Menaklukkan Kota Sihir Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 11 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 11

SETELAH bertegur-sapa dengan Liu Yok, mulailah Oh Tong-peng membicarakan apa yang ditemuinya hari itu, dan karena yang dibicarakan itu dianggapnya bukan rahasia, maka ia bicara bebas meskipun di situ ada Liu Yok, “Terjadi sesuatu yang di luar dugaan di kota hari ini.”

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

“Peristiwa apa, Kakak Oh?”

“Hari ini jenazah Nyo In-hwe dimakamkan. Wah, luar biasa jumlah para pelayatnya, tokoh-tokoh penting di Lam-koan hadir semua, bahkan tamu-tamu dari luar kota. Kata seorang penduduk Lam-koan, belum pernah ada pelayat sehebat Ini. Maklum, tokoh penting.”

“Lalu?” tanya Kui Tek-lam.

“Sebentar!” Thiam Gai mencela. “Nyo In-hwe ini tokoh Pek-lian-hwe, organisasi yang memuja Dewa Cahaya dan dianggap sebagai kepercayaan terlarang di seluruh kekaisaran kita ini. Lalu upacaranya menurut tatacara agama apa?”

“Tata-cara campur aduk, sebab kulihat ada hwesio dan ada imam pula, dicampur adat-istiadat. Tetapi itu tak penting. Yang mengejutkan ialah, begitu upacara di kuburan itu selesai, Hakim Kang Liong beserta Komandan Keamanan Kota Bong Peng-un membawa sepasukan prajurit, langsung menangkap Tabib Siau Hok-to yang ada di antara para pelayat. Ini menggemparkan Lam-koan. Maklum, Kang Liong maupun Siau Hok-to sama-sama tokoh populer di Lam-koan. Yang menangkap dan yang ditangkap sama populernya.”

Kui Tek-Iam tercengang mendengar itu, “Selama ini, kita mencurigai baik Hakim Kang Liong maupun Tabib Siau Hok-to sebagai kaki tangan Pek-lian-hwe. Kini tiba-tiba Kang Liong memusuhi Siau Hok-to, bagaimana ini?”

“Mungkin kita yang agak meleset memperhitungkan.” sambung Thiam Gai. “Mungkin hanya salah satu dari mereka yang benar-benar kaki tangan Pek-lian-hwe, entah yang mana, dan yang lainnya adalah setia kepada pemerintah kerajaan. Lalu yang setia kepada pemerintah kerajaan itulah yang meringkus yang kaki tangan Pek-lian-hwe.”

“Kemungkinan besar, Siau Hok-to itulah yang kaki tangan Pek-lian-hwe. Bukankah gara-gara obat pemberiannya, Lo lam-hong jadi seperti sekarang ini, jadi boneka Pek-lian-hwe dengan kehendaknya sendiri terbelenggu. Dan Kang Liong itulah yang setia kepada pemerintah kerajaan.”

Kui Tek-Iam mengangguk-angguk mendengar analisa itu, “Kalau begitu, dulu aku keliru menuduh Kang Liong sebagai orang Pek-lian-hwe. Ketika itu Kang Liong dan Bong Peng-un memeriksa rumah Nyo In-hwe setelah malamnya Nyo In-hwe terbunuh di ruang rahasia tempat ia memuja patung Dewa Cahaya. Waktu itu aku mencurigai sikap Kang Liong dan perubahan-perubahan air mukanya, sehingga aku pun menganggap dia ada sangkut-paut dengan Pek-lian-hwe. Namun waktu itu mungkin aku yang keliru. Perubahan air-mukanya mungkin disebabkan setelah dia mengetahui Nyo In-hwe adalah anggota Pek-lian- hwe, meskipun sehari-harinya adalah tokoh terhormat di masyarakat Lam-koan.”

“Kenapa baru sekarang Kang Liong bertindak?”

“Sebagai abdi kerajaan yang setia, mungkin Kang Liong sudah lama bisa merasakan kegiatan bawah tanah Pek-Uan-hwe di kota ini, namun belum bisa bertindak sebab masih kurang bukti dan mungkin juga kurang kekuatan. Setelah sekarang buktinya kuat dan dukungan kekuatan ia peroleh dari Bong Peng-un Si Komandan Kota, maka barulah ia berani menggebuk Pek-lian-hwe. Bahkan di tempat umum pula. Di tengah-tengah orang banyak yang selesai mengikuti upacara pemakaman Nyo In-hwe, ini sebuah tantangan terbuka kepada Pek-lian-hwe!”

“Menurut Kakak Oh, setelah Kang Liong menangkap Siau Hok-to, lalu akan dia apakan?”

“Mungkin diperas dan disiksa untuk mengakui dan menunjukkan siapa tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang bersembunyi di Lam-koan, lalu berikutnya orang- orang itu akan diringkus sekalian.”

“Kang Liong dalam bahaya!” desis Thiam Gai khawatir.

“Ya.” Oh Tong-peng sepakat. “Kang Liong dan Bong Peng-un mungkin hanya mengandalkan dan memperhitungkan kekuatan fisik, jumlah tentara, situasi kota dan sebagainya. Kemungkinan besar, mereka mengabaikan kemampuan orang Pek-lian- hwe dalam melakukan serangan gaib.”

“Benar, Kakak Oh. Pek-lian-hwe pasti tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan bertindak, setidak- tidaknya dengan serangan teluh.”

“Kang Liong harus diingatkan, jangan sampai dia sebagai abdi kerajaan bernasib seperti Lo Lam-hong, Pang Hui-beng atau Cu Tong-liang.”

“Kita akan temui Kang Liong, dan mengaku bahwa kita adalah agen-agen Kaisar?”

“Tidak buru-buru seperti itu, lihat-lihat dulu bagaimana keadaannya. Malam nanti biarlah diam- diam kutemui Kang Liong, kujajagi sikapnya lebih dulu.”

“Nanti malam, Kakak Oh?”

“Ya.”

“Kenapa tidak besok saja?”

“Karena penangkapan ini, Kang Liong pasti jadi orang sibuk di siang hari untuk mempersiapkan tindak lanjutnya. Tindak lanjutnya itu mungkin termasuk pengiriman Siau Hok-to ke ibu kota propinsi, bahkan mungkin ke Pak-khia. Jadi lebih baik kutemui dia malam hari, waktu sepi.”

Begitulah, malam itu Oh Tong-peng hanya beristirahat sebentar di tempat persembunyiannya. Kemudian menjelang tengah malam, ia mengganti pakaiannya dengan Ya-hing-ih (pakaian pejalan malam) yang ringkas dan berwarna gelap. Tidak lupa dari bungkusan pakaiannya ia keluarkan sekeping lencana emas berbentuk segi empat, tanda yang dimiliki setiap anggota pasukan rahasia kaisar, siapa tahu diperlukan.

Tiba-tiba saja Thiam Gai berkata, “Kakak Oh, bagaimana kalau aku pergi bersamamu?”

Oh Tong-peng tertegun sejenak, menatap wajah Thiam Gai. Perasaannya yang tajam dapat merasakan bahwa Thiam Gai yang selama beberapa hari terkurung karena harus menunggui Cu Tong-liang Itu, sedikit banyak timbul kejemuannya juga. Oh Tong- peng menyadari bahayanya kalau jiwa tertekan, suatu kali bisa “meledak” dalam bentuk tindakan yang tak terkendali.

Maka ia pun ijinkan Thiam Gai ikut, supaya bisa “melihat-lihat” sejenak di luaran. “Baik, cepat pakai Ya-hing-ih mu.”

Thiam Gai segera berdandan, dalam waktu singkat ia pun siap. Tidak lupa dibawanya senjatanya yang berupa Bit-ciat-kun (Ruyung Tujuh Ruas), senjata berbentuk tujuh lempengan logam pipih yang satu sama lain dihubungkan dengan cincin, dan dimainkan seperti orang memainkan cambuk. Senjata itu dilingkarkan di pinggangnya.

Liu Yok yang sedang merawat Cu Tong-liang itu pun menampakkan ketidak senangannya melihat senjata-senjata yang dibawa Oh Tong-peng maupun Thiam Gai, namun tidak berkata apa-apa.

Kui Tek-Iam menangkap kilat mata Liu Yok itu, namun juga tidak berkata apa-apa, cuma membatin dalam hati, “Kalau menurut maunya Liu Yok, dunia ini harusnya aman tenteram dan tidak ada pertikaian, sehingga senjata-senjata tidak diperlukan.”

