Dari ujung jalan berbatu-batu di lereng bukit itu tampak debu mengepul ke udara. Tak lama muncul serombongan orang berkuda dengan diiringi suara derap kaki-kaki kuda. Hingar bingar! Karena bercampur dengan suara ringkik kuda dan teriakan para penunggangnya membaur dengan jeritan-jeritan suara wanita.
Ternyata mereka terdiri dari delapan penunggang kuda. Tiga penunggang kuda diantaranya membawa tiga orang wanita. Dua dari ketiga wanita itu menjerit-jerit berada dalam pelukan para penunggang kuda ini. Sedangkan wanita yang seorang lagi dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dua penunggang kuda yang berada di tengah rombongan, masing-masing membawa kain buntalan. Dan empat penunggang kuda lainnya cuma mengiringi di belakang. Sepintas kita sudah dapat menduga, bahwa mereka adalah sekelompok orang-orang jahat. Memang benarlah!
Mereka tidak lain dari sekelompok penyamun, yang baru saja berhasil membawa sejumlah korban selain harta benda juga tiga orang wanita. Jauh di bawah bukit dimana terdapat sebuah perkampungan kecil yang sudah tak berpenghuni, tampak serombongan pasukan kerajaan melintasi desa mati itu.
Penunggang kuda paling depan adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih setengah abad. Berpakaian serta hitam dengan sulaman benang emas. Rambutnya tergelung kecil di belakang mahkota yang merupakan lambang seorang Tumenggung. Dialah Tumenggung Gagak Pamungkas dengan empat belas prajurit berkuda kadipaten yang mengawal di belakangnya.
Melewati desa mati itu Tumenggung Gagak Pamungkas memperlambat kudanya. Dua prajurit segera menyusul mengapit di sebelah kiri kanan sang Tumenggung. Salah seorang berkata seraya menunjuk ke depan.
"Di sebelah depan ada persimpangan jalan. Kita menuju kearah yang sebelah kiri, gusti Tu-menggung!"
"Hm! itu memang jalan satu-satunya yang menuju ke kota Kendal! Berapa jauhnya dari persimpangan jalan itu?" tanya laki-laki tinggi besar berkumis tebal dan kaku ini. Alisnya yang berbulu lebat terjungkit turun hampir menyatu.
"Tak berapa jauh lagi gusti, kira-kira dua puluh tombak dari persimpangan jalan itu. Di tempat itulah terjadinya pembegalan..." menyahut laki-laki prajurit ini. Ternyata dua orang prajurit ini yang memberi laporan dan sebagai penunjuk jalan.
Tumenggung Gagak Pamungkas tak menjawab, tapi segera membedal kuda mendahului si prajurit. Tampaknya dia sudah tak sabar untuk segera tiba di tempat kejadian. Keempat belas pengawal itupun segera mempercepat lari kuda-kuda mereka membuntuti di belakang sang Tumenggung.
Keberanian Tumenggung Gagak Pamungkas serta ilmu kepandaian yang dimiliki memang sangat menunjang kedudukannya. Itulah sebabnya dalam usia lebih dari lima puluh tahun, tenaganya masih bisa terpakai. Bahkan dia ditugaskan Adipati Kencono Alam untuk menjaga perbatasan selatan ini yang terkenal rawan. Belum mencapai sebulan bertugas di wilayah itu, ternyata sudah ada kejadian yang harus ditangani.
Wilayah yang tidak aman itu memang sedang dalam pengawasannya. Tentu saja mendengar laporan dua orang prajurit tentang terjadinya pembegalan oleh sekelompok penyamun terhadap serombongan iring-iringan yang mengawal kereta tandu, telah membuat dia berang. Dan menyiapkan dua belas prajurit Kadipaten yang terlatih untuk menuju sasaran.
Akan tetapi kedatangan mereka ternyata telah terlambat beberapa menit, karena ketika rombongan yang dipimpin Tumenggung ini hanya menjumpai mayat-mayat bergelimpangan. Sepasang mata Tumenggung Gagak Pamungkas membelalak lebar melihat keadaan yang mengenaskan di depan matanya. Belasan orang menggeletak tumpang-tindih dalam keadaan tak bernyawa. Sebuah kereta tandu porak-poranda tergelimpang disisi jalan. Dua ekor kuda penarik kereta itu mati.
"Keparat! kita terlambat...! Mereka telah menjadi korban keganasan para penyamun itu!" teriak Tumenggung ini seraya melompat dari punggung kuda. Keempat belas prajurit itu cepat melompat dari punggung kuda masing-masing untuk memeriksa mayat-mayat itu.
Kecuali dua prajurit penunjuk jalan yang masih tetap berdiri dengan terperangah. Sungguh mereka tak mengira, kalau kejadian akan berlangsung demikian cepat. Tampak keduanya saling pandang, dan sama-sama menggelengkan kepala.
Salah seorang dari kedua belas prajurit itu tiba-tiba berteriak. "Seorang korban yang terluka parah masih hidup, gusti!"
"Bagus! kita bisa mendapat keterangan dari dia!" tersentak girang sang Tumenggung. Detik itu juga Tumenggung Gagak Pamungkas telah berkelebat memburu.
Laki-laki korban keganasan para penyamun itu tampaknya sudah tak ada harapan untuk hi-dup. Sekujur tubuhnya penuh dengan bekas luka bacokan, dan darah membasahi pakaiannya. Nafasnya tinggal satu-satu. Tumenggung Gagak Pamungkas tak membuang waktu untuk lakukan pertanyaan.
"Cepat katakan! Siapa adanya kalian? dan apakah kau mengetahui siapa komplotan para penyamun itu?"
Laki-laki ini membuka matanya. Suaranya tersendat-sendat ketika membuka suara. "Kami... orang-orang perguruan Harimau Tunggal, yang... ditugaskan mengawal sepasang pengantin baru. Mereka adalah anak dan menantu Den Bei Hong Taliwongso..."
"Hm! Lalu apakah kau mengenal siapa para penyamun itu?"
Akan tetapi laki-laki itu tak dapat menjawab lagi. Karena kepalanya telah terkulai. Jiwanya telah melayang. Tumenggung Gagak Pamungkas bangkit berdiri dengan wajah keruh. Namun keterangan itu tampaknya sudah cukup baginya.
"Apa yang akan kita lakukan, gusti? Apakah kita kejar ke sarang mereka? Kukira mereka belum terlalu jauh...!" tanya seorang pengawal. "Hm…! Belum saatnya! Mari kita kembali untuk melaporkan hal ini pada gusti Adipati!" sahut Tumenggung ini.
"Bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
Laki-laki kekar ini palingkan kepala memandang kearah mayat-mayat yang bergeletakan ditengah jalan. Wajahnya tampak sinis. "Biarkan saja! Bukan urusan kita. Tujuan kita adalah menumpas para penyamun terkutuk itu!" sahutnya. Selesai berkata dia melompat ke punggung kuda.
Keempat belas prajurit termasuk dua prajurit yang membawa laporan itu segera bergegas melompat ke punggung kuda masing-masing. Tak lama rombongan pasukan laskar itupun bergerak meninggalkan tempat itu...
Dua orang prajurit ini menjalankan kudanya di bagian belakang. Ketika melewati sebuah belokan, mendadak kedua prajurit ini menyelinap keluar dari barisan, lalu membedal kuda dengan cepat memasuki hutan kecil.
Tiba di suatu tempat mereka berhenti. Kemudian masing-masing melompat turun dari punggung kuda. Salah seorang berkelebat kearah semak belukar. Tak lama muncul lagi dengan membawa setumpuk pakaian.
"Cepat ganti pakaianmu, Tolaga! Kita harus melaporkan secepatnya pada bangsawan tua itu mengenai kejadian pembegalan itu!" berkata prajurit yang agak sedikit kekar berkulit kasar ini pada kawannya. Dia bernama Samiri.
"Haha... beres! Akupun sudah tak sabar menerima kepingan uang emas dari si kambing tua, Den Bei Hong Taliwongso! hahaha..." Tolaga tertawa gelak-gelak seraya membuka pakaian prajurit yang dikenakan, lalau melemparkannya ke dalam semak.
Tak lama kedua orang itu telah selesai mengganti pakaian. Ternyata mereka bukanlah prajurit sebenarnya. Siapapun tak menyangka kalau mereka adalah Samiri dan Tolaga. Dua orang penjahat picisan yang kerjanya hanya memburu keping uang emas belaka. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Dibalik keganasan para penyamun itu, dia memanfaatkan kesempatan untuk mencari untung.
Cara menggunting dalam lipatan ini memang telah lama mereka lakukan. Bukan saja mereka mengetahui siapa adanya para penyamun itu, tapi dia juga mengenal siapa pemimpin gerombolan penjahat itu. Karena Samiri dan Tolaga adalah bekas anggota para pembegal itu.
Cara kerja mereka yang cepat, serta kelicikan dan tipu daya untuk menghasilkan keuntungan memang telah dimiliki mereka. Tentu saja dalam hal ini mereka punya bekal ilmu kepandaian. Walaupun tak seberapa tinggi namun mereka dapat menyelinap dan menghilang seperti ular. Dengan cara kerja yang menghasilkan keuntungan cukup lumayan itu, mereka tak perlu khawatir terhadap ancaman kaum pendekar maupun para penegak hukum.
Samiri dan Tolaga memang telah mendengar berita kalau bangsawan tua Den Bei Hong Taliwongso baru saja mengadakan pesta pernikahan anak gadisnya. Rencanapun diatur sedemikian rupa. Bagi manusia yang penuh dengan tipu daya licik, demi menghasilkan keuntungan tidaklah sukar untuk mencari jalan.
Samiri menulis surat rahasia bahwa ada seseorang yang mengancam akan membunuh putri bangsawan tua itu karena dendam. Samiri mengatakan bahwa dia sanggup menyingkirkan orang itu, tapi dia memerlukan imbalan. Dia memberi jalan dengan dua cara. Kesatu adalah menitipkan uang imbalan pada seorang pegawainya, yaitu yang telah memberikan surat rahasia itu.
Lalu menyuruh pegawainya mengantarkan uang tersebut ke suatu tempat. Cara kedua adalah mereka bertemu empat mata. Dengan pesan, bahwa bangsawan tua itu tak diperkenankan melaporkan hal ini pada siapapun. Samiri menulis dirinya dengan julukan si Dewa Penolong.
Sementara itu Samiri membagi tugas. Dia menunggu di suatu tempat, agak jauh dari tempat yang telah ditentukan untuk pembicaraan empat mata. Sedangkan Tolaga menunggu di tempat yang ditentukan, dimana si pegawai bangsawan tua itu akan mengantarkan uang yang diinginkan.
Ternyata apa yang diharapkan tak membawa hasil. Dua cara itu tak dipenuhi si bangsawan tua. Karena sebelumnya bangsawan tua itu telah mempergunakan tenaga orang-orang perguruan Macan Tunggal.
Orang-orang perguruan Macan Tunggal memang telah sejak lama disewa dan dipergunakan tenaganya untuk menjaga keselamatan keluarga bangsawan tua itu. Bahkan ketika merayakan pesta pernikahan anak gadisnya, Den Bei Hong Tolowongso mempercayakan keamanan pes-ta pada orang-orang perguruan itu.
Kegagalan mereka bukan berarti mereka harus menyerah tanpa syarat. Mereka menyingkir pergi ketika orang-orang perguruan Harimau Tunggal mengadakan pelacakan terhadap diri mereka. Namun keduanya masih terus mengawasi keadaan dalam gedung bangsawan tua itu. Hingga salah seorang dari mereka mendengar berita sepasang mempelai itu akan mengadakan perjalanan keluar kota dalam rangka berbulan madu.
Kesempatan ini tak disia-siakan. Mereka menguntit iring-iringan pembawa kereta tandu yang dikawal belasan orang-orang perguruan Ha-rimau Tunggal. Inilah kesempatan baik bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan. Ketika rom-bongan akan melewati perbatasan, dua orang prajurit berkuda menahan rombongan itu.
Mereka adalah dua orang prajurit penjaga perbatasan. Sebagai petugas alat kerajaan kedua-nya berhak menanyakan siapa rombongan itu, dan kemana tujuannya. Ketua pengawal perguruan Harimau Tunggal tampil ke depan. Lalu mengadakan pembicaraan pada dua penjaga itu. Mungkin menerangkan siapa adanya rombongan itu dan maksud tujuannya.
Tampaknya tak juga dari pihak-pihak rakyat jelata, dua orang bertugas itupun tak menyia-nyiakan kesempatan baik untuk mendapat tambahan uang saku. Apa lagi rombongan yang akan lewat itu adalah rombongan keluarga bangsawan.
Pemuda gagah bermata sipit yang menunggang kuda di sebelah kiri kereta tandu segera menghampiri. Agaknya dia telah hapal dengan maksud penahanan itu. Bahkan dia tampak tak sabar menunggu pembicaraan pemimpin rombongan pengawal dengan dua prajurit tersebut.
Ternyata pemuda ini adalah sang menantu si bangsawan tua. Dia bernama Han Soma. Segera dia menghampiri mereka. Tanpa berkata apa-apa lalu merogoh ke balik saku. Dua keeping emas dilemparkan kearah dua prajurit itu. Salah seorang dengan tersenyum cepat menangkapnya.
