Menaklukkan Kota Sihir Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 14 Karya Stevanus S P

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 14

“JADI... Saudara Liu ingin mengelilingi kota Lam-koan satu putaran setiap hari selama enam hari, dan tujuh putaran di hari ke tujuh? Tembok apa yang ingin Saudara Liu runtuhkan, padahal kota Lam-koan tidak bertembok?”

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

“Sudah kukatakan kemarin, tembok yang memenjarakan seluruh Lam-koan adalah tembok pengaruh jahat yang dibangun oleh tokoh-tokoh Pek- lian-hwe. Tembok yang tidak memenjarakan raga, tetapi memenjarakan jiwa. Inilah yang harus kita runtuhkan.”

“Kalau begitu, Saudara Liu agaknya melupakan sebuah benda yang diperlukan. Terompet yang terbuat dari Tanduk domba jantan.”

“Tidak, aku tidak lupa. Justru benda yang kelihatan sepele itulah kunci inti dari keberhasilannya. Bukan kehebatan siasat si panglima, bukan ke- unggulan pasukan, sebab pasukan itu sesungguhnya tidak berkwalitas.”

“Mana terompetnya?”

“Terompet tanduk itu hanya lambang. Kalau ingin tahu dari lambang itu, haruslah menyimak cerita yang lain.”

Kui Tek-lam penasaran. “Aku mau mendengarnya.”

“Jaman dulu, ada seorang yang sangat beribadah kepada Yang Maha Esa. Ia bahkan meninggalkan negeri leluhurnya yang berlimpah harta benda, karena sanak keluarganya menyembah berhala semuanya, berbenteng dengan keyakinannya. Suatu hari, Yang Maha Kuasa ingin menguji kesetiaan orang ini. Yang Maha Kuasa mewahyukan sebuah perintah untuk menyembelih anaknya sendiri. Orang yang sangat taat ini mematuhi perintah ini.

"Tetapi ini hanya ujian kesetiaannya, dan Yang Maha Kuasa tidak pernah bersungguh-sungguh menghendaki kematian anak orang itu. Sebaliknya, untuk dikorbankan sudah tersedia seekor domba jantan yang tanduknya terbelit semak duri sehingga tidak dapat lari. Domba inilah yang akhirnya dibunuh, menggantikan si anak yang seharusnya mati.”

Kui Tek-lam terus mendengarkan. Cu Tong-liang yang sudah sadar meskipun belum dapat berbuat banyak, ternyata juga ikut mendengarkan sejak tadi.

“Kepatuhan orang itu patut diteladani. Kepatuhan anaknya yang bersedia dikorbankan demi keyakinan ayahnya, juga harus dihargai tinggi-tinggi. Namun pusat perhatian kita adalah domba jantan itu.”

“Kenapa dengan hewan itu?”

“Dia adalah lambang seseorang yang pernah datang ke dunia, menggantikan kematian umat manusia dengan kematiannya sendiri. Ia datang dari Tempat Maha Tinggi, namun mencopot kekuasaannya sendiri waktu datang sebagai manusia bumi. Kekuasaan dilambangkan dengan tanduknya, sedangkah semak berduri melambangkan kutukan atas bumi. Si domba jantan dapat disembelih karena tanduknya tersangkut semak duri. Orang itu dapat dibunuh sebagai ganti umat manusia, karena kemuliaannya ditinggalkan dan ia melibatkan dirinya dengan umat bumi yang terkutuk.”

Kui Tek-lam mulai melihat pertemuan antara dua kisah itu. Kisah seorang panglima yang menghadapi benteng musuh, dan kisah seekor domba jantan yang menggantikan kematian manusia. Katanya. “Saudara Liu, mungkinkah tanduk domba yang tersangkut semak duri itu punya arti yang sama dengan tanduk domba yang dijadikan terompet dan dibawa mengelilingi benteng musuh si panglima?”

Liu Yok bersyukur Kui Tek-lam begitu cepat menangkap makna kisah-kisahnya. Dan Cu Tong-liang agaknya juga demikian. “Tanduk domba jantan yang tersembelih itu, kemuliaan Orang yang telah mengorbankan dirinya itulah yang sekarang kubunyikan sambil mengelilingi kota Lam-koan.”

Kui Tek-lam mengangguk, tetapi untuk percaya, nanti dulu. Ia belum melihat buktinya. Liu Yok juga tidak memaksa Kui Tek-lam untuk percaya. Saat itu sudah saatnya makan siang. Liu Yok dan Kui Tek-lam bekerja sama menyiapkan makan siang darurat mereka, juga meladeni Cu Tong-liang.


Kegagalan Hong Pai-ok pada detik-detik terakhir ketika hendak “merebut sukma” Kui Tek-lam dan Thiam Gai, menyadarkan tokoh Pek-lian-hwe ini bahwa di pihak musuh ada “dukun”nya juga.

“Dulu waktu Siau Hok-to berhasil menyantet Lo Lam-hong dan Pang Hui-beng, mungkin dukun Manchu itu belum terjun ke gelanggang. Tetapi setelah dukun itu datang, dan sekarang entah bersembunyi di mana, dia dapat mempengaruhiku, bahkan menghalangi setiap tindakanku.”

Hong Pai-ok penasaran. Ia sudah menyebar undangan agar malam itu setiap pengurus Pek-lian- hwe Lam-koan yang berpangkat “kipas putih” ke atas berkumpul untuk berunding malam itu. Namun sebelum pertemuan di “Kota Bunga Persik” dimulai, jauh sebelumnya, sejak matahari terbenam, Hong Pai-ok sudah berada di “Kota Bunga Persik” untuk melakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan yang dilakukannya bukan sekedar pemeriksaan fisik, misal kebersihan bangunannya, melainkan dengan kepekaannya sebagai jagoan ilmu gaib Hong Pai-ok juga memeriksa “penjaga-penjaga tak terlihat” yang ditaruh di tempat-tempat tertentu.

Dan Hong Pai-ok kecewa dengan hasil pemeriksaan itu. Gerutunya, “Teledor sekali orang-orang Lam-koan ini memelihara kehadiran tentara angkasa dengan se-saji-sesaji yang diperlukan.”

Kemudian Hong Pai-ok bersemedi sendirian di depan altar, mencoba berhubungan dengan “tentara angkasa” yang ada di tempat itu. Tidak lama kemudian, tubuhnya bergetar hebat, lalu rebah dan kejang dengan mulut berbusa. Dan dari mulutnya sendiri terdengar suara seorang perempuan,

“Suara sangkakala perang sudah dibunyikan... Sangkakala perang sudah dibunyikan....”

Dengan mulutnya sendiri yang tiba-tiba menjadi kaku, Hong Pai-ok bertanya, “Siapa kau?”

Dan mulutnya sendiri juga yang menjawab, tetapi suaranya suara perempuan. “Bersikaplah sedikit hormat! Panggil aku paduka Ratu!”

Lalu tubuh Hong Pai-ok menggeliat-geliat sambil berdesis kesakitan agaknya sangat tersiksa. Di tengah-tengah kesakitannya itulah ia paksakan mulutnya untuk berkata sepatah demi sepatah, “Maafkan hamba, Paduka Ratu. Maafkan kelancangan mulut hamba.”

Biarpun sudah minta maaf, siksaan tidak segera berhenti. Hong Pai-ok masih menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan beberapa saat lagi, sebelum akhirnya berhenti dengan napas terengah-engah, keringat bercucuran dan pakaiannya jadi berantakan.

“Bolehkah hamba mengetahui siapa Paduka Ratu?” tanya Hong Pai-ok.

Suara perempuan dari mulutnya menjawab, “Aku disebut Ratu Berjubah Ungu, penguasa atas semua sihir, ramalan nasib, ramalan keberuntungan, ramalan perbintangan. Tugasku adalah menjebak manusia sebanyak-banyaknya memasuki bencana abadi melalui perangkap-perangkap tadi!”

“Ampun Paduka, apa yang Paduka Ratu maksudkan dengan terompet perang sudah dibunyikan tadi?”

