Menaklukkan Kota Sihir Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 16 Karya Stevanus S P

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 16

“KARENA mereka tidak penasaran lagi. Sekarang mereka pasrah. Dan ini bukan calon korban yang cocok. Itulah sebabnya kukatakan bahwa upacara pengorbanan itu takkan bisa terlaksana.”

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Ui-kong Hwesio bertanya, “Kenapa bisa begitu, Kak?”

“Entahlah. Suasana sel penahanan itu tiba-tiba berubah sekali, tidak ada semangat penasaran, semangat mempertahankan hidup, atau takut mati. Yang ada adalah suasana pasrah, damai.”

“Keparat!”

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan itu pusing. Mereka benar-benar merasa berantakan, dan sialnya, mereka tidak tahu pasti apa penyebabnya. Ilmu gaib mereka pun tidak dapat menemukan jawaban. Sukma-sukma gentayangan yang biasanya memenuhi “Kota Bunga Persik” mereka, entah kenapa sekarang lumpuh terbelenggu,

“Jadi, satu-satunya jalan untuk memulihkan kekuatan kita, adalah dengan mengorbankan puteri Kakak Siau.” Thai Yu-tat mulai cari perkara lagi. “Itu kalau Kakak Siau rela.”

Kini Siau Hok-to benar-benar terpojok, tak terasa dalam hatinya dia memaki Thai Yu-tat, bahkan juga memaki dewa-dewanya sendiri. Habis memaki ia kaget sendiri, bagaimana kalau dewa-dewa marah dan mengutuknya?

Siau Hok-to mencoba mengalihkan pembicaraan, “Tindakan apa yang akan kita ambil terhadap Oh Tong-peng Si anjing Manchu, dan Liu Yok?”

“Kakak Siau, pembicaraan soal pengorbanan belum selesai kok sudah mau bicara soal lain? Satu persatu, begitu.”

Di bawah sorot mata tajam Hong Pai-ok, Siau Hok-to meratap dalam hati. Namun ia harus menjawab, dan ia pun menjawab, “Kakak Hong... aku minta waktu untuk berpikir. Harap dimaklumi, A-kui adalah satu-satunya keluargaku, darah dagingku, semenjak isteriku meninggal....”

“Kakak Hong, kita bisa kehabisan waktu.” Thai Yu-tat menghasut.

Maka keluarlah keputusan dari mulut Hong Pai-ok, “Saudara Siau, aku beri waktu sampai besok malam. Besok tengah malam kita adakan pertemuan kembali, dan saat itu Saudara Siau harus memberikan jawabannya kepadaku dan kepada saudara-saudara lainnya di sini!”

Keputusan sudah keluar dan Siau Hok-to tak dapat membantahnya lagi. Pertemuan pun dibubarkan. Malam itu Thai Yu-tat melindungi dirinya dengan penangkal guna-guna berangkap-rangkap, ia kuatir Siau Hok-to saking marahnya akan menyantet mampus dirinya. Di kalangan Pek-lian-hwe, santet-menyantet sesama teman adalah hal biasa.

Pertemuan untuk mendengarkan jawaban Siau Hok-to belum diadakan, siang itu sudah terjadi perkembangan baru. Belasan kapal besar mendekati dermaga dari arah timur, merapat ke dermaga dan menumpahkan isinya berupa prajurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya dua ribu lima ratus orang, dua kali lipat dibandingkan prajurit di Lam-koan yang jumlahnya cuma seribu.

Prajurit itu berbaris tegap di dermaga, komandannya adalah seorang lelaki tegap berusia empat puluh tahun, namanya Thia Siang-peng, membawa sebuah kapak yang tajamnya bolak-balik dan tengah-tengahnya bertombak, panjang tangkainya pun sepanjang tangkai tombak. Senjata yang nampaknya cocok dengan sosok tubuhnya yang besar berotot.

Yang mendampingi komandan pasukan itu ternyata adalah Thiam Gai. Inilah pasukan yang berhasil didatangkan Thiam Gai dari Kanton, setelah ia melapor ke sana. Di dermaga, pasukan itu berbaris sebentar untuk diperiksa oleh Thia Siang-peng, kemudian berangkatlah pasukan itu memasuki kota Lam-koan.

Waktu para pimpinan Pek-lian-hwe mendengar, mereka tergopoh-gopoh berkumpul di “Kota Bunga Persik”. “Kita harus segera mempersenjatai anggota-anggota kita, ditambah dengan pasukan Lam-koan yang komandonya sudah dipegang Saudara Kang Liong! Meskipun kalah jumlah, tetapi dengan senjata api di tangan kita, tentu perlawanan kita akan jauh lebih kuat!” kata Ui-kong Hwesio panik sambil meremas-remas kedua telapak tangannya sendiri.

“Jangan! Sebaiknya kita dan orang-orang kita mundur dulu ke luar kota, ke pegunungan, dan menyusun perlawanan gerilya dari situ!” usul Im Yan-kong. “Pihak kita belum siap berhadapan secara kekerasan!”

Hong Pai-ok sendiri nampak kebingungan. Dalam urusan-urusan gaib alias mengundang “balatentara langit” dia jago, namun menghadapi urusan “duniawi” begini dia bingung. Seandainya ilmu gaib Pek-lian-hwe belum semerosot sekarang, tidak perlu tokoh-tokoh Pek-lian-hwe ini kebingungan, bahkan seandainya yang datang dua kali lipat jumlahnya. Dengan ilmu gaib mereka yang beraneka coraknya, mereka bahkan akan bisa berbalik menguasai pasukan musuh seperti yang pernah mereka lakukan atas Lo Lam-hong.

Namun celakanya, ilmu gaib mereka saat itu justru sedang “gembos” tanpa diketahui sebab-sebabnya. Dalam membicarakan datangnya pasukan dari Kanton itu, tak sepatah-kata pun tokoh-tokoh Pek-lian-hwe itu berani bicara tentang ilmu gaib. Mereka jadi kikuk dan canggung dengan keahlian mereka sendiri yang selama ini mereka geluti.

“Bagaimana,... Saudara Kang?” Hong Pai-ok menanyai Kang Liong.

Kang Liong sendiri sebetulnya tidak setenang kelihatannya. Jimat penambah kewibawaannya yang selama ini manjur dan berhasil mempesona orang-orang Lam-koan, sekarang tidak mempan lagi. Terpaksa menghadapi masalah ini harus menggunakan “cara normal”. Setelah putar otak sebentar, dia menjawab.

“Kita tidak perlu buru-buru menganggap bahwa pihak kita dan pihak mereka akan bertempur. Meskipun mereka datang karena laporan Si Anjing Manchu yang bernama Thiam Gai itu, tetapi masih ada kemungkinan aku berkelit dan berpura-pura di depan mereka, sehingga komandannya tidak termakan sepenuhnya oleh omongan Thiam Gai. Kita bersiaga, tetapi jangan menunjukkan sikap bermusuhan, siapa tahu aku masih bisa menempuh cara yang mengandalkan licinnya lidah. Lagipula tokoh-tokoh masyarakat Lam-koan masih menganggap aku sebagai tokoh pembasmi Pek-lian-hwe yang dapat diandalkan. Ini adalah modal yang bisa kita garap!”

“Jadi?” tanya Siau Hok-to.

“Biar aku temui komandannya, dengan berpura-pura beritikad baik.”

“Berangkatlah sekarang.”

“Satu hal lagi kalau boleh kukatakan. Kakak Hong.”

“Silakan, Saudara Kang.”

“Kalau boleh kumohon pemegang keuangan kita, Saudara Im Yan-kong untuk menyediakan uang cukup banyak. Barangkali bisa memperlancar urusan dengan anjing Manchu yang rakus-rakus itu.”

Hong Pai-ok tertawa, “Saudara Im, sediakan itu.”

Kang Liong meninggalkan pertemuan itu. Lebih dulu ia ke gedung pengadilan yang menjadi kantornya, di tenpat itu ia mendengar laporan seorang anak buahnya, bahwa pasukan yang datang dari Kanton itu menggelar perkemahan di sebuah tempat terbuka di sebelah timur kota.

“Siapkan jolli!” perintah Kang Liong.

Tak lama kemudian, dengan pengiring yang sedikit sekali dan tidak bersenjata, Kang Liong naik tandu tertutup menuju ke perkemahan pasukan Kanton. Dalam joli, Kang Liong terus menerus membaca mantera untuk memperlemah ketahanan jiwa komandan pasukan Kanton yang bakal ditemuinya.

