Pertarungan Dua Naga

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Pertarungan Dua Naga Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Pertarungan Dua Naga

SATU

PEMUDA yang baru selesai mandi itu terkejut ketika melihat onggokan pakaiannya yang terletak di atas batu di sisi sungai, lenyap! Dia seorang pemuda cukup gagah, walau tak terlalu tampan. Dadanya dihiasi dengan tatto bergambar Naga yang menjulurkan ekornya ke atas dengan kepala melingkar ke arah punggung dan mulut terbuka menjulurkan lidah.

Cerita Silat Indonesia Karya Ginanjar

Siapa adanya pemuda ini sudah jelas, siapa lagi kalau bukan si Dewa Linglung alias Nanjar. Siang itu hari panas terik membuat dia tak tahan untuk mandi. Ketika menemukan sungai berair jernih, tak ayal lagi dia langsung membuka pakaian. Meletakkannya di atas batu dan langsung terjun ke air.

Tentu saja dia terkejut ketika akan beranjak naik setelah berendam dan membersihkan tubuh ta-hu-tahu melihat pakaiannya telah lenyap. Bukan hanya pakaiannya saja yang lenyap, akan tetapi juga sebuah buntalan yang selalu dibawanya dan sebuah pedang yang disisipkan di celah buntalan itu juga lenyap!

"Cecunguk dari mana siang-siang berani mencuri pakaian orang?" sentak Nanjar, "Pakaianku tak ku pikirkan, tetapi pedang Mustika Naga Merah itu..." Nanjar palingkan kepala ke kiri-kanan memeriksa sekitar tempat itu. Hutan itu sunyi yang terdengar cuma suara burung-burung penghuni hutan itu. Tak ada tanda-tanda mencurigakan.

Tapi Nanjar segera telah mengetahui ada orang bersembunyi dibalik pohon. "Hm, kau mau main gila denganku, cecunguk tengik!" desis Nanjar dalam hati. Tiba-tiba lengannya terangkat ke arah depan.

Whuuuuk! Brakkk!!

Pohon yang batangnya sebesar tiga kali tubuh manusia itu hancur berdesak. Pohon itu adalah pohon yang paling besar, di sekitar tempat itu. Akan tetapi pohon besar itu bukanlah tempat yang dijadikan tempat persembunyian sosok tubuh yang sudah diketahui tempat bersembunyinya.

Yang dijadikan sasaran pukulan Nanjar justru pohon yang berada di sebelah kanan pohon tempat bersembunyi si pencuri. Pohon besar itu roboh dengan memperdengar-kan suara berkerosakan! Dan detik itu sesosok bayangan tubuh manusia melompat ke luar dari balik batang pohon tempat dia bersembunyi, karena pohon besar itu justru roboh ke arah tempat persembunyiannya.

Bersamaan dengan robohnya pohon itu terdengar suara air menyibak! Dan sesosok bayangan tubuh telanjang bulat melesat bagai anak panah. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan satu teriakan kaget. Namun suara itu lenyap tertutup oleh bunyi robohnya batang pohon besar itu yang menimpa bumi, menimpa dan mematahkan pula dahan-dahan pohon lainnya, menimbulkan suara gaduh.

Sesaat suasana dalam hutan di tepi sungai itu kembali sunyi. Akan tetapi segera dipecahkan oleh suara tersentak seorang laki-laki. "Hah!? cecungkuknya seorang perempuan?"

Itulah suara Nanjar. Apa yang terlihat dan terjadi barusan itu demikian cepat. Karena tahu-tahu pa-da jarak tiga tombak dari pohon yang roboh itu, tampak Nanjar telah berdiri tegak di hadapan sesosok tubuh yang tergeletak di dekat kakinya. Sedangkan pakaian dan buntalan berikut sebuah pedang telah berada di kedua lengannya.

Sosok tubuh yang tergeletak itu tak dapat bergerak, karena dalam keadaan tertotok! Tapi sepasang matanya membelalak memandang ke atas. Bukan menatap ke arah wajah Nanjar, tapi agak ke bawah kira-kira tiga atau empat jengkal dari wajahnya.

Mendadak wajah dari sepasang mata yang membelalak itu berubah merah, entah amat terkejut entah karena terpukau. Yang jelas sosok tubuh yang tak lain dari seorang wanita itu cepat-cepat pejamkan matanya.

Nanjar baru sadar kalau dia dalam keadaan tak berpakaian sama sekali. "Celaka!" teriaknya dalam hati. Dan dia telah berkelebat lenyap ke balik semak. Selang beberapa saat dia telah melompat keluar lagi dengan berpakaian rapi.

"Hahaha... sungguh aku tak mengira kalau cecunguk yang mencuri pakaianku adalah seorang gadis berparas cantik! Siapakah kau nona manis?"

Nanjar telah berdiri lagi di depan wanita itu. Sementara si gadis itu yang tadinya amat ketakutan juga sudah pasrah dengan nasib, jadi terheran karena orang yang mempecundangi berkelebat pergi. Beberapa kali dia mencoba lepaskan totokan akan tetapi sampai pemuda itu muncul lagi dia tak berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan pemuda itu.

Di samping kagum akan kegesitan serta tipuan pemuda itu yang menjebaknya hingga dia keluar dari tempat persembunyian, dia juga terkejut melihat kehebatan ilmu pukulan tenaga dalam si pemuda. Kengerian kini membayang lagi di mata gadis itu, melihat Nanjar telah muncul dan melompat mendekati dia. Pertanyaan Nanjar cepat dijawabnya dengan wajah sedikit memucat.

"Lepaskan dulu totokanmu, aku berjanji tak akan melarikan diri... dan aku akan menjawab pertanyaan!"

"Hm, apakah kata-katamu bisa dipercaya?" sahut Nanjar setelah terdiam sejurus. Diam-diam dia memperhatikan wajah gadis itu. Wajah seorang gadis yang berparas cukup cantik, akan tetapi wajahnya tampak masih kekanak-kanakan. Paling tidak gadis itu berusia enam belas tahun, pikir Nanjar.

Gadis itu anggukkan kepala menatap Nanjar, akan tetapi ketika beradu tatap dengan Nanjar yang juga tengah menatapnya, cepat-cepat dia menunduk "Aku telah bersalah mempermainkan mu, bila kau mengampuni jiwaku, silahkan menghukumku! Aku akan menerimanya...!" berkata si gadis.

Kata-kata si gadis yang baru berangkat dewasa itu membuat Nanjar tertegun. Kata-kata itu terdengar-nya amat lirih dan bernada jujur, membuat hilang rasa syak di hati Nanjar yang memastikan gadis itu bukan berniat jahat.

"Bagus! kau harus pegang janjimu! saksinya..." Nanjar putarkan kepala ke sekelilingnya. Tampak olehnya seekor katak (kodok) yang mendekam di dekat semak di sebelah kanan gadis itu. "Nah! kodok buduk itu menjadi saksi atas ucapan janjimu!"

Si gadis palingkan kepala memandang ke sampingnya. Dan tertatap seekor katak yang mendekam di bawah rumpun. Ada sedikit senyuman di sudut bibir gadis ini. Dia mengangguk seraya berkata. "Aku tak akan mengingkari janji ku. Nah, lekaslah kau buka totokanmu itu.. tuan pendekar!"

"Baik!" sahut Nanjar. Dia melangkah mendekati, lalu julurkan lengannya untuk membuka totokan di tubuh gadis itu. Sementara si gadis mengatupkan matanya rapat-rapat tetapi lengan Nanjar yang terulur itu mendadak terhenti. Bukannya segera membuka totokan, malah Nanjar memperhatikan wajah si gadis. "Gadis ini berparas cantik, kulit wajahnya pun halus, menandakan dia seorang gadis yang terawat baik. Pakaiannya dari bahan pakaian halus tentu harganya pun mahal! Aneh! Mengapa dia berada di dalam hutan ini?" pikir Nanjar.

Gadis itu seperti tak mengetahui reaksi Nanjar yang menghentikan gerakan membuka totokannya. Dia seperti pasrah menunggu terbukanya totokan di tubuhnya. Pipi Sang dara yang baru meningkat remaja itu masih ranum, merah muda seperti buah apel yang baru masak. Dadanya membusung sekal dengan tubuh yang padat berisi, menandakan gadis itu belum pernah dijamah laki-laki.

"Aiiih, anak semanis ini mengapa bermain jauh-jauh?" berkata Nanjar dalam hati. Entah dorongan hasrat yang bagaimana membuat Nanjar telah dekatkan hidungnya menyentuh pipi si gadis. Aneh! si gadis seperti tak ada reaksi membuka matanya dengan "sentuhan" itu.

Nanjar tersenyum sesaat, tapi segera gerakkan lengannya membuka totokan di tubuh si gadis. Cuma dengan beberapa kali sentuhan ujung jarinya yang dilakukan dengan cepat, dalam beberapa kejap saja gadis itu telah merasakan totokan ditubuhnya telah terbuka.

Kedua kelopak matanya bergerak membuka, dan secepat itu pula gadis itu telah melompat berdiri. Akan tetapi terkejut dia karena tak melihat pemuda itu berada di hadapannya. Dia menoleh kiri kanan, depan dan belakang. Tapi tak dijumpai sosok tubuh si pemuda.

"He? kemana dia?" terkejut gadis ini. "aneh! setelah membebaskan aku, dia malah menghilang...!" gumamnya pelahan. Kemasygulan jelas terlihat di wa-jah gadis ini. Tapi dia tak segera beranjak dari tempat itu. Bahkan bibirnya sunggingkan senyuman kecil. Tiba-tiba dia telah berteriak nyaring.

"Tuan pendekar gagah! sembunyi di manakah kau?" Dia menanti reaksi dari suara teriakannya, tapi yang ditunggu untuk berkelebat muncul ke hadapannya tak kunjung datang. Beberapa kali dia berteriak memanggil, namun tak ada tanda-tanda pemuda itu bersembunyi disekitar tempat itu.

"Pendekar aneh! mengapa dia pergi begitu sa-ja?" gerutu si gadis.

Tampaknya dia amat kecewa sekali, karena apa yang telah diharapkannya sirna dengan seketika. Setelah beberapa kali dia berkelebat memeriksa sekitar hu-tan. Namun tak ada tanda-tanda pemuda itu berada di tempat itu, si gadis ini lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Gerakannya ringan dan amat lincah, pertanda dia memiliki ilmu "ginkang" yang cukup tinggi. Jelas murid seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi pula.

Cuaca tampak semakin terang karena gadis itu telah keluar dari hutan. Gadis ini enjot tubuhnya un-tuk berlari cepat mendaki bukit. Diatas bukit itu dia berdiri, memutarkan pandangannya ke segenap penjuru. Gadis ini masih penasaran untuk mencari Nanjar. Siapa tahu dari atas bukit dia bisa melihat pemuda itu.

Akan tetapi tak ada sesosokpun bayangan yang terlihat di sekitar bukit. Gadis ini menghela napas, hatinya masygul bukan main. Tak terasa lengannya meraba pipinya. "Sentuhan" pada pipinya itu seperti masih terasa. Akan tetapi sesaat wajahnya telah berubah bersemu merah. Setelah sekali lagi dia menghela na-pas, tak lama kemudian tubuh gadis itupun berkelebat lenyap dari atas Bukit.

DUA

Seorang kakek tak begitu tua, mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular dengan celana pangsi warna hitam yang sudah kumal. Di punggungnya menggemblok sebuah golok besar dengan gagang berukir kepala Naga. Kakek ini duduk di dekat api unggun. Sebelah lengannya mengipas-ngipas, sedang sebelah lagi memegangi sebuah ranting kayu yang pada bagian ujungnya terdapat daging ayam hutan yang telah dikuliti.

Orang tua ini berwajah angker membayangkan kekerasan hatinya. Rambutnya kecoklatan. Terkena cahaya api unggun rambut kakek itu jadi berubah kemerahan. Dia mempunyai sorot mata yang tajam. Kumis dan jenggot semrawut tak terurus menyatu dengan cambang bauknya yang lebat.

Sebentar saja bau harum yang mengundang selera, menebar ke sekitar hutan itu. Kakek ini sipitkan matanya menatap panggang daging ayam hutan itu seperti menaksir apakah panggangannya sudah cukup matang atau belum. Hidungnya kembang kempis membaui harumnya daging lezat itu.

Tak lama dia bangkit berdiri menghampiri sebuah batang kayu rebah. Lalu duduk dengan wajah tetap kaku tak menampakkan secuil senyumpun. Kejap selanjutnya dia telah menyantap daging panggangnya dengan lahap. Makannya cepat dan rakus. Baru beberapa saat saja daging panggang ayam hutan yang besar itu telah tinggal separuhnya.

Mendadak dia berhenti mengunyah. Telinganya bergerak-gerak. Agaknya dia telah mendengar suara yang mencurigakan disekitar tempat itu. Hebat pendengaran kakek ini! Ternyata dia telah mengetahui adanya seorang yang mendatangi. Kakek bertubuh kekar ini keluarkan suara mendengus dihidung. Tubuhnya berkelebat ringan sekali. Sekejap dia telah hinggap di atas dahan pohon besar. Dengan sabar dia menanti munculnya orang yang akan melewati tempat itu.

Kira-kira sepeminuman teh sesosok tubuh muncul dari ujung jalan setapak. Ternyata Nanjar alias Si Dewa Linglung. Buntalan kain yang selalu dibawanya menggemblok dipunggung. Kedua ujung buntalan kain itu memang agak panjang, juga ditambah dengan beberapa sambungan. Hingga tak mengganggu kedua lengannya yang bebas berlenggang kangkung, karena buntalan itu terikat erat dibahunya.

Karena Nanjar berjalan searah dengan arah an-gin, dia tak mengendus harumnya panggang daging ayam hutan yang dipanggang bahkan sudah dinikmati si kakek brewok tinggi besar itu. Akan tetapi dia dapat melihat adanya asap yang tersembul dari balik semak belukar di hadapannya.

"Hm, ada orang di sebelah depan! apakah si gadis bengal itu yang membuat api unggun?" berkata Nanjar dalam hati. Sejenak dia merandek menahan langkahnya. "Sebenarnya aku ingin tahu siapa gadis tanggung itu, akan tetapi aku tak mau terlalu banyak urusan. Urusanku sudah menumpuk begini!

