Menaklukkan Kota Sihir Jilid 06
“HE-HE-HE, anjing-anjing Manchu, kalian berada di tempat terang, sedangkan kami di tempat gelap. Kami bisa melihat kalian sejelas-jelasnya, sebaliknya kalian masih meraba-raba tentang kami, meskipun kalian berhasil menyelundupkan dua ekor anjing Manchu ke dalam organisasi kami. He-he-he....”
Malam itu Siau Hok-to berusaha tidur pulas, tanpa menghiraukan suara anak perempuannya yang meraung-raung di ruang bawah tanah tempat penyekapannya. Anak perempuannya yang gila sebagai tumbal ilmunya, makin lama makin parah. Kadang Siau Hok-to pilu juga memikir anak perempuannya yang tanpa masa depan itu.
Tetapi setiap kali dalam hatinya muncul suara yang memperingatkan bahwa keadaan anak perempuannya itulah “imbalan” untuk segala yang sudah didapatkan Siau Hok-to selama ini. Ilmu-ilmu, ketenaran dan nama baik sebagai tabib yang berhati mulia.
Dan kekuasaan sebagai ketua Pek-lian-hwe cabang Lam-koan itu bukankah sesuatu yang nikmat juga? Memegang mati hidupnya sekian banyak orang? Meskipun kedudukan itu harus disembunyikan karena Pek-lian-hwe adalah organisasi terlarang oleh undang-undang Kerajaan Manchu.
Esoknya Siau Hok-to bangun dalam keadaan agak segar sudah bertahun-tahun ia tidak pernah benar-benar merasakan tidur dan bangun pagi yang benar-benar menyegarkan, cuma “agak segar” dan itu sudah terhitung baik. Kemudian dengan perasaan setengah disiplin setengah ketakutan, ia menuju ke ruang pemujaan untuk memuja Dewa Api, kebiasaan nya setiap pagi sebelum fajar menyingsing.
Ketika melangkah masuk ke ruang pemujaan yang selama dua puluh empat jam sehari selalu berbau dupa itu, dengan patung Ahusta berukiran gaya Persia di tengah-tengah ruangan, Siau Hok-to sudah bersikap menunduk ketakutan, tak berani menengadah. Ia lalu berlutut, dan mulai berdoa.
Ketika ia mengangkat sepasang tangan ke atas sambil menengadah sebagai bagian dari upacara pribadinya, tak sengaja ia melihat ke arah patung dari batu giok itu. Ia melihat ada semacam garis hitam yang samar dari pundak kanan patung itu, memanjang berkelok-kelok sampai ke bagian ulu hati. Siau Hok-to agak heran, tetapi ia belum berani menghentikan sembahyangnya. Ia selesaikan dulu kewajibannya, kemudian barulah bangkit dari berlututnya dan memeriksa dengan cermat patung pujaannya itu.
Dan setelah ia melihat pasti apa sebenarnya garis hitam itu, kagetnya bukan kepalang, sebab itulah retakan. Artinya patung batu kemala hijau yang bukan cuma amat mahal harganya tetapi juga dipercayainya amat bertuah itu, terancam akan terbelah jadi dua bagian!
Siau Hok-to lalu mulai mencari sebabnya, kenapa patung itu sampai bisa retak? Apakah pernah jatuh? Ia teliti sekitarnya, juga tubuh patung itu, ternyata tidak ada tanda-tanda bekas jatuh atau benturan sekecil apa pun. Tadinya Siau Hok-to hampir saja memarahi pembantunya, karena disangkanya pembantunya yang telah bertindak ceroboh ketika membersihkan tempat itu.
Tetapi anggapan seperti itu sebenarnya kurang masuk akal. Tidak gampang patung batu giok seukuran manusia itu dirobohkan biarpun didorong oleh dua atau tiga orang, apalagi kalau hanya “disenggol” oleh pembantunya yang bertubuh kurus itu. Jadi, dipikir bolak-balik bagaimanapun juga, penyebab retaknya patung itu tetaplah suatu pertanyaan tak terjawab.
Sebagai orang yang terbiasa mengkait-kaitkan hal-hal ganjil dengan pemikiran-pemikiran gaib, akhirnya Siau Hok-to juga mulai mengkait-kaitkan retak arca itu dengan dugaan-dugaan apa yang akan terjadi? Kalau arca yang dianggap “dewa pelindung” orang-orang Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan itu mengalami nasib demikian, alamat apa yang bakal menimpa Pek-lian-hwe cabang Lam-koan? Yang terang bukan alamat baik. Tak terasa Siau Hok-to gentar.
Ruang pemujaan pribadi itu letaknya tepat di atas ruang tempat menyekap anak perempuan Siau Hok-to yang gila. Gadis itu namanya Siau Hiang-bwe. Ketika Siau Hok-to tengah hendak beranjak meninggalkan ruang itu, terdengar suara yang berubah-ubah, “Lepaskan aku dari sini! Kami akan terbakar hangus di sini! Api yang sejati itu sedang membakar kami dan semakin dekati”.
Suara itu bukan suara seorang gadis, tetapi suara laki-laki, bahkan beberapa laki-laki. Siau Hok-to tidak heran lagi. Bahkan kadang-kadang dari mulut puterinya itu keluar suara anak-anak, suara nenek- nenek, bahkan bermacam binatang. Suara asli puterinya sendiri malahan tidak pernah atau jarang terdengar.
Sudah lama Siau Hok-to tidak menengok keadaan puterinya, bukan karena tidak sayang lagi, tetapi karena tidak tega saja. Puterinya itu sudah tidak mau lagi mengenakan pakaian, sekujur tubuhnya dilumuri kotorannya sendiri. Maka hanya pelayanlah yang disuruh mengurusinya, disertai pesan sungguh- sungguh agar tidak menceritakannya kepada orang luar.
Kini, sementara Siau Hok-to melangkah pergi, terdengar gemerincing rantai yang diguncang-guncangkan dan teriakan bermacam-macam suara berganti-ganti namun keluar dari satu mulut, “Biarkan kami semua pergi! Biarkan kami pergi! Kami tidak mau jadi abu!”
Siau Hok-to agak heran juga. Yang dipujanya adalah “Dewa Api” dan siluman-siluman yang masuk ke tubuh puterinya adalah “penguasa-penguasa api”, namun sungguh heran bahwa “penguasa-penguasa api” itu ketakutan, takut “dihanguskan api yang sejati”. Apinya api!
Siau Hok-to tertegun sejenak, ia cuma mengibaskan kepalanya kuat-kuat seolah mengusir semua pikiran yang meresahkan, dan terus melangkah meninggalkan ruangan itu.
Toko obatnya harus buka seperti biasa pagi itu, dan pasien-pasien yang mengandalkan nama besar Tabib Siau pun sebentar lagi bakal berdatangan. Perkara arca yang retak dan teriakan aneh anak perempuannya, untuk sementara dikesampingkan dulu. Ternyata, beberapa saat setelah toko obatnya buka, Siau Hok-to dikunjungi kenalan barunya.
Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap dan bermata tajam, yang bicaranya berlogat Propinsi Ho-pak, seorang yang mengaku bernama Ang Kin-liong, mengaku sebagai saudagar hasil bumi yang sedang berkelana sampai jauh ke wilayah selatan ini untuk “mencari kemungkinan perluasan usaha”, dan orang itu juga menginap di sebuah losmen kelas menengah yang letaknya di seberang toko obat itu.
Namun Siau Hok-to sebagai seorang tokoh sebuah organisasi rahasia yang harus selalu bertindak amat hati-hati agar bisa bertahan hidup, sejak semula tidak mempercayai omongan Si “saudagar hasil bumi” Ang Kin-liong ini meskipun kalau berhadapan dengan orangnya sendiri Siau Hok-to akan pura-pura percaya.
Dan semalam melalui “mata ke tiga” yang “dititipkan” kepada Pang Hui-beng, Si “Semilir Angin”, Siau Hok-to bisa melihat Si “Saudagar Hasil Bumi” ini ternyata ikut berada di kuburan tua Portugis itu, dengan demikian Siau Hok-to pun merasa pasti bahwa Si Kenalan Baru ini tak lain tak bukan juga seorang agen kerajaan menyamar, alias musuh!
Tetapi ketika berhadapan dengan orangnya di toko obatnya, Siau Hok-to tetap menunjukkan sikap ramahnya, sambil tertawa-tawa ia menyambut Si Kenalan Baru ini, “Selamat pagi, Tuan Ang, nyenyak kah tidur Tuan semalam?”
Ang Kin-liong yang sebenarnya adalah Oh Tong- peng, menjawab tak kalah ramahnya, “Selamat pagi, Tabib Siau. Terima kasih. Aku sehat-sehat saja, dan semalam tidur nyenyak, malahan bermimpi dapat untung besar.”