“Terompet itu sudah terdengar di Lam-koan, terompet yang akan meruntuhkan benteng kita di sini, memaksa kita melepaskan cengkeraman atas jiwa- jiwa di Lam-koan, apabila tidak segera ditanggulangi. Terompet yang kudengar ribuan tahun yang lalu dan memaksaku kabur dari bentengku yang dulu. Terompet yang kudengar ratusan tahun yang lalu juga, dan membuatku dilucuti, dan sekarang aku tidak mau harus pergi lagi dari benteng ini. Lakukan sesuatu untuk mempertahankan benteng ini!”

“Mohon petunjuk Sang Ratu, apa yang harus kami lakukan?”

“Selenggarakan upacara korban manusia yang lengkap. Undang bala bantuan lebih banyak lagi dari kerajaan angkasa. Jangan terlambat.”

“Perintah Sang Ratu akan kami jalankan.”

“Kalau sampai gagal, aku akan mengejarmu kemana pun kau pergi, Hong Pai-ok. Jiwamu milikku.”

Hong Pai-ok menjawab kecut, “Hamba paham, Sang Ratu.”

Suara perempuan tak berwujud yang berkata-kata lewat mulut Hong Pai-ok itu sekarang tertawa terkekeh-kekeh. Ketika tawa itu terhenti, Hong Pai-ok terhempas sehingga kepalanya membentur lantai cukup keras, kemudian perlahan-lahan bangkit duduk kembali. Kekuatannya seperti terhisap habis.

Ketika ia sedang mengumpulkan tenaga sambil merapikan pakaian dan rambutnya, maka tokoh-tokoh Pek-lian-hwe cabang Lam-koan yang diundang pun mulai berdatangan. Siau Hok-to Si Ketua Cabang, Thai Yu-tat Si Wakil Ketua Cabang yang berambisi mendongkel ketuanya untuk menggantikan kedudukannya.

Ui Kong Hwesio Si Pendeta Gadungan yang tidak tahu-menahu sedikit pun ajaran kasih sayang Sang Buddha, sebab sesembahannya yang sesungguhnya adalah Dewa Cahaya yang menuntut keberanian mengorbankan orang lain. Dalam Pek-lian-hwe cabang Lam-koan ia adalah “perwira kipas putih” pertama.

Kemudian Phui Se-san Si “Perwira Kipas Putih” ke dua, dan akhirnya Kang Liong Si “Perwira Kipas Putih” ke empat. “Perwira Kipas Putih” ke tiga adalah Nyo In-hwe yang sudah mati secara misterius. Itulah segelintir manusia yang mengendalikan Lam-koan saat itu dengan ke- bohongannya dan sihirnya.

Masing-masing memberi hormat kepada Hong Pai-ok, namun tak seorang pun berani menanyakan tentang pakaian dan tampang Hong Pai-ok yang agak berantakan itu. Sesuai dengan sifatnya, Hong Pai-ok tidak mendengar dulu laporan-laporan atau usul-usul dari pengurus setempat, tetapi langsung saja berbicara dengan gaya memerintahnya.

“Tadi sengaja aku datang lebih awal untuk memeriksa tempat ini, aku terkejut menemukan betapa kendornya kalian merawat tempat suci ini. Meskipun perawatan secara fisik cukup baik, tetapi perawatan yang gaib, yang membuat roh-roh penolong kita betah tinggal di sini, ternyata telah kalian abaikan. Pantas kalau selama ini kalian gagal mengatasi anjing-anjing Manchu itu!” Bicara sampai di sini, pandangan Hong Pai-ok tertuju ke arah Siau Hok-to Si Ketua Cabang, dengan sorot mata menyalahkan.

Thai Yu-tat Si Wakil Ketua yang mengingini kedudukan Siau Hok-to, kini berkesempatan untuk mencari muka terhadap Hong Pai-ok dengan ikut menyalahkan Siau Hok-to, “Nah, Kakak Siau, benar tidak yang kukatakan dulu?”

Siau Hok-to melirik wakilnya itu dengan mendongkol, tetapi untuk menghindari pertengkaran, ia hanya menjawab kepada Hong Pai-ok, “Mungkin aku memang bersalah, Kakak Hong.”

“Bukan mungkin bersalah, tetapi pasti bersalah!” bentak Hong Pai-ok. “Pasti! Sadari itu!”

“Baiklah, aku mengaku bersalah. Tetapi aku tak mengabaikan sama sekali sesaji-sesaji untuk mempertahankan kehadiran pengaruh kita di kota Lam-koan ini. Belum sampai sebulan yang lalu, bahkan kuperintahkan menanam empat macam korban manusia di empat penjuru kota.”

Thai Yu-tat menyela, “Tetapi kita tetap kebobolan. Buktinya Saudara Nyo dan Saudara Ang terbunuh.”

“Itu suatu tanda bahwa kalian tidak sungguh-sungguh memuja dewa-dewa kita, maka dewa-dewa kita pun tidak sungguh-sungguh melindungi kita. Tadi aku mendapat peringatan dari salah satu pelindung kita, Sang Ratu Berjubah Ungu, pelindung dan penguasa semua jenis sihir dan nujum, bahwa cengkeraman kita atas Lam-koan bisa lepas, kalau kita lengah!”

“Mohon petunjuk Kakak Hong, apa yang harus kita lakukan?”

“Adakan korban delapan belas manusia! Cengkeraman kita atas Lam-koan takkan tergoyahkan lagi!”

Siau Hok-to terbungkam. Meskipun ia adalah ketua cabang, dan wataknya juga sudah terpengaruh oleh ilmu sihir yang dipelajarinya, namun upacara yang diusulkan oleh Hong Pai-ok itu membuatnya bimbang. Itulah upacara tertinggi menurut kepercayaan kaum Teratai Putih, di mana delapan belas manusia dibakar hidup-hidup di depan dewa-dewa pujaan Pek-lian-hwe. Memang akan menghasilkan peningkatan pengaruh yang luar biasa, tetapi Siau Hok-to bimbang.

“Kenapa diam, Saudara Siau?”

“Upacara selengkap itu... apakah sudah diperlukan sekarang?”

Thai Yu-tat yang menjawab, “Apa yang Kakak Hong katakan, pasti benar! Kalau Kakak Hong bilang perlu upacara itu, pasti perlu!”

“Masalahnya, apakah di Lam-koan ini terdapat delapan belas manusia memenuhi syarat untuk dikorbankan dalam upacara itu?”

Siau Hok-to katakan itu, sebab dalam upacara itu yang dikorbankan bukan manusia-manusia biasa, melainkan harus memenuhi syarat. Yaitu manusia yang sama sekali tidak rela akan kematiannya. Manusia yang sedang menyongsong hari depan yang indah, sedang melambung harapannya, pokoknya manusia yang sedang tidak rela mati. Bukan manusia-manusia yang memang kepingin mati, misalnya yang putus asa karena banyak hutang.

Manusia-manusia yang tidak rela mati inilah yang justru akan dibunuh, orang-orang Pek-lian-hwe percaya bahwa ketidak relaan orang-orang ini akan menghasilkan “kekuatan” waktu mereka menemui detik kematiannya, “kekuatan” itu adalah kebencian, dan “kekuatan” yang terpancar itulah yang akan digunakan Hong Pai-ok dan kawan-kawannya untuk dijadikan kutukan yang diarahkan kepada lawan-lawan mereka. Maka Siau Hok-to mengutarakan keraguannya tadi.

Namun Thai Yu-tat yang sedang bersemangat “mengumpulkan nilai baik” di mata Hong Pai-ok, menjawab dengan gagah, “Kalau kita benar-benar berniat, bertekad bulat dalam hati, pastilah kita akan dapatkan kedelapan belas orang itu. Hanya orang- orang bersemangat lembek saja yang belum-belum sudah putus asa.”

“Saudara Thai sudah punya pandangan tentang delapan belas calon korban ini?” pertanyaan Siau Hok-to bernada sinis dan bertujuan memojokkan Thai Yu-tat.

Tak terduga Thai Yu-tat benar-benar sudah nekad, sahutnya, “Dalam waktu setengah bulan ini, adik perempuanku akan menikahkan salah seorang puterinya. Keponakan perempuan itu sedang penuh harapan menyongsong hari bahagianya, nah, bukankah dia cocok untuk korban? Begitu juga calon suaminya. Nah, dengan demikian kita sudah dapat dua. Tinggal kurang enam belas orang.”

