Menaklukkan Kota Sihir Jilid 08
SESOSOK bayangan tinggi besar pelan-pelan keluar dari belakang bayang-bayang kelambu. Dia bukan lain adalah Si Guru Portugis yang sering mengajari tulisan Latin kepada anak-anak orang-orang kaya di Lam-koan.
Kui Tek-lam terkesiap melihat langkah Si Orang Portugis yang tanpa suara seperti awan mengalir, juga napasnya yang terkendali sehingga hampir tidak kedengaran sama sekali. Pertama kali Kui Tek-lam diperkenalkan kepada guru bahasa ini oleh Nyo In-hwe, Kui Tek-lam memandangnya tidak berarti dalam ilmu silat.
Meskipun mencurigainya sebagai salah satu “sandal jerami” (kurir atau penghubung) dalam organisasi Pek-lian-hwe. Walaupun tubuh Si Portugis ini kekar, Kui Tek-lam menganggap paling-paling hanya pintar adu jotos yang kasar dan ketrampilan bermain anggar gaya Eropa. Namun sekarang penilaian itu agaknya mesti dirubah.
Orang Portugis itu mengambil tempat duduk tanpa dipersilakan, dia rupanya mengerti apa yang sedang dipikirkan Kui Tek-lam, dan dia pun mengatakannya tanpa diminta, “Tuan Kui tentunya agak heran, orang barat yang kasar seperti aku kok menguasai ilmu beladiri timur. Begitu bukan?”
“Ya. Bahkan dalam tingkatan yang lumayan.” Kui Tek-lam mengaku terus-terang.
“Terima kasih atas penilaian Tuan Kui. Aku belajar di Goat. Malaka, Makao dan Nagasaki, aku tahu keahlian macam ini bakal dibutuhkan apabila aku bertugas di negeri-negeri timur ini. Puas dengan jawabanku?”
Kui Tek-lam mengangguk. Goa di India, Malaka, Nagasaki di Jepang dan Makao di daratan Cina memang tempat-tempat di mana Portugis mempunyai pos-pos sebagai titik-titik penghubung untuk melancarkan jalur pelayarannya di benua timur. Dengan demikian mudah ditebak kalau ilmu beladiri yang dipelajari orang Portugis ini pasti campur-aduk antara gaya India, Malaka, Jepang dan Cina.
Tetapi titik pusat persoalannya sekarang adalah, Si Portugis ini telah memergoki Kui Tek-lam meninggalkan rumah Nyo In-hwe diam-diam dan kembali diam-diam pula. Apa maksudnya dia menunggui Kui Tek-lam? Di pihak mana dia berada?
Ketika Kui Tek-lam hendak menyalakan lilin, Si Portugis itu berkata, “Lebih baik kita berbicara dalam gelap saja, Tuan Kui. Jangan sampai dari luar jendela bayangan kita dilihat orang, dan jangan sampai orang tahu sedang ada pembicaraan di kamar ini, apalagi kalau yang tahu itu adalah bangsat-bangsat Pek-lian-hwe.”
Kui Tek-lam batal menyalakan lilin, Dari perkataan Si Portugis, dia bisa menyimpulkan dua hal. Si Portugis ini tentu masuk ke kamarnya dengan menyelinap diam-diam tadi. Kedua, agaknya si Portugis juga berdiri sebagai musuh pihak Pek-lian- hwe, kalau didengar dari caranya menyebut “bangsat- bangsat Pek-Iian-hwe” tadi.
Meskipun demikian, Kui Tek-lam memperingatkan dirinya sendiri dalam hati, “Mudah-mudahan raksasa berhidung merah ini juga musuh Pek-lian-hwe, tetapi aku tidak boleh terlalu gegabah menentukan sikap dan mengambil keputusan yang keliru. Tabib Siau Hok-to yang menurut Kakak Oh tidak menunjukkan tanda-tanda anggota Pek-lian-hwe sedikit pun, ternyata obat ramuannya membuat Lo Lam-hong lupa diri.”
“Baik, kalau itu kemauan Tuan.” sahut Kui Tek-lam sambil duduk pula, berseberangan meja dengan tamu tak diundang ini.
“Tuan Kui, boleh aku tahu darimana Tuan malam-malam begini? Maaf, ini bukan seperti petugas keamanan menanyai pencuri yang tertangkap, melainkan hanya semacam penjagaan untuk... kemungkinan bekerjasama, begitulah. Tetapi kalau Tuan Kui mencoba tidak menjawab, aku pun tidak memaksa.”
“Dia sedang mencoba menimbulkan rasa simpatiku...” pikir Kui Tek-lam. Tapi ia jawab juga, “Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan di luar.”
“Di malam larut begini?”
Kui Tek-lam membungkam, sehingga Si Portugis harus menjawabnya sendiri, “Ya, sejak semula kita diperkenalkan oleh Tuan Nyo, perasaanku sudah mengatakan kalau orang semacam Tuan ini pastilah tidak seperti yang nampak dari luar. Tuan pasti orang yang terbiasa “punya urusan” yang harus diselesaikan larut malam seperti ini.”
“Mungkin kita ada sedikit kesamaan.”
“Ada di pihak mana Tuan?”
“Atas nama Gubernur Jenderal di Makao. Dan aku pun tahu Tuan bekerja untuk pemerintah Kerajaan Manchu.”
Pikir Kui Tek-lam, “Agaknya antara kami berdua tidak ada lagi tedeng aling-aling. Entah apa maunya dengan menemui aku.”
“Tuan Kui, aku bisa paham kalau pihak pemerintah Tuan cemas karena pihak Pek-lian-hwe menyimpan lima ribu pucuk senjata api, jumlah yang cukup untuk membentuk suatu pasukan yang kuat dan mematikan. Yang menjadi gelisah bukan hanya pihak pemerintah Tuan, tetapi juga pemerintahku. Orang Pek-lian-hwe diketahui anti bangsa asing, sering menghembuskan desas-desus agar orang-orang pribumi melakukan gerakan anti orang asing.
"Kalau Pek-lian-hwe semakin kuat, posisi kami di Makao bisa terancam. Di Lam-koan ini saja, lima puluh tahun yang lalu ada gerakan anti orang asing yang didalangi orang Pek-lian-hwe, sehingga orang-orang Portugis sekarang tidak ketinggalan seorang pun di kota ini. Nah, sekarang tentu Tuan Kui melihat kesamaan tujuan kita.”
“Ya. Lalu maksud Tuan?”
“Apa Tuan sudah tahu di mana penyimpanan senjata api Pek-lian-hwe?”
“Belum. Bahkan, terus-terang saja, malam ini pihak kami malahan kedodoran.”
“Kedodoran bagaimana?”
Secara singkat Kui Tek-lam menjawab, “Ilmu gaib Pek-lian-hwe membingungkan kami, terus-terang saja.”
Si Portugis tertawa perlahan, “Jangan kuatir, Tuan Kui. Sejak aku ditugaskan di negeri-negeri timur ini dua puluh tahun yang lalu, sedikit banyak aku belajar juga menangkal pengaruh ilmu gaib. Kalau pihak Tuan setuju menjadi sekutu kami untuk menggulung Pek-lian-hwe, tidak sulit mengatasi permainan hantu-hantuan kaum Teratai Putih itu.”
“Wewenang untuk memutuskan apakah kelompok kita akan bergabung atau tidak, tidak kupunya. Aku bukan komandan operasi ini...” sambil menjawab demikian, diam-diam Kui Tek-lam merasa kalau ia sudah memberitahu terlalu banyak kepada lawan bicaranya ini, mengingat kerahasiaan tugas kelompoknya.
“O, jadi Tuan Kui bukan pemimpinnya?”
“Bukan.”
“Bisa Tuan Kui antarkan aku bertemu dengan pemimpin Tuan?”
Sepercik kecurigaan muncul di hati Kui Tek-lam, jangan-jangan Si Portugis ini cuma hendak menangkap agen-agen kerajaan? Meskipun tadi sudah mengaku kalau dia bekerja bagi kepentingan Gubernur Jenderalnya di Makao, haruskah pengakuannya ditelan mentah-mentah begitu saja?
Maka menjawablah ia secara diplomatis, “Soal pemimpinku mau menemui Tuan atau tidak, itu terserah keputusan-nya. Tetapi aku akan menyampaikannya.”
Si Portugis menarik napas sambil geleng-geleng kepala, “Ah, kalian orang-orang timur ini terlalu bertele-tele dan terlalu banyak pertimbangan, tidak dapat bertindak cepat mengambil keputusan.”