Lalu bungkukkan tubuh menjura, seraya mengucapkan terima kasih. Kiranya inilah yang diinginkan dua penjaga itu. Nyatanya dengan mudah mereka dapat meneruskan perjalanan tanpa halangan apa-apa.
Tolaga dan Samiri saling pandang. Ketika rombongan berlalu meninggalkan perbatasan itu, keduanya menyelinap dari tempat persembunyian. Apa yang dilakukan dua manusia ini? Ternyata beberapa saat antaranya mereka telah berada di belakang si dua prajurit penjaga.
Kedua prajurit ini tampak tengah tertawa-tawa sambil menimang-nimang keping emas di masing-masing tangan mereka. Tolaga dan Samiri bertindak cepat. Mereka berkelebat melompat, lalu menotok dua pengawal sial itu. Dan sebuah pukulan keras pada belakang leher membuat mereka pingsan tak sadarkan diri, tanpa mengetahui siapa pembokongnya. Kedua keping emas itu kini berpindah ke tangan mereka mereka.
Sejenak Tolaga dan Samiri saling pandang dengan tersenyum menyeringai. Samiri cepat selipkan keping emas ke balik baju. Kemudian memberi isyarat untuk membukai pakaian korban mereka. Selesai itu mereka segera menyeret tubuh dua prajurit itu ke dalam semak belukar. Sekali bertindak mendapat untung tak kepalang. Disamping mendapat dua keping emas, mereka juga mendapat dua ekor kuda.
Prajurit sial itu mereka seret ke dalam semak belukar. Kemudian dengan cepat mereka mengganti pakaian dengan pakaian-pakaian prajurit itu. Lalu bergerak menyusul rombongan pengawal kereta tandu. Samiri berotak cerdik. Dia menyuruh Tolaga menghentikan kuda. Kemudian menyembunyikan pakaian mereka disemak belukar dengan tanda-tanda yang mudah diingat, yaitu dekat sebuah batu besar di tepi jalan itu.
Setelah berunding, tampak keduanya membelokkan kuda dari jalan berbatu-batu itu. Apa yang dilakukan Samiri dan Tolaga adalah membuntuti mereka dengan jarak terlalu dekat. Karena mereka tahu jalan yang dilewati rombongan itu adalah jalan rawan yang merupakan kekuasaan komplotan pembegal Elang Darah, yang mereka adalah bekas anggotanya.
Benar saja! Dari tempat ketinggian itu mereka dapat melihat munculnya para penyamun-penyamun Elang Darah. Suara ringkik kuda dan jeritan ketakutan tiga wanita yang berada dalam kereta tandu membaur dengan teriakan-teriakan para penyerbu. Dalam waktu sekejap saja pertarungan antara para pengawal kereta tandu dan para pembegal segera terjadi. Sejenak Tolaga dan Samiri terpaku di tempatnya.
Namun hal itu memang sudah diduga mereka, dan telah direncanakan Samiri. Laki-laki ini segera memberi tanda untuk segera membedal kuda meninggalkan tempat itu. Ternyata kemudian seperti yang telah di ceritakan di bagian depan, kedua orang prajurit samaran itu melaporkan kejadian itu pada Tumenggung Gagak Pamungkas.
Kedua orang ini ternyata punya penglihatan dan pendengaran yang jeli. Semua itu berkat kegesitan mereka dalam memasang indera untuk mengetahui apa yang terjadi dalam wilayah itu, hingga dikirimnya Tumenggung Gagak Pamungkas ke wilayah itu sejak sebulan yang lalu telah dapat diketahui....
Pemuda gondrong ini mengenakan baju penuh tambalan yang berwarna-warni. Adalah aneh kalau bajunya penuh dengan tambalan, tapi dia membiarkan celananya sobek disana-sini. Bahkan salah satu ujung celana pangsi warna hitam yang sudah lusuh itu sobek hingga membelah sampai ke lutut.
Selain berpakaian aneh, sikapnya pun tampak aneh. Wajahnya selalu menampilkan senyum. Sepintas orang akan mengatakan dia orang yang tidak waras. Akan tetapi setiap gadis pasti akan tertarik untuk melirikkan mata, karena tampangnya yang gagah. Perawakannya pun sangat memenuhi syarat sebagai seorang pemuda bertubuh sempurna. Tinggi tidak pendekpun bukan.
Selain itu otot-otot tubuhnya tampak terlihat kekar. Tatapan matanya bisa menjatuhkan ga-dis untuk bertekuk lutut dihadapannya. Seorang pemuda sempurna dalam perawakan, tapi aneh dalam berpakaian. Belahan baju pada dadanya tanpa berjahit. Tampaknya seperti di konyokkan begitu saja. Dan dari sobekan belahan baju itu tersembul bulu-bulu dada yang lebat.
Seuntai kalung terbuat dari potong-potongan bambu kecil tampak menghiasi lehernya, melengkapi keanehan pakaian pemuda ini. Termasuk ikat pinggang lebar terbuat dari kulit yang penuh dengan hiasan paku-paku. Serta sehelai kain hitam lusuh yang digunakan sebagai ikat kepala. Pemuda ini berdiri memandang kearah perkampungan penduduk dari atas bukit itu.
Entah apa yang membersit dalam pikirannya, karena tampak senyumnya semakin melebar. Ternyata di bawah sana di jalan setapak tampak tersembul sesosok tubuh yang berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Walaupun jarak dari atas bukit cukup jauh, tapi pemuda aneh ini telah dapat menerka kalau orang yang tengah berjalan tergesa-gesa itu adalah seorang wanita.
Dugaan pemuda aneh itu memang benar! Seorang gadis berbaju kembang dengan kain kasar sederhana yang dikenakan tak begitu rapi berjalan agak tergesa-gesa. Wajahnya nampak menampilkan kecemasan, dengan rambut yang agak kusut. Langkahnya setengah berlari ketika melewati jalan setapak di kaki bukit itu. Sepintas saja dapat diketahui dia seorang gadis biasa.
Gadis ini berwajah cukup cantik. Seandainya berdandan tentu akan lebih kentara kecantikan parasnya. Entah kemana tujuan si gadis ini, dan apa yang menjadi kecemasan hatinya hingga dia melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa.
Apa yang dicemaskan gadis ini ternyata sangat beralasan. Karena agak jauh di belakang tampak tiga orang laki-laki berperawakan kekar dan kasar berjalan cepat seperti membuntuti gadis itu. Paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk. Perutnya yang membuncit agak mengganggu langkahnya ketika berjalan.
Dialah yang bernama Jologento. Seorang yang cukup berpengaruh di desa wilayah kaki bukit itu. Dua orang di belakangnya adalah boleh dibilang dua pengawal pribadi yang kemanapun dia pergi selalu mengintil di belakangnya.
"Kita tak boleh bertindak secara kasar dan terang-terangan terhadap anak gadis itu. Aku hanya ingin tahu kemana tujuannya?" bisik Jologento pada salah seorang pengawalnya yang bernama Godil ini.
"Kalau cuma pingin mengetahui, kukira kami berdua saja yang menguntit, den Jologento. Raden tak usah bersusah payah seperti ini...!" berkata pelahan laki-laki pengawal si Gendut ini.
"Benar katamu...! Tapi... tapi aku rasanya tak tahan untuk melihat wajahnya. Hatiku benar-benar telah kepincut melihat kecantikan gadis itu..." kata Jologento seraya berhenti melangkah. Lalu jatuhkan pantatnya ke tanah. Nafasnya tampak memburu tersenggal-sengal.
"Haha... kalau sejak tadi raden menuruti usulku, tentu sudah sejak melewati hutan kecil itu kami sudah dapat mencegat perjalanannya!" kata Godil yang ditimpali oleh kawannya.
"Benar, raden! Rencana kami sudah matang. Aku akan berpura-pura mengalami kecelakaan di tengah jalan yang akan dilalui gadis itu dengan mendahuluinya melalui jalan bercagak tadi. Langkahnya pasti terhambat. Dan raden bisa menyusul. Bukankah dengan begitu raden akan puas bisa bertemu muka. Bahkan bisa langsung mengutarakan perasaan cinta raden terhadap dirinya..." kata laki-laki bernama Rembong ini.
Tampaknya termakan juga hati si gendut ini. Dia amat mempercayai pada dua pengawal pribadinya itu. "Kalau begitu lakukanlah sekarang, apakah masih bisa kalian kerjakan?" tanya laki-laki gendut ini.
"Beres! Tapi... hehehe... biasa, den!" sahut Godil seraya mengangsongkan kedua lengannya dengan telapak tangan terbuka.
"Hm! tak bosan-bosannya kalian dengan upah! kerjakan dulu! jangan-jangan kalian telah terlambat!" kata si gendut dengan wajah kesal.
"Jangan khawatir, den! jalan setapak di lereng bukit ini cukup jauh dan panjaaang...! Masih cukup waktu untuk mencegatnya." kata Rembong dengan tertawa menyeringai.
Jologento cepat merogoh sakunya mengeluarkan beberapa keping uang receh. "Nih! kalian bagi dua. Tapi awas kalau kalian gagal melakukan tugas!" katanya dengan memberungut.
"Hehe... beres, den! beres...!!"
Dengan sigap Godil menerima uang tip itu kemudian membagi dua dengan Rembong. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kali, keduanya segera berlompatan dengan cepat untuk mengejar gadis itu.
Ternyata Godil dan Rembong tak menggunakan cara yang seperti di katakan tadi. Tapi langsung memburu gadis itu dengan gerakan sebat. Dua orang ini memang tak percuma menjadi pengawal Jologento tuan tanah yang sampai setua ini masih juga membujang.
Sebagai tuan tanah yang memiliki kebun kelapa cukup luas di wilayah itu, dia cukup menjadi orang yang terpandang. Akan tetapi sikapnya yang lugu dan agak bodoh itu membuat dia sering diakali oleh dua centeng yang sekaligus merangkap pengawal-pengawal pribadinya.
Kelemahannya adalah terhadap wanita cantik. Tak jarang kedua pengawal pribadinya membawa dia ke tempat-tempat daerah hitam dimana terdapat perempuan-perempuan nakal. Tentu saja untuk jasa itu, mereka mendapat imbalan, sekaligus dapat menikmati kegemaran mereka minum tuak dan tak melewatkan kesempatan untuk turut melakukan hal yang sama seperti sang majikan.
Nyai Sekar Arum, gadis desa yang diincar oleh Jologento adalah anak seorang bekas kepala desa. Keadaan sang ayah yang sudah tua dan sering sakit-sakitan membuat dia sering mondar-mandir ke rumah sanak famili sang ayah, untuk mencari tambahan biaya membeli obat, disamping untuk kebutuhan sehari-hari.
Ternyata sering munculnya gadis itu telah menjadi perhatian si gendut, yang mendapat laporan dari kedua centengnya. Seperti kejadian pada hari, Jologento tak tahan untuk mencegat gadis itu. Ternyata Nyai Sekar Arum telah mendapat firasat buruk. Dia tak melewati jalan seperti biasanya. Tapi sengaja membelok memasuki jalan setapak dihutan kecil. Jalan ini cukup jauh, karena harus memutari desa itu.
Adanya dua orang yang selalu memperhatikan di ujung jalan yang biasa dilalui, membuat dia merasa curiga. Siang itu sepulang dari rumah pamannya, hatinya berdebar-debar. Entah mengapa perasaannya kurang tenteram. Firasat buruk seperti membayang dikelopak matanya. Dia khawatir kedua orang tadi mengganggunya. Itulah sebabnya dia membelok, dan mengambil jalan dengan melewati jalan setapak dihutan kecil di kaki bukit itu...
Hatinya agak tenteram karena telah melihat dikejauhan ada asap mengepul, pertanda sudah hampir tiba diperkampungan. Memang desa yang ditujunya sudah tak terlalu jauh lagi. Akan tetapi tiba-tiba terperanjat gadis ini ketika tahu-tahu dua sosok tubuh telah mencegatnya. Alangkah terkejut gadis ini ketika mengetahui orang yang mencegat itu adalah kedua orang yang memang sengaja dihindari.
"Hehe...haha... tahan dulu langkahmu, adik manis! mengapa harus terburu-buru?" berkata Godil dengan tertawa menyeringai.
"Haha... benar, adik manis. Boleh akang bertanya, kemana tujuan nyai? dan hehe... boleh akang tahu siapa nama nyai...?" Rembong ikut-ikutan menyapa dengan gaya gagah, sambil membetulkan pakaiannya. Gadis ini bukannya menyahut malah melangkah mundur. Wajahnya tampak pucat.
"Siapa kalian? Jangan ganggu aku?" bentak gadis ini.
"Hehe... akang bukan mau mengganggu, nyai. Tapi nyailah yang mengganggu akang, karena wajah nyai yang cantik membuat akang jadi kurang tidur kurang makan, dan..."
"Dan kurang ajar!"