"Pertama kudengar desas-desus di beberapa tempat mulai bermunculan tokoh-tokoh golongan hitam. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia, entah untuk tujuan apa? Kedua ada berita lagi munculnya seorang tokoh Rimba Hijau yang menamakan dirinya si NAGA SINTING!

"Si Naga Sinting itu aku tak mengetahui apakah dia golongan hitam atau putih! Yang jelas dia mencari-cari diriku. Anehnya aku tak merasa punya urusan apa-apa dengan tokoh persilatan bernama Na-ga Sinting itu, bahkan mendengar namanya pun baru sekarang! Entah tujuan apa gerangan dia mencariku...?"

Menduga bahwa di depan ada orang, walaupun Nanjar belum bisa memastikan gadis itu adanya, namun Nanjar telah bersikap waspada. Dengan menahan napas, dia bergerak memutar tubuh. Lalu dengan gerakan gesit tanpa menimbulkan suara dia berkelebat lenyap ke balik semak belukar.

Ternyata Nanjar telah mengambil arah agak berlawanan. Yaitu 90 derajat dari arah semula. Dengan cara ini dia bergerak memutar dan akan muncul di se-belah barat api unggun tadi. Hingga dia bisa mengintai siapa orang yang membuat api unggun itu. Akan tetapi di luar dugaan Nanjar, justru si kakek brewok juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Nanjar.

Nyaris saja kedua orang itu sama-sama bertabrakan. Bukan saja Nanjar yang terkejut, akan tetapi si kakek itupun terkejut bukan main melihat sesosok bayangan nyaris membentur tubuhnya. Dengan perdengarkan suara teriakan kaget keduanya sama-sama melompat. Segera saja dua pasang mata sama-sama saling tatap.

"Eh, siapakah kau orang tua?" tanya Nanjar.

"Huh! kau sendiri siapa?" balas bertanya dingin si kakek.

Nanjar jadi garuk-garuk pantatnya sekalian membenarkan celananya yang sering kedodoran itu. "Aku tengah menguntit jejak seseorang yang mencurigakan!" Nanjar berdusta. Dia memang sengaja tak berterus terang, karena belum mengetahui jelas siapa orang di hadapannya.

"Hm, kau mencurigai aku?" bentak si kakek.

"Ah, sama sekali tidak! Orang yang kuikuti itu berperawakan hampir sebaya denganku. Kau bertubuh tinggi besar, mana mungkin aku mencurigai dirimu?" sahut Nanjar dengan tertawa. Diam-diam dia menarik napas lega karena orang itu, percaya dengan dustanya. Takut orang segera bertanya lagi dan membuat dia repot kalau menjawabnya, Nanjar cepat-cepat bertanya.

"Kau sendiri siapa paman? apakah kau juga mengejar orang?"

Yang ditanya tak segera menjawab. Dia memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai ke kaki. Nanjar sendiri memandang ke tubuhnya apakah ada yang kurang? Nanjar cepat-cepat membetulkan pakaiannya yang gombrong. Salah satu kancing bajunya memang salah lobang, hingga pusarnya kelihatan.

Dandanan Nanjar memang seleboran, hingga tampaknya dia seperti seorang pemuda yang dungu. Hal tersebut membuat hilang kecurigaannya.

"Hehehheh... namaku tak perlu kau mengetahui, tapi aku bergelar si NAGA SINTING!" sahutnya setelah tertawa menyeringai memperlihatkan giginya yang sudah keropos karena banyak dimakan ulat.

Mendengar gelar itu nyaris saja copot jantung Nanjar saking terkejutnya. Karena justru orang itulah yang dikabarkan mencari-cari dia! Namun dengan tertawa mengakak menutupi keterkejutannya, Nanjar berkata.

"Aneh! baru aku mendengar nama gelar begitu, apakah kau orang tua memang benar-benar sinting?"

Pertanyaan Nanjar membuat si Naga Sinting jadi me-lengak. Selama malang-melintang dalam pengembaraannya belum ada orang yang seberani pemuda itu mengatakan dirinya sinting. Akan tetapi bocah bertampang bego di depan matanya itu seenaknya saja buka mulut. Akan tetapi hal itu tak membuat si kakek baju ular menjadi marah. Bahkan dia perdengarkan tertawa gelak-gelak seraya berkata.

"Gelarku memang demikian, terserah orang, apakah dia akan menganggapku sinting atau tidak aku tak perduli!"

"Eh, bocah bego! kau belum mengatakan siapa namamu. Apakah kau juga punya gelar? Dari gerakan melompat mu menghindari tabrakan tadi aku sudah dapat mengetahui kalau kau memiliki ilmu kepandaian!" sambung Naga Sinting.

Nanjar berfikir sejenak, lalu menyahut. "Aku... memang memiliki sedikit ilmu kepandaian. Tapi, kepalaku pernah dikemplang orang. Begitu kerasnya kemplangan itu membuat aku pingsan tujuh hari tujuh malam. Ketika aku tersadar lagi, aku tak dapat mengingat apa-apa lagi. Namaku sendiri aku tak ingat, juga siapa guruku akupun tak mengetahui..." Nanjar membual tak kepalang tanggung.

"Hohoho.. hahaha... lucu! sungguh amat lucu! Pengalamanmu menarik sekali!" berkata Naga Sinting. "Tampaknya kita berjodoh untuk bisa bertemu. Bagaimana kalau aku menggelari kau si Pendekar Bego...?"

Pertanyaan Naga Sinting membuat Nanjar krenyitkan keningnya. Tapi segera menyahut. "Bagus sekali! Jelas itu cocok buatku, selama ini aku memang tak mempunyai gelar apa-apa!"

"Hahaha... kalau begitu kau bisa menjadi teman seperjalanan ku! Bukankah cocok, yang satu bego dan yang satu sinting?" tertawa bergelak Naga Sinting, seraya ulurkan tangannya untuk menjabat tangan Nanjar.

"Hahaha... terima kasih atas gelarmu itu, Naga Sinting!" sahut Nanjar dengan tertawa pula. Akan tetapi terkejut Nanjar ketika tiba-tiba merasakan sambaran angin meluncur ke arahnya. Ternyata uluran tangan Naga Sinting itu telah dibarengi dengan serangan tenaga dalam.

Sebagai seorang pesilat yang sudah terlatih, tentu sebelumnya sudah waspada pada setiap orang, apalagi terhadap orang yang baru dikenalnya. Nanjar membuka senyum, namun dengan gerak reflek dia telah alirkan pula serangan balasan melalui uluran tangannya menjabat tangan si Naga Sinting itu.

Dua gempuran tenaga dalam segera akan terjadi! Akan tetapi di detik itu tiba-tiba terdengar suara jeritan mencabik kelengangan. Keduanya sama berpaling ke arah suara itu. Sesaat kedua laki-laki ini saling berpandangan. Akan tetapi di detik itu juga keduanya telah sama-sama berkelebat memburu ke arah suara jeritan itu...

TIGA

Bukan main terkejutnya Naga Sinting dan Nanjar ketika melihat sesosok tubuh tergantung-gantung pada seutas tambang yang menyangkut di sebuah ca-bang pohon besar.

"Ada orang menggantung diri!" sentak Nanjar, terkejut "Agaknya barusan saja!" timpal Naga Sinting.

"Kita harus cepat menolongnya, sebelum terlambat!"

Nanjar mendahului berkelebat. Naga Sinting tak kalah cepat. Lengannya bergerak menyambar se-buah ranting kering. Seraya melompat, lengannya mengibas. Tes! putuslah tambang yang menjerat leher orang itu. Nanjar yang telah tiba di bawah pohon segera rentangkan tangan untuk menyambutnya. Tak membuang waktu segera Nanjar membaringkan tubuh orang itu di atas rumput, lalu membuka tali yang menjerat lehernya.

"Terlambat...!" berkata Nanjar dengan nada kecewa. "dia telah mati!". Nanjar mengangkat kepalanya dari dada orang itu setelah memeriksa dengan menempelkan telinganya untuk mendengar denyut nadi si korban.

Naga Sinting perhatikan wajah orang dengan seksama. Orang itu seorang laki-laki yang ditaksir be-rusia 50 tahun. Menilik dari pakaiannya laki-laki itu hanya orang biasa. Entah apa yang menyebabkan laki-laki itu membunuh diri? Sejenak keduanya saling pandang.

"Apakah kau tak mengenalnya?" tanya Naga Sinting. Nanjar menggeleng. "Apakah bukan orang yang kau curigai dan tengah kau kuntit itu?"

"Entahlah!" sahut Nanjar cepat. "Jelas bukan!" hatinya menyahut. Naga Sinting memang tak mengetahui kalau Nanjar cuma berdusta mengenai orang yang dikuntitnya itu. Akan tetapi Nanjar jadi terheran, mengapa bohongnya bisa kebetulan dengan peristiwa ini?

Dari balik pakaian mayat itu ditemukan sebuah lipatan kertas yang sudah lusuh. Ternyata sepucuk surat. Nanjar segera membacanya. Isi surat itu berbunyi demikian:

"Mungkin kematian agaknya lebih baik bagiku. Karena aku berada dikedua belah pihak. Tanpa aku bisa mengambil keputusan, pihak manakah yang benar dan harus kubantu? Semoga surat ini diketemukan oleh orang-orang gagah penjunjung tinggi kebenaran! Yang jelas Kerajaan berada dalam bahaya kehancuran!

Kericuhan di dalam keluarga istana cuma akan menguntungkan pihak ketiga! Semoga kalian orang gagah dapat menjernihkan kekeruhan itu! Setidak-tidaknya menyelamatkan kerajaan dari kehancuran!

Karena kehancuran kerajaan berarti akan membuat kesengsaraan rakyat...! Masih ada sepucuk surat lagi yang ku sembunyikan di ujung lipatan bajuku."

Tertanda:
Senopati Tanu Wiyono

Tertegun Nanjar beberapa saat seusai membaca surat wasiat itu. "Ah, jadi yang membunuh diri ini seorang hamba Kerajaan!?" desis Nanjar, seraya menatap pada Naga Sinting. Segera dia berikan surat itu kepada si kakek baju ular, yang segera menerimanya.

Sedangkan Nanjar tak membuang waktu, cepat dia memeriksa pakaian mayat itu. Benar saja seperti apa yang diterangkan dalam surat itu. Pada ujung baju mayat segera diketemukan sebuah lipatan kertas yang sengaja dijahit di dalam lipatan kain. Terkejut Nanjar setelah membaca surat yang kedua ini.

"Haih! pantas dia membunuh diri, karena dia seperti menemukan buah Simalakama. Dimakan bapak mati tidak dimakan ibu mati!" berkata Nanjar, lalu melipat surat itu lagi.

Wajah Naga Sinting tampak berubah setelah se-lesai membaca. Sekali jari-jarinya meremas, hancurlah kertas itu. "Eh, apakah isi surat yang satu itu?" tanyanya seraya membanting bubuk surat dengan wajah berubah mengelam.

"Sepucuk surat ancaman!" sahut Nanjar seraya memberikan lipatan kertas itu pada Naga Sinting.

"Kau bacalah! aku akan membuat lubang untuk menguburkan jenazah Senopati tua ini!"

Nanjar mencari-cari tempat yang cocok untuk mengebumikan mayat, akan tetapi mendadak dia merubah niatnya.

"Ah, apakah sebaiknya jenazah itu kubawa saja ke Kota Raja? Kematiannya harus diketahui oleh orang-orang istana!" berkata Nanjar dalam hati. Nanjar menunggu sampai Naga Sinting selesai membaca.

"Bagaimana pendapatmu dengan surat ancaman itu?" tanyanya, ketika melihat Naga Sinting telah selesai membaca isi surat itu.

"Benar katamu! Senopati tua ini seperti menemukan buah simalakama! Dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati. Surat ancaman ini menyulitkan dia untuk mengambil keputusan! Akan tetapi walau bagaimanapun aku menyalahkan sikapnya dengan mengambil keputusan membunuh diri seperti ini!"

Nanjar tak menjawab, akan tetapi manggut-manggut membenarkan. "Kita menghadapi masalah serius, sobat tua Naga Sinting! Apakah tindakan yang akan kau lakukan?" berkata Nanjar.

"Ya! sebagai orang gagah tentu tak akan berpaling muka membiarkan urusan yang bukan urusannya! Aku tidak menganggap diriku sebagai orang gagah. Akan tetapi hati nurani ku tak dapat memasabodohkan kemelut kerajaan ini. Apalagi sampai membiarkan urusan menjadi besar!" sahut Naga Sinting.

Diam-diam Nanjar menarik napas lega. Dari ka-ta-kata itu Nanjar mengambil kesimpulan bahwa si Naga Sinting itu bukan termasuk kategori tokoh sesat, walaupun belum diketahui jelas dia orang golongan hitam atau putih.

"Aku sependapat denganmu, sobat tua Naga Sinting!" ujar Nanjar.

"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan?" sambung Nanjar mengulang pertanyaannya.

Sejenak Naga Sinting terdiam. Wajahnya tampak semakin berubah mengelam. Setelah menghela napas, dia berkata. "Sebenarnya aku punya urusan lain yang harus kuselesaikan, tapi biarlah untuk sementara aku mengesampingkan urusan pribadiku, demi menyelesaikan kemelut di kerajaan itu. Aku belum dapat mengambil keputusan, langkah apa yang akan kulakukan! Bagaimana keputusanmu?"

"Mayat Senopati Tanu Wijoyo ini sebaiknya kita bawa ke Kota Raja! Orang-orang kerajaan harus mengetahui kematian Kepala Pasukan ini!" berkata Nanjar.

"Siapa yang akan mengantarnya sampai ke Kota Raja?" sambar Naga Sinting.

"Haha... kita tak akan mengantarnya sampai ke Kota Raja! Cukup membawanya sampai perbatasan saja!" ujar Nanjar. Lalu dia segera utarakan rencananya.

"Bagus! He he he... otakmu cerdik juga, Pendekar Bego!" tertawa Naga Sinting. "Sebaiknya kita segera mengerjakannya sekarang juga!"

Nanjar mengangguk. Lalu beranjak menghampiri jenazah sang Senopati.

"Biarlah aku yang memanggulnya. Surat ancaman ini kau simpan saja pendekar Bego! Siapa tahu nanti ada gunanya!" berkata Naga Sinting.

Nanjar cepat menyambut lipatan kertas surat itu. Kali ini Naga Sinting tak berniat melakukan serangan diam-diam melalui lemparan benda itu. Akan tetapi sekilas tampak sepasang mata Naga Sinting berkilat seperti menyambar mata Nanjar. Dua kilatan mata saling sambar.