Tabib Siau ikut tertawa, “Dasar Tuan Ang ini pedagang, tidur pun mimpinya mimpi untung besar. Tetapi Tuan sudah datang ke toko obatku, ada yang bisa aku bantu?”
“Ya. Memang. Aku sehat, tetapi kedua pegawai yang bersamaku itu anehya tertimpa penyakit yang bersamaan, mungkin mereka kurang tahan akan hawa yang hangat di wilayah selatan ini.”
“O, mereka jatuh sakit?”
Oh Tong-peng mengangguk mantap, sebenar nya ia sedang mencarikan obat buat Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong, namun diakukan buat kedua agen kerajaan yang bersamanya itu, yang di depannya Siau Hok-to diaku sebagai pegawainya. Kemudian Oh Tong- peng menceritakan kepada “tabib” didepannya itu tentang gejala-gejala yang dialami Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong, ditutup dengan pertanyaan, “Nah, penyakit macam itu, apa obatnya, Tabib?”
Siau Hok-to berwajah serius ketika mendengarkan setiap keterangan Oh Tong-peng, namun sebenarnya tertawa dalam hati. Ia hapal gejala-gejala “penyakit” macam itu. Itulah tanda-tanda orang yang mengikuti upacara penerimaan anggota baru Pek-lian-hwe di “Kota Bunga Persik”, namun mencoba bertahan untuk tidak kerasukan “semangat Pek-lian-hwe” yang hendak dimasukkan melalui topeng yang dibagikan kepada setiap anggota baru. Kalau si anggota baru terbuka dan rela dirasuki “semangat Pek-lian-hwe” maka tak ada masalah.
Masalah justru timbul kalau ada orang yang mengikuti semua upacara Pek-lian-hwe namun tidak membiarkan dirinya dikuasai “semangat Pek-lian-hwe” melainkan mencoba bertahan dengan kepribadiannya sendiri. Orang macam itu akan mendapat kesulitan, mula-mula kecil, dan kalau terus bertahan maka kesulitannya akan makin besar.
Awalnya hanya pusing-pusing dan mimpi-mimpi buruk yang berulang- ulang, tetapi lama-lama bisa mengakibatkan kegilaan. Pihak Pek-lian-hwe tidak ingin kemasukan anggota yang tidak mau bersungguh-sungguh mengabdi secara total kepada keyakinan dan tujuan Pek-lian-hwe.
Sekarang, dengan mendengar dari mulut Oh Tong-peng, Siau Hok-to dapat memastikan bahwa organisasinya sudah kesusupan setidaknya dua orang anggota palsu yang adalah agen-agen Manchu. Ia jadi ingin tahu pasti siapa mereka dan di mana tinggal mereka di kota Lam-koan ini, meskipun yang seorang sudah dikenalinya melalui “mata ketiga” sebagai Si Pemuda Baju Biru yang menumpang di rumahnya Nyo In-hwe.
Maka dia pun menjawab Oh Tong-peng, “Mudah, Tuan Ang, aku ini bukan tabib maha sakti yang bisa menentukan penyakit dan obatnya hanya dengan mendengar keterangan gejala-gejalanya. Aku harus menemui sendiri orang-orangmu yang sakit itu dan memeriksanya sendiri.”
Sebaliknya Oh Tong-peng justru ingin menyembunyikan Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang dalam tugas penyamaran. Maka ia jawab sambil tertawa, “Mana berani kami merepotkan Tabib? Aku pikir, obat penenang syaraf sudah cukup buat kedua pegawaiku itu. Kalau Tabib punya.”
“Sebenarnya kita tidak boleh terlalu gegabah menentukan suatu penyakit hanya dengan mendengar perkataan orang yang tidak mengalami penyakitnya sendiri. Tetapi kalau Tuan Ang begitu yakin dengan penyakit pegawai-pegawai Tuan, ya semogalah memang penyakitnya seringan yang Tuan perkirakan. Apakah Tuan sabar menunggu saya meramu obat untuk pegawai-pegawai Tuan?”
“Biar aku tunggu.”
Sementara Oh Tong-peng dipersilakan duduk di sebuah ruang tamu kecil yang letaknya tepat di sebelah toko obat, maka Siau Hok-to menghilang ke kamar tempatnya ia biasa meramu obat. Di ruang tamu, Oh Tong-peng duduk sendirian, disuguhi secangkir teh. Sesuai kebiasaannya sebagai seorang agen rahasia yang harus waspada senantiasa, Oh Tong-peng mencoba mengamat-amati ruang tamu itu, mencoba mencari ciri-ciri Pek-lian-hwe kalau ada.
Pertama ia melirik ke arah meja sembahyang kecil di pojok. Ia melihat posisi tokoh-tokoh yang dipuja di meja sembahyang itu normal saja. Keluarga ini agaknya ingin menunjukkan kalau mereka memuja tiga tokoh pahlawan dalam legenda Sam-kok, yaitu Lau Pi, Koan Kong dan Thio Hui. Maka gambar tiga orang itulah yang dipasang di meja sembahyang.
Oh Tong-peng pernah dibekali pengetahuan, bahwa rumah seorang anggota Pek-lian-kau di utara atau Pek-lian-hwe di selatan ada ciri khasnya, pada meja pemujaan keluarganya. Kalau normalnya tiga tokoh Sam-kok itu disusun dengan Lau Pi Si Saudara Angkat tertua ditaruh di tengah, maka di rumah orang-orang Teratai Putih biasanya yang ditaruh di tengah adalah Koan Kong.
Itulah sebabnya yang paling dulu dilihat Oh Tong-peng adalah meja pemujaan keluarga, dan dilihatnya patung kecil Lau Pi ditaruh di tengah, diapit patung-patung kecil Koan Kong dan Thio Hui. Normal. Oh Tong-peng coba mengamat-amati hiasan-hiasan rumah lainnya, dan ia pun tidak curiga lagi.
Tidak ada tanda-tanda Pek-lian-hwe di ruangan ini. Malahan dekat pintu yang menembus ke ruang yang lebih dalam, dihiasi dengan sajak berpasangan yang terkenal, hasil karya Kaisar Khong-hi, kakek dari Kaisar Kian-liong yang bertahta sekarang.
Mana mungkin rumah seorang Pek-lian-hwe memasang sajak berpasangan hasil karya seorang Kaisar Manchu, sedang kaum Teratai Putih dikenal amat membenci dinasti Manchu, bahkan bercita-cita menumbangkan nya? Untuk sementara Oh Tong-peng berkesimpulan kalau Tabib Siau itu warga masyarakat biasa yang tidak bersangkut-paut dengan organisasi terlarang itu. Karena itulah, dengan tenteram dan tanpa curiga, Oh Tong-peng menikmati teh yang disuguhkan.
Agak lama ia menunggu, sampai Tabib Siau muncul di ruang tamu sambil menjinjing dua buah bungkusan kertas yang disatukan dengan seutas tali pandan. Diserahkannya kepada Oh Tong-peng sambil berkata ramah, “Inilah, Tuan Ang. Ramuan ini mudah-mudahan bisa meringankan penyakit kedua pegawai mu, bahkan menyembuhkannya sama sekali.”
Oh Tong-peng menerimanya, dan ketika ia mengeluarkan kantong uangnya sambil menanyakan harga obatnya, Tabib Siau buru-buru menggoyang tangannya sambil berkata, “Yang ini cuma-cuma, Tuan Ang. Tidak apa-apa. Kebetulan bahan-bahannya juga bisa didapat cuma-cuma di kebun obatku, jadi tidak ada harganya.”
“Tetapi jerih payah Tabib....”
“Jerih payah apa? Aku ini jadi Tabib dan buka toko obat bukan menomor-satu-kan keuntungan, tetapi demi menolong sesama semampuku. Simpan lah uangmu, Tuan Ang.”
Melihat tabib ini begitu “mulia hatinya”, Oh Tong-peng tidak enak kalau terus memaksa untuk membayar. Maka sambil mengucapkan terima kasih, ia lalu berpamitan sekalian. Dalam hati Oh Tong peng merasa tidak enak juga, batinnya, “Keterlaluan aku ini. Orang begitu baik kepadaku, begitu tulus, aku sudah membohonginya dengan nama palsu dan alasan palsu. Tetapi apa boleh buat, demi tugas.”
Sementara Siau Hok-to mengantar kepergian “Ang Kin-liong” sambil tertawa dingin dalam hatinya, “Hem, anjing Manchu, kedua anjing kecilmu itu adalah orang-orang yang menyusup ke pihakku namun mencoba menolak tubuhnya didiami dewa-dewa kami, makanya menemui masalah-masalah berat. Dengan obat ramuanku, anjing-anjing Manchu itu akan segera tidur pulas, dan begitu bangun lagi mereka akan sepenuhnya dalam kendali para 'tentara langit’ kami, takkan ada perlawanan lagi.”
