Rahasia Istana Kuno

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Dewa Linglung Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Rahasia Istana Kuno

SATU

SESOSOK tubuh berlari dengan cepat menembus hutan belukar di siang hari yang redup itu. Cuaca memang agak buruk. Langit gelap! Gumpalan-gumpalan awan hitam tampak menebar di angkasa. Sementara angin keras membersit bersiutan menerbangkan dedaunan.

Cerita Silat Indonesia Karya Ginanjar

Sosok tubuh itu ternyata seorang gadis yang masih muda. Rambutnya tergerai ditiup angin. Dari pakaian dan gerakan larinya yang gesit ba-gaikan lari seekor kijang, menandakan dia bukan gadis biasa. Tampaknya gadis ini tahu gelagat buruk. Dia tak mau tubuhnya tersiram air hujan.

Agaknya memang bakal turun hujan lebat, karena hawa dingin sudah terasa. Gadis ini yakin benar bahwa setelah dia menembus hutan itu akan menjumpai sebuah desa. Atau setidak-tidaknya sebuah pondok yang bisa digu-nakan untuk berteduh. Larinya pun dipercepat! Suara guruh yang menggelegar di angkasa mulai terdengar yang didahului dengan kilatan-kilatan petir menembus kepekatan.

"Gila! apakah hutan ini tak ada ujungnya?" mendesis gadis ini. Dia mulai kesal karena setelah sekian lama berlari-lari tetap saja masih berada di tengah hutan. Sesaat dia berhenti. Tatapan matanya menjalari sekitar hutan. Agaknya dia tengah menentukan arah yang akan ditujunya.

"Apakah aku salah arah?" pikir si gadis. "Hm, akan ku coba ke arah sini!" gumamnya seraya berkelebat menyeruak semak belukar. Dan segera berlari cepat menuju arah timur. Benar saja! Tak berapa lama berlari, dia telah tiba di tempat terbuka. Wajah gadis ini berseri.

"Bagus! untung aku mengambil arah ini!" desisnya girang. Tak berayal lagi segera dia berkelebat cepat melintasi tempat terbuka itu.

Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat menghadang. Cepat sekali gerakannya hingga tak diketahui dari mana arah datangnya. "Berhenti!" teriak orang itu.

Tentu saja si gadis harus menahan lari kalau tak mau bertubrukan dengan orang itu. Dengan gerakan reflek gadis ini bersalto melompat ke belakang. "Hei? Siapa kau?" bentaknya terkejut. Sepasang mata dara muda ini menatap tak berkesiap pada orang yang berdiri dihadapannya.

Tampak jelas seorang laki-laki berbaju putih dari kain kasar menyandang buntalan di punggung berdiri menghadang. Orang ini bertampang ketolol-tololan walaupun dapat diakui dia seorang pemuda yang tampan. Siapa adanya pemuda ini tak lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.

"Hei! ditanya malah bengong! cengar-cengir lagi! Apa maksudmu menghadangku? Dan siapa kau ini sebenarnya?" teriak si gadis dengan mata melotot. Diam-diam hatinya mendongkol karena ada saja yang menghalangi perjalanannya.

"Aku... eh, ya aku...." Nanjar agak segan menyebutkan namanya. "Aku.. mengira kau wanita yang telah merampok rumah hartawan tua itu! Maafkan, nona! Hehe... aku keliru melihat orang!" sahut Nanjar tergagap. Lengannya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, lalu naikkan celananya yang gombrong karena kedodoran.

Walaupun hatinya masih mendongkol mau tak mau bibir gadis ini sunggingkan senyuman. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati. "Pemuda ini tampangnya boleh juga. Tapi penampilannya seperti orang dungu dan menggelikan!"

Nanjar menampakkan sikap serba salah, sebentar menatap si gadis sebentar menatap ibu jari kakinya. Tapi segera dia balikkan tubuh untuk melangkah pergi.

"Eh, tunggu dulu!" teriak si gadis. Sekali berkelebat dia telah melompat menghadang. "Kau katakan tadi seorang wanita yang telah merampok? Siapakah yang kau maksud?" tanya si gadis.

"Ah, sudahlah! Diberitahukan pun tak ada gunanya!" sahut Nanjar. Nanjar cepat putar tubuh berjalan cepat meninggalkan gadis itu.

Gadis ini jadi berdiri terpaku dengan sikap Nanjar. Tadinya dia tak mau memperdulikan dan meneruskan perjalanannya. Akan tetapi rasa penasaran di hatinya membuat dia telah berkelebat lagi menghadang.

"Kau tak bisa pergi begitu saja dari hadapanku sebelum kau katakan siapa perampok wanita itu!" bentak si gadis.

"Lho? mengapa kini nona yang berbalik menghadang ku?" Nanjar kerutkan keningnya menatap si gadis.

"Kau tadi secara tiba-tiba telah menghadangku hingga mengganggu langkahku. Kini terpaksa aku yang menghadangmu karena aku perlu penjelasan mu!" sahut sang dara ini dengan suara ketus.

"Sudah kukatakan percuma saja walaupun aku mengatakannya! Lagi pula apa hubungannya si perampok wanita itu denganmu?"

Gadis ini naikkan alisnya mendengar kata-kata Nanjar. "Hm, apakah kau meremehkan diriku?" berkata si gadis dengan suara sinis.

"Sudahlah! aku mau pergi..." Nanjar kembali balikkan tubuh. Kali ini dia sengaja gunakan ilmu lari cepat.

Melototkan mata gadis ini. "Kurang ajar! Agaknya kau perlu diberi pelajaran bocah dungu!" membentak si gadis. Detik itu juga dia telah berkelebat melompat untuk mengejar. Dadanya serasa mau meledak saking mendongkolnya karena pemuda dungu itu tak memandang sebelah mata terhadapnya.

"Rasakan ini!" bentak si gadis, seraya layangkan kepalanya menghantam tengkuk Nanjar. Merasa ada sambaran angin di belakangnya Nanjar melompat ke sisi menghindar. Pukulan itu meleset. Akan tetapi dengan gerakan cepat gadis itu telah kembali menerjang dengan hantaman-hantaman berikutnya.

"Eit! Eit! apa-apaan, nih?" teriak Nanjar. Dengan terhuyung-huyung dia menghindari serangan si gadis. Akan tetapi dengan gerakan terhuyung itu justru dia telah menghindarkan diri dari serangan-serangan gadis itu.

"Kurang ajar! Lihat serangan!" bentak dara ini. Disamping terkejut dara ini juga terheran karena tampak dengan mudah saja pemuda dungu itu menghindari serangan-serangannya. Padahal dia telah mempergunakan jurus-jurus serangan yang amat berbahaya. Sekali ujung lengannya menyentuh tubuh lawan akan berakibat fatal.

Kembali dia menerjang dengan gencar. Kali ini si gadis tak sungkan-sungkan lagi untuk mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya. Akan tetapi setelah sekian lama menguras tenaga, tetap saja dia tak dapat menyentuh sedikitpun ujung baju pemuda itu. Tiba-tiba dara ini melompat ke belakang dua tombak.

"Bagus! agaknya kau mempunyai kepandaian, bocah dungu! Tapi coba kau hadapi senjataku!" bentak si gadis. Gadis ini keluarkan sesuatu dari balik bajunya. Ternyata sehelai selendang sutera hitam.

Mendadak mata Nanjar jadi membeliak. "Hei! jadi kau..." teriakan kagetnya tertahan karena gadis itu telah menyerangnya. Whuuut! Benda itu telah menyambar ke lehernya.

"Hei! tahan dulu!" teriak Nanjar seraya melompat menghindar. Akan tetapi jawabannya adalah sambaran-sambaran berikutnya. Selendang sutera hitam itu bagaikan seekor ular yang meliuk-liuk ganas menyambar ke arah Nanjar. Terkadang benda itu berubah menjadi kaku bagaikan sebuah tombak.

Tentu saja Nanjar terkesiap melihat serangan-serangan yang berbahaya itu. Terpaksa dia tak main-main lagi menghadapinya. Segera dia pergunakan jurus-jurus lompatan kera dan bangau untuk menghadapi serangan si gadis.

Di jurus keenam belas tiba-tiba dara itu merobah serangan. Kali ini lebih ganas lagi. Setiap serangan dibarengi dengan hantaman telapak tangannya. Gerakan selendang sutera hitam itupun kian cepat. Gulungan bayangan hitam segera mengurung Nanjar dari segenap penjuru.

"Senjata hebat!" puji Nanjar dalam hati. Melihat serangan gadis itu kian berbahaya terpaksa Nanjar mencabut keluar pedang pusakanya. Sinar merah segera memancar dari badan pedang. Dan detik itu pula mendadak Nanjar perdengarkan bentakan keras. Dan... segera tampak gulungan cahaya merah mendesak gulungan bayangan hitam itu.

Si gadis tersentak kaget, karena serangannya dapat dipatahkan pemuda lawannya. Dia memang belum mengetahui asal cahaya merah itu. Namun dengan menggertak gigi dia merobah lagi serangannya. Kali ini dia gunakan serangan-serangan tajam.

Mendadak gadis ini berteriak. "Kena!" Sambaran selendang sutera gadis itu berhasil membelit pedang Naga Merah Nanjar. Nanjar sendiri cukup kagum karena setiap kali pedangnya menebas, selendang sutera itu tak dapat diputuskan. Karena itulah dia sengaja membiarkan pedangnya tergubat selendang sutera lawan.

Tampak sepasang mata dara itu membeliak ketika mengetahui benda yang tergubat senjatanya. Akan tetapi dengan segera dia perdengarkan bentakan. "Lepas!"

Dengan kerahkan tenaga dalam penuh dia sentakkan selendangnya untuk membuat terlepas pedang Naga Merah di tangan Nanjar. Akan tetapi sedikitpun pedang lawan tak bergeming. Bahkan tampak lawannya seperti tenang-tenang saja seperti tak mengeluarkan tenaga untuk menahan tubuhnya dari betotan si gadis. Yang membuat mata gadis itu semakin membeliak adalah pemuda lawannya yang bertampang dungu itu berdiri dengan satu kaki!

"Ayo, gunakan kekuatanmu, gadis cantik!" berkata Nanjar dengan tertawa.

"Keparat!" membentak si gadis. Wajahnya bersemu merah. Dengan menggertak gigi kembali dia membetot. Akan tetapi sia-sia.

"Haha... kalau kau tak sanggup, lepaskan saja selendangmu!" berkata Nanjar lagi.

Gadis itu rasakan wajahnya panas, begitu pula hatinya. Akan tetapi mana dia mau melepaskan senjatanya begitu saja! Benar-benar memalukan! Sungguh dia tak menyangka kalau pemuda bertampang dungu itu ternyata berilmu tinggi. Tampak ada rasa menyesal di wajah dara ini yang memerah pucat.

Di saat dia serba salah itu, tiba-tiba.... "Celaka! Celana ku kedodoran!"

Teriakan pemuda itu membuat si gadis terkejut. Tanpa sadar dia melepaskan cekalan pada selendangnya. Sepasang mata dara ini membeliak melihat ke arah Nanjar. Akan tetapi detik itu juga dia tersadar akan apa yang telah diperbuatnya. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melompat sambil menutupi wajahnya....

"Hei! nona! Tunggu...!" teriak Nanjar. Tapi teriakan itu justru membuat sang gadis mempercepat larinya. Berapa kejap saja tubuh gadis itu telah tak nampak lagi bayangannya.

DUA

Gadis ini berlari dengan terisak-isak. Dia terus berlari dan berlari tanpa tahu kemana arah tujuannya. Kekalahan yang dialaminya telah membuat dia malu. Malu pada dirinya sendiri! Akan ditaruh dimana kini mukanya? Lima tahun berguru dipuncak gunung Betiri ternyata tiada artinya.

Baru beberapa hari turun gunung saja dia telah dapat dipecundangi orang. Apa-lagi harus menebar kebajikan menolong yang lemah dan menindas yang jahat? pikir gadis ini dengan kepala berdenyut-denyut.

"Oh, maafkan aku, guru...! Aku tak dapat mengharumkan nama perguruan Melati Putih! aku... aku..."

Gadis ini tak dapat meneruskan gumamnya, karena saat itu juga dia telah menangis terisak-isak. Ketika suara gemuruh petir terdengar di angkasa barulah dia tersadar. Dilihatnya langit telah kembali terang. Agaknya hujan tak jadi turun!

"Ah, di manakah aku kini?" desisnya terkejut. Sepasang matanya yang masih basah menatap kesekitarnya. Ternyata dia berada di sebuah tempat yang indah. Yaitu di sebuah lereng pegunungan. Hawa sejuk terasa menelusuri kulit tubuhnya. Lapat-lapat telinganya menangkap suara gemuruh air terjun. Lama dia terpaku di tempat itu dengan hati dan pandangan kosong.

Siapakah gadis ini sebenarnya? Dia bernama Srimala murid perguruan Melati Putih yang berdiam di puncak gunung Betiri. Gurunya seorang wanita tua yang masih berparas cantik, tapi kedua kakinya kuntung. Dia bernama Ratna Dumala.

Di samping memiliki ilmu kedigjayaan yang tinggi Ratna Dumala juga seorang yang ahli obat-obatan. Namanya cukup harum di dunia persilatan. Dan gelar Dewi Melati Putih yang disandang cukup di kenal, baik golongan hitam maupun golongan putih.

Ratna Dumala mengundurkan diri, dari dunia persilatan setelah kedua kakinya cacat. Dia mengalami kelumpuhan akibat serangan suatu racun ganas yang sukar diobati. Jalan satu-satunya agar tetap hidup adalah dengan membuntungi kedua kakinya untuk mencegah menjalarnya racun.

"Srimala murid ku!" demikian pada suatu hari Ratna Dumala berkata pada muridnya. "Kukira sudah cukup waktunya kau turun gunung, karena kau sudah menamatkan pelajaran mu! Pergunakanlah ilmu yang kau miliki di jalan kebenaran. Junjunglah nama perguruan Melati Putih! Semoga Tuhan selalu melindungi langkah-langkahmu...."

Terkejut gadis ini mendengar kata-kata gurunya. Serta merta dia bersujud di hadapan wanita itu. "Guru...!? mengapa... mengapa... aku harus turun gunung? Lalu... siapa yang akan merawatmu? Tidak, guru! biarlah aku disini selamanya. Aku tak dapat berpisah denganmu, guru!" berkata Srimala.

"Bocah bodoh! buat apa aku mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan dan lain-lainnya kalau tak kau pergunakan untuk mengabdi pada masyarakat?" membentak Pendekar Melati Putih.

"Tapi, guru..." Sepasang mata gadis ini tampak berkaca-kaca.

"Berangkatlah! jangan pikirkan diriku! aku dapat menjaga diriku sendiri!" bentakan menggeledek itu membuat Srimala terperangah.

"Se.. sekarang guru?"

"Ya! hari ini juga! Ingat! jangan sekali-kali kau berniat kembali lagi kemari! Dan camkan baik-baik wejangan ku....!" sahut wanita tua ini.

"Baik! baiklah guru!" Srimala mengangguk lemah. Sebisa-bisa dia menahan air matanya agar jangan tumpah. Selama lima tahun berguru bersama wanita tua itu Srimala sudah merasa seperti bersama ibunya sendiri. Tentu saja perpisahan itu amat menyedihkan sekali dan terasa berat kakinya untuk melangkah. Akan tetapi dia telah mengenal watak gurunya yang keras. Dan perintah itu tak boleh dibantah.

Setelah mengemasi barang yang perlu di ba-wah, dia segera mohon diri. Berangkatlah Srimala meninggalkan puncak gunung Betiri dengan setetes air mata bergulir ke pi-pinya. Kemanakah dia harus pergi membawa kedua kakinya? Dunia begitu luas. Namun tak tahu kemana dia harus melangkah.

Tiba-tiba Srimala teringat pada keluarganya. Tapi dia tak tahu dimana kampung halaman itu berada. Namun seingatnya dia mempunyai seorang saudara tua yaitu seorang kakak perempuan. Dia bernama Palasari. Akan tetapi kakaknya telah pergi dari kampung halamannya. Minggat dari rumah karena dimarahi ayahnya...

Palasari memang seorang anak bandel! Sejak berusia dua belas tahun dia gemar berkelahi. Sikapnya seperti anak laki-laki. Suatu ketika dia bertengkar dengan seorang anak laki-laki dari desa lain. Dalam perkelahian, anak laki-laki itu telah berhasil dilukai. Kawan-kawannya yang kebanyakan laki-laki mengelu-elukan kemenangannya.

Akan tetapi kejadian itu ternyata berbuntut panjang! Anak laki-laki itu mengadu pada orang tuanya. Celakanya bocah laki-laki itu anak seorang berpangkat di Kota Raja. Akibatnya keluarga mereka harus berurusan dengan Tumenggung itu. Tumenggung itu menyatroni tempat tinggal mereka. Dan habislah ayahnya dimaki-maki dan dihajar sang Tumenggung. Sejak kejadian itu Palasari disekap di rumah. Dia tak boleh keluar.

Dasar bocah bandel! Di luar setahu ayahnya, Palasari melarikan diri. Sejak itu sang kakak perempuan tak pernah kembali ke rumah orang tuanya. Beberapa bulan kemudian terjadilah kekacauan di desanya. Dia tak tahu persis kejadian itu. Yang diketahuinya adalah penduduk desa berlarian ketakutan. Dan bermunculan orang-orang bertampang jahat. Mereka menunggang kuda membakari desa. Masih teringat Srimala teriakan-teriakan penduduk dan ayahnya.

"Perampok! perampok! Celaka! perampok Sapu Jagat!" Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi! karena telah dibawa lari oleh ibunya untuk disembunyikan. Dalam pelukan ibunya dia mendengar bentakan-bentakan dan suara perkelahian! Dilihatnya ibunya pingsan! Dalam ketakutan dia menangis. Tahu-tahu pandangan matanya gelap. Dan dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika dia tersadar di hadapannya ada seorang wanita tua. Itulah si Pendekar Melati Putih, yang kemudian menjadi gurunya.

Srimala tak pernah tahu lagi nasib ayah ibunya, karena setiap dia menanyakan, selalu sang guru berkata. "Akulah pengganti ibumu!"

Sejak itu dan sampai saat ini dia tak pernah bertanya lagi. Demikianlah asal-usul gadis bernama Srimala itu. Ketika dalam perjalanan melewati hutan mencari sebuah desa dia telah berjumpa dengan Nanjar yang berhasil mempecundanginya....

