Si Walet Hitam Jilid 05
Dengan singkat Lo Sin lalu menceritakan riwayat Kong Sin Ek dan akhirnya ia bertanya, “Barangkali diantara sam-wi ada yang pernah melihat anak muda itu?”
Untuk beberapa lama, ketiga piauwsu itu tak dapat berkata-kata hanya saling memandang dengan muka terkejut dan heran. “Memang kami telah melihatnya. Ia adalah seorang she Lui bernama Tik Kong, seorang pemuda yang tampan dan sopan santun. Sungguh hampir tak percaya kami bahwa ia dapat berbuat demikian kejam dan jahat.”
Lo Sin girang sekali mendengar ini. “Di mana dia? Tahukah sam-wi di mana adanya orang itu sekarang?”
“Kami tidak tahu, taihiap. Pernah dulu kami mendengar bahwa anak muda itu berkeinginan memasuki ujian perwira. Mungkin sekali setelah melakukan perbuatan jahat itu ia lalu melarikan diri dan melanjutkan cita-citanya untuk menjadi seorang perwira tentara kerajaan.”
Keterangan ini biarpun cukup berharga, akan tetapi masih belum dapat menolongnya hingga Lo Sin tetap mencari-cari dengan membuta, tanpa ada tujuan tertentu. Ia lalu meninggalkan Long-men dan merantau sampai jauh ke timur mencari-cari pemuda yang bernama Lui Tik Kong ini.
Banyak markas-markas tentara kerajaan ia masuki, bahkan ia telah bertanya kepada perwira kerajaan barangkali mengenal kepada pemuda itu. Akan tetapi oleh karena ,jumlah perwira banyak sekali dan andaikata pemuda itu benar menjadi perwira, tentu seorang perwira yang masih baru dan belum terkenal, maka tak seorangpun mengenal seorang perwira bernama Lui Tik Kong.
Hal ini tidak mengherankan, oleh karena Lui Tik Kong begitu lulus ujian dan diangkat menjadi perwira, terus ditugaskan di daerah Pegunungan Bong-kee-san hingga perwira-perwira lain jarang ada yang mengenalnya.
Memang pada masa itu, banyak sekali diangkat perwira-perwira baru dalam usaha pemerintah untuk memperkuat pertahanan karena perlu menjaga datangnya serangan bangsa Turki yang dipimpin oleh Jengar Khan yang telah menyerang di berbagai tempat di tapal batas kerajaan sebelah utara.
Sampai dua pekan lebih Lo Sin mencari-cari tanpa hasil sedikitpun hingga ia menjadi gemas dan kesal. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi kampung Pek-se-chung di lereng Gunung Bong-kee-san itu dan menjumpai Nyo Tiang Pek. Ia teringat bahwa pernikahan puteri Nyo Tiang Pek akan dilangsungkan sepekan lagi dan ia membuat perhitungan bahwa masih ada waktu baginya untuk datang sebelum perkawinan berlangsung.
Hendak dilihatnya sampai di mana “kehebatan” gadis yang telah dipuji-puji kedua orang tuanya tanpa melihat rupanya lebih dulu dan hendak dilihatnya pula di mana kelihaian Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang berani menghina Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua orang tuanya.
Demikianlah, untuk pertama kalinya kuda Pek-liong-ma dibalapkan cepat sekali ke arah tempat tertentu. Kuda itu memang mempunyai kegemaran membalap, maka begitu penunggangnya memberi tanda supaya ia bergerak secepatnya, ia lalu pentang ke empat kakinya dan tubuhnya meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Tubuh si Walet Hitam yang berpakaian hitam tampak jelas sekali di atas kudanya yang berbulu putih mengkilap, sedangkan perhiasan kepala yang berupa seekor burung walet hitam itu bergoyang-goyang bagaikan hidup dan sepasang mata burung yang terbuat daripada mutiara itu berkilau tertimpa cahaya matahari.
Sungguh gagah sekali pemuda ini di atas kudanya yang gagah pula. Tiap orang yang melihatnya tentu memandang dengan kagum dan penuh perhatian, akan tetapi Lo Sin tidak memperdulikan semua itu dan terus saja membalapkan kudanya. Makin dekat dengan tempat tinggal Nyo Tiang Pek, ia merasa makin panas hatinya.
Ketika tiba di kaki bukit Bong-kee-san, Lo Sin melihat banyak orang mendaki bukit itu. Melihat gerakan-gerakan orang-orang yang mendaki bukit, ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian, sungguhpun diantara mereka banyak pula terdapat orang-orang yang tak mengerti ilmu silat. Tadinya ia merasa heran akan tetapi kemudian ia teringat bahwa mereka ini tentu para tamu yang hendak menghadiri perayaan perkawinan puteri Garuda Berkuku Emas yang tersohor itu.
Makin panaslah hati Lo Sin mengingat hal ini. Dia merantau untuk mencari musuh besar Kong Sin Ek dan membalaskan sakit hati kakek ini, sebaliknya Nyo Tiang Pek yang menurut orang tuanya juga menjadi kawan baik Kong Sin Ek, pada saat ini sedang bergembira dan berpesta pora merayakan hari perkawinan puterinya.
