Menaklukkan Kota Sihir Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 12 Karya Stevanus S P

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 12

MAKA Kang Liong pun berpura-pura berlambat-lambatan dalam upaya pelariannya. Ia berharap agar kawan-kawannya sempat menghadang larinya Oh Tong-peng berdua dan bahkan menangkapnya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Untuk berlambat-lambatan, macam-macam saja alasannya yang dikemukakan Kang Liong kepada kedua penyelamatnya. Katanya tidak bisa berjalan cepat-cepatlah, matanya kelilipanlah dan harus mengeluarkan pasir dari matanya, atau bilang tidak rela membiarkan bandit-bandit Pek-lian-hwe berkeliaran.

Oh Tong-peng serta Thiam Gai merasa kesal juga, tetapi belum sampai curiga kalau Kang Liong ini sesungguhnya juga pentolan Pek-lian-hwe.

Akal Kang Liong itu agaknya membuahkan hasil. Dua orang tiba-tiba muncul di depan Oh Tong-peng dan Thiam Gai. Mereka bukan anggota-anggota biasa Pek-lian-hwe, melainkan pentolan-pentolannya. Yang seorang bertubuh kecil dan pendek, namun pasti sudah tua sebab dari bawah topengnya terlihat jenggot kelabunya yang memanjang, topeng yang dikenakannya adalah topeng Dewa Mo Sui, Si Dewa Cebol dalam cerita Liat-kok.

Senjata yang dipegangnya adalah sebatang garu besi bertangkai panjang, panjangnya hampir tiga kali lipat panjang tubuhnya. Lucu juga melihat Si Kecil ini memegang senjata demikian panjangnya. Dialah Thai Yu-tat, wakil ketua cabang Lam-koan yang terkenal kekejamannya.

Yang seorang lagi adalah Hong Pai-ok sendiri, Si Utusan Pusat berpangkat Tau-siang-hoa (Bunga Di Atas Kepala) yang sihirnya melebihi tokoh Pek-lian-hwe cabang mana pun di Lam-koan. Dialah yang mendatangkan awan hitam dan halilintar serta angin sedahsyat itu.

Kalau orang-orang Pek-lian-hwe lainnya memakai topeng, maka Hong Pai-ok hanya sekedar menggambari wajahnya dengan warna-warna, putih, hitam, merah dan biru. Entah wajah tokoh dongeng mana yang digambar di wajahnya, yang jelas wajah itu adalah wajah siluman yang menakutkan.

Begitu berdiri berhadapan dengan Oh Tong-peng dan Thiam Gai berdua, Hong Pai-ok tertawa dingin, “Anjing-anjing Manchu, kenapa kalian hendak lari terbirit-birit dari sini? Takut oleh kelihaian Pek-lian-hwe kami?”

Naluri Oh Tong-peng memperingatkan bahwa kedua lawan ini pasti jauh lebih kuat dari anggota- anggota biasa Pek-lian-hwe, bahkan juga dari “siluman babi” yang bersenjata sepasang golok cincang tadi. Oh Tong-peng pun berkata, “Saudara Thiam, daripada didahului, lebih baik mendahului!”

Berbareng dengan kata-katanya, Oh Tong-peng melompat ke depan secepat kilat melancarkan tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang) dengan tubuh terbang menyamping dan kaki meluncur ke kepala Hong Pai-ok. Tubuh Hong Pai-ok yang seperti karung besar itu menunduk sedikit, kemudian mengangkat wajahnya dan membuka mulutnya, meniup ke arah Oh Tong-peng. “Jurus” macam itu sungguh belum pernah ditemui Oh Tong-peng.

Oh Tong-peng yang sedang memperbaiki keseimbangan setelah tendangan macan terbangnya luput tadi, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa diselimuti udara dingin, amat dingin, sampai membuat darahnya serasa membeku dalam pembuluh-pembuluhnya dan tubuhnya kaku. Oh Tong-peng terkejut, sia-sia ia coba menggerakkan tubuhnya yang seolah terbungkus es yang membatu.

Sementara Thai Yu-tat juga sudah bergebrak beberapa jurus dengan Thiam Gai. Dan ketika Thai Yu- tat membaca manteranya, Thiam Gai tiba-tiba merasa pusing, tubuhnya lemas dan roboh. Begitulah, nampaknya kedua agen kerajaan itu lumpuh dan ditawan oleh Pek-lian-hwe dalam segebrakan saja.

Saat itulah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Oh Tong-peng yang hampir membeku itu tiba-tiba saja merasakan tubuhnya hangat kembali secara aneh. Secara aneh, sebab Oh Tong-peng sudah kehabisan daya untuk menghangatkan tubuhnya termasuk dengan cara menjalankan pernapasan dan rasa hangat itu datang begitu saja dan tidak tahu dari-mana asalnya.

Berbarengan Thiam Gai juga mengalami sesuatu yang aneh. Rasa pusingnya lenyap mendadak, tubuhnya menjadi segar kembali. Waktu itu Hong Pai-ok dan Thai Yu-tat sedang saling bertukar pandang dengan bangga, membanggakan kehebatan ilmu gaib mereka masing-masing yang dapat merobohkan musuh begitu gampang.

Tetapi kebanggaan mereka berubah menjadi kejut yang luar biasa ketika mereka melihat Oh Tong-peng dan Thiam Gai melompat kabur dengan segar bugar, bahkan Oh Tong-peng sambil menarik tangan Kang Liong yang masih disangkanya “kawan seperjuangan” sambil berseru, “Ayo Tuan Kang, jangan berlama-lama di sini!”

Sesungguhnya Kang Liong sendiri belum hilang kagetnya, dan sekarang ia pontang-panting diseret Oh Tong-peng. Sejenak setelah kagetnya hilang, Hong Pai-ok menjadi gusar. “Keparat, rupanya anjing-anjing Manchu itu punya suatu pegangan yang bisa untuk menangkal tiupan udara dinginku. Tetapi sekarang mereka akan melihat ilmuku yang lebih tinggi!”

Lalu Hong Pai-ok mengeluarkan selembar kertas jimat berwarna kuning dari balik bajunya. Kertas itu dijepit dengan jari telunjuk dan tengah dan ketika dikibarkan maka menyala dengan sendirinya dan dalam sekejap menjadi abu. Abunya lalu dihamburkan ke langit yang kelam. Menyusul Hong Pai-ok keluarkan sehelai bendera segitiga kecil, yang dikibar-kibarkan nya di atas kepala sambil mulutnya berkomat-kamit membaca mantera.

Tiba-tiba halilintar meledak keras sekali dan begitu dekat dengan permukaan tanah, sampai orang- orang Pek-lian-hwe sendiri pun banyak yang kaget. Menyusul munculnya seekor naga terbang bersisik hitam dari antara mega-mega yang langsung menerkam ke arah Oh Tong-peng bertiga bersama Thiam Gai dan Kang Liong yang mereka “selamatkan”.

Orang-orang di arena pertempuran ternganga kaget, termasuk orang-orang Pek-lian-hwe sendiri. Maklum, tiba-tiba saat itu mereka melihat mahluk yang adanya hanya dalam dongeng atau dalam lukisan-lukisan, namun belum pernah ada yang melihat naga sesungguhnya, paling-paling ular besar. Namun kali ini mereka sungguh-sungguh melihatnya, bentuknya persis seperti dalam lukisan-lukisan, sisiknya hitam kehijauan seperti tembaga berkarat.

Dan hewan dongeng itu menerkam dengan suara gemuruh ke arah Oh Tong-peng bertiga. Nampaknya naga itu takkan memandang bulu dalam menghabisi lawannya, tidak peduli Kang Liong yang adalah “kawan sendiri”. Tetapi kuku-kuku naga itu tiba-tiba tertahan gerakannya, Si Naga mengangkat kepalanya dan seolah-olah memandang sesuatu yang besar di depannya.

Naga itu bergeliatan hebat, seperti sangat marah namun tidak dapat maju lagi biarpun seujung rambut. Dan yang tidak diperhitungkan oieh Hong Pai- ok pun terjadilah, naga itu berbalik dan menghilang di langit. Nampaknya sangat ketakutan terhadap sesuatu. Hong Pai-ok kaget sekali. Ilmu gaib andalannya tercerai-berai tanpa diketahui alasannya.