Ketika Srimala tengah termangu-mangu tanpa disadari sepasang mata tengah mengamatinya dari tempat persembunyian dibalik semak. Sepasang mata yang menatap dengan pandangan berbinar-binar karena rangsangan hawa nafsu birahi. Itulah sepasang mata dari seorang laki-laki bermuka lonjong dengan sepasang kumis kecil di atas bibir.

Dengan bibir menyeringai basah seperti seorang gadis yang tengah mengidam melihat mangga muda, dia pelahan-lahan menguakkan semak belukar yang menjadi tempat persembunyiannya.

Suara berderaknya ranting kayu membuat Srimala menoleh. "Siapa kau!" bentak gadis ini dengan terkejut seraya melangkah ke belakang.

"Ah, maaf, nona...! aku telah membuat kau terkejut! Sejak tadi aku sudah berada disini! Namaku Pati Lanang!" berkata orang ini.

"Apa yang kau lakukan di tempat itu?"

"Yang kulakukan? Haha.... aku memang tengah beristirahat di tempat ini sambil melihat pemandangan. Tiba-tiba kau muncul dan berdiri terpaku setelah menangis sesenggukan. Tentu saja aku memperhatikan mu..."

Tersentak Srimala. "Ah, aku terlalu terbawa dengan perasaanku hingga sampai-sampai aku tak mengetahui kalau ada orang dibalik semak! Kalau dia mau berbuat jahat tentu sejak tadi aku telah..." berkata Srimala dalam hati.

"Apakah yang telah membuatmu bersedih hati, nona? Kalau ada kesulitan aku bersedia menolong!" Laki-laki bernama Pati Lanang ini menyapa ramah.

"Ah, terima kasih! aku tidak apa-apa...! Tidak apa-apa!" sahut Srimala dengan cepat. Diam-diam dia memperhatikan laki-laki dihadapannya.

"Jangan berdusta! Katakanlah! tentu ada sesuatu yang telah terjadi denganmu! Apakah kau meragukan diriku! Hm. Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa tak akan membuat kau kecewa!" berkata Pati Lanang.

"Kelana Seruling Dewa? Hm, baru aku mendengarnya!" berkata lirih Srimala.

"Haha... tentu kau baru saja turun gunung. Gelar Kelana Seruling Dewa telah lama terdengar di dunia persilatan! Di wilayah tenggara ini boleh dibilang namaku sudah melangit!" sumbar Pati Lanang dengan tertawa. Sebenarnya dia telah melihat Srimala dari kejauhan. Dari gerakan larinya dia segera mengetahui gadis itu bukan gadis biasa. Dia memang baru saja beranjak naik dari sungai. Begitu gadis itu hampir mendekati, cepat-cepat dia bersembunyi dibalik semak.

"Bukankah kau murid si Pendekar Melati Putih?"

"He? dari mana kau mengetahui?" sentak Sri-mala terkejut. Tentu saja dia tak mengetahui kalau Pati Lanang telah mendengar gumamnya tadi ketika dia terhanyut dalam perasaannya.

Ternyata Pati Lanang pun berterus terang. "Aku mendengar kau bicara sendiri...!" sahut Pati Lanang.

Sikap Pati Lanang yang sopan itu membuat Srimala tak berprasangka buruk terhadap pemuda itu. Hatinya yang bersedih campur mendongkol agak terhibur.

"Keharuman nama Pendekar Merpati Putih telah kudengar sejak belasan tahun yang lalu dari guruku. Senang sekali aku berjumpa dengan murid seorang pendekar wanita ternama yang kesohor dengan ilmu ketabibannya juga berilmu tinggi!" berkata Pati Lanang. "Kalau aku membiarkan kau dihina orang aku akan merasa menyesal sekali..."

Srimala tertegun sejenak. Ditatapnya wajah pemuda itu tajam-tajam. Tak ada tanda-tanda dia orang jahat. Dalam keadaan perasaan tertekan seperti itu kemunculan Pati Lanang membuat dia agak terhi-bur. Hatinya berkata.

"Ah, gurunya kenal baik dengan guruku. Dan dia tampak begitu amat memperhatikan ku..! Mengapa tak ku jalin persahabatan dengannya? Bukankah aku tak mempunyai seorangpun teman di dunia ini? Siapa tahu dia dapat membantu aku memberi petunjuk dimana adanya kakak Palasari!"

"Benarkah kau mau menolongku?" tiba-tiba Srimala ajukan pertanyaan.

"Siapa yang cuma pura-pura? Katakanlah siapa yang telah menghinamu! Segera akan kubuat isi perutnya cerai berai!" sahut Pati Lanang.

Kali ini bibir Srimala unjukkan senyuman. "Namaku Srimala!" berkata gadis ini perkenalkan diri tanpa diminta.

"Nama yang bagus!" sela Pati Lanang dengan tersenyum.

"Aku memang baru saja turun gunung! Tujuanku adalah mencari kakak perempuanku. Dia bernama Palasari."

Selanjutnya Srimala ceritakan mengenai tujuannya yang hendak mencari orang tuanya. Juga dipaparkan tentang kejadian di tengah perjalanan mengenai perjumpaannya dengan seorang pemuda bertampang dungu yang berhasil merebut selendang suteranya.

"Sayang sekali kau tak mengerti nama orang itu!" berkata Pati Lanang dengan masygul. "Tapi tak usah khawatir!" sambungnya. "Aku akan membantumu mencari saudaramu itu. Dan mengenai laki-laki yang telah merebut selendangmu, hm... suatu saat bila aku menjumpainya akan kurampas lagi selendangmu dan kuberi pelajaran dia!"

"Dia seorang pemuda yang berilmu tinggi!"

"Hm, tak peduli ilmunya setinggi langit sekalipun, aku Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa pasti akan mencabut nyawanya!" sahut Pati Lanang dengan membusungkan dada.

"Tapi bukan itu yang ku ingin kau menolongku!" sambar Srimala. "Mengenai senjataku biarlah aku sendiri yang akan merebutnya lagi, aku memang masih penasaran karena dia telah berlaku curang dalam pertarungan itu!"

"Ha? jadi a... apa yang harus kulakukan?" tergagap Pati Lanang.

"Aku hanya perlu bantuan mu untuk mencari kakak perempuan ku!"

"Hoho... jangan khawatir! Pati Lanang kalau mau berniat menolong orang tak kepalang tanggung! Aku pasti akan berusaha mencari kakakmu itu!"

"Terima kasih, Pati Lanang!" Srimala tersenyum. Gadis ini melihat wajah pemuda itu agak berubah ketika dia mengatakan tak memerlukan bantuan untuk merampas selendangnya pada pemuda itu.

Memang Pati Lanang agak kecewa karena dengan kata-kata itu seolah-olah Srimala telah menganggap remeh padanya. Akan tetapi Pati Lanang memang seorang pemuda yang pandai menyembunyikan isi hatinya. Dengan tersenyum dia berkata.

"Adik Srimala! kita telah menjalin persahabatan. Ingin sekali aku memperkenalkan kau pada guruku! Beliau sangat mengagumi gurumu...!"

Srimala sejenak tercenung tak menjawab. Setelah beberapa saat berpikir barulah dia mengangguk. Dia memang memerlukan bantuan pemuda itu, juga perlu menambah pergaulan. Siapa tahu guru pemuda itu mengetahui tentang kakak perempuannya. Di samping itu pemuda itu dapat pula dijadikan teman dalam pencarian kedua orang tuanya. Matahari mulai menggelincir ke arah barat, ketika keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu...

TIGA

Kita beralih pada sebuah bukit di sebelah barat di lereng pegunungan yang memanjang ke arah barat laut. Bukit ini telah sejak lama bernama bukit Gajah. Entah mengapa bernama demikian, karena bentuk bukit itu tidaklah seperti gajah. Yang jelas di atas bukit itu berdiri sebuah perguruan yang bernama perguruan Gajah Sakti!

Pagi itu dua orang penjaga pintu gerbang per-guruan tampak terkejut melihat seseorang telah mun-cul di hadapan mereka. Kedatangannya tak diketahui dari mana munculnya. Akan tetapi segera mereka mengenali siapa yang datang.

"Oh, selamat pagi, den ayu Walet Wungu...! hamba kira siapa..." sapa salah seorang penjaga dengan membungkuk hormat.

Yang dipanggil Walet Wungu ini ternyata seorang wanita bertopeng ungu. Wajahnya tak nampak keseluruhannya, karena tertutup topeng. Yang terlihat cuma sebatas hidung sampai ke dagu. Serta sepasang mata bersinar tajam yang tersembul dari dua buah lubang pada topengnya. Rambutnya terurai tersembul di bagian tengkuk, sedangkan selebihnya tertutup dengan topeng ungu itu.

Akan tetapi dari separuh wajah dan potongan tubuh serta sepasang matanya yang bulat dengan bulu mata lentik itu, dapat diketahui setidak-tidaknya wanita ini berwajah cantik dan usianya di bawah dua puluh tahun. Dara aneh berbaju kembang-kembang berwarna merah itu hanya anggukkan kepala. Lalu melangkah lebar memasuki pintu gerbang.

Sikap yang gagah dan agak angkuh itu memang telah dikenal baik oleh kedua penjaga itu. Puteri majikan mereka yang satu ini memang berbeda dengan yang lain. Masih untung mereka diberi anggukan kepala. Biasanya tak jarang belum sempat disapa, sudah langsung menerobos masuk. Untung saja mereka mengenali, kalau tidak, bisa-bisa anak majikannya itu dibentak!

Ternyata kedatangannya telah ditunggu sejak tadi. Yang menunggu adalah si ketua perguruan Gajah Sakti itu sendiri. Dialah GAJAH SORA yang dikenal dengan nama julukan Pendekar Gajah Lengan Tunggal!

"Bagus! kedatanganmu memang sedang ku nantikan, anakku! Bagaimana mengenai upeti yang bakal dikirim ke Blambangan itu? Apakah kau telah mendengar kabar kapan dikirimkannya?" berkata Gajah Sora.

Walet Wungu membanting tubuhnya ke kursi. Lalu membuka topeng penutup wajahnya. "Kabar buruk, ayah! Telah terjadi suatu kejadian yang tak kita inginkan. Barang upeti itu telah lenyap, dan pak Gendon Kertosono sendiri kudapatkan telah tewas!"

"Hah!?" tersentak kaget Gajah Sora. Hampir tak percaya dia mendengar penuturan anak gadisnya. "Bagaimana sampai terjadi demikian?"

Walet Wungu segera menceritakan apa yang diketahuinya dari mulai dia tiba di tempat kediaman bekas Panglima tua itu, hingga sampai dia mengejar si perampok dan pembunuh keji itu.

"Keparat! apakah kau tak mengetahui siapa perampok jahanam itu?" bertanya Gajah Sora dengan wajah berubah merah padam.

"Dari seorang pengawal gedung yang melihat kejadian itu dan berhasil menyelamatkan jiwanya, perampok itu seorang perempuan yang menutup mukanya dengan cadar hitam! Aku terlambat beberapa saat sebelum terjadi perampokan itu. Sayang aku tak dapat menemuinya dan aku tak tahu kemana larinya manusia itu!" sahut Walet Wungu dengan wajah kecewa.

Sejurus lamanya Gajah Sora terpaku berdiri dengan pandangan mata menatap keluar. "Setan! siapakah perempuan itu?” desis Gajah Sora geram. "Apakah tak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang kalian dapatkan?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar ini.

"Aku menemukan ini, ayah!" sahut Walet Wungu tiba-tiba seraya keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya. Walet Wungu berikan benda itu pada ayahnya. "Benda ini menancap di leher mayat bekas Panglima tua itu!"

Sepasang mata Gajah Sora tiba-tiba membelalak melihat benda kecil berbentuk anak panah, terbuat dari tulang. Pada bagian belakang benda itu dihiasi dengan bulu burung.

"Ini senjata rahasia si Cecak Terbang LAWE WERENG! Heh! Apa maksud manusia itu dengan perbuatan kejinya? Perempuan itu kalau bukan muridnya habis siapa lagi?" berkata Gajah Sora.

"Hal ini tak bisa dibiarkan! Aku akan menemuinya untuk mendapatkan keterangan! Senjata rahasia ini merupakan bukti kuat dan pihaknya bertanggung jawab atas kejadian ini!" berkata lagi Gajah Sora. Air mukanya tampak semakin memerah padam.

Nama perguruan Gajah Sakti memang sudah tak asing lagi di wilayah itu. Bukan saja kejujurannya dalam mengawal barang. Akan tetapi juga kewibawaan serta tanggung jawab si Pendekar Gajah Lengan Tunggal dalam memimpin anak-anak buahnya dapat diandalkan. Hingga tenaganya banyak terpakai oleh orang-orang yang memerlukannya. Bahkan perguruan ini dipercayakan untuk mengawal barang upeti setiap tahun yang di bawa ke Blambangan.

Walet Wungu tahu jelas sifat ayahnya. Pertumpahan darah akan terjadi! Karena.dengan adanya kejadian ini, nama baik perguruan Gajah Sakti akan hancur! Walaupun barang upeti itu belum berada di tangannya, akan tetapi dengan peristiwa itu sebagian mata pencaharian perguruan Gajah Sakti telah lenyap!

"Bagaimana kalau bukan si Cecak Terbang yang melakukan?" cetus Walet Wungu. Sejurus Gajah Sora terdiam. Bisa saja hal itu dilakukan orang lain yang sengaja memfitnah si Cecak Terbang Lawe Wereng, tokoh persilatan yang juga cukup berpengaruh di wilayah itu.

"Apakah ada orang yang sengaja mengadu-domba?" pikir Gajah Sora. "Kalau si Cecak Terbang yang melakukan rasanya tak mungkin karena yang melakukannya adalah seorang perempuan. Bagaimana kalau ternyata si Cecak Terbang tak mempunyai seorang murid perempuan? Seandainya dia memang mempunyai, toh muridnya tak sebodoh itu untuk melakukan perbuatan tolol meninggalkan sengaja rahasia di leher korbannya!"

"Aku akan bicara baik-baik padanya!" akhirnya Gajah Sora menyahuti dengan suara lemah. Walet Wungu menarik napas lepas.

"Ya, hal itu memang harus dibicarakan baik-baik! Siapa tahu ada orang yang sengaja mengadu-domba!" selesai berkat Walet Wungu segera minta diri pada sang ayah. Gajah Sora mengangguk. "Ah, dalam usia semuda itu Walet Wungu ternyata punya pandangan juga! Aku selalu memperturutkan hawa nafsuku saja hingga tak terpikir olehku akan akibatnya..." gumam Gajah Sora. Bibir laki-laki ini tersenyum. Tampak dia amat bangga dengan anak gadisnya yang satu ini.

Mengingat Walet Wungu dia jadi teringat pula pada anak laki-lakinya. "Sayang, tampaknya Walet Wungu kurang akrab dengan Pati Lanang. Tampaknya dia tak berjodoh untuk menjadi suami istri. Aku tak dapat memaksakan kehendak mereka. Biarlah mereka memilih pasangan sendiri-sendiri...!" berkata hati Gajah Sora. Sekilas terbayang di mata laki-laki tua ini pada masa lima tahun yang silam, dimana dia menemukan gadis itu.

Gadis cilik itu ditemukan dalam keadaan bertarung dengan tiga orang anak laki-laki. Dia terkesan pada gadis kecil itu yang dengan keberanian luar biasa menghadapi ketiga anak laki-laki bengal yang mau mengganggunya. Walaupun dia tak memiliki ilmu silat, tapi keberaniannya luar biasa. Dua orang lawannya telah dibuat merintih kesakitan. Yang seorang tulang keringnya dihantam dengan sepotong kayu, sedang yang seorang lagi matanya ditaburi tanah.

Akan tetapi menghadapi yang satu ini tampaknya si gadis kecil agak kewalahan. Selain tubuhnya lebih besar, juga lawannya ini memiliki ilmu kepandaian silat. Hingga tak heran kalau akhirnya gadis kecil itu roboh terjungkal. Sebelum kejadian selanjutnya berlanjut, Gajah Sora telah menolongnya.

Sejak itu si gadis kecil tinggal bersamanya hingga sampai saat ini. Dan dia telah mengakuinya sebagai anaknya sendiri. Berbeda dengan anak laki-lakinya. Pati Lanang adalah anak saudara misannya yang dititipkan padanya.

Akan halnya saudara misannya itu Gajah Sora tak mengetahui kemana perginya karena sampai Pati Lanang dewasa tak pernah muncul. Tak diketahui lagi apakah masih hidup atau sudah mati. Pati Lanang dititipkan sejak berusia sepuluh tahun. Dan dia telah menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

EMPAT

Kemunculan Pendekar Gajah Lengan Tunggal di rumah perguruan si Cecak Terbang Lawe Wereng bersama Walet Wungu yang menemaninya membuat terkejutnya ketua perguruan ini.

"Ada apakah gerangan maksud kedatanganmu, sobat Gajah! Ah, tentunya ada hal yang sangat penting, karena kau telah sudi melangkahkan kakimu ke tempat ku yang buruk ini!" berkata Lawe Wereng dengan sikap terkejut.

"Kalau tidak penting, buat apa aku datang kemari?" sahut Gajah Sora dengan suara agak sedikit ketus. Pendekar tua ini masih saja tak dapat menahan perasaannya. Itulah sebabnya Walet Wungu ikut menemani ayahnya karena khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan, walaupun Gajah Sora melarangnya ikut.

"Silahkan berbicara di dalam, sobat Gajah. Maafkan penyambutan yang kurang sopan karena kau tak memberitahukannya terlebih dulu....!"

"Cukuplah disini saja, Cecak Terbang!" sambar Gajah Sora yang hanya menyebut nama Lawe Wereng dengan gelarnya. Walet Wungu kedipkan mata pada Gajah Sora, mengingatkan agar pembicaraan tidak menyinggung perasaan Lawe Wereng.

"Kedatanganku adalah dengan maksud..." Segera Gajah Sora tuturkan maksud kedatangannya. Dengan seksama Lawe Wereng dengarkan penuturan Gajah Sora. Tersentak laki-laki bertubuh kurus ini melihat Gajah Sora mengeluarkan sebuah benda dihadapannya.

"Anakku Walet Wungu telah menemukan benda ini yang menancap di leher bekas Panglima Kerajaan itu! bukankah ini senjata rahasia milikmu?"

Sejenak Lawe Wereng tak mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering, dia berkata. "Tidak salah! benda ini memang senjata rahasiaku!"

