Raja Raja Gila

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Raja Raja Gila Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Dewa Linglung - Raja Raja Gila

SATU

Angin pegunungan bertiup kencang. Awan hitam bergulung-gulung menebarkan hawa dingin menusuk ketulang sumsum. Pemuda ini berlari cepat menuju kearah tebing-tebing curam yang membentang dihadapannya.

Dia seorang laki-laki yang masih muda. Berpakaian lusuh dengan rambut gondrong tanpa ikat kepala. Sebentar-sebentar dia menengadah menatap ke langit.

Cerita Silat Indonesia Karya Ginanjar

Burung-burung elang itulah yang jadi titik tumpu perhatiannya. Burung-burung elang yang beterbangan memutari satu tebing curam, dimana dibawahnya membentang jurang-jurang dalam yang tak terukur dalamnya. Siapakah adanya pemuda ini? Dialah yang bernama Ginanjar. Pemuda yang berasal dari lereng gunung Rogojembangan.

Satu perasaan aneh telah membuat pemuda ini mempercepat larinya untuk segera tiba di tempat tujuan. Semakin dekat dengan yang dituju, semakin resah hatinya. Elang-elang itu menjadi satu pertanda buruk bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di tempat itu.

Melewati dua buah bukit, pemuda ini berhenti berlari. Dihadapannya kini membentang jalan-jalan licin dan terjal yang harus dilalui untuk mencapai kearah tebing batu yang paling ujung.

Suara petir yang menggelegar diudara didahului dengan kilatan-kilatan yang menyambar membuat pemuda ini agak terkejut. Tetes air hujan mulai turun. Dan tak lama hujanpun turun dengan derasnya membasahi bumi.

Sementara elang-elang itu sudah tak memutari ujung tebing itu, karena mereka telah terbang untuk bertindung ke bawah tebing dari curahan hujan lebat yang mengguyur bumi.

Pemuda ini kertakan gigi. Tekadnya untuk segera tiba ditempat tujuan membuat dia tak pedulikan lagl segala macam rintangan. Dia mulai gerakkan lagi kakinya untuk segera berlari cepat. Tapi kali ini harus hati-hati. Terpaan angin keras membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Namun dengan gerakan gesit bagai burung walet, dia terus melompat dan meniti tebing batu itu.

Keberanian pemuda ini memang luar biasa. Karena salah sedikit saja kakinya melangkah, tubuhnya bisa tergelincir ke bawah dimana membentang mulut jurang yang menganga siap menamatkan hidupnya. Bau busuk mulai terendus hidung. Wajah pemuda ini semakin memucat. Detak jantungnya semakin cepat.

Batu-batu licin yang diterpa hujan itu sudah sudah tak dihiraukan lagi. Baginya dia ingin lebih cepat tiba untuk melihat apakah yang telah terjadi. Akhirnya Ginanjar tiba dimulut sebuah goa yang terietak di ujung tebing terjal. Goa yang tersembunyi itu akan sukar ditemukan karena diapit oleh dua jurang di kiri dan kanannya.

Bau aneh semakin santar menusuk hidung ketika pemuda itu jejakkan kaki di mulut goa dibibir jurang. Terperangah dia seketika melihat sesosok tubuh terlentang tepat dimulut goa. Sosok tubuh yang sudah membusuk dan dikerumuni lalat. Dengan sembilan luka di sekujur tubuhnya. Petir kembali menggelegar menimbulkan kilatan cahaya berkilatan.

Dan bersamaan dengan dentuman petir itu terdengar suara pemuda itu berteriak. "Guruuu...!?"

Sepasang kakinya berdiri menggeletar, sedangkan matanya membelalak memandang sosok tubuh yang segera dikenalinya. Sekejap dia teiah melompat mendekati sosok tubuh itu. "Guru...!? Oh, apakah yang telah terjadi? Sipakah yang telah membunuhmu...?" terucap kata-kata menggeletar dari bibirnya.

Pemuda itu duduk bersimpuh di hadapan jenasah itu. Tampak tubuhnya berguncang-guncang karena dia telah menangis terisak-isak. Air matanya bercucuran dengan air hujan yang membasahi wajah dan pakaiannya. Inilah rupanya pertanda buruk dari elang-elang yang berterbangan mengitari tebing.

"Guru…! maafkan aku! Maafkan muridmu yang tolol ini. Yang tak pernah kembali untuk menjengukmu disini," berkata dia seperti mengajak bicara mayat di hadapannya. Kembali pemuda itu tenggelam dalam isak tangis yang menyedihkan.

Siapakah gerangan orang tua yang telah menjadi mayat yang ditangisi kematiannya oleh pemuda itu? Dialah yang bernama KI DHARMA TUNGGA. Kakek yang berusia hampir seratus tahun itu adalah Ketua kaum Rimba Hijau. Walaupun pemuda yang berasal dari lereng gunung Rogojembangan itu tak terlalu lama berguru pada kakek ini, namun dia telah merasa begitu kehilangan dengan kematian sang guru.

Dua tahun dia berguru, lalu meninggalkannya setelah terjadinya peristiwa dipuncak Mahameru, dimana lima tokoh yang menamakan dirinya LIMA SERIGALA MALAIKAT yang diketuai oleh seorang tokoh golongan hitam bergelar si MATA IBLIS mau mengangkat diri sebagai Ketua kaum persilatan.

Namun dengan munculnya Ki DHARMA TUNGGA yang dibantu oleh para pendekar golongan putib, niat busuk mereka dapat digagalkan. Lima Serigala Malaikat dan si Mata Iblis dapat dihancurkan dengan kematian manusia-manusia jahat itu. (Baca, Serial Roro Centil berjudul Lima Wajah Seribu Dendam).

Sejak itu Ginanjar pergi tak tentu rimbanya. Berkelana tak menentu. Tapi apakah yang telah didapatkannya? Melulu cuma kesialan belaka yang lebih banyak dihadapi. Dan bermacam perbuatan tercela yang telah dilakukan. Karena Ginanjar kurang memperhatikan wejangan-wejangan gurunya. Bahkan ilmu-ilmu hebat yang telah diturunkan guru-gurunya hampir dilupakan.

Sejak turun gunung dari lereng Rojembangan, Ginanjar telah punya bekal ilmu-ilmu kedigjayaan dari KI BAYU SHETA yang bergelar si Pendekar Bayangan. Pada dua puluh lima tahun yang lalu nama Pendekar Bayangan merupakan sebuah nama yang harum di mata kaum pendekar.

Tapi Ginanjar sebagai murid tunggalnya tak punya nama secuilpun yang dapat dibanggakan dimata kaum persilatan. Bahkan pedang pusaka warisan gurunya dari lereng Rogojembangan itupun tak ketahuan kemana lenyapnya akibat keteledoran dan kebodohannya.

Kini setelah berguru pada DHARMA TUNGGA yang punya nama besar bahkan menjadi orang yang disegani dimata kaum Rimba Hijau. Ternyata Ginanjarpun bukanlah seorang murid yang utama, yang menjunjung nama gurunya. Hal itulah yang membuat dia bersedih setengah mati.

Dalam kisah serial Roro Centil, dikisahkan Ginanjar pernah dijuluki si Dewa Linglung. Julukan itupun didapati karena entah apa sebabnya hingga sampai-sampai dia menjadi orang linglung. Bahkan nama gurunya yang terakhir pun dia lupa. Ilmu-ilmu yang didapati dari Dharma Tungga tak satupun yang pernah digunakannya lagi setelah peristiwa dipuncak Mahameru itu.

Ginanjar cuma mengejar cinta. Dia terlalu mencintai Roro Centil, hingga lupa segala-galanya. Selain itu tak sedikit pula dia jatuh ke tangan perempuan-perempuan jalang yang berilmu tinggi. Yang cuma menjadikan dia sebagai bulan-bulanan. Sungguh hal ini membuat dia sangat bersedih setelah menyadari kelalaian serta kebodohannya.

Pemuda itu semakin tenggelam dalam sedu-sedan. Tenggelam dalam kepedihan hati. Tenggelam dalam kutukannya pada dirinya sendiri! Sementara hujan semakin deras menyiram bumi. Diseling sesekali oleh kilatan petir yang menimbulkan suara dentuman menggelegar merambah alam. Seolah akan membuat bumi menjadi lautan layaknya.

DUA

Lama Ginanjar duduk termangu memandangi mayat gurunya. Dibiarkannya tubuhnya basah kuyup tersiram air hujan. Akan tetapi selang tak lama kemudian hujanpun berhenti. Ginanjar baru tersadar dari tercenungnya ketika telinganya mendengar suara elang-elang yang telah kembali berputar-putar diatas tebing.

"Elang keparat!" memaki pemuda ini. Lengannya menjuput sebutir batu. Krrrrk! Batu itu telah diremasnya hingga hancur. Detik berikutnya lengannya telah bergerak mengayun keatas. Hebat tenaga luncuran batu itu.

Tiga ekor elang yang terbang agak mendekat bunyikan suara, "Eaaaak!"

Dan ketiganya segera terhempas jatuh melayang ke dasar jurang. Empat ekor lainnya terbang dengan cepat karena terkejut melarikan diri. Namun salah seekor terbangnya limbung karena sebuah sayapnya terluka kena sasaran batu.

Dengan geram Ginanjar pandangi elang-elang yang kabur itu hingga lenyap dibawah tebing. Air mata pemuda ini masih menggenang di pelupuk mata ketika dia telah selesai mengebumikan jenazah Ki Dharma Tungga. Dia berdiri tak bergeming sambil tundukkan kepalanya. Matahari sudah agak condong kearah barat. Udara cerah tak berawan. Angin kencang telah menghembus awan-awan hitam itu hingga membuat langit bersih tak berawan.

"Aku harus segera pergi dari tempat ini!" berkata dia dalam hati seraya menengadah menatap langit. "Entah siapa dan dimana si pembunuh keji itu berada. Akan tetapi aku bersumpah untuk membalaskan dendam ini. Akan kucari dan tetap kucari selama hayat masih dikandung badan!" Dipandanginya gundukan tanah basah yang ditimbuni batu-batu itu dengan mata merah.

"Guru, semoga arwahmu tenang di alam Baka. Muridmu yang tolol ini akan mencari musuh yang telah membunuhmu dengan sekeji ini. Aku yakin dia adalah manusia yang menginginkan Lambang Ketua Rimba Persilatan ditanganmu. Dengan sepotong pedang yang tertancap di tubuhmu ini, aku yakin akan menjumpai manusianya yang telah menyebabkan kematianmu!" berkata Ginanjar dengan suara menggetar.

Di lengannya tercekal sepotong pedang bagian ujungnya. Hanya benda itulah yang dapat menunjukkan siapa yang telah menewaskan Ki Dharma Tungga. Ketika suara elang kembali terdengar di udara, pemuda itu telah berkelebat meninggalkan lereng tebing curam itu dengan berlari-lari cepat.

Tak berapa lama dia telah tiba diatas bukit. Berhenti sejenak untuk berpaling memandang lagi ke arah tebing curam yang akan ditinggalkan. Lalu dengan hati remuk redam pemuda itu segera teruskan berlari menuruni bukit. Tak lama kemudian sosok tubuh pemuda itupun lenyap.


Siang itu udara panas terik. Matahari membinar-binar membersitkan sinarnya seperti mau membakar bumi layaknya. Adalah aneh kalau dalam panas demikian terik justru seorang kakek enak-enakan tiduran terlentang diatas batu dengan mata meram.

Kakek ini bertubuh jangkung kurus, tanpa memakai baju. Kecuali celana pangsinya yang kumal dan bertambal-tambal itu yang dipakainya. Rambutnya gondrong awut-awutan dan sudah hampir memutih semua.

Lebih aneh lagi didepan si kakek ini tampak sebutir telur yang amat besar. Telur aneh itu berada disela-sela batu beralaskan rumput dan ranting-ranting kayu kering. Keadaan ditempat itu amat lengang, seperti tempat yang tak pernah dikunjungi manusia. Hanya bukit-bukit batu terjal dan ranting-anting kayu kering yang berserakan di sana-sini.

Ternyata kakek ini tengah menggeros tidur dengan nyenyaknya. Entah berapa saat si kakek meggeros tidur, ketika sesosok tubuh muncul diujung tebing. Matanya jelalatan kesana kemari seperti ada yang dicarinya.

"Ah, kemana gerangan kakek? makanan sudah matang tapi ditunggu orangnya tak muncul!" menggerutu gadis ini.

Ternyata dia seorang gadis berpakaian serba putih yang juga penuh tambalan. Tak lama dia sudah melompat-lompat dan berlari-lari cepat menelusuri tempat itu. "Eh!? itu dia..!? teriak gadis ini girang. Pandangannya segera tertuju pada si kakek jangkung kurus yang tengah enak-enakkan menggeros terlentang diatas batu.

"Kakek...!" teriak gadis ini memanggil. "Bangunlah! makanan sudah kusiapkan. Apakah kau tak ingin makan sekarang?" ujarnya.

Tapi yang dlpanggil seperti tak mendengar. Bahkan dengkurnya semakin menjadi-jadi. Gadis ini jadi tak sabar memanggil. Apalagi di panas terik begitu melihat sikakek terlentang diatas batu tak bergerak-gerak. Menduga kalau-kalau si kakek itu telah mati, membuat jantungnya jadi berdebaran. Mendadak dia telah melompat ke arah sang kakek dengan hati penasaran.

Ternyata gadis ini punya gerakan melompat yang hebat dan gerakannya pun indah. Dua kali jejakkan kaki dengan tubuh melambung dan berjumpalitan diudara. Sesaat dia telah melayang turun dihadapan si kakek dengan kedua lengan terentang.

Terkejut gadis ini ketika nyaris kakinya menginjak sebuah benda putih bulat, kalau saja pada saat itu si kakek yang mendengkur pulas itu tak menguap dan gerakkan tangan seperti baru mendusin. Akan tetapi membuat gadis ini dua kali terkejut. Karena detik itu telah menyambar angin keras yang membuat dia terperangah.

Tak ampun gadis ini berteriak tertahan, karena saat itu juga tubuhnya terlempar lagi ke udara. Seraya berteriak; "Haiiiii!?" dia segera lakukan salto yang cepat sekali kalau tak mau terbanting ke tanah dengan kapala terlebih dulu. Dan dengan usaha itu dia dapat jejakkan kakinya ditanah dengan baik. Segera dia telah melihat si kakek gurunya itu bangkit duduk sambil tertawa cengar-cengir.

"Hehehe... hampir saja kau melenyapkan impianku, muridku yang manis!" berkata si kakek.

"Impian?... impian apakah, kakek? Dan... telur apakah yang demikian besar itu?" bertanya sang dara ini dengan kembali melompat mendekat.

"Hehehe... aku justru sedang menunggui telur ini, dan menunggu impian yang kelak bakal datang. Hingga sampai-sampai aku lupa bahwa aku telah memesan makanan padamu. Hehehe... hayo kita pulang!" menyahut sikakek tanpa berikan penjelasan pada sang murid.