Sebenarnya Oh Tong-peng dan Thiam Gai sendiri pun heran, sejak mereka “bebas otomatis” dari serangan gaib Hong Pai-ok dan Thai Yu-tat tadi, dan kini naga siluman dari dunia sukma itu pun tiba-tiba lari ketakutan tanpa terlihat apa yang membuatnya takut. Tetapi Oh Tong-peng dan Thiam Gai tidak mengendorkan langkah mereka, dan mereka terus saja berlari meninggalkan tempat itu sambil menggandeng Kang Liong.

Mereka keluar dari halaman penjara itu, mereka lari di lorong-lorong, dan akhirnya tiba di sebuah tempat di mana tak seorang pun anggota Pek-lian-hwe bertopeng yang nampak. Jalanan-jalanan kelihatan sepi, tak nampak penduduk satu pun di jalanan. Semua penduduk bersembunyi dalam rumah, sebab langit yang hitam serta halilintar dan angin itu tidak hanya di atas gedung penjara, melainkan juga di atas seluruh kota Lam-koan.

“Gila orang-orang Pek-lian-hwe itu, ternyata mereka benar-benar menyiapkan serangan sehebat ini!” gerutu Oh Tong-peng. “Tuan Kang, benar tidak kata-kataku?”

Kang Liong sendiri sebenarnya heran, bagaimana kedua “anjing Manchu” ini seolah bisa kebal terhadap serangan-serangan gaib Pek-lian-hwe, bahkan yang dilancarkan oleh Hong Pai-ok yang lebih ampuh dari yang paling ampuh di antara tokoh-tokoh Pek-lian-hwe Lam-koan? Namun Kang Liong mengangguk saja ketika ditanyai demikian, bahkan ia pura-pura ikut mengutuk Pek-lian-hwe,

“Ini sudah perang sihir. Senjata-senjata kasar macam golok dan tombak sudah tidak berguna lagi.”

“Ternyata benar kata-kata Liu Yok.” Sambung Thiam Gai.

“Benar, kita terlalu meremehkan peringatannya.” kata Oh Tong-peng.

Kang Liong yang mendengarnya jadi tertarik dan ingin tahu siapa Liu Yok itu. “Tuan Oh, siapakah Liu Yok itu?”

Oh Tong-peng ragu-ragu sejenak untuk membuka rahasia Liu Yok kepada Kang Liong yang belum lama dikenalnya. Tetapi melihat gigihnya tadi Kang Liong “mempertaruhkan nyawa demi rakyat Lam-koan.” maka Oh Tong-peng pun menganggap Kang Liong cukup pantas untuk dianggap teman, dan seorang teman patut diberitahu apa adanya.

Sahut Oh Tong-peng, “Saudara Liu ini adalah orang yang baru saja bergabung dengan kami. Dia orang yang memiliki naluri amat tajam, dialah yang sudah memperingatkan kami untuk bahaya tadi, namun kami tidak menghiraukannya. Ia diusulkan oleh Jenderal Wan Lui sendiri karena konon punya bakat aneh, semua ilmu gaib kontan runtuh di depannya, bahkan kalau ia hanya mengucapkan sepatah kata.”

Diam-diam Kang Liong mencatat baik-baik ini dalam hatinya, sambil membatin, “Hem, kiranya anjing-anjing Manchu ini juga membawa seorang ahli ilmu gaib untuk menopang operasi mereka.”

Timbul niat Kang Liong untuk lebih jauh mengorek keterangan dari mulut kedua “anjing Manchu” itu tentang Liu Yok. Siapa tahu bisa mendapat keterangan tentang kelemahan-kelemahan si “ahli sihir” (demikian sangka Kang Liong) Liu Yok ini.

Namun belum sampai pertanyaan pancingan nya keluar, tiba-tiba mata Kang Liong terbelalak ketakutan menatap ke sebelahnya Oh Tong-peng dan Thiam Gai, kemudian Kang Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan lari pontang-panting.

Oh Tong-peng dan Thiam Gai sama -sama kaget melihat kelakuan Si Hakim yang demikian di luar dugaan. Mereka berteriak, “Tuan Kang! Tuan Kang!”

Namun Kang Liong sudah lenyap di ujung jalan sana, sama sekali tidak menggubris seruan kedua agen kerajaan itu. Oh Tong-peng dan Thiam Gai berdiri terheran-heran, saling mengangkat pundak tanda ketidak-tahuan.

“Aneh, kenapa dia?”

“Sebelum lari, dia seperti menatap ketakutan ke arah kita.”

“Apakah ada yang menakutkan pada diri kita? Wajah kita?”

Oh Tong-peng dan Thiam Gai saling memeriksa, kalau-kalau ada yang “menakutkan” pada diri mereka, yang membikin Kang Liong tunggang-langgang. Ternyata mereka beres-beres saja. Kepala mereka tetap masing-masing satu dan tidak menjadi tiga, mulut mereka tidak keluar taringnya, lidah mereka tidak meleler panjang sampai ke tanah.

“Aneh, jadi apa yang membuat Kang Liong tiba-tiba kabur ketakutan?”

“Mungkin bukan sesuatu yang pada diri kita, tetapi di sekitar kita.”

Mereka mulai memeriksa sekitar mereka dan tetap saja tidak menemukan sesuatu yang pantas untuk ditakuti. Singkatnya, mereka benar-benar tidak menemukan alasan kenapa Kang Liong sampai kabur ketakutan tadi.

“Mungkin karena hatinya masih tegang oleh peristiwa di gedung penjara tadi. Terlalu tegang, dan orang yang urat syarafnya tegang memang bisa saja membayangkan suatu yang sebenarnya tidak ada namun bagi dia dianggapnya benar-benar ada.”

“Ya, mungkin begitu.”

Demikianlah, karena kesimpulan yang pasti belum diperoleh, maka terpaksa hanya main kira-kira saja. Mereka kemudian berjalan pulang kembali ke pinggiran kota, tempat persembunyian mereka.

Langit masih gelap, halilintar masih menyambar-nyambar dan angin masih bertiup kencang dan dingin mengangkat debu dan ranting-ranting kering. Seluruh kota Lam-koan masih berkerut ketakutan terhadap gejala-gejala alam yang aneh, yang munculnya tidak keruan ujung pangkalnya itu.

Di reruntuhan bangunan Eropa di pinggiran kota itu, Liu Yok menggeliat bangkit dari tidurnya yang nyenyak. Begitu bangkit, ia mengerutkan alisnya karena cuaca yang gelap, angin dingin yang kencang, dan suara halilintar yang menyambar-nyambar. Meski di pinggiran kota itu tidak sedahsyat di tengah-tengah kota.

“Apa aku tidak tidur sepanjang hari, dan sekarang sudah malam?” tanya Liu Yok sambil menggosok-gosok matanya.

“Belum. Bahkan tengah hari saja belum”

“Kenapa begini gelap?”

“Entahlah. Beberapa waktu yang lalu sinar matahari tiba-tiba menghilang lenyap dikerudungi awan hitam, lalu angin dan halilintar mengamuk.”

Liu Yok menggeliat sehingga pinggangnya berbunyi gemeretak, lalu dengan langkah lamban yang enggan ia ke jendela, berdiri di jendela dan memandang keluar jendela, bajunya dan rambutnya berkibar-kibar diterpa angin yang dingin. Lalu berkatalah Liu Yok, “Wah, tidak beres ini.”

Di ujung kata-katanya, angin pun tiba-tiba berangsur-angsur reda, langit yang semula hitam tiba-tiba menjadi cerah kembali sebab terbawa angin ke arah lain dan halilintar-halilintar pun berhenti bersipongah dengan suaranya yang dahsyat. Tadi begitu mendadak gejala alam itu muncul, dan sekarang begitu mendadak pula perginya. Langit tiba-tiba menjadi cerah kembali dan matahari yang berseri muncul kembali.

Kui Tek-lam tercengang melihat itu semua, dan ia hanya bisa mendukung perkataan Liu Yok tadi, “Ya, guntur dan angin itu datangnya mendadak, perginya juga mendadak, memang kelihatannya tidak beres.”

“Tetapi sekarang sudah beres,” sahut Liu Yok sambil duduk di lantai, lalu mulai memeriksa tubuh Cu Tong-liang. Ternyata tidak basah celananya, menandakan kalau ia tidak ngompol atau berak dalam celana selama Liu Yok tidur tadi. Pakaian yang dipakainya juga masih yang tadi.