“Kami harus berhati-hati, Tuan.”
“Sudah kukatakan tadi kepada Tuan Kui, pihak kami bermaksud baik, ingin menggabungkan tenaga untuk membereskan Pek-lian-hwe yang membahayakan pemerintah Tuan dan juga pemerintahku.”
“Itu akan aku sampaikan kepada pemimpinku. Secepatnya.”
“Kapan aku bisa dapatkan jawabannya?”
“Secepatnya.”
“Ya secepatnya itu kapan? Sehari? Sepuluh hari? Sebulan?”
“Belajarlah bersabar, Tuan. Pekerjaan macam kita-kita ini sangat membutuhkan kesabaran. Belajar jadi orang timur, Tuan.” Kui Tek-lam tersenyum.
“Orang yang bekerja seperti kita memang betul butuh kesabaran, Tuan Kui, tetapi juga kecepatan dalam bertindak mendahului lawan.”
“Aku akan secepatnya menemui pemimpinku itu dan mengatakan maksud kerjasama dari pihakmu.”
Si Portugis nampaknya kesal tetapi berusaha menahan diri. Akhirnya ia berpamitan dan keluar dari kamar Kui Tek-lam itu. Kalau dilihat dari caranya ia menyelinap keluar, lebih dulu membuka pintu sedikit, lalu menoleh ke sana kemari sambil menunggu sampai tidak dilihat orang, kelihatannya ia memang tidak ingin dilihat orang dalam masuknya maupun keluarnya.
Kui Tek-lam memperhatikan itu, namun ia tidak ingin cepat-cepat mempercayai orang ini. Pikirnya, “Bisa juga dia memang benar-benar mata-matanya Si Gubernur Jenderal di Makao, tetapi bisa juga hanya pura-pura di depanku, pokoknya aku harus menghitung segala kemungkinan.”
Setelah sendirian ditinggalkan orang itu, Kui Tek-lam hilir-mudik sendirian di ruangan itu, dalam kegelapan. Di luar kamarnya juga terdengar hilir mudik bujang-bujang keluarga Nyo dan percakapan-percakapan pendek. Tentunya mereka sudah lelah dan mengantuk, tetapi pekerjaan selalu ada saja.
Kui Tek-lam merasa dirinya penat lahir-batin, tetapi tidak berani tidur. Pertama, ia kuatir orang-orang Pek-lian-hwe sudah mengetahui kalau dirinya adalah agen kerajaan, meskipun pertempuran di kuburan tadi dalam kegelapan dan saling tidak bisa melihat wajah, namun siapa tahu ada hal lain yang membocorkan penyamarannya di pihak Pek-lian-hwe? Lo Lam-hong misalnya.
Kedua, Kui Tek-lam masih ketakutan didatangi mimpi-mimpi buruknya. Meskipun kemarin malam ia bisa tidur pulas, malah bermimpi ditolong Llu Yok, tetapi ia anggap malam kemarin hanyalah suatu keberuntungan yang tidak bisa diharapkan akan berulang kembali.
Tak terasa Kui Tek-lam menoleh dan memandang sengit ke arah topeng kayu pemberian Nyo In-hwe yang ditaruhnya di tepi meja. Topeng yang juga dimiliki anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya meskipun corak beraneka ragam. Rasanya sulit dipercaya melihat benda mati itu bisa menghantuinya sekian malam berturut-turut.
Di bawah cahaya rembulan yang redup yang menerobos kertas jendela dan menimpa topeng kayu di atas meja, nampak topeng itu tidak ada bedanya dengan benda mati lainnya. Beku, tidak “memiliki rasa bersalah”.
Dengan demikian Kui Tek-lam harus menahan rasa kantuk dan lelahnya, daripada tidur kemudian terbangun karena mimpinya, akan menimbulkan rasa sakit di kepala, la bertekad akan melek sampai pagi, melihat apa yang bakal terjadi.
“Kalau gelagatnya aku sudah diketahui sebagai agen kerajaan, aku akan kabur menyelamatkan diri. Tetapi kalau belum, aku akan tetap menyamar, siapa tahu masih bisa mendapat petunjuk tentang tempat penyimpanan senjata-senjata api Pek-lian-hwe itu....”
Maka dia pun duduk dalam kegelapan, la raih poci arak di atas meja, tetapi poci itu terasa ringan. Kosong. Araknya sudah diminum kemarin malam dan hari itu para pelayan lupa menggantinya dengan yang ada isinya. Maka Kui Tek-lam duduk-duduk saja tanpa melakukan apa-apa. Beberapa kali kepalanya tersentak seperti menahan kantuk.
Akhirnya kantuk itu tak tertahan lagi, dan Kui Tek-lam pun tertidur. Seperti semalam sebelumnya, ia tidur dengan kepala di meja berbantal lenganlengannya sendiri. Beberapa saat alam bawah sadarnya melayang tak berketentuan, seakan yang dilihatnya hanyalah layar putih kosong. Tetapi kemudian terbentuklah gambar-gambar, la lihat dirinya sendiri di padang rumput yang hijau, berjalan bersama-sama Liu Yok, dan Kui Tek-iam merasa hatinya tenteram bersama Liu Yok.
Dalam keadaan sadar, ia tentu akan heran terhadap diri sendiri. Merasa tenteram dan aman di dekat seorang yang menurut penilaiannya serba tidak memenuhi syarat untuk diikutkan dalam operasi rahasia itu? Tidak bisa silat dan tidak mau belajar silat, tidak bisa bohong, bersikap “terlalu baik hati” kepada musuh sekalipun. Tetapi Kui Tek-lam saat itu sedang tidak sadar, sedang mimpi.
Dalam mimpinya, tiba-tiba padang rumput yang hijau dan penuh rumpun bunga warna-warni itu sampai ke batasnya, tiba di tepian telaga yang airnya kelihatan hitam seperti tinta dan kental-pekat seperti bubur, bergolak tanpa henti. Kui Tek-lam mendengar sayup-sayup di kejauhan ada suara memanggil namanya,
“Saudara Kui... Saudara Kui.... tolong aku....”
Kui Tek-lam lihat Lo Lam-hong sedang diseret mahluk-mahluk berjubah hitam berbulu, dengan wajah seperti topeng-topeng Pek-lian-hwe. Lo Lam-hong diseret hendak dibenamkan ke telaga hitam pekat itu, dan saat itu Lo-Lam-hong meronta tetapi sudah lemah, ia sudah diseret sampai kedalaman leher.
Tinggal kepalanya yang masih kelihatan, sebentar lagi kalau dibenamkan tentu kepalanya takkan kelihatan lagi. Lengan-lengannya dicengkeram mahluk-mahluk itu, namun masih berusaha melambai-lambai mengharapkan pertolongan sambil berteriak-teriak.
Sementara di telaga itu, dalam cairan hitam pekat yang turun naik bergelombang, nampak potongan-potongan tubuh manusia yang menghitam semuanya... di antaranya Kui Tek-lam melihat Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu juga ada di atas gelombang hitam kental itu.
Kui Tek-lam membuka mulut, ingin berteriak kepada Lo Lam-hong agar sahabatnya itu lebih bersemangat karena ia akan menolongnya, tetapi tidak keluar suara sedikit pun. Kui Tek-lam ingin berlari mendekati temannya itu, tetapi bagaimanapun ia ayunkan kakinya, jaraknya dengan Lo Lam-hong tidak makin dekat. Rasanya Kui Tek-lam seperti lari di tempat saja.
Ia ingat Liu Yok dan menoleh ke sampingnya untuk minta pertolongan Liu Yok, namun Liu Yok tidak nampak. Lenyap entah ke mana. Kui Tek-lam panik, berteriak tidak bisa, bergerak juga tidak bisa, cuma mulutnya yang megap-megap dan tangannya yang menggapai-gapai tanpa arti. Dilihatnya Lo Lam-hong makin ditenggelamkan oleh mahluk-mahluk itu, hati Kui Tek-lam sangat panik namun tidak bisa apa-apa.
Belum lenyap rasa paniknya, dilihatnya sahabatnya yang lain lagi, Pang Hui-beng, juga sedang melangkah semakin dekat ke tepian telaga hitam pekat itu. Pang Hui-beng seolah berjalan tanpa melihat, jalannya sempoyongan, sebab di atas kepalanya bertengger seekor burung hitam yang aneh, tubuh burung kepalanya seperti belalang besar.