Kalau Lo Sin sedang sadar pikirannya, tentu ia akan mengerti bahwa pikiran yang terkandung di dalam kepalanya ini benar-benar tidak sehat dan tidak adil, akan tetapi pada waktu itu memang ia sedang jengkel dan marah karena usahanya mencari murid murtad itu belum berhasil, ditambah lagi dengan perasaan penasaran dan sakit hati teringat akan perlakuan Nyo Tiang Pek terhadap kedua orang tuanya.
Perasaaan marah memang selalu mendatangkan pertimbangan-pertimbangan tidak sehat dan menyeleweng, oleh karena itulah maka orang-orang bijaksana di jaman purba mengharamkan perasaan atau nafsu itu. Semua orang yang mendaki Bukit Bong-kee-san memang benar orang-orang yang hendak menghadiri pesta perkawinan puteri Nyo Tiang Pek. Diantara mereka ada pula yang hendak menghadiri tempat Lui-ciangkun yang kini berada dalam markas yang dibangun di lereng pertama dari bukit itu.
Sebagian besar dari mereka ini adalah orang dari kalangan persilatan yang nampak dari sikap mereka dan dari gagang-gagang pedang yang menghias pinggang atau punggung mereka. Ketika kuda Pek-liong-ma meluncur lewat semua mata memandang dan mereka menduga-duga siapa adanya pemuda gagah ini. Mereka hanya menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang tamu juga, hanya entah tamu pihak pengantin wanita, entah pihak pengantin pria.
Lui-ciangkun menerima para tamunya yang datang dari segala penjuru oleh karena pemuda inipun mempunyai banyak sekali sahabat, terutama di kalangan liok-lim, oleh karena pemuda yang halus dan tampan ini diluar persangkaan orang, sebelum menjadi murid Kong Sin Ek, telah pernah menjadi seorang perampok tunggal.
Pada saat itu, Lui Tik Kong sedang menerima kedatangan dua orang sahabat baiknya dengan ramah tamah dan gembira. Kedua orang sahabat ini adalah Thio Kun dan Thio Kiat, dua orang kakak beradik yang menjadi bajak di Sungai Yang-ce-kiang dan yang memiliki kepandaian tinggi hingga mereka dijuluki Mo-kiam Heng-te atau Kakak Beradik Pedang Siluman.
Dari julukan ini saja sudah dapat diduga. bahwa mereka adalah ahli pedang yang lihai. Tubuh, kedua orang ini tegap dan kuat, sedangkan muka mereka juga menunjukkan kegagahan, sungguhpun dari kedua pasang mata mereka menyinarkan kebuasan dan kekejaman.
Pada saat mereka berkelakar dan bergembira sebagai sahabat-sahabat lama yang baru bertemu setelah lama berpisah, di luar benteng itu terjadi keributan. Ternyata ketika Lo Sin bersama orang-orang lain lewat di depan benteng itu, penjaga-penjaga pintu benteng yang mengira bahwa Lo Sin juga seorang tamu yang hendak mengunjungi perwira ini, segera menghadang untuk menerima dan merawat kuda tamunya.
“Minggir!” seru Lo Sin dengan heran hingga penjaga yang tidak menyangka bahwa kuda putih itu hendak lewat saja, hampir tertubruk kuda kalau ia tidak cepat-cepat melompat ke samping.
“Bangsat!” penjaga itu memaki marah.
Pada saat itu Lo Sin memang sedang dipengaruhi kemarahan dan kejengkelan hingga telinganya perasa sekali. Begitu mendengar suara makian ini, cepat ia menahan kudanya dan memutar kuda itu kembali untuk menghampiri si penjaga yang berdiri bertolak pinggang.
“Kau tadi memaki, siapa?” tanya Lo Sin dengan suara tenang sambil memandang tajam.
“Siapa lagi kalau bukan kau! Kudamu hampir menubrukku!”
Belum juga mulut penjaga itu tertutup setelah mengeluarkan kata-kata ini, ujung cambuk kuda di tangan Lo Sin menyambar dan tepat mengenai pipinya hingga penjaga itu terlempar dan jatuh bergulingan dan berteriak-teriak karena sabetan itu telah membuat beberapa buah giginya copot! Masih baik baginya bahwa Lo Sin tidak mengerahkan tenaganya, kalau demikian halnya, tentu kini ia tak dapat berteriak lagi!
Para penjaga lain menjadi marah sekali dan dengan golok di tangan mereka maju menyerbu. “Bangsat dari manakah berani mengacau dan mengganggu perayaan yang sedang berlangsung? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Akan tetapi dengan tenang Lo Sin lalu menanggalkan jubahnya dan dengan pakaian ringkas ini ia melompat turun dari kudanya. Kini nampak sebatang suling terselip pada ikat pinggangnya dan pedang menempel di punggung. Memang tiap kali melakukan perantauan, Lo Sin tak pernah lupa membawa sulingnya untuk ditiup dan melepaskan kesunyian di waktu ia berada seorang diri di tempat sunyi.
