Mengganasnya Siluman Gila Guling
HANCURNYA KERAJAAN GIRI JAYA tak dapat terelakkan lagi. Bukan saja orang-orang istana yang mati terbunuh dengan keadaan mengerikan, akan tetapi istana itu sendiri hampir dapat di-katakan rata dengan tanah. Kejadian tersebut membuat terkejut para raja kerajaan lainnya. Bahkan juga kekhawatiran di setiap tempat krap terjadi.
Amukan manusia yang menamakan dirinya Siluman Gila Guling telah merubah keadaan menjadi bertambah kalut. Ratusan rakyat yang berdiam disekitar wilayah Kota Raja ber-bondong-bondong hijrah ke lain wilayah. Wajah-wajah ketakutan tampak membayang disetiap orang.
Mereka memasuki wilayah-wilayah kerajaan lain untuk mengungsi, sekaligus meminta perlindungan. Tentu saja hal tersebut membuat kerajaan yang dimasuki rakyat kerajaan Giri Jaya menolak kedatangan mereka. Bahkan mengusir mereka keluar dari tapal batas.
Apa yang menjadi sebab penguasa kerajaan itu tak mau menerima keda-tangan mereka? Ya! karena kliawatir kedatangan mereka hanya akan membawa bencana. Rakyat kerajaan Giri Jaya benar-benar terpojok. Mereka terpaksa mengungsi dihutan-hutan.
Sementara dari kejauhan mereka melihat warna langit berubah merah. Pertanda api yang membakar dan membumi hanguskan Kota Raja belum lagi padam. Bahkan makin tampak memerah. Bukan mustahil kalau desa-desa tempat tinggal mereka yang mereka tinggalkan juga turut musnah terbakar.
Disaat rakyat kerajaan Giri Jaya dihantui ketakutan yang amat luar biasa, diarah barat tampak berkelebatan tujuh sosok tubuh manusia. Dari gerakan-gerakan mereka dapatlah diketahui kalau ketujuh orang itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Mereka baru saja menyaksikan keadaan rakyat kerajaan Giri Jaya yang dilanda ketakutan dalam pengungsiannya kehutan-hutan. Arah yang dituju ketujuh orang itu ternyata wilayah Kota Raja yang dalam keadaan dibumi hanguskan!
Ternyata mereka adalah tujuh orang yang masih berusia muda-muda. Diantara ketujuh orang itu ternyata ada terdapat seorang gadis sedang yang enam adalah laki-laki. Rata-rata mereka mengenakan pakaian berwarna biru dengan masing-masing membawa senjata.
Siapakah adanya ketujuh orang ini? Mereka adalah tujuh orang murid dari perguruan "Langir Biru". Asap yang membubung tinggi serta merahnya warna langit membuat ketujuh orang ini turun gunung dari puncak gunung SIMEMBUT tempat mereka berguru. Ketujuhnya memang diperintah oleh sang guru untuk menyelidiki kejadian itu.
Tentu saja mereka terkejut mengetahui keadaan rakyat diwilayah itu yang berbondong-bondong mengungsi dengan wajah ketakutan. Beberapa hari perjalanan yang mereka lakukan ter-nyata mereka cuma mendapatkan sisa-sisa kekalutan. Bahkan api masih nampak berkobar disekitar wilayah Kota Raja.
Ketujuh orang-orang muda ini memandang ke hadapannya dengan mata hampir tak berkedip. Istana kerajaan Giri Jaya telah musnah dimakan api hingga yang nampak hanyalah reruntuhannya saja.
Diperjalanan beberapa desa yang dilalui juga telah berkobar dimakan api. Namun mereka tak menampak adanya manusia yang harus di tolong. Tampaknya para penduduk telah sama mengungsi sebelum terjadinya kebakaran yang memusnahkan pedesaan itu.
"Apa yang harus kita lakukan, kakang PRANA?" bertanya gadis cantik berambut kepang dua itu. Disamping seorang laki-laki muda yang tengah terlongong menatap reruntuhan istana.
Laki-laki ini nama sebenarnya adalah AJI PRANA, murid ketua diantara ketujuh orang itu. Bahkan dia pulalah yang memimpin perjalanan turun gunung meninjau suasana kewilayah kerajaan Giri Jaya ini. Tercenung sejurus laki-laki berkumis tipis ini. Wajahnya yang cukup tampan itu diusapnya. Mengusap keringat yang mengembun disekujur kulit muka.
"Apakah sebaiknya kita kembali saja melaporkan kejadian ini pada guru?" bertanya Pamuji yang berada tak jauh disebelah kiri Aji Prana, seraya menghampiri. Pamuji dan Adi Prana adalah kakak beradik.
Aji Prana menatap adiknya sejenak lalu dialinkan pada gadis itu. Kemudian kembali menatap pada reruntuhan puing-puing istana kerajaan Giri Jaya. "Adikku Pamuji dan kau CITRASIH, tujuan guru bukanlah sekedar menitahkan kita untuk cuma meninjau saja. Akan tetapi juga menyelidiki kejadian apakah yang menyebabkan kehancuran kerajaan Giri Jaya ini!" ujarnya dengan suara tegas. Dan lanjutnya lagi...
"Kukira beliau telah mengetahui tentang kejadian ini sebelumnya. Diperintahkan kita untuk turun gunung karena sudah waktunya kita mengamalkan pelajaran ilmu-ilmu yang kita dapatkan dipuncak gunung Simembut! Saat seperti inilah yang merupakan batu ujian buat kita. Sebagai pendekar-pendekar muda yang telah digembleng selama belasan tahun oleh guru kita, tak layak kalau kita tak menyelidiki sampai tuntas, siapa adanya pelaku-pelaku yang mengakibatkan kehancuran kerajaan Giri Jaya ini!"
Kedua pemuda dan pemudi itu manggut-manggut.
"Lalu apa rencanamu, kakang Prana?" bertanya lagi Citrasih.
Aji Prana diam sejenak, lalu berpaling pada Pamuji. "Panggil yang lainnya untuk berkumpul, segera kita adakan perembugan!" ujarnya. Pamuji mengangguk.
"Baik kakang..!" sahutnya, lalu balikkan tubuh untuk menghampiri kawan-kawannya yang berada ditempat terpisah. Dengan saling memberi tanda isyarat sebentar saja semua telah berlompatan untuk segera berkumpul di depan Aji Prana, dan Citrasih.
Langit yang memerah perlahan mulai agak pudar dari cahaya api. Namun asap masih terlihat walau tak begitu banyak, dan hawa panas mulai berkurang. Satu persatu murid perguruan Langir Biru mulai bergerak kebeberapa jurusan. Masing-masing membawa tugas yang telah diperintahkan oleh Aji Prana sang ketua.
"Pamuji! kau ke arah mana?" bertanya Citrasih seraya menghampiri ketika baru saja pemuda itu beranjak melangkah tapi merandek lagi. Tampaknya seperti ragu atau lupa pada arah yang telah ditentukan kakaknya.
Seperti telah diperembugkan, mereka diberi waktu sampai senja untuk melihat keadaan mencari tahu penyebab kejadian. Lalu kembali ke tempat semula. Masing-masing telah diberi tugas ke arah mana harus bergerak. Pamuji diberi tugas ke arah utara sedangkan Aji Prana menemani Citrasih yang dia sendiri belum menentukan arahnya.
"Oh, ya! aku lupa. Aku harus ke arah utara, bukankah begitu?" sahut Pamuji tergegas. Wajahnya seketika berubah merah. Namun dengan cepat dia berkata. "Baiklah! sampai ketemu lagi Citrasih! Baik-baiklah kau menjaga diri..."
Selesai berkata yang diucapkan dengan suara lirih, Pamuji berkelebat cepat untuk beberapa kejap kemudian lenyap dari tempat itu. Citrasih masih menatap kearah lenyapnya tubuh Pamuji, ketika ter-dengar suara dibelakangnya.
"Citrasih! hayo kita mulai bergerak!"
Dia tersentak menoleh, dilihatnya Aji Prana telah berada didekatnya. Laki-laki ini menggamit lengannya seraya berkata lagi.
"Cepatlah! saat ini bukan waktunya untuk banyak berdiam diri!"
"Kita bergerak ke arah mana?" tanya Citrasih dengan wajah tersipu.
"Ke sana!" sahut Aji Prana seraya menarik lengan dara ini. Tentu saja tubuh Citrasih terbawa melayang ketika pemuda itu berkelebat melompat. Sesaat berlihat keduanya telah berlari-lari menyusup ke dalam hutan disebelah kiri. Tak lama kemudian sosok-sosok bayangan tubuh merekapun lenyap dikerimbunan pepohonan....
Dalamnya laut bisa diduga dalamnya hati orang tak ada yang tahu! Pepatah itu berlaku bagi PAMUJI. Karena diluar dugaan, Pamuji diam-diam telah menguntit dibelakang Aji Prana dan Citrasih tanpa mereka mengetahui.
Apa yang membuat Pamuji tak menuruti perintah kakaknya? Tiada lain adalah rasa cemburu. Cemburu yang sejak lama bersemayam dalam dadanya, karena sang kakak amat akrab dengan Citrasih. Dara cantik berusia tujuh belas tahun itu ternyata diam-diam dicintainya, walau pada kenyatannya Pamuji bersikap biasa.
Dalam hati pemuda ini diam-diam telah bergejolak cinta berahi yang amat dalam. Bahkan di saat latihan-latihan dipuncak gunung Simembut wajah gadis itu selalu membayang diruang mata. Tak jarang dia berhenti berlatih untuk duduk termenung. Terkadang dia tinggalkan tempat latihannya cuma untuk melihat wajah Citrasih yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Pamuji dalam hati sering merutuk, atau memaki karena diberi tugas berat dalam latihan. Sedangkan Aji Prana selalu saja berdekatan dengan Citrasih. Walaupun tak dikeluarkan dengan mulutnya, tapi dalam hati diam-diam Pamuji menganggap sang guru bertindak berat sebelah. Bahkan beranggapan seolah-olah dia sengaja disisihkan dari Citrasih.
Anggapan itu sebenarnya keliru. Citrasih masih terlalu muda dan terlalu hijau untuk menerima ilmu-ilmu silat yang berat karena dia agak kurang cerdas. Oleh sang guru sengaja diperintahkan Aji Prana untuk membimbingnya. Dengan demikian kecerdasan Citrasih dalam menerima pelajaran-pelajaran akan lebih cepat bertambah. Pamuji yang digelapkan hatinya oleh apa yang bernama Cinta tak mengetahui hal itu.
Demikianlah hingga dihati Pamuji diam-diam bersemayam kecemburuan terhadap kakaknya. Dengan berindap-indap dan langkah hati-hati Pamuji terus menguntit kemana perginya kedua orang diha-dapannya itu. Ternyata Aji Prana mengambil jalan memutar melewati lereng bukit tanpa melintas desa yang sudah punah terbakar.
Hal tersebut menjadi tanda tanya bagi Pamuji. Hatinya tercekat dan kecurigaannya bertambah. Karena tujuan yang ditempuh itu berlawanan dengan arah Kota Raja. Melewati hutan ilalang yang tingginya hampir setinggi manusia, kedua manusia berlainan jenis itu terus berlari-lari menerobos. Hingga tak lama keduanya telah berada disisi lereng bukit.
"Akan kemanakah mereka?" berkata dalam hati Pamuji. Dia merandek sejenak dibalik belukar. Matanya menatap tajam kearah Aji Prana dan Citrasih yang berhenti tepat disisi lamping bukit yang menjorok keluar.
Tampak Aji Prana menunjuk ke arah tebing bukit. Entah apa yang diucapkan laki-laki kakaknya itu. Tapi yang jelas Citrasih mengangguk. Dan, selanjutnya keduanya dengan merunduk dibawah batu telah menyelinap ke celah batu-batuan. Selanjutnya lenyap dari pandangan mata Pamuji.
"Ha? jangan-jangan mereka akan melakukan perbuatan tak senonoh..." tersentak Pamuji. Cepat dia berkelebat ke arah itu. Dengan gerakan tak menimbulkan suara sesaat dia telah tiba disisi bukit. Matanya menatap tajam ke sekeliling. Merayapi dinding-dinding batu dicelah tebing bukit batu itu. Tersentak pemuda ini ketika melihat sebuah lubang dicelah batu.
Tak ayal dia telah beranjak melangkah mendekati. Gerakannya bagai-kan seekor kucing mengintai tikus. Dia memang harus hati-hati, karena tak ingin kedua orang itu mengetahui kedatangannya. Dugaannya ternyata tepat. Celah lubang itu merupakan sebuah goa. Celah batu itu makin kedalam semakin lebar.
"Aku harus mengetahui apa yang akan dilakukan kakakku dan Citrasih. Kalau mereka melakukan perbuatan aib, tak segan-segan aku melaporkan pada guru..." demikian pikir Pamuji. Sementara degup jantungnya semakin cepat. Wajahnya dirasakan panas. Seluruh persendian tulangnyapun menggetar.
Dengan berindap-indap dia terus melangkah semakin kedalam. Tiba-tiba dia merandek ketika melihat mendengar suara Citrasih. Cepat dia tempelkan tubuhnya kedinding goa. Telinganya dipasang. Bahkan napasnyapun ditahannya.
"Apakah yang akan kau lakukan, kakang Prana?" terdengar suara gadis adik seperguruannya itu.
"Adik Citrasih, mengapa kau bertanya demikian? Apakah kau tak merasakan apa yang kurasakan selama ini?" jawab Aji Prana.
"Apa maksudmu...?"