Masih terheran-heran oleh keganjilan-keganjilan alam tadi, kembali Kui Tek-lam cuma bisa membeo, “Ya, kalau sekarang memang sudah beres.”

“Tadi selama aku tidur, apakah Saudara Cu tidak merepotkan Saudara Kui?” Liu Yok menanyakan “momongan”nya.

“Tidak. Ya begitu itu terus. Berbaring tak bergerak-gerak, mata melotot kosong, seperti tak melihat apa-apa yang di hadapan matanya. Saudara Liu, kapan kau mulai mengobatinya sehingga sembuh?”

“Aku sedang mengobatinya sekarang.”

Kali ini Kui Tek-lam heran melebihi keheranan nya terhadap gejala-gejala alam tadi. Yang ia lihat, Liu Yok hanyalah sekedar membersihkan tubuh Cu Tong- liang, mengganti pakaiannya, mencuci pakaiannya, menyuapi makan dan minum. Memang terlihat betapa pekerjaan itu membutuhkan kesabaran dan ketelitian luas biasa, misalnya waktu memberi makan itu karena mulut Si Pasien sama sekali tidak bergerak.

Maka haruslah Liu Yok yang membuka mulut Cu Tong-liang dengan menekan menyuapkan makanan yang sudah dilembutkan lalu mendorongnya dengan air. Lebih sulit dari menyuapi bayi, sebab mulut bayi paling tidak bisa bergerak menanggapi makanan yang masuk ke mulutnya.

Memang dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk merawat Cu Tong-liang, namun belum dilihatnya Liu Yok melakukan pengobatan apa-apa, hanya merawat dengan sangat sabar. Bagaimana Liu Yok berani berkata bahwa ia sedang mengobati Cu Tong-liang? Model pengobatan macam apa ini?

“Saudara Liu nampaknya tidak memberi obat atau melakukan upaya lain untuk menyembuhkan Saudara Cu. Saudara Liu memang merawat dengan baik dan telaten sekali, tetapi... kapan sembuhnya Saudara Cu kalau setiap hari hanya dibersihkan tubuhnya, diganti pakaiannya, disuapi, diminumi, diselimuti? Itu namanya sekedar dirawat, bukan disembuhkan.”

“Saudara Cu akan sembuh.”

“Hanya dengan…”

“Penyakit Saudara Cu bukan di tubuhnya, melainkan karena batinnya kemasukan kekuatan-kekuatan dari luar. Barangkali sukma-sukma gentayangan kiriman orang-orang Pek-lian-hwe.”

Kui Tek-lam mengangguk-angguk, katanya dalam hati, “Kata-kata Liu Yok ini cukup masuk akal. Coba kutanyai dia terus, barangkali aku bisa mendapat sesuatu pengetahuan yang berguna bagiku.”

Tanya Kui Tek-lam, “Cara mengobatinya?”

“Ada kekuatan yang jahat dan yang baik di alam semesta ini. Manusia bisa menjadi saluran dari kedua kekuatan itu, terserah mana yang mau dia pilih. Kekuatan yang jahat kelihatannya saja bisa memberi kekuatan, kekayaan, jodoh, pangkat dan sebagainya, tetapi sebenarnya adalah belenggu besar untuk raga dan sukma penganutnya. Sedang kekuatan yang baik disediakan untuk kesejahteraan manusia.”

Kui Tek-lam mengangguk-angguk dan menjawab sok mengerti, “Ya, ya, aku mengerti. Maksud Saudara Liu, ada sihir hitam, ada sihir putih, begitu?”

“Semua sihir adalah hitam.”

“Lho! Kok....”

“Ya, Saudara Kui. Yang dikatakan sihir putih itu adalah perangkap jahat, dan tujuannya tidak lain adalah menyesatkan orang-orang dari penyembahan yang benar terhadap Sang Maha Pencipta.”

“Tetapi kenapa banyak orang tertolong dengan sihir putih?”

“Namanya juga perangkap, tentu harus menggunakan umpan yang disenangi oleh calon korbannya. Kalau kita memancing ikan, tentu saja harus memakai umpan cacing yang disenangi ikan, atau umpan-umpan lain yang disenangi ikan. Kita takkan mendapat ikan seekor pun, kalau kita gantungkan batu di ujung tali pancing.”

Kui Tek-lam termangu-mangu, dan Liu Yok meneruskan kata-katanya, “Kekuatan-kekuatan di alam semesta tadi, memasuki kehidupan manusia melalui manusia itu sendiri. Ada yang masuk melalui kemarahan, misalnya kutukan seorang dukun entah dibayar orang entah untuk keperluan si dukun sendiri. Kemarahan dan kebencian bisa menjadi pintu masuk yang memberi kesempatan kekuatan-kekuatan jahat masuk dalam kehidupan seseorang, bahkan bisa 'dikirim' kepada orang lain melalui kutukan atau teluh atau ramalan buruk, atau ramalan yang kelihatan baik padahal merupakan jalan bagi kekuatan-kekuatan jahat.”

“Itukah yang dialami Saudara Cu?” “Mungkin saja.”

“Sehari sebelum mengalami musibah ini, Saudara Cu memeriksakan garis-garis wajahnya kepada seorang ahli nujum untuk ditebak masa depannya.”

“Dia membukakan pintu bagi kekuatan- kekuatan jahat.”

Kui Tek-lam sendiri teringat upacara-upacara yang dilakukannya ketika dia pura-pura masuk menjadi anggota Pek-lian-hwe. Namun ia tidak katakan itu di depan Liu Yok. “Lalu kekuatan yang baik, yang kata Saudara Liu disediakan untuk kesejahteraan manusia itu?”

“Lawan dari kebencian dan kemarahan itu apa?” “Kasih sayang, belas kasihan, memaafkan lahir batin.”

“Nah, Saudara Kui, itulah yang sedang kulakukan. Kalau kemarahan dan kebencian menjadi saluran kekuatan-kekuatan jahat untuk memasuki kehidupan manusia, maka belas kasihan dan lain- lainnya itu pun adalah saluran untuk kekuatan penyembuhan, kesejahteraan dan lain-lain, yang semuanya sejati, bukan tiruan, karena berasal dari Sumber Yang Sejati.”

“Jelasnya, yang sedang Saudara lakukan atas Saudara Cu ini.”

“Merendam jiwa dan raga Saudara Cu dalam suasana belas kasihan sejati, suasana yang paling dibenci oleh kekuatan-kekuatan jahat.”

Kui Tek-lam berpikir, “Secara teori memang gampang dibicarakan. Tapi apa benar Cu Tong-liang bisa sembuh hanya dengan dirawat baik seperti itu?”

Tentu saja kata-kata itu tidak diucapkan di hadapan Liu Yok. Malah Kui Tek-lam bertanya, “Kalau orang macam aku, apakah bisa mempelajari ilmu macam kepunyaan Saudara Liu itu?”

“Kalau manusia ada di tempat yang semestinya, sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, maka tanpa belajar apa-apa pun dia otomatis menjadi penyalur dari tenaga kehidupan dari Yang Maha Kuasa. Manusia sejati bisa dibilang adalah ranting yang menempel pada Batang Pohon Kehidupan yaitu Yang Maha Kuasa. Begitulah gambarannya, Saudara Kui.”

“Aku mengerti, Saudara Liu. Tetapi kubayang- kan alangkah sulitnya menemukan tempat yang semestinya itu, tempat sang ranting menempel dengan batang pokoknya. Tentunya harus memperbanyak doa, perbuatan baik, penyiksaan diri untuk menyucikan pikiran, dan....”

“Bukan cuma sulit, Saudara Kui, bahkan mustahil. Juga seandainya upaya-upaya keagamaan yang Saudara anut itu dilakukan semua.”

“Tetapi kalau mustahil, kenapa Saudara Liu....”

“Karena tempat yang semestinya itu sebenar nya sudah didekatkan kepada kita, dan kita tidak perlu berupaya sia-sia lagi, melainkan tinggal menerimanya dengan ucapan syukur.”

“Dengan kata lain, kalau berupaya malah ketemu jalan buntu, begitu Saudara Liu?”

