Menaklukkan Kota Sihir Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 17 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 17

SEMENTARA Kui Tek-Iam berkata pula, “Komandan Thia, selain langkah menguasai Lam-koan, sekaligus harus ada juga langkah memukul jantung kekuatan Pek-lian-hwe, yaitu tempat ibadah rahasia mereka yang disebut Kota Bunga Persik, untuk membebaskan tawanan-tawanan dan merampas senjata-senjata api mereka. Ini harus dilakukan dengan cepat. Tabib Siauw akan menjadi penunjuk jalan kita.”

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Kui Tek-lam ingin bertindak cepat-cepat, sebaliknya Thia Siang-peng kelihatannya malah ogah-ogahan, “Lalu?”

“Ya gerakkan pasukan, apa lagi?”

“Aku agak pusing.”

Kui Tek-Iam menahan rasa jengkelnya, lalu mengancam dengan halus, “Kalau Komandan sedang pusing, tentu saja jangan dipaksakan, nanti malah kurang baik. Dalam laporanku kepada Kaisar kelak, soal pusing kepala ini mudah-mudahan bisa dimaklumi oleh Kaisar.”

Perkataan Kui Tek-Iam ternyata laksana “obat pusing kepala” paling manjur sedunia. Perkataan itu membuat Thia Siang-peng bangkit, mengenakan seragam militernya, dan siap menggempur Kota Bunga Persik. Biarpun berlambat-lambatan, akhirnya Thia Siang-peng berada juga di atas kudanya sambil mengepit kampak ganda bertombaknya.

Pasukan gelombang kedua pun meninggalkan perkemahan, memasuki Lam-koan dengan Siau Hok-to sebagai penunjuk jalan ke Kota Bunga Persik. Tetapi akibat dari berlambat-lambatannya Thia Siang-peng tadi, maka pihak Pek-lian-hwe yang menyebar mata-mata di seluruh kota itu pun sempat membuat suatu gerakan untuk menanggulangi.

Langkah pihak pemerintah mangambil-alih pasukan Lam-koan di tangsi nya memang tidak sempat diantisipasi oleh Pak-lian-hwe, sehingga pengambil-alihan berlangsung mulus. Namun suatu laporan cepat disampaikan kepada Hong Pai-ok yang cepat mencium adanya gelagat buruk. Maka langkah ke dua dari pasukan Kanton untuk menggempur Kota Bunga Persik, dihadapi Hong Pai-ok dengan tindakan keras.

“Kumpulkan seluruh anggota kita secepatnya di Kota Bunga Persik. Bongkar gudang senjata, persenjatai tiap anggota kita dengan senjata api. Kalau anjing-anjing Manchu itu melangkah masuk ke tempat kita, kita ubah tempat ini jadi neraka buat mereka!”

Sudah sejak sehari sebelumnya memang Pek-lian-hwe cabang Lam-koan sudah bersiaga, sejak mendaratnya pasukan Kanton di dermaga, maka sekarang begitu perintah dikeluarkan, anggota-anggota terpecaya Pek-lian-hwe dengan cepat berkumpul di “Kota Bunga Persik” lewat jalan rahasia yang ada beberapa buah.

Mereka adalah anggota-anggota terpercaya yang sudah diijinkan mengetahui letak tempat ibadah rahasia itu, bukan sembarangan anggota. Anggota-anggota terpercaya ini juga adalah orang-orang yang siap mengorbankan nyawa.

Dalam waktu singkat di “Kota Bunga Persik” terkumpul seratus orang lebih anggota terpercaya ini. Jumlahnya yang tidak memadai sama sekali kalau harus berhadapan dengan pasukan musuh yang ribuan, namun dengan senjata api serta medan tempur yang sempit di antara bangunan-bangunan, mereka berharap akan dapat memberi hajaran berarti ke pihak “anjing-anjing Manchu”.

Di antara orang-orang yang berdatangan untuk membela rumah ibadah Dewa Api itu, tidak sedikit yang membawa topeng-topeng mereka. Meskipun mereka heran bahwa kekuatan gaib topeng-topeng mereka mendadak merosot tanpa mereka ketahui sebab-sebabnya, namun mereka membawanya juga dengan harapan tak pasti. Siapa tahu masih berguna.

Ada juga yang banyak boneka-boneka rumput sepanjang sejengkal. Mereka berharap pemimpin-pemimpin mereka akan mengundang dan mengisikan “tentara langit” ke dalam boneka-boneka rumput- rumput itu, sehingga mereka akan mendapat “teman-teman” dalam pertempuran. Bahkan dampak sampingannya, pasukan musuh akan bingung dan ketakutan berhadapan dengan “pasukan jailangkung” macam itu.

Namun para anggota itu terheran-heran bahwa pimpinan-pimpinan mereka sama sekali tidak menyebut-nyebut kemungkinan penggunaan “tentara langit” sedikit pun. Para anak buah itu tentu tak tahu kalau para pimpinan itu sendiri sedang bingung akan ilmu gaib mereka yang amblas entah ke mana. Tapi tak ada di antara mereka yang berani menanyakannya.

“Bongkar gudang! Keluarkan senjata-senjata api itu!” perintah Hong Pai-ok di pelataran “Kota Bunga Persik”, pelataran dekat “gerbang merah” yang biasa digunakan untuk penerimaan anggota baru.

Mereka beramai-ramai berjalan menuju ke gudang senjata di bawah tanah, untuk mencapainya mereka harus melewati sel-sel tempat Oh Tong-peng, Liu Yok dan beberapa calon korban manusia dikurung. Menurut laporan terakhir yang didengar Hong Pai-ok, calon-calon korban itu pun ternyata sudah tidak memenuhi syarat lagi.

Yang dibutuhkan adalah korban-korban yang penasaran dan menolak untuk mati, dengan demikian barulah pada waktu disembelih nanti bisa “menghasilkan kekuatan” dari kebencian dan kepenasaranan mereka.

Ternyata setelah dikurung beberapa hari, mula-mula mereka memang meratap-ratap penasaran, tapi oleh sebab-sebab yang tidak diketahui, calon-calon korban itu tiba-tiba menjadi calon-calon korban yang pasrah, tidak lagi penasaran, tidak takut mati lagi.

Calon korban yang macam ini sudah tentu tidak lagi memenuhi syarat yang diingini Pek-lian-hwe, menyembelih mereka tidak ubahnya membunuh orang secara percuma, tidak akan “menguntungkan” sedikit pun.

Sekarang waktu Hong Pai-ok dan orang-orangnya melewati lorong di antara sel-sel itu, Hong Pai-ok merasakan perbedaan. Bukan perbedaan yang bersifat fisik, sebab hal-hal fisik masih seperti dulu, melainkan perbedaan suasana.

Dulu suasananya mencekam dan seram, orang-orang Pek-lian-hwe percaya bahwa tempat itu “penuh penjaga yang tak terlihat”. Sekarang suasananya terasa damai, tenteram, bahkan terasa agak hangat, entah darimana datangnya panas di ruang tertutup bawah tanah itu, padahal udara di luar dingin.

Dari sel kecil yang berpintu besi dan tertutup rapat, sayup-sayup terdengar suara lembut seseorang yang menyanyi. Dari sel-sel yang lain, terdengar suara para “tahanan” mencoba mengikuti nyanyian itu dengan sungguh-sungguh.

Tiba-tiba Hong Pai-ok merasa muak terhadap nyanyian itu, ia berhenti melangkah dan berteriak. “Siapa menyanyikan nyanyian jelek itu?! Membisingkan telinga saja!”

Teriakan itu menggema dan memantul di dinding-dinding dan langit-langit lorong. Para “tahanan” kontan bungkam, kecuali Oh Tong-peng dan suara dari balik pintu besi sel kecil itu. Nyanyian Oh Tong-peng parau, karena ia memang kurang bisa menyanyi, dan nampaknya motif Oh Tong-peng menyanyi tidak lain hanya untuk menjengkelkan Hong Pai-ok, tanpa menghayati nyanyian itu sendiri.

Salah seorang yang mengiringi Hong Pai-ok, seorang yang mengenakan topeng Dewa Monyet Putih Sun Go-kong, menahan diri untuk tidak tertawa. Untung ia mengenakan topeng, sehingga air mukanya yang sedang geli itu tidak kelihatan.

Selain suara parau Oh Tong-peng yang sengaja menyanyi untuk menjengkelkan Hong Pai-ok, yang masih terdengar adalah suara dari balik pintu-besi “sel neraka” itu. Sel yang sempit, lembab, gelap, banyak kecoaknya, bau, dan orang yang didalamnya akan dipasung sehingga harus duduk terus. Sel yang berisi Liu Yok.

Suara Liu Yok juga tidak merdu, tidak lebih baik dari suara Oh Tong-peng, sama-sama tidak kenal tehnik menyanyi yang baik. Tetapi terasa benar, nyanyian itu keluar dari dasar jiwa yang terdalam, suatu nyanyian pemujaan yang dinyanyikan dengan sepenuh-penuh cinta kepada yang dipujanya.

Nyanyian itulah yang menukar suasana di tempat penahanan ini. Dari suasana seram, putus asa, sedih dan ketakutan, ke suasana yang gembira, berpengharapan, hangat, penghiburan, cinta. Mungkin nyanyian itulah yang memberi kekuatan jiwa kepada para tahanan, sehingga dari orang-orang takut mati, mereka berubah menjadi orang-orang tabah.