Biarpun terasa sekali kemerosotan pengaruh Pek-lian-hwe di Lam-koan, dan Kang Liong sendiri pun merasakan kalau manteranya seperti hanya berhamburan di udara tanpa menyentuh sasarannya, Kang Liong tetap melakukannya sebagai upaya untung-untungan.

Tiba di depan perkemahan, dengan bendera-bendera yang berkibar-kibar dan kelihatannya angker dalam suasana perang, dengkul Kang Liong agak gemetar juga. Bagaimana kalau Si Komandan ini sudah lebih dulu dipengaruhi oleh perwira-perwira istana seperti Thiam Gai, Kui Tek-lam, dan lain-lainnya?

Namun Kang Liong melangkah juga mendekati satu regu penjaga yang berjaga di depan perkemahan. Dengan sopan Kang Liong memberi hormat lebih dulu kepada perajurit-perajurit rendahan itu, katanya,

“Aku adalah Kang Liong, yang dipercaya oleh masyarakat Lam-koan untuk membimbing mereka selama pemimpin yang baru belum ditentukan dari kegubernuran. Sebenarnya aku hanya seorang hakim yang tidak tahu seluk-beluk memimpin tentara, namun karena rakyat Lam-koan mendesak aku....”

Bicara sampai di sini, Kang Liong menyadari bahwa omongannya terlalu berlebihan untuk hanya minta ijin lewat kepada sekelompok prajurit rendahan. Maka ia lalu mengubah nada kata-katanya, “Aku Kang Liong, mewakili rakyat Lam-koan, mohon ijin menemui komandan pasukan ini.”

“Kami laporkan dulu ke dalam, silakan menunggu, Tuan Kang.” sahut komandan regu penjaga, lalu seorang bawahannya disuruhnya melapor ke dalam.

Sementara menunggu, Kang Liong mondar-mandir di bawa tiang bendera di depan perkemahan. Ada semacam tradisi militer yang sudah berabad-abad, kalau suatu negara hendak memberangkatkan tentara untuk memerangi negara lain, biasanya diadakan upacara Pai-ki (sembahyang bendera dengan maksud menambah keangkeran bendera itu di medan perang kelak.

Waktu Kang Liong menyadari nya, ia kaget karena merasa telah berbuat kesalahan, buru-buru ia menyingkir dari bawah bendera. Menurut kepercayaannya, agar jiwanya tidak tertindih oleh wibawa bendera yang mungkin sudah disembahyangi waktu hendak berangkat dari Kanton itu.

Prajurit yang melapor ke dalam tadi sudah keluar kembali, katanya, “Komandan mempersilakan Tuang Kang masuk ke rumahnya.”

“Pengiring-pengiringku bagaimana?” tanya Kang Liong.

“Sebaiknya tetap di luar saja. Tidak apa-apa. Bukankah Tuan Kang tidak datang dengan maksud bermusuhan?”

“Tentu saja tidak. Apakah Komandan kalian menganggap kami musuh?”

“Tentu tidak juga. Kenapa Tuan Kang berpikiran begitu?”

“Barangkali saja komandan kalian sudah mendengar berita yang keliru tentang kota ini, sehingga kalian datang dengan senjata lengkap seolah-olah menghadapi musuh padahal kami adalah warga negara yang patuh.”

“Soal itu, jelaskan saja nanti kepada komandan kami. Kami cuma bawahan yang tidak berhak mengambil keputusan.”

“Siapa nama komandan kalian?”

“Thia Siang-peng.”

Kang Liong tiba di kemah yang paling besar dan paling tengah dari perkemahan prajurit itu. Ia langsung masuk menghadap. Thiai Siang-peng duduk gagah di kursinya, lengkap dengan serangan militernya, kapak ganda bertombaknya tersandar di sebelah kursinya. Tapi yang membuat Kang Liong bergetar adalah ketika melihat di ruangan itu juga nampak Kui Tek-lam dan Thiam Gai yang sudah pernah hendak ditangkap dan diuber-uber oleh Kang Liong.

Juga Cu Tong-liang yang meskipun masih kelihatan agak lemah namun sudah dapat duduk dengan baik di kursi, serta Lo Lam-hong yang matanya bersinar jernih, menandakan kalau akal sehatnya sudah pulih sepenuhnya. Baik Cu Tong-liang maupun Lo Lam-hong adalah mantan korban santet Pek-lian-hwe.

Melihat keempat perwira istana itu, Kang Liong pun mengeluh dalam hatinya. “Nampaknya upayaku untuk mempengaruhi Si Anjing Manchu Thia Siang-peng ini akan mengalami hambatan serius.”

Namun Kang Liong lebih dulu memberi hormat kepada Thia Siang-peng. Ia mengatas namakan “seluruh warga Lam-koan”. Kemudian waktu melihat keempat perwira istana itu, ia pura-pura kaget, “Lho, kenapa Tuan-tuan juga ada di sini? Aku menyangka dulu Tuan-tuan adalah...”

“... adalah gembong-gembong Pek-lian-hwe, sehingga kau berhak mengejar kami, bahkan menjanjikan hadiah atas kepala kami?” potong Thiam Gai gemas sambil meremas-remas tangannya.

Namun Kui Tek-lam menyabarkan rekannya itu, “Tenanglah dulu, Saudara Thiam. Dengarkan dulu badut ini mau omong apa.”

Alangkah mendongkolnya Kang Liong. Apalagi sebagai tokoh yang biasa dihormati warga Lam-koan, sekarang dia dibiarkan tetap berdiri dan tidak ada yang mengambilkan kursi. Namun demi suksesnya tugasnya, ia menahan diri sebisa-bisanya. Katanya kepada Kui Tek-lam,

“Harap Tuan-tuan maklumi. Waktu itu aku begitu tertekan karena mendapat kepercayaan seluruh warga Lam-koan, setelah Komandan Bong dibunuh secara licik oleh bangsat-bangsat Pek-lian-hwe. Padahal aku ini tidak mampu memikul tugas seberat ini. Maka pikiranku jadi dipenuhi prasangka, sampai pernah menyangka Tuan-tuan adalah orang Pek-lian-hwe. Kalau tahu Tuan-tuan ini adalah abdi-abdi kerajaan, seperti juga aku, tentu aku akan memperlakukan Tuan-tuan dengan hormat. Untuk kekasaranku dulu, aku mohon Tuan-tuan memaafkan.”

“Jangan bicara bertele-tele!” Thia Siang-peng menukas dengan suaranya yang kasar. “Katakan maksud kedatangan Tuan Kang ke sini!”

“Baik, supaya aku tidak membuang-buang waktu Tuan Komandan, aku langsung katakan saja. Aku mewakili warga Lam-koan, menanyakan kedatangan pasukan perang ini bermaksud apa? Terus-terang, warga lam-koan yang selama ini hidup damai, bahkan membayangkan perang pun tidak pernah, menjadi ketakutan melihat kedatangan pasukan sehebat ini. Lalu mereka mengutus aku menemui Tuan, meskipun aku sendiri agak ketakutan.”

Mendengar kelihaian Kang Liong berbicara dan mengambil hati, Kui Tek-lam merasa kuatir dalam hati, “Wah... kali ini yang berbahaya bukan santetnya, tetapi bibirnya yang bermadu itu jangan-jangan akan mampu mempengaruhi Thia Siang-peng yang rada bebal ini?”

Terdengar Thia Siang-peng sudah menjawab, singkat dan kasar, sesuai wataknya, “Kedatangan pasukanku ya tentu saja untuk menumpas Pek-lian-hwe!”

Kang Liong mengangguk-angguk, “Pek-lian-hwe, organisasi bawah tanah dari sisa-sisa dinasti Beng yang memimpikan kebangkitan kembali dinasti Beng itu?”

“Ya!”

“Memang beberapa tahun yang lalu pernah kudengar tentang organisasi semacam itu, meskipun beritanya lemah dan berasal dari sumber yang kabur. Memang patut ditumpas. Jadi Komandan Thia ini ditugasi menumpas Pek-lian-hwe di seluruh propinsi ini?”

“Bukan di seluruh propinsi, tapi khusus di Lam-koan.”

Kang Liong pura-pura menunjukkan wajah heran, “Lho! Rasanya kami para abdi-abdi negara di Lam-koan ini masih mampu mengendalikan keadaan, dan belum sampai harus merepotkan pemerintahan yang di atas kami.”

