Dewa Linglung - Raksasa Gunung Bromo
Siang itu Matahari seperti enggan keluar dari tempat persembunyiannya dibalik mega kelabu. Cuaca tak begitu cerah. Akan tetapi tak ada tanda-tanda bakal turun hujan. Dari kejauhan tampak berdiri megah sebuah gunung yang menjulang tinggi. Bagian puncaknya tertutup lapisan awan dan kabut. Itulah Gunung Bromo.
Di keteduhan cuaca dan lembabnya udara siang itu ternyata telah berlangsung upacara pernikahan yang dilakukan secara sederhana sekali, yaitu di puncak gunung Bromo yang sunyi mencekam. Agak jauh dari kawah yang senantiasa bergolak di lereng puncak gunung itu tampak sebuah rumah batu beratap ilalang.
Seorang kakek tua renta berjubah putih lusuh tampak duduk menghadap keluar dengan bersila di atas tikar pandan. Di hadapannya dua orang remaja seorang gadis dan seorang pemuda duduk bersimpuh dengan menundukkan kepala.
Di dekat kedua remaja itu duduk pula seorang laki-laki tua berkepala botak tanpa rambut, tampaknya dia seorang pendeta. Dan di belakang sepasang remaja itu duduk mengantuk seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bertelanjang dada.
Kakek tua renta berjubah putih lusuh itu adalah yang bernama Ki DWIPA MORGHANA, seorang laki-laki tua yang berilmu tinggi. Di dunia persilatan kakek ini dikenal dengan gelar si Kelana dari Gunung Himalaya.
Puluhan tahun silam nama gelarnya pernah membuat gempar kaum rimba persilatan karena ketinggian ilmu serta sepak terjang manusia dari wilayah India ini. Entah sejak kapan dia bercokol di puncak gunung Bromo dan mempunyai tiga orang murid. Nyatanya ketiga muridnya itu telah berguru hampir enam tahun.
“Nah, muridku AYU RUMPI dan PANDALA...! kini kalian telah resmi menjadi suami isteri!” berkata Ki Dwipa Morghana dengan menarik napas lega selesai upacara pernikahan kedua remaja muridnya itu.
“Kuharap kalian dapat hidup rukun dan saling menyayangi. Jagalah baik-baik nama perguruan, dan berbuatlah kebajikan. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa merestui mu...!” demikian Ki Dwipa Morghana menutup wejangannya. Dan berakhirlah upacara itu.
Ayu Rumpi dan Pandala saling tatap, tapi cepat-cepat Ayu Rumpi menunduk tanpa secuil senyum pun terukir di bibirnya. Pandala mengangkat muka memandang pada gurunya.
“Guru...! seperti telah kami rencanakan, selesai pernikahan kami segera akan turun gunung. Kami mohon do’a restumu, guru...!”
Sejenak Ki Dwipa Morghana tercenung. Lengannya bergerak mengelus jenggotnya yang panjang menjuntai. “Sebenarnya aku menginginkan kalian menetap di puncak gunung Bromo ini...! Tapi, aku tak dapat melarang jika kalian akan turun gunung. Aku sendiri telah mengambil keputusan untuk segera kembali ke Puncak Himalaya”
“Lalu siapa yang akan tetap tinggal di puncak Bromo ini?” kata Pandala. Laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa yang duduk di belakang Ayu Rumpi dan Pandala walaupun matanya terpejam dan tidur mendengkur, tapi telinganya mendengar semua percakapan itu. Dia menggeliat dan tanpa membuka matanya segera menyahut.
“Biarlah aku yang menunggu puncak Bromo!”
Pandala dan Ayu Rumpi menoleh. “Apakah kau tak ingin turun gunung, KEBO GAWUK?” bertanya Ki Dwipa Morghana.
“Tidak, guru! Di puncak Bromo ini tenang penuh kedamaian. Tidak seperti di bawah sana yang ramai, tapi penuh kemelut! Disini aku bisa tidur pulas tanpa ada yang mengganggu...!”
Mendengar jawaban muridnya itu Ki Dwipa Morghana tertawa gelak-gelak, lalu ujarnya. “Aku tak memaksakan kehendak murid-muridku. Asalkan kalian tetap memegang teguh tujuan perguruan kita, yaitu berpihak pada kebenaran!”
“Tapi, guru...!” menukas Pandala. “KEBO GAWUK kerjanya hanya tidur, percuma saja dia mempelajari ilmu-ilmu kedigjayaan....”
“Apakah tidur itu suatu hal yang melanggar aturan perguruan? Guru telah memberi ijin padaku, mengapa kakang Pandala usil dengan kesenangan orang? Silah-kan kalian turun gunung. Biarlah aku yang menetap di puncak Bromo ini...” sahut Kebo Gawuk tanpa mem-buka matanya.
“Ya, aku telah memberi ijin. Biarlah dia berbuat apa yang dia sukai. Bilakah kalian akan berangkat?” tanya Ki Dwipa Morghana seraya menatap pada Pandala dan Ayu Rumpi.
“Sekarang juga, guru...!” sahut Ayu Rumpi setelah sesaat menatap Pandala. Pandala mengangguk. “Benar, guru. Kami akan turun gunung sekarang juga!” Ki Dwipa Morghana mengangguk.
“Baiklah! Persiapkan apa yang akan kalian bawa. Aku merestui mu berdua!”
“Terima kasih, Guru...!” sahut kedua remaja ini hampir berbareng. Kemudian bangkit berdiri dan beranjak masuk ke bilik mereka. Tak lama keduanya keluar lagi setelah mengemaskan pakaian tak lupa menyisipkan senjata mereka ke balik baju di pinggang. Kemudian keduanya mohon diri.
“Ya, berangkatlah, semoga Tuhan selalu melindungi kalian!” berkata kakek itu.
Pandala dan Ayu Rumpi tak menunggu lebih lama lagi, segera beranjak keluar dari pondok itu. Dan dengan cepat segera berkelebat me-lompat menuruni lereng Bromo. Ki Dwipa Morghana menatapnya hingga sosok kedua muridnya lenyap...
“Kebo Gawuk! tugasmu adalah mengantarkan bapak pendeta ini sampai ke rumahnya!” berkata Ki Dwipa Morghana. Kebo Gawuk membuka matanya.
“Baik, guru...!”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, pak pendeta. Semoga Tuhan membalasnya...” Ki Dwipa Morghana menjura pada si pendeta yang telah bangkit berdiri dari duduknya.
“Tak ada yang amat ku senangi selain perbuatan baik. Semoga Tuhan selalu melindungimu” sahut si pendeta dengan tersenyum.
Pendeta tua yang diminta pertolongan oleh Dwipa Morghana itu pun mohon diri. Kemudian dengan diantar oleh Kebo Gawuk segera menuruni lereng Bromo. Ki Dwipa Morghana mengantarnya sampai ke pintu pondok. Kakek tua ini memandangi kepergian mereka hingga tak kelihatan lagi. Sesaat lamanya Ki Dwipa Morghana tercenung di pintu pondok. Pelahan terdengar suara helaan nafasnya. Dan dia berkata lirih.
“Akupun akan segera pergi meninggalkan puncak Bromo ini...”
Kakek ini memasuki ruangan pondoknya di mana lebih dari lima tahun dia telah menggembleng ketiga muridnya. Kakek yang arif ini terpaksa menikahkan kedua orang muridnya karena melihat adanya tanda-tanda dan sering dia memergoki kedua muridnya itu diam-diam sama-sama telah jatuh hati. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, dia memanggil Pandala dan Ayu Rumpi dan menanyakan sejelas-jelasnya.
Di hadapan sang guru kedua murid itu tak dapat menyangkal dan mengakui dengan jujur bahwa mereka sama-sama menyinta. Akhirnya Ki Dwipa Morghana turun gunung untuk mencari seorang pendeta guna meresmikan kedua muridnya itu menjadi pasangan suami-istri.
Matahari semakin condong ke bawah gunung. Sinarnya tetap redup bahkan mulai berkurang. Ki Dwipa Morghana tak menunggu sampai muridnya kembali dari mengantar sang pendeta. Karena dia telah memutuskan untuk segera berangkat meninggalkan puncak gunung Bromo. Kembali ke India.
Beberapa saat kemudian Ki Dwipa Morghana telah berdiri di luar pondok. Sejenak memandang ke sekitar puncak Bromo. Namun tak lama segera dia memutar tubuh. Dan detik selanjutnya yang terlihat adalah bayangan putih yang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu sosok tubuh Ki Dwipa Morghana alias si Pengelana dari gunung Himalaya itu telah lenyap.
Dua tahun kemudian sejak peristiwa itu, empat sosok tubuh berkelebat cepat mendaki lereng Bromo. Dari gerakan-gerakan keempat orang itu dapat diketahui kalau mereka adalah empat orang yang berkepandaian tinggi. Entah siapa gerangan mereka dan ada kepentingan apa mendaki gunung Bromo sepagi itu?
Ternyata mereka adalah empat laki-laki berpakaian serba hitam. Usia mereka hampir rata-rata sekitar tiga puluhan tahun. Gerakan-gerakan mereka mendaki amat gesit, bagaikan gerakan empat ekor kijang. Kira-kira dua kali penanak nasi, keempat orang baju kuning itu telah sampai di puncak Bromo.
“Itu pesanggrahannya!!” berkata seorang yang bertubuh tinggi kurus. Lengannya menunjuk ke arah sisi kawah.
“Mari kita kesana!” Segera keempat laki-laki baju kuning itu berlompatan mendekati pondok satu-satunya yang terpencil di puncak Bromo itu.
Tiba di depan pesanggrahan tua itu si laki-laki bertubuh tinggi kurus mengangkat kedua tangannya memberi isyarat agar berhenti. Matanya menatap ke arah pintu pondok yang terbuka.
“Sobat penghuni puncak Bromo, kami Empat Iblis Clurit Hitam datang mau menemuimu!” si laki-laki jangkung pentang suara. Kemudian mereka menunggu jawaban. Keadaan sunyi mencekam seperti tiada tan-da-tanda pondok tua itu berpenghuni. Setelah menanti beberapa saat, agaknya si jangkung mulai tak sabar. Kembali dia berteriak.
“Hai, penghuni puncak Bromo! Kami datang membawa sepucuk surat dari saudara seperguruanmu, PANDALA!”
Terdengar suara berat dan parau seperti suara orang yang baru bangun dari tidur. “Hoaaeeem...! Surat dari PANDALA?”
Suara itu membuat terkejut ke empat orang ini, karena suara tersebut bukan datang dari arah pondok. Tapi dari dalam kawah Bromo. Tak ayal keempatnya segera berlompatan ke arah sisi kawah gunung itu.
Tampak sesosok tubuh tinggi besar mirip raksasa duduk di atas sebuah batu besar menyandarkan punggungnya di lereng kawah. Dibawahnya adalah lahar panas yang mendidih dan mengepulkan asap seperti kabut.
Keempat orang ini hampir-hampir tak percaya pada penglihatannya. Jangankan untuk berada di tengah kawah yang sedemikian panasnya, berdiri di tepi puncak kawah saja hawa panas telah membuat mereka tersurut mundur. Akan tetapi laki-laki itu tampak enak-enakan tidur di atas batu di pertengahan kawah, membuat empat pasang mata laki-laki ini jadi terbelalak heran juga takjub.
“Hi, kalian Empat Iblis Clurit Hitam bacakan sajalah apa isi surat dari Pandala itu...!” kata Kebo Gawuk tanpa membuka matanya.
Keempat laki-laki baju kuning ini saling pandang dengan kawannya. Tapi si jangkung kurus ini segera memberi isyarat pada salah seorang kawannya. “Pindo, kau bacalah surat itu!”
Laki-laki bertubuh agak pendek namun kekar yang bernama Pindo itu segera keluarkan secarik kertas kain dari balik bajunya. Kemudian membuka lembaran kertas kain itu. Akan tetapi baru saja Pindo mau membaca, tiba-tiba bersyiur angin keras yang membuat terlepas kertas kain itu dari tangannya.
Pindo melompat untuk menyambar dengan sebat. Akan tetapi kertas itu makin membumbung dan melayang jatuh ke dalam kawah. Pucat seketika wajah keempat orang ini. Dilihatnya Kebo Gawuk masih enak-enak tidur seperti tak mengetahui apa yang barusan terjadi. Kertas surat itu terus melayang dan lenyap masuk ke dalam kawah.
Si laki-laki jangkung menunjukkan wajah berang. Dia tahu si manusia raksasa itulah yang telah menyebabkan terlepasnya kertas surat itu. Kekuatan angin biasa tak mungkin bisa menerbangkan benda itu. Apa lagi datangnya syiuran angin dari dalam kawah.
“Kebo Gawuk! mengapa kau lakukan hal ini?” teriaknya keras. “Kami jauh-jauh datang kemari untuk menyam-paikan surat itu, mengapa kau menjatuhkannya ke da-lam kawah?”
“Hehehe... sebaiknya kalian terangkan saja apa maksud si Pandala! Kukira kalian telah mengetahui apa isinya!” menyahut Kebo Gawuk dengan menyengir lalu membuka matanya.
“Hm, baiklah!” sahut si jangkung yang bernama Rakenca. Walau hatinya agak mendongkol, tapi Rakenca segera angkat bicara.
“Adipati PANDALA menitahkan kau untuk turun gunung dan menghadapnya. Kami akan mengantar kau ke tempat beliau!”
“Si Pandala telah menjadi Adipati?” sentak Kebo Gawuk dengan mata membelalak.
“Sudah hampir satu tahun Raden Pandala menjabat sebagai Adipati Bangil!” menjelaskan Rakenca.
“Apakah maksudnya menyuruhku menghadap?” tanya Kebo Gawuk.
“Haha... Kebo Gawuk! Apakah kau akan tetap menjadi penghuni puncak Bromo menunggui lahar yang tak ada gunanya? Kehidupan senang dan pangkat tinggi telah disediakan untukmu. Raden Pandala sangat membutuhkan tenagamu!”
Sejenak Kebo Gawuk tercenung. Matanya menatap kepulan asap lahar. Bibirnya bergumam. “Kehidupan senang? Pangkat tinggi? Hm, aku tak tertarik dengan semua itu!”