Salah seorang yang mengiringi Hong Pai-ok, yang mengenakan topeng Sun Go-kong itu pun termangu-mangu mendengar nyanyian dari sel sempit itu. Rasanya ia pernah mendengar nyanyian itu, lupa-lupa ingat, ketika ia berada dalam saat-saat yang membingungkan dalam hidupnya.

Ketika pikirannya serasa berjungkir balik sehingga apa yang dianggapnya benar malah ditertawakan orang, ketika ia berada di jalanan dan anak-anak kecil meneriakinya, mengejek, melempari batu. Saat itu dengan jiwanya yang terdalam rasanya dia mendengar suara nyanyian itu, suara terompet tanduk, dan pikirannya berangsur-angsur pulih.

Kini ia mendengar lagi nyanyian itu, kali ini begitu jelas, dalam keadaan sadar bukan dengan kedalaman hatinya melainkan dengan kuping jasmani-nya. Si Orang Bertopeng Sun Go-kong itu menarik napas.

Sementara kemuakan dan kemarahan Hong Pai- ok meledak, “Diam! Diam! Atau harus kusumbat mulut kalian dengan batu?”

Oh Tong-peng berhenti menyanyi, agaknya mempertimbangkan bahwa Hong Pai-ok yang sedang kalap itu bisa saja mewujudkan ancamannya. Liu Yok pun berhenti menyanyi, dengan pertimbangan lain: tidak baik saling membuat jengkel sesama manusia. Jauh lebih sederhana dari pertimbangan Oh Tong-peng.

Maka lorong itu pun jadi sunyi, tidak terdengar suara orang menyanyi lagi. Sementara orang-orang yang mengiring Hong Pai-ok pun membungkam semua, tidak ada yang berani bersuara.

Hong Pai-ok masih terengah-engah karena marahnya, namun merasa bangga juga karena menganggap dirinya masih menjadi “orang yang ditakuti”. Buktinya, bentakannya ditanggapi dengan patuh, demikian anggapannya.

Namun selain itu, ia heran juga. Menurut laporan anak buahnya yang menjaga tempat itu, Liu Yok sudah berhari-hari tidak mau makan, gara-garanya hanya karena makanannya adalah bekas makanan yang ditaruh di altar dan bekas persembahan untuk dewa-dewa Pek-lian-hwe, Liu Yok hanya minum air putih terus.

Bagaimana orang yang tidak makan sekian hari masih sempat bernyanyi-nyanyi demikian gembira? Hong Pai-ok jadi ingin melihat seperti apa “dukun Manchu” itu sekarang, setelah tidak makan sekian hari. Sejenak lupa tujuannya untuk mengambil senjata-senjata api di gudang.

“Berapa hari anjing Manchu dalam sel itu tidak mau makan makanan kita?” tanyanya kepada penjaga tempat itu.

“Enam hari.”

“Manusia macam apa yang tidak makan enam hari tetapi masih hidup, dan masih bisa menyanyi-nyanyi? Ingin kulihat dia! Buka!”

Pintu besi sel sempit itu dibuka, dan yang terlihat oleh Hong Pai-ok adalah Liu Yok yang kurus, pucat, terpuruk lemah dengan punggung bersandar dinding dan kaki dipasung dengan balok-balok serta tangan dirantai. Namun Liu Yok sadar, matanya terbuka dan memancarkan kecemerlangan tiada taranya, bibirnya tersenyum ramah, sedikit pun tidak ada rasa permusuhan kepada orang-orang yang telah menganiayanya.

“Kau belum mampus juga, anjing Manchu?”

Liu Yok tersenyum, “Belum dikehendaki oleh Sesembahanku, barangkali.”

Hong Pai-ok menggeram, “Biarpun belum dikehendaki oleh Sesembahanmu, kalau sekarang kupotong lehermu, Sesembahanmu sendiri tak bisa menolong. Nyawamu di tanganku!”

Liu Yok menjawab tenang. “Kalau sesembahanku belum menghendaki, siapa pun tak bisa mengambil nyawaku.”

Biarpun suara Liu Yok lemah, hampir tak terdengar, namun kata-katanya menggentarkan Hong Pai-ok, meski Hong Pai-ok mencoba menutup-nutupinya demi menjaga kewibawaan di depan anak buahnya. “Kaukah yang membuat gusar dewa-dewa kami, sehingga dewa-dewa kami kabur semua meninggalkan kami?”

“Kalau dewa-dewa kalian marah, mereka tidak akan kabur, melainkan menghancurkan aku kalau mampu. Namun mereka pergi bukan karena marah melainkan takut.”

Hong Pai-ok gusar. “Takut kepadamu?”

“Kepada Dia yang di dalamku.”

Hong Pai-ok bertambah gusar, namun anehnya juga disertai gentar yang mencekam jiwa. Waktu ia hendak mengeluarkan perintah untuk membunuh Liu Yok, mulutnya terasa kelu, tak mampu mengeluarkan kata-kata itu. Mulutnya baru bisa mengeluarkan kata-kata lagi setelah dalam pikirannya ia menukar apa yang hendak dikatakannya.

Yang dikatakannya kemudian adalah, “Orang ini gila! Lebih baik kalau dia tetap hidup sebagai sandera untuk menahan majunya pasukan Kanton! Tutup kembali selnya!”

Yang menanggapi perintah itu dengan cepat bukanlah Si Penjaga ruang tahanan tadi, melainkan seorang bertopeng Dewa Monyet Sun Go-kong. Ia menutup sel, menguncinya, dan kuncinya langsung masuk ke kantongnya sendiri, tidak diserahkan kepada Si Penjaga.

Tetapi saat itu situasi sedang tegang, orang-orang Pek-lian-hwe tidak terlalu memperhatikan urusan-urusan “kecil” begitu. Bahkan sebelum Si Orang Bertopeng Dewa Monyet itu selesai mengunci pintu sel, orang-orang sudah beranjak menuju ke gudang senjata di ujung lorong.

Tetapi dari dalam selnya terdengar suara Liu Yok, “Kalian hendak mengambil senjata di gudang senjata?”

Hong Pai-ok tertegun langkahnya, darimana Si “Dukun Manchu” ini tahu? Kemudian suara Liu Yok terdengar lagi dari balik pintu.

“Percuma. Senjata-senjata itu sudah berkarat dan jadi rongsokan semuanya, tak bisa dipakai untuk membunuh lagi!”

Seorang anggota Pek-lian-hwe yang bertanggung jawab atas perawatan senjata-senjata itu, tertawa dan berkata kepada Hong Pai-ok, “Tidak salah kata Kakak Hong, orang ini memang gila! Baru kemarin kuperiksa senjata-senjata itu, semuanya masih baik dan aku selalu menyuruh orang untuk meminyakinya dan menjaganya tetap kering. Setiap saat bisa digunakan!”

“Betul?”

“Potong leherku kalau omonganku tidak betul!” sahut Si Perawat senjata dengan mantap.

Tetapi waktu mereka membuka gudang dan mengambil senjata-senjata itu, semuanya diketemukan dalam keadaan parah, berkarat dan keropos, tidak satu pun yang masih utuh. Waktu tong-tong mesiu dibuka, ternyata bubuk mesiunya lembab semua, bahkan tumbuh jamurnya.

Si Perawat Senjata menjerit histeris, “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kemarin semuanya masih baik! Banyak saksinya! Sungguh!”

Orang itu begitu panik karena melihat pandangan mata Hong Pai-ok begitu kejam mengancam. Hong Pai-ok juga dikenal sebagai orang yang tidak tanggung-tanggung kalau menjatuhkan hukuman.

Beberapa orang Pek-lian-hwe lainnya terdorong untuk meringankan hukuman rekan mereka, maka mereka pun ramai-ramai bersaksi bahwa kemarin memang orang ini menjalankan kewajibannya dengan baik.

“Tetapi karat dan jamur tidak tumbuh dalam semalam!” raung Hong Pai-ok.

“Bisa, kalau disihir oleh dukun Manchu Liu Yok itu!” kata si anggaota yang merawat senjata. “Bukankah kita dulu bisa membuat orang mati atau sakit atau gila dalam waktu semalam? Bukankah kita bisa membuat suami isteri membenci dalam waktu semalam? Dan lelaki perempuan yang tidak saling kenal sebelumnya juga bisa kita buat saling mencinta dalam waktu semalam?”

Dalih ini masuk akal. Pikiran Hong Pai-ok jadi terombang-ambing. Satu pertimbangan lagi, kalau dia menghukum Si Perawat Senjata sekarang, mungkin akan terjadi perpecahan di antara barisan Pek-lian-hwe sendiri. Padahal persatuan sedang dibutuhkan untuk menghadapi musuh.

“Bagaimana ini, Kakak Hong?” desak Phui Se-san tak sabar.

Sebelum Hong Pai-ok mengambil keputusan, seorang anak buah bergegas melapor, “Kakak Hong, pasukan Manchu sudah mengepung tempat ini, sebagian sedang mendobrak pintu halaman depan!”

Letak tempat ibadah Pek-lian-hwe itu sangat dirahasiakan, sebab agama Teratai Putih ini sesat dalam pandangan agama-agam lain yang ada di daratan Cina saat itu. Belasan tahun “Kota Bunga Persik” ada di Lam-koan dan masyarakat Lam-koan tidak menyadari adanya tempat macam itu, bahkan mendengar saja tidak. Tetapi sekarang tempat itu bukan rahasia lagi dan diserbu tentara kerajaan, suatu hal yang mungkin karena Siau Hok-to yang menjadi penunjuk jalan bagi tentara kerajaan.