Thiam Gai tertawa dingin, “Pek-lian-hwe di kota ini sudah keterlaluan. Mereka berani menyerbu penjara untuk mengacau, berani menyantet perwira-perwira istana, meyelundupkan orang-orangnya menduduki berbagai tempat terhormat dalam masyarakat, dan yang paling gawat adalah menyimpan ribuan pucuk senjata api yang kelak akan digunakan untuk memberontak!”

Kang Liong pura-pura kaget sambil meninju telapak tangannya sendiri, “Ah, benarkah itu?”

Thiam Gai tertawa dingin melihat lagak Kang Liong itu. “Harusnya Tuan Kang mengetahuinya, kenapa malah pura-pura kaget?”

Sahut Kang Liong, “Soal meningkatnya kegiatan bangsat-bangsat itu di Lam-koan, memang aku sudah cukup merasakannya beberapa waktu yang lalu. Dimulai sejak terbunuhnya Nyo In-hwe dan pembantu rumahnya di dalam rumahnya sendiri. Aku terkejut ketika di ruang bawah tanah Nyo In-hwe ada altar pemujaan gaya Pek-lian-hwe. Tuan Kui tentu tahu sendiri soal ini.”

Begitulah Kang Liong sengaja membawa-bawa Kui Tek-lam, yang saat itu masih dalam penyamaran dan sedang menumpang di rumah Nyo In-hwe. Rupanya Kang Liong berpendapat, kalau ingin bohongnya kelihatan sempurna dan tidak terbongkar, maka harus dicampuri dengan kenyataan yang bisa disaksikan orang lain. Itulah semacam “tehnik berbohong” tingkat tinggi. Kui Tek-lam hanya mendengus saja, tetapi kuatir Thia Siang-peng akan terpengaruh karena lihainya Kang Liong bersilat lidah.

Kang Liong melanjutkan, “Sejak kuketahui bahwa Nyo In-hwe adalah orang Pek-lian-hwe yang entah sudah berapa tahun bersembunyi rapi di belakang kedoknya sebagai tokoh terhormat di Lam-koan, maka aku pun menduga tentunya tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan ini tidak hanya Nyo In-hwe. Soal ini sudah pernah kubicarakan dengan almarhum Komandan Bong Peng-un, sayang Komandan Bong menanggapinya tidak bersungguh-sungguh.

"Terpaksa aku bekerja sendirian. Kupilih orang-orangku yang benar-benar dapat kupercaya, kumata-matai tokoh-tokoh Lam-koan yang kira-kira adalah orang Pek-lian hwe. Kuakui, aku tidak pintar dalam mengendalikan tugas-tugas rahasia macam ini, aku memang amatiran, hanya terdorong kecintaanku kepada warga Lam-koan maka aku nekat lakukan ini.

"Aku terlalu curiga kepada setiap orang yang gerak-geriknya tidak wajar sedikit saja. Karena kebodohanku dan kecurigaanku itulah maka aku sempat keliru sangka terhadap Tuan Kui dan teman-temannya, menyangka mereka sebagai kaki tangan Pek-lian-hwe. Tuan Kui, sekali lagi aku mohon maaf kepadamu dan kepada teman-temanmu.”

Thia Siang-peng mulai mengangguk-angguk mendengar cerita Kang Liong yang rapi, meyakinkan, apalagi ditopang beberapa fakta yang diketahui umum. Para agen kerajaan mulai cemas kalau Thia Siang-peng benar-benar terpengaruh, maka Thiam Gai yang paling berangasan itu pun menukas tajam,

“Jelaskan kenapa kau menyantet teman-teman kami Lo Lam-hong, Pang Hui-beng dan Cu Tong-liang, sehingga yang satu berhasil kalian peralat, yang satu lagi menjadi gila, dan satu lagi menderita bisu, lumpuh dan hilang ingatan untuk sementara? Jelaskan pula, kenapa kalian juga menangkap Kakak Oh Tong-peng, dan Liu Yok?”

Mendengar tuduhan ini, Kang Liong dengan lihainya berpura-pura penasaran, “Tuan Thiam, apa-apaan yang Tuan katakan ini? Aku menyantet Tuan-tuan yang menjadi agen-agen kerajaan ini? Mana bisa? Aku sendiri bahkan hampir menjadi korban santet ketika suatu pagi di depan pintu rumahku ditemukan bangkai burung berbulu hitam yang lehernya diikat erat dengan kain merah! Tuan Thiam juga menuduh aku menangkap Tuan Oh Tong-peng, mana buktinya?

"Apakah Tuan Thiam melihat dengan mata kepala Tuan sendiri? Atau jangan-jangan Tuan hanya mendengar bisikan yang disebarluaskan bangsat-bangsat Pek-lian-hwe sebagai usaha adu domba antara kita sebagai sesama abdi negara? Jangan lupa, bangsat-bangsat Pek-lian-hwe itu sangat licik, tidak mustahil mereka berusaha mengadu domba kita, dan Tuan Thiam agaknya sudah termakan oleh hasutan itu!

"Aku dengan segala kekuranganku bahkan mempertaruhkan nyawa untuk membasmi Pek-lian-hwe dan melindungi rakyat Lam-koan! Rakyat Lam-koan tentu masih ingat, pada waktu pemakamannya Nyo In-hwe aku mengambil tindakan dengan menangkap Tabib Siau Hok-to, yang kucurigai sebagai orang Pek-lian-hwe, dan sempat kupenjarakan beberapa hari sebelum kulepaskan kembali karena ternyata dugaanku keliru!

"Sampai detik ini pun aku masih mengerahkan tenaga dan pikiran untuk menggulung habis Pek-lian-hwe sampai ke akar-akarnya di Lam-koan ini, bagaimana mungkin Tuan Thiam malahan menuduh aku?”

Serentetan perkataan itu diucapkan dengan gaya pemain sandiwara kawakan. Kontan tuduhan Thiam Gai tadi terpatahkan. Tetapi Thiam Gai masih ngotot,

“Tetapi kenapa waktu aku dan Saudara Kui datang ke rumahmu untuk menanyakan nasib Kakak Oh Tong-peng, malahan kau mengerahkan orang-orangmu untuk menangkap kami? Bahkan ketika kami berdua sudah di jalanan pun kau terus mengejar kami, dan berteriak kepada orang-orang di jalanan bahwa kamilah orang-orang Pek-lian-hwe, sehingga kami hampir dikeroyok seluruh warga Lam-koan yang mempercayai hasutanmu?”

“Sudah kukatakan tadi, dalam kekurang-tahuanku akan tugas-tugas sandi, karena aku tidak tahu banyak seluk-beluknya, aku pun sempat mencurigai Tuan Thiam dan kawan-kawannya sebagai orang-orang Pek-lian-hwe. Habis, tindak-tanduk Tuan Thiam dan kawan-kawannya sendiri juga agak... aneh.”

Thia Siang-peng tidak mau dirinya hanya menjadi penonton orang berdebat, katanya. “Sudahlah. Dalam situasi macam ini memang mudah timbul percik-percik kecurigaan di antara sesama kawan sekalipun.”

Kong Liong bersorak dalam hati mendengar kata-kata “sesama kawan” itu. Itulah tandanya Thia Siang-peng mulai mempercayai Kang Liong dan menganggap sebagai “sesama kawan”, suatu “lampu hijau” bagi keberhasilan tugasnya. Sedang buat para agen kerajaan, itulah tanda bahwa kecemasan mereka menjadi kenyataan. Thia Siang-peng terkecoh oleh kelicikan Kang Liong, Kang Liong berhasil tampil sebagai orang yang sama sekali tak bersangkut-paut dengan Pek-lian-hwe.

Thiam Gai mengepal tinjunya dan menggeram dalam hati, “Entah bagaimana caranya bisa melucuti kedok bajingan ini di depan Thia Siang-peng, sekaligus di hadapan masyarakat Lam-koan? Kalau main kekerasan terhadapnya, tentu menimbulkan antipati warga Lam-koan kepada kami, bisa jadi rakyat Lam-koan malahan bangkit membela pahlawan-pahlawannya ini.”

Sementara Thia Siang-peng melanjutkan kata-katanya yang sok pintar, “Tuan Kang di satu pihak, dan Tuan Ki serta teman-temannya di pihak lain, kalian mengejar tujuan yang sama yaitu menumpas Pek-lian-hwe, tetapi karena kalian bekerja sendiri-sendiri, maka hasilnya malah kalian saling mencurigai. Mulai sekarang kita harus bersatu, menyatukan langkah menghadapi Pek-lian-hwe dan kawan-kawannya.”