Ia menghadapi para penjaga yang tujuh orang banyaknya itu dengan sikap tenang dan bertolak pinggang. “Kalian ini perajurit-perajurit penjaga mau apakah? Aku lewat di sini menunggang kudaku dan kawanmu itu secara sembrono menghadang di jalan hingga hampir tertubruk kudaku, akan tetapi mulutnya yang kotor lalu memaki. Aku memberi hajaran pada mulut kotor itu, kalian mau apa?”
“Bangsat, hayo kau menghadap ciang-kun untuk memohon maaf!”
“Ah, memang mulutmu semua kotor dan perlu dihajar!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Lo Sin bergerak dan menyambar-nyambar. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan sebentar saja ke tujuh orang penjaga itu rebah malang melintang dan menjerit-jerit kesakitan sambil memegang pipi mereka yang kena ditempiling oleh telapak tangan Lo Sin!
“Manusia-manusia sombong! Jangan mengandalkan ciang-kun mu untuk menghina orang!” Bentak Lo Sin dan ia segera berjalan perlahan dan tenang ke arah Pek-liong-ma yang menjauhi mereka ketika terjadi keributan tadi dan kini sedang enak-enak makan rumput.
Semua tamu yang kebetulan baru tiba dan melihat pertengkaran ini, berdiri memandang dengan mata terbelalak, bahkan beberapa orang lalu berlari ke dalam untuk memberi tahu kepada Tik Kong. Ketika itu Tik Kong sedang minum arak dan bersenda-gurau dengan kedua saudara Thio.
Tiba-tiba datang seorang perajurit yang melaporkan bahwa di luar ada seorang pemuda mengamuk dan memukuli para penjaga. Tik Kong marah sekali, dan demikian juga Thio Kun dan Thio Kiat. Mereka bertiga lalu bertindak cepat keluar untuk melihat siapa adanya orang yang berani mengacau itu.
Pada saat mereka bertiga tiba di luar, Lo Sin telah menghampiri kudanya dan siap menunggang kudanya lagi, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaring sekali membentak dari belakangnya. “Berhenti dan turun!”
Lo Sin sudah menaikkan kakinya ke atas itu lalu menahan gerakannya. Ia mendongkol sekali oleh karena suara orang yang berseru ini mengandung perintah yang keras, seakan-akan orang ini sudah biasa memerintah. Ia menurunkan kakinya dan dengan perlahan menengok. Maka mengertilah dia ketika melihat pakaian seorang pemuda tampan yang berdiri sambil bertolak pinggang. Orang ini tentu perwira yang berkuasa di markas itu, maka Lo Sin dengan tindakan perlahan lalu menghampirinya.
“Kau mau apa?” tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya bertolak pinggang pula menghadapi perwira muda yang gagah itu.
“Kau orang kurang ajar dari manakah berani sekali mengacau di sini?”
“Anak buahmu yang mengacau, bukan aku! Kau kurang pandai mendidik mereka hingga mereka berani berlaku kurang ajar dan tidak sopan kepada orang lewat, seharusnya kau menegur mereka itu, bukannya menegur aku!” jawab Lo Sin dengan sikap seperti seorang guru mengajar murid.
Melihat kegagahan anak muda baju hitam ini, Lui Tik Kong sudah dapat menduga bahwa anak muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka timbul kegembiraannya hendak mencoba. Ia lalu tersenyum sabar dan berkata.
“Harap dimaafkan kalau anak buahku yang berlaku kurang hormat. Akan tetapi kaupun lancang sekali turun tangan, agaknya untuk memperlihatkan kepandaian. Mari, marilah, orang gagah, kita main-main sebentar sekedar perkenalan!”
Sambil berkata demikian Lui Tik Kong mengejapkan matanya kepada kedua saudara Thio itu, lalu ia mencabut keluar pedangnya. Melihat sikap yang tabah dan kata-kata, yang halus dari perwira muda itu, kemarahan Lo Sin agak mereda.
“Kau hendak menguji kepandaian? Boleh, boleh!” Iapun lalu menghunus pedangnya dan bersiap menghadapi perwira itu.
“Lihat pedang!” Tik Kong berseru keras dan maju menyerang dengan lagak sombong oleh karena ia memandang rendah kepada pemuda baju hitam yang tampan ini.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Lo Sin telah merasa suka kepadanya hingga pemuda ini tidak mau membuatnya malu dan sengaja menangkis dengan perlahan. Kalau Si Walet Hitam menghendaki, dalam dua-tiga gebrakan saja mungkin Tik Kong akan dapat dirobohkan!
Mereka lalu bertempur dengan ramai dan cepat hingga membuat kagum semua yang menonton. Akan tetapi, tiba-tiba Lo Sin menjadi pucat ketika mengenal bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh perwira ini adalah ilmu pedang Kong Sin Ek! Ia melompat ke belakang dan bertanya.
“Tahan dulu! Bolehkah aku mengetahui she dan nama Ciang-kun yang gagah?”
Lui Tik Kong tidak menyangka apa-apa dan hanya menduga bahwa pemuda baju hitam yang gagah ini merasa kagum kepadanya. Maka sambil tersenyum ia berkata. “Aku bernama Lui Tik Kong dan siapakah…?”
