Munculnya Pedang Pusaka Naga Merah
KILATAN-KILATAN PETIR melukis langit tatkala tiba-tiba cuaca berubah gelap! Terdengarlah suara menggelegar memekakkan telinga sambung menyambung. Tak lama angin keras bertiup menghempas perbukitan. Suaranya bersiut-siut mengerikan. Begitu kerasnya hempasan angin yang membludak itu hingga membuat beberapa batang pohon berderak patah dan tumbang.
Selama tak lama hujan deras meng-guyur bumi bak dicurahkan dari langit saja layaknya. Sementara angin terus menghempas-hempas dahsyat mencabik-cabik pepohonan di puncak bukit itu. Saat demi saatpun berlalu. Tatkala hempasan angin itu mereda, curah hujan pun berangsur-angsur mereda. Dan tak lama berselang hujanpun benar-benar berhenti meninggal-kan sisa-sisa titik air yang meluncur ke bumi.
Cuaca kembali cerah. Langit bersih tak berawan. Dari balik batu bukit muncul sesosok tubuh basah kuyup. Sejak hujan lebat tadi dia meneduh di bawah batu bukit itu, namun tak urung tubuh dan pakaiannyapun basah juga. Siapa adanya sosok tubuh ini, tak lain dari seorang laki-laki yang masih muda berusia antara dua puluh tahun lebih. Laki-laki ini tak lain dari NANJAR alias si Pendekar Dewa Linglung!
"Huuuh! hujan yang menyebalkan!" gerutunya sambil menepiskan air yang mengalir ke wajahnya. Dibukanya baju yang basah kuyup itu, lalu di peras. Kemudian dikenakannya lagi. Mulutnya toh kini menyunggingkan senyuman, walau tadi dia menggerutu. Baru saja dia mau membuka celana, tiba-tiba.
"He!? Siapa kau?!"
Sejak tadi Si Dewa Linglung merasa cuma dia sendiri yang berada ditempat itu. Mendengar ada suara batuk-batuk kecil tak jauh didekatnya dia jadi melengak heran. Ketika dia menoleh dilihatnya seorang gadis berpakaian serba merah berdiri di celah bukit tak jauh di dekatnya, terhalang sebongkah batu bukit yang menonjol. Bayangan merah berkelebat, dan sekejap gadis itu telah berada dihadapannya. Sejenak Nanjar tertegun.
"Siapa kau? Mengapa aku tak melihat anda berada ditempat ini?" tanya Nanjar dengan menatap tajam dara itu dari kepala sampai ke kaki. Dari balik pakaiannya yang basah kentara jelas lekuk-liku tubuh dara cantik ini. Jelas si dara baju merah mempunyai potongan tubuh yang indah.
"Hm, pendekar Linglung! Omong ko-song kalau kau tak mengetahui! Seorang yang berkepandaian tinggi seperti anda tak mungkin tidak mengetahui kalau sejak kemarin aku telah menguntitmu! Kau memang sengaja tak mengacuhkan aku!" berkata si gadis dengan wajah tak menampilkan senyum secuilpun.
"Aneh! aku bicara betul, Nona...! Sungguh mati, biar disambar kampret! aku memang tak mengetahui sama sekali. Bahkan tak tahu kau telah menguntitku sejak kemarin!"
"Kau juga tak mengenalku sama sekali?" tanya si gadis. Nanjar menggeleng seperti orang tolol, "Dasar linglung!" gerutu si gadis seraya menghela napas.
"Hehehe... namaku memang si Dewa Linglung! kau tahu dari mana?"
"Sinting!" memaki si gadis. Mendadak tubuhnya berkelebat melompat pergi dari situ.
"Heeiii!? mau kemana? Tunggu dulu!" teriak Nanjar.
"Mau apa kau menahanku? Menghadapi manusia semacammu lebih baik aku berhadapan dengan seekor keledai!" berkata si dara baju merah tanpa menoleh.
"Boleh saja kau anggap aku keledai, aku toh takkan marah!"
"Seekor keledaipun tak akan selinglung kau!" teriak si gadis seraya mempercepat larinya.
"Hehehe,... bukankah aku dijuluki si Dewa Linglung?"
"Kau keledai linglung!" maki si gadis kesal.
"He!? Apakah kau si Naga Betina Baju Merah?" teriak Nanjar seraya mengejar.
"Hm, kalau sudah tahu mengapa berlagak linglung?" sahut ketus si dara.
"Hehe... maafkan aku, nona cantik! sudahlah lupakan semua itu. Kini aku mau bertanya. Apakah maksudmu menguntit perjalananku?" tanya Nanjar tertawa.
Dara baju merah yang bergelar si Naga Betina Baju Merah itu balikkan tubuh, ketika Nanjar dengan gerakan ringan melompat ke hadapannya. Akan tetapi mendadak dara ini angkat sebelah lengannya.
Whusssss!
Segelombang angin menerjang disertai meluruknya belasan batang jarum perak ke arahnya. Tentu saja membuat Nanjar kaget setengah mati, karena tak menyangka akan diserang sedemikian rupa.
Seraya melompat berjumpalitan menghindarkan diri, Nanjar kibaskan lengannya untuk menepis dengan angin pukulan. Terlambat! dua batang jarum telah mengenai pundak kirinya. Pemuda ini mengeluh dan roboh terjungkal seketika. Dara baju merah tertawa kecil dan melompat mendekati.
"Hihihi... niatmu mencari PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH takkan kesampaian! Tak seorangpun dari kaum Rimba Hijau berhak memiliki pedang Pusaka itu!" berkata si dara baju merah. Tubuhnya membungkuk untuk memeriksa korbannya. Lengannyapun terjulur, dan tiga kali bergerak dia telah menotok tubuh Nanjar.
Selanjutnya dengan gerakan cepat sekali dia telah memondong tubuh si pemuda. Kejap berikutnya tubuh dara itu berkelebat, dan lenyap di belakang tebing...
"Kemana kau akan membawaku, Naga Betina Baju Merah?"
Pertanyaan itu membuat hati si dara yang memondong tubuh Nanjar dan dengan melarikannya dengan cepat jadi mencelos.
"He? kau sudah siuman?" tersentak si dara baju merah. Betapa kagetnya dara ini ketika tahu-tahu tubuh Nanjar menggelincir dari pundaknya. Dan kejap selanjutnya sepasang lengan pemuda yang disangka sudah tak berdaya itu mendadak membekap tubuhnya kuat sekali.
Tentu saja dia segera hentikan larinya karena sekonyong-konyong napasnya terasa sesak. Pelukan Nanjar membuat dia tak berkutik, karena kedua lengannya pun ikut terjepit kuat.
"Hehe... hahaha... kau mengira aku kena dikibuli dengan serangan gelapmu? Ayo berontaklah manis...!" berkata Nanjar dengan cengar-cengir. Sementara kesepuluh jarinya tiba-tiba telah bergerak meremasi payudara si gadis.
Keruan saja gadis ini jadi terperangah kaget. "Kau... kau... keparat! Lepaskan aku!" berteriak-teriak gadis ini dengan wajah berubah memerah.
Dara ini meronta-ronta melepaskan diri. Akan tetapi sekali lengan Nanjar bergerak, dara itu tiba-tiba mengeluh dan terkulai menggelosor ditanah dalam keadaan tertotok Nanjar tertawa gelak-gelak. Dengan cepat lengannya bergerak mencabut jarum perak yang menancap dipundaknya.
"Heh! jarum perak ini mengandung racun obat bius. Tidak berbahaya bagi jiwa akan tetapi dapat membuat orang tidur lelap dan lupa segala-gala seperti mati saja! Beruntung aku telah menyiapkan diri membalik jalan darah. Apakah yang akan kau perbuat terhadapku, Naga Betina?" berkata Nanjar.
"Aku akan membunuhmu!" teriak si gadis.
"Apa alasanmu? Apakah karena kau tak menginginkan aku mendapatkan pedang pusaka itu?" tanya Nanjar dengan tertawa menyeringai.
"Karena aku benci padamu?" jawab si gadis ketus. Nanjar jadi melengak heran.
"Mengapa kau membenciku?" tanya Nanjar tak mengerti.
"Sudahlah! kau tak perlu tahu! Kini bunuhlah aku! Lebih cepat lebih baik! Akan tetapi jangan harap kau bakal dapat memiliki pedang Mustika Naga Merah selama hidupmu!" teriak si dara.
"Hehe... hahaha... kalau dengan membunuhmu pun aku takkan berhasil mendapatkan pedang mustika itu buat apa kulakukan? Gadis secantikmu mana tega aku melakukannya? Akan tetapi aku penasaran, mengapa kau berniat membunuhku tanpa kau mau sebutkan alasannya? Dan yang juga membuat aku heran, kemana perginya adik seperguruanmu si Kecubung Sari?"
Dipuji cantik demikian mau tak mau hati si gadis berdebar. Ada rasa senang membaur disanubarinya. Pertemuan dengan Nanjar memang cukup berkesan walau dalam waktu yang singkat beberapa pekan yang lalu. Yaitu ketika dia dan saudara seperguruannya turun gunung, setelah sejak enam tahun berguru dipuncak gunung Naga Inten.
Dia sebenarnya bernama Kecubung Wungu, sedangkan saudara seperguruannya bernama Kecubung Sari. Keduanya adalah murid seorang perempuan tua sakti yang mendiami puncak gunung Naga Inten yang tak pernah dikunjungi orang.
Berita yang mengejutkan kedua saudara seperguruan, itu adalah munculnya seorang pengemis berkaki pincang yang memberitakan desas-desus adanya sebuah pedang mustika dipuncak gunung Naga Inten, bernama Pedang Mustika Naga Merah.
Berita itu didengarnya dan muncul dari mulut ke mulut di mana keduanya singgah. Tentu saja hal itu membuat dia terheran, sedangkan mereka sendiri sebagai murid perempuan tua sakti yang bergelar si Pendekar Wanita Hati Suci tiada mendengar apa-apa dari gurunya.
Oleh karena hal itulah keduanya sepakat untuk mencari si Pengemis kaki pincang yang menjadi sumber berita itu. Mereka harus menanyakan tentang kebenaran berita itu. Sekalian ingin mengetahui siapa gerangan orang itu. Kalau ternyata cuma fitnah tentu tak segan-segan kedua dara ini menghajarnya dan membawanya kehadapan sang guru demi mempertanggung-jawabkan perbuatannya menyebarkan isu tersebut.
Bukan mustahil dengan adanya isu itu akan berdatangan orang-orang kaum Rimba Hijau dari segenap penjuru ke puncak gunung Naga Inten. Dan hal itu akan membahayakan gurunya. Sayang, beberapa hari mencari jejak si pengemis pincang, tiada membawa hasil.
Hingga mereka mengambil keputusan lain. Kecubung Sari disuruhnya kembali ke puncak gunung Naga, sedangkan dia sendiri akan tetap mencari si Pengemis Pincang. Dia masih penasaran bila tak dapat menemukan jejaknya.
Pada saat mereka tengah mengadakan perundingan, mendadak muncul tujuh sosok tubuh mengurung keduanya. Ternyata ketujuh orang itu adalah para tokoh persilatan golongan hitam. Bahkan salah seorang dari mereka mengenalnya sebagai murid-murid si Pendekar Wanita Hati Suci.
Orang yang mengenal mereka itu adalah seorang kakek berwajah hitam seperti arang, yang terkenal dengan julukan si Iblis Muka Hitam. Terjadilah pertarungan dengan keenam orang dari tujuh manusia yang mengurung kedua dara itu. Karena Kecubung Wungu dan Kecubung Sari tak mau menunjukkan tempat tinggal gurunya dipuncak gunung Naga.
Ternyata kedua dara ini bukan lawan enteng. Selama enam tahun digembleng oleh si Pendekar Wanita Hati Suci membuat para pengeroyok itu kewalahan menghadapinya. Namun menghadapi si Iblis Muka Hitam, kedua dara ini tak mampu berbuat apa-apa. Dalam saat yang mengkhawatirkan itulah muncul NANJAR yang menolong kedua gadis itu.
Tak sampai sepuluh jurus bertarung, si Iblis Muka Hitam melompat melarikan diri. Demikian juga keenam kawannya yang lain. Nanjar tak mengejar mereka karena merasa tak perlu membunuh orang. Demikianlah, terjadi perkenalan. Nanjar memperkenalkan diri dengan nama julukannya yaitu si Dewa Linglung.
Kedua dara itupun memperkenalkan diri, tapi hanya gelarannya saja yang dibuat semuanya oleh Kecubung Wungu. Dia memperkenalkan diri dengan julukan si Naga Betina Baju Merah. Sedangkan adik seperguruannya dengan gelar Naga Betina Baju Putih, karena Kecubung Sari mengenakan baju warna putih.
Kedua dara itu menceritakan asal-usul terjadinya peristiwa itu pada Nanjar. Ternyata Kecubung Wungu alias si Naga Betina Baju Merah menaruh simpati pada si Dewa Linglung. Hingga menceri-takan hal ihwal dan juga desas-desus yang tengah diselidikinya itu.
Ternyata Nanjar pun telah mendengar pula desas-desus itu. Bahkan dia tengah melakukan perjalanan mencari dimana adanya Gunung Naga Inten. Diantara dua pilihan yang telah direncanakan oleh Kecubung Wungu, ternyata Nanjar lebih tertarik untuk menemani Kecubung Sari alias Naga Betina Baju Putih.
Hal itu membuat Kecubung Wungu menelan ludah. Tadinya dia menyangka kalau Nanjar mau menemani dia mencari jejak si Pengemis Pincang, tapi justru akan menemani sang adik seperguruan ke puncak gunung Naga Inten.
Walau agak mendongkol, namun Kecubung Wungu tak dapat merobah keputusan. Dia tetap harus mencari jejak si Pengemis Pincang sampai ketemu! Merekapun berpisah untuk menempuh jalan masing-masing. Namun diam-diam Kecubung Wungu berakal cerdik. Dia telah berikan kode rahasia pada sang adik seperguruan.
Yaitu dia menulis sepucuk surat seolah-olah dititipkan pada Kecubung Sari untuk diberikan pada gurunya, padahal surat itu untuk Kecubung Sari. Surat itu berisi peringatan agar Kecubung Sari berhati-hati terhadap si Dewa Linglung. Dan dikatakan pula agar tak membawa orang luar tanpa seizin guru untuk memasuki puncak gunung Naga Inten.
Ketika Nanjar menangsal perut disatu pasar yang dilewati dalam perjalanan mereka, Kecubung Sari mohon diri akan ke belakang dulu membuang air kecil. Nanjar mempersilahkan. Namun ditunggu-tunggu gadis itu tak muncul lagi. Sibuklah pemuda itu menanyakan kemana perginya dara itu.