“Mampuslah kami!” keluh Kui Tek-lam dan kawan-kawannya, dalam hati.

Sebaliknya Kang Liong menyambut dengan gembira, “Tuan Thia ini sungguh bijaksana. Tetapi aku juga punya maksud tujuan yang kedua, setelah yang pertama tercapai, yaitu berhasil meyakinkan Tuan Thia bahwa warga Lam-koan yang kuwakill bukanlah musuh yang harus didatangi dengan pasukan perang.”

“Sebutkan, Tuan Kang.”

“Ketika almarhum Komandan Bong dibunuh secara keji oleh orang-orang Pek-lian-hwe dalam kerusuhan di penjara, pasukan di Lam-koan lalu seperti anak-anak ayam kehilangan induknya. Lalu oleh rasa pengabdianku, dengan melupakan ketidak-becusanku sendiri, aku memberanikan diri memimpin pasukan agar jangan tercerai-berai dan dimanfaatkan oleh bangsat-bangsat Pek-lian-hwe yang licik itu. Tapi sekarang Tuan sudah datang, rasanya aku perlu menyelenggarakan upacara serah terima pimpinan pasukan Lam-koan ke tangan Tuan, tangan yang lebih pantas.”

Langkah Kang Liong ini benar-benar merebut simpati Thia Siang-peng, Si Orang Militer yang pikirannya tidak terlalu berbelit-belit. Ia benar-benar terkesan bahwa Kang Liong bukannya mengangkangi kekuasaan atas pasukan Lam-koan, sebaliknya malah mengakui kekurangannya dan menyerahkan kekuasaan kepada Thia Siang-peng tanpa diminta? Orang “sebaik ini” mana bisa dituduh sebagai tokoh Pek-lian-hwe, seperti yang dibisikkan perwira-perwira istana ini?

Tentu Thia Siang-peng tidak tahu kalau beberapa perwira pasukan Lam-koan adalah orang-orang Pek-lian-hwe yang sudah teruji kesetiaannya. Kalau pasukan Lam-koan digabungkan dengan pasukan Thia Siang-peng, sama artinya pasukan Thia Siang-peng kesusupan beberapa mata-mata musuh.

Ini tidak terpikir oleh Thia Siang-peng, ia tertawa lebar menyambut maksud Kang Liong itu, “Tuan Kang terlalu merendah. Tetapi berbahagialah warga Lam-koan memiliki pemimpin seperti Tuan. Baiklah, soal serah-terima pasukan itu, kita adakan upacaranya secepatnya.”

Kang Liong memberi hormat dengan wajah berseri-seri, “Hari ini, bisa dibilang aku sudah tuntas menjalankan kewajiban yang ditaruh warga Lam-koan di pundakku. Sudah kuketahui tujuan pasukan Tuan Thia tidak untuk memusuhi rakyat Lam-koan, dan sudah kuserahkan komando pasukan Lam-koan ke tangan Tuan, meskipun upacara resminya menyusul. Tuan Thia, kalau begitu, bagaimana kalau Tuan kuundang dalam perjamuan penghormatan di Balai Kota nanti malam?”

Hampir saja Kui Tek-lam dan kawan-kawannya mencegah. Hadir dalam perjamuan dalam kota, berarti terpisah dari pasukannya yang ada di sisi timur Lam-koan, dan selama perpisahan itu bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun Thia Siang-peng yang sudah terlanjur terbuai oleh Kang Liong itu sudah menyambutnya dengan gembira,

“Baik! Aku pasti hadir!”

Tak ada jalan lain, Kui Tek-lam mengajukan pertanyaan “tak tahu malu” kepada Kang Liong, “Tuan Kang, kami berempat diundang atau tidak?”

Dengan wajah ramah Kang Liong menjawab, “Tuan-tuan juga diundang. Sebagai tanda permintaan maaf dari aku kepada Tuan-tuan untuk kesalah-pahaman yang dulu.”

Kemudian Kang Liong berpamitan pulang dengan meninggalkan kesan amat baik di dalam diri Thia Siang-peng. Kang Liong tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan langsung menyelinap ke “Kota Bunga Persik” untuk melapor kepada Hong Pai-ok. Ia tidak perlu takut pemikul-pemikul jolinya akan membocor kan rahasia letak “Kota Bunga Persik” karena pemikul-pemikul tandu itu pun anggota-anggota Pek-lian-hwe terpercaya.

Hong Pai-ok berbesar hati mendengar laporan Kang Liong itu. Kebetulan pimpinan-pimpinan Pek- lian-hwe lainnya belum meninggalkan “Kota Bunga Persik” karena memang ditahan di situ oleh Hong Pai-ok, untuk berjaga-jaga kalau ada berita yang harus ditanggapi dengan tindakan darurat. Ternyata berita yang dibawa Kang Liong justru melegakan.

“Jadi anjing Manchu itu berhasil kau pengaruhi, Saudara Kang?”

“Betul, Kakak Hong. Tetapi kita masih harus tetap mempertimbangkan Kui Tek-lam dan kawan-kawannya, meskipun mereka agaknya bukanlah orang-orang yang cukup pintar untuk meyakinkan orang. Aku harus mempengaruhi Thia Siang-peng perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dengan cara yang tidak menyolok. Dan ini butuh waktu.”

“Tidak jadi soal.” sahut Hong Pai-ok. Lalu katanya kepada tokoh-tokoh Pek-lian-hwe lainnya, “Hentikan setiap kegiatan yang bisa menimbulkan kecurigaan anjing-anjing Manchu itu. Biar mereka mendapat kesan palsu bahwa kita sebenarnya tidak ada di kota ini. Biar Kui Tek-lam dan kawan-kawannya malu sendiri di depan Thia Siang-peng.”

Siau Hok-to diam-diam berharap orang-orang itu lupa akan rencana mengorbankan puteri Siau Hok-to ke dalam “api suci”, karena munculnya perkembangan baru yang menyita perhatian itu. Ia juga berharap mudah-mudahan “upaya diplomasi” Kang Liong sukses tanpa memerlukan upaya-upaya gaib yang butuh korban manusia.

Ternyata harapan itu sia-sia, sebab Thai Yu-tat kembali mengingatkan Hong-Pai-ok, “Kakak Hong, ternyata alangkah jauh berbeda keadaannya kalau kita memiliki kekuatan gaib seperti dulu. Dengan gampang kita dapat mengirim tentara langit kepada kawanan anjing Manchu itu dan mereka akan terkencing-kencing ketakutan. Tidak seperti sekarang, tanpa kekuatan gaib kita harus merunduk-runduk dan menjilat anjing-anjing Manchu itu. Sungguh memalukan! Para arwah leluhur dinasti Beng bisa menangis melihat ulah kita! Karena itu, kita harus segera memulihkan kekuatan gaib kita. Upacara pengorbanan Nona A-kui ke dalam 'api suci' hendaknya dilakukan malam nanti juga!”

Sebelum Siau Hok-to berkomentar, Hong Pai-ok sudah langsung menyetujui, “Baik! Saudara Siau, kuperintahkan malam nanti puterimu dibawa ke sini!”

Wajah Siau Hok-to memucat, tetapi ia tidak punya pilihan lain kecuali meng-iyakannya. Sementara Kang Liong segera berpamitan meninggalkan “Kota Bunga Persik” karena harus menyiapkan perjamuan “kehormatan” bagi Thia Siang-peng. Lima ribu tahil perak yang akan digunakan untuk menyenangkan Thia Siang-peng juga sudah disiapkan, keluar dari kas Pek-lian-hwe sendiri. Hong Pai-ok sendiri memerintahkan agar api suci mulai dinyalakan di depan altar. Itulah api di dalam kolam segi empat beralaskan jeruji-jeruji besi.

Matahari bergeser ke langit sebelah barat, langit gelap, dan tokoh-tokoh Pe-lian-hwe siap dengan kesibukannya masing-masing. Kang Liong tidak dapat mengikuti upacara pengorbanan, sebab ia harus menjadi tuan rumah dalam perjamuan yang di selenggarakannya. Warga-warga terhormat Lam-koan juga sudah diundang, dan merekalah yang akan menjadi saksi tentang bagaimana Kang Liong “giat membasmi Pek-lian-hwe”.