Belum juga habis ia bicara, Lo Sin sudah melompat maju dan mengulur tangan hendak menangkapnya sambil berseru. “Keparat rendah! Akhirnya aku dapat juga menangkapmu! Hayo kau ikut menghadap makam Kong Sin Ek untuk mengakui dosa-dosamu!”
Lui Tik Kong cepat mengelak dan menyerang dengan pedangnya “Kau siapakah?” tanyanya.
“Tak perlu kau yang hina mengetahui siapa adanya aku. Aku adalah utusan Kong Sin Ek untuk menabas batang lehermu dan menamatkan riwayatmu yang kotor dan jahat. Pembunuh rendah, manusia tak kenal budi!”
Sambil memaki-maki Lo Sin menyerang lagi dengan pedangnya dan kali ini ia tidak berlaku sungkan lagi hingga dalam segebrakan saja pedangnya telah hampir, menembusi leher Lui Tik Kong. Baiknya perwira ini berlaku cepat dan miringkan tubuhnya hingga ujung pedang Lo Sin hanya menyerempet pundaknya dan mendatangkan luka ringan saja!
Melihat kelihaian pemuda baju hitam ini, Tik Kong terkejut sekali, apalagi ketika Lo Sin mengaku sebagai utusan suhunya, ia menjadi ketakutan dan melompat ke belakang.
“Bangsat she Lui, jangan kau lari!” teriak Lo Sin yang segera mengejar dengan pedang di tangan.
Akan tetapi pada saat itu, dari kanan kiri berkelebat dua batang pedang yang berbareng menyerangnya. Kedua pedang ini adalah pedang saudara Thio yang menyerang Lo Sin dalam usaha mereka membela Lui Tik Kong.
“Pengacau jahat, jangan kau kurang ajar!” Bentak Mo-kiam Heng-te sambil menggerakkan pedang mereka.
Lo Sin cepat menangkis dengan pedangnya dan ketika ia melihat tubuh Lui Tik Kong melompat ke atas pagar yang tinggi, cepat tangan kiri Lo Sin mengeluarkan dua batang piauw hitam dan menyambitkannya ke arah tubuh Lui Tik Kong itu. Akan tetapi, gerakan Tik Kong cukup gesit dan telinganya cukup tajam hingga sebelum dua batang piauw menyambar ke arah leher dan punggungnya itu mengenai sasaran, ia telah menjatuhkan dirinya ke belakang tembok hingga terhindar dari bahaya maut.
Melihat lenyapnya tubuh musuh besarnya ke belakang tembok, Lo Sin menjadi marah sekali. Pedangnya diputar cepat dalam gerakan-gerakan terhebat dari Hwie-sian-liong-kiam-sut hingga berubah menjadi sinar pedang berkelebat cepat yang menyambar bagaikan kilat kepada Mo-kiam Heng-te hingga kedua saudara ini terkejut sekali dan melompat mundur.
Akan tetapi terlambat, pedang Lo Sin telah diputar sedemikian rupa sehingga mengurung tubuh Thio Kun dan Thio Kiat dan sejurus kemudian kedua saudara itu berteriak kesakitan dan pedang mereka terlepas dari tangan oleh pedang Lo Sin. Mereka cepat menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan.
Tetapi sebetulnya gerakan ini sia-sia saja oleh karena memang Lo Sin tidak bermaksud mengejar mereka. Kalau Lo Sin memang menghendaki jiwa mereka, tentu ujung pedangnya tidak hanya menggores di lengan tangan mereka dan mengarah sasaran yang lebih tepat.
Setelah mengalahkan Mo-kiam Heng-te, Lo Sin lalu secepat kilat melayang naik ke atas tembok di mana tubuh Lui Tik Kong menghilang tadi lalu langsung masuk ke dalam markas itu. Ia tidak melihat Tik Kong, akan tetapi sebaliknya melihat banyak sekali anggauta tentara dan para tamu yang berkepandaian menyerbu ke arahnya.
Ia putar-putar pedangnya melakukan perlawanan dan sebentar saja banyak pengeroyoknya dibikin terpental senjata mereka dan dirobohkan oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kedua kakinya.
Orang-orang yang mengeroyoknya biarpun berjumlah banyak, akan tetapi merasa jerih juga melihat sepak terjang pemuda yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi oleh karena para anggauta tentara itu harus membela komandan mereka, maka mereka berlaku nekad dan terus maju mengeroyok.
Jumlah mereka ratusan orang, maka Lo Sin berpikir apabila ia terus mengamuk, tidak saja ia akan membunuh banyak orang tidak berdosa, bahkan ia akan membuang-buang waktu dan memberi kesempatan kepada Lui Tik Kong untuk kabur. Maka ia lalu mengulur tangannya menangkap seorang perajurit dan melompat keluar tembok secepat kilat.
Sambil mengempit tubuh perajurit itu, Lo Sin berlari ke arah kudanya dan melompat ke atas punggung Pek-liong-ma yang segera berlari cepat sekali ke depan hingga para pengejar tak dapat mengejar terus.
“Kau bilang saja terus terang. Ke mana perginya perwira she Lui itu tadi? Awas, kalau kau membohong, pedangku akan menabas batang lehermu!!” Lo Sin mengancam tawanannya.
Perajurit itu menggigil ketakutan. “Lui-ciangkun lari ke dusun Pek-se-chung,” katanya dengan suara gemetar.
