Menaklukkan Kota Sihir Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 13 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 13

TERDENGAR suara gemuruh pintu besi yang didorong ke samping, lalu mata Oh Tong-peng yang berkunang-kunang itu melihat seorang prajurit masuk, membawa nampan kayu kasar dengan tiga mangkuk di atasnya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Tetapi sisa akal sehat Oh Tong-peng masih memperingatkannya bahwa prajurit ini adalah prajurit gadungan. Ia sebenarnya adalah anggota Pek-lian-hwe. Begitu juga semua prajurit di tempat itu yang sebenarnya adalah kaki tangan Kang Liong.

Perut Oh Tong-peng sebenarnya memberontak mencium bau asap makanan yang dibawa oleh prajurit itu. Tetapi Oh Tong-peng takut memakannya. Ia khawatir makanan Itu dicampuri racun pelemah syaraf, sejenis dengan yang membuat Lo Lam-hong jadi “boneka hidup” Pek-lian-hwe. Maka biarpun perutnya kelaparan setengah mati, ia tetap menolak makanan itu. Ia bertekad lebih baik mati kelaparan daripada berubah jadi “boneka hidup” macam Lo Lam- hong.

“Kau benar-benar tidak mau makan ini?” bentak si prajurit.

Oh Tong-peng menggeleng lemah.

“Kau benar-benar bandel. Sebentar lagi Tuan Kang akan datang dan menanyaimu. Kalau jawabanmu menyenangkan hatinya, kau akan mendapat pengampunan dan mungkin dibebaskan dari penderitaan ini.”

Oh Tong-peng tetap membungkam. Namun tidak habis-habis rasa sesal dalam hatinya, bahwa ia telah melakukan tindakan begitu tolol, yaitu mempercayai Kang Liong sepenuhnya. Ia datang tanpa curiga, lalu dibius, dan jadilah ia tawanan yang dihajar semalam suntuk, disuruh mengaku di mana kawan-kawannya bersembunyi.

Melalui perkataan Kang Liong juga dapat disimpulkan bahwa Si Komandan keamanan kota Bong Peng-un sudah mati dalam keributan di penjara. Sekarang, kekuasaan atas seluruh kota Lam-koan dipegang sepenuhnya oieh Kang Liong. Berarti juga oleh Pek-lian-hwe.

Karena Oh Tong-peng tetap menolak makanan itu, Si Prajurit meletakkannya di lantai di depan Oh Tong-peng. Sengaja agar bau masakan itu menggoda selera Oh Tong-peng. Oh Tong-peng memang harus berjuang mati-matian melawan selera makannya sendiri, disamping rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Tetapi sekarang ia malahan bisa bersyukur buat rantai-rantai yang menahannya di dinding, sebab tanpa rantai-rantai itu, barangkali ia sudah menerkam makanan itu dan jadilah ia seperti Lo Lam-hong.

Dalam keadaan demikian, sempat juga Oh Tong-peng menggerutui Liu Yok dalam hati, “Kurang ajar bocah she Liu itu. Kalau dia memberitahu aku waktu hendak ke penjara, kenapa kali ini tidak memperingatkan aku? Mungkin dia jengkel karena peringatannya yang dulu tidak kugubris, kupandang remeh, kuanggap hanya hasil mimpi?”

Angan-angannya terganggu oleh suara pintu besi yang terbuka sekali lagi, dan suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Maka muncullah Kang Liong, tepat seperti yang diduganya. Bedanya, kalau semalam Kang Liong bersikap pongah sebagai “pemeriksa tunggal” yang bahkan dengan tangannya sendiri menyiksa Oh Tong-peng.

Maka kali ini Kang Liong mengiringi seorang bertubuh tinggi gemuk dan berewokan, memakai jubah orang sipil berwarna merah darah. Sikap Kang Liong terhadap orang ini ternyata sangat menghormat, bahkan begitu ketakutan, ini mengherankan Oh Tong-peng.

Begitu orang itu melangkah masuk ke dalam ruang. tempat Oh Tong-peng disekap, segera sesuatu dalam jiwa Oh Tong-peng bisa merasakan adanya semacam suasana yang jahat, amat jahat, bahkan seolah seluruh kejahatan di dunia bisa ada di ruangan itu bersamanya. Begitu juga dengan sorot matanya yang amat jahat, membuat Oh Tong-peng yang amat tabah pun tidak mampu menatap matanya secara langsung.

“Inikah orangnya?” tanya Hong Pai-ok, si tinggi gemuk brewokan itu, kepada Kang Liong, sambil mengamat-amati Oh Tong-peng.

“Betul, Kakak Oh.” sahut Kang Liong hormat.

“Kemarin dia... yang hampir diterkam oleh naga siluman itu, namun naga silumanku itu batal menerkamnya, dan kawannya?”

“Betul, Kakak Hong.”

Oh Tong-peng tiba-tiba mengangkat wajahnya yang babak belur, menyeringai mengejek dan berkata, “Naga… silumanmu batal menerkam karena takut kepadaku.”

Hong Pai-ok mengayunkan tangannya menampar mulut Oh Tong-peng, sehingga bibir yang sudah pecah-pecah itu sekarang memancarkan darah lagi. Geram Hong Pai-ok, “Anjing Manchu, sebutkan di mana teman-temanmu berada. Atau kau akan kami siksa lebih hebat lagi?”

Meskipun tidak berani menatap mata Hong Pai-ok karena kuatir kena pengaruh sihir, namun nyali Oh Tong-peng tetap besar. Jawabnya, “Tebak saja sendiri. Bukankah ilmu gaibmu hebat, dan bisa menujum letak benda-benda atau orang-orang yang hilang?”

Dengan gusar Hong Pai-ok menampar kembali. Sudah tentu ia sungkan mengakui bahwa ilmu nujumnya yang biasanya lancar, tiba-tiba sekarang mendapat hambatan-hambatan yang tak diketahui sebab-sebabnya. Biasanya, amat mudah bagi Hong Pai-ok untuk menemukan orang atau barang yang tersembunyi.

Tetapi sekarang begitu ia mulai bersemedi memasuki alam gaib, pandangan mata sukmanya seolah dibutakan oleh cahaya amat menyilaukan di atas Lam-koan. Cahaya yang seribu kali lebih dahsyat dari cahaya dewa pujaannya orang-orang Pek-lian-hwe meskipun dewa pujaan itu disebut Dewa Cahaya atau Penguasa Api Suci.

Kegagalan yang paling mengejutkan Hong Pai-ok ialah ketika terjadi keributan di gedung penjara, waktu ia gunakan sihir naga silumannya untuk menghancurkan Oh Tong-peng berdua, tetapi naga siluman yang dilepaskannya malah berbalik dan kabur ketakutan. Kemudian ditambah laporan Kang Liong, waktu Kang Liong tiba-tiba lari terbirit-birit meninggalkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai sesudah peristiwa di penjara itu.

Kang Liong kabur, karena saat itu ia melihat ada seorang berpakaian panglima, wajahnya bercahaya, memegang pedang yang menyala, yang berdiri di dekat Oh Tong-peng dan Thiam Gai, itulah yang membuat Kang Liong ketakutan. Demikian diakuinya di depan Hong Pai-ok. Orang-orang Pek-lian-hwe sendiri akrab dengan penghuni-penghuni alam gaib yang mereka sebut “tentara langit” dan “perwira langit” dan bahkan ada “jenderal langit” segala.

Dan pernah juga mahluk-mahluk alam gaib itu menampakkan diri kepada tokoh-tokoh Pek-lian-hwe, penampilannya juga seperti manusia dengan dandanan menurut kedudukannya di “kerajaan angkasa”, jadi ada yang berdandan pangeran, puteri, panglima yang tampan dan elok, tetapi ada juga “prajurit-prajurit rendahan” yang berwujud siluman-siluman setengah manusia setengah binatang, atau binatang-binatang yang ganjil.

Dengan demikian, perkara dinampaki oleh mahluk gaib bukan perkara asing buat Kang Liong. Namun “panglima berwajah menyala” yang muncul mendampingi Oh Tong-peng dan Thiam Gai itu membuat Kang Liong kabur ketakutan, sebab “radar” dalam dirinya langsung memperingatkan bahwa yang dilihatnya itu bukan kawan melainkan musuh.

Sedangkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai sendiri malah tidak melihat apa-apa, dan tidak tahu kenapa Kang Liong (yang waktu itu masih dianggap teman) terbirit-birit. Sementara di kalangan tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan sendiri muncul suatu keyakinan, bahwa pihak “anjing-anjing Manchu” agaknya juga mempunyai “penyihir sakti” yang berhasil menggagalkan ilmu-ilmu gaib Pek-lian-hwe.