Sementara tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang akan mengikuti upacara pengorbanan juga sudah berkumpul di depan altar “Kota Bunga Persik”. Mereka tidak lagi mengenakan pakaian sehari-hari, tetapi dengan pakaian upacara khas Pek-lian-hwe. Baju belacu putih polos dengan lengan dan pundak sebelah kanan terbuka, ikat pinggang tali rami, kasut jerami.

Semua memakai ikat-kepala putih seperti orang berkabung, kecuali Hong Pai-ok sebagai pemimpin upacara, mengenakan ikat kepala merah yang di bagian jidatnya dibentuk bunga-bungaan kain warna merah. Siau Ho-to ternyata belum datang-datang juga. Setelah ditunggu-tunggu sekian lama ternyata tidak muncul juga, orang-orang mulai curiga.

Seperti biasa, Thai Yu-tatlah yang mulai membakar prasangka, “Kita harus mencurigai Kakak Siau, kesetiaannya kepada dewa junjungan dan kepada organisasi belakangan ini berkurang. Kakak Hong, bagaimana kalau kita kirim orang untuk menjemputnya?”

Seperti biasa, Hong Pai-ok langsung setuju. Ia suruh Thai Yu-tat, Ui-kong Hwesio dan Phui Se-san untuk menjemput Siau Hok-to dan puterinya, bahkan membekalinya dengan pesan yang keras, “Kalau Saudara Siau berniat berlambat-lambat, atau bahkan membangkang, kalian kuberi wewenang untuk memaksanya dengan kekerasan!”

“Kami paham, Kakak Hong!” sambut Thai Yu-tat bersemangat. Rasanya kedudukannya sebagai ketua cabang yang baru sudah tinggal selangkah lagi.

Untuk mencapai rumah Siau Hok-to dari “Kota Bunga Persik” tidak perlu repot, tinggal melompati tembok salah satu sisi “Kota Bunga Persik” itu sebab rumah Siau Hok-to berdampingan tepat dengan rumah ibadah rahasia kaum Teratai Putih itu.

Maka cepat saja Thai Yu-tat bertiga sampai ke rumah Siau Hok-to, dan cepat pula mereka kembali dengan laporan kepada Hong Pai-ok bahwa Siau Hok-to dan puterinya sudah kabur. Yang ada di rumahnya cuma pelayan-pelayan yang tidak tahu apa-apa ketika ditanyai ke mana perginya majikannya dan nona majikan mereka.

Bukan kepalang gusarnya Hong Pai-ok mendengar laporan itu. Perintahnya, “Cari mereka sampai dapat! Aku sendiri pun akan ikut keluar mencari! Dia sudah menjadi pengkhianat organisasi, kalau ditemukan juga harus diperlakukan sebagai pengkhianat!”

Kembali Thai Yu-tat menyambut dengan bersemangat, tetapi Im Yang-kong menyela, “Maaf, Kakak Hong! Mencari Siau Hok-to berarti ada gerakan besar-besaran dari orang-orang kita di seluruh Lam-koan, tindakan ini mengundang resiko kita akan tercium oleh para mata-mata Manchu? Bukan mustahil pasukan yang dari Kanton itu juga punya banyak pengintai yang menyamar dan bercampur-baur di antara orang-orang Lam-koan.”

Hong Pai-ok melihat peringatan itu ada benarnya, tetapi amarah dan kejengkelan lebih menguasai jiwanya, “Orang-orang kita harus bekerja dengan hati-hati, terutama jangan dekat-dekat ke perkemahan prajurit. Pokoknya Siau Hok-to haruslah membayar mahal untuk pengkhianatannya ini! Kalau tidak dihukum, semua anggota kita akan menirunya, dan organisasi kita akan berantakan!”

Begitulah, malam itu selagi di Balai Kota berlangsung perjamuan megah untuk menyambut Thia Siang-peng, di luar Balai Kota orang-orang Pek-lian-hwe mengendap-endap mencari jejak Siau Hok-to, Si Ketua Cabang yang minggat karena tidak mau menyerahkan puterinya.

Karena pesan Hong Pai-ok, orang-orang yang mencari itu tidak berani dekat-dekat dengan perkemahan pasukan dari Kanton, kuatir menimbulkan kecurigaan. Dan tentu saja mereka tidak menemukan Siau Hok-to, sebab Siau Hok-to dan puterinya justru bersembunyi di tempat gelap di dekat perkemahan tentara itu, menunggu kesempatan untuk berbuat sesuatu.


Pesta di Balai Kota berjalan meriah, hidangannya, musiknya, penari-penarinya pilihan semua. Entah bagaimana caranya Kang Liong berhasil menyiapkan semuanya itu dalam waktu singkat. Tokoh-tokoh terhormat di Lam-koan waktu berbicara dengan Thia Siang-peng, semuanya memuji-muji Kang Liong sebagai “tokoh pembasmi Pek-lian-hwe” sehingga Thia Siang-peng pun semakin yakin Kang Liong bisa dijadikan “kawan seperjuangan” di Lam-koan itu.

Yang paling menyenangkan adalah ketika di puncak acara, Kang Liong membisiki Thia Siang-peng bahwa dia sudah menyediakan selembar hui-lui (semacam cek) bernilai lima ratus tahil perak, “sebagai tanda terima kasih warga Lam-koan atas perhatian dari pemerintah propinsi”. Seperti biasa, Thia Siang-peng pura-pura menolak dulu, setelah didesak-desak barulah menerima “dengan terpaksa agar warga Lam-koan sebagai pihak yang berterima kasih tidak dikecewakan”.

Yang mendampingi Thia Siang-peng adalah Kui Tek-lam dan Thiam Gai. Kedua perwira istana ini merasa cemas kalau sampai Thia Siang-peng berhasil “digenggam” Kang Liong. Namun mereka belum tahu caranya menandingi siasat lihai Kang Liong itu.

Menjelang tengah malam, pesta bubar. Dalam keadaan setengah mabuk sehingga untuk naik ke atas kudanya Thia Siang-peng harus dibantu Kui Tek-lam. Kemudian mereka dan beberapa orang pengawal berkuda ke sebelah timur Lam-koan, ke perkemahan pasukan dari Kanton. Sambil kudanya berjalan perlahan, sepanjang jalan tidak henti-hentinya Thia Siang-peng memuji-muji Kang Liong yang disebutnya “pemimpin sejati” bagi Lam-koan. Kui Tek-lam dan Thiam Gai diam saja dengan wajah cemberut.

Setelah keluar dari batas kota sebelah timur, mereka masih harus berjalan ratusan langkah sebelum tiba di perkemahan, ratusan langkah itu adalah jalanan belukar yang sepi dan gelap di pinggiran kota. Di tengah-tengah ada pos penjagaan yang didirikan secara darurat, obornya kelap-kelip terlihat dari kejauhan.

Namun selagi kurang puluhan langkah dari pos penjagaan itu, dua sosok bayangan berdiri di tengah jalan, dalam kegelapan, menghadang rombongan orang-orang yang baru pulang pesta itu. Kui Tek-lam menghentikan kudanya, dan ia juga menarik tali kekang kuda tunggangan Thia Siang-peng, sehingga kuda Thia Siang-peng juga berhenti.

“Kenapa berhenti?” tanya Thian Siang-peng.

“Ada orang menghadang kita.”

Kui Tek-lam memajukan kudanya, menaruh dirinya sendiri di depan Thia Siang-peng untuk melindunginya, dengan pedang terhunus. Thia Siang-peng tidak mabuk total, mendengar itu dia lalu geragapan menghunus pedangnya yang digantungkan di pelana kudanya. Senjata andalannya, kapak ganda bertombak sudah tentu tidak dibawa-bawa dalam pesta.

Kui Tek-lam memajukan kudanya, menaruh dirinya sendiri di depan Thia Siang-peng untuk melindunginya, dengan pedang terhunus. Tanyanya, “Siapa kalian?”

Dalam kegelapan, dilihatnya salah satu dari dua penghadang itu memberi hormat dan menjawab dengan nada yang baik, “Aku adalah Siau Hok-to, ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Dan ini adalah puteriku, A-kui.”

Kui Tek-lam tercengang dan bingung. Kalau orang-orang Pek-lian-hwe menghadang, mestinya mereka harus mengerahkan banyak orang, mencari tempat yang cocok, dan sikapnya juga tidak sesopan ini. Yang ini kenapa hanya dua orang, memperkenalkan diri terang-terangan, memilih tempat penghadangannya justru dekat perkemahan pasukan Kanton?