Pang Hui-beng mencakar-cakar jidatnya sendiri, di tengah-tengah kedua matanya, seperti mau menghilangkan sesuatu yang menempel di situ namun tidak berhasil. Kui Tek-lam merasa aneh. Burung aneh itu hinggap di atas ubun-ubun, kok tangan Pang Hui-beng ke tengah-tengah antara mata terus? Tentu saja tangan itu terus-menerus luput menghalau burung yang seram itu.
Kembali Kui Tek-lam berusaha mendekat untuk menolong temannya itu, tetapi sepasang telapak kakinya seperti berakar di tanah. Mau berteriak, tidak keluar suaranya seperti tadi. Alhasil dengan perasaan bergolak dia cuma bisa melihat Pang Hui-beng melangkah makin dekat ke tepian telaga hitam pekat itu.
Kui Tek-lam meronta sekuat tenaga. Meronta. Meronta! Dan akhirnya geragapan bangun dari tidurnya. Tubuhnya basah kuyup dengan keringat, tak peduli saat itu adalah dini hari yang udaranya dingin sekali. Kui Tek-lam terengah-engah, beberapa saat dia menenangkan napasnya. Menyeka keringat, dan menghibur diri sendiri, “Untung cuma mimpi.”
Tetapi yang ditakutkannya sejak semula memang benar, la bangun dengan kepala pening, dan ia perkirakan bahwa tidurnya tadi tidak lebih dari satu jam. Diam-diam ia mengeluh dalam hatinya, “Apakah aku ditakdirkan seumur hidup takkan bisa menikmati tidur lagi? Dan setiap kali tidur harus berimpi buruk?”
Ia hilir mudik, dan dalam bingungnya dia mengambil suatu keputusan, “Aku yakin rumah ini ada banyak setannya, atau pengaruh jahatnya, mungkin hong-suinya kurang betul. Entahlah. Dan Nyo In-hwe sendiri pemuja siluman yang menakutkan di ruang pemujaan bawah tanahnya itu.
Rumah ini pasti lebih banyak pengaruh jahatnya daripada baiknya, lebih baik aku tinggalkan rumah ini secepatnya.” Begitulah, dia menyelinap keluar dari rumah itu. Dan mulai malam itu, dia pun menjadi gelandangan di kota Lam-koan.
Si Portugis yang tadi berbicara dengan Kui Tek- lam, kini tengah berbisik kepada Hakim Kang Liong di tempat tamu-tamu yang bergadang di dekat peti jenazah Nyo In-hwe, “Sudah aku hubungi Si “Semilir Angin” itu, dia percaya aku benar-benar orangnya Gubernur Jenderal, tidak lama lagi dia akan menghubungi teman-temannya dan berkumpul di suatu tempat dan memberi tahu aku, dan saat itu kita ringkus mereka semua tanpa ketinggalan satu pun.”
Kang Liong cuma mengangguk.
Kui Tek-lam tidur sangat pulas, sampai sorot matahari tengah hari jatuh tepat ke matanya, menerobos sela-sela atap ilalang gubuk bambu di tengah ladang sayuran di luar kota Lam-koan itu. Sebuah gubuk yang letaknya di pinggir hutan. Kui Tek-lam menggeliat duduk dan menguap lebar. Nyaman benar rasanya tidur yang baru dialaminya.
Gerutunya, “Ternyata di tempat ini aku tidak sulit untuk tidur nyenyak, sedang di rumah Nyo In-hwe selalu dihantui mimpi buruk. Aku percaya rumah itu banyak hantunya karena Nyo In-hwe itu penyembah setan.”
Ia duduk bermalas-malasan beberapa saat, menatap hamparan ladang sayuran yang amat luas, letaknya agak miring karena tempat itu ada di “belakang” kota Lam-koan yang menghadap sungai Se-kiang dan membelakangi pegunungan. Di kejauhan nampak satu dua orang desa memikul tong-tong kayu di tengah-tengah ladang. Kui Tek-lam pernah juga jadi orang desa sebelum menjadi perajurit istana, dan ia tersenyum sendiri karena tahu apa isi tong-tong yang dibawa orang itu.
Tinja alias kotoran manusia. Orang-orang desa biasa buang air besar dalam tong-tong kayu, lalu setiap pagi tong-tong kayu itu dibawa ke ladang dan isinya digunakan untuk memupuk sayur-sayuran. Yang tidak punya ladang, menjual isi tong itu kepada yang punya ladang, dan... selalu saja ada yang mau membeli. Kui Tek-lam di masa kecilnya sering ikut ayahnya menjual “komoditi” istimewa ini.
Kadang-kadang ia membayangkan juga, kotoran manusia disiramkan ke akar sayur-sayuran sehingga diserap dan menjadi sayuran itu sendiri. Lalu sayurannya diambil, dimasak, dan dimakan dengan lahap. Ia heran bagaimana orang bisa menikmati makanan begitu nikmat meskipun tahu “asal-usulnya, termasuk dirinya sendiri.
Beberapa saat Kui Tek-lam melupakan urusannya yang menegangkan. Ia duduk di dangau itu sambil mengingat-ingat masa kecilnya di desa. Suka-dukanya. Karena waktu ia bangun tidur saja sudah tengah hari, maka ditambah dengan waktu ia melamun dan berangan-angan, tahu-tahu matahari sudah agak bergeser ke barat, sudah tiga perempat perjalanannya hari itu. Dan perut Kui Tek-lam yang sejak semalam tidak diisi apa-apa itu pun mulai berkeruyukan menagih isi.
Kui Tek-lam menggeliat. “Aku harus membersihkan diri, lalu cari makanan, kemudian akan kucoba berkeluyuran di kota, siapa tahu bertemu dengan teman-teman.”
Masalahnya, untuk membersihkan diri itu tidak ada air di sekitarnya. Ada parit kecil yang mengalir dari hutan, tetapi airnya keruh. Tiba-tiba dilihatnya asap tipis naik di kejauhan, Kui Tek-lam kegirangan, “Itu pasti rumah orang desa, aku bisa minta air di desa untuk mandi, dan mungkin minta sedikit makanan.”
Tanpa pikir panjang, ia turun dari gubuk itu dan melangkah ke sana. Sambil “menyetrika” pakaiannya yang kusut dengan telapak tangannya, Kui Tek-lam membatin. “Jubah biru lautku ini rasanya sudah dikenali oleh orang-orang Pek-lian-hwe, hem, aku harus ganti penampilan sebelum memasuki kota. Di rumah itu, mudah-mudahan juga mau menjual sepasang pakaian bekas kepadaku.”
Rumah pedesaan yang terletak di tengah-tengah ladang sayur yang luas itu, ternyata kurang ramah menyambut kedatangan Kui Tek-lam. Beberapa anak-anak kecil yang sedang bermain gembira di halaman, tiba-tiba berlarian masuk rumah dengan ketakutan, ada yang diseret oleh kakaknya yang lebih besar.
Seorang perempuan desa yang sedang menjemur pakaian, juga tergesa-gesa menghilang ke dalam rumah, dan tidak lama kemudian suaminyalah yang melangkah keluar dengan sorot mata mengandung kecurigaan dan tangan membawa parang pembelah kayu.
Kui Tek-lam menjadi heran mendapat “sambutan” macam itu. Ia merasa bersikap cukup ramah, dan pakaiannya pun rasanya tidak menimbulkan kesan sebagai orang jahat, biarpun pakaiannya agak kusut.
“Permisi....” ia menyapa seramah-ramahnya.
Sambutan Si Tuan Rumah sudah gampang diduga sebelumnya, ia menjawab tidak ramah sama sekali, bahkan sambil mengacung-acungkan goloknya, “Belum puas menculik sepasang anak kembar dari desa kami? Sekarang siapa lagi hendak kau culik? Anakku?”
Kui Tek-lam kaget. “Menculik anak?”
“Ya. Kau tidak usah berpura-pura lagi. Kedatanganmu pasti berniat jahat, kalau bukan untuk menculik, untuk apa lagi?”
Sambil berkata-kata, orang itu dengan garang juga mulai melangkah keluar dari bawah emperan rumahnya, mendekati Kui Tek-lam dengan sikap mengancam. Tubuhnya besar dan berotot, dan nampaknya ia memandang rendah kepada Kui Tek-lam yang lebih kecil dan ramping. “Mari, penculik keparat, hadapilah aku.”