Hong Pai-ok kelabakan, Pek-Iian-hwe-nya benar-benar sudah dilucuti dari hal-hal yang semula jadi andalannya. Ilmu gaib mereka musnah tanpa sebab-musabab yang jelas, sekarang senjata-senjata api andalan mereka pun tiba-tiba hancur total tak ada satu pun yang bisa digunakan. Tetapi Hong Pai-ok tiba-tiba ingat masih ada “senjata” yang bisa digunakan.

Perintahnya, “Bawa keluar Oh Tong-peng dan Liu Yok! Kita gunakan taruhan keselamatan mereka untuk mengancam anjing-anjing Manchu agar tidak maju lagi!”

Oh Tong-peng dan Liu Yok pun diseret keluar. Anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya menyambar senjata-senjata mereka, senjata-senjata tradisional seperti tombak, golok, pentung dan lain-lain, dan bergabung dengan teman-teman mereka yang berjaga di segala sudut “Kota Bunga Persik”.

“Kota Bunga Persik” terletak terjepit di antara rumah-rumah penduduk, dan rumah penduduk yang mengelilinginya itu adalah rumah para anggota terpercaya Pek-lian-hwe, tentu saja mereka tampil sebagai orang-orang baik di masyarakat.

Namun kini di atas bubungan atap rumah-rumah penduduk yang mengelilingi “Kota Bunga Persik” itu, prajurit-prajurit kerajaan berderet-deret bagaikan burung pipit, dengan anak-anak panah sudah terpasang di tali busur, mengincar bagian dalam dari tembok “Kota Bunga Persik”.

Sementara para pemanah mengincar, para prajurit pendobrak sedang membongkar pintu- pintu yang masuk ke “Kota Bunga Persik”. Di beberapa bagian, para prajurit bahkan menggunakan kapak dan beliung untuk membongkar tembok. Sementara mereka membongkar, pasukan penyerbu sudah siap di belakang mereka dengan senjata lengkap.

Kui Tek-Iam, Thia Siang-peng berdiri di atas wuwungan atap yang paling tinggi, dan dari tempat itu terlihatlah “Kota Bunga Persik” yang bentuknya empar persegi itu. Di samping kedua perwira kerajaan itu, berdirilah Siau Hok-to.

Siau Hok-to berteriak kepada anggota-anggota Pek-lian-hwe yang berada di “Kota Bunga Persik” dengan menggunakan sepasang telapak tangannya di depan mulut sebagai corong,

“Teman-teman! Ini bekas ketua cabang kalian! Aku serukan kepada kalian untuk menyerah dan di ampuni! Tidak ada gunanya kalian terus mengabdi dalam kepercayaan sesat! Kalian mengabdi dengan sia-sia, pengabdian kalian tidak dihargai! Contohnya aku, bertahun-tahun mengabdi dan anak perempuanku, anakku satu-satunya, ditumbalkan untuk ditempati roh-roh gentayangan dan bertahun-tahun menderita! Apakah orang-orang Pek-lian-hwe berterima kasih kepada pengabdianku? Tidak! Mereka malah minta agar anakku dikorbankan dalam apa yang mereka sebut “api suci”! Bahkan aku dituduh tidak setia! Teman-teman, ada pengampunan buat yang ingin menyerah!”

Orang-orang Pek-lian-hwe di “Kota Bunga Persik” mendengar seruan itu, dan mereka mulai bimbang. Apalagi di tengah-tengah mereka ada seorang “teman” yang memakai topeng Dewa Monyet, yang ikut berbisik-bisik melunturkan semangat orang-orang Pek-lian-hwe itu.

Siau Hok-to yang berseru-seru dari atap, bisa merasakan bahwa seruannya meninggalkan bekas keragu-raguan di antara bekas anak buahnya. Dia ulang-ulangi lagi seruannya.

Tiba-tiba dari arah “Kota Bunga Persik” terdengar teriakan menyayat, sesosok tubuh terlempar dari dalam ruangan ke halaman luar, dengan perut terbelah dan usus terburai.

Menyusul Hong Pai-ok melangkah keluar dari bawah naungan atap, dari salah satu bagian “Kota Bunga Persik” yang dinamai “aula setia kawan”. Dia melangkah ke tempat terbuka, sehingga dapat dilihat dari atas atap, di tangannya tergenggam pedang yang berlumuran darah.

Ia menengadah ke arah Siau Hok-to, teriaknya sambil menuding orang yang terbunuh itu dengan pedangnya, “Siau Hok-to, pengkhianat busuk! Jangan sesali kalau nasibmu akan seperti tikus ini! Orang berarti lemah begini tidak pantas menjadi anggota Pek-lian-hwe! Mendengar seruanmu saja hatinya sudah goyah!”

Siau Hok-to balas mengejek dari atas atap, “Kakak Hong-ku yang baik, apa andalanmu sehingga bersikap begitu garang? Kalau masih mengandalkan sihir, coba sihirlah aku, biar orang-orang melihat kehebatanmu dan takluk kepadamu! Atau kau andalkan orang-orangmu yang sedikit itu?”

Sambil menggertak, sebenarnya Siau Hok-to berdebar-debar juga. Sebagai mantan ketua cabang Pek-lian-hwe, dia tentu saja tahu kalau di “Kota Bunga Persik” itulah tempatnya lima ribu pucuk senapan disimpan. Bagaimana kalau Hong Pai-ok menggunakannya? Tetapi Siau Hok-to heran bahwa belum dilihatnya seorang pun anggota Pek-lian-hwe yang memegang senapan. Di satu sudut, dilihatnya sekelompok anggaota Pek-lian-hwe bersiaga dengan panah dan lembing, tidak kelihatan senapan sepucuk pun.

Siau Hok-to jadi heran, “Ke mana senapan-senapan itu? Mungkin setelah mereka tahu aku menyeberang ke pihak pemerintah, mereka lalu memindahkan tempat penyimpanan senapan- senapan itu, kuatir kalau aku menunjukkan tempat penyimpanannya yang di sini.”

Begitulah ia menduga-duga, tak diketahuinya kalau bedil-bedil itu dalam waktu semalam sudah menjadi barang rongsokan semua, secara aneh.

Ternyata Hong Pai-ok malah mengeluarkan “senjata andalan”nya yang lain. Ia memberi isyarat, maka dari dalam ruangan muncullah orang-orangnya yang menyeret keluar Oh Tong-peng dan Liu Yok. Thai Yu-tat yang bertubuh pendek kecil itu menyeret Liu Yok yang nampak kurus, lemah dan pucat. Phui Se-san menyeret Oh Tong-peng yang juga kelihatan kurus dan pucat, tetapi tidak sekurus dan sepucat Liu Yok.

Hong Pai-ok tertawa terbahak, ancamnya, “Anjing-anjing Manchu! Hentikan upaya kalian merusak tembok dan menggempur pintu! Sebab begitu ada satu pun kaki kotor kalian menginjak tempat suci kami ini, kepala kedua orang ini segera menggelundung copot!”

Kui Tek-Iam terkesiap, mencemaskan keselamatan Oh Tong-peng dan Liu Yok. Ia tahu bahwa dalam keadaan sangat terjepit, mungkin sekali Hong Pai-ok melaksanakan ancamannya. “Komandan Thia, bagaimana kalau kau perintahkan orang-orangmu untuk berhenti menggempur tembok dan pintu dulu?”

“Kenapa, Tuan Kui?”

“Keselamatan kedua orang itu terancam!”

“Siapa mereka?”

“Yang lebih tua itu adalah komandanku, Oh Tong-peng. Yang lebih muda adalah Liu Yok, calon menantu gubernur di Ho-lam, sekaligus saudara sepupu dari isterinya Jenderal Wan Lui, jenderal yang paling disayangi Baginda Kian-liong.” Sengaja Kui Tek-Iam jelaskan seterang itu, supaya Thia Siang-peng menghargai keselamatan para sandera itu.

Thia Siang-peng tidak langsung memerintahkan anak buahnya agar berhenti bekerja, tetapi berkata, “Di pihak kita juga punya Kang Liong. Ancam bandit-bandit itu, kalau mereka bunuh tawanan-tawanan mereka, kita pun akan bunuh Kang Liong!”

Hampir bersamaan Kui Tek-Iam dan Siau Hok-to geleng-geleng kepala. Kata Kui Tek-Iam. “Aku kuatir cara itu tidak mempan. Biarpun Kang Liong ini anggota Pek-lian-hwe, tetapi hanya sebagai tokoh di sebuah cabang, nilainya tidak sebanding dengan nilai Kakak Oh Tong-peng yang adalah perwira tinggi dari pasukan pribadi Kaisar sendiri, juga Liu Yok yang adalah calon menantu Gubernur Ho-lam.”

Siau Hok-to menambahkan, “Aku dulu ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Di antara kami tidak ada kesetia-kawanan yang sejati, meskipun kami menjadi serangkaian upacara minum arak campur darah segala. Buktinya aku yang sudah berkorban bertahun-tahun bagi Pek-lian-hwe, disingkirkan begitu saja. Tukar-menukar yang kita tawarkan takkan digubris mereka! Mereka siap mengorbankan apa saja, termasuk teman sendiri!”

