HARI masih pagi ketika seekor kuda berlari cepat menuruni lereng pegunungan. Seekor kuda berwarna putih yang mempunyai gerakan tangkas menuruni tebing-tebing terjal. Tentu saja ketangkasan binatang itu tergantung pula dari si penunggangnya yang dapat memilih jalan yang dilalui dengan tepat.
Si penunggang kuda adalah seorang laki-laki berkulit sawo matang, mengenakan pakaian berwarna coklat hampir semirip dengan warna kulitnya. Berperawakan sedang dan memiliki wajah biasa-biasa saja, gagah tidak jelek pun tidak. Akan tetapi mempunyai sorot mata yang tajam seperti punya pengaruh kewibawaan yang tersembunyi.
Rambutnya agak sedikit gondrong dengan ikat kepala berwarna kuning. Sikapnya tenang dan tidak tergesa-gesa, walaupun dia menjalankan kuda dijalan yang cukup berbahaya, karena sekali kaki kuda tergelincir akan membuat bahaya besar bagi dirinya.
Nyatalah bahwa dia bukan seorang laki-laki biasa, akan tetapi seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi. Melakukan perjalanan ditempat berbahaya semacam itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Hingga dalam beberapa saat saja dia telah tiba dibawah lereng pegunungan.
Siapa adanya laki-laki muda berwajah tenang yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun itu? Dia bernama Waru Anggono. Murid seorang pertapa sakti dari pegunungan Tengger. Arah yang dituju ternyata arah yang menuju ke barat. Berkelebatlah bayangan putih dari gerakan lari kuda tunggangannya dijalan yang mulai rata. Menembus hutan menerobos padang rumput. Terus dan terus ke barat...!
Menjelang senja dia memperlambat lari kudanya. Kini arah yang dituju adalah sebuah desa terdekat karena dia memerlukan tempat untuk beristirahat setelah sehari penuh melakukan perjalanan. Tiba di mulut desa dia melompat turun dari punggung kuda. Kemudian menuntun kudanya dengan melangkah pelahan-pelahan.
"Hm, apakah desa ini berpenghuni?" gumam Waru Anggono. Sementara matanya menjalari keadaan sekitarnya. Tampaknya desa itu seperti tak terurus. Gersang... debu menempel dimana-mana, di rumah-rumah penduduk yang tampak suram. Bahkan bebe-rapa bangunan dalam keadaan roboh.
Tadinya Waru Anggono akan menyelidiki lebih ke dalam, tapi segera mengurungkan. "Heh, aku cuma berniat bermalam saja, besok pagi aku akan meneruskan perjalanan lagi. Kukira pondok ini cukup baik untuk beristirahat..." berkata Waru Anggono dalam hati.
Pemuda ini segera menuntun kudanya mendekati pondok, lalu mengikatnya di tiang rumah. Waru sudah menduga bahwa pondok-pondok itu tak ber-penghuni, karena melihat keadaannya yang tak terawat. Tapi sungguh dia tak menyangka kalau tiba-tiba mendengar suara berkeriutnya daun pintu.
Sesosok tubuh tersembul keluar. Ternyata seorang nenek tua renta berambut putih awut-awutan. Keadaannya sangat menjijikkan. Karena sekujur tubuhnya penuh dengan penyakit kulit. Bahkan tampak seram karena beberapa ruas jari tangannya tampak putus akibat terserang penyakit yang menjijikkan dan mengerikan.
Secara tak sengaja dia telah melangkah mundur setindak. Matanya tak berkedip menatap si nenek tua renta. "Manusiakah?" sentak Waru dalam hati.
"Siapakah kau, anak muda? Ada keperluan apa memasuki desa ini?" tanya si nenek. Suaranya parau diselingi batuk-batuk yang terdengar melengking-lengking. Keberanian Waru Anggono timbul, karena dia yakin orang dihadapannya manusia biasa, bukan sebangsa dedemit.
"Maafkan aku, nek..! Aku telah mengusik ketenanganmu..." sahut Waru seraya memperkenalkan namanya. Kemudian melangkah mendekati.
Akan tetapi cepat-cepat si nenek melangkah mundur. Wajahnya berubah terkejut. Tampaknya dia ketakutan sekali. "Jangan dekat! Pergilah cepat dari sini..!"
"Mengapa, nek?" tanya Waru Anggono terheran menatap perempuan itu tak mengerti.
"Tempat ini berbahaya! Kau bisa terkena wabah penyakit menular. Dan tempat ini tidak aman bagimu!" sahut si nenek dengan wajah penuh kekhawatiran.
Waru Anggono tersenyum. "Ah, jangan terlalu mengkhawatirkan diriku, nek! Aku tak percaya dengan adanya penularan penyakit. Bukankah setiap manusia dilahirkan dengan keadaan darah yang berbeda-beda? Kalau Tuhan tak mengizinkan aku terkena penyakit, walaupun aku berada ditempat yang terserang wabah penyakit tentu takkan terjadi penularan itu!"
Sejenak si nenek kerutkan kening menatap Waru Anggono. "Aneh! selama dua tahun aku tinggal ditempat ini, baru kutemui seorang pemuda seberani ini? Murid siapakah pemuda bernama Waru Anggono ini?" desis si nenek dalam hati. Diam-diam dia tak menyangkal pendapat Waru Anggono. Walaupun demikian dia tetap berkata ketus.
"Mungkin pendapatmu benar, anak muda!" tukas si nenek. "Kau berkata seperti seorang Kyai saja. Siapakah yang telah mengajari kau mengenal Tuhan?"
"Sejak kecil ayahku telah mengajari aku mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Bahkan guruku pun mengajari aku..!" sahut Waru Anggono.
"Siapakah gurumu?" tanya si nenek dengan hati tercekat.
"Beliau adalah seorang pertapa tua yang berdiam di pegunungan Tengger. Beliau bernama Kyai Balareang."
"Kyai Balareang?" suara si nenek seperti bergetar menyebut nama itu. Mendadak dia berdiri terpaku dengan mata menatap tak berkedip. Akan tetapi bukan menatap Waru, melainkan memandang keluar pondok dengan tatapan aneh.
Dalam pandangan mata nenek tua renta ini tiba-tiba terbayang sesosok tubuh laki-laki berusia sekitar 30 tahun. Seorang laki-laki berkumis tipis dan berwajah tampan. Rambutnya ikal bergelombang. Alisnya tebal serta pandangan matanya tajam seolah menandakan kekerasan hatinya.
Laki-laki itu adalah orang yang telah lenyap namanya dan tak pernah terdengar dimana adanya sejak lebih dari dua puluh tahun. Waktu yang cukup lama dan terlalu lama untuk mengingat keadaannya pada saat sekarang.
Tapi si nenek mencoba membayangkan keadaan laki-laki itu pada saat kini, menjelmalah dipandangan matanya seraut wajah laki-laki tua berambut putih ikal, berkumis dan berjanggut panjang terurai memutih. Ketampanan wajahnya masih tampak nyata. Dan sorot mata laki-laki tua itu masih tajam setajam dua puluh tahun yang lalu.
"Oh, Balareang... tak kusangka kau masih hidup dan berdiam di tempat sunyi pegunungan Tengger." berdesis bibir si wanita tua. Sepasang matanya mendadak berkaca-kaca.
"Nenek..! kau... kau menangis? Apakah kau mengenal guruku?" tanya Waru Anggono terheran.
Pertanyaan itu membuat si nenek tersadar dari ingatan masa lalunya. "Tidak! Aku tak mengenal gurumu..! Entah mengapa tiba-tiba aku teringat pada seseorang yang juga sering dan pernah menyebut-nyebut tentang Tuhan seperti kau, seperti ayahmu dan seperti gurumu..." sahut si nenek seraya memalingkan wajahnya cepat-cepat menyembunyikan air matanya.
"Siapakah orang itu nek? Dan... oh, ya! Bolehkah aku mengetahui siapa dirimu, dan mengapa berada ditempat ini? Apakah tempat ini memang tempat kediamanmu? Dan sejak kapankah terjadinya wabah penyakit? Apakah semua penduduk desa ini terserang wabah penyakit seperti yang dideritamu?"
Pertanyaan Waru Anggono yang bertubi-tubi itu tiba-tiba membuat si nenek tiba-tiba tertawa geli terkekeh-kekeh, yang diselingi batuk melengking-lengking. "Hik hik hik... bocah bagus! Kau ini seperti seorang petugas Kerajaan yang menanyai pesakitan saja!" berkata si nenek. "Tapi aku senang bertemu denganmu, Waru Anggono. Kaulah orang pertama yang mampu membuat aku tertawa sejak sembilan tahun aku mengembara dan menetap didesa ini!"
"Aneh! Apakah selama sembilan tahun kau tak pernah tertawa?" tanya Waru Anggono menggaruk-garuk kepala.
Tapi si nenek tak menyahut. Dia balikkan tubuh dan berkata. "Baiklah, bocah bagus! Aku akan menjawab semua pertanyaanmu yang banyak sekali itu!"
Si nenek menyuruh Waru Anggono memasukkan kuda tunggangannya ke dalam pagar pondok melalui jalan samping. Ternyata di belakang pondok terdapat sebuah halaman yang cukup luas. Sekeliling halaman itu dipagari dengan pagar pohon hidup. Waru Anggono membiarkan si Putih mengisi perutnya melalap daun-daun pagar pohon itu.
Di belakang pondok ternyata amat jauh berbeda dengan keadaan di luar pondok. Karena ruangan belakang ini tampak bersih. Tak terlihat debu-debu tebal yang menempel didinding rumah. Bahkan lantai kayu pondokpun tampak berkilat-kilat, terbuat dari kayu jati.
Si nenek terlihat sudah berada di ruangan yang terbuka itu. Duduk bersila di lantai kayu jati. Dihada-pannya terhidang sebuah kendi tanah liat dan sebuah gelas dari bumbung bambu.
"Silahkan duduk, Waru Anggono! Kau tentu haus setelah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Agaknya Tuhan sudah menjodohkan kau untuk berjumpa denganku dan bermalam ditempat ini..."
Wanita tua ini membuka tutup kendi dan menuangkan air ke dalam bumbung bambu yang tampak bersih dan berkilat. Waru Anggono melangkah mendekati dan duduk di hadapan si nenek berpenyakit kulit yang menjijikkan itu.
"Terima kasih atas jamuanmu, nek..!" kata Waru Anggono.
"Kau tidak merasa jijik meminum airku?" tanya si nenek seraya menyorongkan bumbung bambu ke hadapan pemuda ini.
Waru Anggono tersenyum. "Ah, nenek...! Mengapa kau berkata begitu? Apakah kau kuatir aku menolak jamuanmu?" sambil berkata demikian Waru Anggono meraih bumbung bambu berisi air bening itu, kemudian tanpa ragu-ragu segera menegaknya hingga tandas. Terasa segar tenggorokannya.
Wajah keriput si nenek menampakkan senyuman cerah. "Sejak semula aku sudah percaya padamu, bocah bagus! Kau memang orang yang lain dari pada yang lain. Nah! Aku akan menjawab semua pertanyaanmu tadi. Akan tetapi sebelumnya aku ingin mengetahui apa sebenarnya tujuan melakukan perjalanan jauh dari pegunungan Tengger. Tentu kau tak keberatan bukan?" berkata si nenek.
"Kalau cuma itu pertanyaanmu tentu saja aku bersedia mengatakannya padamu, nek!" sahut Waru Anggono. Sejenak setelah menghela napas, pemuda ini segera menuturkan maksud dan tujuannya tanpa melewatkan dan menyembunyikan sedikitpun. Waru Anggono menceritakan secara jujur dan polos.
"Jadi tujuanmu adalah mencari adik perempuanmu yang telah berpisah sejak kau berumur dua belas tahun?" tukas si nenek dengan mengerenyitkan kening hingga guratan-guratan didahinya tampak semakin jelas.
"Benar! Sudah lebih dari delapan bulan aku mencari jejaknya, tapi belum ada tanda-tanda dimana adanya adik perempuanku itu. Entah dia sudah mati entah masih hidup aku tak mengetahui. Tapi aku akan terus mencari dan mencari ke seluruh pelosok wilayah, sampai aku menjumpainya..." sahut Waru Anggono dengan kata-kata pasti.
"Hm, siapakah nama adik perempuanmu itu? dan kira-kira berusia berapakah sekarang ini?"
"Ketika kami berpisah, dia berusia lima tahun. Usianya selisih tujuh tahun denganku. Mungkin saat ini dia kira-kira berusia delapan belas tahun lebih" sahut Waru Anggono. "Dia bernama Anggi Resmini..!"
Si nenek manggut-manggut mendengar penjelasan Waru Anggono. Kemudian terdengar dia menghela napas panjang. Lalu berkata lirih. "Sayang, sudah dua tahun aku tak keluar dari desa ini karena aku telah memutuskan untuk tetap menunggu kedatangan seseorang, hingga aku tak dapat membantumu mencari jejak adikmu."
"Siapakah orang yang kau tunggu itu, nek?" tanya Waru Anggono.
"Seorang tokoh persilatan yang bergelar si Iblis Tampan!"
"Ada persoalan apakah kau dengannya?"
"Hm, dialah orang yang paling kucintai dan juga paling ku benci! Dia adalah suamiku yang paling terakhir sekali. Dan dia pulalah yang telah membuat aku cacat seperti ini!" sahut si nenek seraya menyibakkan jubah lengan kirinya sebatas pergelangan.
Tampak ada tanda guratan menonjol yang melingkari pergelangan tangan yang jari-jari tangannya cuma tinggal jari tengah dan ibu jari saja. Sisanya habis dimakan penyakit kulit ganas yang dideritanya. Tiba-tiba sekali dia membetot dengan tangan kanan, lepaslah tangan yang mengerikan itu tepat se-batas pergelangan.
Waru tersentak kaget. Sepasang matanya menatap tak berkedip. Jelaslah kalau tangan si nenek memang sudah lama putus sebatas pergelangan. Dan semakin terkejut Waru Anggono ketika po-tongan lengan yang menjijikkan itu dilemparkan ke lantai papan memperdengarkan bunyi keras seperti bunyi sepotong kayu.
"Tangan itu cuma tangan palsu!" berkata si nenek. "Dan kau lihatlah!" Tiba-tiba sekali menggerakkan tubuh si nenek telah melompat berdiri.
Apa yang dilihat Waru Anggono seperti membuat dia sukar mempercayai. Karena si nenek dengan cepat menguliti tangan dan kakinya. Aneh! Dalam sekejap saja kulit yang menjijikkan itu telah terkelupas. Dan dibalik kulit yang mengerikan penuh dengan penyakit menjijikkan itu ternyata tersembul kulit asli tanpa sedikitpun terkena penyakit.
Kemudian sekali dia merenggut wajahnya, terkelupas pula kulit wajah keriput si nenek. Belum lagi sempat Waru Anggono melihat wajah aslinya, si nenek telah membalikkan tubuh. Dari balik jubahnya dia mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil bersumbat. Dari dalam bumbung bambu itu dituangkan semacam cairan berwarna kuning.
Cairan itu ditumpahkan di atas kepala dan digunakan untuk mengeramasi rambutnya. Aneh! Rambut si "nenek" yang semula putih dalam beberapa kejap saja kembali berubah menghitam. Itulah rambutnya yang asli. Hitam legam dan berkilat.
Ketika si nenek membalikkan tubuhnya hampir-hampir Waru tak percaya. Karena dihadapannya telah berdiri tegak seorang wanita berusia kira-kira 40 tahun. Berwajah cantik, walaupun tidak secantik gadis muda. Tapi garis-garis kecantikannya masih nampak nyata.
"Jadi-jadi kau bukan seorang nenek tua berpenyakit menjijikkan? Ah! mengapa kau menyamar seperti itu?" Waru Anggono menatap wanita dihadapannya dengan mata membelalak.
"Hihihi... nanti kau akan segera mengetahui setelah aku menceritakan padamu!" sahut si wanita dengan tertawa. Ternyata dua baris giginya masih utuh putih dan rata. Wanita ini kembali duduk di hadapan Waru Anggono.
"Seperti janjiku tadi, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Kini sebagian telah terjawab!" kata si wanita. "Namaku yang sebenarnya ialah Muraini. Lalu aku menggantinya dengan nama Wiraswati. Aku dikenal oleh kaum Rimba Persilatan dengan gelar si IBLIS RUPAWAN!" Sampai disini Waru Anggono memotong pembicaraan.
"Aneh! Suami terakhirmu bergelar si IBLIS TAMPAN dan kau bergelar si IBLIS RUPAWAN. Bukankah sangat cocok sekali? Tapi mengapa hubungan kalian jadi amburadul?"
"Yah...! itulah keanehan kehidupan di dunia. Tak ada sesuatu yang kekal dan abadi. Demikian juga dengan hubungan kami!" sahut Wiraswati tersenyum pahit.
Kemudian wanita itu menuturkan keadaan sebenarnya didesa itu. Penuturan Wiraswati membuat Waru Anggono tertegun dan terlongong-longong dan hampir-hampir dia sukar mempercayai.
"Itulah sebabnya aku berada ditempat ini dan melakukan penyamaran. Selama dua tahun aku telah memperdalam ilmu-ilmu kepandaianku untuk membalas dendam dan penghinaan bekas suamiku si Iblis Tampan itu. Akan tetapi kemunculanmu membuat aku merubah niat untuk menunggu dia keluar dari sarangnya. Namun belum saatnya aku membalaskan sakit hatiku, karena ada satu keperluan yang harus kuselesaikan terlebih dulu..!" Wiraswati sejenak berhenti untuk menarik napas, kemudian meneruskan kata-katanya.
"Kuharap kau tak perlu menanyakan mengenai urusan yang satu ini. Entah mengapa kembali aku teringat pada Tuhan. Yah! kemunculanmu dihadapanku seperti membuka mataku untuk aku kembali mengingat Tuhan. Aku semakin menyadari akan apa arti sebenarnya dengan kehidupan ini..."