"Citrasih...! Tak sadarkah kau bahwa selama ini aku mencintaimu?" Aji Prana menjawab pertanyaan Citrasih yang terlongong menatap pemuda itu. Sementara Aji Prana pun tengah menatapnya dengan tatapan tak berkedip. Tatap mata yang membuat sang dara seperti terpukau.
"Kau... kau mencintaiku....?" terdengar suara desis Citrasih.
"Benar adik manis! Kubawa kau ke tempat ini karena aku ingin membuktikan cinta kasihmu padamu!" jawab Aji Prana dengan tertawa kecil.
Tersentaknya Pamuji bukanlah alang-kepalang ketika dia pelahan julurkan kepala mengintip dari celah dinding goa. Apa yang dilihatnya membuat sekujur tubuhnya menggetar seperti terserang demam panas.
Citrasih berdiri terpaku bagai patung. Bibirnya setengah terbuka. Sedang matanya menatap Aji Prana tak berkedip. Sementara laki-laki kakaknya itu merapatkan tubuhnya. Lengan pemuda itu menjulur memeluk pinggang ramping sang dara. Sementara sebelah lengannya mulai merayap, membukai pakaian gadis itu.
Sungguh suatu pemandangan yang amat mendebarkan bagi Pamuji. Bahkan hampir-hampir dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dilihatnya Citrasih seperti mandah saja dengan apa yang dilakukan kakaknya itu.
Beberapa kejap saja yang tampak didepan mata Pamuji adalah sekujur tubuh Citrasih telah membugil, tanpa selembar benangpun. Gemuruh dada Pamuji bagai terkena gempa. Matanya membeliak seperti mau melompat dari kelopaknya. Napasnya memburu. Keringat dingin mengembun disekujur tubuhnya yang bergetar.
Tak mungkin bagi Pamuji rasanya untuk mendiamkan adegan selanjutnya berlangsung didepan matanya. Akan tetapi baru saja dia mau membentak, mendadak hawa dingin merembes kesekujur tubuhnya. Apa yang terjadi pada pemuda itu? Dia seperti tercekik pernapasannya dan berkelojotan dengan sepasang mata mendelik dan lidah terualur.
Pamuji meronta dari kekuatan aneh yang mencekik pernapasannya. Hal ini tak berlangsung lama. Karena sesaat antaranya dengan keluarkan suara tertahan dikerongkongan, Pamuji jatuh menggeloso ditanah berbatu untuk tak bergerak lagi. Sementara adegan didalam ruang goa itu pun terus berlangsung.....
Senja terus merayap.... cuaca semakin berubah gelap. Matahari telah sembunyi dibalik pegunungan. Hawa dingin menyelimuti sekitar tempat itu. Dalam keadaan yang sunyi mencekam itu empat sosok tubuh berdiri gelisah seperti menanti orang yang ditunggu.
Siapakah adanya mereka ini? Tiada lain dari murid-muirid perguruan Langir Biru. Seperti telah dirembugkan, mereka kembali berkumpul ditempat itu seusai melakukan penyelidikan. Empat orang telah berkumpul. Namun sisanya tiga orang lagi belum munculkan diri.
"Kemana gerangan kakang Aji Prana, Pamuji dan Citrasih? Jangan-jangan mereka menemui halangan!" berkata salah seorang.
"Entahlah! akupun berpendapat begitu. Lalu apakah usul kalian? apakah kita akan terus menunggu kedatangan mereka atau... kembali ke padepokan?" tukas kawannya yang seorang. Dia bernama Jaka. Sedang yang satunya lagi bernama Bajuri.
Dua orang kawan yang sedari tadi tak ikut bicara segera membuka mulut. "Kembali ke padepokan? Wah, itu dapat kita lakukan! kukira usulku bisa diterima, kita memang tak dapat terus menanti dengan berdiam diri saja!" ujar salah seorang. Laki-laki ini bernama Jaluken. Sedang yang seorang lagi bernama Layang seta.
"Apa usulmu itu sobat Jaluken?" tanya Jaka seraya beranjak mengham-piri. Jaka memang sudah tak sabar untuk terus menunggu mereka.
"Ya, pikirku kukira sebaiknya kita menyusul mereka!" sahut Jaluken.
Jaka kerutkan kening berpikir lalu ujarnya. "Aku tak keberatan, tapi kearah mana kita menyusul?"
Merekapun segera berunding untuk menentukan arah. Akan tetapi cuaca telah berubah gelap. Hal itu tak memungkinkan mereka untuk melakukan pelacakan. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk tetap menanti. Rencana pencarian ketiga saudara seperguruan mereka ditentukan esok hari, sambil menunggu kalau-kalau ketiga orang yang mereka tunggu malam nanti akan muncul.
Malam itu mereka lewati dengan hati resah. Mereka bermalam disisi hutan itu dengan hampir tak dapat memicingkan mata. Suara anjing-anjing serigala ditengah malam itu mengganggu tidur mereka. Keesokan harinya dipagi yang masih remang, keempat saudara seper-guruan itu telah tinggalkan tempat itu....
Kita beralih sejenak melihat keadaan dipuncak gunung Simembut. Sebuah padepokan tegak berdiri diantara lereng batu gunung agak jauh dari sisi kawah. Seorang laki-laki tua berjubah biru terlihat berdiri termangu-mangu di depan padepokan. Angin pagi yang agak keras menerpa membuat berkibaran jubah kakek ini. Juga jenggotnya yang panjang memutih melambai-lambai dihembus angin.
Siapa gerangan adanya kakek ini? Dialah Ki BANGUN REKSA, ketua perguruan Langir Biru. Apa yang membuat kakek ini tampak resah adalah sepeninggal ketujuh muridnya beberapa hari yang lalu dia merasa hatinya tak tenteram. Entah mengapa wajah murid termudanya yaitu CITRASIH selalu terbayang dipelupuk matanya.
Citrasih masih ada hubungan kuat dengan dirinya, karena Citrasih adalah cucu angkatnya sendiri. Ayahnya tewas dalam peperangan membela kerajaan GIRI NATA dari tangan kaum penjahat yang berusaha merebut kekuasaan kerajaan itu.
Anak angkat Ki Bangun Reksa adalah seorang laki-laki yang menjadi hulubalang di kerajaan Giri Nata, bernama MARUTO. Adapun Citrasih diantarkan kepadepokan oleh seorang bekas prajurit yang menjadi sahabat baik Maruto. Enam tahun Ki Bangun Reksa mendidiknya dengan perbagai ilmu kedigjayaan. Dan baru beberapa hari yang lalu dia mengutus ketujuh muridnya untuk menyelidiki kejadian di Kota Raja.
Sebenarnya Ki Bangun Reksa bukan-nya tak mengetahui tentang kejadian itu. Akan tetapi sengaja dia mengutus ketujuh muridnya untuk sekalian menguji bagaimana sikap serta tindakan mereka dengan peristiwa itu. Demikianlah, pagi itu dia keluar dari padepokan, dan berdiri dihalaman termangu-mangu.
"Aneh!? mengapa hatiku tak enak? Pikiranku selalu saja tertuju pada Citrasih. Ada apakah yang terjadi dengan dia?" bergumam Ki Bangun Reksa. Dia mulai melangkahkan kakinya mondar-mandir dengan menggendong tangan. Sebentar-sebentar dia berhenti menindak untuk berpikir.
"Sebaiknya kususul mereka! Aku khawatir terjadi apa-apa dengan bocah perempuan itu. Walau aku telah mempercayakan Aji Prana untuk menjaganya!" gumamnya. Agaknya untuk menyusul para muridnya telah mantap!
Ki Bangun Reksa beranjak masuk kembali kedalam kepadepokan. Tak lama dia telah ke luar lagi. Ditangannya tercekal sebuah pedang yang terbungkus dengan kulit kambing hutan. Itulah pedang pusaka miliknya yang selama ini tak pernah dipergunakan.
Setelah menutup pintu padepokan tanpa berlama-lama lagi Ki Bangun Reksa segera berangkat turun gunung. Gerakan orang tua ini patut dipuji. Karena tubuhnya berkelebatan cepat menuruni lereng seolah-olah bagaikan terbang.
Tidaklah aneh kalau dalam waktu tak sampai sepenanak nasi Ki Rangun Reksa telah tiba dilereng paling bawah. Dan kejap selanjutnya dia telah berkelebat untuk segera lenyap tak kelihatan lagi terhalang lebatnya hutan rimba.....
Betapa terkejutnya Ki Bangun Reksa melihat empat sosok tubuh terkapar tak bernyawa di sisi lereng bukit yang akan dilaluinya. Semakin terkejut dia karena keempat sosok tubuh yang berkaparan tak bernyawa itu adalah empat orang muridnya.
"Ya. Dewa yang agung...! Apakah yang telah terjadi?" terperangah kakek puncak gunung Simembut ini melihat kematian keempat muridnya dalam kea-daan tak berdarah. Namun sekujur tubuh membiru seperti terkena racun.
"Ah!? apakah sipembunuh telah gunakan ilmu pukulan yang mengandung racun?" mendesis Ki Bangun Reksa. Sesaat dia telah bangkit berdiri. Sepasang matanya liar menatap sekitarnya. Tiba-tiba dia telah berkelebat ke arah sisi lereng bukit batu. Tanda-tanda dari bekas pertarungan terlihat mengarah ke tempat itu.
"Sebuah lubang goa..!?" mendisisi kakek. "Pasti ada korban lagi!" pikirnya dengan kekhawatiran memuncak. Karena seketika dia ingat akan cucu angkatnya, Citrasih.
Tak berawal lagi dia telah melompat untuk segera memasuki goa. Terperanjat Ki Bangun Reksa melihat sosok tubuh lagi yang terkapar disisi dinding goa. Segera dia memeriksa. Terkejutlah dia mengetahui laki-laki itu tak lain dari PAMUJI.
"Oh, Dewa yang agung... sukurlah bocah ini masih hidup. Aku harus cepat menolongnya" berpikir demikian Ki Bangun Reksa cepat tempelkan telapak tangannya untuk salurkan tenaga dalam berhawa hangat ke sekujur tubuh Pamuji. Beberapa jalan darahnya yang tersumbat dibuka dengan mengurut beberapa kali. Tak lama Pamuji terdengar mengeluh.
"Pamuji! katakan apa yang terjadi?" Diguncang-guncangkannya bahu Pamuji. "Katakan Pamuji! Ini aku, gurumu! Ceritakan apa yang telah terjadi? Kemana adik seperguruanmu Citrasih dan kakakmu Aji Prana?" tak sabar Ki Bangun Reksa tak sabar untuk bertanya.
Pamuji masih belum pulih benar ingatannya. Tapi melihat orang dihadapanya yang berteriak-teriak mengguncang-guncangkan bahunya segera dia mulai tersadar. "Guru...!? Oh, maalkan aku..." ucapnya seraya bangkit dan menjura.
"Tak usah banyak peradatan! Lekas katakan apa yang telah terjadi? Kemana kakakmu dan adik seperguruanmu, Citrasih?" ujar Ki Bangun Reksa cepat.
"Aku... aku tak tahu apa yang telah terjadi, guru...! Karena tahu-tahu leherku seperti tercekik, disaat aku tengah mengintip perbuatan Aji Prana dan Citrasih! Mereka... mereka...." Pamuji tak meneruskan kata-katanya, namun telah bangkit berdiri dan melompat ke balik dinding ruangan goa sebelah dalam.
Teriakan kaget Pamuji membuat Ki Bangun Reksa cepat melompat memburu ke arah ruangan itu. Betapa terperanjatnya Ki Bangun Reksa mendapatkan tubuh Aji Prana telah terkapar tak bernyawa dengan keadaan tubuh telanjang bulat, dan dada tertancap pedang. Pamuji menatap dengan mata membelalak.
"Kakakmu telah mati! Tapi kemana Citrasih!? Apakah sebenarnya yang telah mereka lakukan?" berkata Ki Bangun Rekso. Dia balikkan tubuh menatap Pamuji setelah memeriksa mayat. Wajah laki-laki tua ini tampak tegang. Dadanya berombak-ombak.
"Mereka... mereka... te... telah melakukan perbuatan hina! Akan tetapi aku tak tahu kelanjutannya karena tiba-tiba leherku serasa tercekik. Aku jatuh pingsan dan tak tahu apa-apa lagi!" tutur Pamuji. Selanjutnya diapun ceritakan peristiwanya dari awal sampai akhir.
Keduanya sama tertegun menatap mayat Aji Prana. Pedang biru itu setelah diperiksa oleh Ki Bangun Rekso ternyata pedang milik Citrasih. Sedang pedang Aji Prana sendiri lenyap yang tinggal cuma kerangkanya saja. Pamuji yang diberitahu oleh gurunya bahwa keempat saudara seper-guruannya bergeletakan tewas diluar goa tersentak kaget.
"Ah!? apakah mereka telah menyusul kemari? Lalu siapa yang telah membunuh mereka?" berkata Pamuji dengan terperangah kaget.
Dia melompat untuk berkelebat keluar goa. Benarlah, ditanah berbatu-batu pada sisi tebing itu tampak empat sosok tubuh berpakaian biru berkaparan tak bergerak. Terpaku Pamuji dalam kebingungan. Akhirnya dia cuma bisa berdiri terpaku bagai patung.
Dia benar-benar tak mengerti dengan semua kejadian ini. Apakah kematian kakaknya oleh orang lain, ataukah Citrasih yang melakukan? Lalu siapa yang membunuh keempat saudara seperguruannya itu? Bermacam pertanyaan bermunculan dalam benak.