"Bagus kalau kau mengaku!" Gajah Sora akan melanjutkan kata-katanya, akan tetapi buru-buru Lawe Wereng memotong.

"Sabar dulu sobat Gajah! Benda ini memang milikku akan tetapi sangat heran mengapa bisa menancap di leher mayat bangsawan tua itu? Aku tak merasa telah memberikannya pada seorangpun murid-muridku. Dan bahkan aku tak mempunyai seorang murid atau anak perempuan!" tandas Lawe Wereng.

"Aku sudah menduga kau akan memberikan alasan. Dan aku tahu apa akibat kejadian itu?" dengus Gajah Sora.

Merahlah wajah Lawe Wereng. "Aku cukup maklum dengan sebab kejadian ini. Namun harap kau mengerti, walaupun nama perguruanku tak sebesar pengaruh perguruan Gajah Sakti akan tetapi pantang bagiku menepuk dulang memercikkan air ke muka sendiri! Sebagai seorang pendekar yang banyak makan asam-garam kukira kau lebih berpandangan sempurna, sobat Gajah!"

Sejurus lamanya Gajah Sora terdiam. Saat itu dipergunakan Walet Wungu untuk tampil bicara. "Maafkan kami, paman Lawe Wereng. Bukan maksud kami menuduh pihak perguruan melakukan kecurangan. Setidak-tidaknya hal ini adalah wajar. Karena dengan bukti adanya benda itu kukira pamanpun akan bersikap seperti kami bila kejadian ini menimpa diri paman sendiri..." Kata-kata Walet Wungu menghilangkan rona merah di wajah laki-laki tua itu. Tampak dia menghela napas, manggut-manggut.

"Benar katamu itu, akan tetapi berilah kami waktu untuk memikirkan hal ini. Aku akan memeriksa keadaan di rumah perguruanku. Aku merasa ada hal yang tidak beres!" kata Lawe Wereng dengan wajah muram. Lalu berpaling pada Gajah Sora. "Sobat Gajah! kita telah lama menjalin persahabatan. Kukira kaupun harus maklum dengan keadaanku. Sejak aku menetap di wilayah ini, aku tak pernah menghubungi kawan-kawanku seperti ketika aku masih gentayangan di Rimba Hijau. Bahkan aku telah lupa siapa musuh-musuhku!" ujarnya. Kemudian melanjutkan.

"Tentu saja dengan adanya kejadian yang merusak nama baikku ini tak dapat kubiarkan begitu saja! Aku turut bertanggung jawab atas kejadian ini. Aku akan kerahkan orang-orangku untuk melacak jejak si perampok perempuan itu. Kalau memang ada diantara orang-orangku yang terlibat kejadian ini, tak segan-segan aku memberi hukuman berat!"

Akhirnya kemarahan Gajah Sora pun lenyap. Sikap si Cecak Terbang Lawe Wereng menandakan dia seorang yang jujur dan tegas. Air mukanya tak menun-jukkan bahwa laki-laki tua itu berdusta. Ketegasan itu dapat terlihat dari pancaran matanya yang berapi-api. Jelas! siapa yang tak marah kalau dirinya telah difitnah orang?

Gajah Sora yang telah kembali tenang dan lenyap kemarahannya, menghampiri jago tua yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya itu. Ujarnya dengan menepuk pundak laki-laki kurus ini.

"Maafkan kekasaran ku padamu, sahabatku...! Sungguh aku malu pada anakku sendiri! Hampir saja terjadi hal yang tak kita inginkan. Kini hatiku bersih, sobat Lawe. Tanggung jawabmu adalah tanggung jawab kita semua kaum pendekar penegak kebenaran! Akupun sudah lama tak gentayangan di dunia persilatan! Agaknya tulang-tulangku yang hampir rapuh ini masih bisa dipergunakan lagi untuk membekuk si pengadu domba itu!"

"Kau masih mengakui aku sahabatmu?" tanya Lawe Wereng membelalak.

"Mengapa tidak?" sambar Gajah Sora dengan tertawa.

Apa yang terjadi kemudian? Kedua jago tua itu sama-sama tertawa gelak-gelak. Kedua lengan mereka sama terkepal menyatu.

"Kita akan tetap menjadi sahabat sampai mati!" berkata Gajah Sora diantara derai tawanya. Tiba-tiba Gajah Sora melepaskan genggamannya.

Sret!

Gerakan Gajah Sora begitu cepat. Tahu-tahu lengan Lawe Wereng mengeluarkan darah tergores kuku Gajah Sora.

"Hei! apa artinya ini?" sentak Lawe Wereng terkesiap.

Walet Wungu dan belasan murid Cecak Terbang pun sama-sama terkejut. Wajah kegembiraan mereka sekonyong-konyong lenyap. Akan tetapi mereka jadi membelalakkan mata karena tiba-tiba laki-laki ketua perguruan Gajah Sakti itu melukai lengannya sendiri.

"Untuk mengekalnya persahabatan kita bagaimana kalau kita mengangkat saudara?"

Kata-kata Gajah Sora bagaikan air yang tiba-tiba menyiram bara panas. Seketika wajah Lawe Wereng menampilkan keterkejutan yang membuat matanya melotot karena tak percaya pada pendengarannya.

“Kau bersungguh-sungguh, sobat Gajah Sora?" tanyanya dengan suara parau terkesima. Hampir-hampir dia menyangka buruk pada Gajah Sora.

"Ya! apakah kau tak bersedia?" Bibir laki-laki ini unjukkan senyuman dengan sepasang mata menatap tak berkesiap pada laki-laki kurus itu.

Sebagai jawaban, kaki Lawe Wereng maju selangkah dan... lengannya meluncur menghantam dada Gajah Sora. Semua orang menahan napas. Apa yang terjadi? Dengan gerakan kilat Gajah Sora telah menangkis hantaman itu. Dua buah lengan saling bentur dan menempel dengan erat.

Dua jenis darah yang mengalir dimasing-masing lengan segera menyatu. Tampak kedua tubuh jago tua itu bergetar. Mendadak Gajah Sora terhuyung ke belakang dua langkah. Sedangkan si Cecak Terbang terhuyung satu langkah.

Ternyata benturan itu bukan main-main, karena masing-masing jago tua itu telah mempergunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk saling gempur. Walet Wungu terkesiap. Nyaris dia melompat dari tempat berdirinya. Bahkan dari pihak anak-anak buah si Cecak Terbang sudah melangkah maju empat orang pemuda.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora membelah ketegangan. "Bagus! tenaga dalammu setingkat di atasku, rayi Lawe...!"

"Ah, kakang Gajah! kau sengaja mengalah! kalau kau sungguh-sungguh mana mungkin aku menandingi kehebatanmu?" berkata Lawe Wereng.

Dengan kejadian segebrakan itu resmilah pengangkatan saudara kedua jago tua itu. Selanjutnya yang terdengar adalah derai tawa membahana di halaman perguruan itu. Kedua jago tua itu sama-sama berpelukan. Kejadian yang mendebarkan hati itu diakhiri dengan sorak-sorai murid-murid si Cecak Terbang.

Hampir saja mereka menyangka akan terjadi pertarungan. Walet Wungu menarik napas lega. Walau sebenarnya dia kurang sepenuju dengan sikap Gajah Sora sang ayah angkat-nya yang telah bertindak terlalu jauh.

LIMA

Kegembiraan itu mendadak lenyap ketika dua orang murid perguruan Gajah Sakti berlari-lari menghadap Gajah Sora dan Walet Wungu dengan diantar oleh seorang penjaga pintu gerbang. Walet Wungu telah melompat memburu.

"Ada apa yang terjadi, Sarpan? Komal? cepat katakan!" bentak dara ini dengan paras berubah tegang.

"Ce.. celaka, den ayu! anu... seorang perempuan bertopeng te... telah memasuki pesanggrahan Gajah Sakti! Dia mengamuk membantai kawan-kawan kami! Ilmunya sangat tinggi! Kami... kami kewalahan...!" berkata Sarpan dengan napas memburu terasa hampir putus.

"Hah!?" Hampir berbareng ketiga orang dari dua perguruan ini terkejut.

"Keparat! Pasti si perampok perempuan bedebah itu!" sentak Gajah Sora dengan wajah pucat. Detik itu juga Gajah Sora telah berkelebat melompat yang diikuti oleh Walet Wungu dan si Cecak Terbang Lawe Wereng. Sebelum menyusul mereka masih sempat laki-laki ini berkata.

"Tutup pintu gapura! Dan berjaga-jaga, siapa tahu sepergian ku iblis perempuan itu datang kemari!" Selesai memberi perintah, jago tua dari pulau Nusa Barung ini berkelebat menyusul Gajah Sora dan anak gadisnya. Dalam beberapa kejap saja bayangan ketiga orang itu telah lenyap dibalik bukit....

Alangkah terkejutnya Gajah Sora yang telah tiba lebih dulu, melihat keadaan di halaman pesanggrahan telah bergeletakan murid-muridnya. Dua orang penjaga pintu gerbang pesanggrahan terkapar tak bernyawa dengan leher terkoyak hampir putus! Belasan orang murid lainnya bergeletakan di sekitar halaman gedung. Pucat pias bagai tak berdarah air muka Gajah Sora. Detik itu juga dia telah berkelebat memasuki pintu gedung yang tampak hancur berantakan.

Walet Wungu dan Lawe Wereng yang telah menyusul tiba, tertegun di pintu pesanggrahan. Tapi segera memburu untuk memeriksa mayat-mayat yang berserakan. Sedangkan Lawe Wereng melompat ke sekitar pesanggrahan untuk mencari jejak iblis perempuan itu.

"Keparat! dia telah angkat kaki dari sini!" desis Gajah Sora.

Bersama Walet Wungu mereka memeriksa setiap ruangan di dalam pesanggrahan. Sementara Lawe Wereng berjaga-jaga di luar. Akan tetapi manusia iblis itu tak tampak batang hidungnya. Bukan kepalang terkejutnya Gajah Sora ketika melihat kamarnya porak poranda. Dan mendapatkan sebuah senjata rahasia berbentuk anak panah menancap pada sehelai kertas di atas meja. Dijumputnya kertas itu dengan lengan bergetar. Tampak sepotong kalimat tertulis di atas kertas itu.

"Gajah Sora! kalau kau mau mengetahui siapa diriku, silahkan datang ke ISTANA KUNO! Sekalian kau melihat anakmu si Pati Lanang yang kujadikan tawananku!"

Bagai disambar petir Gajah Sora tersentak kaget. Walet Wungu muncul di pintu kamar. "Apa yang kau dapatkan, ayah?" gadis ini memburu ke arah ayah angkatnya dengan perasaan khawatir. Dilihatnya Gajah Sora berdiri menjublak bagai patung.

"Ini! bacalah!" katanya seraya berikan kertas itu pada Walet Wungu. Dia sendiri segera melompat untuk memeriksa lemarinya. Kemarahan membakar dada laki-laki tua ini karena diketahuinya peti tempat penyimpanan barang-barang berharganya telah lenyap. Dan sebuah kitab yang disembunyikan di rak paling bawah turut lenyap.

"Kurang ajar! dia telah membawa pula kitab pusaka Mega Mendung!"

Brakkk!

Sekali lengannya mengayun hancurlah lemari kayu jati itu! Gajah Sora telah menyalurkan kemarahannya. Walet Wungu sampai melompat karena terkejutnya. Sementara Walet Wungu masih termangu-mangu dengan mata membelalak setelah membaca tulisan di kertas itu, Gajah Sora sudah melompat keluar.

"Keparat! Iblis perempuan itu telah merat!" berkata Gajah Sora dengan langkah lesu menghampiri si Cecak Terbang Lawe Wereng.

"Apa yang harus kita lakukan? Aku bersedia membantumu, kakang Gajah!" kata Lawe Wereng dengan sepasang lengan terkepal.

"Perempuan iblis itu sungguh pengecut!" makinya dengan geram.

Dia dapat merasakan kegusaran hati Gajah Sora. "Aku telah mengitari sekitar pesanggrahan. Tak ada tanda-tanda manusia iblis itu masih berada di se-kitar tempat ini...!" ujarnya pula.

"Apakah kau mengetahui letak ISTANA KUNO? Kita harus mengejarnya kesana!" Tiba-tiba Gajah Sora berkata dengan menatap tajam Lawe Wereng.

"Bagaimana kau bisa mengetahui iblis itu ada disana?" tanya Lawe Wereng.

"Aku menemukan secarik kertas yang ditulis iblis perempuan itu!" Lalu Gajah Sora segera ceritakan mengenai isi surat itu dan mengatakan pula tentang hilangnya barang-barang pusakanya.

"Jadi anakmu berada disana?" sentak Lawe Wereng terkejut.

"Ya! Iblis itu telah menawannya!" sahut Gajah Sora dengan geram. Tampak sorot mata laki-laki tua ini menyorotkan dendam.

Setelah agak lama tercenung, Lawe Wereng berkata. "Ketika aku masih senang mengembara, aku memang pernah melihat adanya sebuah reruntuhan sebuah istana. Ya, sebuah istana tua yang cuma tinggal reruntuhannya saja. Apakah tempat itu yang dimaksudkan?"

"Kalau memang cuma satu-satunya istana tua itu kukira benarlah dugaanmu! Apakah kau masih ingat di wilayah mana?" berkata Gajah Sora dengan wa-jah bersemangat.

"Dimana ya...? tunggu dulu! aku akan mengingat-ingatnya!" Selang beberapa saat. "Ya! aku ingat sekarang! akan tetapi kita harus mencari jalan masuk ke tempat reruntuhan Istana Kuno itu yang aku agak lupa lagi. Namun kau tak perlu khawatir. Aku akan berusaha untuk menemukannya!" ujar Lawe Wereng.

"Bagus! terima kasih atas bantuanmu, rayi Lawe!" kata Gajah Sora seraya menepuk bahu saudara angkatnya.

"Kini bukan saatnya berbasa-basi, kakang Gajah! Sudah menjadi tugas dan kewajiban setiap kaum putih untuk menumpas kebatilan yang tegak di bumi ini! Aku akan mempertahankan selembar nyawaku ini Untuk kepentingan umat manusia!"

Gajah Sora menatap si Cecak Terbang dengan terharu. Dan kedua lengan mereka kembali terkenal menyatu. Kedua jago tua ini sama-sama tersenyum. Saat itu Walet Wungu datang lambat-lambat menghampiri.

"Kau akan ikut serta, anakku?" tanya Gajah Sora tatkala dia menoleh ke arah gadis itu.

Walet Wungu tak buru-buru menjawab. Setelah tercenung sejenak dia berkata. "Apakah ini bukan suatu jebakan, ayah?"

"He, jebakan atau bukan, bukan masalah."

"Hm, jebakan atau bukan, tidak masalah! Apakah aku harus berpeluk tangan dengan kejadian ini? Dan aku harus membebaskan kakakmu Pati Lanang dari cengkeramannya!" sahut Gajah Sora dengan suara tegas!

"Sebaiknya Wulung Sari tak usah ikut. Dengan tenaga kita berdua mustahil kalau kita tak dapat mengalahkannya!" Lawe Wereng turut buka suara.

"Ya! ya! kukira demikian!" tukas Gajah Sora. Dia memang berpendapat anaknya tak perlu ikut. Kalau terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, siapa yang harus membalas dendam kelak? Sedangkan mati hidup Pati Lanang belum lagi diketahui. "Haih! mengapa ulah bocah itu bisa tertawan si perempuan iblis?" berkata dia dalam hati.

"Baiklah, anakku! saran paman Lawe kukira baik sekali! Kalau dalam tiga hari kami tak kembali, pergilah kau ke Blambangan! Ceritakan hal ini pada Raden WIRAKRAMA!"

Selesai berpesan Gajah Sora berkelebat pergi yang disusul oleh si Cecak Terbang Lawe Wereng. Sebentar saja kedua jago tua itu telah lenyap dari pandangan mata Walet Wungu...

Gadis ini terpaku lama di tempat berdirinya. Hatinya kalut! Sekejap mata keadaan telah menjadi berubah semrawut. Ditatapnya mayat-mayat orang-orang perguruannya yang bergelimpangan di sekitar halaman pesanggrahan. Pada saat itulah ketika Walet Wungu baru saja mau beranjak masuk ke dalam gedung, telinganya menangkap gerakan lari dari seseorang yang mendekati tempat itu. Selang sesaat sesosok tubuh muncul di pintu pesanggrahan.

Dia seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun. Berpakaian warna kuning dengan ikat kepala dari kulit biawak. Wajah pemuda ini seperti menampilkan keterkejutan melihat keadaan di halaman pesanggrahan Gajah Sakti. Sebentar saja Walet Wungu telah mengetahui siapa adanya pemuda itu.

"Hm, Jalapaksi...! mau apa dia kemari?" berkata dalam hati Walet Wungu.

Pemuda ini telah memburu ke arah gadis itu. "Ah, apakah iblis perempuan itu tak keburu dipergoki? kemanakah guru-guru kita?" tanya Jalapaksi dengan wajah tampak prihatin.

"Beliau mengejar iblis itu! Kami terlambat....! Dia telah melarikan diri!" sahut Walet Wungu pendek. Tampaknya Walet Wungu agak risih dengan kemunculan pemuda si Cecak Terbang ini.

"Perempuan iblis itu sungguh kejam! Kalau terjadi apa-apa dengan guru kita, hidupku tak akan tenteram sebelum melumatkan tubuhnya!" berkata Jala-paksi dengan wajah menampakkan kemarahan. Sepasang matanya berkilat-kilat menjalari sosok-sosok mayat murid-murid Gajah Sora yang bergelimpangan. Walet Wungu seperti tak mendengar kata-kata pemuda itu. Dia duduk menjublak di tangga undakan dengan mata menatap kosong ke pintu gapura.

Lambat-lambat Jalapaksi menghampiri. "Sudahlah, Walet Wungu...! Mari kita kebumikan jenazah saudara-saudara kita ini. Aku akan membantu mu!" Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Jalapaksi segera bekerja cepat membersihkan halaman pesanggrahan dari mayat-mayat. Di bagian belakang gedung pesanggrahan Jalapaksi menggali lubang yang cukup besar.

Walau hatinya kurang senang dengan kemunculan Jalapaksi namun kedatangan pemuda itu telah membuat Walet Wungu menarik napas lega. Karena meringankan pekerjaannya mengebumikan para jenazah itu.

ENAM

Siapakah Jalapaksi ini? Apakah gerangan yang tersembunyi dibalik dada pemuda ini? Dia adalah murid utama si Cecak Terbang. Murid yang diandalkan untuk kelak menjadi penerus cita-cita sang guru. Sudah sejak lama Jalapaksi jatuh hati pada Walet Wungu anak angkat ketua perguruan Gajah Sakti itu.