“Jadi, kita harus menghentikan gempuran para tembok, padahal musuh ibaratnya sudah seperti sepotong makanan di mulut kita?” tanya Thia Siang-peng jengkel. Angan-angannya tentang kenaikan pangkat setibanya di Kanton nanti, agak terganggu.

“Kita akan tetap mengepung dan mengawasi tempat ini!”

Bagaimanapun inginnya Thia Siang-peng untuk menyelesaikan urusan itu secepat mungkin, ia tidak berani bertentangan dengan Kui Tek-Iam yang adalah perwira istana. Dengan terpaksa ia keluarkan perintah agar pasukannya berhenti membongkar tembok dan menggempur pintu.

Pasukan itu pun berhenti bekerja, suasana jadi sunyi seketika. Di dalam “Kota Bunga Persik” Hong Pai-ok tertawa puas. “Bagus! Sekarang permintaanku selanjutnya adalah....”

Waktu Hong Pai-ok sibuk bicara dalam sukacita meluap karena berhasil menggertak lawan, semua orang Pek-lian-hwe tidak menyadari gerakan seorang “anggota” Pek-lian-hwe yang memakai topeng Dewa Monyet Sun Go-kong. Orang ini berjalan dengan wajar saja, tidak tergesa dan tidak menimbulkan kecurigaan anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya.

Ia menyelinap sampai ke belakang tubuh Hong Pai-ok. Tahu-tahu saja dia memelintir lengan Hong Pai-ok dan menekan lengan itu di belakang punggung Hong Pai-ok. Hong Pai-ok tak bisa menyelesaikan kata-katanya dan berseru kaget.

Hong Pai-ok bertubuh gemuk dan ototnya keras, orang yang mencengkeramnya bertubuh ramping, meski berotot juga tetapi hanya separuhnya Hong Pai-ok. Tetapi cengkeramannya pada lengan Hong Pai-ok begitu kena pada persendian dan urat yang pas sehingga setiap pengerahan tenaga dari pihak Hong Pai-ok hanya akan menyakiti diri sendiri.

Belum lenyap kaget Hong Pai-ok dan orang-orang Pek-lian-hwe yang ada di sekitarnya, di tangan si topeng dewa monyet yang satunya lagi telah kelihatan sebilah belati berkilat yang ujungnya menempel di leher Hong Pai-ok.

Terdengar tertawa mengejek dari balik topeng Sun Go-kong itu, katanya, “Babi gendut, simpan dulu permintaan-permintaanmu. Sekarang akulah yang akan meminta.”

Apa yang terjadi itu tidak lolos dari pengamatan Thia Siang-peng, Kui Tek-Iam dan Siau Hok-to yang berdiri di wuwungan atap di sebelah “Kota Bunga Persik” dan bisa melihat tempat itu dari atas.

Sementara Hong Pai-ok menyeringai kesakitan pada lengannya yang dipuntir itu. Gertaknya, “Bangsat, siapa kau?”

Dari balik topeng Dewa Monyet itu terdengar jawaban. “Aku Pang Hui-beng. Orang yang pernah kalian sengsarakan dengan guna-guna kalian, sehingga menjadi orang gila yang keluyuran di jalanan Lam-koan tanpa sadar akan diriku.”

Kembali orang-orang Pek-lian-hwe dihadapkan kepada bukti kekalahan mereka. Setelah pengaruh sihir mereka atas Lam-koan pudar, lalu Lo Lam-hong yang selama ini menurut dijadikan boneka tiba-tiba sembuh dan menemukan kepribadiannya kembali, sekarang mereka lihat Pang Hui-beng yang pernah gila itu tampil dalam keadaan waras kembali pikirannya. Bahkan mengancam Hong Pai-ok.

Di atas atap, Kui Tek-Iam berseru kegirangan, “Saudara Pang!”

Bisa dimaklumi kegirangan Kui Tek-Iam, sebab ia hampir kehilangan teman-temannya, sekarang satu demi satu teman-temannya itu pulih kembali. Regunya hampir utuh kembali, tinggal menunggu Oh Tong-peng dan Liu Yok yang masih disandera Pek-lian-hwe. Diam-diam Kui Tek-Iam mengakui, tanpa munculnya Liu Yok di Lam-koan, maka misi yang dibebankan Kaisar benar-benar akan gagal dan berantakan.

Bahkan anggota-anggota regu itu ada yang lumpuh, ada yang gila, ada yang jadi boneka di tangan musuh, semuanya karena sihir musuh. Namun Kui Tek-Iam yang serba sedikit sudah kenal watak Liu Yok, tahu bahwa Liu Yok sendiri tidak suka menerima pujian, Liu Yok akan selalu mengembalikan pujian dan penghormatan kepada Sesembahannya, dan dengan rendah hati akan menyebut dirinya sendiri hanya saluran dari Yang Di Atas.

Tanpa melepaskan cengkeramannya atas Hong Pai-ok, Pang Hui-beng memakai tangan yang memegang belati untuk mencopot lepas topengnya, dan kelihatanlah wajahnya yang agak kurus, namun cahaya matanya jelas kalau cahaya mata orang waras. Pang Hui-beng menempelkan kembali ujung belatinya ke leher Hong Pai-ok, katanya tegas.

“Perintahkan orang-orangmu melepaskan Kakak Oh Tong-peng dan Saudara Liu Yok!”

Hong Pai-ok mengertakkan gigi dengan gusar, pengharapan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, yaitu dengan mengancam para sandera, sekarang pengharapan itu pun akan dirampas daripadanya. Namun ketika ujung belati mulai menggores kulit lehernya dan kulit itu meneteskan darah, Hong Pai-ok tidak berani berlambat-lambat lagi, katanya kepada anak buahnya dengan berat hati,

“Lepaskan mereka berdua!”

Tetapi Thai Yu-tat dan Phui Se-san serta Ui-kong Hwesio sebagai tokoh-tokoh Pek-lian-hwe setempat, bukan “orang pusat” seperti Hong Rai-ok, punya pertimbangan sendiri. Hampir bersamaan dengan perintah Hong Pai-ok tadi, Thai Yu-tat yang memegangi Liu Yok itu berkata, “Tidak akan kami lepaskan!”

Pang Hui-beng menaikkan tangan Hong Pai-ok yang dipelintir di punggung, sehingga Hong Pai-ok menjerit kesakitan, rasanya lengannya seperti hendak dicabut mentah-mentah dari pundaknya. Pang Hui- beng membuat satu goresan kecil lagi di leher Hong Pai-ok, ancamnya.

“Suruh orang-orangmu melepaskan kedua tawanan!”

“Bukankah... kau dengar sendiri... orang-orang ku membantah... perintahku?” sahut Hong Pai-ok terengah-engah sambil peringas-peringis kesakitan.

“Perintahkan lagi, atau kulubangi lehermu!”

Hong Pai-ok yang biasanya angkuh dan main bentak kepada bawahan-bawahannya, kini dengan tatapan mata yang memohon belas kasihan, menatap Thai Yu-tat sambil berkata, “Saudara Thai, bukankah kau lihat nyawaku terancam oleh orang ini? Tolonglah... bukankah selama ini... kita sudah... bekerja sama dengan baik? Bahkan... bahkan... aku berencana untuk... mengusulkan ke Hwe-cu (Ketua) agar... kau... menggantikan... Siau Hok-to....”

Thai Yu-tat kelihatan bimbang Sejenak, namun kemudian menggeleng begitu mantap sampai jenggot putihnya terayun ke kiri dan kanan. “Maaf, Kakak Hong, bukannya aku melupakan kerja-sama yang baik selama ini, juga melupakan niat baik Kakak Hong untuk mempromosikan aku sebagai ketua cabang di Lam-koan, tetapi lihatlah kenyataan. Lihatlah pasukan musuh yang mengurung tempat ini. Kita tak bisa lolos kecuali dengan tetap memegang kedua sandera ini. Janganlah hanya karena Kakak Hong mementingkan diri sendiri lalu kami disuruh kehilangan jaminan keselamatan kami. Kakak Hong harus siap berkorban, semoga arwah Kakak Hong bakal diterima di pangkuan Ibu Abadi Tak Berasal- usul.”

Begitulah, keadaan jadi macet karena pembangkangan Thai Yu-tat yang didukung Phui Se-san dan Ui-kong Hwesio serta anggota-anggota Pek-lian-hwe lain. Dari jawaban Thai Yu-tat itu tercermin bagaimana kesetia-kawanan antara tokoh-tokoh Pek-lian-hwe itu tipis, mudah menguap oleh datangnya kesulitan atau kepentingan diri sendiri.

Hong Pai-ok mengertakkan giginya, sadar kalau dirinya benar-benar tak digubris keselamatannya. Sekarang ia coba mencari belas kasihan dari Pang Hui- beng, “Aku... tak berdaya lagi... atas orang-orangku. Kau dengar sendiri.”

Pang Hui-beng mengertakkan gigi, tetapi ia tetap menawan Hong Pai-ok meskipun tidak tahu lagi apa gunanya. Sementara Thai Yu-tat mengambil-alih posisi Hong Pai-ok sebagai perunding dari pihak Pek-lian-hwe. Teriaknya ke arah Kui Tek-Iam dan lain-lain yang berdiri di atap.