Suara Wiraswati terdengar agak menggetar. Waru Anggono sekilas dapat melihat sepasang mata wanita itu berkaca-kaca se-saat ketika Wiraswati cepat cepat-cepat memalingkan wajahnya dan melompat berdiri.
"Nah! aku cuma dapat menemanimu sampai disini, Waru Anggono! Aku tahu kau seorang pemberani dan lain dari yang lain. Tapi untuk mencoba memasuki tujuh pintu desa ini kukira kau harus berpikir panjang terlebih dulu. Karena seperti tadi telah kukatakan, kau akan berhadapan dengan orang-orang lapar! Nah, selamat berpisah. Semoga kita bisa bertemu lagi kalau Tuhan mengizinkan kita masing-masing berumur panjang...!"
Selesai berkata Wiraswati alias si Iblis Rupawan berkelebat keluar dari ruangan itu ke halaman belakang. Selanjutnya yang tampak adalah bayangan jubah warna biru gelap saja yang tampak melesat keluar pagar, dan lenyap...
Waru Anggono terpaku menatap, ke arah lenyapnya si Iblis Rupawan dengan agak terperangah. Sungguh tak menyangka kalau si nenek berpenyakit kusta yang mengerikan itu ternyata adalah seorang tokoh Rimba Hijau yang berilmu tinggi. Kini dia tercenung dengan penuturan si Iblis Rupawan mengenai tujuh pintu desa yang dihuni oleh orang-orang lapar.
"Apakah makna dari orang-orang lapar itu?" Waru Anggono bertanya-tanya dalam hati. Benaknya berpikir keras memecahkan kata-kata itu. "Jelas seperti yang dikatakan si Iblis Rupawan bahwa suami terakhirnya si IBLIS TAMPAN berada di wilayah desa berpintu tujuh ini. Kalau ditempat ini dihuni oleh orang-orang lapar apakah sebagai seorang pendekar dijalan lurus kau akan berpeluk tangan saja? Kalau mereka semua dalam keadaan terserang wabah penyakit yang mengerikan, mengapa aku tak berupaya memberikan pertolongan? Haruskah aku tak memper-dulikan mereka?" benak Waru Anggono digeluti perta-nyaan-pertanyaan.
"Tapi anehnya seolah-olah si Iblis Rupawan mencegahku untuk menyelidiki dan menyuruhku berfikir panjang untuk coba-coba memasuki ketujuh pintu desa ini...!"
Setelah menimbang-nimbang Waru Anggono akhirnya memutuskan untuk bermalam ditempat itu. Tapi dia telah bertekad bulat untuk menyelidiki tempat itu. Siapa tahu adik perempuannya berada di-tempat itu. Tak satu tempatpun yang akan dilewatinya begitu saja tanpa dia harus menyelidiki terlebih dulu. Karena dia telah bertekad menjelajahi jagat untuk mencari adik perempuannya.
Sebuah gedung yang terletak dilereng bukit yang biasanya sunyi mencekam, siang itu tampak riuh oleh suara-suara manusia. Itulah gedung milik seorang pendekar tua yang bergelar si Pendekar Kipas Maut. Setiap orang diwilayah itu mengenal siapa adanya tokoh tua itu. Selain seorang pendekar tua berilmu tinggi, juga seorang hartawan kaya yang memiliki belasan kapal dagang. Bukit yang letaknya tak jauh dari pantai itu bahkan sudah menjadi milik pribadinya.
Pintu-pintu gedung tampak penuh dengan hiasan dari kain berwarna-warni. Pintu gapura yang terletak di sebelah utara juga telah dihias. Demikian juga dengan tembok tebal yang memagari sekitar gedung. Tampaknya hari itu adalah hari yang istimewa dengan adanya keramaian yang tidak seperti biasanya.
Memang! hari itu adalah hari ulang tahun si hartawan tua alias si Pendekar Kipas Maut. Menurut keterangan para anak buahnya adalah merupakan hari ulang tahun yang ke 70. Jadi pada hari ini genaplah usia sang pendekar tua tujuh puluh tahun.
Dipesisir pantai banyak kapal-kapal kecil ber-labuh. Dan berbondong-bondong para tamu undangan menuju ke arah bukit. Bahkan sudah sejak pagi tadi belasan tamu sudah duduk di dalam ruangan depan gedung.
Dari sebuah perahu berukiran kepala burung melompat turun dua orang laki-laki berpakaian bangsawan. Keduanya masih cukup muda. Usia mereka ditaksir sekitar dua puluhan tahun lebih. Tiga orang laki-laki berbaju kuning menyusul melompat dari perahu yang baru saja mendarat. Lalu berkelebat cepat ke arah bukit. Gerakan mereka menandakan bahwa ketiganya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Ketika melintasi kedua orang berpakaian bang-sawan, salah seorang dari laki-laki berpakaian bang-sawan itu berbisik pada kawannya. "Ssst! tiga orang yang selalu membuntuti perahu kita tadi rupanya juga orang undangan si Pendekar Tua Kipas Maut!"
"Dari pakaiannya yang berwarna kuning serta senjata yang terselip dipunggung, bukankah mereka si Tiga Setan Tenggara?" kata kawannya.
"Benar dugaanmu!" kata laki-laki yang bertubuh lebih tinggi. Pemuda ini berkulit agak kehitaman. Walaupun pakaiannya cara pakaian bangsawan, tapi cara berjalannya seenaknya saja. Bahkan bila diteliti dia telah salah memasang kancing baju yang tidak te-pat pada lubangnya. Hingga kedua ujung baju sutera yang dipakainya tidak sama rata.
"Eh, mari kita percepat jalannya agar segera sampai ke tempat tujuan." kata si pemuda berbaju salah lubang kancing.
"Huu..! kau ini seperti tamu undangan saja! Baju yang kita pakai saja dapat mencuri! haha...hihi..." si laki-laki kawannya tertawa geli.
Tentu saja sang kawan cepat-cepat mencubit pantatnya hingga dia mengaduh. "Sssst! tertawamu jangan terlalu keras. Bisa-bisa menarik perhatian orang!" bisik si pemuda ini.
"Tapi tak usah main cubit pantat segala!" sungut kawannya.
"Ya, ya! aku minta maaf. Lain kali tidak lagi!" sahut si bangsawan muda ini dengan tersenyum. "Sakit ya?"
"Kalau tak sakit masa aku mengaduh?"
"Ehm, benar juga..! dulu waktu ibuku mengidam kepingin makan kepiting, jadi sampai sekarang aku sukar menghilangkan kebiasaan ini"
"Sudahlah jangan mengaco!" bentak kawannya.
Sementara itu keadaan digedung tempat tinggal si Pendekar Kipas Maut telah memulai upacara. Para tamu undangan terdiri dari para tokoh kaum Rimba Hijau yang berada di sebelah timur gedung. Mereka duduk dideretan kursi yang telah disediakan. Sedangkan dari pihak para saudagar dan bangsawan berada dikursi sebelah barat.
Tentu saja kemunculan dua orang bangsawan muda itu menarik perhatian, karena pakaiannya yang salah lobang kancing. Sedang yang seorang lagi cara berpakaiannya, mirip laki-laki tapi gerakan dan tindak tanduknya mirip wanita, Namun penerima tetamu segera mempersilahkan keduanya untuk menduduki kursi sebelah barat.
Seorang laki-laki berjubah merah semerah darah dengan hiasan benang-benang emas tampak berdiri dari kursinya. Laki-laki ini berwajah lebar. Berhidung mancung agak besar bagian pangkal hidungnya. Sepasang matanya agak sipit karena kedua pipinya menggembung. Berkumis dan berjanggut putih dan berikat kepala dari kain sutera hitam berukir kembang dari benang emas. Dialah si Pendekar Kipas Maut.
"Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara untuk mengunjungi tempat tinggalku dalam rangka memperingati hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh ini. Hari ini aku sangat bergirang hati karena masih punya kesempatan mengundang saudara-saudara. Tentu saja atas susah payah anda sekalian melangkahkan kaki ke tempatku ini kami akan memberikan sedikit imbalan dengan sekedar jamuan. Dan tentu saja tak lupa kita saling mendoakan semoga kita semua diberi panjang umur, hingga kita dapat berjumpa muka lagi di tahun depan..."
Tepuk tangan riuh menggema di dalam ruan-gan gedung, ketika si Pendekar Kipas Maut berhenti berkata. "Terima kasih! Terima kasih!" Laki-laki tua ini mengangkat kedua tangannya dan menjura ke arah para tetamu. Pada saat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau ke arah depan. Tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di hadapan si Pendekar Kipas Maut.
"Aku si Ular Kobra Hijau mengucapkan selamat ulang tahun yang ketujuh puluh padamu sobat Pendekar Kipas Maut!" seraya berkata orang ini membungkukkan tubuh menjura pada si pendekar tua.
Sang pendekar tua ini terkejut melihat kemunculan orang ini, karena dia merasa tak mengundangnya. Akan tetapi orang sudah datang dan menjura padanya. Cepat-cepat dia balas menjura. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan satu kekuatan hebat telah menyerang ke arahnya. Rupanya gerakan menjura itu telah dibarengi oleh serangan dahsyat yang sukar diduga.
Namun sebagai pendekar tua kawakan Pendekar Kipas Maut maklum kalau sang tamu tak diundang itu sengaja menjajal ilmunya. Segera dia kerahkan tenaga dalam untuk menolak kekuatan serangan si Ular Kobra Hijau.
Kelihatannya kedua orang itu sama-sama saling menjura oleh para tetamu lainnya. Akan tetapi sebenarnya telah terjadi saling hantam dengan serangan tenaga dalam. Tampak tubuh si pendekar tua bergoyang-goyang. Jubah putihnya berkibaran. Serangan tersembunyi itu mampu ditangkisnya.
Namun diam-diam laki-laki tua ini terkejut, karena dadanya terasa sesak akibat gempuran tenaga dalam sang tetamu. Tapi hal itu tak membuat dia sampai terhuyung. Hanya tampak tubuhnya sedikit bergoyang-goyang.
Adapun pada pihak si Ular Kobra Hijau tak mengalami perubahan apa-apa. Tubuhnya tak bergoyang sedikitpun. Tapi dia cukup terkejut. Karena tak menyangka kalau si Pendekar Kipas Maut mampu menghalau serangannya, hingga tenaga kekuatan serangannya seolah-olah lenyap sirna.
"Ah, maafkan aku si tua bangka yang rudin ini telah berani datang tanpa diundang! Tapi aku mendo'akan semoga kau panjang umur!"
"Terima kasih! Terima kasih! Aku yang tua dan berilmu rendah ini telah mendapat kunjungan anda, sobat Ular Kobra Hijau..! Bukannya aku tak mau mengundangmu, tapi usia tua ku telah membuat aku banyak lupa pada sahabat-sahabat lama kaum Rimba Hi-jau. Terima kasih atas sumbangan anda..." sahut Pendekar Kipas Maut dengan ramah.
Tapi diam-diam wajahnya berubah merah. Karena cara yang dilakukan sang tetamu tak diundang itu boleh di katakan cara busuk dan tidak sopan yang bisa membuat malu dirinya sebagai tuan rumah.
Melihat keadaan tuan rumah serta sikap mereka, rupanya diantara para tetamu telah bisa menduga apa yang telah terjadi. Tampak tiga laki-laki berbaju kuning melompat berdiri. Dan dengan gerakan ringan secara berbareng mereka berkelebat ke arah depan. Ternyata ketiganya tak lain dari Si Tiga Setan Tenggara. Di bagian para tetamu sebelah barat yang diperuntukkan kaum saudagar dan bangsawan, tampak dua laki-laki bangsawan muda saling berbisik.
"Agaknya pesta bisa menjadi kacau. Lihat! si Tiga Setan Tenggara mulai ikut campur tangan. Hm, mereka pasti mau cari muka di hadapan si Pendekar Kipas Maut!" bisik si gadis penyamar.
"Biar saja! biar tambah ramai! Bukankah kedatangan kita mau menonton keramaian?" sahut si laki-laki salah lobang kancing.
Sementara itu keadaan di ruangan perjamuan jadi tegang. Karena begitu jejakkan kaki di lantai si Tiga Setan Tenggara langsung membentak. "Heh! Ular Kobra Hijau! kami sebagai tetamu undangan merasa berhak menegur caramu yang kurang ajar itu. Perbuatanmu bukan saja tak memandang muka pada tuan rumah, tapi juga bisa kami anggap suatu penghinaan buat kami! Kukira disini bukan tempatnya untuk kau menunjukkan kehebatan ilmu pukulan tenaga dalammu. Kalau sampai terjadi apa-apa jangan harap kau bisa lolos dengan keadaan hidup!"
Pendekar Kipas Maut cepat-cepat menjura pada ketiga orang ini. "Sobat-sobatku, tenanglah! Jangan menambah persoalan. Silahkan duduk kembali...! Dan kepada sobat Ular Kobra Hijau, silahkan mencari tempat duduk!" kata si pendekar tua seraya menoleh pada laki-laki berjubah hijau bertampang angker itu.
Akan tetapi laki-laki ini mendengus. Matanya melotot melihat pada ketiga laki-laki baju kuning dihadapannya. Tapi segera dia perdengarkan suara tertawa sinis,
"Hm, ternyata Tiga Setan Tenggara punya martabat yang sedemikian tingginya. Memang bukan tempatnya di ruangan ini untuk menjajal ilmu! Tapi bukankah di luar gedung ada tempat yang baik? He he... sudah lama aku ingin melihat kehebatan orang ternama yang punya nama besar di Tenggara!"
"Cukup! cukup! kita sudahi saja persoalan ini. Harap kalian para tetamuku segera mengambil tempat duduk..!" sentak si Pendekar Kipas Maut mencegah keributan.
Merasa ditantang bertarung tentu saja Tiga Setan Tenggara merasa dirinya pengecut bila tak menerima tantangan. Apalagi secara kebetulan si Ular Kobra Hijau punya silang sengketa lama dengan mereka.
"Bagus! agaknya kami Tiga Setan Tenggara memang perlu memberi pelajaran padamu agar dapat berlaku sopan dilain hari!" ujar salah satu dari Tiga Setan Tenggara. Dia seorang yang berperawakan kekar, bermuka persegi. Dialah yang menjadi ketua diantara ketiga kelompok ini, yang bernama Bagol Bikrama.
"Maafkan kami, sobat pendekar Kipas Maut! Kami perlu mengajar adat pada manusia ini agar tahu sopan-santun!"
Saat itu si Ular Kobra Hijau telah berkelebat keluar gedung terlebih dulu. Tak ayal si Tiga Setan Tenggara segera berkelebat menyusul. Pendekar tua ini jadi terkejut, dan tak berdaya untuk mencegah. Bahkan dia tak dapat mencegah tetamunya yang sebagian telah bubar dan berlompatan keluar gedung un-tuk menonton pertarungan.
"Hayo, kita menonton..! pertarungan ini pasti menarik!" kata si bangsawan muda pada kawannya si gadis penyamar. Keduanya tak menunggu-nunggu lama lagi segera berlompatan keluar gedung. Suasana pesta ulang tahun dalam sekejap telah berubah menjadi pesta pertarungan.
Pendekar Kipas Maut cuma bisa geleng-gelengkan kepala melihat kejadian itu. Dia tak turut keluar, tapi berdiri termangu di pintu gedung. "Haih! sengaja aku menjauhi persengketaan, tapi justru malah mengundang persengketaan,.!" menggumam si pendekar tua seraya menarik napas.
Sementara itu halaman gedung dalam sekejap saja te-lah penuh dengan orang yang mau menyaksikan pertarungan. Ular Kobra Hijau telah berhadap-hadapan dengan lawan bertarungnya, si Tiga Setan Tenggara.
Haha...hehe... sudah kuduga Tiga Setan Tenggara yang punya martabat tinggi mana mau disebut pengecut tak punya nyali? Hm, apakah kalian memang sudah mempersiapkan diri untuk berurusan denganku?" berkata sinis si Ular Kobra Hijau.
"Tidak salah! Kami memang mau menyelesaikan hutang lama. Kematian seorang saudara seperguruan kami apakah bisa kami lupakan begitu saja?" sahut Bagol Bikrama dengan ketus.
"Memang tidak aneh! dan sudah kuduga! Kini kalian telah memasuki aliran lurus karena sudah bosan main-main dilumpur hitam. Kalau kalian cari muka pada tuan rumah si Pendekar Kipas Maut memang wajar! Dulu kalian menganggap kematian saudara seperguruanmu adalah wajar, karena kita masih satu aliran. Dan aku mengirim nyawanya ke Akhirat, karena saudara seperguruanmu telah melakukan penyelewengan dalam pembagian rezeki! Kalau kalian kini menuntut kematiannya memang sudah kuduga!" berkata Ular Kobra Hijau.
"Tutup mulutmu!" bentak Bagol Bikrama dengan wajah seketika berubah merah padam. Gusarnya tak alang kepalang karena si Ular Kobra Hijau telah membeberkan kisah lama mereka yang hitam. Apalagi mereka dikatakan "mencari muka" pada si pendekar tua tuan rumah. Dua orang kawannya pun memerah wajahnya.
Set! Set! Set!
Serentak mereka segera mencabut senjata dari balik punggung. Inilah senjata andalan mereka, yaitu tombak pendek bermata tujuh. "Tak perlu dan tak ada gunanya kita bersilat lidah. Segera bersiaplah kau Ular Kobra untuk menghadapi senjata kami!" bentak Bagol Bikrama. Dua orang kawannya yang bernama Bagol Benggala dan Bagol Bagal tanpa menunggu lama segera menyerang secara berbareng.
Ular Kobra Hijau mendengus. Sejak tadi dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga la-wannya. Sepasang lengannya tampak mengepulkan uap tipis berwarna hijau. Ketika senjata-senjata lawan meluruk deras ke arahnya, secepat kilat dia melompat ke udara. Gerakan jungkir balik itu dibarengi dengan hantaman pukulan maut ke arah batok kepala lawan.
Whuk! Whuk!