Sikapnya yang agak kurang ajar pernah membuat marah gadis cantik yang agak angkuh dan pendiam ini. Itulah sebabnya Walet Wungu tak senang dengan kemunculannya.

Malam itu Walet Wungu tak dapat memicingkan matanya. Disamping khawatir dengan kejadian yang tak diinginkan dengan adanya Jalapaksi yang menginap di pesanggrahan itu, pikirannya juga tak tenang memikirkan gurunya yang pergi menyatroni si iblis perempuan di Istana Kuno. Ternyata sampai pagi hari tak ada kejadian apa-apa. Jalapaksi tertidur di luar gedung. Pemuda itu agaknya kelelahan setelah siang harinya menguras tenaga....

Baru saja Walet Wungu menguakkan pintu gedung, pemuda itu telah melompat bangun. "Ah, sudah siang agaknya...!" katanya dengan mengucak-ucak matanya. Lalu menoleh pada Walet Wungu. "Kau baru saja bangun, Walet Wungu? Tentu tidurmu nyenyak sekali!"

Walet Wungu tak menyahut. Seraya melangkah keluar dia berkata. "Kalau kau mau menunggu gedung pesanggrahan ini kuucapkan terima kasih! Akan tetapi aku tak dapat berlama-lama disini, karena aku ada urusan yang harus kuselesaikan!"

"Ha? kau mau kemana Walet Wungu?" sentak Jalapaksi.

"Kukira kau tak perlu mengetahuinya...!" sahut si gadis dengan sikap acuh.

Jalapaksi jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Hm, kau masih marah padaku, Walet Wungu?" berkata pemuda itu seraya melangkah menghampiri.

Tapi Walet Wungu telah melompat menjauh dan berkelebat meninggalkan pesanggrahan Gajah Sakti. Tentu saja membuat Jalapaksi terperangah. Tak berayal lagi dia segera melompat mengejarnya.

"Tunggu, Walet Wungu!" teriak pemuda ini. Akan tetapi Walet Wungu tak menghiraukan teriakan itu. Bahkan mempercepat gerakan larinya dengan menggunakan ilmu kepandaian berlari cepat yang dimilikinya.

"Hm, agaknya dia mengajakku mengadu kepandaian! bagus! akan kutunjukkan kemampuannya!" berkata Jalapaksi dalam hati. Detik itu juga dia telah melesat mengejar si gadis puteri Gajah Sora.

Gerakan lari Walet Wungu memang sesuai dengan nama julukannya, tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor Wa-let yang lincah. Akan tetapi pemuda itu tak kalah lin-cahnya mengejar sang Walet! Bahkan selang beberapa saat...

"Tunggu! tahan dulu larimu, Walet Wungu!"

Hebat sekali gerakan si pemuda murid si Cecak Terbang ini, membuat gadis itu tersentak kaget karena dalam beberapa saat saja sudah tersusul. Dan mendahului menghadang di hadapannya.

"Apakah yang kau inginkan?" berkata Walet Wungu dengan ketus.

"Aku perlu menanyakan padamu kemana tujuanmu?" berkata Jalapaksi. "Guru kita telah mengikat tali persaudaraan, mengapakah kau tetap bersikap demikian terhadapku?"

Walet Wungu tak menyambut. Dia pelengoskan wajahnya. "Kalau memang masih ada ganjalan di hatimu terhadap sikapku yang membuat kau tersinggung, harap kau sudilah untuk memaafkan...." sambung Jalapaksi dengan suara sungguh-sungguh. Lalu lanjutkan lagi kata-katanya karena gadis itu masih tetap saja membisu.

"Aku cukup prihatin dengan kejadian yang telah menimpa perguruanmu, juga mengenai kepergian guruku. Seandainya kau adalah aku tentu dapat kau bayangan perasaanku!"

"Aku akan menyusul guru ke Istana Kuno!" akhirnya Walet Wungu membuka suara.

"Istana Kuno?" sentak Jalapaksi terkejut. "Apakah kau mengetahui dimana letaknya?"

Walet Wungu sejenak tercenung, lalu menggeleng. Meledaklah tertawa Jalapaksi.

"Haha... kau mau menyusul gurumu tapi tak mengetahui tempatnya...? Suatu pekerjaan yang sia-sia!"

"Mengapa sia-sia? aku dapat menanyakan pada orang yang mengetahui tempat itu!" sambar Walet Wungu tegas.

"Pendapatmu benar! akan tetapi... ada baiknya kita mencarinya bersama-sama! Akupun perlu mengetahui keadaan guruku!" tukas Jalapaksi.

"Sebenarnya..." Akhirnya Walet Wungu ceritakan juga kejadian di pesanggrahan Gajah Sakti sejak mereka tiba, hingga akhirnya kedua guru mereka pergi menyusul si iblis perempuan itu.

"Ah, kalau begitu mengapa sebaiknya kau turuti perintah ayahmu, pergi ke Blambangan memberitahukan hal ini pada Raden Wirakrama...!" ujar Jalapaksi setelah mendengar penuturan Walet Wungu.

"Sebaiknya memang demikian, akan tetapi aku amat mengkhawatirkan keadaan guru! Iblis perempuan itu sedemikian mudahnya membunuhi orang-orang pesanggrahan Gajah Sakti, bahkan telah menawan pula kakak seperguruanku, tentu ilmunya luar biasa tingginya...!" sahut Walet Wungu dengan suara datar.

Sejurus Jalapaksi terdiam. "Lalu bagaimana keputusanmu?" tanyanya kemudian.

"Aku akan tetap pergi menyusul ke Istana Kuno!" sahut Walet Wungu tegas. Tampaknya niat gadis itu tak dapat dirubah.

Jalapaksi yang mengetahui watak dara itu tak dapat berkata apa-apa lagi. "Kalau demikian, marilah kita berangkat menyusul beliau!" berkata pemuda itu.

Walet Wungu kali ini tak dapat menolak lagi. Dia mengangguk pelahan, seraya balikkan tubuh dan berkelebat dari situ. Jalapaksi segera menyusul dengan merendengi dara itu di sebelahnya.

"Bagaimana kalau kita ke arah selatan saja?" kata Jalapaksi. "Di wilayah itu berdiam sahabat baik guruku. Kita dapat menanyakan padanya mengenai letak Istana Kuno itu!"

"Baiklah...!" sahut Walet Wungu. Berkelebatanlah dua sosok tubuh kedua muda-mudi itu menuju arah selatan. Dalam beberapa saat saja keduanya telah tak kelihatan lagi. Lenyap di balik perbukitan.

Sesosok bayangan tubuh manusia tampak membututi kedua remaja itu. Siapa adanya orang ini belum bisa diketahui. Akan tetapi yang jelas dia telah mendengar semua percakapan kedua pemuda dan pemudi itu!!

TUJUH

Kita beralih ke lain tempat.... Sesosok tubuh dengan gerakan cepat tampak berlari-lari menuruni lereng perbukitan. Gerakan larinya secepat terbang sehingga yang terlihat cuma bayangan tubuhnya saja.

Ternyata sosok tubuh itu memondong seseorang yang dipanggul di atas pundaknya. Siapa adanya dia? Ketika melewati sisi hutan tiba-tiba bermunculan sosok-sosok tubuh berpakaian hitam yang mencegatnya.

"Berhenti!" Dari puncak yang tinggi meluncur turun sebuah bayangan kuning. Gerakannya ringan saja tanpa menimbulkan suara ketika sepasang kaki orang itu menjejak di tanah. Tampak seorang laki-laki tinggi kurus mengenakan pakaian warna kuning berlengan lebar telah berdiri menghadang di tengah jalan yang bakal dilalui orang itu.

Orang yang memondong sosok tubuh di pundaknya itu kiranya seorang pemuda bertampang tolol yang tiada lain adalah Nanjar alias si Dewa Linglung.

"Heh! apa yang kalian inginkan, begal-begal tengik?" berkata Nanjar dengan hidung mendengus. Nanjar mengawasi para penghadang itu yang jumlahnya tak kurang dari lima belas orang. Kesemuanya memakai pakaian hitam-hitam dengan pinggang menyoren senjata. Kecuali si laki-laki baju kuning itu yang tampaknya bertangan kosong.

"Hehehe... kami memang para begal yang ditugaskan membegal setiap orang yang lewat di tempat ini. Akan tetapi kami tak akan membegal harta benda, melainkan nyawa yang akan kami begal. Kecuali... hehe.... kecuali gadis yang berada dipundakmu itu. Mungkin umurnya masih bisa diperpanjang beberapa hari!" berkata laki-laki baju kuning bermata nyalang itu dengan tertawa menyeringai.

"Kurang ajar! siapa yang telah perintahkan kalian dengan tugas gila itu? Aku toh cuma lewat saja tanpa mengganggu atau berbuat apa-apa! mengapa setiap orang yang lewat harus dibunuh?" bentak Nanjar dengan mata mendelik gusar.

Akan tetapi si baju kuning ini telah memberi tanda pada anak buahnya untuk segera turun tangan. Belasan orang berpakaian serba hitam itu serentak berlompatan mengurung si Dewa Linglung dengan masing-masing telah mencabut senjatanya.

"Bagus! Haha... kuperingatkan pada kalian, menyingkirlah kalau masih mau selamat. Kalau kalian membandel tahu sendiri akibatnya!" berkata Nanjar dengan jumawa. Seperti tiada menghiraukan adanya bahaya, seenaknya saja pemuda ini melangkah terus.

"Bocah sombong!" membentak salah satu dari pengurungnya. Orang ini bersenjatakan sebuah golok besar yang punggungnya bergerigi. Dengan kecepatan tak terduga dia telah ayunkan goloknya ke arah dada diiringi bentakan. "Lepas nyawamu!" Akan tetapi sebelum senjatanya mengenai sasaran tahu-tahu orang ini menjerit ngeri. Goloknya terpental, sedangkan orangnya roboh terjungkal dengan tubuh kaku.

Terkejut para pengepung lainnya. Sedangkan si baju kuning kerutkan keningnya dengan tersentak kaget. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekilat gerakan lengan pemuda itu ketika menyelinap ke balik baju. Dan sebuah benda kecil sebesar kacang atau memang sebutir kacang, telah meluncur menghantam pergelangan tangan si brewok. Gerakan selanjutnya sedemikian cepatnya. Tahu-tahu lengan pemuda itu telah terjulur menotok tengkuk laki-laki brewok itu. Dan terjadilah seperti apa yang telah dilihatnya.

Melihat kawannya roboh, yang lainnya segera menerjang dengan senjata-senjatanya. "Kalian mencari penyakit!" bentak Nanjar. Lengannya menghantam ke depan. Tiga orang menjerit ngeri. Tubuh mereka terlempar tak bangkit lagi. Karena ketiga orang itu merasa urat-urat tubuhnya menjadi kaku.

Beberapa batang golok yang menyambar dari arah kiri dan kanan cuma mengenai tempat kosong. Akan tetapi akibatnya harus mereka tanggung, karena diiringi satu bentakan keras, empat tubuh penyerang ini terlempar dengan perdengarkan jeritan parau.

Sisanya delapan orang penyerang ini terkejut karena tahu-tahu lawannya telah berada di hadapan mereka. Empat orang menyurut mundur. Akan tetapi empat orang lagi menerjang dengan beringas. Nanjar menggerutu dalam hati.

"Penyakit di depan mata masih tak mau menyingkir? rasakan ini!" Dewa Linglung angkat sebelah lengannya. Cahaya putih menebar. Dan empat orang ini bagaikan diterjang angin seloka terlempar dengan jeritan setinggi langit!

Mendelik sepasang mata si baju kuning melihat dalam waktu sebentar saja belasan anak buahnya telah berkaparan di tanah. Yang lainnya masih untung, karena cuma tertotok saja. Akan tetapi yang empat orang telah tewas, dengan tulang dada remuk! Karena geramnya Nanjar telah terlepas tangan dan menyarangkan pukulan Naga Saktinya. Itupun cuma dengan tenaga dalam seperempat bagian. Tapi akibatnya keempat penyerang itu tewas dengan keadaan mengerikan!

"Keparat! jaga pukulanku!" membentak si laki-laki baju kuning.

Uap hitam menyambar ke arah Nanjar ketika laki-laki itu hantamkan telapak tangannya. Whuuk! Serangan mendadak itu cepat dihindarkan Nanjar dengan melompat bersalto. Diam-diam dia terkejut melihat serangan lawan. Itulah pukulan yang mengandung uap racun.

Baru saja dia jejakkan kakinya di tanah kembali uap-uap hitam menerjangnya dengan gencar. Terpaksa gunakan ilmu lompatan kera untuk menjauhi lawan. Akan tetapi mau tak mau dia harus menutup jalan pernafasannya karena bila uap terhendus hidung akan berakibat berbahaya.

"Bagus! ternyata tidak percuma kau bermulut besar, bocah! Namun jangan harap kau bisa lolos dengan keadaan masih bernyawa itu." Kembali dia menerjang! Kali ini lebih dahsyat lagi. Bahkan si laki-laki ma-lah keluarkan senjatanya yang di sembunyikan di balik jubah.

Whuk! whukk! Sriing!

"Ahh!?" tersentak Nanjar karena lengannya tergores. Benda yang berkilauan warna kuning emas itu amat menyilaukan mata. Hingga sukar untuk melihat serangan lawan, di samping dia membawa beban yang juga harus diselamatkan jiwanya dari gempuran-gempuran dahsyat itu. Nanjar melompat mundur. Tampak bahu kirinya mengeluarkan darah, mengoyak bajunya.

Tahulah Nanjar senjata apa yang telah melukainya itu. Ternyata senjata si baju kuning tak lain adalah sebuah kipas berwarna kuning emas terbuat dari baja yang amat tipis yang disepuh dengan warna emas.

"Hehehe... lebih baik kau serahkan saja jiwamu! kau tak akan mampu menghadapi senjataku!" terkekeh si laki-laki baju kuning.

"Iblis Kipas Emas!" sentak Nanjar terkejut. Sadarlah Nanjar kalau dia berhadapan dengan seorang kosen yang pernah didengar namanya. Mengetahui keadaan yang tidak menguntungkan, terpaksa Nanjar gunakan ilmu terbangnya untuk segera menjauh lawan.

"Gadis ini dalam keadaan keracunan, akupun telah terluka. Sebaiknya aku selamatkan dulu gadis ini..." berkata Nanjar dalam hati.

Melihat lawannya kabur melarikan diri dengan ilmu aneh, laki-laki bergelar Iblis Kipas Emas ini tertegun sesaat. Akan tetapi segera dia berteriak.

"Kau tak akan luput dari kematian, bocah! walau ilmumu setinggi langit! Racun kipas maut ku akan merenggut jiwamu dalam waktu cuma setengah hari...! hahaha..." Ternyata Iblis Kipas Emas tak mengejar. Dia balikkan tubuh dan berkelebat lenyap masuk ke dalam hutan...

Sementara itu Nanjar terus melayang di atas pepohonan. Sesekali tubuhnya meluncur turun untuk jejakkan kaki ke puncak pohon. Lalu melayang lagi bagaikan seekor elang. Itulah ilmu terbang Raja Siluman Bangau yang telah dipergunakan. Dalam waktu tak berapa lama Nanjar telah melintasi dua buah bukit. Dari udara dia melihat di bawah tebing sebuah pondok terpencil. Segera dia meluncur ke sana...!

Begitu kakinya menyentuh tanah, segera dia turunkan gadis di atas pundaknya. Tampak peluh merembes di sekujur tubuh pemuda ini. Nanjar mulai me-rasakan pundaknya kesemutan. Cepat-cepat dia menotok di beberapa bagian tubuh di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi sedikitnya racun telah menjalar ke dalam tubuhnya. Tampak dia beberapa kali terhuyung.

"Celaka! dadaku sesak!" sentak Nanjar terkejut. Sebenarnya dia tadi dapat melakukan totokan untuk menutup aliran darah di tubuhnya. Akan tetapi karena dia dalam keadaan menyelamatkan diri dengan menggunakan ilmu terbangnya, hal itu tak dapat dilakukan.

Nanjar telah duduk bersila dan pejamkan matanya. Sementara dia segera menghimpun hawa murni untuk menolak racun. Butiran-butiran keringat mengalir di dahi pemuda ini. Saat itu si gadis yang tadi dibaringkan ditanah telah siuman dari pingsannya. Tampaknya dia amat terkejut melihat seorang laki-laki duduk bersila tak jauh dari tempat dia menggeletak.

"Dia... dia.... ah, mimpikah aku?" sentak hati dara ini dengan mata membelalak. Siapakah sebenarnya gadis ini? Dia tak lain dari SRIMALA, murid si Pendekar Melati Putih. Bagaimana dia bisa berada di tangan Nanjar? Marilah kita dengar sejenak kisah yang telah dialaminya...

Seperti telah diceritakan Srimala diajak oleh Pati Lanang untuk diperkenalkan pada gurunya. Akan tetapi pemuda itu sekali-kali tak terbersit di hatinya untuk membawanya kesana. Bahkan dibenak si pemuda berkecamuk seribu satu cara untuk melaksanakan maksudnya. Pati Lanang adalah seorang pemuda yang pandai berpura-pura.

Sikapnya di hadapan Gajah Sora yang menjadi ayah angkat sekaligus gurunya, baik tutur kata dan perangainya. Setiap perintah tak pernah dibantah dan dia selalu menjalankan tugas dengan baik. Akan tetapi segera ketahuanlah belangnya setelah dia keluar dari pesanggrahan Gajah Sakti.

Pati Lanang memang telah di ijinkan oleh Gajah Sora untuk meninggalkan rumah perguruan, karena pemuda itu mengatakan maksudnya untuk mencari jejak ayah kandungnya, Purbasangka. Sekalian untuk menambah pengalaman pemuda itu di luar pesanggrahan. Sebelum berangkat, Gajah Sora memberinya wejangan-wejangan yang dapat dijadikan bekal bagi pemuda yang masih keponakannya itu.

Sebenarnya Gajah Sora agak berat melepaskan Pati Lanang, karena dia berharap pemuda itu bisa menggantikan dirinya memimpin perguruan Gajah Sakti. Meneruskan usahanya yang cukup berpengaruh di wilayah itu. Sedangkan Gajah Sora berniat mengasingkan diri menghabiskan sisa usianya.