Sementara itu, Oh Tong-peng tiba di penginapannya yang di seberang toko obat, dan langsung memanggil kedua perwira bawahannya ke kamarnya. Ia sodorkan bungkusan-bungkusan obat itu masing-masing satu kepada kedua bawahannya, “Kau bawa ini kepada Kui Tek-lam dan suruh dia meminumnya. Dan kaulakukan tugas yang sama, tetapi untuk Lo Lam-hong.”
Kedua bawahannya itu langsung hendak beranjak, tetapi langkah mereka terhenti oleh suara Oh Tong-peng, “Tunggu!”
“Ada apa, Kakak Oh?”
“Kalian pergi lewat pintu belakang.”
“Kenapa?”
“Jangan sampai kalian dilihat oleh Tabib Siau di tokonya di seberang jalan, sebab kalian berdualah yang kukatakan sakit dan kumintakan obat.”
“Baiklah, Kakak Oh.” Kedua orang itu pun berlalu.
Sore itu, Kui Tek-lam sedang bermain-main dengan kedua orang anak Nyo In-hwe, bermain-main dengan bola yang terbuat dari rotan. Meski dalam beberapa malam Kui Tek-lam kurang tidur sehingga wajahnya agak kuyu, lebih cepat tua, tubuhnya kurus dan kondisi badannya melorot, namun dengan bermain sepak raga bersama anak-anak Nyo In-hwe, ia berharap badannya bisa lebih segar sedikit, lebih dari itu ia berharap malam nanti tubuhnya akan cukup kelelahan sehingga bisa tidur pulas. Tidak lagi diganggu mimpi-mimpi yang seram.
Ia bermain-main di halaman samping rumah Nyo In-hwe yang berumput hijau, sebuah rumah bergaya blasteran Cina-Eropa, meniru rumah-rumah di Makao yang sudah lama dipengaruhi kebudayaan Portugis. Rumah itu dikelilingi tembok yang tinggi, sehingga selama bermain-main itu Kui Tek-lam tidak bisa melihat apa yang terjadi di jalanan.
Dua anak-anak dan satu orang dewasa itu bermain-main dengnan asyik, berleleran keringat, memburu bola rotan yang ditendang kian kemari, kadang-kadang sambil berteriak senang dan tertawa berderai-derai. Ternyata Kui Tek-lam juga menikmati suasana itu sebagai pengendor urat syarafnya.
Kui Tek-lam kembali jadi seperti anak kecil, larut dalam suasana itu. Ia bahkan tidak mempedulikan kehadiran wanita berwajah seram dan berpakaian serba hitam yang menjadi pengasuh anak-anak Nyo In-hwe itu. Mungkin juga tugasnya rangkap dua, bukan cuma mengasuh anak-anak, melainkan juga mengawasi Kui Tek-lam, tetapi Kui Tek-lam tidak peduli.
Kui Tek-lam sedemikian asyik, sampai kupingnya menangkap suara ketukan berirama dari bambu yang biasa dibawa tukang pangsit, dari sebelah luar tembok. Ia tahu rekannya sesama agen kerajaan mencoba menghubunginya. Meskipun demikian, ia tidak serta-merta meninggalkan permainan lalu menuju keluar, mau tidak mau ia harus menjaga tindak-tanduknya agar tidak menimbulkan kecurigaan Si Inang Pengasuh.
Kui Tek-lam masih bermain bola untuk beberapa saat, sampai kemudian dengan sebuah gerakan seolah-olah tidak sengaja, ia menendang bola kelewat tinggi sehingga melalui tembok dan jatuh di luar. Hal itu memang terjadi berulang kali setiap kali permainan, dan Kui Tek-lam berharap Si Inang Pengasuh takkan curiga. Kedua anak Nyo In-hwe kontan berteriak-teriak jengkel sambil banting-banting kaki segala, sementara Kui Tek-lam pura-pura garuk-garuk kepala.
“Paman Kui lagi-lagi menendang terlalu keras bolanya!”
“Sudah empat kali dengan yang ini!”
“Paman harus memungut bolanya!”
Kui Tek-lam tak langsung menuruti permintaan anak itu, ia pura-pura sangat enggan, bahkan berkata, “Anak-anak, hari sudah sore, bagaimana kalau besok saja kita teruskan permainan?”
Kedua anak Nyo In-hwe terus mendesak, akhirnya dengan berlagak terpaksa dia pun melompati tembok halaman yang tingginya dua meter itu. Soal ilmu silat, Kui Tek-lam memang tidak lagi merahasia kannya. Bukankah kepada Nyo In-hwe ia mengaku sebagai buronan yang telah berani mencuri lima ribu pucuk bedil pesanan pemerintah Manchu? Tentu tidak masuk akal kalau “buronan” sehebat itu tidak bisa silat sama sekali.
Tiba di luar tembok, Kui Tek-lam berharap akan melihat Pang Hui-beng, rekannya yang suka menyamar sebagai tukang pangsit itu. Ternyata kali ini tidak, yang menunggunya di luar tembok adalah rekannya yang selalu bersama-sama dengan Oh Tong- peng. Rekannya itu juga tidak membawa pikulan pangsit, tetapi hanya membawa bambu ketokan-nya saja.
Kui Tek-lam melihat jalanan cukup sepi, sehingga ia mendekat dengan berani dan berkata lirih, “Ada apa?”
Si Tukang Pangsit yang hanya membawa ketokan bambunya saja itu mengeluarkan sebungkus ramuan obat dari balik bajunya, disodorkan kepada Kui Tek-lam sambil berkata, “Aku disuruh Kakak Oh untuk menyerahkan ramuan ini kepadamu. Dimasak dengan air, lalu diminum, mungkin penyakit susah tidurmu akan sedikit tertolong.”
Tangan Kui Tek-lam terulur menerima bungkusan itu, namun ia tidak menjadi besar hati mendengar perkataan rekannya itu. Penyakit susah tidurnya bukanlah penyakit biasa, Kui Tek-lam percaya bahwa penyakit itu sudah melibatkan liku-liku kekuatan gaib. Buktinya Lo Lam-hong juga mengalami hal yang sama. Beberapa malam berturut-turut mimpi didatangi ribuan mahluk yang wajahnya mirip wajah topeng yang mereka terima sebagai semacam “tanda anggota” Pek-lian-hwe. Tidak mungkin keadaan macam itu diatasi dengan obat.
Tiba di luar tembok, Kui Tek-lam berharap akan melihat Pang Hui-beng, rekannya yang suka menyamar sebagai tukang pangsit itu, biasa. Toh untuk melegakan maksud baik Oh Tong-peng, Kui Tek- lam terima juga bungkusan itu, sambil berkata, “Sampaikan kepada Kakak Oh, aku mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Ada pesan lain lagi?”
“Pesan Kakak Oh, agar kau bertahan sekuat tenaga menghadapi pengaruh gaib Pek-lian-hwe yang ingin mencengkeram dan merasukimu.”
“Tentu saja. Kalau aku tidak bertahan, saat ini mungkin aku sudah memperoleh malam-malam yang nikmat dengan tidur yang nyenyak. Tetapi sudah menjadi orang Pek-lian-hwe seutuhnya, luar dalam.”
“Di luar dugaan kita bahwa tugas penyusupan ini akan begini berat, ya?”
“Sudahlah. Mundur pun tak mungkin lagi. Tolong titip salam hormatku saja buat Kakak Oh.”
Si Tukang Pangsit gadungan itu mengangguk-angguk dan menghilang di ujung jalan. Sementara Kui Tek-lam cepat-cepat mengantongi bungkusan obat itu, kemudian mengambil bola rotan itu di rerumputan dan melompat kembali ke halaman samping rumah Nyo In-hwe dengan melewati atas tembok.
Jalanan begitu sepi, tak terlihat seorang pun. Tetapi Kui Tek-lam dan rekannya tidak menyadari bahwa gerak-gerik mereka diawasi dari jarak belasan langkah oleh seseorang yang nongkrong di dahan pohon, di balik rimbunnya dedaunan. Orang itu adalah Nyo In-hwe sendiri!
Melihat semuanya tadi, Nyo In-hwe merasa dadanya panas, merasa selama ini dibohongi dan diremehkan oleh Kui Tek-lam, dianggap sebagai orang tolol yang hendak diperalat. Untunglah, sebelumnya Nyo In-hwe sudah bertemu dengan ketua cabang Pek-lian-hwe untuk Lam-koan, yaitu Siau Hok-to, sehingga ia tidak langsung bertindak kepada Kui Tek-lam.