“Di mana ia bersembunyi?”
“Entahlah, tapi kalau tidak salah tentu di rumah kepala kampung dusun itu mencari perlindungan.”
Setelah mendengar keterangan ini, Lo Sin melemparkan tubuh tawanannya ke atas tanah dan ia terus menghamburkan kudanya menuju ke kampung Pek-se-chung.
Sementara itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi kebetulan sekali pada malam itu bulan keluar sepenuhnya hingga keadaan terang dan indah sekali. Lo Sin terus menghamburkan kudanya dengan hati girang dan kecewa. Girang oleh karena tanpa diduga-duga ia telah dapat menemukan Lui Tik Kong, kecewa oleh karena ia tidak berhasil membekuk pemuda keparat itu.
Mudah saja bagi Lo Sin untuk mencari keterangan di mana adanya rumah Chung-cu atau kepala kampung dusun Pek-se-chung. Setiap orang, wanita maupun pria, anak-anak maupun kakek-kakek, tahu belaka di mana rumah gedung kepala kampung itu.
Setelah mendapat tahu, Lo Sin lalu meninggalkan kudanya di sebuah rumah penginapan di dusun itu, dan ia lalu berlari cepat menuju ke rumah kepala kampung, sama sekali tidak mengira bahwa kepala kampung itu adalah Nyo Tiang Pek. Bahkan ia lupa pula akan bunyi surat Nyo Tiang Pek kepada orang tuanya dulu bahwa si Garuda Kuku Emas ini menjadi kepala kampung di Pek-se-chung.
Lui Tik Kong yang ketakutan memang melarikan diri ke Pek-se-chung dan dengan napas terengah-engah ia menghadap calon mertuanya. Kebetulan sekali Lee Ing berada dalam kamarnya dan sedang dirias oleh karena besok pagi akan dirayakan pertemuannya dengan calon suaminya.
Gadis ini semenjak pagi tadi telah menangis saja dengan sedihnya, dan ini dianggap biasa oleh para tamu wanita yang menjenguk ke dalam. Oleh karena ini Lee Ing tidak melihat dan tak tahu akan kedatangan calon suaminya yang menghadap Nyo Tiang Pek di dalam kamarnya dengan wajah pucat.
“Gak-hu (ayah mertua), celaka!” katanya dan Nyo Tiang Pek terkejut sekali melihat pundak calon mantunya mengucurkan darah.
“Eh, eh, apa yang terjadi, Hian-sai?” tanyanya dengan heran.
“Celaka, musuh besarku telah mengejarku dan hampir saja aku binasa dalam tangannya.”
“Siapakah dia?” tanya Nyo Tiang Pek dengan penasaran. “Dan mengapa dia hendak membunuhmu?”
“Dia adalah seorang perampok muda yang dulu pernah bentrok denganku ketika ia mencoba merampok dan kuhalang-halangi. Celaka, kepandaiannya sekarang tinggi sekali hingga aku tak kuat melawannya. Harap Gak-hu sudi menolongku!”
Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali. “Biarlah kau bersembunyi saja di sini dan kalau ia berani datang, pedangku akan menyambutnya.”
Oleh karena ia harus melayani tamu-tamu yang sudah banyak terdapat di situ, terpaksa biarpun dengan hati tidak enak dan bingung, Nyo Tiang Pek lalu memberi sebuah kamar untuk calon mantunya dan meninggalkan mantunya ini dengan kata-kata hiburan yang membesarkan hati.
Dan pada malam hari itu, bayangan Lo Sin berkelebat cepat di atas genteng rumah keluarga Nyo itu. Karena di bawah sangat ramai dengan suara para tamu, maka gerakan Lo Sin yang ringan ini tidak ada yang mendengar atau mengetahuinya.
Pada saat itu Nyo Tiang Pek sedang sibuk melayani tamu-tamunya sedangkan Giok Lie sebagaimana biasanya kaum wanita, sedang sibuk sekali mengatur barisan dapur untuk keperluan esok hari, maka Lee Ing ditinggal seorang diri dalam kamarnya. Gadis ini merasa panas sekali ditinggal di kamar dan ingin keluar menikmati angin malam.
Oleh karena tak mungkin baginya untuk keluar dari kamar tanpa terlihat oleh para tamu yang memenuhi ruang depan yakni tamu-tamu laki-laki dan ruang belakang pun penuh dengan tamu wanita yang membantu ibunya, maka gadis ini lalu membuka jendela kamarnya dan melompat keluar dari jendela itu ke atas genteng.
Ketika ia tiba di atas genteng, ia melihat bayangan hitam sedang berjongkok di belakang wuwungan. Inilah bayangan Lo Sin yang sedang terheran melihat banyaknya tamu di rumah ini. Akan tetapi pemuda itu tidak mau ambil pusing dan matanya mencari-cari kalau-kalau diantara tamu di ruang depan itu terdapat Lui Tik Kong yang dicari-carinya.
Tiba-tiba ia mendengar suara angin di belakang. Cepat ia melompat dan membalikkan tubuh dan… ia berhadapan dengan gadis cantik jelita yang berdiri dengan matanya yang lebar terbelalak memandangnya. Kebetulan sekali Lee Ing berdiri menghadapi bulan hingga cahaya bulan menyinari mukanya yang cantik.