Akan tetapi diapun tak dapat menolak keinginan Pati Lanang yang ingin mencari orang tuanya. Hingga terpaksa dengan hati berat dia mengabulkannya. Sedikitpun Gajah Sora tak menyangka kalau di dalam dada pemuda itu tersembunyi keinginan yang telah dipendam lama.

Entah dari mana beritanya, Pati Lanang telah mengetahui kalau gurunya menyimpan sebuah kitab ilmu silat bernama "Mega Mendung" yang disembunyikan orang tua itu. Bahkan sedikitpun dia tak pernah mempelajari.

Hal itulah yang membuat dia kurang suka bergaul dengan Walet Wungu, karena dia beranggapan Gajah Sora akan mewariskan kitab pusaka itu pada Walet Wungu. Hasrat yang terpendam itulah yang melahirkan keinginan pemuda itu untuk keluar dari pesanggrahan Gajah Sakti, walaupun sebenarnya dia tak berhasrat untuk mencari ayahnya.

Ternyata diam-diam Pati Lanang telah berhubungan dengan seseorang, ketika pemuda itu mendapat kesempatan menjalankan tugas gurunya beberapa bulan yang lalu. Seseorang itulah yang telah memberitahukan tentang kitab pusaka Mega Mendung yang berada di tangan Gajah Sora.

Sukar untuk dibayangkan kalau sebenarnya Pati Lanang telah bergabung dengan si perampok perempuan penghuni Istana Kuno. Bahkan dengan kepura-puraannya dia telah menjebak Srimala untuk dibawa ke Istana Kuno itu.

"Inikah tempat tinggal gurumu?" tanya Srimala dengan tertegun. "Benar!" sahut Pati Lanang dengan tersenyum setelah mereka tiba di satu ruangan.

"Tempat yang aneh, mirip sebuah istana...!" desis Srimala.

"Ya, inilah Istana Kuno!" sahut Pati Lanang dengan tertawa.

Seorang nenek tua berjubah hitam muncul dari ruangan dalam. Perempuan tua ini berambut jarang berwarna putih, panjangnya cuma sebatas pangkal leher dengan sejumput gelung kecil di atas kepala.

"Guru...! Inilah kawanku....! Dia bernama Srimala! Murid si Pendekar Melati Putih!" berkata Pati Lanang.

Perempuan tua itu hanya menatap sekilas pada gadis itu yang segera menjura. Tapi perempuan itu seperti tak menggubrisnya. Bahkan dia berkata dengan nada suaranya yang parau pada. Pati Lanang. "Pati Lanang! Dalam beberapa hari ini kau jangan keluar. Sewaktu-waktu aku memerlukan tenagamu!"

"Baik, guru..!" sahut Pati Lanang cepat-cepat. Selesai berkata, nenek tua itu berkelebat keluar ruangan. Akan tetapi tanpa setahu Srimala, di telinga pemuda telah menyelinap suara si nenek yang membisikkan suara dari jarak jauh.

"Pati Lanang! setelah selesai urusanmu, segera kau habisi dia. Aku tak ingin ada orang ketiga di Istana Kuno ini. Siapa tahu kedatangannya akan mengundang bencana!" Cara mengirim suara seperti ini kalau bukan dilakukan oleh orang yang telah mencapai kesempurnaan tenaga dalam tingkat tinggi, amat sukar dilakukan. Nyatalah kalau perempuan tua renta itu seorang yang berilmu tinggi yang sukar diukur ketinggian ilmunya.

"Gurumukah itu?" bisik Srimala, dengan kening berkerut.

"Ha ha...ya! Jangan heran Srimala. Walau demikian dia amat baik!" sahut Pati Lanang.

Mendadak, ya! mendadak sekali tiba-tiba lengan pemuda itu telah bergerak menotok tubuh Srimala. Tentu saja hal itu di luar dugaan gadis itu. Dengan perdengarkan keluhan dia roboh terkulai. Akan tetapi dengan cepat Pati Lanang telah menangkap dan memondongnya. Kemudian dibawanya masuk ke dalam sebuah kamar. Dibaringkannya tubuh sang dara di atas pem-baringan.

"Haha... Srimala. Sayang sekali aku tak dapat mengulur waktu. Selesai aku melampiaskan hajat ku terpaksa aku harus membunuhmu." berkata Pati Lanang dalam hati.

Sementara sepasang mata berbinar-binar memandang keelokan paras dan tubuh Srimala. Sepasang lengan pemuda itu segera meluncur untuk membuka pakaian gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dara itu membuka matanya.

"Jahanam keparat.'" bentakan itu disusul dengan menghantamnya lengan si gadis ke arah dada Pati Lanang.

Tentu saja membuat dia terkejut dan tak menyangka sama sekali. Akan tetapi masih sempat dia menghindar menangkis dengan kedua lengannya. Tapi tak urung sambaran pukulan itu sempat juga menghantam dadanya.

Plak!

Pati Lanang terlempar bergulingan. Namun dengan cepat dia bangkit lagi. Pemuda ini menyeringai kesakitan. Terasa olehnya pergelangan tangannya terlepas sambungan tulangnya dan dadanya terasa nyeri. Dan setetes darah segar mengalir dari bibirnya. Bagai disengat kala dia telah melompat berdiri. Serasa tak percaya dia pada penglihatannya.

Bukankah gadis itu telah di totoknya? Apakah dalam beberapa kejap saja Srimala telah berhasil membuka kembali totokan pada tubuhnya? pikir Pati Lanang. Namun dia tak dapat berpikir lebih jauh, karena gadis itu telah melompat dari pembaringan seraya membentak.

"Manusia terkutuk! sudah kuduga kau bukan manusia baik-baik! Kau kira semudah itu kau mempecundangi ku?" Srimala bertindak cepat. Lengannya menghantam jendela yang segera menjeblak terbuka. Akan tetapi baru saja dia mau melompat keluar gadis ini merasa ada sambaran angin dibelakangnya diiringi bentakan Pati Lanang.

"Kau tak dapat pergi dari tempat ini, gadis cantik!"

Dengan sigap Srimala gerakkan lengannya menghantam benda yang meluncur itu. Akan tetapi tiba-tiba..... Bhuss! Benda itu justru meledak mengeluarkan asap berwarna kuning.

"Celaka...! asap beracun!" sentak Srimala.

Namun terlambat. Hidungnya telah mengendus bau asap itu. Sebisa-bisa dia menutup jalan pernafasannya, akan tetapi mendadak kepalanya dirasakan menjadi berat, dan matanya berkunang-kunang. Robohlah dara ini dan selanjutnya dia sudah tak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi sebelum Pati Lanang menyangganya sesosok bayangan telah berkelebat cepat sekali menyambar tubuh dara itu dan melarikannya.

"Setan! siapa kau?" bentak Pati Lanang seraya melompat mengejar. Akan tetapi jawabannya adalah sambaran angin keras yang membuat dia terpaksa harus menyingkir menyelamatkan diri.

Brak! pukulan tenaga dalam orang itu menghantam tempat kosong. Terkejut Pati Lanang karena melihat tanah bekas hantaman pukulan itu telah berlubang. Terpaksa dia tahan langkahnya karena berpikir lawan bukanlah orang yang dianggap enteng. Apa lagi dia dalam keadaan terluka.

"Heh! benar kata guru! perempuan itu bisa membawa bencana...!" berkata Pati Lanang dalam hati. Pemuda ini segera kembali masuk ke dalam Istana Kuno untuk mengobati lukanya.

Siapa adanya orang yang telah menyelamatkan Srimala? Ternyata tiada lain dari Nanjar! Pemuda itu memang telah menguntit ketika Srimala dan Pati Lanang pergi ke tempat itu. Bahkan dengan diam-diam dia telah mendengar pembicaraan keduanya. Nanjar telah mengetahui siapa adanya pemuda bernama Pati Lanang itu, yang dijumpainya beberapa bulan yang lalu baru saja habis memperkosa seorang gadis.

Diam-diam dia menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu. Dari seorang perempuan nakal yang menjadi langganannya, dia mengetahui kalau pemuda itu bernama Pati Lanang, murid Gajah Sora si Pendekar Gajah Lengan Tunggal, ketua perguruan Gajah Sakti.

Tadinya Nanjar cuma berniat mengembalikan selendang sutera Srimala. Bagi Nanjar memang tak terlalu sulit untuk mengetahui jejak si gadis yang melarikan diri setelah dia melepaskan senjata selendang suteranya. Terkejut Nanjar melihat kemunculan Pati Lanang dari balik gerombolan semak belukar.

Diam-diam dia mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Rasa ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu membuat Nanjar terus menguntit, ketika keduanya meninggalkan tempat itu. Benar saja! Pati Lanang tidak membawa Srimala ke pesanggrahan Gajah Sakti. Melainkan ke suatu tempat di dalam hutan. Semakin tercekat hati Nanjar, ketika dia melihat di tengah hutan itu terdapat sebuah reruntuhan istana tua.

Untunglah dia berlaku hati-hati dan bergerak tanpa menimbulkan suara, hingga ketika dia tengah mencari akal untuk memasuki istana tua itu tak kepergok dengan si nenek penghuni Istana Kuno yang baru saja keluar dari dalam ruang pendopo.

Perempuan tua itu tampaknya kurang waspada dengan keadaan sekitarnya. Setelah mengirim suara jarak jauh pada Pati Lanang, dia segera berkelebat lenyap keluar dari hutan itu. Nanjar hembuskan nafasnya setelah sejak tadi dia menahan napas ketika nenek tua itu muncul.

"Heh! untung dia tak melihatku! Bagus! Aku dapat memeriksa isi Istana tua ini sekalian melihat apa yang akan dilakukan pemuda hidung belang itu terhadap Srimala..." kata Nanjar dalam hati.

Demikianlah, hingga ketika Srimala nyaris terjatuh lagi dalam cengkeraman Pati Lanang, si Dewa Linglung telah bertindak cepat menyelamatkannya. Nanjar tadinya berniat memeriksa Istana Kuno itu jadi urungkan niatnya, karena dia harus menyelamatkan si gadis.

Di tengah perjalanan dia telah menjejalkan sebutir pel penolak racun di mulut si gadis. Untunglah dia masih bisa menyelamatkan diri dari kepungan pembegal-pembegal nyawa dan si Iblis Kipas Emas.

DELAPAN

Srimala merasa mulutnya terkancing melihat kenyataan yang terpampang dihadapannya. Pemuda yang telah merebut selendang sutera itu dalam keadaan terluka di bagian pundak, yang tampak mengalirkan darah berwarna kehitaman. Tahulah dia kalau si pemuda bertampang dungu itu terkena racun!

Akan tetapi bukankah dirinya sendiri telah terkena asap mengandung racun yang terendus hidung akibat diperdayai Pati Lanang? Tampaknya pengaruh racun itu telah lenyap. Buktinya dia tak merasakan apa-apa lagi.

Jelaslah kalau pemuda itu yang telah menolong dirinya. Tak selang berapa lama Nanjar telah berhasil pulih dari pengaruh racun di tubuhnya. Pelahan-lahan dia membuka matanya. Yang tampak adalah sosok tubuh Srimala yang juga tengah menatapnya.

"Ah, kau sudah sadar, nona Srimala?" berkata Nanjar, dengan tersenyum. Lalu melompat berdiri.

"Kaukah yang telah menolong diriku?" tanya gadis itu.

"Benar! Bagaimana keadaanmu?" tanya Nanjar seraya menghampiri.

"Sudah baikan..." menyahut dia. "Apakah kau terluka oleh si Pati Lanang Pemuda keparat itu?"

Nanjar menggeleng. "Orang lain yang telah mencelakakan ku!" sahut si Dewa Linglung, seraya ceritakan secara singkat pertarungan dengan si Iblis Kipas Emas dan orang-orangnya.

"Ah, sungguh aku malu hati pada diri sendiri, karena kebodohan ku nyaris saja aku jadi korban pemuda celaka itu! Entah cara bagaimana aku bisa membalas budimu..." berkata Srimala dengan menunduk.

"Hahaha... jangan kau berkata begitu, nona! Sebenarnya aku secara tak sengaja telah berhasil menyelamatkan dirimu. Tujuanku adalah mau mengembalikan benda milikmu ini!" Nanjar masukkan lengannya ke balik baju. Lalu keluarkan selendang sutera hitam dalam kepala tangannya. "Ini... terimalah! Dan maafkan kalau sikapku membuat kau marah!"

Srimala menerima selendang suteranya dengan tersipu. Entah bagaimana perasaan gadis itu setelah mendapatkan kembali senjata itu sukar dilukiskan. Gembira bercampur malu serta rasa menyesal bercampur aduk menjadi satu.

"Ini pondok siapakah?" tanyanya tiba-tiba. Sejak tadi dia terheran karena di tempat itu ada sebuah pondok.

"Entahlah! aku sendiri belum memasukinya dan baru beberapa lama tiba disini!" sahut si Dewa Linglung. "Baik akan kuperiksa!"

Sekali melompat Nanjar telah tiba di depan pintu pondok. Telinganya dipasang kalau-kalau dia dapat mendengar ada suara dari dalam. Akan tetapi tak ada apa-apa. Melihat sarang la-ba-laba yang banyak melekat disudut pintu tahulah Nanjar kalau pondok itu kosong.

Nanjar mendorong daun pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Lalu melangkah ke dalam, Ternyata rumah itu benar-benar tak berpenghuni. Srimala menyusul masuk ke dalam rumah itu.

"Tak ada penghuninya?" tanya si gadis.

"Ya! sebuah rumah kosong!" sahut Nanjar. "Kulihat hari hampir gelap. Tempat ini bisa dipergunakan untuk bermalam...! Oh, ya kemanakah tujuanmu, nona...?"

Srimala yang sering mendengar pemuda itu menyebutnya nona menjadi kurang enak hati. "Namaku Srimala! sebut saja namaku...!" katanya.

"Oh, ya! ng... Srimala! apakah kau punya tujuan untuk bermalam di tempat ini?"

"Aku akan menginap malam ini disini!" menyahut si gadis.

"Hehe... kau tak takut atau curiga terhadapku?" tanya Nanjar dengan tersenyum.

"Aku percaya kau bukan manusia macam si Pati Lanang!" menyahut Srimala.

Nanjar cuma tersenyum seraya melangkah menghampiri jendela. Dan membukanya lebar-lebar. Semilir angin meniup masuk menyegarkan udara yang agak berbau pengap. "Sukurlah kalau kau tak mencurigaiku!" kata Nanjar. "Tahukah kau siapa si Pati Lanang itu?" tanyanya.

Srimala menggeleng. "Aku baru beberapa saat mengenalnya. Sikapnya yang ramah itu membuat aku mempercayai kata-katanya. Tak tahunya dia manusia berakhlak bejat!"

"Hm, dialah murid si Pendekar Gajah Lengan Tunggal, Gajah Sora! Manusia itu memang seorang pemuda hidung belang yang baru ketahuan belangnya! Sungguh tak kusangka murid seorang pendekar yang cukup punya wibawa mempunyai akhlak sedemikian buruk!" berkata Nanjar.

Srimala tercekat hatinya karena pemuda itu mengetahui perihal Pati Lanang. "Apakah perempuan tua di istana kuno itu bukan gurunya?" tanyanya dengan terheran.

"Hm, itulah yang aku tak habis pikir! Menurut keterangan yang kudengar dia murid Gajah Sora si ketua perguruan Gajah Sakti, akan tetapi dia mengakui nenek penghuni Istana Kuno itulah gurunya! Aku memang tengah menyelidiki siapa adanya perampok perempuan yang telah membunuh hartawan tua itu. Dugaanku si nenek itulah orangnya!"

"Ah, ya! kukira dialah orangnya!" tukas Srimala. "Bagaimana rencanamu selanjutnya?" tiba-tiba Srimala ajukan pertanyaan.

"Aku akan kembali ke Istana tua itu besok! Aku harus mengetahui siapa sebenarnya nenek penghuni istana kuno itu. Dan ada rahasia apa di dalam istana kuno itu!"

Srimala mengangguk-angguk. "Aku akan menemanimu ke Istana Kuno itu!"

Nanjar tersenyum memandang si gadis. "Kau tidak khawatir tertawan si Pati Lanang?"

"Hm, justru aku akan menghajarnya karena dia telah berani berbuat kurang ajar terhadapku!" sahut Srimala dengan mata membinar-binar.

Nanjar tertawa lalu berkata. "Perutku mendadak lapar. Kau buatlah api unggun di halaman rumah ini, aku akan mencari makanan! Kau juga tentunya lapar. Nah, aku berangkat!" Selesai berkata Nanjar berkelebat melompat keluar dari jendela, dan lenyap dibalik rumah.

Ketika malam menjelang tiba kedua pemuda dan pemudi ini tampak telah duduk bercakap-cakap menghadap api unggun. Sebentar-sebentar lengan Nanjar bergerak membalik-balik daging kelinci yang ditangkapnya. Dalam percakapan itu Srimala menceritakan riwayat hidupnya. Demikian juga Nanjar yang segera tuturkan pengalamannya.

Terkejutlah Srimala mengetahui pemuda ini adalah si Pendekar Naga Merah yang lebih dikenal dengan julukan si Dewa Linglung. Sampai lama dia terpukau karena tak menyangka sama sekali.

Srimala telah mendengar dari gurunya mengenai pendekar aneh yang namanya telah muncul menggegerkan Rimba Hijau sejak sang guru si Pendekar Melati Putih mengundurkan diri dan mengucilkan dirinya di puncak gunung Betiri.

Tentu saja hal itu membuat Srimala bergirang hati. Karena dengan berjumpanya dia dengan pendekar muda, gagah dan bertampang tolol namun berilmu tinggi itu, dia tak perlu merasa khawatir...

SEMBILAN

GAJAH SORA menerjang beringas dengan kiba-san ujung lengah jubahnya. Sambaran ini membuat tubuh si nenek penghuni Istana Kuno tergontai-gontai. Tapi hal itu tak membuat perempuan tua berjubah hitam itu berhenti terkekeh.

"Hihik...hik... ternyata ilmu Menggempur Jagat mu masih baik, Gajah Sora! Akan tetapi permainan kuno itu sudah lapuk untuk dipertunjukkan di depan mataku!" berkata si nenek diantara suara tertawanya.

"Iblis perempuan! Suaramu seperti kukenal! bukalah cadar penutup mukamu!" bentak Gajah Sora. Dia terkejut karena perempuan bertopeng itu mengenali jurus yang dipergunakan, juga suaranya yang seperti dikenali.