“Kebo Gawuk! alangkah bodohnya kau jika menolak tawaran itu! Raden Pandala telah berbaik hati membagi kesenangan, dan masih tak melupakan pada saudara seperguruannya. Kalau di dunia ini ada orang yang tak ingin kehidupan senang itulah kau!” berkata Rakenca.
“Heh! aku sudah cukup senang berada di puncak Bromo ini. Katakan pada si Pandala bahwa aku menolak tawarannya! Nah! Segera kalian angkat kaki dari sini!” Selesai berkata lengan Kebo Gawuk mengibas. Angin panas menggebu menyambar ke arah empat laki-laki ini.
Terkesiap si Empat Iblis Clurit Hitam. Dengan sebat mereka berlompatan menghindar. Sesaat keempatnya saling pandang. Sungguh mereka tiada mengira akan penolakan Kebo Gawuk. Akhirnya Rakenca memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Tak lama si Empat Iblis Clurit Hitam telah berkelebatan menuruni lereng Bromo. Mereka kembali dengan hati kecewa dan masygul karena tak berhasil membawa si penghuni puncak Bromo turun gunung.
Sementara itu di Kadipaten, Raden Pandala sang Adipati Bangil tampak baru saja keluar dari dalam pendopo gedung kadipaten. Tampaknya dia akan bepergian, karena seekor kuda telah disiapkan oleh seorang prajurit di halaman gedung. Melihat kemunculan Raden Pandala, prajurit itu dengan membungkukkan tubuh segera menyurut mundur.
Raden Pandala menepuk-nepuk kuda tunggangannya yang berbulu putih berkilat-kilat. Kuda putih itu perdengarkan suara meringkik pelahan lalu mendengus-dengus mencium lengan laki-laki ini. Raden Pandala tersenyum seraya mengelus-elus kepala kuda kesayangannya. Kemudian dia melompat ke punggung binatang itu.
“Tutup pintu gapura, dan tak seorangpun tetamu yang dibolehkan masuk!” berkata sang Adipati seraya menoleh pada si prajurit. “Katakan aku sedang keluar! Mungkin nanti sore aku baru kembali!”
“Dawuh, Gusti! Perintah segera akan hamba laksanakan!” menyahut prajurit itu dengan membungkuk.
Raden Pandala tanpa berkata apa-apa lagi terus mengeprak kudanya dan membedal keluar meninggalkan gedung Kadipaten. Prajurit ini bergegas menghampiri dua penjaga pintu gerbang. Setelah bercakap-cakap sejenak, kedua prajurit itu segera menutup pintu gerbang gedung Kadipaten dan menguncinya dengan palang pintu.
“Akan kemanakah Kanjeng Gusti Adipati?” tanya salah seorang prajurit penjaga pintu gerbang pada prajurit tadi.
“Entahlah! Beliau tak berkata apa-apa padaku...!” sahut prajurit ini yang menjadi orang kepercayaan Raden Pandala. Lalu ketiganya pun bercakap-cakap.
Raden Pandala memacu kuda tunggangannya dengan cepat menuju ke arah selatan. Akan tetapi dia tak melewati jalan yang biasa dipergunakan orang. Melainkan mengambil jalan dengan melintasi hutan lebat. Entah kemana tujuan Raden Pandala, tampaknya dia akan menemui seseorang yang bersangkutan dengan urusan pribadinya.
Setelah melintasi hutan kemudian kuda membelok ke arah sisi bukit. Melalui jalanan yang terjal dan berkelok-kelok sepenanak nasi kemudian Raden Pandala telah tiba di satu tempat yang di kiri kanannya penuh dengan pohon jati. Di ujung jalan yang dilaluinya terdapat jalan yang membelok ke kanan.
Tapi Raden Pandala tak menuruti jalanan itu. Melainkan menerobos jalan setapak ke arah semak belukar. Ternyata dibalik belukar itu terdapat sebuah sungai.
Suara air menyibak mencabik keheningan tatkala kaki-kaki kuda Raden Pandala melintasi sungai berair dangkal itu. Keadaan di hutan kecil itu tampak begitu lengang. Baru saja Raden Pandala sampai ke daratan, beberapa sosok tubuh bermunculan dari balik semak.
“Oh, kiranya Gusti Raden Pandala...!” berkata salah seorang dari laki-laki berbaju warna gelap itu. Lalu menjura diikuti kawan-kawannya. “Selamat datang, Raden!” sapa laki-laki yang barusan berkata.
“Hm,... apakah Gustimu ada dikediamannya?” tanya Raden Pandala.
“Kebetulan. Hari ini beliau ada di rumah!” sahut laki-laki itu. “Mari Raden! kami jalan terlebih dahulu”
Enam laki-laki itu dengan gerakan cepat segera mendahului berkelebatan dengan gerakan gesit. Pertanda mereka rata-rata memiliki ilmu-ilmu silat.
“Haih! AYU RUMPI...! Entah sampai kapan kau tetap bertahan pada pendirianmu? Bagaimana kalau sampai semua usaha dan jerih payah ku tak berhasil?” menggumam Raden Pandala.
Lalu menyusul keenam laki-laki tadi dengan langkah kuda yang dijalankan pelahan. Sebuah rumah yang berbentuk pesanggrahan tak seberapa besar, tampak berada di tempat agak ketinggian. Dikelilingi rumpun bambu. Sekitar tempat itu bersih seperti memang dijaga kerapiannya.
Ketika langkah kaki kuda Raden Pandala semakin mendekat ke arah pondok itu, dari dalam pintu pondok muncul sesosok tubuh wanita berpakaian warna kuning. Kepalanya terbungkus selendang warna hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Sejenak Raden Pandala tertegun memandang, dan menghentikan langkah kudanya. “Ayu Rumpi...!” Suara Raden Pandala memecah kesunyian.
“Hm! Silahkan masuk Adipati Bangil!” Hanya itu yang diucapkan wanita berkerudung hitam ini. Kemudian tubuhnya kembali menyelinap masuk ke dalam pondok. Raden Pandala melompat turun dari kudanya. Lalu menuntunnya ke sisi pondok dan mengikatkan tali kendali pada sebatang pohon yang tumbuh di situ.
Sejenak sebelum melangkah masuk, Raden Pandala memutar pandangan, seperti mencari keenam laki-laki tadi. Tapi entah kemana lenyapnya enam laki-laki itu seperti pada waktu-waktu dia berkunjung ke tempat itu, tak sepotong batang-batang hidungpun yang kelihatan. Lambat-lambat Raden Pandala melangkahkan kaki memasuki pondok pesanggrahan itu...
“Silahkan duduk Raden Pandala!” suara Ayu Rumpi memagut kelengangan. Gadis berkerudung ini tetap tak menampakkan keseluruhan wajahnya yang sebagian tertutup kerudung hitamnya. Dia telah duduk di ujung tikar pandan dengan sorotan mata tajam menatap Raden Pandala.
Raden Pandala masih tetap berdiri menatapnya. Gurat-gurat wajahnya menampakkan ketuaan. Karena selama ini Pandala telah bekerja keras. Kerja keras yang dilakukan demi terwujudnya harapan yang menggebu didadanya. Semua itu demi wanita yang berada di hadapannya. Yaitu AYU RUMPI istrinya.
“Hm! Untuk keempat kalinya kau datang kemari menemuiku semenjak kau diangkat menjadi Adipati Bangil. Apakah kau masih tetap akan membujuk ku, Pandala?” Ayu Rumpi membuka percakapan.
Pandala henyakkan pantatnya ke tikar. Lalu terdengar dia menghela napas. “Ayu Rumpi! Kita sudah menjadi suami istri. Bahkan aku masih ingat ketika kita menikah di hadapan seorang pendeta tua puncak Bromo...” berkata Pandala.
“Ya! akupun masih ingat!” menukas Ayu Rumpi. “Tetapi masih ingat pulakah kau pada syarat yang ku ajukan sebelum pernikahan? Aku akan bersatu padamu sebagaimana lazimnya suami istri, akan tetapi bila kau telah berhasil merebut kekuasaan Kerajaan!” desis wanita ini dengan mata menyorot tajam menatap Pandala. “Kau baru berhasil menjabat sebagai seorang Adipati. Masih jauh dengan apa yang aku harapkan!” sam-bung Ayu Rumpi.
“Apakah jabatan itu tidak cukup untuk kita bersatu, Ayu...?”
Ayu Rumpi menggeleng. “Jangan coba-coba kau merayuku lagi, Pandala! Sekali putih tetap putih, sekali hitam tetaplah hitam! Kau masih punya waktu satu tahun lagi sesuai dengan waktu yang aku janjikan! Berhasil tidaknya hal itu tergantung dengan nasibmu!”
Pandala tercenung beberapa saat. Lagi-lagi dia menghela napas seperti melepaskan beban berat yang menindih dadanya. “Sungguh tak kusangka kau telah menjerumuskan aku pada perbuatan rendah! Perbuatan kotor yang tak sesuai dengan cita-cita guru kita!” berkata parau Ra-den Pandala.
“Menjerumuskan mu?” desis Ayu Rumpi. Tampak wajahnya berubah merah. Sepasang alisnya terjungkat naik. Dari sepasang matanya yang membinar itu dapat diketahui kalau Ayu Rumpi tersinggung marah.
“Ya! kau telah menjerumuskan aku dengan syarat gila itu!” bentak Pandala yang tak dapat menahan perasaan marahnya.
Sebaliknya Ayu Rumpi malah tertawa geli, membuat mata Raden Pandala membelalak. “Hihihi... sungguh tak kusangka calon suamiku ternyata seorang yang berotak dungu! Hihihi... benar-benar lucu dan amat menggelikan!”
“Tutup mulutmu, Ayu! Aku suamimu! bukan calon!”
Bentakan Pandala membuat Ayu Rumpi berhenti tertawa. Wajahnya berubah merah lagi. Matanya menatap Pandala dengan pandangan dingin.
“Heh! tanpa adanya syarat yang bersedia kau penuhi itu aku memang mutlak istrimu! Apakah kau mau mengingkari janjimu dengan dalih pernikahan itu? Pada dasarnya memang benar! Tapi kenyataannya adalah tidak demikian...!”
Jawaban Ayu Rumpi membuat sang Adipati Bangil ini membungkam mulut tanpa dapat berkata sepatahpun. “Kau... kau memang keras kepala, Ayu...! Tak ada sedikitpun kebijaksanaan bersemayam di hatimu!” Hanya kata-kata itu yang diucapkan. Tapi itupun diucapkannya dalam hati.
“Kukira tak ada lagi yang harus kita bicarakan. Nah, segeralah kau tinggalkan tempat ini! Maafkan kalau kata-kataku terlalu tajam. Bukan maksudku menghinamu, tetapi semua itu agar dapat kau mengerti. Aku masih tetap menunggumu dengan setia sampai usaha dan perjuangan mu berhasil! Ya! satu tahun lagi! Pergunakanlah waktu itu sebaik-baiknya, Pandala! Kau dapat menyusun kekuatan untuk segera melaku-kan pemberontakan. Membunuh Raja dan merebut kekuasaan!”
Raden Pandala tak menyahut. Dia bangkit berdiri dengan wajah kaku membesi. Pintu kamar dihantamnya hingga hancur berkepingan. Agaknya Pandala telah melepaskan kekesalan hatinya karena lagi-lagi dia menemui jalan buntu untuk mengajak istrinya bersatu dan tinggal di kadipaten.
Tanpa memperdulikan enam laki-laki anak buah Ayu Rumpi yang tahu-tahu bermunculan di halaman pesanggrahan, Pandala menghampiri kudanya. Dua orang melompat masuk ke pesanggrahan. Agaknya mereka telah mendengar suara bergedubrakan dan mengkhawatirkan keselamatan majikannya.
Tapi Ayu Rumpi telah muncul di pintu pesanggrahan. Kedua laki-laki itu menarik napas lega. “Biarkan dia pergi!” berkata gadis ini, ketika melihat empat laki-laki anak buahnya bersikap mengurung Raden Pandala.
Tanpa membuang waktu Raden Pandala segera melompat ke punggung kudanya. Lalu membedalnya meninggalkan tempat itu. Ayu Rumpi dan keenam anak buahnya mengawasi sampai kuda putih itu lenyap.
Sepeninggal Adipati Bangil, Ayu Rumpi berkemas mengganti pakaiannya dengan pakaian persilatan. Kerudung hitam yang tadi digunakan untuk menutupi wajahnya dibelitkan di pinggang. Kemudian keluar dari dalam pondok pesanggrahan.
“Perbaikilah pintu kamarku! Aku akan pergi agak lama. Mungkin satu pekan. Ingat pesanku. Kalian tak kuperbolehkan meninggalkan tempat ini. Jaga tempat ini jangan sampai orang luar mengetahui tempat rahasia kita!” Keenam anak buah wanita ini mengangguk.
“Siap ketua! Jangan khawatir! kami akan menjaga tempat ini sebaik-baiknya. Dan pintu kamar yang ru-sak itu pasti sudah selesai kami perbaiki bila ketua kembali nanti!”
Ayu Rumpi tersenyum dan mengangguk. “Bagus! Nah! aku berangkat!”
Selesai berkata murid Ki Dwipa Morghana ini berke-lebat pergi meninggalkan tempat tersembunyi itu. Cepat sekali gerakan gadis ini. Dalam beberapa saat saja dia telah berada di sisi bukit. Dia berhenti sejenak untuk menatapkan matanya ke beberapa arah. Seperti khawatir ada orang lain yang menguntitnya. Ayu Rumpi perdengarkan suara tertawa kecil seraya menggumam.
“Tampaknya Pandala merubah niatnya semula. Dia marah karena aku tetap pada pendirianku! Tapi aku belum yakin, apakah dia membatalkan niatnya untuk memberontak? Karena kudengar dia telah mulai menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan tokoh-tokoh aliran hitam seperti si Empat Iblis Clurit Hitam dan lain-lain.
“Hihihi... akan kulihat, apakah dia mempunyai kemampuan?”gumamnya lagi. “Hm, aku harus menemui “dia”! aku sudah terlalu rindu padanya...” berkata Ayu Rumpi dalam hati.
Kemudian dengan gerakan bagai burung walet, lincah sekali gadis itu berkelebat meninggalkan sisi bukit. Seorang laki-laki kira-kira berumur tiga puluh lima tahun lebih tampak duduk di atas sebuah batu di lereng gunung. Pemandangan di tempat itu amat menyenangkan dan menyejukkan hati.