Namun cepat-cepat Nanjar berkata. "Ha ha... kau pun cerdik sobat tua Naga Sinting!"

Setelah sesaat Nanjar benarkan celananya yang merosot kedodoran, Nanjar segera berkelebat melompat.

"Kita bertemu lagi di perbatasan Kota Raja sebelah barat. Aku akan mencari kuda lebih dulu, sobat Naga Sinting! Nah, sampai jumpa!" teriak Nanjar, sesaat sebelum melompat lagi dari atas batu besar itu. Tubuh si Dewa Linglung dalam beberapa kejapan saja telah lenyap terhalang rimbunnya pepohonan.

Naga Sinting cuma tersenyum. Akan tetapi pancaran matanya menandakan keterkejutan hatinya. Saat beradu tatap tadi kakek ini rasakan satu kekuatan sinar yang balik menyambar sinar matanya. Hal itu membuat Naga Sinting membathin dalam hati.

"Bocah bego itu tak boleh dianggap enteng... Aku yakin tenaga dalamnya tak berada jauh di bawah ku! Siapakah dia sebenarnya?"

Akan tetapi Naga Siting segera membuang perasaannya yang tidak-tidak. Sekali lengannya bergerak, dia telah menyambar mayat Senopati Tanu Wijaya. Setelah disampirkan di pundak kirinya, sedetik kemudian dia berkelebat dari tempat itu...

EMPAT

Di sudut desa sebelah barat Kota Raja tampak dua orang laki-laki menunggang kuda. Yang seorang bertubuh gemuk dan yang seorang lagi justru sebaliknya, kurus kerempeng. Keduanya adalah dua orang prajurit kerajaan.

"Bagus! aku tak berpayah-payah mencari kuda!" berkata Nanjar dalam hati. Entah kapan si Dewa Linglung telah berada di ujung jalan desa itu, bersem-bunyi di balik batang pohon besar.

Menampak kedua penunggang kuda itu, Nanjar tersenyum. Tubuhnya berkelebat ke atas pohon. Sesaat dia sudah nangkring di atas dahan pohon menunggu kedua penunggang kuda itu lewat. Agaknya yang ditunggu cuma berjalan santai sambil bercakap-cakap.

"Eh, Simo! akhir-akhir ini banyak kudengar keluhan dari penduduk. Mereka sering didatangi orang-orang tak dikenal yang menumpang menginap. Selain menginap, mereka juga terkadang meminta makanan. Munculnya tak diundang, perginya pun tak permisi. Menurut keterangan penduduk mereka bertampang kasar-kasar, juga berpakaian aneh-aneh! Akan tetapi sejauh itu mereka tak mengganggu penduduk!" berkata si kurus.

Laki-laki kawannya itu bernama Simo Gendut: Sejenak dia merenung. "Aku juga mendengar kabar itu. Kuduga mereka orang-orang persilatan! Tetapi sejauh mereka tak mengganggu penduduk, hal itu tak perlu kita risaukan!" sahut Simo Gendut seraya menjumpit sebatang rokok kawung dari saku bajunya. Kemudian menyalakannya. Sesaat dia sudah menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asap dengan mata meram melek.

"Pendapatmu ada benarnya. Tapi apakah tidak lebih baik kalau kita menaruh kecurigaan?" ujar si kurus. Laki-laki ini bernama Kempul.

"Maksudmu...?" menukas Simo Gendut.

"Maksudku apakah tak sebaiknya kita melapor pada Tumenggung!" Simo Gendut tertawa, lalu membanting rokok kawungnya yang mati.

"Kau ada-ada saja, Kempul! Keadaan di dalam kota sedang genting! Kanjeng Tumenggung tampaknya sedang pusing mengurusi kemelut itu. Sudah berapa hari ini beliau sering bolak-balik menghadap kanjeng Adipati! Entah kemelut apa aku tak mengetahui. Menurut berita dari mbok emban yang bekerja di gedung kanjeng Tumenggung, beliau sering marah-marah. Tak jarang si mbok emban sering mendengar kanjeng Tumenggung bertengkar dengan istrinya..." berkata Simo Gendut.

"Kemelut apa, ya?" Kempul mendesah seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Haha... sudahlah, Kempul! Jangan terlalu mengurusi hal yang bukan urusan kita. Kita ini cuma prajurit! Kalau mendapat perintah, yaaah! kita kerjakan. Kalau tidak, yaaahi! mengapa kita harus mencari-cari kesulitan sendiri?" ujar Simo Gendut seraya menepuk pundak kawannya.

Si Kurus Kempul manggut-manggut. "Agaknya benar katamu itu, Simo! Oh, ya aku pernah mendengar percakapan dua orang perwira istana, kabarnya... kanjeng Senopati sering tidak hadir lebih beberapa kali pertemuan, membuat kanjeng gusti Sultan marah-marah! Dalam beberapa hari ini kanjeng Senopati juga absen dalam menjalankan tugasnya..."

"Kanjeng Senopati Tanu Wijoyo sudah puluhan tahun mengabdi pada kerajaan. Bahkan semasa tampuk pemerintahan masih dipegang oleh ayah kanjeng gusti Sultan, hingga sampai saat ini. Beliau sudah terlalu tua untuk tetap memegang jabatan itu. Pantaslah kalau sering absen! Kita selayaknya harus memaklumi orang yang sudah seusia itu. Tenaga sudah berkurang, mata mulai kurang awas, badanpun sering sakit-sakitan. Sudah selayaknya kalau beliau mengundurkan diri. Kudengar beliaupun pernah mengajukan hal pengunduran diri itu, akan tetapi kanjeng gusti Sultan tak memperkenankannya! Agaknya belum ada orang penggantinya yang sesuai di hati kanjeng gusti Sultan..."

Simo Gendut mengakhiri kata-katanya dengan mengeprak kuda. "Sudahlah, panjang galah bisa diukur, akan tetapi panjangnya orang mengobrol? Wah bisa-bisa kita kena damprat atasan! saat lagi kita harus menggantikan berjaga di pintu barat Kota Raja!" berkata Simo Gendut.

Si kurus Kempul tertawa menyeringai, lalu menyusul kawannya. Agaknya Simo Gendut seperti hendak mengajak berpacu. Dia mempercepat lari kuda tunggangannya. Karena larinya terlebih dulu tentu saja si kurus Kempul tertinggal jauh beberapa tombak dibelakangnya. Beberapa saat saja pohon besar yang berada di tepi jalan itu sudah terlewati.

Tibalah giliran si prajurit kurus bernama Kempul yang segera melewati pohon besar di tepi jalan itu. Tepat di bawah pohon yang akan dilintasi mendadak sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu Kempul keluarkan suara tertahan. Sepasang matanya membeliak. Sebelum dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya telah tertotok kaku. Ternyata Nanjar telah berada di atas kuda si Kurus ini, tetapi di belakangnya.

"Ha ha... gantian aku yang menunggang kuda, sobat kurus!" berkata Nanjar. Sekali lengannya bergerak, tubuh si Prajurit itu terlempar dari atas kuda melayang ke semak belukar. Nanjar keprak pantat kuda agar berlari lebih cepat mengejar si gendut.

Bukan kepalang terkejutnya Simo Gendut ketika mengetahui di pintu penjagaan sebelah barat Kota Raja dia melihat seorang laki-laki brewok bertubuh tinggi besar berdiri tegak menatap ke arahnya. Laki-laki brewok itu memanggul sesosok tubuh dibahu kirinya.

Semakin terkejut si gendut ini ketika melihat dua orang prajurit penjaga pintu tapal batas Kota Raja yang siap digantikan, telah tergeletak di tanah. Tanpa harus berpikir dua kali dia telah menahan lari kuda. Saat itu derap kuda di belakangnya hampir mendekati. Simon Gendut angkat sebelah len-gannya memberi isyarat berhenti.

"Tahan, Kempul! Lihatlah! siapa laki-laki itu?" berkata Simo Gendut.

"Yang mana?" terdengar suara menyahut di belakang. Si penunggang kuda yang juga telah menghentikan kudanya itu merendengi kuda Simo Gendut.

"Matamu ditaruh di..." Simo Gendut tak meneruskan kata-katanya. Sepasang mata laki-laki gendut itu telah membelalak karena melihat orang di sebelahnya bukanlah si kurus Kempul.

"Hah!? Siapa ka... kau?" bentak si gendut seraya lengannya bergerak mencekal hulu pedang. Akan tetapi lengan Nanjar telah mendahului bergerak menotok tubuh si laki-laki gendut.

Nanjar segera memberi isyarat pada si laki-laki brewok yang tak lain dari si Naga Sinting. Selanjutnya.... tubuh Senopati Tanu Wijoyo yang telah menjadi mayat itu diikatkan pada kuda si kurus yang tadi dinaiki Nanjar. Kemudian tali les kuda itu diikatkan pada pelana kuda Simo Gendut.

Selesai dengan pekerjaannya, Nanjar mendekati Simo Gendut. Lengannya bergerak membuka totokan di tubuh laki-laki gendut itu. Wajah Simo Gendut pucat pias, tubuhnya gemetar. Peluh dingin mengucur deras membasahi tu-buhnya. Akan tetapi Nanjar cepat berkata.

"Jangan takut, sobat gendut! Aku takkan membunuhmu! Kami bukan orang jahat! Kau bawalah mayat ini ke Kadipaten! Kami menemukan mayat ini menggantung di dahan pohon di hutan sebelah timur sana! Katakan pada Kanjeng Adipatimu, bahwa orang ini bukan mati dibunuh. Akan tetapi dia mati membunuh diri. Siapa adanya orang ini kami tak mengetahui..." Selesai berkata Nanjar tepuk si gendut. "Nah! cepat kau berangkat!" berkata Nanjar.

Tak berlaku ayal lagi Simo Gendut segera bedal kudanya untuk berlari kencang. Di pintu penjagaan tapal batas itu dia sampai tak sempat menoleh lagi pada dua prajurit yang tertelungkup tak bergerak. Entah mati entah masih hidup. Pontang-panting si gendut mem-bedal kudanya. Jantungnya serasa memukul-mukul mengalami kejadian barusan.

Entah siapa adanya mayat orang ini? pikir Simo Gendut. Tapi dia tak berpikir banyak, bukankah dia hanya seorang prajurit? Mengapa harus memusingkan segala macam urusan? Tak dibunuh pun, dia sudah bersyukur. Demikian pikir Simo Gendut yang memang berfikiran dangkal.

Nanjar melompat menghampiri kedua prajurit penjaga pintu tapal batas itu. Segera dia memeriksanya. Mendadak wajah Nanjar berubah seketika. Langkahnya terhenti karena dilihatnya kedua prajurit itu telah tewas dengan kepala rengat! Sekali berkelebat si kakek brewok telah melompat menghampiri Nanjar. Kedua pasang mata yang sama-sama berkilat segera beradu lagi.

"Kau tentu mau mengatakan kenapa aku membunuhnya?" berkata Naga Sinting.

Nanjar tak menjawab, kecuali menelan ludah. "Mengapa kau melakukan itu?" akhirnya Nanjar bertanya.

"Hahaha.. mengapa harus dipusingkan dua nyawa prajurit tak berarti ini? He he... Sudahlah! mari kita pergi!" sahut Naga Sinting sambil tertawa.

Selesai berkata Naga Sinting mendahului berkelabat. Terpaksa Nanjar segera menyusulnya. "Tunggu aku Naga Sinting!" teriak Nanjar.

Sambil berlari cepat menyusul si brewok, dalam hati Nanjar memaki. "Haih! Naga Sinting! kau sungguh keterlaluan menganggap nyawa orang begitu murah! Keadaan sudah runyam, tentu akan bertambah runyam saja!"

Diam-diam Nanjar terkesiap juga. Sikap Naga Sinting itu menandakan bahwa dia orang yang berhati kejam! "Saat ini dia tak mengetahui siapa diriku. Akan tetapi lambat laun dia pasti akan mengetahuinya! Aku harus hati-hati dengan manusia sinting itu! Jangan-Jangan hanya memancingku untuk membuat permusuhan dengan orang-orang kerajaan...!"

LIMA

MUNCUL Simo Gendut di halaman gedung Kadipaten membuat gempar prajurit-prajurit yang tengah berkumpul di halaman, karena prajurit gendut itu membawa sesosok tubuh yang tertelungkup terikat di atas kuda. Mereka menduga sosok tubuh itu adalah si kurus Kempul.

Akan tetapi bukan kepalang terkejutnya ketika salah seorang perwira mengenali siapa adanya sosok tubuh yang telah menjadi mayat itu. Tak ayal lagi beberapa orang segera turunkan jenazah itu dari atas kuda. Beberapa orang berlari untuk memberi laporan pada Adipati atas perintah perwira itu.

Simo Gendut habis diberondong oleh bermacam pertanyaan. Akan tetapi laki-laki gendut itu tak men-jawab. Dengan kepala tertunduk, dia melangkah men-daki tangga undakan untuk menghadap Adipati SURYO BAWON.

Pucat pias wajah sang Adipati Suryo Bawon mengetahui mayat yang dibawa prajuritnya adalah mayat Senopati Tanu Wijoyo. Simo Gendut segera ditanyai mengenai kejadian itu. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar si prajurit gendut itu segera mencerita-kan apa yang terjadi dari awal sampai akhir tanpa ada yang terlewat.

"Hm, siapakah kedua orang itu?" gumam Adipati. Lengannya memilin-milin janggutnya yang cuma sejumput. Sepasang matanya menatap keluar pendopo. Keterangan Simo Gendut mengenai ciri-ciri kedua orang itu tak membuahkan ingatan pada kepala sang Adipati. Dia tak mengenal siapa adanya kedua orang itu.

"Apakah kau yakin kalau Senopati Tanu Wijoyo mati membunuh diri?" bertanya Suryo Bawon, seraya berpaling pada Tumenggung Nara Sepuh yang juga telah dipanggil menghadap.

"Melihat tanda bekas jeratan tali di leher Ki Tanu Wijoyo rasanya memang kematiannya adalah akibat gantung diri. Akan tetapi apakah beliau mati memang sengaja menggantung diri, ataukah dibunuh orang dengan mempergunakan cara itu hamba kurang mengetahui!" menyahut Tumenggung Nara Sepuh.