Sementara Kui Tek-lam teringat perihal penculikan anak-anak dari beberapa kampung di sekitar kota Lam-koan, bahkan di kampung nelayan juga ada ibu hamil yang diculik. Kui Tek-lam dan kawan-kawannya yakin kalau itu semua adalah ulah orang-orang Pek-lian-hwe, mungkin korban-korban culikan itu dibutuhkan untuk upacara-upacara satanik mereka. Namun rasanya sulit menjelaskan kepada orang-orang desa yang berpikiran sederhana semacam yang berdiri di depannya ini.
“Aku bukan penculik. Aku memang bukan orang daerah sini, aku orang utara, bisa kau kenali dari logatku.”
“Maling memang belum mengaku kalau belum dihajar!” orang desa itu menukas kata-kata Kui Tek-lam dengan sengit, sambil melompat maju dan mengayunkan parangnya ke leher Kui Tek-lam.
Kui Tek-lam menghindarinya dengan langkah mundur yang amat sederhana. “Sabar, bung, aku bukan....”
Si Orang Desa tak menggubris dan tak mau berhenti. Serangan berikutnya dilancarkan, tetapi Kui Tek-lam dengan gampang menangkap pergelangan tangan yang memegang parang itu, lalu menelikungnya, menjejak belakang lutut orang itu dan memaksanya berlutut sambil menekan kuat-kuat tangan yang tertelikung itu ke punggungnya.
Wajah orang itu berubah pucat, menyangka Kui Tek-lam akan menghabisinya saat itu juga. Namun ia terheran-heran ketika Kui Tek-lam melepaskannya begitu saja. Berhadapan dengan orang desa ini, Kui Tek-lam merasa perlu membuat sebuah terobosan untuk bisa mengajaknya bicara baik-baik. Ia singkapkan secara samar-samar siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah, sobat, aku bisa memaklumi kecurigaanmu. Bukan di kampungmu ini saja, namun di kampung-kampung lain pun aku dengar ada orang-orang diculik. Tetapi aku bukan penculiknya. Aku dan kawan-kawanku justru adalah petugas-petugas negara yang hendak menyelidiki soal penculikan itu dan membekuk penculik-penculiknya. Bisa terima kata-kataku?”
Cukup dengan pengakuan sederhana ini, ternyata sikap Si Orang Desa berubah drastis. Tidak perlu Kui Tek-lam sampai menerangkan dirinya adalah perajurit pilihan dari istana segala. “Jadi Tuan ini....”
“Sudahlah. Bangunlah. Aku perlu bantuanmu.”
Sikap orang itu sekarang jadi merunduk-runduk penuh hormat, ia ajak Kui Tek-lam masuk ke rumahnya. Tetapi Kui Tek-lam ingat maksudnya semula ia datang ke situ, “Terus terang, aku hanya ingin mandi, makan, kemudian kalau kau tidak keberatan, aku ingin pinjam sepasang baju bekasmu untuk menyamar di dalam kota Lam-koan.”
Orang itu dengan sukacita memberi apa yang dibutuhkan Kui Tek-lam. Maka ketika matahari sudah makin dekat dengan garis cakrawala sebelah barat, Kui Tek-lam pun meninggalkan rumah itu menuju ke Lam-koan. Dalam keadaan tubuh yang segar dan perut yang kenyang, namun dalam pakaian orang desa yang dipinjamkan oleh Si Tuan Rumah, Pakaian yang agak kedodoran sebab ukuran tubuhnya memang berbeda agak banyak dengan ukuran tubuh tuan rumahnya, ditambah sebuah topi rumput berpinggiran lebar yang akan menyamarkan wajahnya.
Kota Lam-koan sudah memasang lampion-lampionnya ketika Kui Tek-lam melangkah masuk kota. Sesaat, ia tidak tahu mau ke mana, tetapi akhirnya ia berjalan asal jalan saja, menyusuri jalanan-jalanan kota baik yang di “Kota Bawah” maupun Atas”, sambil memperhatikan orang-orang kalau-kalau ada isyarat rahasia dari teman-temannya, juga memperhatikan tembok di sudut-sudut jalan di mana teman-temannya biasa mencoretkan tanda rahasia. Tetapi yang terlihat hanya coretan-coretan bekas beberapa hari yang lalu karena cuaca mulai terhapus.
“Barangkali Kakak Oh sudah berhasil menghubungi mereka dan memberi tahu soal pertemuan nanti tengah malam....” pikir Kui Tek-lam.
Maka Kui Tek-lam pun hanya sekedar berjalan- jalan. Menonton tukang jual obat di pinggir jalan, menonton tukang sulap, berjudi kecil-kecilan dan macam-macam kegiatan ringan lainnya, sekedar membuang waktu sampai ke tengah malam nanti.
“Sekali-sekali perlu juga begini, untuk mengendorkan urat syaraf,” katanya dalam hati untuk membenarkan diri.
Rasa lapar di perutnya terusik oleh bau mi-pangsit yang sedap, dari seorang penjual setengah tua yang menaruh pikulannya di dekat sebuah toko, sambil mengetok-ngetok bambu untuk menarik pembeli. Kui Tek-lam tersenyum sendiri, teringat rekannya, Pang Hui-beng yang dalam banyak penugasan gemar menyamar sebagai tukang mi-pangsit, entah kenapa.
Tetapi tukang mi-pangsit yang sekarang didekati Kui Tek-lam ini ternyata bukan Pang Hui-beng. Bentuk tubuhnya saja berbeda jauh. Pang Hui-beng berperawakan tidak jauh berbeda dengan Kui Tek-lam, sedang orang ini pendek dan gemuk. Kedua, mi-pangsit yang ini baunya sangat sedap dan merangsang selera, bedanya seperti langit dan bumi kalau dibandingkan dengan bikinan Pang Hui-beng yang asal jadi, kadang-kadang terlalu asin dan kadang-kadang tidak ada rasanya sama sekali.
Kui Tek-lam langsung menduduki bangku berkaki pendek di depan pikulan dan langsung memesan semangkuk besar. Si Penjual melayaninya dengan ramah, dan masakannya benar-benar lezat. Kui Tek-lam menyantapnya sambil mengobrol ringan, dan saking lezatnya, ia menambah semangkuk lagi.
Obrolan mereka terganggu ketika mendengar suara sorak-sorai segerombolan anak-anak dari ujung jalan. Rupanya anak-anak itu mengiring dan mengolok-olok seorang lelaki dewasa yang agaknya adalah orang berotak miring. Si Gila itu berjalan sambil menari dan menyanyi, kadang-kadang berbalik untuk menghalau anak-anak itu. Kalau dihalau, anak-anak itu bubar sambil tertawa-tawa dan mengejek-ejek dari kejauhan, tetapi kemudian kembali menggerombol di belakang Si Gila.
Kui Tek-lam tidak memperhatikan Si Gila itu, tidak ada istimewanya. Di kota mana pun tentu ada orang gila yang begini, maka ia tetap saja membelakangi jalanan dan meneruskan melahap mi-pangsitnya. Tetapi Si Tukang Pangsit menggeleng-geleng kepala sambil berdesis, “Kasihan. Masih muda sudah bernasib seperti itu.”
Sekedar untuk mengimbangi, sambil menghirup kuah panas yang lezat, Kui Tek-lam bertanya namun tanpa menoleh kepada orang gila yang sedang dibicarakan itu, “Bapak kenal dia?”
“Ya. Ia menyewa sebuah rumah kecil yang berhadapan dengan rumahku di sebuah gang sempit. Ia seorang pemuda yang mengaku datang dari utara, dan itu ditandai dengan logat bicaranya, katanya mengadu nasib di kota ini. Ia juga berjualan mi-pangsit pikulan seperti aku.”
Mendengar sampai di sini, perhatian Kui Tek-lam mau tidak mau tertarik, sebab ciri-ciri yang disebutkan oleh Si Tukang Mi-pangsit itu ternyata cocok dengan ciri-ciri Pang Hui-beng. Ia tunda dulu mencaplok sepotong pangsit yang sudah di depan bibirnya, untuk menoleh memperhatikan Si Gila. Meski penerangan di jalan itu hanya dari beberapa lampion yang bergantungan di depan beberapa rumah, tapi sudah cukup bagi Kui Tek-lam untuk mengenali bahwa Si Orang Gila yang diikuti anak-anak itu adalah Pang Hui-beng!