Tahu-tahu suara dingin sedingin es meneruskan kata-katanya. Tentu saja Rembong jadi terkejut. Ketika membalikkan tubuh matanya seketika membelalak melihat disitu telah berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian aneh yang penuh dengan tambalan berwarna-warni.
"Siapa kau!" membentak Godil seraya mencabut goloknya di pinggang. Rembong tahu gelagat tidak baik, segera menghunus klewangnya seraya melangkah mundur.
Pemuda aneh ini tak menjawab, tapi menengadah ke atas. Tentu saja Godil dan Rembong ikut-ikutan melihat ke atas. Tampak seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala mereka. Detik itulah, tiba-tiba dua centeng ini perdengarkan jeritan mengerikan. Dan dua tubuh itu roboh dengan nyawa melayang...
Ketika Gentolo si gendut ini tiba di tempat itu, bukan saja terbelalak matanya melihat kedua orang centeng kepercayaannya telah menjadi dua sosok mayat. Akan tetapi juga terperangah karena tak menjumpai adanya gadis yang diincarnya di tempat itu. Seketika wajahnya berubah pucat. Lututnya gemetar dengan tubuh menggigil dan keringat din-gin membasahi tengkuknya.
"Siapa yang mem...bunuhnya?" sentak hati Gentolo.
"Hah!? jangan-jangan gadis itu... dedemit! Bukan manusia! Jangan-jangan dialah yang telah membunuhnya..."
Detik itu juga si gendut balikkan tubuh, dan jatuh bangun berlari meninggalkan tempat itu seperti dikejar setan.
Jauh di atas bukit tampak dua sosok tubuh di atas sela batu-batu besar seperti dua arca yang diam tak bergerak. Ternyata satu wanita dan satu laki-laki. Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari pemuda gondrong berpakaian aneh. Dan dihadapannya adalah gadis yang jadi incaran raden Gentolo itu.
Sepasang mata si pemuda tak berkedip menatap gadis dihadapannya. Senyumnya tampak semakin lama semakin melebar. Sementara gadis yang ditatapnya bagaikan kena pesona menatap pemuda aneh itu dengan terpaku membisu.
"Siapa namamu?"
Pertanyaan pemuda itu membuat gadis itu tersadar dari terpakunya. "Namaku Sekar Arum...." menyahut si gadis dengan lidah terasa kaku. Jantungnya mendadak berdetak keras. Lepas dari mulut macan tapi jatuh pula ke mulut buaya. Dari tatapan mata pemuda itu yang menjalari sekujur tubuhnya, dia sudah pasrah dengan apa yang bakal terjadi.
Kejadian mengerikan yang baru saja terpampang di depan mata itu demikian menakutkan. Kedua laki-laki yang mencegat perjalanannya telah tewas secara mendadak. Entah dengan cara bagaimana pemuda berpakaian aneh itu membunuhnya. Karena gerakan tubuh pemuda aneh ini tak terlihat. Tahu-tahu lenyap, dan dua laki-laki yang mau mengganggunya menjerit roboh, dan tewas seketika.
Dia melangkah mundur dengan wajah pucat pias, dan sekujur tubuh gemetar. Tahu-tahu terasa ada sepasang lengan yang menangkap pinggang dan membekap mulutnya. Sebelum dia sadar apa yang terjadi, tahu-tahu angin bertiup terasa menampar tubuhnya. Tubuhnya terasa melayang-layang hingga dia cuma memejamkan mata.
Ketika dia membuka mata, tahu-tahu dia telah berada di atas bukit. Seketika dia terpaku memandang laki-laki gagah berbaju aneh itu berdiri dihadapannya dengan tersenyum menatapnya. Mau tak mau dia mengagumi ketampanan si pemuda gondrong.
Tapi sinar matanya yang menjalari sekujur tubuhnya membuat dia menyurut mundur. Namun hanya setindak. Kakinya serasa terpaku di tanah. Hingga dia cuma bengong terlongong menatap pemuda itu tanpa mampu mengucapkan kata-kata. Sementara jantungnya berdetak keras. Sinar mata pemuda itu mengandung firasat buruk.
Rasa takut membuat tubuhnya gemetar membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Jawaban disitu membuat senyum si pemuda gondrong berubah jadi tawa tergelak-gelak. Namun matanya tak lepas menatap Sekar Arum.
"Hahaha... nama yang bagus! Sungguh tak kukira kalau di desa di bawah kaki bukit ini ada makhluk secantik kau...."
Jantung Sekar Arum semakin berguncang, dan kali ini dia mampu melangkah mundur. Wajahnya semakin pucat. "Apa yang mau kau lakukan?" sentak si gadis dengan suara bergetar.
"Haha... tak usah takut, gadis manis! aku tak akan menyakitimu. Bahkan aku akan membuat kau senang..." sahut si pemuda gondrong dengan tertawa.
Sekar Arum terperangah kaget, karena tahu-tahu dia telah berada dalam pelukan pemuda itu. Saat itu juga dia berusaha meronta. Tapi aneh, gadis ini rasakan sekujur tubuhnya tak mampu digerakkan. Sekar Arum tak dapat berbuat apa-apa selain membelalakkan mata ketika lengan pemuda itu menggerayangi tubuhnya. Dan satu persatu melepaskan seluruhnya pakaian ditubuhnya.
"Ah... kau sungguh cantik Sekar Arum. Potongan tubuhmu pun sangat indah. Kulitmu putih... dan rambutmu... lebat dan indah" berkata pemuda aneh itu seraya menelusuri setiap lekuk liku tubuh sang gadis. Kemudian lengannya bergerak menguraikan rambut dara itu yang tergelung di atas kepala.
Sekar Arum benar-benar tak berdaya. Tak ubahnya dia bagaikan sebuah boneka yang tak dapat berbuat apa-apa. "Ya, Tuhan...! Kalau apa yang bakal terjadi adalah sudah suratan nasibku. Kuserahkan semua ini padaMu..." berkata gadis ini dalam hati dengan memejamkan mata.
Tapi, lama... lama... dia menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun yang dinanti tak kunjung tiba. Perlahan dia membuka mata. Makin lebar... makin lebar! Tersentak Sekar Arum karena tak melihat pemuda gondrong itu berada dihadapannya.
"Oh, kemanakah perginya pemuda itu?" sentak Sekar Arum. Matanya bergerak menjalari sekitar bukit-bukit berbatu-batu itu. Tapi tak terlihat dimana adanya pemuda gondrong itu.
"Aneh...? mengapa dia pergi? mengapa dia tak jadi melakukan hal itu...?" bertanya-tanya dalam hati Sekar Arum. Yang lebih aneh adalah kini dia dapat menggerakkan lagi anggota tubuhnya. Tentu saja girangnya tak alang-kepalang. Tak ayal dia segera menjumput pakaiannya, lalu mengenakannya dengan bergegas.
Tak lama selesailah dia menutupi kembali sekujur tubuhnya. Kembali dia memperhatikan sekitarnya. Namun tetap tak terlihat adanya sosok tubuh si pemuda gondrong berpakaian aneh itu berada di sekitar tempat itu.
"Benar-benar pemuda aneh..." bisiknya dalam hati. "Tapi juga seorang pemuda tampan dan gagah yang belum pernah kujumpai laki-laki setampan dia..." Sekar Arum bergegas melangkah menuruni bukit itu.
Sementara dalam hati tak habis-habisnya memuji ketinggian ilmu si pemuda aneh. Untuk menuruni bukit itu tidaklah mudah karena jalan yang curam dan berbatu-batu. Tapi pemuda aneh itu dalam waktu hampir dapat dikatakan cuma berapa kejap saja telah dapat membawa dia ke atas bukit. Jalan menanjak adalah lebih sukar ketimbang menurun.
"Pemuda aneh... siapakah dia? Apakah semacam itukah kehebatan ilmu orang yang disebut kaum Rimba Hijau?" berkata hatinya.
Namun diam-diam hatinya menjadi ngeri melihat ketelengasan si pemuda aneh yang dalam sekejap saja telah melenyapkan nyawa orang.
Delapan pembegal itu melompat turun dari punggung kuda masing-masing ketika mereka tiba di sebuah tempat tersembunyi. Markas para penyamun ini ternyata terletak di belakang sebuah bukit di dalam hutan. Jalan menuju markas dijaga oleh dua orang yang segera menutup kembali pintu rahasia.
Sebuah pintu rahasia terdiri dari pepohonan hidup yang tumbuh di pintu goa berlumut. Sedangkan dikiri kanan adalah semak belukar rimbun. Hingga sukar diketahui kalau di tempat itu adalah pintu markas para pembegal yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi penduduk wilayah selatan maupun para pendatang yang melewati sekitar wilayah itu.
Di dalam ruangan goa ini ternyata terdapat sebuah halaman lebar hampir seluas lebih dari ti-ga puluh tombak persegi. Sebuah tempat yang strategis. Karena ruan-gan ini berada dalam udara terbuka. Tampak sekeliling ruang yang boleh disebut sebagai sebuah taman itu, berpagar tebing batu setinggi hampir sepuluh kaki.
Dalam taman ini ada banyak terdapat lubang-lubang yang merupakan pintu-pintu goa. Benar-benar sebuah taman rahasia yang berada dalam sebuah relung bukit. Tak seorangpun akan menyangka kalau di tempat ini berdiam komplotan para pembegal yang menamakan diri mereka dengan sebutan komplotan penyamun Elang Darah.
Diantara empat pintu goa, terdapat sebuah pintu goa yang paling lebar. Di depan mulut goa ini terdapat sebuah kolam berair jernih dengan tanaman kembang beraneka warna disekelilingnya. Kearah mulut pintu goa inilah kedelapan laki-laki bertopeng kain merah itu menatapkan mukanya.
Sementara itu tiga orang wanita yang berhasil diculik dalam keadaan terkulai pingsan dalam pondongan tiga laki-laki bertopeng kain merah itu. Sesosok tubuh berjubah merah tersembul di pintu goa. Rambutnya hitam terurai ke belakang. Wajahnya mengenakan cadar tipis berwarna hitam.
Dari bayangan tubuhnya samar-samar terlihat dari sebab tipisnya jubah sutera yang dikenakannya, dapat diketahui orang ini adalah wanita. Melihat munculnya sosok tubuh itu, kedelapan laki-laki ini cepat menjura. Wanita bercadar ini perdengarkan suaranya.
"Bagus...! siapakah korban kalian ini?" Laki-laki paling depan segera menyahut.
"Tiga orang gadis! salah seorang tampaknya masih pengantin baru. Kedua gadis lainnya mungkin dua orang pelayannya."
Wanita bercadar ini mengangguk, seraya berkata. "Masukkan mereka dalam ruang tahanan terpisah! Dan barang rampasan masukkan ke dalam gudang! Selanjutnya kalian boleh beristirahat!" Kedelapan laki-laki ini mengangguk. Tiga orang segera bergegas membawa tiga korban itu memasuki pintu kedua untuk memasukkan tiga wanita itu dalam tahanan.
Dua orang yang membawa buntalan kain memasuki pintu goa ketiga. Sedang yang lainnya setelah mengikat kuda-kuda mereka segera berkelebatan memasuki pintu goa keempat. Wanita ketua komplotan penyamun Elang Darah ini berjalan mondar-mandir dalam ruang kamarnya. Tampaknya dia agak gelisah.
"Hm, berita angin yang kudengar munculnya seseorang yang menamakan dirinya si Pendekar Tanpa Bayangan, membuat aku harus mulai waspada. Untuk sementara operasi pembegalan harus dihentikan! Apakah julukan itu ada hubungannya dengan bekas guruku, Paderi wanita Biksu Rondo Jati?" berkata si wanita ketua dalam hati.
Wanita ketua ini lama berdiri terpaku menatap ke mulut goa. Sementara otaknya terus berpikir. "Kalau dihubungkan dengan bertugasnya Jalak Pamungkas si Tumenggung tua itu memang bisa masuk akal. Karena laki-laki itu pernah menjadi kekasih bekas guruku dimasa muda. Mungkin pula diam-diam mereka telah menyambung kembali hubungan asmara, semenjak aku diusir keluar dari pesanggrahan! Huh! Benar-benar munafik! Perempuan tua itu menganggap aku telah melakukan perbuatan hina, tapi dia sendiri menjalin hubungan dengan laki-laki" mendesis wanita ini, seraya melepaskan cadar hitam tipis penutup wajah.
Ternyata dia seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya cukup cantik, dengan tulang pipi yang agak menonjol. Kulit mukanya putih, karena tebalnya bedak yang digunakan memoles wajahnya. Akan tetapi bekas luka memanjang dari pelipis sampai kepipi yang menggores wajahnya. Tetap tampak membayang. Walaupun dipoles sedemikian tebal oleh bedak untuk menghilangkan tanda itu.
Dari sepasang matanya yang bersinar dingin, dapat diterka bahwa wanita ini menyimpan dendam sedalam lautan. Dan dari garis-garis mukanya dapat diketahui bahwa dia seorang wanita telengas dan kejam. Dan dari pandangan matanya yang aneh, wanita ini seperti seorang yang mempunyai kelainan jiwa.