Tenang, sunyi dan tampak penuh kedamaian. Apalagi saat itu terdengar suara seruling bernada lembut mendayu-dayu menggugah perasaan ditingkah oleh suara air terjun yang lapat-lapat terdengar di kejauhan.
Suara seruling itu berasal dari benda yang ditiup laki-laki ini. Bentuk seruling itu agak aneh, karena hanya mempunyai empat buah lubang. Dan laki-laki ini meniupnya dengan sebelah tangan. Empat anak jarinya bergerak lincah menutup dan membuka empat buah lubang itu, sedangkan ibu jari tangannya berada di bagian bawah benda yang ditiupnya. Walau nadanya agak aneh, tapi mengalunkan suara lembut yang kedengarannya amat syahdu.
Laki-laki setengah umur ini walau kelihatan agak tua, tapi memiliki wajah tampan dan gagah. Rambut-nya ikal. Panjangnya hampir sebatas bahu. Selintas dapat dilihat bahwa laki-laki ini memiliki wajah yang penuh dengan cambang bauk lebat. Tapi agaknya dia selalu mencukurnya, tapi justru membuat laki-laki ini lebih muda dan tampan.
Tiba-tiba nada serulingnya terhenti. Sepasang matanya yang tadi terpejam, kini terbuka. Kepalanya dimiringkan sedikit seperti ada suara yang mencurigakan yang telah didengarnya. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara. Dan lenyap ditelan rimbunnya pepohonan. Dari gerakan melayang itu dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki yang cuma memiliki sebelah lengan...
Sesosok tubuh melompat keluar dari balik semak. Ternyata si laki-laki peniup seruling aneh itu telah mengetahui adanya seseorang yang bersembunyi di sekitar tempat itu. Siapa gerangan orang ini? Kiranya tak lain dari Ayu Rumpi.
“Ah...! Mengapa dia selalu menghentikan suara serulingnya dan melenyapkan diri setiap aku datang? Aku belum puas memandangi wajahnya....” Berkata Ayu Rumpi dalam hati. Tampak gadis ini seperti kecewa.
“Dia pasti mengetahui kedatanganku. Ya! dia pasti telah mengetahui...! Dan aku yakin laki-laki itu adalah “dia”...!” menggumam Ayu Rumpi. Tiga kali sudah Ayu Rumpi datang ke tempat ini. Dan setiap kali dia sembunyi di tempat itu untuk mendengarkan suara alunan seruling laki-laki itu serta memperhatikan wajahnya.
Entah apa yang telah membuat gadis ini seperti tergila-gila pada sang peniup seruling. Akan tetapi dia tak berani terang-terangan berhadapan muka atau menghampiri. Ternyata suatu peristiwa masa silam telah tersimpan kuat di lubuk hati Ayu Rumpi. Peristiwa yang amat sukar dilupakan! Peristiwa apakah itu?
Dimana-mana perang memang suatu hal yang amat dibenci! Karena perang pulalah hingga dia harus kehilangan segala-galanya, pada masa perebutan kekuasaan, rakyat banyak yang menjadi korban. Diantara korban peperangan itu keluarga Ayu Rumpi termasuk salah satu dari sekian banyak korban perang. Orang tuanya mati terbunuh. Desa terbakar musnah! Dan dia hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Ayu Rumpi pada waktu itu baru berusia kira-kira empat belas tahun.
Dalam keadaan sengsara Ayu Rumpi berhasil lolos dari tangan-tangan jahat yang mau menjamahnya. Dalam keadaan sengsara menahan lapar juga tidur yang tiada menentu dia berjumpa dengan seorang laki-laki yang juga korban dari keganasan perang. Seorang pemuda tanggung yang bernama PANDALA. Merekapun segera bersahabat. Tapi dimana-mana bahaya selalu mengancam.
Pandala yang diharapkan dapat menjaganya, ternyata berjiwa pengecut. Disamping tak memiliki ilmu kepandaian juga tak mempunyai nyali besar. Hingga dia cuma bisa melarikan diri ketika tiga orang perampok jahat tergiur pada kecantikan wajah Ayu Rumpi yang masih berusia belasan tahun dan boleh dikatakan seorang gadis kecil.
Untunglah pada saat itu muncul seseorang yang telah menolongnya. Dan menghajar ketiga manusia durjana itu. Ayu Rumpi masih ingat. Ketika itu si tiga manusia jahat tersebut telah dibuntungi masing-masing sebelah lengannya. Dan dia ingat benar, si penolongnya itupun cuma berlengan satu.
Tak terkirakan rasa terimakasih Ayu Rumpi pada sang penolong. Ayu Rumpi dan Pandala dibawa ke tempat kediamannya. Itulah tempat di lereng gunung yang sunyi dan berpemandangan indah. Ayu Rumpi dan Pandala memohon pada laki-laki itu untuk dijadikan muridnya. Tapi dia menolak, namun menjanjikan akan membawa mereka kepada seorang kakek sakti di puncak gunung Bromo.
Pandala tampak gembira, tapi Ayu Rumpi seperti enggan berpisah dengan laki-laki penolongnya yang disebutnya dengan panggilan Paman JOKO. Suatu perasaan aneh telah tersimpan di hati sanubari Ayu Rumpi. Perasaan aneh itu adalah seperti perasaan yang dimiliki seorang gadis remaja. Hal yang belum sesuai dengan usia Ayu Rumpi pada waktu itu.
Akan tetapi memang tidaklah aneh bagi orang-orang desa pada masa itu. Usia sedemikian bagi seorang gadis desa sudah dapat dikatakan cukup dewasa. Rasa terimakasih atas pertolongan sang Paman Joko pada dirinya telah menimbulkan rasa simpati yang amat dalam di hati Ayu Rumpi. Dan rasa simpati itu ternyata menimbulkan benih-benih cinta di hati si gadis cilik.
Walaupun dia cuma mengenal cinta itu sebagai rasa kasih sayang, tanpa embel-embel lain. Dia merasa kasihan pada sang paman Joko yang hidup sendiri dan wajahnya selalu tampak murung. Itulah sebabnya dia enggan dan tak mau berpisah. Karena ingin membalas budi dengan apa yang bisa dilakukannya.
Namun paman Joko bersikeras untuk membawanya ke puncak Bromo. Terpaksa Ayu Rumpi harus menuruti keinginan paman Joko untuk menetap dan berguru dengan kakek sakti itu. Perpisahan itu diiringi deraian air mata di pipi sang gadis kecil.
“Paman Joko, setelah selesai berguru, aku akan mencarimu. Apakah kau masih akan tinggal di lereng gunung itu?”
“Haih, anak manis...! Sudahlah! Kalau Tuhan mengijinkan tentu kita dapat bertemu lagi. Kau belajarlah yang rajin. Dan tak usah memikirkan apa-apa...” sahut paman Joko dengan tertawa dan membelai rambutnya.
Demikianlah kisah yang dialami Ayu Rumpi. Lebih dari lima tahun dia berguru, tak disangka-sangka diam-diam Pandala telah lama jatuh hati pada dirinya. Dengan berbagai cara, Pandala membujuk dan merayu untuk meruntuhkan hati Ayu Rumpi. Pergaulan selama lima tahun lebih itu agak melupakan ingatan Ayu Rumpi pada sang paman Joko. Di luar kesadaran mereka telah mengadakan hubungan seperti suami-istri.
“Aku akan menikahi mu, Ayu...! Sudahlah! Hapuslah air matamu...” kata Pandala menghibur gadis saudara seperguruannya itu.
Ayu Rumpi menjawab ketus, seraya menyeka air matanya. “Baik! aku bersedia menjadi istrimu! Tapi aku tak mau bersuamikan seorang pengecut seperti perbuatanmu dahulu!” saat itu dia teringat akan kepengecutan Pandala pada masa lima tahun yang silam. Mengingat masa lalu itu, Ayu Rumpi teringat pula pada Paman Joko yang telah menolongnya. Tak kuat menahan perasaan hatinya yang hancur, gadis ini menangis terisak-isak.
“Sudahlah, Ayu...! Maafkan aku! Tentu aku tak sepengecut dahulu. Bukankah kini aku telah dewasa? Dan aku telah pula memiliki ilmu kepandaian!” hibur Pandala.
Ayu Rumpi menatap Pandala tajam-tajam. Tangisnya mendadak berhenti. “Hem, sanggupkah kau untuk membuktikannya?”
“Aku akan membuktikannya kelak!” jawab Pandala tegas.
“Bagus! Nah! buktikanlah nanti setelah kita turun gunung! Aku menginginkan kau merebut kekuasaan Kerajaan! Aku dendam pada orang-orang kerajaan. Gara-gara mereka aku harus kehilangan kedua orang tuaku!”
Walau hatinya tersentak, tapi Pandala tersenyum seraya menepuk dada. “Baik! aku akan membuktikannya! Kau lihatlah saja nanti, Ayu...!” Akan tetapi dalam hatinya dia berkata. “Haha... itu soal nanti! Yang penting aku telah mendapatkan segala-galanya dari dirimu...”
Demikianlah, awal dari persengketaannya dengan Pandala. Hingga walaupun mereka telah diresmikan menjadi suami istri di puncak Bromo, pada kenyataannya mereka hidup terpisah selama dua tahun. Pandala dengan kepandaiannya memutar lidah, disamping memiliki kecerdasan juga ilmu yang tinggi berhasil menjadi seorang kepala prajurit di Kota Raja.
Suatu hal yang amat kebetulan, Adipati Bangil yang bernama Kertosono wafat. Karena tak ada yang menggantikan, Raja yang telah mengetahui kecerdasan Pandala juga ketinggian ilmunya merasa pemuda itu dapat dipercaya dan diandalkan untuk menjadi pengganti Adipati Kertosono. Begitulah! Akhirnya Pandala diangkat menjadi Adipati Bangil. Dan nama Pandala pun dibubuhi embel-embel di depannya yaitu Raden Pandala.
Adapun Ayu Rumpi entah bagaimana caranya, dia telah menjadi seorang ketua dari enam orang anak buah yang sebenarnya adalah kaum perampok yang telah dikalahkan. Yang akhirnya menganggap Ayu Rumpi sebagai ketua mereka.
Ya! aku yakin dia Paman JOKO! Walaupun kini wajahnya bersih tanpa brewok, tapi aku masih mengenali. Ah, tanpa kumis dan brewok lebat itu justru paman Joko tampak lebih muda dan tampan...” gumam Ayu Rumpi. “Aneh! Apakah aku telah jatuh cinta padanya?” berkata Ayu Rumpi dalam hati.
Dan seketika wajahnya berubah merah dan terasa panas. Tubuhnya tergetar dan terasa lemas persendiannya. Ayu Rumpi memang tak dapat mendustai dirinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati pada sang Paman Joko sejak pertama kali dia berjumpa.
“Sedang menanti siapakah anda, nona...?”
Mendadak satu teguran halus terdengar di bela-kangnya membuat dia terkejut dan secepat kilat balikkan tubuh. Sepasang mata dara ini membelalak hampir tak percaya. Ternyata sang paman Joko itu telah berdiri di tempat itu. Wajah yang gagah itu menatapnya tajam-tajam dan seulas senyum tampak di kedua sudut bibirnya.
“Pa... paman JOKO...! Oh, benarkah kau... kau paman Joko?” sentaknya dengan suara tergagap menggeletar.
“Haih! sudah kuduga, kau pasti Ayu Rumpi si gadis cilik yang manis dari puncak Bromo!” berkata laki-laki ini dengan berseru kagum. “Haha... aku sungguh tak menyangka. Sudah tiga kali kau mengintai aku di tempat ini di saat aku meniup seruling. Benar apa yang kau katakan, anak manis! aku memang paman Joko! hahaha...”
Membelalak mata Ayu Rumpi. Dan seketika itu juga... “Paman JOKO...!” teriak Ayu Rumpi tersendat. Dan detik itu juga dia telah melompat seraya memeluk sang “paman” ini dengan kegembiraan meluap-luap.
Siapakah sebenarnya paman Joko ini? Nama sebenarnya adalah JOKO SANGIT (Tokoh ini muncul pada kisah serial: Roro Centil, yang pernah dijuluki si Ninja Edan Lengan Tunggal).
Peristiwa kemelut asmara dengan sang pendekar wanita Pantai Selatan, membuat Joko Sangit seperti mengasingkan diri dan tak pernah muncul di dunia rimba hijau, sejak lima tahun yang lalu.
Joko Sangit tak dapat mengelak dari pelukan gadis itu, karena dia tahu Ayu Rumpi tengah mencurahkan kegembiraannya.
“Paman Joko, ternyata Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu lagi...” bisik Ayu Rumpi dengan terharu penuh kegembiraan.
“Ya, ya! kita memang harus bersyukur karena masih diberi umur panjang!” sahut Joko Sangit seraya mengusap-usap punggung gadis itu.
Tapi diam-diam Joko Sangit secara pelahan mendorong tubuh gadis itu agar melepaskan pelukannya. Terasa darahnya berdesir karena Ayu Rumpi bukan lagi gadis kecil, akan tetapi seorang gadis yang sudah dewasa.
“Paman Joko...! aku... aku tak akan meninggalkan kau lagi, paman...” berkata Ayu Rumpi setelah melepaskan pelukannya. Dalam mengucap demikian jelas kedengaran suara Ayu Rumpi tergetar. Air matanya tampak menggenang di kedua pelupuk mata.
“Hei? mengapa?” Joko Sangit terheran mendengar kata-kata gadis itu.
“Guru telah kembali ke puncak Himalaya. Pandala telah berada di Kota Raja menjadi seorang Adipati di sana. Dan Kebo Gawuk menetap di puncak bromo.” sahut Ayu Rumpi. “Aku hidup seorang diri! Sebatang kara! Aku telah berhutang budi sedalam lautan padamu. Biarlah aku menemani paman Joko, agar paman tak selalu murung. Kau akan menerimaku, bukan?”
Joko Sangit jadi garuk-garuk kepala tidak gatal mendengar kata-kata Ayu Rumpi. Tapi mau tak mau dia tertawa berderai.
“Hahaha... kalau sekedar menemani aku tak keberatan, tapi kau sudah bukan gadis kecil lagi, Ayu Rumpi...! Dan bulan dimuka mungkin aku akan meninggalkan wilayah ini”
“Oh!? paman Joko mau kemana?” sentak Ayu Rumpi terkejut.