Ya, Pang Hui-beng. Meski saat itu ia berpakaian compang-camping dan kotor, rambutnya awut-awutan, mukanya juga kotor. Hampir-hampir Kui Tek-lam tak dapat menahan tertawanya, katanya dalam hati, “Bagus, Saudara Pang, setelah penyamaranmu sebagai tukang mi diketahui musuh, penyamaranmu kali ini sungguh cerdik. Dengan pura-pura jadi orang tidak waras, kau bisa pergi ke mana saja, mengacau di mana saja dan apa saja.”
Namun sudah tentu Kui Tek-lam harus pura-pura tidak mengenalnya. Ia teruskan makannya, dan Pang Hui-beng sendiri juga melewatinya begitu saja bersama anak-anak kecil yang mengikutinya.
“Sejak kapan ia jadi begitu?” tanya Kui Tek-lam kepada Si Tukang Pangsit yang ternyata jadi tetangga Pang Hui-beng.
“Baru mulai tadi pagi. Para tetangga tiba-tiba mendengar dia tertawa dan menangis keras berganti-ganti, kami para tetangga hendak menghiburnya, tetapi dia mengamuk. Dia seperti tidak kenal lagi. Dia mengoceh macam-macam.”
“Misalnya?”
“Yang diulang-ulang, dia mengaku sebagai bintang malaikat yang jatuh dari langit dan menjelma jadi manusia. Kalau menangis dia bilang dia sudah dikalahkan, katanya tahtanya di langit sudah dihancurkan entah oleh siapa begitu, dan sekarang dia bersumpah akan mencelakakan umat manusia sebanyak-banyaknya.”
“Permainan sandiwara yang bagus.” komentar Kui Tek-lam dalam hatinya. Namun jauh di dasar hatinya timbul juga setitik perasaan kurang enak. Jangan-jangan...., tetapi ia batalkan pikirannya sendiri dengan mengibaskan kepalanya, dan meyakinkan dirinya sendiri, “Tidak mungkin. Saudara Pang adalah orang yang berjiwa teguh. Lagaknya kali ini pun pasti hanya pura-pura, untuk mengelabuhi pihak Pek-lian-hwe.”
Ia habiskan mangkuk ke dua dari mi-pangsitnya dengan cepat, membayarnya, lalu bergegas pergi dari situ. Sekilas terpikir untuk mengikuti Pang Hui-beng dari kejauhan, mencari kepastian apakah dia cuma pura-pura gila, atau.... tetapi langkah Kui Tek-lam tertegun-tegun, dihambat perasaan bimbang yang membadai di hatinya sendiri. Ia justru takut kepada kepastian itu sendiri, kalau-kalau tidak seperti yang diharapkannya.
Akhirnya Kui Tek-lam malahan melangkah ke jurusan yang sama sekali berbeda dengan Pang Hui- beng dan anak-anak kecil tadi. Ia hibur hatinya sendiri, “Aku percaya, nanti tengah malam pastilah Saudara Pang akan datang berkumpul dengan kami di kuburan Portugis itu, sambil cengengesan dan menceritakan lagak sintingnya.”
Kui Tek-lam melangkah terus, melewati tempat yang ramai dan sepi sekedar “meringankan pikiran”nya. Tidak terasa dia lewat di jalan di mana terletak gedung kediaman Nyo In-hwe yang sedang berkabung. Tiba-tiba muncul keinginan Kui Tek-lam untuk menjenguk rumah yang pernah menjadi tempat “indekos”nya itu.
Rumah itu masih tetap ramai dan akan tetap begitu sampai jenazahnya diperabukan. Sebagai penganut Pek-lian-kau yang memuja Dewa Api, jenazah Nyo In-hwe dan rohnya akan diserahkan kepada yang mereka sebut Bu-seng Lo-bo (Ibunda Abadi Tak Berasal-usul) melalui api.
Jenazah akan dikeluarkan dari peti, ditelanjangi bulat-bulat, barulah dibakar sampai jadi abu. Entah bagaimana caranya upacara itu hendak dilaksanakan, sebab upacara ganjil demikian pasti akan menarik perhatian pemerintah Man-chu dan ini pasti tidak dikehendaki orang-orang Pek-lian-hwe.
Kui Tek-lam menduga dalam hati, “Mungkin jenazah akan pura-pura dimakamkan menurut upacara agama yang tidak dilarang pemerintah, lalu malamnya jenazah diam-diam akan diambil dari Kuburannya dan kuburannya dipulihkan «embali, sedang tubuh Nyo In-hwe akan diupacarai sendiri orang-orang Pek-lian-twe di suatu tempat rahasia. Mungkin di tempat yang mereka sebut Kota Pohon Persik.”
Tetapi kali ini Kui Tek-lam dalam samarannya tidak mungkin masuk ke tempat itu. Maka ia cuma berjongkok di seberang rumah itu sama-sama dengan jelandangan-gelandangan yang sedang nenunggu sisa- sisa makanan. Menjalankan “peranan”nya itu diam-diam ia geli sendiri, “Kalau Pang Hui-beng bisa pura-pura jadi orang gila, kenapa aku tidak boleh pura-pura jadi gelandangan?”
Ia berjongkok tepat di seberang pintu gerbang yang senantiasa terbuka lebar untuk dilewati tamu-tamu yang datang dan pergi. Dari tempatnya ia bisa melihat ke ruangan depan, di mana peti jenazah ditaruh di belakang tirai-tirai biru dan putih. Seluruh ruangan seperti diliputi kabut karena asap dupa yang tak henti-hentinya dibakar. Sanak keluarga berlutut di samping dalam pakaian berkabungnya (kemarin malam Kui Tek-lam juga masih di situ, membalas penghormatan tamu-tamu.
Hati Kui Tek-lam tersentuh melihat dua anak Nyo In-hwe yang selama ini akrab dengannya. Kui Tek-lam tidak pernah punya rasa benci atau permusuhan kepada kedua anak yang tidak tahu apa-apa tentang perbuatan ayahnya itu. Nampak kedua anak itu masih dengan wajah yang sedih ikut menghormati tamu-tamu yang datang.
Kui Tek-lam berani memastikan, bahwa kesedihan kedua anak itu bukan hanya karena ayah mereka terbunuh, melainkan juga karena Paman Kui yang menghilang begitu saja. Tak terasa Kui Tek-lam menarik napas.
Gelandangan yang berjongkok di sebelah Kui Tek-lam agaknya salah tafsir tentang helaan napas Kui Tek-lam itu, lalu berkata menghibur Kui Tek-lam, “Sabar, sobat. Sebentar lagi sisa-sisa roti pastilah dibawa keluar, untuk kita.”
Sedikit rasa masygul Kui Tek-lam digantikan rasa geli, tetapi dia diam saja, menjaga agar logat utaranya jangan sampai kedengaran.
Gelandangan di sebelah Kui Tek-lam tu lalu bertanya, “Kau sudah tidak tahan lapar, anak muda? Ni, aku masih punya setengah potong bakpao.”
Dan dikeluarkannya bakpao yang tinggal separuh dari balik bajunya yang menebal dengan daki, disodorkan kepada Kui Tek-lam. Sepotong bakpao yang entah sudah berapa hari, dan beraroma keringat manusia. Kui Tek-lam cuma menggeleng sambil tersenyum.
Ketika itu, di ruang tempat peti jenazah terjadi keributan kecil. Anak Nyo In-hwe yang kecil, pemuda cilik berusia delapan tahun yang bernama Nyo Lam-beng, tiba-tiba menangis. Beberapa sanak keluarga mencoba menghiburnya, juga beberapa bujang. Tetapi Nyo Lam-beng malahan berteriak sambil menangis dan Kui Tek-lam bisa menangkap teriakan anak itu dari luar, “Aku mau Paman Kui! Aku mau Paman Kui!”
Keruan orang-orang jadi sibuk mengurus anak yang mulai rewel. Apalagi ketika anak itu mulai menyepak-nyepak ketika beberapa bujang keluarga Nyo hendak membawanya ke dalam. Rupanya hendak disuruh tidur, karena memang saat itu sudah larut malam.
Di luar, mata Kui Tek-lam basah menyaksikan semuanya itu. Ia lalu bangkit meninggalkan tempatnya, ke pojok jalanan yang gelap tak terjangkau lampu, menyempatkan diri mengusap matanya yang basah, sementara gelandangan yang di sebelahnya tadi menggerutu,
“Dasar tidak sabaran. Padahal sebentar lagi sisa-sisa makanan itu pasti dibawa keluar oleh bujang-bujang Tuan Nyo.”