Di sebelah pembaringan terdapat, sebuah kaca rias. Kearah sinilah sepasang kakinya melangkah. Lama dia terpaku memandangi wajahnya sendiri, tanpa senyum. Dan jikapun tersenyum, senyum itu begitu dingin. Mendadak dia gerakan lengannya meraba wajah. Meraba goresan luka memanjang yang membekas diwajahnya.
"Heh! aku tak akan melupakan dendam ini, seperti juga tak akan pernah hilangnya bekas luka ini!" mendesis si wanita. Kemudian balikkan tubuh dan mengenakan lagi cadar penutup wajahnya.
Dugaan wanita inipun semakin keras kalau munculnya seseorang yang menamakan dirinya si Pendekar Tanpa Bayangan itu ada hubungannya dengan Biksu Rondo Jati, bekas gurunya.
"Kalau orang itu bukan murid perempuan tua itu, habis siapa lagi? Karena hanya bekas guruku itulah orang yang mampu melenyapkan bayangan tubuhnya! Atau memang bekas guruku itu yang muncul dan melakukan penyamaran dengan julukan si Pendekar Tanpa Bayangan?"
Ternyata hal inilah yang membuat hati wanita itu agak resah. "Malam nanti aku harus keluar untuk menyelidiki..." desahnya mengambil keputusan. "Aku akan melihat dulu ketiga tawanan itu. Bagaimanakah rupa perempuan yang masih pengantin baru itu?" katanya dalam hati seraya melangkah masuk ke ruang belakang goa.
Tolaga dan Samiri membedal kuda dengan cepat menuju ke sasaran, yaitu rumah gedung tempat tinggal bangsawan tua Hong Taliwongso. Mereka sengaja tak menempuh jalan yang tadi dilalui, tapi memotong jalan, dengan tujuan menghindari kepergoknya mereka dengan pengawal penjaga tapal batas yang akan menggantikan dua penjaga yang telah diperdayakan dan diseret ke dalam semak dengan keadaan pingsan dan tertotok.
Akan tetapi ketika melintasi sebuah belokan dihutan kecil, mendadak dilihatnya seorang pemuda tengah berjalan seenaknya di tengah jalan itu. Tampaknya orang muda itu tak mengetahui kalau ada dua ekor kuda berlari kencang dihadapannya.
"Hai! Minggir! Kau mau mampus!?" teriak Samiri. Matanya melotot lebar. Jangankan untuk menahan lari kuda, memberi peringatan pun sudah terlambat. Karena kuda-kuda mereka sudah tinggal beberapa depa lagi.
Tampaknya tak mungkin orang muda itu dapat menghindari diri, tiba-tiba kedua kuda itu meringkik keras seraya menahan larinya dengan mengangkat kaki depan. Akibatnya, Samiri dan Tolaga terlempar dari punggung kuda dan jatuh terjungkal. Kedua kuda itu langsung kabur tak tentu arah dengan memperdengarkan suara ringkikan ketakutan.
"Keparat! siapa kau?" bentak Samiri seraya melompat berdiri diikuti Tolaga. Wajah dua laki-laki ini merah padam. Sekujur tubuh dan pakaiannya penuh debu.
Orang yang dibentak demikian rupa ternyata malah bertanya dengan heran. "Eh!? Ada apa yang terjadi? Kalian jatuh sendiri dari kuda, mengapa membentak aku secara kasar?" tanya pemuda gondrong bertampang dungu ini dengan belalakkan mata.
"Bocah gendeng! apa kau tak tahu kalau kau hampir saja diterjang kuda? Gara-gara kau yang tak mau minggir, hingga kami menjadi korban jatuh dari atas kuda. Bahkan kami harus kehilangan dua ekor kuda yang kabur ketakutan!" bentak Tolaga dengan geram.
"Gara-gara aku...?" tanya pemuda ini dengan menggaruk-garuk tengkuknya. Mendadak dia tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha... haha... aku yang tak tahu apa-apa mengapa harus disalahkan? Justru seharusnya akulah yang marah, karena kalian hampir mencelakakan aku. Naik kuda kalau menemukan jalan yang membelok harus mengurangi kecepatan. Apa kau anggap jalan ini milik nenek moyang kalian?" kata pemuda ini acuh tak acuh.
Tentu saja Samiri dan Tolaga gusar bukan main, merasa dirinya dianggap remeh. Samiri memberi tanda pada kawannya. Tolaga mengangguk mengerti. "Heh! jangan membuat kami gusar, anak muda! Lebih baik kau ganti kedua kuda kami, maka kami akan menghabiskan urusan sampai disini!" kata Samiri. Sementara matanya tertuju pada buntalan kain yang dibawa pemuda itu, yang disampirkan di atas pundaknya.
Pemuda ini tiada lain adalah Nanjar, si Dewa Linglung. Dia tertawa kecil, dengan tanpa mengacuhkan kedua orang yang telah mengurungnya. Bahkan ujung kakinya memainkan batu kecil di atas tanah.
"Kalau kau mau selamat, serahkan saja pada kami sepuluh keping emas untuk pengganti kedua kuda kami yang kabur itu, agar kami bisa membeli kuda lagi!" sambung Tolaga.
"Haha... kuda-kuda kalianpun hasil merampas. Kalau aku harus menyerahkan sepuluh keping emas berarti kalian mempunyai keuntungan dua belas keping emas! Wah! wah! dalam sekejap kalian bisa jadi orang kaya..." menjawab Nanjar.
Tentu saja kata-kata si Dewa Linglung membuat dua orang ini membelalakkan mata terkejut. "Keparat! bocah ini mengetahui perbuatan kita..." bisik Tolaga menghampiri Samiri dengan wajah pucat.
"Hm, habisin saja..." berkata Samiri dengan wajah berubah. Serentak keduanya mencabut senjata masing-masing. "Anak muda! Ternyata kau banyak tahu tentang kami. Maka jangan menyesal kalau kami terpaksa harus menutup mulutmu!" membentak Samiri dengan suara dingin.
"Hahaha... bukannya banyak lagi, tapi buanyak! Bukankah kalian yang telah memberi surat rahasia pada si bangsawan tua Hong Taliwongso? Dalam isi surat itu kalian memberitahukan adanya seseorang yang mengancam jiwa anak perempuan bangsawan tua itu. Kalian menjanjikan akan berhasil membereskan si pengancam, dengan syarat orang tua itu mau memberikan uang imbalan. Dan bukankah kalian ini yang menamakan diri si Dewa Penolong?"
Hampir melejit biji mata Samiri dan Tolaga mendengar Nanjar membeberkan semua tipu dayanya. Seketika wajah mereka berubah merah padam.
"Bagus! kalau begitu segeralah kau berangkat ke Akhirat!" bentak Samiri menggeledek. Sepa-sang kapak tipisnya menyambar ke arah Nanjar. Akan tetapi detik itu jempol kaki Nanjar yang sejak tadi mempermainkan sebutir batu kecil, mendadak menjentik...
Menjeritlah laki-laki ini ketika batu kecil itu meluncur deras kearah kaki Samiri, dan tepat mengenai tulang keringnya. Tentu saja ketika Samiri berjingkrakan dengan wajah menyeringai kesakitan. Melihat itu Nanjar jadi tertawa terpingkal-pingkal karena melihat adegan lucu laki-laki itu.
"Bocah keparat, mampuslah kau!" membentak keras Tolaga, seraya tebaskan sepasang badik kearah Nanjar dengan didahului gerakan melompat. Nanjar terhuyung ke depan seperti mau jatuh. Tapi hal itu justru membuat lolosnya tebasan yang bisa memutuskan pinggangnya. Nyaris ujung badik itu menggores kulit perut si Dewa Linglung, kalau pemuda itu tak mengempeskan perutnya.
Namun tak urung bajunya terkoyak oleh senjata lawan. Nanjar unjukkan wajah pucat seperti ketakutan, ketika melihat bajunya yang sobek. "Hah! kalian benar-benar mau membunuhku...?" Nanjar pura-pura tersentak
"Hahaha... siapa bilang aku main-main? Sebelum membunuhmu aku akan menguliti kulitmu terlebih dahulu!" menggertak Tolaga merasa mendapat angin. Dia tak mengira kalau pemuda itu ternyata seorang dogol. Tadi tertawa tergelak-gelak, tapi sekarang ketakutan mengetahui dirinya akan dibunuh.
Gerakan terhuyung itu memang membuat Tolaga merasa aneh, karena serangannya bisa luput. Tapi dia segera menduga hal itu cuma secara kebetulan saja. Si dogol ini mana mengerti ilmu silat? pikirnya.
Sementara itu Samiri telah melompat kehadapannya. Sepasang kapaknya mendesing membelah kepala Nanjar dan menyambar ke leher Nanjar membuang tubuhnya dengan berguling ke samping. Ujung kakinya menyambar ke perut laki-laki itu.
Buk!
Serangan tak terduga itu membuat Samiri mengaduh kesakitan memegangi perutnya yang kena tendangan kaki Nanjar. Mendelik mata Tolaga. Kali ini dia tak percaya kalau anak muda itu tak memiliki ilmu silat. Dengan menggerung keras dia melompat menerjang Nanjar.
Akan tetapi tiba-tiba dia perdengarkan jeritan keras. Tubuhnya roboh terjungkal. Ternyata sebuah ranting kayu telah menembus punggungnya hingga sampai ke perut. Tolaga menggeliat meregang nyawa. Tak lama kepalanya terkulai. Nyawanya melayang.
Seketika wajah Samiri berubah pucat bagai kertas, ketika tahu-tahu sebuah lengan mencengkeram tengkuknya. Dan satu suara dingin terdengar di telinganya. Itulah suara seorang wanita.
"Kau lihatlah siapa aku..."
Membelalak lebar mata Samiri, ketika sebuah wajah yang bertanda goresan luka memanjang pada wajah orang dihadapannya. "Hah!? ket... ketua...?" sentaknya terperangah.
Namun suaranya segera lenyap berganti dengan erangan, ketika jari-jari lengan wanita itu menghunjam ke jantungnya. "Sudah terlalu lama aku membiarkan kau mengekor dibelakangku, bangsat! Manusia licik semacammu selayaknya mampus!" desis si Elang Darah. Dan, ketika dia menyentakkan lengannya, darah segera memuncrat. Segumpal jantung telah berada dalam cengkeraman wanita itu.
Samiri menggeliat dan menggelepar sesaat. Kemudian jiwanya melayang seketika. "Eh! Bukankah kau Biksu Rara Tantri?" sentak Nanjar terkejut setindak. Matanya tajam mengawasi sosok tubuh dihadapannya.
Wanita ini tersenyum menatap si Dewa Linglung. Lalu membanting hancur benda isi dada Samiri itu ke tanah. Kemudian gunakan kain cadarnya untuk menyeka lengannya yang penuh berlepotan darah.
"Dewa Linglung...! Aku berhutang budi padamu! Hihi... kukira kau sudah tak mengenal diriku. Ternyata matamu masih tajam. Tentu kau masih ingat peristiwa tiga tahun yang lalu...?"
"Tentu saja aku masih mengingatnya!" sahut Nanjar dengan menatap tajam wanita ini. Teringat Nanjar ketika wanita itu bertarung menghadapi dua tokoh yang menamakan diri mereka si Sepasang Iblis Sembilan Racun. Dua tokoh yang membuat heboh dengan segala tindakan kekejamannya. Secara kebetulan Nanjar bahu-membahu menumpas kedua manusia itu. Walaupun kedua manusia itu tak menemui kematian, dan berhasil melarikan diri. Namun kedua iblis itu dalam keadaan terluka parah.
"Hihi... sukurlah, kalau kau masih mengingatnya. Budimu itu takkan pernah kulupakan. Entah bagaimana cara aku membalasnya..." kata wanita ini.
Nanjar tertawa tawar. Tapi dalam hati diam-diam dia terkejut karena wanita itu berwatak telengas. "Haha... sudahlah! Soal lama itu lupakan saja..." kata Nanjar.
"Bagaimanakah keadaanmu kini, sahabat Biksu Rara Tantri?" tanya Nanjar, menutup keterkejutannya karena melihat ketelengasan paderi wanita yang dikenalkan tiga tahun yang lalu itu.
"Ah, aku baik-baik saja. Selama ini aku menutup diri untuk memperdalam ilmu kepandaianku." sahut wanita ini. "Oh, ya... kuharap kau tak memanggilku dengan sebutan Biksu lagi, cukup dengan namaku saja" sambung wanita ini.
"Eh, mengapakah? apakah kau telah meninggalkan ke Biksuanmu?" tanya Nanjar. Wanita itu terdiam sesaat.
"Ya...! Aku merasa masih belum mampu membersihkan diri. Entahlah mungkin suatu saat aku akan kembali menjadi Biksu!" sahut Rara Tantri dengan suara datar. "Oh, ya! Aku belum mengatakan siapa adanya dua manusia ini. Mereka adalah dua bangsat kelas rendah yang licik. Selain pekerjaannya memeras orang, juga gemar memperkosa gadis-gadis. Manusia semacam ini sudah sepantasnya dibunuh mampus!" lanjut wanita ini, seraya gerakkan kaki menendang tubuh Samari yang sudah lepas nyawanya. Mayat laki-laki itu terlempar ke dalam semak.