Melihat wajah ini, Lo Sin lalu menuding dengan telunjuknya. “Kau…? Kau…? Eh, nona kembali kita bertemu di tempat yang tak disangka-sangka. Kau siapakah nona, dan ada apa kau bisa berkeliaran sampai ke sini?”
Marahlah Lee Ing mendengar dirinya disebut “berkeliaran” dan dengan muka cemberut ia menjawab, “Aku tak perIu memperkenalkan diriku kepada segala maling!”
“Eh, eh, mengapa tiba-tiba kau menyebutku maling? Barangmu yang manakah pernah kucuri?”
“Kalau kau bukan pencuri, mengapa kau mengintai di atas rumah orang lain?”
Gadis ini merasa heran sekali melihat putera Ang Lian Lihiap mengintai di atas rumahnya, diam-diam ia teringat kepada diri sendiri yang dulu pernah juga mengintai seperti maling di rumah keluarga Lo Sin.
“Kau salah sangka, nona. Aku bukan mengintai untuk mencuri, akan tetapi aku mencari bangsat she Lui!”
“Apa? Siapa katamu tadi?”
“Aku mencari Lui Tik Kong, hendak kutabas batang lehernya dan kubawa kepalanya!”
Pucat wajah Lee Ing mendengar ini. “Mengapa kau mencari dia di sini?”
“Karena kata orang dia berlari ke sini! Eh, nona, kau tahu-tahu muncul di depanku, apakah kau tinggal di rumah ini?” Lo Sin bertanya penuh harapan oleh karena mungkin dari gadis ini ia akan mendapat keterangan tentang Lui Tik Kong.
“Memang aku tinggal di sini dan pemilik rumah ini adalah ayahku!”
Lo Sin terkejut dan air mukanya berseri. “Jadi, benar-benarkah Lui Tik Kong berada di sini?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
Lo Sin menjadi marah. “Nona, jangan kau main-main dalam hal ini. Aku perlu sekali mengetahui hal ini. Apakah kau mengenal kepada orang she Lui itu?”
“Tentu saja kenal padanya.”
“Dan kau tidak melihat dia datang di sini?? Ingat, nona, jangan kau membelanya.”
Kedua mata dara itu mengeluarkan sinar marah. “Siapa hendak membela dia?”
“Nah, janganlah marah dulu, nona. Dengarlah pemuda perwira yang gagah itu sebenarnya adalah seorang pembunuh kejam dan seorang yang berjiwa rendah! Dia telah membunuh Kong Sin Ek yang menjadi gurunya sendiri dan Kong Sin Ek adalah peh-peh ku. Maka aku harus menangkapnya untuk membalas dendam ini, katakanlah terus terang.”
“Kau jangan mencari di sini, akan sia-sia saja dan kau lekas pergilah! Kalau ayah mengetahui kau datang hendak membunuh Lui Tik Kong, kau akan mendapat celaka!”
“Aku tidak takut! Bagaimanapun juga, Lui Tik Kong harus mampus dalam tanganku!” seru Lo Sin dengan geram.
Tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Bangsat perampok kurang ajar! Kau berani bermain gila di sini?”
Dan berbareng dengan bentakan ini, Nyo Tiang Pek dengan pedang di tangan tahu-tahu telah melompat dan menyambar ke arah Lo Sin dengan serangan pedangnya yang lihai! Lo Sin terkejut sekali melihat seorang setengah tua tiba-tiba menyerang dengan gerakan demikian kuat dan cepat, maka ia cepat mengelak samping dan menangkis dengan pedangnya.
“Ayah!” teriak Lee Ing. “Dia... dia adalah si Walet Hitam… dan…. dan… Tik Kong…”
Akan tetapi oleh karena Nyo Tiang Pek telah yakin betul bahwa pemuda ini adalah musuh yang mengejar dan hendak membunuh Tik Kong, ia tidak memperhatikan seruan anaknya, lalu langsung menyerang lagi terlebih hebat pula. Lo Sin kaget ketika mendengar bahwa orang tua yang gagah ini adalah ayah si nona, maka ia tidak mau melayani lebih lama lagi. Dengan cepat ia melompat turun dan berkata. “Maaf dan sampai bertemu lagi, nona!”
Akan tetapi, mendengar kata-kata ini yang ditujukan kepada puterinya makin marahlah Nyo Tiang Pek yang mengira bahwa pemuda itu berlaku kurang ajar dan berani berkenalan dengan puterinya, maka secepat kilat ia mengejar turun sambil membentak.
“Bangsat perampok, kau hendak lari ke mana?”
“Ayah…!” Lee Ing berseru lagi sambil melompat turun juga, akan tetapi pada saat itu, di bawah tembok Nyo Tiang Pek sudah menyerang lagi dengan gerak tipu Malaikat Menyambar Nyawa!
Gerakan ini bukan main cepat dan hebatnya hingga Lo Sin makin terkejut saja. Tidak disangkanya bahwa di tempat ini terdapat orang yang begini tinggi ilmu pedangnya! Ia berkelit lagi secepatnya dan belum berani membalas oleh karena ia merasa segan untuk melawan ayah gadis yang menarik hatinya itu.