“Saudara Thiam, tidakkah ini ganjil?” Kui Tek-lam bertanya kepada Thiam Gai namun tidak melepaskan pandangannya sedetik pun kepada dua bayangan di depannya itu.

Thiam Gai memajukan kudanya pula berdampingan dengan Kui Tek-lam. Tangannya juga sudah menggenggam senjatanya, ruyung-tujuh ruas. Jawabnya, “Apakah kedua orang Pek-lian-hwe ini sudah begitu mengandalkan kehebatan sihirnya, sehingga dua orang saja berani menghadang kita, dan di dekat perkemahan pasukan pula?”

Siau Hok-to berkata, “Aku dan puteriku datang bukan untuk niat jahat, tetapi untuk menyerahkan diri dan mohon perlindungan.”

Itu di luar dugaan Kui Tek-lam dan Thiam Gai. Ketua cabang Pek-lian-hwe mohon perlindungan kepada “anjing-anjing Manchu” yang mereka kutuk dengan penuh kebencian? “Kenapa mohon perlindungan? Siapa yang mengancam kalian?”

“Orang-orang Pek-lian-hwe sendiri.”

Kui Tek-lam dan Thiam Gai membayangkan bahwa dalam tubuh Pek-lian-hwe agaknya terjadi perpecahan. Perpecahannya cukup gawat, sampai ketua cabangnya sendiri minggat dan minta perlindungan ke pihak luar, bahkan pihak musuh. Namun Kui Tek-lam dan Thiam Gai bertindak cukup hati-hati, mereka juga tidak merasa perlu minta pertimbangan kepada Thia Siang-peng.

Pertama karena otak Thia Siang-peng sedang dalam pengaruh arak, meskipun, tidak sepenuhnya. Kedua, karena Thia Siang-peng sudah agak dipengaruhi sikap Kang Liong yang pintar mengambil hati. Ketiga, karena Kui Tek- lam dan Thiam Gai bukan bawahan Thia Siang-peng. Mereka adalah perwira-perwira dari kelompok prajurit istimewa yang dibawah perintah langsung Kaisar Kian-liong.

“Maukah kau ikut kami ke perkemahan?” tanya Kui Tek-lam.

“Kami justru bersyukur kalau kami dilindungi di sana.” sahut Siau Hok-to bersungguh-sungguh.

“Jalan di depan!”

Maka Siau Hok-to dan puterinya pun berjalan di depan. Mereka berjalan kaki, sedangkan Kui Tek-lam dan lain-lainnya yang di belakangnya menunggang kuda. Sungguh kesombongan seorang ketua cabang Pek-lian-hwe direndahkan sedemikian rupa. Kui Tek-lam diam-diam membatin, kalau bukan mengalami sesuatu yang dahsyat, tidak mungkin ketua cabang ini begitu merendah.

Thia Siang-peng yang tidak sadar benar apa yang terjadi di bawah hidungnya, bertanya, “Tuan Kui, ada apa ini?”

“Seorang yang mengaku sebagai ketua cabang Pek-lian-hwe datang, katanya untuk menyerahkan diri dan memohon perlindungan kita. Bersama anak perempuannya.”

Thia Siang-peng tiba-tiba terbahak-bahak dengan mulut berbau arak, “Ha-ha-ha... ternyata belum sampai sehari semalam aku datang bersama pasukanku, pihak Pek-lian-hwe sudah mendengarnya dan pecah nyalinya, sampai-sampai ketua cabangnya sendiri datang menakluk.”

“Komandan Thia, kita harus yakin benar bahwa apa yang dikatakan orang ini benar-benar tulus.”

“Kalau dia ketua cabang Pek-lian-hwe, kenapa tidak langsung kita potong saja lehernya, dan besok kita gantung batok kepalanya di tengah kota supaya warga Lam-koan melihatnya, dan orang-orang Pek-lian-hwe menjadi gentar akan kegagahanku?”

“Kegagahanmu gundulmu....”

Kui Tek-lam mengumpat dalam hati. Tetapi mulutnya menjawab lain, “Kalau dia menyerah, kita bisa memanfaatkan dia untuk membongkar jaringan Pek-lian-hwe yang selama ini tersembunyi rapi di Lam-koan.”

“Baik. Tanganilah.” kata Thia Siang-peng.

Kui Tek-lam merasa kebetulan, kalau ia disuruh menangani sendiri Siau Hok-to, daripada Thia Siang-peng yang tidak tahu apa-apa namun berlagak tahu dan ikut campur dalam pemeriksaan nanti. Mereka sudah melewati pos penjagaan, dan sampai ke perkemahan, Thia Siang-peng langsung masuk ke dalam kemahnya, setelah berpesan kepada Kui Tek-lam agar besok pagi ia diberi laporan tentang hasil pemeriksaan ketua cabang Pek-lian-hwe yang menyerah itu.

Maka Siau Hok-to dan A-kui pun dibawa ke kemah tersendiri. Tidak lama kemudian dia sudah dikerumuni empat perwira istana. Kui Tek-lam, Thiam Gai, Lo Lam-hong dan Cu Tong-liang. Di bawah cahaya lampu, wajah Siau Hok-to kelihatan lelah, seperti menahan beban amat berat di hatinya. Sikap kalah Siau Hok-to menjadi-jadi setelah ia melihat Lo Lam-hong dan Cu Tong-liang yang sudah waras kembali, padahal sebelumnya mereka dicengkeram pengaruh sihir yang kuat dari Pek-lian-hwe.

Dengan warasnya kedua perwira istana itu, Siau Hok-to semakin yakin bahwa “kerajaan sihir” Pek-lian-hwe yang mencekam Lam-koan selama bertahun- tahun, agaknya memang sedang runtuh. Runtuhnya entah oleh apa, Siau Hok-to sendiri tidak tahu. “Sihir Mata Ke Tiga” yang selama ini menjadi kebanggaan Siau Hok-to, juga tidak berguna lagi.

“He, bukankah kau yang dikenal sebagai Tabib Siau, yang sangat dihormati warga Lam-koan?” tanya Kui Tek-lam, setelah melihat jelas wajah Siau Hok-to di bawah cahaya lilin dalam kemah.

“Ya....” sahut Siau Hok-to lesu, lelah. “Bertahun-tahun aku membohongi rakyat Lam-koan. Mereka menyangka aku ahli pengobatan sejati, padahal aku hanyalah tukang sihir yang hanya mampu mengada- kan penyembuhan palsu sambil menjual jiwa orang- orang itu ke neraka. Untuk permainan bohongan itu, sekian tahun aku harus mengorbankan puteriku.”

Sementara Lo Lam-hong pun mulai bicara, “Wajah orang ini rasanya sering kulihat dalam pertemuan-pertemuan Pek-lian-hwe dulu.”

Siau Hok-to mengangkat wajah kuyunya menatap Lo Lam-hong, “Tentu saja, karena Tuan ini dulu pernah kami sihir sehingga di bawah pengaruh kami selama beberapa saat. Tentu Tuan ini tahu kalau aku bukan cuma tokoh Pek-lian-hwe, bahkan ketua cabangnya.”

Lo Lam-hong mengepalkan tinjunya, marah mengingat bagaimana dia untuk sementara waktu seperti boneka yang menurut diperintah apa saja tanpa sadar. Bahkan menurut cerita Kui Tek-lam, Lo Lam-hong pernah disuruh melawan teman-temannya sendiri di kuburan Portugis itu.

“Bagaimana dulu kau berhasil menyihir dan menguasai aku?”

Dengan sikap pasrah menerima pembalasan, Siau Hok-to menjawab, “Waktu itu kami beri dulu topeng yang sudah kami manterai. Pribadi asing dalam topeng itu berusaha memasuki pribadimu, kalau kalian bertahan dengan pribadi kalian sendiri maka pribadi dalam topeng itu akan mengganggu kalian dengan mimpi-mimpi buruk yang membuat kalian tidak bisa tidur dan membuat kondisi fisik dan mental kalian merosot. Lalu aku tawarkan obat melalui Tuan Oh yang tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Tuan Kui agaknya tidak meminum obatku itu, sedang Tuan Lo meminumnya.”

Lo Lam-hong sudah menggeram hendak menjotos Siau Hok-to, namun Kui Tek-lam mencegahnya, “Saudara Lo, orang ini sudah mengakui kesalahannya dan bersikap jujur.”

