ha-tinya serta kewibawaan yang terpancar pada diri laki-laki ketua perguruan Tongkat Suci ini membuat dia dihormati dan dihargai sesama kau pendekar. Istrinya adalah seorang yang berusia 30 tahun. Berparas cantik, anggun dan berperangai halus. Ilmunya tak jauh dibawah suaminya.
Keduanya merupakan sepasang tokoh yang sepadan bagaikan Rama dan Shinta. Kelahiran bayi mungil itu sangat menggembirakan hati Purbarini. Tak henti-hentinya dia memandangi sang bayi dengan wajah berseri-seri. Ketika suaminya muncul dipintu kamar, dia berusaha bangkit untuk duduk.
"Kakang Prana! Oh, lihatlah bayi kita...! Dia tak mau diam, agaknya mencari-carimu. Dia ingin melihat jelas siapa ayahnya."
"Jangan duduk dulu, istriku. Tetaplah menyandar pada bantal itu. Kau tak boleh banyak bergerak dulu" Pranajaya setengah melompat dan menahan tubuh istrinya, lalu membaringkannya lagi pelahan-lahan.
"Aku baru saja memerintahkan murid-murid kita untuk mengabarkan berita gembira ini pada paman Purbayana, serta sekalian sahabat-sahabat kita...!"
"Ah, bagus sekali! Apakah kau tak mengundang Eyang guru?"
"Tentu, istriku! Tapi tak ada seorangpun yang mengetahui tempat tinggalnya. Aku berniat menemuinya untuk mengabarkan berita ini...!" sahut Pranajaya dengan tersenyum. Lengannya membelai rambut istrinya. Menatapnya sejenak, lalu beralih memandang pada sang jabang bayi.
"Kau akan pergi sekarang, kakang?" tanya Purbarini kerutkan keningnya.
"Sebaiknya begitu! Malam nanti kita akan mengadakan selamatan. Aku ingin dihadiri oleh Eyang Guru kita!" sahut Pranajaya.
Purbarini terdiam sejenak. Sebenarnya dia mau menahan. Entah mengapa hatinya merasa tak enak. Dalam saat-saat seperti itu dia masih ingin ditemani sang suami. Tapi segera dia berkata.
"Pergilah kau mengabarinya, kakang. Sudah lebih setahun ini dia tak menyambangi kita. Entah bagaimana keadaan beliau sekarang?"
"Aku sudah dua kali menemui beliau. Pertama mengabarkan tentang kehamilanmu!"
Senyum Purbarini cuma sekilas saja mendengar kata-kata suaminya, yang segera beranjak keluar kamar. Purbarini menatap punggung laki-laki itu hingga lenyap di balik pintu kamar.
Si Srigala Putih Jantan Pranajaya siap berangkat meninggalkan bukit dan lembah tongkat Suci dengan menunggang kuda. Binatang itu berbulu hitam legam berkilat-kilat karena terawat baik. Ketika dipintu pesanggrahan seorang gadis tiba-tiba menyusulnya. Gerakannya lincah ketika melompat ke depan kuda Pranajaya.
"Paman Prana! kau mau kemana?" tanya si gadis itu yang ternyata Kuntari sang keponakan istri Pranajaya, yang masih terhitung adik iparnya.
"Eh, Kuntari. Sukurlah kau muncul. Aku mencari-carimu katanya kau sedang sibuk membantu didapur. Aku tak mau mengganggu, tapi kau sudah muncul. ada yang akan kupesankan padamu!"
"Kakak Prana belum menjawab pertanyaanku. Kini sudah pesan apa segala. Kakak kini bagaimana, sih? Istri baru melahirkan bukannya menunggui malah ditinggal pergi!" kata Kuntari dengan seperti mengomeli kakak iparnya.
Pranajaya tersenyum. Dia mengetahui kalau sang adik iparnya ini memang seorang yang doyan ngomong alias bawel, tidak seperti bibinya. Tapi Kuntari memang seorang gadis yang berwajah manis, lincah dan periang. Pranajaya sering dibuat tertawa dengan tingkahnya yang terkadang lucu tapi juga membikin jengkel. Namun laki-laki ini amat menyayanginya.
"Hahaha... nenek bawel, bibimu sudah selamat, begitu juga sang jabang bayi adikmu. Aku bukan tak mau menunggui bibimu, tapi akan mengabarkan peristiwa bahagia ini pada Eyang Guru paman dan bibi!" sahut Pranajaya dengan tertawa bergelak.
"Siapakah Eyang guru paman dan bibi itu, dan dimana tempat kediamannya? Mengapa tak menyuruh orang kita saja menyampaikan undangan?"
"Pertanyaanmu banyak sekali, nenek bawel. Beliau itu bisa kau sebut Eyang Buyut. Namanya Bimo Gundil. Tak ada yang tahu tempat kediamannya selain aku. Maka terpaksa aku yang mengabari. Nah, jelaskah nenek bawel?"
"Eyang Buyut Bimo Gundil?" tukas Kuntari dengan kerenyitkan kening.
"Ya, mengapa? tanya Pranajaya. "Apakah beliau seorang pertapa?"
"Benar! Orang-orang persilatan menggelari beliau si Pertapa Mata Dewa!" Pranajaya menjelaskan.
"Oh, julukan yang hebat! Eyang Buyut tentu seorang yang berilmu tinggi. Aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Selama ini aku hanya mendengar cerita ayah saja mengenai Eyang Buyut Bimo Gundil..." berkata Kuntari dengan wajah berubah girang.
"Nah! bagus! kalau begitu kau jagalah bibimu baik-baik. Temani beliau bercakap-cakap. Sore nanti aku sudah kembali bersama Eyang Buyut Bimo Gundil!" kata Pranajaya.
Kuntari mengangguk lalu beranjak ke sisi memberi jalan. Laki-laki itupun segera membedal kuda keluar dari pintu pesanggrahan. Debu mengepul semakin jauh, dan kuda hitam serta penunggangnya si Serigala Putih Jantan semakin menjauh melintasi lembah. Tak lama antaranya Kuntari sudah berjalan kearah pesanggrahan utama untuk menemui bibinya Purbarini.
Hari panas terik. Mentari tepat berada diatas kepala, ketika seorang pemuda berpakaian kain kasar bertampang kumal melintasi rumah tua disisi bukit. Seseorang bertopi capil agaknya baru saja melepas lelah setelah mencangkul tanah dibelakang rumah.
Sebuah cerek dan sebuah gelas kosong yang sudah ba-sah oleh air berada didekatnya. Laki-laki itu baru saja membasahi tenggorokannya dengan air dingin. Terasa nikmat dan menyegarkan sekali.