“Betul.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena untuk bisa mendapatkan tempatnya kembali, manusia itu harus mengalami pemulihan kodrat aslinya. Kodrat aslinya dimana manusia adalah bagian dari Diri Pribadi Yang Maha Kuasa sendiri, karena dalam manusia ada Roh-Nya, nafas kehidupan- Nya, meskipun itu ditempatkan di wadah tanah liat yang disebut tubuh ini. Bukan mulanya manusia itu serupa dengan Dia, meskipun tidak setingkat.”

“Serupa tidak setingkat....” Kui Tek Lam berkomat-kamit sendirian. “Kalau begitu, Yang Maha Kuasa itu seperti kita?”

“Salah. Terbalik. Kita seperti Yang Maha Kuasa, dalam ukuran yang jauh lebih kecil, makanya manusia ini diberi tugas untuk mengelola bumi dan seisinya mewakili Dia.”

“Kalau begitu, kenapa Saudara Liu tadi katakan begitu sulit, bahkan mustahil, manusia mendapatkan kembali tempatnya seperti ranting yang menempel di pokok batangnya?”

“Karena kodrat mulia yang begitu hebat itu pernah dicampakkan sendiri oleh manusia dalam kehendak bebasnya. Yaitu ketika manusia dengan sadar melangkahi larangannya, terpancing ambisinya untuk menjadi setingkat dengan Yang Maha Kuasa. Itulah saatnya kodrat mulianya, kodrat sukmawi, terlepas darinya dan ia jatuh dalam kodrat-kodrat ragawi yang penuh kelemahan dan kegagalan.

"Sang ranting telah melepaskan dirinya sendiri dari Sang Maha Kehidupan dan makin kering karena tidak beroleh zat kekekalan lagi dari-Nya. Untuk bisa kembali ke tempatnya, harus ada pemulihan kodrat, kembali dari kehinaan ke kemuliaan, kembali dari kodrat ragawi ke kodrat sukmawi. Dan inilah yang mustahil tanpa pertolongan dari atas.”

“Jadi segala perbuatan baik itu tidak berguna?”

“Tidak berguna kalau itu dijadikan alat untuk menggapai kembali tempat sejatinya yang asli, tetapi sangat berguna kalau manusia sudah menemukan tempatnya kembali, menempel pada Pohon Kehidupan itu, perbuatan baiknya menjadi saluran dari berkat-Nya bagi umat manusia.”

Wajah Kui Tek-lam jadi murung mendengarnya, kebanggaannya sebagai seorang yang dalam hidupnya sudah menetapkan tekat untuk “jadi orang sebaik- baiknya” dan “berguna bagi orang banyak” terpukul. Kebaikannya yang banyak itu ternyata menurut ajaran yang dianut Liu Yok, belum apa-apa, belum cukup banyak untuk disebut “manusia sejati” di hadapan Yang Maha Kuasa, padahal di hadapan manusia sudah cukup terpuji.

Liu Yok tersenyum, lalu berkata, “Saudara Kui merasa tak berpengharapan?”

“Ya, karena kebaikanku dianggap sia-sia. Aku emoh jadi penganut ajaran yang dianut Saudara Liu.”

“Sebetulnya bagus, kalau Saudara Kui sudah kehilangan harapan terhadap upaya-upaya diri sendiri.”

“Kehilangan harapan kok bagus? Apanya yang bagus?”

“Kitab suci yang kuyakini berkata, terkutuklah manusia yang mengandalkan manusia. Termasuk mengandalkan diri sendiri.”

“Coba tunjukkan jalan keluarnya, Saudara Liu.”

“Kan sudah kubilang tadi?”

“Yang mana?”

“Saudara Kui tidak usaha berupaya, tinggal menerima, maka benih ilahi akan masuk dalam jiwa Saudara dan mulai mengerjakan kodrat itu. Pemulihan kodrat bukan urusan kita, itu urusan Yang Maha Kuasa, dan kita tinggal meminta dan kemudian percaya sudah menerimanya.”

Kui Tek-lam tercengang. “Begitu mudah?”

“Ya, saking mudahnya sehingga banyak orang tidak percaya, karena sudah terlanjur berpikir bahwa jalan untuk menjumpai Yang Maha Kuasa itu harus sulit, mentaati seribu satu pantangan, menyiksa diri, dan sebagainya.”

Kui Tek-lam harus jujur kepada dirinya sendiri, bahwa dia pun merasa jalan yang dikatakan Liu Yok itu terlalu mudah, bagi orang seperti Kui Tek-lam terasa “tidak menantang”.

“Saudara Kui agaknya kurang mempercayai apa yang aku katakan?” suara Liu Yok bernada wajar saja, tanpa menunjukkan rasa kecewa atau marah atau menekan.

“Perlu waktu untuk merenungkannya.” Kui Tek-lam tidak menjawab tegas, hanya berkelit.

Liu Yok pun tidak berkata lagi, cuma berpikir dalam hatinya, “Kebanyakan orang memang merasa bangga kalau bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat dijalani oleh orang lain. Termasuk di bidang keagamaan. Sedangkan sesuatu yang mudah, apalagi cuma-cuma, yang bisa dilakukan oleh semua orang, terasa kurang memberi kebanggaan.”

Sementara di luar terdengar suara langkah- langkah kaki mendekat. Kui Tek-lam segera bersiaga, sedangkan Liu Yok tetap bersikap tenang-tenang saja. Kemudian Kui Tek-lam pun mengendorkan sikapnya setelah melihat yang datang adalah Oh Tong-peng dan Thiam Gai.

“Bagaimana, Kakak Oh?” sambut Kui Tek-lam. “Berhasil menemui tawanan itu dan mendapat keterangan daripadanya?”

Oh Tong-peng menjatuhkan diri duduk di lantai sambil geleng-geleng kepala, “Wah, kacau semuanya.”

“Kenapa kacau?”

Dengan singkat lalu Oh Tong-peng mencerita- kan apa yang terjadi di gedung penjara Lam-koan, tentang Pek-lian-hwe yang secara besar-besaran bukan cuma mengerahkan anggotanya, tetapi juga kekuatan gaibnya.

“Jadi kami belum sempat menanyai tawanan itu, tahu-tahu sudah terjadi kekacauan. Maka kalau kami berdua bisa lolos saja, itu sudah untung.” demikian Oh Tong-peng mengakhiri keterangannya.

Selama ketiga perwira sandi istana itu saling berbincang tentang kegagalan mereka, mereka sungkan memandang kearah Liu Yok. Dalam hati mereka ada perasaan malu sendiri, karena tadi sebelum berangkat mereka sudah diperingatkan oleh Liu Yok, namun mereka mengandalkan cara berpikir dan perhitungan mereka sendiri dan tidak menggubris Liu Yok.

Tetapi Liu Yok sendiri kelihatannya tidak bersikap menyalah-nyalahkan, ia lebih sibuk mengurus Cu Tong-liang yang ngompol lagi dan harus dibersihkan tubuhnya, dicuci pakaiannya dan diberi pakaian yang bersih.

“Sekarang, apa rencana kita selanjutnya?” tanya Thiam Gai kepada Oh Tong-peng.

Oh Tong-peng berpikir sebentar, kemudian berkata, “Kita harus benar-benar melindungi Kang Liong. Dialah satu-satunya orang Lam-koan yang bisa diharapkan, mencintai rakyat, dan dialah sekarang yang mungkin diincar orang Pek-lian-hwe sebagai sasaran balas dendam.”

Sambil berkata, Oh Tong-peng memberanikan diri melirik kepada Liu Yok, kali ini diam-diam mengharapkan Liu Yok memberi nasehat seperti tadi pagi, dan kalau demikian Oh Tong-peng bertekad akan mempertimbangkan nasehat itu, tidak berani mengabaikan lagi. Tapi untuk minta nasehat terang-terangan ia malu.

Ternyata Liu Yok diam saja dan tetap sibuk dengan Cu Tong-liang, sehingga Oh Tong-peng diam- diam membatin, “Kurang ajar, rupanya dia tahu kalau sedang kubutuhkan, lalu jual mahal.”

Namun sikap Liu Yok selanjutnya ternyata tidak sedikit pun menunjukkan sikap orang “jual mahal” atau merasa sedang dibutuhkan atau sombong. Bahkan Liu Yok menunjukkan sikap “banting harga”, harga dirinya, melayani dengan teliti semua orang- orang di situ, seperti mengambilkan minum dan sebagainya.