Kemudian kepada Siau Hok-to, Kui Tek-lam berkata, “Sekarang, kenapa kau datangi kami dan minta perlindungan kepada kami?”

Siau Hok-to menarik napas, “Demi puteriku, yang selama ini sudah menderita karena ambisiku.”

“Jelaskan.”

Tanpa tedeng aling-aling Siau Hok-to membeberkan semuanya. Tentang puterinya yang gila sekian tahun menjadi tumbal ilmu gaib ayahnya, tetapi tiba-tiba membaik sendiri tanpa diketahui sebab-sebabnya. Tentang Pek-lian-hwe yang tiba-tiba saja lumpuh kekuatan sihirnya sehingga kedodoran, dan tentang niat mereka untuk memasukkan A-kui ke dalam “api suci” supaya pulihlah kekuatan sihir Pek-lian-hwe.

“Jadi kau tidak rela kalau puterimu yang baru sembuh itu dikorbankan di 'api suci' sehingga kau bawa puterimu berlindung kemari?” tanya Thiam Gai.

“Benar.”

“Kau tidak ingin mendekati kami hanya untuk mencari kesempatan untuk menyihir kami, bukan?” tanya Lo Lam-hong.

Siau Hok-to tertawa pahit, “Dulu kami bangga dengan sihir kami, kami pikir dengan itu kami bisa selesaikan segala-galanya. Sampai kami tiba-tiba terbentur kenyataan bahwa sihir kami lumpuh semua, bahkan sebab musababnya pun tidak kami ketahui. Saat ini, seandainya aku ingin menyihir seekor semut pun aku tidak yakin bisa.”

Kata-kata itu diucapkan dengan meyakinkan sekali. Kui Tek-lam kemudian berkata, “Kami ini perwira-perwira istana yang dekat hubungannya dengan Baginda Kian-liong. Kalau kau sungguh-sungguh mau menyadari kekeliruanmu dan meninggalkan jalan sesat Pek-lian-hwe, kami bisa memohonkan keringanan untukmu kepada Baginda sendiri. Tetapi sekarang kau pun harus membantu kami.”

“Itu cukup adil.”

“Pertama, kami kehilangan Kakak Oh Tong-peng serta Liu Yok yang kalian tawan.”

“Siapa itu Liu Yok?” tanya Lo Lam-hong yang memang belum pernah bertemu dengan Liu Yok. “Apakah orang yang pernah dianjurkan Jenderal Wan waktu hendak berangkat dari ibu kota Pak-khia dulu?”

“Ya. Dan ketahuilah, dialah yang mematahkan pengaruh sihir Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan ini, dengan cara anehnya yang dia namakan 'meniup sasangkala tanduk domba dan masuk akal kalau kukatakan bahwa dia jugalah yang mematahkan pengaruh sihir atas pikiranmu Saudara Lo.”

Lo Lam-hong termangu-mangu, sementara Siau Hok-to yang ikut mendengarkan itu juga termangu-mangu. Kemudian Kui Tek-lam mengulangi pertanyaannya kepada Siau Hok-to, “Kami kehilangan Kakak Oh Tong-peng dan Liu Yok yang kalian tangkap. Nah, dimanakah mereka? Apakah mereka masih hidup?”

“Mereka masih hidup, dan saat ini disembunyikan di Kota Bunga Persik. Meskipun Liu Yok dalam keadaan lemah sekali, karena berhari-hari dia menolak semua makanan dan hanya minum air putih.”

“Liu Yok ini aneh-aneh saja.” pikir Kui Tek-lam. “Tetapi tindakannya yang aneh-aneh itu menghasilkan akibat yang besar, yang sangat merugikan Pek-lian-hwe.”

“Di mana letak Kota Bunga Persik?” tanya Thiam Gai.

“Tepat di belakang rumahku, bisa dicapai lewat halaman belakang rumahku.”

“Baik, sekarang pertanyaan ke dua, salah seorang rekan kami yang bernama Pang Hui-beng, yang dulu sering menyamar sebagai tukang mi- pangsit, telah kalian santet sehingga menjadi seorang yang miring otaknya dan berkeliaran di kota Lam-koan. Sanggupkah kau mencabut pengaruh sihir atas dirinya, sehingga dia waras kembali?”

Siau Hok-to menggeleng, “Dulu memang aku yang menyantet dia, tetapi sekarang aku tidak bisa menarik pengaruh sihirku itu.”

“Kalau begitu lebih baik kau mampus saja!” dengan beringas Lo Lam-hong hendak mencekik Siau Hok-to, namun lagi-lagi Thiam Gai mencegahnya.

Sementara Siau Hok-to melanjutkan kata-katanya yang tadi, “…bukan karena aku tidak mau, melainkan karena aku sudah kehilangan seluruh kemampuan sihirku yang lenyap begitu saja.”

“Lalu Pang Hui-beng kau biarkan tetap...”

“Tenanglah, Saudara Lo...” hibur Cu Tong-liang. “Aku punya perasaan, dengan runtuhnya cengkeraman sihir Pek-lian-hwe atas Lam-koan, kemungkinan besar Pang Hui-beng juga akan sembuh dengan sendirinya. Seperti dirimu sendiri, Saudara Lo, juga diriku.”

Lo Lam-hong agak tenang mendengar penjelasan Cu Tong-liang itu. Sambil dalam hatinya heran juga, orang macam apakah Liu Yok itu sehingga dapat menghancurkan kekuatan sihir Pek-lian-hwe di seluruh kota?

Puteri Siau Hok-to yang dari tadi diam saja, sekarang menyambut omongan Cu Tong-liang tadi, “Begitu juga yang kualami. Bertahun-tahun terbelenggu dalam kegelapan, tahu-tahu belenggu itu lenyap sendiri.”

Kui Tek-lam melanjutkan pembicaraannya dengan Siau Hok-to, “Baiklah. Kami pun berharap rekan kami Pang Hui-beng itu akan mendapatkan kembali pikiran warasnya. Yang ke tiga, tugas utama kami di sini adalah menemukan dan mengamankan simpanan senjata api yang dimiliki Pek-lian-hwe. Apa benar kalian punya senjata-senjata api itu?”

Ternyata menakluknya Siau Hok-to ke pihak pemerintah benar-benar total, sama totalnya dengan sayangnya kepada puterinya sehingga la dapat melakukan apa pun demi puterinya. Pertanyaan Kui Tek-lam itu dijawabnya tanpa berbelit-belit sedikit pun,

“Ya. Kami punya lima ribu pucuk, lengkap dengan bubuk mesiunya dan puluhan ribu butir peluru-pelurunya karena kami punya pencetak peluru timah sendiri. Semuanya kami sembunyikan di Kota Bunga Persik.”

Bahkan Kui Tek-lam belum tanya di mana menyembunyikannya, Siau Hok-to sudah mengaku lebih dulu.

“Sekarang yang keempat, kau harus menolong kami membongkar kedok Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan.”

Ini pun disetujui Siau Hok-to. Maka pemeriksaan pun selesai. Malam itu Siau Hok-to dan puterinya diberi sebuah kemah untuk tidur. Kemah mereka dijaga para prajurit. Bahkan Kui Tek-lam berempat sendiri juga sering mengontrol kemah tawanan itu, bergantian.

Keesokan harinya, Kui Tek-lam menceritakan kepada Thia Siang-peng tentang hasil pembicaraannya semalam dengan Siau Hok-to. Thia Siang-peng tercengang-cengang dan tidak banyak mengomentarinya.

Ketika mereka sedang berbicara, seorang prajurit melapor, bahwa Kang Liong datang ke perkemahan dan ingin bertemu. Thia Siang-peng menyuruh pengawalnya agar membawa Kang Liong masuk.

Sementara keempat perwira istana diam-diam membatin, “Kang Liong, inilah saatnya kau seperti ikan yang masuk ke dalam jaring. Bukan saja ke dalam jaring, bahkan langsung ke wajan penggorengan.”

Kui Tek-lam lalu membisiki Thiam Gai, “Bawalah Siau Hok-to kemari dan sembunyikan di samping kemah. Nanti kalau Kang Liong sedang bersandiwara dalam kemah ini, pertemukan dia dengan Siau Hok-to, biar kaget dan terlucuti kedoknya di depan Thia Siang-peng.”

Thiam Gai mengangguk dan keluar dari kemah, Thia Siang-peng tidak dapat melarangnya karena perwira-perwira istana itu memang bukan bawahannya.