Ketika itulah si pemuda bertampang kumal memasuki halaman rumahnya. Melihat laki-laki yang duduk diberanda rumah dan baru saja melepas topi capingnya, si pemuda langsung menyapa. "Selamat siang paman Tumenggung!"
Tentu saja membuat laki-laki tua ini yang tak lain dari Tumenggung Kandilangu cepat menoleh. Begitu asyiknya dia duduk sambil melamun, hingga tak diketahui munculnya pemuda itu. Kemunculannya membuat dia terkesiap.
"Hm, selamat siang...! Eh, siapakah anda?" tanyanya dengan menatap tajam-tajam. Nyaris saja dia menyangka yang muncul si Jaka Kumbara. Hatinya sudah mencelos dan jantungnya tersentak. "Syukurlah bukan dia..! Tapi siapakah pemuda ini?" bertanya-tanya dia dalam hati.
"Siapakah aku? Hm, cobalah paman terka!" Yang ditanya justru balik bertanya dengan cengar-cengir memandang ke arahnya.
Pemuda itu berpakaian serba gombrong. Dan sebuah buntalan kain berada dibahunya. Diperhatikan sejenak laki-laki gondrong bertampang kumal itu.
"Hm, aku sudah tak ingat lagi. Kalau kau mengenalku, segeralah sebutkan siapa dirimu, anak muda! Jangan membuat aku penasaran..." kata Tumenggung Kandilangu.
"Hahaha... baru lewat beberapa bulan saja, kau sudah lupa padaku, paman Kandilangu... eh, maksudku paman Tumenggung!"
Laki-laki tua ini jadi kerutkan kening memikir. Siapa adanya pemuda itu yang mengenal dirinya, tapi dia sendiri tak mengenalinya lagi. "Haih, agaknya usia tuaku telah membuat aku jadi linglung. Aku sungguh-sungguh tak ingat siapa kau, anak muda...!" katanya dengan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, siapakah yang linglung, paman? Aku ataukah kau...?" bertanya pemuda itu.
"Mungkin aku, mungkin juga ka...kau...! He? Apakah kau si Dewa Linglung? Benarkah kau Dewa Linglung yang telah menolongku pada beberapa bulan yang lalu dari serangan harimau?"
Mendadak ingatan Tumenggung Kandilangu kembali terang. Beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan empat orang pengawal melintasi sebuah hutan telah diserang oleh seekor harimau belang yang amat besar. Binatang ganas itu telah melukai tiga orang anak buahnya. Kulitnya kebal senjata tajam. Tinggallah dia berdua dengan seorang anak buahnya yang masih berusaha membunuh binatang tersebut.
Menghadapi harimau yang sedemikian besar dan ganas, hati Tumenggung mulai kecut. Apalagi anak buahnya yang seorang langsung angkat kaki alias kabur ketakutan. Terpaksa dia harus menghadapi seorang diri. Dalam pertarungan bahunya terluka terkena serangan sang harimau.
Nyalinya sejak tadi memang telah menciut. Kini semakin ciut saja ketika kuku binatang ganas itu mencakar dan melukai bahunya. Keris pusakanya sedikitpun tak mampu menembus kulit binatang itu.
Pada saat itulah muncul seorang pemuda kumal yang menyelamatkan jiwanya. Ketika taring-taring binatang ganas itu hampir merencah lehernya, mendadak harimau itu mengerang kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa tombak. Ternyata dia terkena pukulan si pemuda kumal itu. Sang harimau agaknya jerih melihat lawan yang baru muncul itu. Dengan mengaum kesakitan dia melompat pergi...
"Haha... benar! paman Tumenggung." kata pemuda itu sambil tertawa geli.
"Hehe... haha... sudah kuduga kaulah pasti si pendekar muda yang gagah itu. Angin apa yang meniupmu hingga kau sampai kemari, nak Jaka?" Tumenggung Kandilangu mempersilahkan Nanjar duduk didekatnya.
"Secara kebetulan aku lewat ke wilayah ini, dan aku teringat pada paman Tumenggung yang pernah mengajakku singgah kemari...!" sahut Nanjar.
"Nak Jaka! senang sekali aku bertemu kau. Tunggu sebentar aku ambilkan gelas untukmu. Kau pasti haus sekali!" kata laki-laki tua ini seraya beranjak masuk ke dalam rumah, Nanjar hanya tersenyum.
"Haih, orang tua ini selalu menyebutku Jaka. Tampaknya dia benar-benar telah berhenti menjadi seorang Tumenggung. Ataukah memang masih menjabat pangkat itu, karena dia pernah mengatakan akan mengundurkan diri dari jabatan itu..." berkata Nanjar dalam hati.
Tumenggung Kandilangu kembali lagi dengan membawa sebuah gelas dalam nampan dan sepiring ubi kayu rebus yang masih hangat. Tak lama mereka telah duduk bercakap-cakap sambil menikmati santapan siang. Laki-laki tua itupun menuturkan keadaan dirinya.
"Jadi benar paman sudah berhenti dari jabatan Tumenggung?"
"Benar, nak Jaka! Sudah kukatakan padamu, bahwa aku sudah tak mau hidup terikat tugas lagi. Aku ingin bebas dan hidup menyendiri di sisi bukit ini sambil berkebun menghabiskan masa tuaku..."
"Ah, paman. Kau belum terlalu tua. Tubuhmu masih kuat. Cuma semangatmu saja yang melemah. Mungkin karena kau sudah terlalu bosan menjadi abdi Kerajaan!" kata Nanjar.
"Benar katamu, nak Jaka! lebih dari tiga puluh tahun aku mengabdi pada Kerajaan. Kukira sudah saatnya aku pensiun!" tukas laki-laki ini.
"Oh, ya! Banyak peristiwa terjadi setelah aku kembali dari tugas beberapa bulan yang lalu, nak Jaka..."
Bekas Tumenggung yang baru lewat sepekan melepaskan jabatannya itu segera menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ini. Tentu saja Nanjar terkejut mendengar tentang munculnya keris Kutukan Iblis yang berada ditangan seorang pemuda bernama Sucitro alias Jaka Kumbara yang telah membawa malapetaka maut. Dengan seksama dia mendengarkan penuturan laki-laki tua itu selanjutnya.
"Eyang Bimo Gundil cuma mampu mengusir pemuda itu keluar dari wilayah ini. Tapi hal itu amat meresahkan pihak kerajaan, karena khawatir disatu saat pemuda itu kembali kewilayah ini dan membuat keonaran dan menimbulkan malapetaka berdarah lagi!"