Sampai Oh Tong-peng bertiga merasa sungkan sendiri, apalagi kalau mengingat bahwa Liu Yok ini calon menantu gubernur di Ho-lam. Kui Tek-lam dan Thiam Gai kemudian ikut membantu-bantu Liu Yok, dan setelah selesai semuanya, mereka pun mengobrol ringan. Tetapi Kui Tek-lam sudah “kapok” bicara soal keyakinan yang diyakini Liu Yok, dan ternyata Liu Yok juga tidak membicarakan soal itu kalau tidak dipancing.

Kemudian Oh Tong-peng pergi lagi, kali ini sendirian, tidak mau ditemani, katanya ia ingin mengawasi keselamatan Kang Liong dari kejauhan.

Malam itu, waktu semua orang sudah tidur, Liu Yok justru belum tidur. Ia duduk di dekat tubuh Cu Tong-liang yang bagaikan boneka besar itu. Hati Liu Yok dipenuhi rasa belas kasihan yang meluap ke sinar matanya, menatap tubuh Cu Tong-liang. Namun rasa ibanya bukanlah rasa iba yang cengeng dalam keputus-asaan, melainkan bercampur harapan dari hati yang teguh dan percaya bahwa semuanya akan bisa diatasi.

Cu Tong-liang tidak berhadapan dengan Liu Yok, melainkan menyamping, dengan demikian Liu Yok tidak dapat melihat mata Cu Tong-liang. Seandainya Liu Yok bisa melihat mata Cu Tong- liang. Sebab mata Cu Tong-liang yang biasanya kosong hampa tanpa ekspresi, tiba-tiba sekarang berkilat-kilat. Berkilat-kilat marah, benci, dan putus harapan seperti orang yang menjelang saat kekalahan dan kehancurannya.

Sementara Liu Yok merasa pelupuk matanya mulai memberat dan dia mulai tertidur dengan punggung menyandar dinding dan kepala miring ke samping. Dengan cepat Liu Yok beralih ke alam yang lain dari alam benda yang dilihatnya sehari-hari. Ia melihat Cu Tong-liang sedang diseret oleh beberapa orang berwajah kejam, diseret masuk sebuah benteng yang tinggi.

Cu Tong-liang meronta-ronta, berteriak-teriak, namun orang-orang yang menyeretnya tidak menggubrisnya. Liu Yok tidak bisa menolong Cu Tong-liang sebab jaraknya terlalu jauh, namun Liu Yok berlari mengejarnya juga. Dan dilihatnya Cu Tong-liang sudah masuk ke dalam benteng kokoh-kuat itu bersama penangkap-penangkapnya, lalu pintu gerbang yang dilewati itu pun ditutup kembali sebelum Liu Yok sempat mendekatinya.

Pintu kayu yang tebal berlapis besi, bukan main kokohnya. Dan dari balik pintu itu suara Cu Tong-liang yang minta tolong masih terdengar, makin lama makin sayup-sayup dan akhirnya tak terdengar pula. Liu Yok menggedor-gedor pintu tebal itu, namun tak bergeming sedikit pun. Berteriak-teriak dan tidak ada jawaban sedikit pun. Ia marah dan menendang pintu itu. Ia berlari mengelilingi benteng itu dan berusaha menemukan pintu yang lain, tetapi tidak ada, pintunya ya hanya satu dan itulah pintu besi yang kokoh tadi.

Kemarahan Liu Yok bertambah-tambah, ia menendang-nendang dan berteriak-teriak. Makin ia marah, tembok benteng itu rasanya tumbuh kian tinggi. Dan kian tinggi temboknya, kian marah Liu Yok. Kian marah Liu Yok, kian tinggi temboknya, kian tinggi temboknya, kian marah Liu Yok. Sampai Kui Tek-lam membangunkannya dari tidurnya.

“Saudara Liu, kau bermimpi hebat rupanya! Kau berteriak-teriak dan menendang-nendang.” kata Kui Tek-lam. Sementara Thiam Gai juga ikut terbangun, sedangkan Oh Tong-peng belum kembali meskipun saat itu sudah larut malam.

Liu Yok bungkam, menenangkan debar jantungnya dengan menarik dan menghembuskan napas beberapa kali. Lalu ia berkata, “Tidak apa-apa. Terima kasih, Saudara Kui.”

Kui Tek-lam yang sudah mengalami sendiri bahwa mimpi Liu Yok sering “ada nilainya”, dan kebetulan malam itu Kui Tek-lam dan Thiam Gai sama- sama sedang gelisah menantikan Oh Tong-peng yang belum pulang-pulang, timbul niat Kui Tek-lam untuk menanyakan mimpi Liu Yok.

“Saudara Liu, kau bermimpi apa?”

“Apakah Saudara Kui ingin mengetahuinya?” “Apakah... Saudara Liu mendapat firasat tentang... Kakak Oh?”

“Tidak, melainkan tentang Saudara Cu.”

“Maukah Saudara Liu menceritakannya?”

Dengan singkat Liu Yok menceritakannya, dan Kui Tek-iam berdebar-debar mendengarnya. Sementara Thiam Gai masih acuh tak acuh saja, dalam hatinya menggerutu, “Mengapa dengan Kui Tek-lam ini? Kenapa ia tiba-tiba saja begitu berminat dengan urusan mimpi? Mengganggu orang tidur saja.”

Sementara Kui Tek-lam melirik ke tubuh Cu Tong-liang yang tergolek beku, dan berkata dengan cemas, “Apakah itu artinya... Saudara Cu takkan tertolong dari keadaannya sekarang?”

Bukannya menjawab, Liu Yok malah menyandar kan punggungnya kembali ke dinding dan berkata kepada Kui Tek-lam, “Silakan tidur kembali, Saudara Kui. Beri waktu aku untuk merenungkan kesalahanku.”

“Lho, aku tidak tanya soal kesalahan Saudara Liu. Aku tanya apakah Saudara Cu Tong-liang ada harapan tertolong atau tidak?”

“Tertolong atau tidaknya Saudara Cu, tergantung dari cara yang kugunakan benar atau salah. Dan baru saja aku menggunakan cara yang salah. Kemarahan.”

“Harusnya?”

“Belas kasihan.”

“Jadi?”

“Dengan kemarahan dan kebencian, aku jatuh ke wilayah kekuasaan musuhku. Dengan belas kasihan, aku mengurung dan melemahkan lawanku.”

Kui Tek-lam ini makin lama bergaul dengan Liu Yok, sedikit demi sedikit makin mengerti jalan pikiran Liu Yok yang aneh, meskipun tidak berarti Kui Tek-lam mau mengikutinya. Mendengar omongan Liu Yok yang terakhir ini, Kui Tek-lam tahu bahwa yang dimaksud “musuh” dan “wilayah musuh” serta kata kerja “mengurung” dan “melemahkan” itu semuanya ada di alam angan-angan, bukan alam kasar yang terindera dengan panca indera jasmaniah.

Dulu Kui Tek-lam menganggap alam angan-angan ini tidak banyak artinya, tetapi beberapa pengalaman yang dialaminya bersama Liu Yok, baik di dalam mimpi ketika ia mimpi ditolong Liu Yok dan teman Liu Yok waktu dikeroyok mahluk-mahluk berwajah seperti topeng, baik pengalamannya bersama Liu Yok di alam kasar, membuat Kui Tek-lam tidak lagi sepenuhnya percaya, tetapi juga sudah tidak berani lagi tidak percaya sama sekali. Setengah percaya setengah tidak.

Tanyanya, “Tadi Saudara Liu sudah marah, sudah menggunakan cara yang salah menurut Saudara Liu sendiri. Jadi Cu Tong-liang tidak tertolong?”

Sambil masih bersandar dinding, Liu Yok memejamkan matanya dan berkata, “Kesalahan Itu bisa diperbaiki. Karena itu berilah kesempatan, aku akan mengurung benteng itu dengan belas kasihan. Banjir belas-kasihan. Saudara Kui, silakan tidur. Aku juga mau tidur.”

Kui Tek-lam menarik napas, lalu dia pun membaringkan tubuhnya miring di lantai. Namun ia tidak benar-benar tidur, ia cuma pura-pura tidur, dan matanya masih bisa mengintip apa yang dilakukan Liu Yok. Dilihatnya mulut Liu Yok bergerak-gerak seperti membisikkan sesuatu, yang kuping tajam Kui Tek-lam tak mampu menangkapnya, dan dilihatnya dua jalur air bening mulai mengalir turun dari sepasang mata Liu Yok.