Kemudian Kui Tek-lam berkata kepada Thia Siang-peng, “Komandan Thia, sebentar lagi komandan akan melihat siapa Kang Liong yang sebenarnya di balik kelihaiannya bersandiwara. Dia akan kupertemukan mendadak dengan ketua cabang Pek-lian-hwe yang membelot kepada kita, dan perhatikan reaksinya.”

Thia Siang-peng tidak menjawab. Kurang senang hatinya, sebab bagaimanapun juga Kang Liong lah yang semalam menambah isi kantongnya dengan hui-lui senilai lima ratus tahil perak. Tetapi kalau benar terbukti Kang Liong adalah tokoh Pek-lian-hwe, Thia Siang-peng tidak berani bertentangan dengan para perwira istana ini, kuatir kalau dilaporkan kepada Kaisar dan kepalanya bisa protol (dicopot, dipenggal).

Kang Liong masuk dengan wajah berseri-seri, diikuti pengiring-pengiring yang semuanya membawa nampan dengan sesuatu yang menonjol di bawah tutup-tutup nampan itu. Tentu hadiah-hadiah yang mahal-mahal. Kata Kang Liong, “Selamat pagi, Tuan Komandan dan Tuan-tuan perwira dari Pak-khia, semalam banyak tamu undangan yang menyesal tidak dapat memberikan cindera-mata bagi Tuan-tuan, karena undangan yang kusebarkan memang begitu mendadak. Sekarang, para warga terhormat Lam-koan itu lagi-lagi mengutus aku untuk menyampaikan penghormatan kepada Tuan-tuan.”

Lalu dengan tangannya sendiri Kang Liong membuka tutup nampan-nampan itu, ternyata benda-benda di atas nampan itu adalah benda-benda mahal semuanya. Ada sepasang kuda dari batu giok hijau, pedupaan kaki tiga dari emas dengan ukiran-ukiran indah dan permata-permata menghiasinya, gulungan lukisan kuno yang tak ternilai harganya.

Thia Siang-peng sudah hampir meneteskan air liurnya melihat semuanya itu, maka Kui Tek-lam tidak membiarkannya lebih lama lagi. Katanya, “Tuan Kang ternyata begini baik hati, ini tak sanggup kami balas. Oh ya, semalam ada kenalan lama yang ingin menemui Tuan.”

“Siapa?” tanya Kang Liong yang belum punya dugaan tentang siapa-siapa.

Kui Tek-lam berkata ke arah luar tenda, “Saudara Thiam, coba antar kenalan lama Tuan Kang ini masuk.”

Tirai tenda tersingkap dan Thiam Gai melangkah masuk bersama Siau Hok-to. Melihat Ini, wajah Kang Liong berubah hebat. Ia sudah mendengar kalau Siau Hok-to minggat karena tidak rela menyerahkan puterinya dijadikan korban di “api suci”.

Namun menurut perkiraan tokoh-tokoh Pek-lian-hwe termasuk Kang Liong, tentunya Siau Hok-to dan puterinya kabur jauh-jauh dari Lam-koan. Mungkin naik perahu ke Makao atau Kanton, atau ke tempat yang lebih jauh lagi di mana pengaruh Pek-lian-hwe tidak ada. Ternyata malah Siau Hok-to muncul di tempat ini, di antara perkemahan Manchu.

Kang Liong memang tidak siap. Kalau sebelumnya ia mampu bersandiwara demikian hebat sehingga mengecoh Thia Siang-peng, sekarang dia seperti pemain sandiwara yang kelupaan dialog hapalannya di depan penonton. Bahkan oleh dorongan perasaannya yang mendadak, ia menuding Siau Hok-to dan berkata sengit. “Pengkhia....”

Baru setengah kata, Kang Liong sadar perkataan itu bisa membuka kedoknya sendiri, maka buru-buru perkataannya dihentikan, namun yang setengah patah kata itu sudah terlanjur didengar semua orang di kemah itu. Termasuk Thia Siang peng.

Sambil tersenyum Kui Tek-lam bertanya, “Tuan Kang, kenapa tidak Tuan selesaikan perkataan Tuan tadi?”

Geragapan dan kacau Kang Liong memperbaiki kesalahannya, “Tadi... aku kira... seseorang yang pernah menjadi penjahat di Lam-koan... jadi aku... aku hampir mendampratnya. Wajahnya mirip sekali... maaf... maaf....”

Kui Tek-lam tertawa, “Tuan Siau, kenal orang ini?”

Sekali membelot, Siau Hok-to tidak setengah-setengah, jawabannya lancar. “Ya, dia bawahanku dalam Pek-lian-hwe. Namanya Kang Liong, kedudukannya baru saja naik dari 'Perwira Kipas Putih Ke Empat’ menjadi 'Perwira Kipas Putih Ke Tiga' menggantikan Nyo In-hwe.”

Wajah Kang Liong berubah-ubah, sebentar pucat pasi dan sebentar merah padam sampai hampir ungu. Bibirnya gemetar dan bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Kui Tek-lam tidak ingin bertele-tele, katanya kepada Thia Siang-peng, “Komandan Thia, kami ditugasi langsung oleh Sri baginda untuk mematahkan kekuatan Pek-lian-hwe di tempat ini. Sekarang kami akan menjalankan tugas ini....”

Thia Siang-peng tentu saja tidak punya nyali untuk membatalkan tugas yang dari Kaisar sendiri. Tapi dia pun merasa sayang kepada hadiah-hadiah yang bagus-bagus yang dibawa Kang Liong, maka dia pun mengeluarkan perintah tambahan, “Sita barang-barang itu!”

Sementara Kui Tek-lam dan kawan-kawannya lebih menggubris Kang Liong Si pentolan Pek-lian-hwe. Kata Kui Tek-lam, “Tuan Kang, kau mau langsung menyerah saja agar tidak buang waktu dan tenaga, atau ingin coba-coba melawan, barangkali mengadu untung, siapa tahu bisa kabur dari sini? Atau ingin mencoba ilmu gaibmu?”

Tawaran Kui Tek-lam itu sesungguhnya merupakan ejekan semuanya. Soal perkelahian secara fisik, jelas Kang Liong jauh di bawah Kui Tek-lam, takkan sanggup ia bertahan sepuluh gebrakan. Dalam soal ilmu gaib, pihak Pek-lian-hwe juga sedang kelabakan karena kehebatan ilmu-ilmu mereka secara misterius-amblas entah ke mana.

Kang Liong mengertakkan giginya, namun akal sehatnya masih memperingatkan bahwa tindak emosional tetap tidak menguntungkannya. Maka dia pun berkata dengan lesu, “Aku menyerah.”

Thia Siang-peng kurang yakin kalau perintahnya yang pertama tadi didengar, karena sedang ribut, maka ia ulangi lagi dengan suara lebih keras, “Sita barang-barang itu!”

Kang Liong mencibir mengejek, sementara Kui Tek-lam dan teman-temannya cuma menarik napas melihat kelakuan Thia Siang-peng Itu. Kang Liong pun ditangkap, Kui Tek-lam dan teman-temannya berunding cepat, tindakan apa yang harus dilakukan.

“Kuasai pasukan di Lam-koan!” kata Thiam Gai.

“Jangan sampai kalah cepat dari tokoh-tokoh Pek-lian-hwe!”

“Komandan Thia, bagaima kalau seribu prajuritmu dibawa oleh Saudara Thiam untuk memasuki Lam-koan dan mengambil alih tangsi (markas, barak) tentara?”

Thia Siang-peng ketika itu sedang sibuk mengelus-elus sambil terkagum-kagum atas sepasang kuda dari batu giok hijau yang luar biasa. Sebagian besar pikirannya sudah tidak pada tugasnya lagi, melainkan membayangkan bagaimana ia hendak memajang barang-barang itu di ruang tamunya di Kanton?

Pertanyaan Kui Tek-lam yang mendadak itu dijawabnya asal-asalan saja. “Ya, bawa saja! Bawa saja!”

Thiam Gai diam-diam membatin, “Tabiat orang ini kadang-kadang ada seginya yang menguntungkan juga. Semuanya jadi serba cepat dan tidak berbelit-belit.”

Thiam Gai sendiri segera berangkat bersama seribu prajurit Kanton untuk mengambil alih komando atas pasukan Lam-koan. Bendera-bendera di tsang di dibawa dalam barisan, diiringi suara genderang, untuk menambah kewibawaan dan diharapkan pasukan Lam-koan akan dapat diambil-alih tanpa kekerasan.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.