Sejenak Nanjar tercenung mendengar penuturan Kandilangu. Hatinya membathin, kalau hal ini dibiarkan akan menimbulkan malapetaka dimana-mana. Dan sudah menjadi tuntutan kaum pendekar untuk menumpas segala macam kebathilan. "Apapun yang terjadi aku harus mencari jejak si pemuda bernama Sucitro alias Jaka Kumbara itu, dan melenyapkan ke-ris Kutukan iblis!" berkata Nanjar. Laki-laki bekas Tumenggung itu manggut-manggutkan kepala.
Setelah cukup mendapat keterangan, Nanjar segera mohon diri. Kandilangu menahan pemuda itu agar jangan terburu-buru pergi. Dia beranjak menuju kesamping rumah. Disana terdapat sebuah kandang kuda. Lalu kembali dengan menuntun binatang itu.
"Ini kuda hadiah dari Patih Gajah Rono padaku. Pakailah kuda ini, dan kuberikan padamu. Semoga kau dapat mempergunakannya dan meringankan perjalananmu!" kata Kandilangu.
Nanjar membelalakkan matanya menatap laki-laki tua seperti tak percaya. "Kau bersungguh-sungguh, paman?"
"Haha...hehe... mengapa tidak? Aku tak memerlukannya, kecuali cangkul dan arit ini untuk menggarap tanah dan kebunku!" tukas Kandilangu.
"Ah, terimakasih, paman. Kau sungguh baik sekali!" kata Nanjar bergirang seraya mengamati kuda jantan berbulu coklat kemerahan itu.
"Hoi, kuda yang bagus dan kekar!" Pujinya. "Akan kupergunakan untuk melacak jejak si pemuda bernama Jaka Kumbara itu!" kata Nanjar seraya menepuk-nepuk leher kuda. Binatang itu meringkik pelahan dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Dia sudah tak sabar untuk membawa kau pergi. Mungkin berdiam dikandang pengap itu amat membosankan!" kata Kandilangu dengan tersenyum.
Nanjar tertawa. Sekali gerakkan tubuh dia telah melompat ke punggung kuda. "Baiklah, paman Kandilangu. Aku mohon diri. Terimakasih atas pemberian kudamu" kata Nanjar.
"Selamat jalan, nak Dewa Linglung!" sahut laki-laki tua ini dengan tersenyum haru. Lalu melepas kepergian Nanjar dengan lambaian tangan. Sebentar saja sosok kuda dan penunggangnya itu pun lenyap dari pandangan mata laki-laki tua ini.
"Haih. Semoga Tuhan selalu melindunginya...!" berkata Kandilangu pelahan. Lalu balikkan tubuh dan beranjak ke beranda rumah untuk mengambil cangkul dan arit meneruskan pekerjaannya menggarap tanah...
Pemuda bernama Sucitro yang mengaku bernama Jaka Kumbara tampak memasuki sebuah desa diluar wilayah Kerajaan Whirata. Langkahnya lebar menuju ketengah desa. Sepasang matanya jelalatan kesana-kemari.
Seorang gadis yang tengah menuntun adiknya berpapasan dengan pemuda itu. Gadis itu berjalan agak kepinggir dan tampak seperti menghindari bertatapan mata dengan Jaka Kumbara. Akan tetapi justru pemuda ini malah menatapnya dengan pandangan liar. Sekali menggerakkan tubuh dia sudah mencegat gadis itu.
"Haha... mau kemana, adik? Jalanmu terburu-buru?" tanya Jaka Kumbara dengan wajah menyeringai.
Tentu saja membuat gadis itu tersurut mundur dengan wajah berubah pucat pias. "Jangan ganggu aku...!" berkata gadis ini dengan suara menggetar karena rasa takutnya. Sedangkan adiknya seorang bocah laki-laki berusia lima tahun memegangi kakaknya dengan ketakutan mau menangis.
"Haha... jangan takut, aku tak akan mengganggumu. Siapa namamu adik?" berkata Jaka Kumbara dengan tertawa.
Tapi gadis itu tak menyahut. Tapi malah makin mundur ketakutan. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dan si bocah laki-laki mulai menangis. Mendadak bocah laki-laki itu terjungkal roboh... dan terdengar jeritan pendek si gadis. Akan tetapi cuma sekejap, karena detik itu tubuhnya terkulai diatas pundak Jaka Kumbara. Dan kejap berikutnya dengan gerakan cepat telah dibawa berkelebat dari sisi jalan itu. Sebentar kemudian bayangan tubuh pemuda itu lenyap dibalik rumpun bambu.
Ternyata Jaka Kumbara telah gerakkan lengannya menepiskan si bocah laki-laki hingga roboh terjerembab. Kemudian menotok gadis itu dan membawanya melompat pergi dari sisi jalan. Dan ternyata gerakan menepis itu telah berakibat datangnya maut bagi si bocah. Kepalanya terhantam keras ke batu, dan bocah yang malang itu tewas seketika dengan kepala rengat.
Dibalik semak belukar Jaka Kumbara melemparkan tubuh si gadis ke atas rumput. Wajahnya menyeringai dengan mata liar memandang tubuh sang gadis yang terkulai tak sadarkan diri.
Gemparlah penduduk desa itu ketika melihat seorang bocah laki-laki tewas dengan keadaan mengerikan disisi jalan. Beberapa orang laki-laki berkerumun melihat mayat si bocah. Salah seorang mengenali siapa adanya bocah berusia lima tahun yang tewas itu.
"Anak ini pasti ada yang membunuhnya. Dia Juntoro anak pak Kuwu. Setahuku tadi baru pulang dari kedai bersama kakak perempuannya Murinah. Aneh, kemana gadis itu perginya?" berkata salah seorang dari mereka.
Laki-laki itu adalah pak Gularso, tetangga pak Kuwu. Dia mengetahui kalau Murinah sering berada dikedai membantu ibunya berjualan. Beberapa orang segera mengangkat mayat bocah itu. Sementara yang lainnya sibuk mencari si gadis.
"Lihat! Ada bekas telapak kaki disini. Pasti gadis itu diculik orang!" teriak salah seorang laki-laki berselempang sarung.
Beberapa orang melompat untuk melihat bekas-bekas telapak kaki yang ditunjukkan itu. "Benar! pasti dia diculik!"
"Jangan-jangan si penculik itu mau..." berkata seorang pemuda.