Oh Tong-peng dan Thiam Gai pun berangkat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Mereka menyusuri jalan-jalan kota Lam-koan, menuju ke rumah kediaman Hakim Kang Liong di bagian barat kota, dekat jalan ke arah kampung nelayan. Ketika mereka tiba, nampak rumah itu sepi. Namun ketajaman kuping Oh Tong-peng cukup untuk menangkap bahwa di sebelah dalam tembok ada penjaga-penjaganya.

“Bagaimana?” tanya Thiam Gai berbisik.

“Kang Liong cukup berhati-hati, mungkin dia juga memperhitungkan tindakan balasan dari pihak Pek-lian-hwe. Sayang, tindakan berjaga-jaganya ini takkan banyak berarti kalau Pek-lian-hwe menggunakan ilmu gaibnya.”

“Apakah kita akan melompati tembok?”

“Tidak. Untuk menunjukkan bahwa kita bukan musuh, kita akan mengetuk pintu depan.”

Begitulah, kedua agen kerajaan itu mengetuk pintu depan yang tebal dan bercat merah. Mengetuknya dengan gelang tembaga yang tergantung di pintu. Sebuah lubang persegi di pintu terbuka, sebuah wajah lelaki berkumis rapi muncul di lubang itu. Suatu sikap hati-hati.

“Siapa datang malam-malam begini? Apa tidak ada waktu lain?” bentak lelaki berkumis itu dari balik pintu.

“Aku ingin menemui Yang Mulia sekarang juga.” sahut Oh Tong-peng.

“Orang tak tahu diri, tidak tahukah kalau Tuan Hakim juga butuh istirahat setelah menjalankan tugas-tugasnya seharian? Sana, pulang. Besok saja datang.”

“Persoalan yang kubawa sangat penting.”

“Hem, semua orang mengaku persoalannya paling penting. Sana, pulang!”

“Bung, kami ini sebenarnya bisa dengan mudah melompati tembok setinggi tiga meter ini, kalau mau. Tetapi kami ingin datang sebagai tamu yang sopan dengan mengetuk pintu. Namun kalau kau yang bersikap tidak sopan kepada kami, kami pun akan menerobos masuk dengan cara kami.”

Orang berkumis di belakang pintu itu cuma tertawa mengejek, lalu dengan sikap kasar ia menutup kembali lubang persegi di pintu itu. Oh Tong-peng lalu berkata kepada Thiam Gai, “Saudara Thiam, kita lompati tembok,”

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, tubuh Oh Tong-peng melambung ke atas melompati tembok yang hampir tiga meter itu, hampir bersamaan dengan Thiam Gai. Penjaga-penjaga di sebelah dalam tembok itu semuanya adalah lelaki-lelaki yang memakai seragam pegawai bawahan seorang hakim, dengan berbagai macam senjata. Jumlah mereka ada dua puluh orang, bahkan di antaranya ada juga beberapa ekor anjing penjaga yang besar-besar.

Ketika tubuh Oh Tong-peng dan Thiam Gai mendarat di sebelah dalam tembok, anjing-anjing penjaga langsung menyalak dan menerkam, sementara penjaga-penjaga bersenjata langsung menyerbu sambil berteriak-teriak. Oh Tong-peng masih sempat membisiki Thiam Gai, “Beri sedikit pelajaran, tetapi jangan sampai ada yang terbunuh atau terluka parah.”

“Baik, Kakak Oh.”

Dan seekor anjing besar sudah menerkam bagaikan kilat, mengincar leher Thiam Gai. Agaknya anjing-anjing ini memang terlatih benar. Tetapi kali ini yang diincarnya adalah seorang perwira istana yang terpilih, maka Thiam Gai dengan tangkas berkelit ke samping sambil tangannya menyambar salah satu kaki belakang anjing itu.

Langsung tubuh anjing itu diputar dua kali di atas kepalanya untuk kemudian dihempaskan ke tubuh anjing lain yang menubruknya. Dan anjing-anjing itu terhempas di tanah sambil melengking kesakitan, dan selanjutnya kedua anjing itu hanya berani menggonggong dari kejauhan sambil memamerkan gigi-gigi putihnya yang runcing-runcing.

Sementara Oh Tong-peng sendiri dalam satu gebrakan saja sudah berhasil membanting Si Orang Berkumis yang tadi menampakkan wajah di lubang pintu. Orang itu tadinya menyerang Oh Tong-peng dengan sebatang pentung kayu hitam, tetapi Oh Tong- peng berhasil memegang pergelangan tangannya dan memelintirnya serta membantingnya di tanah.

Orang-orang yang berjaga itu kaget melihat ketangkasan kedua tamu tak diundang itu, namun mereka kelihatannya takkan mundur begitu saja. Mereka saling berteriak satu sama lain.

“Hati-hati! Kedua bangsat Pek-lian-hwe ini cukup tangguh!”

“Jaga semua sudut! Mungkin bangsat-bangsat Pek-lian-hwe ini masih punya teman-teman lain!”

“Lindungi Tuan Hakim, bangsat-bangsat Pek-lian-hwe ini mungkin mendendam terhadap Tuan Hakim!”

Setiap kali bicara tentu terdapat kata-kata “bangsat-bangsat Pek-lian-hwe” yang membuat Oh Tong-peng dan Thiam Gai berpikir, bahwa orang-orang ini agaknya sudah dipesan betul-betul oleh Kang Liong untuk berjaga dari pembalasan pihak Pek-lian-hwe.

Sambil saling berteriak, sambung-menyambung serangan mereka juga tidak pernah putus. Untung Oh Tong-peng dan Thiam Gai cukup mahir, kalau tidak tentu sudah remuk digebuki orang-orang itu. Bahkan meskipun dikeroyok, kedua agen kerajaan itu sempat merobohkan beberapa orang, tetapi tidak ada di antara mereka yang terbunuh atau luka parah. Paling- paling salah urat atau memar sedikit.

Oh Tong-peng kemudian merebut sebatang toya rotan dari salah satu penjaga, digerakkannya dengan tangkas untuk menangkis semua senjata tanpa membalas, dan sambil berbuat demikian ia pun berteriak, “Tahan senjata kalian! Kami ini teman, bukan musuh! Kalau sudah bertemu dengan Tuan Kang maka kalian akan tahu bahwa kami bukan musuh!”

Orang-orang itu terus saja menyerbu, sampai dari halaman samping terdengar bentakan, “Mundur!”

Orang-orang itu berlompatan mundur, sebagian tetap dengan waspada mengawasi Oh Tong-peng dan Thiam Gai, sebagian lagi coba menolong teman-teman mereka yang tertatih-tatih bangun.

Dari samping rumah, dalam bayangan gedung, melangkah perlahan penuh siaga seorang lelaki setengah abad yang bertubuh tegap dan menjinjing pedang. Dialah Hakim Kang Liong sendiri, masih mengenakan pakaian tidurnya. Rupanya terbangun karena dikejutkan oleh ribut-ribut di halaman rumahnya.

Dengan wajah bersungguh-sungguh ia menatap Oh Tong-peng dan Thiam Gai yang dikepung oleh orang-orangnya, “Siapa Tuan-tuan ini?”

Si Lelaki Berkumis tadi mendahului menjawab, “Barangkali mereka adalah cecurut-cecurut Pek-lian- hwe yang coba-coba membebaskan kawan mereka, atau mungkin mengambil tindakan balasan kepada Tuan.”

Kang Liong tertawa dingin dan menatap Oh Tong-peng berdua, “Apa benar demikian? Kalau benar, aku katakan terus terang kepada kalian berdua tidak akan mendapat hasil apa-apa. Orang-orang yang kutangkap itu adalah anggota sebuah organisasi bawah tanah yang sangat membahayakan negara dan rakyat. Aku tidak gegabah menyimpan tawanan itu dirumahku yang pengawalannya lemah ini, tetapi aku taruh dia di suatu tempat yang tidak bisa kuberitahukan kepada kalian.

"Kalau kalian marah dan mengamuk di sini paling-paling kalian hanya bisa membunuhku dan orang-orangku, tetapi teman kalian itu akan tetap mengakui semua rahasia dan membongkar kegiatan kalian. Lebih baik kalian pun menyerah, aku akan mohonkan keringanan hukuman buat yang menyerah secara baik-baik.”

Begitulah liciknya Kang Liong, Si “Perwira Kipas Putih” Pek-lian-hwe itu, segala omongannya menimbulkan kesan bahwa dia benar-benar sudah bertekad membasmi Pek-lian-hwe. Ini menimbulkan kesan baik di hati Oh Tong-peng.