"Hik...hik...hik... baiklah! Buka matamu lebar-lebar agar kau dapat melihat jelas siapa aku!" berkata si perempuan bertopeng ini. Lengannya segera meraba topeng hitam di wajahnya. Ketika topeng penutup muka itu disentakkan, Gajah Sora terperangah kaget.

"Hah!? Kau... kau Rumpini?" teriak Gajah Sora dengan mata membeliak.

"Bagus! mata tuamu masih awas! Kalau kau ingin tahu lagi, akulah yang bergelar si Hantu Pencabut Nyawa! Nah! bersiaplah kau untuk menerima kematian!"

"Tunggu!" teriak Gajah Sora dengan napas terengah.

"Heh! apa lagi? diantara kita sudah tak ada hubungan apa-apa! Masih ingatkah kau ketika kau mengusirku seperti seekor anjing pada delapan belas tahun yang silam? Sejak itu sebutan suami istri diantara kita sudah putus. Dan aku berhak untuk berbuat apa yang kuinginkan!" berkata perempuan tua bergelar hantu Pencabut Nyawa ini.

"Tapi itu karena kesalahanmu sendiri, Rumpini...! Siapa yang tak sakit hati kalau istrinya main serong dengan laki-laki lain?" bentak Gajah Sora dengan napas memburu. Dia sungguh tak menyangka kalau perempuan perampok itu adalah bekas isterinya sendiri yang tak ada beritanya selama delapan belas tahun ini. "Lagi ada satu hal yang akan aku tanyakan padamu!" sambung laki-laki tua ini.

"Bertanyalah, selagi kau masih bisa bernapas!" sahut Rumpini. Sesaat Gajah Sora menelan ludah sebelum bicara.

"Apa maksud tujuanmu dengan semua ini? Mengapa kau mengadu domba kami, orang-orang perguruan Gajah Sakti dengan pihak Cecak Terbang?"

"Hihik...hik... hal itu memang sudah kami rencanakan! si Cecak Terbang Lawe Wereng telah bergabung denganku. Tujuan kami tentu saja mendirikan sebuah partai besar yang menguasai wilayah utara ini! Dengan adanya perguruan Gajah Sakti yang cukup punya nama baik di wilayah ini, jelas telah mendesak perguruan Cecak Terbang untuk gulung tikar! Aku memang punya andil dalam urusan ini, karena... si Cecak Terbang Lawe Wereng adalah suamiku!"

Kalau ada geledek menyambar saat itu tidaklah membuat Gajah Sora seterkejut ini. Membelalak mata Gajah Sora mendengar kata-kata perempuan tua dihadapannya itu. Seketika dia berpaling pada Lawe Wereng yang sejak tadi cuma berdiri saja. "Ja-di...jadi...kau...???" bentak Gajah Sora dengan suara parau.

"Hehehe... apa yang dikatakannya tidak salah, sobat Gajah!" berkata Lawe Wereng dengan tersenyum dan sikap tenang.

"Keparat! Apa artinya pengangkatan saudara kita?" teriak Gajah Sora menggembor marah. "Sudah kuduga sejak semula, kau memang berniat busuk! Ternyata dugaanku benar!" Seraya melompat ke hadapan laki-laki kurus itu Gajah Sora berteriak keras. "Kubunuh kau binatang!!"

Akan tetapi pada detik itu serangkum angin dahsyat telah mendahului menghantam ke arah punggung laki-laki tua ini. Dalam keadaan murka kewaspadaan Gajah Sora lenyap. Terdengarlah suara jeritan parau si Pendekar Gajah Lengan Tunggal. Tubuhnya terlempar bergulingan. Bajunya di bagian punggung tampak hangus.

Namun Gajah Sora cepat bangkit lagi. Tampak wajahnya menyeringai menahan sakit. "Bedebah! kalian manusia-manusia iblis yang tidak tahu aturan!" membentak Gajah Sora. Kedua pipi laki-laki tua ini menggembung. Sebelah lengannya menyilang di dada dengan telapak tangan tegak lurus. Gajah Sora segera menghimpun hawa murni untuk menahan rasa sakit akibat gempuran itu. Dan siap mengeluarkan jurus-jurus simpanannya untuk menghadapi lawan.

"Hihik.hik... masih adakah yang akan kau tanyakan, pendekar Gajah?"

"Perempuan laknat! Iblis apakah yang telah merubah dirimu sebusuk itu? Aku memang masih ada pertanyaan satu lagi!" berkata Gajah Sora yang masih bisa menahan diri.

"Hihik... katakanlah!" terkekeh Rumpini si Hantu Pencabut Nyawa.

Gajah Sora menatap geram. Ingin rasanya saat itu juga dia merobek-robek tubuh bekas isterinya itu. "Kau telah menawan muridku Pati Lanang dan mencuri kitab pusaka Mega Mendung dari kamarku, apakah maksudmu?"

"Hm, kau dapat menanyakan sendiri pada bocah itu!" sahut si nenek seraya bertepuk tangan dua kali. Detik itu juga dari dalam bangunan kuno melompat keluar sosok tubuh. Mendelik mata Gajah Sora melihat pemuda itu dalam keadaan tenang-tenang saja. Bahkan di tawanpun tidak. Hampir-hampir saja Gajah Sora tak mempercayai penglihatannya.

"Pati Lanang! apa artinya semua ini?" teriak Gajah Sora menggembor. Sebelum menjawab pertanyaan itu Pati Lanang menatap pada si Hantu Pencabut Nyawa. "Guru! bolehkah aku mengatakannya?"

"Ya! katakanlah!" sahut iblis perempuan ini.

Semakin lebar mata Gajah Sora mendelik mendengar murid juga keponakannya itu menyebut guru pada si perempuan tua itu. Akan tetapi Pati lanang sudah berkata.

"Gajah Sora! setelah aku menjadi muridnya, tentu kau dapat menerka apa maksud dicurinya kitab pusaka Mega Mendung itu? Haha... baiklah aku akan menjawab agar lebih jelas bagimu! Akulah calon pewaris kitab pusaka itu!"

Bagai dihantam palu godam terasa hampir meledak dada Gajah Sora mendengar kata-kata muridnya.

"Keparat! jadi kau telah lupakan jasaku merawat dan mendidikmu selama ini? Kau bersekongkol dengan perempuan tak tahu adat yang justru patut menjadi musuhmu?" bentak Gajah Sora. Darahnya seketika mendidih karena gusarnya.

"Heh! siapapun akan iri hati kalau dirinya dibedakan!" berkata Pati Lanang.

"Dibedakan? Aku tak pernah membedakan kau dengan Walet Wungu! "Dari mana kau bisa mengetahui aku membedakan kau?" berkata Gajah Sora dengan suara tertekan.

"Hm, kelihatannya memang begitu. Tapi dengan kau tak memberikan aku kesempatan mempelajari kitab pusaka Mega Mendung itu adalah suatu bukti bahwa aku dianak tirikan! Kau pasti hanya akan mewariskannya pada Walet Wungu!" sahut Pati Lanang.

Gajah Sora menghela napas, lalu katanya dengan suara berubah datar. "Kau telah salah menduga, Pati Lanang! Sekali-kali aku tak berniat demikian! Kitab pusaka Mega Mendung itu, berisi ilmu yang menjurus ke arah ilmu sesat! Tadinya aku berniat memusnahkan..."

"Akan tetapi kau masih berniat untuk mempelajari, hingga kau tetap menyimpannya! Hihik... aku memang telah sejak lama mencari-cari kitab pusaka itu. Tak tahunya berada di tanganmu!" menimpa si Hantu Pencabut Nyawa.

"Dari mana kau mengetahui aku memiliki buku pusaka itu?" Gajah Sora kerutkan keningnya menatap perempuan tua berjubah hitam itu.

"Hihik...hik.. kau kenal baik dengan Bahugoro si Dedemit Segara Kidul? Manusia yang telah bersusah payah mendapatkan kitab itu dan kau buat dia cacad seumur hidup itulah yang memberitahukannya!" berkata Rumpini.

"Hah!? dimanakah iblis telengas itu?" sentak Gajah Sora terkejut.

"Dia kini berada di Blambangan. Menetap di rumah kediaman Raden WIRAKRAMA!" sahut si Hantu Pencabut Nyawa. Kata-kata ini diputus oleh suara tertawa terkekeh perempuan tua ini yang merasa sudah cukup lama mengulur waktu. "Hihik...hik.. cukuplah, Gajah Sora! Saat kematianmu telah tiba!" Begitu habis suara kata-katanya, tubuh perempuan tua ini berkelebat. Sepasang lengannya menghantam dengan pukulan ganas.

Akan tetapi Gajah Sora telah mempersiapkan diri untuk menghadapi wanita tua itu. Hantaman yang bisa membobolkan bukit itu berhasil dielakkan. "Perempuan durjana! sungguh menyesal aku tak membunuhmu!" memaki Gajah Sora.

"Tutup mulutmu yang tak ada gunanya itu!" bentak Rumpini.

Kembali dia menerjang ganas. Sepuluh jari-jarinya terkembang mengarah ke batok kepala dan dada lawannya. Gerakan ini luar biasa cepatnya. Itulah jurus "Cakar Hantu". Sekali terkena sasaran, batok kepala korban akan hancur kena cengkeraman dan tulang dada ambrol. Jangankan mengenai sasaran, terkena goresan kuku tangannya yang mengandung racun itu saja sudah dapat merenggut jiwa sang korban.

Akan tetapi Gajah Sora bukanlah seorang yang begitu mudah untuk dirobohkan. Selain sudah cukup makan asam garam persilatan, dia juga memiliki ilmu yang tak dapat dipandang enteng. Dengan membentak keras dia kibaskan jubahnya diiringi tendangan kilat ke arah lambung.

Terpaksa Hantu Pencabut Nyawa tarik kembali serangannya untuk segera menghindari terjangan lawan. Agaknya Rumpini tak mau berlama-lama untuk menghabisi lawannya. Segera dia melompat agak menjauh. Tampak bibir perempuan tua ini komat-kamit seperti membaca mantera. Mendadak sebelah lengannya terangkat ke arah Gajah Sora diiringi bentakan keras.

Segumpal uap biru meluncur ke arah Gajah Sora. Whuut! Laki-laki tua ini kebutkan lengan jubahnya yang dibarengi tenaga dalam dahsyat. Uap biru itu buyar. Hal itulah yang diinginkan si hantu Pencabut Nyawa. Detik itu tubuhnya melambung ke atas melewati kepala Gajah Sora.

"Hihik... hik... lihatlah sekelilingmu, Gajah Sora! Hantu-hantu pencabut nyawa siap merenggut jiwamu!" Apa yang terjadi kemudian? Tebaran uap biru itu mendadak berubah menjadi makhluk-makhluk menyeramkan yang banyaknya berpuluh-puluh.

"Ilmu sihir!?" desis Gajah Sora terkejut. Dengan membentak keras laki-laki ini hantamkan pukulan-pukulan ke sekelilingnya. Akan tetapi hantu-hantu itu bergemingpun tidak. Bahkan mereka telah meluruk maju untuk mencengkeramkan lengan-lengannya ke arah Gajah Sora.

Sret! Pendekar tua ini cabut keluar senjata keris Wesi Kuning dari balik bajunya. Benda ini agaknya punya pengaruh luar biasa. Buktinya makhluk-makhluk itu buyar ketika dia kibaskan ke arah mereka. Kali ini Gajah Sora tak membuang waktu untuk segera menerjangkan senjata pusaka ditangannya. Makhluk-makhluk itu lenyap!

Menggeram gusar Rumpini. Tiba-tiba dia lemparkan sesuatu ke arah Gajah Sora. "Terimalah ini!" bentaknya.

Benda hitam itu dihantam dengan gempu-ran telapak tangannya. Akan tetapi detik itu terjadilah ledakan keras. Asap hijau menyembur keluar. Gajah Sora terpekik kaget. Asap itu telah membuat matanya menjadi pedih. Dengan terhuyung-huyung dia menu-tupi mukanya.

"Hihik...hik... rasakan Gajah Sora! Itulah asap pembuta mata! Kau telah terkena asap itu. Matamu akan menjadi buta seumur hidup!" mengekeh tertawa si Hantu Pencabut Nyawa.

"Isteriku! biarlah aku yang menghabiskannya!" berkata Lawe Wereng. Dia sudah mau melompat untuk menerjang. Akan tetapi Rumpini mengangkat tangannya. "Biarkan dia menderita seperti itu, suamiku! Menyingkirlah kau!"

Lawe Wereng segera mengetahui bahayanya asap pembuta mata itu. Segera dia menyingkir pergi. Keadaan Gajah Sora tampak mengenaskan. Dia benar-benar tak dapat melihat apa-apa lagi. Pandangan matanya menjadi gelap pekat.

"Kurang ajar! kau.. kau benar-benar manusia terkutuk, Rumpini!" teriak laki-laki ini. Diiringi gemboran keras yang mengguntur pendekar berlengan tunggal ini menerjang sejadi-jadinya. Tak peduli lagi dia ke arah mana serangannya. Pepohonan dan semak belukar serta batu-batu berhambu-ran di sekitarnya akibat terjangan itu.

Pada saat itulah terdengar teriakan nyaring histeris dari arah belakang. "Ayaah...!" Sesosok tubuh telah berkelebat muncul diiringi sosok tubuh lain dibelakangnya.

"Walet Wungu...? kau..." sentak Gajah Sora terkejut girang.

"Ayah! apa yang terjadi?" membelalak mata gadis ini melihat keadaan ayah angkatnya. Dara ini memang tak lain dari Walet Wungu dan Jalapaksi yang telah menyusul dan tiba di istana kuno.

"Iblis perempuan itu telah membutakan mataku! Mereka... mereka semua adalah manusia-manusia terkutuk! termasuk Pati Lanang dan Lawe Wereng si Cecak Terbang!" desis Gajah Sora.

"Pati Lanang dan Lawe Wereng?" sentak Walet Wungu terkejut.

"Benar! mereka telah bergabung dengan iblis perempuan itu!" sahut Gajah Sora. Laki-laki tua ini mengusap matanya yang berair.

Menggebulah kemarahan di dada gadis ini. Akan tetapi Gajah Sora kembali berkata. "Hati-hati dengan benda-benda yang dilemparkan iblis perempuan itu. Dia memiliki ilmu sihir. Kau gunakanlah keris Wesi Kuning ini untuk menghadapi ilmu sihirnya!"

"Baik, ayah!" sahut Walet Wungu seraya menerima keris pusaka itu dari tangan gurunya.

"Eh, dengan siapa kau datang?" tiba-tiba Gajah Sora miringkan kepalanya.

"Dia Jalapaksi, murid si Cecak Terbang!" sahut Walet Wungu.

"Ahh...!?" terkejut si Pendekar Gajah. Sebelum Gajah Sora berkata lagi Jalapaksi yang telah mendengar semua percakapan itu cepat-cepat buka suara. "Demi kebenaran, aku Jalapaksi tak akan berpihak pada mereka! Tenangkanlah hatimu, paman Gajah!"

SEPULUH

"Akupun berada di pihakmu, sobat Gajah Sora!" sebuah suara terdengar di belakang mereka. Serentak mereka menoleh ke belakang.

"Siapa kau?" tanya pendekar tua ini dengan miringkan kepalanya.

"Raden WIRAKRAMA...!" Walet Wungu mendahului berkata. Gadis ini berseru girang melihat siapa yang telah berada diantara mereka.

"Benar! aku telah mengetahui semua ini! Kedatanganku adalah untuk mengambil kembali kitab pusaka Mega Mendung dari tangan iblis perempuan itu!" berkata laki-laki panglima Kerajaan ini. "Benda itu harus dimusnahkan!"

"Ahh... sukurlah! kedatanganmu amat kuharapkan sekali, Raden!" kata Gajah Sora dengan wajah girang.

"Bahugora si Dedemit Segara Kidul memang berada di tempat kediamanku. Akan tetapi dia telah sadar dari kesesatannya. Dialah yang telah memberitahukan kitab pusaka Mega Mendung itu berada di tanganmu! Kitab itu tak boleh jatuh ke tangan siapapun, dan harus segera dimusnahkan. Bahugora yang telah menjadi guruku yakin kalau kau tak akan mempelajari isi kitab itu. Sayang kedatanganku terlambat! Kitab Sesat itu telah jatuh ke tangan manusia iblis itu..." ujar Raden Wirakrama.

Ternyata orang yang diam-diam membuntuti Walet Wungu dan Jalapaksi itu adalah Raden Wirakrama. Kemunculannya di pesanggrahan Gajah Sakti telah keduluan oleh si Hantu pencabut Nyawa yang membawa lari kitab Pusaka Mega Mendung.

Pada saat itu si Hantu Pencabut Nyawa telah perdengarkan suara tertawa mengekeh. Walau diam-diam hatinya terkejut melihat kemunculan Raden Wirakrama. Tentu saja sebagai seorang tokoh berilmu tinggi dia dapat menangkap pembicaraan mereka. Tahulah Rumpini kalau panglima Kerajaan itu berpihak pada si Pendekar Gajah dan kedatangannya untuk merebut kembali kitab pusaka Mega Mendung dari tangannya.

"Hi hik...hik... bagus! kalian telah datang untuk mengantarkan nyawa! Jangan mimpi di siang hari untuk merampas kitab pusaka itu dari tanganku!" berkata si Hantu Pencabut Nyawa.

"Perempuan iblis! rencana busukmu telah tercium! Cita-cita mu tak akan menjadi kenyataan!" membentak Wirakrama. Diiringi Walet Wungu dan Ja-lapaksi Panglima Kerajaan ini melompat ke arah Rum-pini. Melihat demikian si Cecak Terbang Lawe Wereng dan Pati Lanang segera maju menyongsong.

"Jalapaksi! apakah kau mau menentang gurumu?" bentak Lawe Wereng menatap pada Jalapaksi.

Pemuda ini perlihatkan senyum sinis, dan cabut keluar senjatanya. "Hei?! terpaksa! Saat ini aku tak menganggapmu sebagai guruku lagi! Demi kebenaran terpaksa aku harus menumpas mu!" berkata Jalapaksi dengan tegas.

Berubahlah air muka Lawe Wereng. "Bagus! Jangan menyesal kalau terpaksa aku harus melenyapkan kau!" bentaknya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki kurus ini langsung menerjang ke arah pemuda itu. Dengan pedangnya Jalapaksi siap menghadapi gurunya.

Terjadilah pertarungan seru antara guru melawan murid. Sementara, itu Walet Wungu dengan kemarahan tak terbendung segera menerjang Pati Lanang yang telah mencabut sepasang pedang pendek senjatanya.