"Cepat menyebar ke sekitar tempat ini! Cari penculik keparat itu, kalau bertemu bunuh mampus saja!" teriak seorang laki-laki berbaju hitam tak sabar. Dia yakin si penculik masih belum jauh dari tempat kejadian. Segera saja tujuh delapan orang menyebar ke sekitar sisi jalan itu.
Kebetulan lima diantaranya membawa benda tajam yang selalu diselipkan dipinggang. Masing-masing mencabut golok dan badiknya. Salah seorang mencabut sebatang bambu pagar yang berujung runcing.
Empat orang melompat ke arah hutan bambu. Sedang tiga-empat orang lagi menyeberang kesisi jalan dan melacak jejak si penculik disekitar kebun yang penuh pohon-pohon rimbun dan semak belukar itu. Sementara dua orang lagi cepat memondong mayat si bocah laki-laki yang malang itu ketengah desa.
Alangkah terperanjatnya keempat orang-orang desa ini ketika menemukan sesosok tubuh perempuan dalam keadaan membugil dibalik semak belukar. Segera mereka mengenali perempuan itu adalah si gadis yang bernama Murinah, anak pak Kuwu.
Pak Gularso hampir tak percaya ketika melihat keadaan si gadis yang telah tewas dengan dua luka dilambung dan pangkal leher gadis itu. Darah mengental disekitar perut dan dada. Bergetar tubuh keempat laki-laki ini menahan amarah.
"Cepat cari manusia iblis terkutuk itu! Cincang dia sampai hancur!" teriak pak Gularso dengan suara parau menggetar. Ketiga kawannya segera berlompatan mencari jejak si manusia durjana.
"Ya, Tuhan! Bencana apakah yang telah menimpa desa ini?" gumam laki-laki ini seraya memalingkan wajahnya. Hatinya bagai terluka melihat kebiadaban manusia yang telah tega berbuat sekeji itu.
Mereka yakin perbuatan keji itu pasti dilakukan seorang manusia. Keresahan tampak mulai terasa dihati masing-masing penduduk. Hari itu juga dikuburkan dua jenazah dengan diiringi deraian air mata.
Matahari mulai agak menggelincir dari porosnya. Sinarnya agak redup. Sesosok bayangan tampak melintasi lembah Tongkat Putih dengan pesat. Ketika sosok bayangan itu berhenti disisi bukit kapur, segera terlihat siapa adanya sosok bayangan itu. Ternyata tiada lain dari Jaka Kumbara. Pemuda ini sejenak mengawasi pesanggrahan yang terletak diatas bukit.
"Hm, ingin kulihat siapa gerangan orang-orang penghuni pesanggrahan itu. Tentu ini sebuah perguruan silat. Haha... bagus! Ingin kulihat, apakah mereka mampu mengungguli ilmu kepandaianku? Keris yang kumiliki benar-benar hebat. Aku yang tak pernah belajar ilmu silat, tetapi bisa menewaskan empat orang perwira Kerajaan yang penasaran mengejarku. Hahaha... mereka cari mampus saja!" berkata Jaka Kumba-ra dalam hati.
Teringat pemuda ini ketika dia melintasi perbatasan Kerajaan Whirata. Saat itu dia pergi ke arah timur dengan berjalan santai, dia menjumpai sebuah sungai berair jernih. Tentu saja hatinya tak tahan untuk berendam diri diair yang sejuk itu.
Setelah puas mandi, dia membaringkan tubuh-nya ditepian. Hampir dia tertidur karena mengantuk. Tiba-tiba terasa kerisnya bergetar. Dengan terkejut dia membuka mata. Alangkah terkejutnya ketika dia membuka mata, empat sosok tubuh tengah menghampirinya dengan berindap-indap tanpa menimbulkan suara. Seketika dia melompat berdiri.
Ternyata empat orang perwira Kerajaan siap mengirim nyawanya ke Akhirat. Karena keempat perwira itu masing-masing telah menghunus klewang untuk merencah tubuhnya. Tahulah dia bahwa keempat perwira itulah yang diperintahkan Patih Gajah Rono untuk membuntutinya. Tapi dia telah menipu mereka dengan membuat kudanya seolah-olah mengalami kecelakaan tersungkur kesemak belukar.
Keempat perwira Kerajaan itu adalah perwira kelas satu. Tentu saja ilmu kepandaiannya tidaklah dapat dianggap enteng. Melihat manusia yang akan mereka lumatkan mendadak terbangun dan melompat berdiri, keempatnya agak terkejut. Akan tetapi detik itu juga mereka menerjang dengan klewang-klewangnya...
Sucitro alias Jaka Kumbara merasa yakin akan kekuatan ghaibnya. Tangannya seperti digerakkan kekuatan aneh untuk mencabut kerisnya. Terdengar jeritan keempat perwira Kerajaan itu ketika dia mengibaskan senjata itu. Hawa dingin yang membekukan aliran darah seketika menebar dibarengi dengan ben-turan keras dari senjata-senjata lawan yang tersampok mental.
Jaka Kumbara perdengarkan suara tertawa terbahak-bahak melihat keempat lawannya terengah-engah dengan tubuh menggigil dan wajah pucat pias. Pemuda ini menghampiri satu persatu. Dan keris Ku-tukan Iblis dihunjamkan kejantung lawan. Begitu mudahnya bagi Jaka Kumbara untuk mengirim nyawa lawan-lawannya ke Akhirat.
Tapi yang membuat aneh, adalah dia tak mampu menolak kekuatan ghaib yang dipancarkan melalui tatapan mata si kakek aneh yang mengusirnya keluar dari wilayah Kerajaan Whirata. Kerisnya menggetar dan lengannya seperti digerakkan kekuatan ghaib untuk menyimpan keris maut itu ke dalam serangkanya. Dan diapun pergi meninggalkan wilayah kerajaan itu.
Siapa adanya kakek itu masih menjadi pertanyaan bagi dirinya. Tapi dia tak perlu takut, karena keris itu masih berada ditangannya. Kini sepasang matanya memandang ke arah pesanggrahan diatas bukit kapur itu. Dari dalam dadanya bergolak rangsangan hebat untuk menyebar maut. Keris Kutukan iblis seperti meronta-ronta tak sabar untuk menghirup darah!
Detik itu juga dia telah berkelebat mendekati pesanggrahan perguruan Tongkat Suci. Gerakannya gesit ketika menyelinap masuk ke sebuah jendela kamar yang terbuka. Ternyata itulah ruangan kamar si Serigala Putih Betina, Purbarini. Wanita yang baru melahirkan itu terkejut melihat sesosok tubuh melompat masuk dari jendela.