''Tidak! Aku tak mau pulang sebelum guru menjelaskan tentang telur itu. Dan apa maksud kakek menunggu impian yang kelak bakai datang?" sungut sigadis dengan cemberut. Lalu duduk diatas batu sambil membelakangi sikakek.

Melihat sikap muridnya kakek ini jadi tertawa terkekeh-kekeh. "Baik! baik anak manis! Tapi nantilah dirumah aku ceritakan. Sekarang kita pulang dulu. Perutku telah keroncongan. Bukankah tadi kau mengatakan bahwa masakanmu sudah matang?" berkata si kakek. Tiba-tiba lengan sikakek ini mengibas kearah sang gadis. Whuuuuk!

"Haiii?" teriak gadis ini. Sekejap tubuhnya telah melompat setinggi lima tombak untuk menghindari angin keras yang membersit menghantam ke arahnya. Batu itulah yang jadi korban sasaran yang tak ampun lagi telah terungkit dan menggelinding bagai dihernpas angin badai.

Saat tubuh si gadis masih melambung di udara, tubuh si kakek mendadak telah melesat dari atas batu. Lengannya terulur menyambar lengan gadis itu. Segera saja sang gadis rasakan tubuhnya terbetot satu tenaga yang keras. Sekejap saja dia sudah melayang seperti terbang melintasi bukit itu.

Ternyata si kakek telah menyambarnya untuk dibawa melesat menuruni bukit batu dengan perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh. Sesaat kedua tubuh itu telah lenyap tak kelihatan lagi.

TIGA

Siapakah gerangan kakek aneh dan muridnya itu? Dialah yang bergelar Raja Pengemis. Dia seorang tokoh Rimba Hijau yang beradat aneh dan tak mempunyai tempat tinggal tetap. Gadis itu bernama Ranggaweni. Seorang gadis periang berusia sekitar enam belas tahun. Selama lebih dari tiga tahun dia berguru dengan Si Raja Pengemis. Selama itu Ranggaweni selalu mengikut kemana sang guru membawanya.

Gadis ini seorang yatim piatu, yang pernah menetap diwilayah Kota Raja. Ayahnya bernama RONGGO ALIT. Seorang pedagang obat-obatan yang mempunyai toko besar dan terkenal sebagai tabib ahli obat diwilayah Kota Raja sebelum dipindahkannya Kerajaan Medang ke Jawa Timur. Dan berganti nama menjadi Kerajaan Mataram. Ibunya telah meninggal sejak dia masih berusia 10 tahun.

Ternyata disaat pindahnya Kerajaan Medang baru berjalan satu bulan. Telah terjadi suatu peristiwa pada keluarga Ronggo Alit. Yaitu kemunculan segerombolan perampok yang menyamar sebagai orang dari perusahaan pengangkut barang. Empat orang itu menawarkan jasa untuk mengangkut barang-barang Ki Ronggo Alit.

Pada masa itu memang, disetiap tempat di bekas wilayah Kerajaan Medang, orang-orang banyak yang menyewa gerobak-gerobak untuk mengangkut barang-baranrgnya. Karena tidak sediklt rakyat jelata yang juga ikut pindah kewilayah Kerajaan yang baru. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ki Ronggo Alit. Usianya yang sudah semakin menua tak memungkinkan dia meninggalkan tempat kediamannya. Dia akan tetap tinggal disitu.

Yang membuat bersedih dan masygul orang tua itu adalah tak pernah munculnya Ginanjar ke tempatnya, sejak lebih dari dua tahun. Seperti pernah diceritakan pada kisah serial Roro Centil, Ginanjar tinggal menetap di tempat kediamannya atas perintah Ki Bayu Sheta alias si Pendekar Bayangan.

Ki Bayu Sheta adalah seorang sahabatnya yang pernah dikagumi dalam membantu para pejuang dan Partai Kaum Pengemis mengusir penjajah dan membasmi perberontak di wilayah Kerajaan Medang pada lebih dua puluh tahun yang lalu.

Akan tetapi Ginanjar menghilang. Pergi sampai lebih dua tahun tak pernah kembali. Sejak dia menyuruhnya mencari bahan obat-obatan. Di tempat kediamannya ada pula menetap seorang gadis bernama Kasmini. Gadis suruhan yang setia membantunya selama ini. Namun Kasmini sendiri ternyata telah dibawa pergi oleh seorang tokoh wanita bernama Nini Kemuning Wangi.

Nini Kemuning Wangi adalah seorang tokoh persilatan golongan putih yang masih kakak kandungnya. Nini Kemuning Wangi datang menyambangi tempat tinggalnya jauh-jauh dari pantai utara. Dia adalah istri dari seorang saudagar kaya diwilayah selat Madura. Ternyata kehidupan kakak perempuannya juga tidak bisa dibilang bahagia. Karena sang suami seorang yang gemar main perempuan.

Demikianlah, Nini Kemuning Wangi telah berpisah dengan suaminya lantaran tidak betah dengan kehidupan yang selalu dalam tekanan bathin itu. Ternyata begitu muncul dia telah menjadi seorang nenek-nenek yang berilmu tinggi. Tadinya wanita kosen itu penuju dengan anak gadisnya.

Tapi Ronggo Alit merasa kehilangan kalau anak gadis satu-satunya itu dibawa pergi. Akhirnya dia menyatakan akan membawa Kasmini, pembantunya yang setia. Kasmini memang seorang gadis yang lincah. Juga bertulang baik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan. Akhirnya terpaksa Ronggo Alit tak dapat menolak keinginan sang kakak perempuan.

Kini Ronggo Alit cuma tinggal berdua dengan anak gadisnya. Itulah sebabnya dia tak akan pindah saat itu. Ranggaweni masih gadis tanggung. Di samping dia masih mengharapkan kedatangan Ginanjar, si pemuda asal lereng gunung Rogojembangan itu kembali. Tentu saja tawaran itu ditolak oleh Ki Ronggo Alit dengan kata-kata ramah.

Tak dinyana kalau mereka adalah para perampok yang bernama Empat Setan Gila dari Nusa Kambangan. Melihat kecantikan Ranggaweni yang masih gadis tanggung itu membuat mata mereka menjadi berbinar-binar menatap. Tentu saja sikap mereka yang kurang ajar telah membuat Ki Ronggo Alit jadi naik pitam.

Empat Setan Gila mengekeh tertawa dan serentak turun tangan untuk memberesi orang tua itu. Pertarungan tak seimbang segera terjadi. Namun percuma saja perlawanan Ki Ronggo Alit yang lebih banyak menekuni perihal obat-obatan daripada ilmu kedigjayaan. Laki-laki tua itu tewas dengan keadaan mengenaskan. Ranggaweni menjerit melihat kematian ayahnya.

Namun dengan sebat gadis itu ditotok. Tak lama kemudian Empat Setan Gila Nusa Kambangan telah membedal kuda meninggalkan tempat itu dengan membawa harta rampokan dan menggondol pergi Ranggaweni. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan seorang kakek aneh yang selalu tak pernah memakai baju. Kecuali selembar celana butut yang penuh tambalan. Dialah si Raja Pengemis.

Orang tua kosen itu berhasil menewaskan tiga orang dari Empat Setan Gila Nusa Kambangan, dan berhasil merebut Ranggaweni dari tangan mereka. Yang seorang lagi dapat meloloskan diri, dengan mengancam akan membuat perhitungan kelak pada si Raja Pengemis kelak.

Demlkianlah, hingga sampai lebih dari tiga tahun Ranggaweni ikut bersama kakek aneh bergelar Raja Pengemis itu yang tak pernah mempunyai tempat tinggal tetap. Hingga kemudian mereka menetap dilereng tebing yang sunyi dan jauh dari keramaian manusia.

Seperginya kedua guru dan murid itu muncul sesosok tubuh dari balik batu-batu. Ternyata Ginanjar adanya. Pemuda ini secara kebetulan baru saja merayap naik ke atas tebing. Dua hari melakukan perjalanan yang tak tentu arah yang dituju telah mengantarkan dirinya tiba di tempat ini. Justru tempat inilah yang akan merubah kehidupannya kelak.

Tentu saja Ginanjar tak melihat adanya si kakek Raja Pengemis di situ karena orangnya telah angkat kaki meninggalkan puncak tebing sejak sepeminuman teh barusan. "Uh, letih sekali tubuhku. Baiknya aku beristirahat. Tapi kulihat disini tak ada tempat meneduh yang baik..." menggumam Ginanjar.

Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak melihat sebutir telur besarnya hampir sebesar nyiru (tampah). Benda aneh itu berada di sela-sela batu karang yang penuh dengan tumpukan ranting dan rumput kering.

"Walah.. !? telur apakah itu? besar sekali! Baru seumur hidup ku melihat telur sebesar ini.." berkata Ginanjar sambil garuk-garuk kepala. Dia berpikir sejenak untuk menduga telur apakah yang sebesar itu? Akan tetapi dia tak dapat menerkanya. "Ah, peduli dengan telur apapun. Perutku sudah dua hari tak diisi makanan. Tentu telur ini bisa menangsal perutku yang keroncongan!" berpikir Ginanjar.

Tak ayal dia sudah melompat untuk memeriksa. Lalu coba mengangkat "Hahaha... cukup berat!" desisnya sambil tertawa memeluk telur.

Sebuah titik putih meluncur pesat di udara. Makin lama makin dekat. Ternyata seekor burung Rajawali yang amat besar, menukik tajam ke atas tebing itu. Terkejut Ginanjar ketika tahu-tahu terdengar suara mengiyak santar di atasnya. Dalam terkejutnya dia bergulir dari atas telur. Belum lagi dia sadar apa yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya telah kena di cengkeram sepasang cakar yang amat kuat. Dan... sekejap tubuhnya telah terangkat melayang ke udara.

Membelalak mata pemuda ini mengetahui yang menyambar tubuhnya adalah seekor burung Rajawali raksasa. "Celaka aku..!? aku dibawa terbang!" tersentak Ginanjar dengan terperangah. Hempasan angin keras yang datangnya dari kepakan sayap burung membuat Ginanjar memeluk erat telur itu. Tak terduga justru sang Rajawali mencengkeram telur. Sekejap saja pemuda itu sudah terbawa membumbung tinggi ke udara.

Dua sosok tubuh berkelebatan ke atas tebing. Keduanya tak lain dari si Raja Pengemis dan muridnya. Tentu saja kedua mata kakek itu membelalak melihat sesosok tubuh manusia yang memeluk erat telur raksasa telah dibawa terbang oleh seekor burung Rajawali yang amat besar. Sekejap sang Rajawali telah melayang jauh, dan lenyap dibalik tebing yang menjulang kelangit.

"Kakek…! itukah burung besar yang kau ceritakan? Oh dia mencengkeram sesosok tubuh manusia…!'' teriak Ranggaweni terperanjat.

Dengan belalakkan mata di sisi si Raja Pengemis. "Benar, muridku! Kita terlambat datang. Rupanya ada manusia yang mau mencuri telurku. Dia dicengkeram burung raksasa itu..." berkata si kakek dengan hati masygul. "Oh, dasar nasibku yang sial dangkalan! Lenyaplah sudah "impian" ku untuk memiliki anak burung Rajawali itu, dan menangkap induknya!" gerutu si Raja Pengemis dengan wajah kecewa.

"Aku yang salah, kakek…! kalau aku tak menyuruhmu pulang, tentu kau akan berhasil menangkap burung Rajawali itu. Akupun ingin sekali memiliki anak burung raksasa itu" tukas Ranggaweni dengan menunduk.

"Hehehe... kau tak bersalah apa-apa muridku! Cuma nasib kita saja yang sedang sial!" Si kakek Raja Pengemis ini tertawa gelak-gelak. "Entah siapa manusia yang telah digondol burung Rajawali itu… !? '' menggumam si Raja Pengemis.

Keduanya masih menatap ketempat lenyapnya burung raksasa itu, hingga beberapa saat. Tapi tak lama terdengar suara helaan napas si kakek Raja Pengemis. Seraya berkata. "Sudahlah, muridku! mari kita pulang..."

Gadis ini menganguk. Dan tak lama kedua guru dan murid itu telah kembali melesat meninggalkan tebing itu. Lalu lenyap tak kelihatan lagi.

EMPAT

Ginanjar tergantung-gantung di udara melewati bukit, lembah dan ngarai curam. Sementara burung Rajawali itu terus membumbung tinggi. Kalau saja Ginanjar tak cepat menangkap kaki burung raksasa itu dan mencekal erat-erat, tentu tubuhnya sudah melayang jatuh ke dalam jurang. Keringat dingin merembes keluar dari sekujur tubuh.

"Ah, celaka aku. Mau dibawa kemanakah telur ini?" mendesah suara Ginanjar dalam ketakutan yang amat sangat. Ketika memandang ke bawah semakin ngeri dia karena kini dibawanya membentang lautan luas.

Entah beberapa saat dia terapung-apung di udara dalam kengerian yang luar biasa. Ketika selang beberapa saat burung Rajawali itu terbang merendah. Lalu hinggap di atas daratan. Ternyata sebuah pulau yang cukup luas. Sebuah pulau terpencil di tengah laut.

Burung Rajawali perdengarkan suara mengiyak. Lalu melepaskan telur dari cengkeramannya. Ginanjar telah lebih dulu melompat turun. Dan jejakkan kaki di atas pasir. Akan tetapi sang Rajawali itu perdengarkan suara mengiyak tiada henti. Lalu berputar-putar mengitari telurnya. Dengan mengepak-ngepakkan sayapnya hingga debu dan batu-batu kecil beterbangan. Tiba-tiba sang Rajawali terbang mengelilingi Ginanjar. Tentu saja pemuda ini jadi terperanjat ketika tahu-tahu burung raksasa itu telah menerjangnya.

"Hah! celaka! dia marah...!" sentak Ginanjar.

Agaknya sang Rajawali baru sadar kalau ada manusia yang terbawa berikut telurnya. Menghadapi terjangan-terjangan itu Ginanjar melompat-lompat menghindar. Hebat serangan burung Rajawali ini. Kibasan sayapnya menerbitkan hempasan angin keras. Dan patukan-patukannya menyerbu dengan ganas.

Terperangah pemuda ini. Tapi dia tak berhasrat untuk balas menyerang, kecuali gunakan kegesitan tubuhnya untuk menyelamatkan diri. Pada saat itulah terdengar suara teriakan keras, berkumandang.

"Jabur! hentikan...!" Dan sesosok dari atas tebing melayang kedua tangan terpentang. Mirip sekali dengan gerakan terbang seekor bangau. Hinggap di atas batu tepat di hadapan Ginanjar tanpa timbulkan suara.

Kakek ini bermuka lancip. Rambutnya agak kecoklatan. Mengenakan jubah serba putih. Berkumis tipis jenggotnya cuma sejumput kecil mejuntai di bawah dagu. Mendengar suara bentakan itu sang Rajawali ternyata telah hentikan serangannya, lalu terbang kembali mendekati telurnya.

"Haih! anak muda! bagaimana sampai kau bisa berada di tempatku ini?" bertanya si kakek, menatap Ginanjar dengan sorot mata tajam.

Yang menjawab ternyata si burung Rajawali, dengan perdengarkan suara mengiyak tiada henti sambil menutupi telur dengan paruhnya.