Di tempat gelap itu, Kui Tek-lam mengatur emosinya, kemudian memutuskan suatu tindakan yang agak beresiko namun untuk memuaskan dorongan hatinya. Ia akan menyelundup masuk ke rumah keluarga Nyo, meskipun dengan sangat hati-hati, sebab mungkin sekali di sekitar dan di dalam rumah itu sudah ada orang-orang Pek-lian-hwe dalam berbagai penyamaran.
Di bagian dinding belakang yang sepi dan dikenalnya baik-baik, dia melompat masuk. Lalu ia menuju ke kamar bujang untuk mencuri satu setel pakaian berkabung. Ia tebalkan alisnya sendiri dengan arang, lalu kumis dan berewok palsu dengan arang juga.
“Asal aku tidak berdiri tepat di bawah lampu, orang-orang takkan tahu kalau kumis dan berewok ini palsu.” pikirnya.
Lalu ia pun berjalan memasuki rumah itu, menuju ke kamar Nyo Lam-beng yang sudah diketahui tempatnya. Untuk memperkuat penyamarannya, ia mampir dulu ke dapur untuk mengambil nampan, menaruh beberapa mangkuk makanan dan minuman di atasnya, karena pelayan-pelayan keluarga Nyo saat itu masih hilir mudik dengan nampan di tangan, melayani tamu-tamu yang terus datang dan pergi.
Pelayan di dapur sudah dikenali oleh Kui Tek-lam, sebaliknya pelayan itu menatap Kui Tek-lam dengan tatapan asing, namun tidak bereaksi apa-apa. Saat itu yang bertugas di rumah Nyo In-hwe memang bukan hanya pelayan-pelayan rumah itu, tetapi juga beberapa tenaga dari luar. Maka kehadiran Kui Tek-lam tidak menimbulkan masalah, apalagi buat orang yang sedang mengantuk dan kelelahan Si Petugas di dapur yang sibuk tak henti-hentinya.
Bahkan Kui Tek-lam mendengar pelayan itu menggerutu, “Habis Tuan Nyo dimakamkan, akulah yang akan dimakamkan. Mampus kelelahan.”
Kui Tek-lam tidak menggubrisnya, ia segera meninggalkannya dengan nampan di tangan. Menuju langsung ke kamar Nyo Lam-beng di bangunan sayap kanan. Tiba di depan pintu kamar, ia mendengar Nyo Lam-beng masih menangis dan sedang dibujuk-bujuk oleh inangnya agar diam. Tetapi kegigihan Si Inang tidak membuahkan hasil. Kui Tek-lam mengetuk pintu.
“Siapa?” tanya Si Inang dari dalam.
Kui Tek-lam menjawab dengan suara yang dibuat berbeda dari suara aslinya, “Aku bawakan bubur hangat untuk Tuan-muda....”
Yang menjawab lantang adalah Nyo Lam-beng. “Emoh! Aku emoh makan apa-apa! Aku mau Paman Kui!”
Si Inang membujuk, tetapi malahan diusir. Si Inang mencoba bertahan dalam kamar, tetapi akhirnya harus keluar juga karena Nyo Lam-beng menjerit-jerit tak terkendali. Setelah Si Inang keluar, Kui Tek-lam melangkah masuk kamar, meletakkan nampannya di meja dan mengunci kamar itu dari dalam.
Nyo Lam-beng masih mengamuk, melihat pelayan “bermuka aneh” yang belum dikenalnya itu, ia berkata dengan sengit, “Sudah kubilang aku emoh makan! Aku emoh makan!”
Yakin di luar ruangan tidak ada yang sedang mencuri dengar, Kui Tek-lam menjawab dengan suara aslinya, “A-beng, kau harus makan agar jangan sakit.”
Nyo Lam-beng tertegun mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, ia amat amati saja Kui Tek-lam, meskipun ber-corengan arang tetapi anak itu dapat juga mengenalinya. Kontan kegembiraannya meluap, ia melompat hendak memeluk sambil berteriak, “Pam....”
Kui Tek-lam cepat memeluknya dan mendekap mulut anak itu . “Ssst....”
Nyo Lam-beng heran, terlihat dari sorot matanya yang berputaran. Tapi juga gembira. Suaranya melirih. “Paman Kui kau....”
Kui Tek-lam mendekap anak itu, menyalurkan aliran hangat dari jiwanya sendiri ke dalam jiwa anak yang tengah tergores itu, tanpa kata.
“Paman pergi ke mana saja? Kenapa tidak biiang? Biar kupanggilkan Kakak Lian-in, dia pun rindu kepada Paman.”
Sebenarnya Kui Tek-lam rindu juga kepada Kakak Nyo Lam-beng, namun ia kuatir rumah itu sudah diawasi orang-orang Pek-lian-hwe di luarnya maupun dalamnya. Tindakan Nyo Lam-beng mengundang kakaknya bisa memancing kesulitan buat dirinya. Maka Kui Tek-lam pun terpaksa membohonginya, “Paman pergi untuk suatu urusan di tempat lain, nanti kalau urusannya sudah selesai, Paman pulang lagi....”
“Bermain bola lagi dengan kami?”
“Tentu.”
“Jadi kupanggilkan Kakak Lian-in atau tidak?”
“Tidak usah. Nanti aku temui sendiri dia.”
Maka bercengkeramalah kedua orang itu. Mereka mengobrol dan bercanda, Kui Tek-lam membuat beberapa lukisan atas permintaan Nyo Lam-beng dan juga membuat beberapa mainan dari kertas. Ia juga membujuk Nyo Lam-beng agar mau makan buburnya, dan ia berhasil.
Keasyikan itu terganggu ketika Kui Tek-lam tiba-tiba ingat, tengah malam itu ia harus di kuburan Portugis itu untuk bertemu dengan teman-temannya.
“A-beng, sekarang sudah malam. Kau harus tidur, supaya sehat dan tidak dimarahi Ibumu, ya?” bujuk Kui Tek-lam.
“Paman tunggui dan mendongeng ya?”
Kui Tek-lam tak tega menolak permintaan itu. Maka ia bantu Nyo Lam-beng mencopot sepatunya, menidurkannya di pembaringan, dan mulai mendongeng sekenanya sampai Nyo Lam-beng tertidur. Setelah yakin Nyo Lam-beng sudah pulas, Kui Tek-lam sekali lagi merapikan selimut anak itu lalu menyelinap keluar dari kamar itu, bahkan juga dari rumah yang sedang berkabung itu.
Ternyata Nyo Lam-beng belum terlalu pulas. Setelah tertidur sejenak, ia menggapai-gapaikan tangannya ke samping tempat tidur sambil memanggil-manggil dengan suara setengah mengigau, “Paman ... Paman....”
Karena tangannya tidak menyentuh orang yang dicarinya, dia terjaga. Melihat Sang Paman Kui tidak di sampingnya, menangislah ia. la merosot keluar dari pembaringannya, sambil membawa burung-burungan kertas di tangannya dia pun keluar dari kamarnya.
Di ruangan depan, masih ada tetamu yang bergadang. Rata-rata orang-orang terhormat di kota Lam-koan. Di antaranya nampak Hakim Kang Liong yang wajahnya nampak murung, duduk semeja dengan Si Orang Portugis yang menjadi guru bahasa dan tulisan Latin buat anak-anak orang-orang berduit di Lam-koan.
Mereka bercakap-cakap perlahan, sehingga orang-orang di meja terdekat pun tidak dapat menangkap apa yang mereka omongkan. Apalagi suasana di ruangan itu cukup ribut.
“Lolosnya Kui Tek-lam tanpa kuketahui memang kecerobohanku.” bisik Si Portugis dengan wajah menunjukkan rasa bersalah. “Tetapi aku masih punya peluang untuk menangkap Si “Semilir Angin” itu beserta kawan-kawannya. Sampai detik ini Kui Tek-lam pasti masih percaya bahwa aku adalah mata-matanya Gubernur Jenderal di Makao. Kalaupun aku tidak menemukannya, pastilah dia yang akan mencari aku.”
“Mudah-mudahan saja.”
“Percaya sajalah bahwa anjing-anjing Manchu itu akhirnya akan kita bereskan semuanya. Buktinya kita sudah dapat dua.”
Percakapan terhenti. Semua orang di ruangan itu beralih perhatiannya kepada Nyo Lam-beng yang melangkah keluar sambil menangis mencari Paman Kui-nya, sambil memegangi burung-burungan kertas bikinan Paman Kui-nya di tangannya. Para sanak keluarga pun berebutan menghiburnya.