Akan tetapi Setan Tenggara telah menarik serangan dan melompat berpencar ke kiri dan ke kanan. Mereka tahu lawannya bukan lawan enteng. Dan kewaspadaan mereka dilipat gandakan. Mereka tahu akan bahayanya uap hijau lawan.
Bagol Bikrama menerjang dengan hantaman pukulan yang disertai sambaran senjata ke arah ping-gang. Ular Kobra Hijau memang bermata jeli. Dia sudah menduga akan serangan lawan. Lengannya mengibas menghantam tanah. Mendadak tubuhnya melambung dengan meminjam tenaga pukulan. Loloslah serangan lawan. Dan dengan ringan kedua kakinya hinggap ditanah.
Terdengar suara tepukan riuh memuji dari se-bagian penonton. Agaknya jurus yang dipergunakan Ular Kobra Hijau amat bagus. Merahlah wajah si Tiga Setan Tenggara. Bagol Bikrama tiba-tiba bersuit nyaring memberi tanda. Seketika menerjanglah ketiganya dan mengirim hantaman dan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Dalam sekejap saja yang nampak adalah cuma bayangan-bayangan hijau dan kuning saling berkelebatan, diiringi bentakan-bentakan keras merobek udara. Jurus-demi jurus terus berlalu. Serangan-serangan hebat si Tiga Setan Tenggara memang luar biasa. Tombak mata tujuh mereka seperti bayangan maut yang menusuk dan menerjang bertubi-tubi. Agaknya ketiganya berniat cepat-cepat menghabisi lawannya.
Tampaknya Ular Kobra Hijau agak kewalahan menangkis dan menghindari serangan itu. Bahkan dia tak punya kesempatan untuk melepaskan pukulannya yang mengandung uap racun. Apalagi dia harus menghadapi tiga lawan sekaligus. Namun segera nampak kelebihan dari laki-laki bertampang angker ini. Karena tampak dengan mudahnya dia menangkis dan menghalau serangan.
Sementara itu dua bangsawan tiruan yang turut menyaksikan mulai berbisik-bisik. "Kita bertaruh! kau pegang siapa yang menang?"
"Baik! Apa taruhannya?" kata si gadis penyamar.
"Kalau kau menang dalam perjalanan besok aku akan menggendongmu. Kalau kau kalah kau yang menggendongku!" sahut si bangsawan kawannya.
"Huh! taruhan macam apa itu? Aku tak mau! Sudahlah, tak perlu pakai taruhan segala...!" desis si gadis penyamar dengan muka merah jengah. Diam-diam hatinya menjadi geli. Kawannya itu memang lagaknya konyol.
"Aku pegang si Ular Kobra Hijau. Dia yang akan memenangkan pertarungan ini" kata si gadis penyamar.
"Hm, kalau aku pegang yang menang sajalah!" berkata si pemuda kawannya dengan menyengir.
"Kau ini mengajak orang bertaruh, tapi tidak sungguh-sungguh? Huuuh! dasar pemuda konyol! Ceriwis lagi!" gerutu si gadis penyamar.
"Aku sungguh-sungguh! bukan saja aku memegangnya, tapi aku akan memeluknya"
"Terserah kaulah! Hari ini kau memang mulai bicara melantur! Dan…, apakah kau... mulai linglung? Dasar si...."
"Ssssssst!"
Cepat-cepat si pemuda kawannya menaruh telunjuk di depan mulutnya. Peringatan itu membuat si gadis penyamar tersadar bahwa dia hampir terlepas bicara. Untung saja suaranya tertahan. Dan perhatian orang tengah tertuju pada jalannya pertarungan.
Pada saat itu si Ular Kobra Hijau mengeluarkan bentakan keras. Tubuhnya mencelat setinggi lima tombak. Ketika menukik sepasang lengannya terentang. Terdengarlah jeritan-jeritan saling susul ketika gelombang uap hijau meluncur dari sepasang telapak tangannya. Kejadian itu begitu cepat. Rupanya si Ular Kobra Hijau telah menyiapkan serangan maut itu, dan mencari peluang yang tepat.
Tiga batang tubuh si Tiga Setan Tenggara terjungkal roboh dan berkelojotan meregang nyawa. Dalam waktu tak berapa lama ketiga tubuh laki-laki itu terkulai dan melepaskan nyawa, dengan kulit muka berubah menghijau. Uap racun ganas si Ular Kobra Hijau tua ini telah menewaskan mereka.
Kejadian itu membuat semua penonton memekik kaget. Keadaan yang tadinya tegang itu berubah jadi kengerian. Karena seketika semua menatap pada si Ular Kobra Hijau dengan marah. Mereka tak me-nyangka kalau manusia itu tega menurunkan tangan keji.
Apalagi mereka mengetahui kalau si Ular Kobra Hijau adalah bukan orang undangan si tuan rumah. Benar saja! Saat itu juga telah berkelebat melompat lima orang laki-laki ke hadapan tokoh golongan hitam ini.
"Manusia pengacau! kau telah seenaknya saja menyebar maut ditempat kami. Perbuatanmu yang kurang ajar dan tak tahu sopan-santun pada ketua kami saja sudah dapat membuat kami dari pihak tuan rumah untuk mengusirmu! Kini kau menebar maut pula terhadap tiga orang tetamu terhormat kami yang sen-gaja datang jauh-jauh untuk menghadiri upacara ulang tahun ketua kami!"
"Hm, siapakah kalian?" berkata si Ular Kobra Hijau dengan suara dingin.
"Kami Lima Elang Cakar Besi!" kelima orang ini mempekenalkan diri.
"Heh! apakah kalian juga akan menunjukkan kepandaian di hadapanku?" bentak si Ular Kobra Hijau dengan suara sedingin es.
"Keparat! kami bukan mau menunjukkan kepandaian. Tapi akan mengusirmu seperti mengusir anjing kurap, karena kau telah membuat kekacauan pesta!" bentak ketua dari Lima Elang Cakar Besi den-gan menggembor marah.
"Bagus! kalau kalian dapat mengusirku, aku berjanji tak akan muncul lagi di Rimba Hijau untuk selamanya!" sumbar si Ular Kobra Hijau dengan tertawa sinis.
"Keparat! manusia sombong sepertimu yang te-lah banyak menumpuk dosa dan menebar maut sudah tak layak diusir lagi, tapi dikirim ke Neraka!" bentak Lima Elang Cakar Besi. Dan secara serentak mereka menerjang dengan senjata-senjata Cakar Besi yang menjadi andalan mereka.
Pertarungan kedua tak dapat dihindarkan lagi. Lima tokoh persilatan yang memang adalah orang-orang dari pihak si tuan rumah ini dengan ganas melakukan serangan-serangan. Ular Kobra Hijau perdengarkan dengusan. Sekejap saja tubuhnya lenyap diantara kelebatan senjata-senjata lawan. Gerakan laki-laki tokoh hitam ini memang luar biasa gesitnya, walaupun kelima lawannya telah mengurung rapat dengan serangan-serangan gencar.
Sementara itu di dalam gedung keadaan para tetamu undangan jadi kacau dan diliputi ketakutan. Terutama dari kaum para saudagar dan bangsawan. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan diri mereka.
Pendekar Kipas Maut sendiri seperti kebingungan untuk mengambil langkah apa yang akan diperbuatnya. Mencegah pertarungan sudah tak memungkinkan lagi. Pada saat itu tiba-tiba terdengar jeritan dari arah ruang dalam gedung, disusul teriakan-teriakan riuh.
"Rampok! Rampok! Kejaar! Tangkaap...!" Dan lapat-lapat terdengar pula teriakan, "Penculik! Tolooong! Den Ayu Setyorini diculik!" Dan disusul pula oleh suara-suara bergedubrakan serta jerit-jerit mengerikan.
"Celaka! apa yang terjadi?" sentak si Pendekar Kipas Maut.
Detik itu juga dia telah berkelebat melompat ke ruangan dalam. Hampir saja dia bertubrukan dengan beberapa orang anak buahnya yang justru tengah berlari memasuki ruangan pertemuan.
"Apa yang terjadi? Katakan cepat!" bentak laki-laki tua ini.
"Celaka, ketua...! Ada beberapa orang pengacau memasuki gedung bagian belakang. Dua orang mendobrak pintu kamar ketua. Kami berusaha menggempur untuk meringkus, tapi mereka berilmu tinggi. Dua kawan kami tewas, dan kami sendiri terluka. Mereka merampok harta benda dan... dan kami tak tahu apa yang terjadi dengan Den Ayu Setyorini. Kami hanya melihat bayangan-bayangan berkelebat dari jendela ruangan kamar Den Ayu...! Kemudian secepatnya kami kemari untuk memberitahu ketua!" melapor salah seorang dari kedua orang pengawal gedung itu. Tampak bahu dan lengannya mereka terluka dan mengucurkan darah.
"Bodoh! mengapa bisa terjadi demikian? Kemana pengawal gedung yang lainnya?" sentak si Pendekar tua dengan wajah pucat.
Mendadak... ya! mendadak sekali, secepat kilat kedua pengawal gedung itu tiba-tiba menusuk dan menabaskan golok-golok ditangannya. Kejadian itu begitu cepat dan di luar dugaan. Tak ampun lagi lambung si Pendekar Kipas Maut telah terhunjam oleh golok hingga amblas hampir ke gagangnya.
Dan tabasan golok pengawal yang satu lagi merobek pinggang si pendekar tua. Terbelalak mata laki-laki ini. Seketika tubuhnya terhuyung. Darah menyembur dari lukanya.
"Hahaha... siapa yang bodoh, pendekar tua? Justru kaulah yang bodoh! Karena semua ini telah kami rencanakan!" berkata salah seorang pengawal gedung dengan tertawa menyeringai.
"Keparat! Siapa sebenarnya kalian?" bentak Pendekar Kipas Maut dengan wajah pucat pias.
"Haha..haha... kami adalah komplotan Orang-Orang Lapar!"
"Bedebah laknat!" menggerung marah pendekar tua ini. Walau keadaannya amat mengiriskan hati, tapi laki-laki tua ini masih mampu melancarkan serangan ke arah dua pengawal gedung palsu itu.
WHUUUK! WHUUUK!
Dua hantaman sekaligus bertenaga dalam cukup tinggi dari sisa-sisa kekuatannya menerjang dua laki-laki itu. Angin panas menyambar dahsyat! tapi dengan cepat keduanya bergulingan menghindar.
Bhlarr! Terdengar suara berderak keras. Tiang penyangga gedung hancur dan roboh terkena hanta-man angin pukulannya. Dua manusia licik itu berge-rak cepat dan melompat berdiri. Mendadak mereka melepaskan senjata-senjata rahasia ke arah si pendekar tua yang tengah terhuyung-huyung menahan tubuhnya itu. Pada saat yang sama dua sosok bayangan berkelebat memasuki ruangan.
"Celaka!" terdengar teriakan terkejut. Salah satu bayangan mendadak berkelebat ke arah sang pendekar tua yang telah terluka parah. Dua larik sinar ungu menyambar ke arah meluruknya senjata-senjata rahasia tersebut. Seketika itu juga buyarlah senjata-senjata rahasia mengandung maut itu dan terhantam balik ke arah penyerangnya.
Terdengarlah jeritan-jeritan menyayat hati diiringi robohnya dua pengawal gedung palsu itu. Sekujur tubuhnya penuh tertancap paku-paku beracun milik mereka sendiri. Setelah berkelojotan sesaat antaranya kedua manusia busuk itu melepaskan nyawa.
Ternyata si penolong ini tiada lain adalah salah satu dari dua bangsawan penyamar. Ketika mendengar kegaduhan di dalam gedung mereka segera berkelebatan masuk untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Sobat tua Pendekar Kipas Maut, apakah yang terjadi?" teriak si pemuda salah lobang kancing seraya melompat mendekati.
Terkejut pemuda bangsawan penyamar ini melihat keadaan si tuan rumah yang mengiriskan. Darah mengucur dari lukanya yang merobek pinggang. Dan sebuah golok terhunjam di lambungnya.
"Terima kasih atas bantuanmu, sobat-sobat tetamuku..." kata laki-laki tua ini menatap kedua bangsawan muda dihadapannya. Dia mengetahui barusan nyawanya dalam bahaya dan telah diselamatkan oleh salah seorang diantaranya. Akan tetapi bahaya lain terus mengincar, disamping keadaan si pendekar tua sudah diambang maut.
Mendadak terdengar suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu roma disusul berkelebatnya sesosok bayangan. Sekejap di ruangan itu telah berdiri sesosok tubuh dari seorang wanita berbaju merah berkembang-kembang warna putih.
Akan tetapi berkulit muka hitam dan wajahnya tak sedap dipandang. Wanita ini bermuka kasar berbibir tebal. Kedua daun telin-ganya lebar mengenakan anting-anting besar. Sorot matanya tajam menggidigkan.
"Mawar Beracun...!?" sentak si Pendekar Kipas Maut terkejut.
"Hihihi.. bagus! kau masih mengenaliku pendekar tua, di saat maut sudah diambang pintu. Sebenarnya aku memang malas turun tangan untuk menghabisi nyawamu yang sudah pantas pensiun! Dan aku telah mewakilkan beberapa orang muridku untuk menjalankan tugas dengan menyamar sebagai pengawal-pengawal gedung!"
"Apa maksudmu sebenarnya? Mengapa kau bertindak sepengecut ini?" menggeram si Pendekar Kipas Maut.
"Hihihi... Aku telah masuk dalam komplotan Orang-Orang Lapar! Tugasku adalah merampas harta bendamu, karena kau telah menolak untuk membantu perjuangan kami. Aku mengetahui kau mempunyai banyak simpanan. Ketahuilah, bahwa setiap perintang perjuangan kami harus dilenyapkan! Aku telah menghasut anak-anak buahmu, dan hampir sebagian berada dipihakku! Dan kau tahu, siapakah si Ular Kobra Hijau? Dia adalah suamiku yang turut mendukung perjuanganku!
"Hihi... kini kau adalah seorang yang paling miskin dan paling rudin, Pendekar Kipas Maut! Bahkan kematianmu amat hina dari rendah, karena harus mati di tangan anak buahku. Di tangan orang-orang berkepandaian rendah! Kematian dua anak buahku itu tak ada artinya. Bahkan anak-anak buahku telah berhasil menculik anak gadismu Setyorini! Anak gadismu akan kami jadikan komplotan Orang-Orang Lapar!"
Amarah si Pendekar Kipas Maut laksana menggelegaknya lahar panas kawah gunung yang mau meledak! Tubuhnya tergetar bergoyang-goyang. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Giginya gemeretuk menahan geram.
"Manusia tidak tahu membalas budi!" membentak laki-laki pendekar tua ini. "Patutkah kau membantu perjuangan kaum pemberontak kerajaan Mataram? Padahal pihak Kerajaan berupaya mempersatukan seluruh wilayah dan bertindak adil serta bijaksana dalam pemerintahannya! Belasan tahun kau mengabdi padaku, dan belasan tahun aku menaruh kepercayaan padamu. Bahkan kau sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Tapi beginikah balasanmu? Secara diam-diam kau memasuki komplotan manusia-manusia serakah! manusia-manusia tamak, yang tak menghargai tujuan mulia pihak Kerajaan. Manusia-manusia yang mementingkan hawa nafsu belaka! Hatimu telah tercemar oleh racun! betapa nistanya! betapa terkutuknya! Ooooh! kau memang sungguh-sungguh manusia terkutuk!" teriak si Pendekar Kipas Maut dengan suara menggetar.
Sementara itu kedua bangsawan muda samaran cuma terpaku mendengarkan. Wanita berwajah hitam itu perdengarkan suara tertawa dingin.
"Hihi.... Kalau hatiku tercemar racun memang tepat. Karena sejak empat tahun yang lalu aku menghilang dari sini, aku telah bergelar si Mawar Beracun! Dan bukanlah kau telah mengetahui pula? Sayangnya kau tak mengetahui rencana yang telah kupersiapkan, hingga terpaksa kau harus menebusnya dengan mahal!" Kembali wanita ini mengikik tertawa.
"Iblis keparat!" mendadak si pendekar tua membentak keras. Lengannya bergerak menghantam. Hawa panas menyambar ke arah si Mawar Beracun. Serangan itu disusul oleh kilatan sinar perak yang menyambar bagaikan kilatan lidah petir ke arah wanita itu. Ternyata itulah senjata Kipas Maut si pendekar tua yang dipergunakan untuk membinasakan manusia tak tahu membalas budi itu.
Akan tetapi detik itu bayangan si wanita berkelebat cepat menghindarkan diri. Dan selarik sinar kuning memapaki serangan Kipas Maut si pendekar tua. Terdengar suara berdesing, dan...
Pras!
Kipas Maut si pendekar tua mencelat menjadi dua potong. Ketika wanita itu jejakkan kakinya di lantai, ditangannya telah tergenggam sebuah pedang bersinar kuning.
Membelalak mata si Pendekar Kipas Maut. "Kau.. kau telah mencuri pedang Mustika Emas milikku?" gembor si pendekar tua.
"Hihihi... sudah sejak lama pedang pusaka ini berada ditanganku!"
"Kau... kau... jahanam! Ke... parat!" Gemboran si Pendekar Kipas Maut mendadak diiringi dengan terjungkalnya tubuh yang limbung itu. Darah kental menyembur dari mulutnya ke lantai, bercampur dengan ceceran darah dari luka-lukanya yang sudah sangat parah.
Si pemuda bangsawan samaran terkejut. Dia memburu ke arah pendekar tua itu. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengikik si Mawar Beracun.
"Hihihi... kau pemuda bangsawan palsu! Aku telah mengetahui siapa dirimu. Silahkan kau datang ke desa Wabah Kusta untuk mencariku! Ajaklah serta kawan gadismu. Bukankah dia tengah mencari jejak pembunuh orang tuanya? Dia ada didesa Wabah Kusta!" Selesai berkata bayangan tubuh si Mawar Beracun berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Pemuda ini melompat mengejar disusul oleh ke-lebatan tubuh si gadis penyamar kawannya. Akan te-tapi saat itu bersamaan dengan munculnya puluhan manusia yang berjejalan memasuki ruangan gedung. Terpaksa keduanya menahan langkahnya.