"Diamlah kau Jabur! aku tak bertanya padamu!"

Tampaknya sang Rajawali itu mengerti bahasa manusia. Dia telah hentikan suara gaduhnya.

"Si... siapakah kakek?" Ginanjar bertanya karena rasa ingin tahu, seusai berikan penuturan singkat hingga dia bisa sampai di pulau ini.

"Hm, aku si tua bangka ini dijuluki si RAJA SILUMAN BANGAU! Yang menjadi penghuni pulau ini!" menyahut si kakek. Sementara sejak tadi dia memperhatikan sekujur tubuh pemuda dihadapannya dari kepala sampai ke kaki.

"Kau... kaukah si pemilik burung raksasa ini?" bertanya lagi Ginanjar.

"Benar!" sahut si kakek. "Siapakah namamu sendiri anak muda?" kakek ini ulangi pertanyaannya.

"Namaku NANJAR ! Aku berasal dari lereng gunung Rogojembangan" sahut Ginanjar perkenalkan diri seraya menjura menekuk lutut. Sengaja Ginanjar mempersingkat namanya.

Wajah si kakek ini tampak berubah. Tiba-tiba lengannya mengibas, seraya membentak. "Bangunlah anak muda! Tak usah banyak peradatan!" Hebat kibasan lengan si Raja Siluman Bangau. Karena saat itu juga bersyiur angin keras menyambar tubuh Ginanjar.

Karena tak menyangka kalau akan diserang, Ginanjar jadi terperanjat. Dia berusaha mengelak, tapi sudah terlambat. Tubuh pemuda itu terlempar bergulingan. Tapi dengan gerakan reflek dia telah lakukan salto dengan gerakan melompat. Hal itu membuat dia selamat dari bahaya. Karena nyaris tubuhnya terlempar ke laut. Dan dia berhasil jejakkan kakinya di atas pasir dengan kuda-kuda kuat.

Melotot mata Ginanjar memandang si kakek. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kejadian tersebut membuat dia menjadi gusar, akan tetapi juga tak mengerti mengapa tahu-tahu si kakek menyerangnya?

Akan tetapi belum lagi dia membentak, si kakek telah perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh. "Hehehe... hehehe... kau kurang waspada, anak muda. Tapi kau punya otak encer, bisa bertindak cepat merobah keadaan. Siapakah gurumu, bocah?"

"Aku murid si Pendekar Bayangan KI BAYU SHETA" menyahut Ginanjar.

"Hehehe... sudah kuduga. Bukankah gerakan melompat yang kau lakukan barusan adalah gerakan Elang Bayangan?"

Melengak pemuda ini mendengar kata-kata si kakek yang mengetahui gerakannya. "Benar! dari mana kakek bisa mengetahui?" Diam-diam Ginanjar membathin dalam hati. "Kakek tua ini pasti ada hubungan dengan guruku almarhum. Hm, aku harus hati-hati dengan si kakek ini. Apakah dia lawan atau kawan?"

Raja Siluman Bangau kembali perdengarkan suara tertawanya, seraya berkata. "Apakah gurumu tak pernah menyebut-nyebut tentang aku?"

Ginanjar kerutkan keningnya, mengingat-ngingat. "Rasanya tidak pernah! Ada hubungan apakah kau orang tua dengan guruku almarhum?" tanya Ginanjar.

Pertanyaan itu justru membuat si Raja Siluman Bangau jadi melompat kaget. "Hah? apa katamu? Dia sudah mampus?" bentaknya bertanya.

"Benar. Beliau tewas dalam satu pertarungan secara jujur dengan si DEWA TENGKORAK!" sahut Ginanjar menegaskan.

"Dewa Tengkorak?" lagi-lagi si Raja Siluman Bangau membelalak kaget. "Haiiih! Sungguh tak dinyana. Apakah kau yakin pertarungan itu berjalan dengan jujur? Setahuku si Dewa Tengkorak adalah seorang pembunuh bayaran berdarah dingin!" berkata Raja Siluman Bangau.

"Aku sendiri kurang mengetahui. Karena si pembawa berita itu adalah orang lain. Yaitu orang yang masih terhitung saudara seperguruanku."

"Siapakah dia itu?" tanya Raja Siluman Bangau.

"Dia Roro Centil yang dijuluki orang si Pendekar Wanita Pantai Selatan!" sahut Ginanjar. "Cuma dia seoranglah yang mengetahui pertarungan itu, yang disaksikannya di Bukit Kera pada lebih dari tiga tahun yang lalu" sambung Ginanjar.

Sejenak Raja Siluman Bangau tercenung sambil mengelus jenggotnya yang cuma sejumput. "Haiiih! lebih dari sepuluh tahun aku berdiam di pulau ini, sampai-sampai aku tak tahu keadaan diluaran!" terdengar dia berkata setelah didahului dengan menghela napas panjang.

"Kakek! kau belum jawab pertanyaanku?" tiba-tiba Ginanjar menyambar bicara.

"Hm, apakah kau akan menanyakan hubunganku dengan gurumu?" berkata dia dengan tersenyum.

"Ya, begitulah. Karena dari situ aku bisa mengetahui kau orang tua lawan atau kawan?" ujar Ginanjar dengan jujur.

Mendengar kata-kata itu si kakek tertawa lagi terkekeh-kekeh, hingga sampai-sampai air matanya bercucuran. "Hehehehe... dibilang lawan, aku adalah lawan. Tapi dibilang kawan aku adalah kawan. Kau anak muda berjodoh denganku hingga kau sampai ketempat ini! Mengenai hubunganku dengan si Bayu Seta akan kuceritakan nanti, setelah kau berhasil melewati ujian penentuan dariku!"

"Apa maksudmu sebenarnya, kakek tua?" berkata Ginanjar kesal.

"Hehehe...nasibmu tergantung dari kau sendiri. Karena kau telah berada di pulau ini. Yaitu kau harus dapat menghadapi 100 jurus seranganku. Bila kau mampu bertahan, kau selamat dari kematian. Akan tetapi bila kau tak mampu, yah! Apa boleh buat terpaksa kau cuma tinggal nama saja di dunia ini!" berkata Raja Siluman Bangau.

"Gila!!" teriak Ginanjar dengan mata melotot.

"Hehehe.. aku yang punya pulau ini, tentu saja aku bebas membuat peraturan-peraturan gila!" jawab si kakek seenaknya.

LIMA

Saat itu si burung rajawali bernama JABUR tiba-tiba perdengarkan suara mengiyak tiada henti, seraya melayang diudara berputar-putar diatas mereka. Raja Siluman Bangau kerutkan keningnya, hingga alisnya bergerak menyatu.

Tiba-tiba dia membentak keras. "Jabur! kau kembalilah kesarangmu. Ingat! Kau tak boleh kemana-mana! Kau eramilah telurmu sampai menetas. Kalau kau masih membandel aku akan menghajarmu, biar kau tahu rasa!"

Burung Rajawali raksasa itu mengiyak pelahan. Tubuhnya menukik melayang turun, lalu menyambar telurnya. Sekejap dia sudah terbang lagi untuk menuju ke puncak bukit tertinggi dipulau itu.

"Hehehe... tak lama lagi kita akan kedatangan tetamu. Aku sudah siap menanti!" berkata si kakek dengan menatap pada Ginanjar. "Dan kau anak muda. Nasib penentuan hidup matimu adalah hari ini!" sambungnya.

Ginanjar menatap pada si kakek dengan tak mengerti. Akan tetapi saat itu telinganya telah mendengar suara-suara aneh yang berdatangan dari beberapa arah di sekeliling pulau itu.

"Suara apa pula itu?" sentak Ginanjar berdesis. Diam-diam keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Suara-suara aneh yang tertangkap di telinga Ginanjar adalah seperti suara harimau, kera, ular, dan entah suara binatang apalagi. Suara itu semakin lama semakin santar, membuat hati Ginanjar semakin kebat kebit.

"Oh, apakah nasibku harus mati dipulau ini?" sentak Ginanjar berdesis, seraya berpaling ke beberapa arah dengan wajah pucat. "Makhluk-makhluk siluman apalagi yang bakal muncul, yang menjadi tetamu si Raja Siluman Bangau ini?" berkata Ginanjar dalam hati. Terperangah Ginanjar ketika mengetahui yang muncul adalah empat orang kakek tua renta yang bertampang aneh-aneh.

"Bagus! bagus! ternyata kalian muncul tepat pada waktunya, sobat-sobat yang gagah perkasa!?" Raja Siluman Bangau telah menyambut kedatangan mereka ini dengan melompat keatas batu besar. Lalu perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh.

"Hihoho.. kita masih belum komplit!" menyambar bicara seorang kakek bermuka hitam. Kakek muka hitam ini mencekal sebuah tongkat berkepala ular. "Aku tak melihat adanya si Raja Siluman Naga! kecuali seorang bocah ingusan didepanmu! Siapakah dia, sobat Raja Siluman Bangau?"

"Benar, sobat Raja Siluman Ular! Agaknya dia enggan datang untuk memperebutkan gelar KETUA Raja-raja Gila dipulauku ini!" menyahut Raja Siluman Bangau dengan tersenyum. "Bocah muda dihadapanku ini adalah seorang bocah yang kesasar ke pulauku. Menurut katanya dia bernama NANJAR. Dia murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta dari lereng gunung Rogojembangan!" jelaskan Raja Siluman Bangau.

"He, anak muda. Apakah kau belum mengenal mereka ini tetamu-tetamuku yang terhormat? Mereka adalah si Raja Siluman Kera, Raja Siluman Biawak, Raja Siluman Harimau dan yang barusan bicara adalah si Raja Siluman Ular!" berkata sikakek menatap pada Ginanjar, seraya menunjuk pada orang-orang yang disebutkannya.

"Apa yang kau mau lakukan pada bocah kesasar ini?" bertanya Raja Siluman Kera seraya melompat ke depan Ginanjar. Matanya membulat memandang pemuda itu mengitarinya seperti tengah menaksir barang. "Heh heh heh... tampaknya seorang pemuda bertulang baik. Nguk!... nguk!.. nguk! Dan pantas kalau dia murid si Bayu Sheta!" Tingkah si Raja Siluman Kera ini memang benar-benar mirip kera. Hingga hati Ginanjar semakin kebat-kebit tanpa bisa bicara apa-apa.

"Ya! ya grrrr.... dia bocah yang bertulang baik sempurna! Bagaimana sampai dia bisa ke sasar ke pulaumu, Raja Siluman Bangau?" berkata Raja Siluman Harimau seraya melompat. Kakek ini lebih aneh lagi. Dia mengendus-endus sekujur tubuh Ginanjar dengan menggereng bagai harimau.

Keringat dingin semakin mengembun ditengkuk Ginanjar. Sementara si Raja Siluman Biawak cuma memilin-milin kumisnya tak beranjak dari tempat dia berdiri. Tapi dia ikut buka suara. "Benar, Sobat Raja Siluman Bangau. Ceritakanlah bagaimana sampai bocah ini datang ke pulaumu. Dan yang ingin kutahu adalah akan kau apakan bocah ini setelah berada ditempatmu?"

Raja Siluman Bangau segera tuturkan perihal pemuda itu secara singkat. "Hehehehe... seperti tadi telah kukatakan pada pemuda ini, penentuan mati hidupnya adalah pada hari ini. Kalau dia mampu menghadapi seranganku selama 100 jurus, maka dia boleh menetap di pulauku, dan terhindar dari kematian! Tapi bila dia ternyata tak mampu, maka kematianlah yang akan dihadapinya!" berkata Raja Siluman Bangau dengan tegas.

Keempat kakek itu jadi manggut-manggut menatap Ginanjar seolah menaksir apakah bocah muda itu mampu menghadapi si Raja Siluman Bangau sampai 100 jurus?

"Lalu apakah kau akan undurkan puncak acara kita?" berkata Raja Siluman Kera dengan garuk-garuk kepala.

"Hehehe... tentu saja! Setelah selesai urusanku dengan pemuda ini, kita akan memulai adu kesaktian untuk mendapatkan gelar KETUA dari Raja-Raja gila diantara kita!"

"Baik! aku si Raja Siluman Kera menerima usulmu!"

"Tapi bagaimana akan syah gelar Ketua, kalau si Raja Siluman Naga tidak muncul?" sambar Raja Siluman Ular.

"Orang terakhir yang menang akan berhadapan dengan Raja Siluman Naga! Dan hal itu dapat dilakukan kapan saja!" berkata Raja Siluman Bangau.

Semua kakek itu menjadi manggut-manggut. "Nah! kalian harap menyingkir dulu. Aku akan selesaikan urusanku dengan anak muda ini!" berkata lagl si kakek.

"Baik! baik!" seraya menyahut, Raja Siluman Kera telah melompat mendahului untuk menyingkir ke sisi. Segera saja yang lain mengikuti.

"Hehehe hahaha... kita akan menonton pertarungan seru yang jarang terjadi!" berkata Raja Siluman Harimau sambil mengaum, lalu melompat keatas batang kayu rebah. Disana dia duduk mendekam dengan mulut menyeringai.

"Baik! aku akan hadapi kau Raja Siluman Bangau. Tak usah sampai 100 jurus, sampai 1000 juruspun tetap akan aku layani!" tiba-tiba Nanjar telah berteriak lantang, hingga suaranya berkumandang di tempat yang lengang itu.

Tentu saja kelima orang kosen yang aneh itu jadi melengak. Terlebih-lebih si Raja Siluman Bangau. Sepasang matanya jadi mendelik menatap pemuda itu. "Bocah edan! Belum sampai sepuluh juruspun aku kira kau sudah mampus. Apakah otakmu telah miring menantangku demikian rupa?" bentak si Raja Siluman Bangau.

Akan tetapi kata-kata Nanjar justru mendapat sambutan hangat dari keempat "Raja" itu. "Hehehe... hoho... nguk! nguk! Bagus sekali. Aku mendukungmu, bocah lereng Rogojembangan! Aku yakin kau pasti menang!" teriak si Raja Siluman Kera dengan melompat-lompat.

"Walah! Ini pertandingan seru! aku pegang si bocah edan ini!" teriak pula si Raja Siluman Harimau dengan menggeram.

"Kek... kek.... kek... aku tak akan bertaruh sama denganmu"

"Bocah ini berani sesumbar tentu punya ilmu tinggi. Bukankah dia murid di Pendekar Bayangan yang namanya harum di seantero Pulau Jawa?" berkata si Raja Siluman Biawak.

Tapi walaupun demikian ternyata masing-masing keempat kakek itu punya jalan pikiran sendiri-sendiri. Ternyata keempatnya diam-diam amat menyenangi pada pemuda bernama Nanjar itu.

Langit cerah tak berawan. Semilir angin laut menerpa jubah si Raja Siluman Bangau, yang menatap tajam anak muda dihadapannya. Tiba-tiba kakek ini perdengarkan suara aneh mirip suara bangau. Tubuhnya melesat keudara setinggi 10 tombak. Hebat gerakan kakek ini, karena selanjutnya tubuhnya seperti bisa terbang.