"Pamuji, muridku! coba kau periksa mayat-mayat saudara seperguruanmu. Tubuh mereka tak mengeluarkan darah. Namun kulit tubuh mereka berubah kebiruan!"
Suara sang guru menyadarkan Pamuji. Segera dia membungkuk untuk memeriksa mayat. Lalu mayat-mayat lainnya.
"Benar, guru...! Apakah mereka mati keracunan?" berkata Pamuji.
"Dugaanmu tepat! Tapi mereka bukan mati karena telah menelan racun, melainkan karena terkena pukulan yang mengandung racun!" ujar Ki Bangun Rekso. Lalu lanjutnya.
"Aku baru teringat! Kalau tak salah dugaanku, itulah pukulan Inti Racun! Pukulan yang amat berbahaya dan luar biasa ganasnya. Masih beruntung kau tidak mati. Pukulan itu bisa dilontarkan dengan tenaga ghaib!"
"Ja.. jadi kesimpulannya yang membunuh keempat saudara seperguruanku ini adalah orang yang telah mencekik leherku?" sentak Pamuji terkejut. "Karena... aku tak melihat siapa-siapa" sambung Pamuji serius. Wajahnya kembali berubah pucat. Membayangkan hal yang menakutkan itu bulu tengkuknya seketika meremang berdiri.
MATAHARI mulai menggelincir turun ke arah barat ketika dua manusia murid dan guru itu selesai memakamkan enam jenazah ditempat itu.
"Apa yang harus kita lakukan guru?" bertanya Pamuji. Kematian kakaknya dan kelima saudara sepergu-ruannya telah membuat pemuda ini bersedih hati. Begitupun Ki Bangun Reksa. Laki-laki tua ini memandang enam gundukan tanah dengan mata sayu. Sejurus dia terdiam tak menjawab pertanyaan Pamuji. Namun tak lama dia menghela napas. Dan ujarnya;
"Pamuji! kaulah seorang sisa muridku yang masih hidup, walau aku masih sangsi akan nasib yang menimpa adik seperguruanmu Citrasih. Kita menghadapi tantangan berat, yang bukan saja menimpa perguruan kita, akan tetapi juga melanda seluruh rakyat wilayah ini...!"
"Benar, guru! Kerajaan GIRI JAYA telah hancur musnah. Akan tetapi saya tak tahu apakah penyebab kehancuran itu adalah akibat perang ataukah karena musibah! Apakah guru dapat mengambil kesimpulan mengenai musibah yang melanda kita? Maksudku apakah kematian saudara-saudara seperguruan adalah oleh orang tertentu yang juga ada hubungannya dengan kehancuran kerajaan Giri Jaya?" bertanya Pamuji.
"Hal ini bisa juga dihubungkan dengan kehancuran kerajaan Giri Jaya. Memang kesimpulanku adalah, pelaku pembunuhan saudara-saudara seperguruanmu adalah orang-orang yang terlibat dalam penghancuran kerajaan Giri Jaya. Pukulan INTI RACUN menurut sepengetahuanku cuma dimiliki oleh seorang yang bernama Ki ANGGUNO. Seorang tokoh yang pernah berpetualang pada belasan tahun yang silam.
"Dia adalah bekas patih kerajaan GIRI NATA yang melarikan diri ketika segerombolan perampok bajak laut menyerbu kerajaan Giri Nata. Kerajaan Giri Nata tumbang, dan pemerintahannya direbut mereka. Kemudian mereka merubah nama Giri Nata dengan nama Giri Jaya. Namun raja kerajaan Giri Nata tak dibunuh. Bahkan masih tetap menjadi raja, namun dibawah kekuasaan mereka". tutur Ki Bangun Reksa.
"Akan tetapi kini suatu hal tak terduga, kerajaan GIRI JAYA hancur musnah tanpa ada yang tahu sebabnya. Suatu kejadian aneh! Sama anehnya dengan musibah yang melanda orang-orang perguruan kita. Aku sendiri sebenarnya menduga Ki ANGGUNO yang diam-diam telah mempersiapkan kekuatan untuk merebut kerajaan Giri Nata kembali. Namun aneh! Mengapa justru istana kerajaan itu sendiri dihancurkan?" tutur Ki Bangun Reksa lebih lanjut.
"Apakah guru sebelumnya telah mengetahui kejadian itu?" bertanya Pamuji.
"Benar! Aku turun gunung lebih awal dari kalian. Sengaja kuperintahkan kalian untuk turun gunung, karena kuingin kalian menyelidiki asal terjadinya peristiwa itu!" sahut sang kakek puncak gunung Simembut ini dengan mengelus jenggotnya.
Pamuji tercenung. "Tak salah kata-kata kakang Aji Prana! Guru memang telah mengetahui, dan sengaja memerintahkan turun gunung pada para murid adalah untuk menguji kemampuan para muridnya melacak peristiwa!" berkata Pamuji dalam hati.
Demikianlah, guru dan murid itu berembug untuk mengambil langkah guna menyelidiki apa penyebab kehancuran istana Kerajaan Giri Jaya disamping melacak jejak CITRASIH, dan melacak jejak manusia yang melakukan perbuatan keji membunuh empat orang murid perguruan LANGIT BIRU dengan pukulan INTI RACUN! Senja terus merangkak tatkala keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu...
SEORANG PEMUDA berbaju lusuh berjalan sambil menggendong tangan dibelakang punggung. Rambutnya gon-drong tak terurus. Celana yang dipakainya seperti kedodoran. Tak sebatang pedangpun atau senjata lain terselip dipinggangnya. Sambil berjalan menunduk seperti memperhatikan ujung-ujung kedua kakinya yang bermunculan silih berganti, dia menggumam tiada henti.
"Gila! benar-benar gila! Edan! Benar-benar edan!" Kata-kata itu sebentar-sebentar keluar dari mulutnya. Terkadang dia mendesah atau menggaruk-garuk kepala, lalu kembali ucapkan kata-kata itu.
"Gila! Benar-benar gila! Edan! Benar-benar edan!"
Rutukan itu entah ditujukan pada siapa tak jelas tujuannya. Langkah kakinyapun seperti tak terarah sebentar ke sisi kiri jalan, sebentar ke kanan. Sementara rutuknya tak pernah berhenti meluncur dari mulutnya. Hari panas terik. Jalanan yang dilaluinya panas berdebu. Akan tetapi pemuda itu seperti tak menghiraukannya!
Di ujung jalan yang berbelok-belok melintasi bukit yang tak seberapa tinggi itu tampak berdiri tiga sosok tubuh. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang bertampang seram. Dari sikap mereka dapat diterka kalau ketiganya bukan manusia baik-baik. Masing-masing menyandang senjata, yang gagangnya bersembulan disisi perut. Pakaian merekapun tidak sama.
Tapi dari jenis pakaian yang mereka pakai, bukanlah dari bahan yang murah. Bahkan salah seorang mengenakan kalung mutiara pada lehernya. Ketika pemuda bertampang lusuh itu sesaat lagi melintas dijalan itu, salah seorang memberi isyarat. Dan ketiganya berkelebat lenyap dikedua sisi jalan itu....
Pemuda itu terus melangkah tanpa menyadari tiga orang pentang mata liar menunggu kedatangannya. Masing-masing telah cabut senjatanya yang digenggam kuat. Menanti detik-detik maut yang sebentar lagi akan berlangsung.
"Benar-benar edan! Edan! edan! Gilaaaa! benar-benar gila! gila! gil..." belum lagi habis kata-katanya terkejut pemuda itu ketika tiga sosok bayangan berlompatan keluar dari sisi bukit dengan pendengarkan bentakan-bentakan keras, menerjang ke arahnya.
"Mampuslah kau bocah linglung!"
Tiga larik sinar berkelebat dari tiga bilah senjata yang meluruk ke arah tubuhnya. Kalau saja pemuda itu tak mempunyai naluri yang amat peka, tentu siang-siang dia sudah menjadi bangkai tak bernyawa ditempat itu.
Akan tetapi naluri pemuda itu amat peka. Begitu tiga kilatan benda tajam meluncur ke arah tubuhnya, mendadak tubuh pemuda ini seperti terhuyung-huyung ke sana ke mari. Ternyata hal itu telah menyelamatkan nyawanya.
Tiga serangan maut itu luput. Bahkan salah seorang menjerit ngeri ketika senjata yang digunakan kawannya tanpa sebab telah membacok pundaknya. Mengaduh kesakitan orang ini seraya melepaskan goloknya, dan bergulingan melompat ke sisi. Dua kawannya terkejut. Ketika mereka melihat ke arah si pemuda, orang yang mau dibunuh itu justru enak-enakan duduk diatas batu sambil cengar cengir.
"Hahaha.. hehe... kiranya kalian tiga kawanan cecunguk yang tempo hari melarikan diri? Bagus! pucuk dicinta ulampun tiba. Kalian munculkan diri tanpa aku harus mencarinya!"
Siapa sebenarnya pemuda bertampang lusuh itu anda tentu sudah menduganya. Ya! siapa lagi kalau bukan Nanjar alias si DEWA LINGLUNG.
Mendelik mata ketiga orang itu. Salah seorang membentak. "Bocah linglung! Jangan kau anggap dirimu seperti dewa. Kau kira kami cuma bertiga?" Selesai berkata laki-laki itu memberi tanda isyarat dengan gerakkan tangannya.
Tiba-tiba belasan sosok tubuh berjompatan keluar dari balik batu-batu dikedua sisi bukit. Dalam beberapa kejap saja Nanjar telah terkurung rapat dalam kepungan belasan manusia bertopeng hitam.
Diam-diam Nanjar terkejut juga melihat begitu banyak kawanan orang yang bersembunyi dikiri kanan jalan. Akan tetapi Nanjar tunjukkan sikap tenang. Bahkan dia masih tetap duduk diatas batu dengan cengar-cengir.
"Hahaha... aku sudah menduga kalian membawa bala bantuan. Eh, apakah kalian adalah komplotan yang menamakan diri Elang Siluman Hitam?"
"Bagus! Kalau kau telah mengetahui mengapa masih berani bertingkah didepan mata kami?" menyahut salah seorang dari belasan manusia bertopeng itu.
"Hm, nama Elang Siluman Hitam memang telah lama kudengar. Bukankah kalian dari kelompok orang-orang kerajaan Giri Nata yang telah punah? Tapi mengapa membantu tiga cecunguk ini, yang jelas adalah tiga orang perampok pengecut. Merampok rumah orang disaat yang punya rumah sedang tidur mendengkur! Membunuh disaat orang tidur adalah perbuatan yang paling jelek, baik dilakukan oleh golongan hitam atau putih! Kalau saja aku tak kebetulan menginap dikandang kuda, tentu nyawa tuan rumah sudah melayang!" berkata Nanjar.
"Kau bocah angon tahu apa dengan urusan kami? Yang akan kurampok harta dan kubunuh orangnya adalah orang-orang dari kerajaan Giri Jaya yang menjadi musuh kami. Gara-gara ada kaulah hingga kami gagal melakukan tugas kami!" teriak salah satu dari tiga orang itu. Dia bernama Pulung Wesi. Sedangkan yang dua orang lagi bernama Pulung Geni dan Pulung Gaman.
"Kalian ini sebenarnya siapakah? Mengapa memusuhi orang-orang kerajaan Giri Jaya? Aku sendiri tak mengetahui bangsawan tua itu orang kerajaan. Yang kuperbuat adalah menegakkan kebenaran!" berkata Nanjar. Kali ini dia bicara serius. Nanjar memang boleh di bilang tahu terhadap persoalan kerajaan.
Mendengar kata-kata Nanjar, salah seorang dari belasan orang bertopeng itu melompat ke depan Nanjar, seraya berkata. "Sobat! kukira dalam hal ini kau tak dapat disalahkan! sebaiknya kau ikut kami untuk menghadap ketua!"
"Siapa ketua kalian?" tanya Nanjar.
"Aku tak dapat menyebutkannya sekarang. Nantilah, kau akan segera mengetahuinya bila telah berhadapan dengan beliau!" jawab laki-laki bertopeng itu.
Nanjar tercenung sejurus. "Baiklah! aku..." belum habis Nanjar berkata, tiba-tiba laki-laki bertopeng dihadapannya menjerit ngeri. Tubuhnya terjungkal roboh. Selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Tak lama dia telah terkapar tak berkutik.
Nanjar tersentak kaget. Pulung Wesi dan Pulung Geni melompat untuk memeriksa. Sementara belasan orang bertopeng yang lainnya terperangah kaget. Mereka berkelebatan melompat siap siaga dari serangan gelap. Namun tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
"Celaka! Pukulan INTI RACUN!" teriak Pulang Wesi dengan wajah pucat.
Nanjar pun tersentak kaget. "Pukulan Inti Racun?" desisnya terkejut. Disaat tegang itu tiba-tiba angin bertiup keras. Debu tebal beterbangan bergulung-gulung. "Apa lagi yang akan terjadi?" sentak Nanjar terkejut bercampur heran.
Belum lagi dia dapat menduga, tiba-tiba terdengar jeritan saling susul. Tubuh-tubuh orang bertopeng itu roboh bergedebugan. Bahkan Pulung Wesipun terjungkal disertai jeritan menyayat hati. Nanjar tak membuang waktu. Dia telah berkelebat melompat dengan gunakan ilmu lompatan kera. Sekejap dia telah berada diatas tempat ketinggian.
Dengan mata membelalak Nanjar pentang mata melihat belasan orang-orang bertopeng itu telah berkaparan ditanah. Jeritan terakhir adalah dari Pulung Geni yang disusul dengan tersungkurnya tubuh laki-laki itu. Setelah berkelojotan beberapa saat, tubuhnya pun diam tak bergeming.