Adipati Suryo Bawon terdiam mendengar jawaban Tumenggung Nara Sepuh. "Kejadian ini memang aneh! Sejak beberapa hari yang lalu Ki Tanu Wijoyo memang tak keluar dari gedungnya. Bahkan dia absen tak menjalankan tugas seperti biasa. Dua orang utusan yang kukirim untuk menyampaikan surat mengenai diadakannya pertemuan di gedung Kadipaten ini telah kembali pulang dengan wajah kecewa! Karena pintu gedung tertutup, dan pengawal gedung menolak menyampaikan surat itu, karena Ki Tanu Wijoyo telah memberi pesan sebelumnya!" berkata Suryo Bawon.

"Hamba menduga Ki Tanu Wijoyo telah diculik orang. Dan kematiannya tentu ada hubungannya dengan dua orang yang telah menemukan mayat Ki Tanu Wijoyo itu!" Tumenggung ini membuka suara.

"Maksudmu kedua orang itulah yang menculik dan membunuhnya?" sambar Adipati.

"Belum bisa dipastikan...! Maksud hamba kedua orang itu tentu ada hubungannya dengan kemelut dalam istana!" sahut Nara Sepuh cepat-cepat.

"Hm, keteranganmu hanya akan menambah kabur urusan ini, dan terlalu jauh melantur, rayi Tumenggung!" berkata Adipati Suryo Bawon. Dia bangkit berdiri, lalu bertepuk tangan dua kali. Pertanda pertemuan telah diakhiri. Diperintahkan beberapa pengawal untuk membawa jenazah itu ke gedung Senapati. Dan sampaikan surat dariku kepada kanjeng Sultan!" berkata Adipati kepada dua perwira yang juga berada di pendopo itu. Sebelum masuk keruang kerjanya untuk menulis surat.

"Daulat, kanjeng Gusti!" menyahut dua perwira itu berbareng. Lalu keduanya bergegas keluar pendopo.

Tumenggung Nara Sepuh tanpa banyak bicara lagi segera turut keluar dari ruangan. Wajahnya bersemu merah, hatinya agak mendongkol dengan kata-kata Adipati. "Huh! lagi-lagi salah! Kalau setiap pendapat orang lain selalu disalahkan, buat apa mengadakan pertemuan dan mengundangku datang kemari?" gerutu Tumenggung dalam hati.

Baru saja Tumenggung Nara Sepuh tiba di bawah tangga, tiba-tiba dua orang prajurit memasuki pintu gapura dengan wajah pucat. Keduanya melompat dari atas kuda. Dan dengan napas tersengal-sengal salah seorang segera menghadap padanya.

"Ada apa lagi yang terjadi?" tanya Tumenggung. Hatinya masih mendongkol.

"Dua orang prajurit kadipaten yang berjaga di tapal batas, kami dapati telah tewas!" menyahut prajurit itu dengan napas tersengal-sengal.

"Hah!? ini benar-benar edan! Dalam satu hari sudah tiga orang kehilangan nyawa!" tersentak sang Tumenggung.

Akan tetapi Tumenggung Nara Sepuh yang sedang mendongkol hatinya tak ambil perduli dengan semua itu. Segera dihampiri kuda tunggangannya. Tak lama dia telah membedal kudanya untuk berlalu cepat meninggalkan gedung Kadipaten.

Iring-iringan prajurit yang membawa jenazah Senapati Tanu Wijoyo dalam kereta jenazah, dengan dikawal oleh dua orang perwira kerajaan, membuat penduduk Kota Raja berdatangan melihat.

"Siapakah yang meninggal?" bertanya seorang laki-laki yang berada di antara kerumunan penduduk. Laki-laki ini bertampang tolol. Berbaju dan bercelana gombrong. Rambutnya pun gondrong tak terurus. Di punggungnya menggemblok sebuah buntalan. Yang ditanya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topi tudung, bermuka bulat, dengan sebaris kumis tipis di atas bibir.

"Entahlah! Aku sendiri tak mengetahui!" sahut si laki-laki bertudung tanpa menoleh.

Mendadak orang yang berada di sebelah laki-laki bertudung itu berkata. "Apakah kalian tak mengetahui bahwa yang meninggal adalah kanjeng Senopati Tanu Wijoyo?" laki-laki yang berkata seseorang yang bertubuh keker. Mengenakan baju warna kuning yang terbelah di bagian tengah. Tampak bulu-bulu yang lebat, menghiasi dadanya.

"Oooh..!?" Si pemuda bertampang tolol yang tak lain dari Nanjar adanya, manggut-manggut, "Apakah yang menyebabkan kematiannya?" tanya Nanjar pura-pura tak mengetahui. Diam-diam dia memperhatikan laki-laki baju kuning itu.

"Menurut seorang prajurit, katanya membunuh diri dengan menjerat lehernya sendiri. Diketemukan oleh dua orang laki-laki yang menyerahkannya pada seorang prajurit yang membawanya ke gedung Kadipaten!" sahut si laki-laki baju kuning.

"Bohong! Semua itu cuma bohong besar saja!"

Tiba-tiba seorang laki-laki yang berada di sebelah kanan Nanjar menyambar bicara. Nanjar menoleh pada laki-laki itu. Ternyata dia seorang laki-laki tua berwajah bopeng. Usianya sekitar 40 tahun lebih. Si laki-laki berbaju kuning pun menoleh juga ke belakang.

"Dari mana kau tahu kalau berita itu bohong?" tanya si laki-laki baju kuning, dengan kerutkan kening menatap wajah orang itu.

"Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kedua orang yang menemukan mayat itu justru dialah yang menculik kanjeng Senopati, juga merekalah yang telah membunuhnya. Bahkan mereka telah pula membunuh dua orang prajurit penjaga tapal batas. Pembunuhan yang kejam, karena kedua kepala prajurit itu rengat! Satu prajurit lagi bernama Kempul, telah jadi korban pula! Dia mati dengan kepala hancur! Mayatnya dilemparkan ke tengah jalan! Dan kalian tahu? Siapakah kedua orang pembunuh itu? Hm, Mereka adalah orang-orangnya Raden Kamandaka. Beliaulah yang lebih berhak atas kekuasaan Kerajaan. Bukan Sultan yang sekarang ini! Karena kanjeng Sultan yang sekarang ini cuma putra dari selir baginda Sultan DAHA..!" tutur si laki-laki muka bopeng.

"Lalu siapakah kanjeng Sultan yang sekarang ini?" tanya Nanjar. Diam-diam Nanjar terkejut karena orang ini enak saja membuka mulut. Apakah dia memang benar mengetahui, semua kejadian? Dari mana dia mengetahui dan siapa adanya orang ini? pikir Nanjar dalam hati. Namun inilah kesempatan untuk mela-cak kemelut apa yang sebenarnya terjadi di Kota Raja itu.

"Yang sekarang berkuasa adalah kanjeng Sultan CARMANDALA!" sahut si laki-laki bopeng.

Nanjar manggut-manggut. Sementara iring-iringan pembawa kereta jenazah telah lewat. Si laki-laki bopeng tahu-tahu telah menyelinap pergi...

Nanjar celingukan mencari laki-laki itu. Segera terlihat laki-laki itu yang berjalan cepat ke arah belakang gedung. Nanjar cepat memburunya. Diam-diam dia terus membuntuti. Ketika tiba di ujung jalan mendadak laki-laki itu berkelebat lenyap. Nanjar tersentak. Dia tak boleh kehilangan jejak orang itu. Tak ayal lagi segera dia pergunakan gerakan melompatnya untuk menerobos meotong jalan melalui hutan pohon jati.

Nanjar gunakan jurus-jurus lompatan kera. Gerakan melompat yang jarang dikuasai orang itu memang sukar untuk diikuti mata. Karena setiap kali tubuhnya melompat dengan bergantung di dahan, detik berikutnya sudah melesat lagi berpindah ke dahan berikutnya. Dalam waktu singkat dia telah menerobos hutan jati itu.

"Berhenti!" bentakan keras tiba-tiba merobek udara. Sebuah bayangan sosok tubuh tahu-tahu telah berkelebat menghadang si muka bopeng.

Tersentak kaget laki-laki ini melihat orang yang menghadang, karena tak lain dari pemuda bertampang tolol yang tadi berada disebelahnya, ketika menonton iring-iringan kereta pembawa jenazah.

"Heh!? kau..? Mau apa kau menghadangku?" mulutnya membentak, tapi diam-diam hatinya terkejut. Karena dia tak menyangka si bocah tolol itu bukan seperti dugaannya, tapi seorang yang punya isi!

"Haha... aku masih butuh penjelasan mu, sobat! Mengenai kedua orang pembunuh yang seperti kau katakan tadi!" Sahut Nanjar dengan cengar-cengir. Lengannya iseng mencabut rumput, lalu digunakan untuk mengilik-ngilik telinganya.

"Apa yang kurang jelas?" bentak si laki-laki bopeng. Diam-diam dia sudah menyiapkan serangan maut. Hatinya mendongkol melihat sikap Nanjar yang mirip orang tak memandang sebelah mata padanya.

"Haha... matamu yang kurang jelas!" sahut Nanjar. "Apakah kau tak melihat bahwa aku adalah salah seorang dari dua orang yang kau katakan sebagai pembunuh itu? Prajurit bernama Kempul itu cuma kutotok yang tak membuat bahaya jiwanya. Dan aku tahu sendiri bahwa Senopati Tanu Wijaya memang telah menghabisi nyawanya dengan menggantung diri! Dua orang prajurit penjaga tapal batas yang mati dengan kepala rengkah, aku tak mengetahui, karena aku tak merasa membunuhnya!" berkata Nanjar.

Pucatlah seketika wajah si laki-laki bopeng. Ti-ba-tiba dia membentak keras. "Kalau begitu kau harus mampus!" Bentakan itu disusul dengan meluncurnya tiga larik sinar hijau ke arah Nanjar, ketika secepat kilat si muka bopeng kibaskan lengannya.

Melihat datangnya serangan, Nanjar memang telah waspada sejak semula. Kedua lengannya bergerak menyilang di depan dada. Sedang kepalanya dimiringkan untuk menghindari serangan. Dan...

Tep! tep!

Tampak tiga senjata rahasia berbentuk segi tiga runcing telah terselip di sela-sela jari tangannya. Melihat serangan mautnya yang digunakan untuk menghabisi nyawa Nanjar sekaligus menemui kegagalan, si muka bopeng melompat mundur dua langkah. Secepat kilat dia telah mencabut sepasang senjata gaetan dari kedua pinggangnya, Nanjar cuma tersenyum.

"Siapakah kau sebenarnya, sobat? Dan siapa yang mendalangi kau?" bertanya Nanjar dengan unjukkan senyum jumawa. Ketiga senjata rahasia itu dilemparkan ke semak belukar.

"Bocah sombong! kau tak perlu mengetahui siapa aku! dan siapa orang di belakangku!" bentak si muka bopeng. Dengan memperdengarkan teriakan menggeledek laki-laki ini menerjang dengan sepasang gaetannya.

Nanjar gerakkan sepasang lengannya mendorong ke depan. Satu kekuatan hebat telah membuat tubuh si laki-laki bopeng tertolak ke belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung. Baru saja Nanjar akan melompat untuk menotok roboh lawannya, mendadak si muka bopeng perdengarkan teriakan panjang.

Kedua senjata gaetannya terlepas, dan tubuhnya roboh terjungkal. Disusul berkelebatnya dua sosok tubuh. Terkejut Nanjar ketika melihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata si laki-laki baju kuning dan laki-laki bertudung yang tadi menonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.

Memandang pada si muka bopeng. Laki-laki itu telah tewas dengan leher dan kening tertancap dua buah pisau belati. Tampak di tangan si laki-laki baju kuning masih ada sisa sebuah belati lagi. Jelas si Baju kuning itulah yang telah membunuh si muka bopeng. Adapun si laki-laki bertudung masih tetap seperti tadi berdiri menjublak seperti arca.

ENAM

"Siapakah anda, sobat-sobat? mengapa membunuh dia?" bertanya Nanjar dengan menjura.

Si laki-laki bertudung kali ini perdengarkan suara seraya membuka topi tudungnya. "Manusia tak berharga itu kukira lebih tepat mampus siang-siang dari pada hidup lebih lama!" sahutnya. "Aku adalah, Raden Kamandaka sendiri, dan kawanku ini pengawal pribadiku!"

"Ah! Sungguh aku yang bodoh ini tak mengetahui kalau berhadapan dengan pangeran Kamandaka, putra mahkota Kerajaan! Maafkan hamba, raden..!" berkata Nanjar dengan kembali membungkuk hormat.

"Sudahlah, tak usah banyak peradatan. Aku belum lagi memegang tampuk pemerintahan. Apalagi keadaan Kota Raja dalam keadaan seperti ini. Ternyata belum lagi pemerintahan digantikan olehku, telah banyak manusia yang sengaja memancing kerusuhan dengan perbuatan adu domba!" berkata Raden Kamandaka.

"Boleh aku mengetahui siapakah anda, pendekar muda? Walau tampangmu seperti orang bodoh, tapi aku mengetahui kalau kau adalah seorang pendekar yang sengaja menyamar...!" bertanya Raden Kamandaka.

"Ah, aku yang bodoh ini mana berani mengatakan diriku seorang pendekar? Namaku Nanjar, orang-orang menjuluki aku si Dewa Linglung!" sahut Nanjar dengan tertawa.

"Dewa Linglung?" sentak Raden Kamandaka yang ternyata memang putra mahkota kerajaan itu. "Apakah anda juga yang digelari si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?" tanya Raden Kamandaka.

"Aiiih, itu hanya julukan yang diberikan orang saja. Aku tak merasa menggunakan nama itu!" sahut Nanjar dengan garuk-garuk pantatnya dan benarkan celananya yang kedodoran.

Tiba-tiba Raden Kamandaka, rangkapkan kedua lengannya, tubuhnya membungkuk menjura pada Nanjar. "Nama gelar dan kehebatan serta sepak terjang anda telah terdengar santar di wilayah utara. Sungguh hari ini aku amat bergirang hati dapat berjumpa dengan anda, sobat pendekar Dewa Linglung!"

Hal itu ternyata dilakukan pula oleh laki-laki baju kuning. "Aku Warok Jingga menghaturkan hormat dan salam perkenalan sobat pendekar Dewa Linglung!" berkata laki-laki baju kuning seraya menjura.