Melayang diudara mengitari Nanjar yang berdiri gagah dengan kuda-kuda yang kokoh. Siap menghadapi segala kemungkinan. Apakah yang membuat Nanjar nekat sesumbar? Ternyata semua itu adalah berdasarkan dukungan keempat kakek.

ENAM

Nanjar sendiri berpendapat tak akan mampu menghadapi Raja Siluman Bangau. Tapi entah mengapa dia merasa yakin kalau keempat kakek pendukungnya itu pasti akan menolongnya bila dia dalam keadaan terdesak. Hal itulah yang membuat dia menjadi nekat! Disamping diam-diam dia amat terkejut karena telah berjumpa dengan orang-orang kosen yang baru didengar namanya di pulau itu.

Raja Siluman Bangau menerjang dengan hebat. Sepasang lengannya bagai patuk bangau saja layaknya telah meluncur deras mematuk. Patukan itu menimbulkan hawa panas yang menerjang terlebih dulu. Nanjar tersentak kaget, barusan dia terperangah melihat tubuh si Raja Siluman Bangau yang dapat 'terbang" memutarinya. Tahu-tahu kini diserang secara mendadak.

Namun detik itu dia telah melompat menghindar. Tak dinyana gerakan si Raja Siluman Bangau tidak sampai disitu saja. Kakinya menotol tanah. Dan tubuhnya kakek itu kembali melambung dan terbang mengejarnya. Patukan-patukan ganas kembali bertubi-tubl menerjangnya. Pemuda ini kertak gigi.

Dalam keadaan demikian Nanjar benar-benar memeras otak untuk dapat bertahan atau menghindar serangan. Kembali dia berkelebatan melompat menghindar dari terjangan ganas itu. Hal demikian berlanjut terus sampai sepuluh jurus. Dan Nanjar selalu dapat menghindari serangan. Keempat kakek itu ternyata mempunyai tingkah macam-macam.

Ada yang berteriak "Bagus...!" sambil berjingkrak. Ada yang bertepuk tangan sambil berteriak-teriak. "Lompat ke kiri, buang tubuh ke belakang! Merangkak sambil nungging! Hahaha... heheh... bagus!" Yang berteriak-teriak ini tak lain dari si Raja Siluman Kera.

Saat tadi sebenarnya Nanjar telah terdesak. Tapi mendengar "aba-aba" si Raja Siluman Kera, tanpa disadari dia menuruti. Disamping heran juga girang hati Nanjar, karena dia berhasil menghindari serangan patukan-patukan ganas barusan.

Tentu saja teriakan-teriakan si Raja Siluman Kera membuat si Raja Siluman Bangau jadi mendelikan mata. Diam-diam dalam hati dia memaki. "Keparat, kunyuk tua itu. Mengapa dia mengajari si bocah muda ini?" Desisnya kesal.

"Jaga serangan!" tiba-tiba si Raja Siluman Bangau membentak. Kali ini dia merubah serangan yang lain dari serangan sepuluh jurus tadi. Lengannya tidak saja mematuk, tapi juga mengibas. Kibasan lengan jubahnya menimbulkan angin santar yang menerjang Nanjar. Tapi bukan angin biasa. Melainkan angin yang berhawa panas. Angin panas menderu menerjang pemuda itu.

Gerakan si Raja Siluman Bangau kali ini membuat Nanjar kembali terpukau. Karena belum lagi serangan tiba, tubuh kakek itu telah lenyap entah kemana. Tahu-tahu datang lagi angin panas dari arah lain yang saling susul menerjang kearah Nanjar. Kiri, kanan muka belakang seperti telah dibentengi oleh terpaan angin panas yang menghalangi jalan untuk melompat. Dalam keadaan terdesak itu, Ginanjar cuma bisa pejamkan mata.

Tapi tiba-tiba terdengar suara bentakan mendesing ditelinganya. "Lompat keatas, bocah gendeng! apa kau mau mampus?"

Berbareng dengan membuka kelopak matanya Najar telah turuti bentakan bernada perintah itu. Terasa angin panas bersiutan dibawah kakinya.

Saat itu terdengar suara bentakan si Raja Siluman Bangau. "Bagus!" Dan tiba-tiba saja manusianya telah berada diudara tepat dihadapannya. ''Terimalah kematianmu, bocah muda!" Dibarengi bentakan patukan ganas menyambar leher pemuda itu.

Empat butir batu kerikil meluncur pesat ke arah si Raja Siluman Bangau. Terkejut bukan main kakek ini. Kalau dia teruskan serangan untuk merenggut jiwa bocah muda itu, mungkin dia sendiri akan mengalami hal yang sama dengan nasib pemuda itu. Karena empat butir batu kerikil itu justru tengah mengancam jiwanya.

Raja Siluman Bangau cepat ambll keputusan. Dia batalkan serangan dengan segera. Kedua lengannya digunakan untuk menyampok mental empat batu kerikil itu dengan kibasan lengan. Tubuhnya sendiri berjumpalitan diudara dengan gerakan cepat. Dilain saat dia sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan empat batu ke-rikil yang mengandung maut, dan dikejap lain dia sudah jejakkan kaki kembali ke tanah.

"Setan bangkotan! mengapa kalian merecoki urusanku?" bentak si Raja Siluman Bangau dengan mata melotot. Akan tetapi bentakannya disambut dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.

"Hehehe... hehe... kami terpaksa merecokimu, tua bangka Raja Siluman Bangau. Karena kami tak ingin kau membunuh bocah muda itu." berkata Raja Siluman Ular dengan mendesis.

"Benar apa yang dikatakan sobat kami itu. Akupun menyayangi kalau dia terbunuh!" menimpali si Raja Siluman Biawak.

"Nguk! Nguk...! Betul, sobat Raja Siluman Bangau. Kukira sebaiknya dia diambil murid. Dan orang pertama yang akan mengambil murid adalah aku sendiri" Raja Siluman Kera ikut bicara dengan melompat-lompat dan garuk-garuk kepala dengan cengar cengir.

"Aku setuju! aku setuju! Grrr... haummmmm!" sahut si Raja Siluman Harimau sambil menggeram menyerlngai.

Mendengar kata-kata semua "Raja" itu, Raja Siluman Bangau jadi plototkan matanya kian melebar. "Baik! baik!'' berkata kakek ini dengan mendongkol. "Kalau begitu terserah dengan keputusan kalian. Tetapi dengan persyaratan, bocah itu kelak menjadi wakil kalian untuk menghadapiku pada pertarungan perebutan gelar KETUA Raja-Raja Gila yang akan diundur lagi. Masa pengunduran itu cuma sebatas dua tahun. Jadi bulan satu dua tahun dimuka kalian tak berhak apa-apa lagi atau ikut campur urusan pertarungan! Bagaimanakah?" ujar Raja Siluman Bangau dengan suara lantang.

Sejenak tampak ke empat kakek saling pandang dengan kawannya. Lalu bisik-bisik berunding. Tak lama mereka telah punya keputusan Raja Siluman Kera lah yang buka suara. "Kami semua telah sepakat untuk menyetujui usulmu, sobat Raja Siluman Bangau. Akan tetapi juga dengan persyaratan, kau tak akan mengganggu kami selama satu tahun ini kami akan berdiam dipulau mu!"

"Jangan khawatir! Selama kalian bersifat ksatria dan tak merusak pulau, silahkan kalian berdiam di tempatku!" Selesai berkata Raja Siluman Bangau melompat setinggi sepuluh tombak. Dan tubuhnya berjumpalitan di udara. Kejap berikutnya bagaikan burung bangau yang bentangkan sayapnya Raja Siluman Bangau telah melayang ke atas bukit. Selanjutnya lenyap tak kelihatan lagi.

Pulau itu memang luas, dan di daratan pulau ada terdapat tiga buah bukit yang penuh dengan semak belukar. Adapun Nanjar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan pembicaraan, jadi tersentak girang bukan alang kepaiang. Nasibnya ternyata amat beruntung dapat berjumpa dengan keempat kakek aneh itu. Tak ayal dia telah melompat kehadapan mereka seraya menekuk lutut.

"Guru...! murid menghaturkan sembah, dan mengucapkan terima kasih atas kerelaan hati kalian mengangkatku menjadi muridmu!" berkata Nanjar dengan suara tergetar lantang, karena luapan kegembiraannya.

Keempat kakek itu saling pandang sesama kawan. Tiba-tiba sama-sama perdengarkan suara tertawa gelak-gelak. Hingga ramailah kesenyapan di pulau itu oleh suara tertawa terkekeh-kekeh yang ditimpali dengan suara-suara aneh yang mirip suara ular, kera, harimau dan Biawak yang mendesis-desis.

"Bangunlah, muridku! Mulai hari ini kau adalah murid si Empat Raja Gila. Dan hari ini pula kau telah resmi menjadi murid kami!" berkata Raja Siluman Kera dengan menyeringai dan melompat-lompat.

"Hohoho... grrrr! betul, bocah! Nasibmu beruntung. Memang aku telah berniat mengangkat seorang murid. Grrr.... haummmmmmmm! Nah! sebagai seorang murid kau harus mentaati setiap perintah gurunya. Untuk resminya kau menjadi muridku, kau harus mencium dan menjilat pantatku! Hayo segera kau Iakukan!" berkata Raja Siluman Harimau dengan menyeringai.

"Hah...? Mencium dan menjilat pantat gu... guru?" terperangah Nanjar dengan mata membelalak.

"Betul. Hayo cepat lakukan!" teriak Raja Siluman Harimau dengan serta merta membuka celananya. Lalu membelakangi pemuda itu sambil menunggingkan pantatnya.

TUJUH

Seumur hidupnya Nanjar baru mengalami hal itu. Tentu saja membuat wajah pemuda ini menjadi merah jengah memandang ke arah pantat bugil si kakek Raja Siluman Harimau yang menungging di hadapannya. Nanjar agaknya sudah kepalang untuk mau melakukan apa saja, asal dia bisa belajar ilmu pada keempat kakek edan itu. Tiba-tiba dia telah berkata.

"Baik, guru...!" Seraya maju melangkahkan kaki, Nanjar siap mencium dan menjilat pantat si kakek yang keriput itu. Tapi tiba-tiba...

"Raja Siluman Harimau tua bangka! Hari ini bukan giliranmu memberi perintah!" Wuukkk...! Nguk! nguk!... singkirkan pantatmu, kakek peot!"

Yang berteriak adalah si Raja Siluman Kera. Dan berbareng dengan kata-kata hentakannya, mendadak tangan si Raja Siluman Kera mulur menjadi panjang. Whuttt! Nyaris saja pantat si Raja Siluman Harimau kena cengkeraman tangan si Raja Siluman Kera, kalau dia tak segera elakkan diri dengan melompat.

"Grrr!" menggeram Raja Siluman Harimau, hingga jenggotnya yang lebat itu bergerak dan bergoyang-goyang. Namun dia tidak marah dengan sikap si Raja Siluman Kera, selain buru-buru ikatkan lagi tali kolornya, dengan bersungut-sungut. Sementara kedua kakek Raja Siluman Ular dan Raja Siluman Biawak tertawa terkekeh-kekeh.

"Hahaha.... hehehe... hari ini adalah giliran si Raja Siluman Kera yang berhak memberi perintah, sobatku! Kau harus bersabar menunggu giliran!" berkata Raja Siluman Biawak dengan tergelak-gelak dan leletkan lidahnya.

"Hmmm baik!" menyahut Raja Siluman Harimau. "Lalu kapankah giliranku? Sebaiknya ditentukan sekarang, siapa-siapa yang menjadi giliran setelah si Raja Siluman Kera...!" berkata kakek Jembros ini dengan menggeram.

"Ya, ya! itu usul yang bagus. Sebaiknya diadakan undian untuk menentukan siapa giliran selanjutnya!" berkata Raja Siluman Ular.

Demikianlah! sedikit kericuhan terjadi diantara keempat kakek dari Raja-Raja Gila itu. Akan tetapi setelah diadakan undian, merekapun mendapat masing-masing giliran, juga ditentukan waktu lamanya menggembleng pemuda itu. Yaitu masing-masing selama enam bulan.

Tak ada rasa gembira yang dialami Nanjar selain pada waktu itu. Nanjar merasa nasibnya amat beruntung dapat tiba di pulau itu, dan berjumpa dengan para Raja aneh yang bakal menjadi gurunya. Dengan demikian dia akan berhasil menjadi seorang tokoh persilatan yang kelak mempunyai nama besar di dunia persilatan.

Selain itu pula dia dapat membalaskan dendamnya pada si pembunuh gurunya Ki Dharma Tungga. Walau dia belum berterus terang bahwa dia pernah menjadi murid Ki Dharma Tungga yang menjadi Ketua kaum Rimba Hijau golongan putih itu. Dan hari itu juga.

Nanjar sudah siap menerima petunjuk dan perintah apapun dari Raja Siluman Kera untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bakal diturunkan si kakek aneh mirip kera itu padanya. Tiga kakek berkelebatan pergi untuk masing-masing mengundurkan diri sambil menunggu tibanya waktu giliran mereka masing-masing.


Kemauan keras serta tekad yang bagaikan baja untuk mengeruk ilmu-ilmu kedigjayaan dari Empat Rajat Gila, membuat Nanjar menjadi orang yang cerdas otaknya. Setiap pelajaran dari Raja Siluman Kera cepat sekali diserapnya. Dan dalam waktu enam bulan, dia sudah menguasai ilmu silat Kera. Tentu saja si Raja Siluman Kera amat berbesar hati, dan memuji kecerdasan otak Nanjar.

Hingga dihari terakhir si kakek mirip kera itu berkata padanya. "Nanjar, muridku. Hari ini adalah hari terakhir kau berguru padaku. Tiga pukulan sakti yang telah berhasil kau pelajari tak boleh kau gunakan jika tidak menghadapi musuh yang ilmunya melebihi di atas tingkat kepandaianmu. Selain itu kau harus menjaga nama baikku, dengan menjunjung tinggi kebenaran dalam setiap tindakan. Setelah ini kau segera akan mempelajari jurus-jurus ilmu silat ular dari sobatku si Raja Siluman Ular!"

"Terima kasih, guru. Murid akan mentaati apa-apa yang menjadi pesan dan wejangan guru. Hamba telah siap untuk mempelajari ilmu silat ular!" sahut Nanjar dengan menunduk hormat dihadapan gurunya.

"Bagus! nguk! nguk! nguk! hehehe... nah! aku segera akan pergi sementara dari sini, sampai kelak datang hari pertarungan perebutan gelar KETUA Raja-Raja Gila!" Selesai berkata si kakek mirip kera itu melompat ke atas dahan pohon. Dan lenyap dalam sekejap mata.

"Ah, guru...! betapa besar budimu menggembleng aku di pulau ini. Walaupun waktunya amat singkat, tapi serasa aku tak dapat berpisah denganmu... " berkata Nanjar menggumam sendiri.

Saat yang dinanti-nanti Nanjar pun tiba, dengan datangnya Raja Siluman Ular yang menjadi giliran kedua. Nanjar menjura hormat dihadapan kakek kurus tinggi itu seraya berkata. "Guru! aku telah siap untuk menerima petunjukmu!"