“Ia menangis dalam tidurnya.”' desis Kui Tek-lam dalam hati.

Tiba-tiba secara aneh, ruangan itu dipenuhi suasana belas kasihan sehingga Kui Tek-lam sendiri kaget ketika merasakan matanya jadi basah. Buru-buru ia mengusap matanya, hampir-hampir tak percaya melihat jari-jari tangannya yang digunakan untuk mengusap itu basah air mata, air mata yang jarang sekali diteteskannya.

Namun sejak di Lam-koan, sudah beberapa kali ia teteskan air mata. Waktu anak- anak Nyo In-hwe memeluk dan menangis di dadanya sambil melaporkan kematian ayah mereka. Waktu mendengar berita bahwa Pang Hul-beng jadi gila sungguhan, ia juga menangis. Namun untuk kedua peristiwa itu, ada alasannya. Sekarang? Menangis untuk Cu Tong-liang?

Beberapa hari sudah Kui Tek-lam menghadapi sahabatnya itu, sedihnya memang sedih, ibanya memang iba, tetapi tidak sampai menangis sebab jiwanya sudah lebih dulu tergembleng oleh peristiwa-peristiwa emosional sebelumnya. Atau ia menangis hanya karena melihat Liu Yok menangis. Buru-buru ia menghapus air matanya sambil dengan kuatir menoleh ke arah Thiam Gai.

Kuatir kalau Thiam Gai mengetahui ia menangis, ia kuatir dikira cengeng. Perwira istana pilihan kok cengeng. Dilihatnya Thiam Gai tidur dengan tubuh miring di lantai, pulas sekali, dan air matanya mengalir, menetes-netes ke lantai, ingusnya juga keluar sendiri. Hanya saja karena Thiam Gai sedang dalam keadaan tidak sadar, sedang tidur teramat pulas, maka ia tidak repot-repot menghapus air mata seperti Kui Tek-lam.

Kui Tek-lam jadi heran. Perasaan belas kasihan yang tiba-tiba saja dengan kuat menyelubungi tempat itu, benar-benar tidak dapat dijelaskan. Agak mirip dengan suasana kemarahan dan kebencian apabila orang-orang Pek-lian-hwe membaca manteranya. Tetapi ini adalah belas kasihan. Di alam lain, Liu Yok sedang berdiri di atas sebuah bukit sambil dengan air matanya yang bercucuran menatap benteng tempat disekapnya Cu Tong-liang.

Di kaki bukit tempatnya berdiri, tiba-tiba terlibat aliran air jernih yang bergerak lembut ke arah benteng itu. Aliran air itu tidak kelihatan berbahaya, rasanya anak-anak kecil pun dapat bermain-main di sungai itu tanpa dicemaskan orang tuanya. Tetapi ketika air yang jernih dan mengalir lembut itu mulai menyentuh kaki dinding benteng yang dahsyat itu, bumi terasa bergetar.

Dinding benteng yang amat kokoh dengan batu-batu besarnya yang terekat kuat itu pun bergetar. Pintunya bagaikan diguncang- guncang, reruntuk semen-semen perekatnya rontok segumpal kecil demi segumpal kecil ke bumi, dan beberapa batu mulai hendak lepas dari pasangannya.

Padahal aliran air sungai itu tidak bergelora, tidak menggelegak, tidak deras. Tetapi seluruh benteng itu terguncang seluruhnya. Di atas benteng terdengar seorang berteriak dengan suaranya yang seram, “Bangsat! Apa yang kaulakukan di situ?”

Yang diteriakinya adalah Liu Yok. Liu Yok tetap berdiri di bukit, tidak menjawab. Belas kasihannya terhadap Cu Tong-liang terus meluap dari hatinya. Dan aliran air di bawah bukit itu seakan dikomando oleh gerak hati atau naik turunnya rasa belas kasihan Liu Yok. Apabila rasa belas kasihannya menghebat, makin hebat pula guncangan benteng itu akibat sentuhan lembut air jernih itu.

Kalau rasa belas kasihannya menurun, menurun pula guncangannya. Tetapi belas kasihan Liu Yok terus mengalir tanpa habis. Takkan habis sebab sumbernya adalah Sumber Maha Sumber. Liu Yok hanya berfungsi sebagai penyalur, bukan sumber itu sendiri. Ia hanya ranting yang menempel di pokok batangnya dan menyerap serta menyalurkan segala sesuatu yang dimiliki pokok batang itu.

Orang yang berdiri di atas benteng yang sedang berguguran sedikit demi sedikit itu, semakin jelas di mata Liu Yok, seorang perempuan rupanya. Dandanannya seperti seorang puteri bangsawan dari negeri-negeri gurun pasir di sebelah barat, pakaiannya yang indah berwarna serba merah tua. Pada pakaiannya tersulam lambang-lambang rasi bintang yang sering terlihat di tempat praktek ahli-ahli nujum.

Wajah perempuan itu cantik, tetapi rias mukanya tebal dan didominasi warna ungu dan merah tua, sehingga bukan menambah kecantikannya, tetapi membuatnya seram. Dengan suaranya yang serak, perempuan itu berteriak ke arah Liu Yok sambil terhuyung-huyung di atas bentengnya yang bergoncang makin keras, “He, manusia hina! Apa maumu?”

Sementara itu, di alam kasar, Kui Tek-lam masih sibuk berurusan dengan air mata dan ingusnya yang tak berhenti mengalir karena kuatnya rasa belas kasihan yang menyusupi jantungnya. Namun Kui Tek-lam terkejut waktu tiba-tiba mendengar dari mulut Cu Tong-liang keluar suara serak seorang perempuan, “Manusia hina! Apa maumu?”

Kui Tek-lam tertegun. Mulut Cu Tong-liang yang berhari-hari kelu sejak kena tenungan orang-orang Pek-lian-hwe, bahkan untuk menyuapkan makanan saja harus ditekan rahangnya, sekarang tiba-tiba bisa berbicara. Dan yang keluar bukan suara Cu Tong-liang sendiri melainkan suara seorang perempuan!

Kui Tek-lam bergidik seram. Dalam ketidak-tahuannya akan apa yang sedang terjadi di tempat itu, dia sudah mengulur tangannya untuk membangunkan Liu Yok seperti tadi. Namun kali ini tangannya ditahan oleh tangan Thiam Gai. Agaknya Thiam Gai juga terbangun oleh suara perempuan tadi. Sebagai seorang prajurit pilihan, kuping Thiam Gai sangat terlatih. Biarpun sedang tidak nyenyak, suara mencurigakan yang selirih apa pun pasti akan membangunkannya.

“Jangan bangunkan!” desis Thiam Gai kepada Kui Tek-lam. “Kenapa?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi firasatku yang terdalam memberitahu aku, bahwa sesuatu sedang terjadi dalam proses penyembuhan Saudara Cu.”

“Saudara Thiam, kenapa kau menangis dalam tidurmu, sampai air mata dan ingusmu berleleran?”

Thiam Gai jadi tersipu-sipu sendiri, secara buru- buru ia menghapus mata dan hidungnya dengan lengan-lengan bajunya secara sembarangan saja. Alangkah malunya, perwira istana ketahuan menangis. Tetapi Thiam Gai heran ketika melihat di wajah Kui Tek-lam juga ada bekas-bekas air mata dan ingus.

“Saudara Kui, kau juga.”

“Kuakui, ya. Tetapi aku tidak tahu kenapa.”

Keduanya kehabisan kata-kata, sama-sama tidak bisa menerangkan apa yang sedang terjadi. Akhirnya mereka cuma duduk sambil jadi penonton yang baik. Kemudian dari mulut Cu Tong-liang kembali terdengar suara perempuan itu, “Hentikan! Hentikan! Dengar tidak? Hentikan!”

Dan keluarlah serangkaian kata kutukan yang membuat Kui Tek-lam dan Thiam Gai mengkirik. Suasana penuh belas kasihan yang syahdu dan indah tadi, yang mampu membuat laki-laki garang macam Kui Tek-lam dan Thiam Gai mencucurkan air mata, sekarang rasanya disusupi suasana lain yang jahat, menakutkan dan sangat merusak keindahan. Suasana penuh belas kasihan jadi agak buyar karena bercampur-aduk suasana baru yang tidak mengenakkan itu.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai merasa tidak senang, namun mereka benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa untuk memulihkan suasana yang tadi. Ini urusannya bukan sekedar main jotos atau adu siasat otak yang menjadi keahlian kedua agen kerajaan itu. Ini urusannya sudah ada di “dunia seberang akal” yang tak terjangkau oleh Kui Tek-lam dan Thiam Gai.