Oh Tong-peng tidak lebih lama lagi menyem- bunyikan dirinya, ia keluarkan lencana emas dari kantongnya, ia sodorkan kepada Kang Liong sambil berkata, “Tuan Kang, kami bukan musuh. Lihat ini.”

Kang Liong bersorak dalam hati, memang tujuannya “menggelar sandiwara” penangkapan Siau Hok-to itu, seperti anjuran Hong Pai-ok, adalah untuk memancing keluarnya para “anjing Manchu” dari persembunyiannya. Kini di depannya sudah muncul dua orang, girangnya Kang Liong bukan main. Tapi ia terus bersandiwara agar tidak dicurigai, ia tidak langsung percaya, melainkan pura-pura masih ragu- ragu ketika menerima lencana emas itu dan memeriksanya.

Ia kembalikan lencana itu setelah diperiksa, katanya dingin, “Maaf, aku tidak dapat segera mempercayai Tuan-tuan. Pihak Pek-lian-hwe terkenal kelicikannya dengan menyusupkan orang-orangnya ke tubuh pemerintahan. Itulah yang menyebabkan aku tidak dapat segera bertindak atas mereka, meskipun sebenarnya sudah bertahun-tahun lamanya aku mencium kegiatan rahasia mereka di kota ini.”

Oh Tong-peng senang melihat “sikap hati-hati” Kang Liong ini. Katanya, “Tuan Kang cukup berhati-hati, memang seharusnyalah demikian kalau menghadapi organisasi selicik Pek-lian-hwe. Tetapi, kalau Tuan ijinkan, aku ingin berbicara dengan Tuan.”

“Katakan di sini dan sekarang.”

“Soal pertama, adalah keselamatan diri Tuan sendiri setelah kejadian siang tadi. Pihak Pek-lian-hwe tentu takkan tinggal diam...!"

“Hem, kalian coba menakut-nakuti aku? Demi kesejahteraan rakyat yang selama ini sudah cukup menderita karena perbuatan-perbuatan gelap Pek-lian-hwe, aku tidak segan mempertaruhkan nyawaku. Sekali melangkah, aku takkan surut.”

“Tuan Kang benar-benar seorang abdi kerajaan yang mengagumkan, patutlah semangat pengabdian Tuan dijadikan teladan. Tetapi aku tidak menakut-nakuti, aku justru menguatirkan keselamatan Tuan. Pengawalan seperti maaf, bukannya aku menghina teman-teman yang ada di sini, adalah pengawalan yang terlalu tidak memadai untuk menanggulangi tindak pembalasan Pek-lian-hwe. Selain itu, pihak Pek-lian-hwe bukan saja bisa menyerang tempat ini dengan cara kasar, tetapi juga dengan cara gaib. Sudah tiga orang anak buahku, perwira-perwira yang baik, tetapi sekarang mereka menjadi korban ilmu gaib Pek-lian-hwe.”

Kang Liong mentertawakan dalam hati, namun di luarnya ia pura-pura kelihatan mulai mempercayai Oh Tong-peng. “Benarkah Tuan ini... perwira istana?”

“Ya, dan bukan kebetulan kami ada di kota ini. Kami mengemban perintah langsung dari Kaisar sendiri untuk menyelidiki di mana kaum Pek-lian-hwe menyembunyikan lima ribu pucuk senjata apinya.”

Kang Liong membatin dalam hati, “Ternyata memang benar bahwa anjing-anjing Manchu sudah mencium soal senjata-senjata api itu. Hem, sekarang pentolannya sudah mendekati perangkap kami, aku harus bersikap demikian rupa sampai kawan-kawannya yang lain juga menyusul masuk perangkap.”

Kang Liong pura-pura menarik napas lega, dan berkata, “Aku mempercayaimu, Tuan.”

“Namaku Oh Tong-peng, berpangkat Cong-peng dalam barisan perwira rahasia Kaisar.”

“Tuan Oh, lega rasanya bertemu dengan teman yang sama tujuan di tengah-tengah keadaan tak menentu ini. Terus-terang saja, Tuan, aku menindak Pek-lian-hwe hari ini dengan keberanian yang agak dipaksakan. Kalau ditanya apakah aku punya rasa takut, jujur saja aku jawab aku agak takut juga mengingat kaum Teratai Putih ini terkenal sebagai kaum yang ganas. Tetapi aku harus memaksakan diri untuk berani bertindak, demi rakyat yang sudah tidak tahan lagi melihat ulah mereka.”

Oh Tong-peng menganggap kata-kata Kang Liong itu jujur, dan ia senang. “Semua orang normal punya rasa takut, Tuan Kang. Kami juga takut, apalagi tiga orang anak buahku sudah menjadi korban serangan gaib Pek-lian-hwe. Satu orang sudah diguna-guna sehingga demikian patuh kepada Pek-lian-hwe, satu orang menjadi gila dan sekarang berkeliling kota sambil menari-nari tanpa ingat diri, satu orang lagi sekarang lumpuh dan bisu, meskipun matanya terbuka namun kehilangan seluruh kesadarannya.”

Bicara sampai di sini, suara Oh Tong-peng bergetar parau karena rasa haru mengingat ketiga anak buahnya itu. Sementara Kang Liong pura-pura terkejut, suaranya dibuat seolah-olah gugup, “Se... sehebat itu... kah... guna-guna para bangsat Teratai Putih itu?”

“Ya. Itulah sebabnya aku datang untuk memperingatkan Tuan, setelah mendengar Tuan melakukan tindakan berani terhadap Pek-lian-hwe. Penjagaan kasar orang-orang Tuan seperti malam ini, takkan bisa menahan serangan guna-guna Pek-lian-hwe.”

Kang Liong berlagak semakin panik, “Lalu... apa yang harus kulakukan supaya aman dari tenungan mereka?”

“Soal ini, aku sendiri tidak bisa memberi usul apa-apa, kecuali hanya memperingatkan agar berhati- hati. Mungkin ada baiknya Tuan Kang menghubungi imam atau biksu yang mengerti ilmu gaib putih untuk memasang sedikit jimat perlindungan di rumah Tuan ini.”

“Nasehat Tuan Oh sungguh sangat berharga, aku akan bersungguh-sungguh melakukannya. Sekarang aku persilakan Tuan Oh berdua untuk duduk di dalam dam menikmati teh hangat,”

“Terima kasih, Tuan Kang. Malam sudah larut, dan kami sudah merasa lega setelah menyampaikan peringatan kepada Tuan. Rasanya tidak perlu kami merepotkan Tuan lebih jauh. Kami hanya ada satu permintaan kepada Tuan, dalam rangka tugas kami.”

“Katakan, Tuan Oh.”

“Tangkapan Tuan itu, tolong jangan buru-buru dikirim ke Koan-tong atau ke Pak-khia, kalau boleh kami ingin ikut menanyai tentang tempat penyimpanan senjata-senjata api Pek-lian-hwe itu.”

“Aku janjikan kerja-samaku sebagai sesama abdi kerajaan, Tuan Oh. Aku pun ingin tanya suatu hal kepada Tuan Oh.”

“Silakan, Tuan Kang.”

“Tadi Tuan katakan bahwa penjagaan di tempat ini kurang memadai. Aku tidak tersinggung, bahkan berterima kasih untuk peringatan itu. Aku percaya bahwa Tuan dan anak buah Tuan adalah perwira- perwira yang tangguh karena dipercaya oleh Kaisar sendiri. Bagaimana kalau Tuan Oh membantu pengamanan di tempat ini?”

Oh Tong-peng berpikir keras. Itu artinya ia dan anak buahnya harus keluar dari tempat persembunyian dan muncul secara terbuka di depan umum, padahal tugas yang dibebankan oleh Kaisar Kian liong bersifat rahasia. Namun permohonan Kang Liong itu kedengarannya “begitu tulus” dan “tidak mengandung maksud apa-apa”, bagaimana harus menjawabnya?

Akhirnya Oh Tong-peng ketemukan juga suatu “jalan tengah” untuk menjawab itu, “Tentu saja, Tuan Kang, bukankah ini adalah tugas bersama demi kepentingan kerajaan yang sama-sama kita abdi? Aku dan orang-orangku akan ikut mengawasi tempat ini dari tempat tersembunyi. Harap maklum, sifat amat rahasia dari tugas kami memaksa kami harus bergerak secara terselubung, tidak bisa terang-terangan.”

Kang Liong mengumpat dalam hati, “Apakah anjing Manchu ini tahu kalau ini adalah perangkap?” Namun di luarnya ia cukup pintar untuk berpura-pura memaklumi, “Aku bisa memaklumi, Tuan Oh. Aku tetap berterima kasih untuk itu.”