Tertawa menyeringai si Raja Siluman Ular. Tongkatnya tiba-tiba meluncur ke arah batok kepala pemuda itu. Gerakan menghantam itu adalah di luar dugaan Nanjar. Akan tetapi sambaran angin halus terasa meniup ubun-ubun kepalanya. Membuat dia cepat tersadar akan ancaman bahaya maut.

Seraya berteriak. "Nguk! nguk! nguk!" Nanjar telah lompat menghindar. Gerakan melompatnya justru lebih cepat dari sambaran tongkat si Raja Siluman Ular. Bahkan tahu-tahu dia sudah menggelinding ke belakang si Raja Siluman Ular.

Mendengus kakek ini. Tiba-tiba... Hsss! hssss! hssss! Tiga sambaran beruntun menyerangnya. Itulah jurus yang sangat berbahaya. Tongkat ular si kakek bagaikan bermata delapan, dapat melihat kemana arah tubuh Nanjar melompat dan menggelinding.

Terkesiap Nanjar melihat tiga serangan beruntun. Namun lagi-lagi dia berhasil loloskan diri dari maut, dengan bergerak lincah menghindari serangan. Serangan-serangan selanjutnya berdatangan silih berganti. Nampaknya Nanjar telah menguasai ilmu melompat yang mahir. Gerakan-gerakan melompat dari jurus-jurus kera hasil yang dipelajari dari si Raja Siluman Kera langsung digunakan.

Kira-kira sepuluh jurus, si kakek Raja Siluman Ular hentikan serangannya. "Bagus! kau telah mirip dengan si Raja Siluman Kera, bocah! Cukuplah untuk pembukaan pertama ini aku mengujimu!" berkata kakek ini.

"Hahaha... kukira guru mau membunuhku!?" berkata Nanjar sambil cengar-cengir dan garuk-garuk kepala tidak gatal. Lalu berjingkrakan sambil melompat-lompat. Kelakuan Raja Siluman Kera itu ternyata benar-benar telah diwarisi pemuda itu.

"Hahaha... hehehe... mari kau ikuti aku, bocah!" berkata Raja Siluman ular, seraya melompat ke atas dahan pohon kelapa. Lalu dengan gerakan gesit menggelosor hingga sampai ke puncak pohon. Gerakan tak ubahnya bagaikan gerakan ular.

Nanjar terperangah melihat. Dia langsung melompat untuk menyusul. Tentu saja dia gunakan cara gerakan kera untuk memanjat batang pohon kelapa itu. Akan tetapi terbelalak mata Nanjar karena batang pohon itu mendadak roboh. Justru disaat dia sudah berada di atas batang yang paling puncak. Dilihatnya si Raja Siluman Ular tak kelihatan duduk di pelepah daun seperti tadi dilihatnya.

"Wuuaaa. !? teriak Nanjar, ketika tubuhnya meluncur dengan punggung terlebih dulu berikut batang pohon yang dipeluknya. Nanjar cuma merasa tengkuknya disambar orang. Selanjutnya dia sudah jejakkan kaki di tanah dengan perlahan. Ketika itu pandangan matanya tertuju pada batang pohon kelapa yang baru saja ambruk ke tanah dengan batang yang hancur dan kulit pohon yang mengelupas. Ketika dia menoleh kebelakang, yang tampak adalah si Raja Siluman Ular yang tertawa mendesis terkekeh-kekeh.

"Hsssy... heh heh heh... nyaris kau tertimpa batang pohon kelapa itu, bocah! Kalau kau gunakan jurus Ular Meliuk Menampar Mega, tentu kau akan dapat selamatkan diri dengan mudah!" berkata kakek itu.

Membelalak mata pemuda itu. Serta-merta dia sudah jatuhkan diri bertutut di hadapan si Raja Siluman Ular. "Guru...! oh, ajarilah aku jurus ilmu yang hebat itu!" berkata Nanjar dengan suara lirih penuh harap.

"Hsssy... hehehe... tentu! tentu, bocah muridku!" ujar kakek ini dengan tersenyum. "Mari! kita berlatih di bukit sebelah barat itu!" katanya lagi seraya mengangkat bangun Nanjar.

Berkelebatanlah dua sosok tubuh ke arah bukit yang berada di sisi pantai itu, diiringi suara tertawa si Raja Siluman Ular yang semakin samar. Sesaat dua sosok tubuh itu pun lenyap di balik tebing.

DELAPAN

WAKTU berlalu bagaikan anak panah....masa dua tahun itupun berlalu sudah. Matahari hari itu bersinar terik. Menyinari air laut yang menggelombang, menimbulkan pantulan cahaya yang menyilaukan mata. Sebuah perahu sampan tampak meluncur pesat ketengah laut. Seorang laki-laki bertudung gunakan dayungnya membantu mengayuh, hingga perahu kecil itu bagaikan melayang saja di atas air. Meluncur dengan pesat membelah gelombang.

Di ujung perahu tampak duduk seorang gadis berpakaian laki-laki. Gadis itu tak mengenakan tudung. Rambutnya dikepang dua. Menatap ke depan ke arah cakrawala. Hempasan badan perahu yang melambung-lambung itu tak membuatnya merasa takut. Bahkan dengan wajah berseri, sebentar-sebentar dia tertawa. Siapakah gerangan kedua orang itu?

Ternyata mereka tak lain dari si Raja Pengemis dan muridnya yang bernama Ranggaweni. Akan ke manakah tujuannya kedua orang guru dan murid ini? Marilah kita ikuti pembicaraannya.

"Kakek! di depan tak ada tanda-tanda adanya sebuah pulau. Bagaimana mungkin kau terus mendayung tanpa belokkan arah. Apakah kau tak salah arah?" bertanya gadis itu.

"Heheheh...anak manis! aku tak salah arah. Kau perhatikan saja, tak lama lagi di depanmu akan tersembul sebuah pulau!" sahut si kakek dengan tertawa mengekeh. Lengannya tak berhenti mengayuh.

"Lho? aneh! apakah pulau itu bisa timbul dari dalam laut?" bertanya lagi gadis itu.

"Anak manis! Tahukah kau bahwa dunia ini bulat?" tanya si kakek. Gadis itu menggeleng. "Kau percaya atau tidak kalau dunia ini bulat?" tanya lagi si Raja Pengemis.

"Aku percaya kalau kau telah membuktikan!" menyahut si gadis.

"Haih! Ranggaweni... Ranggaweni! Nah, tatapkan matamu ke depan. Nanti akan tersembul sebuah pulau. Pulau itu bukan muncul dari dasar laut, akan tetapi memang tak kelihatan oleh kita. Karena dunia ini bulat. Seandainya rata, tentu akan terlihat oleh kita walaupun berada jauh sekali!" Raja Pengemis berikan penuturan pada muridnya.

Gadis itu tak memberi jawaban, karena pandangan matanya terus menatap ke arah cakrawala. Selang tak lama segera tersembul sebuah pulau yang baru kelihatan ujungnya. Makin lama makin besar. Hingga akhirnya terlihat keseluruhannya.

"Wah! betul, kek! Itu! lihatlah! sebuah pulau yang amat indah...!" teriak si gadis.

Si Raja Pengemis tersenyum melihat si gadis muridnya itu berjingkrak kegirangan. Tiba-tiba perahu melaju lebih cepat. Gadis itu torlonjak kaget. Namun cepat-cepat dia berpegangan kuat pada pinggiran perahu. "Hati-hati kau kecebur, bocah manis!" mengekeh tertawa si kakek.

Sementara perahu meluncur bagaikan terbang. Sementara itu di pulau yang tengah ditujunya. Dua sosok tubuh tengah bertarung seru. Saling pukul dan saling hantam. Sebentar-sebentar terdengar suara bentakan dan teriakan tertahan. Batu dan pasir bertaburan. Tampaknya pertarungan itu bukan pertarungan biasa. Karena hawa panas dan dingin silih berganti akibat hawa pukulan yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi.

Yang bertarung seru ternyata adalah seorang kakek berperawakan jangkung kurus melawan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Dialah Nanjar alias Ginanjar yang bertarung melawan si Raja Siluman Bangau. Sementara empat orang kakek berdiri mengitari arena berlaga itu dengan diam terpaku. Mareka adalah Raja Siluman Kera, Raja Siluman Ular, Raja Siluman Biawak dan Raja Siluman Harimau.

Keempat kakek ini memperhatikan setiap gerakan muridnya dengan hati kebat-kebit. Kemenangan dan kekalahan mereka terletak di tangan si pemuda muridnya itu untuk memperebutkan gelar Ketua Raja Gila. Enam puluh jurus telah berlalu. Nanjar kerahkan kekuatan dan segenap ilmunya untuk merobohkan lawan. Ilmu silat Kera, Ular, Harimau telah dipergunakan untuk menangkis dan balas menyerang.

Tapi Raja Siluman Bangau memang berilmu tinggi, di samping dia dapat "terbang", dan sekali kali mematuk ganas. Hempasan lengan jubah kakek itu laksana taufan. Kalau pemuda itu tidak cekatan, dia sudah celaka sejak tadi. Pada jurus keseratus, tampak si kakek Raja Siluman Bangau merubah gerakan serangannya. Kini dia gunakan gerakan menyambar yang dibarengi dengan pukulan ganas.

Terperangah Nanjar, karena saat itu dia agak lengah, serta tak menduga lawan robah serangan dengan cara menyambar. Wukkk!

"Aiyaa...!" berteriak pemuda itu. Tubuhnya bergulingan dan berjumpalitan beberapa kali. Dengan gerakan 1000 Ekor Kera Mendobrak Gunung dia lakukan serangan menghantam dengan kedua telapak tangan. Plak! Terdengar suara benturan keras, ketika kedua telapak tangan beradu.

Raja Siluman Bangau ternyata telah memapakinya. Terdengarlah teriakan tertahan dari pemuda lereng gunung Rogojembangan itu. Tubuhnya terlempar ketengah laut. Byuuurr...! Tak ampun lagi tubuh Nanjar telah tercebur ke dalam air. Empat kakek itu jadi terperanjat. Masing-masing terperangah, bahkan si Raja Siluman Kera telah mengeluh.

"Ah, muridku! Nasibmu naas.... Kau pasti tewas....!"

"Heheheh... Raja Siluman Bangau tetap nomor satu!" teriak kakek yang baru berhasil mempecundangi lawan bertarungnya itu. Tiba-tiba tubuhnya meletik ke Udara. Dan seraya perdengarkan suara mirip bangau, tubuhnya melayang "terbang" menyusul ke arah terceburnya Nanjar. Mata kakek ini jelalatan mencari-cari tubuh pemuda itu di antara alunan ombak.

Tiba-tiba air di bawahnya menyemburat, bersama munculnya sosok tubuh Nanjar yang meluncur kearahnya. Begitu terkejut si Raja Siluman Bangau melihat kemunculan pemuda itu secara mendadak, tahu-tahu kakinya telah kena tersambar lengan pemuda itu. "Aaah...!?" tersentak kakek ini ketika satu betotan kuat menarik ke bawah. Dan... Byuurr! Lenyaplah seketika tubuh si Raja Siluman Bangau ke dalam laut.

Empat kakek itu sama-sama belalakkan mata, tapi dengan senyum tersungging di bibir. Keempatnya saling pandang. Dan serentak mereka telah memburu ke tepi pantai. Air laut mendadak jadi bergelombang, bergulung-gulung. Pertanda di bawah air tengah terjadi pertarungan seru antara kedua tokoh tua sakti dan pemuda itu. Keempat kakek ini tak lepas menatap ketempat bergolaknya air laut dengan hati berdebar. Mampukah Nanjar menjatuhkan si Raja Siluman Bangau?

Raja Siluman Ular, Raja Siluman Kera dan Raja Siluman Harimau tampak menahan napas untuk melihat hasil pertarungan. Siapakah yang akan berhasil menjadi pemenang? Kecuali si Raja Siluman Biawak yang tampak tenang-tenang saja. Karena dia tahu, kalau Nanjar tengah gunakan ilmu biawaknya untuk mengadakan pertarungan di dasar laut. Hal itu menjadi kelemahan si Raja Siluman Bangau, karena dia tak mungkin dapat bertahan lama di dalam air.

Ternyata Raja Siluman Bangau memang tokoh yang diakui kehebatannya. Dia berhasil melepaskan cekalan kuat tangan Nanjar. Dan memberontak untuk melesat 'terbang" ke luar dari permukaan. Akan tetapi kakek ini keliru kalau dia telah terbebas dari bahaya, karena Nanjar telah sambar lagi kaki si kakek. Ketika air menyemburat ke atas permukaan yang dibarengi meluncurnya tubuh kakek itu ke udara, Nanjar ikut terbawa 'terbang".

Empat kakek terperangah melihat dua manusia itu melayang-layang di udara. Seolah-olah pemuda itupun ikut 'terbang" dibelakang si kakek. Akan tetapi pada putaran kedua di atas permukaan laut itu, Raja Siluman Bangau telah menghantamkan telapak tangannya ke arah si pemuda.

Whuuuuuk! Angin deras menghantam. Sebelum terkena sasaran, terpaksa Nanjar lepaskan celakanya. Akibatnya tubuhnya melambung di udara. Dengan gerakan gesit Raja Siluman Bangau menukik, dan mendarat di pasir.

"Hahaheheheh... enak sekali rasanya terbang...! Hei! Raja Siluman Bangau tua bangka! Ayo bertarung di udara!"

Tersentak kaget orang tua ini, dan memandang dengan mata membelalak. Karena melihat bocah muda itu justru bukannya tercebur lagi ke laut, tapi malah melayang-layang seperti bangau di udara, berputar-putar di atas permukaan air.

"Gila? dari mana dia mendapatkan ilmu terbangku?" mendesis si kakek dengan mata dikucak-kucak tak percaya.

Tiba-tiba Nanjar menukik kearahnya. Lengannya bergerak mematuk dahsyat. Itulah jurus Patukan Bangau Dewa. Terkejut kakek ini bukan kepalang, karena jurus itu adalah jurus yang dimilikinya. Dengan berteriak tertahan dia terpaksa jatuhkan dirinya bergulingan. Tapi Nanjar terus mencecar dengan patukan-patukan maut yang tiada hentinya. Tubuhnya menyambar-nyambar laksana bangau yang mengejar mangsanya.

Tentu saja seketika berubah pias wajah si kakek Raja Siluman Bangau menghadapi serangan-serangan dan jurusnya sendiri. Bahkan jurus serangan pemuda itu dibarengi dengan jurus Kera melompat dan harimau yang menerkam. Terkadang dengan jurus Ular yang dibarengi dengan desisan keluar dari mulut pemuda itu. Menghadapi serangan-serangan ini membuat si kakek tak berayal lagi untuk sebisanya menyelamatkan diri. Akan tetapi..

Breet! Breeeet! Dan ... Bhukkk!

Terdengar teriakan parau si kakek Raja SBuman Bangau ketika serangkaian serangan mendadak itu tak berhasil dihindari. Jubahnya terkoyak dan dadanya terkena hantaman lengan pemuda itu. Terlemparlah tubuh si kakek Raja Siluman Bangau ke udara. Dan jatuh meluncur ke dalam laut.