KEPULAN DEBU itu beberapa saat antaranya pun menipis dan lenyap. Tiupan angin telah sirna. Keadaanpun menjadi lengang, sunyi seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Nanjar melompat turun. Dengan waspada dari serangan gelap yang aneh itu, Nanjar memperhatikan mayat-mayat orang-orang bertopeng itu, termasuk mayat Pulung Wesi yang terkapar dihadapannya. Terkejut Nanjar memperhatikan mayat-mayat itu yang semua kulit tubuhnya berubah kebiruan.
Keringat dingin secara tak di-sadari telah mengembun ditengkuk Nanjar. "Siapakah manusianya yang punya ilmu pukulan Inti Racun begini ganas? Dalam sekejapan saja belasan nyawa melayang, sedangkan makhluk penyerangnya tak nampak batang hidungnya!" berkata Nanjar dalam hati.
Pada saat itulah terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Nanjar terperanjat, dengan gerakan sebat telah putar tubuh ke arah belakang. Bukan main terkejutnya dia karena sesosok tubuh berjubah hitam tanpa lengan dan kaki dengan posisi duduk tampak menggantung diudara, tengah tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Rambutnya yang putih serta wajah seorang yang pernah dikenalnya bergoyang-goyang didepan mata.
"Siluman Gila Guling?" tersentak kaget Nanjar. Tanpa terasa dia telah melangkah mundur dua tindak.
"Heheheh... kau masih mengenaliku, bocah?" Berkata kakek tanpa Daksa itu.
"Mm, kaukah yang membunuh mereka?" berkata Nanjar dengan mata menatap tak berkedip.
"Benar! Bahkan aku akan membunuh lebih banyak lagi manusia untuk pengujian ilmu pukulan gaib Inti Racunku!" sahut si Siluman Gila Guling dengan tertawa mengekeh.
"Gila! gila! benar-benar gila! Edan! benar-benar edan!" merutuk Nanjar, "Apakah kau mau ludaskan seluruh isi dunia ini, setelah kau buktikan niatmu menggulingkan kerajaan Giri Jaya?"
"Tak perlu! Namun aku belum puas kalau orang-orang Rimba Persilatan belum tunduk padaku, dan mengakui aku sebagai ketua Rimba Persilatan. Juga akan kudirikan kerajaan baru dibawah kekuasaanku!" berkata serak si Siluman Gila Guling.
"Rencana gila! Ambisimu benar-benar edan dan keterlaluan, Siluman Gila Guling! Cita-citamu tak akan kesampaian, karena kebathilan tak akan tegak dimuka bumi ini selama masih ada tegaknya kebenaran!" teriak Nanjar dengan mata melotot. Diam-diam dalam hati Nanjar terkejut bukan buatan mendengar ambisi Siluman Gila Guling yang setinggi langit.
"Hehehe... aku akan membuktikannya!" berkata kakek tanpa daksa itu dengan tertawa mengekeh. "Kau bocah kunyuk kecil belum waktunya aku membunuhmu. Masih kuberi kesempatan padamu untuk memperdalam ilmu kepandaianmu! kelak kita akan bertemu lagi!"
Selesai berkata tubuh si manusia Siluman Gila Guling lenyap sirna. Lagi-lagi Nanjar terperangah membe-lalak. Keringat dingin mengucur deras dari tengkuknya. Dia terpaku tak bergeming.
Mendadak Nanjar kembali merutuk. "Gila! gila! gila! Siluman Gila Guling memang telah benar-benar gila! Edan! sungguh benar-benar edan!"
Tubuh pemuda itupun berkelebat pergi dari tempat yang mengerikan itu. Kejadian aneh hancurnya istana kerajaan Giri Jaya dan terbakarnya gedung-gedung diwilayah Kota Raja juga desa-desa disekeliling wilayah kera-jaan tak seorangpun yang mengetahui asal kejadian. Mayat-mayat bergelimp-angan disekitar reruntuhan puing-puing istana. Puluhan prajurit tewas terbakar.
Tak terkecuali orang-orang istana. Sukar untuk dipercaya, karena menurut saksi mata terjadinya malapetaka itu dimalam hari. Tahu-tahu api telah berkobar membakar istana tak diketahui dari mana asalnya. Puluhan prajurit yang berada didalam istana berusaha memadamkan api. Tapi api justru semakin besar dan bermunculan disana-sini.
Mereka terkurung rapat oleh api, tanpa bisa keluar menerobos kepungan api yang semakin menggila melalap istana megah itu. Malapetaka itu terus merembet ke tempat-tempat lain disekitar wilayah Kota Raja. Hingga Wilayah Kota Raja seketika berubah menjadi lautan api. Jerit dan ratap terdengar disana-sini.
Ratusan manusia panik menyelamatkan diri. Rakyat wilayah lain yang agak berjauhan dari Kota Raja mengungsi karena mengira terjadi peperangan di Kota Raja. Keadaan menjadi panik dimana-mana. Tak sedikit jiwa yang melayang dengan adanya peristiwa itu. Bahkan orang-orang istana termasuk raja dan patih kerajaan dipastikan telah mati tertembus api.
Ratusan prajurit kocar-kacir tak tahu apa yang akan diperbuat mereka. Dalam keadaan seperti itu seorang laki-laki tua bertubuh kurus, sebelah lengannya mencekal seuntai tasbih berdiri bagai patung diantara hiruk-pikuknya manusia. Bibirnya berkomat-kamit membaca tasbih. Memuji nama Tuhan. Hawa panas membara.
Kepanikan melanda disetiap tempat. Kakek kurus memakai jubah putih yang cuma dibelitkan ditubuh dengan sisa ujungnya disampirkan dibahu itu tetap berdiri tak bergeming. Dari mulutnya terdengar suara menggumam.
"Haiiih! ramalanku tepat! tak dapat ditolak lagi, kerajaan Giri Jaya akan menemui kemusnahan. Akan muncul seorang manusia iblis yang bakal membuat huru-hara besar! Entah siapa orang itu...! Ahh... celaka! celaka!"
Seorang pemuda berbaju lusuh dengan celana kedodoran berada tak jauh didekat kakek kurus itu. Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung. Dia tertarik melihat kakek kurus yang mencekal tasbih ini. Nanjar menghampiri lebih dekat. Tercekat hati Nanjar mendengar gumaman laki-laki tua ini. Nanjar menjura hormat ketika kakek kurus itu menoleh padanya.
"Maafkan aku orang tua, bolehkah aku mengetahui siapa anda?" bertanya Nanjar.
"Apakah manfaatnya kau mengetahui siapa diriku, anak muda? Toh tidak akan bisa menghalangi terjadinya musibah ini! Kebhatilan akan muncul dimuka bumi mengalahkan kebenaran. Manusia akan tersesat menjadi hamba-hamba dan budak-budak iblis! Selanjutnya? Entah! aku tak tahu lagi apa jadinya bila kekuasaan telah beralih ditangan seorang manusia yang akan mengubah dunia menjadi neraka! Oh, betapa mengerikan! betapa akan mengerikan jadinya...!" berkata kakek itu dengan menatap tajam Nanjar.
Mulut Nanjar ternganga. Jelaslah kalau kakek ini seorang yang memiliki ilmu bathin teramat tinggi. Seorang kakek pertapa yang jiwanya telah menyatu dengan alam ghaib. Dia telah meramal kejadian yang akan datang dan membuktikan ketepatan ramalannya.
"Kakek! namaku Nanjar! bila menurut ramalanmu kejadian ini adalah akibat perbuatan seorang manusia iblis yang telah munculkan diri untuk membuat huru-hara besar, aku tahu siapa manusianya!"
Tentu saja kata-kata Nanjar membuat sikakek kerutkan keningnya. Sepasang alisnya yang putih lebat terjungkit menyatu. "Kau mengetahui siapa manusianya?" bertanya sikakek.
"Benar! Dialah seorang laki-laki tua tanpa daksa yang tak mempunyai lengan dan kaki bergelar si Siluman Gila Guling!" jawab Nanjar.
"Dari mana kau anak muda mengetahui?" tanya sikakek tertegun.
"Aku pernah berjumpa dengan manusia itu dua kali!" ujar Nanjar.
Tercekat hati orang tua ini. "Ceritakan siapa sebenarnya dia, apakah kau juga mengetahui asal-usul manusia itu?"
Nanjar mengangguk. Lalu tanpa ragu-ragu Nanjar segera tuturkan perihal Siluman Gila Guling panjang lebar, sesuai dengan apa yang didengarnya. Seperti dituturkan dalam judul, Siluman Gila Guling sebelum judul kisah lanjutannya ini, telah dituturkan kalau kakek tanpa daksa itu adalah bekas seorang kepala bajak laut, bernama Bromo Seto.
Bromo seto memimpin penyerbuan untuk merebut kerajaan Giri Nata bersama anak buah dan kawan-kawannya. Peperangan berkecamuk yang berakhir dengan jatuhnya kerajaan Giri Nata ke tangan Bromo Seto dan kawan-kawannya. Kemudian nama kerajaan Giri Nata diubah manjadi Giri Jaya.
Perselisihan timbul dikalangan mereka, karena Bromo Seto menginginkan dirinya memegang tampuk pemerintahan. Namun dihalangi oleh kawan-kawanya. Hingga akhirnya Bromo Seto ditangkap untuk dipenjarakan. Selanjutnya dengan kejam mereka membuntungi anggota tubuh Bromo Seto, kemudian membuangnya ke dalam lembah.
Sengaja mereka membiarkan Bromo Seto hidup, karena toh ajalnya sudah didepan mata. Namun sungguh tak dinyana kalau Bromo Seto masih bisa bertahan hidup hingga saat ini, setelah selama belasan tahun sembunyi didalam lembah dan memperolah ilmu kesaktian ghaib yang amat luar biasa.
Kemunculan seorang gadis muridnya membuat heboh dengan membunuhi orang-orang kerajaan atas perintahnya. Sebagai pembalasan dendam Bromo Seto. Setelah kematian muridnya yang membunuh diri yang bernama Cantrik Sari, Bromo Seto bertekad menggulingkan kerajaan Giri Jaya.
Demikianlah, Nanjar bentangkan asal-usul Siluman Gila Guling dengan panjang lebar seperti apa yang didengar sendiri dari kakek tanpa daksa itu.
Kakek pertapa peramal itu tercenung beberapa saat mendengar penuturan Nanjar. Sementara api yang membakar istana semakin membesar melalap seluruh isi istana itu. Sang kakek menghela napas. Lalu terdengar dia berkata.
"Anak muda! tenagamu masih bisa dibutuhkan! Pergunakanlah untuk menolong orang yang masih bisa kau tolong. Kelak bila bencana sudah usai dan kau ada waktu setelah kau menyelesaikan urusanmu, datanglah ke puncak gunung manyar merah, tempat aku bertapa. Banyak hal yang akan kita rundingkan mengenai kemunculan si Siluman Gila Guling...!" ujar kakek.
"Dimana adanya gunung Manyar Merah itu, kakek..?" bertanya Nanjar.
"Pergilah ke arah timur. Nanti akan kau jumpai dua lembah dan dua bukit. Melewati bukit terakhir segera kau akan melihat gunung Manyar Merah!" ujar sang kakek.
"Baiklah, kakek! kelak aku pasti datang mengunjungimu!" berkata Nanjar. "Nah, sampai jumpa lagi!" selesai berkata Nanjar balikkan tubuh untuk segera beranjak dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba berseru si kakek.
"Tunggu!"
"Ada apakah kau menahanku, kek?"
"Anak muda! kau berjodoh bertemu dengan aku orang tua pertapa. Terimalah tasbih ini mungkin ada gunanya!" berkata si kakek, seraya melemparkan tasbih ditangannya. Dengan sigap Nanjar menyambutnya. Ketika Nanjar menoleh kearah si kakek, bukan main terkejut dan herannya Nanjar. Karena sekejap saja sosok tubuh kakek itu telah lenyap.
"He? kemana perginya dia? Aneh!? begitu cepatnya dia berlalu..." Memikir kalau-kalau si kakek itu bukan manusia, tengkuk Nanjar meremang dingin. Namun tak lama si Dewa Linglung telah berkelebat dari tempat itu...
Nanjar duduk termangu-mangu di-atas batu ditepi sungai berair jernih. Dilengannya tercekal seuntai tasbih warna hijau yang tengah dipermainkan biji-bijinya. Itulah tasbih pemberian si kakek pertapa tukang ramal. Ingatannya baru saja melayang pada peristiwa beberapa hari yang lalu ketika dia berjumpa dengan si kakek pertapa.
Hatinya tercekat untuk segera menemui orang tua itu dipuncak gunung Manyar Merah. Sementara itu hatinya bertanya-tanya melihat benda ditangan pemberian si kakek.
"Kakek pertapa itu memberikan tasbih ini padaku dan mengatakan barang kali ada gunanya. Untuk apakah gunanya tasbih ini?" berkata Nanjar dalam hati. Tasbih Warna hijau itu terbuat dari batu Giok yang teruntai dengan tali serat yang amat kuat. Karena tak dapat memikir guna tasbih itu, Nanjar masukkan lagi benda itu kesaku bajunya.
"He he.. biarlah kusimpan saja. Aku toh bisa menanyakan nanti pada si kakek itu bila berjumpa dengannya!" menggumam Nanjar. Dia segera bangkit berdiri. "Sebaiknya aku segera pergi ke puncak gunung Manyar Merah sekarang juga!" memikir Nanjar.