Pikir Nyo In-hwe, “Ternyata benar apa yang dikatakan Kakak Siau siang ini di toko obatnya, bahwa Kui Tek-lam adalah anjing Manchu yang menyusup. Tadi aku kurang percaya, tetapi sekarang melihat gerak-geriknya yang mencurigakan, dia berbicara dengan tukang pangsit yang tidak membawa pikulan pangsit, rasanya aku harus percaya omongan Kakak Siau, dan mulai lebih ketat mengawasinya.”
Meski mulai percaya, namun Nyo In-hwe tidak segera bertindak, teringat pesan Siau Hok-to, agar lebih dulu pura-pura belum curiga, dengan tujuan lebih dulu memancing apa tujuan sebenarnya dari para agen-agen kerajaan yang berkeluyuran di Lam- koan itu. Kata Nyo In-hwe dalam hatinya,
“Hem, anjing-anjing Manchu itu mengira kami tolol dan tidak tahu gerak-gerik mereka, padahal merekalah yang tolol, merekalah yang lebih dulu kami ketahui gerak- geriknya. He, rasanya aku tidak sabar lagi melihat mereka meratapi ketololan mereka sendiri. Tetapi aku harus sabar agar tidak mengacaukan rencana Kakak Siau. Menurut Kakak Siau, ia sudah memberi obat pelemah syaraf kepada kedua anjing Manchu yang menyusup ini, dan agaknya bungkusan yang diberikan oleh Si Tukang Pangsit gadungan kepada Kui Tek-lam tadi. Hem.”
Mengingat rapinya persiapan di pihaknya sendiri, kemarahan Nyo In-hwe jadi banyak berkurang. Ia pun keluar dari persembunyiannya, dan menyelinap masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu, Kui Tek-lam sendiri, tanpa menyadari kalau gerak-geriknya sudah diawasi Nyo In-hwe, masih terus bermain bola rotan dengan anak-anak Nyo In-hwe, sampai matahari belum tenggelam. Permainan barulah berhenti, ketika pengasuh anak-anak yang berwajah seram itu menyuruh anak-anak asuhannya untuk berhenti bermain-main dan mandi. Agaknya anak-anak Nyo In-hwe sendiri pun gentar kepada pengasuh itu.
Kui Tek-lam sendiri segera membersihkan badan, mengganti pakaian, ikut makan malam bersama keluarga tuan rumah seperti biasanya, dan Nyo In-hwe masih tetap bersikap amat ramah. Selesai makan malam, Kui Tek-lam sebenarnya mengeluh dalam hati, ia selalu ketakutan menjelang saat-saat orang tidur. Itulah saat-saat ia akan segera bergulat dengan sakit kepalanya, mimpi-mimpi buruknya yang berulang kali, dengan kantuk yang hebat tetapi tak terlampiaskan.
Suatu siksaan dari dalam tubuhnya sendiri yang begitu hebat. Tetapi ia jadi agak tenang mengingat bungkusan titipan dari Oh Tong-peng melalui Pang Hui-beng tadi. Katanya, obat ini akan meringankan penderitaannya.
Tetapi Kui Tek-lam tidak segera menyeduhnya, ia menunggu sampai rumah itu jadi sepi, nanti kalau sudah sepi barulah ia akan menyelinap ke dapur dan menyeduh ramuan itu. Sambil menunggu rumah itu jadi sepi, Kui Tek-lam coba membunuh waktu dengan membaca-baca di ruangannya.
Namun selama ini ada kejadian yang cukup istimewa, yang berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Ketika tengah membaca-baca, kantuk yang hebat tiba-tiba menyerang Kui Tek-lam. Kui Tek- lam mencoba bertahan, ia tidak mau tidur, atau lebih tepatnya takut tidur, takut didatangi mimpi-mimpi menakutkan itu. Itulah sebabnya ia bertahan untuk jangan tidur dulu.
Alam tidur alias alam mimpi seolah jadi berubah jadi dunia asing yang menakutkan, sehingga ia takut memasukkannya. Tetapi pelupuk matanya terasa makin berat saja, betapapun ia mencoba bertahan, akhirnya ia tidur dengan wajah menelungkup di meja, menindih kitab yang sedang dibacanya. Dan masuklah ia ke dalam alam yang ditakutinya itu. Mimpi seperti yang kemarin dan kemarinnya pun datang lagi.
Mahluk yang wajahnya seperti wajah topeng kayu pemberian Nyo In-hwe, muncul dari kegelapan dan menyerangnya, bahkan jumlahnya bertambah-tambah sehingga Kui Tek-lam kewalahan. Kalau sudah mimpi seperti ini, biasanya Kui Tek-lam akan geragapan bangun dengan punggung berkeringat dingin, jantung berdebar-debar dan kepala berdenyut-denyut sakit, dan sulit untuk melanjutkan tidurnya, kadang-kadang sampai fajar menyingsing.
Tetapi kali ini lain kesudahannya. Masih dalam mimpi, selagi Kui Tek-lam hampir dikeroyok mampus oleh mahluk-mahluk aneh itu, tiba-tiba ada ribuan titik-titik cahaya di kegelapan, seperti ribuan kunang-kunang, makin lama makin dekat.
Cahaya itu membesar, sampai terlihat ujudnya sebagai ribuan orang-orang berjubah putih yang langkahnya bagaikan terbang, masing-masing memegang pedang yang bernyala-nyala. Mahluk-mahluk berwajah topeng kelihatan beringas dan marah menghadapi mahluk- mahluk bercahaya yang baru datang itu, namun mahluk-mahluk bercahaya yang baru datang itu hanya mengambil posisi mengepung.
Kui Tek-lam ingin berteriak, menyuruh mahluk- mahluk bercahaya itu segera menolongnya, sebab ia sendiri sudah megap-megap hampir tak bisa bernapas di bawah tekanan hebat mahluk-mahluk berwajah topeng. Tetapi Kui Tek-lam tak bisa berteriak. Ia hanya bisa membuka lebar-lebar mulutnya, namun tak ada suara yang keluar. Rahangnya kaku, tenggorokannya serasa tercekik. Dan dilihatnya mahluk-mahluk bercahaya itu masih saja berdiam diri di tempatnya masing-masing.
Saat itu Kui Tek-lam melihat di kejauhan ada padang rumput menghijau, dan nampak dua orang berjalan santai di padang hijau itu. Anehnya, meski jaraknya jauh, Kui Tek-lam bisa mengenali salah seorang dari mereka adalah Liu Yok, yang pernah didatanginya di kota Lok-yang. Liu Yok, keponakan dari pendekar besar Sebun Beng namun tidak bisa bermain silat setengah jurus pun, bahkan membenci ilmu silat, tak terkecuali yang berdalih “demi kesehatan” sekalipun.
Liu Yok yang calon menantu Gubernur di Ho-lam namun sikapnya sehari-hari tetap rendah hati dan mau bergaul dengan orang-orang rendahan. Liu Yok yang mengecewakan Kui Tek-lam sehingga Kui Tek-lam batal mengajaknya dalam operasi agen-agen kerajaan di Lam-koan ini.
Sewaktu Jenderal Wan Lui menyuruh Kui Tek-lam mampir ke Lok-yang dan mengajak Liu Yok, Kui Tek-lam sudah membayangkan orang yang bernama Liu Yok itu pastilah seorang jagoan silat yang hebat, otaknya penuh akal muslihat, sehingga “cukup berharga” untuk diikutkan dalam operasi berbahaya itu.
Tak terduga orangnya tidak bisa silat sama sekali, bohong sedikit pun tidak mau bahkan meskipun “bohong demi kebaikan” pun, sehingga Kui Tek-lam langsung menilainya tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam gerakan itu. Ya, Liu Yok yang itulah yang sekarang dilihat dalam mimpi Kui Tek-lam.
Sedang lelaki yang bernama Liu Yok itu terlalu menyilaukan buat mata Kui Tek-lam. Yang tertangkap oleh matanya hanyalah sesosok bayang-bayang kabur di tengah-tengah sinar yang sejuta kail cahaya matahari, namun Liu Yok dapat berdekatan dengan orang itu dengan leluasa nampaknya.
Kui Tek-lam melihat Si “Manusia Cahaya” itu berbicara kepada Liu Yok sambil menunjuk ke arah mahluk-mahluk berwajah topeng, tidak terdengar apa yang dibicarakannya, hanya kelihatan Liu Yok menggelengkan kepala dengan wajah enggan. Si “Manusia Cahaya” masih berbicara lagi, kelihatan Liu Yok sekarang bersukacita sambil mengangguk-angguk.
Tiba-tiba Si “Manusia Cahaya” seolah-olah lenyap masuk ke dalam diri Liu Yok, dan Liu Yok sendiri mengalami perubahan total dalam penampilannya. Wajahnya bercahaya. Entah darimana, tiba-tiba saja ada pakaian perang yang berkilau-kilauan melekat di tubuhnya. Topi besi, baju besi, pedang dan sebagainya. Lalu ada lagi seekor kuda yang tubuhnya menyala, Liu Yok melompat ke atas kuda itu dan berderap maju ke arah mahluk-mahluk berwajah topeng itu.