“Haha... aku akan ke utara, dan terus ke utara. Mungkin sampai menemui lautan es yang tak pernah dikunjungi manusia...” sahut Joko Sangit sambil tertawa. Akan tetapi jelas suara tertawanya mengandung kepiluan. Tampaknya dia sengaja menutupi dengan wajah cerah.
“Aku akan ikut, paman Joko!” berkata gadis ini.
“Ha? tempat itu amat jauh sekali!”
“Tak perduli! walaupun sampai ke dasar bumi, aku tak mau berpisah denganmu, paman Joko...” sahut Ayu Rumpi dengan menatap dalam-dalam Joko Sangit.
“Kau...?” tertegun Koko Sangit hampir tak percaya pada pendengarannya. Tapi kemudian laki-laki yang juga dijuluki si Pendekar Lengan Tunggal ini segera berkata. “Eh, anak manis! ingin kulihat ilmu kepandaianmu selama kau belajar di puncak Bromo. Hayo, segera tunjukkan padaku. Tentu kau telah memiliki jurus-jurus pukulan yang hebat!”
“Hem, tentu saja akan kutunjukkan, paman sayang...!” seru Ayu Rumpi dengan gembira.
“Bagus! Nah, coba kau serang aku!”
“Menyerangmu?” Ayu Rumpi naikkan alisnya.
“Ya! mengapa? apakah kau khawatir aku terluka?” tanya Joko Sangit. Ayu Rumpi tersenyum.
“Tidak! Aku yakin ilmumu jauh berada di atas kepandaianku!” sahut si gadis seraya memasang kuda-kuda. Selanjutnya.... “Maaf, paman!”
Seraya berkata Ayu Rumpi segera menyerang den-gan jurus pukulannya. Hantaman pukulan Ayu Rumpi ternyata menghantarkan hawa panas. Pukulan itu diarahkan ke dada. Akan tetapi tiba-tiba dibelokkan ke tempat kosong, karena Joko Sangit tak bereaksi untuk menangkis atau menghindar.
“Haha... seranglah sungguh-sungguh, nona manis!” berkata Joko Sangit.
Tentu saja wajah Ayu Rumpi bersemu merah. Dia memang agak ragu untuk menyerang sungguh-sungguh. Hatinya merasa tak tega bila dia berbuat kurang ajar menyerangnya. Ayu Rumpi cepat merobah posisi, dan tak ayal lagi langsung menyerang dengan jurus-jurus pukulan warisan Ki Dwipa Morghana.
Diam-diam Joko Sangit terkejut melihat seran-gan-serangan berbahaya dara itu. Tapi dengan segera dia membendung pertahanan dengan gerakan seperti orang mabuk. Ternyata tiga serangan beruntun gadis itu dengan mudah dapat dihindarkan.
“Jurus yang hebat!” puji Joko Sangit.
“Jurus menghindar mirip orang mabuk mu juga hebat, paman!”
Tiba-tiba Joko Sangit mendadak berkelebat ke hadapan gadis itu. Ujung lengan bajunya meluncur ke arah pinggang Ayu Rumpi. “Awas! jaga seranganku!” teriak Joko Sangit. Terkejut Ayu Rumpi. Namun di detik itu dia buang tubuhnya ke samping. Tapi justru sambaran angin keras meluncur berbareng dengan meluncurnya ujung lengan baju Joko Sangit yang bagai bermata mengejar sasaran.
Hebat gerakan menghindar dara itu. Di saat yang kritis karena serangan-serangan gencar Joko Sangit, tiba-tiba dengan gerakan lincah Ayu Rumpi menotol tanah dengan ujung kakinya. Detik itu juga tiba-tiba tubuhnya meletik ke udara. Loloslah sambaran pukulan dan serangan ujung lengan baju Joko Sangit yang telah siap menggubat pinggangnya.
Dengan dua kali bersalto di udara, Ayu Rumpi me-luncur turun dua tombak di hadapan Joko Sangit. Tampak kedua lengan dara itu mengembang hingga mirip burung alap-alap raksasa yang hinggap di tanah.
“Haha... hebat! hebat! Jurus apakah yang kau gunakan itu, Ayu Rumpi?” memuji Joko Sangit dengan kagum.
“Itulah jurus Menggunting Mega menghindar Badai!” seru gadis itu.
“Nama jurus yang bagus sekali! Kukira cukuplah, Ayu Rumpi!” ujar Joko Sangit. Selesai berkata tiba-tiba Joko Sangit balikkan tubuh dan berkelebat lenyap dari hadapan gadis itu.
“Paman Joko...!?” sentak dara ini terkesiap. “Jangan tinggalkan aku!” Selanjutnya dengan berteriak cemas Ayu Rumpi melompat mengejar ke arah lenyapnya bayangan tubuh Joko Sangit. Tiba-tiba...
“Kena!” Terkejut gadis ini tiada alang-kepalang karena tahu-tahu tubuhnya telah disambar oleh sebuah lengan yang memeluk pinggangnya. Karena saat itu dia dalam keadaan melompat, tentu saja tak ampun dua tubuh yang saling beradu itu sama-sama jatuh bergulingan.
Ketika berhenti berguling betapa terkejutnya dara itu karena yang memeluk pinggangnya tak lain dari sang “paman”.
“Paman Joko...” bergetar suara Ayu Rumpi. Sepasang matanya membulat menatap Joko Sangit dengan pandangan membinar-binar. Ternyata Joko Sangit sendiri juga tengah menatapnya dengan tatapan aneh.
“Ayu Rumpi...! katakanlah! apakah maksudmu sebenarnya dengan ucapanmu itu?” tanya Joko Sangit tanpa melepaskan pelukannya.
“Paman Joko...! aku... aku mencintaimu...” desah Ayu Rumpi dengan suara menggetar.
Telinga Joko Sangit bergerak-gerak. Pandangan matanya kian membinar. Benarkan apa yang telah didengarnya? Selama lebih dari lima tahun dia telah menutup diri dilereng gunung sunyi. Api cintanya pada Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan telah padam. Selama itu hatinya membeku, bahkan hampir mati!
Kini tiba-tiba muncul seorang gadis muda belia yang baru meningkat dewasa. Seorang gadis yang dengan tulus tanpa kebutaan telah menyatakan cinta terhadap dirinya. Sungguh hampir tak masuk diakal. Dia merasa telah cukup tua. Perbedaan usia dengan gadis ini jaraknya hampir separuh dari usianya.
Kejujuran dan ketulusan hati Ayu Rumpi dapat terbaca melalui pandangan matanya. Tegakah dia menolak dan mengecewakan gadis itu? gairah hidupnya seperti bangkit lagi. Kekecewaan yang dalam yang telah membekukan hatinya terhadap wanita kembali mencair.
“Ayu Rumpi...! kau... kau sungguh-sungguh?” ucapannya tersendat parau.
Gadis itu mengangguk. Selanjutnya bagai digerakkan oleh kekuatan gaib yang tak mampu mereka menolaknya, Joko Sangit mendekap dara itu erat-erat. Ayu Rumpi balas memeluk. Dan, dua bibirpun menyatu saling kecup.
Lama... lama mereka tenggelam dalam alunan gelombang cinta yang menghanyutkan. Ayu Rumpi seperti merasakan tubuhnya melayang di atas awan nan putih lembut. Begitu menyejukkan. Begitu damai dan tenteram.
Namun akhirnya mereka tersadar dari kegelapan yang nyaris membawa mereka kian hanyut oleh arus gelombang asmara. Joko Sangit melepaskan dekapannya. Lalu bangkit berdiri. Ayu Rumpi seperti tersadar dari mimpi indah yang membawa sukmanya melayang-layang.
Diapun bangkit berdiri. Dirapikannya rambutnya dengan seribu satu perasaan bahagia membaur di lubuk hati. Sesaat kemudian dengan bergandengan tangan keduanya tampak meninggalkan tempat itu. Diiringi desiran angin pegunungan yang menyibak dedaunan...
Raden Pandala memacu kudanya bagai dikejar setan. Hatinya benar-benar kecewa pada sikap dan pendirian Ayu Rumpi. Peperangan berkecamuk di hatinya. Dia merasa telah berhutang budi pada Mapatih Kuncoro yang telah membantunya hingga dia berhasil menduduki jabatan Adipati. Patutkah dia berkhianat?
Dia memang telah mulai menyusun kekuatan rahasia untuk melakukan pemberontakan. Akan tetapi Raden Pandala mulai ragu-ragu untuk meneruskan niatnya. Peperangan akan berkobar lagi. Dan korban-korban akan banyak berjatuhan.
“Tidak! aku tak boleh meneruskan “perjuangan” edan ini! Orang tuaku tewas terbunuh karena korban peperangan. Haruskah aku memunculkan perang baru lagi yang akan membuat banyak orang menderita? Rakyat dalam keadaan aman sentosa. Perang yang dahulu adalah pertikaian antara dua orang bersaudara yang merebutkan kekuasaan yang sah. Akan tetapi akibatnya rakyat yang harus menjadi korban!”
Raden Pandala memberhentikan kudanya. Dia termangu-mangu memandang hamparan hutan luas. Hutan itu telah direncanakan Mapatih Kuncoro untuk ditebas. Akan dijadikan ladang pertanian demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Haruskah dia menggagalkan cita-cita yang mulia itu? Haruskah dia menggagalkan harapan rakyat?
“Tidak! aku harus menghentikan rencana pemberontakan ini. Aku tak akan mengorbankan rakyat hanya karena seorang perempuan!” Raden Pandala mengambil kepastian. Wajahnya tampak jernih, “ya! aku tak akan merobah lagi keputusanku. Persetan dengan Ayu Rumpi!” gumamnya dengan menggertak gigi. Lalu menjalankan kudanya lambat-lambat.
“Aku harus bertindak cepat membubarkan orang-orang rahasiaku sebelum hal ini diketahui Mapatih Kuncoro dan bocor ke telinga orang-orang Kerajaan!” berkata dalam hati Raden Pandala.
“Bagaimana kalau salah seorang dari mereka membocorkan rahasiaku?”
Wajah Raden Pandala tampak berubah tegang. Kembali dia menghentikan kudanya. Tampaknya dia tengah berpikir keras. Hal itu tidak main-main. Karena dapat menyeret dirinya ke tiang gantungan!
“Tak ada jalan lain! Terpaksa aku harus melenyapkan mereka!” desis sang Adipati ini. Tampaknya Raden Pandala telah mendapat keputusan untuk menggunakan caranya sendiri untuk menutup rahasia. Segera dia memacu kudanya untuk segera kembali ke Kadipaten.
Baru saja kuda tunggangannya melintasi hutan lebat, mendadak beberapa sosok tubuh muncul dari arah lereng bukit. Raden Pandala hentikan kudanya menatap ke arah mereka.
“Raden...! Ah, kebetulan kami menjumpaimu di tempat ini!” teriak salah seorang yang sekejap kemudian telah tiba dihadapannya.
Ternyata mereka tak lain dari si Empat Iblis Clurit Hitam. Diam-diam hati Pandala amat girang melihat kemunculan empat orang ini, karena mereka adalah salah satu kelompok orang rahasianya.
“Ya! sungguh kebetulan sekali!” sahut Pandala seraya melompat turun dari punggung si Putih.
Empat Iblis Clurit hitam ini ditugaskan untuk mengajak Kebo Gawuk saudara seperguruannya turun gunung. Tujuannya adalah akan mengangkat dia menjadi seorang Kepala Prajurit kadipaten. Disamping itu Pandala sangat membutuhkan tenaganya untuk mencapai cita-cita merebut kekuasaan kelak. Dia sudah menduga bahwa watak Kebo Gawuk yang keras akan sukar untuk dibujuk.
Hingga tidak tak heran kalau si Empat Iblis Clurit Hitam kembali tanpa si penunggu puncak Bromo itu. Tapi dia pura-pura mengerutkan keningnya. “Hem, kalian kembali cuma berempat. Mana adik seperguruanku?” tanyanya.
Rakenca menjura seraya berkata. “Sayang sekali, Raden! Kebo Gawuk menolak untuk turun gunung. Kami sudah berusaha membujuk, tapi tampaknya pendiriannya tak dapat digoyahkan. Bahkan surat dari Raden telah diterbangkan ke dalam kawah!”
Raden Pandala tercenung sejenak mendengar laporan Rakenca. Kemudian menghela napas. “Yah, sudahlah! aku tak dapat memaksa orang yang tidak mau!” berkata Raden Pandala.
“Bagaimana kalau hamba saja yang menggantikan, Raden Adipati?” Rakenca memberanikan diri berkata. “Hamba akan bekerja sebaik-baiknya agar segera tercapai cita-cita raden. Dengan menjabat sebagai kepala Prajurit, hamba akan mudah bergerak dan menyelundup ke Istana...!” sambung Rakenca.
“Bagus! usulmu baik sekali, Rakenca! Ah, mengapa kau baru mengatakannya sekarang?” berkata Raden Pandala dengan tersenyum seraya menghampiri. Lalu menepuk-nepuk pundak Rakenca.
“Apakah usul hamba diterima, Raden?” tanya Ra-kenca dengan hati berdebar.
“Haha... sebenarnya aku memang berniat mengangkatmu. Aku sudah dapat menduga Kebo Gawuk pasti menolak tawaranku itu! sahut Pandala.
“Jadi hamba diterima? Oh, terima kasih! Terima kasih, Raden!” terbungkuk-bungkuk Rakenca menjura. Hatinya girang bukan main mendengar kata-kata sang Adipati.
Dengan masih menyimpan senyum, raden Pandala mengangguk-angguk. Mendadak... ya! mendadak sekali! Tiba-tiba lengan Raden Pandala meraba hulu kerisnya yang disisipkan di pinggangnya. Dan secepat kilat dihunjamkan ke dada Rakenca diiringi bentakan keras. “Baik! kau jadilah kepala prajurit di Akhirat!”
Darah menyembur ketika keris raden Pandala dis-entakkan. Membeliak mata Rakenca. Wajahnya menyeringai kesakitan. Akan tetapi cuma beberapa kejap. Dengan diiringi suara erangan sekarat. Tubuh Rakenca roboh terjungkal.
Tiga dari Empat Iblis clurit Hitam terkejut bukan kepalang. Mereka terperangah dengan mata membelalak seperti tidak percaya pada penglihatannya. Pada detik itu tahu-tahu Pandala telah berkelebat ke arah mereka seraya membentak. “Kalian pun harus dilenyapkan!”