Namun tak seorang pun pelayan kedai itu mengetahui kemana lenyapnya gadis itu. Akhirnya setelah berputar-putar mencari keliling pasar tak bertemu, Nanjar mengambil keputusan untuk tetap meneruskan perjalanan menuju ke gunung Naga Inten seorang diri.
Saat itulah diam-diam Kecubung Wungu alias si Naga Betina Baju Merah membuntuti Nanjar. Dara ini bergirang karena adik seperguruannya menuruti perintahnya. Dia yakin Kecubung Sari tentu telah lebih dulu pergi ke gunung Naga Inten dan sengaja meninggalkan Nanjar dikedai pasar itu.
Tak disangka setelah dia berhasil merobohkan Nanjar, akan tetapi kini justru dialah yang berbalik dipedayai oleh pemuda itu. Dugaannya mulai lain terhadap adik seperguruannya. Karena pemuda ini telah mengenal nama Kecubung Sari sang adik seperguruan, yang mereka rahasiakan.
"Pasti si Kecubung Sari telah mengatakan juga namaku yang sebenarnya. Dan, jangan-jangan dia telah kecantol hatinya dengan pemuda kumal ini. Aku curiga, lenyapnya Kecubung Sari bukan mendahului pergi ke puncak gunung Naga Inten, tapi sengaja mengatur rencana agar aku tak mencurigai hubungan mereka!" berkata Kecubung Wungu dalam hati.
"Kau hanya berpura-pura saja tak tahu kemana lenyapnya adik seperguruanku, padahal kalian berdua telah sekongkol untuk mengelabui aku?" Bentak Kecubung Wungu dengan gigi berkerot.
"Haiiih! sekongkol bagaimana? Aku memang tak mengetahui kemana perginya adik seperguruanmu itu. Ketika kami makan dikedai dia minta izin ke belakang, tapi tak muncul lagi. Entah berapa kali aku memutari pasar mencarinya tapi tak bertemu. Selanjutnya aku terpaksa meneruskan perjalanan seorang diri. Aku tetap akan menuju ke gunung Naga Inten untuk mencari tahu kebenaran adanya benda mustika itu!" tutur Nanjar.
"Apakah kau tak berdusta?"
"Haha... buat apa aku bohong? Kukira tak ada gunanya!" sahut Nanjar.
"Baik! aku percaya dengan kata-katamu!" berkata Kecubung Wungu dengan wajah menampakkan berseri. "Lalu apakah kau masih tetap berambisi untuk memiliki pedang mustika itu, walau aku sudah mengatakan isu itu belum pasti? Karena kalau memang guruku memiliki benda itu mustahil dia tak memberitahukan pada murid-muridnya! Kukira itu tipu muslihat licik si pengemis pincang! Tapi kau malah menolak untuk kuajak mencari manusia itu. Bahkan kau lebih cenderung untuk pergi ke gunung Naga Inten bersama Kecubung Sari!"
"Hm, jadi kaulah yang mengatur rencana agar adik seperguruanmu menggagalkan niatku untuk mengunjungi puncak gunung Naga Inten?" terka Nanjar tiba-tiba setelah tercenung sejurus.
"Benar! Puncak Gunung Naga Inten tak dapat dikunjungi orang luar tanpa seizin guruku!" sahut Kecubung Wungu tegas.
"APAPUN larangan itu kalau para kaum persilatan telah menyatroni puncak gunung Naga Inten, apakah yang mau kalian guru dan murid perbuat?" berkata Nanjar.
"Mereka akan merasai akibatnya! Karena telah mengusik ketenangan di tempat orang lain! Guruku takkan membiarkan orang luar berbuat seenaknya dipesanggrahan tempat tinggalnya!" sahut Kecubung Wungu.
"Gurumu si Pendekar Wanita Hati Suci tentu seorang yang berkepandaian tinggi! Tapi mampukah dia mempertahankan diri bila ratusan manusia yang berhasrat memiliki Pedang Mustika Naga Merah mengeroyoknya?" Pertanyaan Nanjar kali ini tak mendapat jawaban. Kecubung Wungu terdiam membisu.
"Itulah sebabnya aku lebih cenderung pergi ke puncak gunung Naga Inten ketimbang mencari si Pengemis Pincang, karena aku yakin pertumpahan darah saat inipun telah terjadi disana? Aku tak begitu berambisi untuk memiliki benda mustika itu, akan tetapi pertumpahan darah itulah yang kukhawatirkan! Mengenai si Pengemis Pincang itu tak usah dicaripun dia akan munculkan diri di puncak gunung Naga Inten! Bahkan saat ini aku dalam perjalanan ke sana adalah dengan petunjuk si Pengemis Pincang yang memberi petunjuk jalan melalui kiriman suara tenaga dalam jarak jauh ke telingaku!"
Mendengar penuturan Nanjar itu Kecubung Wungu jadi membelalakkan mata menatap Nanjar. Sungguh dia tak menyangka kalau pemuda itu berniat baik. Akan tetapi karena rasa "kecemburuannya" pada sang adik seperguruan membuat dia curiga dan membenci pemuda itu.
Diam-diam dalam hati dia menyesali tindakannya. "Ah, dia telah berbaik hati menolongku dan adik seperguruanku dari tangan si Iblis Muka Hitam. Bahkan dia berniat pula melindungi kami, guru dan murid dari ancaman bahaya akibat fitnahan si Pengemis Pincang. Bukannya berterima kasih, aku malah membuat tindakan yang tak terpuji. Sungguh aku seorang yang tiada berterima kasih!" Tercenung Kecubung Wungu tanpa berkata-kata, bahkan tak tahu apa yang akan diperbuatnya.
Nanjar seperti dapat membaca isi hatinya, tiba-tiba tertawa dan berkata. "Setiap manusia bisa saja berbuat tindakan yang keliru, tapi punya alasan penyebab kekeliruannya. Kalau kau dapat mempercayai kata-kataku dan menganggapku seorang sahabat, tentu aku akan membebaskanmu. Tapi kalau kau tetap keras kepala dan membandel dengan pendirianmu, aku akan meninggalkan kau disini dalam keadaan masih tertotok!"
Kecubung Wungu masih tetap tak menyahut. Akan tetapi dalam benaknya berkecamuk peperangan antara dua kekuatan yang hebat. Antara keangkuhan dan kerendahan. Mampukah dia mengalahkan keangkuhan hatinya sendiri? Bila dia mengakui kekeliruannya akan dengan mudah saja dia bebas dari totokan. Mengakui pemuda itu sebagai seorang sahabat tidaklah sukar baginya. Akan tetapi betapa rendahnya dirinya dimata laki-laki.
Dia murid seorang perempuan tua kosen dari puncak gunung Naga Inten harus mengakui kebodohannya didepan laki-laki yang telah mempecundanginya? Betapa memalukan sekali! Ternyata dia tak mampu menundukkan kekerasan hatinya. Dan hatinya berkata.
"Dia memang telah menolongku, tapi aku toh tak meminta pertolongan dengannya. Dia menyuruhku mengakui dirinya sebagai sahabat, tapi aku belum bisa menduga apa maksud tujuan dibelakangnya! Jangan-jangan si Pengemis Pincang itu sahabatnya sendiri!"
Dengan pendapat itu maka Kecubung Wungu segera menjawab tegas. "Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! kalau kau mau meninggalkan aku tinggalkanlah! Siapa sudi mengemis padamu?"
Nanjar jadi melengak mendengar kata-kata dara itu, dan menghela napas. "Haiiih! baiklah kalau begitu! Aku harus segera tiba di puncak gunung Naga Inten. Oleh karena itu terpaksa aku meninggalkanmu!" berkata Nanjar. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat melompat pergi. Mendadak dia berhenti seraya berpaling. "Eh, ini jarum perakmu kukembalikan!"
Dua batang jarum perak itu meluncur deras ke arah Kecubung Wungu yang tak bergerak. Gadis ini cuma bisa mendengar suara angin halus meluruk ke arahnya dan sinar perak yang berkelebat. Dia cepat pejamkan menunggu kedatangan maut. Karena dua batang jarum itu kalau menembus ke jantungnya tetap saja akan mendatangkan kematian.
Terasa dua urat darahnya kena tertancap jarum perak miliknya itu. Dia mengeluh dalam hati. Tamatlah riwayatku. Akan tetapi tunggu punya tunggu bukannya rasa sakit dari sekarat yang dialaminya, melainkan dia merasa jalan darahnya merasa lancar kembali. Tanpa menunggu lebih lama dia mencoba bergerak.
Terkejutlah dia karena mengetahui dirinya telah terbebas dari pengaruh totokan! Tak ayal dia telah melompat bangkit berdiri. Ketika dia menoleh ke arah Nanjar, ternyata pemuda itu telah tak kelihatan lagi batang hidungnya.
"Ahh..., dia itu orang macam apakah? Mengapa malah membebaskan aku?" desisnya terperangah. Namun dengan cepat dia segera mencabut dua batang jarum perak ditubuhnya. Dijentikkan jarum itu yang berdesir lenyap di semak belukar. Dan tanpa menoleh lagi dia segera enjot tubuh untuk melompat pergi dari situ. "Aku harus segera menyusul ke puncak gunung Naga Inten!" berkata Kecubung Wungu dalam hati. Sekonyong-konyong dia amat mengkhawatirkan keselamatan gurunya dan adik seperguruannya Kecubung Sari.
Sementara itu Nanjar alias si Dewa Linglung tanpa menoleh lagi terus berkelebat menuju arah timur dengan mempergunakan ilmu lari cepat. Hingga cuma kelebatan bayangan putih saja yang terlihat.
Menjelang dua kali penanak nasi barulah Nanjar memperlambat larinya. Dihadapannya telah terlihat sederetan pegunungan yang memanjang. Pada bagian sebelah barat pegunungan tampak menjulang gunung Naga Inten yang tak seberapa tinggi.
"Itukah gunung Naga Inten?" menggumam Nanjar pada dirinya sendiri. Sementara dia telah injakkan kakinya dikaki perbukitan. Nanjar melompat ke sebuah batu besar. Disana dia berhenti dengan menengadahkan kepala memandang puncak gunung Naga Inten yang tampak tenang.
"Puncak gunung itu tampak tenang kelihatannya, tapi entahlah apa yang terjadi saat ini disana!" berdesis si Dewa Linglung. Ketika dia tengah tercenung itu mendadak telinganya kembali mendengar suara si Pengemis Pincang.
"Heheh... Dewa Linglung! Segeralah kau mendaki puncak gunung itu. Apakah kau mau keduluan orang lain untuk memiliki Pedang Mustika Naga Merah? Saat ini telah lebih dari tiga puluh kaum persilatan dari dua aliran yang telah berkumpul disekitar puncak gunung Naga Inten!"
"Heeeiii! Pengemis Pincang! Sekali lagi kuharap kau unjukkan tampangmu biar aku tak penasaran! Mengapa kau selalu saja menggunakan ilmu bicara jarak jauh saja?" teriak Nanjar.
Terdengarlah suara sahutan si Pengemis Pincang. "Nantipun kau akan mengetahui! Apakah kau masih belum yakin adanya benda pusaka itu ditangan si Pendekar Wanita Hati Suci?"
"Bagaimana aku bisa meyakinkan kalau kedua mataku belum melihatnya sendiri!" teriak Nanjar menyahuti pertanyaan si Pengemis Pincang yang cuma terdengar suaranya saja tanpa diketahui dimana orangnya.
"Heheheh... heheh... segeralah kau ke sana. Sebentar lagi akan terjadi pesta maut. Silahkan kau mau menjadi penonton ataukah mau turut serta dalam perebutan benda mustika itu!" terdengar lagi suara menyahut tokoh misterius itu. Selanjutnya kembali senyap.
Nanjar menggaruk-garuk pantatnya. Dia merasa agak mendongkol karena si pengirim suara tak mau unjukkan diri. Selang sesaat Nanjar segera berkelebat mendaki perbukitan itu untuk ke arah puncak gunung Naga Inten.
DI PUNCAK GUNUNG NAGA INTEN. Pendekar Wanita Hati Suci seorang wanita tua yang berusia antara 50 tahun. Dalam usia sedemikian itu tidaklah seperti kebanyakan kaum wanita akan mengalami penyusutan tubuh secara, drastis, tetapi Pendekar Wanita ini seperti seorang wanita yang baru berusia 30 tahun.
Kulitnya masih kencang dan berisi. Dia seorang wanita berkulit putih. Berparas cantik walau ketuaannya telah membayang sedikit kerut di wajahnya. Rambutnya tergelung diatas kepala memakai tusuk konde perak.
Wanita yang berpakaian jubah warna putih itu berdiri tegak didepan pintu pesanggrahannya. Ditangannya tercekal segulung kertas kain bertulisan yang baru saja dibacanya. Wanita tua ini seperti tengah tercenung beberapa saat membaca surat yang panjang itu. Seperti kurang yakin dia kembali mengulang membaca isi surat itu. Ternyata isi tulisan itu berbunyi:
"Pendekar Hati Suci! Kotak kayu Cendana titipanku pada dua puluh sembilan tahun yang lalu, aku yakin kau masih menyimpannya dengan baik. Peti kayu Cendana itu berisikan sebuah benda yang kuberikan padamu sebagai suatu tanda-mata dariku. Dari seorang yang amat mencintaimu! Sebagai tanda CINTAKU padamu.
Sayang, kau selalu menolak cinta suciku sejak tiga puluh tahun yang silam! Karena kau mengetahui aku seorang pembunuh bayaran dinegriku! Karena kau mengetahui aku seorang penjahat yang telah banyak melakukan dosa! Tapi aku tahu bahwa sebenarnya kaupun mencintaiku! Sayang hatimu terlalu keras.
Kau bersedia menerimaku setelah aku mencuci bersih dosa-dosa yang kulakukan. Dan untuk semua itu kau memberi waktu padaku selama tiga puluh tahun, baru kau yakin aku telah mampu mencuci semua dosaku!
Waktu yang kau berikan itu teramat panjang, dan sungguh membuat aku hampir gila memikirkannya. Tapi demi kesucian cintaku aku bersedia menerima persyaratan yang gila itu. Kukatakan gila karena kau berbeda dengan batas wajahnya semua perempuan yang pernah kukenal. Tapi kau punya kelebihan yang amat luar biasa yang amat kukagumi! Itulah yang membuat aku tertarik padamu.
NILAM SARI...! Selama hampir tiga puluh tahun seusai dengan keinginanmu, aku telah banyak merobah jalan hidupku. Aku tidak lagi menjadi seorang pembunuh bayaran yang banyak melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Aku telah membasuh dosa-dosaku dengan banyak berbuat kebaikan!