Bicara soal menyembelih keponakan perempuannya dan calon suaminya itu, ternyata Thai Yu-tat mengucapkan dengan datar dan ringan saja, tak ubahnya seperti secara menyembelih tikus saja.

Dan itu dipuji oleh Hong Pai-ok, “Saudara Thai ini sungguh luar biasa penghayatannya terhadap ajaran luhur Pek-lian-hwe kita, yang mengajarkan agar berani berkorban dan mengorbankan apa saja demi kejayaan Ibu Abadi Tanpa Asal-usul dan puteranya Sang Dewa Cahaya!”

Thai Yu-tat mengangguk-angguk dengan bangga sambil melirik ke arah Siau Hok-to. Pembicaraan kemudian beralih ke pelaksanaan upacara besar yang direncanakan itu. Regu-regu yang akan bertugas menyediakan korban-korban manusia pun dibentuk. Dan regu-regu ini akan bertanggung jawab kepada Thai Yu-tat.

Sebab Hong Pai-ok sendirilah yang menunjuknya demikian. Ini semacam isyarat bahwa Hong Pai-ok sebagai orang pusat agaknya lebih condong kepada Thai Yu-tat dibanding Siau Hok-to yang nampak ragu-ragu dan tidak setegas wakilnya itu.

Kemudian pertemuan dibubarkan. Siau Hok-to pulang ke rumahnya dengan perasaan masygul. Dalam beberapa hari ini cukup banyak persoalan yang membuatnya masygul. Tak diketahui sebab-musababnya, ilmu pengobatan Siau Hok-to yang dulunya hebat karena ditopang sesuatu yang gaib, sekarang menurun. Banyak pasien yang tidak sembuh dan mulai meninggalkan Siau Hok-to.

Siau Hok-to heran, padahal dirinya tidak kendor ibadahnya kepada Sang Dewa Cahaya, bahkan anak satu-satunya jadi tumbal ilmu pengobatan gaibnya sehingga anak itu gila dan harus terus dikurung di ruang bawah tanah.

Selain soal itu, soal Thai Yu-tat yang semakin getol berusaha mendesak kedudukannya sebagai ketua cabang, dan nampaknya Hong Pai-ok memberi angin. Rasa masygul dan kecewa bertumpuk-tumpuk di hati Siau Hok-to, rasanya percuma ia telah mengorbankan anak satu-satunya sebagai tumbal kesuksesannya, sekarang bintang terangnya mulai pudar sementara anak perempuannya terkatung-katung dalam nasib yang lebih buruk daripada mati.

Siau Hok-to melangkah perlahan di halaman belakang rumahnya, sebab “Kota Bunga Persik” yang sangat dirahasiakan letaknya itu sesungguhnya saling membelakangi dengan kediaman Siau Hok-to. Lewat sebuah pintu tembus kecil, Siau Hok-to bisa langsung sampai ke halaman belakang rumahnya.

Saat itu tengah malam. Di saat-saat seperti itu, biasanya sayup-sayup akan terdengar suara lolong tangis bercampur tawa dan teriakan anak Siau Hok-to yang gila itu, yang ruang penyekapannya tepat di bawah halaman belakang itu. Suara yang setiap kali menyayat hati Siau Hok-to. Namun malam itu, ketika ia melangkah di halaman belakang, sama sekali tidak terdengar suara itu.

Siau Hok-to menghentikan langkahnya, tertegun, memiringkan kepalanya agar kupingnya bisa mencengar lebih tajam. Tetap tak terdengar suara itu. Tiba-tiba Siau Hok-to seperti disadarkan, bukan hanya malam itu suara anaknya tidak terdengar, tetapi rasanya sudah beberapa malam sebelumnya.

Tiba-tiba perasaan Siau Hok-to bergetar, campur aduk antara perasaan cemas. Perasaan lega yang tidak pernah muncul terang-terangan, bahwa seandainya anak itu mati, artinya bebas dari penderitaan berkepanjangan. Tapi cemas juga kalau membayangkan anaknya itu mati. Ia tak mau memikul beban perasaan itu sendirian, dia lalu berteriak, “A-hoooook!”

A-hok adalah seorang bujang di rumahnya yang setia merawat puteri Siau Hok-to sehari-harinya, karena Siau Hok-to sendiri tidak tahan melihat keadaan puterinya. Kamar tidur A-hok memang di bagian belakang rumah itu, maka ketika majikannya meneriakinya berulang kali dia pun muncul dari kamarnya sambil menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk.

“Ada apa, Tuan?”

“Bagaimana keadaan A-kui belakangan ini? Kenapa dalam beberapa hari ini tidak kudengar suaranya?”

Bicara soal momongannya ini, A-hok tiba-tiba hilang kantuknya. Lalu jawabnya. “Sudah tiga empat hari ini, memang terjadi perkembangan yang aneh, Tuan. Perkembangan yang tidak masuk akal.”

“Perkembangan ke arah membaik atau memburuk?”

“Membaik, Tuan.”

“Coba ceritakan.”

“Belakangan ini Nona A-kui menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Tidak berteriak-teriak, tidak melumurkan kotorannya ke tubuhnya, tidak mengamuk. Dan mau makan secara teratur, meski sedikit.”

“Wah, itu kemajuan besar. Apakah dia juga sudah mau berpakaian dan mandi?”

“Yang ini belum, Tuan.”

Hati Siau Hok-to tiba-tiba meluap dengan rasa haru. Selama bertahun-tahun jiwanya terkurung perasaan berdosa, ia menikmati kesuksesan sebagai tabib hebat yang dipuja-puja di Lam-koan, sementara anak satu-satunya menghabiskan waktu di kerangkeng bawah tanah sebagai tumbal ilmunya. Mendengar berita dari A-hok ini, tentu saja Siau Hok-to gembira.

Tapi dia lalu menghubungkan berita membaiknya puterinya ini dengan kemerosotan wibawanya sebagai ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan, kemerosotan ilmu penyembuhannya, dan juga menurunnya rejekinya lewat toko obatnya. Apakah karena tumbalnya hampir “habis masa berlaku”nya maka ia mulai merosot sedangkan anaknya mulai sembuh?

Belum ada jawab i yang pasti, namun Siau Hok-to tiba-tiba jadi ingin melihat keadaan anaknya malam itu juga. “Aku ingin melihat dia. Sekarang.”

“Mari kuantarkan, Tuan.”

Mereka berdua menuju ke tempat penyekapan A-kui. Mereka memasuki ruang bawah tanah yang pertama, yang adalah ruang pribadi tempat Siau Hok- to memuja dewanya. Lalu turun satu tingkat lagi, dan di situlah ruang penyekapan A-kui yang tidak pernah diinjak Siau Hok- to selama bertahun-tahun.

Ruangan itu setiap hari dibersihkan oleh A-kui Si Bujang setia, toh baunya tetap busuk juga. Dan udaranya menyesakkan. Kalau malam hanya diterangi sebatang obor yang ditancapkan di dinding. Pergantian udara terjadi lewat pipa-pipa yang terjulur ke permukaan tanah.

Mencium udara dari situ, Siau Hok-to hampir muntah, tetapi A-hok yang sudah terbiasa itu tidak terpengaruh, la cabut obor dari dinding, didekatkan ke arah terali besi agar majikannya bisa melihat lebih jelas keadaan puterinya.

Mata Siau Hok-to berkaca-kaca melihat anak satu-satunya itu tertidur miring di lantai, tanpa alas apa pun. Tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, dengan tubuh kotor dan berbau sebab bertahun-tahun tidak mau mandi, rambutnya yang panjang juga gembel bergumpalan. Namun Siau Hok-to tidak dapat melihat wajahnya sebab puterinya itu membelakanginya.

Suara nurani yang sudah lama ditindasnya, tiba-tiba serasa bangkit dan mendakwa Siau Hok-to, “Kau jual anakmu demi kepuasanmu sendiri.”

Suara lain membantahnya, suara yang selama ini begitu berkuasa atas pikiran Siau Hok-to. “Tidak, aku tidak mementingkan diri sendiri. Aku akan korbankan anakku untuk kepentingan banyak orang. Aku memperoleh ilmu pengobatan yang hebat, dan aku dapat menolong banyak orang.”