Belasan orang memburu ke arah si Pendekar Kipas Maut yang terkapar bermandikan darah. "Celaka! ketua terbunuh! Ketua kita tewas terbunuh!" Beberapa orang berteriak. Mendadak satu bentakan keras menggema di ruangan itu.
"Pasti kalian pembunuhnya! Heh! jangan harap kau dapat meloloskan diri!" Tahu-tahu tiga orang telah berkelebat ke hadapan si kedua bangsawan samaran.
"He? tunggu dulu! Kalian jangan menuduh orang sembarangan!" teriak si pemuda dengan wajah pucat. Demikian juga gadis penyamar kawannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Dia melangkah maju dan berkata.
"Memang benar, bukan kami yang membunuh beliau. Justru kami tengah mengejar..."
Akan tetapi ketiga orang itu telah membentak "Jangan coba-coba menipu kami! Sudah sejak semula kedatangan kalian amat mencurigakan. Kalian bangsawan-bangsawan palsu yang menyamar!"
"Enak saja kau bicara! Apakah kau bisa membuktikan?" sanggah si pemuda dengan bertolak pinggang.
"Huh! pakai bajupun salah lobang kancing! Kalau pakaianmu bukan boleh meminjam, tentu hasil mencuri!" kata laki-laki bertampang angker ini seraya menunjuk pada baju si pemuda.
Tentu saja membuat si pemuda cepat melirik pada bajunya. "Celaka aku...! Haih! aku kurang teliti memasang kancing baju..." Mata pemuda ini mendelik kaget ketika mengetahui keadaan pakaiannya.
Pada saat itu beberapa orang yang memeriksa dua orang mayat yang terkapar di ruangan itu berteriak. "Lihat! Ini dua orang kita...! Kalau bukan dua cecunguk ini yang telah melakukannya, habis siapa lagi?"
Membentak marah ketiga orang itu. Dan tanpa menunggu waktu lagi mereka segera menyerang den-gan senjata-senjatanya yang telah sejak tadi telanjang. Terpaksa kedua "bangsawan" ini harus mempertahankan nyawanya. Mereka berkelit gesit menghindari serangan dan mencoba menerobos keluar dari pintu ruangan. Tapi puluhan manusia semakin banyak mengurung mereka.
Sementara itu pertarungan di luar gedung telah sejak tadi berakhir. Lima Elang Cakar Besi tampak berkaparan tak bernyawa. Dan entah sejak kapan lenyapnya si Ular Kobra Hijau, karena sosok tubuhnya tak kelihatan lagi.
"Celaka...! apa yang harus kita lakukan?" bisik si pemuda pada kawan gadisnya.
"Kita terobos saja kepungan mereka, dan bunuh setiap yang menghalangi!" bisik si gadis penyamar.
"Jangan sembarangan membunuh orang! Urusan bisa bertambah runyam!" bisik si pemuda.
"Habis apa yang akan kita lakukan? Berdiam diri dan membiarkan mereka membantai kita?" sungut si gadis. "Hm! aku akan pakai caraku sendiri!"
Mendadak gadis ini membuka jubah bangsawannya dan melemparkan ke lantai. "Hayo, tanggalkan pakaian sial itu! Tak ada gunanya lagi kita menyamar!" berkata si gadis seraya membersihkan kumis palsunya.
Mau tak mau pemuda ini segera membuka ju-bah samarannya dan membantingnya di lantai. Saat itu semua mata tertuju pada keduanya. Kini di hadapan mereka terlibat dua orang remaja. Yang seorang adalah pemuda berpakaian putih dari kain kasar yang serba gombrong. Dan seorang lagi adalah gadis muda berusia kira-kira 18 tahun berwajah cantik dengan rambut dikepang dua.
Empat orang kekar berpakaian hitam dengan simbol kepala tengkorak berwarna putih melompat ke depan. "Bagus! kiranya kalian datang sengaja mengacaukan pesta. Dan dengan cara membokong telah membunuh Pendekar Kipas Maut! Sebutkan siapa se-benarnya kalian sebelum kami mengirim nyawa kalian ke Neraka!" bentak salah seorang.
"Bukan kami yang... yang..." berkata gagap si pemuda dengan paras berubah pucat. Akan tetapi saat itu si gadis berkepang telah melompat dan mendorong tubuh si pemuda, dengan mata membeliak lebar.
"DEWA LINGLUNG! Kau ini seorang pendekar ataukah seorang pengecut? Jelas kita difitnah! Bukan mustahil kalau semua ini telah mereka rencanakan! Membunuh mereka sama artinya dengan membunuh komplotan Orang-Orang Lapar!"
Tentu saja seketika wajah keempat laki-laki berbaju hitam bersimbol kepala tengkorak itu jadi berubah terkejut. Perubahan wajah itu segera dimanfaatkan oleh si gadis.
"Hei! kalian semua majulah, kalau mau mampus di tangan si Pendekar Naga Merah alias si Dewa Linglung!" berteriak lantang gadis ini seraya mencabut senjata sepasang tombak pendek berumbai kain merah dan kuning dari pinggangnya.
"Haiih! anak bengal!" gerutu pemuda ini dalam hati. Siapa adanya orang ini memang tak lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung. Tentu saja dengan begini mereka tak perlu menutupi diri lagi.
"Benarkah kau si Dewa Linglung?" sentak keempat laki-laki itu dengan kaki tak terasa menyurut mundur.
"Apa yang dikatakan nona Milani sahabatku ini memang benar! Namaku Nanjar, dan kaum Rimba Hijau menggelariku dengan julukan si Dewa Linglung...." berkata Nanjar dengan tersenyum.
"Nah! apakah kalian semua percaya kalau seorang pendekar seperti si Dewa Linglung yang jelas berada dijalan lurus telah main bokong membunuh si Pendekar Kipas Maut yang juga berada di aliran lu-rus?" berteriak lantang si gadis bernama Milani ini.
Beberapa orang yang turut mengurung menda-dak melompat maju. Dan salah seorang berkata. "Kami dari perguruan Merak Sakti menyatakan bahwa hal ini adalah tidak mungkin. Ini memang suatu fitnah keji yang telah direncanakan!"
"Aku si tua bangka juga sependapat dengan sobat-sobat dari perguruan Merak Sakti!" seorang kakek berpakaian bertambalan mirip pengemis melompat maju. Kakek tua ini menjura pada si Dewa Linglung.
"Nama asliku Beng Sam Kun. Sudah sejak lama aku mengabdi pada Kerajaan Mataram. Ayahku dari Tartar. Ibuku asli pribumi. Sungguh girang hatiku da-pat berjumpa dengan anda sobat Pendekar Dewa Linglung yang telah kudengar kehebatan serta perjuangannya menegakkan keadilan!"
Nanjar cepat-cepat balas menjura. "Ah, ilmuku yang rendah dan sedikit perjuanganku itu belum berarti apa-apa, sobat pendekar Beng Sam Kun. Orang hanya melebih-lebihkan saja..." kata Nanjar merendah.
Tapi diam-diam dia terkejut, karena jelas ditempat itu banyak tokoh-tokoh sakti dari pihak kaum pendekar. Bahkan terdapat diantaranya orang-orang Kerajaan Mataram. Ketika menjura tadi terasa ada kekuatan tenaga yang menindih ke arah dadanya.
Tapi Nanjar sudah maklum kalau si kakek pengemis cuma menguji saja. Cepat-cepat dia gunakan jurus tenaga dalamnya Menolak Angin Menghalau Hujan. Kekuatan tenaga dalam yang menghimpit dada sekejap telah punah. Jurus itu dipergunakan ketika balas menjura.
Hal ini berbeda dengan tenaga dalam yang dikerahkan si Ular Kobra Hijau terhadap si Pendekar Kipas Maut. Karena si Ular Kobra Hijau menggunakan tenaga keras untuk menghantam. Sedangkan si kakek pengemis Beng Sam Kun menggunakan tenaga halus untuk menindih.
Menghantam dan menindih adalah sangat berbeda. Kalau menghantam bisa membuat sesuatu yang dihantam menjadi hancur. Akan tetapi menindih tidaklah demikian. Nanjar menduga hal itu adalah sudah menjadi adat kebiasaan si kakek untuk berkenalan pada seseorang.
Benar saja! Karena di telinga Nanjar mendadak terdengar suara halus si kakek Beng Sam Kun. "Sobat Dewa Linglung! Aku berada dipihakmu...!" Nanjar tersenyum dan manggut-manggut menatap si kakek pengemis.
"Ah! Kami sebenarnya tak tahu menahu dengan urusan ini. Kami hanya menerima undangan. Tentu saja kami berada di pihak si tuan rumah. Kalau yang membunuh adalah komplotan Orang-Orang Lapar seperti yang dikatakan nona muda ini, mungkin saja benar. Tapi kalau menuduh kami adalah anggota dari komplotan itu, tentu saja kami menolak!" kata laki-laki yang berdiri agak depan.
"Sebenarnya tuduh-menuduh tanpa alasan itu tidak dibenarkan. Biarlah aku si tua bangka hina-dina ini mewakilkan nona Milani untuk menyampaikan maaf, dan menyudahi urusan sampai disini!" berkata si kakek Beng Sam Kun menengahi.
"Saat ini kita tengah berkabung dengan kematian salah seorang sahabat kita dari kaum pendekar. Yaitu Sobat Pendekar Kipas Maut! Sebaiknya kita le-kas-lekas mengurus jenazah! Di tempat ini memang sukar dibedakan mana kawan dan mana lawan. Tapi sebagai orang yang telah berkecimpung di dunia persilatan tentu bisa waspada!" sambung si kakek pengemis.
"Kalau begitu kami mohon diri. Dan kamipun mohon maaf pada sobat pendekar Dewa Linglung atas kekeliruan kami!" Selesai berkata keempat laki-laki itu menjura, kemudian balikkan tubuh dan menyeruak keluar dari kerumunan orang.
"Haih! hampir saja persoalan akan menjadi lebih rumit! Untunglah kau orang tua sobat Beng Sam Kun dapat mencari jalan keluar. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian semua, hingga kami terhindar dari fitnah!" kata Nanjar seraya menjura pada si kakek pengemis dan orang-orang dari perguruan Merak Sakti.
"Kalau urusan sudah beres, biarlah aku angkat kaki lebih dulu!" Tiba-tiba si gadis Milani balikkan tubuh dan berkelebat keluar gedung.
"Hei! mau kemana kau adik Milani? Tung-guu...!" teriak Nanjar terkejut.
"Aku akan ke desa Wabah Kusta mencari pembunuh ayah ibuku!" teriak Milani. Sesaat masih terlihat bayangan tubuhnya yang berkelebat melompat dari sebuah jendela bulat di sisi ruangan gedung.
"Celaka! pasti dia ngambek padaku!" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Pada saat itu si kakek pengemis Beng Sam Kun berkata. "Silahkan sobat menyusulnya. Biarlah mengenai urusan pemakaman jenazah, kami dan kawan-kawan lainnya yang mengurus!"
Sejenak Nanjar menatap pada laki-laki tua kurus berjubah putih itu, kemudian menyapukan pandangannya pada orang-orang perguruan Merak Sakti.
"Ya, biarlah kami yang akan mengurus!" kata salah seorang.
"Baiklah! sekali lagi kami mengucapkan terima kasih!" Selesai berkata tubuh sang Pendekar Naga Merah berkelebat, dan lenyap dari pandangan mata, tak tahu kemana arah keluarnya dari gedung itu. Cuma mata tua yang tajam dari si kakek Beng Sam Kun saja yang mengetahui.
Semua orang yang berada ditempat itu menggeleng-gelengkan kepala penuh kekaguman. Demikian juga halnya orang-orang perguruan Merak Sakti. Pemuda itu seperti punya ilmu menghilang saja. Sekejap mata telah lenyap dari hadapan mereka.
Kemana gerangan perginya si gadis bernama Milani itu? Benarkah dia pergi karena ngambek alias marah pada Nanjar si Dewa Linglung? Apakah tujuan-nya memang ke desa Wabah Kusta untuk mencari orang yang telah membunuh kedua orang tuanya?
Dengan gerakan cepat bagaikan seekor wallet, Milani menuruni bukit sebelah barat. Sengaja dia mengambil arah lain dan tak melalui pintu masuk ke tempat gedung dilereng bukit yang ada di sebelah utara.
Entah beberapa saat dia berlari, ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara memanggil namanya di kejauhan. Dia tahu itu suara Nanjar si Dewa Linglung. Tapi dia tak memperdulikan. Bahkan mempercepat larinya. Dalam beberapa saat saja dia telah memasuki hutan belukar.
Dia terus berlari dan berlari menembus hutan, kemudian menyusuri tepi sungai berbatu-batu. Dan baru berhenti ketika cuaca mulai berubah gelap. Ternyata hari telah menjelang senja. Milani duduk diatas batu besar diseberang sungai. Pandangan matanya menjalari sekitarnya.
"Jejak si pembunuh kedua orang tuaku telah kuketahui, walau aku belum menemukannya. Aku yakin si Mawar Beracun tidak berdusta..." berkata Milani dalam hati. "Tapi yang membuat aku heran, mengapa dia mengenal diriku? Dan mengetahui maksud tujuanku?"
Milani tercenung beberapa saat. Tiba-tiba gadis ini mendadak melompat berdiri. "Aku tahu sekarang! Aku pernah melihat dia ketika aku tengah bercakap-cakap dengan si Dewa Linglung di sebuah kedai..." desisnya pelahan.
"Pasti dia orang yang duduk di meja belakang, karena mejanya tak terlalu jauh dari mejaku. Benar! Pantas dia mengenali si Dewa Linglung, juga mengenaliku. Tentu dia membuntuti ketika kami mencuri pakaian bangsawan di sisi sebuah kota!"
Sejenak Milani mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Kemudian dia merenung mengingat per-temuan dengan pemuda bernama Nanjar itu hingga sampai ke tempat ini.
Ketika itu Milani tengah berada di sebuah kota yang cukup ramai. Kota itu baru pertama kali disinggahinya. Sejak dia kembali dari perguruan dan mengetahui kejadian yang menimpa kedua orang tuanya, Milani pergi mengembara. Dia berniat mencari jejak si pembunuh ayah ibunya.
Ayahnya adalah seorang bangsawan yang menjabat sebagai Kepala Desa. Sejak berusia tiga belas ta-hun dia menggemari ilmu bela diri. Itulah sebabnya ayahnya mengirim dia ke sebuah perguruan silat di sebuah tempat yang cukup jauh. Dan belajar ilmu bela diri pada seorang tua yang bernama Ki Tanumbala. Setahun sekali dia pulang untuk menemui kedua orang tuanya.
Empat tahun sudah dia belajar ilmu kedigjayaan. Dan dia berhasil menamatkan pelajaran. Tapi alangkah terkejutnya ketika dia kembali pulang pada keempat kalinya telah menjumpai keadaan gedung tempat tinggalnya telah berubah menjadi puing. Dari keterangan penduduk segera diketahui bahwa kedua orang tuanya telah tewas terbunuh.
Ternyata tak seorangpun yang mengetahui siapa pembunuhnya. Mereka hanya melihat api berkobar dimalam hari membakar gedung tempat tinggal kedua orang tuanya dan memusnahkan bangunan itu. Dari beberapa mayat yang terbakar mereka mengetahui diantaranya terdapat mayat kedua orang tua Milani.
Akan tetapi walau siapa adanya manusia keji yang telah melakukan perbuatan biadab itu tidak diketahui, telah diketemukan sebuah benda oleh salah seorang penduduk. Benda itu berada didekat mayat ayahnya. Yaitu sebuah benda berupa gelang berbentuk ular, terbuat dari emas. Dan sepotong lengan yang putus sebatas pergelangan.
Dapat diduga sebelumnya telah terjadi pertarungan terlebih dulu. Dan si penjahat terpapas putus pergelangan tangannya. Benda itu disimpan oleh orang yang menemukan. Dan diberikan pada Milani ketika gadis itu pulang.
Dengan berbekal benda itu sebagai tanda pengenal si pembunuh orang tuanya dia mengembara. Da-lam pengembaraan dia telah berjumpa dengan Nanjar yang secara kebetulan telah menolong dirinya dari sergapan sekelompok pembegal yang berniat memperkosanya.
Selagi Milani termangu-mangu tanpa disadari cuaca bertambah gelap. Sadarlah dia kalau hari telah berganti malam. "Oh! Aku harus mencari tempat bermalam" desisnya tersentak. Malam yang dingin itu dilewati si gadis dengan tidur dicabang pohon. Baginya selama pengembaraan hal itu sudah terbiasa.
Ketika menjelang pagi dia terbangun, hidungnya mengendus bau sedap yang menusuk hidung. Dia melompat turun dan berkelebat ke arah sungai. Setelah membasuh muka Milani mulai mencari-cari dari arah mana datangnya bau sedap seperti bau wanginya panggang daging. Mendadak dia merasa perutnya berbunyi berkeriutan. Agaknya cacing-cacing perutnya sudah mulai menggeliat minta makanan.
Mendadak dia melihat cahaya api dari balik semak belukar. Tak ayal segera dia berkelebat ke arah cahaya itu. Selang sesaat dia melihat seonggok api unggun ditengah hutan kecil. Di atas kayu yang telah menjadi bara itu segumpal daging kelinci yang hampir matang berada di atas panggangan. Dari sinilah rupanya bau sedap yang menimbulkan rasa lapar perutnya itu. Sejenak Milani memperhatikan sekitarnya. Hatinya berkata.
"Aneh! seseorang pasti tengah memanggang daging ditengah hutan ini. Tapi kemana gerangan si pemilik daging panggang?" Watak bengalnya mendadak timbul. "Hm, perduli dengan siapa pemiliknya. Aku dapat memintanya nanti setelah aku mengisi perutku!"