Akan tetapi terlalu banyak manusia yang menginginkan jiwaku. Hingga aku terpaksa harus menyembunyikan diri. Bahkan untuk mewujudkan cita-citaku aku telah mengorbankan diriku. Kini aku telah menjadi seorang yang lumpuh!
Kutuliskan surat ini disaat aku tak berdaya. Aku dalam keadaan lumpuh, juga mengalami keracunan hebat! Semoga surat ini bisa sampai ditanganmu secepatnya. Kukirim surat ini melalui burung Merpati peliharaanku yang telah mengetahui tempat kediamanmu sejak aku sering bolak-bolak kemari pada waktu-waktu yang silam.
Pesanku, jagalah baik-baik benda tanda-mata dariku itu. Kau belum pernah membukanya bukan? Aku percaya, karena kau baru akan membukanya bila telah genap 30 tahun sejak kuberikan benda kenang-kenangan dariku itu. Akan tetapi akan kuberi tahu bahwa peti kayu Cendana itu adalah berisi sebuah pedang yang bernama PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH!
Sayang, adanya benda itu ditanganmu telah bocor dan diketahui seseorang. Kebocoran itu akan membawa malapetaka besar. Sebaiknya kau tinggalkan tempat kediamanmu dan pergi menyembunyikan diri. Karena dunia persilatan akan gempar dengan berita yang telah dibocorkan seseorang itu. Dialah orang yang membuat aku menjadi menderita begini!
Aku tak dapat mengatakan siapa adanya manusia yang membuat cita-citaku berantakan itu! Tapi kelak kau akan mengetahuinya. Mungkin sesampainya surat ini ditanganmu aku sudah mati! Tapi anggaplah aku masih hidup, dan Pedang Mustika Naga Merah itu adalah pengganti diriku!"
KEKASIHMU
THIOBUNKIM (JAKA BUNTARAN)
Mengulang membaca gulungan surat itu tampak sepasang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Dia menghela napas panjang seperti dadanya tertekan oleh satu perasaan yang menindihnya. Surat itu baru diterimanya kemarin, sepekan setelah kepergian kedua muridnya turun gunung.
"Aku tak dapat pergi dari sini. Apalagi Kecubung Wungu dan Kecubung Sari belum pulang. Entah siapakah manusia yang telah membuat keonaran itu?" bergumam si Pendekar Wanita Hati Suci. Lengannya mengepal keras. Bibirnya bergetar. Dia berusaha agar air matanya tidak meleleh turun. Lalu cepat-cepat gulungan surat itu dimasukkan ke celah jubah putihnya.
"Pedang Mustika Naga Merah itu masih tersimpan baik dikotak kayu Cendana itu yang kusembunyikan ditempat rahasia. Bahkan kedua muridku pun tak mengetahui. Aku akan menjaganya, kakak Bun Kim. Aku akan menjaga dan mempertaruhkan nyawaku demi cintaku padamu! Tak seorang manusiapun yang akan dapat memiliki benda tanda cinta-kasihmu itu selama aku masih hidup!" berkata pelahan wanita yang bernama Nilam Sari itu, seolah membisik ditelinga kekasihnya.
Akan tetapi baru saja dia membalikkan tubuh untuk masuk keruang dalam pesanggrahan, mendadak dia merandek. Telinganya mendengar suara langkah-langkah kaki yang mendekati puncak gunung Naga Inten itu.
Panca indra si Pendekar Wanita Hati Suci memang hebat. Dalam jarak yang cukup jauh dia telah mendengar adanya orang-orang yang mendatangi puncak gunung itu. Memang benar seperti yang diduganya, karena disekeliling lereng gunung mendekati puncaknya tampak puluhan manusia seperti tengah berlomba saling mendahului mendaki gunung Naga Inten.
Merekalah orang-orang kaum Rimba Hijau yang telah berdatangan menyatroni puncak gunung itu, karena mendengar desas-desus adanya sebuah pedang mustika di puncak gunung Naga Inten yang dimiliki oleh si Pendekar Wanita Hati Suci.
Bukan saja dari golongan hitam, akan tetapi dari golongan putih pun telah bermunculan ditempat itu, bagaikan semut-semut yang mencium bau gula, karena saat itu berita telah menyebar begitu cepat. Belum sampai sepekan saja, tiga puluh orang lebih telah bermunculan disekitar lereng gunung itu.
Tak dapat disangkal lagi, puncak gunung Naga Inten akan menjadi kancah pertarungan adu jiwa, memperebutkan pedang mustika itu. Mendengar namanya saja telah membuat orang membeliakkan mata. Dan rasa ingin tahu rata-rata pasti ada bila yang mendengar adalah golongan kaum persilatan.
Bagi orang kaum Rimba Hijau golongan tua lebih-lebih lagi. Nama Pedang Mustika Naga Merah pernah terdengar diwilayah Tiongkok yang pernah dimiliki oleh seorang Kaisar pada zaman Kerajaan Sam Kok, yang dikenal dengan nama asing KIAM HOAT ANG LIONG!
Entah bagaimana sampai bisa berada ditangan Thio Bun Kim yang mengembara ke Tanah Jawa belum terungkap kisahnya. Namun pada kenyataannya pedang mustika itu didesas-desuskan berada di tangan si Pendekar Wanita hati Suci yang berdiam di puncak Gunung Naga Inten. Siapa pula sebenarnya Nilam Sari alias si Pendekar Wanita Hati Suci itu?
Dia tak lain masih keturunan seorang Kaisar dari negeri Tiongkok, yang hidup diluar istana tersia-sia bercampur dengan rakyat jelata. Nama sebenarnya adalah Lam Su Nio. Dia diambil murid oleh seorang pendekar dari satu negeri diwilayah barat Tiongkok, yang kemudian membawanya mengembara ke setiap tempat.
Gadis Lam Su Nio akhirnya bertemu dengan Thio Bun Kim yang menjadi seorang penjahat nomor wahid, seorang pembunuh bayaran yang ditakuti. Nama Thio Bun Kim lenyap sejak tiga puluh tahun yang lalu, karena laki-laki berkepandaian tinggi itu telah berganti nama menjadi JAKA BUNTARAN. Demikianlah sekelumit riwayat yang dapat dikemukakan secara singkat.
BELUM lagi si Pendekar Wanita Hati Suci mengejapkan mata, telah terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang diiringi dengan berkelebat muncul tiga sosok tubuh.
"Hehehe... nenek tua jelita Pendekar Hati Suci, selamat berjumpa dengan kami si Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara! Agaknya suatu hal yang sangat kebetulan karena kami datang terlebih dulu!"
Tersentak kaget wanita tua ini melihat tiga manusia berjubah merah bertubuh bungkuk dengan kepala gundul plontos telah berdiri dihadapannya dimuka pesanggrahan. Si Pendekar Wanita Hati Suci kerutkan kening menatap ketiga tetamunya yang tak diundang.
"Hm, ada maksud apakah kalian tiga manusia busuk pengotor dunia datang ke tempatku?" berkata wanita ini dengan suara dingin. Walaupun telah mengetahui maksud tujuan ketiga manusia golongan sesat ini, diam-diam pendekar tua ini terkejut karena munculnya tiga tokoh hitam yang berilmu tinggi dan berwatak kejam dari wilayah tenggara itu. Juga terkejut karena khabar itu begitu cepat, hingga tak sempat lagi untuk dia berpikir lebih jauh.
"Heh heh heh.... sebaiknya kami tak perlu berpanjang lebar, nenek tua Pendekar Hati Suci! Kau tentu sudah maklum dengan kedatangan kami. Pedang Mustika Naga Merah yang berada padamu itulah yang membuat kami muncul di tempat kediamanmu. Sebaiknya lekas kau berikan saja benda pembawa malapetaka itu pada kami, dan kau akan terhindar dari bencana! Karena tak lama lagi akan bermunculan manusia-manusia yang mengi-ngini benda itu untuk merebutnya! Kau tak akan sanggup mempertahankannya!" berkata salah seorang dari Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara.
"Siapakah yang mengatakan bahwa benda pusaka berada ditanganku?" bertanya wanita ini.
"Berita sudah menyebar dari mulut kemulut, tak tahu lagi dari siapa asalnya! Kukira hal itu tak penting, tapi justru nyawamulah yang amat penting. Dari pada akhirnya toh kau takkan dapat mempertahan benda mustika itu, lebih baik dari sejak awal kau berikan benda itu pada kami!" menyahut orang tertua dari Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara.
"Huh! begitukah caramu memberi saran? Siapa sudi dengan saranmu? Begitu besarkah nama Setan Bungkuk dari Tenggara hingga harus aku menuruti perintah kalian?" membentak dingin si Pendekar Wanita Hati Suci. Jelas dia begitu tersinggung dengan kata-kata ketiga orang itu. Sebaliknya ketiga laki-laki dihadapannya sudah tak sabar untuk bertindak.
"Hm, kalau begitu terpaksa kami akan memaksamu untuk memberikan benda itu!" diiringi kata-katanya, dia memberi isyarat pada kedua kawannya. Dan serentak mereka telah menghambur ke arah wanita itu.
"Kalian akan meringkus diriku? heh? jangan mimpi!" bentak si Pendekar Wanita Hati Suci. Tubuhnya mendadak mencelat keluar dari ruangan pesanggrahan. Akan tetapi tiga lengannya telah mendahului tiba dan lakukan serangan. Tiga pasang lengan mencengkeram ke arah tubuh wanita tua ini.
Akan tetapi dengan gerakan gesit wanita tua ini telah menghindar dengan egoskan tubuhnya bagai liukan ular. Bahkan secara mendadak sepasang lengannya bergerak menepis. Hebat gerakan itu, karena segera membersit angin keras ketiga jurusan menerpa lawan.
Kelihatannya wanita itu biasa saja gerakan tepisan lengannya. Tapi akibatnya tiga laki-laki itu harus gulingkan tubuh mereka karena bersitan angin itu telah membuat masing-masing lengan jubah mereka koyak. Dapat dibayangkan kalau yang terkena itu kulit mereka, tentu akan terkelupas.
Sesaat mereka tertegun setelah berhasil menghindari serangan wanita kosen itu. Barulah mereka menyadari kalau lawannya bukan lawan yang enteng.
"Bagus! Kami ingin mencicipi kehebatan Pendekar Hati Suci. Segera bersiaplah kau, nenek tua!" membentak salah seorang dengan mengejek. Dan mendadak ketiganya mencelat saling susul menerjang dari tiga jurusan.
Inilah jurus-jurus andalan si Tiga Setan dari Tenggara yang digunakan untuk menghadapi lawan tangguh. Pendekar Wanita Hati Suci terkejut karena setiap kali bayangan bergerak, selalu lenyap bila dia menghantam dengan pukulannya. Dan muncul lagi disaat dia menarik serangan. Hingga muncul dan lenyapnya ketiga lawan itu membingungkan si pendekar wanita ini.
Jurus Bayang-bayang Setan Serabutan ini membuat si wanita tua itu berkelebatan kesana-kemari mengejar dan menghantamkan pukulannya. Namun selalu menemui tempat kosong. Bahkan tak lama terdengar suara tertawa yang membaur disekelilingnya mengacaukan perhatian. Mendadak tiga gelombang angin dingin menggebu menerjang tubuhnya dari tiga arah. Disusul dengan tiga larik sinar merah, hijau dan kuning berkelebatan ke arahnya.
"Keparat!" membentak si Pendekar Wanita Hati Suci. Lengannya bergerak menyambar benda dibalik pakaiannya. Dan... Whussss! Selarik sinar putih berkelebatan bergerak melingkar bagai gerakan baling-baling menyilang.
Bret! bret! bret!
Terdengar suara jubah sobek beberapa kali disusul dengan teriakan ngeri Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara. Tubuh mereka terlempar ketiga jurusan, dan roboh berkelojotan dengan berteriak-teriak parau. Tak lama mereka terkapar dengan darah membanjir dari luka menganga pada leher yang terkoyak mengerikan. Dan tak berkutik lagi.
Sementara si Pendekar Wanita Hati Suci berdiri tegak tak bergeming. Ditangannya tercekal sebuah kipas perak yang ujung-ujung berbentuk mata pisau. Tampak pada tiap ujung mata pisau itu percikan darah. Nyatalah kalau senjata itulah yang telah merenggut nyawa si ketiga Setan Bungkuk dari Tenggara! Pendekar Wanita Hati Suci tutupkan lagi kipas mautnya, dan selipkan lagi benda itu dibalik jubah.
Saat itu terdengar suara bentakan dari empat jurusan. "Pendekar Wanita Hati Suci! Serahkan pedang Mustika Naga Merah padaku kalau kau tak ingin kehilangan nyawa!"
"Benar! Apakah dengan kematian si Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara kau telah terbebas dari ancaman?"
"Serahkan saja benda mustika itu padaku si Iblis Tengkorak Darah! kau akan aman!"
"Hohoho... aku orangnya yang lebih pantas untuk memiliki Pedang Mustika Naga Merah!" berkata orang terakhir yang melompat ke hadapan si Pendekar Wanita Hati Suci. Dialah seorang yang bertubuh jangkung gede mirip raksasa. Memang sesuai pula dengan julukannya karena orang ini berjulukan si Raksasa Bromo.
Selain si Iblis Tengkorak Darah yang mirip jerangkong berjubah hitam, berkedok tengkorak warna merah, terdapat dua orang laki-laki kembar yang berkepala gundul/plontos. Dialah yang berjulukan si Dewa Muka Kembar. Tokoh dari wilayah timur.
Melihat ditempat kediamannya bermunculan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi itu membuat si Pendekar Wanita Hati Suci jadi melengak. Mau tak mau dia membathin dalam hati. "Hari ini adalah hari yang menentukan hidup matiku! Tapi juga hari ini aku harus mempertaruhkan jiwaku demi kesetiaanku pada kakang Jaka Buntaran. Seandainya Pedang Mustika itu harus jatuh juga ke tangan musuh, aku sudah tak melihat dunia ini lagi! Akan tetapi sedapat mungkin aku ingin mati terkubur dengan benda mustika itu. Ya, itulah kuinginkan. Tak seorangpun kuperkenankan menjamahnya, juga kedua orang muridku! Pedang Mustika Naga Merah pembawa malapetaka ini biarlah terkubur bersamaku!"
Demikianlah diam-diam si Pendekar Wanita Hati Suci telah mengambil keputusan untuk mati terkubur bersama benda mustika pemberian kekasihnya. Betapa luhurnya cinta Nilam Sari alias si Pendekar Wanita Hati Suci untuk mempertahankan pedang mustika itu, demi amanat Jaka Buntaran yang telah berhasil memenuhi syarat-syarat permintaannya untuk memupus dosa lama tiga puluh tahun. Tapi sayang semua itu harus ditebus dengan darah dan nyawa....