Tetapi suara yang pertama tidak segera diam, melainkan terus menggugat, “Untuk kepentingan banyak orang, atau untuk kemasyhuranmu? Banyak orang yang kelihatannya tertolong olehmu itu, ternyata tidak sungguh-sungguh tertolong, tetapi justru kau dorong masuk perangkap yang lebih dalam ketergantungan dengan obat-obat buatanmu.”

Siau Hok-to mengepalkan kedua tinjunya untuk menahan emosinya, dia malu kalau sampai gejolak perasaannya itu diketahui A-hok bujangnya. Toh tak terkendali ia berdesis juga, “Semoga cepat sembuh, anakku. Kurangilah beban rasa berdosa ayahmu ini, hiduplah bahagia di hari depan.”

Tak terduga desisan yang sangat lirih itu, begitu lirihnya sampai A-hok yang di sebelahnya pun tidak mendengar, ternyata malah membuat mata A-kui terbuka dan langsung meraung, “Tidak! Kami memiliki tubuh ini dan akan berdiam terus di sini! Persetan dengan suara terompet itu! Kalau kami harus pergi juga, akan kami hancurkan tempat tinggal kami ini!”

Siau Hok-to berkeringat dingin. Sebagai seorang yang berkecimpung ilmu gaib, ia tahu bahwa yang menjawab itu bukan puterinya melainkan “penghuni” puterinya. “Penghuni” puterinya yang selama ini membantu keberhasilan Siau Hok-to sebagai tabib top.

Siau Hok-to heran, tadi di “Kota Bunga Persik” Hong Pai-ok menyinggung sekilas tentang “terompet perang yang sudah didengar” dan sekarang “penghuni” puterinya juga menyinggung soal terompet itu. Terompet apa? Agaknya mahluk-mahluk gaib sesembahan Pek-lian-hwe itu merasakan ancaman yang sama.

Betapa pun besar pengharapan Siau Hok-to akan pulihnya puterinya, tapi lebih besar lagi ketakutannya terhadap mahluk-mahluk gaib yang selama ini sudah terlanjur disembah, dimanjakan dan dipenuhi semua tuntutannya. Apalagi waktu ingat nasib Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu yang tubuhnya hancur terkoyak-koyak di depan altar pemujaan mereka sendiri. Ada dugaan bahwa sang sesembahan sendiri yang menghancurkan pemuja-pemujanya sendiri.

Mendengar kata-kata kemarahan dari mulut puterinya itu, Siau Hok-to gemetar ketakutan dan menjawab, “Maafkan kata-kataku tadi. Dalam mengharapkan kesembuhan anakku, aku sama sekali tidak berniat mengusir kalian. Kusangka kedua hal itu adalah urusan yang berbeda.”

“Ketahuilah, anakmu adalah kepunyaan kami!”

Siau Hok-to kasihan kepada anaknya, artinya anaknya akan terus dianiaya oleh “penghuni-penghuni asing” dalam dirinya itu, namun ia tidak berani menentang mahluk-mahluk gaib itu.

Buru-buru Siau Hok-to mengajak bujangnya berlalu dari tempat itu. Dan sepanjang malam itu, suara raungan, teriakan, tangisan, ancaman dan sumpah serapah yang sudah beberapa malam tak terdengar, sekarang terdengar lagi.


Fajar belum merekah di balik bukit. Namun Liu Yok sudah bangun dan duduk merenung di lereng bukit di belakang reruntuhan rumah yang jadi “markas darurat” agen-agen kerajaan dari Pak-khia itu. Liu Yok duduk merenung dan melihat kota Lam-koan jauh di bawahannya masih remang-remang. Kemudian Liu Yok memejamkan matanya, dan melihat dengan matanya yang lain.

Ia melihat kota Lam-koan terkurung suasana yang suram, kabut tebal melingkupinya, seluruh kota ditumbuhi semak belukar termasuk jalanan-jalanannya. Seluruh kota juga dipenuhi hewan-hewan buas yang berkeliaran seperti singa, serigala, buaya, ular, burung-burung pemakan bangkai yang kelihatan bertengger di setiap tempat.

Dalam suasana yang mirip padang belantara itulah terlihat rakyat Lam-koan melakukan kegiatannya sehari-hari. Nampak orang-orang yang keluar masuk rumah, berjual beli, berbicara, berada di jalanan. Dan kelihatan betapa orang-orang Lam-koan itu hidup di bawah ancaman dan kendali hewan-hewan liar itu.

Sebagai contoh, Liu Yok melihat seorang penduduk Lam-koan sedang berjalan gontai dan di depannya ada seekor anjing besar yang mendahului jalannya. Ada seutas tali yang menghubungkan antara dua jenis mahluk itu. Kalau tidak diperhatikan benar, Liu Yok akan menyangka bahwa orang itu sedang berjalan-jalan sambil menuntun anjingnya, suatu kebiasaan yang ditiru dari orang-orang Portugis di Makao dan Kanton.

Manusia dan anjing itu melewati sebuah rumah judi. Manusia ingin berjalan terus, namun si Anjing Besar dengan mulutnya menarik-narik tali itu dan mengajak orang itu berbelok ke rumah judi. Kemudian terlihat jelas, bahwa bukan manusia yang menuntun anjing, melainkan sebaliknya, anjing yang menuntun manusia. Anjing itu menggigit ujung tali dan menuntun manusia ke mana pun yang si Anjing kehendaki, ujung tali lainnya menjerat leher Si Manusia.

Liu Yok menarik napas. Apa yang dilihatnya itu tidak wajar. Seluruh Lam-koan kelihatan berkabut, tak ada cahaya setitik pun. Situasi demikianlah manusia-manusia dikuasai hewan-hewan liar itu. Tetapi tiba-tiba Liu Yok melihat di pinggiran kota ada cahaya yang redup bergerak-gerak. Liu Yok mempertajam pandangannya, terlihat seorang berjalan membawa obor.

Cahaya obor itu ternyata menakutkan hewan-hewan liar itu, terbukti waktu Si Pembawa Obor lewat maka hewan-hewan minggir ketakutan dan orang-orang yang dikuasai hewan-hewan itu bebas untuk sementara. Tetapi Si Pembawa Obor berjalan lewat, dan setelah dia jauh dan cahaya obornya tidak kelihatan lagi maka hewan-hewan liar kembali mendikte dan menggiring manusia.

Liu Yok tidak suka melihat adegan itu, ia juga jengkel melihat Si Pembawa Obor itu ternyata berjalan membawa obornya sambil menudungi obornya dengan sebuah buyung tanah liat. Pantas kalau obornya hanya menyala redup, dan tidak terlalu menakutkan hewan-hewan liar itu.

“Seandainya buyung tanah liat itu dibuang atau dipecahkan sama sekali.” Liu Yok berpikir penasaran sekali dalam hatinya.

Liu Yok tergagap dan matanya terbuka, ketika Kui Tek-lam menepuk pundaknya sambil berkata, “Makan pagi sudah siap, Saudara Liu. Bukan kentang rebus lagi seperti biasanya. Bosan. Aku baru saja berlari pulang-balik membeli bak-pao di kampung sebelah. Ayo, masih hangat.”

Begitu Liu Yok membuka mata, yang dilihatnya tentang Lam-koan yang dipenuhi hewan-hewan liar itu pun menghilang. Pandangannya sekarang adalah pandangan mata ragawinya yang memandang tidak berbeda orang lain memandang. Yang kelihatan dari atas tebing sekarang adalah Lam-koan yang cerah menyongsong fajar, dengan dermaga sungainya yang sibuk sepanjang hari melayani kapal-kapal yang datang dan pergi.

Sambil melangkah menuruni tebing menuju ke reruntuhan rumah, Liu Yok tidak berkata apa-apa, sebab ia sedang sibuk merenungkan isyarat-isyarat yang diterimanya.

“Kemarin malam aku bermimpi tentang buyung tanah liat yang berisi batu, sehingga tidak dapat berisi banyak air sungai yang bisa menghidupkan kembali tanah gersang. Baru saja aku melihat obor yang ditudungi buyung tanah liat, sehingga cahaya obor yang mestinya dapat menghalau hewan-hewan liar, hanya membuat hewan-hewan itu mundur sesaat namun kemudian menguasai mangsanya kembali. Buyung tanah liat, inilah kuncinya. Buyung tanah liat ini harus dikosongkan, dibersihkan, bahkan kemudian diremukkan.”