SEMBILAN

"KEAAAAAK! KEAAAK...!" Terdengar suara mengiyak di udara. Sebuah bayangan hitam dan amat besar telah menyambar tubuh si Raja Siluman bangau sebelum tubuhnya menyentuh permukaan air.

Itulah si burung Rajawali bernama JABUR. Sepasang kakinya telah mencengkeram tubuh kakek itu. Lalu dengan keluarkan suara mengiyak tiada henti, burung raksasa itu meluncur pesat ke atas bukit tertinggi di pulau itu.

"Haih! aku telah mencelakainya...!" teriak Nanjar yang baru saja jejakkan kakinya ke atas pasir. Pemuda ini tampaknya seperti menyesali akan kejadian barusan.

Empat kakek itu belalakan mata memandang Nanjar. Dan serentak berseru sambil berlompatan menghampiri.

"Horeee! kau menang! kau menang! Kita menaaang....!" teriak si Raja Siluman Kera seraya melompat dan berjingkrakan.

"Bagus, muridku, kau berhasil mengalahkannya dan melenyapkan kesombongannya!" berkata Raja Siluman Harimau.

Raja Siluman Biawak dan Ular cuma tersenyum sambil acungkan jempolnya. Mereka tampak senang atas hasil pertarungan yang dimenangkan oleh pemuda murid mereka itu. Akan tetapi Nanjar justru tak merasa bangga atas kemenangannya. Dia amat mengkhawatirkan keselamatan si Raja Siluman Bangau yang terkena hantaman telak pukulannya.

''Terima kasih atas sambutan kalian guru-guruku. Semua itu adalah atas jasa kalian yang membimbingku dengan ilmu-ilmu yang kalian berikan padaku... " berkata Nanjar dengan menjura dihadapan keempat kakek.

''Tapi, dari mana kau dapatkan ilmu "terbang" si Raja Siluman Bangau?" tanya Raja Siluman Kera dengan menatap tajam Nanjar.

"Hahahaha… aku telah menirunya. Selama bertarung aku terus menghapal dan mempelajari jurus-jurus serangan kakek lawanku itu. Bukankah guru sendiri yang memberi contoh? Bukankah sifat seekor Kera adalah selalu meniru tingkah laku orang?" sahut Nanjar sambil tertawa.

Mendengar jawaban pemuda itu, Raja Siluman Kera jadi garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia melompat-lompat seraya berteriak kegirangan. "Nguk! nguk! nguk! hehehe... bocah cerdik! bocah pintar! kau memang bocah hebat!" puji sikakek dengan membelalakkan mata. "Apakah kau hapal semua jurus-jurus yang digunakan si Raja Siluman Bangau?" bertanya si kakek mirip kera itu.

"Hahaha... nguk!" nguk...! Hampir seratus jurus gerakan dan pukulan si Raja Siluman Bangau telah hapal diluar kepala" jawab Nanjar dengan tirukan suara kera mirip gurunya.

"Hebat! hebat!" memuji Raja Siluman Kera dengan membelalakkan mata. Lalu mengekeh tertawa. Sementara ketiga kakek Raja Siluman Ular, Biawak dan Harimau cuma bisa belalakkan mata dan menatap kagum pada Nanjar.

Saat itu di atas puncak bukit tertinggi di pulau itu tampak si Rajawali raksasa perdengarkan suara mengiyak tiada henti, dengan berputar-putar di atas bukit. Sejenak keempat kakek dan Nanjar memandang ke sana dengan terpukau.

"Guru! Mari kita ke sana!" teriak Nanjar tiba-tiba. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, dia sudah mendahului berkelebatan kearah sana.

Keempat kakek sejenak saling pandang. Namun satu isyarat dari si Raja Siluman Kera telah membuat mereka setuju untuk menyusul. Serentak tubuh mereka berkelebatan dari tempat itu.

Apakah gerangan yang terjadi di atas puncak bukit itu? Ternyata si Raja Siluman Bangau yang telah terluka dalam akibat serangan pukulan Nanjar, tengah bertarung dengan seorang laki-laki tua berjubah gemerlapan seperti sisik ular. Kakek ini berkepala botak. Kumisnya yang putih terjuntai panjang bagai misai. Di lengan si kakek botak ini tercekal sebuah medali yang gemerlapan terkena cahaya rnatahari. Benda itulah yang tengah diperebutkan oleh kedua kakek.

"Pencuri busuk! kembalikan benda itu!" teriak Raja Siluman Bangau dengan menggembor marah. Dalam keadaan terluka dan nampak disela bibirnya masih meneteskan darah dia menerjang si kakek botak dengan jurus-jurus patukan ganas.

Akan tetapi si kakek botak jubah bersisik perak itu tak membiarkan dirinya kena serangan yang bisa mencelakai jiwanya. Dengan lompatan gesit dia berhasil menghindar. Tiba-tiba dia telah cabut senjatanya untuk menabas. Itulah sebuah kebutan bergagang perak. Ujung kebutuhan membersit menabas leher si Raja Siluman Bangau, disertai bentakan keras.

"Berangkatlah kau ke Akhirat!"

Whesss...!

"Kaulah yang harus mampus!" balas membentak si kakek Raja siluman Bangau. Tubuhnya mendadak melambung ke atas. Kibasan lengan jubahnya menyambar tubuh si kakek botak. Terhuyung beberapa tindak kakek ini karena hempasan keras yang menerpa tubuhnya.

Serangan kebutannya telah lolos dari sasaran. Bahkan dia kini yang berbalik diserang. Namun si kakek misai panjang itu bukan tokoh sembarangan. Dengan tiba-tiba dia putarkan kebutannya. Menderulah angin keras yang membuat batu-batu kecil beterbangan.

Sejenak terpaku Raja Siluman Bangau. Pusaran angin yang menggebu itu membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Jubahnya yang telah sobek itu berkibaran. Sementara darah semakin banyak menetes dan mengalir dari sela bibirnya. Diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalam di kedua telapak tangan.

Saat mana si kakek botak telah menerjang dengan bentakan keras. "Kini sampailah ajalmu, Raja Siluman Bangau yang bodoh!" Dan kebutan maut ditangannya meluncur deras djbarengi hantaman telapak tangan kearah batok kepala kakek itu.

Whuuk! Wheesss! Blaaarrr...!

Ledakan dahsyat terdengar. Benturan kedua tenaga dalam telah membuat bukit itu serasa bergetar. Tampak asap hitam dan putih mengepul dari bekas ledakan yang menimbulkan suara menggeledek itu.

Kakek botak berjubah sisik perak itu tampak terhuyung ke belakang beberapa tindak. Wajahnya pucat bagai mayat tampak dari sela bibirnya mengalirkan darah. Sedangkan si Raja Siluman Bangau masih berdiri tegak. Sepasang kakinya amblas sampal sebatas lutut. Dia masih berdiri tegak tak bergemlng. Tapi apa yang terlihat?

Ternyata jubah si kakek Raja Siluman Bangau telah hangus terbakar. Kulit muka dan sekujur tubuhnya berubah hitam. Kakek sakti itu ternyata telah tewas dengan keadaan tubuh berubah hangus! Memandang tubuh lawannya tak bergeming, si kakek botak misai panjang itu tertawa terkekeh.

"Hehehehe... hehe... akhirnya kau harus mengakui keunggulanku, sobat Raja Siluman Bangau. Dan benda pusaka Lambang Ketua Persilatan ini aku yang berhak memilikinya! Hahahaha…. Hehehehe…."

Terperangah Nanjar ketika dia tiba di atas bukit. Dilihatnya Raja Siluman Bangau dalam keadaan amblas kedua kakinya sebatas lutut, tak bergeming lagi. Tubuhnya berubah hitam hangus. Menatap pada seorang kakek berkepala botak berkumis panjang bagai misai yang tengah berdiri dihadapan si Raja Siluman Bangau, semakin terkejut dia. Karena melihat orang ini mencekal sebuah medali yang dikenalnya. Ya! itulah medali lambang Ketua Persilatan milik gurunya Ki Dharma Tungga.

Bersamaan dengan munculnya Nanjar, keempat kakek itu telah muncul pula di atas bukit. Mereka sejenak tertegun memandang kehadapannya. Segera saja mereka telah tahu siapa adanya kakek botak jubah sisik perak itu.

"Raja Siluman Naga!" teriak mereka terkejut hampir berbareng.

"Raja Siluman Bangau... !? ha, dia telah tewas?" gumam si Raja Siluman Kera dengan mata, membelalak. Tahulah mereka kalau mereka datang terlambat. Pertarungan baru saja selesai. Dan Sobat mereka si Raja Siluman Bangau telah melayang jiwanya.

"Hehehe... aku datang bukan berambisi untuk menjadi ketua Raja-Raja Gila. Tetapi mengincar benda ini!" berkata si kakek botak yang ternyata adalah si Raja Siluman Naga adanya, seraya tunjukkan untaian medali ditangannya. Mata Nanjar bersinar memandang benda itu.

"Dari mana kau dapatkan Medali itu, Raja Siluman Naga?" berkata Nanjar dengan isi dadanya serasa bergolak. Segera dia teringat akan gurunya Ki Dharma Tungga yang telah tewas. Si pembunuhnya sudah dapat dipastikan adalah orang yang memiliki Medali itu yang telah direbut dari tangan gurunya.

"Hahahehehe… benda ini berada di tangan si Raja Siluman Bangau. Aku telah mencurinya. Aku tak tahu dia dapat dari mana!" sahut Raja Siluman Naga.

Tiba-tiba terdengar suara mengiyak di udara. Dan sebuah bayangan besar menyambar ke arah kakek kepala botak ini. Kibasan sayap burung raksasa itu membuat tubuh si kakek terhuyung. Tahu-tahu si Raja Siluman Naga berteriak kaget, karena Medali ditangannya telah disambar paruh si burung Rajawali raksasa.

"Keparat!" memaki kakek botak ini. Tubuhnya memdadak melesat bagai terbang mengejar sang Rajawali. "Mampuslah kau burung keparat!" bentak si Raja Siluman Naga.

Whuuuukk! Buk!

"KEAAAAAAKH!" melengking suara burung raksasa itu ketika hantaman pukulan si kakek botak mengenai sasaran telak. Ratusan helai bulu berhamburan. Terbang burung itu jadi limbung. Dan medali yang terjepit di antara paruhnya telah jatuh meluncur ke bawah.

Raja Siluman Naga tak berayal untuk segera memburunya. Akan tetapi si Jabur kembali menukik. Dengan berteriak marah dia menyambar lagi benda itu. Ternyata gerakan si Rajawali raksasa lebih cepat. Sepasang kakinya berhasil mencengkeram Medali.

Whuuuukk! Whuuukk!

Raja Siluman Naga ayunkan beruntun dua pukulan. Menyambarlah uap merah menerpa si burung Rajawali. Kali ini burung raksasa itu tak mau kena sasaran. Sayapnya digunakan untuk mengibas. Tubuhnya segara melambung tinggi. Serangan itu lolos. Tapi sayap burung Rajawali itu masih kena terserempet angin pukulan.

SEPULUH

WHUUUKK! WHUUUKK!

Kembali si Raja Siluman Naga menghantam dengan pukulan yang mengandung maut. Rajawali mengiyak kesakitan. Sayapnya mengibas. Tubuhnya melambung lagi. Tapi hantaman telak lagi-lagi mengenal sasaran. Terbang burung itu jadi semakin limbung. Namun dia melarikan diri dengan Medali yang tak lepas dari cengkeramannya.

"Burung edan!" memaki Raja Siluman Naga. Kakek botak ini enjot tubuhnya untuk melesat, mengejar.

Namun Rajawali sudah melayang ke arah laut. Dengan geram kakek botak ini berhenti. Tapi tiba-tiba lengannya terangkat, disertai bentakan. "Mampuslah kau burung edan!"

Whuuuuuussh!!

Angin pukulan jarak jauh telah dilontarkan. Membersitlah uap merah menyambar si Jabur. Hebat serangan kakek botak ini. Karena sejauh itu dia masih mampu mengantamkan pukulannya dengan telak.

Byuuurr! Air laut menyemburat ke udara ketika tubuh si Rajawali raksasa itu terjungkal dan terjerumus masuk ke dalam laut.

Di atas bukit Nanjar memandang dengan mata membelalak. Sementara si Raja Siluman Naga membanting kakinya dengan kesal.

"Burung sialan! lenyaplah sudah Medali itu!" gerutunya.

Burung raksasa itu timbul tenggelam di permukaan air. Tapi tak lama tak muncul lagi. Tewaslah sudah si Jabur yang bernasib malang itu terkubur di laut.

"Guru! Mari kita lihat ke sana!" berkata Nanjar. Akan tetapi dia tak melihat adanya empat kakek itu berada di situ.

"He? kemanakah kalian?" teriak Nanjar. Tubuh pemuda ini berkelebatan mencari keempat gurunya. Bahkan Nanjar gunakan ilmu "terbang" Si Raja Siluman Bangau untuk mencari keempat kakek itu. Namun tetap saja Nanjar tak menjumpai.

"Haih, kemanakah mereka? Apakah telah meninggalkan pulau ini?" desis Nanjar seraja menukik turun. Baru saja dia jejakkan kakinya ketanah, suara tertawa terkekeh menyambutnya.

"Hehehe...heheh... gendeng! Siapakah namamu?"

Entah darimana munculnya si kakek Raja Siluman Naga telah berdiri disitu. Nanjar mundur selangkah. Sepasang matanya menatap tajam pada kakek botak jubah sisik itu.

"Hm, apakah kau perlu mengetahui namaku juga?" balik bertanya pemuda ini.

"Ya! karena kau adalah pewaris ilmu-ilmu si Empat Raja Gila. Juga pewaris ilmu si Raja Siluman Bangau!" tukas kakek botak menyeringai.

"Heh…! keempat kakek itu memang guruku, tapi si Raja Siluman Bangau bukan guruku. Aku tak merasa diangkat murid olehnya!" berkata Nanjar dengan nada tandas.

Kakek ini jadi kerutkan keningnya hingga alisnya bergerak terjungkat keatas. ''Tapi kau punya ilmu 'terbang" si Raja Siluman Bangau?" berkata kakek ini dengan nada heran.

"Hm, aku hanya mencuri ilmunya saja!" sahut Nanjar. Sementara diam-diam dia menilai si kakek ini. Hatinya berkata. "Apakah manusia ini tokoh baik-baik ataukah tokoh jahat?"

Raja Siluman Naga jadi terbengong mendengar kata-kata Nanjar. Tapi tak lama dia perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh. "Hahaha...hehe he... kau memang bocah aneh! Baru aku mendengar ada orang mencuri ilmu. Tak apalah kalau kau tak mau sebutkan siapa namamu. Tapi ketahuilah, ilmu-ilmu empat orang gurumu ditambah dengan ilmu si Raja Siluman Bangau masih belum apa-apa dlbandingkan kehebatan ilmuku!" ujar si kakek diantara derai tawanya "Buktinya empat orang gurumu sudah angkat kaki dari pulau ini. Dan kau lihat sendiri si Raja Siluman Bangau itu sudah mampus berikut burung raksasa piaraannya!" berkata si kakek.