Cahaya kilatan keris berwarna kuning membelah udara. Satu jeritan kembali terdengar, dibarengi dengan robohnya sesosok tubuh salah seorang dari mereka yang tak sempat menyelamatkan diri lagi karena keris Pandala telah mengoyak lehernya. Dua orang ini melompat mundur dengan wajah pucat pias. Secepat kilat mereka telah mencabut senjata Clurit Hitamnya.
“Heh! kalian tak akan dapat meloloskan diri dari maut!” membentak Pandala dengan wajah membesi menatap dua orang ini.
“Apa salah kami? Mengapa kau... kau bertindak seperti ini?” tergagap Pindo dengan mata membeliak seperti melihat setan.
Pandala tertawa menyeringai. “Aku telah menggagalkan rencana kita semula untuk memberontak! Karena khawatir kalian membuka mulut yang bisa membahayakan diriku, terpaksa aku harus melenyapkan orang-orang rahasiaku, termasuk kalian!” sambung Pandala.
“Keparat! Kaulah yang harus dilenyapkan!” menggembor marah laki-laki bernama Pindo ini. Serentak kedua anggota dari Empat Iblis Clurit Hitam ini menerjang Pandala. Serangan kedua orang ini yang masing-masing menggunakan sepasang clurit tak dapat dianggap main-main. Karena sekali Pandala berlaku ayal, jiwanya akan melayang, atau setidak-tidaknya kulitnya akan tersayat.
Akan tetapi yang dihadapi bukan orang sembarangan. Karena Pandala adalah murid seorang kakek sakti yang berilmu amat tinggi, yaitu Ki Dwipa Morghana alias si Pengelana dari puncak Himalaya. Dengan sebat Pandala menghindar dari serangan-serangan ganas itu. Kedua Iblis Clurit Hitam sudah maklum akan kehebatan ilmu kedigjayaan lawannya.
Segera mereka merobah serangan dengan menggunakan ilmu-ilmu andalan mereka. Serangan-serangan dahsyat segera mengurung Pandala. Empat bayangan clurit hitam saling susul membayangi Pandala kemana dia bergerak.
“Terus cecar dia, Maruksa! jangan beri kesempatan pada manusia keparat ini!” teriak Pindo.
Semakin gencarlah serangan-serangan kedua Iblis Clurit Hitam mencecar nyawa Pandala. Karena kalau mereka tak dapat membunuhnya, justru merekalah yang akan di-habisi nyawanya oleh Adipati itu. Tampaknya Pandala agak terdesak. Berkali-kali kerisnya berbenturan dengan senjata kedua lawannya. Akan tetapi sepasang senjata Maruksa dan Pindo tak terlepas dari tangan mereka.
Enam belas jurus telah lewat. Tiba-tiba Pandala membentak keras. “Cukuplah aku mengulur waktu memperpanjang umur kalian!”
Ternyata Pandala cuma berpura-pura terdesak. Karena diam-diam dia telah memperhitungkan saat dimana dia akan menghabisi nyawa kedua lawannya. Tiba-tiba....
Whuk! Whuk!
Sepasang lengan Pandala menghantam ke depan. Serangan kilat itu membuat terkejut dua orang ini. Dia tak menyangka dengan gerakan lawan melompat ke belakang melampaui tubuh mereka, Pandala akan menyerang dengan mendadak. Justru mereka baru saja membalikkan tubuh.
Sambaran angin panas bagaikan uap lahar tak dapat mereka hindari. Detik itu juga kedua Iblis Clurit Hitam itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka terlempar bergulingan. Senjata-senjata mereka terlempar ke udara. Tanpa sempat sekarat lagi keduanya telah melepaskan nyawa seketika itu juga.
Tampak baju mereka pada bagian dada hangus terbakar. Kulit dada mereka mengelupas dan bau sangit merambah udara. Ternyata isi dada merekapun turut hangus! Raden Pandala gerakkan sebelah lengannya untuk menjumput keris yang terselip di kedua baris giginya. Lalu memasukkan kembali ke dalam serangkanya di pinggang.
“Hm, selesailah sebagian dari tugasku!” gumam Pandala. Sejenak dia memperhatikan mayat ke empat laki-laki itu yang berkaparan. Pandala segera menyeret satu persatu mayat-mayat itu dan dilemparkannya dalam semak belukar. Kemudian dengan bergegas Pandala menghampiri kudanya. Beberapa saat kemudian kuda putih yang ditunggangi Adipati Bangil telah membedal cepat meninggalkan tempat itu....
Dua hari kemudian di wilayah sebelah barat Kota Raja melintas serombongan pasukan Kerajaan. Ternyata mereka iring-iringan yang membawa tandu, dikawal oleh dua puluh orang prajurit yang dipimpin oleh seo-rang Tumenggung yang mengendarai seekor kuda berwarna hitam.
Ketika melintasi sisi sebuah hutan mendadak bermunculan beberapa sosok tubuh menghadang. Tentu saja membuat pasukan Kerajaan ini tersentak kaget. Nyatalah kalau yang menghadang itu adalah para begal. Dua orang berbaju kuning dan belasan orang lainnya mengenakan pakaian warna hitam. Tampang-tampang mereka tak lewat sedap dipandang mata.
“Hahaha... kalian boleh lewat terus. Akan tetapi tinggalkan tandu itu disini!” berkata salah seorang dengan mengumbar tawa berkakakan.
“Kurang ajar! siapa kalian?” bentak Tumenggung ini dengan wajah sebentar pucat sebentar merah padam.
“Hm, kau tentunya Tumenggung Kandilaga!” kata si baju kuning yang bertubuh jangkung, berwajah lancip dengan kumis ceriwis. Laki-laki ini sebelah kakinya disambung dengan besi runcing untuk pengganti kakinya yang buntung.
“Aku memang Tumenggung Kandilaga yang tengah mengawal Ndoro Ayu permaisuri Sultan Sepuh!” sahut laki-laki berusia empat puluhan tahun ini dengan suara santar. “Kalian sungguh kurang ajar berani membegal di siang bolong!”
Si baju kuning ini melirik ke arah tandu dengan senyum menyeringai. Lalu menoleh pada kawannya yang berbaju kuning pula, tapi berikat kepala merah. Sesaat keduanya sama-sama tertawa terbahak-bahak.
Empat prajurit penggotong tandu letakkan tandunya ke tanah. Lalu mencabut senjata siap mengha-dapi segala kemungkinan. Dua puluh orang prajurit lainnya tak berlaku ayal, segera berlompatan menjaga di sekitar tandu. Dari dalam tandu sebuah kepala tersembul. Sebuah wajah cantik dari seorang wanita muda memandang keluar dengan wajah pucat pias.
“Oh!? apakah yang terjadi?” sentak wanita permaisuri Sultan Sepuh.
“Tenanglah Ndoro Ayu! Pembegal-pembegal tengik tak tahu adat ini segera akan kami ringkus!” berkata Tumenggung Kandilaga.
“Hahaha... rejeki besar bagi kita, kawan-kawan. Dengan kita menawan permaisuri Sultan Sepuh, tentu tak sedikit tebusan yang bakal kita terima!” berkata si baju kuning dengan tertawa menyeringai.
“Keparat! kalian harus dibuat mampus!” bentak Tumenggung Kandilaga, seraya memberi aba-aba untuk menerjang.
Puluhan prajurit Kerajaan sertamerta meluruk ke arah pengepung dari para begal itu. Dan sekejap saja terjadilah pertempuran seru. Suara bentakan dan beradunya senjata-senjata tajam membisingkan anak telinga. Suasana sunyi di sisi hutan itu sekejap saja telah berubah ramai dan menjadi kancah pertarungan adu jiwa.
Dua laki-laki baju kuning itu melompat ke hadapan Tumenggung Kandilaga. “Kau tengah berhadapan dengan Dua Setan dari Utara, Tumenggung Kandilaga! Haha... sebaiknya kau serahkan saja Ndoro Ayu-mu kepada kami. Kau tak akan sampai kehilangan nyawamu!” berkata laki-laki ini. Dia bernama Sosro Kemplu dan yang satu lagi adalah adiknya yang bernama Kunto.
“Edan! kau kira aku sebangsa pengecut?” bentak Tumenggung ini seraya melompat dari punggung kuda. Sret! dia telah mencabut klewang panjangnya.
“Haha... adikku! kau hadapi Tumenggung tolol ini. Biar aku yang merampas perempuan istana itu!” ujar Sosro Kemplu dengan tertawa lebar. Kemudian melompat ke arah tandu.
Empat orang prajurit menghadang, dan langsung menerjangnya dengan tusukan tombak. Akan tetapi sekali dia menggerakkan tangannya, keempat prajurit itu menjerit ngeri. Dan terjungkal roboh ketika empat buah benda kecil bersinar kuning meluncur dari kibasan tangan Sosro Kemplu. Nyatalah si Iblis dari Utara ini telah menggunakan senjata rahasia untuk menyerang keempat prajurit itu.
Sementara itu prajurit lainnya tengah bertarung dengan belasan orang yang rata-rata berkepandaian tinggi. Lima orang prajurit sudah terjungkal roboh mandi darah. Belasan orang itu terus merangsak para prajurit dengan serangan-serangan ganas.
Beberapa prajurit yang melihat Sosro Kemplu mendekati tandu segera menerjang beringas. Walau mereka telah melihat empat kawannya roboh tak bernyawa, akan tetapi agaknya semangat bertempur mereka amat luar biasa. Mereka adalah prajurit-prajurit yang berani mati demi tugas yang dibebankan dipundak mereka.
“Heh! kalian mencari mati!” bentak Sosro Kemplu dengan mendengus.
Laki-laki baju kuning ini tak sempat menggunakan senjata rahasianya karena tiga ujung tombak telah meluncur untuk memanggang tubuhnya. Dengan gerakan gesit dia melompat menghindari tusukan. Ujung kakinya hinggap di mata tombak lawan. Gerakan Sosro Kemplu cepat sekali. Di detik itu kedua lengannya menghantam ke bawah.
Prak! Prak! Dua prajurit tanpa sempat berteriak lagi terjungkal roboh dengan batok kepala hancur.
Tentu saja membuat prajurit yang satu ini terperangah kaget. Sebelum dia bertindak lebih lanjut, sambaran angin keras telah menyambar dadanya. Prajurit ini rasakan dadanya bagai dihantam palu godam. Dengan jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh. Tulang dadanya ambrol terkena pukulan Sosro Kemplu yang berisi tenaga dalam dahsyat.
Sementara itu Tumenggung Kandilaga tengah berta-rung dengan seru melawan Kunto. Adik seperguruan Sosro Kemplu inipun bukan lawan yang enteng, karena sekejapan saja Tumenggung Kandilaga telah terde-sak hebat. Senjata klewang panjangnya hampir-hampir tak sempat dipergunakan. Karena Kunto terus mencecarnya dengan hantaman-hantaman ganas!
Suatu ketika Tumenggung ini tak dapat lagi mempertahankan diri dari gempuran lawan. Senjata klewangnya terlepas, ketika mempergunakan menangkis pukulan lawan yang hanya menggunakan tangan kosong. Tapi sebelah tangan Kunto ternyata lengan palsu yang terbuat dari besi.
Buk! Hantaman berikutnya membuat Tumenggung ini terjungkal bergulingan. Pucat pias wajah laki-laki abdi Kerajaan ini. Dadanya serasa remuk dan sakitnya bukan alang kepalang. Untunglah dia mengenakan baju lapis dari besi tipis dibalik bajunya. Akan tetapi tetap saja membuat Tumenggung ini mengerang kesaktian.
Sementara itu dilihatnya para prajurit telah banyak yang tewas. Cuma tinggal kurang lebih sebelas orang. Keadaan amat mengkhawatirkan, karena keselamatan permaisuri Sultan Sepuh terancam. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar.
“Begal-begal keparat! hentikan pembantaian kalian!”
Bentakan yang menggetarkan tanah itu membuat begal terkesiap, termasuk si Dua Iblis dari Utara. Serentak mereka melompat mundur. Sesosok tubuh tinggi besar bagaikan raksasa layaknya tahu-tahu telah muncul di tempat itu. Membelalak mata Kunto dan Sosro Kemplu.
“Heh! siapa kamu manusia raksasa?” bentak Sosro Kemplu.
Orang ini tiada lain dari Kebo Gawuk. Entah bagaimana manusia penunggu puncak Bromo ini tahu-tahu telah turun gunung. Padahal Empat Iblis Clurit Hitam tak berhasil membujuknya untuk meninggalkan puncak Bromo. Mendengar dirinya disebut manusia raksasa, Kebo Gawuk tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha.. haha... kau para begal picisan ingin mengetahui diriku? Akulah yang bergelar Raksasa Gunung Bromo!” berkata Kebo Gawuk.
Sosro Kemplu dan Kunto krenyitkan keningnya mendengar gelar yang baru didengarnya itu. “Raksasa Gunung Bromo?” sentak Sosro Kemplu dengan melangkah mundur. “Di puncak Bromo kudengar bersemayam seorang kakek kosen yang bernama Ki Dwipa Morghana? Apakah kau muridnya?” tanyanya.
“Benar! Syukurlah kalau kau sudah mengetahui!” sahut Kebo Gawuk.
“Heh! orang bodoh! kau mencampuri urusan yang akan menyulitkan saudara seperguruanmu sendiri!” berkata Sosro Kemplu.
“Menyulitkan saudara seperguruanku sendiri? Apa maksudmu?”
“Karena apa yang kami lakukan ini adalah...” belum sempat Sosro Kemplu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba laki-laki ini menjerit ngeri dan roboh terjungkal dengan dada hangus terbakar.
Tentu saja hal itu membuat semua yang berada di tempat itu jadi terkejut. Tahu-tahu sesosok tubuh mengenakan pakaian hitam telah muncul di tempat itu. Sosok tubuh ini mem-bungkus wajahnya dengan topeng yang hanya menyembulkan sepasang matanya saja.
Kunto memburu ke arah saudara seperguruannya. Ketika memeriksa ternyata nyawa Sosro Kemplu telah melayang. Melihat keadaan tak menguntungkan, Kunto berkelebat melarikan diri. Hal itu segera diikuti kawan-kawannya. Namun jerit-jerit mengerikan segera terdengar. Empat orang dari para begal itu terjungkal roboh dengan punggung hangus!