PADA saat itu pula berlompatan belasan sosok tubuh dari setiap penjuru puncak gunung. Dan dalam beberapa saat saja ditempat itu telah berkumpul puluhan manusia yang rata-rata orang persilatan.
"Huh! tak seorangpun diantara kalian yang akan dapat menjamah benda mustika itu, selama nyawa masih melekat dibadanku!" membentak wanita kosen ini. Selarik sinar perak berkelebat, dan ditangan Pendekar Wanita Hati Suci telah tercekal kipas peraknya yang mengandung maut!
Melihat demikian keempat laki-laki pengurungnya itu menindak mundur. Serentak masing-masing telah mencabut senjatanya. Sepasang senjata si Dewa Muka Kembar yaitu seutas rantai yang pada ujungnya mempunyai roda bergerigi menyambar ke arah pinggang wanita itu, seraya salah seorangnya membentak.
"Kami si Dewa Muka Kembar akan memaksamu!"
Whrrrrr! Wherrrr! Whussss!
Dua roda maut yang meluncur berdesing ke arah pendekar wanita itu tertolak mental ketika wanita kosen ini gerakkan kipasnya menangkis.
Trang! Trang!
Dua roda maut itu terpental balik. "Kalian mencari kematian!" bentakan nyaring si Pendekar Wanita Hati Suci disusul dengan berkelebatnya tubuh wanita itu enam tombak. Saat mana senjata gaetan baja yang ujungnya menyerupai gergaji, senjata maut si Iblis Tengkorak Darah menyambar ke arah leher. Bahkan saat itu pula sebuah tongkat dan selarik sinar biru dari arah kiri menyambar pula ke arah wanita pendekar ini. Ternyata dua orang dari para pengepung itu telah lakukan serangan.
Dikeroyok begitu rupa wajah si Pendekar Wanita Hati Suci berubah tegang. Dia harus mengkonsentrasikan segenap ilmu dan kemampuannya. Kipas peraknya kembali melingkar bagai naga menggeliat, sementara lengan jubah menyambar ke arah kiri, dan ujung kaki membarengi lakukan tendangan maut dibarengi bentakan nyaring.
Penyerang bertongkat itu seorang laki-laki berkulit ular berambut kaku macam ijuk. Dialah si Ular Sanca. Ujung tongkatnya mengandung racun ganas. Sejengkal lagi ujung tongkat laki-laki ini menyentuh pundak lawan, mendadak dia menjerit ngeri ketika kibasan lengan jubah wanita itu membuat tongkatnya terlepas, dan tahu-tahu ujung kaki lawan telah menotol dadanya. Terdengar suara Kreeek!
Tak ampun lagi dia terjungkal roboh dengan tulang dada remuk. Sementara dilain penjuru terdengar suara mengaduh. Seorang penyerang terhuyung memegangi dadanya. Dia si penyerang bertombak yang kalah cepat oleh gerakan kipas maut si Pendekar Wanita Hati Suci. Kipas perak itu telah lebih dulu membeset kulit dadanya. Sementara senjata si Iblis Tengkorak Darah cuma mengenai tempat kosong.
Laki-laki ini sejenak terkejut, melihat larikan sinar biru menyambar dari arah samping. Nyaris mengenai tubuhnya ketika wanita tua itu berhasil mengelakkan diri. Si penyerang itu tak lain seorang kakek cebol yang mempunyai sepasang lengan panjangnya melebihi tubuhnya.
Tahulah dia kalau orang ini adalah si Lutung Sakti. Kesepuluh jari si Lutung Tua mempunyai kuku-kuku yang panjang berwarna biru. Larikan sinar biru itu adalah gerakan mencengkeram si kakek cebol. Tentu saja membuat si Iblis Tengkorak Darah terkesiap.
"Lutung Tua keparat! kau mau ambil bagian pula untuk memiliki pedang mustika itu?"
"Heheheh... peduli apa dengan urusanku? Siapapun boleh memiliki benda mustika itu!" menyahut si kakek cebol. Seraya menyahut, kakek cebol ini kembali luncurkan sebelah lengannya untuk menyambar leher si Pendekar Wanita Hati Suci yang baru saja menarik napas. Akan tetapi terdengar bentakan si Iblis Tengkorak Darah.
"Selama ada aku niatmu takkan kesampaian!" bentakan itu di dibarengi berkelebatnya senjata laki-laki itu menangkis menghalangi serangannya terhadap si wanita pendekar.
Trang! Terdengar suara benturan nyaring. Nyatalah kalau sepasang lengan kakek cebol itu terbuat dari baja. Hal itu membuat si Iblis Tengkorak Darah terkejut, karena setahunya lengan si Lutung Sakti sepasang lengan biasa. Senjatanya rompal, dan dia terhuyung beberapa tindak. Tahu-tahu sinar biru menyambar ke arahnya.
Kraak!... Breet!
Laki-laki ini menjerit mengerikan. Topeng tengkoraknya hancur berkepingan. Tubuhnya terbanting ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Ternyata mukanya ikut hancur. Tak lama tubuhnya telah kaku tak bergeming.
"Heheheh... nyalimu saja yang gede! Kau kira cuma kau yang punya kesaktian dikolong jagat ini?" memaki si Lutung Sakti.
Pada saat itu melompat sesosok tubuh ke hadapan si Lutung Sakti seraya berkata. "Eh, sobat! pedang mustika belum didapat mengapa saling bunuh dengan kawan sendiri?" Orang ini ternyata seorang laki-laki bertubuh jangkung. Ditangannya tercekal sebuah tombak trisula. Dialah orang yang berjulukan Harimau Jantan dari Utara.
"Peduli apa dengan urusanku? Si Iblis Tengkorak Darah ini punya hutang denganku. Dia tak mau membayar! Sudah begitu sombongnya setengah mati!" menyahut si cebol tua.
"Apa hutangnya?" tanya Harimau Jantan dari Utara ingin tahu. "Hutang sebelah telingaku yang putus disambar senjata gaetan mautnya!" sahut si Lutung Sakti seraya miringkan kepala menunjukkan sebelah telinganya yang lenyap sebuah.
"Kini hutangnya impas karena telah dibayar dengan nyawanya! heheheh...!" tertawa si Lutung Tua.
Akan tetapi saat itu terdengar teriakan. "Minggiir!"
Kedua orang ini melompat menepi. Sebuah bayangan berkelebat lewat. Itulah bayangan sesosok tubuh yang menerjang dari samping. Saat selanjutnya terdengar suara gemerincing. Sebuah jala menebar ke arah tubuh si Pendekar Wanita Hati Suci. Terkejut wanita ini melihat seorang laki-laki berbaju hitam menyeruak maju seraya berteriak. Dan tahu-tahu sebuah jala telah terbentang dihadapannya.
"Kena!" teriak laki-laki itu membarengi suara gemerincing rantai jalanya yang digunakan untuk meringkus si Pendekar Wanita Hati Suci. Akan tetapi saat itu angin keras menderu menyambar ke arahnya. Tiga sinar perak meluncur dari ujung kipas si Pendekar Wanita Hati Suci menimbulkan suara mencicit.
Tahu-tahu laki-laki ini menjerit parau. Dan terjungkal keras. Tubuhnya terlempar nyaris membentur tubuh si Lutung Sakti dan si Harimau Jantan dari Utara. Sesaat setelah meregang nyawa, tubuh si penyerang yang ternyata adalah si Jala Iblis diam tak berkutik. Menemui ajal dengan muka tertancap tiga jarum perak yang mengandung racun.
Pucatlah wajah si Cebol Lutung Sakti, karena ternyata si Jala Iblis itu adalah adik kandungnya sendiri, "Pendekar Hati Suci! Ternyata hatimu tidak suci! Kau telah mengotori tanganmu membunuh adikku. Maka terimalah kematianmu!" bentakan itu disusul dengan berkelebatnya tubuh si manusia cebol ini. Sepasang lengannya mencengkeram ganas ke arah leher. Gerakan melompat itu begitu cepat. Rasanya sangat sukar bagi si Pendekar Wanita ini untuk mengelakkan diri. Akan tetapi...
Trang!!
Kibasan kipasnya berhasil menangkis sebelah lengan si Lutung Sakti. Namun lengan yang satu telah meluncur deras ke arah dada kirinya.
Brreeet!
Terdengar suara baju terkoyak. Tubuh wanita ini berputar terhuyung. Tampak kulit dada wanita pendekar ini tersibak. Membuat payudaranya tersembul keluar. Dibarengi jeritan tertahan dia membuang tubuhnya ke samping. Akan tetapi sinar biru kembali meluncur. Cengkeraman kuku si cebol tua ini segera akan mengakhiri nyawa sang pendekar wanita karena dalam keadaan yang tak menguntungkan.
Akan tetapi mendadak tubuh si Pendekar Wanita Hati Suci melejit ke atas. Gerakan tak terduga itu membuat si cebol terperangah. Karena serangan mautnya lolos! Dan dilain saat jiwanyalah yang kini terancam. Sinar perak membersit membelah udara tepat diatas kepalanya.
Laki-laki cebol berjulukan si Lutung Sakti ini menengadah, tapi segera menjerit parau. Tubuhnya terjungkal. Urat lehernya putus terkoyak kena tabasan kipas maut sang pendekar wanita itu.
PULUHAN pasang mata membelalak melihat kematian si Lutung Sakti. Akan tetapi keadaan si Pendekar Wanita Hati Suci tidak ringan yang harus ditebus dengan nyawa laki-laki cebol itu. Sebelah payudara wanita ini membiru menampakkan lima guratan kuku dikulit buah dadanya. Wanita ini cepat menutupi auratnya dengan sebelah lengan. Sementara mulutnya menyeringai kesakitan. Dari sudut bibirnya menetes darah.
"Celaka! aku terluka kena goresan racun kuku si Lutung Tua itu! Aku harus menyelamatkan diri..." mendesis mulut si Pendekar Wanita Hati Suci. Sepasang matanya telah menjadi nanar, tubuhnya limbung. Mengetahui keadaan dirinya yang membayangkan bila dia harus melayani sekian banyak orang, dia berpikir cepat untuk menyelamatkan diri. Tak ayal segera dia balikkan tubuh melompat masuk ke dalam pesanggrahan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara. "Pendekar Hati Suci, aku punya obat pemusnah racun! Tanpa obatku jiwamu takkan ketolongan. Lebih baik kau tunjukkan dimana kau menyimpan Pedang Mustika Naga Merah. Kau titipkan saja benda itu padaku ditanggung aman!"
Mendengar suara itu si Pendekar Wanita Hati Suci merandek. Dia balikkan tubuh. Segera terlihat sesosok tubuh berkelebat masuk dan berdiri dihadapannya. Terkejut wanita ini mengetahui siapa adanya orang itu.
"Iblis Betina Pemakan Jantung" tersentak si Pendekar Wanita Hati Suci memandang dengan mata membelalak.
Manusia dihadapannya tertawa menyeringai. "Angin apa yang meniupmu hingga sampai ke tempatku?" bentak wanita Pendekar ini dengan melangkah mundur.
"Benda pusaka KIAM HOAT ANG LIONG itulah yang menarikku hingga aku sampai ke tempat ini!" menyahut orang itu.
Ternyata dia seorang wanita kurus berusia sekitar tiga puluhan tahun. Akan tetapi sebenarnya usianya tak jauh berbeda dengannya. Wanita ini berasal dari sebuah pantai pesisir Tiongkok. Dia bernama Sio Giok. Dari bekas raut wajahnya wanita ini dahulunya seorang yang berparas cantik. Bahkan bekas-bekas kecantikannya masih nampak pada wajahnya.
Nilam Sari alias Lam Su Nio segera mengetahui siapa adanya wanita ini. Dialah wanita yang tergila-gila pada Thio Bun Kim alias Jaka Buntaran. Namun tak pernah diladeni oleh Thio Bun Kim. Membuat wanita ini menjadi dendam pada Thio Bun Kim, dan mencari jalan untuk mencelakai laki-laki yang pernah dicintainya itu.
"Apakah orang yang dimaksud Thio Bun Kim yang telah menyebarkan berita adanya Pedang Mustika Naga Merah ditanganku itu adalah si perempuan sundal ini?" berkata dalam hati si Pendekar Wanita Hati Suci.
Saat mana Sin Giok telah ulurkan lengannya yang mencekal sebungkus benda. "Ini obat pemunah racun kuku si Lutung Sakti. Kau terimalah!" berkata wanita kurus berjubah kuning ini.
"Huh! siapa sudi pertolonganmu?" menjawab Nilam Sari ketus. "Kau datang bukan untuk menolongku, tapi justru mau membunuhku setelah kau dapatkan apa yang kau inginkan!"
"Hihihi... ditolong bukannya berterima kasih, tapi malah menuduh yang tidak-tidak. Apakah lebih berharga mana benda pusaka itu ataukah nyawamu?" berkata wanita kurus ini dengan tertawa mengekeh. Suaranya menyakitkan anak telinga, sember dan parau.
"Kedua-duanya!" sahut Nilam Sari cepat. "Hm, Iblis Wanita Pemakan Jantung! Jangankan manusia, iblispun tak akan percaya kau bisa berbuat baik pada manusia!" bentak Nilam Sari.
Dimaki demikian rupa merahlah wajah wanita ini. "Bagus! kalau begitu terpaksa aku gunakan kekerasan!" membentak wanita ini. Mendadak dia lemparkan bungkusannya ke arah Nilam Sari. Begitu benda itu menyentuh lantai, terjadilah ledakan keras yang menimbulkan asap tipis. Asap itu berbau harum yang memabukkan. Tapi detik itu segelombang angin menerpa menghalau asap itu diiringi bentakan.
"Perempuan iblis, kau mau mencelakai guruku?" Bersamaan dengan bentakkan nyaring itu berkelebat bayangan merah. Dan dihadapan si wanita kurus telah berdiri seorang gadis berbaju merah. Siapa lagi kalau bukan Kecubung Wungu, murid si Pendekar Wanita Hati Suci.
"Guru! cepat kau menyingkir, biar muridmu yang menghadapi siluman kurus ini!" berkata Kecubung Wungu. Tampak bayangan gurunya berkelebat masuk ke dalam pesanggrahan, dan gadis ini segera balikkan tubuh menatap si wanita kurus.
"Kalian datang beramai-ramai mau mengeroyok guru, apakah kalian bernyali pengecut? Jangan harap aku Kecubung Wungu si Naga Betina Baju Merah mau mengampuni nyawamu!" membentak dara ini. Dilengannya telah tercekal sebuah seruling berkepala Naga. Itulah senjata yang selama ini belum pernah dipergunakan untuk menghadap musuh. Tapi kali ini telah dipergunakannya.