Akan tetapi buru-buru Nanjar mengangkat kedua lengannya, dengan wajah berubah merah jengah. "Haiih, jangan begitu, Raden..!" sentak Nanjar terkejut. Gerakan mengangkat tangan itu ternyata membuat Raden Kamandaka dan Warok Jingga jadi melenggak. Karena serangkum angin telah menolak tubuh mereka hingga mau tak keduanya mengangkat lagi tubuhnya.

Akan tetapi wajah Raden Kamandaka tampak berubah cerah. Dengan tertawa dia berkata. "Terima kasih atas kesediaanmu membantu pihak kerajaan, sobat Nanjar! Mari kita pergi dari sini. Banyak hal yang harus kau ketahui mengenai kemelut di Kota Raja saat ini!"

Nanjar tak banyak bertanya lagi. Dia anggukkan kepala seraya berkelebat mengikuti Raden Kamandaka. Laki-laki bernama Warok Jingga itu menyusul dan berlari-lari di sampingnya. Nanjar menepuk-nepuk pundak Warok Jingga. "Aha, tak disangka kita bisa bertemu lagi dan menjadi kawan!" berkata Nanjar.

Warok Jingga manggut-manggut dengan tersenyum menatap pemuda di sebelahnya pemuda yang tadi berada di antara desakan orang-orang yang menonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.


Keadaan di luar Candi sunyi senyap. Malam merayap semakin larut. Warok Jingga duduk di tangga candi sebelah dalam. Dia dalam keadaan siap siaga, karena sebagai pengawal pribadi Raden Kamandaka keselamatan putera mahkota kerajaan itu terletak di pundaknya. Walaupun Raden Kamandaka sendiri memiliki ilmu kedigjayaan, tapi keadaan saat itu bagai api dalam sekam. Beruntunglah kemunculan Nanjar agak dini hingga membuat Raden Kamandaka dan Warok Jingga dapat bernapas lega.

Di ruang dalam, Raden Kamandaka duduk bercakap-cakap dengan Nanjar. Ruang tempat mereka bercakap-cakap diterangi lampu sentir. Cahayanya tak begitu terang. Tapi cukup untuk mereka bisa melihat wajah masing-masing dalam penerangan yang samar-samar itu. Nanjar menunjukkan surat ancaman yang disimpannya disaku bajunya pada Raden Kamandaka.

"Inilah surat yang kutemukan di lipatan baju Senopati Tanu Wijoyo!" berkata Nanjar "sayang surat yang telah ditulis olehnya sendiri telah dihancurkan oleh si Naga Sinting!"

"Naga Sinting?" sentak Raden Kamandaka seraya menerima surat itu dari tangan Nanjar.

"Ya! aku baru mengenalnya dua hari yang lalu. Dialah yang telah membunuh kedua prajurit penjaga tapal batas itu!" sahut Nanjar.

"Hm, surat ini cuma singkat saja! Isinya mengancam Senopati Tanu Wijoyo agar turut membantu "aku" mempersiapkan rencana pemberontakan. Yaitu menyerang Istana. Karena Sultan Carmandala tak mau mengudurkan diri dari tampuk pemerintahan!"

"Surat edan!" memakai Raden Kamandaka. Sultan Carmandala sendiri sejak kedatanganku ke Kota Raja telah bertatap muka padaku. Dan dia akan segera mengundurkan diri bila aku menghendaki. Namun aku menolak, dan mengatakan tak usah terburu-buru. Anehnya orang istana menganggap kami berontak. Dan yang lebih gila lagi adalah aku dianggap akan mengadakan pemberontakan menyerang Istana! Edan! benar-benar edan! Aku tak merasa telah menulis surat apa-apa. Apalagi surat ancaman!" ujar Raden Kamandaka dengan mata merah berkilat.

"Eh, ya siapa adanya si Naga Sinting itu? dan orang macam apakah dia?" tiba-tiba Raden Kamandaka ajukan pertanyaan pada Nanjar.

"Aku sendiri belum memahami pribadinya. Raden! apakah dia berada dipihak golongan putih atau hitam aku masih meragukan!" sahut Nanjar. Kemudian Nanjar menceritakan sejak awal pertemuannya dengan si Naga Sinting itu, hingga mereka menjumpai Senopati Tanu Wijaya yang dia terlambat menolong jiwanya.

Yang tak diceritakan Nanjar adalah mengenai si Naga Sinting yang mencari-cari dirinya. Bahkan si Naga Sinting sampai saat ini tak mengetahui kalau Nanjar lah orang yang dicarinya.

Raden Kamandaka manggut-manggut, lalu menyimpan surat ancaman itu ke saku bajunya. "Manusia bergelar Naga Sinting itu patut juga dicurigai. Dan kukira kau cukup waspada untuk tak mempercayainya sepenuhnya bukan?" ujar Raden Kamandaka.

"Ya! Aku telah waspada sejak dini!" sahut Nanjar dengan beranjak berdiri. Oh, ya Raden! kukira malam sudah larut. Silahkan kau beristirahat. Biarlah aku yang menjaga di luar candi!" Nanjar beranjak mendekati Warok Jingga.

Mendengar suara langkah kaki di belakangnya Warok Jingga menoleh. "Hendak kemana sobat Nanjar? Silahkan anda beristirahat, biar aku yang berjaga-jaga!" berkata Warok Jingga yang bergelar si Pisau Terbang itu.

"Ah, silahkan kau saja yang beristirahat, sobat Warok! mataku belum mengantuk. Biar aku yang menggantikan kau berjaga malam!" sahut Nanjar dengan tersenyum.

"Terima kasih sobat Nanjar! Aku juga belum mengantuk..!" sahut si Pisau Terbang.

"Kalau begitu kita berdua berjaga malam!" ujar Nanjar seraya menepuk pundak Warok Jingga. Laki-laki ini tersenyum mengangguk. Nanjar beranjak kepintu candi sebelah timur. Disana dia duduk menyandar di tembok. Sedangkan Warok melangkah ke pintu sebelah barat.

TUJUH

Sementara itu keadaan di luar candi gelap-gulita. Bulan tak menampakkan dirinya. Di dalam Candi, Raden Kamandaka telah tertidur lelap berbantalkan lengan. Nanjar alias si Dewa Linglung pun telah terdengar suara dengkurnya. Cuma tinggal si laki-laki bernama Warok Jingga yang masih belum memicingkan mata.

Diantara kepekatan malam itu ternyata sosok bayangan hitam telah bermunculan di sekitar candi. Gerakan mereka amat pelahan sehingga tak menimbulkan suara sedikitpun. Semakin jelaslah kalau sosok-sosok bayangan itu adalah sosok tubuh manusia yang mengenakan topeng dengan pakaian serba hitam. Di lengan-lengan tampak mencekal senjata tajam.

Saat itu si Pisau Terbang pelahan-lahan bangkit berdiri. Matanya memancar tajam keluar candi. Agaknya dia telah mengetahui kedatangan sosok-sosok tubuh yang mengurung candi. Pelahan dia menatap ke arah Nanjar yang masih mendengkur terduduk di pintu candi menyandar di tembok. Lalu dia menoleh ke dalam, memandang ke arah Raden Kamandaka yang juga telah tertidur pulas.

Wajah Warok Jingga tampak perlihatkan senyum menyeringai. Tiba-tiba dia memberi isyarat dengan gerakan tangan keluar candi. Aneh! Isyarat itu ternyata adalah tanda isyarat agar sosok-sosok tubuh yang di luar candi segera bergerak masuk. Dengan gerak sebat tanpa menimbulkan suara beberapa sosok tubuh berkelebatan mendekati pintu candi. Tiga orang dengan senjata terhunus menyelinap masuk dari sisi pintu candi sebelah barat.

"Cepat bereskan dia!" bisik Warok pada kedua sosok tubuh itu.

Keduanya mengangguk. Lalu cepat melompat ke dalam ruangan. Selanjutnya dengan berindap-indap mendekati Raden Kamandaka yang masih tertidur pulas. Empat sosok tubuh menyelinap ditembok-tembok candi sebelah luar. Sementara Warok Jingga segera pura-pura duduk lagi, seolah-olah dalam keadaan tertidur dan tak mengetahui apa yang terjadi.

Ketegangan semakin memuncak ketika dua sosok tubuh bertopeng itu telah mengangkat kelewangnya tinggi-tinggi untuk menghabisi nyawa Raden Kamandaka. Kematian Raden Kamandaka telah berada di lubang jarum, ketika kedua klewang itu dengan gerakan sebat meluncur ke arah leher dan dada sang putra mahkota.

Mendadak Nanjar menguap... Lengannya bergerak seperti mau mengusir nyamuk. Di detik itulah tiba-tiba kedua penyerang gelap yang siap mengantar nyawa Raden Kamandaka ke Akhirat, perdengarkan teriakan kaget dibarengi suara.. perdengarkan teriakan kaget dibarengi suara.

Tingng! tingng!

Kedua klewang di tangan penyerang itu mendadak terlepas dari tangan mereka. Terpental keras hingga menancap di tembok candi. Belum lenyap terkejutnya, kedua sosok tubuh itu tiba-tiba perdengarkan jeritan panjang. Dan seketika roboh terjungkal!

Raden Kamandaka tersentak kaget. Secepat kilat dia telah melompat bangun. Dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian dan bertopeng hitam berkelojotan meregang nyawa. Ternyata dua buah pisau belati telah memanggang lehernya.

"Kurang ajar! Oh sukurlah Raden tak kenapa-napa?!" teriak Warok Jingga. Secepat kilat dia telah melompat menghampiri Raden Kamandaka.

Saat itu Nanjar telah melompat bangun. Mendadak tubuhnya berkelebat ke luar candi. Sedetik kemudian terdengar suara jeritan saling susul. Empat sosok tubuh roboh menggeletak di pintu candi. Tersentak Raden Kamandaka. Seketika dia telah memburu ke luar, dengan dibarengi mencabut pedangnya.

"Siapa mereka, sobat Nanjar?" sentak Raden Kamandaka.

Nanjar muncul di pintu candi dengan menepuk-nepuk telapak tangannya. "Ada cecunguk kurang ajar yang mengincar nyawa kita, Raden! Harap kau berhati-hati!" berkata Nanjar. Sepasang mata Nanjar menatap kearah Warok Jingga yang turut melompat ke luar menyusul Raden Kamandaka.

"Syukur aku bertindak cepat! Kalau tidak entah bagaimana nasib Raden!" berkata Warok Jingga seraya melompat ke sisi pintu candi. Warok memeriksa empat sosok tubuh yang telah tergeletak tak bernyawa.

"Tempat kita telah diketahui oleh manusia-manusia yang mengingini jiwa kita, Raden. Kukira sebaiknya malam ini kita tinggalkan tempat ini" ujar Warok Jingga.

Raden Kamandaka tak menyadari kalau Warok Jingga adalah musuh dalam selimut, ular berbisa yang setiap saat akan merengut jiwanya. "Bagaimana pendapatmu, sobat Nanjar?" bertanya Raden Kamandaka dengan wajah berubah tegang.

Nanjar menghela napas. "Keadaan di luar dan di dalam kukira sama saja! Di luar banyak manusia iblis yang juga tengah mengincar nyawa. Dan di dalam pun ada ular berbisa yang harus dihancurkan kepalanya, karena merupakan bahaya paling besar bagi keselamatan Raden!" berkata Nanjar, seraya melirik pada Warok Jingga.

Seketika wajah laki-laki itu berubah merah. "Sobat Nanjar! Apakah tuduhan itu kau tujukan pada ku?" bentak Warok Jingga seraya melangkah mundur setindak.

"Hm, habis siapa lagi? Ha ha... aku tak mungkin bisa kau kelabui dengan tipu daya licikmu. Hm, bukankah para penyerang itu adalah konco-koncomu sendiri yang sengaja kau undang kemari untuk membunuh Raden Kamandaka dan aku?" berkata Nanjar dengan senyum sinis.

Pucat pasi seketika wajah Warok Jingga. Tiba-tiba di detik itu sepasang lengannya bergerak mengibas. Meluncurlah empat buah pisau terbang dengan kecepatan luar biasa. Dua buah mengarah ke Nanjar, sedangkan dua buah lagi meluncur ke arah Raden Kamandaka.

Whuuuk!

Lengan Nanjar mengibas. Serangkum angin keras menghantam dua buah pisau yang meluncur deras ke arah Raden Kamandaka. Sedangkan yang dua lagi sukar untuk di tangkis oleh Nanjar. Terpaksa dia jatuhkan dirinya bergulingan untuk mengelakkan sambaran pisau.

Cep! cep! Dua buah pisau terbang itu menancap di tembok beberapa inci dari leher dan bahu Nanjar.

"Ular berbisa keparat!" membentak Nanjar seraya melompat. Akan tetapi Warok Jingga si Pisau Terbang telah berkelebat melarikan diri...

"Iblis terkutuk! kau kira kau dapat melarikan diri?" bentak Nanjar. Detik itu juga tubuh si Dewa Linglung telah melesat mengejar buruannya. Lompatan tubuh Nanjar telah disambut dengan serangan pisau terbang yang nyaris memanggang lehernya.

Namun dengan gerakan jurus Kera Sakti Menghantam Ombak, tiga pisau terbang terpental. Kali ini Nanjar tak memberi hati lagi pada Warok Jingga. Sekali berkelebat tubuhnya telah tiba di depan Warok Jingga. Dan satu hantaman telak telah membuat laki-laki itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar lima tombak! Ketika itulah Raden Kamandaka telah melompat keluar dari dalam candi.

"Jangan bunuh!" teriak Raden Kamandaka. Tapi terlambat! Laki-laki bernama Warok Jingga itu telah tewas dengan tulang dada remuk hangus, terkena pukulan Naga Murka yang dilontarkan Nanjar karena saking gemasnya pada manusia licik itu. Itulah jurus yang diperoleh dari si Raja Siluman Naga.

"Mengapa Raden melarangku membunuh manusia licik ini?" bertanya Nanjar seraya melompat menghampiri Raden Kamandaka.

"Dia... dia saudara angkatku, sobat Nanjar!" sahut Raden Kamandaka dengan wajah muram.

"Ahh....!?" sentak Nanjar terkejut. "Maafkan aku Raden, tapi..."

"Sudahlah! agaknya kematiannya memang pantas, sebagai ganjaran atas pengkhianatannya...!" potong Raden Kamandaka.