Sekali bergerak melompat dia telah berada didekat api unggun. Air liurnya hampir menetes melihat daging panggang yang telah matang kekuning-kuningan di atas panggangan api unggun. Tak berayal lagi lengannya segera terjulur untuk menyambar kayu penusuk daging panggang.
Akan tetapi mendadak terasa ada angin bersyiur. Tahu-tahu makanan lezat didepan mata itu telah lenyap. Terkejut Milani. Tak terasa dia melompat mundur. Hampir saja dia berteriak kaget, karena tahu-tahu terdengar suara tertawa geli terbahak-bahak.
Ketika dia menengadah, tampak seseorang berpakaian serba gombrong, berambut gondrong tengah duduk dicabang pohon. Ditangannya tercekal daging kelinci panggang yang tadi lenyap didepan matanya.
Bukan main terperanjatnya dia ketika menge-tahui siapa adanya orang itu. Karena tiada lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung. "Oh! kau.... kau....?"
"Hahaha.... lain kali kalau mau mencuri makanan harus permisi terlebih dulu!" berkata Nanjar sambil tertawa dan melompat turun. Kemudian melemparkan daging kelinci panggang ditangannya ke arah si gadis.
"Nah! makanlah untukmu! Aku hanya bergurau saja. Aku memang sengaja menyediakannya untukmu!" kata Nanjar.
Cepat si gadis menyambutnya. Sementara matanya menatap si Dewa Linglung terheran-heran. "Kau... kau...? bagaimana kau bisa menyusul dan mengetahui aku berada ditempat ini?" tanya Milani dengan wajah bersemu merah karena malu.
"Sudahlah, yang penting sekarang kau mengisi perutmu terlebih dulu. Bukanlah kau sangat lapar!" Selesai berkata Nanjar melompat kebalik semak dan lenyap.
"He? kau mau kemana?" teriak si gadis.
Dikejauhan terdengar suara Nanjar lapat-lapat. "Perutku mulas? Silahkan kau bersantap. Aku ada keperluan yang amat mendesak. Nanti aku kembali lagi kemari...!"
Milani tersenyum kecut. Tapi hatinya diam-diam mengagumi gerakan si Dewa Linglung. Begitu cepatnya dia berkelebat. Dan sebentar saja suaranya telah terdengar dari arah sungai. Kalau saja perutnya tak lapar tentu dia tak jadi menyantap daging panggang kelinci itu, karena membayangkan si Dewa Linglung yang tengah membuang hajat.
Cepat Milani menyantap makanan lezat berbau harum itu, memindahkan daging kelinci panggang itu ke dalam perutnya. Sebentar-sebentar dia tersenyum sendiri dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia sungguh tak menyangka kalau Nanjar berhasil menyusulnya.
Bahkan telah mengetahui dia bermalam dengan tidur di atas cabang pohon. Kalau si Dewa Linglung tak mengetahui, mustahil sepagi ini dia telah menyiapkan panggang daging kelinci yang diperuntukkan buat dirinya...
"Ah! sebenarnya aku malu pada diriku sendiri kalau urusanku pribadiku melibatkan dirinya..." Tak terasa sepasang matanya berkaca-kaca.
Dikesamaran kabut putih tipis tampak sesosok bayangan berkelebatan dilereng pegunungan Tengger. Sekilas nampaknya bagaikan bayangan hantu hitam yang gentayangan. Gerakannya memang sukar untuk bisa menduga apakah sosok tubuh itu manusia biasa ataukah sebangsa siluman. Karena sepasang, kakinya hampir tak kelihatan menyentuh tanah.
Ketika sosok tubuh itu berhenti berkelebat barulah dapat diketahui kalau sosok tubuh adalah manusia biasa. Ternyata orang ini tak lain dari seorang wanita yang tak lain dari si Iblis Rupawan, Wiraswati.
Sepasang matanya berputar-putar menatapkan pandangan ke sekitar lereng pegunungan. Dari sepasang bibirnya yang kering terdengar desahan pelahan. "Balareang...! dimanakah tempat tinggalmu?"
Serasa sudah tak sabar dia untuk segera berjumpa dengan orang yang tengah dicarinya. Baru saja dia mau menggerakkan kaki untuk berkelebat dari tempat itu, mendadak telinganya mendengar suara seruling yang bernada pilu dari arah lereng sebelah barat.
"Ah..!?" itu pasti Balareang. "Aku kenal betul suara serulingnya. Sama seperti yang kudengar 20 tahun yang silam..." tercekat hati wanita ini. Sekali menggerakkan tubuh, dia telah berkelebat ke arah suara itu.
Seorang kakek tua berkumis dan berjenggot putih berambut agak kelabu terbungkus sorban sutera berwarna putih, tampak duduk di atas sebuah batu besar. Sebuah seruling bambu menempel di bibirnya. Sementara jari-jari tangannya menari-nari di atas lubang-lubang permukaan seruling yang memperdengarkan suara merdu bernada pilu.
Sesaat lamanya wanita ini termangu-mangu menatap dan berdiri mematung bagaikan terpana mendengar irama-irama seruling yang mendayu-dayu. Hatinya tergetar menahan perasaan yang menyentuh kalbu, mengguar kisah lama yang penuh dengan kemelut, kepedihan juga kebahagiaan.
Mendadak suara seruling berhenti. Pelahan-lahan kakek tua ini memalingkan wajahnya. Tatapan matanya masih tajam ketika menatap pada si wanita yang berdiri mematung dengan sepasang mata berkaca-kaca.
"Angin apakah yang telah meniupmu hingga kau sampai di pegunungan Tengger ini, MURAINI..." berkata datar laki-laki tua ini.
"Kakang Balareang... kau masih tidak melupakan aku?" suara si wanita tergetar. Dua tetes air bening yang bergayut disudut pelupuk matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya. Cepat-cepat dia menyekanya. Terasa hatinya trenyuh ketika si laki-laki tua itu menyebut namanya dengan nama Muraini. Nama asli pemberian kedua orang tuanya. Nama yang telah membawa kenangan pahit, getir juga manis dan indah dimasa mereka berkumpul sebagai suami-istri.
Kyai Balareang tertawa tawar. Pandangan matanya menatap awan putih yang bergumpal dilangit. Kemudian terdengar dia menghela napas. "Kau masih cantik seperti dulu, Muraini...! Sikapmu masih juga seperti dulu. Kau selalu ragu terhadapku" kata laki-laki tua ini datar, seolah kata-katanya ditujukkan pada awan putih yang bergumpalan di atas langit.
"Dua puluh tahun lebih kita berpisah, tentu kau sudah menemukan apa yang namanya kebahagiaan. Aku berharap kau tak usah lagi mengenang masa lalu. Masa lalu yang penuh kepahitan itu biarlah terkubur, seperti terkuburnya perasaanku di pegunungan Tengger ini. Tuhan Maha Pengasih, akupun telah menemukan kebahagiaan dan ketenangan dilereng pegunungan Tengger ini..."
"Kakang Balareang...! Maafkan jika kedatanganku mengganggu ketenanganmu. Dugaanmu salah, bila kau menganggap aku telah menemukan kebahagiaan. Selama ini aku mengejar apa yang bernama kebahagiaan itu, ternyata sampai saat ini aku tak menemukannya. Tapi entah mengapa ditempat ini aku seperti mendapatkan apa yang aku inginkan yang sebelumnya tak kusadari. Semua itu karena aku tak men-genal apa sebenarnya kebahagiaan itu!"
Lagi-lagi air mata si wanita mengalir turun. Tapi kali ini dia membiarkannya. "Belasan kali aku berganti suami, belasan kali pula aku melepaskan diri. Ternyata benar seperti apa yang pernah kau katakan. Bahwa kebahagiaan itu ada pada diri kita sendiri. Dengan kita bersyukur pada Tuhan, dengan kita mengingat Tuhan. Dengan kita menjalani apa yang menjadi kewajiban seorang insan terhadap Yang Maha Pencipta. Maka.... kebahagiaan itu akan menjelma!"
Agak tersentak Kyai Balareang mendengar kata-kata wanita ini. Tidak salahkah pendengarannya? Dia tahu dan mengenal benar watak Muraini yang keras dan selalu mau menang sendiri. Kekerasan hatinya itulah yang telah membuat keretakan-keretakan dalam rumah tangga mereka. Sering terjadi perselisihan, pertengkaran yang akhirnya membawa kehancuran bagi rumah tangga mereka. Muraini pergi meninggalkan dia entah kemana perginya.
Belasan tahun sudah mereka berpisah, akhirnya Balareang pun mengetahui dimana adanya Muraini. Secara diam-diam dia terus mengikuti petualangan Muraini yang tak pernah puas dengan apa yang telah didapatkannya. Bahkan dia mengetahui pula Muraini telah mengganti namanya dengan nama Wiraswati.
Semakin berduka hati Balareang mengetahui Muraini memasuki aliran kaum hitam yang bertolak belakang dengan tujuan kaum pendekar. Dengan membawa kepedihan hati dan kekecewaan, Balareang mengucilkan diri dari dunia persilatan. Dia mencari tempat sunyi dan menyembunyikan diri dilereng pegunungan Tengger.
Tentu saja melihat perubahan yang terjadi pada Muraini membuat laki-laki tua ini terpaku menatap. Dan dua pasang mata mereka tanpa sengaja telah saling tatap. Entah perasaan apa yang berkecamuk dihati masing-masing. Namun tak lama kemudian Kyai Balareang mengalihkan tatapannya ke arah ngarai yang terbentang di sisi pegunungan.
"Kau ini sudah banyak berubah, Muraini. Maha Suci Tuhan yang telah menjernihkan hatimu dan meluruskan jalan hidupmu..." berkata pelahan Kyai Balareang.
"Terima kasih, kakang...! Aku memang tengah berusaha untuk meluruskan jalan hidupku. Itulah sebabnya aku kemari. Aku ingin hidup tenang ditempat ini. Aku ingin mendekatkan diriku kepada Tuhan, dan... aku ingin kita bersatu lagi, kakang...." berkata Muraini dengan suara menggetar penuh perasaan.
Kyai Balareang tersenyum. Kepalanya tertunduk menatap tanah. Kemudian terdengar suara helaan nafasnya. "Kita sudah sama-sama tua, Muraini...! Aku telah menjadi seorang kakek tua renta yang tak lama lagi akan menjadi penghuni alam barzah! Alam kubur...! Aku telah meninggalkan kelezatan duniawi" katanya datar.
"Bersyukurlah pada Tuhan, karena kau dikarunia menjadi seorang perempuan yang awet muda. Kau masih tetap cantik. Kulit tubuhmu tak serapuh kulitku. Bukannya aku menolak, tapi hatiku telah terpatri untuk meninggalkan kelezatan duniawi. Biarkanlah aku hidup tenang seperti ini. Aku telah menemukan kebahagiaan yang sejati...."
Wanita ini sejenak termangu menundukkan kepala. Namun kali ini dia telah dapat menahan perasaannya. Kata-kata Kyai Balareang amat meresap di lubuk hati sanubarinya. Lambat-lambat dia mengangkat wajahnya, menatap laki-laki tua itu dengan pandangan penuh kesadaran.
"Terima kasih atas jawabanmu, kakang Balareang...! Tapi aku telah berniat untuk mengikuti jejakmu, setelah aku menyelesaikan urusanku...!"
Kyai Balareang manggut-manggut dan berkata pelahan. "Syukurlah! Semoga apa yang telah kau cita-citakan akan terlaksana". Laki-laki tua ini mengangkat seru-lingnya dan melekatkannya kebibir. Tak lama terdengar suara seruling bernada pilu menyibak keheningan dipuncak pegunungan itu.
"Kakang Balareang...! Aku mohon diri...!" desah Muraini dengan suara agak parau ketika suara serul-ing terhenti.
"Tunggu! Dari mana kau mengetahui aku berada ditempat ini?" tanya laki-laki tua ini dengan tersenyum.
"Muridmu Waru Anggono yang memberitahu!" sahut Muraini. "Dia seperti bayang-bayangmu saja. Tak banyak perbedaannya denganmu....!"
Kyai Balareang manggut-manggut. "Kau telah mengetahui tentang dirinya?"
"Ya! aku akan berusaha membantunya mencari jejak adik perempuannya yang telah berpisah belasan tahun itu..." sahut Muraini.
"Ya! dia memang seperti aku, tapi dia bukanlah aku. Bocah itu masih muda dan masih punya ambisi, seperti juga ambisi dimasa mudaku..." Laki-laki tua ini kembali mengangkat seruling, dan meniupnya.
Muraini menatap sejenak, tatapan yang seolah untuk yang terakhir kali. Dan dia akan mengingat wajah laki-laki itu serta mengukirnya di dalam lubuk hati. Mungkin pula dia tak akan menemuinya lagi, karena setelah dia menyelesaikan urusannya, dia telah berniat mencari tempat sunyi untuk mengasingkan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan.
"Selamat tinggal, kakang Balareang...." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Muraini balikkan tubuh dan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan masih terdengar sayup-sayup suara seruling yang ditiup Kyai Balareang. Namun suara seruling itupun lenyap juga. Muraini menghela napas sejenak, kemudian meneruskan langkahnya menuruni lereng pegunungan...
Muraini alias si Iblis Rupawan berkelebat cepat meninggalkan lereng pegunungan Tengger. Tujuannya adalah ke desa Wabah Kusta. Kalau bukan manusia luar biasa yang memiliki ilmu lari cepat seperti yang dimiliki tokoh-tokoh Rimba Hijau, perjalanan sejauh itu akan memakan waktu sampai beberapa pekan. Tapi bagi si Iblis Rupawan hanya menempuh dalam waktu dua hari.
Ketika hari hampir senja sepasang kakinya telah menginjak mulut desa Wabah Kusta. Segera dia melompat masuk ke dalam pondok yang pernah ditempatinya. Matanya jelalatan memeriksa ruangan. Tak nampak ditempat itu si pemuda bernama Waru Anggono. Bahkan kuda putihnya pun tak kelihatan.
"Hm, aku tak dapat memastikan, apakah Waru Anggono meninggalkan tempat ini, ataukah dia nekat memasuki desa Wabah Kusta berpintu tujuh?" berkata Muraini alias Wiraswati dalam hati.
Mendadak telinganya mendengar suara tertawa mengikik di luar pondok. Cepat dia menyelinap dan mengintip dari celah papan. "Siapakah yang datang?" tanyanya dalam hati. Sementara itu keadaan di luar pondok....
"Hihihi... tekadmu untuk mencari si pembunuh kedua orang tuamu memang patut dibanggakan, bocah manis! Mana kawan seperjalananmu si pemuda dogol itu?"
Yang bertanya ternyata seorang wanita berkulit dan berwajah hitam legam. Bermata bulat dan berbibir tebal. Memakai anting-anting besar. Mengenakan jubah berwarna merah berkembang-kembang putih. Siapa adanya wanita itu tiada lain dari si Mawar Beracun. Dihadapannya berdiri seorang gadis berwajah cantik berkulit putih. Rambutnya berkepang dua. Gadis ini tak lain dari Milani.
"Aku datang kemari cuma sendiri. Urusanku adalah urusanku! Aku tak mau membawa-bawa orang lain yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadiku!" sahut Milani.
"Hihihi... nyalimu sungguh besar, bocah manis! Apakah kau yakin dapat membalaskan dendammu?"
"Urusan kematian adalah urusan Tuhan! Aku kemari bukan mencari mati, tapi datang untuk membalas dendam kematian kedua orang tuaku yang telah dibunuh dengan keji! Walaupun manusia yang bakal kuhadapi berilmu setinggi langit sekalipun aku tak akan gentar!" berkata Milani dengan suara tegar penuh keberanian.
"Bagus! sudah tahukah kau siapa pembunuh kedua orang tuamu?"
Milani menggeleng. "Aku hanya minta petunjukmu. Karena kau telah tahu persis ciri-ciri si pembunuh ayah ibuku! Bukankah selama ini kau telah mencuri dengar pembicaraan kami?" sahut Milani.
Wanita beranting-anting besar itu tertawa mengikik. Mendadak dia berteriak nyaring. "Sobat yang sudah lama menyamar jadi penderita kusta, silahkan unjukkan diri!" Kata-katanya dibarengi dengan kibasan jubah lengannya ke arah pondok berdebu di sebelah kirinya. Angin keras menghempas. Dan..
BHLARRR!
Hancurlah pondok berdebu itu menimbulkan suara bergemuruh. Genting dan papan bertebaran bagai terkena amukan badai. Milani terkejut melihat perbuatan aneh si Mawar Beracun. Tapi segera dia melihat sesosok bayangan berkelebat melesat dari reruntuhan rumah.
"Mawar Beracun! Matamu sungguh jeli!" Suara wanita ini hampir berbareng dengan lompatan tubuh-nya. Sekejap ditempat itu telah berdiri tegak Muraini alias si Iblis Rupawan.
"Hihihi... sejak kapan kulit kudismu mengelupas?" ejek Mawar Beracun melihat wanita dihadapannya tak seperti yang diduga semula.
"Hm, sejak aku mengenal apa yang namanya kejahatan, dan mana yang namanya kebenaran!" sahut Muraini dengan suara tetap tenang.
"Bagus! berarti matamu telah terbuka! Ingin kulihat, apakah kata-katamu itu sesuai dengan kenyataan?" Selesai berkata si Mawar Beracun menoleh pada Milani.
"Nah, bocah manis! kau perhatikan baik-baik, apakah ciri-ciri si pembunuh kedua orang tuamu ada terdapat pada perempuan ini?"
Sejak tadi Milani memang tengah memperhati-kan wanita yang baru muncul itu. Dia melihat jelas, ketika wanita itu berkelebat telah merentangkan kedua tangannya. Dan tanda-tanda yang terdapat pada wanita itu adalah tampak sebelah tangan kirinya putus sebatas pergelangan.
"Ya! aku telah melihatnya! Tanda-tanda itu ada padanya!" kata Milani dengan suara tajam.
"Tanda-tanda apakah?" bertanya Muraini dengan menatap heran pada Milani.