"Siapa kau?" membentak Purbarini dengan wajah pucat karena terkejut. Saat itu Kuntari si gadis keponakannya baru saja meninggalkan kamar. Jendela kamar memang sengaja dibuka karena hawa dalam kamar terasa panas. Sepasang mata Jaka Kumbara je-lalatan memandang wanita ini. Sebentar menatap pada sang bayi, sebentar beralih pada Purbarini.
"Hahaha... kau cukup cantik dan sangat cantik! Siapa namamu, nona? Dan... apakah ini bayimu?" Jaka Kumbara seperti tak memperdulikan pertanyaan Purbarini. Bahkan dia memandang dengan berahi membakar dada.
Purbarini memang hanya mengenakan selapis kain saja penutup tubuhnya. Wanita ini cepat mendekap bayinya, dengan hati berdebar tak keruan. "Apa yang akan kau lakukan? Siapakah kau?"
Purbarini mencoba berkata dengan suara agak lunak. Tapi diam-diam dia khawatir sekali karena melihat tatapan mata laki-laki itu tajam menusuk jantung, dan seperti merayapi sekujur tubuhnya. Sebagai seorang pendekar wanita Purbarini sadar akan bahaya. Dia cukup dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang laki-laki hidung belang. Tapi keadaan tubuhnya masih lemah. Diam-diam dia menyesali kepergian suaminya, dan mengumpat anak buahnya yang tak mengetahui ada orang yang masuk menyelinap ke dalam pesanggrahan.
"Jangan takut! Aku akan bersikap baik padamu, nona!" berkata Jaka Kumbara dengan tertawa menyeringai. Dan tiba-tiba saja dia telah mencabut kerisnya. "Jangan coba-coba berteriak, kalau tak ingin bayimu kubunuh mampus!" ancam Jaka Kumbara seraya melompat kepintu dan mengunci pintu kamar.
"Apa yang akan kau lakukan?" sentak Purbarini dengan wajah semakin pucat.
"Lepaskan bayimu, dan... kau harus menuruti keinginanku!" berkata Jaka Kumbara seraya melangkah mendekati.
Purbarini yang masih lemah itu bagai mendengar petir disiang hari mendengar ancaman laki-laki itu. Keadaan Purbarini seperti telur diujung tanduk. Dan Jaka Kumbara semakin melangkah mendekati. Pada detik itulah tiba-tiba terdengar ketukan pintu disertai suara seorang perempuan.
"Bibi Purbarini...! Ada siapakah didalam? Mengapa kau mengunci pintu kamar?" itulah suara Kuntari si gadis keponakan wanita ini.
"Keparat!" memaki Jaka Kumbara dengan suara berdesis. Laki-laki ini cepat melangkah mendekati pintu. "Hm, suaranya sangat merdu, tentu seorang gadis. Bagus, hari ini aku bisa merasakan kehangatan dua perempuan sekaligus!" berkata Jaka Kumbara dalam hati.
Pada detik itulah Purbarini melihat adanya kesempatan baik. Lengannya meraih sebuah gunting dibalik lipatan selimut bayi. Gunting yang memang biasa disediakan didekat bayi itu melesat kepunggung Jaka Kumbara ketika Purbarini menggerakkan tangannya. Walaupun tenaga wanita ini masih lemah, tapi lemparan itu cukup kuat.
Akan tetapi membelalak mata Purbarini karena benda itu seperti menghantam kapas saja layaknya. Punggung Jaka Kumbara seperti dihalangi satu kekuatan tenaga dahsyat yang menolak lemparan benda tajam itu. Gunting itu mental balik dan jatuh dilantai.
Akan tetapi hal itulah yang membuat malapetaka bagi sang Srigala Putih Betina. Karena seketika Jaka Kumbara berbalik. Wajahnya menyeringai gusar. Detik selanjutnya tubuhnya berkelebat. Dan terdengarlah jeritan wanita itu. Darah menyembur membasahi tempat tidur. Keris Kutukan iblis telah meminta korban jiwa. Tanpa berkelojotan lagi, wanita pendekar itu tewas seketika.
Sang jabang bayipun terjaga dari tidurnya dan menangis keras. Pada saat itulah pintu kamar didobrak dari luar. Terdengar suara bergedubrakan. Pintu itu hancur berkepingan, dan sesosok bayangan bertubuh ramping melompat ke dalam.
"Hah! Apa yang terjadi? siapa kau?" teriak Kuntari dengan wajah pucat. Ketika melihat keris ditangan laki-laki itu, dan melihat darah menggenang didada sang bibi, seketika menjeritlah gadis ini.
PRANAJAYA hatinya gelisah. Dia tak menemukan Eyang gurunya, Bimo Gundil ditempat kediamannya. Entah kemana perginya si Pertapa Mata Dewa itu. Sejak siang tadi hatinya gelisah. Tiba-tiba saja dia teringat pada istrinya dipesanggrahan. Bayangan-bayangan wajah sang istri mendadak semakin sering muncul dimatanya. Hal itulah yang membuat dia melarikan kudanya bagaikan terbang agar cepat tiba di pesanggrahan Tongkat Suci.
Ketika akan melintasi lembah Tongkat Suci mendadak seekor kuda menyusulnya dari arah timur. Tentu saja Pranajaya agak menahan lari kudanya untuk melihat siapa adanya penunggang kuda itu. Semakin lama semakin dekat. Segera terlihat siapa si penunggang kuda coklat kemerahan itu. Ternyata tak lain dari Nanjar si Dewa Linglung.
"Sobat Pranajaya, Srigala Putih Jantan! Ada apakah kau melarikan kuda bagai dikejar setan?" bertanya Nanjar dengan agak terengah-engah.
Sesaat laki-laki ini menatap pemuda berbaju gumbrong kumal itu. Mendadak wajahnya berseri gembira. "Haih! Kiranya kau sobat pendekar Dewa Linglung. Senang sekali bertemu denganmu...!" sapa Pranajaya.
Dia mengenal Nanjar ketika setahun yang lalu pernah diadakan perlombaan adu ketangkasan dilembah Tongkat Putih. Perlombaan itu memang diadakan setiap setahun sekali. Pranajaya mengenal Nanjar dari gadis keponakannya, Kuntari, yang ternyata telah bersahabat dengan si Dewa Linglung.
Pranajaya segera tuturkan maksudnya secara singkat. Kemudian dia mengajak Nanjar untuk singgah kepesanggrahannya. Nanjar memang bertujuan mene-mui sahabatnya itu berkenaan dengan tujuannya mencari jejak si pemuda bernama Sucitro alias Jaka Kumbara. Tentu saja dia tak menolak. Tak lama dua ekor kuda itu melintas cepat di lembah Tongkat Suci...