Setelah mengambil keputusan, tak berayal lagi segera Nanjar berkelebat ke arah timur. Dengan gunakan ilmu lari cepat dia menerobos hutan, melompati sungai dengan gerakan seolah bagaikan terbang.
Kita tinggalkan dulu Nanjar yang sedang menuju ke puncak gunung Manyar Merah. Mari kita beralih ke satu tempat yang jauh dari wilayah Kota Raja. Bukit LENGSER menjulang tinggi dikelilingi rapatnya hutan rimba.
Dibagian sisi puncak bukit itu tampak berdiri sebuah rumah kayu. Sepintas rumah kayu itu lak ber-penghuni. Keadaan yang sunyi lengang, sesekali cuma terdengar suara burung-burung yang kebetulan lewat diatasnya telah diselingi oleh suara isak tersendat dari dalam pondok kayu itu.
Ternyata disudut ruangan duduk seorang gadis berambut kusut. Penutup auratnya cuma selembar kain yang sudah sobek disana-sini. Gadis ini tengah menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran. Siapa adanya gadis ini? Dialah CITRASIH, murid termuda perguruan Langir Biru. Cucu angkat Ki Bangun Reksa dari puncak gunung Simembut.
Sementara itu dikaki bukit sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat mendaki lereng bukit dengan gerakan laksana seekor kijang. Sepintas bila orang melihat takkan menyangka kalau bayangan itu adalah bayangan tubuh seorang pemuda berpakaian kumal, berambut gondrong dengan celana yang kedodoran. Bahkan bisa-bisa dia disangka makhluk halus. Karena bagi manusia biasa tak mungkin bisa melakukan pendakian dengan begitu cepat.
Dalam waktu tak sepeminuman teh dia telah tiba dipuncak bukit lengser. Kini jelas siapa adanya pemuda itu yang tak lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung. Dalam perjalanan menuju ke puncak gunung Manyar Merah, Nanjar melintasi bukit itu. Bukit ini adalah bukit terakhir yang harus dilewati. Setelah melewati bukit ini akan tampak gunung Manyar Merah.
Nanjar memandang berkeliling melihat keadaan puncak bukit itu. Tiba-tiba dia tertegun karena melihat sebuah rumah kayu tak seberapa jauh dari tempat dia berdiri. "Eh? kebetulan! ada sebuah rumah. Entah siapa penghuninya. Aku bisa numpang beristirahat barang sejenak..." bergumam Nanjar. Namun dia telah kerutkan keningnya ketika mendengar suara terisak yang datang dari dalam pondok kayu itu.
"He? ada suara orang menangis...! Hm, sebaiknya kulihat, siapakah dia dan ada apakah yang terjadi?" berkata Nanjar dalam hati. Tak ayal segera dia melompat untuk segera tiba dimuka pondok kayu itu.
Dengan pelahan Nanjar melangkah agar tak menimbulkan suara. Dari celah dinding kayu dia mengintip ke dalam. Tentu saja seketika wajah Najar berubah merah. Karena melihat sosok tubuh seorang gadis yang boleh dibilang hampir membugil. Namun melihat orang menangis mau tak mau dia harus masuk ke dalam untuk bertanya. Siapa tahu gadis itu diperkosa orang, atau ada musibah yang menimpanya. Memikir demikian Nanjar segera bergerak melompat ke pintu.
Terperanjat Citrasih melihat seorang laki-laki telah berdiri didepan pintu ruangan. Seorang pemuda lusuh berambut gondrong yang memandangannya dengan wajah serius.
"Siapakah kau nona? Apakah yang telah terjadi denganmu?" bertanya Nanjar.
"Ah,... si., siapakah anda?" Citrasih justru malah bertanya.
Nanjar jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Namun ada baiknya dia mengatakan yang sebenarnya agar tak membuat kecurigaan pada gadis itu pikir Nanjar. "Namaku Nanjar. Aku dalam perjalanan menuju kegunung Manyar Merah karena ada suatu urusan hingga kumelewati puncak bukit ini. Harap kau tak curiga terhadapku. Aku orang baik-baik!" berkata Nanjar.
Gadis itu manggut-manggut. Wajahnya mendadak menampilkan wajah girang. "Aku... aku tertotok! Bisakah anda menolongku?" berkata Citrasih. Hati Citrasih tercekat melihat seorang pemuda yang bertampang konyol tapi tak ada tanda-tanda dia orang jahat. Walau pun sepintas mata pemuda itu seperti membinar ketika menatapnya. Namun tak berlangsung lama.
Nanjar memang cepat-cepat mengalihkan tatapannya dari bagian tubuh terlarang yang cuma tertutupi sobekan kain. Mendengar gadis itu dalam keadaan tertotok, tentu saja membuat Nanjar terkejut. "Haiiiih!" ucapnya. Dan entah bagaimana gerakan Nanjar yang dilakukan untuk membuka totokan ditubuh si gadis. Begitu cepatnya hingga tahu-tahu sigadis merasa totokan ditubuhnya telah terbuka.
Akan tetapi sungguh heran Citrasih, karena tak melihat si penolongnya berada di ruangan itu lagi. Bergegas dia membenarkan kain yang membelit ditubuhnya untuk lebih menyembunyikan aurat tubuhnya. Pada saat itu sesosok bayangan muncul dipintu pondok. Seorang laki-laki muda berpakaian warna biru menyandang pedang di pinggang berdiri dipintu pondok. Menatap ke arahnya dengan mata membelalak dan mulut ternganga.
"CITRASIH!?... kau... kau berada disini? Apakah yang terjadi denganmu? Si., siapa laki-laki yang barusan melompat keluar dari jendela?"
"Ah!? Kau... kau PAMUJI!?" suara Citrasih setengah berteriak karena terkejut dan girangnya.
"Benar! aku Pamuji! Katakan siapa yang membawamu kesini? Apa yang terjadi sebenarnya? Siapakah orang yang melompat dari jendela barusan?" berkata Pamuji dengan mengulangi pertanyaan.
"Dia..." Citrasih tak sempat meneruskan kata-katanya karena dibelakang pondok terdengar bentakan keras.
"Manusia keparat jangan lari!" Diiringi suara bentakan itu terdengar suara berderak yang disusul seperti suara pohon roboh. Selanjutnya yang terdengar adalah suara dari dua orang yang bertarung seru.
Citrasih membelalakkan matanya menatap Pamuji. "Seperti suara guru? Apakah kau bersama beliau?" bertanya gadis ini.
"Benar! aku memang bersama beliau. Guru tentu sedang berusaha membekuk orang itu. Siapakah dia sebenarnya?"
"Dia... dia orang yang telah membebaskan aku dari totokan!" jawab Citrasih dengan terkejut. "Celaka! kalian salah menyangka! Cegahlah pertarungan itu!" setengah berteriak Citrasih beranjak untuk melompat keluar. Akan tetapi Pamuji meng-halangi.
"Tunggu! biarlah aku yang mencegahnya!" berkata Pamuji. Dia keluarkan sebuah bungkusan dari balik baju dan serahkan pada gadis itu. Lalu buka bajunya yang basah oleh keringat, kemudian diberikan pula pada Citrasih, seraya berkata. "Kau pakailah untuk menutupi tubuhmu..!"
Citrasih telah membuka bungkusan itu, yang ternyata berisi celana pangsi tipis yang selalu dibawa Pamuji untuk sewaktu-waktu berganti pakaian.
"Kau... kau baik sekali, Pamuji..!" berkata Citrasih dengan mata berkaca-kaca.
Pamuji cuma tersenyum. Lalu dia balikkan tubuh untuk berkelebat keluar pondok.
HAHAHA...HEHE... dasar nasibku yang sial! Nyaris aku disangka orang menyekap adik Citrasih ini!" tertawa Nanjar gelak-gelak. "Jadi kalian telah tiba terlebih dulu sebelum aku?"
"Benar, sobat Nanjar! Kami baru saja mau memeriksa isi pondok karena mendengar suara orang terisak-isak menangis. Tiba-tiba anda muncul. Kami cepat bersembunyi. Kami mengira kau adalah orang yang menyekap seorang perempuan dalam pondok itu. Bahkan aku sendiri tak mengira kalau dia adalah justru cucu angkat dan muridku sendiri yang kucari-cari..!" berkata Ki Bangun Reksa menjawab pertanyaan Nanjar dan memberi penjelasan. "Maafkan kekeliruanku itu, anak muda!" sambung Ki Bangun Reksa.
"Ah, tak apa. Sungguh gembira aku bisa berjumpa dengan kalian! Kini biarlah kita mendengarkan cerita adik Citrasih ini membeberkan peristawa yang dialaminya."
Citrasih tunduk tersipu. Air matanya kembali menitik dan meleleh membasahi pipinya.
"Sudahlah Citrasih, cucuku. Jangan bersikap cengeng. Apa yang telah terjadi hadapilah dengan tabah. Siapakah yang telah menyekapmu ditempat ini? Dan siapa pula yang telah membunuh Aji Prana? Pedang yang menancap didada kakak seperguruanmu itu jelas pedang milikmu! Apakah kau yang telah membunuhnya? Mengenai kematian empat saudara seperguruanmu diluar goa aku sudah mengambil kesimpulan seseorang yang telah ku kenal itulah yang membunuhnya. Hal itu bisa diusut belakangan. Dan memang aku perlu mencari dia untuk membuktikan kebenaran tuduhanku!" berkata lirih Ki Bangun Reksa, menghibur Citrasih yang semakin sedih mendengar Aji Prana tewas, juga keempat saudara seperguruannya.
"Eh, tunggu dulu! Siapakah orang yang kau maksud yang membunuh keempat orang muridmu itu?" potong Nanjar.
"Menurut dugaanku dialah orang yang bernama Ki ANGGUNO! Karena aku mengenali ilmu pukulannya dari melihat mayat murid-murid-ku yang membiru terkena racun! Itulah jurus pukulan INTI RACUN yang amat luar biasa ganasnya!" jawab Ki Bangun Reksa.
"Ah!? pukulan semacam itu juga dimiliki si Siluman Gila Guling!" berkata Nanjar terperajat. "Apakah kau tak salah menduga?"
"Siapakah Siluman Gila Guling?" Ki Bangun Rekso balik bertanya.
"Dialah manusia setengah iblis! Dia pula si penghancur Kerajaan Giri Jaya, pembawa malapetaka yang bakal merubah bumi ini menjadi neraka!"
Terperanjat Ki Bangun Rekso maupun Pamuji. Sementara Citrasih jadi ternganga mendengar kata-kata Nanjar. Sekujur tubuh dara ini menggetar. Manusia setengah iblis itulah yang telah menodainya dan membawanya ke tempat ini.
Secara singkat Nanjar segera ceritaan kejadian mengenai Siluman Gila Guling yang telah menewaskan orang-orang Elang Siluman Hitam dimana dia sendiri berhadapan dengan tokoh hitam tanpa daksa itu. Juga secara singkat Nanjar tuturkan sedikit riwayat si Siluman Gila Guling, juga pertemuannya dengan seorang kakek pertapa yang meramal akan kemunculan manusia setengah iblis itu!
"Nama sebenarnya tokoh hitam itu adalah BROMO SETO!" ujar Nanjar mengakhiri penuturannya.
Tersentak kaget Ki Bangun Reksa. "Pantas! tidak salah kalau begitu! Dia adalah kakak seperguruan Angguno. Pantaslah kalau memiliki ilmu pukulan yang sama!" berkata Ki Bangun Rekso.
"Tapi si Siluman Gila Guling mempergunakan ilmu itu dengan tenaga kekuatan ghaib! Dia bisa datang dan pergi seperti angin. Kekuatan ghaib yang dimilikinya amat luar biasa!" berkata Nanjar, dengan wajah serius.
"Apapun manusianya, atau iblis sekalipun aku tidak gentar! Dia harus dilenyapkan dari muka bumi ini. Demi keselamatan manusia aku rela berkorban dengan darah dan nyawaku!" berkata gagah kakek ini.
"Benar! tentu saja akupun tak tinggal diam. Aku akan membantu perjuanganmu dan kaum pendekar menumpas manusia setengah iblis itu!" berkata Nanjar. Pamuji manggut-manggut.
"Darah dan nyawanyakupun akan kupertaruhkan demi kedamaian dibumi ini!" ujar Pamuji dengan mencekal hulu pedangnya.
"Ya! kita memang harus bersatu! Kalau kita bercerai-berai mana mungkin semua itu bisa terlaksana?" tukas Ki Bangun Reksa.
Kakek ini kembali menatap pada Citrasih. "Bagaimana cucuku? apakah kau sanggup untuk menceritakan pada kami mengenai kejadian yang sebenarnya?" berkata Ki Bangun Reksa.
Gadis ini menggigit bibirnya menahan kepedihan yang menyesakkan dada. "Baik, guru....! aku akan menceritakannya..." ujar Citrasih. Tam-paknya dia sudah mulai dapat menahan perasaannya untuk segera menuturkan perihal kejadian itu.
Demikianlah, Citrasih segera tuturkan apa yang telah terjadi dengan sejelas-jelasnya. Ternyata ketika Aji Prana menatapkan pandangan matanya pada Citrasih didalam ruang goa itu, gadis itu seperti terpana. Dia melihat sinar aneh pada mata sang kakak seperguruan. Di saat itu telinganya mendengar bisikan halus yang menyuruhnya membiarkan Aji Prana melucuti pakaiannya. Dia tak kuasa untuk menolak.