“Saudara Liu sedang memikirkan apa?”

“Suatu isyarat yang belum terpecahkan.”

Kui Tek-lam tidak bertanya lagi. Tahu diri. Tahu bahwa urusan Liu Yok jauh berbeda dengan urusan di dunianya Kui Tek-lam. Maka Kui Tek-lam lebih suka tanya soal lain, soal yang masih termasuk “dunianya Liu Yok” namun sedikit-sedikit sudah dapat dipahaminya, “Saudara Liu, hari ini apakah Saudara akan mengelilingi kota Lam-koan lagi, seperti kemarin?”

“Ya. Saudara Kui masih mau ikut?”

Kui Tek-lam berpikir sejenak, akhirnya menjawab, “Baik.”

Liu Yok tersenyum, “Saudara Kui agaknya lebih punya minat terhadap soal-soal macam ini, daripada Saudara Thiam.”

“Saudara Thiam lambat laun juga akan percaya bahwa hal-hal adi-kodrati itu ada. Sampai detik ini, aku yakin, dia masih terheran-heran soal orang yang menolong kami kemarin dulu.”

“Baru sampai tahap terheran-heran.”

“Ya. Pertama heran. Kedua ingin tahu rahasianya. Ketiga belajar.”

“Saudara Kui sendiri sudah di tahap berapa?”

“Barangkali tahap ke dua. Ingin tahu.”

Mereka tiba di reruntuhan, lalu makan bak-pao. Ternyata Cu Tong-liang sekarang sudah bisa mengangkat punggungnya sehingga tidak lagi bersandar tembok, jari-jarinya sudah bisa memegang bak-pao dan lengannya sudah bisa bergerak sehingga dia pun bisa makan sendiri meskipun perlahan. Dia juga sudah bisa berbicara, meski hanya kata-kata pendek.

Hari itu, Liu Yok dan Kui Tek-lam kembali berjalan berkeliling kota Lam-koan. Liu Yok bernyanyi- nyanyi sepanjang jalan, seperti kemarinnya, tidak menggubris orang-orang yang menganggapnya gila. Bahkan ada anak-anak kecil beberapa orang yang mengikutinya dan melempari batu ke arah “orang gila baru” di Lam-koan ini.

Waktu sebutir batu mengenai kepala Liu Yok, anak-anak kecil itu bersorak lalu berlari menjauh, namun segera berkerumun kembali. Kui Tek-lam jadi sibuk menghalau anak-anak itu, namun tiap kali anak-anak itu balik kembali.

Diam-diam Kui Tek-lam menggerutu dalam hati, “Kalau kulaporkan tindakanku ini kepada Jenderal Wan Lui, entah dia mau percaya atau tidak?” Tetapi pikiran lain membantahnya, “Namun Jenderal Wan sendirilah yang mengusulkan kepada kami untuk membawa Liu Yok dalam operasi ini.”

Ketika tiba di dekat pasar, “orang gila” Liu Yok berpapasan dengan orang gila yang sesungguhnya. Yaitu Pang Hui-beng. Kui Tek-lam hampir tidak mengenali lagi rekannya sesama perwira istana itu, sebab Pang Hui-beng sekarang lebih kurus, kulitnya lebih hitam kena cahaya matahari dan juga karena daki hasilnya tidak mandi belasan hari, pandangan matanya kadang liar kadang hampa.

Pakaiannya compang-camping dan celana di bagian pantatnya somplak besar sehingga sebelah pantatnya kelihatan. Ia kadang menangis, tertawa, mencaci-maki, mengejar anak-anak. Kui Tek-lam hampir menangis melihat keadaan sahabatnya itu.

Saat itu terjadilah sesuatu ketika Pang Hui-beng berpapasan dengan Liu Yok. Sebelumnya Pang Hui-beng sedang berjongkok sambil makan nasi sisa di depan sebuah warung, alas nasinya hanya selembar kertas kumal. Sambil makan juga diganggu oleh anak-anak kecil.

Tetapi begitu melihat Liu Yok, Pang Hui-beng tiba-tiba berdiri, terbelalak ketakutan menatap Liu Yok. Sisa nasinya dibuang begitu saja, lalu berteriak menuding Liu Yok, “Hentikan suara terompetmu! Hentikan! Kami tidak tahan lagi!”

Karena Liu Yok tidak menuruti perintahnya, dari mulut Pang Hui-beng pun terdengarlah lolongan keputus-asaan, kemudian dia lari terbirit-birit sambil menutup kedua belah kupingnya.

Orang-orang di dekat pasar dan di pinggir jalan itu banyak yang tertawa melihat adegan lucu “bertemunya dua orang gila” itu. Anak-anak kecil pun bersorak-sorak. Namun Liu Yok sendiri dengan sikap acuh tak acuh terus melangkah sambil terus bersenandung. Karena merasa agak malu, Kui Tek-lam mengikutinya dari jarak agak jauh, belasan langkah.

Tetapi di antara orang-orang yang duduk di warung di depan pasar, ada dua orang yang tidak ikut tertawa menyaksikan kejadian tadi. Dua orang itu dandanannya biasa, tidak terlihat berbeda dengan pengunjung-pengunjung warung lainnya.

Namun setelah melihat adegan “lucu” tadi, yang seorang berbisik kepada temannya, “Mungkin ini orangnya yang dikehendaki oleh Kakak Hong Pai-ok. Si Dukun Manchu yang sering menggagalkan sihir kita.”

“Bagaimana kau bisa sampai berpendapat begitu?”

“Tidakkah kau dengar teriakan Pang Hui-beng tadi? Yang berteriak itu sebenarnya bukan Pang Hui-beng, melainkan roh-roh yang di dalam tubuh Pang Hui-beng, yang dimasukkan oleh Kakak Siau melalui 'sihir mata ke tiga'-nya.”

“Teriakan tentang... suara terompet itu?”

“Betul. Menurut Kakak Thai, Kakak Hong mendapat isyarat gaib berulang kali tentang 'suara terompet' itu. Jadi Si Dukun Manchu itu barangkali sedang mengelilingi kota untuk menyebarkan pengaruh gaibnya menentang kita, lagak gilanya itu mungkin hanya dibuat-buat.”

“Kalau begitu, kita harus cepat bertindak. Kau laporkan kepada Kakak Thai, sedangkan aku biar menguntit dukun Manchu itu diam-diam, sambil sepanjang jalan kutinggalkan tanda-tanda agar kalian bisa mengikutinya.”

“Baik.”

Kedua orang itu bergegas membayar makan minum mereka dan kemudian meninggalkan warung. Di luar warung, mereka berpisah. Satu orang mengikuti Liu Yok diam-diam, satu orang hendak melaporkannya kepada Thai Yu-tat yang sedang berada tidak jauh dari situ.

Liu Yok yang sedang “tenggelam” dalam pemujaannya kepada Yang Maha Esa, tidak sadar kehadiran orang-orang sekelilingnya, bahkan kepada dirinya sendiri pun tidak sadar, apalagi diikuti orang.

Namun Kui Tek-lam lain. Sebagai orang yang berpengalaman dalam soal mengekor orang, naluri Kui Tek-lam terasah tajam. Ratusan langkah kemudian Kui Tek-lam sudah merasakan ada yang membuntutinya, dan tidak lama setelah itu Kui Tek-lam pun sudah tahu siapa orangnya, meskipun jalanan itu sedang ramai orang berlalu-lalang.

Mengetahui hal itu, Kui Tek-lam ragu-ragu, apakah Liu Yok harus diberitahu meskipun Liu Yok sudah berpesan agar jangan diajak bicara? Akhirnya Kui Tek-lam memutuskan, Liu Yok tidak akan diberitahu lebih dulu, kecuali kalau keadaan sudah cukup mengancam.

Ketika tiba di bagian pinggiran kota yang sepi dan banyak semak belukarnya, Kui Tek-lam tahu bahwa yang mengikutinya sekarang bukan cuma satu orang, melainkan ada enam-tujuh orang yang semuanya bersenjata.

“Permainan dimulai....” desis Kui Tek-lam dalam hatinya. la sendiri tidak membawa senjata, sebab tadi ketika hendak membawa senjata, Liu Yok melarangnya dengan alasan, membawa benda yang berbau kekerasan sama dengan mengundang semangat kekerasan.