"Sebaiknya aku mengantarmu ke Kota Raja, Raden! Situasi amat berbahaya!" Ujar Nanjar memberi saran.

Sejenak Raden Kamandaka tercenung. Lalu menghela napas, dan ujarnya. "Tempat yang terbaik saat ini adalah di pertapaan Telaga Bodas! Tempat menetap guruku. Karena Kota Raja juga bukan merupakan tempat yang aman bagiku! Golongan hitam telah menyebar di Kota Raja. Ah, entah bagaimana nasib adikku, Sultan Carmandala..." berkata Raden Kamandaka.

"Kalau tempat itu merupakan yang terbaik! Aku bersedia mengawalmu, Raden. Mari kita segera berangkat sebelum dini hari."

Raden Kamandaka anggukan kepala. Tak ada pilihan lain lagi. Keselamatan jiwanya adalah lebih penting. Dengan adanya si Dewa Linglung di sampingnya dia tak merasa khawatir akan adanya serangan gelap yang setiap saat dapat merengut jiwanya.

Tak berapa lama keduanya segera tinggalkan tempat itu. Kebisuan mencekam di malam yang dingin yang juga telah membawa maut! Suara kepak saya kelelawar sesekali meningkahi bunyi jengkerik malam ketika dua sosok tubuh itu berkelebat menuju arah tenggara...

DELAPAN

Matahari baru saja tersembul dari balik gunung, ketika sesosok tubuh berkelebat ke arah candi... Siapa adanya sosok tubuh ini tak lain dari si gadis Bengal yang pernah menggoda Nanjar, menyembunyikan pakaiannya di dalam hutan pada sebuah tepian sungai.

Terkejut gadis ini melihat beberapa mayat berkaparan di muka candi. Ketika dia melompat untuk memeriksa di bagian dalam, dua sosok mayat pun dijumpainya juga. "Hah!? Mayat-mayat siapakah ini? kesemuanya mengenakan pakaian hitam dan mengenakan topeng penutup wajah...!" berkata dia dalam hati. Hatinya tersentak, karena dia tak mendapatkan orang yang dicarinya.

"Celaka! kemanakah perginya kakang Kamandaka? siapakah yang telah melakukan pembunuhan ini?" sentak gadis ini dengan wajah pucat. Apakah yang membuat dia terkejut adalah karena dia telah melihat di antara mayat-mayat bertopeng itu dijumpai mayat Warok Jingga. Dia kenal betul kalau Warok Jingga adalah pengawal pribadi laki-laki bernama Kamandaka, yaitu orang yang tengah dicarinya.

Dengan hati berdebar dia memeriksa setiap mayat laki-laki bertopeng dengan membuka cadar yang menutupi wajah-wajah mereka. Akan tetapi tak satupun diantaranya adalah mayat Kamandaka. Sejenak dia tertegun berdiri menjublak dengan wajah muram. Setelah lama merenung, akhirnya dia mendapat firasat dalam benaknya.

"Hm, jangan-jangan kakang Kamandaka kembali ke pertapaan Telaga Bodas untuk menemui guru! Keadaan Kota Raja sedang gawat! Tak mungkin kalau dia pergi ke sana...!" pikirnya.

Setelah merasa firasatnya tidak meleset, segera gadis ini berkelebat tinggalkan candi yang penuh mayat itu dengan hati mantap. Tujuannya adalah pertapaan Telaga Bodas. Akan tetapi sang gadis tak mengetahui kalau dirinya telah dibuntuti oleh bayangan sosok tubuh. Siapa adanya orang yang menguntit itu tak lain dari si Naga Sinting!

Ketika melintasi sebuah bukit, mendadak gadis ini terkesiap, karena sesosok tubuh tinggi besar entah sejak kapan telah berdiri tegak di hadapannya menghalangi jalan. Gadis ini kerutkan keningnya. Sepasang alisnya menukik dengan mata tajam menatap siapa laki-laki tinggi besar itu.

"Heh!? siapakah kau orang tua? mengapa menghalangi aku lewat?" bentak si gadis. Diam-diam dia telah bersikap waspada dengan orang ini.

"Ho ho ho... bocah ayu! aku cuma ingin bertanya, hendak kemanakah kau? Dan boleh aku mengetahui siapa namamu?" sahut Naga Sinting dengan ter-tawa menyeringai.

"Apa urusannya dengan tujuanku? Aku tak mengenal dirimu, mengapa enak saja kau menanyakan namaku segala!" sahut ketus si gadis.

"Haha.. bocah ayu, wajahmu cantik tapi galak! Baiklah kalau kau mau mengetahui siapa diriku, akulah orangnya bergelar si Naga Sinting!"

"Hm, gelarmu saja sudah tak enak didengar, tentu kau berniat tak baik terhadapku!" tukas si gadis.

"Haha... jangan khawatir, Cah ayu! kalau kau tak mau beritahukan tujuanmu, tak apalah, apakah kau juga tak mau memberitahukan siapa namamu?" tertawa menyeringai si Naga Sinting. Sepasang ma-tanya berkilat memandang sang gadis.

Mata yang menyorotkan hawa aneh. Membuat hati si gadis jadi agak bergidik. "Baik, aku akan memberitahukan siapa namaku tapi segera kau menyingkir jangan menghalangi orang lewat!"

"Hoho.. jangan khawatir, Naga Sinting tak pernah ingkar janji!" berkata Naga Sinting dengan memilin kumisnya.

"Namaku Sri Widarti! Nah! segera kau menyingkir!" selesai menyebutkan namanya gadis ini langsung melangkah maju dua tindak untuk teruskan perjalanannya.

"Eh, nanti dulu! Mengapa kau harus terburu-buru, nona Widarti? Kau belum sebutkan siapa kedua orang tuamu dan siapa pula gurumu! Kulihat kau punya ilmu kepandaian dan bukan seperti gadis biasa!" Naga Sinting rentangkan lengannya menghadang.

"Orang tua ceriwis yang tak pegang janji! Menyingkirlah!" membentak si gadis bernama Sri Widarti itu. Tubuhnya berkelebat melompat ke depan. Dan kepalan tinjunya melayang ke arah dada si Naga Sinting.

Buk!

Hantaman telak pukulan Widarti mengenai sasaran. Akan tetapi gadis ini menjerit kesakitan, karena kepalannya seperti menumbuk batu saja. Sedangkan orang yang ditinjunya itu sedikit pun tak bergeming berdiri tegak dengan tertawa menyeringai.

"Hohoho... jurus serangan Tinju Dewa yang hebat!. Akan tetapi jurus yang kau pergunakan kurang bertenaga penuh! Seharusnya kau barengi dengan menyalurkan tenaga dalam penuh pada kepalan tanganmu, nona Widarti!" berkata Naga Sinting.

Gusarlah gadis itu, disamping kaget karena Naga Sinting mengetahui nama jurus yang dipergunakannya. Akan tetapi dengan menggerung keras dia kembali menerjang. Kali ini bukan saja tinjunya yang melayang akan tetapi dibarengi dengan hantaman-hantaman yang dahsyat.

Namun semua itu tidak membuat si Naga Sinting bergeser dari tempatnya. Bahkan satu tenaga aneh bagaikan sebuah dinding baja telah menghalangi tubuh laki-laki tinggi besar itu, hingga tak satu pun pukulan Sri Widarti mengenai sasaran.

Karena jengkelnya Widarti telah menghunus senjatanya. Itulah sepasang pedang pendek berujung melengkung yang terselip di kedua pinggangnya. Dengan sepasang senjata ini dia menerjang si kakek brewok tinggi besar itu, dengan serangan-serangan ganas!

Akan tetapi dengan perdengarkan tawa bergelak, Naga Sinting berkelebat lenyap. Dilain kejap tahu-tahu sepasang pedang ditangan si gadis telah terlepas dari tangannya. Kejap berikutnya sebelum Sri Widarti mengetahui kelanjutannya, dia telah perdengarkan keluhan. Seketika tubuhnya terasa kaku, dan jatuh mengeloso di tanah.

Membelalak sepasang mata Sri Widarti karena melihat si Naga Sinting telah berdiri di depannya, dengan wajah menyeringai. Sepasang pedang pendeknya telah berada di tangan kakek tinggi besar itu. Pucat pias wajah Sri Widarti. Dalam keadaan demikian putuslah harapannya. Peluh dingin mengucur di sekujur tubuhnya, jantungnya berdetak keras. Entah apakah yang bakal terjadi pada dirinya sekejap lagi? Naga Sinting menyeringai. Lalu beranjak melangkah mendekati.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang menyanyi dari arah kejauhan, membuat si Naga Sint-ing jadi melengak dan menahan langkahnya: "Kota Raja terancam bahaya, cecunguk edan merajalela... Mencari jejak dalang durjana. Malah berkawan ular berbisa. Ooolala..."

Kata-kata nyanyian itu bernada seperti syair dinyanyikan berulang-ulang. Semakin lama semakin dekat. Mendengar nyanyian itu mendadak wajah Naga Sinting jadi berubah merah. Tiba-tiba dia membanting sepasang pedang pendek di tangannya hingga menancap amblas di tanah. Sekali lengannya mengibas, terlepaslah totokan di tubuh gadis itu.

Tentu saja membuat Sri Widarti jadi terheran. Merasa totokan di tubuhnya telah punah, dia cepat melompat berdiri. Akan tetapi detik itu satu bentakan telah membuat dia menyurut mundur.

"Ambil senjatamu itu, dan cepat kau minggat dari sini!"

Walaupun heran seribu heran melihat perubahan sikap si kakek bergelar Naga Sinting itu, namun Sri Widarti tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Segera dicabutnya sepasang pedang pendek yang tertancap di tanah, kemudian tanpa menunggu perintah dua kali dia telah berkelebat pergi dari tempat itu.

Suara nyanyian mendadak terhenti, karena sebuah bayangan telah berkelebat ke hadapan pemuda yang bernyanyi-nyanyi itu.

"Pendekar Bego! kiranya kau adanya? Hm, nyanyianmu bagus sekali! Apakah kau menyindir ku dengan kata-kata nyanyianmu?" berkata Naga Sinting dengan wajah dingin. Sepasang matanya berkilat menatap pemuda itu yang tak lain adalah Nanjar adanya.

Sejak kejadian di pintu batas Kota Raja sebelah timur yang menewaskan dua orang prajurit penjaga pintu, Nanjar memang segera berpisah dengan Naga Sinting, untuk mengatur rencana sendiri-sendiri dalam usahanya membantu pihak Kerajaan yang dalam keadaan rawan. Disamping itu Nanjar merasa kurang berkenan dengan sikap Naga Sinting yang telengas.

Tentu saja pertemuan yang kedua kalinya ini membuat kedua pasang mata kembali beradu. Mengapa Nanjar tahu-tahu muncul di tempat ini? Bukankah dia dalam rangka mengantar Raden Kamandaka ke pertapaan Telaga Bodas?

Ternyata sebelum Nanjar mengantar sampai ke tempat ke tujuan, telah berpapasan dengan seorang berjubah abu-abu berkumis dan berjanggut panjang putih menjuntai. Kakek yang juga berambut putih itu ternyata adalah guru Raden Kamandaka sendiri yang bernama KYAI MUNDING LAYA.

Baik dari raden Kamandaka yang putera mahkota itu sendiri maupun dari Kyai Munding Laya, segera diketahui kalau Raden Kamandaka mempunyai seorang adik seperguruan wanita, bernama SRI WIDARTI.

Gadis bernama Sri Widarti itu seorang gadis yang baru berusia belasan tahun dan belum cukup dewasa. Gadis itu adalah adik tiri Raden Kamandaka. Yaitu adik kandung Sultan CARMANDALA yang memegang tampuk pemerintahan sementara di Kerajaan WIRATA. Pengangkatan itu dikarenakan Raden Kamandaka putra Sultan DAHA PAKERTI (terkenal dengan sebutan Sultan DAHA) belum menamatkan bergurunya di pertapaan Telaga Bodas. Yaitu pada Kyai Munding Laya.

Kyai Munding Laya adalah masih pernah kakek dengan Raden Kamandaka. Dia seorang tua bijaksana yang pernah menjadi seorang penasihat Kerajaan di Kerajaan Wirata, yang mengundurkan diri serta mengasingkan diri menjadi seorang pertapa.

Tak dinyana kembalinya Raden Kamandaka ke Kota Raja telah menjadi sebab terjadinya kemelut di istana yaitu dengan munculnya para pengadu domba dan tukang fitnah yang berusaha membuat kerusuhan diantara kedua putra mahkota itu. Nanjar yang merasa punya andil untuk turut mempertahankan keutuhan kerajaan WIRATA, juga sebagai seorang pendekar yang hampir seluruh hidupnya digunakan untuk menegakkan panji kebenaran, bersedia membantu pihak Kerajaan.

Demikianlah, Nanjar segera mohon diri untuk mencari Sri Widarti yang ciri-cirinya telah diberitahukan oleh Kyai Munding Laya.

SEMBILAN

Dua pasang mata kembali beradu tatap! Secara tak sengaja justru Nanjar berjumpa dengan Naga Sinting. Karena Nanjar memang berniat kembali ke Candi untuk memeriksa, siapakah sebenarnya manusia-manusia bertopeng yang telah diperalat oleh Warok Jingga itu!

Tak dinyana kemunculannya justru telah menggagalkan niat busuk Naga Sinting yang akan mempermainkan seorang gadis. Dan secara kebetulan gadis itu adalah Sri Widarti yang dicarinya. Sayang Nanjar tak mengetahui apa yang terjadi, juga tak men-getahui kalau Sri Widarti berada di tempat itu dan baru saja terlepas dari bahaya.

"Hei, pendekar Bego! apakah kau tak mendengar pertanyaanku?" bentakan Naga Sinting kembali berkumandang, karena dia melihat Nanjar masih ber-diri menjublak bagai patung.

"Oh, maaf sobat Naga Sinting! Aku memikirkan peristiwa di Candi tua tadi malam, hingga aku lupa menjawab pertanyaanmu!" sahut Nanjar dengan garuk-garuk pantat dan benarkan celananya yang lagi-lagi kedodoran.

"Nyanyianku tadi tak bermaksud menyindir mu. Apakah kau tak mengetahui kalau aku mempunyai seorang kawan yang bernama Warok Jingga? Dia itu justru saudara angkat Raden Kamandaka, putera mahkota Kerajaan Wirata. Manusia itu ternyata seekor ular berbisa yang licik! Seorang musuh dalam selimut yang amat berbahaya! Karena diam-diam dia telah memasang jebakan di sekitar Candi untuk membunuh Raden Kamandaka. Beruntung kami masih bernasib baik. Dan aku berhasil mengirim nyawa busuknya ke Neraka!"