Aji Prana menatapnya dengan penuh nafsu. Pemuda itupun melucuti pakaiannya sendiri. Akan tetapi mendadak bisikan halus kembali terdengar yang menyuruhnya membunuh Aji Prana. Aneh! Dia tak kuasa untuk menolak. Secepat kilat dia lepaskan diri dari pelukan Aji Prana, dan menyambar pedang miliknya yang tergeletak tak jauh dari sisinya. Lalu, dengan sekali ayun pedang itu telah menancap didada sang kakak seperguruan.
Melihat Aji Prana roboh, dia terpekik kaget. Tapi saat itu mendadak kepalanya terasa pening. Pandangan matanya berkunang-kunang. Selanjutnya dia telah roboh tak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar Citrasih merasa tubuhnya telah ternoda. Pada pertama dia tak mengetahui siapa yang telah menodainya.
Namun disaat yang kedua kalinya dia mendengar suara tertawa parau menyeramkan. Dia ketakutan setengah mati. Namun tak berdaya, karena Citrasih dalam keadaan tertotok. Ketika tak lama setelah suara tertawa itu lenyap, mendadak dirasakan tubuhnya ada yang memeluk. Aneh! Karena dia tak melihat sesosok tubuhpun berada diatas tubuhnya.
Begitu ketakutannya Citrasih, hingga kembali dia pingsan tak sadarkan diri. Ketika sadar dia mendengar suara orang tertawa mengekeh disampingnya. Suara itu memberitahukan siapa dirinya. Dialah si Siluman Gila Guling!
Demikianlah, hingga sampai beberapa hari Citrasih disekap dalam pondok kayu itu. Tubuhnya semakin lemah, dan dia telah putus asa. Hingga akhirnya datanglah pertolongan ketika mereka muncul dipuncak bukit itu. Citrasih mengakhiri penuturannya dengan tundukkan wajahnya. Dia kembali terisak-isak, mencucurkan air mata.
PONDOK KAYU diatas bukit lengser mendadak dihempas angin yang bergulung-gulung. Terdengarlah suara.
BRRRRAAAAKK!
Seketika rumah kayu itu porak poranda. Serpihan-serpihan kayu melayang ke udara terbawa pusaran angin dahsyat itu. Terdengar suara parau memaki. "Keparat! kemana perginya bocah ayu itu? Kalau tak ada yang menggondolnya mustahil dia bisa minggat!"
Sesosok tubuh samar-samar menjelma ditempat itu. Ternyata seorang kakek tanpa daksa yang tak berlengan dan tak berkaki. Siapa lagi kalau bukan si Siluman Gila Guling. Mengetahui gadis sekapannya lenyap, manusia setengah iblis ini gusar bukan buatan hingga dia menghancurkan pondok kayu itu dengan ilmu ghaibnya.
Sementara itu dibawah bukit, empat sosok tubuh berkelebatan mendaki bukit itu. Mereka melihat adanya angin keras yang menerbangkan puing-puing kayu dan atap rumah. Diantara keempat sosok tubuh itu, salah seorang adalah seorang laki-laki tua berusia antara 50 tahun. Sedangkan yang tiga orang tak lebih dari tiga puluhan tahun. Siapakah mereka ini?
Dialah Ki ANGGUNO dan ketiga orang muridnya. Ketiga laki-laki yang turut mendaki dikiri-kanannya adalah murid-murid utama Ki Angguno yang mengepalai komplotan Elang Siluman Hitam. Seperti telah diceritakan orang-orang Elang Siluman Hitam telah dibantai habis oleh Siluman Gila Guling dengan ilmu ghaib pukulan Inti Racun.
"Manusia iblis terkutuk Siluman Gila Guling! Hari ini jangan harap kau dapat meloloskan diri!" bentakan menggledek Ki Angguno membuat kakek tanpa daksa itu berpaling.
"Hm, siapakah kalian?" mendengus si kakek ini. Akan tetapi air mukanya berubah ketika mengenali Ki Angguno. "Heh!? kiranya kau Angguno?"
Ki Angguno kerutkan kening. Alisnya terjungkit naik. Dia menatap pada kakek tanpa lengan dan kaki itu yang duduk diatas rumput. "Kau... bukankah kau BROMO SETO?" berkata dia dengan terkejut.
"Hehehe... benar! Lebih dari sepuluh tahun kita tak pernah bertemu apakah kau sudah menjadi raja dan mempunyai banyak selir?" berkata si kakek dengan tertawa sinis.
"Bromo Seto! Kau menyindirku? Sudah jelas kaulah yang telah menghancurkan cita-citaku. Penyerbuanmu belasan tahun yang silam berhasil merebut kekuasaan kerajaan Giri Nata. Aku adalah patih kerajaan Giri Nata yang berhasil meloloskan diri. Begitukah perbuatan seorang kakak seperguruan? Menghancurkan kebahagiaan orang lain, bahkan orang itu adalah adik seperguruanmu sendiri!" berkata Ki Angguno. Sementara diam-diam Ki Angguno terkejut melihat bekas kakak seperguraannya telah menjadi orang cacad.
"Hehehe... siapa yang tahu kau bercokol dikerajaan Giri Nata?" jawab Siluman Gila Guling dengan tertawa tawar. "Nasibku toh tak lebih buruk dari nasibmu! Kau lihatlah! Aku telah menjadi orang tanpa daksa! Semua ini akibat kawan-kawan seperjuanganku sendiri! Akibat perbuatan mereka itulah aku menyimpan dendam kesumat. Hingga akhir tiba saatnya aku munculkan diri untuk menghancurkan kerajaan Giri Nata yang telah mereka kuasai sekian lama!"
"Jadi kaulah yang menimbulkan bencana diwilayah kerajaan ini?" tersentak kaget Ki Angguno.
"Hehe....benar!"
"Edan!? ilmu apakah yang kau punyai?" terperangah Ki Angguno seperti tak percaya.
Siluman Gila Guling tak menjawab. Dia pejamkan mata. Bibirnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Tiba-tiba dia membungkuk seperti bersujud dua kali mencium tanah. Mendadak angin keras membersit melanda disekitar bukit.
Ki Angguno dan ketiga muridnya melangkah mundur terkejut. Tiba-tiba terdengar letupan-letupan kecil disekeliling puncak bukit itu. Aneh! karena setelah letupan-letupan itu terjadi, seketika saja api telah berkobar disekeliling puncak bukit.
Membelalak mata keempat orang itu melihat kejadian aneh yang sukar dipercaya dan tak masuk diakal. Tapi kenyataannya memanglah demikian! Sebentar saja hawa panas mengembara. Api berkobaran mengurung mereka disegala penjuru.
"Ilmu Sihir!" teriak tiga murid Ki Angguno terperanjat.
"Ilmu iblis!" sentak Ki Angguno dengan mata membelalak.
Siluman Gila Guling perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh. "Hahah... heheheh.... itulah ilmu ghaib Raja Iblis! Dengan kekuatan ilmu yang kumiliki bukan saja aku bisa menghancurkan seluruh wilayah kerajaan Giri Jaya, akan tetapi aku sanggup membakar seluruh isi jagat ini!" sumbar Siluman Gila Guling. Suara tertawanya masih terdengar parau menyakitkan anak telinga, akan tetapi manusianya telah lenyap dari tempat itu.
"Gila! Ilmu Iblis yang benar-benar gila!" teriak Ki Angguno.
Bagaimana Ki Angguno bisa muncul ditempat ini dan mengetahui adanya Siluman Gila Guling? Seperti telah diceritakan dibagian depan, sewaktu terjadinya pengepungan terhadap Nanjar yang melewati celah dua bukit dijalan berliku-liku, oleh tiga orang laki-laki, kemudian muncul komplotan orang-orang bertopeng hitam.
Mereka adalah anak-anak buah Ki Angguno. Kemudian muncul Siluman Gila Guling membantai mereka dengan ilmu ghaib beracun yang menewaskan semua anak buah Ki Angguno, kecuali Nanjar.
Seorang anak buah Ki Angguno ternyata tak turut serta dalam pengepungan itu. Dia bersembunyi di belakang batu besar. Anak buahnya yang luput dari kematian itulah yang melapor pada Ki Angguno. Dalam rangka melacak jejak Siluman Gila Guling, mereka melihat puing-puing kayu beterbangan di atas bukit Lengser, hingga mereka menjumpai kakek tanpa daksa itu....
Kakek pertapa bernama Kyai Bangah itu manggut-mangut mendengar penuturan Ki Bangun Raksa yang bercerita tentang siapa adanya si Siluman Gila Guling, juga peristiwa yang di alami cucu angkatnya, Citrasih.
"Aku tak keberatan menerima cucu angkatmu untuk sementara berdiam dipertapaanku di puncak gunung Manyar Merah ini!" berkata Kyai Bangah.
"Terima kasih atas kesediaan Kyai. Kukira memang inilah tempat yang tepat bagi Citrasih, cucu angkatku ini. Karena kami sangat khawatir dengan perkembangan jiwanya. Dan khawatir kalau dia mengambil jalan pintas membunuh diri...!" buru-buru Ki Bangun Reksa menjura mengucap terima kasih.
"Adapun tujuan kami untuk selanjutnya adalah..." sambung Ki Bangun Reksa seraya menatap pada Pamuji dan Nanjar si Dewa Linglung.
"Kami bertekad akan mencari upaya untuk membinasakan si Siluman Gila Guling. Karena dengan membiarkan manusia setengah iblis itu hidup lebih lama berarti akan memperbanyak malapetaka!"
Kyai Bangah manggut-manggut. Tiba-tiba kulit kening sang Kyai tampak berkerut. "Sebaiknya kalian jangan berangkat dulu dan tingggal disini satu-dua hari lagi. Firasatku mengatakan bahwa manusia setengah iblis itu tak berada jauh lagi dari wilayah ini!"
''Ahh...!?" tersentak Ki Bangun Rekso maupun Pamuji juga Nanjar.
Mereka sama menatap pada Kyai Bangah. Sejenak keheningan mencekam sedangkan Citrasih yang sedari tadi diam saja duduk disamping sang Kyai, tiba-tiba buka suara.
"Bila dia muncul ditempat ini, perkenankanlah aku mengambil tindakan. Dan kuharap guru maupun Kyai juga lainnya jangan menghalangi tindakan apa yang bakal kulakukan!" Sambil berkata Citrasih bangkit berdiri. Wajahnya kaku tegang. Sepasang matanya memancarkan cahaya dendam.
"Duduklah cucuku...!" ujar Kyai Bangah.
Namun Citrasih seperti tak mendengar kata-kata Kyai Bangah. Dia tetap berdiri menatap ke mulut goa dengan pandangan kosong. Tampak butir-butir air mata meleleh turun dari genangan di kelopak mata dara cantik ini.
Pamuji hangkit berdiri seraya beranjak mendekati dara ini. "Duduklah, adik Citrasih! Apakah maksud kata-katamu?" berkata Pamuji.
Sementara Nanjar cuma bisa garuk-garuk kepala ditempat duduknya. Tapi mulutnya menggumam lirih. "Wah, gawat kalau begini urusannya...!"
Pamuji berhasil Membujuk Citrasih untuk kembali duduk. Ki Bangun Rekso menatap tajam pada sang murid. Terdengar orang tua ini menghela napas, lalu berkata. "Tindakan apakah yang akan kau lakukan, cucuku cah bagus?"
"Aku tak dapat memberitahukannya! Aku tak akan mengatakannya!" Selesai menyahut gadis ini menutup mukanya, dan menangis terisak-isak.
Ki Bangun Rekso menggeleng-gelengkan kepala, dan mereka saling tatap dengan mulut membisu. Kalau saja mereka tahu bahwa niat Citrasih adalah bila manusia iblis itu muncul, dara itu bersedia korbankan dirinya untuk ditawan kembali, demi keselamatan nyawa mereka. Maka persoalannya menjadi terang.
"Kyai...! berilah kami petunjuk untuk menghadapi manusia iblis itu! Apakah sudah tiba saatnya kebhatilan akan menguasai umat manusia? apakah si Siluman Gila Guling tak dapat dimusnahkan? Kami tahu Kyai orang yang arif! Apakah Kyai akan membiarkan umat manusia dilanda malapetaka?"
Kata-kata Nanjar membuat semua orang menoleh padanya. Sejurus Kyai Bangah terdiam tak menjawab pertanyaan Nanjar. Semua yang hadir menunggu kakek pertapa itu buka suara. Begitu heningnya suasana hingga tarikan napas mereka sama terdengar. Kyai Bangah telah pejamkan matanya.
Jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti menghitung ruas-ruas tulang ditelapak tangan. Melihat apa yang dilakukan si kakek pertapa, Nanjar teringat pada tasbih batu giok pemberian si kakek pertapa itu yang masih tersimpan disaku bajunya. Biasanya si kakek gunakan tasbih itu untuk menghitung.
Dia hampir tak sabar menunggu, mendadak Kyai Bangah membuka matanya. Mulutnya telah berhenti berkemak-kemik. Kakek pertapa ini menghela napas, dan berkata.
"Aku tak dapat memastikan si Siluman Gila Guling itu bisa dimusnahkan. Tapi akupun tak menafsirkan bahwa kebhatilan akan berkuasa diatas jagat raya ini! Namun aku juga tak akan berpeluk tangan berdiam diri menghadapi masalah besar ini. Aku cuma manusia biasa yang lemah. Hanya Tuhanlah tempat kita bernaung dengan segala kebesaranNYA. Kita hanya bisa berlindung padaNYA! Mengenai petunjuk yang bisa kuberikan, untuk memusnahkan manusia setengah iblis itu dipelukan petunjuk Ghaib! Petunjuk Ghaib itu bisa didapatkan dengan jalan bertafakur mendekatkan diri pada Yang Maha Pencipta!" ujar Kyai Bangah. Lalu lanjutnya.