Si “Penyihir Sakti” yang entah bersembunyi di mana di kota Lam-koan itu, bahkan ilmu gaib Hong Pai-ok tidak sanggup menemukannya. Dalam usaha menemukan Si “Penyihir Sakti” itulah orang-orang Pek-lian-hwe terpaksa menggunakan “cara-cara normal” dengan menjebak Oh Tong-peng, sebab cara-cara gaib sudah tidak mempan.

Celakanya, setelah dihajar semalaman, agaknya Oh Tong-peng sendiri kelihatannya tidak tahu menahu soal “penyihir sakti” (menurut anggapan Pek-lian-hwe) di pihaknya. Timbul niat Hong Pai-ok untuk menakut-nakuti Oh Tong-peng dengan Ilmu gaibnya, agar Oh Tong-peng cepat mengaku. Hong Pai-ok lalu tertawa terkekeh-kekeh.

“Anjing-anjing Manchu, kau pikir kalau kau menolak makanan, kau bisa selamat dari kemauan kami? Kau pikir lalu kau tidak akan memberitahukan tempat persembunyian teman-temanmu? He-he, tidak tahukah, dengan satu usapan telapak tanganku di wajahmu, kau akan berubah menjadi boneka hidup yang sepenuhnya dibawah kendali kami? Saat itu jangan lagi hanya disuruh memberitahukan tempat teman-temanmu, bahkan disuruh membunuh teman- temanmu pun kau akan jalankan dengan sukacita.”

Itulah yang paling ditakuti Oh Tong-peng, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. Hong Pai-ok menangkap gejolak hati Oh Tong-peng melalui wajahnya. Katanya pula, “Ada baiknya aku mendemonstrasikan sedikit kehebatan ilmuku, agar aku mau mempertimbangkan omonganku yang tadi.”

Lalu Hong Pai-ok menyapukan pandangan ke arah orang-orangnya, mencari orang yang akan dijadikan contoh sasaran. Orang-orang itu semuanya adalah anggota-anggota Pek-lian-kau yang menyusup masuk menjadi tentara kerajaan. Biarpun mereka adalah anggota Pek-lian-hwe, namun mereka belum benar-benar berkorban tidak mau. Kini melihat Hong Pai-ok menatap mereka, mereka serempak berdesakan mundur dengan ketakutan, tidak berani menatap pandangan Hong Pai-ok.

Hong Pai-ok tertawa. “Kenapa ketakutan? Kenapa tidak sayang kehilangan kesempatan untuk berkorban demi kemuliaan Ibu Abadi Tak Berasal-usul? Yang berani berkorban, dalam waktu kurang dari ratusan hari akan lahir kembali menjadi orang yang derajatnya lebih tinggi.”

Namun orang-orang itu tetap saja enggan, hingga Oh Tong-peng yang dirantai di tembok itu tertawa mengejek, “Wah, rupanya orang-orangmu sendiri tidak meyakini khotbahmu. Bagaimana mau menyuruh orang percaya untuk yakin?”

Hong Pai-ok malu bercampur gusar. Telunjuknya sudah siap menuding salah seorang, namun mendadak seorang anak buah Kang Liong berlari masuk dan melapor, “Kakak Kang, dua anjing Manchu datang kemari, katanya ingin bertemu dan berbicara dengan Kakak sendiri.”

Tempat itu memang tempat kediaman Kang Liong, lumrah kalau ada orang yang mencari ke situ. “Bagaimana potongan mereka?”

“Yang seorang pernah datang bersama anjing Manchu yang ini.” sahut Si Pelapor sambil menunjuk Oh Tong-peng. "Yang satunya lagi berusia sebaya namun lebih sedikit. Alisnya tebal dan matanya tajam.”

Dari penjelasan itu, Oh Tong-peng tahu kalau yang datang adalah Kui Tek-lam dan Thiam Gai. Oh Tong-peng diam-diam mengeluh dalam hati, mengkhawatirkan kedua anak buahnya, karena mereka belum tahu siapa Kang Liong sebenarnya, mereka akan lebih mudah dijebak. Ingin rasanya Oh Tong-peng berteriak menyuruh kedua anak buahnya itu pergi, namun ia tahu hal itu percuma. Ia ada di ruangan bawah tanah dan suaranya takkan terdengar sampai ke atas.

Sementara Kang Liong tertawa gembira mendengar laporan itu, katanya kepada Hong Pai-ok, “Ini namanya ular mencari gebuk, Kakak Hong. Bagaimana kita tangani mereka?”

Jawab Hong Pai-ok, “Sekarang seluruh kendali pemerintahan Lam-koan di tangan kita, kita bisa berbuat apa saja tanpa takut karena rakyat Lam-koan menyangka kita sedang membela mereka. Jadi, tangkap saja kedua orang itu dengan ke.kerasan. Aku akan membantu memperlemah perlawanan mereka dari tempat persembunyian dengan sihirku.”

“Baik.”

Oh Tong-peng lalu ditinggalkan sendirian, hanya dijaga dua orang. Sementara di ruang tamu dari rumah Kang Liong, Kui Tek-lam dan Thiam Gaj tanpa curiga duduk menikmati teh sambil menunggu munculnya Kang Liong. Mengapa harus curiga kepada Kang Liong yang “pengabdian”nya kepada rakyat Lam-koan begitu besar?

Cangkir teh itu hampir habis, waktu mereka tiba-tiba merasakan kepala mereka agak pusing. Mula-mula Kui Tek-lam yang mengatakannya, sambil memijit pelipisnya, karena menyangka hanya dirinya yang mengalami. Waktu melihal Thiam Gai juga menyeringai sambil memegangi kepala, barulah kedua agen kerajaan itu sama-sama paham bahwa mereka sedang terancam.

“Kita diracuni....” desis Thiam Gai sambil bangkit terhuyung dari kursinya. Mungkin tempat ini sudah dikuasai orang-orang Pek-lian-hwe, dan Kang Liong sudah menemui bencana di tangan mereka.”

Waktu itu mereka masih berdua saja ruang tamu, belum ada yang keluar nemuinya. Kui Tek-lam bangkit pula dan berkata. “Sebelum kita tak mampu berjalan lagi, kita harus pergi.”

Mereka berjalan menuju pintu keluar. Namun dari arah pintu dalam muncullah Kang Liong dan orang-orangnya ang bersenjata, sambil tertawa Kang iong berkata, “Jangan buru-buru pergi, tuan-tuan. Kami mempersilakan Tuan-an tinggal di sini.”

Betapapun Kui Tek-lam dan Thiam Gai adalah orang-orang tangguh, meskipun sudah keracunan, tetapi dengan sedikit menata pernapasan dan mengumpulkan tekad, mereka dapat mempertahan- kan kesadaran mereka, biarpun daya perlawanan mereka takkan seperti biasanya. Mereka juga melihat sikap Kang Liong dan langsung tahu bahwa Kang Liong bukan kawan lagi.

Tanpa banyak omong agar tenaga dan semangatnya tidak terhambur sia-sia, Kui Tek-lam melompati pintu keluar dan segera tiba di halaman. Gerakannya disusul Thiam Gai. Kang Liong melihat gerakan kedua mangsanya itu ternyata masih cukup tangkas. Nampaknya pihaknya akan masih mengerahkan banyak tenaga untuk menangkap mereka. Mudah-mudahan sihir Hong Pai-ok bisa mempercepat penyelesaian.

Tiba di halaman, Kui Tek-lam dan Thiam Gai tidak dapat segera mencapai ke pintu keluar. Sebab halaman itu sudah ditebari belasan orang-orang Pek-lian-hwe yang berpakaian serdadu-serdadu pemerintah. Dengan macam-macam senjata, bahkan ada empat orang bersama-sama memegangi sebuah jaring lebar di keempat ujungnya, seolah-olah siap menangkap binatang.

“Tangkap hidup-hidup!” perintah Kang Liong. “Kita akan gantung mereka di depan mata orang- orang Lam-koan sebagai orang-orang Pek-lian-hwe!”

Empat orang pemegang jaring mulai bergerak serempak mencari posisi untuk dapat menjaring kedua mangsanya. Yang lain-lain pun menyesuaikan diri. Karena diperintah menangkap hidup-hidup, maka mereka tidak ada yang membawa benda tajam seperti pedang atau tombak, melainkan benda-benda tumpul macam pentung, toya atau kaitan yang tidak tajam untuk menarik kaki. Itu pun akan cukup merepotkan.