Sukar diceritakan betapa terperanjat dan sedihnya hati Pranajaya ketika menjumpai istrinya dalam keadaan tewas. Belasan mayat tampak bergelimpangan dihalaman pesanggrahan. Menurut laporan anak buahnya, dipesanggrahan telah muncul seorang laki-laki mengaku bernama Jaka Kumbara. Laki-laki asing itu masuk kamar tanpa diketahui seorangpun dan membunuh sang guru wanita mereka. Baru diketahui ketika terdengar jeritan Kuntari.
Ketika mereka memburu ke tempat kejadian, Kuntari sang gadis adik ipar Pranajaya telah berada dalam pondongan laki-laki itu. Belasan orang anak buah perguruan Tongkat Suci mengurung pemuda itu. Akan tetapi akibatnya delapan orang tewas. Saat itu beberapa orang tetamu pendekar yang diundang Pranajaya telah tiba.
Merekapun terlibat dalam pertarungan. Namun beberapa orang tewas menjadi korban keganasan keris pusaka ditangan si laki-laki tersebut. Sebelum meninggalkan pesanggrahan laki-laki itu menyebutkan siapa dirinya. Kemudian berkelebat pergi meninggalkan puncak bukit kapur.
"Kemana perginya bangsat biadab itu?" tanya Nanjar membentak salah seorang anak buah Pranajaya.
"Ke... ke arah utara sana, den..." sahut laki-laki yang ditanya. Tak ayal tanpa menunggu lama lagi, Nanjar keprak pantat kuda tunggangannya untuk mengejar si pembuat malapetaka.
Sementara itu di satu tempat tak jauh dari wilayah lembah Tongkat Suci. Tampak dua sosok tubuh tengah saling berhadapan. Siapa adanya dua orang itu tiada lain dari dua orang kakek dan nenek tua renta.
Yang laki-laki ternyata si kakek aneh Bimo Gundil alias si Pertapa Mata Dewa. Dan si nenek tua renta bertubuh agak bungkuk itu belum jelas siapa adanya. Karena kedua kakek dan nenek itu tengah terlihat pertengkaran sengit.
"Sungguh tak kusangka kau si Iblis Bungkuk Siluman Tengkorak Bolong yang telah mendalangi munculnya malapetaka itu! Apakah maksudmu sebenarnya memperalat pemuda bernama Sucitro itu untuk melakukan kejahatan dan kebiadaban dimuka bumi ini?" berkata Bimo Gundil dengan membentak gusar.
"Hik hik hik... baiklah kalau kau ingin mengetahui, kakek tua renta yang sudah dekat liang kubur! Ketahuilah, bahwa Sucitro alias Jaka Kumbara adalah keturunan keluarga besarku sendiri. Dia masih cucuku sendiri...! Aku telah bersumpah takkan membiarkan seorang keturunan dari keluarga besarku menjadi seorang pendekar. Selama aku masih bernyawa jangan harap hal itu bisa terjadi."
"Mengapa kau bersumpah gila semacam itu?" potong Bimo Gundil dengan mata membelalak.
"Hik hik hik... Semua itu karena biasa... soal asmara. Seperti kau tidak pernah muda saja, Bimo Gundil!" sahut si nenek bungkuk mencibirkan bibirnya.
"Nenek konyol! Segala macam soal asmara mengapa kau bawa-bawa ke dalam kemelut yang penuh malapetaka? Kau ini sungguh-sungguh bukan manusia!" maki Bimo Gundil dengan mendelik gusar. Hampir saja matanya melejit saking gusarnya.
"Huh! Siapa yang tak mendongkol dan sakit hati. Setelah ayahku tewas, ibuku menikah lagi dengan seorang laki-laki yang usianya jauh dibawah usia ibuku sepuluh tahun. Laki-laki itu ternyata seorang tokoh golongan hitam. Dunia memang sudah gila! Dan nasibku memang sial. Ayah tiriku itu mata keranjang. Suatu malam dia memasuki kamarku, dan menggerayangi tubuhku. Benar-benar terkutuk, ternyata aku telah dibius.
"Aku tak dapat menolak keinginannya. Dia berhasil menggagahi diriku. Perbuatan terkutuk itu terus berlangsung beberapa kali tanpa setahu ibuku. Aku hamil! Perutku membengkak. Aku lari dari rumah terkutuk itu. Terlalu edan! Rupanya ibuku sakit hati melihat tingkah suaminya. Suami main gila, diapun turut main gila!" Sampai disini si nenek bungkuk berhenti sebentar untuk menarik napas panjang seperti melepaskan rasa sesak didadanya.
Si kakek Bimo Gundil tercengang mendengarkan, dan menggeleng-gelengkan kepala. "Benar-benar keluarga edan!" tak sadar mulutnya mendesis. "Lalu apa yang kau sendiri telah lakukan?" tanyanya penasaran.
Si nenek bungkuk tertawa terke-keh-kekeh serak sampai mengeluarkan air mata. "Hik hik hik... akupun tak lebih gila dari mereka!" sahutnya setelah tertawanya mereda.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Bimo Gundil ingin tahu.
"Pertama aku benci laki-laki! Begitu bencinya aku sehingga setiap melihat lelaki aku ingin membunuhnya! Tapi belakangan aku mulai merasakan bahwa hanya laki-laki yang dapat memberikan kepuasan, kebahagiaan pada wanita. Hatiku diamuk rasa cemburu bila melihat sepasang sejoli bermain asrama... eh, asmara!
"Maka mulailah aku mengejar laki-laki. Tapi aku tak ingin mempunyai keturunan lagi. Sebab itu setiap laki-laki yang sudah jatuh ke dalam tanganku segera kubunuh mampus! Begitu membabi butanya aku mengejar laki-laki, tanpa kusadari aku telah berhubungan dengan menantuku sendiri!" Sampai disini si nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong terisak-isak.
"Hik hik hik... ternyata keluargaku benar-benar keluarga rusak bejat, dan... edan! Itulah sebabnya aku merasa bahwa kami semua orang-orang rusak! Karena ayahku sendiri adalah seorang penjahat besar. Ibuku adalah istri orang yang dibawa lari olehnya. Mereka kumpul kebo, hingga melahirkan diriku! Nah, masih kurang lengkap jalan ceritanya.