"Hihihi... bagus! rupanya kau murid si nenek tua yang merebut kekasihku itu? Bagus! Kulit mukamu masih mulus. Biarlah kukuliti mukamu untuk pengganti kulit mukaku yang telah kendur!" tertawa mengekeh si wanita kurus.
Digertak demikian rupa Kecubung Wungu mendelik gusar. Tapi diam-diam dia terkejut karena wanita kurus itu mengatakan gurunya telah merebut kekasihnya? "Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan guruku?" membentak Kecubung Wungu.
"Hihihi... kau bocah kemarin sore tak perlu tahu urusanku!" berkata dingin wanita kurus itu. "Kalau kau mau tahu akulah yang berjulukan si Iblis Wanita Pemakan Jantung." Selesai berkata wanita kurus itu ulurkan lengannya menjambret ke depan.
Whuuut! Segelombang angin menerpa ketika ujung jari lengan wanita kurus itu nyaris mencengkeram dada Kecubung Wungu. Dorongan hebat itu membuat wanita kurus ini terkejut, karena tubuhnya doyong ke belakang. Saat itu terdengar suara membentak.
"Kuntilanak peot! kau hadapilah aku dulu!"
Disusul suara itu telah berkelebat muncul sesosok tubuh. Ketika Iblis Wanita Pemakan Jantung menoleh, segera terlihat seorang pemuda berbaju putih kumal berambut gondrong berdiri tegak sambil tertawa menyeringai bertolak pinggang dihadapannya.
"He? Siapa kau bocah kurang ajar?" bentaknya mendongkol, tapi terkejut melihat si penyerangnya seorang yang masih muda.
"Hehehe... Namaku Nanjar! Orang menjuluki aku si Dewa Linglung!" menyahut pemuda itu yang tak lain dari Nanjar adanya.
"Heh! kau monyet linglung! Kau membela bocah ini apakah kau pacarnya?" bentak si wanita kurus.
"Pacar atau bukan mengapa kau cemburu? Hehehe... aku cuma ingin tahu yang bagaimana ilmu orang yang menjuluki dirinya Iblis Wanita Pemakan Jantung? Jangan-jangan yang sering kau makan cuma jantung pisang!" sahut Nanjar seenaknya.
Mendelik mata Giok Lan si wanita kurus ini. "Heh! Jangan menyesal kalau jantungmu lah yang akan kukorek untuk sarapanku!" berkata dingin Giok Lan. Pada saat itu belasan orang telah memasuki pesanggrahan dengan berdesakan. Diantaranya ada yang berteriak-teriak.
"Hayo, jangan berkumpul disini, cepat kejar dia!" mereka adalah serombongan laki-laki berbaju biru. Sedangkan yang berteriak-teriak adalah laki-laki yang menjadi ketuanya. Ternyata mereka dari perkumpulan Partai Tombak biru, yang dipimpin oleh seorang ketuanya bernama Brangas Pati.
Tiga orang yang berada paling depan mendadak menjerit ngeri. Tubuh mereka terlempar dan jatuh berdebukan tak bangkit lagi. Ternyata tulang dadanya masing-masing telah remuk. Dan sesosok tubuh berdiri tegak dipintu pesanggrahan. Dialah si Raksasa Bromo.
"Kalian manusia-manusia keroco lebih lebih baik menyingkir! Jangan mimpi dapat memiliki benda mustika segala!"
Gemparlah kelompok Partai Tombak Biru melihat kematian ketiga kawannya. Terlebih lagi sang ketua bernama Brangas Pati itu.
MANUSIA sombong! Apakah kau kira cuma kau sendiri yang mau mengangkangi benda pusaka itu?" bentak Brangas Pati. Tubuhnya mencelat ke hadapan si Raksasa Bromo yang tinggi besar. Satu hantaman keras dilayangkan kedada laki-laki itu, diiringi bentakan. "Akupun sanggup meremukkan dadamu!"
Buk!
Terdengar suara kepala yang beradu dengan tulang dada. Akan tetapi segera terdengar suara melengking kesakitan. Tubuh si Raksasa Bromo masih tegak tak bergeming, karena dia tak mengelakkan serangan itu. Akan tetapi sebaliknya si penyerang justru terpental balik dengan meraung kesakitan.
Brangas Pati rasakan kepalanya menghantam besi. Hingga dia berteriak kesakitan sambil memegangi lengannya. Tampak lengannya telah berubah membiru. Akan tetapi tak lama dia segera hunus senjatanya. Sekali sentak senjata Tombak Biru bermata dua itu telah tercabut dari punggungnya.
"Manusia sombong! Apakah kulit dadamu sanggup menahan ketajaman mata tombakku?" berkata Brangas Pati.
"Majulah!" bentak dingin si Raksasa Bromo dengan sikap angkuh tak memandang sebelah mata.
Gusarlah Brangas Pati. Serta merta dia telah menerjang ke depan. Tombak Birunya meluncur deras mengarah ke dada lawan. Laki-laki bertubuh tinggi gede ini cuma menggeser tubuhnya sedikit. Secepat kilat lengannya bergerak menangkap ujung tombak. Dilain kejap berikutnya sekali sentak, tubuh Brangas Pati meluncur deras melebihi kecepatan tombaknya. Dan detik itu juga terdengar suara jeritan mengerikan. Darah menyembur memuncrat ketika ujung lengan si Raksasa Bromo amblas sebatas siku menembus perut Brangas Pati.
Raksasa Bromo ayunkan lengannya. Dan terlemparlah tubuh Brangas Pati keluar pintu pesanggrahan. Jatuh berdebuk dihadapan belasan orang yang berkerumun disitu. Keadaan menjadi kacau. Suara hiruk-pikuk terdengar dimana-mana. Karena saat itu juga telah terdengar bentakan di sana-sini dan terjadinya pertarungan yang semrawut.
Sementara Nanjar pun dalam keadaan bertarung menghadapi si Iblis Wanita Pemakan Jantung alias Giok Lan. Dibawah lereng gunung Naga Inten terlihat puluhan manusia tengah mendaki. Tampaknya bukan sedikit para tokoh Rimba Persilatan yang berdatangan ke puncak gunung.
Dapatlah dibayangkan bahwa pertumpahan darah akan lebih meluas lagi! Mereka seakan sudah tak menghargai nyawa orang lagi karena besarnya ambisi mereka untuk memiliki benda pusaka Pedang Mustika Naga Merah!
Giok Lan menghambur ke arah Nanjar serangan dahsyat. Belasan jarum menghambur diiringi hantaman pukulan tenaga dalam. Terkejut Nanjar. Untung dia bersikap waspada. Cepat dia berkelit melompat seraya kibaskan lengannya. Hawa dingin menyambar ke arah Gio Lan.
Hamburan jarum maut itu lolos, bahkan mengenai beberapa orang dibelakang Nanjar yang segera terdengar jeritan kematian. Sementara pukulan tenaga dalam wanita ini mendadak membalik keras menghantam ke arah dirinya. Dengan berteriak kaget dia jatuhkan tubuhnya berguling.
Bhlaar!
Pukulan itu lewat menghantam dinding pesanggrahan. "Keparat!" memaki wanita kurus ini. Matanya nyalang mengandung hawa kemara-han. Tiba-tiba dia kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Bertubi-tubi menghantam Nanjar dari segala jurusan. Jurus-jurus mautnya dipergu-nakan.
Namun yang dihadapi bukanlah pemuda sembarangan. Bahkan dengan berjingkrakan seperti kera melompat-lompat, Nanjar mengelakkan diri. Saat pertarungan itu terjadi mendadak telinga Nanjar mendengar suara yang dikenalnya menelusup ke telinganya.
"Bocah Linglung! mengapa kau turut bertempur? Hehehe, biarkan saja mereka saling baku hantam. Bukankah nanti kau akan memetik hasilnya? Orang terakhir yang berhasil memiliki Pedang Mustika Naga Merah itulah kelak bagianmu. Hingga kau tak berpayah-payah harus keluar tenaga bertarung dengan maut!"
Terhenyak Nanjar. Itulah suara si Pengemis Pincang yang membisiki di telinganya. Diam-diam sambil mengelakkan diri Nanjar putarkan matanya memperhatikan ke sekeliling mencari dimana adanya si Pengemis Pincang. Saat itu rupanya telah membuat dia agak lengah. Mendadak sang lawan telah mengirimkan hantaman keras dari arah samping.
"Aiiiih!" teriaknya kaget. Untung dengan gesit dia liukkan tubuhnya dengan jurus Siluman Ular Melilit Gunung. Loloslah dia dari bahaya maut. Merasa waktunya perlu dimanfaatkan, tiba-tiba Nanjar robah gerakan. Tubuhnya mendadak berkelebat ke arah belakang lawan.
Tentu saja Giok Lan putarkan mengikuti dengan lengan siap menghantamkan pukulan ganas! Tapi justru tubuh Nanjar tahu-tahu berguling ke arah kakinya. Dan secepat kilat ujung kaki Nanjar telah meluncur ke arah dada kiri.
Begitu cepatnya, hingga tiba-tiba wanita ini terdengar mengaduh. Tubuhnya doyong ke belakang. Saat itulah Nanjar melompat dan ulurkan tangannya menotok. Tak ampun lagi Giok Lan alias si Iblis Wanita Pemakan Jantung berteriak tertahan dan jatuh menggelosoh dengan tubuh tertotok kaku.
Tak menunggu lebih lama Nanjar segera melompat keluar dari dalam ruang pesanggrahan. Lalu berkelebat ke atas wuwungan rumah pesanggrahan itu. Diatas wuwungan dia celingukan memutar kepala memperhatikan sekitarnya.
"Pengemis Pincang! Mengapa kau belum juga unjukkan tampangmu?" Nanjar berteriak keras-keras karena mendongkol pada si Pengemis Pincang. "Apakah maksud sebenarnya dengan orang itu? Apakah dia menginginkan agar aku yang memiliki Pedang Mustika itu?" berkata Nanjar dalam hati. Sementara itu dia melihat puluhan orang telah menyerbu masuk ke dalam pesanggrahan.
Sesosok tubuh berkelebat diantara batu-batuan diatas puncak gunung membuat Nanjar gerakkan kakinya melompat dengan ilmu "terbang" ke arah sana. Tertegun Nanjar melihat seorang kakek berkaki satu berdiri tegak diatas batu besar. Kakek ini mengenakan topi tudung dikepalanya mencekal tongkat bercagak yang menempel diketiaknya. Tak perlu disangsikan lagi Nanjar sudah dapat menduga kakek berbaju tambalan itu adalah si Pengemis Pincang.
"Heheheh... selamat berjumpa bocah Linglung! Karena kau tak sabar untuk mengetahui siapa adanya aku, baiklah aku munculkan diri dihadapanmu!" berkata kakek bertudung ini.
"Hm, siapakah kau orang tua? bukalah topi tudungmu agar aku dapat melihat jelas siapa rupamu!"
Kakek ini tersenyum mendengar kata-kata Nanjar. Tapi dia segera membuka topi tudungnya yang menghalangi sebagian mukanya. Lagi-lagi Nanjar tertegun. Dan hampir saja dia memanggil "Ayah" pada kakek ini karena wajahnya amat mirip dengan Ki ANJAR SUBRATA.
"Heheheh... apakah kau mengenali diriku?" tanya si kakek.
"Kau mirip ayahku! Siapakah anda orang tua?" tanya Nanjar terheran.
Kakek itu kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Sudah kuduga kau akan terkejut. Dan kau pasti akan menyangka aku saudara kembar ayahmu Ki Anjar Subrata! Karena wajahku amat mirip dengan ayahmu! Bukan saja mirip akan tetapi persis, bukan? Nah kalau kau mau tahu aku memang ayahmu sendiri?" berkata si Pengemis Pincang.
"Tapi, tapi ayahku tidak pincang dan berkaki satu seperti kau?" sambar Nanjar terkejut. Dalam hati dia memang sudah menduga orang itu ayahnya, tapi ada kejanggalan, yaitu pada suara dan sebelah kakinya yang buntung.
"Hehehe... apakah kau anggap kakiku buntung sebelah?" bertanya kakek itu. Dengan sekali gerakan tahu-tahu kaki kakek itu telah terjulur keluar. Dan ternyata kedua kakinya masih utuh tanpa cacad. Nyatalah si kakek Pengemis Pincang itu cuma berpura-pura pincang. Dan segera saja suaranyapun berubah tidak parau lagi.
"Bocah Linglung! Apakah kini kau sudah yakin aku ayahmu?" tanya si Pengemis Pincang. Mau tak mau Nanjar jadi tertegun menatap tak berkedip.
"Kau... kau...? Mengapa kau lakukan hal seperti itu, ayah!?" sentak Nanjar tertegun. Kini memang dia yakin orang dihadapannya adalah Ki Anjar Subrata.
"Semua ini demi kau, anakku! Aku ingin kau memiliki Pedang Mustika Naga Merah! Aku ingin kau menjadi seorang jago diantara jago! Kau harus lebih unggul diantara semua orang yang datang ke puncak gunung Naga Inten ini! Dan Pedang Mustika Naga Merah harus jatuh ke tanganmu!" berkata si Pengemis Pincang yang ternyata Ki Anjar Subrata itu.
Mendengar kata-kata itu Nanjar jadi terlongong bagai orang dungu. Benarkah apa yang dikatakan ayahnya itu? Kalau benar, sungguh suatu hal yang amat mengerikan! Mengapa ayahnya menginginkan terjadi peristiwa saling bunuh di puncak gunung ini? Cuma karena sebuah pedang mustika nyawa-nyawa harus melayang menjadi korban! Terpaku Nanjar dalam kebingungan. Dia merasa tak mengerti dengan ambisi ayahnya yang demikian itu.
"Aku akan bangga kalau kau berhasil memiliki Pedang Mustika itu, anakku! Dan aku dapat mati dengan mata meram karena aku telah berhasil membuat dirimu menjadi seorang yang terkenal dimata kaum Rimba Hijau!" Berkata lagi Ki Anjar Subrata dengan suara tegas. Dan kembali, terdengar suara tertawanya terkekeh-kekeh.
AKAN tetapi tiba-tiba suara tertawa Ki Anjar Subrata putus, berganti dengan suara jeritan parau merobek udara. Disusul dengan robohnya tubuh kakek itu. Tubuhnya terbanting ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Nanjar tersentak kaget bagaikan dipagut kala-jengking. Dia melompat memburu ke arah tubuh Ki Anjar Subrata.
"Ayah!? ayah...!?"
Ki Anjar Subrata terkulai dalam pangkuan Nanjar. Darah bersimbah disekujur tubuhnya yang keluar dari tujuh buah luka tertancap tujuh belati tipis. Nanjar terbelalak menyaksikan kejadian mendadak itu. Siapakah yang telah menyerang ayahnya? Saat itu sebuah bayangan putih berkelebat dibalik batu-batuan. Hati Nanjar tersentak, dia membentak keras.