“Sudahlah, A-beng, Paman Kui akan pergi sebentar, kapan-kapan kembali lagi.” dan macam-macam bujukan lagi.
Tetapi Nyo Lam-beng mengangkat burung-burungan kertas itu sambil berkata, “Tidak. Baru saja Paman Kui di kamarku, kami berbicara dan bermain-main....”
Perkataan terakhir ini menggugah perhatian Hakim Kang Liong serta Si Guru Portugis. Hampir bersamaan mereka bangkit dari tempat duduk mereka, mendekati Nyo Lam-beng, pura-pura ikut menghibur bocah itu namun sebenarnya mencari keterangan tentang Kui Tek-lam. Si Bocah yang tak mampu menyelami niat Hakim Kang Liong dan Si Guru Portugis itu pun bercerita tentang semuanya.
Hakim Kang Liong dan Si Guru Portugis bertukar pandangan, sama-sama paham, dan ketika mereka sudah berada kembali di tempat duduk mereka, Hakim Kang Liong berkata perlahan, “Rumah ini bisa menjadi perangkap buat Kui Tek-lam, dan bocah itu bisa menjadi umpan untuk memancingnya masuk perangkap.”
“Betul.”
Ketika Kui Tek-lam tiba di kuburan Portugis itu, tengah malam sebenarnya sudah lewat. Ia merasa terlambat. Kuburan itu sepi, tidak ada bekas-bekas nya kalau kemarin malam terjadi keributan di tempat itu.
“Perhitungan Kakak Oh benar-benar tepat. Pihak Pek-lian-hwe merasa sudah memergoki tempat ini, dan mereka anggap kami tidak mungkin menggunakan lagi tempat ini. Tetapi kami justru menggunakannya, hal ini pasti tak terpikir oleh orang-orang Pek-lian-hwe.”
Namun Kui Tek-lam heran melihat yang siapa di tempat itu ternyata hanya Oh Tong-peng sendirian. Sedang duduk bertopang dagu dengan siku tertumpang di kedua lututnya. “Kakak Oh, aku kira aku sudah terlambat. Mana yang lain-lainnya?”
“Duduklah.”
Kui Tek-lam heran mendengar suara atasannya yang lesu. Kui Tek-lam duduk di hadapannya, dan mengulangi pertanyaannya, “Mana yang lain-lainnya? Apakah Kakak tidak dapat menjumpai mereka?”
“Aku dapat menjumpai mereka.”
“Lalu kenapa....”
“Pertama kutemui Cu Tong-liang di sebuah rumah bobrok di pinggiran kota. Ia kutemui dalam keadaan lumpuh kedua kakinya, bisu dan tatapan matanya kosong, tak bisa mengingat-ingat apa-apa.”
Kui Tek-lam terkesiap, mulutnya terbuka namun tak dapat berkata apa-apa. Oh Tong-peng melanjutkan, “Hatiku hancur waktu itu, namun aku tidak berlambat-lambat, segera kubawa Cu Tong-liang ke tempat tersembunyi yang aman.”
Kui Tek-lam mengepalkan tinjunya dengan geram, “Bangsat, ini pasti ulah orang-orang Pek-lian-hwe. Kemarin saja Saudara Cu masih sehat-walafiat.”
“Entah apa yang dia alami, aku tidak bisa menanyainya karena dia bisu dan matanya kosong.”
“Lalu?”
“Beberapa jam kemudian, setelah ku-kelilingi kota Lam-koan, aku temui Thiam Gai dalam penyamaran sebagai pengemis.”
“Dia... tidak kurang suatu apa, bukan?”
“Ya, dia sehat-sehat saja kecuali sedikit tegang karena pengalaman kemarin malam. Tetapi ia masih sempat berkelakar begitu bertemu denganku.”
“Syukurlah, mana dia sekarang?”
“Aku suruh dia menjaga Cu Tong-liang.”
Kui Tek-lam sedikit lega, meski dia prihatin juga akan nasib Cu Tong-liang. “Jadi kita tinggal menunggu Pang Hui-beng, Kakak Oh?”
“Kita tidak perlu menunggunya.”
“Kenapa? Apakah Kakak tidak dapat menjumpainya? Tidak aneh, karena Saudara Pang sudah berganti samaran. Ia tidak lagi menyamar sebagai tukang mi-pangsit pikulan, melainkan sebagai.... orang gila!” Kui Tek-lam lalu tertawa geli sendiri, dan berharap Oh Tong-peng akan ikut tertawa juga.
Namun kata-kata Oh Tong-peng kemudian malah melenyapkan tawa Kui Tek-lam, “Aku sudah ketemu Pang Hui-beng. Ia tidak pura-pura gila. Ia memang gila!”
Kalau ada petir meledak di atas kepala Kui Tek-lam, takkan sekaget mendengar perkataan komandannya itu. Hari itu ada dua pukulan hebat buat jiwanya. Kabar Cu Tong-liang menjadi lumpuh, bisu dan hilang ingatan, disusul kabar Pang Hui-beng menjadi gila. Keduanya adalah rekannya yang sama akrabnya dengan Lo Lam-hong.
“Kakak Oh... be... benarkah itu?”
Oh Tong-peng cuma mengangguk lesu.
“Kakak sudah pasti? Pang Hui-beng itu pintar bersandiwara lho, dan kadang-kadang kelakarnya kepada kita agak keterlaluan. Kita sudah lama mengenal dia!”
“Aku semula juga mengira dia main-main. Aku ikuti dia terus, di suatu tempat yang sepi, aku ajak bicara dia. Ternyata dia memang sudah miring otaknya. Hampir saja aku....”
“Apa, Kak?”
“Jiwaku terguncang demikian hebat, aku sudah kerahkan kekuatan telapak pasir besi untuk membunuh Pang Hui-beng, rasanya lebih rela melihat dia sebagai mayat daripada melihatnya seperti itu. Tetapi....”
Lalu Oh Tong-peng terisak. Sungguh suatu pemandangan langka menyaksikan salah satu komandan pasukan istana menangis, sedang kemarin malam Oh Tong-peng masih dengan gagah menganjurkan kepada anak buahnya, “Teguhkan jiwa, teguhkan jiwa. Jangan terpengaruh.”
Sebaliknya darah Kui Tek-lam mendidih, menggelegak dengan kemarahan. “Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Kakak Oh. Kita bertindak kelewat hati-hati, sementara satu-persatu dari kita dihantam dengan ilmu gaib. Pertama Lo Lam-hong, lalu Cu Tong-liang, lalu Pang Hui-beng. Siapa lagi berikutnya? Aku? Thiam Gai? Ataukah Kakak Oh sendiri?”
“Tenanglah. Duduklah.”
Kui Tek-lam duduk kembali, namun disuruh tenang jelas mustahil. Jantungnya serasa membara oleh kemarahan. “Kakak Oh, sekarang ini masih sisa tiga orang di pihak kita. Kakak Oh sendiri, aku dan Saudara Thiam Gai. Lebih baik kita terang-terangan muncul ke permukaan dan kita hantam orang-orang yang kita curigai sebagai tokoh-tokoh Pek-iian-hwe, seperti Tabib Siau Hok-to, Hakim Kang Liong. Kita tangkap hidup-hidup mereka dulu, lalu kita peras keterangan dari mulutnya, kita tanyai nama tokoh-tokoh lain. Setelah mereka mengaku, kita gantung mereka untuk melampiaskan sakit hati kita atas tindakan mereka terhadap kawan-kawan kita.”
“Tenanglah. Dengarkan dulu.”
Bukannya diam dan mendengarkan, Kui Tek-lam masih saja berbicara dengan emosi meluap-luap, “Kalau kita begini-begini terus, kita dimakan satu persatu. Besok barangkali ada di antara kita yang mengalami sesuatu. Entah mendadak gila, atau mendadak lumpuh, dan habis sama sekali! Lebih baik malam ini juga kita buat perangnya jadi perang terbuka, tidak main sembunyi-sembunyian lagi!”
“Kita akan celaka.”
“Diam terus juga celaka. Sama-sama celaka, lebih baik kalau kita beri perlawanan sebisa-bisanya! Biar Pek-lian-hwe dapatkan nyawa kita, tapi tidak gratis, keenakan buat mereka.”