Sementara itu, Lee Ing berdiri di dekat tembok menyaksikan pertempuran itu dengan tak berdaya dan bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa dan hanya memandang dengan hati sedih dan tidak karuan, oleh karena ia masih terpukul oleh kata-kata Lo Sin yang menerangkan bahwa bakal suaminya adalah seorang penjahat rendah dan kejam yang telah menganiaya Kong Sin Ek, si Dewa Arak yang namanya telah seringkali didengar dari ayah ibunya sebagai seorang gagah perkasa dan kawan baik kedua orang itu!
Melihat betapa dua kali serangannya yang paling berbahaya dengan mudah dapat dielakkan oleh pemuda baju hitam itu, diam-diam Nyo Tiang Pek merasa terkejut juga dan mengertilah ia mengapa Lui Tik Kong tidak dapat melawan dan takut kepada pemuda lihai ini. Ia berseru keras dan menyerang lagi dengan sebuah tusukan Kera Putih Memetik Bunga.
Serangan ini ditujukan ke arah perut Lo Sin sambil melompat maju dengan kaki kiri melangkah ke depan, kaki kanan terangkat dan bersiap mengirim tendangan susulan, sedangkan tangan kiri diangkat ke belakang tinggi-tinggi untuk mengimbangi tenaga tusukan pedangnya!
Lo Sin terkejut lagi. Inilah sebuah serangan maut yang benar-benar berbahaya oleh karena pemuda ini maklum bahwa serangan ini akan disusul dengan tendangan dan pukulan tangan kiri. Maka tidak ada lain jalan baginya selain mempergunakan kelincahan dan ginkangnya yang tinggi.
Sambil berseru nyaring tiba-tiba tubuh Lo Sin telah melayang ke atas dengan kaki ke atas dan kepala di bawah ia berjungkir balik dan menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan berbareng gerakannya ini telah mematahkan kehendak lawan yang hendak menyusul dengan sebuah tendangan.
Inilah gerakan Naga Terbang Memutar ekor yang sungguh indah dipandang dan juga lihai sekali. Nyo Tiang Pek makin terheran dan kagum sekali melihat gerakan Naga Terbang Memutar Ekor ini dan sebelum ia dapat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Lo Sin sudah melayang naik ke atas genteng dan menghilang cepat sekali!
Nyo Tiang Pek menghela napas dan berkata, “Sungguh lihai. Sayang ia jahat.” Kemudian orang tua ini memandang kepada gadisnya yang masih berdiri tanpa dapat bergerak di dekat tembok dan ia makin marah ketika melihat betapa dari kedua mata Lee Ing mengalir keluar air mata.
“Sungguh memalukan kau ini! Apa kerjamu di atas genteng dan bercakap-cakap dengan seorang penjahat? Apakah kau kenal padanya? Ah, Ing-ji, kalau para tamu mengetahui hal ini, bukankah kita semua akan mendapat malu? Hayo kau masuk ke kamarmu!”
“Ayah… dia itu… pemuda tadi… adalah Ouw-yan-cu si Walet Hitam. Dia adalah Lo Sin, putera dari Ang Lian Lihiap!”
Pucatlah muka Nyo Tiang Pek mendengar pernyataan yang tak disangka-sangkanya ini. “Apa katamu??”
“Benar, ayah. Aku tidak membohongimu. Dia adalah putera tunggal dari Lo Siok-hu di Tit-lee. Dan menurut katanya, Tik Kong adalah seorang jahat!”
Tiba-tiba sinar mata Nyo Tiang Pek menjadi tajam dan ia marah sekali. “Dan kau percaya kepadanya? Anak bodoh! Pemuda itu, biarpun ia anak Cin Han, akan tetapi ia telah tersesat dan menjadi perampok! Lihat saja pakaiannya, lihat saja sepak terjangnya! Ia mengejar-ngejar Tik Kong untuk membunuhnya oleh karena dulu pernah bermusuhan! Kau tahu apa? Biar dia anak Ang Lian Lihiap sekalipun, kalau dia bermaksud jahat dan hendak mencelakakan keluarga kita, aku tak rela dan takkan membiarkan saja!”
“Tapi ayah… mungkinkah putera Ang Lian Lihiap menjadi orang jahat?”
“Hm, siapa tahu? Ang Lian Lihiap di waktu mudanya ganas dan menjagoi di dunia kang-ouw, ia keras hati dan bagaikan seekor naga betina. Tidak heran apabila darahnya yang liar itu menurun kepada puteranya! Kalau ia memang datang dengan maksud baik mengapa dia tidak mau datang pada siang hari menemuiku yang sudah selayaknya mendapat penghormatannya oleh karena aku bagaimanapun juga lebih tua daripada ayah ibunya? Mengapa ia datang malam-malam sebagai seorang penjahat dan sama sekali tidak menghargai aku? Dia kurang ajar dan kelakuannya seperti seorang maling!”
“Tapi, ayah… aku dulupun masuk ke rumah orang tuanya seperti maling pula!”