Oh Tong-peng dan Thiam Gai kemudian berpamitan. Namun demi keamanan mereka dari penguntitan orang Pek-lian-hwe, mereka sengaja berjalan berputar-putar kota, kemudian di suatu tempat yang sepi mereka bergerak melejit ke tempat persembunyian mereka.

Pagi harinya, orang-orang yang bersembunyi di reruntuhan gedung model Eropa itu bangun di waktu fajar. Liu Yok nampak sibuk dengan tugas barunya untuk merawat Cu Tong-liang, sementara yang lain ada yang menyalakan api untuk memasak kentang liar yang tumbuh di lereng-lereng bukit di belakang bangunan. Oh Tong-peng memulai pembicaraan sambil mencucuk biji kentang liar rebus untuk digigitnya pelan-pelan.

“Pekerjaan semalam berjalan lancar. Kang Liong mengijinkan kita ikut menanyai tawanan itu, dan hari ini juga aku akan ke kota untuk menemui tawanan itu, tentu saja setelah menemui Kang Liong.”

Liu Yok yang baru saja selesai mengenakan pakaian kering dan bersih pada Cu Tong-liang, setelah membersihkan tubuh dari kotoran dan mencuci pakaian yang kotor, tiba-tiba saja menimbrung bicara, “Tuan Oh, jangan pergi ke sana.”

Oh Tong-peng tercengang, “Kenapa?”

“Itu perangkap buat Tuan.”

“Darimana Saudara Liu mengetahuinya?”

“Aku tidak bisa menjelaskan, pokoknya sesuatu dalam hatiku berkata bahwa itu perangkap. Kalau Tuan pergi ke sana, Tuan masuk perangkap.”

“Saudara Liu, kami ini sudah membiasakan, kalau memutuskan untuk bertindak atau tidak bertindak, harus ada alasannya yang kuat dan bisa diterima akal.”

Jawaban Liu Yok enak saja, “Aku tidak punya alasan yang diterima akal seperti yang diminta Tuan Oh ini. Tetapi aku hanya tahu kalau suatu perangkap menunggu di sana.”

“Ah, bagaimana Saudara tahu?”

“Aku sudah melihatnya.”

“Saudara sudah melihat perangkap itu?”

“Ya.”

“Kapan?”

“Semalam.”

“Bukankah semalam suntuk Saudara Liu tidur nyenyak? Kapan perginya?”

“Justeru waktu tidur itulah aku bisa bepergian bebas ke mana-mana. Dan aku melihat sebuah perangkap disiapkan di gedung penjara kota Lam-koan, untuk Tuan Oh.”

Oh Tong-peng cenderung mengabaikan pendapat yang dianggapnya asal-asalan dan angin- anginan itu. Masa seorang perwira pilihan dari istana harus menuruti nasehat yang berasal dari mimpi orang lain?

Tetapi Kui Tek-Iam yang sudah berkesempatan melihat sedikit dari “kelebihan aneh” Liu Yok, tiba-tiba ikut berkata, “Kakak Oh, barangkali... bijaksana untuk mempertimbangkan kata-kata Saudara Liu.”

Oh Tong-peng tercengang, tak menduga kalau perkataan itu keluar dari mulut Kui Tek-Iam, salah seorang bawahannya yang selama ini mendasarkan tindakannya berdasarkan otak, bukan mimpi.

Kui Tek-Iam jadi tersipu-sipu sendiri, ketika Oh Tong-peng dan Thiam Gai menatapnya dengan heran. Lalu Kui Tek-Iam seperti meralat kata-katanya yang tadi, “Maksudku... tidak ada jeleknya kalau... kita berwaspada dan tidak sembarangan mempercayai... Kang Liong. Aku melihat sikapnya kepadaku agak aneh ketika dia memeriksa kematian Nyo In-hwe di rumahnya.”

Oh Tong-peng mengangguk-angguk, “Soal kewaspadaan, itu wajib. Bukankah kita tidak pernah menanggalkan kewaspadaan itu sedetik pun? Tentang sikap aneh Kang Liong kepadamu di rumah Nyo In-hwe dulu, barangkali itu disebabkan karena kaget mengetahui bahwa Nyo In-hwe yang merupakan tokoh terhormat di Lam-koan ini ternyata adalah anggota organisasi terlarang. Dan sikapnya kepadamu, Saudara Kui, mungkin karena menyangka kau adalah teman Nyo In-hwe alias sesama orang Pek-lian-hwe, padahal Kang Liong ini nampaknya adalah pembenci Pek-lian-hwe.”

“Ya. Jadi Kakak Oh tetap akan menemui Hakim Kang Liong hari ini?”

“Ya. Tetapi sesuai dengan peringatan Saudara Liu, aku akan berwaspada. Memang mungkin saja di antara aparat-aparat pemerintah di Lam-koan ada kaki tangan Pek-lian-hwe yang menyusup. Terima kasih untuk peringatanmu, Saudara Liu.”

Kata-kata Oh Tong-peng itu hanya sekedar basa-basi agar Liu Yok jangan sampai merasa omongannya tidak digubris. Bagaimanapun, Liu Yok adalah calon menantu Gubernur di Ho-lam, dan saudara-sepupu dari isteri Jenderal Wan Lui.

Kui Tek-Iam berkata pula, “Kakak Oh, ada baiknya kita berangkat bertiga. Kakak Oh sendiri, aku dan Saudara Thiam. Kalau kita bertiga, bagaimanapun akan lebih kuat kalau menghadapi apa-apa.”

“Kalau kita berangkat semua, lalu siapa yang di sini menjaga Saudara Cu?”

“Bukankah ada Saudara Liu?”

Oh Tong-peng bimbang sejenak, “Maksudku... kalau sampai terjadi... ya katakanlah, sesuatu yang tidak dikehendaki, misalnya kekerasan, apakah Saudara Liu bisa... bisa... mengatasinya?”

Keraguan Oh Tong-peng bisa dimaklumi. Ada kemungkinan tempat itu diketemukan orang-orang Pek-lian-hwe, bagaimanapun tersembunyinya. Sedangkan Liu Yok dianggap orang yang tidak mampu membela dirinya sendiri, bahkan ia tidak menyukai ilmu beladiri, maka keselamatan dirinya dan keselamatan Cu Tong-liang jadi sangat rawan.

Namun Liu Yok sendiri malah bersikap begitu tenang tenteram, “Jangan menguatirkan aku, Tuan Oh. Kawan-kawanku berkemah di sekitar tempat ini.”

Oh Tong-peng lalu menatap ke sekitarnya, kemudian menjenguk keluar jendela untuk melihat di mana kawan-kawan Liu Yok yang katanya berkemah di sekitar situ. Tidak kelihatan seorang pun, yang kelihatan cuma semak belukar dan tanaman yang liar serta reruntuhan gedung-gedung model Eropa di kejauhan. “Mana kawan-kawanmu, Saudara Liu?”

“Mereka tidak kelihatan, tetapi aku tahu mereka banyak sekali di sekitarku.”

Oh Tong-peng merasa kehabisan akal berhadapan dengan Liu Yok yang cara berpikirnya dianggap “kurang normal” itu. Sudah tentu ia takkan berani mempertaruhkan keselamatan Liu Yok dan Cu Tong-liang hanya kepada “kawan-kawan tak terlihatnya” Liu Yok itu. Oh Tong-peng sudah terbiasa bahwa segala sesuatunya harus bisa dilihat dengan mata.

Celakanya, Kui Tek-Iam malahan mendukung usul Liu Yok itu, “Kakak Oh, kita berangkat saja bertiga. Percayalah, tempat ini aman dengan Saudara Liu dan Cu di tempatnya.”

“Apa dasar pemikiranmu itu, Saudara Kui?”

“Ya... cuma... aku merasa yakin begitu....”

Oh Tong-peng mengeluh dalam hatinya, “Celaka, Kui Tek-Iam rupa-rupanya mulai ketularan cara berpikirnya Liu Yok.”.

Namun demikian Oh Tong-peng tetap mengambil suatu keputusan yang tegas, “Aku rasa, aku bersama Saudara Thiam sudahlah cukup. Saudara Kui tetap di sini untuk menemani Saudara Liu merawat dan menjaga Saudara Cu.”