"Ketahuilah, bahwa Sucitro itu adalah cucu adik tiriku, yaitu menantuku sendiri. Aku sadar bahwa kami semua adalah keturunan orang-orang sesat. Akupun pergi mengasingkan diri mempelajari ilmu sesat. Ilmu siluman. Ilmu Iblis! Ilmu macam-macam yang kesemuanya sesat. Aku sudah kepalang menjadi manusia jahat. Oleh sebab itu aku bersumpah untuk membuat keturunan keluargaku menjadi manusia sesat!
"Dengan ilmuku yang dibantu para iblis, aku "meramu" sebongkah besi dengan ilmu-ilmu ghaib dari para siluman. Bongkah besi itu ditemukan Adipati Wukir Kamenda dan dibawa ke pondok Empu Tanu-boyo untuk dirubah menjadi sebuah keris. Itulah keris Kutukan iblis. Keris itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang dalam dadanya berisi dendam, cemburu, dan sakit hati!
"Keris itu memang berjodoh dengan Sucitro. Karena dialah yang kuharapkan dapat menjadi pengganti generasi penerus keluarga besarku! Dia harus menjadi seorang yang paling jahat dan penyebar malapetaka dikolong jagat ini. Sesuai dengan janjiku pada para iblis yang telah memberikan aku kesaktian-kesaktian serta bermacam ilmu ghaib!
"Nah, kukira cukuplah keteranganku! Kini silahkan kau kakek bangkotan yang pernah menjadi salah seorang suamiku mengambil kesimpulan. Salah-kah aku kalau aku bersikap demikian? Bukankah tan-pa kejahatan takkan tercipta keadilan? Dan buat apa adanya kebenaran diatas jagat ini bila tak ada kejahatan?"
Nenek bungkuk Tengkorak Bolong mengakhiri penuturan riwayatnya yang kelam dan gelap. Serrrr...! Bulu tengkuk kakek Bimo Gundil seperti merinding mendengar cerita si nenek bungkuk.
Manusia edan! Kaulah biang malapetaka ini!" membentak kakek Bimo Gundil. Lengannya bergerak ke depan. Serangkum sinar putih menyambar ke arah si nenek bungkuk.
"Hik hik hik... kau mau jadi pahlawan kesiangan?" Teriak nenek tua renta ini. Lengannya mengibas.
Whuuuk!
Segelombang angin dahsyat menerpa memapaki serangan si kakek Bimo Gundil.
Bhlarrr!
Terdengar letusan hebat. Tubuh Bimo Gundil tampak terhuyung beberapa langkah kebelakang. Sedangkan kaki si nenek bungkuk tampak melesak sebatas mata kaki. Terdengar si nenek batuk-batuk beberapa kali. Dan setetes darah kental mengalir turun dari sudut bibirnya yang keriput. Dengan ilmu memberatkan tu-buh dia mampu menahan serangan lawan.
Bahkan kakek Bimo Gundil terhuyung beberapa langkah aki-bat benturan kedua pukulan bertenaga dalam itu. Namun ternyata berakibat si nenek bungkuk sedikit terluka dalam. Ternyata tenaga dalam mereka berimbang. Buktinya kakek Bimo Gundil juga mengalirkan darah dari mulutnya.
"Hik hik hik, tenaga dalammu cukup hebat, Bimo Gundil. Tapi kau tak kan mampu menahan pukulan ghaibku!" bentak si nenek bungkuk.
"Gunakanlah seluruh ilmu sesatmu, nenek kuntilanak!" teriak Bimo Gundil dengan berang. Akan tetapi diam-diam dia telah membentengi seluruh tubuhnya dengan kekuatan ghaib. Sebuah tongkat pendek berwarna putih bagaikan salju telah tergenggam ditangannya.
Nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong menggeram bagai terkena penyakit ayan. Sepasang lengannya menyilang didepan dada. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera.
Sementara itu tak jauh dari tempat pertarungan tampak sesosok tubuh berdiri sejak tadi melihat semua kejadian. Bahkan mendengar pertengkaran kedua kakek dan nenek itu. Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung. Ketika dia membedal kuda untuk mengejar Jaka Kumbara, Nanjar tak berhasil menemukan jejak pemuda pembuat malapetaka itu.
Mendadak telinganya mendengar suara bentakan-bentakan dan celoteh dua orang yang seperti tengah bertengkar bicara. Dengan tanpa menimbulkan suara Nanjar melompat dari kudanya. Kemudian menyelinap kebalik batu mencari dari mana arah suara-suara itu.
Terlihatlah dua orang kakek dan nenek bungkuk yang sama-sama bertubuh aneh tengah saling berhadapan. Dari pembicaraan kedua kakek nenek itu Nanjar dapat mengetahui siapa adanya mereka. Tentu saja dia dapat mengetahui kakek aneh bertubuh kurus kecil berkepala besar itu adalah Bimo Gundil, dan nenek bungkuk itu yang bergelar si Siluman Tengkorak Bolong.
Nanjar terkejut karena pernah mendengar nama julukan itu, sebagai julukan seorang tokoh hitam yang tak ada khabar ceritanya. Dengan penuh perhatian Nanjar mengikuti ja-lannya pertarungan, hingga dia lupa pada niatnya memburu Jaka Kumbara.
Dua tokoh itu tampak saling menggunakan ilmu-ilmu ghaib dan tengah saling serang. "Bimo Gundil, tua bangka tengik! Lihatlah! Langit akan ambruk! Badai taufan akan menggilasmu! Ombak lautan menerjangmu untuk membinasakan kau manusia sombong yang sok menjadi pahlawan!" teriak si nenek bungkuk dengan suara melengking parau.
Tiba-tiba cuaca berubah gelap pekat. Angin keras membersit. Petir menyambar laksana kilatan-kilatan lidah api. Dan Hujan badai bercampur air bah bergulung-gulung entah dari mana datangnya menerjang kakek Bimo Gundil. Laki-laki tua renta dongakkan kepalanya menatap gulungan ombak dan badai yang bergulung-gulung siap menelannya.
"Ilmu iblis!" sentak Nanjar dengan mata membelalak. Tanpa disadari dia telah melompat ke atas kuda karena ngeri tertambus lautan ombak dan badai yang menggunung. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara bentakan kakek Bimbo Gundil.
"Asal api kembali menjadi asap, asal air kembali menjadi uap. Asal badai kembali menjadi angin. Dengan nama Tuhan yang Maha Pencipta, kembalilah kalian pada asalnya!" Bentakan itu disusul dengan menyambarnya tongkat putih ditangan kakek Bimo Gundil ke arah si nenek bungkuk.
Blharr!
Percikan cahaya merah menerangi udara. Lenyaplah seketika badai taufan dan ombak yang bergulung-gulung serta kilatan lidah api yang menyambar-nyambar. Cuaca kembali cerah seperti sedia kala.