Ia kelihatannya seperti meneriakkan sesuatu ke arah mahluk-mahluk bersinar lainnya. Dan mahluk-mahluk bersinar yang tadinya hanya diam saja melihat Kui Tek-lam dikerubut mahluk-mahluk berwajah topeng, kini serempak bergerak menyerbu mahluk-mahluk berwajah topeng. Terjadi perang hebat antara dua jenis mahluk yang agaknya sama-sama hanya berada di alam angan-angan, tidak di alam kasar ini.
Liu Yok sendiri dengan kudanya yang menyala ikut menerjang mahluk-mahluk berwajah topeng. Seperti dalam cerita dongeng saja, Kui Tek-lam melihat dari mulut Liu Yok bisa keluar pedang-pedang terbang yang menyala dan panah-panah yang menyala pula, memporak-porandakan mahluk-mahluk berwajah topeng.
Mahluk-mahluk alam mimpi yang sudah bermalam-malam membuat Kui Tek-lam tidak bisa tidur dan kepala sakit itu, sekarang lari lintang-pukang dan tidak kembali lagi. Kui Tek-lam menjadi tenteram kembali, dan dapat tidur dengan pulas tanpa terbangun lagi. Ia mengalami semuanya itu hanya dalam mimpi.
Namun ternyata ada pula orang lain yang juga mendapat pengalaman lain dari malam-malam sebelumnya. Itulah Si Perempuan berwajah seram pengasuh anak-anak Nyo In-hwe. Setiap malam, sejak Kui Tek-lam mulai bertarung dengan mimpi-mimpi buruknya, perempuan ini sebetulnya punya peranan. Setiap malam ia membaca mantera di kamarnya, di bagian belakang rumah besar itu, sambil berulang kali menuding-nuding ke arah kamar Kui Tek-lam yang berseberangan halaman kebun bunga dan kolam besar teratai dengan kamarnya sendiri.
Semua itu dilakukan dalam kegelapan, tanpa cahaya sedikit pun, di kamarrya, sebab ia memang sahabat kental kegelapan itu sendiri. Beberapa malam berturut-turut ia menyerang alam bawah sadar Kui Tek-lam dengan kekuatan setannya, dan setiap kali ia dengan sukacita merasakan serangannya sampai ke sasaran, dan keesokan harinya akan dilihatnya Kui Tek-lam keluar dari kamarnya dalam keadaan lesu karena amat kurang tidur namun tidak berani tidur.
Kondisi mental sasarannya itu makin lama makin melorot, dan kondisi fisiknya pun terpengaruh pula. Sore ini, sesuai dengan perintah Nyo In-hwe, serangan gaibnya dilipat-duakan kekuatannya, karena kata Nyo In-hwe sudah dapat dipastikan bahwa Kui Tek-lam adalah mata-mata Manchu. Ia harus digiring ke dalam kondisi mental sedemikian rupa sampai meminum ramuan pelemah syaraf dari Siau Hok-to dikiranya sebagai jalan pertolongan.
Begitu Kui Tek-lam meminumnya, maka ia akan sepenuhnya jatuh di bawah kendali Pek-lian-hwe, ia akan jadi seperti boneka yang tidak lagi punya tujuan hidup sendiri, melainkan hanya menjalankan tujuan-tujuan Pek-lian-hwe. Begitulah Si Pengasuh anak-anak Nyo In-hwe yang sebenarnya adalah seorang dukun Pek-lian-hwe menjalankan perintah Nyo In-hwe. Malam itu ia menyerang Kui Tek-lam dengan kekuatan dua kali lipat. Bahkan malam itu ia berpuasa untuk memperkuat serangannya.
Namun di tengah-tengah gumam manteranya, tiba-tiba jantungnya berdesir hebat. Sesuatu yang di dalam dirinya, kepekaan seorang dukun, memberitakan bahwa serangan malam ini terhambat dan bahkan gagal total! Si Dukun perempuan mulai berkeringat, gentar membayangkan akibat kegagalannya, kekuatan-kekuatan tak terlihat yang dia “kirim” ke sasarannya akan berbalik kepada pengirimnya sendiri dengan penuh kemarahan dan kekecewaan karena gagal, dan Si Pengirim sendiri akan mengalami bencana yang mengerikan.
Karena tidak ingin gagal dan celaka, dukun itu mempergencar manteranya, berusaha menembus penghalang yang menghalang-halangi pengirim serangannya. Bahkan ia sampai menguraikan rambutnya, dan membaca mantera sambil menari dalam kegelapan. Tetapi serangannya menabrak tembok tak terlihat, dan dia jatuh terlentang di lantai.
Beberapa saat ia merasa lumpuh, jiwanya dicekam rasa ketakutan luar biasa. Selama ini ia mengabdi kepada kekuatan dari dunia yang gelap, majikan yang kejam, yang mencabik-cabik setiap hambanya tanpa ampun apabila gagal. Rasa takut memberinya kekuatan untuk memaksakan tubuhnya bangkit, biarpun dengan susah-payah.
Lalu ia keluar dari biliknya, ia hendak melihat ada apa di kamar Kui Tek-lam yang menyebabkan serangannya malam itu membentur tembok tak terlihat meskipun kekuatannya sudah dilipat-duakan. Tertatih-tatih ia melangkah, mengitari tepi kolam teratai kemudian melangkah di jalan setapak di tengah-tengah kebun bunga, mendekati kamar Kui Tek-lam. Ia heran melihat jendela kamar Kui Tek-lam tetap gelap, tanda orangnya tetap tidur, dan juga sunyi senyap tanpa suara apa-apa.
Ia ingin tahu lebih dekat, dan sebelum ia menyentuh pintu itu, tiba-tiba suatu perasaan gentar yang amat dahsyat tercurah ke atas jiwanya. Gentar oleh apa, ia sendiri tidak tahu, sebab ia tidak melihat apa-apa yang menakutkan, bahkan menurut mata jasmaninya, tidak kelihatan sesuatu pun yang ganjil di kamar Kui Tek-lam maupun di sekitarnya. Tetapi rasa gentar itu menyerbu jiwanya begitu saja, menghentikan langkahnya.
Si Dukun heran sendiri. Ia sudah biasa “bermain-main” dengan berbagai jenis mahluk gaib mulai dari tingkatan rendah yang disebut “serdadu langit” sampai ke tingkat “jenderal langit”, dan ia tidak takut seandainya harus bertemu muka dengan “kenalan-kenalan”nya itu. Tetapi rasa gentar yang sekarang, yang tidak ia ketahui sebab-musababnya, benar-benar mengherankannya.
Akhirnya ia menjauhi kamar Kui Tek-lam dengan terbirit-birit, hampir saja kakinya tersandung pot bunga. Ia langsung mengetuk pintu kamar tidur Nyo In-hwe. “Kakak Nyo! Kakak Nyo!”
Meskipun ia hanya berkedudukan sebagai pengasuh anak-anak Nyo In-hwe di rumah itu, namun sebagai sesama anggota Pek-lian-hwe yang sudah menjadi “saudara sedarah” lewat serangkaian upacara, sebuatan “kakak” adalah untuk anggota yang pangkatnya lebih tinggi meskipun umurnya barangkali lebih muda.
Larut malam seperti itu, tentu saja Nyo In-hwe sudah tidur pulas, namun telinganya yang tajam mendengar ketukan dan panggilan Si Pengasuh anak- anaknya itu, sehingga Nyo In-hwe dengan terkejut melompat bangun dan menyambar senjatanya yang tidak pernah jauh dari tempat tidurnya, yaitu sepasang golok liu-yap-to, yang kanan panjang dan yang kiri pendek. “Siapa?”
“Aku Ang Bwe-cu, Kakak Nyo!”
Sambil tergesa-gesa memakai jubahnya dan memakai sepatunya, sambil tetap menjinjing sepasang goloknya di satu tangan, Nyo In-hwe mendekat ke pintu dan membuka nya. “Ada apa?”
Dengan suara ditahan-tahan agar tidak membangunkan isterinya, Nyo In-hwe, si dukun perempuan Ang Bwe-cu menceritakan pengalamannya, wajahnya tegang. Di matanya terpancar ketakutan yang luar biasa, ketakutan karena membayangkan kemungkinan buruk serangan gaib yang berbalik ke pengirimnya sendiri.