"Manusia pengecut! kaukah yang telah membokong ayahku?" bentakan Nanjar menggeledek. Tubuhnya melompat ke arah bayangan itu. Apa yang dilihatnya membuat matanya nanar. Karena sosok tubuh itu tak lain dari si Pendekar Wanita Hati Suci. Gerakan tubuh wanita itu berlari cepat agak limbung. Dia segera maklum kalau wanita itu memang dalam keadaan terluka.
Tak ayal segera dia mengejar. Sementara diam-diam dia berpikir dalam benaknya. Mengapa wanita itu dapat muncul disini? Segera dia dapat menduga kalau wanita itu melarikan diri melalui jalan rahasia yang menembus ke tempat itu.
Ilmu melompat Nanjar memang luar biasa. Dalam waktu beberapa saat saja dia telah berada dibelakang wanita itu sejarak lima-enam tombak. Baru saja Nanjar gerakkan tubuhnya melompat untuk menghadang, mendadak tubuh wanita itu lenyap dibalik tebing batu. Tak ayal dia segera memburu ke arah itu.
Namun bayangan tubuh wanita itu telah tak nampak lagi. Lenyap bagai ditelan bumi. "Kemana lenyapnya dia?" maki Nanjar dengan kecewa. Tak ada sebuah lubang goa pun berada disekitar situ. Tiba-tiba Nanjar teringat akan nasib ayahnya yang belum diketahui mati hidupnya. Mengingat demikian Nanjar segera melompat lagi kembali ke tempat semula. Didapatinya Ki Anjar Subrata dalam keadaan sekarat. Suaranya terputus-putus memanggil nama Nanjar.
Cepat Nanjar melompat mendekati. Dengan mata berkaca-kaca dia segera memangku tubuh ayahnya. Kepalanya diletakkan dipangkunya. "Ayah! ayah...! ini aku anakmu! Ayah! bukalah matamu..." berkata Nanjar dengan suara serak parau dilanda keharuan yang memenuhi dadanya.
"Anakku, Nanj... ar....! Heheheh... kau harus da... dapatkan Pedang.... Mus.. tika Na... ga... Merah... i...itu..."
Hanya kata-kata yang terlompat dari mulut Ki Anjar Subrata. Selanjutnya dengan wajah tersenyum dia memandang Nanjar. Pancaran matanya redup, kepalanya pun terkulai. Nyawanya putus meninggalkan raganya.
"Ayah...! Ayah!? A...ayahh....!" Suara Nanjar berpantulan menggema di sekeliling bukit-bukit batu. Di guncang-guncangkannya tubuh ayahnya yang telah tak bergeming dengan air mata bercucuran. Dipelukinya tubuh tua itu yang mulai terasa dingin.
Entah beberapa saat dia terisak-isak tenggelam dalam kedukaan. Hingga akhirnya diapun sadar bahwa tak ada gunanya semua itu. Kehidupan manusia suatu saat memang akan menemui kematian. Dan kematian adalah milik setiap manusia yang hidup.
Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya wajah sang ayah yang telah pucat kaku. Sepasang mata kakek itu masih terbuka seperti menatapnya penuh harap. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Nanjar terharu melihatnya. Diulurkannya lengannya mengusap muka mayat sang ayah, mata laki-laki tua itupun terkatup.
Nanjar bangkit berdiri. Sejenak dia mematung memandang ke depan dengan pandangan mata kosong. Tak lama terdengar suara helaan napasnya. Dan terdengar suaranya yang lirih menggumam. "Ayah, kematian memang milik setiap manusia yang hidup. Tapi kematianmu sungguh aku tak menyangka!"
Tak lama Nanjar telah balikkan tubuhnya untuk melangkah empat tindak. Matanya menatap ke tanah dihadapannya yang kira-kira lima langkah dari tempat dia berdiri. Tiba-tiba dia gerakkan lengannya menyilang dengan telapak tangan menghadap ke depan. Suara berkriutan terdengar. Tiba-tiba Nanjar gerakkan kedua belah telapak tangannya ke arah depan.
Whuuuk!....Blarrr...!
Terdengar suara ledakan keras. Tanah dan pasir menyemburat ke udara. Ketika lurukan tanah dan pasir itu habis, tampak terlihat sebuah lubang besar menganga dihadapannya. Sebuah lubang yang kira-kira bergaris tengah satu meter lebih. Sejenak Nanjar memandang pada lubang itu. Tapi tak lama dia segera putar tubuhnya untuk melompat mendekati jenazah ayahnya.
Tak menunggu waktu lebih lama lagi, Nanjar pondong tubuh sang ayah. Dibawanya mendekati lubang buatan itu. Lalu melompat kedalamnya. Didalam lubang itulah Nanjar membaringkan jenazah ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
Senja makin merayap, tatkala Nanjar mulai menguruk jenazah Ki Anjar Subrata dengan timbunan tanah. Tak lama selesailah pekerjaan menimbun jenazah itu. Dua bongkah batu digunakan sebagai batu nisan. Sesaat kemudian pemuda yang pernah dibesarkan di lereng gunung Rogojembangan itupun duduk bersimpuh dihadapan gundukan tanah yang masih basah itu.
"Ayah! Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu! Aku berjanji akan memenuhi permintaanmu, untuk mendapatkan Pedang Mustika Naga Merah! Semoga arwahmu tenang di Alam Baka! Aku akan mempergunakan Pedang Pusaka itu untuk membela kebenaran. Menegakkan kedamaian dibumi dengan menumpas kejahatan! Bukankah kau menginginkannya demikian, ayah!
"Aku bangga punya ayah semacam kau yang amat memperhatikan anaknya. Walau apa yang ayah lakukan itu sebenarnya banyak mengundang maut! Kau begitu inginkan aku bernama besar dikolong jagat ini. Semoga ambisimu yang kau tumpahkan pada anakmu ini terkubur dalam tanah!
"Aku tak menginginkan nama besar, ayah! Apa yang kulakukan adalah cuma berbakti pada orang tua. Dan apa yang akan kukerjakan adalah demi tegaknya panji kebenaran! Siapa tahu aku akan mati sebelum tercapai cita-cita itu? Semua itu ditangan Yang Maha Kuasa."
Selesai berkata, Nanjar bangkit berdiri dan lakukan penghormatan terakhir pada ayahnya yang sudah terbaring dalam tanah. Setelah menatap sebentar pada gundukan tanah itu, Nanjar balikkan tubuh, dan berkelebat pergi dari tempat itu...
Sementara itu pertarungan di pesanggrahan puncak gunung Naga Inten masih terus berlangsung. Korban-korban semakin banyak berjatuhan. Nyawa-nyawa melayang saling susul. Pertarungan semrawut itu karena masing-masing tak ingin yang lainnya menjadi saingan dalam perebutan Pedang Mustika Naga Inten.
Saat itu Kecubung Wungu merasa keadaan sudah menjadi kian gawat. Dia harus menyusul gurunya yang diketahui telah terluka parah terkena serangan si Lutung Sakti. Tak berayal lagi segera dia melompat masuk ke dalam pesanggrahan. Tak dihiraukannya lagi keadaan semrawut diluar pesanggrahan yang tengah saling baku hantam.
Pesanggrahan itu ternyata mempunyai ruang bawah tanah, yang hanya dia dan Kecubung Sari yang mengetahui. Melihat kamar gurunya kosong, gadis ini berpendapat sang guru telah menyelamatkan diri melalui ruangan bawah tanah. Segera dia berkelebat kesana. Melalui jalan rahasia yang sudah terbuka dia melompat masuk. Lalu cepat-cepat menutup pintu rahasia lagi.
Kecubung Wungu begitu mengkhawatirkan nasib gurunya, hingga dia harus berusaha menemukan dimana adanya sang guru. Ditempat rahasia bawah tanah itu keadaan gelap gulita. Namun segera dia menyalakan lampu minyak tanah yang tergeletak diatas meja. Dengan penerangan itu dia menyusuri lorong demi lorong. Namun hingga lorong terakhir yang telah pernah dimasuki, tak dijumpai adanya sang guru ditempat itu.
Tengah dia berpikir keras, mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dari ujung lorong dimana tadi dia masuk. Tersentak kaget Kecubung Wungu. Pada saat itu telah terdengar suara teriakan dari ujung lorong.
"Pendekar Hati Suci! kau takkan dapat melarikan diri sebelum kau tunjukkan dimana adanya Pedang Pusaka Naga Merah!"
Begitu terkejutnya hingga Kecubung Wungu melompat mundur. Tapi kakinya menginjak lantai yang bergerak merosot kebawah. Dia berteriak tertahan karena terkejutnya. Lampu minyak tanahnya terlepas dari tangannya dan terlempar. Lantai tempat dia terjerumus itu kembali mengatup, dan tubuhnya sendiri meluncur turun dalam gelap.....
Pada ketinggian yang kira-kira sepuluh kaki, tubuhnya menyentuh benda empuk. Ternyata seonggok jerami. Kecubung Wungu mengeluh. Untunglah tempat itu penuh dengan onggokan jerami. Kalau tidak tentu akan membahayakan dirinya.
Sementara keadaan diluar lubang terjadi kebakaran hebat. Asap mengepul menyesakkan napas para penyerbu yang telah memasuki lorong itu. Api lampu minyak tanah ternyata menyambar seutas tambang yang menjulur ke arah tumbukan jerami disudut lorong.
Terjadilah hiruk-pikuk dari orang-orang yang menyatroni lorong bawah tanah itu. Sukar untuk diduga, karena tak lama terjadilah ledakan-ledakan dahsyat! Lorong itu seperti dilanda gempa disana-sini. Suara jeritan saling susul mengerikan.
Tubuh-tubuh manusia berserabutan saling tindih membaur dengan reruntuhan yang menguruk lorong bawah tanah itu. Sukar untuk diceritakan, karena dalam beberapa kejap saja puluhan manusia lenyap amblas teruruk reruntuhan. Entah berapa puluh jiwa melayang dalam bencana yang mengerikan itu!
Kita ikuti kemana langkah Nanjar seusai melakukan penguburan jenazah ayahnya Ki Anjar Subrata. Ternyata dia kembali mendatangi ketempat lenyapnya si Pendekar Wanita Suci. Disana dia tertegun menatap sekitarnya.
"Jelas wanita itu memasuki celah perbukitan batu ini, tapi tak nampak batang hidungnya! Kemana larinya dia? Tampaknya dia terluka parah!" gumam Nanjar dengan suara berdesis. Matanya jelalatan memperhatikan setiap lekukan batu-batuan. Bahkan dia mencoba memerik-sa, namun tak jumpai tanda-tanda yang mencurigakan adanya lorong rahasia ditempat itu.
Rasa penasaran Nanjar ternyata membawa keberuntungan baginya, karena ketika dia mencoba membongkar segundukan batu-batuan dia telah menemukan satu celah diantara batu-batu itu. Nyatalah kalau itu sebuah lorong rahasia. Cepat dia membongkarnya. Aneh! begitu dia menyentuh batu runcing didekatnya mendadak celah itu menjebak terbuka melebar. Tak ayal dia menerobos masuk.
Tersentak Nanjar karena sekejap celah batu yang terbuka itu kembali menutup dengan cepat. Termangu sesaat Nanjar dalam kegelapan lorong itu. Namun diam-diam hatinya bergirang karena lorong itu pasti telah dimasuki si Pendekar Wanita Hati Suci. "Pantas! Agaknya dia begitu menghilang karena memasuki lorong rahasia ini. Pasti dia berada disebelah dalam!" pikir Nanjar.
Dengan jantung berdebar lebih cepat, namun penuh keyakinan, Nanjar bergerak merayap memasuki lorong gelap itu. Semakin kedalam ternyata semakin melebar. Dan aneh. Dihadapannya kini semakin terang. Terkejut dia ketika menengadah telah melihat langit. Ternyata ruangan itu berlangit-langit bolong yang menembus ke atas ke udara terbuka.
Melewati satu dinding dalam lorong, Nanjar hampir berteriak karena terkejutnya. Apa yang dilihatnya? Sesosok tubuh terkapar tak bergerak. Itulah tubuh si Pendekar Wanita Hati Suci. Sebuah pedang tertancap didadanya. Darah mengalir merembes ke lantai batu. Didekat sosok tubuh itu tergeletak sebuah peti panjang berukirkan Naga.
Agak lama dia tertegun menatap mayat wanita itu, dengan mata membeliak. Disebelah lengan mayat wanita itu tercekal segulung kertas kain. Setelah sadar dari keterkejutannya, Nanjar berjongkok mendekati. Diambilnya gulungan kertas ditangan mayat itu. Lalu dengan lengan gemetar dibukanya. Segera tampak barisan tulisan yang panjang. Setelah terpaku sejenak memikirkan kejadian itu, Nanjar segera membaca isi tulisan itu.
"Aihh! Jadi wanita ini bernama Nilam Sari. Sungguh tragis riwayat percintaannya dengan laki-laki bernama Thio Bun Kiam itu! Cinta kasih mereka ternyata harus ditebus dengan kematian!" berkata Nanjar menggumam, selesai membaca isi surat dalam gulungan kertas kain itu.
Dilipatnya lagi surat itu lalu dimasukkan dalam sela bajunya. Kini matanya menatap pada pedang yang tertancap didada wanita itu. Darah belum lagi mengering, ketika Nanjar menyentakkan pedang itu dari hunjaman didada si wanita pendekar.
"Ahh,…!? Inikah Pedang Mustika Naga Merah?" sentak Nanjar terkejut. Diamatinya pedang itu yang badan pedangnya berbentuk seekor Naga melingkar bersisik merah berkilauan. Gagangnya terbuat dari tulang beruas-ruas terlapis emas. Pada bagian ujungnya terdapat sebutir mutiara besar berwarna merah.
"Tak salah! Ini pasti Pedang Mus-tika Naga Merah!" sentak si Dewa Linglung dengan terkejut juga girang. Mata Nanjar mulai jelalatan lagi melihat ke sekitar mayat. Segera didapati sarung pedang yang terbuat dari tulang tak berada jauh dari tubuh mayat.
Tahulah dia kalau si Pendekar Wanita Hati Suci telah melakukan bunuh diri. Apa yang dilakukannya adalah karena kesucian cintanya pada laki-laki bernama Thio Bun Kiam yang riwayatnya tertera pada gulungan kertas kain itu. Nanjar menghela napas. Dibersihkannya darah yang melekat pada badan pedang, lalu dimasukkannya ke dalam kerangka pedang mustika itu.
"Semoga arwahmu diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa!" berkata Nanjar. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, segera dia menggali tanah untuk mengubur-kan mayat wanita itu. Cuaca diluar mulai beranjak gelap. Namun Nanjar telah bekerja cepat untuk menyemayamkan jenazah si Pendekar Wanita Hati Suci.