Oh Tong-peng dan Thiam Gai pun berangkat, lebih dulu ke rumah Kang Liong, sebab Kang Lionglah yang mengetahui di mana ditempatkannya tawanan itu. Setelah mereka berdua pergi, Liu Yok tiba-tiba berkata kepada Kui Tek-Iam, “Saudara Kui, bisakah Saudara menjaga Saudara Cu sebentar?”

“Lho, memangnya Saudara Liu mau ke mana?” “Aku hanya ingin tidur.”

Kui Tek-Iam heran bukan main, “Sepagi ini? Bukankah fajar baru saja terbit?”

“Ya, tetapi aku mau tidur.”

Dan tidurlah Liu Yok beralaskan tikar di pojok ruangan, tanpa mempedulikan Kui Tek-Iam lagi. Sementara Oh Tong-peng dan Thiam Gai dengan semangat yang menyala-nyala melangkah memasuki kota Lam-koan, langsung ke rumah kediaman Kang Liong di sebelah barat kota.

Ketika sampai di tempat itu, ternyata rumah itu sudah dijaga oleh sepasukan prajurit yang jumlahnya kira-kira seratus orang, bahkan ada sebuah regu kecil yang membawa senjata api. Sedangkan pegawai-pegawai bawahan Kang Liong sendiri ada lima puluh orang. Dengan dijaga orang sebanyak itu, nampaknya Kang Liong sudah merasa cukup aman, pikir Oh Tong-peng.

Tetapi ketika Oh Tong-peng dan Thiam Gai hendak melangkah masuk, mereka dihalang-halangi para prajurit yang memalangkan tombak mereka. Di hadapan mereka, sudah tentu Oh Tong-peng tidak sembarangan menunjukkan lencana emasnya, ia hanya berkata, “Semalam aku sudah berbicara dengan Hakim Kang. Kalau tidak percaya, silakan temui dia.”

Seorang penjaga berlari masuk untuk melaporkan, maka tidak lama kemudian Kang Liong pun melangkah keluar didampingi Si Komandan Keamanan Kota, Bong Peng-un, yang membawa golok besar di pinggangnya. Oh Tong-peng memberi hormat lebih dulu, “Selamat pagi, Tuan Kang.”

Kang Liong pun membalas, “Selamat datang, Tuan Oh. Aku memang sedang menunggu-nunggu Tuan.”

Kang Liong lalu diperkenalkan dengan Bong Peng-un. Bong Peng-un menatap agak curiga kepada Oh Tong-peng berdua, namun menjawab tegur sapa Oh Tong-peng dengan baik.

Pikir Oh Tong-peng, “Dalam situasi seperti ini, wajar kalau saling mencurigai antara orang-orang.”

Kata Kang Liong kemudian, “Tuan Oh, kita akan ke penjara untuk memeriksa tawanan itu. Tuan kami persilakan ikut, sesuai dengan kesepakatan semalam.”

“Terima kasih.”

Para prajurit dan pegawai bawahan Kang Liong segera mengatur diri, mengawal Kang Liong, Bong Peng-un serta Oh Tong-peng berdua di tengah-tengah. Lalu rombongan itu pun bergerak, melewati jalanan-jalanan kota Lam-koan, menuju ke gedung penjara.

Ketika melewati sebuah simpang jalan yang ramai, terlihat ada segerombolan orang sedang mengerumuni sesuatu. Sesuatu yang dikerumuni itu tidak terlihat karena tertutup orang-orang, namun bisa ditebak kalau yang dikerumuni itu adalah seorang ahli nujum. Sebab di atas kepala orang-orang terlihat tiang bambu dicanteli kain kuning menurun bertulisan “Meramal Nasib di Masa Depan”.

Di antara orang-orang yang berkumpul itu ada yang bersungguh-sungguh ingin tahu masa depannya, tetapi tidak sedikit juga yang sekedar iseng-iseng. Yang terang, tanpa diketahui siapa pun, Kang Liong merasa lega melihat Si Juru Nujum dan orang-orangnya ada di tempat yang sudah ditentukan. Orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang yang ingin diramal masa depannya di tengah-tengah kerumunan itu.

Kemudian di simpang jalan berikutnya, ada rombongan akrobat yang juga sedang dikerumuni penonton. Akrobat sekaligus topeng-monyet. Si Pemimpin Rombongan itu bertubuh pendek dan kecil, memakai topeng wajah Dewa Mo Sui. Meskipun tubuhnya kecil, tetapi bisa diduga kalau usianya sudah tua, sebab kelihatan jenggotnya yang putih dan panjang di belakang topengnya.

Biar usianya tidak muda lagi, namun ia mampu menakjubkan penonton dengan atraksi memanjat tangga pedang dengan telapak kaki telanjang, bahkan kadang ia berpindah dari satu anak tangga, ke anak tangga lainnya tidak dengan melangkah pelan-pelan, melainkan dengan bersalto. Dan kakinya tetap tidak terluka.

Kembali Kang Liong mengangguk puas sendiri melihat rombongannya itu, tapi ia pura-pura tidak memperhatikannya dan berjalan terus. Di jalanan yang ramai, tentu saja banyak orang lalu-lalang, tetapi Kang Liong hanya memperhatikan orang-orang tertentu.

Setelah Si Ahli Nujum dan Si Tukang Akrobat tadi, Kang Liong menjumpai Si Gemuk yang duduk terkantuk-kantuk di depan sebuah warung tanpa dinding, kemudian seorang hwesio yang sedang meminta-minta sedekah, tepat di pintu-pintu rumah di seberang gedung penjara.

Waktu melihat Kang Liong dan rombongannya sudah masuk ke gedung penjara lewat pintu yang tebal dan besar serta terjaga kuat itu, Si Hwesio segera menuju ke ujung jalan untuk menjumpai Si Ahli Nujum.

Si Ahli Nujum bukan lain adalah samaran dari Hong Pai-ok. Si Pondok Kecil pimpinan rombongan akrobat, siapa lagi kalau bukan Thai Yu-tat, wakil ketua cabang Lam-koan? Orang yang bersiaga di depan warung adalah Phui Se-san, dan Si Hwesio adalah Ui-kong Hwesio.

Selain mereka, di sekitar gedung penjara di Lam-koan itu sebenarnya ada lebih dari dua ratus anggota Pek-lian-hwe yang dalam berbagai samaran. Mereka semua tinggal menunggu isyarat, dan “topeng tempur” mereka yang diyakini bisa memberi tambahan kekuatan, bahkan ada yang percaya bisa membuat tubuh kebal, disembunyikan di balik pakaian masing-masing.

Sambil melangkah masuk ke dalam gedung penjara, Kang Liong diam-diam membatin dalam hati, “Hem, persiapan berjalan semestinya, dan pelaksanaan pun mudah-mudahan akan sebaik diperhitungkan. Aku yakin. Aku yakin pula di udara di atas kota Lam-koan ini saat ini sudah berkumpul ribuan tentara langit, panglima-panglima langit, yang siap membantu, sebab kemarin kami sudah mengadakan upacara besar di Kota Buah Persik. Hem, anjing-anjing Manchu ini akan terbunuh semua, termasuk Bong Peng-un, kemudian rakyat Lam-koan akan memilihku jadi pemimpin sipil sekaligus militer sebab tidak ada tokoh yang lebih pantas daripadaku, mengingat reputasiku selama ini. Dan itu berarti kota ini sepenuhnya ada dalam genggaman Pek-lian-hwe kami.”

Begitulah Kang Liong berangan-angan. Sementara itu, komandan penjara itu sudah menyambut Kang Liong sekalian dengan hormat. “Kami akan langsung ke sel bangsat Pek-lian-hwe itu.” kata Kang Liong tegas.

“Silakah. Mari kuantar, Tuan Kang.”

Para prajurit bawahan Bong Peng-un dan pengawal-pengawal Kang Liong menunggu di halaman dalam, sementara Kang Liong, Bong Peng-un, Oh Tong-peng dan Thiam Gai mengikuti Si Komandan Penjara berjalan di lorong di antara sel-sel. Dan berhenti di depan pintu sel yang paling ujung. Sel sempit berdinding batu tebal dan berpintu besi yang amat tebal. Untuk bisa melihat dari dalam keluar, atau sebaliknya, hanya bisa lewat lubang persegi kecil yang panjang dan lebarnya tidak lebih dari sejengkal.

“Apakah Tuan Kang dan Komandan Bong ingin pintunya dibuka?” tanya Si Komandan Penjara.

Kang Liong balas bertanya, “Aku mau tahu dulu, bagaimana sikap tahanan itu sejak kita tangkap kemarin?”