Nyo In-hwe jadi ikut tegang mendengar laporan Ang Bwe-cu. Ang Bwe-cu adalah salah satu dari beberapa dukun andalan Pek-lian-hwe cabang Lam- koan, seorang yang dianggap dengan mudah bisa mengubah berbagai keadaan hanya dengan membakar kertas jimat dan membaca mantera. Kini kalau sampai Ang Bwe-cu mengalami kesulitan, pasti kesulitannya bukan main-main.
“Aku takut, Kakak Nyo....” suara Ang Bwe-cu bergetar menutup ceritanya. Seandainya Kui Tek-lam melihatnya saat itu, pasti akan pangling, la tidak lagi kelihatan seram dengan tatapan matanya yang sembunyi-sembunyi mengawasi Kui Tek-lam dan anak-anak Nyo In-hwe, namun sekarang adalah seorang perempuan biasa yang ketakutan. Benar-benar ketakutan, Nyo In-hwe pun terpengaruh. Tahu apa yang menyebabkan Ang Bwe-cu takut.
Sementara Nyo In-hwe masih berdiri termangu sambil berpikir-pikir, Ang Bwe-cu sudah berlutut, menangis sambil memegangi ujung jubah Nyo In-hwe. “Tolonglah aku... Kakak Nyo... kalau tidak, aku... aku bisa....”
Nyo In-hwe menarik napas, ia tahu benar resikonya menolong dukun yang sedang terancam oleh “kiriman”nya sendiri yang sedang membalik itu. Si Penolong sendiri bisa ikut “termakan”. “Aku bisa berbuat apa?”
“Adakan upacara malam ini, memohon Dewa Cahaya Ahusta turun tangan sendiri beserta seluruh balatentaranya.”
Itulah upacara yang tidak dapat diselenggarakan begitu saja. Syaratnya harus lengkap, antara lain korban manusia yang dipotong-potong, sebab yang bakal diundang adalah sesembahan tertinggi Kaum Teratai Putih. “Persediaan untuk upacara itu saja butuh waktu.”
“Malam ini akan kucari korbannya, di jalanan pasti masih ada gelandangan yang berkeliaran. Orang-orang tanpa keluarga itu kalau cuma hilang satu saja pasti takkan ada yang memperhatikan.”
Oleh desakan Ang Bwe-cu, akhirnya Nyo In-hwe menyetujuinya. Malam itu, di ruang pemujaan di bawah tanah, upacara menurut agama Teratai Putih pun dilaksanakan, dengan korban manusia.
Anehnya, Kui Tek-lam yang menjadi sasaran “santet gabungan” antara Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu itu, tenang-tenang saja, Kui Tek-lam tidur pulas sampai fajar menyingsing. Begitu pulasnya, sehingga ketika akhirnya ia bangun, adalah karena ia mendengar jerit tangis keluarga Nyo In-hwe. Bahkan ia mendengar pintu kamarnya digedor-gedor oleh kedua anak Nyo In-hwe yang memanggil-manggil sambil menangis,
“Paman Kui! Paman Kui!”
Kui Tek-lam melompat bangun dan melihat jendela kamarnya sudah terang benderang tersorot matahari pagi. Sejenak ia heran. Sudah belasan malam ia tidak dapat tidur pulas, selalu diganggu mimpi buruk yang itu-itu saja, sehingga la mendambakan tidur pulas melebihi mendambakan seperti intan berlian. Pagi Ini ia bangun dan detik itu barulah ia menyadari bahwa semalam tidurnya betul-betul puas. Ia heran sendiri, ia ingat mimpinya.
Tetapi tidak ada kesempatan untuk memikirkan hal itu lebih lanjut, sebab pintu kamarnya terus digedor-gedor. Tergesa-gesa ia bangkit dan langsung ke pintu. Semalam Kui tek-lam memang tidak tidur di pembaringan, melainkan duduk di bangku dengan kepala ditaruh di meja dan berbantalkan lengan-lengannya sendiri.
Begitu pintu dibuka, kedua anak Nyo In-hwe sama-sama menubruk ke pelukan Kui Tek-lam sambil menangis. Kedua anak itu, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun dan adik lelakinya yang delapan tahun, langsung saja membasahi baju di bagian dada Kui Tek-lam dengan, air mata dan ingus mereka.
Biarpun akal Kui Tek-lam sepenuhnya tetap sadar bahwa Nyo In-hwe ada di pihak musuh, namun peranan Kui Tek-lam ternyata bersikap lain kepada kedua anak Nyo In-hwe. Setiap hari Kui Tek-lam bermain-main dan bercanda dengan kedua anak itu, sehingga terjalin hubungan batin, seolah-olah kedua anak itu benar-benar keponakan-keponakannya sendiri.
Maka menyaksikan betapa pilu tangis anak- anak itu di pelukannya, hati Kui Tek-lam tergetar juga. Ia peluk kepala anak-anak itu, ia usap-usap rambut mereka, kemudian setelah getaran hatinya mereda, ia bertanya, “Ada apa ini?”
Anak lelaki Nyo In-hwe yang menjawab parau di sela-sela sedu-sedannya, “Ayah... dan... Bibi Ang... di... dibunuh orang!”
Kui Tek-lam terkesiap. Angan-angannya langsung melayang kepada orang-orang Thian-te-hwe (Serikat Langit Bumi). Mungkin orang-orang Thian-te- hwe membalas dendam karena orang-orang mereka terbunuh di tepian sungai, beberapa hari yang lalu.
Baik Pek-lian-hwe maupun Thian-te-hwe dan juga banyak serikat-serikat rahasia yang lain, sama-sama memusuhi pemerintah Manchu, namun meskipun punya musuh yang sama, mereka sendiri tidak pernah akur karena berebut rejeki mereka di tepi sungai, pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota. Saling bunuh antara mereka sudah bukan hal aneh, dan Kui Tek-lam sebagai agen kerajaan cukup hapal tindakan macam ini.
“Di mana mereka sekarang?” tanyanya.
Kedua anak Nyo In-hwe itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung menarik tangan Kui Tek-lam ke suatu tempat di rumah itu. Belasan hari diam di situ, Kui Tek-lam sudah hapal seluruh sudutnya, namun kali ini ia dibawa masuk ke suatu bagian rumah yang belum pernah dilihatnya sama sekali, bahkan diduga-duga dalam pikiran pun belum pernah.
Ia dibawa ke sebuah ruangan, ruangan buku, yang Kui Tek-lam juga pernah memasukinya untuk ngobrol dengan Nyo In-hwe. Namun kini dilihatnya sebuah rak buku tergeser ke samping, dan di belakangnya ternyata ada pintu yang biasanya tersembunyi. Kini tentu saja tidak tersembunyi lagi karena dilihatnya beberapa bujang keluarga Nyo keluar-masuk dengan bebas, ada yang membawa baskom air panas, minyak gosok, selimut dan lain-lain.
Di belakang pintu rahasia itu ada undakan batu yang turun, menuju ke suatu ruangan bawah tanah. Sambil melangkah menuruni undakan itu, Kui Tek-lam membatin, “Hampir setiap hari aku bermain-main dengan anak-anak di halaman berumput di samping rumah, tidak pernah terpikir olehku kalau di bawahnya ada ruangan rahasia.”
Melangkah masuk ruang bawah-tanah itu, tengkuk Kui Tek-lam meremang. Agaknya itulah sebuah ruang pemujaan, namun bukan ruang pemujaan agama biasa melainkan agama penyembah setan. Agama yang menganggap kekejaman dan kekerasan adalah bentuk pengabdian tertinggi.
Itu yang terlihat dari lukisan-lukisan di dinding ruangan itu, dan juga patung yang dipuja di altar. Pastilah wajah patung itu adalah wajah setan dalam samaran wajah manisnya, tidak peduli pengikut-pcngikutnya memujanya dengan sebutan Dewa Api atau Dewa Cahaya atau entah apalagi.
Di depan altar terlihat tiga sosok tubuh yang tergeletak, sudah ditutupi kain. Dan melihat cipratan darah di sekitar tubuh-tubuh itu, bahkan serpihan-serpihan daging dan kulit tanpa membuka penutup nya pun Kui Tek-lam akan mudah menebak kalau mayat-mayat itu pasti tidak sekedar dibunuh, melainkan dihancurkan, dicabik-cabik. Yang mengherankan Kui Tek-lam ada dua hal.
Pertama, anak Nyo In-hwe tadi katakan yang terbunuh itu “Ayah dan Bibi Ang”, artinya dua orang. Kenapa sekarang dilihatnya ada tiga mayat? Kedua, dugaan bahwa yang membunuh itu orang Thian-te-hwe agak buyar, agak kehilangan alasan, sebab selama ini agen kerajaan yang manapun juga belum pernah ada yang melaporkan orang-orang Thian-te-hwe melakukan kekejaman sehebat Ini. Orang-orang Thian-te-hwe terlalu bangga dengan sebutan “pendekar beradab” yang menempel pada cap mereka.