Tongkat putih pendek kakek Bimo Gundil meluncur jatuh dan menancap dua inci diujung kaki si nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong. Saat itulah Bimo Gundil menerjang perempuan tua itu.
"Kakek tua renta keparat! Terimalah ini!" bentak si nenek bungkuk. Ratusan sinar hijau meluruk ke arah si kakek. Itulah pukulan Siluman Kelabang Hijau.
Terkesiap kakek Bimo Gundil. Serangan itu adalah diluar dugaannya sama sekali. Pada saat itu Nanjar telah melompat dari punggung kuda. Ditangannya tergenggam pedang mustika Naga Merah. Melihat bahaya mengancam si kakek, detik itu juga tubuh Nanjar berkelebat...
PLAK! BHLARRR!
Tiga batang tubuh tampak terlempar diiringi pekikan-pekikan yang membaur merobek udara. Sesaat suasana ditempat itu menjadi hening. Begitu hening mencekam. Tiga sosok tubuh itu tak satupun yang terlihat bergerak. Selang beberapa saat salah satu sosok tubuh tampak bergerak. Itulah sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung.
Nanjar yang berusaha menyelamatkan jiwa Bimo Gundil berhasil menggagalkan serangan maut nenek bungkuk Siluman Tengkorak Bolong. Dari mulut Nanjar mengalir darah kental kehitaman. Jelas dia terluka dalam. Pelahan dia bangkit dan dengan pandangan nanar melihat kesekelilingnya.
Tampak kakek Bimo Gundil terkapar tak bergerak. Tapi napasnya masih terlihat turun naik. Ketika berpaling pada si nenek bungkuk, perempuan tua renta itu telah tewas dengan dada tertembus pedang mustika Naga Merah.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ternyata sedetik sebelum terjadi benturan ketiga pukulan, Nanjar sempat menghunjamkan pedang mustika Naga Merah kedada si Siluman Tengkorak Bolong...
Dengan setengah menyeret tubuhnya Nanjar mendekati kakek Bimo Gundil. Dadanya serasa sesak, dan sakit sekali. Sejenak dia duduk untuk menyalurkan hawa murni mengusir racun yang mengendap dalam tubuhnya. Selang sesaat Nanjar kembali muntahkan darah kental menggelogok. Jelas pukulan si nenek bongkok sangat dahsyat.
Agaknya itulah pukulan terakhir yang dilepas untuk membunuh lawan, karena dia yakin akan mengirim nyawa lawan ke Akhirat. Tak dinyana kemunculan Nanjar merobah nasib naas sang lawan yang berbalik menewaskan dirinya!
Saat itu kakek Bimo Gundil telah siuman dari pingsannya. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya pucat pias bagai tak berdarah. Jubah dibagian dadanya tampak hangus, dan bergambar telapak tangan membiru agak kehijauan. Ternyata yang telah terkena pukulan si nenek bungkuk adalah kakek ini.
Kakek ini tersenyum menatap Nanjar. Dia mengetahui kalau pemuda itulah yang telah membantunya disaat kritis mengancam jiwanya. Sesaat dia menatap Nanjar lalu berpaling memandang ke arah si nenek bungkuk si Siluman Tengkorak Bolong yang telah tewas dengan dada tertembus pedang Naga Merah. Melihat benda pusaka itu tahulah Bimo Gundil siapa adanya si pendekar muda itu.
"Ah... kiranya anda si Pendekar Naga Merah, si Dewa Linglung yang telah kudengar namanya...! Terimakasih atas bantuanmu, sobat pendekar muda..."
"Kakek Bimo Gundil! kau terluka parah?" tanya Nanjar dengan suara parau.
"Heheh.. heh... tak apa. Aku puas karena telah melihat kematian manusia biang malapetaka ini. Tapi... bencana itu belum lenyap, anak muda..." Kata Bimo Gundil dengan suara parau tersendat-sendat.
"Aku akan mencari jejak pemuda bernama Jaka Kumbara itu, kakek. Tenangkan hatimu. Bertahanlah untuk hidup. Aku akan membantumu menyembuhkan lukamu... Haih! pukulan nenek tua renta itu sangat mengerikan!" Nanjar merayap mendekati dan mencekal tangan si kakek yang menggapainya.
"Aku percaya kau akan berhasil menumpasnya..." kata Bimo Gundil dengan terharu. Digenggamnya tangan Nanjar erat-erat. Dia merasa ajalnya sudah terlalu dekat. Ingin dia mengatakan sesuatu, tapi napasnya telah memburu.
"Se... selamat tingg... ggal, pendekar ga.. gah..." Itulah ucapannya yang terakhir. Kepalanya terkulai dan napasnya pun lepas meninggalkan raganya.
Nanjar terpaku beberapa saat. Tapi segera sadar bahwa dia harus hidup dan mengobati luka dalamnya. Karena tugas kependekaran terus memanggil dirinya.
"Aku akan teruskan tugasmu, kakek Bimo Gundil..! Demi tegaknya keadilan dan kebenaran dibumi... ini...!" Kata Nanjar berdesis. Lalu melepaskan cekalan tangannya pada lengan kakek itu yang telah mendahului pergi ke Alam Baka.
Lama Nanjar berdiri terpaku memandang dua mayat dihadapannya. Pedang mustika Naga Merah baru saja disarungkan kebelakang punggung. Lalu menutup gagang pedang dengan kain buntalannya. Dikejauhan tampak debu mengepul...
Ternyata orang-orang perguruan Tongkat Suci telah menyusul ke tempat itu. Saat itu kuda berbulu coklat kemerahan pemberian Kandilangu berlari mendekati si Dewa Linglung. Nanjar gerakkan tubuhnya melompat kepunggung binatang itu.
"Aku harus segera pergi secepatnya..." desis Nanjar. Dia tak ingin membuat kecewa si Serigala Putih Jantan Pranajaya dan anak-anak buahnya. Nanjar cepat membedal kudanya meninggalkan tempat itu. Menerobos semak belukar, dan lenyap ditelan hutan rimba...
Ketika fajar merekah, nun jauh dibelakang bukit dan pegunungan tampak seorang pemuda berpakaian kumal menunggang kuda diantara jalan setapak. Dari mulutnya terdengar suara nyanyian seperti sebuah sajak yang diulang-ulang beberapa kali.
Hidup ini seperti mimpi... Bertarung adalah permainan kaum pendekar. Beginilah hidup si pengelana... Bercanda dengan maut! Bergurau dengan kemelut...! Entah dimana adanya kedamaian?