"Iblis perempuan! Akulah lawanmu!" bentak Raden Wirakrama.

"Bagus! hihik...hik.. silahkan maju panglima muda!"

Tanpa ayal lagi Raden Wirakrama segera mencabut keluar dua buah senjata. Sebuah tombak bermata tiga dan sebuah kelewang yang membersitkan sinar putih.

"Heh! pedang Mutiara Putih!" mendesis perempuan tua ini. "Bagus! ingin ku menjajal kehebatan pedang pusaka mu itu!" Dan dengan diiringi bentakan keras si Hantu Pencabut Nyawa mendahului menerjang. Segera saja terjadilah pertarungan hebat. Sambaran-sambaran pedang dan tombak mata tiga panglima muda itu menderu-deru mematahkan serangan lawan.

Sementara itu dengan hantamkan telapak tangannya si Cecak Terbang Lawe Wereng siap menghabisi nyawa muridnya. Akan tetapi dengan pedangnya Jala-paksi memapaki serangan itu. Akibatnya pemuda itu menjerit kaget. Detik itu juga pedangnya terlepas. Jalapaksi rasakan telapak tangannya membeku. Detik itulah Lawe Wereng membentak keras.

"Terimalah kematianmu!"

Hantaman dahsyat yang dilontarkan Lawe Wereng tak dapat dielakkan lagi! Menjeritlah Jalapaksi dengan tubuh terlempar beberapa tombak. Pemuda itu mencoba bangkit lagi. Akan tetapi kepalanya mendadak terkulai dan jatuh tersungkur.

Walet Wungu terpekik kaget. "Ah, Jalapaksi...!?" Sekali bergerak dia telah melompat menghampiri pemuda itu. "Jalapaksi! kau kena...?"

Akan tetapi pemuda itu sudah tak bergerak lagi. Tulang dadanya remuk dan jiwanya telah melayang. Setitik air bening membersit dicelah kelompak mata dara ini. Seketika mendidihlah darah Walet Wungu. Kematian pemuda itu adalah demi cintanya terhadap dirinya. Juga demi kebenaran! Dia telah korbankan jiwanya sebagai seorang pendekar!

"Manusia-manusia kotor! kalian tak patut hidup dimuka bumi ini!" Membentak dara ini. Dan detik itu juga dia telah melompat menerjang si Cecak Terbang Lawe Wereng. Keris Wesi Kuning di tangannya menderu membelah udara. Dengan kemarahan meluap dia mengamuk bagai kesetanan.

Lawe Wereng terkesiap kaget. Nyaris lehernya terkoyak senjata pusaka Gajah Sora itu. Dengan sebatan dia segera gunakan kosentrasinya. Serangan-serangan Walet Wungu memang tak boleh dianggap remeh. Di samping pukulan-pukulannya yang mengarah ke tempat-tempat berbahaya, senjata keris Wesi Kuning itu tak kalah jauh berbahayanya.

Dengan membentak keras segera dia merobah gerakan. Terkejutlah Walet Wungu melihat dengan seketika serangan-serangannya dapat diatasi. Dan bahkan kini berbalik dia yang terdesak. Terpaksa Walet Wungu gunakan kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan lawan. Beruntung gadis ini mempunyai kelebihan dalam hal kegesitan, hingga pertarungan boleh dikatakan cukup seimbang.

Di pihak lain Raden Wirakrama masih terus menggempur si Hantu Pencabut Nyawa dengan gencar. Ternyata panglima muda ini telah mewarisi ilmu-ilmu Bahugora si Dedemit Segera Kidul. Serangan-serangannya tak memberi kesempatan sedikitpun pada perempuan tua itu untuk mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan ilmu sihirnya.

Sementara itu Pati Lanang yang merasa keadaan tidak menguntungkan telah berkelebat masuk ke dalam Istana Kuno... "Haha.,.. biarlah mereka bertempur. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan baik ini!" mendesis Pati Lanang dengan wajah menyeringai.

Sementara itu di lain tempat dua sosok tubuh berlari cepat melintasi hutan lebat. Dari gerakan lari mereka nyatalah kalau mereka bukan orang-orang biasa. Ternyata mereka memang bukan lain dari si Dewa Linglung dan Srimala yang bertujuan menyatroni Istana Kuno.

"Agak pelahan, Srimala! Hati-hati! Di tempat ini banyak bahaya...!" desis Nanjar berbisik. Benar saja. Baru selesai Nanjar bicara telah berkelebatan sosok tubuh menghadang dari balik semak belukar.

Sebentar saja enam orang laki-laki bertampang seram telah mengurung mereka dari segenap penjuru. Nanjar yang mengawasi penghadang-penghadang ini segera melihat si laki-laki berbaju kuning Iblis Kipas Emas berada diantara mereka.

"Hehe... ternyata kau masih hidup, bocah! Dan membawa "Santapan" yang masih segar bugar! Hehe... kali ini kau tak mungkin lolos!" berkata Iblis Kipas Emas seraya melompat mendekat.

"Habisi nyawanya! biar nona manis ini bagianku!" teriak si Iblis Kipas Emas memberi tanda pada kawan-kawannya.

Nanjar segera mengetahui bahwa kali ini lawan-lawannya bukanlah sebangsa keroco biasa, melainkan tokoh-tokoh Rimba Hijau kaum golongan hitam yang berilmu tinggi.

"Tahan!" teriak Nanjar. "Kalian menginginkan nyawaku tanpa sebab. Siapakah yang telah memberi perintah edan macam ini?"

"Hoho... kami diberi tugas oleh ketua kami. Dialah bergelar si Hantu Pencabut Nyawa!" menyahut laki-laki bertelanjang dada yang berkepala botak dengan muka penuh berewok. Di lengannya tercekal sebuah kapak bermata lebar.

Melengak Nanjar. "Siapakah si Hantu Pencabut Nyawa itu dan punya kedudukan apakah dia hingga membuat kalian tunduk pada perintahnya?"

"Hoho... pertanyaanmu banyak sekali? Tapi baiklah! Karena nyawamu pun tak akan tertolong lagi aku akan mengatakannya!" berkata si botak berewok ini.

"Dialah si penghuni Istana Kuno! Yang telah mempersatukan kami untuk mendirikan sebuah partai besar di wilayah ini! Bahkan dalam waktu dekat akan merebut kekuasaan Kerajaan! Hoho... kukira cukup jelas, bukan? Nah! segera bersiaplah untuk kau menghadapi ajal!"

"Bagus! tak percuma kedatanganku kemari! Sebelum ajal berpantang mati! Aku akan mempertahankan selembar nyawaku!" Sret! Sekali menggerakkan tangan Nanjar telah mencabut keluar senjata pusakanya.

Sementara Srimala pun telah mengeluarkan selendang suteranya untuk menghadapi pembegal-pembegal nyawa ini. Si botak berewok berkapak lebar ini tersurut mundur melihat sinar merah yang terpancar dari badan pedang di tangan pemuda itu.

"Pedang Mustika Naga Merah!" sentak mereka hampir berbareng. Tentu saja mereka mengenal pada senjata itu karena pada beberapa tahun yang lalu senjata pusaka itu pernah menghebohkan Rimba Hijau.

"Heh! kiranya kau si Dewa Linglung!? Bagus! tak percuma kami membunuhmu, karena kau bakal menjadi duri penghalang cita-cita kami!" bentak Buto Cakil alias si Kapak Malaikat. Laki-laki berkepala botak ini berikan tanda pada kawan-kawannya untuk segera maju menerjang.

Serentak saja terdengarlah bentakan-bentakan keras merobek udara. Kilatan-kilatan senjata tajam meluruk bagai hujan ke arah si Dewa Linglung.

"Menjauhlah!" berkata Nanjar seraya mendorong tubuh Srimala.

Dara ini melompat dua tombak. Tapi segera telah dihadang oleh si Iblis Kipas Emas. "Hehe... senjatamu sebuah selendang sutera. Apakah kau mau mempertunjukkan tarian di hadapanku?" berkata laki-laki ini dengan mata membinar dan muka menyeringai. Sebagai jawabannya adalah...

Whuuuk! Ztarr!

Selendang itu benar-benar telah mempertunjukkan tarian maut meluncur bagaikan seekor ular mematuk ganas! Tahu-tahu telah merobek jubah si Iblis Kipas Emas. Nyaris saja lehernya terkena serangan mendadak itu kalau dia tak cepat melompat menghindari. Merahlah muka laki-laki ini. Seraya membentak dia segera menerjang dara itu.

"Kurang ajar! ternyata kau murid si Pendekar Melati Putih!" kibasan lengan manusia menimbulkan uap hitam yang berbau amis. Sadarlah Srimala kalau itulah uap beracun. Seperti yang telah dikatakan Nanjar, manusia inilah yang telah melukainya. Srimala tutup jalan pernafasannya. Seraya berkelebat melompat ke sisi, selendangnya kembali menghantam.

Ternyata gadis murid si Pendekar Melati Putih dari puncak gunung Betiri ini bukan lawan yang enteng bagi si Iblis Kipas Emas. Karena dengan senjata selendang suteranya Srimala dapat menerobos kepungan dari serangan-serangan yang dilancarkan lawannya.

Sementara itu di pihak lain tampaklah pertarungan yang tak seimbang. Lima orang mengeroyok satu orang. Akan tetapi hal itu tak membuat si Dewa Linglung menjadi gentar. Kesempatan ini bahkan dipergunakan Nanjar untuk mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Suara membersit bagaikan suara desis seekor Naga yang ditimbulkan dari kibasan pedang Naga Merah membuat lawan-lawannya sedikit terpukau.

Nanjar memang belum mempergunakan senjatanya untuk menyerang. Selama itu dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya dengan lompatan-lompatan kera dan liukan ular untuk menghindari serangan. Kibasan pedangnya hanya dipergunakan untuk mengacaukan mereka.

Laki-laki jubah merah yang bersenjata bandu-lan berduri adalah tokoh hitam dari pesisir utara. Sen-jata bandulannya telah banyak merengut nyawa. Dialah yang berjulukan si Setan Utara. Sifatnya yang sombong dan takabur membuat dia membentak keras.

"Tahan! semua mundur!" teriak orang ini. Tentu saja bentakan itu membuat keempat penyerang segera melompat ke belakang.

"Heh! menghadapi bocah ingusan macam begini mengapa harus main kerubutan? Biarlah aku yang menghadapinya! Senjataku sudah lama tak menghirup darah!" berkata si Setan Utara dengan sikap angkuh.

"Haha... ilmu macam apakah yang akan kau gunakan untuk merenggut nyawa ku, setan muka bengap?" berkata Nanjar dengan berdiri satu kaki. Sikap ini terlihat sekilas seperti orang yang memandang enteng terhadap lawan. Akan tetapi itulah jurus Silu-man Bangau yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi sang lawan.

"Kurang ajar! inilah ilmu pencabut nyawa yang akan kupergunakan!" bentak si Setan Utara. Laki-laki jubah merah yang kedua pipinya menggembung mirip orang bengap itu gusar sekali. Sikap Nanjar seperti menganggap rendah dirinya. Seraya membentak keras dia menerjang...! Senjata bandulan berdurinya menderu ke arah kepala si Dewa Linglung.

Serangan itu dibarengi pula dengan hantaman lengannya ke arah dada pendekar konyol itu. Belum lagi serangan itu datang, tiba-tiba Nanjar sudah roboh terjengkang terlebih dulu. Tentu saja si Setan Utara tak menyangka sama sekali. Setan Utara melompat kaget. Gerakkannya bagus sekali. Begitu serangan lolos, dia lakukan salto di udara dan jejakkan kaki dua tombak di belakang lawannya.

Akan tetapi tersentak kaget laki-laki ini karena merasa tubuhnya bagian bawah ada yang tidak beres. Tahu-tahu terdengar suara tertawa tertahan dua orang kawannya. Yang tertawa adalah Lowo Ireng si Golok Samber Nyawa dan Jalu Wesi kepala perampok gunung Burangrang.

"Mengapa kau tertawa?" bentak marah. Akan tetapi ketika dia memandang kebagian bawah tubuhnya, merahlah seketika muka si Setan Utara. Ternyata celana pangsinya telah terbelah menjadi dua bagian dan merosot ke bawah.

"Haha...haha... ganti dulu celana mu dengan yang baru, setan bengap! barulah kau maju menghadapiku!" Nanjar tak dapat menahan rasa gelinya hingga dia tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata dengan gerakkan cepat sekali Nanjar telah gerakkan pedangnya menabas kebagian bawah tubuh si Setan Utara.

Mendadak si Setan Utara membeliak kaget. Wajahnya sekonyong-konyong berubah pucat pias. Lengan yang digunakan menutupi auratnya telah dibanjiri darah yang mengucur deras.

"Darah!" sentak Lowo Ireng dan Jalu Wesi dengan terperangah terkejut. Belum lagi hilang terkejutnya, Si Setan Utara telah roboh terjungkal. Ketika keduanya memeriksa ternyata nyawa si Setan Utara telah putus! Berubahlah seketika air muka pentolan-pentolan golongan hitam ini.

Serentak mereka membentak keras dan menerjang si Dewa Linglung. Pertarungan dahsyatpun kembali terjadi. Bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata tajam merobek udara. Nanjar tak dapat main-main lagi menghadapi serangan-serangan lawan. Jurus demi ju-rus terus berlanjut.

Sementara itu si Iblis Kipas Emas telah keluarkan senjatanya. Dengan senjata ini di tangannya tampak kini Srimala terdesak hebat. Beberapa kali nyaris senjata itu menggores kulit tubuh dan lehernya. Kalau tadinya si Iblis Kipas Emas cuma mau merobohkan tanpa melukainya, kali ini dia benar-benar dia mau menghabisi nyawa sang gadis.

Detik itulah tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu tubuh si Iblis Kipas Emas terlempar bergulingan. Kipas mautnya hancur bertebaran.

"Hah!? kau...kau..." membeliak mata laki-laki jubah kuning ini. Melihat siapa yang telah berdiri di hadapannya.

"Manusia telengas! masih juga kau mengumbar kejahatan?" terdengar bentakan halus. Sinar putih meluncur ke arah dada laki-laki ini. Terdengarlah jeritan parau si Iblis Kipas Emas. Tubuhnya berkelojotan bagai ayam di kuliti!

Akan tetapi cuma beberapa saat. Detik selanjutnya tubuh itu sudah terkapar tak bergerak. Nyawanya telah melayang ke Akhirat! sosok tubuh berbaju serba putih itu telah membunuhnya dengan menghunjamkan ujung tongkat yang digunakan sebagai penyangga tubuhnya.

Terpekik girang Srimala melihat siapa adanya orang yang telah menolongnya itu. "Guru...!" sekali melompat dia sudah tiba di hadapan wanita tua yang masih tampak bekas-bekas kecantikan parasnya. Dialah si Pendekar Melati Putih!

Sementara itu Nanjar telah berhasil merobohkan dua orang lawannya. Yaitu si Kapak Malaikat dan si Golok Samber Nyawa. Kini cuma tinggal dua orang lagi yang masih mati-matian menerjang si Dewa Linglung. Kembali sinar merah membilas udara. Terdengar jerit kematian salah seorang dari dua pengeroyok itu.

Ternyata Jalu Wesi si kepala perampok dari gunung Burangrang menemui ajalnya. Tinggallah yang seorang ini. Dia bernama Wikalpa yang bergelar si Se-tan Tongkat Darah. Akan tetapi tampaknya orang ini telah kehilangan semangat untuk bertarung. Di ke-sempatan yang baik dia tak menyia-nyiakan untuk se-gera melompat kabur melarikan diri.

"Kau tak dapat melarikan diri, setan tengik!" bentak Nanjar. Nanjar gerakkan lengannya menghantam dengan pukulan Inti Es. Hawa dingin menebar. Tubuh si Setan Tongkat Darah terjungkal roboh dengan tubuh kejang terbalut lapisan es. Tampak si Dewa Linglung perlihatkan senyum puas. Segera dia sarungkan pedang Naga Merahnya ke balik punggung. Lalu balikkan tubuhnya...

Tiba-tiba wajah Nanjar menampakkan keterkejutan. "Wah, celaka...!?" sentaknya. Buru-buru dia balikkan tubuhnya lagi. Ternyata cuma mau membenarkan celananya yang kedodoran.

Pendekar Melati Putih yang berdiri tak jauh di hadapan pemuda itu tersenyum. "Pemuda lucu, gagah dan berilmu tinggi, tapi macam orang tolol..." berkata wanita tua ini dalam hati.

"Kak Nanjar...! inilah guruku dari puncak gunung Betiri!" teriak Srimala. Gadis ini telah melompat menghampiri.

"Ah, selamat datang Pendekar Melati Putih...!" berkata Nanjar seraya menjura. Dia memang telah mendengar tentang guru Srimala ini. Tentu saja Nanjar disamping terkejut juga kagum. Ternyata walaupun telah berusia cukup lanjut, namun bekas-bekas kecantikan wanita tua ini masih tampak jelas membayang.

Di saat Nanjar bertempur tadi dia memang mendengar suara jeritan si Iblis Kipas Emas dan sekilas melihat kemunculan sesosok tubuh berpakaian serba putih. Walaupun dia belum tahu jelas siapa yang datang, tapi hatinya girang karena telah datang ban-tuan yang tak terduga. Hingga dia tak mengkhawatirkan nasib Srimala lagi.

"Senang sekali bertemu denganmu, anak muda! Gelar lucu mu si Dewa Linglung telah kudengar sebelum aku mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau. Ternyata kau telah menyandang pula gelar si pendekar Naga Merah dengan berhasilnya kau miliki pedang mustika itu...!" berkata si Pendekar Melati Putih.

"Ah, anda terlalu memujiku, bibi..." menyahut Nanjar. "Gelar-gelar itu tak sesuai dengan kebodohan yang kumiliki!"

"Kebodohan seseorang tak dapat dinilai dari luar. Dengan kau berhasil menumpas kelima penjahat besar itu serta ku melihat sendiri kehebatan mu membuat mata tuaku jadi terbuka, bahwa telah muncul seorang pendekar muda yang gagah perkasa pada zaman ini...!" Pujian itu membuat Nanjar tersipu.

"Kurasa aku sendiripun tak akan mampu menghadapi ilmu pedangmu dalam sepuluh jurus!" lanjut si Pendekar Melati Putih.

"Ah, aku yang rendah mana berani jual lagak di hadapanmu, bibi...?"