"Mari kita pergi dari tempat ini, sobat Dewa, Linglung. Banyak yang akan kukatakan padamu mengenai hal yang mungkin belum kau ketahui..." cepat-cepat Rara Tantri berkata, lalu menarik lengan Nanjar untuk diajak berlalu. Nanjar terpaksa menuruti keinginan wanita bekas biksu itu. Sementara itu seekor elang terbang melintas di udara...
Di pelataran sebuah candi kuno yang tak terawat, mereka bercakap-cakap. Apa yang dibicarakan Rara Tantri ternyata tak lain dari membicarakan kemunculan si Pendekar Tanpa Bayangan yang di dengarnya dari berita beberapa orang to-koh persilatan. Wanita ini walaupun berdiam di tempat rahasia, namun sering keluar untuk mengetahui keadaan situasi di sekitar wilayah itu.
"Hm, kalau itu yang kau maksudkan, aku juga mendengar adanya berita itu. Bahkan aku...."
"Kau telah melihat macam apa manusianya?" Sikap Rara Tantri tampak begitu khawatir hingga menyambar kata-kata Nanjar. Tentu saja membuat Nanjar curiga. Tentu saja agak membuat dia merasa aneh.
"Sayang aku sendiri belum pernah melihat siapa adanya tokoh yang menamakan dirinya si Pendekar Tanpa Bayangan itu, tapi... aku menerima sepucuk surat ancaman dari pendekar itu...!" sahut Nanjar.
"Surat ancaman?" sentak Rara Tantri terkejut, walau hatinya agak masygul.
"Ya! surat itu masih kusimpan" kata Nanjar seraya mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari saku bajunya. Lalu memberikan pada wanita itu. Cepat Rara Tantri membuka lipatan surat itu dan membaca isinya. Dalam surat itu tertulis demikian.
"Dewa Linglung! Suatu ketika aku ingin tahu kehebatanmu. Bila aku telah menyelesaikan urusanku, aku menantangmu bertarung dilembah Elang! Aku, si Pendekar Tanpa Bayangan."
Rara Tantri membaca surat itu dengan suara dikeraskan. Tercenung wanita ini dengan mata menatap Nanjar tak berkedip. Perlahan dia mengulurkan lengannya memberikan surat itu pada si Dewa Linglung.
"Sungguh sombong manusia itu! Hm, siapakah sebenarnya dia? Apakah kau benar-benar belum melihat tampangnya?" tanya Rara Tantri dengan rasa penasaran.
"Haha... kalau aku sudah melihat dia, tentu akan kukatakan padamu apakah dia mirip seekor kera atau lutung!" sahut Nanjar sambil tertawa seraya selipkan surat itu ke saku bajunya. Semua gerak tingkah Nanjar ternyata diam-diam selalu diperhatikan oleh si wanita. Tampak tatapan mata wanita ini bersinar aneh, lain dari pada biasanya.
Tiba-tiba Rara Tantri perlahan mendekati si Dewa Linglung. Lengannya bergerak mendekap tubuh Nanjar. Nanjar agak terkejut melihat perubahan sikap wanita itu. "Nanjar...! katakan sejujurnya, apakah aku… aku cantik?" tanya wanita ini dengan mata tak berkedip memandang Nanjar.
"Haha... aneh! siapa bilang kau jelek? Wajahmu cantik! Hidungmu mancung, dan kulitmu putih! kau benar-benar seorang perempuan yang cantik dan baru pernah kulihat wanita secantik kau?" kata Nanjar.
Tiba-tiba wanita ini mendorong keras pemuda ini. Hingga Nanjar terhuyung ke belakang selangkah. "Bohong! kau sengaja memujiku secara berlebihan! Aku tak percaya mulut laki-laki!" kata Rara Tantri ketus. Dan wajahnya berubah dingin, sedingin es. Sepasang matanya memancarkan sinar yang seperti menghunjam ke jantung Nanjar.
"Rara Tantri...! Kenapakah kau?" sentak Nanjar terheran.
"Aku... aku benci laki-laki! benci!" teriak wanita ini dengan suara mengandung isak. Dan saat itu pula dia membalikkan tubuh lalu menu-tupi wajahnya dengan terisak-isak.
Nanjar semakin heran. Hal apakah yang membuat wanita ini bersikap demikian? pikir Nanjar dalam hati. Nanjar perlahan memegang bahu wanita ini. Kemudian membalikkan tubuh Rara Tantri. Sepasang matanya menatap wanita itu.
"Apakah kau juga membenciku... Tantri? Aku berkata sebenarnya. Kau memang cantik! aku tak melebih-lebihkan, dan apa yang kukatakan adalah sejujurnya" kata Nanjar.
Aneh! kata-kata Nanjar seperti terasa sejuk menyiram dada dirasakan oleh Rara Tantri. Sela-ma hidupnya dia tak merasakan perasaan aneh seperti itu. Pegangan lengan Nanjar pada bahunya serasa membuat hatinya begitu tenteram. Perlahan wanita ini menengadahkan wajahnya.
"Maafkan aku, Nanjar...! pikiranku kalut. Aku tak membenci mu. Aku bahkan sangat berterima kasih padamu. Kau baik hati, gagah dan tampan. Selama ini aku telah tersesat jalan, yang aku sendiri tak mengetahui. Aku banyak berbuat kesalahan. Terutama terhadap diriku sendiri..." berkata Rara Tantri dengan suara datar. Tampak sebutir air bening meluncur turun dari kelopak matanya.
Nanjar tak mengerti dengan kata-kata yang dimaksudkan wanita itu. "Apakah yang membuat kau merasa bersalah terhadap dirimu sendiri, Tantri?"
Sesaat wanita ini tak menjawab. Kemudian tampak dia menghela napas. Lalu berkata dengan suara datar seperti tak bergairah. "Aku tak dapat mengatakannya, Nanjar...! Suatu ketika mungkin kau dapat mengetahui..."
Sementara itu matahari mulai condong kearah barat. Sinarnya mulai meredup. Beberapa saat, lagi malam akan segera menjelang. Wanita itu masih berdiri menatap kearah barat. Sementara Nanjar jatuhkan pantatnya ke atas tangga batu di depan Candi.
"Nanjar! apakah kau tak melihat bekas goresan luka pada wajahku?" tanya Rara Tantri tiba-tiba tanpa menoleh pada si Dewa Linglung.
"Ya! aku melihat. Apakah kau merisaukan cacat kecil itu?" tanya Nanjar mencoba menduga-duga.
"Salahkah aku kalau aku mendendam pada orang yang telah membuat cacat pada wajahku?" Rara Tantri tak menjawab, tapi malah ajukan pertanyaan lagi.
Sejenak Nanjar tertegun mendengar pertanyaan wanita itu. Setelah menghela napas Nanjar menyahut. "Kau boleh mendendam tapi boleh juga tidak, tergantung dari persoalannya. Apakah masalahnya kau yang bersalah, atau orang yang membuat cacat wajahmu itu yang bersalah!"
Kini ganti Rara Tantri yang tertegun. "Tapi dengan cacat itu justru semakin terlihat kencantikanmu! Aku tak berdusta, kau memang benar-benar seorang gadis yang cantik!" sambung Nanjar dengan nada sungguh-sungguh.
Sementara dalam hati si Dewa Linglung berpikir. "Aneh! persoalan apakah sebenarnya yang terjadi pada dirinya?"
Sepasang mata Rara Tantri mendadak be-rubah membinar. Dari sepasang mata yang tam-pak berkaca-kaca itu kembali luruh air bening yang mengalir dipipinya. Perlahan wanita ini me-langkah mendekati Nanjar. Mendadak dia memeluk Nanjar erat-erat. Lalu sumpalkan kepalanya didada si Dewa Linglung dengan terisak-isak.
"Nanjar...! Benarkah aku cantik...? bisik Rara Tantri dengan suara bergetar. Mau tak mau Nanjar jadi luruh juga hatinya.
"Kau benar-benar cantik Tantri. Dengan cacat kecil itu kau lebih cantik dan menawan..." berkata Nanjar.
"Oh, terima kasih, Nanjar. Tapi... apakah aku tidak terlalu tua?" desah wanita ini.
"Haha... siapa yang mengatakan kau seorang wanita tua. Tentulah dia orang yang tidak waras. Kau muda dan cantik. Usiamu paling tinggi kukira tak lebih dari dua puluh tahun!" tukas Nanjar dengan tertawa, juga merasa aneh dengan sikap wanita ini.
Tiba-tiba Rara Tantri menengadah menatap Nanjar. "Usiaku sudah tiga puluh tahun, Nanjar!" kata Rara Tantri.
"Ah...? Hebat! Aku sungguh tak menyangka, Tantri. Kau sungguh seorang gadis yang luar biasa. Kau sungguh-sungguh seperti baru berusia dua puluh tahun. Apakah kau merisaukan pula tentang usiamu? hahaha... justru dalam usia se-perti itu kata orang ada ibarat sekuntum bunga sedang wangi-wanginya..." Nanjar tak kepalang tanggung memuji.
Dada Rara Tantri serasa meledak-ledak karena dipenuhi perasaan bahagia yang seumur hidup baru dirasakannya. Dipeluknya Nanjar erat-erat dengan air mata bercucuran. Nanjar jadi serba salah. Apakah yang harus diperbuatnya kalau sudah begini? Namun akhir-nya dia cuma bisa diam sambil mengelus-elus rambut wanita ini.
"Nanjar... maukah kau memenuhi permintaanku?" tiba-tiba Rara Tantri kembali berkata. Kesempatan itu digunakan untuk melepaskan pelukan wanita itu.
"Permintaan apakah itu Tantri?" tanya Nanjar dengan menggaruk-garuk tengkuknya. Tubuh-nya berubah panas dingin juga dipeluk si wanita bekas seorang biksu itu. Sepasang benda kenyal itu seolah masih terasa menempel didadanya.
"Cintailah aku, Nanjar...! karena... karena aku... aku mencintaimu. Kaulah pemuda yang pertama kali aku cintai. Kaulah orang yang telah menyembuhkan penyakit jahat yang mengeram di tu-buhku. Dan kau pulalah yang telah melenyapkan dendam kesumat dalam dadaku..."
Nanjar terperangah mendengar kata-kata wanita itu. Ditatapnya gadis kedaluwarsa itu dengan pandangan aneh. "Mengapa aku harus mencintaimu?" tanya Nanjar.
"Aku tak dapat mengatakannya, Nanjar. Tapi kalau kau menolak permintaanku, aku akan.. membunuh diri!"
Tentu saja Nanjar jadi kebingungan melihat sikap Rara Tantri. Karena detik itu juga wanita itu telah mengeluarkan sebuah belati dari bawah lengan jubahnya. Lalu ujung belati ditempelkan kedadanya.
"Tantri!? Mengapa kau Tantri? Sadarkah kau dengan apa yang akan kau perbuat? Ingat Tantri, cinta tak dapat dipaksakan begitu saja. Aku tahu kau memang cantik. Kau ibarat bunga yang sedang wangi-wanginya. Tapi..."
"Cukup!" Rara Tantri membentak. Suaranya mendadak kembali berubah dingin. Dan dari kedua kelopak matanya bercucuran air mata yang mengalir tak terbendung. "Kalau kau tak mau memenuhi permintaanku, baiklah! Rupanya tak ada jalan lain bagiku selain kematian!" berkata wanita ini. "Selamat tinggal, Nanjar...!"
Selesai mengucapkan demikian Rara Tantri gerakan lengannya untuk menghunjamkan pisau belati ditangannya kearah jantung. Tapi sebelum ujung belati menembus dada gadis itu, Nanjar dengan cepat kilat telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tantri! jangan lakukan perbuatan gila itu!" berkata Nanjar dengan mata membelalak. Pisau belati itu terlepas, dan wanita ini jatuhkan kepalanya ke dada Nanjar lalu menangis terisak-isak.
Nanjar membelai rambut dara itu dengan sejuta bingung yang memenuhi benaknya. "Penyakit apakah yang diderita gadis ini?" berkata Nanjar dalam hati. Mendadak timbul perasaan kasihan pada wanita ini. Perlahan Nanjar mengangkat wajah gadis itu. Sepasang matanya menatap tajam wajah Rara Tantri.
"Baiklah, Tantri...! Aku.. aku mencintaimu! Ya! Aku memang mencintaimu...! Kau dengar Tantri?" ujar Nanjar lembut.
"Benarkah, Nanjar...?" sentak gadis ini tertegun.
Nanjar mengangguk sambil tersenyum. Sepasang mata dara ini mendadak bercahaya kembali. Bibirnya tergetar ketika bibirnya mendesah. "Nanjar...! Oh, peluklah aku Nanjar! Peluklah aku!"
Kali ini Nanjar tak dapat menolak lagi. Dipeluknya wanita itu erat-erat. Sementara Rara Tantri bagaikan seorang yang kesurupan mendekap dan menciumi si Dewa Linglung dengan air mata membanjir tak terbendung lagi. Sejuta perasaan bahagia serasa memenuhi dada Rara Tantri.