"Heh! manusia pembunuh keparat! Apakah kau masih mau menutupi kejahatanmu? Tangan kirimu yang putus sebatas pergelangan itulah tanda yang tak dapat mengelabui mataku!" bentak Milani. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya. Ternyata sebuah gelang emas berbentuk ular.
"Dan benda ini tak mungkin kalau bukan kau pemiliknya?" bentak Milani memperlihatkan benda di-tangannya.
"Hm, entah berapa macam perhiasan aku memang pernah memakainya. Bahkan yang berbentuk seperti itupun mungkin aku pernah memilikinya. Tapi apa hubungannya dengan diriku?" berkata si Iblis Rupawan.
"Jelaslah kau si pembunuh kedua orang tuaku!" bentak si gadis dengan beringas seraya mencabut senjatanya, sepasang tombak pendek berumbai merah dan kuning.
"Tunggu!" membentak halus si Iblis Rupawan. "Siapakah kedua orang tuamu dan siapa pula kau?"
"Ayahku adalah seorang bangsawan di sebuah desa disisi kota Pangukiran didataran lereng gunung Manuk. Beliau bernama Suro Mandiri. Ibuku bernama Gambir Ayu. Aku adalah anak gadis satu-satunya. Namaku Milani!" sahut si gadis dengan mata berapi-api. Secara singkat Milani menceritakan peristiwa yang menimpa orang tuanya hingga dia mendapatkan bukti-bukti itu.
"Hm, aku tak merasa pernah merampok dan membunuh dua orang suami istri bangsawan. Juga membakar gedung!" kata Muraini dengan kerutan keningnya. "Aku memang sedikit banyak memang pernah melakukan kejahatan. Tapi ketahuilah! Buntungnya pergelangan tangan kiriku ini adalah oleh orang yang bukan siapa-siapa. Melainkan..."
Pada saat itu si wanita berkulit hitam perdengarkan suara dengusan dihidung dan tertawa dingin.
"Hihi... silahkan kau membela diri, Iblis Rupawan. Tetapi bukti-bukti bahwa kau si pembunuh kedua orang tuanya sangat kuat! Mungkin saja kau lupa pada perbuatanmu, karena sudah terlalu banyak kau melakukan kejahatan! Nah! adik manis! Aku cuma bisa mengantarmu sampai disini!" selesai berkata si Mawar Beracun berkelebat cepat memasuki desa Wabah Kusta. Beberapa kejap saja bayangan tubuhnya lenyap...
Tadinya Muraini alias si Iblis Rupawan siap gerakkan tubuhnya untuk menahan. Karena perempuan itulah yang telah menimbulkan persoalan terhadap gadis bernama Milani itu. Akan tetapi dia mengurungkan niatnya, karena menempur perempuan hitam itu bukan saatnya. Pendapatnya adalah dia lebih baik menyelesaikan persoalan ini terlebih dulu.
Melihat gelagatnya si wanita memang sukar untuk mengelakkan tuduhan. Apalagi bukti-bukti sangat kuat dan gelar yang disandangnya adalah gelar seorang tokoh persilatan kaum sesat! Milani sudah tak dapat menahan diri untuk segera menerjang.
"Sabar dulu, adik Milani! Tadi aku belum selesai bicara!" berkata Muraini dengan wajah tetap tenang. "Dengarlah penjelasanku!"
Akan tetapi Milani telah membentak keras, seraya menerjang dengan senjatanya. "Cukup! Tak perlu lagi kau memberi penjelasan! Semuanya telah cukup jelas! Terimalah ini!" Sepasang tombak ditangan Milani meluncur deras menusuk ke arah lambung dan leher. Namun dengan gesit Muraini mengelak kesamping.
Tapi serangan-serangan selanjutnya cukup membuat si Iblis Rupawan harus berkelebatan melompat menghindari. Milani menerjang kalap dan mengerahkan segenap ilmunya untuk membunuh lawannya. Dengan berteriak nyaring kembali dia melancarkan serangan dengan jurus-jurus mematikan. Terpaksa Muraini menggunakan kegesitannya untuk mempertahankan nyawanya, kalau tak mau tubuhnya tertembus sepasang senjata gadis itu.
Nyatalah kalau semua serangan Milani tak berarti apa-apa bagi si Iblis Rupawan. Kalau mau tentu sudah sejak tadi si gadis itu dirobohkan. Gadis ini dengan kalap terus menerjang. Sepasang tombaknya telah berubah bagaikan dua larik bayangan merah dan kuning yang mengurung si Iblis Rupawan. Sementara itu sepasang mata sejak tadi terus memperhatikan jalannya pertarungan.
Pemilik mata ini tiada lain dari seorang pemuda yang sudah kita kenal. Siapa lagi kalau bukan Nanjar si Dewa Linglung. Ternyata secara diam-diam Nanjar telah menguntit Milani. Nanjar mengetahui kalau Milani sengaja menghindar. Itulah sebabnya dia pura-pura mau membuang hajat. Padahal diam-diam dia mengintai si gadis. Benar saja! Milani tampak melahap daging kelinci panggang itu cepat-cepat.
Bahkan menyisakannya sebagian. Kemudian gadis itu menan-capkan sisa daging panggang yang tak dihabiskannya dekat api unggun. Setelah menoleh ke kiri dan ke kanan, Milani segera berkelebat cepat meninggalkan hutan kecil itu. Nanjar tersenyum melihat dari tempat persembunyiannya. Kemudian diapun berkelebat menyusul dan diam-diam terus membuntuti.
Ternyata Milani berjumpa dengan empat laki-laki berbaju hitam bergambar tengkorak. Dari petunjuk keempat orang itulah Milani dapat mengetahui arah jalan yang menuju ke desa Wabah Kusta. Milani berhasil tiba dimulut desa Wabah Kusta, dan berjumpa dengan si Mawar Beracun yang memang tengah menunggunya.
Rupanya wanita hitam itu mengetahui Milani pasti mencari tempat yang dikatakannya itu. Demikianlah, hingga semua kejadian ditempat itu dapat diketahui oleh Nanjar dari tempat persembunyiannya.
Nanjar yang mengikuti jalannya pertarungan dapat mengetahui sikap si Iblis Rupawan yang cuma menghindari serangan si gadis tanpa balas menyerang. Bahkan sikapnya ketika si Mawar Beracun berkelebat memasuki mulut desa Wabah Kusta setelah mengeluarkan kata-kata ejekan tak luput dari matanya. Dia melihat sinar kebencian tampak pada mata si Iblis Rupawan terhadap wanita hitam itu.
Saat itu Milani tiba-tiba membentak keras. Sepasang tombak pendeknya menerjang dengan seran-gan menukik yang dibarengi dengan lompatan mendadak. Jurus ini agak membuat si Iblis Rupawan terperangah kaget. Walaupun dinilai dari usia dan pengalaman si Iblis Rupawan jauh lebih luas, tapi serangan ini cukup membuat wanita itu tersentak kaget.
Hal ini memang pantas. Karena selama menghadapi si gadis, fikiran si Iblis Rupawan berkecamuk memikirkan cara untuk menyelesaikan persoalan itu. Hingga dia kurang waspada. Serangan itu justru serangan yang paling berbahaya diantara semua jurus yang dimiliki Milani.
Tapi sebagai orang yang sudah terbiasa menghadapi bermacam pertarungan, Iblis Rupawan tak akan mandah begitu saja dan membiarkan dirinya celaka. Kibasan lengannya secara reflek telah dipergunakan untuk menangkis. Dan sebelah kakinya menghantam ke arah perut lawan.
Hal ini memang bisa menyelamatkan dirinya dari bahaya maut. Dan setidak-tidaknya dia hanya terluka terkena tusukan tombak pada lengannya yang dipergunakan untuk menangkis. Tapi serangan tombak bukan hanya satu. Senjata si gadis adalah sepasang tombak. Dia kurang waspada untuk melihat gerakan sambaran tombak berumbai merah yang tiba-tiba menyelinap ke arah lambung.
Sedangkan tadinya senjata itu mengarah ke leher. Dan hal itu bisa dihindari dengan membuat tubuh ke arah samping. Itupun kalau si Iblis Rupawan bermata jeli dan dapat melihat arah serangan tombak. Detik maut itu memang membahayakan jiwa si Iblis Rupawan. Tapi setidak-tidaknya serangan tendangan kakinya ke arah perut lawannya akan meremukkan isi dalam perut si gadis bernama Milani itu. Dan bukan mustahil kalau si gadis akan tewas!
Akan tetapi di saat yang mengandung maut itu hampir terjadi, mendadak berkelebat sebuah bayangan putih.
Plak!
Satu tenaga tolakan yang amat kuat telah menggagalkan serangan yang membahayakan di kedua pihak. Milani terlempar bergulingan beberapa tombak. Sepasang Tombak pendeknya terlepas entah kemana. Dan si Iblis Rupawan terhuyung mundur belasan langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Milani merasa bumi yang dipijaknya berputar. Tenaga yang amat keras telah melontarkan tubuhnya hingga untuk sesaat dia tertegun. Tapi cepat dia melompat berdiri. Demikian juga dengan si Iblis Rupawan. Satu kekuatan dahsyat telah mendorong tubuhnya hingga terhuyung entah berapa langkah, dan dia jatuh terduduk. Tapi cepat dia melompat berdiri.
Terkejut si Iblis Rupawan karena segera melihat seorang pemuda berbaju gombrong berambut gondrong berdiri dihadapannya dengan sepasang lengan terangkat sebatas bahu, seperti baru saja melakukan suatu jurus gerakan. Tahulah dia bahwa pemuda itulah yang telah menyebabkan dia terdorong dan meng-gagalkan bentrokan maut dengan si gadis lawannya.
Adapun Milani jadi menatap dengan mata membelalak melihat siapa adanya laki-laki gondrong dihadapannya. "Nanjar! Kau...?" sentaknya terkejut. "Huh! mengapa kau ikut campur urusan pribadiku? Kau telah menggagalkan seranganku, berarti telah membuat kesempatan hidup pada perempuan iblis si pembunuh orang tuaku itu!" teriak Milani dengan wajah merah padam karena marahnya.
"Sabar..! Apakah sebagai seorang yang telah mengaku sahabat padamu lalu aku akan membiarkan dirimu dalam bahaya maut?" berkata Nanjar mengga-ruk-garuk tengkuknya.
"Aku dalam bahaya maut?" sentak Milani dalam hati.
"Hm, seranganmu memang bisa membuat lawan akan terluka, bahkan juga mungkin tewas kalau lawanmu tak sempat mengelakkan serangan tombak berumbai kuning yang berubah arah! Tapi tendangan kaki lawan ke arah perutmu bisa membuat nyawamu berpindah tempat!" kata Nanjar memberi penjelasan.
Walaupun hatinya membenarkan, tapi Milani tetap bersungut-sungut. "Heh! aku toh tak mengharapkan pertolonganmu? Walau bagaimana kau tetap bersalah besar karena ikut campur urusan orang? Mati bagiku bukan soal. Asalkan aku dapat membalaskan dendam kema-tian kedua orang tuaku, arwahku akan tenang di alam Baka!" berkata si gadis dengan memberenggut.
Pada saat itu si Iblis Rupawan telah kelebatkan tubuhnya melompat ke hadapan si Dewa Linglung. "Kalau tidak salah apakah aku berhadapan dengan si Pendekar Naga Merah yang kesohor?" bertanya Muraini dengan menatap lebar.
"Dari mana kau mengetahui?" Nanjar balik bertanya.
"Di dadamu ada gambar tatto Naga!" sahut Muraini menunjukkan jari telunjuknya ke arah dada Nanjar.
"Aiiih? sentak Nanjar terkejut. Dan cepat-cepat menutupi dadanya yang terbuka dengan baju gombrongnya. Mau tak mau Nanjar anggukkan kepala. "Benar! Tapi hanya julukan yang diberikan kaum Rimba Hijau...!" Nanjar merendah.
"Ah, girang sekali berjumpa dengan anda, sobat pendekar! Aku Muraini mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu menggagalkan bentrokan maut barusan. Bagiku kematian bukan apa-apa. Akan tetapi nyawa gadis itulah yang kukhawatirkan. Dan bila hal itu terjadi, persoalan tetap takkan selesai. Selain itu aku mati dengan meninggalkan nama buruk! Aku tak ingin hal itu terjadi...,!" berkata Muraini si Iblis Rupa-wan dengan suara rendah, lalu membungkuk menjura pada si Dewa Linglung.
"Iblis busuk! dihadapan temanku kau mau mencuci dosa? Huh! tak tahu malu! Masih pula kau menyangkal perbuatan terkutukmu?" bentak Milani seraya melompat maju.
"Wah! Wah! Wah! runyam juga urusan kini! Sabarlah Milani! Kalau kau tak bisa menahan emosimu urusan ini tak akan beres!" Nanjar benar-benar kewalahan dengan gadis itu.
"Anak manis! percayalah padaku. Aku bukan si pembunuh kedua orang tuamu. Yang telah menabas putus pergelangan tanganku adalah suamiku sendiri. Dialah si Iblis Tampan, yang juga menjadi musuh besarku. Bukan saja musuh besarku, akan tetapi juga musuh kaum pendekar penegak keadilan!" berkata Muraini dengan melangkah maju dua tindak mendekati si gadis.
Dari sikap wanita itu Nanjar memang menaruh kepercayaan akan kejujuran kata-kata si wanita. Akan tetapi untuk membuktikan pada Milani memang sangat sukar jika tanpa bukti, dan hanya kata-kata saja. Mendadak Nanjar berkata seraya menoleh pada si gadis.
"Coba kulihat gelang berbentuk ular yang kau simpan sebagai bukti itu!"
"Hm, apa yang akan kau lakukan dengan gelang ini?" tanya Milani. Tapi segera memberikan benda itu pada Nanjar.
Nanjar membolak-balik gelang pe-runggu itu seperti seorang tukang emas tengah men-guji barang. "Tampaknya ini bukan sebuah gelang, tapi..."
"Habis apa?" tanya Milani ketus.
Nanjar tak menjawab. Ingatannya mendadak tertuju pada si Mawar Beracun. Perempuan hitam itu mengenakan sepasang anting-anting besar. Sekilas Nanjar melihat bentuk anting-anting itu hampir mirip dengan gelang berbentuk ular ini.
"Tak salah lagi! Ya! pasti tak salah lagi!" tiba-tiba Nanjar berkata sendiri.
"Apanya yang tak salah lagi?" sentak Milani menatap si Dewa Linglung dengan melotot tajam.
"Benda ini memang bukan gelang, tapi anting-anting. Ya! Ini anting-anting si Mawar Beracun!" berkata Nanjar dengan suara keras.
Seketika wajah Milani berubah kaget. Demikian juga dengan si Iblis Rupawan. Dia seperti baru menyadari bahwa perempuan hitam itu mengenakan sepasang anting-anting besar. Akan tetapi dia tak memperhatikan bentuknya. Kecuali cuma kebencian saja yang tersimpan dilubuk hatinya.
"Apakah dugaanmu bisa dipercaya?" tanya Milani ragu-ragu.
"Akan kita buktikan!" sahut Nanjar. Kemudian dia menatap pada Milani dan si Iblis Rupawan. "Mari kita kejar si perempuan hitam itu!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, segera Nanjar berkelebat memasuki mulut desa Wabah Kusta. Sejenak Milani dan Muraini si Iblis Rupawan saling bertatapan. Tapi tak lama wanita itu segera berkelebat menyusul Nanjar. Mau tak mau Milani segera memungut sepasang senjata tombak pendeknya, lalu menyusul bayangan tubuh si Iblis Rupawan.
Ketika Nanjar sampai dimuka pintu gerbang desa Wabah Kusta, yang pertama-tama dilihatnya adalah sebuah pagar tembok terbentang didepan matanya. Dan sebuah pintu gerbang menjadi pintu masuk desa tertutup itu. Di atas pintu gerbang terdapat tulisan besar-besar yang bertuliskan : "Silahkan memasuki tujuh pintu Neraka".
Sejenak Nanjar terpaku membaca tulisan itu. Tapi segera berkelebat melompat memasuki pintu gerbang. Lagi-lagi dia menemukan sebuah pintu gerbang yang bertuliskan : "Pintu pertama Orang-Orang Lapar". Baru saja dia melompat masuk, yang pertama-tama dilihatnya adalah bangkai seekor kuda. Binatang itu dalam keadaan rusak dan tidak utuh lagi.
Mendadak telinganya mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati. Ketika dia membalikkan tubuh, dari dalam pondok-pondok buruk telah bermunculan puluhan manusia yang berwajah dan bertubuh penuh dengan penyakit yang menjijikkan. Inilah para penderita penyakit kusta.
Sejenak Nanjar terperangah memandang den-gan mata membelalak. Akan tetapi terkejut karena mendadak orang-orang berpenyakit kusta itu telah menyerbunya. Kagetnya si Dewa Linglung sukar dikatakan, karena dia benar-benar berhadapan dengan orang-orang lapar.
Ditangan mereka masih ada sisa-sisa daging mentah yang baru dikunyahnya. Tampak mulut-mulut mereka menyeringai meneteskan air liur bercampur sisa-sisa daging mentah. Sekejap saja Nanjar dapat mengetahui kalau mereka inilah yang telah memangsa kuda yang terkapar dengan keadaan tidak utuh diten-gah jalan desa itu.
"Celaka..!? apakah mereka juga akan memangsa diriku?" sentak Nanjar dengan mata membelalak.
Sementara itu Muraini dan Milani pun telah memasuki gerbang kesatu ini. Terkejut si Iblis Rupawan melihat bangkai kuda yang sudah tak utuh itu tak lain dari kuda putih milik WARU ANGGONO! Melihat kemunculan dua wanita dan gadis ini sebagian orang-orang berpenyakit kusta itu menyerbu ke arah keduanya.
Milani hampir menjerit karena takutnya. Akan tetapi terdengar suara Muraini. "Tenang, anak manis, mereka tak punya kepandaian apa-apa!" Dan tahu-tahu lengannya telah mencekal pergelangan Milani.