Suasana jahat terasa makin kuat bersamaan dengan ribuan kutuk yang keluar dari mulut Cu Tong- liang. Kui Tek-lam dan Thiam Gai merasa hati mereka seperti ditekan dan diremas oleh tangan-tangan bercakar tajam yang memedihkan, namun mereka tak berdaya apa-apa. Sampai dari mulut Liu Yok yang tengah tidur pulas itu, terdengar suara seperti orang mengigau.

Liu Yok bernyanyi lembut dengan bahasa yang tidak jelas. Suasana indah penuh belas kasihan tadi berangsur-angsur pulih, bahkan makin kuat dan makin mendesak dan menghalau suasana yang menekan perasaan tadi. Kui Tek-lam dan Thiam Gai bisa merasakan bagaimana beban mereka dalam perasaan itu dibayarkan, dan mereka mulai bernapas lega.

Sementara, kutukan suara perempuan yang keluar dari dalam mulut Cu Tong-liang itu sekarang berubah menjadi semacam suara mengerang, suara orang yang sangat menderita, diakhiri dengan suara pekikan kekalahan.

Di alam lain, Liu Yok melihat perempuan berpakaian merah tua itu tak dapat lagi berdiri di atas bentengnya, benteng yang terus bergoncang makin keras. Perempuan itu terjungkal jatuh ke sebelah dalam benteng, sambil memekik putus asa. Pada benteng itu muncul retakan-retakan yang makin memanjang dan bercabang-cabang, dan benteng itu benar-benar ambruk.

Liu Yok melihat di belakang benteng itu ternyata ada sebuah lembah yang entah berapa luasnya, dan jauh di sana kelihatan sebuah bukit dengan benteng lain di atasnya. Ketika tembok benteng yang pertama runtuh, Liu Yok melihat segerombolan mahluk-mahluk ganjil membawa bermacam-macam senjata lari bubar menghindari tembok yang runtuh itu. Mahluk-mahluk itu berlarian menuju bukit di kejauhan.

Di sekitar Liu Yok sendiri, tahu-tahu nampak banyak sekali prajurit-prajurit bersenjata lengkap. Masing-masing prajurit itu wajahnya bercahaya indah. Salah satu saja dari setiap prajurit itu, yang mana saja, kalau berada di alam kasar, pasti akan menjadi orang-orang paling tampan di dunia. Ini ribuan orang bertampang sama eloknya, sama gagahnya.

Kecuali itu, tubuh para prajurit itu seperti memancarkan cahaya yang bisa menembus pakaian perang mereka. Gerak-gerik mereka juga ringan tanpa bobot. Sepertinya mereka tidak “terbuat” dari “bahan” darah daging tulang seperti manusia, melainkan dari api dan udara.

Herannya, mahluk-mahluk cemerlang itu bersikap hormat kepada Liu Yok yang manusia biasa. Salah seorang dari prajurit-prajurit itu, agaknya adalah komandan mereka, melangkah sigap mendaki lereng bukit untuk mendekati Liu Yok. Lalu memberi hormat dalam sikap gagah kepada Liu Yok, dan berkata, “Kami menunggu penugasan Tuan.”

Menuruti bisikan hatinya yang terdalam, Liu Yok berkata, “Kuasai seluruh lembah itu.”

“Bagaimana dengan bukit di kejauhan dengan benteng di atasnya itu?”

“Biarkan dulu.”

Maka dengan satu gerakan pedang sebagai tanda komando, prajurit-prajurit itu menyerbu ke depan. Gerak mereka ringan dan tangkas, cepatnya melebihi orang-orang berkuda. Mereka seolah-olah tidak berlari, tetapi lebih tepat kalau disebut berhembus. Ya, berhembus. Mereka melewati reruntuhan tembok dinding yang pertama dan segera menyerbu ke dalam lembah.

Mahluk-mahluk ganjil pengikut ratu berjubah merah darah tadi, mencoba memberi perlawanan. Tetapi perlawanan mereka tidak berarti. Sebagian dari mah luk-mahluk ganjil itu berhasil masuk ke benteng di atas bukit dan buru-buru menutup pintu gerbangnya, sebagian lagi berhasil ditangkap dan diikat oleh prajurit-prajurit Liu Yok. Dan mereka diseret untuk dikeluarkan dari dalam lembah, keluar dari batas tembok yang runtuh itu. Sebagian lagi dari mahluk-mahluk ganjil itu terbirit-birit sendiri keluar dari lembah.

Kembali ke alam kasar, Kui Tek-lam dan Thiam Gai tercengang ketika melihat mulut Cu Tong-liang menggelogokkan cairan kental berwarna kuning kehijauan yang baunya busuk menyengat. Entah cairan apa itu, meskipun warnanya agak mirip ingus orang sedang pilek, tetapi baunya jelas lain. Yang ini jauh lebih dahsyat.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai menutupi hidung mereka setelah meludah-ludah, kemudian mereka saling berpandangan. Tanya Kui Tek-lam dengan suara sengau karena hidungnya ditutupi, “Perlu kita mambangunkan Saudara Liu atau tidak?”

“Aku tidak tahu, yang terjadi benar-benar di luar batas pemikiran kita.” sahut Thiam Gai dengan suara sengau pula. “Pendapatmu, Saudara Kui?”

“Biarkan saja.” sahut Kui Tek-lam setelah berpikir sebentar. “Barangkali beginilah proses penyembuhannya.”

Sementara itu Liu Yok telah meluncur turun dari bukit, ikut bersama para prajurit itu mengejar mahluk- mahluk ganjil di lembah. Liu Yok tidak merasa heran sedikit pun bahwa gerak tubuhnya sendiri pun begitu ringan tak berbobot, mengabaikan hukum-hukum alam kasar, bahkan Liu Yok pun tidak berlari melainkan berhembus.

Mahluk-mahluk ganjil yang semula menguasai lembah, semakin bubar berantakan. Yang lari ke atas bukit dan bersembunyi di kota benteng di atas bukit, akan selamat dari kejaran Liu Yok dan kawan-kawannya. Tetapi yang tidak sempat lari ke situ, akan terus diuber-uber sampai keluar dari lembah itu.

Pemimpin dari mahluk-mahluk ganjil itu adalah sesosok mahluk yang bisa dibilang setengah menusia setengah kelabang, la berdiri dengan dua kaki seperti manusia, punya dua tangan seperti manusia, bahkan tangan-tangan itu memegang tombak bercabang dua (canggah) yang bentuknya seperti ekor kelabang.

Tetapi kepalanya bukan kepala manusia, melainkan kepala kelabang, begitu juga punggungnya yang bersusun-susun mengkilap berwarna coklat tua adalah punggung kelabang, dan di pantatnya ada ekor kelabang.

Akal pikiran Liu Yok tidak bisa menentukan apakah dia ini siluman kelabang, atau manusia biasa yang sengaja berdandan seperti itu. Satu yang nampak, orang ini kelihatannya kuat sekali. Ia bertempur sengit dengan beberapa kawannya Liu Yok, dan sedikit pun tidak nampak terdesak.

Ada dorongan dari daiam jiwa Liu Yok agar ia maju menghadapi orang ini. Liu Yok hanya membuka mulutnya, dari mulutnya keluar pedang cahaya menghantam Si Manusia Kelabang ini. Si Manusia Kelabang jatuh terkapar, kemudian bangkit lagi untuk lari terbirit-birit, ia hendak lari ke arah benteng di atas bukit rupanya, namun di kaki bukit itu sudah dikuasai oleh prajurit-prajurit teman-teman Liu Yok.

Sambil menjerit putus asa, Si Manusia Kelabang berbalik dan terpaksa kabur ke arah luar lembah itu. Liu Yok terus “berhembus” memburunya, dan Si Manusia Kelabang begitu ketakutan sehingga larinya amat kencang. Tak lama kemudian, dengan teriakan yang menyayat, ia meninggalkan lembah itu sama sekali.