“Perintahkan prajurit-prajuritmu mengosongkan jalan di sebelah utara tempat ini! Tidak boleh ada gerakan apa pun selama kami pergi dari tempat ini! Aku sedang tegang, dan orang tegang mudah saja mengambil tindakan yang mengejutkan kalian, misal nya membunuh kedua anjing Manchu ini. Maka jangan coba-coba merintangi kami!”

Siau Hok-to mencoba membujuk, “Saudara Thai, upayamu sia-sia saja. Mau kau bawa ke mana teman-teman kita, sedang sanak keluarga mereka ada di kota ini?”

“Tutup mulutmu, pengkhianat!” bentak Thai Yu-tat. “Kau jadi anjing Manchu sekarang! Leluhurmu pasti akan malu terhadapmu!”

Sementara Thia Siang-peng, atas anjuran Kui Tek-lam, menuruti ancaman Thai Yu-tat untuk membiarkan pergi dari tempat itu. Tetapi Siau Hok-to masih mencoba melemahkan semangat orang-orang Pek-lian-hwe yang bertahan di “Kota Bunga Persik”.

“Teman-teman, kalian akan diampuni kalau menyerah! Tindakan kalian selama ini sudah salah, kembalilah ke jalan yang baik dan menjadi warga Lam-koan yang baik!”

Belum ada anggota Pek-lian-hwe yang terang-terangan menyerah, tetapi hati mereka mulai di gelayuti rasa bimbang dan ragu. Mereka memang bertanya-tanya dalam hati, kalau ngotot ikut Thai Yu-tat, lalu mau dibawa ke mana dan bagaimana dengan masa depan mereka? Sedangkan mereka punya keluarga dan mata pencaharian di Lam-koan.

Waktu itulah Pang Hui-beng bertukar isyarat dengan Oh Tong-peng. Tiba-tiba saja Pang Hui-beng berteriak keras sambil mendorong jatuh tubuh Hong Pai-ok. Tindakannya itu mengejutkan semua orang dan memang itulah yang dikehendakinya. Semua orang Pek-lian-hwe menoleh ke arahnya dalam waktu sedetik, tetapi sedetik sudah lebih dari cukup bagi Oh Tong-peng untuk bertindak.

Biarpun tubuh Oh Tong-peng tidak sekuat biasanya setelah sekian lama ditahan, tetapi ia tetap memiliki kekuatan yang hebat. Ia dipegangi oleh Phui Se-san, tokoh Pek-lian-hwe yang gemuk dan kalau bertempur sering memakai topeng Siluman Babi Ti Pat-kai. Tapi kali ini ia tidak mengenakan topengnya yang dianggapnya sudah tidak manjur dan tidak punya daya magis lagi.

Oh Tong-peng tiba-tiba menyikut keras ke belakang, kena rusuk Phui Se-san sehingga Phui Se-san kesakitan dan cengkeramannya kendor. Secepat kilat Oh Tong-peng membungkuk sambil mencengkeram rambut dan ikat pinggang Phui Se-san. Tubuh besar itu terangkat melewati atas pundak Oh Tong-peng dan berdebum di tanah bagaikan karung beras dijatuhkan dari gerobak.

Orang-orang Pek-lian-hwe, termasuk tokoh-tokohnya, kurang rajin dalam latihan berkelahi secara fisik, mereka lebih suka mengandalkan sihir daripada bela diri biasa. Maka gerakan Oh Tong-peng itu membingungkan mereka, apalagi dibarengi gerakan Pang Hui-beng yang menerjang ke arah Thai Yu-tat dengan lompatan bak harimau menerkam.

Thai Yu-tat yang sedang memegangi Liu Yok, sepersekian detik kebingungan. Ia terlalu memperhatikan gerakan Pang Hui-beng dan tidak melihat Oh Tong-peng menyergap dari samping.

Tetapi Oh Tong-peng terlalu ksatria untuk mencelakai orang dengan cara menyergap. Ia bukan menyergap untuk mencelakai Thai Yu-tat, melainkan untuk menyelamatkan Liu Yok yang tadinya di cengkeram Thai Yu-tat. Ia dan Liu Yok sama-sama jatuh bergulingan di debu.

Begitulah, dua sandera yang hendak dijadikan “tiket keluar” orang-orang Pek-lian-hwe itu pun lolos dari tangan semuanya! Kini orang-orang Pek-lian-hwe tidak punya apa-apa kecuali mengandalkan kekuatan sendiri, yang satu banding dua puluh kalau di bandingkan dengan kekuatan musuh.

“Tangkap!” Thai Yu-tat memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap kembali Oh Tong-peng dan Liu Yok.

Orang-orang Pek-lian-hwe bergerak serabutan, agak kacau, beberapa di antara mereka malahan bertabrakan satu sama lain. Mereka sampai lupa kalau masih ada Pang Hui-beng. Pang Hui-beng inilah yang kemudian mengamuk, melindungi Oh Tong-peng dan Liu Yok agar tidak tertangkap kembali.

Kui Tek-Iam melihat semuanya itu dari atas atap, dan ia tidak membiarkan kawan-kawannya dalam kesulitan sendiri. Tubuhnya meluncur bagaikan elang turun dari langit, sambil meluncur turun sambil menghunus pedangnya.

Hampir bersamaan, Thia Siang-peng juga mengeluarkan perintah agar penggempuran tembok dan pendobrakan pintu dipercepat. Agaknya dulu waktu tempat itu dibangun, Pek-lian-hwe sudah memperhitungkan saat seperti ini, maka tembok dan pintunya dibuat sangat kokoh sehingga sangat sulit dijebol.

Sementara pemanah-pemanah di atas atap memang belum mendapat perintah memanah secara masai, kuatir mengenai Kui Tek-Iam dan kawan-kawannya yang masih bercampur dengan musuh. Tetapi satu dua batang anak panah mulai beterbangan, mengincar anggota-anggota Pek-lian-hwe yang terpencar. Dan satu dua orang Pek-lian-hwe pula mulai bertumbangan.

Kui Tek-Iam, Pang Hui-beng dan Oh Tong-peng sebagai prajurit-prajurit kawakan, mengerti bahwa Thia Siang-peng dan pasukannya belum leluasa memanah karena masih menguatirkan mereka dan Liu Yok. Maka tanpa berjanji, ada yang menggandeng setengah memapah Liu Yok yang sangat lemah, ada yang melindungi, mereka mencoba mencapai suatu sudut agar Thia Siang-peng dan pasukannya jadi leluasa menumpas Pek-lian-hwe.

Karena ketiga orang itu memang jago-jago istana yang tangguh, andalan Kaisar Kian-liong sendiri, maka tidak sulit buat mereka untuk mendapatkan sudut yang menguntungkan itu. Saat itu pulalah perintah Thia Siang-peng menggelegar, “Hujani dengan panah!”

Maka panah-panah pun tidak lagi beterbangan satu dua biji, melainkan tercurah bagai hujan deras dan korbannya pun makin banyak. Orang-orang Pek-lian-hwe coba berlindung di bawah atap. Kemudian salah satu pintu sudah berhasil dijebol, dan tentara kerajaan pun membanjir masuk ke tempat keramat Pek-lian-hwe itu sambil bersorak-sorai.

Liu Yok menjadi sedih wajahnya melihat itu, tanyanya kepada Kui Tek-Iam, “Apakah tentara kerajaan akan menumpas mereka?”

“Saudara Liu, mereka adalah orang-orang yang punya keyakinan sesat, penyembah setan, bersahabat dengan siluman-siluman, suka mencelakakan orang dengan ilmu gaib. Mereka terlalu berbahaya untuk dibiarkan terus hidup di tengah masyarakat!”

“Tidak. Mereka adalah orang-orang yang harus dikasihani, selama ini mereka sudah tertipu oleh mahluk-mahluk gaib yang mereka sebut dewa-dewa. Setelah aku menghukum dewa-dewa mereka, banyak di antara mereka mulai berpikiran waras dan tentu ingiri kembali menjadi warga masyarakat yang wajar. Kejam sekali kalau mereka justru ditumpas di saat hendak berbalik ke jalan yang benar.”

Pang Hui-beng baru kali ini bertemu dengan Liu Yok dalam keadaannya yang waras, sebelumnya memang Pang Hui-beng pernah ketemu Liu Yok, tetapi waktu itu Pang Hui-beng dalam keadaan gila. Pertemuannya dengan Liu Yok dalam keadaan waras ini mencengangkannya. Ia heran mendengar Liu Yok dengan ringan saja mengucapkan kata-kata “setelah aku menghukum dewa-dewa”.

Sementara Pang Hui-beng dibesarkan dalam masyarakat yang begitu takut “kualat” kepada seribu satu macam dewa-dewi, sehingga harus memberi sesaji agar dewa-dewi itu tidak mengamuk. Sekarang didengarnya seorang manusia menghukum dewa-dewa.

Namun Pang Hui-beng belum berpikir cukup jauh untuk menghubungkan penghukuman dewa-dewi itu dengan kebebasannya dari kegilaannya. Pikirannya belum berani “menyeberang” keluar dari hukum-hukum alamiah.

Sementara itu. orang-orang Pek-lian-hwe mundur dan berlindung di ruang-ruang tertutup dari “Kota Bunga Persik” itu. Mereka meninggalkan belasan teman-teman mereka yang terpanah, ada yang sudah mati dan ada yang masih bergerak-gerak sambil merintih-rintih.