“Siapa kau sebenarnya?” bentak Kunto. Sepasang lengannya siap melancarkan serangan.
“Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!” sahut si manusia bertopeng dengan suara dingin.
“Keparat!” teriak Kunto seraya silangkan lengannya. Lalu.. Whuk! Whuk! Dua pukulan tenaga dalam dilan-carkan sekaligus. Brak! sebatang pohon tumbang terkena angin pukulannya yang dahsyat. Akan tetapi serangan itu lolos. Karena dengan mudah si manusia bertopeng telah menghindarkan diri.
Beberapa senjata rahasia meluruk bagai hujan ke arah si orang bertopeng. Dengan gesit lawannya yang misterius ini kibaskan lengannya menghantam buyar senjata-senjata maut itu. Pertarungan berlalu beberapa jurus. Tampaknya kehebatan lawan Kunto berada dua tingkat di atas kepandaiannya. Ketika dua pukulan beradu, Kunto menjerit keras. Tubuhnya terlempar beberapa tombak.
Kebo Gawuk terpaku ditempatnya dengan benak penuh pertanyaan. “Siapakah orang bertopeng ini?” berkata dia dalam hati.
Kunto mengerang parau memegangi dadanya yang terasa remuk akibat beradunya tenaga dalam. Di saat itu selarik sinar ungu telah menyambar lagi. Menjerit si Iblis dari Utara ini. Dan roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang ke Akhirat.
Sementara itu Kebo Gawuk telah dapat menewaskan tiga pembegal. Dua orang diantara mereka berhasil lolos. Si Raksasa Gunung Bromo ini sengaja tak mengejar. “Yang dua itu biarlah hidup. Mudah-mudahan mereka dapat insyaf dan menjadi orang baik-baik!” gumam Kebo Gawuk. Lalu balikkan tubuh untuk kembali ke tempat para prajurit tadi.
Langkahnya terhenti karena tiba-tiba si orang bertopeng muncul di hadapannya. “Hm, kau sudah berhasil membereskannya?” berkata orang ini dengan mata berkilat menatap Kebo Gawuk.
“Tiga orang itu telah mampus. Tapi yang dua melarikan diri!”
“Mengapa kau tak mengejarnya? Penjahat-penjahat itu harus ditumpas sampai keakar-akarnya!” berkata si orang bertopeng dengan suara dingin.
Mendelik mata Kebo Gawuk. “Heh! aku sengaja membiarkan mereka hidup, siapa tahu mereka dapat sadar kembali menjadi orang baik-baik! Kalau kau mau membunuhnya kejarlah sendiri!” berkata Kebo Gawuk dengan ketus. Dia merasa diperintah orang bertopeng itu. Hal ini amat menyinggung perasaannya.
Tertegun si manusia bertopeng ini. Tampaknya dia maklum akan adat orang tinggi besar ini. Segera dia alihkan pembicaraan. “Baiklah, tak mengapa. Tapi sebaiknya kau tak usah menemui orang-orang kerajaan itu!”
“Apa perdulimu pula dengan urusanku? Menemui atau tidak bukan urusanmu!” sahut Kebo Gawuk semakin ketus. Diam-diam dia memperhatikan perawakan dan mengira-ngira wajah di balik topeng hitam itu. Laki-laki ini tampak jadi serba salah. Saat itu Kebo Gawuk telah berkata.
“Eh, kau membungkus wajahmu dengan kain hitam itu apakah tampangmu jelek? Mengapa kau tak terang-terangan saja?”
“Aku...” si orang bertopeng tak meneruskan kata-katanya. Karena detik itu juga dia telah gerakkan lengannya secepat kilat ke arah leher Kebo Gawuk. Serangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh Kebo Gawuk. Ditambah dia belum banyak pengalaman karena hampir selama dua tahun dia mengeram di puncak gunung Bromo.
Dengan mengeluh pendek dia roboh terguling. Sekali lagi si orang bertopeng ulurkan lengannya. Dan Kebo Gawuk tak berkutik lagi dalam keadaan tertotok tubuhnya berikut pula urat suaranya. Itulah ilmu totok yang amat lihai. Hingga Kebo Gawuk cuma bisa melototkan mata dengan dada serasa meledak karena marah.
“Bagus! kau hanya akan merintangi aku saja, Kebo Gawuk!” berdesis si orang bertopeng. Lalu berkelebat lenyap dari pandangan mata si manusia raksasa dari gunung Bromo.
Matahari tepat berada di atas kepala ketika siang itu seorang pemuda berpakaian gombrong menyandang buntalan di punggung melewati sebuah sisi hutan dengan bersiul-siul kecil. Pemuda berambut ikal gondrong ini merasa seperti orang yang paling senang di dunia. Karena dia seperti tak memusingkan urusan hidup.
Terkadang dia melangkah seenaknya. Terkadang pula dia melompat-lompat bagai seekor kera. Sementara mulutnya tak hentinya bersiul. Siapa adanya pemuda ini tiada lain adalah Nanjar si Dewa Linglung. Tiba-tiba dia berhenti bersiul. Hidungnya mengendus-endus. Rupanya Nanjar mencium sesuatu yang berbau busuk.
“He? Bau apakah ini? sungguh tak sedap!” gerutu Nanjar seraya putar pandangannya ke beberapa arah. Dia mulai melangkah menurutkan penciumannya. Bau busuk semakin santar. Terpaksa dia menutup hidung.
Ketika menyibak semak belukar hampir saja dia terloncat karena terperanjatnya. Beberapa sosok mayat bertumpukan disemak-semak dalam keadaan membusuk.
“Ha!? mayat-mayat siapakah ini?” sentaknya seraya menyurut mundur. Matanya membelalak melihat mayat-mayat yang sudah dimakan ulat dan dikerumuni lalat itu.
Ketika melangkah ke belakang, kakinya menginjak sebuah benda. Cepat dia menjumputnya. Ternyata sebuah Clurit dari besi hitam. “Hm! ini pasti salah satu senjata milik mayat-mayat itu. pikir Nanjar. “Apakah mayat-mayat ini adalah mayat-mayat si Empat Iblis Clurit Hitam?” sentak Nanjar menerka.
Dengan sebelah lengan masih menutupi hidung, Nanjar membolak-balik senjata Clurit itu. Tampaknya dia merasa yakin bahwa keempat mayat itu adalah mayat si Empat Iblis Clurit Hitam. Dilemparkannya Clurit itu ke balik semak. Lalu berkelebat pergi dari tempat yang berbau busuk itu.
“Hm, tentu di tempat itu telah terjadi pertarungan yang menewaskan empat manusia tokoh hitam itu...” pikir Nanjar. Dia meneruskan langkahnya menembus hutan. “Entah siapa orangnya yang telah bentrok dengan keempat orang itu! Huh! perduli apa dengan kematian mereka? Toh mereka hanya orang-orang jahat. Pantaslah kalau mampus dibunuh orang. Kudengar di wilayah barat empat orang itu banyak membuat onar dengan berbagai kejahatan!” Akhirnya Nanjar melupakan keempat mayat yang ditemuinya di tengah jalan itu.
Beberapa saat antaranya dengan melompat-lompat dari dahan ke dahan tak ubahnya bagai seekor kera, Nanjar terus menembus hutan lebat itu. Dan baru berhenti ketika tiba di sebuah lereng gunung. Suara air terjun di kejauhan terdengar mengguruh. Nanjar berdiri merenung beberapa saat. Di matanya terbayang air jernih yang mengalir diantara batu-batu.
“Ah, kalau mandi di tempat itu tentu akan segar tu-buhku! Udara begini panas! Selesai mandi aku akan tidur. Menjelang sore bangun tidur baru aku pergi cari makanan untuk mengisi perut...” kata Nanjar dalam hati.
Setelah mengambil keputusan segera dia berkelebat dari tempat itu. Suara gemuruh air terjun semakin santar. Dari balik semak yang rapat di depannya sudah terlihat air jernih yang mengalir gemericik. Baru saja dia akan menuruni jalan menuju ke arah sungai itu mendadak Nanjar hentikan langkahnya dan menahan napas. Karena saat itu terdengar suara tertawa cekikikan dari arah sungai. Suara seorang perempuan yang ditimbal oleh suara laki-laki.
“Ah, ada yang sedang mandi rupanya...” Nanjar urungkan niatnya. Karena diam-diam dia berniat untuk mengetahui siapa adanya mereka yang tengah mandi dan bergurau itu.
Dari balik rumpun yang rapat Nanjar mengintip. Pemandangan di depan matanya membuat dia semakin menahan napas... Karena tampak seorang gadis dalam keadaan telanjang bulat tengah saling bergurau bermain air dengan seorang laki-laki yang cuma berdiri di tepi sungai.
Laki-laki itu usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Dia berdiri memeluk pundaknya seperti enggan untuk terjun ke air. Tapi gadis itu dengan tertawa mengikik menyembur-nyemburkan air ke arahnya.
“Hayo buka celana mu! Hihihi... mengapa berdiri saja? Airnya sejuk!” teriak si gadis. Walau gadis itu merendam tubuhnya sampai sebatas dada, tapi bayangan tubuhnya yang polos tak dapat tidak terlihat dari atas air.
Mata Nanjar semakin membulat. Sebagai seorang pemuda mana hal semacam itu di lewatkan begitu saja? Apa lagi gadis itu berparas cantik dan bertubuh putih serta mempunyai bentuk tubuh yang bagus.
Karena terus menerus disembur dengan air terpaksa laki-laki itu melompat terjun ke dalam sungai tanpa membuka celananya lagi. Cuma bajunya saja yang sejak tadi telah dibukanya.
Gadis itu tampak girang sekali. Merekapun bersenda gurau dengan berkejar-kejaran. Pemandangan itu mengingatkan Nanjar pada sepasang sejoli yang tengah memadu kasih. “Entah laki-laki itu suaminya ataukah hanya kawannya saja?” pikir Nanjar.
Suara cekikikan gadis itu berhenti ketika lengan si laki-laki berhasil menangkap pinggang si dara cantik. Tampaknya gadis itu tak berusaha meronta. Dua pasang mata mereka saling tatap. Hati Nanjar semakin berdebar. Matanya semakin membulat tak berkedip.
“Ah...” Nanjar cepat-cepat memalingkan muka ketika kedua insan berlainan jenis itu saling kecup.
Sementara tubuh mereka saling peluk dengan erat. Tubuh sang gadis menggeliat-geliat dalam dekapan laki-laki itu. Sementara lawan jenisnya tampak semakin bersemangat. Kejap berikutnya si laki-laki telah memondong tubuh polos gadis itu ke balik batu besar.
Entah apa yang dilakukan. Karena yang tampak kemudian hanya dua pasang kaki mereka saja yang kelihatan bergerak-gerak diantara sela-sela batu. Dia mengenali siapa adanya laki-laki tersebut yaitu si Pendekar Lengan Tunggal Joko Sangit. Tapi siapa adanya gadis itu Nanjar tak mengetahui.
“Sialan...!” maki Nanjar dalam hati. “Edan!” makinya lagi. “Tapi salahku sendiri mengapa mengintip orang sedang bercintaan?” gerutunya. Lalu tanpa menoleh ke belakang lagi Nanjar berkelebat dari tempat itu...
“Hah!? lagi-lagi mayat!” sentak Nanjar terperanjat. Karena dihadapannya terlihat berkaparan mayat-mayat. Kali ini Nanjar benar-benar terkejut karena mayat-mayat yang bergelimpangan itu adalah mayat para prajurit Kerajaan.
Akan tetapi membaur pula diantara mayat-mayat itu beberapa sosok mayat orang biasa. Diantara bangkai manusia yang berserakan itu terlihat sebuah tandu yang tergelimpang. Nanjar tersentak seraya melompat menghampiri. Benaknya berpikir keras untuk menduga apa yang telah terjadi.
Sesosok mayat yang berpakaian berbeda dari mayat prajurit Kerajaan dihampiri Nanjar. Ternyata itulah mayat Tumenggung Kandilaga. Tak jauh didekatnya seekor kuda tergelimpang dengan kepala remuk. Tak berapa jauh dari mayat Tumenggung itu terkapar pula mayat Sosro Kemplu salah seorang dari si Dua Iblis dari Utara.
“Apakah yang telah terjadi?” pikir Nanjar dengan kerutkan kening.
“Agaknya telah terjadi pertarungan di tempat ini yang meminta korban kedua belah pihak!” kata Nanjar dalam hati. “Tapi tandu itu kosong! Dugaanku tak mungkin tandu itu berisi barang berharga karena didalamnya ada tempat duduk. Setidak-tidaknya para prajurit ini tengah mengawal seorang putri atau mungkin juga seorang permaisuri Raja. Karena tandu kebanya-kan digunakan untuk membawa perempuan lemah!”
Satu hal yang membuat Nanjar agak memperhati-kan adalah luka bekas pukulan yang telah menghanguskan isi dada. Diantaranya mayat orang Kerajaan yang diperkirakan Nanjar adalah seorang Kepala Pra-jurit. Dan mayat si laki-laki baju kuning.
“Akan kuperiksa lagi sekitar tempat ini! apakah masih ada mayat-mayat lainnya?” desis Nanjar dengan wajah keruh. Lalu berkelebat ke beberapa arah. Benar saja, dia menjumpai mayat seorang laki-laki yang juga berbaju kuning. Kematiannya dengan keadaan yang sama. Yaitu dengan dada berikut isinya hangus!
“Hm, pukulan tenaga dalam yang hebat! Entah siapa manusianya yang melakukan!” gumam Nanjar tertegun. Tiba-tiba telinganya mendengar suara aneh seperti orang mengeluh. Tersentak si Dewa Linglung. Dengan memasang pendengaran Nanjar mencari tahu dari arah mana suara itu.
Ketika dia melompat ke balik semak, tersentak Nanjar ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar dalam keadaan terkapar. Nafasnya kembang kempis dapat di-lihat jelas dari perutnya yang bergerak-gerak. Siapa adanya orang tinggi besar ini tiada lain dari si Raksasa Gunung Bromo, alias kebo Gawuk yang dalam keadaan tertotok.
Sepintas saja Nanjar sudah mengetahui keadaan orang itu. Segera dia berjongkok dan membebaskan totokan itu. Begitu merasai dirinya bebas dari pengaruh totokan, Kebo Gawuk melompat bangun.