"Untuk mendapatkan petunjuk Ghaib itu tidak mudah, tak sembarang orang bisa mendapatkannya. Untuk itu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian, demi keselamatan kita semua. Juga demi ketentraman diatas jagat raya ini. Ilmu dengan kekuatan Ghaib hanya bisa dikalahkan dengan kekuatan Ghaib juga. Kekuatan ghaib ada yang berasal dari iblis, ada yang berasal dari Yang Maha Pencipta. Walau sebenarnya semua kekuatan ghaib itu berasal dari Yang Maha Pencipta..." demikian ujar Kyai Bangah dengan serius.
Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah menghela napas, Kyai Bangah tampak kembali kerutkan keningnya.
"Agaknya waktu telah demikian mendesak, aku cuma bisa memberikan petunjuk untuk penjagaan saja terhadap kalian. Tapi hal itu jangan kalian anggap telah sempurna. Karena semua ilmu diatas jagad raya ini tak lepas dari kekuasaan Yang Maha Pencipta. Semoga apa yang bisa kuberika ini ada manfaatnya...!" ujar sang Kyai.
Selanjutnya Kyai Bangah menyuruh mereka untuk mendekat. Kecuali Citrasih yang masih terdiam menutupi mukanya, semuanya beringsut mendekati si kakek pertapa.
Berkobarnya api dipuncak bukit Lengser telah membuat lima orang yang berada didalam goa pertapaan Kyai bangah itu berlompatan keluar. Segera mereka dapat melihat api yang berkobar membakar bukit lenggser. Pucat seketika wajah Ki bangun Rekso.
"Ah!? Firasatmu benar Kyai! Api yang membakar bukit itu tentu perbuatan si Siluman Gila Guling!" berkata kakek ini dengan mata memandang tak berkedip.
"Benar!" ujar Kyai Bangah. Orang tua pertapa ini menengadah memandang kelangit. Saat itu langit memang tampak hitam seperti tertutup mendung.
"Akan kulihat kesana!" berkata Nanjar, seraya tiba-tiba menyeruak dari sisi tubuh Pamuji.
Kyai Bangah menatap padanya. "Hm, apakah kau mau menghadapinya seorang diri?" bertanya Kyai Bangah.
"Hehe.. dia tak mungkin mau membunuhku! Aku telah dua kali bertemu, dan dia selalu menangguhkan bertarung denganku!" berkata Nanjar. "Dia menyuruhku untuk menuntut ilmu lebih tinggi lagi baru menantangnya untuk bertarung!"
"Aneh!" Gumam Kyai Bangah. Baik Ki bangun Rekso maupun Pamuji dan Citrasih pun menganggap hal itu satu keanehan. Namun bagi Nanjar hal itu tidaklah aneh, karena dia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar.
Nanjar memang penasaran karena setiap mau melabrak si Siluman Gila Guling, selalu manusia setengah iblis itu menghindar pergi. Kali ini dia bertekad akan mengejar manusia setengah iblis itu untuk bertarung mati-matian! Apa lagi Nanjar telah mendapat "bekal" dan petunjuk dari Kyai Bangah untuk menghadapi si Siluman Gila Guling.
Tak berayal lagi dia telah kelebat melesat dari muka goa, tanpa mereka sempat mencegahnya lagi. Gerakan Nanjar yang gunakan ilmu meringankan tubuh untuk berlari cepat menuju bukit Lengser yang tak seberapa jauh dari gunung manyar Merah membuat mereka yang melihat ternganga kagum.
Karena Nanjar telah gunakan ilmu-ilmu si Raja Siluman Bangau dan ilmu melompat Raja Siluman Harimau. Hingga dari kejauhan terlihat tubuh si Dewa Lmglung tak ubahnya bagai sekelebatan bayangan putih yang berkelebatan pesat.
Dalam waktu singkat Nanjar telah sampai dipuncak bukit Lengser. Dengan gunakan ilmu "terbang" Raja Siluman Bangau tubuh Nanjar melayang ke udara. Sesaat sebelum dia menukik turun untuk jejakkan kaki ditengah kobaran api, Nanjar melihat tiga sosok tubuh tengah bertarung dengan seorang kakek tanpa lengan dan kaki.
Sementara sesosok tubuh telah terkapar ditanah. Mereka tak lain dari Ki Angguno yang tengah bertarung mengadu jiwa dengan si Siluman Gila Guling. Pada saat itu telah terdengar jeritan seorang lagi murid Ki Angguno. Tubuhnya terlempar ke dalam api yang langsung menembusnya. Terperanjat Ki Angguno. Dengan kemarahan meluap dia membentak keras.
"Bromo Seto, manusia keparat! aku akan adu jiwa denganmu!"
Akan tetapi Siluman Gila Guling tertawa mengekeh parau. "Heheheh... heheh... kau manusia bodoh, Angguno! Aku berbaik hati untuk memberi kedudukan tinggi padamu, asal kau tak mencampuri urusanku, tapi kau menolak! Rupanya kau lebih memilih kematian dari pada hidup enak!"
"Hidup mewah dalam cengkeraman manusia iblis sepertimu yang menebarkan maut dan malapetaka bagi manusia? Heh! lebih baik mati!" teriak Ki Angguno dengan berang. Senjata ditangannya yang berupa tombak bermata dua digerakkan berputar. Dan tubuh Ki Angguno berkelebat menerjang si kakek tanpa daksa itu yang duduk menggantung diudara dengan wajah menyeringai.
"Manusia bodoh! kau memang lebih baik mampus!" berkata Ki Bromo Seto. Tubuhnya mendadak lenyap. Dan tahu-tahu terdengar jeritan Ki Angguno. Tubuh ketua Elang Siluman itu terlempar beberapa belas tombak. Tanpa ampun segera tertembus api yang berkobar menyala melahap jasadnya.
Melihat demikian mengerikan ilmu si Siluman Gila Guling, murid yang cuma tinggal seorang ini putus asa. Sebelum manusia setengah iblis itu membunuhnya dia telah membunuh diri dengan menublaskan pedangnya keperut. Robohlah laki-laki itu dengan tubuh sekarat meregang nyawa. Pada saat itulah terdengar bentakan keras.
“MANUSIA IBLIS TERKUTUK SILUMAN GILA GULiNG! Hari ini aku tak akan biarkan kau lepas dari tanganku!" Nanjar menukik turun seraya hantamkan sebelah lengannya. Dari telapak tangannya melesat kilatan cahaya perak, yang memancarkan hawa dingin.
WHUUUT!.....BHUSSSS!
Sebelum kilatan cahaya perak itu mengenai sasaran, tubuh Siluman Gila Guling telah lenyap sirna. Dan akibat hantaman pukulan "Lidah Naga Gila Menjilat Bumi" warisan si Raja Siluman Naga itu membuat tanah menyemburat memercikkan debu yang telah berubah menjadi butiran salju! Itulah pukulan terdahsyat Nanjar yang baru beberapa bulan dikuasainya.
Nanjar adalah seorang yang wataknya aneh. Sebentar ugal-ugalan, sebentar serius. Jurus pukulan yang dinamakan Lidah Naga Gila Menjilat Bumi itu adalah hasil pemikirannya yang digabung dengan jurus ciptaan si Raja Siluman Naga. Pengerahan tenaga dalam kepusat yang berhawa dingin dari jurus ilmu pukulan Inti Es yang harus dipergunakan dengan keadaan jungkir batik (Ilmu pukulan tenaga dalam sungsang) tak lagi dipergunakan dengan cara yang biasa.
Yaitu dikerahkan kekuatan tenaga dalam ke lengan, lalu dilepas melalui telapak tangan. Akan tetapi Nanjar telah menggabungnya dengan ilmu warisan si Raja Siluman Biawak, hingga menghasilkan kehebatan hawa dingin yang berlipat ganda. Apa lagi seperti telah diceritakan Nanjar memiliki warisan kekuatan tenaga dalam dari Raja Siluman Naga.
Hingga pantaslah kalau dia memiliki jurus pukulan yang hebat ini. Sebagian api yang berkobar segera padam tersiram butiran salju. Sedangkan ditempat bekas menggantungnya tubuh Siluman Gila Guling, tampak sebuah lubang besar akibat terkena hantaman pukulan Nanjar.
Lenyapnya tubuh si kakek tanpa daksa membuat Nanjar celingukan mencari-cari kemana berkelebatnya manusia setengah iblis itu. Tentu saja takkan nampak tubuh lawannya, karena si kakek tanpa daksa mempergunakan ilmu ghaib untuk melenyapkan diri.
Agaknya si Dewa Linglung takkan mampu untuk membinasakan lawannya karena dia tak memiliki ilmu-ilmu ghaib. Bahkan mungkin nasib naaslah yang akan diaiaminya. Untunglah disaat demikian Nanjar segera teringat akan apa yang diajarkan Kyai Bangah. Tanpa sadar dia telah memukul kepalanya disertai makian pada dirinya sendiri.
"Aiii! dasar linglung! Mengapa tak kugunakan kalimat-kalimat yang diajarkan Kyai Bangah itu?"
Tak ayal Nanjar telah tarik keluar tasbih batu Giok dari saku bajunya, dan cepat dia jatuhkan pantat untuk duduk bersila. Tak lama Nanjar telah gerakkan jari-jarinya seperti menghitung biji tasbih. Sementara dalam hati Nanjar membaca kalimat-kalimat seperti yang diajarkan Kyai Bangah.
Saat itu mendadak angin bergulung-gulung seperti mengipas bukit Lengser. Api yang cuma tinggal sebagian menyala diatas bukit itu entah mengapa menjadi padam. Itulah kekuatan ilmu ghaib yang digunakan oleh Siluman Gila Guling.
"Hahaha.. heheheh... bocah kunyuk kecil! Apakah kau telah mampu untuk mengalahkan aku tanpa kau belajar ilmu lagi? Sungguh hebat jurus ilmu pukulanmu! Ilmu apa lagi yang akan kau pergunakan?"
Suara si Siluman Gila Guling terdengar seperti merambah puncak bukit Lengser. Tahu-tahu si kakek tanpa daksa itu telah menampakkan diri lagi di hadapan Nanjar. Tubuhnya masih seperti tadi duduk menggantung diudara. Nanjar berhenti menghitung tasbih. Ditatapnya si kakek tanpa daksa dengan tajam.
"Hahaha... kakek Siluman Buntung! Kau telah gunakan ilmu ghaib warisan iblis, apakah kau tak khawatir kalau iblis yang kau kuasai berbalik memotes lehermu membuntungi kepalamu sendiri?"
Mengejek Nanjar dengan tertawa. Padahal diam-diam dia khawatir sekali ejekan itu akan membuat kakek tanpa daksa itu menjadi marah. Namun diam-diam Nanjar telah mempersiapkan diri tintuk menghadapi segala kemungkinan serangan si Siluman Gila Guling.
Benar saja! Disebut dirinya dengan sebutan Siluman Buntung, seketika wajah KI BROMO SETO berubah merah. Kakek ini gerakkan tubuhnya bergoyang-goyang. Tiba-tiba uap hitam menerobos keluar dari tubuhnya. Meluruk deras ke arah Nanjar yang masih duduk dan telah kembali menghitung tasbih.
Pada saat yang sama dari arah puncak gunung Manyar Merah membersit cahaya putih ke arah puncak bukit Lengser. Luncuran cahaya putih itu melebihi kecepatan luncuran uap yang menyerang Nanjar. Itulah uap beracun yang mengandung maut!
Bhlarrr!
Terdengar ledakan keras. Uap itu buyar ke delapan penjuru. Sementara Nanjar telah berkelebat menghindari serangan itu. Kalau saja dia tak memegang tasbih batu Giok dan dalam hati menyebut kalimat-kalimat yang diajarkan Kyai Bangah, tentu dia takkan dapat melihat datangnya asap beracun yang menyerang dirinya. Tentu saja Nanjar tak menyadari hal itu. Ledakan barusan membuat Nanjar terkejut. Dia telah melompat sejauh delapan tombak. Saat itu ditelinganya terdengar bisikan halus.
"Bocah linglung! cepat gunakan kekuatan bhatinmu!" itulah suara Kyai Bangah.
Nanjar jadi terheran. Bagaimana mungkin orangnya berada di puncak gunung Manyar Merah, tapi suaranya ada disini? Apakah kakek itu telah menyusul kemari? pikir Nanjar. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Nanjar bertanya. "Bagaimana aku harus melakukannya, Kyai?"
Terdengar bentakan ditelinganya. "Bocah tolol! segera kosongkan pikiranmu dengan mengingat yang satu, yaitu Yang Maha Pencipta!"
Lagi-lagi Nanjar memukul kepalanya. "Aiii! dasar linglung!" memaki dia. Tak ayal segera dia turutkan perintah itu. Dengan pejamkan mata segera Nanjar kosongkan fikiran. Pelajaran yang didapatkan dari Kyai Bangah secara singkat ditempat pertapaan puncak gunung Manyar Merah memang telah dapat dikuasai oleh Nanjar yang berotak encer.
Tapi dasar si Dewa Linglung itu memang pernah linglung yang dialaminya ketika berada di pulau misterius, ketika dalam gemblengan empat tokoh yang menamakan dirinya si Empat Raja Gila akibatnya Nanjar sering mengalami kelupaan!