Teriakan menyayatnya itu menandakan bahwa ia sangat keberatan meninggalkan lembah itu, namun Liu Yok begitu menakutkannya dan ia tidak bisa melawannya. Pedang cahaya yang keluar dari mulut Liu Yok terlalu ampuh untuk dilawan.

Bersamaan dengan itu, di alam kasar, Kui Tek-lam dan Thiam Gai hampir-hampir menjerit seperti perempuan, ketika melihat di antara cairan kental hijau kekuning-kuningan yang keluar dari mulut Cu Tong-liang itu tiba-tiba keluar juga seekor kelabang sebesar jempol tangan dan panjangnya hampir sejengkal. Kelabang itu jatuh ke lantai di antara cairan- cairan menjijikkan itu, menggeliat-geliat sebentar meregang nyawa sebelum akhirnya mati.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai memang berhasil menahan diri untuk tidak menjerit seperti perempuan, tetapi perut mereka yang mual tidak dapat ditahan lagi. Dan keluarlah kentang rebus yang mereka makan sore ini.

Sementara Liu Yok sudah terbangun dari tidur nyenyaknya dan igauannya yang mirip nyanyian tadi berhenti. Ia membuka matanya dan menanyai, “Saudara Kui, Saudara Thiam, apa yang terjadi?”

Sambil tetap menutupi hidungnya, Kui Tek-lam menunjuk cairan hijau kekuning-kuningan yang bertebaran di lantai, dan bangkai kelabang yang berkubang di tengah-tengahnya.

Liu Yok ikut menutup hidungnya, kemudian bangkit dan berkata, “Biar aku bersihkan.”

Kui Tek-lam dan Thiam Gai pun bangkit serempak, sama-sama digerakkan oleh rasa sungkan, sungkan membiarkan Liu Yok bekerja sendiri. Bagaimanapun juga, Liu Yok adalah calon menantu seorang gubernur, meskipun Liu Yok sendiri sukarela melakukan tugasnya.

Begitulah mereka bertiga di larut malam itu mereka menimba air di sumur, untuk membersihkan kotoran di lantai. Diuruk tanah dulu, lalu disapu dengan daun-daunan. Baunya bukan kepalang sehingga mereka sering meludah-ludah, tetapi akhirnya tempat itu bersih juga.

Menyusul kemudian mereka bertiga juga harus membersihkan tubuh Cu Tong-liang dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih dan kering. Itu dikerjakan bertiga.

“Saudara Liu, tadi Saudara Cu mencaci-maki dengan suara perempuan,” kata Kui Tek-lam.

“O, ya?” Liu Yok heran.

“Saudara Liu tidak tahu apa yang terjadi?” tanya Thiam Gai. “Yang bisa kuketahui adalah yang di alam mimpiku. Selama aku tidur nyenyak tadi, tentu saja yang terjadi di alami kasar tidak aku ketahui.”

“Apa yang sebenarnya terjadi tadi?” Sahut Liu Yok, “Secara ringkas, belas kasihan adalah kekuatan yang paling dahsyat, di atas kekuatan kemarahan, kebencian dan maut sekalipun. Alam kematian pun guncang kalau ada orang yang menjadi saluran belas kasihan Sang Pencipta mendekatinya. Tetapi itu di alam gaib. Sedangkan di alam kasar, belas kasihan justru, dianggap kelemahan. Orang yang dianggap kuat adalah yang mengumbar kemarahan dan kebenciannya tanpa ditahan-tahan lagi.”

“Apakah sekarang Saudara Cu sudah sembuh?” “Baru tubuhnya. Jiwanya belum.”

“Kenapa belum?”

“Perang belum selesai.”

Kui Tek-lam tahu kalau pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal aneh, maka Kui Tek-lam buru- buru menghentikan percakapan dan pura-pura sibuk membersihkan. Ia belum percaya benar kalau Cu Tong-liang sembuh. Sebab Cu Tong-liang masih saja tergolek dengan matanya yang melotot tak berkedip-kedip, hampa dari semangat kehidupan. Apanya yang sembuh?

Sementara Thiam Gai mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan hidung, sambil berkata, “Kotorannya sudah hilang, kenapa baunya belum hilang-hilang juga? Bagaimana kalau Kakak Oh kembali dan baunya masih seperti ini?”

“Kita taruh bunga-bunga di dalam ruangan.”

Begitulah mereka bertiga mencari macam-macam bunga untuk ditaruh di ruangan, dengan harapan bau bunga akan mengusir bau busuk itu. Ternyata sedikit demi sedikit bau busuk itu terusir juga. Liu Yok bertiga kemudian tertidur kembali. Sebab waktu masih. Fajar masih beberapa lama lagi. Dan sampai fajar tidak terjadi apa-apa lagi. Kecuali Kui Tek-lam dan Thiam Gai yang gelisah, karena Oh Tong-peng belum kembali juga.

“Saudara Liu, apakah dengan firasat Saudara yang tajam itu, Saudara tidak mengetahui keadaan Kakak Oh sekarang ini?” akhirnya Kui Tek-lam bertanya.

“Pemberitahuan itu tidak datang dan pergi sesukaku, tetapi tergantung Yang Maha Tahu kalau Dia memberitahu kita. Aku patuh saja. Dan sekarang ini aku belum diberitahu, jadinya ya belum bisa memberitahu.”

Kui Tek-lam garuk-garuk kepala, toh nekat bertanya lagi, “Tetapi kenapa ada orang lain yang bisa menggunakan kemampuan lebihnya sesukanya, kapan saja dia mau?”

“Entahlah dengan orang lain, aku tidak akan menghakimi mereka. Tetapi aku lebih suka jadi ranting yang menempel terus di pokok batangnya, dan salah satu syaratnya adalah: kepatuhan.”

“Jadi Saudara Liu saat ini tidak tahu apa-apa tentang Kakak Oh?”

“Belum diberitahu.”

“Kami kuatir ada apa-apa dongan dia.” “Kita doakan saja dia selamat.”

Thiam Gai tidak sabar lagi mengikuti percakapan Itu, lalu berkata, “Saudara Kui, habis makan pagi, kita selidiki ke kota untuk mencari tahu tentang Kakak Oh.”

“Ya.”

Mereka bertiga pun menyiapkan sarapan pagi darurat seperti biasanya, tidak lupa menyiapkan makanan lembut yang mudah ditelan, untuk Cu Tong- liang. Mereka bertiga betul-betul belajar seperti bayi.

“Ada baiknya, kalian berlatih kalau kelak punya bayi. Kalian masih bujangan kan?” kelakar Liu Yok.

Thiam Gai menyeringai, “Kalau besok aku punya anak bayi, ya isteriku yang merawatnya, bukan aku.”

Kemudian mereka makan, lalu Liu Yok menyuapi Cu Tong-liang. Biasanya kalau Cu Tong-liang disuapi, kepalanya harus ditengadahkan dan mulutnya dibuka supaya gampang untuk menuangkan cairan makanan lembut ke tenggorokannya, Cu Tong-liang pasif mutlak. Tetapi pagi ini, begitu makanan didekatkan mulutnya, otomatis mulut Cu Tong-liang membuka, dan otot-otot tenggorokannya mulai menelan makanan itu meski tidak mengunyahnya.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai tercengang melihat itu. Meski hanya gerakan kecil mulut Cu Tong-liang, itu sudah bisa dianggap sebagai kemajuan besar.

“Inikah hasil dari peristiwa ganjil semalam?” tanya Kui Tek-lam dalam hatinya. “Tetapi tatapan mata Saudara Cu masih kosong, tanda bahwa pikirannya masih dikuasai kekuatan-kekuatan asing seperti yang dikatakan Saudara Liu.” Selesai sarapan pagi, Kui Tek-lam dan Thiam Gai pun berangkat untuk mencari Oh Tong-peng di Lam-koan.

Pada saat yang sama, di sebuah ruangan batu bawah tanah yang pengab, Oh Tong-peng dalam keadaan letih, lapar dan babak belur dengan kedua tangan dan kedua kaki dirantai ke tembok.

Tubuhnya menggelayut lemah, pergelangan tangannya terasa sakit karena menahan berat tubuhnya, tetapi ia sudah tidak kuat berdiri dengan kakinya. Yang membuatnya masih berdiri adalah karena rantai yang tertahan di tembok.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.