“Tetapi sekarang tanpa benda-benda berbau kekerasan di tubuh kami berdua pun, kekerasan bakal dijalankan atas kami.” keluh Kui Tek-lam dalam hati.

Di tempat belukar yang benar-benar sepi, orang-orang yang membuntutinya tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan muncul terang- terangan menghadang dan mengepung Liu Yok berdua. Semuanya memakai topeng yang dicat warna-warni, dan yang memimpin mereka agaknya adalah orang yang bertubuh pendek dan kecil serta bertopeng wajahnya Dewa Mo Sui. Dialah Thai Yu-tat, wakil ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan.

Kali ini ia tidak membawa senjata andalannya yang berupa garu besi bertangkai panjang, mungkin karena ukurannya terlalu mencolok untuk dibawa-bawa di siang hari bolong. Sekarang ia cuma membawa sepasang golok yang tadi disembunyikannya dalam jubah.

“Anjing-anjing Manchu, menyerahlah!” ancam Thai Yu-tat, sambil di balik topengnya berkomat-kamit melancarkan serangan gaib untuk melemahkan korbannya.

Namun kali ini Thai Yu-tat kecewa, karena serangan gaibnya amblas entah ke mana. Maka Thai Yu-tat memutuskan akan memakai “cara biasa” saja, sambil berharap jumlah yang banyak di pihaknya akan memperlancar urusan. Ketika melihat Liu Yok dan Kui Tek-lam tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah, Thai Yu-tat pun memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak.

Kui Tek-lam sadar, itu artinya dirinya sendirilah yang harus menghadapi tujuh orang. Liu Yok tak mungkin diikut-sertakan, sebab Liu Yok sama sekali tidak bisa berkelahi, menganggap ilmu bela diri sebagai “ilmu kekerasan”. Padahal di pihak lawan ada Thai Yu-tat, yang pernah Kui Tek-lam saksikan kehebatan dan kekejamannya waktu membantai orang-orang Thian-te-hwe dulu. Waktu itu Kui Tek-lam “masih anggota” Pek-lian-hwe.

Orang-orang itu mulai bergerak, dan Kui Tek-lam pun siap meladeni mereka, tetapi Liu Yok memegangi lengannya sambil berkata, “Jangan, Saudara Kui.”

“Saudara Liu, aku tahu kau cinta damai dan benci kekerasan. Tetapi kali ini bukan kita yang mulai, merekalah yang cari gara-gara, apakah kita akan biarkan diri kita ditangkap atau dicincang mereka?”

“Kalau itu jalan Yang Maha Kuasa untuk bisa berdialog dengan mereka, apa salahnya?”

Percakapan Liu Yok dan Kui Tek-lam itu mengherankan Thai Yu-tat dan orang-orangnya, sehingga meskipun mereka sudah mengepung dengan bersiaga, mereka belum bertindak juga. Thai Yu-tat bertanya kepada Liu Yok, “Kaulah yang selama ini menggagalkan sihir-sihir kami?”

Liu Yok menyahut, “Menggagalkan? Aku tidak pernah menunjukkan tindakanku kepada kalian. Aku hanya seorang pelaksana dari hukum-hukum kerajaan Yang Maha Kuasa, dan aku hanya bertindak semestinya.”

“Bukan di sini tempatnya berkhotbah, sekarang mau ikut aku atau tidak?”

Liu Yok menoleh kepada Kui Tek-lam, bertukar pendapat hanya melalui tatapan mata. Kui Tek-lam menggeleng, namun Liu Yok termenung. Tiba-tiba di kejauhan sayup-sayup terdengar suara seseorang berdendang tanpa kelihatan orangnya,

“Kalau buyung tanah liat masih berisi gumpal-gumpal batu iba diri, sayang kepada diri sendiri, bagaimana bisa mengalirkan banyak air untuk tanah gersang? Kalau buyung tanah liat belum dipecah-remukkan, bagaimana manusia sejati bisa memancar keluar dan menerangi dunia?”

Thai Yu-tat, Kui Tek-lam dan lain-lainnya tidak mendengar suara itu, yang mereka lihat hanyalah Liu Yok yang memiringkan kepalanya seperti sedang mendengarkan sesuatu. Sehingga Thai Yu-tat berkata, “Apa yang kau dengar?”

Ditanya demikian, Liu Yok malahan mendesiskan terima kasih yang lirih dan keputusannya mencengangkan kawan maupun lawan, “Tangkap aku!”

Kui Tek-lam terkejut. “Saudara Liu, kau....”

“Saudara Kui, aku memahami benar yang kulakukan saat ini. Bahkan aku menyesal kenapa tidak dari kemarin aku lakukan ini. Aku terlalu sayang buyung tanah liatku alias selubung perasaan sayang diri sendiri.”

“Sayang diri sendiri tidak ada salahnya.”

“Ya, tetapi membuat kemuliaan Sang Pencipta yang terpancar keluar jadi amat terbatas.”

Thai Yu-tat membentak, “Jangan berdialog soal kepercayaan di sini. Kau, anjing Manchu yang satu lagi, lebih baik kau menyerah seperti kawanmu ini!”

Kui Tek-lam saat itu ada di antara dua pilihan yang sulit. Kalau tidak mempedulikan nasib Liu Yok, tidak sulit baginya untuk kabur dari situ. Tapi kalau la ingin menolong Liu Yok, mau apa kalau yang ditolong sendiri malah lebih suka direndahkan jadi tawanan? Kui Tek-lam belum setabah Liu Yok untuk membiarkan dirinya ditawan, apalagi mengingat Cu Tong-liang yang masih butuh perawatan.

Saat dia ragu-ragu itulah tiba-tiba di kejauhan terlihat seorang tua berjalan tertatih-tatih menuruni lereng. Kui Tek-lam menajamkan matanya, dan mengenali bahwa orang tua itulah yang pernah menolongnya bersama Thiam Gai. Orang tua yang dalam perjalanan pulang berubah rupa beberapa kali. Hati Kui Tek-lam melonjak, berharap Si Orang Tua kembali menunjukkan kehebatannya untuk menolongnya dan menolong Liu Yok juga.

Mulut Si Orang Tua kelihatan bergerak-gerak di kejauhan, dan Kui Tek-lam mendengar bisikan lembut di kupingnya, lebih lembut dari dengingan nyamuk. “Biarkan Liu Yok. Itu jalan kemenangan untuk membebaskan seluruh Lam-koan.”

Kui Tek-lam tergerak hatinya, maka dia tiba-tiba melompati kepada orang terdekat dan kemudian berlari sekencang-kencangnya.

Thai Yu-tat terkejut, serunya kepada anak buahnya, “Tangkap! Kejar!”

Thai Yu-tat sendiri menyambitkan sepasang golok pendeknya ke punggung Kui Tek-lam. Namun Kui Tek-lam berhasil menghindarinya dengan bergulingan di tanah. Seorang anggota Pek-lian-hwe yang mencoba mementungnya, malah kena tendangan Kui Tek-lam yang dilakukannya sambil berguling. Kui Tek-lam tidak tercegah lagi.

Sementara Liu Yok segera dibelenggu dan kemudian digiring ke “Kota Bunga Persik”. Tetapi untuk menjaga kerahasiaan letak tempat paling keramat bagi orang-orang Pek-lian-hwe itu, Liu Yok dinaikkan joli tertutup dan matanya pun ditutup kain hitam.

Liu Yok tidak melihat apa-apa selain warna hitam pekat, dan ia merasakan guncangan tandu. Ia tidak tahu sudah sampai di' mana, namun ketika memasuki “Kota Bunga Persik” nalurinya yang sangat tajam bisa merasakannya. Dari dasar hatinya membubung tinggi doa untuk melindungi jiwa dan raganya dari kekuatan-kekuatan maha jahat yang sekarang terasa begitu kental seolah-olah bisa diraba.

Hong Pai-ok yang jarang meninggalkan “Kota Bunga Persik”, amat bersuka-cita melihat tawanan yang dibawa Thai Yu-tat. Inilah “dukun Manchu” yang menghantui pikirannya selama ini. Selain gembira, Hong Pai-ok agak berdebar juga.