Empat pemegang jaring serempak berseru, jaring mereka melambung di atas kepala Kui Tek-lam dan Thiam Gai, namun kedua agen kerajaan itu masih mampu menggulingkan dirinya dan lolos. Keempat pemegang jaring mengubah teriakan mereka dan serentak juga mengubah gerakan mereka, kali ini jaring mereka bergerak hampir rata dengan tanah untuk “menciduk” dari bawah.

Kembali Kui Tek-lam dan Thiam Gai berhasil menghindar, tetapi semakin terpojok ke sudut halaman yang ada tembok tingginya. Agaknya keempat orang itu memang merupakan sebuah regu yang sudah berlatih macam-macam taktik, teriakan-teriakan mereka juga bukan sembarang teriakan, melainkan semacam isyarat untuk bergerak begini atau begitu.

Di tempat tersembunyi, Hong Pai-ok menggunakan dua buah boneka yang masing-masing ditulisi nama Kui Tek-lam dan Thiam Gai, nama-nama yang diketahuinya dari Kang Liong. Sambil tertawa-tawa, sebentar-sebentar Hong Pai-ok meremas kepala dua boneka itu dengan tangannya, dan setiap kali ia lakukan hal itu, maka di luar sana Kui Tek-lam dan Thiam Gai merasa sakit kepalanya berdenyut hebat. Gerakan jadi kacau.

Dengan demikian, mereka bukan hanya menghadapi lawan dari luar, tapi dari dalam tubuh mereka sendiri juga. Suatu kali, dengan lompatan laksana harimau lapar, Kui Tek-lam hampir berhasil menjotos roboh seorang pemegang jala, tetapi tiba-tiba kepalanya sakit sekali, akhirnya bukan berhasil menjotos lawannya, malah Kui Tek-lam sendiri terbanting berguling-guling sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya sendiri. Ia hampir tertangkap, Thiam Gai hendak menolongnya, tetapi mendadak Thiam Gai juga kesakitan kepalanya.

Kang Liong mentertawakan kedua agen kerajaan itu, “Sudahlah, menyerah sajalah. Pemimpin kalian yang bernama Oh Tong-peng itu sudah di tangan kami.”

Namun Kui Tek-lam berdua belum mau menyerah. Dengan kepala sakit berdenyut-denyut dan tenggorokan serasa amat kering, dan mata kabur, sambil sempoyongan mereka tetap melawan. Beberapa gebukan sudah mengenai tubuh mereka, namun beberapa lawan juga kena tendangan atau pukulan mereka. Hanya saja pukulan atau tendangan itu pun tidak sehebat kalau Kui Tek-lam dan Thiam Gai sedang waras, tendangan dan pukulan mereka kali ini tidak menyakitkan.

Kang Liong sendiri melihat kelemahan kedua perwira istana itu, dan ia tidak mau kehilangan pahala. Maka Kang Liong sendiri turun ke gelanggang dengan sebatang pentung rotan, seperti hendak menghadapi kucing pencuri ikan asin saja. Saat itu terjadi sesuatu yang diluar perkiraan siapa pun, bahkan juga di luar perkiraan Kui Tek-lam dan Thiam Gai sendiri.

Hong Pai-ok yang bosan bermain-main dengan boneka-bonekanya, sekarang ingin Kui Tek-lam berdua segera mengakhiri perlawanannya. Maka kalau sebelumnya ia hanya sekedar memijit sedikit-sedikit kepala boneka-boneka sihirnya, sekarang dia meremas kuat-kuat kepala boneka itu dengan kedua tangannya.

Di halaman, Kui Tek-lam dan Thiam Gai tiba-tiba seperti melihat ada dua buah bukit batu yang besar turun dari langit hendak menimpa kepala mereka. Namun kurang sedikit dari kepala Kui Tek-lam berdua, tiba-tiba ada semacam tali cahaya yang lembut menghadang sepasang bukit batu itu dan bukit-bukit batu itu lenyap begitu saja.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai menggosok-gosok matanya, tak percaya yang mereka lihat. Kemudian terasa ada udara hangat yang sangat nyaman menyelubungi tubuh mereka, seketika rasa pusing, tenggorokan kering dan mual-mual lenyap entah ke mana.

Sementara Hong Pai-ok tiba-tiba melepaskan cengkeramannya atas dua kepala boneka itu sambil berseru kaget dan kesakitan. Telapak tangannya tiba- tiba berdarah, seolah-olah di dalam kepala boneka-boneka itu ada jarum jahit yang kelupaan diambil waktu membuatnya dulu.

Sementara Kui Tek-lam dan Thiam Gai juga heran akan tubuh mereka yang segar mendadak itu. Dengan kondisi fisik demikian, mereka tidak lagi mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari lawan-lawan mereka dan kemudian kabur dengan melompati tembok halaman.

Kang Liong penasaran, ibarat dua ekor “ikan” yang sudah dalam jaring mendadak lolos lagi. Perintahnya, “Kejar! Kerahkan orang-orang kita!”

Sambil memerintah, ia heran juga, mana keampuhan sihir Hong Pai-ok yang digembar-gemborkan tadi? Sudah tentu ia takkan berani menanyakan itu, tetapi nalurinya memberitahu bahwa sesuatu yang adi-kodrati baru saja terjadi di gelanggang. Hanya saja ia tidak tahu itu apa, cuma dapat merasakannya. Kang Liong mengejar keluar untuk memimpin sendiri orang-orangnya melakukan perburuan itu.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai berlari-lari di jalanan kota Lam-koan. Mereka lupa bahwa seluruh kota sudah dikuasai Kang Liong dan konco-konconya. Sambil berlari mengejar, Kang Liong juga berteriak-teriak kepada orang-orang di jalanan sambil menuding kedua buruannya,

“Saudara-saudara warga Lam-koan yang gagah berani! Dua orang itu adalah bandit-bandit Pek-lian-hwe yang belakangan ini banyak mengacau dan melakukan pembunuhan! Tangkap mereka!”

Yang berseru-seru di jalanan adalah tokoh terhormat masyarakat Lam-koan, tentu saja seruannya segera menghasilkan akibat. Memang tidak semua warga Lam-koan cukup bernyali untuk menghadang larinya “bandit-bandit Pek-lian-hwe” itu, namun juga tidak semua bernyali kecil.

Di jalanan itu kebetulan sedang berjalan-jalan seorang guru silat bernama Kwe Oiok. Tubuhnya besar dan kekar, di Lam-koan ia mempunyai banyak murid, dan seorang ahli dalam tehnik-tehnik meringkus dan membanting orang.

Mendengar teriakan Kang Liong, Kwe Jiok memperhatikannya, dan semangatnya sebagai warga Lam-koan pun terbangkit. Ia mencopot jubah luarnya dan dengan sebuah lompatan lebar dan cepat maka tubuhnya yang kekar besar itu sudah berpindah tempat ke depan dua “bandit Pek-lian-hwe” itu.

Sambil mengulurkan sepasang tangannya yang kekar untuk sekaligus mencengkeram pundak Kui Tek-lam dan Thiam Gai, guru silat ini membentak, “Kalian dengar tidak, seruan Tuan Kang untuk menyerah? Dia hakim yang adil pasti takkan menghukum melebihi kesalahan kalian.”

Tetapi Si Guru Silat ahli meringkus dan membanting itu kaget bukan kepalang, waktu sedetik kemudian bukan “bandit-bandit Pek-lian-hwe” yang dapat diringkus, malah dirinya sendiri yang berhasil disapu kakinya sehingga rebah. Ia dipermalukan di depan mata masyarakat Lam-koan yang ada di jalanan itu.

Sedangkan Kui Tek-lam dan Thiam Gai melompati tubuh Si Guru Silat dan terus berlari. Kwe Jiok Si Guru Silat meneriaki orang-orang di jalanan, “Yang mengaku sebagai muridku, hadang mereka!”

Hampir semua anak remaja dan pemuda di Lam-koan adalah murid Kwe Jiok, atau setidaknya pernah belajar sedikit cara-cara beladiri dari Kwe Jiok. Begitulah Kwe Jiok menggunakan pengaruhnya untuk ikut berjasa menangkap kedua “berandal Pek-lian-hwe” itu.