Thia Siang-peng tidak berhenti memanah, dan tidak menghentikan anak buahnya memanah. Nyawa manusia, apalagi di pihak lawan, tidak pernah menjadi hitungannya, yang terbayang di matanya hanyalah hadiah besar yang bakal diterimanya, kalau dia dapat menyelesaikan tugasnya di Lam-koan dengan baik.

Tetapi bagi Liu Yok, setiap desir anak panah yang meluncur ke arah orang-orang Pek-lian-hwe yang tidak berdaya itu seolah-olah menancap di kalbunya sendiri, membuat hatinya luka dan berdarah. Tidak peduli bagaimana orang-orang Pek-lian-hwe itu pernah mengurung dan menyiksanya, sekarang ia berbelas kasihan kepada mereka.

Belas kasihan itu menjadi kekuatan dalam dirinya. Adalah di luar dugaan Oh Tong-peng, Kui Tek-Iam dan Pang Hui-beng, bahwa Liu Yok tiba-tiba meronta lepas dari pegangan mereka, kemudian berlari ke arah seorang anggota Pek-lian-hwe yang masih merintih-rintih dengan panah tertancap di perutnya, la tidak peduli hujan panah yang masih dilancarkan oleh pasukan dari Kanton.

Kui Tek-Iam kaget, “Saudara Liu!” Kemudian Kui Tek-Iam menengadah ke arah Thia Siang-peng sambil berteriak, “Hentikan memanah! Hentikan memanah!”

Thia Siang-peng ternyata tidak segera menanggapi permintaan itu, ia masih butuh waktu untuk bisa menerima kenapa pihaknya yang sedang unggul harus menghentikan serangan?

Waktu itu Liu Yok di bawah hujan panah sedang memeluk orang Pek-lian-hwe yang terpanah perutnya itu, tanpa peduli hujan panah, Liu Yok mengangkat dan memeluk kepala orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu dan menghiburnya, “Kuatkan semangatmu! Kau akan sembuh, Saudaraku!”

Orang Pek-lian-hwe itu sedang kehilangan harapannya, teman-temannya sendiri pun meninggalkannya ditempat terbuka dan tidak membawanya ke tempat yang terlindung dari panah. Tiba-tiba ia kenal Si Tawanan yang berhari-hari disekap, dianiaya, diejek dan dibentak-bentak itu memeluknya, memberinya harapan. Namun orang Pek-lian-hwe itu merasa menemukan tempat untuk menumpahkan perasaannya.

“Aku akan mati. Aku punya keluarga, aku punya tiga anak yang masih kecil, mereka akan terlantar.”

“Hentikan omongan macam itu!” bentak Liu Yok. “Katakan, aku akan hidup. Keluargaku takkan kehilangan aku, keluargaku takkan terlantar.” Liu Yok tiba-tiba berdesis dan menggeliat, sebatang panah menancap di belakang pundaknya.

Tubuhnya tergetar menahan sakit, tubuhnya menuntut perhatian, tetapi Liu Yok dengan tegas memerintah tubuhnya sendiri, “Jangan manja, kau cuma wadah, kau cuma buyung tanah liat yang harus dipecahkan agar cahaya-Nya dalammu terpancar keluar.”

“Kau bicara apa?” orang Pek-lian-hwe dipelukan Liu Yok itu bertanya, tidak mengerti omongan Liu Yok.

“Oh, tidak apa-apa. Barusan aku bicara kepada tubuhku sendiri.”

Orang Pek-lian-hwe itu sekejap lupa akan sakitnya, tercengang heran akan keanehan orang yang dihadapannya ini. Waktu jadi tawanan sudah cukup aneh, selalu bernyanyi, sekarang sudah bebas dan sudah punya kesempatan untuk lari pun masih tetap aneh.

Sementara Kui Tek-Iam juga melihat panah yang mengenai Liu Yok itu, sehingga dengan gusar ia meneriaki Thia Siang-peng, “Komandan Thia, Saudara Liu adalah sahabat Kaisar! Maukah kau kulaporkan kepada Kaisar bahwa kau melukai sahabatnya?”

Thia Siang-peng jadi ketakutan sendiri, dan buru-buru menyuruh pasukannya berhenti memanah. Hujan panah pun berhenti seketika, bahkan prajurit-prajurit kerajaan yang sudah berhasil menerobos ke dalam “Kota Bunga Persik” juga berhenti melangkah tanpa diperintah.

Dari atas wuwungan Thia Siang-peng meneriaki Kui Tek-Iam. “Aku tidak sengaja, Tuan Kui! Habis Tuan Liu menyelonong begitu saja ke dalam tempat yang sedang menjadi sasaran panah....”

Untuk sesaat di tempat itu seolah terjadi semacam “gencatan senjata”, perhatian dari kedua belah pihak jadi terpusatkan pada Liu Yok dan orang Pek-lian-hwe yang ditolongnya. Orang-orang Pek-lian-hwe itu bertanya kepada Liu Yok dengan suara lemah, “Kau perintahkan tubuhmu sendiri? Kenapa dengan tubuhmu?”

“Jangan gubris diriku, sekarang katakan kepada dirimu sendiri bahwa kau akan sembuh, akan sehat kembali, keluargamu takkan kehilanganmu.”

Wibawa yang menyertai kata-kata Liu Yok membuat orang Pek-lian-hwe itu menurutinya. Ia ucapkan kata-kata itu. Kemudian Liu Yok perlahan-lahan menarik anak panah yang menancap di perut orang itu. Waktu dicabut, darah ikut memancar keluar, tetapi ternyata panah itu tidak dalam tertancapnya dan juga tidak di bagian yang mematikan. Orang itu menyeringai, sementara Liu Yok merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka orang itu.

Di tengah-tengah tempat yang sedang disertai kebencian itu, muncul adegan yang ganjil itu. Liu Yok sendiri masih ada panah tertancap di belakang bahunya, tetapi sibuk membalut orang lain. Lebih aneh lagi, yang dibalut Liu Yok adalah orang dari golongan yang baru saja mengurung dan menyiksa Liu Yok.

Orang yang dibalut itu akhirya melihat juga panah di belakang pundak Liu Yok, sehingga dia kaget dan mengkhawatirkan Liu Yok. “Kau sendiri terkena panah!”

Liu Yok tersenyum dan menjawab, “Kau menguatirkan aku? Aku kan musuh?”

Orang itu bingung sendiri, lalu berkata, “Kau sendiri harus segera diobati.”

“Ya. Kawan-kawanku akan mengobatiku. Aku akan sehat, sembuh dan panjang umur.”

Orang Pek-lian-hwe itu bungkam, ia bangga melihat darah Liu Yok menetes ke tubuhnya dan lukanya bergumpal dan jadi satu dengan darahnya sendiri. Suatu perasaan aneh yang sulit ditelusuri asal-usulnya.

Sementara itu, Liu Yok telah berteriak kepada para prajurit kerajaan yang termangu-mangu tak tahu harus berbuat apa, “He, kenapa kalian diam saja? Ada banyak orang yang terluka bergeletakan di sini. Mereka masih bisa ditolong kalau kita tidak berlambat-lambatan!”

Para prajurit tidak segera bergerak, mereka bukan bawahan Liu Yok, mereka bawahan Thia Siang-peng, jadi tidak berani bertindak melancangi komandan mereka. Mereka memandang komandan mereka yang berdiri di wuwungan.

Ternyata Thia Siang-peng diam saja. Tidak membantah perintah Liu Yok, tidak juga meneruskan perintah itu kepada anak buahnya. Ia sedang bingung sendiri, kok jadi seperti ini perangnya? Situasi yang begini belum pernah dipelajarinya dalam buku Peng-hoat (teori militer), maka ia jadi bingung menyelesaikannya.

Sedangkan Siau Hok-to yang bertahun-tahun berkecimpung di kawasan batiniah, meskipun di pihak yang salah, lebih peka terhadap gejolak-gejolak dan pergeseran-pergeseran yang terjadi di alam sukma meskipun tidak kelihatan di alam kasar. Kalau selama ini pikiran Siau Hok-to seperti diselubungi kain tebal berwarna hitam sehingga tidak bisa melihat apa-apa, sekarang selubung itu seolah dirobek dan mata batinnya melihat cahaya menyilaukan seperti yang pernah dilihatnya dalam mimpinya dulu.

Kini ia begitu jelas melihat perang di alam sukma, bagaimana terdorong oleh belas-kasihan-nya yang kuat Liu Yok menyediakan diri untuk diremuk dan dijadikan saluran dari kekuatan dahsyat Yang Maha Kasih yang melanda habis benteng-benteng kutukan yang memenjarakan Lam-koan selama ini.

Siau Hok-to pernah bergaul dengan orang- orang Eropa di Makao maupun Kanton, dan pernah didengarnya dongeng-dongeng negeri barat tentang puteri cantik atau pangeran tampan yang dikutuk penyihir jahat, namun kutukan itu selalu buyar sendirinya bilamana si orang yang dikutuk itu menemukan kasih sejati. Kasih sejati menghancurkan kutukan sihir, itulah intinya.

Begitu pula yang terjadi di Lam-koan. Bertahun-tahun tokoh Pek-lian-hwe menaruh kutukan sihir atas seluruh kota, untuk mengendalikan seluruh kota. Tiba-tiba saja kutukan itu berantakan begitu saja, membingungkan tokoh- tokoh Pek-lian-hwe, dan sekarang Siau Hok-to tahu sebabnya.