Demikianlah! Menjelang cuaca men-jadi gelap Nanjar telah selesai mengebumikan jenazah Nilam Sari alias Lam Su Nio. Tak seorangpun mengetahui adanya peristiwa itu, kecuali Pedang Pusaka Naga Merah itulah yang menjadi saksinya.....
DIATAS BEBATUAN dimulut lubang itu Nanjar duduk bersila tak bergeming pemuda yang pernah menjadi murid beberapa tokoh Rimba Hijau dari golongan Putih dan Hitam dan telah banyak mengalami bermacam peristiwa itu duduk bersemadi, mententeramkan hati.
PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH tercekal erat dikedua lengannya. Lama dan lama dia berbuat seperti itu hingga kelamnya malam mulai diwarnai oleh cahaya terang-terang tanah, pertanda hari sudah menjelang pagi dinihari.
Pelahan dia membuka matanya. Hatinya kini telah menjadi tenteram. Kematian sang ayah seperti suatu pembuka jalan baginya untuk mendapatkan Pedang Mustika Naga Merah. Kini benda mustika itu telah berada di tangannya. Sesaat antaranya dia menghela napas. Lalu bangkit berdiri. Pedang Mustika Naga Merah segera diselipkan dibalik baju dibelakang punggungnya.
Sesaat dia kembali menatap ke arah lubang dibawah kakinya, dimana jasad si Pendekar Wanita Hati Suci disemayamkan. Wanita yang telah menjadi penyebab kematian ayahnya Ki Anjar Subrata. Tapi juga wanita yang telah membawa keberuntungan dengan berhasilnya dia mendapatkan Pedang Mustika Naga Merah. Sayang semua itu harus ditebus dengan nyawa. Dan entah berapa jiwa melayang akibat kemunculan pedang mustika yang membawa maut itu.
Cuma yang masih menjadi pertanyaan dalam hati Nanjar adalah dari mana ayahnya mengetahui pedang mustika itu berada ditangan si Pendekar Wanita Hati Suci yang bertempat tinggal dipuncak Gunung Naga Inten? Dan hubungan apakah ayahnya dengan laki-laki yang bernama Thio Bun Kiam alias Jaka Buntaran?
Namun Nanjar harus mengenyampingkan dulu perihal itu. Dia memang berniat segera meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba dia teringat pada Kecubung Wungu yang dikhawatirkan keselamatannya. Disamping itu dia perlu mengetahui bagaimanakah keadaan dipesanggrahan si Pendekar Wanita Hati Suci? Malam sunyi yang dilewati tanpa terdengar suara apa-apa kecuali keheningan yang mencekam.
"Kemanakah gerangan orang-orang kaum persilatan yang berdatangan ke puncak gunung Naga Inten ini?" berkata Nanjar dalam hati. Barulah Nanjar teringat ketika tengah melakukan penguburan jenazah ayahnya, telinganya seperti mendengar suara ledakan-ledakan yang terdengar lapat-lapat. Namun membuat berbagai pertanyaan bersimpang-siur dibenaknya. Ledakan apakah itu? pikir Nanjar.
"Setidak-tidaknya aku harus mengetahui apa yang terjadi! Dan keselamatan Kecubung Wungu murid si Pendekar Wanita Hati Suci itu perlu kuketahui!" desis si Dewa Linglung. Tak menunggu waktu lama lagi, Nanjar segera berkelebat dari atas bebatuan itu.
Akan tetapi segera dia merandek. Dan kembali balikkan tubuh. Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam batu-batuan dihadapannya, tepat ditempat tadi dia berdiri. Angin keras membersit, dan terdengarlah suara gemuruh dari batu-batu yang longsor, menimbun mulut lubang tempat tadi dia berdiri diatasnya.
Dengan berbuat demikian Nanjar telah melenyapkan jejak dimana mayat si Pendekar Hati Suci disemayamkan. Karena bukan mustahil suatu saat orang Rimba Persilatan akan menyelidiki tempat itu. Nanjar tak menginginkan pembongkaran kuburan wanita itu. Walau pada dasarnya wanita itulah si pembunuh ayahnya, namun dia tak dapat mendendam dan menaruh kebencian pada orang yang telah mati.
Dan lagipula dia merasa kematian sang ayah adalah wajar. Karena ayahnyalah yang memancing orang-orang persilatan untuk menyatroni puncak gunung Naga Inten. Semua itu karena cuma menginginkan Nanjar sebagai putranya menjadi orang terkenal dan bernama besar. Juga menjadi pemilik terakhir Pedang Mustika Naga Merah yang diperebutkan.
Tanpa memikirkan banyaknya korban jiwa dengan perebutan pedang mustika itu. Rencana memang bisa dijalankan oleh manusia, akan tetapi kepastian ditangan Tuhan. Walau pada akhirnya Nanjar memang berjodoh untuk memiliki Pedang Mustika Naga Merah. Sesaat kemudian Nanjar telah melesat pergi tinggalkan tempat itu.
GIOK LAN alias si Iblis Betina Pemakan Jantung akhirnya berhasil melepaskan diri dari totokan Nanjar. Dia melompat bangkit dengan kemarahan menindih dalam dadanya. "Keparat! Bocah yang menamakan dirinya si Dewa Linglung itu suatu kelak akan kukorek jantungnya!" mendesis wanita kurus ini. Tampak dia amat begitu mendendam pada Nanjar.
Dilihatnya keadaan didepan Pesanggrahan mayat-mayat bergelimpangan. Akan tetapi tempat itu telah sepi dari manusia. "Kemanakah mereka semua?" sentaknya dalam hati. Namun dia telah berkelebat memasuki ruang dalam pesanggrahan. Tadi lapat-lapat telinganya mendengar suara ledakan-ledakan yang membuat lantai pesanggrahan bergetar.
"Sepertinya ledakan itu berasal dari dalam tanah! Apakah dalam ruangan didalam pesanggrahan ini terdapat ruang dalam tanah?" berkata dia dalam hati. Namun hatinya memang meyakinkan adanya ruang itu, karena mustahil si Pendekar Wanita Hati Suci alias Nilam Sari bersembunyi menyelamatkan diri dan tetap mempertahankan Pedang Mustika Naga Merah.
Bukan mustahil kalau wanita itu telah membunuh para pendatang yang mengejarnya dengan ledakan-ledakan yang menimbulkan kematian! demikian pikirnya. Ketika itu juga tiba-tiba dari arah dalam melompat sesosok tubuh hampir bertubrukan dengannya.
"Celaka! celaka...! Semua mati! semua tewas! Jangan ma... masuk! didalam banyak perangkap!" berteriak salah seorang. Akan tetapi selesai berkata orang itu roboh terjungkal.
Ketika Giok Lan memeriksa ternyata laki-laki itu telah tewas. Tubuhnya penuh luka-luka yang menyayat hampir sekujur tubuhnya. Terkejut Giok Lan ketika mengetahui laki-laki itu tak lain dari si Raksasa Bromo!
"Setan keparat!" memaki Giok Lan. Tubuhnya berkelebat keluar dari dalam pesanggrahan dan lenyap dibalik tebing. Ternyata si wanita kurus ini tak pergi jauh dari sekitar puncak gunung Naga Inten. Dia berkelebatan ke sekitar tempat itu seperti memeriksa tempat sekitarnya, atau mencari seseorang. Siapa gerangan yang tengah dicarinya?
Pada saat itulah dia melihat sesosok tubuh tersembul keluar dari sebuah lubang tak jauh didekatnya. Memang dia tengah mengamati kesekitar tempat yang diduga menjadi tembusan jalan rahasia tempat melarikan diri si Pendekar Wanita Hati Suci, mendadak dia melihat sesosok tubuh tersembul keluar dari satu celah lubang batu.
"Bagus! akhirnya toh kujumpai juga Nilam Sari!" berkata Giok Lan dalam hati. Sekali enjot tubuh dia telah berkelebat. Dan dengan gerakan cepat sekali lengannya telah bergerak menotok sosok tubuh itu. Cuaca memang sudah mulai agak terang. Dalam keremangan itu jelas sosok tubuh yang ditotoknya adalah seorang wanita. Terdengar suara mengeluh diiringi ambruknya sosok tubuh itu.
Akan tetapi terkejut Giok Lan ketika mengetahui orang itu bukan si Pendekar Wanita Hati Suci, melainkan Kecubung Wungu, murid musuhnya yang amat dibenci.
"He! bocah perempuan setan! Dimana gurumu si nenek sial itu?" bentaknya menggeledek. Lengannya bergerak menjambak rambut Kecubung Wungu.
Keruan saja dara ini berteriak kesakitan. "Lepaskan dulu aku! Aku akan bicara!" teriaknya dengan menyeringai. "Kau... kau siapa?" bertanya Kecubung Wungu yang cuma melihat wajah samar-samar dihadapannya.
"Goblok! apa kau tak tahu kalau aku si Iblis Betina Pemakan Jantung? Segera katakan kemana lenyapnya gurumu!" membentak Giok Lan mendongkol. Karena dalam keadaan tertotok, Kecubung Wungu tak dapat berbuat apa-apa. Namun segera dia menjawab setelah mengetahui siapa adanya orang dihadapannya.
"Aku tak mengetahui di mana beliau! aku sendiri tengah mencari jejaknya!" sahut dara ini dengan wajah tegang. Kalau saat itu cuaca sudah terang siang, tentu akan terlihat wajah gadis ini amat pucat sekali.
Giok Lan sejenak berpikir. "Hm, kalau kupakai kekerasan tentu bocah ini tak akan mengaku. Kalau kubunuhpun tak ada gunanya, karena disini cuma dia seorang yang kutemui. Baiknya kupakai bujukan halus agar dia dapat memberikan keterangan yang jelas mengenai gurunya. Siapa tahu dia mengetahui tempat penyimpanan Pedang Pusaka Naga Merah yang disembunyikan gurunya!"
Disamping berfikir demikian, Giok Lan juga menduga si Pendekar Wanita Hati Suci tak akan bisa lari jauh karena dia telah terluka dalam yang cukup parah. Memikir demikian segera dia berkata.
"Hm, Kuketahui kaulah yang bernama Kecubung Wungu. Tapi setahuku gurumu mempunyai murid dua orang perempuan. Kemanakah seorang lagi?" bertanya Giok Lan dengan suara dingin.
"Adik seperguruanku aku sendiri tak mengetahui, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu?" sahut Kecubung Wungu. Apa yang dikatakannya memang sejujurnya. Tapi membuat si Iblis Betina Pemakan Jantung hampir habis kesabarannya.
"Kau selalu menjawab tidak tahu, apakah kau ingin kukorek jantungmu ataukah ingin kukelupas kulit mukamu? Jawablah dengan sejujurnya!" membentak lagi Giok Lan.
Diam-diam bergidik juga hati Kecubung Wungu. Namun dia memang tak mengetahui. Terpaksa dia berkata. "Aku sungguh-sungguh tak mengetahui dimana adik seperguruanku Kecubung Sari maupun dimana adanya guruku! Walaupun kau siksa aku sampai matipun aku tetap menjawab sama!" sahutnya dengan tegas.
"Hm, baik! baik! Kini jawablah pertanyaanku yang kedua! Apakah kau mengetahui tempat gurumu menyimpan Pedang Mustika Naga Merah?" Pertanyaan itu membuat kecubung Wungu semakin ternganga bingung. Walau demikian dia menjawab.
"Demi langit dan bumi aku akan menjawab sejujurnya. Aku sama sekali tak mengetahui hal ikhwal pedang mustika itu! Tapi seandainya aku mengetahui siapa yang sudi memberitahukan pada musuh guruku?"
Jawaban Kecubung Wungu membuat wanita kurus ini berjingkrak marah. Lengannya bergerak menjambak rambut gadis itu keras-keras hingga sampai tubuh Kecubung Wungu terangkat. Tentu saja dara ini menjerit sekuatnya karena merasakan sakitnya. Serasa kulit kepalanya lepas semua oleh hentakan keras itu. Pedihnya bukan alang kepalang.
"Setan tua! kau bunuhlah aku. Mengapa kau menyiksaku begini rupa?" teriak Kecubung Wungu dengan air mata berderai antara rasa sakit dan kebencian luar biasa pada Giok Lan yang diketahui adalah musuh gurunya.
Ternyata kemarahan Giok Lan sudah sampai puncaknya. Dengan geram tiba-tiba sebelah lengannya meluncur... Jros. Terdengarlah jeritan melengking merobek udara. Tubuh Kecubung Wungu terjungkal roboh mandi darah. Dadanya ambrol terkena cengkeraman lengan si Iblis Betina Pemakan Jantung.
Dan dilengan si wanita kurus yang berlumuran darah tercekal segumpal daging merah. Itulah jantung Kecubung Wungu yang telah direnggut dari dalam rongga perut gadis itu. Baru saja wanita kurus ini akan memasukkan gumpalan daging itu ke mulutnya mendadak terdengar bentakan keras menggeledek.
"Manusia iblis! Mampuslah kau!"
Secercah kilatan merah berkelebat. Dan menjeritlah Giok Lan dengan suara parau. Tubuhnya tertembus sebatang pedang. Terhuyung-huyung wanita kurus ini, akan tetapi tidak membuat dia roboh. Lengannya yang sebelah meraba gagang pedang yang amblas tersisa dibagian perutnya. Sedangkan badan pedang itu amblas menembus sampai ke punggung. Dan tiba-tiba dengan tenaga yang terakhir dari sisa kekuatannya dia menyentakkan pedang itu.
Darah menyemburat membasahi tanah dan kakinya. Tubuhnya kembali limbung, namun belum membuat dia roboh. Matanya membelalak menatap pedang yang bersimbah darah ditangannya.
"Aaakh!?... ped... dang Mus... tika Na... ga Mer,..rrahh!?" Terdengar suara wanita kurus ini terputus-putus. Pandangan matanyapun menangkap bayangan sesosok tubuh yang berdiri dihadapannya.
Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung! Yang telah diancam akan dikorek jantungnya. "Kau... kau... bo... cah... kepa..rrrraaat!" teriak si Iblis Wanita Pemakan Jantung. Matanya mendelik, dan dia gerakkan pedang itu untuk menyerang Nanjar. Tapi saat itu pula tubuhnya oleng. Sedetik kemudian wanita itu roboh terjungkal. Nyawanya telah putus ditengah jalan!
NANJAR berdiri terpaku didepan setumpuk batu yang baru saja digunakan menguburkan jenazah Kecubung Wungu, Ditangannya tergenggam sebuah seruling berkepala naga. Itulah senjata milik Kecubung Wungu yang belum sempat dipergunakan. Terdengar pemuda itu menghela napas mengingat kematian gadis baju merah murid si Pendekar Wanita Hati Suci yang tragis.