Kwe Jiok sendiri bangkit dari tanah dan segera ikut mengejar bersama Kang Liong dan orang- orangnya. Begituilah, Kui Tek-lam dan Thiam Gai, dua perwira istana yang dekat dengan Kaisar Kian Liong sendiri, sekarang diuber-uber di jalanan oleh orang banyak, diteriaki seperti maling jemuran saja.

Sambil berlari, Thiam Gai masygul juga, gerutunya, “Seluruh Lam-koan sudah di bawah pengaruh sihir Pek-lian-hwe. Dan sialnya, kitalah yang malah dianggap sebagai penjahat-penjahatnya.”

Tiga orang pemuda menghadang dengan senjata seadanya. Seorang memakai pikulan bambu, seorang membawa golok pencincang daging, seorang lagi membawa palang pintu. Merekalah murid-murid Kwe Jiok yang menanggapi seruan guru silat mereka.

Kui Tek-lam dan Thiam Gai tak sempat bersikap lemah-lembut kepada tiga orang itu. Si Pembawa Pikulan bambu melongo kaget ketika pikulan bambunya ditebas patah oleh Kui Tek-lam hanya dengan telapak tangannya. Waktu Kui Tek-lam pura-pura hendak memukul, ia membuang potongan-potongan bambunya dan lari terbirit-birit. Tak peduli ditertawakan sebagai “warga kota yang kurang bertanggung jawab”.

Yang memegang pisau daging agaknya malu kalau sampai ditertawakan, apalagi di pinggir jalan itu juga ada pacarnya ikut menonton sikap sok pahlawannya. Maka dia putar-putar pisau dagingnya dengan gaya pendekar top, lalu menerjang maju. Dengan akibat dia terbanting tertelungkup di tanah dan wajahnya masuk ke dalam debu, karena digebrak Thiam Gai.

Orang yang ketiga mengambil jalan yang aman tetapi juga jangan sampai malu. Kalau lari terbirit-birit seperti saudara seperguruannya yang tadi, tentu ditertawakan orang. Namun nekad menyerang seperti saudara seperguruannya yang satu lagi juga terlalu berbahaya. Maka lari tidak, menyerang juga tidak, ia cuma pamerkan beberapa jurus kembangan untuk pembukaan yang indah dipandang. Indah dipandang namun tidak digubris oleh kedua agen kerajaan itu dan ditinggal lari terus.

Tetapi sulit bagi Kui Tek-lam dan Thiam Gai untuk bisa lolos. Dari belakang Kang Liong terus mengejar, dari depan satu regu prajurit muncul dan menghadang dengan panah-panah sudah terpasang di tali busur. Sementara beberapa warga masyarakat yang cukup bernyali besar bergabung untuk ikut menangkap “bandit-bandit” ini.

Akhirnya Kui Tek-lam dan Thiam Gai terkepung di sebuah lorong. Dinding-dinding di kedua sisi terlalu tinggi untuk dilompati, hampir enam meter tingginya. Dari ujung lorong yang satu, Kang Liong, Kwe Jiok dan beberapa orang lainnya mendekat dengan sikap mengancam. Dari ujung lorong lainnya, sepasukan prajurit juga melangkah makin dekat.

Thiam Gai menarik napas, “Apakah kita akan berdiam diri saja dicincang oleh mereka? Apakah tidak perlu kita tunjukkan kepada warga kota bahwa kita ini petugas-petugas dari istana?”

“Percuma, orang-orang Lam-koan ada di bawah pengaruh Pek-lian-hwe, mereka akan lebih mempercayai kata-kata Kang Liong daripada kita. Kita ini kan orang asing di sini?”

“Kalau begitu, demi membela diri kita sendiri, tidak patut disalahkan kalau sampai jatuh korban diantara mereka. Meskipun itu adalah penduduk yang tidak tahu apa-apa.”

Kui Tek-lam bungkam. Sementara musuh-musuh semakin dekat, Kui Tek-lam dan Thiam Gai sudah saling membelakangi, menghadap ke kedua arah. Saat itulah tiba-tiba seutas tali seolah terulur dari langit, bergelantungan tepat di depan hidung Kui Tek-lam, bersama suara serak seorang tua yang memasuki kuping Kui Tek-lam.

“Pegang ini kuat-kuat!”

Kui Tek-lam tercengang, ia menengadah ke asal suara itu, dan melihat seorang tua bertubuh kurus dan kecil, berjubah putih, berjongkok di atas dinding itu sambil mengulurkan tali. Kui Tek-lam ragu-ragu menuruti kata-kata orang tua itu, takut kalau bukan dirinya yang terangkat ke atas tetapi malahan orang tua itu yang tertarik ke bawah, sebab orang tua itu kelihatannya kurus dan kecil, tak bertenaga.

“Cepat pegang!” orang tua itu berkata lagi.

Ada pengaruh luar biasa dalam kata-katanya, maka Kui Tek-lam tidak membantah lagi. Ia pegang kuat-kuat tali itu. Dan baru saja tali itu terpegang, tubuhnya tersentak naik ke atas tembok. Tembok yang tak mungkin Kui Tek-lam lompati dengan kekuatan tolakan kakinya, sekarang dapat Kui Tek-lam lampaui dengan tarikan Si Orang Tua, padahal Kui Tek-lam tidak sedang menolakkan kakinya. Tinggallah Kui Tek-lam mengatur lompatannya supaya tidak jatuh. Namun ia sudah tiba di balik tembok. Kemudian Thiam Gai juga mengalami hal yang sama.

Kang Liong terkejut. Tergopoh-gopoh ia membagikan perintah agar orang-orangnya menghadang ke sana kemari, tetapi yang jelas tak seorang pun mampu melompati tembok itu. Bahkan Kang Liong sendiri maupun Kwe Jiok Si Guru Silat tidak bisa juga.

Sementara kedua perwira istana itu sudah dituntun oleh Si Orang Tua untuk berlari-lari menyelamatkan diri. Di balik tembok tinggi itu ternyata adalah pekarangan belakang sebuah rumah besar, Si Orang Tua menuntun Kui Tek-lam dan Thiam Gai menyeberangi pekarangan itu sampai ke sebuah pintu di sebelah sana.

Ada beberapa orang di pekarangan itu yang melihat mereka bertiga, namun sikap mereka acuh tak acuh, seakan-akan tak melihat, sehingga Kui Tek-lam membatin, “Mungkin orang tua ini sudah kenal dengan penghuni rumah ini.”

Si Orang Tua membuka pintu, di luar pintu ada sebuah gang lain tetapi tidak ada orang yang menguber-uber di situ. Si Orang Tua berkata, “Kita akan jalan terus sampai ke tempat kalian yang aman.”

Sahut Kui Tek-lam, “Terima kasih Tuan sudah menolong kami. Tetapi kami tidak berani merepotkan Tuan lebih jauh. Tempat ini sudah aman, dari sini kami bisa jalan sendiri.”

Sambil berkata demikian, Kui Tek-lam punya kesempatan lebih memperhatikan penolongnya itu. Ternyata sekarang kelihatan tidak setua waktu di atas dinding tadi. Tadi Kui Tek-lam lihat orang ini rambut, alis dan jenggotnya sudah putih semua dan kulit mukanya sudah berkeriput rapat. Sekarang kelihatannya lebih muda dua puluh tahun, ada sebagian kecil rambutnya yang masih hitam dan kulit wajahnya tidak sekeriput tadi.

Orang ini menjawab, “Tidak bisa, aku harus mengantar kalian sampai ke tempat kalian. Sebab aku sudah dimintai tolong oleh sahabatku, dan aku tidak berani melanggar kesepakatan.”

“Siapa sahabat Tuan?”

“Liu Yok.”

“Nama Tuan sendiri?”

“Ah, itu tidak penting. Yang perlu sekarang ialah cepat-cepat pergi dari sini. Ayo.”

Kui Tek-lam tidak bisa memaksa orang itu menyebutkan namanya, dia dan Thiam Gai lalu mengikutinya saja. Karena mereka masih ada di lorong-lorong kota Lam-koan, maka Kui Tek-lam dan Thiam Gai masih melangkah dengan tegang sambil menoleh waspada ke sana kemari. Sebaliknya orang tua yang mengaku sahabat Liu Yok itu berjalan dengan tenang saja, bahkan sambil bersiul-siul menyanyikan lagu dan cukup merdu.

“Biarpun otot-otot pipi sudah kendor dan gigi sudah berkurang, siulan kakek ini boleh juga.” pikir Thiam Gai.