Saat itu, di ruangan itu penuh orang. Nyonya Nyo juga berada di ruangan itu, namun Kui Tek-lam takkan bisa bertanya kepadanya, sebab nyonya rumah yang ramah dan baik hati itu sedang tak sadarkan diri. Ia terduduk di sebuah kursi, kakinya diselonjorkan dengan diganjal bangku, tengkuknya digosok-gosok dengan minyak seorang bujang perempuan setengah tua.
Beberapa pembantu rumah-tangga lainnya hilir-mudik namun kelihatan kebingungan, apa yang mereka lakukan tidak terarah. Semua bujang itu, bahkan isteri Nyo In-hwe sendiri, baru tahu saat itu kalau di situ ada ruangan rahasia macam itu. Selama ini yang mengetahuinya memang hanya Nyo In-hwe sendiri dan Ang Bwe-cu, dua orang anggota Pek-lian-hwe terpercaya dan saling mempercayai.
Kui Tek-lam menyerahkan kedua anak Nyo In-hwe kepada seorang bujang, menyuruh bujang itu membawanya keluar dari ruangan yang bersuasana tidak baik itu. Kemudian kepada seorang bujang lainnya, Kui Tek-lam bertanya, “Apa yang terjadi?”
Bujang yang ditanyai kebetulan cukup tenang menceritakan apa yang diketahuinya, “Pagi ini A-kau masuk ke ruangan buku untuk membersihkan, seperti biasanya. Tetapi kali ini ia heran melihat ada rak buku yang tergeser, dan pada tembok di belakang rak buku itu ada pintu tersembunyi. Ia masuk, dan terlihatlah olehnya apa yang ada di ruangan itu. Ia berteriak-teriak. Nyonya menuju kemari dan ikut melihatnya, lalu pingsan. Cuma itu.”
“Semalam di antara kalian tidak ada yang mendengar suara-suara yang ganjil?”
Semua kepala menggeleng. Sementara dalam hatinya Kui Tek-lam menyalahkan dirinya sendiri, “Tidak adil kalau aku menyuruh bujang-bujang yang tidak mengerti silat ini untuk mendengar sesuatu, sedangkan aku sendiri tidur demikian pulasnya sampai tidak mendengar apa-apa, meskipun aku disebut salah satu perajurit istana yang terbaik dari para pilihan.”
Mengingat akan tidur nyenyaknya semalam, kembali Kui Tek-lam heran sendiri, namun sekaligus juga muncul rasa lega. Ia sudah kembali mendapatkan “kemampuan tidur”nya, padahal tadinya ia sudah ketakutan akan jadi orang yang tidak bisa tidur. Sebab pernah didengarnya cerita ada orang yang seperti itu karena kerusakan pada syarafnya.
Namun ia simpan dulu rasa leganya itu, rasanya kurang sopan memperlihatkan kegembiraan di tengah-tengah suasana dukacita. Dan karena selama ini menumpang di rumah itu, bahkan orang-orang di situ sudah mengenalnya sebagai saudara-angkat Nyo In-hwe (lepas dari niat tersembunyi dari kedua “saudara angkat” itu), maka sekarang Kui Tek-lam coba mengatur bujang-bujang itu agar mereka tidak simpang-siur. Ia atur pembagian tugas mereka.
Ada yang disuruh segera memesan peti-mati, tukang membalsem mayat, ada yang disuruh melapor ke pihak berwajib dan sebagainya. Dalam semua tindakannya itu, toh Kui Tek-lam tidak lepas dari motif dasarnya, “Sebentar lagi mungkin orang-orang akan berdatangan mengucapkan belasungkawa, di antara mereka pastilah banyak tokoh-tokoh Pek-lian-hwe, meskipun tidak tampil terang-terangan melainkan menyamar sebagai tokoh-tokoh terhormat dalam masyarakat.”
Tetapi sebelum tamu-tamu berdatangan, dan nantinya Kui Tek-lam sebagai “saudara angkat” mau tidak mau harus menyambut mereka mewakili tuan rumah, Kui Tek-lam bermaksud meneliti ruangan pemujaan bawah tanah itu. Inilah kesempatan baik, siapa tahu ada ruang bawah tanah lainnya? Siapa tahu menemukan petunjuk tentang tempat penyimpanan lima ribu pucuk senjata api yang kabarnya dimiliki Pek- lian-hwe itu?
Tetapi ia lebih dulu ingin mengetahui penyebab kematian Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu, siapa tahu dengan melihat luka-lukanya bisa menentukan jenis senjata pembunuhnya, dan mungkin perbendaharaan ingatan Kui Tek-lam selama berkecimpung di kalangan “sungai-telaga” bisa mengacu ke suatu petunjuk.
Ia singkap dulu penutup mayat dari mayat yang paling dekat. Ternyata itulah mayat seorang lelaki yang tak dikenal oleh Kui Tek-lam. Seorang lelaki yang kalau dilihat tampangnya, dandanannya dan terutama daki tebal di kulitnya, agaknya adalah seorang gelandangan yang memang tidak sedikit jumlahnya di Lam-koan itu, terutama dekat dermaga.
Tubuh gelandangan itu tertelikung, kedua tangannya diikat di belakang, dan lehernya hampir putus oleh pisau yang tajam. Nampaknya tidak terbunuh dalam perkelahian, melainkan seperti ditangkap dulu baru dibunuh, mungkin sekali hendak dijadikan korban upacara kejam kaum Teratai Putih.
Kui Tek-lam kurang terkesan oleh mayat pertama itu. Ia lalu mendekati mayat Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu dan langsung membuka tutupnya. Begitu Kui Tek-lam melihatnya, seketika rasa mual naik dari perutnya, dan air kecut di mulutnya diludahkannya kuat-kuat. Mayat kedua orang itu sudah nyaris menjadi daging cincang yang benar-benar hancur, beberapa tulang putih mencuat.
Mustahil Kui Tek-lam bisa mengenali jenis senjata apa yang mengenai tubuh-tubuh mereka. Mungkin akan lebih mendekati kenyataan kalau yang hendak ditebaknya bukan “jenis senjata apa yang digunakan oleh Si Pembunuh” melainkan “binatang buas macam apa yang sudah menerkam dan mencabik-cabik mereka”. Bahkan untuk menebak jenis binatangnya pun akan sulit.
Kui Tek-lam, biar dengan rasa ngeri, sempal mengamati adanya bekas cakar raksasa yang merobek-robek wajah dan tubuh kedua korbannya itu. Ukuran cakar itu luar biasa besarnya, lebarnya hampir sama lebar dengan dada manusia dewasa. Kui Tek-lam sulit membayangkan, beruang di hutan yang paling besarpun tidak punya cakar sebesar itu.
Binatangnya pastilah berukuran raksasa, entah binatang apa. Anehnya, selain bekas cakar di tubuh kedua korban itu, tidak ada jejak-jejak kaki binatang di seluruh ruangan itu. Kalau betul binatang, dari mana masuknya dan keluarnya? Apa juga melewati pintu rahasia di ruang buku?
Atau di ruangan bawah tanah itu masih ada sambungannya dengan ruang lain “tempat binatang itu” (dalam angan-angan Kui Tek-lam sendiri) yang dihubungkan sebuah lorong rahasia? Tetapi tidak ada jejak kaki mahluk yang dibayangkan Kui Tek-lam itu. Kui Tek-lam jadi pusing sendiri. Sepanjang pengalamannya menyelidiki ratusan kasus, yang ini rasanya paling susah masuk akal.
Ia cuma geleng-geleng kepala sambil membuang napas beberapa kali. Lalu ia mulai memberikan perhatiannya kepada altar pemujaan Dewa Api alias Dewa Cahaya yang dipertuhan oleh orang-orang Teratai Putih itu.
Model altar tak berbeda dengan altar-altar umumnya di rumah tangga-rumah tangga lain, bedanya, kalau di altar-altar lain biasanya ditaruh patung pujaan yang umum, yang ditaruh di sini adalah sebentuk dewa jahat berwajah ganas, bisa dibilang mahluk sepertiga manusia, sepertiga binatang dan sepertiga iblis.
Pikir Kui Tek-lam, “Aneh, mahluk mengerikan seperti ini kok dipuja-puja, bahkan lebih gila lagi, ditaati dengan mengorbankan apa pun.”
Perhatian Kui Tek-lam tiba-tiba tertuju kepada telapak tangan dari patung itu. Telapak tangan itu tidak berbentuk telapak tangan manusia, melainkan seperti telapak seekor naga, jari-jarinya pendek-pendek namun besar-besar dan berkuku tebal melengkung. Aneh, tiba-tiba saja melintas dalam pikiran Kui Tek-lam, seandainya cakar ini yang merobek-robek tubuh Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu, rasanya baik ukurannya maupun daya hancurnya yang mengerikan itu klop.