Tak lain karena ada orang seperti Liu Yok yang merelakan dirinya dilalui aliran belas kasihan dahsyat dari Maha Sumber Belas Kasihan itu sendiri, menghancurkan kutukan-kutukan tak terlihat atas Lam-koan. Ibarat orang melihat perang, Siau Hok-to tidak lagi perlu menebak-nebak siapa yang akan menang, itu sudah terlihat jelas.

Ini bukan perang antara pemerintah Manchu melawan Pek-lian-hwe yang ingin mengembalikan kekuasaan dinasti Beng, melainkan perang abadi antara belas kasihan melawan kebencian. Perang yang terus terjadi, bahkan di tempat di mana tidak ada orang Manchu seorang pun atau orang Pek-lian-hwe seorang pun.

Diam-diam Siau Hok-to membatin. “Jadi inilah sebabnya kenapa kami hancur, sihir kami tak berdaya.”

Dilihatnya Liu Yok, Si Saluran dari sumber belas kasihan tak terbatas itu sibuk sendirian menolong orang-orang luka di sana-sini. Sebisa-bisanya. Balut sana balut sini, sampai bajunya sendiri compang-camping karena sering dirobek. Kadang-kadang ia hanya membisikkan kata-kata hiburan kepada seseorang, dan orang itu mendapat kan kembali semangat hidupnya.

Para prajurit masih berdiri kebingungan, Thia Siang-peng tidak memberi perintah apa-apa. Namun dari antara para prajurit, tiba-tiba muncul Cu Tong-liang yang langsung bergabung dengan Liu Yok untuk menolong yang terluka sana-sini. Menyusul Lo Lam-hong. Lalu Pang Hui-beng. Lalu A-kui puterinya Siau Hok-to.

Rupanya Thiam Gai dengan lancar berhasil mengambil-alih komando atas pasukan Lam-koan dan langsung dibawanya ke situ untuk memperkuat serangan, Thiam Gai tak menyangka kalau di tempat itu telah berkobar jenis “perang” yang lain. Perang antara belas kasihan tanpa pandang bulu melawan mementingkan diri sendiri dan golongan sendiri.

Ternyata beberapa prajurit Manchu tiba-tiba meletakkan senjata-senjata mereka dan mulai bergabung dengan “pasukan belas kasihan” itu, makin lama makin banyak. Sementara Thia Siang-peng masih mematung, belum memberi perintah apa-apa kepada pasukannya. Tetapi prajurit-prajuritnya yang menolong orang-orang Pek-lian-hwe yang terluka itu pun tidak dilarangnya.

Di tempat-tempat terlindung dari “Kota Bunga Persik”, orang-orang Pek-lian-hwe yang tidak terluka bisa melihat adegan di halaman itu, dan mereka pun terpesona. Di tangan mereka ada panah, mereka bisa memanah Liu Yok atau prajurit-prajurit Manchu yang tidak bersenjata dan tidak terlindung itu, tetapi entah kekuatan apa yang membuat mereka tidak menarik tali busurnya dan melepaskan panahnya. Mereka melongo saja.

Mereka menunggu perintah Hong Pai-ok atau Thai Yu-tat atau pimpinan lainnya, ternyata pimpinan-pimpinan Pek-lian-hwe itu sama bengongnya dengan Thia Siang-peng. Mereka tiba-tiba kehilangan kendali atas situasi, dan juga kehilangan prakarsa.

Sedangkan di antara anak buah Pek-lian-hwe sendiri tiba-tiba saja malah muncul pikiran, kalau prajurit-prajurit Manchu saja menolong teman-teman mereka, kenapa mereka sendiri malah cuma jadi penonton? Seorang anggota Pek-lian-hwe tiba-tiba berkata. “Mari kita tolong kawan-kawan kita di luar.”

Ucapan itu tidak mendapat tanggapan, juga dari para pimpinan, setidaknya tidak ada tanggapan marah. Maka si pencetus gagasan tadi tambah berani, ia mulai beranjak meninggalkan tempatnya, menuju keluar dan berkata, “Ayo, siapa mau ikut aku menolong kawan-kawan kita.”

Satu-dua orang ikut, lainnya masih ragu-ragu. Orang-orang yang berniat menolong itu mula-mula melangkah keluar dengan takut-takut, ternyata mereka tidak dipanah, tidak dibacok, tidak dijotos. Prajurit-prajurit Manchu lebih sibuk menolong daripada menciptakan bencana yang baru. Orang-orang Pek-lian-hwe yang keluar dari persembunyian itu makin berani.

Liu Yok melihat mereka dan bertanya, “Kalian mau apa?”

Orang-orang Pek-lian-hwe itu berdebar-debar. Inilah Liu Yok yang pernah mereka kurung di sel sempit dan pernah mereka siksa, sekarang pasukan yang ada di pihak Liu Yok jauh lebih kuat dari mereka, alangkah gampangnya kalau Liu Yok sekarang ingin membalas kekejaman orang-orang Pek-lian-hwe atas dirinya. Maka Si Pencetus Gagasan tadi dengan tergagap-gagap menjawab, “Kami... ingin merawat teman-teman kami yang luka.”

“Bagus, mari bergabunglah dengan kami. Takkan ada yang melukai kalian. Permusuhan sudah usai.”

Begitulah, enak saja Liu Yok bilang permusuhan sudah usai, padahal ia sama sekali bukanlah pimpinan dari dua pihak yang bertikai itu. Tetapi selagi pimpinan kedua pihak sama-sama kehilangan prakarsa, Liu Yok seakan-akan tanpa disengaja tampil sebagai pimpinan. Bukan pimpinan pihak yang sini atau pihak yang sana, tetapi pimpinan buat kedua pihak! Kata-katanya sangat berpengaruh dan kedua pihak yang sedang kehilangan tuntunan dari pemimpin-pemimpin mereka itu pun sekarang menuruti Liu Yok!

Maka di tempat itu muncullah adegan mengharukan. Orang-orang dari dua pihak yang baru saja berhadapan dengan senjata-senjata terhunus, sekarang bekerja sama, kali ini mereka bersatu menghadapi musuh yang sama: yaitu maut yang mencoba menggapai nyawa orang-orang terluka itu. Semuanya sibuk saling menolong. Seorang perwira Manchu tidak segan mencopot bajunya yang indah dan merobeknya kecil-kecil untuk membebat luka-luka.

Liu Yok kini tidak ikut sibuk. Dengan mata berkaca-kaca ia menatap aksi kemanusiaan yang luar biasa itu, kepada Kui Tek-Iam yang ada di sampingnya ia berkata, “Saudara Kui, tidakkah ini lebih indah daripada saling berbunuhan karena didikte oleh dewa-dewa keparat itu?”

Kui Tek-Iam cuma mengangguk, belum berani ikut-ikutan mencaci dewa-dewa pujaan Pek-lian-hwe seperti Liu Yok. Tetapi ia memang tercengang-cengang.

Sementara itu Siau Hok-to yang terbuka mata batinnya melihat akhir dari perang di alam sukma itu, memutuskan untuk bergabung dengan pihak yang menang. Dan ia sudah tahu jalannya, la turun dan berkata kepada orang-orang yang sibuk itu, “Di toko obatku banyak persediaan obat luka dan obat penguat tubuh, aku butuh banyak orang untuk mengangkutnya kemari.”

Lo Lam-hong yang pernah punya pengalaman pahit dengan “obat” pemberian Siau Hok-to, bertanya dengan curiga, “Obat macam apa yang akan kau berikan kepada mereka?”

Jawab Siau Hok-to menyesal, “Sungguh-sungguh obat, Saudara Lo. Aku sudah kapok mencelakai orang. Aku sedang berterima kasih atas pulihnya kesehatan puteriku. Aku tidak ingin mencelakai orang sekarang ini, meskipun aku bukan orang baik.”

Kui Tek-Iam menepuk pundak Lo Lam-hong sambil berkata, “Saudara Lo, kecurigaan sedang mencair lenyap, dan kita sedang belajar membangun kepercayaan satu sama lain,”

Lo Lam-hong pun mengangguk dan tidak lagi menghalangi Siau Hok-to. Lo Lam-hong sendiri merasa bersyukur atas lenyapnya pengaruh asing yang selama ini mengacaukan kesadarannya, meski dia sendiri belum tahu apa yang menyebabkan pulihnya kesadarannya itu.

Liu Yok tersenyum mendengar jawaban Kui Tek-Iam itu. Liu Yok sendiri kemudian dicabut panahnya dan dibalut lukanya. Tak lama kemudian Siau Hok-to datang, diikuti orang-orang Pek-lian-hwe maupun prajurit-prajurit Manchu, membawa obat-obatan. Bahkan ada tong obat yang digotong berdua oleh prajurit Manchu dan orang Pek-lian-hwe.

Melihat semuanya itu, Liu Yok tersenyum dan berkata kepada Kui Tek-Iam, “Inilah hasil 'meniup sangkakala tanduk domba' yang dikombinasikan dengan 'memecah buyung tanah liat’.”

Lo Lam-hong dan Pang Hui-beng yang berdiri dekat mereka, tercengang mendengar itu, tanya Pang Hui-beng, “Apakah itu nama jurus-jurus iimu silat?”

Jawab Kui Tek-Iam, “Tak ada jurus silat sehebat apa pun yang hasilnya sebagus ini.”