Siulan Si Orang Tua bahkan tidak berhenti ketika di ujung lorong kelihatan ada satu orang prajurit bersenjata. Agaknya mereka ditugaskan untuk menjaga persimpangan jalan di situ. Si Orang Tua melangkah terus dengan santai, namun Kui Tek-lam dan Thiam Gai langkahnya sudah tertegun-tegun, bahkan sudah berpikir untuk memutar tubuh dan lari ke arah lain.

Namun Si Orang Tua berkata, “Tidak apa-apa. Jalan terus. Percayalah kepadaku.”

Lagi-lagi perkataan itu mengandung suatu pengaruh yang kuat, yang membuat Kui Tek-lam dan Thiam Gai tak berkuasa membantah. Dengan jantung berdegupan mereka mengikuti saja Si Orang Tua yang tetap melangkah santai sambil bersiul-siul. Ternyata setelah mereka cukup dekat dengan prajurit-prajurit yang mengawasi persimpangan itu, para prajurit itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seolah-olah tidak melihat kehadiran mereka bertiga.

Prajurit yang mengawasi melotot ke ujung jalan tetap saja melotot ke ujung jalan. Yang bercakap-cakap tetap saja bercakap-cakap, yang mengawasi warga Lam-koan yang lewat di jalanan tetap saja menjalankan tugasnya. Tetapi Si Orang Tua bersama dua orang yang menjadi buruan para prajurit itu justru melangkah terang-terangan di depan hidung para prajurit itu.

Sambil melangkah dengan tegang dan keringat dingin membasahi tubuhnya, Thiam Gai mengumpat dalam hati, “Kenapa aku jadi ikut-ikutan sinting melakukan ini? Menuruti saja kata-kata orang tua ini?” Ternyata berhasil juga mereka melewati para prajurit itu tanpa pertempuran segebrakan pun!

Si Penolong tersenyum kepada Kui Tek-lam, “Nah, tidak apa-apa kan?”

Kui Tek-lam menghembuskan napas dan menyahut, “Kita beruntung bahwa prajurit-prajurit itu agaknya belum diberi tahu ciri-ciri orang-orang yang harus mereka tangkap. Lain kali, rasanya kurang berakal kalau hanya menggantungkan diri kepada keberuntungan.”

Kui Tek-lam menghentikan kata-katanya dan menatap penolongnya itu dengan tercengang heran. Begitu pula Thiam Gai. Sebab sekarang nampak Si Penolong itu ternyata sudah kelihatan muda lagi dua puluh tahun! Tadi waktu pertama menarik Kui Tek-lam berdua dengan tali, ia kelihatan berusia tujuh puluh tahun. Waktu membuka pintu ke lorong, kelihatannya jadi seperti berusia lima puluh tahun.

Sekarang Kui Tek-lam hampir-hampir tidak mempercayai matanya melihat penolongnya ini sudah berujud seorang lelaki tiga puluh tahunan! Rambutnya masih hitam semua, kulit wajahnya tidak berkeriput sedikit pun bahkan samar-samar dari pori-pori kulitnya seperti memancarkan cahaya yang lembut.

Tak terasa Kui Tek-lam dan Thiam Gai memikirkan hal yang sama, “Teknik penyamaran orang ini sungguh hebat. Bahkan sambil berjalan dan tak pernah berhenti, dia bisa berubah-ubah semaunya Dan tidak kami lihat dia membuang tempelan-tempelan palsu di wajahnya. Atau... orang ini jangan-jangan punya Ilmu Pian-hoa (mengubah wujud)?”

Orang itu tersenyum melihat Kui Tek-lam dan Thiam Gai menatapnya terheran-heran. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa hidungku ada tiga? Atau letaknya terbalik dengan lubangnya menghadap ke atas?”

“Ilmu penyamaran Tuan sungguh hebat.” Kui Tek-lam mengakui. “Kami juga belajar menyamar dalam tugas-tugas rahasia kami, namun sungguh belum sekuku hitamnya dibanding Tuan yang seolah- olah bisa Pian-hoa.”

Orang itu cuma tertawa kemudian ajaknya, “Ayo kita jalan terus. Liu Yok sudah menunggu.”

Mereka sudah tiba di pinggiran kota, dan mereka berjalan perlahan-lahan, tidak lagi terburu-buru. Sambil berjalan, Kui Tek-lam diam-diam mengawasi penolongnya. Ingin tahu bagaimana caranya “bertambah muda” lagi. Sebab kalau tadi seperti orang berumur tujuh puluh, lalu lima puluh dan sekarang tiga puluh, jangan-jangan setibanya di tempat Liu Yok nanti sudah menjadi bocah umur sepuluh tahun? Namun ternyata sepanjang jalan orang itu tidak berubah lagi, sampai di luar reruntuhan gedung model Eropa tempat persembunyian mereka selama ini.

“Nah, sudah. Selamat tinggal.” kata orang itu terus hendak berlalu.

Namun Thiam Gai menahannya, “Kalau Tuan mengaku sebagai sahabat Saudara Liu Yok, silakan masuk dan duduk-duduk sebentar di dalam.”

“Ah, buat apa? Setiap saat aku bisa menemui Liu Yok dan sebaliknya Liu Yok juga bisa menemui aku. Aku masih banyak urusan. Selamat tinggal.” Lalu orang itu melangkah pergi.


Sementara di Lam-koan, Kang Liong memerintahkan agar Oh Tong-peng dipindahkan ke tempat ibadah rahasia kaum Pek-lian-hwe yang disebut “Kota Bunga Persik”.

“Kalau anjing-anjing Manchu itu datang lagi untuk mencoba menolong pentolannya ini, mereka akan terjerumus dalam perangkap gaib kita. Mereka akan masuk dalam keadaan waras dan keluar dalam keadaan gila, kena kutuk dewa-dewa kita.” dalihnya.

Waktu Kui Tek-lam dan Thiam Gai melangkah masuk, mereka tercengang melihat Cu Tong-liang sudah bisa mengunyah makanannya sendiri, rahangnya bergerak-gerak, meskipun untuk masuknya makanan itu ke mulutnya tetap harus dibantu Liu Yok dengan disuapi. Selain itu, mata Cu Tong-liang juga sudah seperti mata orang yang sadar, cahayanya hidup, bisa melirik ke sana kemari meski wajahnya pucat.

Waktu melihat Kui Tek-lam dan Thiam Gai, kelihatan mata Cu Tong-liang bersinar-sinar hangat menyambut kedua sahabatnya ini. Bibirnya bergerak sedikit berusaha membentuk senyuman tipis.

Liu Yoklah yang tersenyum lebar menyambut kedatangan kedua perwira istana ini, “Bagaimana? Kalian selamat bukan?”

“Hampir mati dikeroyok orang she Lam-koan seperti maling jemuran.” keluh Thiam Gai sambil menyambar tempat air dan meneguk habis isinya.

“Tetapi Saudara Thiam kelihatan utuh.”

“Itu karena pertolongan seorang sahabatmu, Saudara Liu.”

“Sahabatku?”

Dengan ringkas Thiam Gai menceritakan tentang orang itu, lengkap dengan “perubahan”nya. Mendengar itu, Liu Yok tertawa. “Saudara Liu kenal dia?”

“Ya.”

“Siapa namanya? Dan kenapa ilmu merubah wujudnya demikian lihai?”

“Wah, soal nama, aku sendiri tidak tahu namanya.”

“Di antara tiga penampilannya, mana yang sebenarnya? Yang seperti orang tua, orang setengah baya, atau pemuda?”

“Menurutku, ketiga-tiganya tidak tepat.”

“Lalu?”

Liu Yok bimbang sebentar, tetapi akhirnya berkata juga, “Umurnya lebih tua dari umur bumi ini.”

Thiam Gai terbelalak, Kui Tek-lam yang sedang minum itu pun tersedak sedikit, leher dan dadanya jadi basah, dan buru-buru diusapnya dengan telapak tangannya. “Tetapi kenapa dia kelihatan... terakhir kalinya hanya kelihatan seperti orang berusia tiga puluhan tahun?”

“Karena dia datang dari tempat di mana proses penuaan tidak berlaku sama sekali. Suatu tempat di mana hukum-hukum alamnya lebih tinggi dari hukum-hukum di alam yang terindera ini. Di tempat itu, kerjanya hanya bernyanyi dan bersuka ria, dan dia tinggalkan tempat itu kalau ditugasi sesuatu oleh Yang Maha Kuasa. Dia sering memasuki alam terindera ini, tetapi dapat membebaskan dari hukum-hukum alam ini.”