“Nampaknya ia berusaha bersikap setenang mungkin, atau mungkin juga berpura-pura tenang. Kalau diberi makan, ia makan tanpa rewel. Namun setiap kali ia mengeluarkan ancaman bahwa kawan-kawannya akan membebaskan dengan kekuatan gaibnya, tidak peduli bagaimana kuatnya penjagaan di tempat ini. Dan semalam....” Si Komandan Penjara berhenti berbicara dan kelihatannya ragu-ragu untuk meneruskan kata-katanya.

Kang Liong tertawa dingin, “Hem, gertak sambalnya boleh juga....”

Oh Tong-peng menukas dengan hormat, “Kuharap sungguh-sungguh Tuan Kang tidak meremehkan ancaman itu. Pek-lian-hwe benar-benar gudangnya segala macam ilmu gaib yang aneh-aneh.”

Sementara Bong Peng-un berkata kepada perwira bawahannya yang menjadi komandan penjara itu, “Kenapa kau berhenti bicara? Ada apa semalam?”

“Semalam, semua prajurit yang bertugas di tempat ini merasakan suasana yang mencekam, tidak enak, entah kenapa. Dan ada kabut tebal di atas tempat ini, ada juga burung gagak yang terbang berputaran di atas sini.”

“Lalu kalian ketakutan? Sungguh memalukan.”

Si Komandan Penjara agak tersipu, namun menjawab, “Meskipun merasa ganjil, tidak berarti ketakutan, Komandan Bong. Tapi kalau suasananya seram, terus terang memang kuakui, namun kami tetap bertugas dengan baik.”

“Kalian terpengaruh cerita tentang Pek-lian-hwe, yang barangkali sengaja disebarluaskan dan dibesar-besarkan oleh orang-orang Pek-lian-hwe sendiri.”

“Sekarang, Tuan Kang dan Tuan Bong, aku harus membuka pintu besi ini atau tidak?”

“Buka, kami semua ingin berhadapan muka dengan gembong Pek-lian-hwe itu. Ingin kami lihat apakah dia sudah berubah menjadi siluman yang berkepala tiga, bertangan enam, dengan lidah menjulur sampai ke lantai.”

“Hati-hatilah, Tuan Kang.” Oh Tong-peng memperingatkan.

“Demi ketenteraman rakyat Lam-koan yang dibawah tanggung jawabku, aku tidak gentar berhadapan dengan siluman seganas apa pun.” sahut Kang Liong gagah.

“Biarpun tidak gentar, kalau sampai Tuan Kang mengalami apa-apa, kan rakyat Lam-koan yang rugi?”

“Baiklah, aku berhati-hati.”

Pintu besi itu pun didorong ke samping dengan menimbulkan suara gemuruh. Di dalam sel sempit yang remang-remang itu, terlihat Siau Hok-to, yang dikenal sebagai tabib baik hati di Lam-koan, duduk bersila dengan kaki berbentuk “sila bunga teratai”, matanya terpejam, tidak menggubris kedatangan Kang Liong dan lain-lainnya.

Tetapi di lantai terlihat ada beberapa tetes darah, dan ujung telunjuk Siau Hok-to berdarah. Terlihat di tiga sisi dinding dan di sebelah dalam dari pintu besi itu ada gambar lambang-lambang sihir yang tak dimengerti. Agaknya Siau Hok-to telah menggigit ujung telunjuknya sendiri sehingga berdarah, lalu dengan darah Itu melukis lambang-lambang sihir tersebut, mungkin maksudnya sebagai perlindungan gaib bagi dirinya.

Bong Peng-un menyepak lutut Siau Hok-to, sambil membentak, “Bangsat Pek-lian-hwe, jangan pura-pura buta terhadap kedatangan kami! Kami mau tanyakan beberapa hal kepadamu, dan kalau jawabanmu jujur serta memuaskan, hukumanmu bisa diringankan. Kalau jawabanmu berbelit-belit serta mempersulit kami, hem, jangan kausangka aku sungkan menjatuhkan hukuman penggal kepala terhadapmu, meskipun kau adalah tabib kesayangan orang Lam-koan.”

Siau Hok-to memang membuka matanya, tetapi jawabnya sungguh menggusarkan Bong Peng-un, “Anjing-anjing Man-chu sebentar lagi kalian akan merasai betapa lihainya Pek-lian-hwe kami.”

“Omong kosong! Aku tidak percaya,” bentakan Bong Peng-un itu terputus karena di langit tiba-tiba terdengar suara halilintar memekakkan telinga, dan deru angin topan yang dahsyat, bahkan obor-obor yang ada dalam lorong di antara sel-sel itu pun terhembus padam sehingga keadaan jadi gelap gulita.

Bong Peng-un, Oh Tong-peng dan lain-lainnya jadi agak bingung, Kang Liong juga kelihatan bingung namun hanya pura-pura, bahkan tertawa dalam hati. Dalam keadaan serba gelap itu, masing-masing tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan orang lain dan saling berteriak untuk mengetahui posisi masing-masing.

Dalam keadaan seperti itulah Kang Liong menyelinap ke dekat Siau Hok-to dan melepaskan semua belenggu Siau Hok-to tanpa dilihat seorang pun. Sambil melakukannya, ia berteriak berulang kali, “Awas! jangan sampai tahanannya lepas!”

Bong Peng-un sudah menghunus goloknya, tetapi tidak tahu harus menyerang ke mana, sebab keadaan gelap gulita. Kalau main barok saja, la kuatir kena teman sendiri. Saat kacau-balau demikian itu, terdengar derap langkah berlari-lari mendekat dalam kegelapan. Dan teriakan dari arah suara derap kaki itu,

“Lapor, komandan! Suasana di luar tiba-tiba jadi gelap, mendung hitam sangat tebal dan turun rendah sekali dan halilintar menyambar-nyambar hebat. Angin juga sangat keras!”

Pelapor itu hanya memanggil “komandan! tanpa diketahui siapa yang dimaksud dengan komandan itu, entah Si Komandan Penjara ataukah Si Komandan Keamanan Kota Bong Peng-un? Maka kedua komandan itu pun menyahut bersamaan.

Si Komandan Penjara berteriak, “Bertahan di tempat masing-masing! Jangan sampai para tawanan lolos!”

Sementara Bong Peng-un memberi perintah lain, “Nyalakan kembali semua obor!”

Waktu itu sebenarnya saat mendekati tengah hari, keadaan terang-benderang, namun dalam lorong di antara sel-sel itu tetap ada obor yang ditaruh di tembok batu untuk penerangan, dan sekarang obor- obor itu padam semua.

Suasana ribut sekali, saat itulah terdengar Bong Peng-un tiba-tiba mengeluh pendek dan tidak terdengar suaranya lagi. Tubuhnya jatuh ke tanah dan terinjak-injak atau tertendang-tendang orang-orang yang sedang ribut, namun tubuh itu diam saja dan tidak mengeluh sedikit pun.

Suara Kang Liong terdengar pula, “Saudara Bong! Saudara Bong! Ada apa? Jawab aku... aduh! Keparat! Siapa menyerang aku?”

“Ada musuh! Ada musuh di tengah-tengah kita! Hati-hati!”

Kegelap-gulitaan itu sudah membingungkan, ditambah lagi dengan pemberitahuan tentang musuh di tengah-tengah mereka, menambah kacaunya keadaan.

Oh Tong-peng yakin bahwa Pek-lian-hwe mulai menyerang, maka ia berseru, “Semuanya keluar dulu! Cepat!”

Baru selesai ia berkata, nalurinya memperingatkan ada serangan dari sebelah kanan, getar anginnya terasa. Dia pun menunduk dan mendengar tembok batu di sebelah kirinya berbunyi seperti dibacok senjata. Itulah serangan yang seharusnya buat Oh Tong-peng tadi. Oh Tong-peng sekenanya menyikut ke sebelah kanan dan mendengar suara seseorang mengaduh, rasanya sikut Oh Tong-peng kena tubuh seseorang dalam kegelapan, dan rasanya suara mengaduh itu pernah dikenalnya.

Oh Tong-peng susulkan sebuah cengkeraman tangan kiri untuk coba meringkus sekenanya orang di sebelah kanannya itu, namun cengkeramannya hanya kena angin kosong. Agaknya orang itu sudah berpindah tempat dalam kegelapan.

Oh Tong-peng sendiri tidak ingin terlibat terlalu lama dengan lawan yang tak terlihat itu. Ia melihat cahaya samar-samar di kejauhan dan ia tahu itulah ujung dari lorong tersebut. Ia pun bergerak ke sana, ia merasa menabrak seseorang dan tidak tahu siapakah yang ia tabrak itu. Ia segera meninggalkan ribut-ribut itu dalam kegelapan di belakangnya.