Sementara malam telah mencengkeram sekitar tempat itu. Sepotong bulan tampak mengambang di langit. Letupan perasaan yang menggelora dalam dada gadis itu sukar untuk dikendalikan lagi. Satu persatu Rara Tantri melepaskan pakaiannya...
Nanjar terperangah. Darahnya serasa mengalir lebih cepat. Jantungnya semakin berdetak cepat. Sukar bagi Nanjar untuk menahan hawa rangsangan yang menelusup kesetiap aliran darahnya. Tapi Nanjar masih bisa bertahan untuk tak menuruti hasrat yang menggebu itu. Walau apa yang terlihat di depan matanya membuat pandan-gan matanya menjadi nanar.
"Tantri... sadarlah! melakukan hal ini..." perasaannya jangan terlalu jauh. Kita tak boleh kata Nanjar menekan goncangan.
"Tidak Nanjar! Lakukanlah... lakukanlah walau hanya sekali! Aku... aku harus menjadi manusia yang wajar! Kau harus melaksanakannya Nanjar...! Demi aku! Demi kesembuhanku...!"
Luruhlah hati Nanjar karena tak tega mendengar rintihan Rara Tantri yang menghiba memohon belas kasihan dirinya. Dilepaskannya seluruh pakaiannya, dan lengannya menggamit pinggang ramping dara itu. Dipondongnya tubuh padat gempal itu yang dalam kepasrahan. Kemudian perlahan-lahan dibaringkan di atas rerumputan. Rara Tantri pejamkan matanya dengan air mata menggenang.
"Nanjar...ah...." Desahnya lenyap ketika bibir pemuda itu merengkuhnya dengan lumasan yang membawa sukmanya melayang ke alam Nirwana.
Angin malam yang dingin berhembus menggoyang rerumputan. Sepotong bulan di langit seperti mengintip dari balik mega. Sementara dikejauhan lapat-lapat terdengar suara lolong anjing hutan. Malam pun terus merayap dan terus merayap....
Suara kicau burung-burung dan kokok ayam hutan telah membuat Rara Tantri terjaga dari tidur lelapnya. Gadis ini belalakkan mata terkejut karena malam telah menjelang pagi dinihari. Tersentak dia, seraya melompat bangun. Tapi, segera gadis ini menyadari keadaan tubuhnya yang hanya berselimutkan jubah. "Ah, apakah yang telah terjadi dengan diriku?" sentaknya dalam hati.
Lambat-lambat dia mulai sadar. Dia mulai teringat apa yang telah dilakukan di pelataran candi itu. "Nanjar! Dimanakah kau?" sentaknya seraya menoleh ke kiri dan ke kanan. Tapi tak dijumpai adanya si Dewa Linglung. Bergegas dia mengenakan pakaiannya. Kemudian berkelebatan melompat mencari dimana adanya pemuda yang dicintainya itu.
Nanjar memang telah tak berada di tempat itu. Entah kemana perginya. Wanita ini lama berdiri termangu menatap ke depan, kearah timur dimana matahari sebentar lagi akan munculkan sinarnya.
"Oh... dia telah pergi!" desisnya dengan hati luruh. Sepasang mata dara ini tampak berkaca-kaca. Namun bibirnya sunggingkan senyuman. Senyum yang wajar. Dia menarik napas panjang. Disekanya air mata yang mau tumpah itu. Kini wa-jahnya menampilkan cahaya kegembiraan.
"Aku telah sembuh...! Kini aku telah menjadi manusia yang wajar! Ah, terima kasih Nanjar. Budimu takkan kulupakan..." Tak lama tubuh Rara Tantri berkelebat dari tempat itu, dan lenyap di keremangan cuaca menjelang pagi yang masih temaram...
Matahari baru saja menyembul diufuk timur ketika Rara Tantri jejakkan kaki di atas bukit. Dia lama berdiri termangu memandang jauh ke bawah lembah. Wanita ini tak menyadari kalau seseorang telah menguntit perjalanannya. Tampak di belakang batu besar tersembul sebuah kepala. Siapa adanya orang itu ternyata tiada lain dari Nanjar, alias si Dewa Linglung.
"Aku harus mengetahui siapa yang telah membunuh orang-orang perguruan Macan Tunggal, dan pengantin laki-laki bangsawan tua Hong Taliwongso!" berkata Nanjar dalam hati. "Aku mencurigai sikap gadis ini yang aneh. Penyakit apakah yang dideritanya? Dan apa lagi yang akan dilakukan si Rara Tantri ini?"
Selagi dia terbengong menatap gadis itu dengan menahan napas, mendadak dari balik batu besar di sebelah depan berkelebat melompat sesosok tubuh. Rara Tantri tampak terkejut, karena tahu-tahu seseorang telah berdiri dihadapannya.
"Hm, siapa kau?" sentak wanita ini.
Ternyata orang ini adalah si pemuda berbaju aneh, yang penuh dengan tambalan berwarna-warni. Pemuda berambut gondrong agak pirang ini tertawa tergelak-gelak di depan wanita itu. "Hahaha.... akhirnya aku menjumpai juga seorang biksu yang murtad, yang telah membuat malu nama biara Budi Luhur di puncak gunung Joho. Hari ini atas perintah guru, aku akan mengirim jiwamu ke alam Baka, Rara Tantri...!" berkata pemuda ini.
Membeliak mata Rara Tantri mendengar kata-kata itu. Detik itu juga matanya menatap kearah tanah di sebelah bawah tubuh pemuda itu. Hatinya terkesiap dan tersentak kaget, hingga sepasang kakinya melangkah mundur dua tindak. "Pendekar Tanpa Bayangan!" sentaknya terkejut.
"Hahaha... benar! Akulah si Pendekar Tanpa Bayangan!" sahut si pemuda dengan tertawa gelak-gelak
"Heh! apa hubunganmu dengan guruku?!" bentak Rara Tantri.
"Aku adalah muridnya!" sahut si Pendekar Tanpa Bayangan.
"Dusta! setahuku guruku Biksu Ronda Jati tak pernah mengangkat seorang murid laki-laki!"
"Hm, apakah kau menganggap hal itu di luar peraturan biara? Peraturan itu sudah tak digunakan lagi, sejak kau diusir dari pesanggrahan!" berkata pemuda ini. "Aku telah mendengar bahwa ketua dari komplotan penyamun di wilayah ini adalah kau sebagai ketuanya yang bergelar si Elang Darah!"
"Heh! dari mana kau mengetahuinya?" bentak dingin wanita ini.
Pendekar Tanpa Bayangan tak menyahut selain tertawa berderai. Selesai mengumbar tawa barulah dia berkata. "Apakah kau tak mengetahui bahwa delapan anak buahmu itu adalah orang-orangku? Mereka sengaja menghamba padamu, untuk mengetahui jejak perbuatanmu. Ternyata kau masih dihinggapi penyakit senang dengan sesama jenismu. Buktinya kau sering menyuruh anak buahmu selain merampok harta, tapi juga menculik gadis-gadis. Dan setelah kau puas, maka kau membunuh korban-korbanmu! Perbuatan gila dan terkutuk itu harus dihentikan. Oleh sebab itu kinilah saatnya kau menerima ganjaran atas perbuatanmu!" kata si Pendekar Tanpa Bayangan dengan suara tegas.
Nanjar yang sembunyi dibalik batu, jadi terkejut mendengar kata-kata pemuda yang menamakan diri si Pendekar Tanpa Bayangan itu. Kini jelaslah sudah bahwa Rara Tantri adalah seorang yang punya kelainan jiwa. Semakin tercekat hatinya untuk mengetahui lebih lanjut dengan munculnya pendekar muda yang aneh itu. Nanjar terkejut karena melihat pemuda itu benar-benar tak mempunyai bayangan tubuh.
Sementara itu mendengar kata-kata si Pendekar Tanpa Bayangan yang membuka rahasia kedelapan anak buahnya membuat wajahnya berubah seketika. "Keparat! jadi selama ini aku selalu diawasi? Tapi.... aku telah sembuh dari penyakit edan itu. Dan aku telah menghilangkan dendam dihatiku terhadap guru. Apakah yang harus kuperbuat sekarang?" berkata Rara Tantri dalam hati.
"Bersiaplah Rara Tantri! Aku terpaksa harus menjalankan perintah guru untuk melenyapkan jiwamu, demi membersihkan nama baik guru!" berkata si Pendekar Tanpa Bayangan.
Mendadak Rara Tantri membentak keras. "Tunggu! Kalau itu adalah keputusan guru, aku bersedia mati. Tapi aku ingin guru sendiri yang turun tangan untuk membunuhku!" berkata lantang gadis ini. Sorot matanya menatap dingin pada pemuda dihadapannya.
"Aneh...!? Apakah bedanya mati ditanganku atau di tangan gurumu? Toh, sama saja! Lagi pula tugas itu telah diserahkan padaku!" Pendekar Tanpa Bayangan kerenyitkan keningnya menatap heran.
"Karena beliaulah yang berhak menghukumku! Dan sebelum kematianku akan kukatakan dengan sumpah bahwa aku telah sembuh dari penyakitku. Aku telah kembali menjadi manusia yang normal seperti layaknya seorang wanita. Bahkan sebenarnya aku telah berniat untuk kembali menjadi seorang Biksu...!" sahut Rara Tantri dengan suara datar menyatakan kejujuran hatinya.
Akan tetapi penjelasan wanita itu justru membuat si Pendekar Tanpa Bayangan tertawa tergelak-gelak. "Haha...haha... kau hanya mencari dalih saja Rara Tantri. Siapa percaya omongan dustamu? Buktinya kau masih melakukan perbuatan gilamu memperkosa gadis tawanan yang kau sekap di dalam goa markas tempat persembunyianmu. Ternyata kau belum sempat membunuhnya seperti yang biasa kau lakukan. Kau menyuruh kedelapan anak buahmu untuk melenyapkan jiwanya, dan membuang mayat ketiga gadis tawanan itu ke dalam jurang. Untunglah mereka tak melakukannya. Nah, apakah kau mau menyangkal?" berkata pemuda itu.
"Dusta! Aku tak melakukan hal itu!" bentak Rara Tantri dengan mata membelalak.
"Haha... gadis tawananmu itu bisa menjadi saksi atas perbuatan yang kau lakukan!'
"Aku akan membunuhmu kalau kau telah mengganggunya!" teriak Rara Tantri.
Dan detik itu juga tubuhnya telah berkelebat menuruni bukit. Sementara si Pendekar Tanpa Bayangan masih berdiri di tempatnya dengan tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tertawanya, ketika melihat sosok bayangan berkelebat membuntuti Rara Tantri.
Pemuda ini tersenyum sinis. "Heh! Dewa Linglung! Aku telah mengetahui kedatanganmu. Saatnya sudah dekat untuk kita bertarung! Selama kau masih bercokol dijagat ini, tak akan tenteram rasa hatiku. Karena kaulah yang telah menyebabkan luka parah kedua guruku hingga sampai menemui ajal!" mendesis si Pendekar Tanpa Bayangan. Kemudian berkelebat menyusul si Dewa Linglung.
Siapa adanya si Pendekar Tanpa Bayangan itu sudah dapat diterka. Dia sebenarnya murid si Sepasang Iblis Sembilan Racun. Seperti pernah diceritakan di bagian depan, tiga tahun yang lalu kedua guru pemuda ini telah bertarung dengan Rara Tantri yang dibantu oleh Nanjar.
Kemunculan si Dewa Linglung telah membuat keadaan pertarungan menjadi berbalik. Karena saat itu sepasang manusia tokoh kaum hitam itu terdesak. Beberapa pukulan Nanjar berhasil membuat dua manusia itu terluka dan melarikan diri. Namun agaknya dua manusia itu menemui ajal juga setelah bertahan beberapa bulan disarang mereka.
Hal itu menimbulkan dendam pada pemuda muridnya terhadap si Dewa Linglung. Entah bagaimana asalnya sampai pemuda itu berhasil menjadi murid Biksu Rondo Jati, guru Rara Tantri yang bersemayam di sebuah pasanggrahan di puncak gunung Joho....
Sementara itu Tumenggung Gagak Pamungkas ternyata telah melacak jejak para penyamun seorang diri. Dia telah menemukan jalan setapak yang menuju kearah tempat rahasia pembegal-pembegal itu. Laki-laki ini melompat turun dari punggung kuda. Tampaknya dia tak memerlukan kuda tunggangan lagi.
Jejak-jejak tapak kuda yang diikutinya tampak lenyap di sekitar semak belukar. Dengan berendap-endap dia terus melangkah mencari jejak lain yang bisa ditemukan. Mendadak dia terperangah ketika melihat sebuah celah terbuka diantara semak belukar dihadapannya. Cepat dia menghampiri. Lagi-lagi dia tersentak karena melihat diantara celah itu ada genangan darah.
"He? darah siapakah?" sentak Tumenggung ini. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat dua sosok tubuh manusia mengeletak tak bernyawa dengan batok kepala rengkah. Tahulah dia kalau tempat adalah pintu rahasia. Dugaannya semakin kuat di tempat inilah markas para pembegal itu.