“Dewakah dia?” Thiam Gai bertanya ragu-ragu. Ia jadi ingat dongeng tentang dewa-dewa yang diceritakan neneknya ketika ia masih kecil dulu. Dan sekarang dilihatnya Liu Yok menceritakannya dengan sikap bersungguh-sungguh. Thiam Gai sendiri sudah melihat keganjilan orang yang menolongnya tadi.

Liu Yok menjawab. “Dia dan mahluk-mahluk sejenisnya adalah mahluk yang diciptakan juga, seperti kita manusia. Jadi bukan Sang Pencipta sendiri. Kedudukannya dengan manusia adalah sama-sama mahluk yang diciptakan, itulah sebabnya manusia dilarang keras menyembah mahluk-mahluk itu, apalagi sampai mempertuhankannya. Mahluk-mahluk itu sendiri tidak suka disembah. Mereka dan kita saling mengajak, saling mengingatkan, untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta Yang Satu itu.”

Thiam Gai menarik napas.

“Bagaimana dengan Kakak Oh?” tanya Liu Yok kemudian.

Kui Tek-lam menggeleng sedih, “Kami gagal membawanya keluar, bahkan hampir dicincang seluruh warga kota Lam-koan.”

“Maksud Saudara Kui, rakyat Lam-koan ikut memusuhi kalian?”

“Ya. Aku percaya seluruh Lam-koan sudah dibawah pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-hwe, sehingga rakyatnya dengan mudah bisa disuruh ke sana kemari. Bahkan ditipu oleh Kang Liong dengan mengatakan bahwa kami berdua inilah yang anggota Pek-lian-hwe, sedang Kang Liong sendiri mengaku sebagai pembela kepentingan warga Lam-koan. Apalagi Kang Liong sekarang ini adalah pemegang kekuasaan resmi di Lam-koan.”

Liu Yok mengerutkan alisnya. Sedang Thiam Gai sambil mengepalkan tinjunya, “Kota Lam-koan sudah menjadi kota Pek-lian-hwe, sudah cukup layak menjadi pijakan untuk mengawali sebuah pemberontakan terhadap kerajaan. Letaknya mudah dipertahankan dari daratan karena dikelilingi bukit-bukit. Sisinya yang menghadap sungai Se-kiang juga dengan gampang bisa dipertahankan, apalagi kalau benar desas-desus yang mengatakan Pek-lian-hwe punya lima ribu pucuk senjata api. Senjata sebanyak itu bukan hanya bisa untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang kota terdekat. Dermaganya yang ramai menghasilkan pemasukan uang yang tidak sedikit dan bisa untuk membiayai gerakannya. Ini tidak bisa dibiarkan terus!”

“Apa yang Saudara Thiam pikirkan?” Tanya Kui Tek-lam.

“Aku akan pergi ke Koan-tong, bicara dengan gubernur militer di sana dan minta kiriman pasukan yang kuat untuk menumpas bibit pemberontakan ini, mumpung belum meluas!”

“Harap Saudara Thiam ingat, yang memberontak itu hanya segelintir orang Pek-lian-hwe yang berambisi membangun kembali dinasti Beng. Rakyat Lam-koan tidak memberontak. Rakyat Lam- koan hanya tertipu oleh orang-orang macam Kang Liong. Kalau datang tentara kerajaan dari Koan-tong lalu terjadi pertempuran, siapa yang paling banyak menjadi korban?”

“Tak dapat disangkal, memang rakyat Lam- koanlah yang bakaian paling banyak yang terbunuh. Mereka, pasti akan disuruh maju ke garis depan oleh gembong-gembong Pek-lian-hwe yang menyamar menjadi pembela rakyat itu. Tetapi apakah akan dibiarkan saja pemberontakan ini meluas?”

“Tentu saja takkan kita biarkan. Kita pikirkan jalan keluarnya, yang jangan sampai terlalu mengorbankan rakyat.”

Liu Yok tiba-tiba ikut bicara, “Biarlah aku pun berbuat sesuatu.”

“Apa yang akan Saudara Liu lakukan?”

“Menurut cara yang diajarkan bukuku yang kupercayai.”

“Bolehkah aku mendapat sedikit gambarannya?”

“Aku ingin meruntuhkan tembok-tembok yang mengurung jiwa-jiwa di Lam-koan.”

“Kota Lam-koan tidak ada temboknya.” Celetuk Thiam Gai.

“Yang kumaksud adalah tembok-tembok sihir yang memenjarakan pikiran dan kehendak rakyat Lam-koan sehingga mereka dapat dikendalikan oleh orang-orang Pek-lian-hwe. Bahkan aku juga berharap membebaskan jiwa tokoh-tokoh Pek-lian-hwe sebab jiwa mereka pun terkurung tembok yang bahkan jauh lebih tinggi, tebal dan kuat dari tembok yang mengurung rakyat Lam-koan.”

“Silakan Saudara Liu memakai cara yang Saudara yakini, dan aku akan tetap ke Koan-tong untuk melaporkan situasi di sini.” kata Thiam Gai. “Dalam waktu kurang dari sepuluh hari, pasukan besar dari Koan-tong akan melanda Lam-koan.”

“Mungkin sebelum pasukan itu datang, tembok-tembok sihir itu sudah runtuh lebih dulu.”

“Itu lebih baik.”

Selama mereka bercakap-cakap, Cu Tong-liang yang sudah sadar itu ikut mendengarnya. Ia sudah bisa mengerti semua yang didengarnya, tetapi masih terlalu lemah untuk menggerakkan mulutnya untuk ikut bicara.

“Kapan Saudara Thiam akan berangkat ke Koan-tong?” tanya Kui Tek-lam kepada Thiam Gai.

“Besok pagi mungkin dari dermaga akan ada kapal yang ke Koan-tong.”

“Hati-hatilah. Mungkin orang-orang Pek-lian-hwe akan mulai mengawasi dengan ketat semua jalan masuk keluar Lam-koan, termasuk jalan air.”

“Baik, Saudara Kui. Saudara Liu, terus terang saja selama ini aku belum pernah mempercayai hal-hal gaib, sampai kualami peristiwa tadi. Aku mohon Saudara Liu melindungi aku dari pengaruh gaib Pek-lian-hwe, selama dalam perjalananku ke Koan-tong.”

Liu Yok menggeleng. “Saudara Thiam salah alamat. Minta perlindungan kok kepada aku, sedangkan aku sendiri setiap harinya masih minta perlindungan Yang Maha Kuasa? Aku tidak bisa melindungi Saudara Thiam, aku hanya bisa memintakannya dari Yang Maha Kuasa.”

“Terima kasih, Saudara Liu.”

Mereka bercakap-cakap sampai malam hari, dalam percakapan itu Kui Tek-lam dan Thiam Gai sedikit banyak bisa memahami jalan pikiran Liu Yok meskipun ada yang kedengarnya ganjil. Antara lain, ketika , Kui Tek-lam memperingatkan bahwa Pek-lian-hwe mempunyai banyak dewa dan siluman yang hebat-hebat, Liu Yok dengan enteng menjawabnya,

“Dewa mana yang sanggup menahan perkataanku? Sebab perkataanku adalah pedang Yang Maha Kuasa?”

Kui Tek-lam dan Thiam Gai hidup di sebuah negeri dengan sejuta dewa dan dewi, sejuta malaikat dan siluman, sejuta cerita tentang bintang-bintang di langit yang menyamar sebagai manusia di bumi. Sekarang tiba-tiba saja ketemu manusia macam Liu Yok yang berani berkata demikian, tetapi Liu Yok mengucapkannya tidak dengan sombong atau pongah, melainkan begitu wajar. Kemudian Kui Tek-lam dan Thiam Gai tahu, bahwa Liu Yok memang berpikir bahwa manusia lebih tinggi dari dewa, manusialah yang diberi tugas mengelola bumi dan bukan dewa.

Setelah makan malam, mereka membaringkan diri untuk tidur. Kui Tek-lam dan Thiam Gai melihat, sebelum tidur Liu Yok membaca buku kesayangannya, kemudian duduk tepekur lama sekali dengan mata terpejam, setelah itu baru tidur. Hal seperti itu sering mereka lihat malam-malam sebelumnya, bahkan Liu Yok juga melakukan yang sama di pagi-pagi buta, namun kali ini Kui Tek-lam dan Thiam Gai melihatnya dengan khidmat.