Ia tiba di luar lorong itu hampir bersamaan dengan Thiam Gai. Keadaan di luar ruangan tidak segelap di dalam, namun nampaknya malahan lebih kacau. Matahari tidak nampak di langit, langit seolah dicat dengan warna hitam legam, dan hamparan hitam itu sebentar-sebentar seolah retak oleh cahaya kilat yang disusul dengan ledakan dahsyat. Angin bertiup amat keras, dingin menyayat kulit, membuat debu dan pasir terangkat tinggi menggelapkan keadaan.

Di tengah-tengah keadaan alam yang demikian mengerikan, di atas genteng maupun di halaman penjara itu ada ratusan orang bertopeng macam- macam yang sedang bertempur dengan pongawal-pengawal penjara yang bergabung dengan prajurit- prajurit yang dibawa Dong Peng-un dan juga orang-orangnya Kang Liong.

Oh Tong-peng lihat korban di pihak pemerintah sudah cukup banyak, ada belasan tubuh berseragam yang rebah tak bergerak-gerak lagi di tanah, sedang orang-orang Pek-lian-hwe belum kelihatan satu pun yang gugur. Diam-diam Oh Tong-peng membatin,

“Mungkinkah benar desas-desus yang mengatakan bahwa topeng-topeng bermacam dewa-dewi serta siluman-siluman itu punya kekuatan gaib yang membuat pemakainya menjadi tak kenal lelah, bertempur lebih hebat, dan bahkan kebal dari segala macam senjata?”

Tapi Oh Tong-peng tak bisa merenung-renung saja sementara prajurit-prajurit kerajaan mengalami kesulitan dengan lawan-lawan mereka yang lebih sedikit itu, apalagi secara aneh angin yang menerbangkan pasir itu seolah-olah berpihak dalam pertempuran. Yang matanya bisa kelilipan debu dan pasir hanya prajurit-prajurit kerajaan, sedangkan orang-orang Pek-lian-hwe tidak.

Meskipun orang-orang Pek-lian-hwe bertopeng, tetapi bukankah pada topeng itu ada lubangnya untuk mata? Namun tak sebutir debu pun mau “mampir” ke mata orang-orang Pek-lian-hwe. Maka di segala sudut kelihatan prajurit-prajurit pemerintah yang harus bertempur sambil melindungi matanya, atau kalau matanya sudah terlanjur kemasukan debu, tentu saja gerak tempurnya jadi repot sekali. Tidak heran kalau prajurit-prajurit pemerintah jadi begitu gampang menjadi korban orang-orang Pek-lian-hwe.

Oh Tong-peng segera melompat ke tengah-tengah pertempuran setelah menyambar sebatang toya rotan yang tergeletak di dekat sesosok mayat pegawai kantornya Kang Liong. Oh Tong-peng sendiri membekal senjata andalannya sendiri berupa bandringan berujung mata tombak. Tetapi senjata lemas macam itu akan sulit dikendalikan di tempat di mana ada angin ribut seperti itu, arahnya akan sangat terganggu oleh angin liar.

Setelah itu, Oh Tong-peng menduga di antara orang-orang bertopeng itu barangkali terdapat Lo lam-hong, dan Oh Tong-peng tidak ingin melukai Lo Lam-hong seandainya bertemu di medan itu. Berada di dalam pertempuran, Oh Tong-peng tidak dikecualikan dari hembusan angin pembawa debu yang mengganggu mata itu.

Ia harus bertempur dengan mata setengah terpejam, namun panglima dari istana ini memang hebat. Biarpun bertempur dengan gangguan angin dan debu, toya rotannya dalam waktu singkat sudah merobohkan dua orang lawan.

“Mereka bukannya orang-orang tak terkalahkan!” seru Oh Tong-peng kepada Thiam Gai yang juga sedang bertempur dengan memakai sebatang toya rotan, juga dengan mata setengah terpejam. Sengaja Oh Tong-peng meneriakkan itu keras-keras agar didengar oleh Thiam Gai dan prajurit-prajurit kerajaan lainnya demi membangkitkan semangat mereka.

Waktu itulah seorang bertopeng melompat ke hadapannya, senjatanya ternyata sepasang golok pencincang daging babi, tubuh pemegangnya sendiri gembrot seperti babi dan bukan kebetulan kalau topeng yang dipakainya juga topeng Ti Pat-kai, siluman babi dalam dongeng “Perjalanan Ke Barat”. Orang itu adalah Phui Se-san, salah seorang “perwira kipas putih” dalam Pek-lian-hwe.

Begitu berada di hadapan Oh Tong-peng, ia langsung membentak, “Anjing Manchu, aku ingin memotong-motong tubuhmu untuk kucampurkan ke dalam sup-anjing!”

Berbarengan dengan sepasang golok pencincangnya menebas sejajar dari atas ke bawah, hendak memotong sepasang pundak Oh Tong-peng. Agaknya ia benar-benar memperlakukan Oh Tong-peng seperti hewan potong yang hendak dicincang sesuai dengan ruas-ruas tulangnya.

Oh Tong-peng tahu toya-toyanya tak mungkin menahan sepasang golok tajam itu secara keras lawan keras, maka ia menyabet dari samping ke arah sepasang golok itu. Menyusul pangkal toya rotannya menyabet ke pinggang Phui Se-san. Ternyata karena tubuhnya yang gendut itu, Phui Se-san jadi tidak cepat gerakannya, pinggangnya tersodok toya dan ia pun jatuh terduduk.

Namun tubuh yang lamban itu ternyata juga tubuh yang tahan pukul, ia cepat bangun kembali dan siap meneruskan pertempuran. Bahkan sekarang sambil berkelahi ia juga membaca mantera dari balik topengnya. Belasan gebrak berlangsung antara kedua orang itu, dan karena geraknya yang lamban, maka belasan kali pula tubuh Phui Se-san kena gebukan telak toya rotan Oh Tong-peng.

Ternyata Phui Se-san seolah tidak merasakan, padahal Oh Tong-peng yakin, kalau gebukannya itu dikenakan ke sasaran lain, paling tidak pasti menyebabkan patah tulang. Apalagi tubuh manusia, kalau toya itu digerakkan Oh Tong-peng untuk memukul tembok pastilah temboknya akan runtuh.

Oh Tong-peng jadi agak terdesak, sebab Phui Se-san terus merangsek dengan sepasang golok pencincangnya. Ia menyerang dengan ganas sekali tanpa merasa perlu membuat pembelaan diri yang baik kecuali mengandalkan kekebalan gaib yang meliputi seluruh tubuhnya yang dihasilkan oleh topeng silumannya. Itulah yang membuat Oh Tong-peng terdesak.

Bahkan makin lama Phui Se-san agaknya makin “menyatu” dengan siluman babi yang dipujanya, sambil bertempur ganas gerak serudukannya makin mirip babi, dan dengan suara-suara dengkur babi berulangkah di mulutnya. Oh Tong-peng merasa tekanan berat, namun jiwanya yang teguh itu tidak gampang ditaklukkan untuk menyerah, meskipun selain menghadapi Phui Se-san yang kebal gebukan ia juga harus menghadapi angin dan debu yang memihak kepada Pek-lian-hwe.

Sambil tetap berkelahi dengan hati-hati dan sambil melindungi matanya dari debu terbang, ia mulai menganalisa keadaan dengan otaknya, “Topeng yang dipakainya itu bukan hanya untuk menutupi wajah agar tidak dikenali oleh petugas-petugas kerajaan, melainkan agaknya juga menjadi semacam jimat yang membuat ketahanan tubuhnya luar biasa. Aku harus bisa memukul lepas topeng itu dari wajahnya.”

Demikianlah Oh Tong-peng mulai menetapkan rencananya, dan menunggu suatu kesempatan. Da ia pun sadar, andaikata ada kesempatan pun tidak mudah untuk membuat topeng itu lepas dari wajah lawannya, sebab topeng Itu tidak sekedar diikat dengan benang, melainkan dengan selendang kain yang diikatkan ke belakang kepala.

Phui Se-san sendiri agaknya sudah kehilangan kesadarannya dalam berkelahi, la sudah sepenuhnya dirasuki kekuatan asing yang entah darimana datangnya. Ia bahkan bertempur sambil memejamkan matanya, namun aneh bahwa incaran sepasang goloknya tidak pernah ngawur.