Berkata Nanjar dengan mempermainkan biji kacang di genggaman tangannya. Biji kacang itulah yang telah digunakan untuk menangkis serangan dua penjahat bertopeng dan membuat terpental kedua pedang mereka!

"Hm!" mendengus Naga Sinting. "Alasanmu benar atau tidak aku tak ambil pusing! Tapi... kukira hari ini kau tak dapat mengelabui diriku lagi, pendekar Bego! Aku telah mengetahui siapa kau sebenarnya! Bukankah kau si DEWA LINGLUNG, yang juga berjulukan si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?"

Merasa sudah tak dapat mengelakkan diri lagi, terpaksa Nanjar menjawab. "Kalau kau tak menganggapku berdusta, benarlah apa yang kau katakan itu! Tapi boleh aku mengetahui apakah maksudmu menanyakan diriku?"

"Bagus! Puluhan pulau telah ku jajaki ratusan kota dan ribuan desa telah kujelajahi, semua itu adalah untuk mencarimu, Dewa Linglung!" berkata Naga Sinting dengan suara keras. Wajahnya mendadak berubah mengelam. Sepasang matanya menyorot bagaikan cahaya api yang seperti mau membakar tubuh Nanjar. "Semua itu karena kau telah memiliki Pedang Mustika Naga Merah! karena pedang mustika itu hanya aku yang berhak memilikinya!"

Suara Naga Sinting bagaikan menggelegarnya petir di angkasa. Membuat Nanjar melangkah mundur dua tindak. Wajah Nanjar menampakkan keterkejutan yang amat luar biasa, mendengar kata-kata Naga Sinting. Tapi dengan hati tegar, sebagai seorang pendekar yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia Rimba Hijau, Nanjar bersikap tenang dan mengusir rasa terkejut itu dengan senyum jumawa.

"Naga Sinting! Bagi seorang pendekar, senjata miliknya tak ubahnya dengan jiwanya sendiri. Pedang ini telah berjodoh denganku. Dan dapat kumiliki secara tak sengaja! Bahkan pedang mustika ini telah menjadi bagian dari hidup dan mati ku! Tentu saja aku akan mempertahankan seperti mempertahankan jiwaku sendiri!" Nanjar dengan suara tandas.

"Bagus! DUA NAGA tak dapat hidup dalam satu muara! Hari ini kalau tidak kau, tentu aku yang akan memegang gelar Pendekar NAGA MERAH! Segera bersiaplah kau untuk menghadapiku!" bentak Naga Sinting.

Tak ada pilihan lain, bagi Nanjar untuk menolak tantangan si Naga Sinting. Dia segera lemparkan buntalannya lalu meloloskan pedang pusakanya. Cahaya merah memancar tatkala pedang mustika itu tercabut keluar dari kerangkanya, laksana seekor Naga yang melingkar memancarkan cahaya merah tergenggam di tangan si Dewa Linglung.

Nanjar melemparkan pedang pusakanya ke depan, tepat menancap di tengah-tengah antara dia dan si Naga Sinting. Kedua pasang mata itu kembali beradu tatap. Tanpa berkedip, Nanjar segera loloskan bajunya yang gombrong. Lalu dilemparkan ke tanah. Kini tampak di bagian dada di Dewa Linglung sebuah tatto bergambar Naga. Lukisan tattoo yang amat mirip dengan pedang Mustika Naga Merah itu sendiri.

"Kau tak menggunakan senjatamu itu, Dewa Linglung?" berkata dingin Naga Sinting.

"Hm, bukankah kaupun tak bersenjata? Kita sama-sama menggunakan tangan kosong. Jadi seimbang! Kalau kau berhasil membunuhku, pedang mustika Naga Merah itu mutlak menjadi milikmu!" Ujar Nanjar dengan sikap tenang. Akan tetapi sepasang matanya, tetap menatap pada Naga Sinting.

"Hohoho... aku puji sikap ksatria mu, Dewa Linglung! Jarang aku berjumpa dengan seorang pendekar sepertimu! Semoga kau tidak linglung seperti julukanmu!" tertawa dingin Naga Sinting.

Akan tetapi suara tertawanya lenyap bagai disapu angin, tatkala dengan bentakan menggeledek kakek berbaju ular yang telah menyiapkan serangannya, segera menerjang Nanjar. Dua serangan dahsyat menyambar ke arah Nanjar. Uap biru dan kuning menderu membelah udara ketika si kakek baju ular hantamkan telapak tangannya.

Itulah jurus Uap Naga Edan Menyambar Petir. Dua jurus maut yang dilancarkan si Naga Sinting untuk menamatkan riwayat si Dewa Linglung. Akan tetapi dengan jurus Bangau Sakti Mengibaskan Awan dua serangan itu buyar.

Sebaliknya sambaran angin keras menggebu menyambar ke arah Naga Sinting. Membuat laki-laki brewok itu perdengarkan teriakan kaget, karena angin panas bagaikan bara menyambar ke arah muka. Dengan silangkan lengan yang dibarengi jurus Kepalan Dewa murka, sambaran angin panas itupun buyar, ka-rena hawa sakti yang membekukan telah menolak sambaran dahsyat itu. Sebaliknya segulung uap yang bergumpal laksana salju menyambar ke arah Nanjar. Itulah jurus Uap Naga Salju Mengamuk!

Terkesiap Nanjar melihat dengan sekejap mata sambaran angin panasnya telah berubah menjadi segumpal salju, yang kini meluncur deras ke arahnya. Namun dengan gerakan melompat dengan jurus Kera Sakti Melompati Bukit, dia berhasil mengelakkan diri dari sambaran uap salju itu.

Bhlarrr! Terdengar suara menggelegar. Dan tampak batu gunung yang berada di belakang Nanjar pecah berhamburan. Hawa dingin segera menebar di sekitar tempat itu.

"Hebat!" teriak Nanjar dengan kagum, tapi diam-diam hatinya bergidik. Jurus-jurus serangan Naga Sinting amat luar biasa.

Selanjutnya jurus demi jurus terus berlalu. Pertarungan DUA NAGA itu terus berlanjut dengan seru dan dahsyat. Hawa disekitar tempat itu sebentar panas sebentar berubah dingin akibat terjadinya benturan-benturan tenaga dalam yang mengandung hawa inti api dan inti es.

Pada saat pertempuran itu tengah berlanjut, sesosok tubuh diam-diam telah mengikuti jalannya pertarungan dengan mata membelalak. Siapakah orang ini? Ternyata tiada lain dari si gadis bernama Sri Widarti yang kiranya belum berlalu dari tempat itu. Tentu saja dia mengenali siapa adanya pemuda lawan si Naga Sinting itu, karena pemuda itulah yang telah digodanya dengan menyembunyikan pakaiannya ketika pemuda itu tengah mandi di sungai.

"Ah, jadi pemuda itukah yang bergelar Dewa Linglung? Juga bergelar si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?" berkata dalam hati Sri Widarti.

Sejak pertemuan pertama di hutan di sisi sungai itu, hati Sri Widarti telah tertarik pada Nanjar. Dia merasa simpati dengan pemuda bertatto Naga di dadanya itu. Tentu saja dia mengharapkan kemenangan berada di pihak si Dewa Linglung Pada saat itulah dua pukulan tenaga dalam yang sama-sama di lepaskan kedua "Naga" itu telah beradu.

Blang!

Terdengar pekikan Nanjar yang dibarengi dengan pekikan si Naga Sinting. Asap hitam membumbung di tempat beradunya dua pukulan sakti itu. Akan tetapi dua tubuh itu sama-sama terlempar bergulingan. Sri Widarti terpekik melihat Nanjar terpelanting beberapa tombak. Dan tanpa disadari dia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Namun Nanjar telah kembali melompat berdiri. Wajahnya nampak berubah pucat. Dari sela bibirnya menetes darah kental berwarna hitam. Sri Widarti kembali mundur beberapa tindak. Ketika melihat pada si Naga Sinting, kakek tinggi besar itu dalam keadaan duduk bersila. Wajahnya juga pucat bagai tak berdarah. Dari bibir dan hidungnya meneteskan darah hitam kental. Akan tetapi sepasang matanya masih tetap menyorot tajam menatap sang lawan yang berdiri gagah dihadapannya.

Pada saat lengang yang mencekam penuh ketegangan itulah mendadak di kejauhan terdengar derap suara kaki-kaki kuda disertai sorak surai gegap gempita. Debu mengepul tebal. Dan terlihat sepasukan laskar berkuda dengan bendera hitam berlambang kepala tengkorak bergerak bagaikan seekor ular yang merayap menuruni bukit. Tersentak kaget baik Nanjar maupun si Naga Sinting. Juga Sri Widarti yang melihat kemunculan laskar itu dari kejauhan.

"Laskar pemberontak!" Teriak Nanjar dan Naga Sinting hampir berbarengan. Kedua "Naga" ini sejenak saling tatap. Jelas pasukan laskar itu akan menyerang Kota Raja. Apakah yang harus mereka lakukan? Meneruskan pertarungan dengan membiarkan pasukan itu memasuki Kota Raja, ataukah segera turun tangan menghadang mereka? Membiarkan berarti keselamatan Kerajaan terancam hancur. Kehancuran Kerajaan berarti membiarkan rakyat hidup tertindas dibawah kekuasaan bangsa asing!

Keduanya sejenak terpaku saling tatap. Akan tetapi tampak kini sorot mata Naga Sinting tak setajam tadi. Dia menyeka darah yang mengalir di bibir dan hidungnya. Lalu berkata. "Agaknya terpaksa kita harus hentikan pertarungan, Dewa Linglung! Ambillah pedang Naga Merah mu! Kelak setelah kita mengusir pemberontak laknat itu, kita teruskan lagi pertarungan kita!"

"Aku setuju, Sobat Naga Sinting! Kepentingan kerajaan lebih penting dari urusan pribadi, seperti pernah kau katakan, bukan?" sahut Nanjar dengan senyum pahit. Setelah menyeka darah kental yang menetes di bibirnya, Nanjar segera melompat untuk mencabut pedang Mustikanya. Baru saja dia memasukkan ke dalam kerangkanya di balik baju di belakang punggung, Sri Widarti telah melompat memburu ke arah dia.

"Kakak pendekar Dewa Linglung! Ah, kau tentu terluka dalam... Apakah kau masih mengingat ku?" teriak Sri Widarti dengan wajah berseri gembira, tapi penuh kekhawatiran.

"Aiii! gadis bengal kiranya kau? Tentu, aku masih mengingat mu! Bukankah kau si pencuri pakaianku itu?" sentak Nanjar dengan terkejut karena baru menyadari akan kehadiran Sri Widarti.

"Ah...! Sri Widarti tersipu dengan wajah berubah merah.

"Kau tentu bernama Sri Widarti!"

"He? Dari mana kau bisa mengetahui namaku?" tanya gadis ini.

"Dari gurumu Kyai Munding Laya dan kakak seperguruanmu Raden Kamandaka yang memberitahukan!" sahut Nanjar dengan tertawa. Akan tetapi tertawa Nanjar lenyap. Wajahnya berubah agak memucat. Kiranya dalam tertawa itu Nanjar merasakan dadanya nyeri akibat luka dalam yang disebabkan terjadinya benturan dua pukulan dengan Naga Sinting tadi. Cepat-cepat Nanjar salurkan hawa murni untuk mengusir uap racun yang mengeram ditubuhnya.

Memandang ke arah Naga Sinting. Laki-laki tinggi besar itupun tengah pejamkan mata untuk menyalurkan hawa murni mengusir uap racun yang mengendap di tubuhnya.

"Bagaimana dengan luka dalammu, kakak pendekar?" bertanya Widarti, ketika melihat keringat mengalir deras di dahi pemuda itu.

"Jangan khawatir! Tidak terlalu parah! Mungkin tidak separah si Naga Sinting!" sahut Nanjar seraya melirik pada laki-laki baju ular itu.

Akan tetapi Naga Sinting telah melompat berdiri dari duduk bersilanya. Wajahnya telah bersemu merah kembali. "Hohoho... jangan khawatir! luka dalamku pun tidak separah yang kau duga, Dewa Linglung! Aku masih sanggup untuk meremukkan seratus kepala pemberontak-pemberontak kerajaan itu! Dan kalau umurku panjang, kita teruskan lagi pertarungan kita!"

Selesai berkata, Naga Sinting tertawa gelak-gelak. Lalu tubuhnya berkelebat lenyap. Sesaat telah berada di ujung lamping bukit. Laki-laki ini menoleh ke belakang seraya berteriak lantang. "Aku berangkat terlebih dulu, Dewa Linglung! Tanganku sudah gatal untuk mengirim nyawa-nyawa manusia pemberontak keparat itu!"

Belum habis kata-katanya, orangnya sudah berkelebat lenyap! Cuma sisa suaranya saja yang masih terdengar berkumandang.

"Manusia hebat! Sayang ambisinya untuk merajai dunia persilatan terlalu menggebu-gebu! Aku khawatir bila pedang mustika Naga Merah berhasil dikuasainya, justru akan membuat dia bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan pada jalan kebatilan!" berkata Nanjar dalam hati!


SEPULUH

KOTA RAJA dalam keadaan berkabung, karena baru dua hari sejak kematian Senopati Tanu Wijoyo telah menyusul pula dengan kematian Tumenggung Nara Sepuh. Tumenggung ini kedapatan tewas di tempat tidurnya dengan mulut berbusa.

Di atas meja tampak sebotol minuman keras dan sebungkus serbuk yang tercecer isinya, yang ternyata adalah serbuk racun! Tumenggung Nara Sepuh memang telah sejak beberapa hari tidur pisah dengan istrinya. Ketika pagi hari sang istri akan membawakan minuman dan sarapan pagi buat suaminya, dia mendapatkan sang suami telah tewas di tempat tidurnya!

Kematian dua orang abdi Kerajaan itu sangat membuat terkejut Sultan CARMANDALA! Dia mulai merasakan ada ketidak beresan di dalam istana. Patih Gajah Lor yang dipanggil menghadap pun tidak muncul!