Waktu Liu Yok mulai tidur, dia pun mulai bermimpi. Liu Yok melihat sebuah tanah yang kering- kerontang di depannya. Tanah yang begitu gersangnya sampai retak-retak, dan di dalam tanah itu tak cukup air biarpun hanya untuk menghidupi sehelai rumput.

Tiba-tiba Liu Yok melihat seorang perempuan datang mendekat dengan memanggul sebuah buyung tanah liat yang besar, dan kelihatan berat. Liu Yok melihat perempuan itu berdiri di tengah tanah gersang itu dan menumpahkan isi buyungnya ke tanah. Buyung itu berisi air. Tapi aneh, buyung yang begitu besar ternyata isinya hanya air sedikit, air yang tidak ada artinya dibandingkan gersangnya tanah di situ. Air yang segera lenyap terserap di tanah dan kemudian tanpa jejak sama sekali.

“Sayang....” desis Liu Yok. Lalu ia mengikuti dari jauh ke mana perginya perempuan itu.

Ternyata perempuan itu pergi ke sebuah sungai, menenggelamkan buyungnya di air untuk mengisinya penuh-penuh dan dibawanya kembali ke tanah gersang tadi untuk menumpahkan isinya. Agaknya ingin menyuburkan tanah itu. Namun lagi-lagi Liu Yok melihat hanya sedikit air yang tertumpah.

Berulang kali Liu Yok melihat perempuan itu bolak-balik ke sungai dan ke tanah gersang itu, namun hasilnya tidak berarti sama sekali. Tanah itu tetap saja gersang meranggas. Sampai Liu Yok berkesimpulan sendiri, “Buyung tanah liat itu hanya bisa memuat begitu sedikit air, pasti karena di dalamnya belum kosong benar. Mungkin masih ada benda-benda lain, yang membuatnya tidak bisa penuh air.”

Mimpi yang sama ternyata berulang-ulang sampai pagi hari Liu Yok bangun. Begitu bangun, Thiam Gai segera bersiap-siap untuk pergi ke Koan-tong. Namun sebelumnya, bertiga bersama Kui Tek-lam dan Liu Yok, mereka melakukan pekerjaan harian seperti memasak, memandikan Cu Tong-liang dan sebagainya.

Mereka bertiga girang melihat Cu Tong-liang semakin sehat. Sekarang Cu Tong-liang sudah bisa menggerakkan tangannya sedikit-sedikit, agak mempermudah waktu diganti bajunya. Dan bibirnya sudah bisa mendesiskan perkataan “terima kasih” yang lirih sekali.

Usai berbenah diri, Thiam Gai segera berangkat. Setelah Thiam Gai berangkat, Kui Tek-lam menanyai Liu Yok, “Nah, Saudara Liu, bagaimana rencanamu yang kau katakan kemarin?”

“Aku mulai hari ini....” sahut Liu Yok sambil beranjak kepintu.

“Lho, Saudara Liu mau ke mana?”

“Berkeliling kota Lam-koan.”

“Apa tidak berbahaya? Seluruh penduduk Lam-koan sudah di bawah pengaruh Pek-lian-hwe.”

“Tidak seorang pun penduduk Lam-koan yang pernah mengenal aku. Jadi tidak berbahaya buatku.”

“Apa yang akan Saudara Liu lakukan berkeliling kota?” “Membebaskan orang Lam-koan dari pengaruh jahat.”

Mendengar jawaban itu, Kui Tek-lam langsung saja membayangkan bahwa Liu Yok akan berbicara dengan orang-orang Lam-koan, menasehati mereka, dan alangkah berbahayanya tindakan seperti itu menurut Kui Tek-lam. Liu Yok bisa ditangkap oleh penguasa Lam-koan yang sekarang, Kang Liong.

Kui Tek-lam tidak sampai hati membiarkan Liu Yok pergi sendiri, ia ingin mendampinginya meskipun dengan menyamar. Tetapi ia ragu-ragu kalau harus meninggalkan Cu Tong-liang yang belum kuat benar itu sendirian di situ.

Liu Yok agaknya dapat membaca gerak hati Kui Tek-lam. “Saudara Kui, ada yang mau Saudara katakan?”

“Aku ingin pergi bersama Saudara Liu. Tetapi Saudara Cu....”

“Kalau Saudara ingin pergi bersamaku, marilah. Jangan cemaskan Saudara Cu. Ia tidak akan sendirian. Ada sahabat-sahabatku yang akan menjaga dia.”

Bicara soal “sahabat-sahabat Liu Yok” Kui Tek-lam jadi ingat orang yang kemarin. Hati Kui Tek-lam menjadi mantap. Ia bangkit dari duduknya di lantai, sambil membersihkan celananya dari kotoran dia berkata, “Kalau begitu, aku pergi bersama audara Liu.”

Namun dalam hatinya Kui Tek-lam membatin, “Kalau Liu Yok punya teman aneh seperti yang kemarin menolongku, tentu saja tanpa ditemani pun dia akan aman-aman saja. Tetapi aku harus ikut.”

Kalau Kui Tek-lam jujur terhadap diri sendiri, sebenarnya keinginannya untuk ikut itu bukan karena mencemaskan Liu Yok, melainkan karena ingin mengalami hal-hal aneh bersama Liu Yok. Kata Liu Yok, “Baiklah. Mari kita mulai berjalan. Tetapi ada sebuah syaratnya.”

“Apakah syaratnya?”

“Jangan Saudara Kui mengajak bicara kepadaku sepatah kata pun.”

Syarat aneh, pikir Kui Tek-iam. Namun tanpa pikir panjang ia menyatakan setuju? Mereka berangkat, meninggalkan Cu Tong-liang sendirian. Tetapi menurut Liu Yok, Cu Tong-liang tidak sendirian, melainkan “ada yang merawatnya”. Entah apa yang mendorong Kui Tek-lam, sehingga dia mulai mempercayai omongan Liu Yok.

Keluar dari reruntuhan gedung model Eropa itu, mereka melangkah ke arah barat, membelakangi matahari yang baru saja bangkit dari tidurnya. Mereka menyusuri jalan setapak di lereng bukit, kota Lam-koan kelihatan di bawah mereka. Sungai Se-kiang yang permukaannya memantulkan cahaya mentari, nampak seperti sehelai pita emas yang melingkar-lingkar di kaki pegunungan. Terputus-putus sebab beberapa bagiannya tertutup tubuh perbukitan. Kapal-kapal yang melayari sungai jadi kelihatannya hanya sekecil potongan-potongan lidi belaka.

Burung-burung berkicau di pepohonan dan puncak-puncak pepohonan pun bermandikan cahaya keemasan sinar, mentari pagi. Pemandangan sungguh indah untuk dinikmati, seandainya Kui Tek-lam tidak ingat bahayanya perjalanan ini, meskipun ia sudah menyamar. Namun Liu Yok mulai melangkah sambil bersiul- siul, bersenandung diselang-seling siulan. Kadang- kadang tangannya ikut bergerak-gerak mengikuti irama.

Kui Tek-lam menemukan persamaan antara lagu yang sedang didendangkan Liu Yok itu dengan lagu yang kemarin disusulkan oleh orang aneh, yang kata Liu Yok berasal dari suatu tempat yang penuh nyanyian. Hati Kui Tek-lam tergerak ingin ikut menyanyi, sebab kedengarannya enak, tapi ia tidak mengerti kata-katanya. Jadi Kui Tek-lam mulai bersiul-siul saja, sepotong-sepotong, di beberapa bagian kadang-kadang agak salah sedikit, namun jalan terus.

Liu Yok menoleh sambil tersenyum senang, tetapi tidak berkomentar sedikit pun. Mereka berdua berbelok ke arah sungai, dengan demikian menyusuri sisi barat kota Lam-koan. Kui Tek-lam agak berdebar, mengingat di sisi barat Lam-koan ini akan melewati rumah pribadi Kang Liong yang dekat dengan jalan ke kampung nelayan.

“Apakah Liu Yok ini akan mulai pidato pembebasannya justru di dekat rumah Kang Liong?” Kui Tek-lam bertanya-tanya dalam hati. Dalam bayangannya, upaya pembebasan yang akan dilakukan Liu Yok ialah mengumpulkan orang-orang dan berbicara kepada mereka tentang kenyataan yang sebenarnya. Ternyata, selama berjalan dan bertemu dengan beberapa orang, Liu Yok tidak berbicara sepatah kata pun dengan, mereka, bahkan juga bila disapa, la tetap saja bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi.