Angin sepoi-sepoi bertiup menyibakkan rambut si Dewa Linglung yang menutupi keningnya. Terdengar suara meng-gumam laki-laki yang pernah dibesarkan di lereng gunung Rogojembangan ini.
"Kematian memang milik semua mahkluk yang hidup! Kau telah berangkat terlebih dulu nona Kecubung Wungu, semoga Tuhan mengampuni dosamu!" Selesai berkata dia menatap pada benda ditangannya. "Seruling berkepala naga ini tentu milik si Pendekar Wanita Hati Suci yang diwariskan pada Kecubung Wungu. Biarlah benda ini akan kupergunakan sebagai kenangan bahwa aku pernah berkenalan dengannya!"
Diselipkannya benda itu dibalik baju pada sisi pinggangnya. Lalu setelah menatap sekali lagi pada gundukan batu itu, Nanjar pun bertindak melangkah pergi meninggalkan tempat sunyi itu. Tak lama sosok tubuh Nanjar terlihat berkelebatan menuruni lereng gunung Naga Inten, dan lenyap dikerimbunan hutan dibawah lereng.
Baru saja Nanjar tiba dimulut hutan, mendadak telinganya mendengar suara menjeritnya seorang wanita. Tersentak si Dewa Linglung. Tak ayal dia telah berkelebat ke arah asal suara itu. Bukan kepalang terkejutnya dia melihat seorang wanita dalam keadaan terikat dibatang pohon.
Dihadapannya tampak dua orang laki-laki berjubah abu-abu, berkepala sama-sama gundul plontos. Mereka tak lain dari si Dewa Muka Kembar. Gadis itu dalam keadaan cabik-cabik pakaiannya, bahkan sebagian auratnya telah terbuka.
Breeet! brreeet!
Lagi-lagi lengan salah seorang dari si Dewa Muka Kembar menjulur merobek pakaian dara itu. Dan gadis itu kembali perdengarkan jeritannya. Tampak dia amat ketakutan sekali. Kini sepasang benda putih ranum didada gadis itu menyembul. Salah seorang dari si Dewa Muka Kembar tertawa gelak-gelak. Dialah yang bernama Guritmo. Sedangkan yang seorang lagi bernama Guritmono.
"Hahaha... kalau kau tak mau mengatakan dimana gurumu menyimpan, pedang mustika itu, maka hari ini kau akan kehilangan kegadisanmu!"
"Aku benar-benar tidak mengetahui!" teriak gadis itu yang yang tak lain dari Kecubung Sari. Tampak wajah gadis ini pucat pias, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.
"Hehehe... kau masih membandel juga tak mau membuka mulut? Hm, baiklah!" berkata Guritmono dengan wajah menyeringai. Matanya liar berkilat-kilat menatap dua buah benda ranum yang menyembul didada Kecubung Sari, Kini dia melangkah lagi setindak. Dan lengannya terjulur ke arah dua benda lunak itu.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras. "Dewa Muka Kembar, tahan tangan jahilmu!"
Sebutir batu meluncur deras ke arah lengan Guritmono. Dan laki-laki ceriwis ini menjerit kesakitan seraya menarik lengannya. Bukan kepalang terkejutnya laki-laki ini mengetahui sepotong jari telunjuknya telah putus.
"Keparat! Siapa kau?" bentaknya menggeledek seraya melompat mundur. Sedangkan mata Guritmo jadi mendelik gusar melihat siapa yang berkelebat muncul dihadapannya.
"Hehe... aku si Dewa Linglung! Apakah kalian sudah tak mengenaliku lagi?" berkata Nanjar yang telah berada dihadapan kedua orang ini. Mendadak Nanjar berkelebat ke arah pohon di mana Kecubung Sari terikat. Sekali lengannya berkelebat ke arah pohon, tali-temali yang mengikat tubuh gadis itu. Lalu kembali dia melompat kehadapan si Dewa Muka Kembar.
"Kau? lagi-lagi kau turut campur urusan orang! Heh! kali ini jangan harap kau lolos dari tangan kami!" membentak Guritmono yang telah mencabut senjata rantai berujung roda bergerigi. Rasa sakit pada jarinya yang putus sudah tak dihiraukan lagi. Segera dia memberi isyarat pada Guritmo, yang segera menyiapkan senjatanya.
"Hehehe... ternyata pekerjaan dua Dewa Muka Kembar bisanya cuma mengganggu perempuan?" mengejek Nanjar dengan cengar-cengir.
"Kunyuk Linglung! Dua kali kau mengecoh kami dan selalu menggagalkan urusan kami berdua. Apakah nyalimu sudah tumbuh untuk tidak melarikan diri lagi?" bentak Guritmono. Laki-laki ini geram sekali karena mereka memang pernah dikerjai Nanjar ketika melakukan kejahatan.
Namun Nanjar bertingkah seperti orang tolol, dan melarikan diri ketika dikejar keduanya. Namun semua itu untuk menyelamatkan orang yang nyaris menjadi korbannya. "Aku tak akan melarikan diri lagi, Tuan Dewa Kembar! Hm, bukankah kalian menginginkan Pedang Mustika Naga Merah! Benda itu ada padaku!" berkata Nanjar.
Tentu saja membuat kedua pasang mata si Dewa Muka Kembar membelalak ketika Nanjar mencabut pedang mustika itu dari belakang punggungnya. Sinar merah berkredepan menyilaukan mata, memercik dari badan pedang yang berbentuk seekor naga melingkar dengan ekor yang menjulur meliuk-liuk ke atas.
"Tak salah lagi! Itulah Pedang Mustika Naga! Mengapa bisa berada ditangan kunyuk linglung ini?" berdesis Guritmo. Sejenak mereka saling pandang. Sementara Guritmono diam-diam nyalinya menciut. Hantaman batu kerikil yang memutuskan jarinya, yang dilakukan pemuda itu jelas dapat diduga kalau si Dewa Linglung itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Apalagi kini, Pedang Mustika Naga Merah berada ditangannya. Bagaimana mungkin mereka mampu membekuk bocah dihadapannya? Namun adanya pedang mustika ditangannya Nanjar telah membuat mata mereka seperti buta, tak melihat akibatnya lagi. Serentak mereka memberi isyarat, dan berbareng maju menerjang dengan masing-masing senjatanya. Dua roda bergerigi meluncur ke arah kepala Nanjar dibarengi bentakan keras.
"Bagus! pucuk dicintai ulam tiba! Serahkan benda mustika itu pada kami!"
Whuut! whuut!
"Hehe... enak saja! Silahkan kau rebut dari tanganku!" berkata Nanjar seraya berkelebat melompat dengan gaya jurus Kera Sakti Menari. Serangan-serangan si Dewa Muka Kembar semakin gencar tak memberi waktu luang sedikitpun untuk Nanjar lebih lama menjejakkan kaki. Bahkan semakin ganas roda maut si Dewa Muka Kembar berdesingan.
Namun Nanjar cuma melompat-lompat menghindari saja tanpa balas menyerang. Tiba-tiba Guritmono perdengarkan lengkingan keras. Gerakan serangannya berubah. Kini dia menggunakan gerakan memutar. Makin lama makin cepat.
Akibatnya Nanjar cukup pusing kepala karena cuma melihat bayangan mereka saja yang mengelilingi tubuhnya. Sukar bagi Nanjar untuk melom-pat keluar menembus kurungan yang rapat bagaikan bentengan itu.
Saat mana tiba-tiba lengan Guritmono bergerak menghamburkan ratusan jarum. Disusul hantaman keras pukulan tenaga dalam. Dengan berteriak kaget Nanjar melompat setinggi enam tombak menghindari serangan.
Tapi detik itu Guritmo telah melejitkan tubuhnya terlebih dulu. Agaknya dia telah menduga Nanjar akan berbuat demikian. Detik itulah dia hantamkan roda bergeriginya ke arah batok kepala si Dewa Linglung. Sedangkan sebelah lengannya dengan gerakan kilat telah menyambar untuk merampas pedang mustika Naga Merah dari tangan Nanjar.
Akan tetapi diluar dugaan justru pedang mustika ditangan Nanjar telah berkelebat lebih cepat menabas. Tak ampun lagi terdengarlah suara melengking mengerikan Guritmo. Tubuhnya terpotong menjadi dua bagian. Dan jatuh meluruk berdebukan. Darah menyembur bersimbahan.
Bukan main terperanjatnya Guritmono. Keringat dingin mengalir deras di tengkuknya. Tiba-tiba dia balikan tubuh dan berkelebat melarikan diri. Baginya nyawanya lebih penting, untuk suatu saat membalas dendam. Sekejapan saja tubuhnya telah lenyap dibalik hutan.
Nanjar ternyata tak melakukan pengejaran. Dibersihkannya darah yang menyiram pedang mustika Naga Merah. Lalu dimasukkan lagi dalam kerangkanya dibelakang punggung. Ketika itu Nanjar baru teringat pada Kecubung Sari. Akan tetapi alangkah terkejutnya dia melihat gadis itu tak berada ditempatnya lagi.
"He? kemana perginya dia?" Berkata Nanjar seorang diri. Pandangan matanya memutari sekitar hutan. Tapi tak ada tanda-tanda adanya gadis itu berada ditempat itu.
"Aiiih! mungkin dia menyembunyikan diri karena malu dirinya dalam keadaan setengah telanjang..." pikir Nanjar. Baru saja dia akan beranjak melangkah pergi mendadak terdengar bentakan dibelakangnya.
"Serahkan Pedang Mustika Naga Merah milik guruku itu padaku!" Tersentak kaget Nanjar, karena tahu-tahu terasa diteng-kuknya menempel ujung pedang. Dari suara itu jelaslah kalau yang membentaknya adalah Kecubung Sari.
"Aiiih, nona Kecubung Sari. Lepaskanlah ujung pedangmu. Tanpa kau todong aku demikian rupapun aku akan memberikan pedang mustika ini kalau kau menginginkan!" berkata Nanjar. Sejenak tadi hatinya mencelos. Kalau saja bukan Kecubung Sari yang melakukan, tentu jiwanya sudah melayang.
"Baik! kau bisa pegang janjimu, Dewa Linglung?" bertanya Kecubung Sari dengan suara dingin.
"Heheh... apakah kau anggap aku seorang penipu? Buat apa aku menyandang gelar pendekar?" sahut Nanjar dengan tertawa. Pernyataan Nanjar membuat Kecubung Sari segera melepaskan todongan ujung pedangnya.
Dan Nanjarpun segera balikkan tubuh. Terlihatlah dara itu berdiri tegak menatapnya dengan sorot mata tajam. Pedang ditangannya masih siap untuk dipergunakan bila Nanjar melakukan tindakan menyerang. Akan tetapi Nanjar justru tersenyum sang dara cantik yang telah merapihkan pakaiannya.
"Benarkah kau menginginkan pedang mustika ini?" tanya Nanjar. Pertanyaan Nanjar ternyata tak mendapat jawaban.
Gadis itu membisu, bahkan menunduk. Diam-diam dada Kecubung Sari berdebaran. Apakah yang akan dikatakannya? Pemuda itu telah menolongnya, menyelamatkan kesuciannya. Dan untuk apakah dia memiliki pedang mustika itu? Sedangkan untuk menjaga dirinya saja dia tak mampu, apalagi untuk menjaga pedang mustika yang menjadi incaran kaum Rimba Persilatan itu? Akhirnya pelahan menggelengkan kepala. Dan jawabnya lirih.
"Aku tidak sungguh-sungguh! Akan tetapi maukah kau menceritakan semua apa yang telah terjadi dengan guruku? Dan bagaimana kisahnya hingga pedang mustika itu bisa kau miliki?" berkata Kecubung Sari.
Nanjar menghela napas. Lalu menjawab dengan didahului tertawa tawar. "Kisahnya cukup panjang, nona Kecubung Sari. Nantilah aku ceritakan. Masukkanlah pedangmu lagi. Mari kita pergi dari sini. Kau lihat awan hitam itu? Sebentar lagi hujan akan turun deras. Sebaiknya kita mencari tempat yang baik untuk kita berlindung sambil bercakap-cakap. Aku akan paparkan semua yang kualami hingga berhasilnya pedang mustika ini jatuh ketanganku" berkata Nanjar seraya menunjuk ke langit.
Memang pada saat itu cuaca berubah agak gelap. Angin membersit menerbangkan dedaunan. Gadis itu mengangguk. Entah mengapa hatinya merasa tenteram berada dekat dengan pemuda itu. Tak dapat disangkal lagi dia telah jatuh hati pada si Dewa Linglung. Kecubung Sari masukkan pedangnya dalam serangka dipinggang. Lalu sahutnya. "Baiklah! mari kita pergi!"
"Kau percaya aku tak akan mencelakaimu?" tanya Nanjar.
"Percaya! Seandainya aku tak percaya buat apa aku mengampuni jiwamu?" sahut Kecubung Sari dengan ketus. Namun dia tahu pribadi Nanjar. Apalagi hatinya telah terpikat. Mau tak mau sehabis berkata dia tersipu. Sementara hatinya semakin menggetar tak menentu.
"Kau mau berteman denganku seorang pemuda yang linglung?"
"Asal tidak gila, aku tak keberatan!" sahutnya sambil tertawa.
"Kau makin cantik saja kalau tertawa...!"
"Huh! gombal! kau merayu atau menghina?"
"Hehe... hahaha... marah, ya? dipuji kok marah! Eh, tapi kalau cemberut gitu kau makin cantik!"
"Huuuuh! sudahlah! hayo berangkat!" bentak Kecubung Sari, hatinya terasa berbunga. Gurauan Nanjar menyejukkan kemelut yang masih menggayuti dadanya. Walau bagaimana dia harus cepat mengetahui bagaimana nasib gurunya. Juga kakak seperguruannya yang belum diketahui nasibnya.
Dia memang terlambat datang ke puncak gunung Naga Inten. Dan mendengar berita telah terjadi peristiwa mengerikan yang membuat korban jiwa dipuncak gunung Naga Inten, dari penuturan si Dewa Muka Kembar. Akhirnya dia ditawan dan dipaksa untuk memberitahukan dimana disimpannya Pedang Mustika Naga Merah. Tak lama keduanya telah bergegas meninggalkan tempat itu.
Sementara angin semakin bertiup semakin keras. Hawa dingin menebar. Bisa diperkirakan bahwa tak berapa lama lagi akan turun hujan lebat. Dari kejauhan masih terdengar suara Nanjar yang tertawa gelak-gelak menggoda Kecubung Sari. Walau toh nantinya gadis itu pasti akan berduka bila mengetahui musibah yang telah menimpa saudara seperguruannya dan sang guru, si Pendekar Wanita Hati Suci...