"Hm, menurut yang kudengar pedang mustika Naga Merah itu nama aslinya adalah bernama Kiam Hoat Ang Liong, milik seorang kaisar di negeri Tibet! Dalam gagang pedang itu telah disembunyikan segulung kertas kulit yang berisi sembilan jurus ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Kalau kau telah memiliki kesembilan jurus itu mana aku mampu bertahan dalam sepuluh jurus?" berkata si Pendekar Melati Putih dengan tersenyum.

"Aih, bibi...! aku belum sempat mempelajari kesemuanya. Mana mungkin aku dapat mengalahkanmu?" tukas Nanjar dengan wajah memerah.

Srimala yang mendengarkan percakapan itu entah mengapa hatinya berdebar tak keruan. Wajahnya sebentar-sebentar berubah. Hati wanita memang sukar di terka. Siapa sangka kalau diam-diam di hati dara ini telah bersemi bibit-bibit cinta...!

Rasa simpati pada diri Nanjar yang telah menyelamatkan dirinya dari cengkeraman Pati Lanang serta kejujuran dan kerendahan hati pemuda itu membuat dia semakin menaruh simpati terhadap pemuda itu.

Khayalan indah di mata dara ini terputus keti-ka mendengar Nanjar berkata. "Bibi...! kami sebenarnya sedang dalam perjalanan ke Istana Kuno! Tempat itu tak jauh lagi dari sini..." Segera Nanjar ceritakan secara singkat mengenai apa yang telah dilihat dan didengarnya.

Ternyata si pendekar Melati Putih telah dapat menerka siapa si penghuni istana Kuno itu. "Hm, kalau memang benar perampok perempuan itu adalah si Hantu Pencabut Nyawa berhati-hatilah terhadap dia. Setan perempuan itu memiliki ilmu sihir dan senjata-senjata rahasia mengandung racun yang berbahaya. Kelumpuhan kakiku pun akibat perbuatan kejinya. Terpaksa aku memotong kedua kakiku ini demi keselamatan jiwaku!" berkata pendekar wanita ini dengan air muka berubah.

"Ah...!" sentak Nanjar dengan mulut ternganga.

"Hm, marilah kita kesana!" berkata Pendekar Melati Putih. Lalu menoleh pada Srimala. "Berangkatlah lebih dulu, muridku..."

Srimala mengangguk. Gadis ini menatap sejenak pada si Dewa Linglung. Justru Nanjar tengah menatap ke arah gadis itu. Dua pasang mata saling bentur. Kalau Nanjar tak merasakan apa-apa, tapi hati gadis ini telah bergetar. Perubahan air muka Srimala nampak sekilas oleh si Pendekar Melati Putih gurunya.

"Pergilah kalian lebih dulu!" katanya dengan tersenyum.

"Bibi, bibi...!" sahut Nanjar dengan cepat seraya menggamit lengan Srimala, Nanjar segera menariknya untuk segera tinggalkan tempat itu. Nyessss! hati dara ini bagaikan disiram air sejuk. "Oh, Nanjar..! apakah kau mengetahui isi hatiku?" teriak hatinya yang diliputi kegembiraan.

Pendekar Wanita dari gunung Betiri ini menatap kepergian kedua muda-mudi itu dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. "Haiih! bocah gagah berilmu tinggi itu pasti banyak digandrungi perempuan. Srimala masih terlalu hijau. Cintanya cuma cinta monyet! Dia belum mengenal apa yang namanya patah hati! Kelak bila urusan sudah selesai aku perlu menggemblengnya lagi..." berkata dalam hati pendekar wanita ini.

Tak lama tubuhnya segera berkelebat meninggalkan hutan itu. Gerakan wanita tua berkaki buntung ini ternyata luar biasa cepatnya. Dalam sekejapan mata saja tubuhnya sudah lenyap tak kelihatan lagi...


Teriakan Walet Wungu membelah udara. Keris Wesi Kuning yang dipergunakannya terlempar ke udara. Sedangkan tubuh dara ini terlempar beberapa tombak bergulingan. Teriakan gadis itu membuat terkejut Gajah Sora yang telah buta. Dia melompat memburu ke arah suara orang terjatuh yang didengarnya.

Kilatan cahaya kuning yang melayang di udara yang dibarengi jeritan Walet Wungu membuat terkejut Raden Wirakrama. Kerajaan ini telah kehilangan sebuah senjatanya, yaitu pedang Mutiara Putih yang menancap di batang pohon akibat benturan dengan lengan si Hantu Pencabut Nyawa yang berisi tenaga dalam dahsyat.

Saat itu si Hantu Pencabut Nyawa tengah tertawa terkekeh. Dengan terlepasnya pedang mustika itu dari tangan lawan berarti kekuatan lawan jauh berkurang. Di saat itulah kilatan sinar kuning yang melayang di udara telah terlihat, bukan saja oleh Raden Wirakrama akan tetapi juga terlihat oleh perempuan iblis ini.

Mengetahui senjata yang melayang itu adalah keris Wesi Kuning, panglima muda itu tak berayal lagi untuk melompat menangkapnya. Justru saat itu si Hantu Pencabut Nyawa juga telah julurkan lengannya seraya melompat untuk menangkap benda pusaka si pendekar Gajah itu. Kesempatan baik itu tak disia-siakan perempuan iblis itu untuk menyarangkan pukulan dengan lengan kirinya.

"Terimalah kematianmu, panglima muda!"

Detik itulah selarik sinar merah membelah udara. Trang! Buk! Percikan lelatu api merambah udara diiringi teriakan parau si Hantu Pencabut Nyawa. Tubuh perempuan tua itu terlempar ke bumi. Selamatlah Panglima Kerajaan itu dari kematian. Keris Pusaka Wesi Kuning meluncur deras dan menancap di dahan pohon sampai ke gagangnya.

Terhuyung-huyung Rumpini mengangkat tubuhnya untuk bangkit berdiri. Tampak darah mengalir dari kelima buah jari-jari tangannya yang terpapas putus. Dari mulutnya menyembur darah segar. Perempuan iblis ini rasakan dadanya sesak dan terasa nyeri untuk bernafas. Tiga tulang rusuknya telah patah. Akibat tendangan kilat yang dilakukan si penyerang itu.

Tampaklah di hadapan si Hantu Pencabut Nyawa berdiam sosok tubuh. Siapa orang yang telah menggagalkan serangan maut iblis perempuan itu tiada lain dari si Dewa Linglung. Ternyata Nanjar dan Srimala telah tiba di Istana Kuno. Kemunculan mereka tepat pada waktunya. Saat itu Srimala terkejut melihat di depannya seorang laki-laki bermata buta dengan keadaan mengenaskan tengah meraba-raba mencari letak sesosok tubuh yang terkapar di rerumputan.

Tubuh seorang yang dalam keadaan terluka parah. Sesosok tubuh laki-laki berpakaian abu-abu baru saja berkelebat memasuki istana kuno. Tadinya Srimala mau mengejar. Akan tetapi segera diurungkan, karena mendengar laki-laki buta itu berteriak-teriak dengan melangkah terhuyung kesana-kemari dengan keadaan yang mengibakan hati.

"Anakku, Walet Wungu...! ah, dimana kau? kau terlukakah?"

Gadis ini tak sampai hati untuk mendiamkan hal itu. Segera dihampiri laki-laki buta itu. "Bapak...! dia ada di sebelah kirimu...!" berkata Srimala.

"Oh, siapakah kau?" sentak Gajah Sora terkejut.

"Tenanglah, pak tua! Aku bukan musuh...!" Srimala menggamit lengan Gajah Sora, lalu dituntunnya mendekati sosok tubuh si gadis yang terkapar pingsan itu.

"Ah, terima kasih...!" ujar Gajah Sora. "Walet...! Walet Wungu...! kau...?" tampak wajah laki-laki buta ini berubah pucat. Dia miringkan kepala dan menempelkan telinganya ke perut gadis itu. "Haih! sukurlah! kau cuma pingsan. Tapi kau telah terluka dalam! Siapa yang telah mencelakaimu, anakku?" menggumam Gajah Sora dengan air mata meleleh membasahi pipi tuanya.

"Oh, nona... siapakah kau? Apakah yang telah kau ketahui? siapa yang telah mencelakai muridku ini?" Tiba-tiba Gajah Sora palingkan kepala ke arah Srimala. Akan tetapi yang ditanya justru tengah memperhatikan raut muka dara yang pingsan itu.

"Dia... benarkah dia ini muridmu?" tanya Srimala.

"Benar! Tapi aku telah menganggapnya sebagai anakku sendiri..." sahut Gajah Sora. "Siapakah kau, nona?" balik bertanya Gajah Sora.

"Aku Srimala, murid si pendekar Melati Putih...!" sahut Srimala.

"Srimala?... Hm, seperti aku pernah mendengar nama itu...?" sentak Gajah Sora dalam hati "Ya, ya...! aku ingat! Walet Wungu pernah menyebut-nyebut nama itu!" gumam si Pendekar Gajah.

"Hah!?" sentak Srimala terkejut. "Katakanlah, bapak! siapakah nama gadis ini? apakah nama Walet Wungu itu pemberianmu apakah dia mempunyai nama lain?" tanya Srimala.

"Benar! nama ini aku yang telah memberikannya. Nama sebenarnya adalah PALASARI...!" sahut Gajah Sora dengan kerutkan kening. Kalau saja matanya tidak buta tentulah dia dapat melihat perubahan wajah Srimala.

Seketika itu juga gadis ini telah memekik histeris seraya memeluk tubuh Walet Wungu. "Kakaaak! kakak Palasari...! Oh, inilah aku adikmu Srimala..." Menangislah dara ini sejadi-jadiriya seraya memeluk dan mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tak sadarkan diri itu.

Gajah Sora terpaku tak beranjak dari duduknya. Laki-laki tua itu uraikan air mata. "Haih! tak disangka...! pertemuan dua orang saudara kandung bisa terjadi pada saat begini..." Gajah Sora geleng-gelengkan kepala dengan terharu. Walau dia tak dapat melihat, dia dapat membayangkan betapa pertemuan itu begitu menyayat hati.

Sebuah suara halus tiba-tiba terdengar menyibak udara diantara isak tangis Srimala. "Muridku... bangunlah! biar kuperiksa lukanya...! Srimala mengangkat wajahnya. Tampak gurunya telah berdiri di hadapan mereka.

"Sobat Pendekar Melati Putih! betulkah anda yang datang?" sentak Gajah Sora dengan wajah girang.

"Tidak salah, sobat Pendekar Gajah! Haih! mengapa kau bisa begini?" menyahut pendekar wanita itu.

"Iblis perempuan si Hantu Pencabut Nyawa bekas isteriku itulah yang membuat mataku buta!" menyahut si Pendekar Gajah.

"Ah, sungguh terlalu manusia itu. Setelah membuat kakiku cacad, ternyata membutakan pula matamu...! Sukurlah, iblis perempuan itu telah mampus!" berkata pendekar wanita ini dengan geram.

"Si... siapa yang telah membunuhnya?" sentak Gajah Sora dengan girang.

"Dia telah tewas dengan membunuh dirinya sendiri...!" sahut wanita ini dengan suara agak kecewa.

Dalam berkata-kata itu lengan pendekar gunung Betiri ini bekerja cepat menotok di beberapa bagian tubuh Walet Wungu. Lalu keluarkan sebutir pel yang segera dijejalkan ke mulut gadis itu. Dengan bantuan air ludah dia mendorong pel itu agar masuk ke dalam perut si gadis.

Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kekuatan Walet Wungu. Selang tak lama Walet Wungu tampak gerakkan tubuhnya. Lalu membuka mata lebar-lebar.

"Kakak...! kakak Palasari! aku adikmu....! Masih kenalkah kau padaku?"

"Srimala!..??" bagai bermimpi Walet Wungu menatap gadis di depannya. Saat itu juga kedua kakak beradik itu telah berpelukan dengan hujan air mata.

"Sobat Pendekar Gajah! kau masih punya harapan untuk dapat melihat lagi. Mudah-mudahan belum terlambat!" berkata Pendekar wanita ini seraya memeriksa mata Gajah Sora. Wanita ini keluarkan bungkusan obat dari dalam sebuah kantung dari balik pakaiannya.

Dengan cepat si Pendekar Melati Putih bekerja mencampur beberapa ramuan yang dibasahi air ludah. Lalu diperas dan diteteskan pada kedua mata Gajah Sora. Sisanya di balurkan ke sekitar mata. Kemudian dengan cekatan dia mengambil segumpal kapas yang digunakan untuk membungkus mata Gajah Sora. Dengan menyobek ujung jubahnya ia membalut mata pendekar tua itu.

"Jangan kau buka balutan ini selama tiga hari. Mudah-mudahan kau dapat melihat lagi!" berkata si Pendekar Melati Putih.

"Haih! entah bagaimana aku dapat membalas budimu, sobat Pendekar Melati Putih...!" berkata Gajah Sora dengan wajah penuh kegembiraan tak terlukiskan.

Pada saat itu Nanjar muncul dengan menyeret dua sosok tubuh yang telah tewas dengan tubuh membeku. Itulah mayat si Cecak Terbang Lawe Wereng dan pemuda murid Gajah Sora bernama Pati Lanang. Dibelakangnya mengikuti si panglima Muda Raden Wirakrama. Ketika kedua tubuh itu dilemparkan ke tanah, bergemirincinglah uang emas dan perhiasan dari dalam baju pemuda yang telah menjadi mayat ini.

Bagaimana kejadian sebenarnya hingga tewasnya si Hantu Pencabut Nyawa dan kedua orang ini? Ternyata ketika perempuan iblis bekas isteri Gajah Sora itu melihat keadaan tidak menguntungkan, telah berbuat nekat! Apalagi di saat itu keadaan dirinya sudah tak berdaya. Juga melihat kemunculan si Pendekar Melati Putih yang siap merenggut nyawanya. Sekali gerakkan tangan perempuan itu menghantam batok kepalanya sendiri! Dan tewas dengan seketika...!

Terkejut Pendekar Melati Putih, karena tak menduga sama sekali. Pada detik itu tiba-tiba Nanjar membentak keras, seraya melompat ke arah Istana Kuno. Berkelebatnya sosok tubuh Lawe Wereng tak luput dari penglihatannya. Nanjar mengajar manusia itu. Dalam waktu singkat Nanjar berhasil membinasakan manusia licik penuh tipu daya itu.

Ketika Nanjar memeriksa ke dalam Istana tua itu telah menjumpai Pati Lanang yang baru saja mengeruk barang-barang berharga yang disembunyikan si Hantu Pencabut Nyawa. Di dalam kamar rahasia. Bahkan di tangan pemuda itu tergenggam kitab pusaka Mega Mendung.

Melihat kemunculan Nanjar di dalam ruangan itu, Pati Lanang terkejut. Dengan gerakkan cepat dia menyelinap dan melompat kabur melarikan diri. Bayangan sekilas itu telah terlihat oleh Nanjar. Dengan membentak keras Nanjar menghantam ke arah bergeraknya bayangan itu.

Tak tanggung-tanggung, yang dipergunakan adalah jurus pukulan Inti Es. Jurus ini tak lagi digunakan dengan cara jungkir balik. Karena dengan ketekunannya berlatih, Nanjar telah berhasil menggunakannya dengan cara wajar. Tadinya bernama jurus tenaga dalam sungsang. Tak ampun lagi Pati Lanang menjerit parau. Tubuhnya terjengkang kaku. Nyawanya telah lepas meninggalkan raganya!

Saat itulah Raden Wirakrama menyusul masuk ke dalam Istana Kuno. Betapa gembira dan suka citanya panglima muda ini dengan kemenangan yang berada di pihak mereka. Demikianlah. Ketika Nanjar keluar dari bangunan tua bekas istana kerajaan itu dengan menyeret dua sosok mayat, Raden Wirakrama mengikuti langkah si Dewa Linglung. Tampak di tangan Panglima Kerajaan ini sebuah kitab yang tengah dibalik-balik lembarannya.

Pendekar Melati Putih melompat menghampiri. "Kitab apakah itu, Raden Wirakrama?" bertanya pendekar wanita ini. Wanita tua ini mengetahui kalau laki-laki itu seorang abdi Kerajaan dari keterangan Walet Wungu.

"Hm, inilah kitab pusaka Mega Mendung! Kitab sesat yang harus dimusnahkan!" menyahut panglima Kerajaan ini. Sekali kedua lengan abdi Kerajaan itu meremas. Hancurlah benda pusaka itu menjadi serpihan kertas kecil-kecil.

"Sobat pendekar gagah.... ah, kemana dia?" sentak Wirakrama terkejut. Baru saja dia mau mengucapkan terima kasih, tahu-tahu orangnya sudah lenyap.

Srimala baru tersadar akan kepergian Nanjar. Dia melompat berdiri dengan wajah berubah kaget. "Dewa Linglung...." desisnya tersendat.

"Sudahlah muridku! Dia sudah pergi..! Janganlah kau melibatkan diri dengan api yang bisa membakar dirimu sendiri. Kau masih terlalu muda untuk urusan orang-orang dewasa! Agaknya kau masih memerlukan tambahan pelajaran lagi!" berkata si Pendekar Melati Putih.

"Aku masih dibolehkan tinggal di puncak gunung Betiri, guru?" bertanya Srimala diantara kesedihan yang membaur dengan kegembiraan.

"Ya, sampai kau benar-benar menjadi dewasa!" sahut sang pendekar wanita ini dengan tersenyum. "Tidak cuma sendiri, Srimala. Tapi juga bersama kakakmu dan paman Pendekar Gajah!"

Matahari semakin menggelincir ke arah barat ketika kelima sosok tubuh itu meninggalkan Istana Kuno. Di persimpangan jalan Raden Wirakrama minta diri untuk berpisah. Dia akan meneruskan langkahnya, kembali ke Blambangan. Tentu saja Panglima Kerajaan itu telah menceritakan panjang lebar mengenai tugasnya. Juga tugas dari gurunya untuk memusnahkan kitab sesat itu.

Pendekar Melati Putih mengangguk-angguk dengan tersenyum. "Selamat jalan, Raden...! Semoga Tuhan selalu membersihkan hatimu!" berkata pendekar wanita ini.

"Terima kasih, bibi pendekar!" sahut Raden Wirakrama. Setelah sekali lagi minta diri, Raden Wirakrama segera melangkah pergi dan berkelebat cepat untuk kembali ke Kota Raja.

Nun jauh di arah tenggara, tampak si Dewa Linglung melangkah lebar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sekali dia menendang batu yang menggeletak di tanah.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.