Namun cepat-cepat Kui Tek-lam menggoyang- goyang kepalanya mengusir pikiran yang tidak masuk akal itu. Mana bisa patung batu itu hidup, lalu turun dari altarnya, lalu merobek-robek kedua pemujanya sendiri dan kemudian naik kembali ke singgasananya di altar dan menjadi batu kembali?
“Tidak mungkin. Seaneh-anehnya berurusan dengan Pek-lian-hwe, yang seaneh ini takkan terjadi. Aku cuma berhayal.”
Toh ia tercengang juga ketika mengamat-amati pada cakar-naga patung di altar itu ada bekas-bekas darah yang belum kering benar! Tetapi buru-buru Kui Tek-lam membantahnya dalam pikiran sendiri,
“Tidak mungkin! Barangkali Nyo In-hwe dalam upacara sesatnya mengoleskan darah ke tangan patung itu. Aku baru saja lolos dari nyaris sinting karena tidak bisa tidur dan mimpi-mimpi buruk itu, aku tidak akan menjebloskan diriku ke dalam kesintingan yang lain dengan menganggap patung ini bisa hidup dan membunuh orang. Tidak.”
Demikianlah, Kui Tek-lam akhirnya cuma berputar-putar pada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Ketika itulah seorang bujang masuk dan melapor kepada Kui Tek-lam, “Tuan Kui, ada tamu datang.”
“Siapa?”
“Kepala keamanan Lam-koan, Cian-bu (Kapten) Bong Peng-un, dan Hakim Kang Liong.”
Karena Nyo In-hwe sebagai Si Tuan Rumah sudah mati, dan isterinya tak bisa berbuat apa-apa karena masih pingsan, apa-apa jadi dilaporkan kepada Kui Tek-lam. Kui Tek-lam membenahi pakaiannya, pakaian yang agak kusut karena tadi begitu bangun tidur langsung ke sinL Ia melangkah ke ruang depan.
Ruang depan rumah Nyo In-hwe itu ditata dengan gaya setengah Cina setengah Eropa abad delapan belas. Suatu yang lumrah di Lam-koan yang letaknya tidak jauh dari bandar antar-bangsa Makao, sehingga terpengaruh gaya hidupnya.
Waktu Kui Tek-lam muncul di situ, para tamu bangkit. Yang berpakaian perwira, mudah ditebak adalah Si Kepala Keamanan Kota, Bong Peng-un. Ia seorang lelaki tegap berusia empat puluh lima tahunan, berkulit muka kehitaman dengan brewok seperti sapu ijuk. Ia sendiri tidak membawa senjata, namun membawa dua anak buah yang membawa senjata dan borgol, selembar papan tebal berantai bisa sekaligus untuk memborgol leher dan kedua tangan.
Sedang Si Hakim juga langsung ketahuan dari jubahnya, meski Kui Tek-lam pernah bertemu. Ia pun diiringi dua petugasnya. Kui Tek-lam saling memberi hormat dengan orang-orang itu, dan bertindak sebagai wakil tuan rumah mempersilakan mereka duduk.
Yang agak mengherankan Kui Tek-lam adalah sikap Hakim Kang Liong. Pemeriksaan belum dimulai, pertanyaan-pertanyaan belum disodorkan, tetapi Hakim Kang Liong sudah menatapnya dengan sorot mata curiga, bahkan benci!
“Ada apa dengan orang ini, sehingga menatap ku demikian rupa?” Kui Tek-lam bertanya-tanya dalam hati, namun tetap mengekang diri.
Bong Peng-un yang memulai pembicaraan dengan suaranya yang seperti logam digosok, “Nah, Tuan, kami datang karena sudah mendengar laporan tentang yang terjadi di tempat ini. Namun setelah berhadapan dengan Tuan, rasanya kami perlu mengenal diri Tuan lebih dulu.”
Kui Tek-lam sadar, dirinya sebagai orang baru di kota Lam-koan itu memang menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang setempat, apalagi dengan terjadinya peristiwa ngeri semalam. Ia menjawab pertanyaan Bong Peng-un itu dengan tertib, sambil bersyukur dalam hati bahwa semalam ia tidur nyenyak sehingga kini bisa berpikir dengan jernih, “Namaku Kui Tek-lam, Tuan Bong.”
“Asal?”
“Propinsi Ho-pak.” sahut Kui Tek-lam yang sadar sulit menyembunyikan logat utaranya.
“Sudah berapa lama berada di Lam-koan ini, dan selama ini tinggal di mana?"
“Lebih kurang sepuluh hari, dan tinggal di rumah Kakak Nyo ini.”
Dan serentetan pertanyaan lainnya yang kadang-kadang mengandung jebakan. Tetapi sebagai seorang perajurit pasukan rahasia pilihan dari istana, Kui Tek-lam dapat dengan licin menghindari jebakan-jebakan itu. Dalam tanya jawab itu, beberapa kali Hakim Kang Liong ikut menimbrung, namun setiap kali Kui Tek-lam merasakan betapa orang itu berusaha menuduhnya dan memojokkannya.
Bahkan dalam suatu perkataannya, Hakim Kang Liong semakin terang-terangan mengungkapkan kecurigaannya, kepada Bong Peng-pun, “Komandan Bong, orang ini kabur asal-usulnya, dan setiap keterangannya kepadamu juga tidak wajib harus kita percayai. Yang harus kita lihat adalah kenyataannya, bahwa ada orang asing di rumah Tuan Nyo dan tahu-tahu Tuan Nyo terbunuh. Dan harap dipertimbangkan pula, bahwa Tuan Nyo mempunyai banyak harta yang bisa membuat tergiur siapa pun.”
Kui Tek-lam mendongkol mendengar kata-kata itu, seolah-olah dirinya sudah divonis. Tetapi ia diam, menunggu jawaban Bong Peng-un.
Bong Peng-un berkata, “Tuan Hakim, mau menangkap orang haruslah ada buktinya yang kuat, nyata, tidak asal menduga-duga saja. Tuan dikenal sebagai hakim yang baik di kota Lam-koan ini, harap tetap berpikir dengan adil.”
Ternyata biarpun Komandan Bong dan Hakim Kang datang bersamaan ke rumah itu, ternyata pikiran mereka tidak sejalan. Kata-kata Bong Peng-un yang mengandung teguran itu memerahkan kuping Kang Liong. Selama ini memang Kang Liong dikenal sebagai hakim yang baik di mata masyarakat Lam-koan, namun sikapnya kali ini dalam perkara kematiaan Nyo In-hwe, sikapnya yang seolah-olah langsung menganggap Kui Tek-lam sebagai yang bersalah, memang di luar kebiasaannya.
Tentu saja, baik Bong Peng-un maupun Kui Tek-lam tidak tahu kalau Kang Liong ini sebenarnya adalah tokoh dari organisasi terlarang Pek-lian-hwe, bahkan merupakan salah satu dari “Perwira Kipas Putih” untuk cabang Lam-koan. Saat itu hatinya diliputi kegusaran akan kematian rekannya dalam organisasi bawah tanah itu, Nyo In-hwe, yang juga seorang “Perwira Kipas Putih”.
Sebelumnya, Hakim Kang Liong sudah dibisiki Siau Hok-to bahwa pemuda berjubah biru yang menumpang di rumah Nyo In-hwe dan mengaku bernama Kui Tek-lam itu adalah seorang “semilir angin” alias agen kerajaan yang menyusup. Dengan demikian, Kang Liong memastikan bahwa Nyo In-hwe dibunuh oleh Si “Semilir Angin” Kui Tek-lam ini.
Sebagai “Perwira Kipas Putih” yang sudah diberi keterangan oleh ketua cabangnya sendiri, Kang Liong pasti bahwa Kui Tek-lam lah pembunuhnya, namun sebagai “hakim yang adil” ia tidak bisa bertindak tanpa bukti-bukti yang kuat. Begitulah, Kang Liong jadi gelisah sendiri.
Sementara itu, Bong Peng-un langsung berkata kepada Kui Tek-lam, “Tuan Kui, bolehkah aku periksa tempat kejadiannya?”
Otak Kui Tek-lam berputar dan ia langsung melihat sebuah kesempatan. Pikirnya, “Selama ini Pek-lian-hwe di Lam-koan berhasil menyelubungi kegiatannya dengan rapi, sehingga petugas-petugas kerajaan macam Bong Peng-un ini barangkali tidak tahu kalau di bawah hidungnya berlangsung suatu kegiatan anti pemerintah. Sekarang biar kutunjukkan ruang pemujaan Nyo In-hwe, barangkali bisa menggugah kewaspadaannya setelah tahu Pek-lian-hwe benar-benar ada dan aktif di bawah tanah...”