Ketika ia berhadapan dengan Liu Yok yang sudah keluar dari joli dan sudah dibuka penutup matanya, Hong Pai-ok langsung merasakan wibawa yang terpancar dari dalam diri Liu Yok amat besar, menekan wibawa Hong Pai-ok sendiri sehingga rasanya ada sesuatu yang meronta di perut Hong Pai-ok.

“Siapa namamu?” tanya Hong Pai-ok segarang mungkin, sambil dalam hatinya berdoa memohon kekuatan dari dewa-dewanya. Sialnya, di saat dibutuhkan seperti saat itu, dewa-dewa pujaannya entah bersembunyi di mana, tidak ada yang terasakan kehadirannya oleh Hong Pai-ok.

Liu Yok menjawab ramah, “Liu Yok.”

“Ooo, pantas. Nama besarmu pernah dikenal oleh kaum Teratai Putih di Sekte Utara. Kau hebat dan berhasil membuat mereka gagal dalam pertemuan besar di Puncak In-hong.”

Ada rasa bangga menyelimuti jiwa Liu Yok, tetapi ia kaget sendiri ketika suara lembut di hatinya memperingatkan bahayanya kesombongan. Kesombongan berarti mempertebal lapisan “buyung tanah liat” keakuan, mempersulit pecahnya “buyung tanah liat” itu dan dengan demikian juga mempersulit terpancarnya manusia sejati, citra Sang Pencipta sendiri.

Liu Yok memohon ampun dalam hati, kemudian menjawab Hong Pai-ok, “Aku sama sekali tidak berkuasa apa-apa. Aku hanya sebuah alat di tangan-Nya.”

“Apa pun yang kau katakan kau sudah menggagalkan banyak serangan gaib kami kepada anjing-anjing Manchu yang mengganggu kami. Dan karena itu, kami menganggapmu berpihak kepada anjing-anjing Manchu itu.”

“Aku tidak bermaksud menggagalkanmu. Aku hanya merasa keberatan, kalau manusia sebagai ciptaan termulia, hidupnya ditaruh di bawah kekuasaan mahluk-mahluk gaib dan tunduk di bawah mereka, padahal seharusnya manusialah yang memerintah mereka.”

“Sihir apa yang kau pelajari?”

“Aku tidak belajar sihir. Itu terkutuk.”

“Sihir putih juga? Sihir yang untuk menolong sesama, untuk mengobati, memperlancar dapat jodoh, memperlancar rejeki, menolak bala?”

“Di kitabku dikatakan bahwa semua sihir adalah terkutuk, entah hitam entah putih. Yang mengandalkan kepadanya bukan mendapatkan pertolongan, tetapi memasuki perangkap dan menjual jiwanya.”

Kembali Hong Pai-ok merasa ada yang meronta di bawah ulu hatinya. Ia merasa geram dan tidak senang melihat ketenangan Liu Yok, yang paling menggusarkannya adalah perkataan Liu Yok yang menganggap dewa-dewa di langit lebih rendah kedudukannya dari manusia. Sulit dibedakan, yang marah itu Hong Pai-ok ataukah dewa-dewa yang bersemayam dalam tubuh Hong Pai-ok.

Hong Pai-ok lalu memerintahkan orang-orangnya, “Masukkan si mulut besar ini ke sel yang paling kecil. Pasung tangan dan kakinya!”

Liu Yok pun digiring orang-orang Pe-lian-hwe ke tempat penahanan di bawah tanah yang sangat kokoh. Bukan hanya sangat kokoh secara fisik, tetapi juga secara gaib. Waktu perbuatannya dulu sudah mengikut-sertakan perhitungan-perhitungan gaib berdasarkan letak bintang, letak tanah, letak “punggung naga” dan sebagainya.

Kemudian waktu dibangunnya juga dengan sesaji besar-besaran termasuk korban-korban manusia, setiap pintu dan lorongnya digantungi jimat-jimat penangkal. Kata orang-orang Pek-lian-hwe sendiri, tempat itu sering didatangi mahluk-mahluk aneh yang bisa menghilang, di lain saat kedengaran suara orang merintih-rintih tanpa kelihatan orangnya.

Namun ketika Liu Yok dijebloskan ke sel sempit yang ukurannya hanya satu kali dua meter, tingginya hanya satu meter setengah dan udaranya berbau bukan kepalang, gelap dan lembab, banyak kecoaknya. Sebelum sampai ke sel neraka itu, Liu Yok melewati lorong-lorong dan pintu-pintu. Melihat jimat-jimat penangkal yang bergelantungan di atas pintu-pintu itu, Liu Yok menarik napas dan berkata dalam hati,

“Inilah ujud kebodohan manusia, membangun penjara bagi jiwanya sendiri dengan menundukkan diri ke bawah kuasa-kuasa yang sebenarnya tidak patut ditunduki. Demi uang, kekuasaan, kekuatan, kecemerlangan duniawi.”

Ketika melewati sel-sel berterali besi, Liu Yok melihat beberapa sel sudah ada isinya, meskipun lebih banyak yang kosong. Di sebuah sel ia melihat Oh Tong-peng sedang meringkuk tidur miring di lantai dengan tangan dan kaki dibelenggu. Di sel yang lain, nampak seorang lelaki gemuk berpenampilan sebagai saudagar sukses, berpegangan terali besi dengan air mata bercucuran, memohon-mohon,

“Tolonglah... apa kesalahanku sehingga aku dimasukkan kemari? Aku berdagang dengan jujur, seumur hidup belum pernah merugikan orang lain satu sen pun. Keluarkan aku dari sini, kubayar berapa pun yang kalian minta.”

Penjaga-penjaga Pek-lian-hwe itu tidak mempedulikannya. Di sel lain, seorang pemuda tampan juga sedang memohon-mohon agar dilepaskan. Beberapa sel kemudian, seorang gadis cantik melakukan hal yang sama di bawah deraian air matanya.

Tergerak belas kasihannya, Liu Yok bertanya kepada orang-orang yang menggiringnya, “Siapa tawanan-tawanan itu?”

Seorang penjaganya menjawab, “Lelaki setengah baya tadi adalah pedagang paling jujur dan paling tekun di Lam-koan. Karena kejujuran dan ketekunannya, maka selagi saudagar-saudagar lainnya cepat kaya dengan main sikut kiri-kanan, Si Jujur ini lambat menjadi kaya. Hartanya terkumpul sedikit demi sedikit selama puluhan tahun, tetapi akhirnya menjadi orang kaya juga. Sebenarnya dia sedang menghadapi hari-hari cemerlang. Dia baru saja teken kontrak dengan seorang pedagang rempah-rempah besar di Kanton, untuk memasok sejumlah besar rempah-rempah dan hasil bumi dari pedalaman kepada Si Saudagar Kanton. Si Saudagar Kanton akan mengapalkannya ke negeri-negeri asing.”

“Ooo, begitu? Lalu kedua muda-mudi tadi?”

“Mereka sepasang calon pengantin yang sedang menyongsong hari bahagia mereka. Mereka sudah berpacaran bertahun-tahun dengan mengalami banyak hambatan, namun cinta mereka teguh melalui semua gelombang kehidupan, hingga akhirnya perjodohan mereka direstui keluarga kedua belah pihak. Rencananya bulan depan ini mereka akan menikah. Seluruh kota Lam-koan rasanya ikut berbahagia buat mereka.”

Liu Yok mengerutkan keningnya. “Mereka adalah orang-orang yang justru sedang mendekati saat-saat puncaknya kehidupan, kenapa mereka kalian kurung? Apa kesalahan mereka?”

“Tidak bersalah apa-apa.”

“Kenapa kalian tangkap?”

“Karena orang-orang yang sedang mendekati puncak kehidupan yang demikian itulah yang justru cocok dijadikan korban kami. Mereka akan mati penasaran, dan kebencian serta kemarahan yang mereka lepaskan bersamaan dengan lepasnya nyawa mereka, adalah saluran yang baik untuk memperkuat pengaruh kami.”

Liu Yok mulai mengerti. Rupanya orang-orang Pek-lian-hwe ini menggunakan semangat kebencian dan kemarahan sebagai saluran kekuatan adi-kodrati mereka, tidak ubahnya Liu Yok menggunakan belas kasihan dan pengesampingan kepentingan diri sendiri. Tiba-tiba saja Liu Yok berkata, “Lepaskan orang-orang itu, biar aku menggantikan mereka. Aku rela.”