"Sayang Medali itupun ikut terkubur di dalam laut!" gerutu si Raja Siluman Naga dengan mendongkol.

"Eh, kakek Raja Siluman Naga! kuharap kau berikan penjelasan yang jujur. Apakah Medali itu si Raja Siluman Bangau yang memilikinya?"

"Mau apa kau tanyakan tentang Medali itu? Kukira sudah tak ada gunanya lagi!" tukas si kakek dengan mata melotot.

"Ketahuilah! Medali itu ada hubungannya dengan urusanku!" berkata Nanjar dengan suara tegas.

"Hm, hubungan apakah! Setahuku Medali itu milik Ki Dharma Tungga, yang menjadi Ketua Kaum Rimba Persilatan!" ujar si kakek.

"Beliau itu adalah guruku!" Nanjar sambar berkata.

"Apakah kata-katamu bisa dipercaya?" bertanya si kakek.

"Mengapa aku harus berdusta? Guruku kutemukan tewas dua tahun yang lalu di tempat kediamannya. Aku tak tahu siapa yang telah membunuhnya. Dan Medali itu yang setahuku selalu tak pernah lepas dari saku bajunya, telah lenyap. Aku cuma jumpai jenazahnya yang keadaannya sangat mengerikan. Tentu saja aku harus mencari siapa yang telah membunuh guruku itu, di samping mencari lambang kekuasaan Ketua Rimba Persilatan yang telah hilang. Itulah sebabnya aku ingin tahu lebih jelas, apakah kau mengetahui tentang Medali itu, juga peristiwa terbunuhnya Ki Dharma Tungga!" tutur Nanjar dengan singkat.

Kakek Raja Siluman Naga ini jadi manggut-manggut mendengarkan penuturan Nanjar.

"Namaku Nanjar. Lengkapnya Ginanjar. Aku pernah menjadi murid Ki Bayu Sheta si Pendekar Bayangan sebelum berguru pada Ki Dharma Tungga. Aku cuma menemukan sepotong pedang inilah yang menancap di tubuh jenazah mendiang Ki Bayu Sheta!" Nanjar perkenalkan diri tanpa diminta. Seraya menunjukkan potongan pedang yang selalu diselipkan di balik bajunya. "Apakah kau mengenali pedang ini milik siapa?" tanya Nanjar.

Kakek ini tertegun menatap potongan pedang di tangan Nanjar. Kesempatan untuk mengungkapkan misteri si pembunuh gurunya dimanfaatkan Nanjar dengan mengorek keterangan dari si Raja Siluman Naga.

Saat itu pandangan mata si kakek menangkap adanya sebuah perahu layar yang meluncur pesat mendekati pulau. Itulah perahu si Raja Pengemis. Belum lagi menjawab pertanyaan Nanjar, si kakek botak jubah sisik itu telah berkelebat memuruni bukit.

"Heii? mau kemana kau kakek…?!" teriak Nanjar. Tak ayal dia sudah berkelebat mengejar.

Gerakan tubuh Raja Siluman Naga memang luar biasa cepatnya. Di samping berlari juga dibarengi dengan melayang bagai 'terbang". Nanjar menyusul dan kerahkan ilmu larinya yang juga dibarengi dengan gerakan 'terbang". Hingga dari kejauhan tampak kedua sosok tubuh itu bagaikan burung-burung aneh tanpa sayap yang saling berkejaran menuruni bukit.

Sementara itu, si kakek Raja Pengemis telah lakukan pendaratan ke pulau itu. Tubuhnya melompat ke atas pasir menyusul si gadis muridnya yang telah melompat terlebih dulu begitu ujung perahu menyentuh pasir.

"Kakek? Jadi maksudmu pergi ke pulau ini adalah mencari jejak burung Rajawali raksasa itu? Ah, sayang sekali... burung raksasa itu justru sudah tenggelam di laut!" berkata si gadis.

''Tebakanmu tak salah, muridku. Burung raksasa itu sudah lama kuperhatikan selalu menuju ke pulau ini. Aku menduga dia bersarang di pulau ini. Tapi seperti kita lihat tadi, burung raksasa itu mengiyak keras lalu terjungkal masuk laut. Pasti ada apa-apa yang telah terjadi di pulau ini!" ujar sikakek Raja Pengemis dengan wajah tegang.

Tampaknya si gadis tak begitu memperhatikan kata-kata gurunya. Karena dia amat tertarik dengan pemandangan indah di pulau itu. "Ah, pulau ini amat indah, kek! Bagaimana kalau kita menetap saja disini? Kalau tak dapat induknya kukira kita bisa mendapatkan anak burung Rajawali raksasa itu. Telur yang dieraminya tentu telah lama menetas!" berkata si gadis seraya melompat-lompat ketengah pulau.

Tiba-tiba mata gadis ini jadi membelalak karena dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh dari seorang kakek tinggi besar berkepala botak, berkumis panjang bagai misai. Mengenakan jubah yang ditaburi sisik berwarna perak, yang tampak berkilatan kena cahaya Matahari.

SEBELAS

Belum lagi sempat si gadis bertanya, lengan kakek botak itu mengibas. Bersyiurlah angin halus menyambar tubuhnya. Gadis ini perdengarkan teriakan kaget. Karena tahu-tahu dia rasakan tubuhnya telah kaku tak dapat digerakkan.

"Ah...!?'' terperangah si gadis dengan mata membelalak.

Saat itu terdengar bentakan keras dibelakangnya. "Ilmu totokan jarak jauh yang hebat!"

Dan berkelebat sosok tubuh si Raja Pengemis. Lengannya mengibas. Dan terasa sambaran angin agak keras ke arah tubuhnya. Sekejap gadis itu rasakan totokan pada tubuhnya telah terbuka.

"Guru...!" teriakan gadis itu girang, seraya melompat ke arah gurunya.

Raja Siluman Naga perdengarkan suara mendengus. Tapi mulutnya memuji. "Ilmu pembuka jalan darah yang hebat! Hm, Ilmu kepandaianmu ternyata makin hebat, pengemis rudin!" berkata kakek ini. Wajahnya tak menampilkan perubahan. Masih tetap kaku dengan mata menatap tajam pada si Raja Pengemis.

"Angin apa yang telah meniupmu ke pulau ini, kakek bangkotan?" Sambar lagi si kakek kepala botak ini dengan suara gereng.

"Hehehe.. burung Rajawali raksasa itulah yang telah mengundangku datang ke pulau ini. Tentu saja aku punya urusan dengan si pemilik burung Rajawali itu. Dia si Raja Sluman Bangau!" menyahut si Raja Pengemis.

"Kalau itu yang kau tanyakan, orangnya sudah berangkat ke akhirat!" berkata Raja Siluman Naga.

"Hm, begitukah? Apakah kau yang telah membunuhnya?" balik bertanya si Raja Pengemis.

"Benar! Boleh aku tahu ada urusan apakah kau dengan dia?"

Raja Pengemis tak menjawab. Tapi sinar matanya menatap tajam pada wajah orang di hadapannya. Seperti mau membaca apa isi benak kakek botak itu. "Hm, urusan Medali!" sahut si kakek kurus ini pendek.

"Heheh...hahah...sudah kuduga! Kau tentu menduga Medali itu berada di tanganku, bukan?" tanya si Raja Siluman Naga.

"'Bagus! kalau kau sudah mengerti, mengapa tak kau berikan padaku?" sambar si kakek Raja Pengemis.

Mengakak tertawa Raja Siluman Naga. Lalu berkata dengan suara keras. "Kau datang terlambat. Medali itu sudah jatuh masuk laut, bersama burung Rajawali celaka itu!" ujarnya seraya menunjuk ketengah laut.

"Heh! siapa percaya omonganmu?" bentak si kakek. "Kau tentu mau mengangkangi benda pusaka itu sendiri. Hm, jangan harap si Raja Pengemis mau terkecoh oleh bualanmu?"

"Huh! manusia sombong! apakah kau kira kepandaianmu sudah setinggi langit hingga begitu memandang rendah padaku si Raja Siluman Naga?" balas membentak kakek kepala botak ini.

Pertarungan tak dapat dihindarkan lagi, karena kedua kakek itu sama-sama berwatak keras. Terjadilah saling terjang di antara keduanya.

"Muridku! kau menyingkirlah yang jauh. Biar kuremukkan batok kepala si Naga botak ini!" teriak Raja Pengemis pada muridnya.

Tak ayal gadis itu telah melompat menjauh. "Hati-hati, kek! Dia berilmu tinggi!" Masih sempat si gadis berkata memperingati gurunya. Tampak dia amat mengkhawatirkan keselamatan si Raja Pengemis, dalam menghadapi si kakek Raja Siluman Naga yang bertubuh tinggi besar itu.

Hantaman-hantaman pukulan dan teriakan serta bentakan menggeledek segera membaur di pulau yang lenggang itu. Hempasan-hempasan angin pukulan membuat tempat sekitarnya seperti dilanda angin ribut. Kedua tokoh tua yang sama-sama memiliki ilmu kepandaian tinggi itu tengah sama mengadu ilmu.

Sementara itu Nanjar yang memperhatikan dari tempat ketinggian cuma bisa termangu-mangu sambil menggendong tangan memandang pertarungan dua kakek, yang tak ubahnya bagai memperebutkan pepesan kosong.

DUA BELAS

EMPAT PULUH JURUS telah lewat... Pertarungan semakin menghebat. Hawa panas dan dingin silih berganti mengembara dan menerpa akibat dari hawa pukulan yang mengandung tenaga dalam. Kedua kakek yang masing-masing punya julukan "Raja" itu sama-sama mempertahankan pamornya untuk membuktikan siapakah yang lebih unggul diantara mereka.

Nanjar yang berniat mengorek keterangan dari si Raja Siluman Naga mengenai si pembunuh gurunya Ki Dharma Tungga, menemui jalan buntu. Karena kedatangan si Raja Pengemis telah menunda jawaban kakek itu. Bahkan manusianya tengah bertarung mengadu jiwa dengan kakek pendatang itu. Pemuda ini jadi seperti kebingungan dan serba salah.

Sejak tadi pandangan matanya selain melihat pertarungan, juga memperhatikan gadis muda murid si Raja Pengemis. Sepintas Nanjar seperti pernah mengenali wajah serta perawakan seperti gadis itu. Dia coba mengingat-ingat. Akan tetapi sejauh itu Nanjar tak mampu mengingatnya.

Tiba-tiba Nanjar mendengar suara teriakan panjang menyayat hati, bersamaan dengan terdengarnya suara benturan keras yang menggeledek. Itulah dua pukulah mengandung maut dari kedua kakek "Raja" itu yang menimbulkan benturan dahsyat.

Terlihat si Raja Pengemis terlempar bergulingan. Dan si Raja Siluman Naga terhuyung beberapa tindak. Nyata tenaga dalam Raja Siluman Naga masih diatas setingkat dari kakek Raja Pengemis.

"Kakeeeeek!" teriakan gadis itu memecah keheningan tatkala dia berlari dan melompat menghampiri gurunya.

Keadaan si Raja Pengemis memang amat mengkhawatirkan. Sekujur tubuhnya melepuh. Dari sudut bibirnya mengalirkan darah berwarna hitam. Terisak-isak si gadis memeluki tubuh gurunya.

Sementara si Raja Pengemis menatap pada muridnya dengan pandangan sayu. Bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata "Anak manis,... jangan menangis! Semua manusia tak luput dari kematian..." ujarnya.

"Aku akan adu jiwa dengan dia, guru!" teriak si gadis, mendadak dia hentikan tangisnya. Wajahnya berubah garang. Dan dia telah bangkit berdiri seraya mencabut pedangnya yang terselip di pinggang. Pedang gadis ini ternyata sebuah pedang yang telah putus ujungnya sepertiga bagian.

"Jangan muridku! Simpanlah pedang itu... !" suara si Raja Pengemis setengah membentak. Membuat semangat yang menggebu didada si ga-dis kembali luntur. Kembali dia terduduk menekuk lutut. "Hm, anak manis! bukankah kau selalu menanyakan kisah pedang buntung yang kuhadiahkan padamu itu" berkata lirih si Raja Pengemis.

"Ketahuilah, pedang itu adalah pedang yang telah membawa maut! Pedang itu adalah pedang pusakaku yang telah menewaskan orang yang kucintai, tapi paling kubenci!" Suara si kakek agak tersengal dalam berkata-kata.

Ranggaweni menatap gurunya dengan tak mengerti. Sudah lama dia selalu menanyakan riwayat pedang di tangannya itu. Sang guru selalu mengatakan pedang itu punya kisah yang menyedihkan, tapi tak mau menceritakannya. Kini disaat keadaan sang guru dalam keadaan kritis, justru mau menceritakan.

"Bagaimana kisahnya kek? Siapakah orang yang amat kau cinta tapi kau amat membencinya itu?" tanya Ranggaweni. Wajahnya menampakkan rona girang, tapi juga diliputi kesedihan.

"Dialah KI DHARMA TUNGGA!" sahut si kakek. Seketika wajahnya menjadi berubah sedih. Dan setitik air mata menyembul disudut matanya. "Dharma Tungga adalah kakak kandungku. Tak dinyana dia harus tewas oleh pedang pusakaku sendiri..." ujar si Raja Pengemis.

"Dimasa muda aku pernah punya seorang kekasih. Dia seorang gadis yang amat cantik." Raja Pengemis tuturkan riwayat hidupnya. "Kami berdua adalah satu perguruan. Lima tahun kemudian setelah menamatkan pelajaran, aku kembali pulang. Bukan main rasa girangnya hatiku, karena aku bisa berjumpa dengan kekasihku yang telah lama kurindu. Kami memang telah mengikat janji untuk menikah setelah selesai pelajaranku.

"Adapun kakang Dharma Tungga telah menyelesaikan pelajarannya terlebih dulu setahun sebelum aku menyelesaikan pelajaranku. Akan tetapi betapa terkejutnya aku mengetahui kekasihku sudah tak ada lagi di kampung tempat tinggalnya. Dan yang lebih membuat aku panas adalah aku mendengar kakakku Dharma Tungga telah menikahi gadis kekasihku itu...

"Dapat kau bayangkan betapa hancurnya hatiku. Sedih bercampur dengan menggebu-gebu dalam dadaku. Aku bersumpah untuk mencari mereka! Berpuluh tahun aku mencari dan mencari tanpa putus asa. Hingga akhirnya aku mendengar juga tentang diri kakakku itu. Dia telah menjadi seorang kosen yang berkepandaian tinggi. Bahkan diangkat oleh kaum Rimba Hijau menjadi Ketua Persiiatan. Aku tak munculkan diri. Tapi diam-diam mencari tahu dimana kekasihku yang telah diperistri olehnya...

"Akhirnya aku berhasil menemui bekas kekasihku itu! Apa yang kulihat adalah menjadi kenyataan. Kekasihku telah menjadi seorang yang cacad kaki dan tangannya. Cacad yang seumur hidup. Dia mengatakan bahwa semua itu adalah hasil perbuatan kakakku Dharma Tungga!"