Akhirnya orang-orang yang terluka dapat diobati dan dibalut semuanya. Tak terhindari jatuhnya beberapa korban jiwa dalam bentrokan singkat tadi, termasuk orang Pek-lian-hwe yang dibunuh oleh Hong Pai-ok sendiri. Yang menggembirakan Liu Yok ialah terasanya semangat perdamaian dan kerja sama di antara semua orang, pihak-pihak tiba-tiba saja kehilangan selera perangnya.

Meskipun demikian, secara undang-undang kerajaan tetap harus ada penyelesaian lanjutnya. Thia Siang-peng bersikeras untuk tetap menangkap pentolan-pentolan Pek-lian-hwe, meskipun setuju untuk membebaskan semua anak buah Pek-lian-hwe dan memberi mereka kesempatan untuk menjadi warga Lam-koan yang baik.

“Anak buah boleh bebas, tetapi pentolan-pentolan harus tetap mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka!” kata Thia Siang-peng. “Sebab pentolan-pentolan itu bertindak dengan sadar, bukannya dengan ketidak-tahuan!”

“Jadi?”

“Hong Pai-ok, Siau Hok-to, Thai Yu-tat, Kang Liong, Phui Se-san dan Ui-kong Hwesio harus kubawa ke Kanton!”

Kui Tek-Iam tahu, tokoh-tokoh itu akan sangat buruk nasibnya kalau dibawa oleh Thia Siang-peng. Bisa jadi mereka takkan sampai ke Kanton dalam keadaan hidup. Mereka bisa dibunuh di tengah jalan, tubuh mereka akan dibanduli batu dan ditenggelamkan ke dasar Sungai Se-kiang, sementara batok-batok kepala mereka akan dipersembahkan dengan bangga oleh Thia Siang-peng kepada Gubernur.

Kui Tek-Iam tidak ingin hal itu terjadi, berkumpul sekian lama membuat ia agak “ketularan” semangat belas kasihan Liu Yok. Maka demi menyelamatkan tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang sudah tidak berdaya itu dari kekejaman Thia Siang-peng, Kui Tek-Iam berkata, “Maaf, Komandan Thian. Kami ini ditugaskan langsung oleh Kaisar, dan harus bertanggung jawab kepada Kaisar. Komandan Thia dan pasukanmu hanya diperbantukan kepada kami tetapi tidak disuruh mengambil-alih tugas kami. Karena itu, kami harus membawa orang-orang ini ke Pak-khia, dihadapkan langsung kepada Kaisar!”

Mendengar Kaisar dibawa-bawa dalam pembicaraan, Thia Siang-peng tidak berani membantah, meskipun kecewa. Untuk mengurangi kekecewaan orang yang sudah membantunya itu, Kui Tek-Iam berkata,

“Kami akan mengirim surat kepada Gubernur di Kanton, memuji pelaksanaan tugas Komandan Thia di sini. Surat itu pastilah akan membuat muka Saudara Thia berambah terang di depan Gubernur.”

Thia Siang-peng agak terhibur, meskipun dia sebenarnya merasa lebih kelihatan gagah dan terkenal kalau bisa menghadap gubernur sambil membawa batok kepala Hong Pai-ok dan kawan-kawannya.

Hari itu juga, surat dibuat. Bahkan masih ditambah surat ucapan terima kasih segenap warga Lam-koan yang diwakili oleh guru silat Kwe Jiok. Dengan berbekal dua surat yang bisa mendatangkan pujian itu, Thia Siang-peng meninggalkan Lam-koan hari itu juga.

Setelah Thia Siang-peng pergi, Siau Hok-to berkata kepada Oh Tong-peng, “Komandan Oh, benarkah kau berniat membawa kami ke Pak-khia semuanya?”

“Kami pertimbangkan.”

Siau Hok-to menarik napas dan berkata, “Komandan Oh tentu melupakan betapa jahatnya kami, yang telah menyengsarakan Komandan dan sebagian dari anak buah Komandan. Tetapi aku sebagai ketua cabang adalah yang paling bertanggung jawab, akulah yang memerintahkan semuanya untuk melakukan ini-itu. Karena itu, biarlah yang ke Pak-khia hanya aku sendiri, bebaskan yang lain-lainnya agar tetap di Lam-koan dan menunjukkan kepada masyarakat Lam-koan bahwa mereka bisa hidup benar.”

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe lainnya tercengang mendengar, omongan Siau Hok-to itu. Mereka menyangka, berdasarkan jasanya kepada tentara pemerintah dengan menunjukkan letak “Kota Bunga Persik”, Siau Hok-to bisa paling ringan hukumannya.

Ternyata dalam posisi menguntungkan begitu, Siau Hok-to malahan menawarkan diri sebagai pengganti, sebagai satu-satunya tawanan ke Pak-khia dengan menggantikan teman-temannya, sambil minta agar teman-temannya diberi keringanan tidak usah ke Pak-khia.

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang semalam dengan geram masih mencari-cari Siau Hok-to yang dianggap berkhianat bermacam reaksi mendengar permintaan Siau Hok-to kepada Oh Tong-peng itu. Hong Pai-ok menarik napas berulangkali, tak berani menatap wajah Siau Hok-to.

Thai Yu-tat yang selama ini gigih menjelek-jelekkan dan berusaha meng”kudeta” ketua cabangnya ini, sekarang tertunduk malu, hatinya tersentuh mendengar kesediaan Siau Hok-to berkorban menggantikan kawan-kawannya, padahal belakangan itu Thai Yu-tat sedang gencar-gencarnya menuduh Siau Hok-to tidak lagi rela berkorban.

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe lainnya pun tersentuh hatinya mendengar tawaran Siau Hok-to kepada Oh Tong-peng itu. Phui Se-san yang kasar itu berkata dengan suara parau, “Kakak Siau, maafkan kalau selama ini aku terlibat dalam golongan yang ingin mendepakmu dari kursi ketua cabang. Tapi sekarang tidak bisa kubiarkan Kakak sendirian jadi pesakitan di Pak-khia. Kita pernah sama-sama bersalah, dan sekarang juga harus sama-sama bertanggung jawab! Kakak ke Pak-khia, aku pun harus ikut ke Pak-khia! Kakak dipenjara, aku juga harus dipenjara. Kakak dipenggal kepalanya, aku juga!”

Oh Tong-peng menarik napas, kemudian berkata perlahan, “Aku baru saja belajar satu hal, bahwa saling memaafkan tetap jauh lebih bagus daripada saling menuntut keadilan, apalagi keadilan yang dipandang dari sudutnya masing-masing. Saudara-saudara para bekas pimpinan Pek-lian-hwe, aku sudah memutuskan, asal kalian tidak mengulangi praktek sesat kalian dan tidak lagi mencoba membangkit-bangkitkan Pek-lian-hwe di Lam-koan ini. Tidak ada seorang pun akan kami bawa ke Pak-khia. Tugas kami hanyalah menghancurkan lima ribu pucuk senjata api kalian, dan ternyata sudah hancur meskipun belum kami apa-apakan. Jadi, kami hanya akan melaporkan itu kepada Kaisar, sedang kalian tidak kami bawa-bawa. Nah, bagaimana, kalian berjanji?”

Ui-kong Hwesio menjawab, “Dewa-dewa sudah meninggalkan kami....”

Liu Yok menukas, memperingatkan, “Tetapi bisa datang lagi dengan penindasan dan pengendalian yang lebih dahsyat atas pribadi kalian dan keluarga kalian, apabila kalian tergoda untuk kembali membuka diri terhadap kekuatan-kekuatan gaib itu. Entah godaannya itu ingin kaya, ingin sakti, dikenal, berpengaruh dan sebagainya.”

Tidak seorang pun para bekas pimpinan Pek-lian-hwe cabang Lam-koan itu yang berani bercuit di depan Liu Yok Si Penghukum dewa-dewa itu.

“Aku ingin jadi ahli obat-obatan dengan pengetahuan yang wajar dan alamiah, tidak pakai gaib-gaiban lagi. Aku tidak mau mengorbankan A-kui untuk kedua kalinya.”

Yang lainnya bungkam, tidak ikut berikrar seperti anak kecil berikrar tidak akan mencuri permen lagi, mereka terlalu malu untuk itu. Meskipun demikian Oh Tong-peng tetap dengan keputusannya,

“Aku tidak akan menghukum kalian, atau pun menggiring kalian sebagai pesakitan ke Pak-khia. Tetapi jangan coba main-main dengan kelonggaran yang kuberikan kali ini. Aku akan tetap memberi perhatian khusus kepada Lam-koan ini.”

Begitulah, di bawah pengaruh Liu Yok, permusuhan yang ruwet bisa diselesaikan. Liu Yok kemudian kembali ke Lok-yang keesokan harinya, dan kalau datangnya sendirian, maka pulangnya ke Lok-yang membawa dua orang pengikut.

Cu Tong-liang menyatakan mengundurkan diri dari kedudukan-empuknya sebagai perwira istana, dan ingin mengikuti Liu Yok untuk belajar “ilmu kehidupan”. Selain Cu Tong-liang, A-kui juga bersikeras ikut Liu Yok dengan alasan yang sama.

Sementara Oh Tong-peng dan keempat anak buahnya yang tersisa, masih beberapa lama di Lam-koan untuk membenahi segala sesuatunya.

TAMAT

Kisah selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.