“Oh, oh...! Terima kasih atas pertolonganmu, sobat!” Kebo Gawuk menatap orang di hadapannya. Nanjar tersenyum. “Siapakah kau dan apa yang telah terjadi?” tanya Nanjar seraya melompat berdiri.
“Aku...aku... orang-orang menyebutku si Raksasa Gunung Bromo!” sahut Kebo Gawuk tanpa menyebutkan namanya. “Si orang bertopeng hitam itu telah menotok ku! Setan keparat! kemana perginya kunyuk itu?” Kebo Gawuk melompat berdiri, kepalanya dipalingkan ke beberapa arah, sementara matanya memu-tari sekitar tempat itu mencari-cari si manusia berto-peng. Tentu saja orang yang dicarinya telah tak berada di tempat itu.
“Siapakah kau, sobat?” tanya Kebo Gawuk dengan menatap tajam pada Nanjar.
“Namaku Nanjar! Secara tak sengaja aku lewat di tempat ini! Aku melihat banyak sekali mayat-mayat dari orang kerajaan juga beberapa mayat lain. Kemudian aku menjumpai kau di tempat ini. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya si Dewa Linglung.
Kebo Gawuk merenung sejenak seperti memulihkan ingatannya. Lalu segera menceritakan apa yang telah terjadi dan dialaminya. “Entah siapa orang bertopeng hitam itu. Tapi aku seperti mengenali suaranya...” berkata Kebo Gawuk mengakhiri ceritanya.
“Apakah kau mengetahui apa isi tandu yang dibawa laskar Kerajaan itu?” tanya Nanjar.
“Ya! tandu itu berisi seorang perempuan, yaitu permaisuri Sultan Sepuh!” sahut Kebo Gawuk. “Walau aku tak melihatnya, tapi dari pembicaraan orang Kerajaan itu dengan si Dua Iblis dari Utara serta konco-konconya aku mengetahui siapa adanya orang yang berada di dalam tandu...”
“Tepat dugaanku!” sahut Nanjar.
“He? kau melihat disana ada tandu?” tanya Kebo Gawuk tiba-tiba.
“Ya! sebuah tandu yang terbalik dan kosong!” sahut Dewa Linglung.
Kebo Gawuk tak menunggu jawaban Nanjar lebih lanjut. Dia telah melompat dari tempatnya berdiri. “Aku akan melihatnya!” teriak Kebo Gawuk.
Nanjar mengikuti di belakang laki-laki “raksasa” itu. Diam-diam Nanjar memuji kagum melihat gerakan si Raksasa Gunung Bromo walaupun bertubuh berat dan tinggi besar tapi gerakannya begitu ringan. Pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Tapi siapakah si orang bertopeng itu yang dapat mempecundanginya? pikir Nanjar.
Dia mulai menerka bahwa luka-luka pada mayat dua orang berbaju kuning yang menurut si Raksasa Gunung Bromo adalah si dua Iblis dari utara serta seorang abdi Kerajaan yang dianggap Nanjar adalah seorang Kepala Prajurit, adalah si orang bertopeng itu yang membunuhnya.
Membelalakkan mata Kebo Gawuk melihat di antara mayat-mayat yang berserakan itu terdapat mayat Tumenggung Kandilaga. Padahal dia mengetahui Tumenggung itu dalam keadaan selamat. Dan masih bersisa pula kira-kira sebelas orang prajurit Kerajaan dari dua puluh orang yang mengawal tandu.
“Ini pasti perbuatan si orang bertopeng!” sentak Kebo Gawuk dengan mata mendelik dan gigi gemeretuk karena gusarnya. “Heh! mengapa dia membunuhi orang-orang Kerajaan? Padahal tadinya dia justru menolong mereka dari tangan para begal-begal itu!” berkata si Raksasa Gunung Bromo.
Nanjar beranjak mendekati. “Akupun menduga dia yang telah membunuh orang ini yang kusangka seorang Kepala prajurit! Kiranya seorang Tumenggung...”
“Apakah kau mengenali pukulan semacam ini?” tanya Nanjar menyambung kata-katanya. “Kulihat dua mayat yang mengenakan baju kuning yang kau katakan adalah si Dua Iblis dari Utara, telah mengalami pukulan yang sama seperti ini”
“Heh! inilah jurus pukulan Candrageni!” terkejut Kebo Gawuk hampir melompat karena terkejutnya. “jadi.... jadi... si manusia bertopeng itu adalah...”
WHUUUK!
Angin panas menggebubu tiba-tiba menghantam ke arah mereka. Nanjar terperanjat. Pendengarannya yang peka ternyata telah dapat menangkap gerakan kaki seseorang yang mendekati. Diam-diam Nanjar telah bersikap waspada.
Ketika merasai sambaran angin panas yang ganas ke arah punggung, dengan kecepatan kilat Nanjar mendorong tubuh Kebo Gawuk disertai teriakan. “Awas! serangan gelap!” Sementara dia sendiri segera berkelebat menghindarkan diri dengan melompat ke samping.
BLANG!
Tanah menyemburat hangus! Tubuh si Raksasa Gunung Bromo terhuyung beberapa tombak. Jenazah Tumenggung Kandilaga turut terlempar dengan mengerikan karena tak ubahnya bagai potongan arang yang berserpihan. Akan tetapi Kebo Gawuk selamat dari maut. Demikian pula Nanjar.
“Iblis keji! pengecut licik!” bentak Nanjar seraya melompat ke arah samping.
WHUUT!
Lengannya menghantam melontarkan pukulan dahsyat. Hawa dingin menebar. Sesosok bayangan cepat sekali telah berkelebat dari semak belukar yang hancur bagai diamuk prahara angin salju!
“Iblis pengecut! jangan lari!” kembali Nanjar membentak keras. Tubuhnya melesat mengejar bayangan sosok tubuh itu.
Jarak sosok tubuh di depan Nanjar cuma kira-kira empat atau lima tombak. Segera dia mengetahui kalau sosok tubuh itu mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan kepala dan wajahnya terbungkus kain hitam. Akan tetapi cuma beberapa kejap saja. Karena tiba-tiba lengan orang itu mengibas ke belakang. Menyambarlah uap berwarna ungu ke arahnya.
Dengan sebat Nanjar kibaskan lengannya untuk menampar buyar uap itu. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak. Manusia misterius itu lenyap tak ketahuan kemana arahnya. Nanjar tak berani bertindak gegabah karena jelas orang itu memiliki ilmu yang amat tinggi. Terpaksa dia urungkan niatnya untuk mengejar. Kebo Gawuk muncul dengan napas memburu.
“Kemana iblis pengecut itu?” teriaknya.
“Dia sudah kabur!” sahut Nanjar.
“Setan keparat! dia pasti si orang bertopeng!” berkata Kebo Gawuk. “Dan dugaanku takkan meleset. Dia pasti si PANDALA! pantas dia menutupi mukanya dengan topeng! Tapi mengapa dia mau membunuhku?” gerutu si Raksasa Gunung Bromo.
“Pandala? Siapakah orang yang kau maksudkan itu?”
Kebo Gawuk tak segera menjawab, tapi terdengar dia menghela napas. “Nanti akan kuceritakan padamu. Marilah kita tinggalkan tempat ini. Salah-salah kita yang dituduh membunuhi orang-orang Kerajaan!” kata Kebo Gawuk.
Nanjar mengangguk. Kemudian keduanya bergegas meninggalkan sisi hutan itu. Dari keterangan Kebo Gawuk, Nanjar mengetahui kalau Pandala adalah seorang Adipati yang bergelar Raden Pandala. Dan masih saudara seperguruan laki-laki tinggi besar itu. Kebo Gawuk menceritakan juga tentang saudara perguruannya yang lain yaitu bernama Ayu Rumpi yang telah diperistrikan Pandala.
Dengan petunjuk berharga itu si Dewa Linglung mau tak mau harus turut campur dengan peristiwa tersebut. Karena hal itu menyangkut soal kejahatan. Disamping dia ingin mengetahui apa sebenarnya dibalik ketelengasan Pandala? Mengapa Adipati itu membunuh orang-orang Kerajaan? Bahkan mau melenyapkan saudara seperguruannya sendiri!
Kebo Gawuk telah bertekad akan menumpas siapapun yang bertindak jahat, tak perduli orang itu adalah saudara seperguruannya sendiri.
“Sungguh tak kusangka Pandala akan menempuh jalan sesat! Apakah yang diinginkan dengan semua itu? Bukankah dia telah hidup senang dengan jabatan sebagai Adipati seperti yang kudengar dari Empat Iblis Clurit Hitam?” berkata dalam hati si Raksasa Gunung Bromo.
Kebo Gawuk merasa ada sesuatu hal yang tak wajar. Keempat orang yang menamakan dirinya Empat Iblis Clurit Hitam itu jelas empat tokoh golongan hitam. Tak mungkin seorang Adipati akan berhubungan dengan empat orang penjahat. Anehnya empat manusia itu telah tewas seperti yang diceritakan Nanjar. Termangu-mangu Kebo Gawuk dengan pertanyaan memenuhi benaknya.
Pandala menghantam meja diruangan kamarnya hingga papan kayu jati itu hancur berkepingan. “Keparat! urusan jadi semakin kacau!” berdesis sang Adipati Bangil ini. “Aku tak dapat berdiam lebih lama di gedung kadipaten ini! Semua ini gara-gara Ayu Rumpi si perempuan keparat itu!”
Pandala hempaskan tubuhnya kepembaringannya yang besar. Pikirannya kusut. “Heh! terpaksa aku menghabisi nyawa Tumenggung Kandilaga dan para pengawalnya. Akan tetapi tak sampai hati aku membunuh Ndoro Ayu permaisuri Sultan Sepuh... “ gumamnya pelahan.
Di ruang matanya terbayang peristiwa tadi siang yang telah dilakukannya, di saat dia membunuh Tumenggung Kandilaga dan menghabisi nyawa para prajurit pengawal tandu setelah menotok Kebo Gawuk hingga tak berdaya. Kemudian dengan cepat dia menekap mulut sang permaisuri yang menjerit ketakutan. Dan membawanya berkelebat pergi dari tempat itu.
Permaisuri Sultan Sepuh yang bernama Pujayanti itu disembunyikan di suatu tempat rahasia. Kemudian dengan bergegas dia kembali ke Kadipaten. Untuk menghindari berjumpa dengan orang-orang Kerajaan dia mengambil jalan memutar. Akan tetapi tiba-tiba Pandala teringat pada Kebo Gawuk yang telah ditotoknya. Khawatir saudara seperguruannya itu dapat membocorkan rahasia, Pandala mengambil keputusan untuk membunuhnya sekalian.
Sayang niatnya tak terlaksana, karena Kebo Gawuk telah dibebaskan si Dewa Linglung. Jurus maut yang bernama Candrageni digunakan untuk menghabisi nyawa Nanjar dan Kebo Gawuk. Tapi serangan itu luput. Terpaksa dia menyingkirkan diri, karena diketahuinya pemuda yang telah menolong Kebo Gawuk itu berilmu tinggi. Hal itulah yang membuat pikirannya menjadi resah.
“Siapakah laki-laki kumal bertampang bodoh yang menolong Kebo Gawuk itu?” desis Pandala seraya melompat berdiri. Agak lama dia merenung. Tapi segera mengambil keputusan. “Tak ada jalan selain aku segera angkat kaki dari tempat ini. Cepat atau lambat khabar tewasnya Tumenggung Kandilanga dan para prajuritnya serta lenyapnya permaisuri akan terdengar ke telinga orang-orang istana!”
Berpikir demikian tak berayal lagi segera Pandala bergegas mengenakan pakaian hitamnya. Tak lupa membungkus wajahnya dengan topeng yang telah beberapa kali dia pergunakan. Kemudian membuntal peti uang dan seperangkat perhiasan. Dengan melalui jalan rahasia yang menembus ke belakang gedung kadipaten, Pandala lenyap di kegelapan malam...
Tanpa diketahuinya sesosok tubuh yang bersembunyi dibalik rumpun di belakang gedung telah membuntutinya. Ternyata Nanjar adanya. Dia baru saja berniat mencari jalan untuk memasuki gedung Kadipaten itu melalui jalan belakang, setelah bersusah payah mencari dimana adanya gedung Kadipaten Adipati Bangil itu.
“Bagus! Orang yang kucari justru muncul sendiri. Hm, mau kemanakah dia?” berkata Nanjar dalam hati seraya berkelebat dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan suara, menyusul si manusia bertopeng. Dan terus menguntitnya.
Di Istana, Sultan Sepuh tampak mondar-mandir di ruang pendopo dengan wajah cemas. Rombongan prajurit Kerajaan di bawah pimpinan Tumenggung Kandilaga yang mengawal permaisurinya hingga malam tiba belum juga muncul. Seharusnya sore tadi telah tiba di istana.
Usul Mapatih Kuncoro untuk mengirim sepasukan prajurit menyusul rombongan yang terlambat itu dite-rima. Segera dia mengutus Senopati Bayurana dengan membawa tiga puluh orang prajurit. Dikhawatirkan ada terjadi apa-apa di tengah perjalanan.
“Ya, Tuhan...! Semoga tak terjadi apa-apa dengan permaisuri ku...”
Menggumam Sultan Sepuh. Kemudian beranjak masuk ke ruangan dalam, tapi kemudian keluar lagi. Matanya menatap keluar pagar Istana. Tak sabar rasanya dia menunggu kemunculan sang permaisuri atau setidak-tidaknya berita secepatnya mengenai keadaan istrinya Pujayanti.
Agak menyesal dia memberi izin pada sang permaisurinya untuk mengunjungi kedua orang tuanya di Telo Sari. Padahal dia dapat mengutus orang agar besannya itu datang saja ke Istana.
Tapi dia juga menyesali dirinya karena selalu menunda-nunda keinginan sang permaisuri untuk membuatkan sebuah gedung di dekat Istana, untuk tempat tinggal besannya. Hal itu ditundanya karena pada saat-saat ini dia sedang sibuk memikirkan langkah-langkah baru demi memajukan rakyat agar kemakmuran benar-benar dapat tercapai dan dirasakan oleh segenap rakyat.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda memasuki halaman Istana. Dua orang perwira Kerajaan melompat dari punggung kuda. Lalu bergegas menghampiri pintu Istana. Sultan Sepuh setengah melompat berlari menyongsong.