Disaat Nanjar memejamkan matanya, kilatan cahaya putih secepat kilat memasuki ubun-ubun kepala si pendekar Dewa Linglung ini. Tapi pada saat itu juga uap hitam serangan si Siluman Gila Guling yang buyar tadi telah bergulung-gulung meluruk ke arah Nanjar. Bahkan sungguh aneh, karena gumpalan uap itu telah berubah menjadi bentuk tangan-tangan yang menyeramkan yang menyerang Nanjar untuk mencengkeram batok kepala si pendekar Dewa Linglung.
Dalam keadaan mengheningkan cipta mengosongkan pikiran itu, tampaknya sukar bagi Nanjar untuk mengelakkan serangan yang mengerikan dari cengkeraman-cengkeraman tangan iblis yang merengkuh batok kepala Nanjar Akan tetapi diluar dugaan uap hitam itu mendadak buyar seperti terkena cahaya aneh yang memancar dari tubuh Nanjar.
Bersamaan dengan itu terdengar jeritan parau si kakek Siluman Gila Guling. Tubuh kakek tanpa daksa itu kembali lenyap sirna. Namun sebagai gantinya sebersit cahaya merah meluncur pesat dari puncak bukit Lengser. Akan tetapi cahaya putih yang tadi masuk keubun-ubun kepala Nanjar telah melesat keluar lagi mengejar cahaya merah. Bagaikan dua buah meteor kedua cahaya itu berlesatan dan lenyap tak kelihatan lagi dibalik gunung.
Nanjar masih tetap duduk bersila dengan mata terpejam. Dengan mengheningkan cipta mengosongkan pikiran itu, nampak benar-benar membuat Nanjar begitu tenang seperti tertidur. Dia tak mengetahui apa yang telah terjadi. Dia tak tahu bahwa dua cercah sinar yang sama berkelebatan melesat bagaikan meteor itu meluncur ke arah selatan. Melewati bukit dan gunung, lalu masuk ke celah bukit.
"Manusia iblis Siluman Gila Guling! Jangan harap kau dapat meloloskan diri!" Cahaya putih itu perdengarkan suara bentakan. Itulah sukma Kyai Bangah yang telah meleset keluar dari gua garbanya dan menolong Nanjar, lalu mengejar sukma Bromo Seto alias Siluman Gila Guling yang melarikan diri ke dalam lembah.
Secepat kilat cahaya merah meluncur masuk ke dalam goa dimana ditempat itu gua garba Bromo Seto tubuh aslinya masih dalam keadaan duduk diatas batu besar. Tapi didetik itu cahaya putih memburu untuk menggagalkan niat sukma Bromo Seto memasuki jasadnya. Sebelum sukma Bromo Seto sempat memasuki mulut goa, cahaya putih telah menyerang dengan membentur cahaya merah.
Akibat benturan itu, cahaya merah terpecah menjadi belasan cahaya. Akan tetapi hal itu bukan berarti cahaya merah mengalami kekalahan. Karena sekejap kemudian belasan cahaya merah itu telah mengurung cahaya putih.
"Heheheh... pantas! kiranya kau KYAI BANGAH!? Percuma kau menyusulku, karena kau hanya akan mengantarkan kematian saja!" berkata sukma Bromo Seto alias Siluman Gila Guling dengan tertawa mengekeh.
"Manusia iblis keparat, jangan sombong dulu!" bentak sukma Kyai Bangah. Dan sekejap saja cahaya putih telah memecah diri menjadi tujuh cahaya untuk mengimbangi kekuatan cahaya merah.
"Bagus! mari kita mengadu kesaktian!" membentak sukma Bromo Seto. Tanpa menunggu lebih lama belasan cahaya merah segera menerjang ketujuh cahaya putih.
Terjadilah pertarungan ghaib di alam yang tak kelihatan oleh manusia. Sukma Siluman Gila Guling merangsak dengan serangan-serangan ganas terhadap lawannya. Ter-nyata setelah berada didalam lembah tempat tinggal Siluman Gila Guling, cahaya merah alis sukma Bromo Seto itu seperti mendapat angin. Bahkan juga seperti mendapat kekuatan untuk menandingi kekuatan sukma Kyai Bangah.
Pertarungan ghaib itu telah menimbulkan ledakan-ledakan keras yang membuat dinding goa mulai terancam runtuh. Melihat keadaan yang tak menguntungkan, sukma Bromo Seto berusaha secepatnya merobohkan lawannya. Bahkan tampaknya sukma Siluman Gila Guling begitu mengkhawatirkan gua-garbanya.
Namun mana mau sukma Kyai Bangah membiarkan sukma lawannya itu memasuki guagarbanya, karena berarti akan menambah kekuatan lawan. Oleh sebab itu semakin hebat tujuh cahaya putih itu merangsak belasan cahaya merah. Namun sukma Kyai Bangah tak menyangka kalau salah satu dari belasan cahaya putih berhasil menerobos masuk ke dalam goa. Mendadak pula belasan cahaya merah lenyap sirna.
Melihat demikian sukma Kyai Bangah lancarkan serangan dahsyat untuk mencegah hal itu terjadi. Tidak begitu terlambat, akan tetapi berakibat fatal, karena seketika tujuh cahaya putih tertolak buyar oleh satu kekuatan dahsyat yang keluar dari mulut goa! Namun goa itu sendiri hancur luluh menjadi kepulan dengan diiringi ledakan menggelegar yang menggoncangkan tanah.
Bahkan tebing batu itu bergetar akibat ledakan dahsyat itu, dan menimbulkan longsor. Dengan suara yang bergemuruh batu-batu tebing itu merosot turun, hingga dalam beberapa kejap saja goa tempat jasad Siluman Gila Guling telah lenyap tertutup longsoran! Sukma Kyai Bangah sendiri sampai terheran dengan peristiwa itu. Karena tak menyangka bakal mengakhiri riwayat Siluman Gila Guling. Apakah sebenarnya yang terjadi?
Tanpa setahu sukma Kyai Bangah, disisi tebing sebelah sana sejak terjadinya pertarungan kedua sukma itu, telah berdiri sesosok tubuh seorang kakek tua renta berjubah putih. Bahkan rambutnyapun terbungkus oleh sorban putih yang ujungnya melambai tertiup angin. Sosok tubuh itu tak begitu jelas karena hampir menyerupai bayangan saja.
Disaat sukma Kyai Bangah melancarkan serangan ke mulut goa, kakek misterius yang menyerupai bayangan ini mengangkat sebelah lengannya. Dari telapak tangannya berkiblat cahaya biru membarengi hantaman ghaib yang dilakukan sukma Kyai Bangah.
Hal itulah yang mengakibatkan hancurnya goa berikut jasad Siluman Gila Guling menjadi kepulan debu. Lalu sebagian tebing batu itu longsor menimbun goa yang sudah jadi kepulan bubuk batu itu hingga lenyap tanpa bekas! Sekejap setelah kejadian itu, bayangan tubuh kakek tua renta berjubah dan bersorban putih yang menyerupai bayangan itupun lenyap.....
NANJAR alias si pendekar Dewa Linglung berkelebat melesat meninggalkan puncak bukit Lengser. Lagi-lagi Nanjar kecewa karena kehilangan lawannya. Bahkan secara aneh suara yang membisikkan ditelinganyapun lenyap. Cukup lama dia duduk bersila mengosongkan pikiran. Namun telinganya sunyi dari suara-suara diatas bukit itu. Tentu saja makin lama dia semakin tidak betah untuk tidak membuka mata..
Ketika dia buka kelopak matanya, terheran Nanjar karena puncak bukit itu seperti mati. Tak ada tanda-tanda adanya Siluman Gila Guling ditempat itu, kecuali sosok mayat yang terkapar tak jauh didekatnya. Yaitu mayat anak buah Ki Angguno yang membunuh diri. Setelah menunggu beberapa saat tak ada tanda-tanda adanya manusia setengah iblis itu, juga Kyai Bangah yang didengar suaranya, Nanjar mengambil keputusan untuk secepatnya kembali ke puncak gunung Manyar Merah.
Dalam waktu tak lama Nanjar telah tiba dimulut goa tempat pertapaan Kyai Bangah. Alangkah terkejutnya Nanjar melihat kakek pertapa itu dalam keadaan duduk bersila dengan bibir mengalirkan darah, dikelilingi Ki Bangun Reksa, Pamuji dan Citrasih.
"Apakah yang telah terjadi?" teriak Nanjar seraya melompat mendekat. Melihat kedatangan Nanjar ketiga orang itu tak berkata apa-apa. Mereka sama menunduk dengan wajah-wajah yang menampak kesedihan.
"Kyai telah... wafat!" terdengar suara Ki Bangun Reksa lirih.
"Ahh..!?" sentak Nanjar terkejut. "Bilakah terjadinya?" tanya Nanjar dengan hati luluh.
"Barusan saja. Tapi Siluman Gila Guling telah musnah! Bencana telah berakhir, walau harus meminta korban jiwa! Kita kehilangan seorang sesepuh yang hampir langka ditanah Jawa ini!" sahut Ki Bangun Rekso yang didahului dengan tarikan napasnya. Tampak disudut kelopak mata orang tua itu tersembul setitik air bening yang bergulir jatuh membasahi pipinya yang keriput.
Nanjar cuma tercenung mendengar penuturan Ki Bangun Rekso. Entah dia harus bergirang atau bersedih. Dikeluarkannya tasbih hijau terbuat dari batu Giok pemberian kakek pertapa itu dari saku bajunya dan berkata lirih. "Apakah dia meninggalkan pesan untukku?"
Pertanyaan Nanjar belum dijawab oleh Ki Bangun Rekso, karena sejenak dia memperhatikan tasbih batu Giok yang teruntai ditangan Nanjar. Pamuji yang sedari tadi tak membuka mulut, tiba-tiba tatapkan mata liar melihat tasbih itu. Sebelum wafat Kyai Bangah memang menanyakan Nanjar dan menyebut-nyebut tasbih batu Giok, tapi tak mengucapkan kata apa-apa lagi lalu nyawa orang tua pertapa itupun melayang.
Terbersit dihati Pamuji bahwa ada apa-apanya dengan tasbih batu Giok ditangan Nanjar. Dia memang sudah menduga sejak awal tentang adanya senjata pusaka milik kakek pertapa itu. Mungkin saja tasbih batu Giok ditangan Nanjar itu sebuah senjata pusaka! Dan alangkah sayangnya kalau senjata pusaka itu terjatuh ketangan orang lain. Mendapat kesempatan baik seperti itu tak ayal Pamuji cepat-cepat berkata mendahului gurunya.
"Beliau memang meninggalkan pesan untukmu, sobat Nanjar!" ujarnya. Kalau saja Nanjar tak menundukkan wajah ketika berkata, tentu dia dapat melihat Pamuji mengedipkan mata pada Ki Bangun Reksa yang menoleh pada pemuda itu. Cepat-cepat Pamuji menyambung kata-katanya.
"Beliau berpesan agar kau mengembalikan tasbih yang dititipkannya padamu dan menyuruh kami mengubur bersama jasadnya!"
Ki Bangun Reksa baru mau membentak sang murid. Akan tetapi segera menelan lagi kata-katanya, karena Nanjar telah berkata seraya bangkit berdiri.
"Oh, kalau begitu amanatnya dengan senang hati dan rela aku akan mengembalikan benda ini!" seraya berkata Nanjar menimang-nimang sebentar tasbih hijau itu lalu melemparkannya pada Pamuji. Dengan sigap Pamuji menangkap lalu masukkan ke saku bajunya.
Pada saat itulah tiba-tiba terlihat bayangan hitam melintas ditanah. Ketika mereka menengadah tampak seekor burung rajawali yang amat besar melayang berputar-putar diatas mereka. Nanjar tersentak kaget.
"Hah!? itu pasti si JABUR dan yang menungganginya pasti RANGGAWENI!" desis Nanjar dengan wajah mendadak beruhah girang. Terdengar suara suitan nyaring dari mulut si Dewa Linglung ketika dia masukkan dua jari tangannya kebawah lidah.
Mendengar suara suitan yang dikenalnya itu, si burung rajawali mendadak perdengarkan suara mengiyak, lalu terbang menukik ke bawah. Benarlah kiranya burung rajawali raksasa itu adalah si JABUR, burung peliharannya yang telah dihadiahkan pada Ranggaweni si gadis murid Raja Pengemis.
"Kak Nanjar...!" teriakan girang terdengar dari atas punggung si Jabur. Seorang dara cantik berbaju merah memang berada diatas punggung burung rajawali itu.
"RANGGAWENI...!" teriak Nanjar. Dan... tubuh si pendekar Dewa Linglung telah berkelebat ke udara. Sekejap saja dia telah berada diatas punggung binatang itu tepat dibelakang punggung si dara cantik.
"Hehehe... maaf sobat-sobat, biniku sudah menyusul. Tampaknya dia sudah ngebet betul karena telah kutinggal lama. Aku tak dapat berlama-lama lagi. Kalian kuburkan saja jenazah Kyai Bangah. Bila umurku panjang tentu suatu saat kita bisa bertemu lagi!" teriak Nanjar seraya menoleh ke bawah menunjukkan kata-katanya pada Ki Bangun Reksa, Pamuji dan Citrasih. Sesaat kemudian burung rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi.
Citrasih berdiri menengadah dengan mata memandang sayu. Masih sempat tadi dia melihat si gadis cantik baju merah bernama Ranggaweni itu mencubit paha pemuda itu. Dan dilihatnya dikejauhan lengan si pendekar Dewa Linglung melingkar memeluk pinggang si dara cantik...