Oh Tong-peng menggerutu dalam hati, “Kali ini aku berkelahi bukan dengan Si Gendut ini, melainkan dengan siluman yang menggunakan tubuh Si Gendut ini.”

Dan perkara kesurupan, maka memang seluruh annggota Pek-lian-hwe yang bertempur di tempat itu sudah kesurupan semua, tanpa kecuali. Kekuatan tempur mereka jadi berlipat ganda, sambil mereka ada yang mengeong-ngeong seperti kucing, ada yang tertawa cekikikan seperti perempuan dan suaranya berubah menjadi suara perempuan dan gerakannya menjadi lemah gemulai seperti tarian meskipun orangnya sendiri adalah lelaki tinggi kekar, dan bermacam lagak-lagu lainnya.

Para prajurit pemerintah yang belum pernah mengalami hal itu, bergidik mengalami sesuatu pertempuran yang luar biasa anehnya itu. Sebagian dari mereka tetap gigih, namun sebagian lagi pecah nyalinya, merosot semangatnya dan makin jadi makanan empuk buat lawan-lawannya.

Oh Tong-peng sendiri mengeluh dalam hati. Ia sendiri bersama Thiam Gai memang sudah siap mental menghadapi suasana demikian, namun tidak demikian dengan prajurit-prajurit Lam-koan. Oh Tong-peng memperhitungkan bahwa kehadirannya bersama Thiam Gai di tempat ini takkan banyak mempengaruhi atau menolong keadaan pihaknya. Saat itu tiba-tiba dilihatnya Kang Liong juga keluar dan bertempur melawan orang-orang Pek-lian-hwe.

Awalnya Oh Tong-peng tidak menggubris hal itu, ia anggap wajar saja kalau Kang Liong bertempur melawan musuh-musuh pemerintah. Dilihatnya ilmu silat Kang Liong biasa saja, sehingga cukup dihadapi oleh seorang anggota Pek-lian-hwe. Kemudian ada sesuatu yang ganjil dan menarik perhatian Oh Tong-peng pada diri Kang Liong. Yaitu, Kang Liong nampaknya tidak terganggu oleh angin dan debu yang sangat mengganggu orang-orang di pihak pemerintah, namun Kang Liong agaknya sebuah perkecualian.

“Apakah Kang Liong punya ilmu untuk menangkal ilmunya Pek-lian-hwe?” Oh Tong-peng bertanya-tanya dalam hatinya, “Dan kenapa Bong Peng-un tidak kelihatan bersamanya? Apakah masih ketinggalan di dalam?”

Tetapi secara keseluruhan, keadaan tidak bertambah baik melainkan bertambah rusak bagi tentara negeri. Lawan Oh Tong-peng sendiri, masih saja melancarkan serudukan-serudukan berbahaya, dan toya rotan Oh Tong-peng yang berulang-ulang menimpa tubuhnya seperti tidak dirasakannya. Sebaliknya kalau sampai sepasang golok pencincang daging di tangan Phui Se-san itu kena tubuh Oh Tong-peng, pasti tubuh Oh Tong-peng akan berubah menjadi daging-cincang betul-betul.

Repot juga Oh Tong-peng, sampai muncul suatu pikiran, “Setelah peristiwa ini, kalau aku masih selamat, mungkin perlu juga dipertimbangkan buatku dan orang-orangku untuk sedikit mempelajari ilmu gaib, bukan hanya ilmu silat yang mengandalkan fisik.”

Yang terang, saat itu yang terpenting buatnya adalah pergi dari situ bersama Thiam Gai, dan kalau perlu juga “menyelamatkan” Kang Liong dari situ. Kang Liong masih dipandang sebagai “fajar pengharapan masyarakat di Lam-koan” oleh Oh Tong-peng yang belum tahu siapa sebenarnya Kang Liong.

Maka di tengah deru angin dan dentang senjata serta hiruk-pikuknya orang-orang Pek-lian-hwe yang kesurupan, berteriaklah Oh Tong-peng kepada Thiam Gai, “Saudara Thiam, kita bawa Kang Liong keluar dari sini! Urusan lain bisa belakangan!”

“Baik!” sahut Thiam Gi. Meskipun sudah menyanggupi demikian, tetapi tidak mudah bagi Thiam Gai untuk lepas dari lawannya yang memakai topeng kucing, dan mengenakan sarung tangan berkuku besi di kedua tangannya dan bertempur sambil mengeong-ngeong.

Thiam Gai sudah lama melepaskan toya rotannya yang telah jadi compang-camping kena cakaran musuh, dan sekarang Thiam Gai menggunakan senjata andalannya yang berupa sepasang pedang pendek. Namun masih tetap kerepotan, sebab ia harus berkelahi sambil berusaha agar matanya tidak kelilipan debu, sedang lawannya tidak mempunyai masalah itu.

Oh Tong-peng bisa memahami kesulitan Thiam Gai, maka dia pun berusaha keras untuk bisa lepas lebih dulu dari Phui Se-san. Usahanya untuk merenggut topeng Phui Se-san yang dianggapnya sebagai sumber kekuatan gaibnya, belum juga berhasil.

Pernah sekali hampir berhasil, tangan Oh Tong-peng sudah menempel di topeng itu dan tinggal merenggutnya sekuat tenaga, tapi pada saat yang bersamaan perut Oh Tong-peng juga terancam oleh sepasang golok pencincang Phui Se-san, apa boleh buat, Oh Tong-peng belum mau brodol ususnya dan terpaksa membatalkan usahanya untuk merenggut topeng itu.

Namun suatu kali Oh Tong-peng berhasil memancing Phui Se-san untuk menyeruduk tembok penjara di belakangnya. Dengan takjub Oh Tong-peng melihat tembok itulah yang runtuh, dan tubuh Phui Se-san lenyap tertimbun reruntuhan tembok.

“Tak terbayangkan kalau serudukan itu kena tubuhku.” pikir Oh Tong-peng, kemudian ia melompat ke arah lawan Thiam Gai yang bertingkah laku bagaikan kucing marah itu. Beberapa gebukan toya rotan Oh Tong-peng mengenai tubuh Si “Manusia Kucing” dan gebukan terakhirnya begitu keras membuat Si “Manusia Kucing” terguling-guling. Namun seperti juga “Manusia Babi” tadi, Si “Manusia Kucing” ini seolah tidak merasakan apa-apa. Ia langsung melompat bangkit lagi.

Namun Oh Tong-peng dan Thiam Gai sudah meninggalkannya. Oh Tong-peng dan Thiam Gai menerobos pertempuran yang riuh-rendah, melewati prajurit-prajurit pemerintah yang bertempur dengan putus asa maupun orang-orang Pek-lian-hwe yang kesurupan, mereka berdua terus menuju ke arah Kang Liong. Angin dan debu tidak mereda begitu pula langit yang menghitam dan halilintar yang sambung-menyambung dengan ganas.

Ketika itu, Kang Liong sedang “bertempur” melawan seorang anggota Pek-lian-hwe. Tentu saja Kang Liong yang sebenarnya adalah pentolan Pek-lian-hwe itu hanya bertempur pura-pura, untuk mengelabuhi orang-orang pemerintah. Tahu-tahu Thiam Gai dan Oh Tong-peng datang ke dekatnya. Thiam Gi langsung menyambar tangan Kang Liong dan menariknya ke samping sambil berkata,

“Tuan Kang, Tuan harus tinggalkan tempat ini dengan selamat. Jangan sampai berkorban sia-sia di tempat ini dan membuat masyarakat Lam-koan kehilangan pimpinan.”

Sementara Oh Tong-peng mengambil-alih anggota Pek-lian-hwe yang menjadi “lawan” Kang Liong itu. Oh Tong-peng menangkis senjatanya dan menendang mencelat orang itu, meskipun kemudian orang itu melompat bangkit kembali tanpa rasa sakit. Rupanya ilmu gaib Pek-lian-hwe tidak membuat ketrampilan tempur pemakainya meningkat, melainkan terbatas hanya membuat tubuh kebal dari rasa sakit dan dari senjata apa pun.

Sementara Kang Liong dengan didampingi oleh Oh Tong-peng dan Thiam Gai berusaha menerobos keluar dari riuh-rendahnya sabung nyawa di gedung penjara itu. Kang Liong sebagai seorang Pek-lian-hwe, sebenarnya menyiapkan semua perangkap itu buat agen-agen kerajaan seperti Oh Tong-peng dan orang-orangnya yang dianggap ancaman bagi Pek-lian-hwe, sudah tentu sekarang Kang Liong tidak akan membiarkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai lolos begitu saja.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.