“Cepat katakan! Berita apa yang kalian bawa? Bagaimana dengan Ndoro Ayu Pujayanti permaisuri ku? Kemana gerangan Tumenggung Kandilaga?”
Sultan Sepuh memberondong kedua perwira kera-jaan itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan agak gugup salah seorang segera melapor.
“Ampun Kanjeng Gusti Sultan! Telah ditemukan oleh gusti Senopati, para prajurit pengawal Ndoro Ayu Permaisuri dalam keadaan tak bernyawa. Semua prajurit tewas termasuk Tumenggung Kandilaga!”
“Hah!? apa katamu?” sentak Sultan Sepuh terperanjat. “Lalu... lalu bagaimana dengan istriku?”
“Tandu dalam keadaan kosong. Tak dijumpai tanda-tanda adanya jenazah Gusti Ndoro Ayu Permaisuri. Saat ini Gusti Senopati dan para prajurit tengah melacaknya.”
Pucatlah seketika wajah Sultan Sepuh. “Tumenggung Kandilaga dan para prajuritnya tewas? Tandu kosong? Dan istriku... istriku lenyap? Oh, Tuhan...” Kalau tak cepat dua perwira itu menahan tubuhnya, tentu Sultan Sepuh sudah jatuh menggeloso karena begitu terkejutnya mendengar berita itu.
Mapatih Kuncoro muncul. Dia segera memburu ke arah Sultan Sepuh. “Tenang Kanjeng Gusti Sultan! Hamba telah mengirim sepasukan prajurit untuk membantu mencari jejak gusti Ayu Permaisuri...” hiburnya.
Kemudian memapahnya menuju ruangan dalam istana. Beberapa emban segera menyongsong untuk bantu memayang. Keadaan di dalam istana jadi sibuk. Para emban itu memapah Sultan Sepuh ke dalam kamarnya...
Sementara itu Senopati Bayurana dan prajuritnya terus melakukan pencarian. Melacak sekitar hutan untuk mencari jejak sang Permaisuri. Ketika muncul pasukan yang dibawa oleh Tumenggung Suromangun atas perintah Mapatih Kuncoro, keadaan sekitar wilayah hutan itu semakin ramai. Puluhan obor yang telah dipasang membuat cuaca berubah menjadi terang benderang.
Akan tetapi pelacakan mereka sia-sia. Tak ada tanda-tanda atau ditemukannya mayat permaisuri Sultan Sepuh. Senopati Bayurana segera memerintahkan untuk segera menghentikan pencarian itu.
“Cukuplah para tamtama! Pencarian akan diteruskan besok pagi!” teriak Senopati tua ini. Para prajuritpun segera menghentikan pelacakan itu.
“Semua berkumpul! Dan bersiap-siap untuk kembali ke Istana!” teriak Senopati memberi aba-aba. Tumenggung Suromangun turut berteriak-teriak meni-tahkan untuk segera menghentikan pekerjaan mereka. Tak lama rombongan para prajurit Kerajaan itu segera berbaris dan meninggalkan tempat itu...
“Paman Joko....! kau tunggulah aku disini. Aku hanya akan mengambil sesuatu di tempat Kediamanku. Setelah itu kita segera berangkat ke utara...”
Ayu Rumpi memeluk kekasihnya Joko Sangit alias si Pendekar Lengan Tunggal dengan penuh perasaan. Pagi itu begitu cerah. Matahari bersinar terang tanpa segumpal awanpun yang menghalangi.
“Dan, kita tak akan berpisah lagi...” sambung Joko Sangit.
“Sungguhkah kata-katamu, paman Joko Sangit...?”
Laki-laki berlengan tunggal itu mengangguk. “Aku telah mendapatkan seorang gadis cantik yang telah membangkitkan gairah hidupku, mengapa aku harus membohongimu, adik manis?”
Tak ada kebahagiaan yang begitu besar dirasakan seorang gadis bila dipuji dirinya cantik. Ayu Rumpi mendekap laki-laki itu kuat-kuat serasa tak akan dilepaskan lagi. “Oh, paman Joko...” desisnya penuh kebahagiaan.
Namun segera Ayu Rumpi melepaskan pelukannya. “Nah, paman Joko. Tunggulah disini. Sebentar aku akan kembali lagi...” Selesai berkata, Ayu Rumpi balikkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu dengan gerakan cepat.
Joko Sangit menatap bayangan sosok tubuh gadis itu hingga lenyap. Terdengar laki-laki ini menghela napas, seraya menggumam. “Haih! Dunia memang aneh. Sesuatu yang diharapkan terkadang tak menjadi kenyataan. Akan tetapi apa yang tak diharapkan justru terjadi...”
Alangkah terkejutnya Ayu Rumpi ketika memasuki halaman pondok tempat kediamannya mendapatkan enam sosok tubuh anak buahnya telah berkaparan menjadi mayat. Niatnya kembali kemari adalah untuk mengambil sebuah kotak kecil berisi perhiasan yang akan di bawahnya. Sekalian membubarkan anak buahnya karena dia akan pergi jauh tak kembali lagi. Akan tetapi keenam laki-laki anak buahnya itu telah tewas.
“Oh, siapakah yang melakukan perbuatan ini?” sentaknya terkejut. Ketika memeriksa ke dalam pondok, Ayu Rumpi mendapatkan sesosok tubuh wanita muda tergolek di pembaringan dalam keadaan menangis tanpa mengeluarkan suara. Wanita muda itu mengenakan pakaian keraton.
“Siapakah kau?” tanya Ayu Rumpi seraya melompat menghampiri.
Akan tetapi wanita itu tak mampu bicara, selain matanya saja yang membelalak penuh air mata. Tahulah Ayu Rumpi kalau wanita muda itu dalam keadaan tertotok. Tak berlaku ayal segera Ayu Rumpi membebaskan wanita muda itu dari pengaruh totokan.
Melihat dirinya terbebas, wanita muda itu merangkul Ayu Rumpi dengan terisak-isak menangis. Sebagai seorang wanita yang juga mempunyai perasaan yang sama, mau tak mau tersentuh juga hati Ayu Rumpi. Dia balas memeluk wanita itu dan menghiburnya dengan kata-kata ramah.
“Sudahlah, kau sudah selamat. Hentikan tangismu, kakak...! Ceritakanlah apa yang telah terjadi dan siapa yang membawamu ke tempat ini? Dan kau ini siapa-kah?” tanya Ayu Rumpi ketika tangis wanita muda itu agak mereda.
“Terima kasih sebelumnya atas pertolonganmu, adik...! Sesuatu telah terjadi dan menimpa diriku...” berkata wanita muda itu, kemudian segera menuturkan peristiwa yang dialaminya.
“Jadi kau... kau gusti Kanjeng Permaisuri Sultan Sepuh?” sentak Ayu Rumpi terperanjat. Seketika wajahnya berubah pucat.
Wanita muda itu mengangguk. Wajah Ayu Rumpi sebentar merah sebentar pucat. Hatinya tergetar dengan lutut terasa dilolosi tulang-tulangnya. “Orang bertopeng itu pasti PANDALA! Pasti!” sentaknya dalam hati. “Dia telah memulai pemberontakannya. Oh, apa yang harus kulakukan? Semua ini karena diriku! Akulah yang menghembuskan asap pemberontakan padanya! Tapi aku cuma berniat mempermain dia dengan persyaratan itu! Aku membencinya! Aku dendam padanya. Karena dia telah merenggut kesucian ku...”
Ayu Rumpi merasakan kepalanya menjadi berat. Dia melangkah terhuyung ke tepi jendela. Jantungnya serasa berhenti berdenyut. Dia sungguh tak menyangka kalau Pandala benar-benar membuktikan ucapannya seperti yang di ucapkan di puncak Gunung Bromo.
“Tidak! aku sungguh-sungguh tak mengharapkan hal itu. Bahkan aku mengira dia tak akan punya keberanian. Mungkin juga dia akan tewas terlebih dulu sebelum hal yang memang tak kuharapkan itu terlaksana! Bahkan aku sendiri yang akan membunuhnya!”
Tiba-tiba Ayu Rumpi balikkan tubuhnya dan menatap pada sang Permaisuri Sultan Sepuh. Wajahnya semakin pucat. Nafasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba Ayu Rumpi jatuhkan dirinya untuk berlutut di hadapan wanita itu seraya berkata dengan suara terisak.
“Gusti Permaisuri...oh, maafkanlah hamba yang tak mengetahui dengan siapa hamba berhadapan. Dan hamba telah berbuat lancang di hadapan Gusti Permaisuri...” Melihat Ayu Rumpi berlutut dihadapannya, cepat-cepat wanita muda permaisuri Sultan Sepuh membangunkan.
“Sudahlah, adik. Jangan terlalu banyak peradatan. Aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu...!” ujar Dewi Wijayanti.
Pada saat itulah terdengar suara ringkik kuda di-iringi derap kaki-kaki kuda mendatangi ke arah pon-dok. Hati Ayu Rumpi tersentak. Dia telah melompat berdiri. Sekejap saja dia telah mengetahui siapa yang datang.
“Pandala!” sentaknya dalam hati. Ayu Rumpi tiba-tiba telah melompat keluar dari pondok pesanggrahan itu.
Si penunggang kuda putih itu ternyata si laki-laki bertopeng. Tapi Ayu Rumpi telah mengetahui kalau orang itu adalah Pandala. Kemunculan Ayu Rumpi agak membuat Pandala terkejut. Kalau saja tak mengenakan topeng akan terlihat parasnya yang berubah.
“Perempuan keparat! Pucuk di cinta ulam tiba!” bentak Pandala. “Bagus! Aku memang menginginkan kemunculanmu. Karena saat ini juga aku segera akan mengirim nyawamu ke Neraka!”
“Membunuhku?” Ayu Rumpi kerenyitkan keningnya. “Hm, apakah aku tak salah dengar?” tanya Ayu Rumpi.
“Ya! Karena aku sudah tak memerlukan kau lagi! Aku telah mendapatkan seorang perempuan pengganti mu yang akan kujadikan istriku!”
“Hm, kau akan membawa kabur Gusti Permaisuri Sultan Sepuh?”
“Tepat katamu! Aku telah terlanjur jadi buronan Kerajaan! Semua ini karena gara-gara ulah mu dengan persyaratan gila itu!” menyahut Pandala dengan suara dingin.
“Persyaratan gila?” tukas Ayu Rumpi. “Hihihi... kita memang orang-orang gila, Pandala! Karena hawa nafsumu yang gila itu hingga aku harus menyerahkan kesucian ku padamu! Karena kegilaan mu itu aku terpaksa harus menikah dengan seorang yang tak kucintai! Tahukah kau Pandala? Aku telah mencintai seseorang yang tak dapat kusebutkan namanya. Dan aku telah bersumpah untuk mencarinya setelah aku turun gunung. Kesucian ku hanya akan kuberikan padanya!”
Berkata Ayu Rumpi dengan tersenyum pahit. Lalu sambungnya. “Tapi karena nafsu gilamu, aku telah ternoda! Musnah sudah harapanku! Semua itulah yang menyebabkan aku mengajukan persyaratan gila, dan aku me-mang akan membuatmu gila karena kau berkeyakinan kau tak akan berhasil memenuhi keinginanku yang se-sungguhnya tak kuharapkan. Karena aku mengha-rapkan kematianmu sebagai penebus kegilaan mu!” Sampai disini Ayu Rumpi menghentikan kata-katanya. Dia menghela napas sejenak. Lalu sambungnya, kare-na melihat Pandala cuma terpaku mematung seperti tak mampu menggerakkan bibirnya.
“Sebenarnya aku mau menyudahi urusan dendam itu! Lebih dari dua tahun kita hidup secara terpisah. Hal itu sudah cukup untuk membebaskan aku dari ikatan suami-istri. Bahkan aku telah cukup terhibur karena aku telah menemukan orang yang kucintai. Aku telah cukup merasa berbahagia dan melupakan dendam ku padamu! Tapi sayang....! aku tak dapat berdiam diri dengan apa yang akan kau lakukan! Aku harus melindungi Gusti Permaisuri dari keinginan gilamu!”
Selesai berkata Ayu Rumpi gerakkan lengannya mencabut senjata pedang pendek yang terselip di ping-gangnya. “Dan terpaksa aku harus mempertahankan nyawaku karena kau mau membunuhku!” sambung Ayu Rumpi dengan senyum sinis. Pandala tertawa tawar. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
“Siapakah orang yang kau cintai itu, Ayu...?” tanya Pandala dengan suara dingin.
“Tak perlu kau mengetahui! Dia kini tengah menungguku. Karena aku segera akan pergi jauh ke utara!”
Tampaknya Pandala belum membuat reaksi untuk segera bertarung. Dia menghela napas seperti menghalau sesuatu yang mengganjal didadanya. Matanya menatap tajam Ayu Rumpi. Kemudian menengadah menatap langit, dan berkata datar.
“Pergilah kau temui kekasihmu itu, Ayu...! Pergilah! Capailah kebahagiaan yang telah kau dapatkan itu! Aku tak akan membunuhmu...” ujarnya pelahan.
Terhenyak Ayu Rumpi. Tapi segera dia menyambarnya dengan kata-kata tajam. “Hem, kau menyuruh aku pergi agar tak ada yang menghalangimu membawa kabur Gusti Permaisuri, bukan? Heh! jangan harap niatmu akan terlaksana!”
“Aku akan mengembalikannya ke Istana!” sahut Pandala lirih. Kata-kata Pandala cukup membuat Ayu Rumpi tertegun.
Tapi gadis ini segera membentak. “Aku tak percaya kata-katamu Pandala! Jangan coba-coba kau mengelabui ku.”
“Kau harus percaya!” teriak Pandala menegur. Tiba-tiba lengan Pandala bergerak mendorong ke depan. Angin keras bersyiur membuat tubuh Ayu Rumpi terhuyung. Di detik itu juga Pandala telah berkelebat melompat ke arah pintu pondok.
Akan tetapi terjadilah sesuatu yang tak terduga, karena tiba-tiba tubuh Pandala terlempar bergulingan diiringi teriakan menyayat hati. Membelalak mata Ayu Rumpi melihat sesosok tubuh melompat keluar dari dalam pondok pesanggrahan memburu ke arah Pandala yang terguling-guling di tanah. Siapa adanya orang itu tiada lain dari Kebo Gawuk.