Sampai disini napas si Raja Pengemis kembali tersengal. Namun dengan menahan mengalirnya darah yang mau tumpah dari mulutnya kembali dia teruskan penuturannya.

"Aku...aku mencari kakakku dengan kemarahan luar biasa. Aku sudah seperti kehilangan otak warasku. Rasanya mau melumatkan saja tubuh kakak kandungku itu yang telah menganiaya kekasihku hingga demikian mengenaskan. Dan akupun berhasil menemui saudaraku itu. Kami bertarung. Tak sedikitpun aku mau mendengar penjelasan kakakku Dharma Tungga, karena emosiku telah meluap! Untunglah pertumpahan darah waktu itu tak terjadi. Dia melarikan diri. Dan lenyap entah kemana. Sejak saat itu aku tak pernah menjumpainya lagi.

"Suatu malam ketika aku tertidur di suatu tempat, aku terjaga ketika sebuah benda melayang ke arahku. Namun dengan cepat aku telah menangkapnya. Masih sempat aku melihat berkelebatnya sesosok tubuh yang lenyap dikegelapan malam yang gulita. Benda itu ternyata segulung kertas. Setelah kubuka, ternyata sepucuk surat yang ditujukan padaku.

"Si pengirimnya adalah kakakku sendiri. Surat itu menjelaskan duduknya persoalan, hingga dia mengawini kekasihku. Kekasihku didapati dalam keadaan mengandung, tanpa diketahui siapa yang telah melakukannya. Dia terpaksa mengawini, karena gadis kekasihku itu mau membunuh diri. Bahkan gadis kekasihku itu tak mau bertemu denganku karena merasa malu.

"Oleh sebab itulah gadis kekasihku itu mengajak pindah kakakku dari kampung tempat tinggal kami. Cacad yang diderita bekas kekasihku itu dia sama sekali tak mengetahui, karena sudah sejak lama dia berpisah dengan "istrinya". Kakakku mengatakan dalam surat, bahwa dia belum pernah menggauli istrinya satu kalipun..."

"Lalu bagaimana kelanjutannya, kakek?" tanya si gadis.

Karena si Raja Pengemis tampak terdiam agak lama mengatur napas. "Hm, aku masih tak percaya agak lama dengan keterangannya. Malam itu juga aku mencari dia. Tapi jejak kakakku sukar dilacak. Datang dan perginya sukar diketahui.." ujar si Raja Pengemis.

"Suatu malam yang na'as ketika aku tidur kepulasan disebuah rumah tua. Aku terkejut ketika mendengar suara gaduh. Ternyata ada pertarungan yang telah terjadi. Terkejut aku melihat yang bertarung adalah kakak kandungku sendiri Ki Dharma Tungga melawan seorang laki-laki yang mengenakan topeng menutupi wajahnya.

"Dan bukan main terkejutku ketika mengetahui seorang bertopeng itu telah mencuri pedang pusakaku! Kakakku telah memergokinya, dan berusaha merebut pedang itu sekalian membuka tabir siapakah sebenarnya si orang bertopeng itu. Sayang si orang bertopeng itu melarikan diri, dan kakakku mengejarnya. Sayang aku tak berhasil menyusul mereka!" ujar si Raja pengemis.

Setelah menghela napas kembali dia teruskan panuturannya. "Berbulan-bulan aku mengembara mencari jejak kakakku juga si Manusia bertopeng, tapi tak menemui jejak mereka. Hingga aku memutuskan untuk menemui lagi bekas kekasihku itu. Dia masih hidup dan dalam keadaan cacad, yaitu lumpuh kedua kaki dan tangannya. Bekas kekasihku itu akhirnya membuka rahasia. Bahwa si orang bertopeng itu adalah anaknya sendiri. Anak itu adalah hasil dari perbuatan serongnya dengan guruku sendiri...!"

"Hah? dengan guru kakek sendiri?" sentak Ranggaweni membelalak.

"Benar! Aku sendiri tak menduga kalau guruku sendiri yang mengingini kekasih muridnya. Adapun Rarasati kekasihku itu mempunyai dua dendam. Pertama dendam pada guruku, kedua dendam pada kakakku Dharma Tungga. Dendam pada guruku karena dialah orang yang telah merusak kehormatannya, dan menghancurkan harapan cita-citanya untuk hidup bersama denganku.

"Dendam pada Dharma Tungga, adalah karena kakakku tak pernah mau menggaulinya walau mereka telah menikah! Anak laki-laki hasil perbuatan haram itu diambil murid seorang laki-laki asal Tibet. Laki-laki itulah yang mendidik anak laki-lakinya hingga berkepandaian tinggi. Rarasati telah bersumpah untuk membunuh guruku, dan membunuh Dharma Tungga. Hal itu sudah terlaksana. Dan dia tunjukkan bukti dengan sepotong pedang yang kau pegang itu padaku!"

"Apakah kakek yakin akan keterangannya?" tanya Ranggaweni.

Raja Pengemis mengangguk. "Ya, aku amat yakin. Karena selesai berikan keterangan, Rarasati telah membunuh diri dengan pedang pusaka buntung itu!" ujar si kakek dengan suara tandas dan tampak pilu.

"Bagaimana dengan si Raja Siluman Bangau? Apakah dia terlibat dalam urusan Medali itu?"

Pertanyaan ini mengejutkan si kakek dan muridnya. Karena tahu-tahu Nanjar telah berdiri di situ. Sejak tadi dia telah terkejut melihat gadis itu mencabut sebuah pedang yang ujungnya buntung. Lalu dengan seksama turut mendengarkan penuturan si Raja Pengemis.

"Hehehe... hehe... siapakah namamu, bocah gagah?" bertanya si Raja Pengemis.

Sementara dia melihat Raja Siluman Naga sudah tak kelihatan lagi dan telah lenyap entah kemana. Cuma Nanjar lah yang tahu. Karena selang tak lama setelah terjadi benturan dua tenaga dalam kedua tokoh tua kosen itu, si Raja Siluman Naga terhuyung-huyung pergi menuju ke atas puncak bukit tertinggi, di pulau itu.

Ginanjar mau mengejar, tapi matanya tertuju pada pedang buntung yang dicabut si gadis tadi. Pedang yang sinarnya sama dengan ujung putusan pedang yang berada di tangannya. Hingga dia urungkan niatnya, dan memasang telinga lebar-lebar mendengarkan penuturan si Raja Pengemis, pada muridnya.

Dengan mencuri dengar itu, Nanjar merasa rahasia si pembunuh Ki Dharma Tungga yang pernah menjadi gurunya itu mulai tersingkap. Tapi dia amat penasaran karena kakek itu tak menyinggung-nyinggung nama si Raja Siluman Bangau dan Medali Lambang Ketua Kaum Rimba Hijau.

Kali ini Nanjar segera menjawab pertanyaan si Raja Pengemis. Sementara diam-diam dia terus mengingat siapa adanya gadis murid sikakek itu. "Namaku Nanjar. Lengkapnya Ginanjar!" sahutnya.

"Ah, nama yang bagus! Kaukah pemuda yang pernah kulihat dua tahun yang lalu dibawa terbang burung Rajawali raksasa itu?" tanya sikakek. Sejurus Nanjar tercenung. Lalu cepat-cepat dia menyahut.

"Benar! Tidak salah. Memang aku adanya..." sahut Nanjar dengan manggut-manggut.

"Kak Nanjar...? Kau... kau Ginanjar?" sentak si gadis.

"Kau siapakah?" tanya Nanjar. Jantungnya berdetak keras.

"Aku Ranggaweni, anak Ki Ronggo Alit! Kak Nanjar, kau sudah tak mengenal adik angkatmu lagi?" tanya gadis itu cemberut.

"Oh... ah, aku... aku lupa lagi!" tergagap Nanjar. "ya, ya... aku ingat kini. Kau si gadis kecil putri paman Ronggo Alit itu! Ah, kau sudah sebesar ini. Dan.... sudah jadi seorang gadis cantik...!"

Barulah Nanjar ingat siapa adanya gadis di hadapannya itu. Ginanjar memang pernah tinggal bersama Ki Ronggo Alit, ketika dia pertama kali turun gunung dan membawa surat dari gurunya, Ki Bayu Sheta untuk menetap dirumah Ki Ronggo Alit yang menjadi sahabat baik gurunya. (Baca Serial Roro Centil. Judul Empat Iblis Kali Progo)

"Hehehe... ternyata kalian saling mengenal. Bagus! Bagus! kalau begitu aku tak merasa khawatir untuk me…. meninggalkanmu, muridku..." berkata Raja Pengemis dengan napas semakin tersengal.

''Tidak, kakek! kau tak boleh meninggalkan aku! Kau jangan mati, kek! Jangan tinggalkan aku..." teriak Ranggaweni yang kembali terisak-isak memeluki tubuh gurunya.

"Hehehe... anak bodoh! Kalau Malaikat pencabut nyawa sudah siap-siap mencabut nyawaku apakah aku bisa menghalangi?" berkata si Raja Pengemis. Tiba-tiba kakek ini berpaling pada Nanjar. "Kau jagalah, dia, bocah gagah!" ujarnya pada Nanjar.

Nanjar cuma bisa mengangguk.

"Hehehe... he ceritaku tadi belum habis. Nah dengarkanlah baik-baik. Medali itu memang kuketahui berada di tangan kakak kandungku Ki Dharma Tungga. Karena sebagai orang penting yang menjadi Ketua Rimba Hijau, yang patut memegang Medali itu. Tapi waktu itu Medali itu sudah berada ditangan si Raja Siluman Bangau. Tentu saja aku mencari dia untuk merebut Medali itu. Sekalian menanyakan hubungan apa si Raja Siluman Bangau dengan si manusia bertopeng anak Rarasati bekas kekasihku itu.

"Menurut keterangan si Raja Siluman Bangau, dia bersahabat baik dengan tokoh dari Tebet itu. Dan medali itu dihadiahkan padanya. Sedangkan anak si Rarasati itu telah kembali ke Tebet setelah selesai melakukan tugasnya. Tentu saja dia tak mengetahui kalau ibunya telah mati bunuh diri..."

Sampai disini si Raja Pengemis hentikan penuturannya. Wajahnya semakin memucat. Dan, berkali-kali dia keluarkan darah kental berwarna hitam yang keluar dari mulutnya. Tak lama dia pingsan. Agak lama nyawa si Raja Pengemis itu bertahan. Hingga selama dua hari dua malam dia masih bisa bertahan.

Tapi di pagi hari yang cerah, dia telah hembuskan napasnya yang penghabisan, setelah banyak memberi wejangan dan banyak menuturkan bermacam peristiwa hidupnya pada Nanjar dan muridnya. Daya upaya Nanjar untuk memulihkan kesehatan kakek tua itu tak menemukan hasil. Dan wafatlah si Raja Pengemis dengan diiringi ratapan sedih Ranggaweni, yang telah menganggap orang tua itu kakeknya sendiri.

Ternyata setelah penguburan jenazah si Raja Pengemis, juga jenazah si Raja Siluman Bangau yang dikebumikan sebagaimana mestinya oleh Nanjar. Rangaweni tak mau menetap dipulau itu. Alasannya? Ya! karena dipulau itu masih tinggal si Raja Siluman Naga. Gadis ini masih amat mendendam pada kakek kepala botak berkumis bagai misai itu. Apalagi Nanjar menyatakan akan berguru padanya.

Pada suatu kesempatan, Ranggaweni melarikan diri dari pulau itu, dengan menggunakan perahu layar yang digunakan mendiang gurunya ketika datang ke pulau itu. Ranggaweni pergi dengan dendam kesumat, yang ketika kelak akan dibalaskannya.

Nanjar baru sadar setelah perahu dan gadis itu lenyap. Dia cuma bisa menghela napas. Tapi niatnya untuk berguru pada Raja Siluman Naga tetap akan dilaksanakan. Karena dia berpendapat belum cukup ilmunya untuk berpetualang di Rimba Hijau. Apalagi mengingat akan si pembunuh Ki Dharma Tungga adalah seorang pemuda yang berilmu tinggi, yang telah berhasil menewaskan tokoh kosen Rimba Persilatan itu.

Nanjar berjanji suatu saat akan mencari laki-laki gagah itu ke Tebet. Dengan menuntut ilmu pada si Raja Siluman Naga berarti akan menambah ilmu kedigjayaannya, walaupun dia tak tahu apakah si kakek itu manusia golongan putih atau hitam. Hal itulah yang membuat Nanjar tak akan meninggalkan pulau itu belum dia berhasil mengeruk ilmu si Raja Siluman Naga.

Dipandanginya laut lepas dihadapannya. Dan bibirnya menggumam... "Ranggaweni... kelak aku akan mencarimu. Kau harus kulindungi, demi pesan si Raja Pengemis! Ah, aku harus segera kembali kepuncak bukit. Kakek botak Raja Siluman Naga gila itu telah tak sabar menungguku. Dan anak burung Rajawali itu perlu rawatanku...!"

Sentak Nanjar tersadar dari lamunannya. Saat itu dikejauhan terdengar suara yang datangnya dari atas bukit tertinggi dipulau itu.

"Hooooiii! bocah gendeng! sudahlah! Jangan kau hiraukan gadis itu. Kelak kau bisa mencarinya tahun dimuka, setelah kau keluar dari pulau ini!" itulah suara si Raja Siluman Naga.

Nyengirlah seketika Nanjar. Dan dia balas berteriak. "Baik, kakek gendeng! aku segera datang... Nguk! nguk! nguk! Kalau aku tinggalkan pulau ini tentu kaupun akan mampus siang-siang! Bukankah alasanmu untuk aku mempelajari ilmu darimu itu adalah untuk memperpanjang umurmu? hahaha... hehehe..." Teriak Nanjar sambil melompat-lompat dengan gaya ilmu Kera.

"Bocah kunyuk gendeng! kalau kau bicara macam itu lagi anak burung Rajawali ini akan kubikin mampus!" terdengar lagi teriakan si Raja Siluman Naga membentak marah.

Pucat seketika wajah Nanjar. "Wah, wah!? Jangan! haiiih! kakek Raja Siluman Naga yang gagah dan sakti. Baiklah, aku tak akan bicara macam itu lagi. Segera aku datang! Hehehe... nguk! nguk! nguk!" seraya berteriak Nanjar mempercepat larinya dengan melompat-lompat.

Diam-diam dalam hati dia membathin. "Kakek botak itu kukira tak lama lagi umurnya. Akibat benturan pukulan dengan si Raja Pengemis telah membuat luka-luka dalam yang parah. Dia memang hebat, dengan masih sempat bertahan. Dia tak ingin ilmunya hilang sia-sia. Itulah sebabnya dia menginginkan aku mewarisi segenap ilmu yang dimiiikinya!"

Nanjar semakin mempercepat larinya. Bahkan serasa ingin lebih cepat lagi dia keluar dari pulau itu. Tentu saja dengan bekal ilmu-ilmu kedigjayaan yang cukup untuk bekal dalam pengembaraannya kelak di dunia Rimba Persilatan.

"Hehehehe…. hahaha…. nguk! nguk! nguk! nguk! nguk! nguk!...!

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.