Kembali dia menemukan celah yang ternyata adalah pintu masuk dalam sebuah rongga di tengah bukit. Setiba di dalam untuk kesekian ka-linya dia terperanjat, karena melihat delapan ekor kuda dan delapan sosok tubuh manusia berkapa-ran dalam keadaan tak bernyawa. Bau amis darah mengembara di sekitar ruangan itu.
Dilihatnya ada empat buah pintu goa di depan taman. Cepat dia melompat masuk kesalah satu mulut goa. Yang dimasuki adalah tempat ruang tahanan. Baru saja dia mau memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba telinganya mendengar suara gerakan di luar goa. Cepat dia menyelinap ke sudut tembok terhalang sebuah tirai yang menggan-tung di ruangan itu.
Ternyata yang memasuki ruangan itu adalah Rara Tantri. Tumenggung Jalak Pamungkas menahan napas. Saat didengarnya ada seseorang yang berkelebat masuk menyusul, diiringi teriakan tak begitu keras. "Tantri! tunggu aku!"
"He? Kau... Nanjar? Mau apa kau kemari?" tanya gadis ini menahan langkah dengan tersentak kaget.
"Aku sudah mendengar apa yang dikatakan si Pendekar Tanpa Bayangan itu, Tantri! Tak usah khawatir, aku akan membantumu! Oleh sebab itu aku menyusul kau ke tempat ini..." kata Nanjar.
Rara Tantri terhenyak sejenak, dan terpaku menatap Nanjar. Wajahnya seketika berubah merah, karena pemuda itu telah mengetahui keadaan dirinya. Rara Tantri menghela napas. Wajahnya mengelam, tapi membersitkan harapan walau harapan itu cuma secuil. Namun hatinya agak tenteram dengan munculnya si Dewa Linglung.
"Kau berada dipihakku?" tanya Rara Tantri memastikan. Nanjar mengangguk. "Bukankah kau telah menginsyafi kesalahanmu? Dan kau telah sembuh dari penyakit jahat yang mengeram dalam jiwamu. Aku tak yakin kalau kau masih melakukan perbuatan terkutuk itu!" kata Nanjar dengan suara tegas.
Wanita ini menatap Nanjar seperti tak per-caya pada pendengarannya. "Terima kasih, Nanjar..! kau... kau terlalu baik padaku..." berdesis Rara Tantri dengan senyum haru menatap si Dewa Linglung.
"Mari kita periksa ketiga gadis itu?" kata Nanjar.
Rara Tantri mengangguk, seraya berkelebat lebih dulu kearah ruang tahanan berjeruji besi dalam ruangan itu. Membelalak mata wanita ini ketika melihat sosok tubuh gadis tawanan itu telah tewas dengan kepala rengkah, dalam keadaan telanjang bulat. Ketika memeriksa dua orang wanita yang dipenjarakan di tempat terpisah, dijumpai dua gadis pelayan itupun telah tewas dengan keadaan mengerikan.
"Keparat! dia telah membunuh tiga gadis tawanan ini!" sentak Rara Tantri dengan wajah pucat. Keduanya saling pandang sesaat. "Apa maksud si Pendekar Tanpa Bayangan itu sebenarnya? Dan apa maksudnya dia membantai seluruh penghuni markas rahasia ini, termasuk orang-orangnya sendiri?" desis Nanjar.
"Entahlah! mari kita..." belum lagi Rara Tantri melanjutkan kata-katanya mendadak Nanjar berkelebat dari tempat berdirinya.
"Orang yang sembunyi dibalik tirai, mengapa kau tak keluar unjukkan diri?" bentak Nanjar, seraya lengannya siap melakukan hantaman bila dia diserang. Tirai itu bergerak menyingkap, dan tersembullah sesosok tubuh tinggi besar.
"Tumenggung Jalak Pamungkas!" sentak Nanjar terkejut.
"Benar, sahabat Dewa Linglung. Sungguh tak dinyana kalau kita bisa berjumpa lagi...." sahut alat kerajaan ini. Adapun Rara Tantri yang melihat kemunculan laki-laki tua ini jadi terkesiap, karena dia mengetahui siapa Tumenggung itu.
"Rara Tantri! sungguh tak kuduga kaulah ketua para pembegal terkutuk itu! Walaupun kau telah menginsyafi perbuatanmu, tapi kau harus menerima hukuman untuk dijebloskan dalam penjara! Dan kuharap kau sahabat Dewa Linglung tak mencampuri urusan kami, karena Rara Tantri masih keponakanku sendiri!"
Tentu saja Nanjar jadi terkejut mendengar penjelasan Tumenggung Jalak Pamungkas yang sudah dikenal sebelum laki-laki tua itu ditugaskan di wilayah ini. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa tergelak-gelak di luar ruangan goa. "Haha... haha... hari kematianmu telah tiba Elang Darah! Segera keluarlah untuk menembus segala dosa yang kau perbuat!"
"Pendekar Tanpa Bayangan!" sentak Nanjar, seraya melompat keluar goa diikuti Rara Tantri. Kemudian disusul dengan berkelebatnya tubuh Tumenggung Jalak Pamungkas.
"Tantri! tahan langkahmu! Biarkan urusan si Pendekar Tanpa Bayangan ditangani oleh si De-wa Linglung!" bentak Tumenggung Jalak Pamungkas seraya mencegat langkah wanita ini.
"Paman! aku tak akan lari dari tanganmu! tapi beritahukan dimana adanya guruku! Dan ada satu hal yang perlu kutanyakan padamu!" berkata Rara Tantri dengan suara dingin menatap tajam laki-laki alat Kerajaan itu.
"Sampai saat ini aku tak mengetahui dimana adanya gurumu, Rondo Jati. Menurut seorang prajurit utusan yang pernah kukirim untuk membawa suratku kepada gurumu, telah melaporkan bahwa tempat itu telah kosong!" sahut Tumeng-gung ini.
Wanita itu terpaku menatap sang Tumenggung, kemudian menundukkan wajahnya. Sebutir air bening menetes turun dari kelopak matanya. "Aku merasa berdosa terhadap beliau, paman. Karena aku telah mencemarkan nama baiknya sebagai seorang Biksu..." berkata Rara Tantri dengan isak tersendat.
Sementara itu Nanjar telah berdiri di depan si Pendekar Tanpa Bayangan. Melihat kemunculan Nanjar, pemuda ini menatap tajam seraya membuang ludah. Seulas senyum dingin tersungging dibibirnya.
"Dewa Linglung! apakah kau telah menerima surat tantanganku?" berkata dingin pemuda ini.
"Oh, tentu saja! bahkan masih kusimpan dengan baik!" ujar Nanjar seraya mengeluarkan kertas surat dari saku bajunya. Kemudian melemparkan ke depan pemuda itu. Kertas itu berubah menjadi sekeras lempengan baja. Meluncur dan menancap di tanah hingga amblas melesak hampir separuhnya di ujung kaki pemuda itu.
Diam-diam hati si Pendekar Tanpa Bayangan terkejut, melihat lawan yang ditantangnya di lembah Elang itu menunjukkan tenaga dalam, dengan merubah kertas menjadi sekeras lempen-gan baja. Akan tetapi diwajahnya pemuda itu tak menunjukkan rasa terkejut itu.
"Belum saatnya kau jual lagak dihadapanku, Dewa Linglung. Tunggulah dua hari lagi dilembah Elang! Kita akan bertarung mengadu kepandaian! Hari ini aku akan menyelesaikan urusanku lebih dulu!" kata pemuda ini dengan suara sinis.
"Kukira urusanmu sudah beres! Tumeng-gung Jalak Pamungkas sahabatku itu adalah paman gadis itu sendiri. Kukira dia lebih berhak memberi hukuman dari pada kau! Disamping itu aku belum tahu pasti apakah kau benar-benar murid dari guru Rara Tantri?" berkata Nanjar dengan sikap tenang.
Pemuda ini melirik kearah Rara Tantri yang masih berdiri di depan Tumenggung tua itu. Dalam hati pemuda ini diam-diam mengutuk munculnya Tumenggung Jalak Pamungkas. "Keparat! Mengapa dia muncul di tempat ini?" maki pemuda ini dalam hati.
Sementara itu Rara Tantri masih terlibat pembicaraan dengan Tumenggung Jalak Pamungkas.
"Nah katakan apa yang perlu kau tanyakan!?" sang Tumenggung, seraya menatap tajam Rara Tantri.
Sejenak gadis ini tercenung. Kemudian menelan ludah. "Paman Tumenggung! Dalam peraturan, seorang Biksu tak diperbolehkan berhubungan dengan seorang laki-laki, ataupun sesama jenisnya seperti seorang suami istri. Tapi... paman telah berhubungan dengan guru. Dan guru ternyata mengangkat seorang murid laki-laki. Yaitu dialah si Pendekar Tanpa Bayangan. Murid laki-laki itu telah mendapat perintah dari guru untuk menghukumku, dengan hukuman yang tak dapat diampuni yaitu kematian bagi diriku! Dimanakah letak kebenarannya?" tanya Rara Tantri.
Pertanyaan itu membuat Tumenggung Jalak Pamungkas terlongong. Mendadak dia membentak dengan suara keras. "Bocah tolol! Kau telah salah duga. Masakan aku seorang yang tidak waras berbuat gila terhadap adik kandungku sendiri?"
"Hah!? jadi... jadi guruku adalah adik kandung paman Tumenggung?" sentak Rara Tantri.
Laki-laki tua itu mengangguk. "Benar! aku sengaja merahasiakan hal itu, agar kau tak merasa dididik oleh bibimu sendiri. Mengenai pendapatmu tentang adanya peraturan tidak boleh mengangkat seorang murid laki-laki adalah benar. Kukira bibimu tak segila itu untuk melanggar peraturan dengan mengangkat seorang murid laki-laki!" ujar Tumenggung Jalak Pamungkas.
Ternyata apa yang dibicarakan keduanya te-lah terdengar oleh si Pendekar Tanpa Bayangan. Mendadak dia tertawa tergelak-gelak, seraya berkata.
"Biksu Rondo Jati memang tak pernah mengangkat aku sebagai murid. Perempuan tua itu telah kukirim nyawanya ke Akhirat! Selama tiga tahun aku mempelajari kitab miliknya, kukira sudah sepantasnya aku mengakui dia sebagai gu-ruku. Haha.. haha..."
"Manusia keparat!" tahu-tahu tubuh tinggi besar Tumenggung Jalak Pamungkas telah berkelebat melompat ke hadapan pemuda itu. Mendadak mata laki-laki tua ini membelalak menatap pemuda itu.
"Hah? Bukankah kau RENGGANA, anak tukang kuda Kadipaten?" sentak Tumenggung Jalak Pamungkas.
"Haha... benar! Aku tak sudi melakukan pekerjaan rendah membantu ayahku yang selama hidupnya hanya merawat kuda! Aku melarikan diri dari Kadipaten tanpa setahu ayahku. Ternyata kepergianku tak sia-sia karena seseorang mau mengangkat aku menjadi muridnya. Tapi aku tak puas dengan hanya memiliki ilmu yang kepalang tanggung.
"Kemudian aku berganti-ganti guru. Terakhir aku mengunjungi pesanggrahan Budi Luhur di puncak gunung Joho. Ternyata dapat kuketahui tempat itu adalah sebuah tempat dimana banyak para biksu berkumpul. Ketua biksu itu kuketahui bernama Rondo Jati. Aku berhasil menyamar sebagai perempuan, dan diterima menjadi biksu.
"Saat aku muncul, Biksu Rondo Jati baru saja mengusir Rara Tantri dari pesanggrahan. Dari mulut para gadis-gadis Biksu aku mengetahui kalau Rara Tantri mempunyai kelainan jiwa. Tak sampai sepekan aku dipesanggrahan itu, samaranku ketahuan oleh biksu Rondo Jati. Kepalang basah. Aku terpaksa membunuh perempuan tua itu.
"Dan... hahaha... kesempatan itu tak ku sia-siakan untuk mencicipi hangatnya tubuh gadis-gadis biksu yang cantik-cantik! Kemudian aku berhasil menemukan kitab pusaka ilmu silat serta ilmu kekuatan batin yang tinggi dikamar biksu Rondo Jati. Kemudian aku mening-galkan pesanggrahan itu.
"Selama tiga tahun aku mempelajari kitab itu dengan sendirinya aku telah mewarisi ilmu aneh biksu Rondo Jati, yang dapat menghilangkan jejak bayangan tubuhnya. Kemu-dian aku munculkan diri di dunia Rimba Hijau dengan bergelar si Pendekar Tanpa Bayangan! Nah! jelas bukan?" berkata pemuda itu dengan bercerita panjang lebar.
"Bedebah keparat! Lalu apa maksudmu menginginkan jiwa Rara Tantri?" bentak Tumenggung Jalak Pamungkas menahan golakan darahnya yang hampir mendidih.
"Hahaha... dari seorang guruku yang berada dialiran Hitam, mayat seorang gadis yang mempunyai kelainan jiwa dapat dipergunakan untuk mendapatkan ilmu memindahkan nyawa! Itulah sebabnya aku menginginkan jiwa Rara Tantri, karena aku butuh mayatnya!"