Dengan sebelah lengannya yang putus sebatas pergelangan, Muraini mengibaskan lengan bajunya. Enam orang yang menyerbu itu mendadak terlempar bergulingan. Kemudian dengan cepat dia menarik Milani untuk segera memasuki pintu gerbang kedua.
Adapun Nanjar pun baru saja membuat buyar para penyerbu yang menyeramkan itu. Mereka terlempar bergulingan jatuh bangun terkena dorongan sepasang lengannya yang menimbulkan angin keras. Akan tetapi seorangpun tak ada yang terluka.
Nanjar mengetahui kalau mereka hanyalah orang-orang lapar yang tak berilmu kepandaian silat. Akan tetapi telah berubah menjadi buas. Dengan cepat dia melompat memasuki pintu gerbang kedua.
Milani berteriak dan melompat mengejar Nan-jar. "Dewa Linglung! Tungguuu! aku...aku takut!" Nanjar menahan langkahnya. Dan sesaat kemudian mereka telah berkumpul.
"Apakah mereka akan mengejar kita?" tanya Milani dengan wajah pucat.
Murainilah yang menjawab. "Mereka tak bisa memasuki pintu gerbang kedua!"
Ketika si gadis memandang ke arah pintu gerbang yang barusan mereka lewati, benar saja! Belasan manusia berpenyakit kusta itu cuma berdesakan dipintu tanpa seorangpun yang berani memasuki ruangan dipintu gerbang kedua.
"Kau mengetahui keadaan ditempat ini, apakah kau pernah masuk kemari?" tanya Milani menatap si Iblis Rupawan.
Wanita ini mengangguk. Tapi segera memutar pandangan kesekitar tempat itu dengan sikap waspada. Milani mencekal erat-erat sepasang senjatanya. Hatinya berdebar keras. Entah "makhluk" apa lagi yang akan muncul disini.
Mendadak ratusan ular tahu-tahu muncul disekeliling mereka. Nanjar tersentak kaget. "Haih! dari mana munculnya ular-ular ini?" Tapi Muraini segera berkata. "Cepat masuk kepintu ketiga! Jangan kau hiraukan ular-ular itu. Inilah ilmu sihir!"
Wajah Milani semakin pucat bagai kertas. Tapi Nanjar telah menarik lengannya untuk dibawa melompat, dan dengan cepat mereka memasuki pintu ketiga. Muraini menyusul berkelebat. Ujung kakinya menotol ke tanah. Dan tubuh si Iblis Rupawan dengan ringan melayang ke arah pintu gerbang ketiga. Benar saja! ketika ketiganya telah keluar dari ruangan itu, ratusan ular itu lenyap sirna...
"Cepat memasuki pintu keempat!" teriak Muraini ketika melihat Nanjar sejenak ragu-ragu untuk meneruskan langkah.
Muraini mengetahui ruangan ketiga ini amat berbahaya. Dan sejak memasuki pintu gerbang ketiga ini sepasang matanya menjalari sekitar tempat itu. Yang dicari adalah Waru Anggono. Peringatan Muraini memang benar, karena tiba-tiba bersyiur angin keras dibarengi suara tertawa menyeramkan dari sekitar penjuru.
Tanah mendadak terasa berguncang-guncang, dan puluhan belalai panjang tiba-tiba meluncur dari empat sudut ruangan itu ke arah mereka. Nanjar gunakan pukulan-pukulannya menghantam belalai-belalai itu. Belalai-belalai yang terkena hantaman lenyap menjadi asap.
Tapi segera muncul belalai berikutnya. Nanjar merasa inipun semacam ilmu sihir. Tak berayal dia kembali menghantam, dan cepat melompat memasuki pintu keempat dengan menarik tubuh Milani. Muraini gunakan lompatan salto ke udara. Sepasang lengannya mengibas menghantam belalai-belalai yang meluncur ke arahnya. Dengan dua kali lompatan salto dia telah tiba dipintu gerbang keempat.
Belalai-belalai aneh yang mengerikan itupun lenyap menjadi gumpalan asap ketika wanita itu melompat masuk kepintu keempat. Bahkan guncangan-guncangan yang seperti gempa dan angin keras yang bersyiutan itupun sirna.
Dipintu ke empat ini Nanjar tak berlaku ayal untuk cepat melewati ruangan itu dan memasuki pintu kelima. Si Iblis Rupawan lah yang harus menghadapi serangan puluhan tombak yang tiba-tiba meluncur dari delapan penjuru. Tapi dengan gesit dia menghindarkan diri. Kemudian dengan bergulingan dia mencapai pintu gerbang kelima.
Di ruangan ini mereka melihat tiga orang laki-laki tengah bertarung melawan belasan orang wanita yang rata-rata berpakaian minim, cuma mengenakan dua lembar kain penutup auratnya. Sejenak Nanjar dan Milani tercengang. Akan tetapi segera Nanjar dapat mengenali dua diantara laki-laki itu.
Yang seorang adalah si kakek pengemis Beng Sam Kun dan seorang lagi adalah ketua dari perguruan Merak Emas. Se-dangkan yang seorang lagi tak dikenali. Muraini si Iblis Rupawan segera mengenali siapa adanya laki-laki itu. Ternyata Waru Anggono.
"Sobat tua Beng Sam Kun! kau sudah lebih du-lu disini?" teriak Nanjar seraya melompat. Saat itu si kakek baru saja melompat menghindari serangan tiga orang gadis yang bersenjatakan klewang dan pedang.
"Hehe.. aku sudah menduga kau pasti kemari, sobat Dewa Linglung!" berkata si kakek pengemis. Tiga gadis itu menggerung keras, dan kembali menerjang ke arah Beng Sam Kun. Nanjar bekerja cepat. Lengannya bergerak merogoh sesuatu dari balik baju gombrong-nya. Tiga butir kacang tanah melesat dan membuat roboh ketiganya dengan keadaan tertotok.
"Mereka hanya dijadikan alat percobaan saja! Jangan dibunuh!" cegah kakek Beng Sam Kun.
"Aku hanya menotoknya saja!" kata Nanjar.
Sementara itu si ketua perguruan Merak Sakti telah merobohkan empat orang gadis berpakaian minim. Dan Waru Anggono berhasil menyarangkan pukulannya ke arah tiga penyerangnya. Tapi pukulan-pukulan mereka hanya akan membuat luka ringan saja.
Enam orang lainnya berkelebatan melompat menerjang. Tapi si kakek Beng Sam Kun yang sengaja mengulur waktu menanti kedatangan Nanjar segera berkelebat. Keenam gadis itu seketika berjungkalan roboh dengan tubuh kaku tertotok.
Gerakan kakek ini mendapat pujian kagum dari Nanjar. Si kakek kelihatan cuma mendorongkan kedua lengannya saja dengan kedua telapak tangan terkembang. Dan keenam gadis berpakaian minim itu berjungkalan roboh.
"Ilmu menotok yang hebat!" puji Nanjar.
Tapi si kakek Beng Sam Kun justru berdiri terpaku memandang ke arah belakang tubuhnya. Ketika Nanjar memutar tubuh, tampak Muraini si Iblis Rupawan juga tengah berdiri terpaku memandang ke arah Beng Sam Kun. Tahu-tahu angin bersyiur disamping Nanjar. Ternyata kakek pengemis itu telah melompat dan sekejap telah berada dihadapan wanita itu.
"Muraini..! Benarkah kau..?"
"Benar, koko... Beng!" sahut si wanita menatap dengan pandangan berbinar-binar. Dan sepasang mata itupun berkaca-kaca.
"Muraini, adikku... ah! Kau...?" Tiba-tiba saja si kakek Beng Sam kun memeluk wanita itu dengan wajah girang. Demikian juga dengan Muraini, diapun balas memeluk dengan air mata bercucuran dan terisak-isak.
"Kau masih tetap cantik saja, adikku? Berapakah usiamu kini?" Berkata si kakek, setelah melepaskan pelukan.
"Hampir setengah abad!" sahut Muraini seraya menghapus air matanya.
"Haih! Usiaku pun sudah lebih dari enam puluh tahun. Cukup lama kita berpisah! Saat itu kau masih seorang gadis remaja, dan aku seorang pemuda gagah. Tapi kini aku sudah pantas disebut kakek..!" kata Beng Sam kun.
"Tapi kau masih cantik seperti dulu, Muraini..!"
"Ah kau terlalu memujiku, koko..!" Wanita ini menunduk.
Nanjar yang mendengarkan percakapan dan melihat pertemuan itu jadi tersenyum dan geleng-geleng kepala. "Haih! sudah puluhan tahun berpisah, ternyata bisa bertemu lagi disarang musuh! Benar-benar Tuhan Maha Adil!" berkata Nanjar dalam hati.
Sebaliknya Milani yang turut menyaksikan pertemuan itu, diam-diam benaknya berpikir dan hatinya berkata. "Rasa-rasanya akupun mempunyai seorang kakak. Tapi aku sudah tidak ingat lagi".
Saat itu tiba-tiba Milani melihat Waru Anggono tengah memeriksa gadis-gadis berpakaian minim yang berkaparan. Waru Anggono melompat-lompat dan terus memeriksa serta membalikkan tubuh gadis-gadis itu. Memperhatikan wajahnya satu persatu. Akhirnya dia melompat berdiri dengan wajah kecewa. Milani melompat menghampiri.
"Siapakah yang kau cari, sobat?" tanya Milani.
Pemuda itu menoleh dan menatapnya. "Aku mencari adikku..!" sahutnya. Mendadak Waru Anggono menatap Milani lekat-lekat. Matanya menjalari sekujur tubuhnya dari ujung rambut sampai ke kaki. Tapi segera membuang pandangannya ke lain tempat. Dia merasa dirinya terlalu mengamati orang.
"Apakah aku sangat mirip dengan adikmu?" tanya Milani. "Tentu kau masih mengingat namanya. Siapakah nama adikmu?" tanya Milani lagi, melihat Waru Anggono tak menjawab.
"Adikku bernama Anggi Resmini! Aku tak bisa membayangkan apakah wajahnya mirip denganmu, karena kami berpisah sejak dia berusia lima tahun" berkata Waru Anggono.
Pada saat itu Muraini telah berkelebat menghampiri. "Waru Anggono! Sukurlah kau masih hidup! Sudah kuduga keras kau pasti akan memasuki desa berpintu tujuh ini!" berkata Muraini.
"Semua ini berkat bantuan kakek kawanku itu!" sahut Waru Anggono tersenyum.
"Hehe.. dengar Muraini! Bukankah anak muda itu memanggilku dengan sebutan kakek?" berkata Beng Sam Kun dengan tertawa memperlihatkan giginya yang ompong.
"Siapa bilang kau muda?" tukas Muraini dengan tertawa.
"Eh! sudahlah! Hayo kita kepintu enam!" berkata Nanjar.
"Mari kita masuk lebih dulu, sobat pendekar Naga Merah!" berkata si ketua perguruan Merak Sakti. Laki-laki ini melompat lebih dulu. Nanjar segera menyusul.
"Apakah diantara perempuan-perempuan itu tak terdapat adik perempuanmu?" tanya Muraini pada Waru Anggono.
Waru Anggono menggeleng.
"Hm, kau mengenal wajah adikmu ketika dia berusia lima tahun, mana mungkin kau bisa mengenali bila usianya telah remaja?" Milani menyambar bicara.
"Tapi aku dapat mengingat tanda-tanda ditubuhnya yang tak mungkin dimiliki orang lain!" tukas Waru Anggono.
"Siapa nama adikmu?" tanya Milani.
"Dia bernama Anggi Resmini!" sahut Waru Anggono.
Saat itu si kakek Beng Sam Kun yang melihat Nanjar dan si ketua Merak Sakti telah berkelebatan memasuki pintu gerbang keenam, segera berkata. "Sudahlah! Saat ini kita berada disarang harimau. Mari kita menyusul dua kawan kita!"
Tak berayal lagi mereka segera berlompatan menyusul si kakek Beng Sam Kun yang telah berkelebat masuk kepintu gerbang ke enam. Ternyata diruangan ini telah berdiri berjajar beberapa sosok tubuh menghadang. Tetapi bukan terdiri dari gadis-gadis berpakaian minim. Melainkan tokoh-tokoh golongan Hitam. Diantaranya terdapat si perempuan berkulit hitam beranting-anting besar si Mawar Beracun, juga suaminya si Ular Kobra Hijau.
Seorang kakek berkepala botak memegang tongkat hitam melengkung terdapat pula dibarisan itu. Dan dua orang laki-laki berwajah mirip tengkorak bermata juling sebelah kiri dan juling sebelah kanan. Keduanya adalah si Tengkorak Kembar dari Neraka, merupakan tokoh yang cukup kondang dengan kekejaman dan ketinggian ilmu silatnya. Dan seorang lagi adalah sukar dikenali, apakah seorang wanita apakah laki-laki.
Kakek Beng Sam Kun berbisik pada Muraini. "Sssst! yang manakah yang bergelar si Iblis Tampan yang menjadi musuh besarmu?"
"Manusia yang seperti banci itulah makhluknya! Dialah si pemimpin Orang-Orang Lapar!" sahut Muraini.
Saat itu terdengar suara tertawa mengikik mendirikan bulu roma. Itulah suara si Mawar Beracun. Perempuan hitam ini melompat keluar dari barisan. "Hihihi.... selamat datang, orang-orang gagah! Kami acungkan jempol buat kalian yang telah mampu melewati lima buah pintu Neraka yang telah kami persiapkan. Dipintu keenam ini bila kalian bisa mempertahankan nyawa, maka tinggal satu pintu lagi yang harus kalian lewati! Yaitu pintu ketujuh!" berkata si Mawar Beracun.
"Tapi kukira kalian harus pikir-pikir dulu untuk mengadakan bentrokan dengan kami, Pemimpin Orang-Orang Lapar! Apakah tak sebaliknya kalian ikut bergabung dengan kami?" sambung si Mawar Beracun.
Nanjar perdengarkan suara tertawa mengakak sambil memegangi perutnya. Hingga pentolan-pentolan tokoh hitam itu sama menoleh padanya. Padahal diam-diam Nanjar dengan mengumpulkan tenaga dalam Inti Es dan Inti Api dipusarnya, karena maklum kalau dia bakal menghadapi lawan-lawan berat. Tapi dengan tertawa itu, Nanjar juga seolah-olah mentertawakan kata-kata si Mawar Beracun yang mengajak mereka dari pihak kaum pendekar untuk bekerja sama dalam pemberontakan.
"Hahaha... orang hitam bergigi putih memang sedap dipandang mata. Tapi orang hitam bagai arang? Hahaha... seperti buah manggis yang isinya sudah busuk dan tidak putih lagi. Rasanya manis-manis pahit! Lebih banyak pahitnya dari pada manisnya!"
Tentu saja kata-kata Nanjar membuat muka si Mawar Beracun jadi berubah merah padam. Tapi dia masih bisa tertawa dingin. "Hihihi... sobat Pendekar Naga Merah alias Dewa Linglung! Agaknya hari ini kau juga Linglung kalau kalian mimpi untuk menolak tawaran kami. Karena tak seorangpun dari kalian akan dapat melihat Matahari lagi besok pagi. Kecuali kalian menuruti kehendak kami!" berkata dingin si Mawar Beracun. Sejenak dia menyapukan pandangan matanya menatap orang-orang dihadapannya. Tatapannya berhenti pada si kakek Beng Sam Kun, dan si Iblis Rupawan. Sempat pula di melirik pada Milani.
"Dan kau orang Tartar! Apakah kau tak ingin memegang jabatan pada kerajaan Mataram nanti setelah kami berhasil merebut kekuasaan?"
"Hehehe... tua bangka seperti aku sudah tak menginginkan apa-apa lagi. Pengabdianku pada Kerajaan Mataram bukan karena pangkat dan kedudukan. Aku cukup puas dapat menyumbangkan sedikit tenaga yang tak berarti walaupun tanpa imbalan sekalipun!" sahut si kakek Beng Sam Kun.
"Bagaimana dengan kau nenek tua berpenyakit kusta yang baru saja ganti kulit? Apakah kau akan mencoba lagi untuk berurusan dengan si Iblis Tampan? Tentu selama dua tahun menyembunyikan diri di luar desa Wabah Kusta, ilmu kepandaianmu telah bertambah maju!"
"Manusia busuk! Hatimu tak lebih kotor dari busuknya air berbau bangkai! Rupanya kau berniat mengadu domba aku dengan gadis ini? Setelah membunuh kedua orang tua bocah perempuan ini sengaja kau meninggalkan kesan seolah-olah akulah yang menjadi pembunuhnya! Karena cuma kaulah yang mengetahui kutungnya lenganku sebatas pergelangan tangan!" bentak Muraini.
"Hihihi...! manusia kotor sepertimu memang pantas kalau memindahkan kesalahan pada lain orang. Apakah itu bukan fitnah keji?" sambar si Mawar Beracun dengan tertawa dingin.
"Heh! tak perlu lagi kau berputar lidah, manusia hitam busuk! Aku mengetahui maksudmu yang menghalangi niatku untuk kembali ke jalan lurus. Kau memang menginginkan aku mati dengan meninggalkan nama buruk! Cuma aku ingin tahu, apakah kau memiliki selusin anting-anting, hingga kau sengaja membuang sebelah anting-antingmu disamping mayat korbanmu sepasang suami istri kaum bangsawan yang kau bunuh dan kau rampok harta bendanya? Bahkan kau bakar pula gedung tempat kediamannya?"
Pucatlah seketika wajah si Mawar Beracun. Agaknya dia tak dapat menyembunyikan diri lagi dan berdalih dihadapan si Iblis Rupawan. Apalagi saat itu dilihatnya si Dewa Linglung telah mengeluarkan benda bukti yang ditimang-timang ditangannya.
"Benda ini memang serba guna! Bisa dipakai dilengan, dikaki, ditelinga, bahkan bila diluruskan bisa digunakan sebagai senjata rahasia!"