Kui Tek-lam mulai bimbang. “Apa-apaan ini? Inikah yang dinamakan upaya membebaskan rakyat Lam-koan dari tembok-tembok sihir Pek-lian-hwe? Hanya berjalan keliling kota sambil bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi? Wah, jangan-jangan Liu Yok ini mulai kena santet Pek-lian-hwe dan penyakitnya sama dengan Pang Hui-beng?”

Sebab Kui Tek-lam ingat Pang Hui-beng yang berkeliling kota sambil menari dan menyanyi tak ingat dirinya, dan diikuti anak-anak kecil. Tetapi Kui Tek-lam terus bersama Liu Yok. Selesai menyusuri sisi barat kota Lam-koan, Liu Yok berbelok ke kiri dan mulai menyusuri sisi selatan Lam- koan. Masih tetap bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi.

Ketika lewat dermaga yang banyak orangnya, Liu Yok tetap saja demikian, sehingga orang-orang yang berpapasan dengannya banyak yang menatap dengan kasihan sambil geleng-geleng kepala dan berdesis, “Kasihan. Masih muda dan tampan, kok gila.”

Yang diajak bicara pun menjawab, “Bertambah lagi jumlah orang gila di kota ini. Beberapa waktu yang lalu, seorang tukang mi-pangsit yang masih muda tiba-tiba saja juga gila.”

“Kenapa ya, kok gila?”

“Mungkin gagal mempersunting gadis idamannya,”

“Atau mungkin malah menolak cinta seorang gadis, lalu disantet oleh si gadis.”

Apa pun kata orang, Liu Yok tetap melakukan tindakannya yang ganjil itu, dan Kui Tek-lam yang mengiringinya jadi agak malu juga. Kui Tek-lam jadi berdebar-debar ketika melihat satu regu prajurit berjaga-jaga di dermaga itu. Memang betul yang dikatakan Thiam Gai, Kang Liong sudah mengawasi seluruh sudut kota Lam-koan itu.

“Tingkah laku Liu Yok pasti menarik perhatian prajurit-prajurit itu, dan aku yang berdekatan dengan Liu Yok akan ikut diperhatikan pula.” pikir Kui Tek-lam, ia kuatir dikenali meski sudah menyamar.

Benar juga. Si Komandan Regu yang bertubuh tegap, tiba-tiba saja melangkah mendekati Liu Yok dan membentak. “He, apa yang sedang kau lakukan?”

Liu Yok tidak menjawab, ia agaknya begitu tenggelam dalam keadaannya dan tidak menggubris keadaan di sekitarnya. Kui Tek-lam kuatir sikap Liu Yok itu akan menggusarkan Si Perwira.

Apa yang dikuatirkan Kui Tek-lam itu terjadi, Si Komandan Regu sudah siap menjotos Liu Yok yang tidak menggubrisnya, tetapi tiba-tiba dari antara kerumunan orang-orang di dermaga itu muncul seorang nenek-nenek bungkuk yang berlutut di depan Si Komandan Regu sambil memohon dengan suara memelas, “Jangan, Tuan, aku mohon. Berbelas kasihanlah kepadanya.”

Si Komandan Regu menahan tinjunya di udara, tanyanya kepada Si Nenek, “Ada hubungan apa antara dirimu dengan bocah sinting ini?”

“Tidak ada hubungan apa-apa, tetapi kumohon kasihanilah dia. Masa Tuan seorang perwira yang gagah perkasa di medan tempur, tega berbuat kekerasan terhadap seorang yang lemah?”

Perwira yang garang itu serasa meleleh hatinya. Ia tidak jadi memukul, bahkan menjauhi Liu Yok sambil menggerutu, “Betul juga, kalau aku mengurusi orang kurang waras, aku pun jadi kurang waras juga.”

Kui Tek-lam lega, Seandainya perwira itu melanjutkan niatnya memukul Liu Yok, Kui Tek-lam sudah siap membela meski kedok penyamarannya bakal terbongkar. Untung ada nenek-nenek itu. Dan ketika ia mencari nenek-nenek itu, Kui Tek-lam tidak menemukannya lagi. Nenek-nenek itu hilang begitu saja. Bahkan ketajaman mata Kui Tek-lam, ketajaman mata seorang penyelidik kawakan, juga tidak berhasil melihat bayangan nenek-nenek itu lagi.

Ini mengherankan, masa nenek-nenek itu bisa menyelinap pergi sedemikian cepat? Apakah nenek-nenek itu sejenis dengan mahluk yang mengaku sahabat Liu Yok, yang kata Liu Yok umurnya lebih tua dari umur bumi dan datangnya dari tempat di mana proses menua tidak berlaku? Kui Tek-lam ingin bertanya kepada Liu Yok, namun ingat janjinya untuk tidak saling berbicara selama “upacara aneh” Liu Yok itu.

Liu Yok dan Kui Tek-lam kemudian menyusuri sisi timur kota Lam-koan, kali ini bakalan melewati daerah kota yang menjadi tempat kediaman almarhum Nyo In-hwe. Hati Kui Tek-lam digerakkan rasa rindu akan dua anak Nyo In-hwe yang dulu sering bermain-main dengannya. Kemudian, Liu Yok dan Kui Tek-lam tiba kembali di reruntuhan rumah tempat Cu Tong-liang ditinggalkan. Cu Tong-liang tidak kurang suatu apa.

Kui Tek-lam tidak tertahan untuk tidak bertanya, “Saudara Liu, sekarang sudah boleh aku bicara kepadamu?”

“Silakan, Saudara Kui.”

“Saudara Liu bilang hendak membebaskan penduduk Lam-koan dari pengaruh Pek-lian-hwe, benar?”

“Benar.”

“Kenapa Saudara hanya berjalan keliling kota sambil bernyanyi-nyanyi seperti orang gi...” Kui Tek- lam menahan kata-katanya, tak sampai hati mengatakan “gila” kepada Liu Yok yang jelek-jelek calon menantu gubernur di Ho-lam.

Liu Yok duduk dan meluruskan kakinya dengan santai, “Mau Saudara Kui mendengar penjelasanku?”

“Penjelasan Saudara Liu akan menambah pengetahuanku tentang alam tak terindera yang selama Ini sedikit sekali kuketahui,” belum-belum Kui Tek-lam sudah menebak kalau penjelasan Liu Yok bakal bersangkut paut dengan “alam tak terindera”.

Liu Yok tertawa. “Kemarin ketika kurenungi bukuku, aku mendapat petunjuk dari sebuah cerita lama. Cerita tentang seorang panglima yang terhambat gerak majunya oleh sebuah benteng musuh yang amat kuat. Panglima ini bingung, apalagi pasukan yang dipimpinnya bukanlah pasukan yang bersemangat baja, melainkan terdiri dari sekumpulan orang-orang yang penakut, mudah putus harapan dan pengomel. Panglima ini memutar otak, bagaimana caranya menaklukkan kota benteng musuh yang kuat ini dengan pasukannya yang berkwalitas rendah itu?”

Kui Tek-lam sendiri sebelum ditarik ke dalam istana sebagai anggota pasukan istimewa, sebelumnya adalah perwira militer di lapangan yang tahu seluk-beluk Peng-hoat (ilmu kemiliteran). Cerita Liu Yok itu jadi amat menarik baginya. Ia ingin tahu siasat militer macam apa yang bakal digunakan oleh panglima dalam cerita itu, untuk menaklukkan benteng musuh itu. Hambatannya ada dua. Kuatnya pihak musuh, dan rendahnya kwalitas pasukannya sendiri. “Lalu bagaimana, Saudara Liu?”

“Secara akal manusia, jalan buntu. Mutlak buntu.”

“Apakah Si Panglima lalu membawa mundur orang-orangnya, menyerah begitu saja?”

“Panglima itu mendapat petunjuk gaib dari Yang Maha Kuasa. Ia disuruh mengelilingi tembok musuh sambil membunyikan terompet tanduk domba jantan. Sehari satu putaran, sampai enam hari lamanya. Hari yang ke tujuh harus tujuh putaran.”

Kui Tek-lam tercengang. “Petunjuk macam apa ini? Masa tidak ada petunjuk untuk memanjat benteng musuh, atau di malam hari diam-diam membuat terowongan di bawah tembok? Masa petunjuk hanya disuruh memutari benteng sambil membunyikan terompet.”

“Namanya juga petunjuk yang bersifat adi-kodrati. Di luar hukum alam. Di luar nalar yang wajar.”

“Terus?”

“Panglima itu patuh. Nah, waktu kubaca kitab itu, aku berkeyakinan bahwa itu petunjuk buatku...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.