Hampir meleda rasanya dada Tumenggung Jalak Pamungkas mendengar keterangan pemuda bernama RENGGANA itu. Detik itu juga dia telah hantamkan kepalannya kearah dada Renggana. Syiuran angin keras menghantar kepalan besar la-ki-laki tua itu ketika meluncur kearah dada si Pendekar Tanpa Bayangan. Akan tetapi dengan mengangkat sebelah lengannya, Renggana memapaki serangan itu.
DHESSS!
Terdengar pekik kesakitan Tumenggung Jalak Pamungkas. Tubuhnya terlempar ke belakang, dan.. BYURRR! Tubuh tinggi besar itu terjerumus masuk ke dalam kolam.
Rara Tantri terperangah melihat kehebatan ilmu pukulan tenaga dalam si Pendekar Tanpa Bayangan. Sejenak dia berdiri terpaku memandang kearah Tumenggung Jalak Pamungkas yang dengan baju basah kuyup keluar dari dalam kolam.
Tampak wajah laki-laki tua ini menyeringai. Sebelah lengannya tergantung. Tampaknya dia mengalami cidera, karena tulang lengannya patah. Namun hal ini tidak membuat dia mundur. Tangan kirinya bergerak mencabut senjata tombak pendek yang terselip di punggungnya.
Saat itulah Rara Tantri tanpa menunggu sampai Tumenggung Jalak Pamungkas maju menempur pemuda itu, dia telah melompat terlebih dulu ke hadapan si Pendekar Tanpa Bayangan.
"Tantri! mundur!" teriak Tumenggung ini melihat gadis keponakannya itu maju menempur si Pendekar Tanpa Bayangan.
Pada detik itulah, Nanjar cepat berkelebat seraya gerakkan lengannya mendorong tubuh gadis itu. "Tahan Tantri! Biar aku yang menghadapi manusia edan ini!"
Gerakan mendorong yang dilakukan Nanjar adalah mengarahkan telapak tangannya kearah tubuh wanita itu. Rara Tantri rasakan gerakan lompatannya tertahan. Tubuhnya kembali melayang turun dan jejakkan kakinya ke tanah. Dengan gunakan gerakan melayang di uda-ra, Nanjar gunakan ujung kakinya menghantam kearah kepala si Pendekar Tanpa Bayangan, se-raya diiringi bentakan.
"Renggana! mari kita adu kepandaian!"
Sambaran deras itu membersit angin keras yang menyambar. Pemuda ini tak berani sembarangan memapaki serangan itu. Dengan gesit dia menghindar. Gerakan mendoyongkan tubuh sampai melengkung sedemikian rupa ternyata dengan mudah dapat meluputkan serangan si Dewa Linglung.
Ternyata dia gunakan ilmu Yoga seperti il-mu yang dimiliki Biksu Rondo Jati. Tumenggung Jalak Pamungkas dapat mengetahui jurus-jurus Yoga ciptaan adik perempuannya yang menjadi Biksu itu. Diam-diam dia agak khawatir dengan si Dewa Linglung. Mampukah pemuda pendekar itu mengalahkan Renggana?
"Bagus! Agaknya kau memilih kematianmu di tempat ini, Dewa Linglung. Atas nama kedua guruku yang sudah berada di alam Baka, aku mewakilkan untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah untuk menemui kematian!" berkata si Pendekar Tanpa Bayangan.
"Heh? siapakah kedua gurumu?" tanya si Dewa Linglung.
"Hm, apakah kau melupakan nama Sepasang Iblis Sembilan Racun? Kedua guruku itu telah terkena pukulanmu yang mengakibatkan kematiannya. Nah! aku mencarimu adalah untuk membalas dendam kematian guruku itu!" berkata dingin si Pendekar Tanpa Bayangan.
Bukan saja Nanjar yang terkejut, akan tetapi Rara Tantri tampak terkesiap mendengar nama Iblis Sembilan Racun. Diam-diam dia mempersiapkan diri untuk membantu Nanjar bila dalam pertarungan itu si Dewa Linglung terdesak. Ternyata Nanjar bahkan tertawa tergelak mendengar nama kedua manusia iblis yang ba-nyak menimbulkan keonaran itu.
"Haha.. hah., ternyata kau murid dua cecurut busuk itu? Pantas! bau tubuhmu tak lebih busuk dari dua gurumu! Sukurlah kalau dua gurumu itu sudah mampus. Memang aku telah menyumpahi agar cepat-cepat mampus! Manusia macam gurumu cuma membuat kotor dunia saja. Termasuk kau!" kata Nanjar dengan tertawa berderai.
"Monyet kau! Macam apakah tingginya ilmu yang kau miliki? Heh! Kau akan menyesal telah menganggap aku remeh!" bentak Renggana.
Bentakan Renggana telah disusul dengan serangan-serangan dahsyat. Pukulan-pukulannya menerbitkan angin panas dan dahsyat yang menderu-deru. Akan tetapi detik itu juga Nanjar telah benar-benar menjadi seperti seekor kera atau monyet.
"Haha.. hehe.. nguk! nguk! nguk! Hayo serang terus. Habiskan jurus-jurus pukulanmu!" teriak Nanjar dengan tertawa-tawa. Ternyata se-rangan-serangan dahsyat itu dengan mudah dapat dihindarkan si Dewa Linglung.
Tentu saja cemooh yang dilakukan Nanjar membuat si Pendekar Tanpa Bayangan jadi mendongkol, disamping heran, karena pemuda lawan-nya benar-benar menggunakan cara menghindar dengan cara melompat-lompat seperti seekor kera.
Dengan membentak keras Renggana merobah gerakan serangannya. Kini tampak gerakan tubuhnya berubah, tidak lagi menggunakan cara menggempur dengan pukulan ganas. Tapi gunakan gerak tarian aneh. Tarian ini dilakukan den-gan membaca mantera-mantera.
Nanjar sejenak terperangah melihat gerakan seorang laki-laki yang mirip tarian seorang wanita di atas panggung ketoprak, atau wayang orang. Diam-diam dia mempersiapkan pedang mustika Naga Merah untuk dicabut setiap waktu. Pada saat itu tarian Renggana tiba-tiba berubah makin lama makin cepat. Kini terlihatlah kehebatan ilmu hitam pemuda itu.
Tampak tangan Renggana seperti berubah menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Bukan saja Nanjar yang terperangah melihat keanehan itu, tapi juga Tumenggung Jalak Pamungkas dan Rara Tantri membelalakkan mata melihat keanehan tarian si Pendekar Tanpa Bayangan. Ratusan benda aneh yang mengelua-rkan sinar warna-warni mendadak bertebaran meluruk kearah Nanjar.
Tak ada jalan bagi si Dewa Linglung selain mencabut senjata pedang mustika Naga Merah. Dengan gerakan cepat dia memutar pedangnya. Seketika buyarlah benda-benda aneh itu. Namun pandangan mata Nanjar menjadi gelap. Dan pada saat itulah puluhan tangan si Pendekar Tanpa Bayangan bergerak meluncur ke arah Nanjar. Nanjar masih bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Pedangnya kembali digunakan untuk melindungi diri.
Whut! Whut! Whut! Sinar merah membersit menyambar membuat puluhan tangan itu kembali menyurut lenyap. Akan tetapi benda-benda bercahaya berwarna-warni itu kembali menyerang Nanjar.
"Nanjar! Awaas!" teriakan Rara Tantri membelah udara. Tubuh wanita ini berkelebat untuk menyelamatkan Nanjar. Akan tetapi justru pada detik itulah puluhan lengan Renggana telah meluruk kearah gadis itu.
Rara Tantri tiba-tiba menjerit keras, Tubuhnya mengepulkan asap biru berbau sangit. Sedetik kemudian dia roboh terjungkal. Akan tetapi jeritan itu segera dibarengi dengan teriakan parau membelah udara. Tampak Renggana terhuyung-huyung.
Sepasang matanya membeliak dengan wajah berubah mengerikan. Seraut wajah yang keriput dengan tulang pipi menonjol. Dari mulutnya menggelogok darah kental. Ternyata darah itu bukan saja dari mulut tapi juga dari perutnya. Tampak pedang mustika Naga Merah telah menembus perut pemuda itu.
Renggana mengerang bagai seekor harimau terluka. Lengannya yang berpuluh-puluh banyaknya itu telah lenyap. Kini sepasang lengan yang tak ubahnya mirip lengan jerangkong terangkat ke atas. Sepasang lengan yang mengerikan itu tiba-tiba bergerak meluncur mencengkeram batok kepala Nanjar. Namun detik itu Nanjar telah menyentakkan pedang mustikanya.
Terdengarlah raungan bagai jeritan iblis. Renggana yang wajahnya sudah tak berbentuk seorang pemuda tampan itu, terkulai... dan roboh ke tanah. Mendadak tubuhnya lenyap berubah menjadi segumpal asap biru. Ketika asap itu perlahan-lahan menipis terlihatlah sesosok tubuh menggeletak tak bergeming.
Terkejutnya Nanjar bukan alang-kepalang, karena melihat yang tergeletak tak bergeming itu adalah seorang wanita tua. Adapun Tumenggung Jalak Pamungkas bagai tak percaya melihat keanehan itu. Karena dia segera mengenali siapa adanya wanita tua itu.
"Rondo Jati...???"
Tergetar menggigil tubuh laki-laki tua itu melihat wanita itu tak lain dari adik kandungnya sendiri, yaitu biksu Rondo Jati yang lenyap dari pesanggrahan Budi Luhur, di puncak gunung Jo-ho. Laki-laki tua ini merasa lututnya menjadi lemas. Matanya menatap sebentar kearah Rara Tantri yang terkapar dengan tubuh hangus. Kemudian beralih lagi kearah sosok tubuh biksu Rondo Jati.
Saat itu Nanjar telah berkelebat kearah gadis yang malang itu. "Tantri...!" teriak Nanjar dengan suara tersekat di kerongkongan. Nanjar tampak terpaku menatap gadis itu yang telah melayang jiwanya. Bajunya tinggal serpihan-serpihan saja yang hangus terbakar. Kulit dara yang putih mulus itu kini telah berubah menghitam hangus.
Sementara itu hati Tumenggung tampak tercekat, melihat wanita tua yang sudah bersim-bah darah itu, dan tak bergeming itu mendadak perlahan-lahan membuka matanya. Ternyata wa-nita tua ini masih hidup.
"Rondo Jati... kau... kau..?? Apa artinya semua ini...?" berkata Tumenggung Jalak Pamungkas. Dia berharap sang adik dapat menjelaskannya sebelum menghembuskan napas yang terakhir.
"Kakang Tu... menggung.... maafkan aku yang selama ini menyembunyikan keadaanku sebenarnya. Aku adalah bukan seorang biksu. Kulakukan hal itu karena aku mempunyai kelainan jiwa, seperti yang diderita Rara Tantri. Di puncak gunung Joho aku telah mempelajari ilmu-ilmu sesat, hingga aku dapat menghilangkan bayang-bayang tubuhku. Tantri bukan kuusir dari pesanggrahan, tapi... dia melarikan diri.
"Selama ini akulah yang telah menggunakan tubuhnya untuk memenuhi hasratku yang gila! Aku memiliki Ilmu Pindah Raga. Ilmu itu sangat jahat...! Aku telah mengorbankan Rara Tantri sebagai pelampiasan hasratku... Aku terpaksa membunuhnya, karena... karena aku tak ingin dia mem… buka rahasiaku..."
Sampai disini napas Rondo Jati tersengal-sengal. Tapi dia masih mampu meneruskan kata-katanya. "Masih ada yang... belum kuceritakan padamu, kakang Tu...menggung... Yaitu, Renggana. Dia masih hidup. Aku hanya menggunakan tubuh samarannya saja...! Renggana dibawa pergi oleh guruku... yang telah mengajarkan aku ilmu-ilmu sesat. Aku menyesal tak mem... bunuh pemuda itu. Dan... Tantri sebenarnya adalah... anakmu. Aku yang telah membunuh istrimu, mbak Suntini..." Selesai berkata demikian kepala Rondo Jati terkulai. Nyawanya pun lepas meninggalkan tubuhnya.
Bagaikan dunia serasa kiamat, Tumenggung Jalak Pamungkas terperangah mendengar penuturan Rondo Jati. Detik itu juga dia menghambur kearah sosok tubuh Rara Tantri dengan berteriak histeris. "Tantriiil...! A.. nak.. ku..."
Dan merataplah Tumenggung tua itu dihadapkan mayat gadis itu dengan air mata bercucuran. Nanjar hanya tundukkan wajahnya dengan setetes air bening menyembul dipelupuk mata. Ketika lambat-lambat laki-laki tua itu memondong jenazah gadis itu, kemudian membawanya pergi dengan melangkah kaku.
Nanjar hanya menatap dengan mata mendelong basah. Nanjar menarik napas panjang. Hatinya begitu terenyuh. Ditatapnya sosok tubuh sang Tumenggung hingga lenyap dari pandangan matanya. Kini semuanya menjadi sepi. Dinding-dinding batu bukit itu cuma membisu. Setelah menutup pintu goa, si Dewa Linglung berkelebat meninggalkan tempat itu.