Penasehat Kerajaan tak menampakkan batang hidungnya. Paniklah Sultan Carmandala. Segera dia memanggil seorang perwira dan menitahkan membawa suratnya untuk memanggil Adipati Suryo Bawon agar segera menghadap.

Kemunculan Adipati Suryo Bawon agak membuat lega hati Sultan Carmandala. Akan tetapi betapa terkejutnya Sultan Carmandala ketika sang Adipati itu tertawa gelak-gelak di hadapannya, seraya berkata.

"Hahaha... jangan terkejut Sultan! waktunya sudah tiba! Sudah saatnya kau melepaskan kekuasaan Kerajaan Wirata ke tanganku! Semua orang-orang kerajaan telah tidak lagi menurut perintahmu! Bahkan sebentar lagi pasukan laskar kerajaan Tartar segera akan menguasai kerajaan ini! Dan perlu kau ketahui, bahwa putra mahkota kerajaan Wirata, Raden Kamandaka telah kusuruh orang-orangku untuk membunuhnya! Kini tinggal kematianmu saja yang sudah diambang pintu! Hahaha... haha..."

Membelalak sepasang mata Sultan Carmandala mendengar kata-kata Adipati Suryo Bawon. "Keparat! jadi kaulah yang telah berkhianat pada Kerajaan?" membentak Sultan Carmandala dengan rahang menggembung dan gigi gemeretuk menahan kemarahan. Saat itu juga dia telah mencabut keris pusaka dari pinggangnya!

"Manusia berhati setan! Kau harus mempertanggung jawabkan pengkhianatan mu dengan darah dan nyawamu!" bentak Sultan Carmandala.

"Ha ha ha... kau kini bagaikan seekor harimau yang sudah tak bertaring dan bergigi lagi, Sultan!" tertawa Suryo Bawon. "Pengawal! Habisi nyawa orang gila ini!" Teriak Adipati Suryo Bawon.

Seketika saja lima prajurit kadipaten berlompatan mengurung sang Sultan.

"Jahanam keparat!" memaki Sultan Carmandala. Tubuhnya berkelebatan, menghindari sambaran tombak dan klewang yang akan merencah tubuhnya.

Tiga prajurit Kadipaten menjerit panjang. Dan roboh terjungkal, dengan usus memburai terkoyak keris pu-saka sang Sultan. Dua orang lagi yang bersenjatakan klewang melompat mundur. Akan tetapi puluhan prajurit ternyata telah mengepung sekitar istana. Serentak mereka menerjang sang Sultan dengan serangan-serangan maut.

Dengan segenap kepandaian yang ada, terpaksa dia menghadapi serangan-serangan itu. Dua orang prajurit kembali terjungkal roboh. Tiga batang tombak terlempar ke udara. Jerit kematian dan bentakan terdengar riuh disertai bunyi beradunya senjata di ruang pendopo istana.

Dari ruang dalam istana muncul belasan prajurit istana. Melihat sang Sultan diserang oleh prajurit-prajurit Kadipaten orang kerajaan sendiri, membuat mereka terkejut. Tentu saja pengawal-pengawal istana ini segera berlompatan dengan senjata terhunus untuk menolongnya. Terjadilah pertempuran kecil diruang pendopo istana.

Pada saat pertempuran itu tengah terjadi, Adipati Suryo Bawon telah berkelebat dan menyelinap masuk ke dalam kamar Sultan. Suara jeritan seorang wanita terdengar dari ruang dalam kamar itu. Itulah suara jeritan terkejut sang permaisuri Citrawati. Mendengar kegaduhan diruang pendopo dia baru akan berlari keluar untuk melihat.

Tapi sesosok tubuh telah mendahului melompat masuk ke dalam kamarnya. Betapa terperanjatnya Dewi Citrawati melihat siapa adanya laki-laki itu yang tak lain dari Adipati Suryo Bawon.

"Hahaha... jangan takut, manis! Sudah lama aku menggandrungi kau wong ayu! Kini saatnya telah tiba. Sebentar lagi kekuasaan kerajaan Wirata akan jatuh ke tanganku, bila pasukan Tar-tar yang membantuku telah tiba! akulah yang bakal menjadi Sultan di kerajaan ini. Kemarilah manisku! Kau pantas menjadi permaisuri ku, kelak! Keadaan di luar sedang kacau, Pemberontakan telah terjadi di kerajaan. Marilah, sege-ra kau kubawa ke tempat yang aman...!" berkata Adipati Suryo Bawon.

"Manusia iblis! pengkhianat! Aku tak sudi. Kau... ternyata seorang iblis bermuka manusia!" berteriak Dewi Citrawati. Dia akan menghambur ke pintu tapi secepat kilat lengannya telah ditangkap oleh Suryo Bawon. Detik berikutnya wanita itu keluarkan keluhan dari mulutnya ketika dengan gerakan cepat, tangan Adipati Suryo Bawon telah bergerak menotoknya!

Kejap selanjutnya tubuh Dewi Citrawati telah berada dalam pondongan manusia durjana itu. Dengan tertawa menyeringai Suryo Bawon membawa tubuh Citrawati berkelebat keluar melalui pintu belakang istana. Pada saat itulah muncul Patih Gajah Lor menghadang di pintu.

"Pengkhianat terkutuk! Lepaskan gusti Permaisuri!"

Membeliak sepasang mata Suryo Bawon melihat sang Patih Gajah Lor menghalangi pintu dengan keris di tangan. "Hm, diberi pangkat dan harta, malah minta mati!" bentak Suryo Bawon.

"Cuh! pangkat dan harta dari manusia terkutuk yang merebut kekuasaan Kerajaan dengan mengandalkan bantuan laskar asing sepertimu itu, sama halnya dengan hidup ditengah bangkai! Manusia pengadu domba! Iblis licik dalam selimut! Kiranya kaulah yang telah menyebarkan fitnah dan surat ancaman edan itu! Manusia semacammu selayaknya ditambus hidup-hidup!" membentak Patih Gajah Lor dengan kemarahan meluap-luap.

Detik itu juga dia telah melompat untuk menerjang Suryo Bawon. Akan tetapi adanya sang Permaisuri ditangan laki-laki itu menyulitkan patih Gajah Lor untuk menyerang dengan kerisnya, karena khawatir melukai sang Dewi Citrawati.

Pada detik itulah tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat di belakang Adipati Suryo Bawon. Tiba-tiba laki-laki pengkhianat itu menjerit kesakitan, karena sebuah lengan telah menjambak rambutnya, hingga tubuhnya terangkat sampai kedua kakinya tak menginjak tanah. Akibatnya tubuh Dewi Citrawati berguling jatuh terlepas dari pondongannya. Tahu-tahu...

Prakk!

Darah merah putih memuncrat memercik diudara. Selanjutnya adalah tubuh Adipati Suryo Bawon telah jatuh menggabruk dilantai seperti sebuah nangka masak yang jatuh dari pohon. Apakah yang terlihat oleh patih Gajah Lor? Adipati pengkhianat itu telah mati dengan batok kepala hancur remuk! Hampir tak berbentuk lagi. Dan sesosok tubuh tinggi besar telah berada di tempat itu.

Siapa adanya orang ini tiada lain ialah si Naga Sinting! Kemunculannya di Istana telah membuat prajurit Kadipaten porak poranda. Mayat-mayat bertebaran akibat amukan manusia setengah raksasa ini!

"Cepat kau selamatkan permaisuri!" bentakan menggeledek yang bernada perintah membuat patih Gajah Lor seperti baru tersadar dari keterpakuannya. Tanpa, sempat mengucapkan terima kasih lagi, segera dia memondong tubuh Dewi Citrawati untuk diamankan.

Sementara itu di dalam Kota Raja telah terjadi kekalutan karena munculnya ratusan laskar asing yang menyerbu. Pekik ketakutan, jerit kematian dan suara hingar-bingar seperti membahana ketika sebagian laskar itu menyerbu istana.

Akan tetapi tiba-tiba ratusan pasukan itu seperti diterjang badai. Jerit kematian dan pekikan panjang saling susul diiringi terlemparnya puluhan tubuh ke udara. Apakah yang terjadi? Tampak dua orang laki-laki, yang seorang adalah sesosok tubuh tinggi besar bagai manusia setengah raksasa. Dan yang seorang lagi adalah sesosok tubuh kekar berparas gagah, dengan tubuh bagian atas terbuka, menampakkan sebuah gambar tatto seekor Naga yang terlukis didadanya.

Siapakah adanya kedua orang itu? Dialah Nanjar alias si Dewa Linglung, yang juga bergelar si pende-kar pedang mustika Naga Merah atau si Pendekar NAGA MERAH, sedangkan yang seorang lagi adalah si kakek berbaju ular yang tak lain dari si Naga Sinting. Keduanya bagaikan dua ekor NAGA yang mengamuk memporak-porandakan barisan musuh!

Puluhan nyawa melayang bergelimpangan, yang kemudian berlanjut menjadi ratusan jumlahnya! Sekitar Kota Raja penuh dengan mayat-mayat yang bergelimpangan dari pihak laskar asing itu! Gempuran kedua ekor "Naga" perkasa itu membuat sisa pasukan kocar-kacir melarikan diri. Akan tetapi kedua "Naga" itu tak memberi waktu sedikitpun pada mereka untuk meloloskan diri.

Pengejaran terus dilakukan hingga sampai keluar dari tapal batas wilayah Kota Raja. Panglima Kerajaan Tartar tewas ditangan Nanjar. Sedangkan empat perwira lainnya tewas ditangan si Naga Sinting. Walaupun masih ada juga sisanya yang berhasil melarikan diri.

Ternyata bukan kedua "Naga" itu saja yang turut bertempur. Karena tiga sosok tubuh yang tak lain dari Raden Kamandaka dan gurunya yaitu Kyai Munding Laya, juga ada seorang gadis muda yang mengamuk bagaikan banteng ketaton. Dialah si gadis bengal bernama Sri Widarti. Ketiganya menghantam pasukan yang datang dari pintu utara, yang berakhir dengan kemenangan yang gilang-gemilang.

Pertarungan sudah usai... Keadaan di Kota Raja bagaikan sebuah kota hantu. Mayat bertebaran di sepanjang jalan hingga sampai ke istana. Kemenangan memang berada di pihak kerajaan Wirata. Akan tetapi, sayang Sultan Carmandala kedapatan telah tewas terbunuh. Dengan sedih, Raden Kamandaka memandangi jenazah saudara tirinya.

Kematian memang sudah digariskan oleh yang Maha Kuasa. Tapi walau bagaimanapun penyebab semua itu adalah karena ketamakan serta kerakusan seorang manusia yang bermuka manusia tapi berhati iblis! Dialah Adipati Suryo Bawon. Manusia itupun telah menerima ganjaran pula atas segala perbuatannya...

Benarkah pertarungan sudah berakhir? Ternyata tidak! Pertarungan itu masih ada! Akan tetapi bukan pertarungan antara pihak kerajaan melawan pihak musuh. Melainkan PERTARUNGAN DUA NAGA...! Dialah Nanjar si Pendekar Naga Merah kontra si Naga Sinting!

Kedua laki-laki itu telah sama berhadapan. Tak menunggu waktu lebih lama lagi pertarungan hebat segera terjadi! Serang menyerang, hantam menghantam, dengan serunya. Dua laki-laki itu seperti layaknya dua ekor Naga yang saling terkam saling terjang dengan hantaman-hantaman dahsyat! Bukit batu itu mengepulkan kabut yang menimbulkan hawa dingin menggidikkan dan hawa panas bagaikan dalam kawah gunung berapi!

Pada jurus ke dua puluh sembilan, tiba-tiba terdengar teriakan panjang membelah udara. Tampak tubuh Naga Sinting terlempar ke udara setinggi lima tombak. Pekikan itu disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh di bawahnya yang berkelebat cepat untuk menyangga tubuh yang segera akan terbanting ke tanah. Itulah tubuh si Dewa Linglung.

Disaat tubuh Naga Sinting hampir menyentuh bumi, dengan kecepatan kilat Nanjar berhasil menangkapnya. Selanjutnya tampak dua tubuh yang seperti menjadi satu itu terguling-guling. Akan tetapi kesigapan Nanjar untuk berbuat itu telah menolong jiwa Naga Sinting dari kematian yang tragis!

Dalam Pelukan si Dewa Linglung, naga Sinting menggeliat disertai suara mengeluh. Laki-laki gagah inipun membuka matanya. "Kau... kau bocah Bego! Mengapa menolongku?" membentak Naga Sinting!

Akan tetapi bentakan itu sudah mengendur suaranya. Sementara napasnya kian memburu. Bergumpal-gumpal darah kental menggelogok dari mulut laki-laki setengah raksasa itu. Bila melihat keadaan si Dewa Linglung, pemuda inipun dalam keadaan mengenaskan. Karena dari mulutnya mengeluarkan darah kental hitam, berarti dia telah terkena pukulan mengandung racun yang dilontarkan si Naga Sinting. Akan tetapi Nanjar masih bisa menolong lawannya dari bahaya terhempas, pertanda luka dalamnya tak begitu parah.

"Haha... kakek Sinting! kau hebat! Siapa yang menolongmu. Secara tak sengaja kau jatuh tepat dibawahku. Kalau aku tak cepat menyangga tubuhmu tentu aku yang penyek tertimpa tubuhmu yang besar seperti gajah!" seloroh Nanjar. Namun dalam hati Nanjar terharu, agaknya kematian si Naga Sinting sudah di depan pintu.

Detak jantungnya terasa semakin cepat, dan terkadang melemah. Tubuh yang berada dalam dekapannya pun mulai terasa dingin. "Hohoho... kau mengibul, bocah bego! Atau kau memang linglung? Hehehe...heh... tapi kau hebat luar biasa, bocah bego! Aku puas dan dapat mati meram, karena aku telah berhasil membunuh musuh lebih dari seratus nyawa! Hitung-hitung aku menebus dosa-dosaku selama ini. Aku memang banyak memikul dosa selama aku malang-melintang di... dunia Rimba... Hi... jau...! Hehe... kau pendekar hebat, Dewa... Linglung! Kau berhak memakai gelar si NAGA TUNGGAL! Ya, itulah gelar yang amat ku dambakan selama petualanganku! Se... selamat... tingg... al Pendekar Na... ga... Tung... gal..."

Lepaslah nyawa Naga Sinting! Nanjar terpaku tak bergeming menatap terharu pada kakek gagah itu. Menjelang matahari terbenam Pendekar Naga Merah tinggalkan tempat itu...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.