"Baiklah! aku mengakui, memang akulah yang telah membunuh kedua orang tua gadis ini! Bagiku tak perlu nama baik! Kecuali orang-orang tolol seperti kalian saja yang benar-benar tolol!" berkata si Mawar Beracun.
Mendadak Milani melompat maju. Wajahnya berubah beringas. "Iblis terkutuk! Jadi kaulah manusianya yang telah membunuh kedua orang tuaku? Bagus! Hari ini kalau aku tak membalaskan dendam kematian itu, maka lebih baik aku membunuh diri!" selesai membentak, Milani menerjang si Mawar Beracun dengan tusukan sepasang tombak pendeknya.
Trang! Brreet!
Secercah kilatan kuning menyilaukan mata menabas udara. Sepasang tombak pendek Milani terpental menjadi empat potong. Dan gadis itu terjungkal roboh dengan perdengarkan menyayat hati. Hal itu berlangsung dengan cepat, hingga semua mata dari pihak pendekar ini membelalakkan mata terperanjat.
Darah merah menyembur dari luka goresan di dada Milani. Pakaian gadis ini terkoyak memanjang dari atas ke bawah hingga sebatas perut. Tampak ditangan si Mawar Beracun telah mencekal sebuah pedang berwarna kuning. Itulah pedang pusaka miliki si Pendekar Kipas Maut yang telah dipergunakannya.
"Perempuan iblis!" membentak Muraini. Wanita ini berkelebat menerjang perempuan hitam itu. Seben-tar saja keduanya telah terlihat pertarungan dahsyat.
"Hahaha... Dewa Linglung akulah lawanmu!" terdengar suara tertawa berkakakan yang kemudian disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan. Ternyata si Tengkorak Kembar dari Neraka.
"Bagus! tanganku sudah gatal untuk menghancurkan muka kalian yang mirip setan-setan Neraka!" Nanjar menggembor keras.
Pertarungan seru segera terjadi ketika si Tengkorak Kembar dari Neraka menyerang dengan jurus-jurus maut, yang mendapat "sambutan" si Dewa Linglung.
Melihat pertarungan tak seimbang, si ketua Merak Sakti melompat menerjang membantu Nanjar menghadapi kedua manusia itu. Akan tetapi sebuah bayangan berkelebat menghadang laki-laki ini. Ternyata si Ular Kobra Hijau.
"Pendekar picisan! Akulah lawanmu!" bentak si Ular Kobra.
"Manusia pemberontak telengas! Niat busukmu takkan tercapai!" teriak si ketua Merak Sakti. Sepasang senjata gaetnya menyambar ke arah batok kepala lawan.
Ular Kobra Hijau segera menyambutnya dengan pukulan uap beracunnya. Tapi lawannya telah cukup waspada. Sejak memasuki mulut desa Wabah Kusta dia telah menelan pel anti racun. Dia tarik serangannya untuk menghindarkan diri. Lalu kembali menerjang dengan serangan-serangan mengandung maut. Sebentar saja mereka telah terlibat pertarungan sengit.
Sementara itu sepasang mata Waru Anggono jadi terbelalak lebar melihat ke arah dada Milani. Tepat diantara belahan buah dadanya yang terbuka terdapat tanda hitam sebesar itu jari. Tanda itu tak dapat dilupakan. Itulah tanda yang tak semua orang memilikinya.
Tiba-tiba dia melompat ke arah gadis yang terkapar itu dengan wajah berubah pucat. Matanya membelalak memperhatikan tanda hitam itu. Kemudian memandang ke arah wajahnya. Mendadak terdengar suara Waru Anggono menggetar menyebutkan kata-kata.
"Tidak salah! Kau... kau pasti ANGGI RESMINI! kau pasti adikku yang tengah kucari itu!" Sekali bergerak lengannya telah terjulur dan memondong tubuh si gadis. Kemudian membawanya keluar dari arena pertarungan dua wanita yang tengah saling gempur itu.
Kakek pengemis Beng Sam Kun melompat mendekati. Cepat dia memeriksa pernapasan si gadis yang tampak mengkhawatirkan. Lalu menotok beberapa kali didekat luka untuk menghentikan mengalirnya darah.
"Siapakah gadis ini?" tanya Beng Sam Kun.
"Dia adikku! Ya! tidak salah lagi! Aku kenal ciri-ciri tanda hitam ini..." sahut Waru Anggono lirih. Setitik air bening bergulir dari sudut matanya. Berbagai perasaan bercampur aduk dihati pemuda ini. Gembira, sedih, kecewa bahkan kemarahan menjadi satu dan bergelut dalam dadanya.
Mengapa Tuhan justru mempertemukan mereka dalam keadaan seperti ini? Dia yakin gadis itu memang adiknya yang hilang lima tahun yang silam. Nama Milani tentu diberikan oleh kedua orang bangsawan yang tewas terbunuh itu, dan menganggap bocah yang ditemukan mereka sebagai anak sendiri.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar jeritan merobek udara. Tampak salah satu dari dua wanita yang bertarung sengit itu roboh terjungkal. Darah merah memuncrat menyiram bumi. Kakek Beng Sam Kun melompat dengan berteriak kaget. Sekejap dia telah merangkul sosok tubuh yang terkapar berlumpuran darah. Ternyata wanita itu adalah Muraini.
"Koko... Beng! Aku gembira dapat berjumpa denganmu. Akupun bahagia dapat mati dengan keadaan bersih. Aku merasa Tuhan sudah memanggilku... Te... teruskanlah perjuanganmu. Se... la... mat ting...gal..." Kepala wanita itupun terkulai. Nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya. Tapi tampak bibir wanita itu seperti tersenyum, seolah dia telah rela untuk dipanggil Yang Maha Pencipta.
Kakek Beng Sam Kun mencium kening adik kandungnya. Kemudian membaringkannya ditanah. Mendadak angin keras bersyiur menyambar ke arah punggung si kakek pengabdi Kerajaan Mataram ini, berbareng dengan bentakan keras menggema santar.
"Anjing Mataram! Segera kaupun menyusul berangkat ke Akhirat!" Ternyata si kakek kepala botak yang menyerang dengan tongkat hitamnya.
Beng Sam Kun menyambutnya dengan tangkisan. Bahkan sempat menghantam dengan lengan kirinya ke arah berkelebatnya bayangan tubuh si penyerang.
Plak! Dhes!
Dua sosok tubuh laki-laki yang saling gempur itu sama-sama terlempar. Tapi segera bangkit kembali. Dan mereka kembali saling terjang! Sekejap saja pertarunganpun berlanjut. Dua tokoh hitam dan putih ini sama-sama mengeluarkan jurus-jurus maut mereka untuk merebut kemenangan.
Hidup ini memang penuh kemelut! Dan tak seorangpun yang akan bebas dari kemelut. Perjuangan adalah perjuangan, walau masing-masing orang atau masing-masing pihak berbeda tujuan. Ambisi takkan lepas dari hati manusia. Walaupun hal ini juga mempunyai dua jalur yang berlawanan.
Dan hawa nafsu memang masih tetap punya kedudukan tinggi disetiap hati manusia. Bahkan ham-pir merajai hati manusia. Secara sadar manusia tahu bahwa itulah benalu kehidupan. Tapi mungkinkah manusia bisa mengikisnya? Urat dan akar hawa nafsu telah lama hidup sejak diciptakannya manusia di atas bumi ini oleh Yang Maha Pencipta.
Hawa nafsu adalah suatu unsur kekuatan yang sangat hebat. Kita memang tak perlu menumpasnya, karena kita tak akan dapat menumpasnya. Manusia hanya bisa menjinakkan. Dengan demikian unsur ke-kuatan itu akan menjadi suatu kekuatan yang lurus dan benar. Tapi hal itu takkan terwujud tanpa adanya perjuangan. Dan perjuangan itu pun akan menjadi semua atau palsu, bila manusia tak memiliki akal waras.
Akal yang waraspun tak bisa didapatkan tanpa adanya petunjuk dari Yang Maha Pencipta. Petunjuk itulah yang harus kita gunakan sebaik-baiknya. Karena manusia bukanlah makhluk yang luar biasa. Tak seorangpun manusia dijagat ini yang dapat mempertahankan kematian!
Manusia boleh berambisi. Manusia boleh bercita-cita. Tapi kita sadar bahwa semuanya akan mati. Semuanya akan musnah! Seperti juga sesuatu itu asalnya tak ada, kemudian ada. Dan akhirnya kembali lenyap! Dunia ternyata memang bukan tempat yang abadi. Hidup kekal hanya akan kita dapati kelak di alam Akhirat.
Agaknya masih ada satu hal yang harus kita renungkan. Renungan itu mungkin adalah sebuah pertanyaan yang kita bebas untuk menjawab. Dan biarkanlah masing-masing hati kita yang menjawabnya. Pertanyaan itu ialah: Setujukah kita bila setiap kejahatan didunia ini tak mendapatkan balasan atas hasil segala kejahatannya?
Pertarungan yang berlangsung tegang antara kaum pendekar penegak kebenaran dan kaum golongan kiri yang sesat itu akhirnya berakhir juga. Dua tokoh hitam bergelar si Tengkorak Kembar dari Neraka perdengarkan jeritan panjang mengerikan. Dua tubuh itu terjungkal roboh dengan masing-masing lehernya terkoyak pedang mustika Naga Merah ditangan Nanjar.
Akan tetapi dari pihak kaum pendekar telah kehilangan beberapa korban. Si ketua perguruan Merak Sakti tewas ditangan si Ular Kobra Hijau. Batok kepalanya rengkah terkena pukulan laki-laki itu. Dua korban kembali menyusul. Waru Anggono yang terlibat pertarungan dengan si Mawar Beracun terlempar bergulingan. Lambungnya tersayat oleh pedang ditangan perempuan hitam itu. Dia tewas menyusul Milani yang telah terlebih dulu melayang jiwanya dihadapan pemuda itu.
Kakek Beng Sam Kun menggerung marah. Jiwanya dipertaruhkan untuk tegaknya keadilan dan kebenaran. Tokoh-tokoh pemberontak itu harus secepatnya disingkirkan. Serangannya semakin gencar mengurung tanpa memberi peluang sedikitpun pada sang lawan.
Sementara itu si Mawar Hitam mulai agak menciut nyalinya melihat kematian dua orang tokoh andalannya. Tapi dia berusaha membesarkan hati karena dipihaknya masih ada si Iblis Tampan dan si Ular Kobra Hijau. Baru saja dia berkelebat ke arah suaminya untuk bergabung, terdengar bentakan keras yang membuat dia melompat mundur.
"Mawar Beracun! Hayo berhadapan denganku!" Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya cahaya merah menyambar.
Trang!
Cahaya merah dan kuning dari kedua pedang pusaka itu saling bentur. Mawar Beracun tak berayal menangkis serangan lawan yang tiada lain dari si Dewa Linglung. Kekuatan hebat yang tersalur dari badan pedang mengandung tenaga dalam Inti Es telah beradu dengan kekuatan tenaga dalam di Mawar Beracun.
Kedua badan pedang itu saling menempel. Tampak tubuh si perempuan hitam menggigil. Arus yang amat dingin seperti membekukan jantungnya. Segera dia menyalurkan kekuatan tenaga dalam Inti Api untuk membuat buyar kekuatan lawan.
Girang hati si Mawar Hitam karena hawa dingin lawan mulai agak mengendur. Sebaliknya Nanjar terkejut karena merasakan aliran hawa panas mulai merambat ke tubuhnya. Pedang Naga Merah mulai terdorong sedikit demi sedikit.
Mawar Beracun terus menambah kekuatan untuk menindih kekuatan tenaga dalam lawan. Anehnya tenaga dalam perempuan hitam ini seperti bertambah berlipat ganda. Hal ini membuat konsentrasi Nanjar agak buyar. Padahal dia dapat mengukur kekuatan lawan yang sepertiga dibawah kekuatan tenaga dalamnya.
Buyarnya konsentrasi Nanjar sangat menguntungkan lawan. Karena segera tampak tubuh Nanjar mulai doyong. Secara drastis mata pedang lawan sudah tinggal beberapa inci lagi dari kulit lehernya.
"Hihihi.... nyawanya sudah diujung rambut. Dewa Linglung! Segera kau ucapkan do'a kematian!" tertawa mengekeh si Mawar Beracun.
Nanjar merasa ada sesuatu yang tak wajar dalam adu kekuatan tenaga dalam ini. Sambil tetap bertahan, biji matanya bergerak memutar. Tertataplah sesosok tubuh yang berdiri tak jauh dibelakang si perempuan hitam. Siapa lagi kalau bukan sosok tubuh si manusia bukan laki-bukan perempuan alias si Iblis Tampan.
Tampaknya si Iblis Tampan tak berbuat apa-apa. Tapi diam-diam dia tengah menyalurkan kekuatan tenaga dalam jarak jauh untuk membantu si Mawar Beracun melalui telapak tangannya yang terarah ke punggung wanita itu.
"Sial dangkalan! rupanya mereka main curang?" maki Nanjar dalam hati. Nanjar diam-diam memutar otak untuk melepaskan diri dari bahaya maut yang mengancam jiwanya. Mendadak lengan kirinya menyelusup kebalik pakaiannya. "Bagus! anak tikus dikantong bajuku masih sisa seekor. Untung aku tak menelan semua...! Biasanya perempuan paling takut dengan tikus! Ini satu-satunya cara yang kudapatkan!" berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Cepat sekali dia melemparkan binatang itu ke kaki si Mawar Beracun. Tentu saja hal itu tak luput dari mata si Mawar Beracun. Ketika melihat binatang kecil yang menjijikkan itu menyentuh kakinya, si perempuan hitam ini membelalakkan mata dan menjerit kaget.
Akan tetapi itulah saat kematiannya. Karena secara tak sadar seluruh kekuatan tenaga dalam yang tengah disalurkan seketika lenyap, akibat rasa takut dan jijik melihat binatang kecil itu.
Dengan suatu sentakan keras, terlepaslah pedang ditangan si mawar Beracun. Dhes!! Kilatan sinar merah membias udara. Darah merah menyembur dibarengi melayangnya kepala si wanita hitam dari batang leher. Tubuh tanpa kepala itu roboh terjungkal berdebuk ditanah.
Bersamaan dengan tabasan maut yang memutuskan kepala si Mawar Beracun, terdengar pula jeritan kematian si kakek kepala botak ditangan si kakek Beng Sam Kun. Sosok tubuh si Iblis Tampan mendadak lenyap dari tempat berdirinya. Tapi Nanjar masih dapat melihat gerakan berkelebat manusia itu.
"Pengecut licik! Jangan lari!" membentak Nanjar. Dia segera berkelebat mengejar pintu gerbang ketujuh. Akan tetapi mendadak pintu itu tertutup! Baru saja dia gerakkan tangan untuk mendobrak, mendadak terdengar jeritan parau dari ruangan tertutup itu dan suara tubuh yang ambruk ke tanah.
BRAK!
Sekali hantam hancurlah pintu itu. Apakah yang dilihat Nanjar? Sepasang matanya membelalak, karena melihat si Iblis Tampan terkapar dengan tulang dada hancur. Nyawanya telah lepas melayang! Dan tampak seseorang berdiri tegak tak jauh dari mayat si Iblis Tampan. Dialah si Ular Kobra Hijau. Kesepuluh jari-jari tangannya berlepotan darah.
"Siapakah kau sebenarnya? Mengapa kau membunuh teman sendiri?" berkata Nanjar dengan terkejut.
"Aku adalah Senopati Girimandra dari kerajaan Mataram yang merencanakan penyergapan komplotan kaum pemberontak dimarkas desa Wabah Kusta ini, bekerja sama dengan Senopati Beng Sam Kun!"
"Tapi... kau telah membunuh beberapa orang kaum pendekar!" sanggah Nanjar.
"Jangan salah paham! Mereka orang-orang yang kubunuh adalah justru komplotan dari kaum para pemberontak!"
"Dari mana kau bisa mengetahui?" sentak Nanjar terkejut.
Ular Kobra Hijau menyeka lengannya yang berlumuran darah. Kemudian mengeluarkan secarik kain dari balik pakaiannya. "Inilah surat perintah dari Gusti Prabu Mataram. Didalamnya terdapat nama-nama tokoh kaum pemberontak! Kami tak berani lancang tangan untuk sembarangan membunuh tanpa surat perintah dari Baginda Prabu!" kata laki-laki itu seraya memberikan surat kain tersebut.
Benarlah apa yang dikatakan si Ular Kobra Hijau. Nama-nama tokoh yang telah tewas ditangan laki-laki itu terdapat di dalam surat perintah yang tak mungkin palsu karena mempunyai cap Kerajaan. Suara langkah kaki, terdengar mendekati dari arah belakang Nanjar. Nanjar cepat berbalik. Tampak si kakek tua Beng Sam Kun sudah berada di situ.
"Terima kasih atas bantuanmu, sobat Dewa Linglung!" berkata si kakek berbaju pengemis itu seraya membungkukkan tubuh menjura.
"Haiih! Kalian ternyata abdi-abdi kerajaan Mataram? Mataku benar-benar kurang penglihatan...!" kata Nanjar dengan tersenyum. Lalu menjura pada kedua Senopati itu. Nanjar memberikan surat itu pada si kakek Beng Sam Kun. Lalu memasukkan pedang ke dalam serangka dibelakang punggung.
"Maaf, sobat-sobat Senopati. Badanku kotor dan bau keringat. Aku mau mandi dulu membersihkan badan disungai..!"
Selesai berkata Nanjar berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap dibalik kerimbunan hutan. Kedua senopati itu saling tatap dengan sunggingkan senyum. Kakek Beng Sam Kun menggeleng-gelengkan kepala, seraya berkata pelahan.
"Pendekar muda itu mana mau diberi penghargaan oleh Baginda Prabu? Haiih! ilmunya tinggi, dan tak sia-sia semua bantuannya...!"
Si Ular Kobra Hijau alias Senopati Girimandra tersenyum manggut-manggutkan kepala....