Orang-orang Pek-lian-hwe yang mengantarnya tertawa, “Justru si calon korban yang rela mati itu yang tidak laku. Rela, tidak penasaran, maka waktu mati pun tidak ada semangat kebencian dan kemarahan yang terpancar, jadi tidak ada gunanya.”

Kemudian Liu Yok pun dijebloskan ke dalam sel sempitnya. Penggiring-penggiringnya menyangka Liu Yok akan menggerutu, setidak-tidaknya menunjukkan sikap tidak senangnya melihat buruknya tempat itu.

Ternyata Liu Yok tidak menunjukkan sikap yang diharapkan pengiring-pengiringnya. Liu Yok tetap kelihatan damai, bahkan ketika ia diduduk selonjorkan dan kakinya dipasung dengan balok-balok kayu yang besar dan berat dan tangannya dipasangi rantai.

Sorang anggaota Pek-lian-hwe yang pangkatnya agak tinggi rupanya, membaca mantera dan menempelkan kertas jimat ke kayu pasungan Liu Yok dan juga ke rantai besinya. Agaknya kuatir Si “Dukun Manchu” ini menggunakan “sihir”nya untuk kabur.

Kemudian pintu besi ditutup, dan Liu Yok tertinggal dalam kegelapan yang bagi orang lain akan terasa menyesakkan napas. Namun Liu Yok berkata kepada dirinya sendiri, mengulang sebuah perkataan kitab yang sangat meresap di jiwanya, “Terang bersinar bagiku dalam kegelapan. Pujilah Dia, hai segenap batinku, puj....”

Suara Liu Yok tiba-tiba lenyap, udara dalam ruangan itu tiba-tiba saja seolah-olah menghilang semua sehingga ruang yang sudah pengab itu seakan berubah menjadi ruang hampa udara di mana tak secuil udara pun bisa dihirup. Namun udara juga seakan-akan memadat dan menekan serta mencekik Liu Yok. Kedalaman jiwa Liu Yok bisa merasakan adanya kemarahan dan kebencian tak berwujud yang mempribadi yang ingin menggencetnya hancur dengan kekuatannya.

Kini tinggal jiwa Liu Yok yang dapat berseru kepada Sumber Hidupnya karena lehernya tercekik tak dapat mengeluarkan suara. Tiba-tiba tekanan terasa melonggar, dan Liu Yok dapat berkata lagi. Perkataannya ditujukan langsung ke dalam kegelapan yang mengurungnya, “Kalian tidak senang mendengarnya? Kalian ingin merampas pujian itu dari mulutku? Kalian telah gagal, dan akan tetap gagal.”

Udara semakin longgar, beberapa kali terasa memberat seperti hendak menekan kembali tetapi kemudian melonggar kembali. Liu Yok tidak berhenti bernyanyi riang meskipun telah mengalami kejadian seperti tadi.

Di ruangan gelap itu, jalannya waktu tidak diketahui. Tetapi tentu sudah berjam-jam, sebab Liu Yok sudah merasakan perutnya lapar. Namun tak seorang pun muncul membawakan makanan maupun minuman. Tenggorokan Liu Yok mulai terasa kering, meskipun ia berulang kali membasahinya dengan menelan ludahnya. Rasa lapar masih lebih mudah ditahan daripada rasa haus. Tetapi dalam keadaan haus itu Liu Yok tetap saja bersenandung.

Waktu rasa lapar dan haus telah demikian menyiksa, Liu Yok baru mulai mengerti artinya “memecahkan buyung tanah-liat”. Akhirnya mulut Liu Yok tak bisa bersuara lagi, kaku dan kering, tetapi sorak-sorai dalam jiwanya tidak menurun malahan semakin menghebat. Jiwanya seperti sebuah kota yang sedang berpesta. Pesta suci.

Dalam keadaan setengah sadar, pintu sel dibuka dan seorang anggota Pek-lian-hwe masuk membawa nampan. Di atas nampan ada semangkuk makanan lezat, buah-buahan dan minuman harum. Baunya merangsang selera.

“Anjing Manchu, makanlah. Kami belum ingin kau mati,” kata si anggota Pek-lian-hwe sinis.

Dorongan alami tubuh Liu Yok yang sedang kelaparan dan kehausan itu langsung menanggapi tawaran itu secara alamiah. Tangan Liu Yok sudah terulur ke arah mangkuk minuman, tetapi ada susuatu dalam jiwa Liu Yok yang menahan gerakan itu, dan Liu Yok bertanya lebih dulu, “Darimana makanan dan minuman ini?”

“Dari dapur, tentu saja.”

“Semewah ini untuk seorang tawanan seperti aku?”

“Apa salahnya?”

“Katakan, apakah makanan ini sudah ditaruh di altar dewa-dewamu sebagai persembahan?”

Si orang Pek-lian-hwe ragu-ragu. Ia bisa saja menjawab sekenanya, atau membohongi Liu Yok, namun ada suatu cahaya dalam sorot mata Liu Yok yang membuatnya takut berbohong, entah kenapa. Cahaya mata Liu Yok sendiri bukannya menakutkan atau garang, sama sekali bukan, bahkan lembut, hangat dan bersahabat.

“Jawab, sobat,” desak Liu Yok.

Tanpa berani menentang mata Liu Yok, orang itu menjawab, “Apa bedanya sudah ditaruh di altar atau belum?”

“Jadi sudah ditaruh di altar?”

“Ya.” jawab Si Penjaga tidak tegas.

Maka dengan mengkesampingkan tuntutan hebat dari tubuhnya untuk makanan dan minuman, Liu Yok menjawab lembut dan sopan, “Maaf, silakan Saudara bawa kembali hidangan itu.”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa makan minum satu meja dengan dewa-dewamu.”

“Kau bisa mati.”

“Tidak. Mati hidupku tidak tergantung makanan jasmaniah.”

Si Penjaga kemudian mundur, namun waktu ia hendak menutup kembali pintu sel, Liu Yok berkata, “Saudara, kalau yang menyuruhmu bertanya kenapa hidangannya masih utuh, katakan saja aku yang menolaknya. Supaya jangan kau yang kena marah.”

Si Penjaga tercengang, kalau kupingnya tidak salah dengar, ia dengar kata-kata Liu Yok yang mencemaskan diri Si Penjaga. Si Penjaga heran, tawanan yang satu ini kok aneh? Tidak mencemaskan dirinya sendiri yang tertawan, malah mencemaskan penjaganya kena marah atasannya?

Sebuah sentuhan hangat di hati Si Penjaga yang sudah sekian lama terlapisi watak keras yang menular dari lingkungannya. Belum pernah ia diberi perhatian seperti itu, bahkan oleh sesama “saudara sedarah yang sudah melewati Gerbang Merah”, yang sudah sama-sama minum arak berdarah di Aula Kesetiaan.

“Apa pedulimu kalau aku dimarahi atau tidak?”

“Tentu saja aku harus peduli, sebab kalau kau dimarahi, itu gara-garaku. Sudahlah. Bawalah pergi hidangan itu.”

Si Penjaga pergi sambil terheran-heran, “Orang aneh. Dirinya sendiri hampir mampus, tapi masih memperhatikan orang lain. Tetapi... dia orang baik.”

Begitulah, Liu Yok melewatkan sebuah kesempatan untuk mengisi perutnya dan memuaskan tenggorokannya. Ia tidak tahu berapa jam sudah berlalu, sampai tubuhnya makin lemah dan kesadarannya makin menurun. Seluruh pribadi Liu Yok perlahan-lahan tenggelam ke alam bawah sadar, meninggalkan alam sadarnya. Namun alam bawah sadar itu ternyata bukan alam yang gelap gulita seperti sel sempit itu.

Liu Yok justru melihat cahaya cemerlang yang melebihi seribu matahari digabung jadi satu, cahaya itu menyelubungi Liu Yok, membuatnya jadi ringan dan tiba-tiba bisa berdiri dan melangkah ke pintu sel dan Liu Yok melangkah menembusinya, tubuhnya jadi lebih lembut dari udara. Waktu Liu Yok menoleh ke belakang, ia lihat tubuhnya sendiri masih terpasung....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.