Oh Tong-peng sebenarnya juga marah, ingin rasanya mencincang orang-orang Pek-lian-hwe. Tetapi umurnya yang jauh lebih banyak dari umur Kui Tek-lam mempengaruhi cara berpikirnya, darahnya lebih “dingin” dari Kui Tek-lam. Ia masih bisa berpikir agak jernih. Ia sadar, saat itu tidak mungkin bicara baik-baik dengan Kui Tek-lam yang sedang meluap-luap amarahnya. Maka ia memakai taktik mengulur waktu.
Katanya, “Mari kita bicara di tempat aman. Paling tidak di pihak kita masih ada tiga orang waras, kalau kita bertiga berkumpul, mungkin lebih sukar diserang.”
Mereka bangkit meninggalkan tanah pemakaman itu, dan berjalan menuju ke tempat yang dikatakan Oh Tong-peng itu. Sepanjang jalan kaki Kui Tek-lam masih menggerutu sambil mengepal-ngepal tinju, Oh Tong-peng harus terus menyabar-kannya, agar anak buahnya yang satu ini tetap berada di bawah kendalinya.
Mereka memasuki sebuah jalan yang sepi di pinggiran kota, jalanan itu banyak gedung-gedung model Eropa, namun semuanya sudah menjadi reruntuhan berlumut dan dipenuhi semak belukar. Satu dua buah masih kelihatan pilar-pilar yang menghitam. Tempat itu dulunya adalah daerah kediaman orang-orang Portugis dan orang-orang Eropa lainnya sebelum timbul kerusuhan anti orang asing.
Lima puluh tahun yang lalu, ketika terjadi kerusuhan anti orang asing yang digerakkan dari belakang layar oleh Pek-lian-hwe, terjadi pembunuhan orang-orang asing dan pembakaran rumah-rumahnya, sehingga penghuni tempat itu mengungsi ke Makao dan Kanton. Sejak itu, tempat itu tidak terurus, jalanannya pun sepi bukan hanya di malam hari tetapi juga di siang hari, dan jalanan yang dulunya lebar serta bisa dilalui kereta, sekarang ditumbuhi semak belukar dan menyempit menjadi jalan setapak.
Di salah satu gedung besar tak terpakai itulah Oh Tong-peng memakainya untuk menyembunyikan Cu Tong-liang yang katanya mendadak lumpuh, bisu dan kehilangan ingatan itu. Itu pun yang dipakai hanya sebuah sudut kecil dari rumah itu, sekedar tempat untuk berlindung dari udara dingin. Kedatangan Oh Tong-peng dan Kui Tek-lam disambut oleh Thiam Gai yang ditugasi menjaga Cu Tong-liang. Wajah Thiam Gai nampak murung sekali.
“Bagaimana keadaan Saudara Cu?” tanya Kui Tek-lam.
Thiam Gai cuma menggeleng lemah, putus harapan. Mereka melangkah masuk ke sebuah kamar, di dalamnya ada penerangan lilin. Nampak ruangan itu sudah dibersihkan. Pandangan Kui Tek-lam langsung terpusat ke arah Cu Tong-liang yang duduk di lantai dengan punggung bersandar tembok, kedua kakinya diluruskan ke depan, kedua tangannya terkulai lemas, kedua matanya menatap kosong ke depan. Satu-satu napasnya terdengar lemah.
Kui Tek-lam berjongkok di sebelahnya, mengguncang-guncang pundaknya sambil memanggil manggil. Tetapi Cu Tong-liang tidak memberi tanggap-an sedikit pun, bahkan biarpun hanya dengan gerakan biji matanya sedikit pun. Tak tertahan Kui Tek-lam menangis, makin lama makin keras, sampai seperti anak kecil.
Maka sibuklah Oh Tong-peng dan Thiam Gai menghibur Kui Tek-lam. Untung tempat itu sepi, sekitarnya belukar belaka sehingga tangis pilu Kui Tek-lam tidak menarik perhatian siapa-siapa. Bahkan kalau ada yang mendengarnya, mungkin malah akan lari terbirit-birit.
Setelah tangisnya agak reda, Kui Tek-lam membuang ingusnya yang keluar berlimpah-limpah, dengan mata masih merah dan basah ia berkata, “Kita harus menuntut pembalasan hebat terhadap orang-orang Pek-lian-hwe!”
Thiam Gai yang sama mudanya dengan Kui Tek-lam, juga mendukung, “Aku setuju, Saudara Kui. Sudah tiga orang teman kita jadi korban, jatuh ke dalam keadaan yang jauh lebih buruk daripada mati. Saudara Lo Lam-hong yang kehendaknya begitu dikuasai, sehingga dia hanya boneka belaka di tangan orang-orang Pek-lian-hwe, lalu Saudara Pang Hui-beng yang dijadikan orang gila, dan Saudara Cu yang dibuat mati tidak hidup pun tidak!
"Panas rasanya hati ini! Musuh tidak mau berhadapan dengan kita secara jantan, tetapi beraninya hanya main santet dari kejauhan, mengandalkan ilmu setan mereka. Kalau kita tidak segera membalas, kita akan dihabisi dengan cara demikian. Tetapi kalau kita gempur mereka malam ini, biarpun kita binasa, setidak-tidaknya juga bisa membinasakan beberapa orang di pihak mereka!”
“Mau menggempur ke mana?” tanya Oh Tong-peng.
Kui Tek-lam menjawab, “Cukup banyak tempat di kota Lam-koan yang kita curigai sebagai sarang atau pos mereka! Rumah obat kepunyaan Siau Hok-to, rumahnya Hakim Kang Liong misalnya!”
Sahut Oh Tong-peng. “Kita mencurigai mereka, tetapi belum ada bukti-buktinya. Kalau kita gempur tempat-tempat itu, mungkin tindakan kita hanyalah suatu tindakan tolol, sesuai dengan pepatah “mengusik rumput mengagetkan ular” yang tidak banyak hasilnya.”
“Tidak banyak hasilnya adalah lebih baik daripada kita cuma duduk di sini sambil dijadikan bulan-bulanan oleh mereka!” sergah Thiam Gai emosi.
“Kita tidak akan tinggal diam. Kita akan mengupayakan sembuhnya teman-teman kita lebih dulu.” sahut Oh Tong-peng. “Kalau kalian berdua masih menganggap aku sebagai komandan kalian, kalian harus menyesuaikan diri dengan rencanaku. Kalau tidak, silakan bertindak sendiri-sendiri, aku tidak akan menghalang-halangi kalian.”
Kui Tek-lam dan Thiam Gai bertukar pandangan, perlahan-lahan sikap ngotot mereka pun mengendor, meskipun tidak berarti kegeraman mereka terhadap Pek-lian-hwe mereda. Kui Tek-lam lalu perlahan-lahan duduk di lantai, karena di ruangan itu tidak ada perabotan apa-apa. Lilin pun ditaruh di lantai.
Tanya Kui Tek-lam, suaranya merendah, “Apa rencana Kakak?”
“Pertama, seperti kukatakan tadi, sembuhnya ketiga orang kawan kita haruslah menjadi sasaran utama jangka pendek kita saat ini. Lupakan dulu tentang mencari tempat penyimpanan senjata-senjata api Pek-lian-hwe itu, jangan sampai kemarahan kita membuat kita mengabaikan keadaan teman-teman kita yang menderita.”
“Yang ke dua?”
“Coba hubungi alat-alat negara di Lam-koan. Bisiki mereka agar waspada terhadap kaum Teratai Putih. Sampai sekarang undang-undang kerajaan masih menganggap mereka sebagai kaum terlarang dan undang-undang itu belum dicabut.”
“Kemungkinan besar, banyak alat negara yang adalah kaki tangan Pek-lian-hwe juga. Misalnya Hakim Kang Liong, la seorang hakim yang mestinya menegakkan undang-undang negara di kota ini, tetapi kita meragukan ketulusannya.”
“Apa boleh buat, seperti kata Saudara Thiam Gai tadi, daripada kita duduk diam-diam dan dijadikan bulan-bulanan ilmu gaib musuh?”
“Menurut Kakak Oh, siapa yang harus mencari tabib, dan siapa yang harus menghubungi alat-alat negara di Lam-koan?”
Oh Tong-peng menatap kepada Kui Tek-lam dan berkata, “Saudara Kui, mungkin kita telah keliru karena mengabaikan anjuran Jenderal Wan.”
“Anjuran Jenderal Wan yang mana?”
“Anjuran agar kita mengajak Liu Yok...”