“Diam dan jangan sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah membuat aku malu setengah mati! Jangan kau membela Walet Hitam si penjahat kurang ajar itu!”
Nyo Tiang Pek marah sekali oleh karena ia merasa terhina oleh kedatangan Lo Sin yang seperti maling dan dadanya panas memikirkan bahwa Lo Sin datang hendak membunuh calon mantunya!
“Betapapun juga, ayah, apakah tidak lebih baik kalau kita selidiki keadaan Tik Kong? Menurut kata Ouw-yan-cu, Tik Kong telah membunuh Kong Sin Ek supek!”
Makin marah Nyo Tiang Pek mendengar ini. “Bohong besar! Si kurang ajar itu sengaja memburukkan nama Tik Kong di depanmu. Mana ada seorang murid membunuh gurunya? Tak mungkin! Apakah kau lebih percaya kepada penjahat itu daripada calon suamimu sendiri?”
“Tapi, ayah…” Lee Ing yang keras kepala hendak membantah lagi, akan tetapi ayahnya memotong.
“Tutup mulut, dan kau masuklah! Jangan sampai terdengar oleh tamu kita. Atau, apakah kau sengaja hendak membuat cemar dan malu nama keluarga kita?”
Melihat kemarahan ayahnya yang meluap-luap ini, Lee Ing tak berani membantah lagi dan ia lalu melompat ke atas genteng untuk kembali ke dalam kamarnya melalui jendela, dan setibanya di dalam kamar, gadis ini duduk diam bagaikan patung dengan wajah pucat dan nampak air matanya mengalir turun dengan derasnya!
Sementara itu, Nyo Tiang Pek lalu menemui calon mantunya yang bersembunyi di dalam kamar dan menuturkan akan kedatangan Ouw-yan-cu yang telah diusirnya. Kemudian untuk menjaga keselamatan Tik Kong, Nyo Tiang Pek mengusulkan agar supaya calon pengantin ini tidak pergi lagi dari rumah situ dan besok hari melangsungkan pertemuan pengantin langsung saja dari rumahnya.
Pada malam itu juga, Tik Kong lalu menyuruh seorang utusan untuk pergi ke bentengnya dan minta kepada semua tamu supaya langsung pergi menghadiri perayaan kawin di rumah kepala kampung Nyo dan sekalian membawa alat-alat keperluan kawin.
Maka sibuklah keadaan di rumah Nyo Tiang Pek dan para pelayan merasa terheran-heran akan adanya perubahan ini, akan tetapi tak seorangpun diantara mereka dan para tamu tak pernah menyangka bahwa telah terjadi hal yang mengejutkan di atas genteng rumah keluarga Nyo pada malam hari itu.
Ketika Nyo Tiang Pek memberitahukan hal itu dengan muka marah kepada Giok Lie, nyonya ini terkejut sekali dan ia segera berlari ke dalam kamar anaknya. Namun Lee Ing sedikitpun tidak mau memberi keterangan apa-apa, oleh karena gadis ini marah sekali terhadap keputusan ayahnya yang dianggap kurang bijaksana.
“Sudahlah, sudahlah! Ibu dan ayah memaksaku kawin dengan siapa juga aku tidak perduli! Biar ayah dan ibu bergirang dengan pilihannya, dan aku menderita dibawah paksaanmu berdua!” kata Lee Ing sambil membanting-banting kaki dengan marah dan sambil menangis bagaikan seorang anak kecil.
Dengan sia-sia Giok Lie menghibur anaknya, kemudian nyonya ini menemui suaminya yang masih marah. “Apakah kita tidak salah melihat? Agaknya memang tidak mungkin anak Lian Hwa cici menjadi seorang penjahat?”
“Apakah kau juga sudah dipengaruhi oleh anak setan itu? Apakah kau lebih percaya kepadanya yang belum kita kenal daripada calon mantu kita?”
Ucapan ini dikeluarkan sambil melototkan matanya kepada Giok Lie hingga nyonya ini yang baru pertama kali melihat suaminya demikian marahnya, lalu mundur sambil menundukkan mukanya dengan bingung dan duka. Kemarahan Nyo Tiang Pek ini memang dapat dimengerti. Orang tua ini sedang bergirang dan berbahagia sekali menghadapi perkawinan puteri tunggalnya dan ia percaya penuh bahwa Tik Kong adalah calon suami puterinya yang tepat dan bijaksana.
Perkawinan akan dilangsungkan esok hari dan semua tamu dari semua jurusan telah berkumpul, segala-galanya telah siap tinggal menerima kedua pengantin saja. Lalu tiba-tiba datang Lo Sin yang mengacau dan membawa berita buruk dan mengejutkan!
Sudah tentu saja Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali karena ia menganggap bahwa Lo Sin sengaja datang mengacaukan dan hendak menghancurkan kebahagiaannya! Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa Lo Sin adalah putera Cin Han, maka kemenyesalannya memuncak. Ia mengharapkan kedatangan kedua kawan baiknya itu dan saat ini telah dinanti-nantinya dengan hati gembira karena ia memang telah rindu sekali kepada kedua suami isteri kawan baiknya itu. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Kedua suami isteri itu tidak datang, bahkan yang datang adalah puteranya yang mengacau! Kalau kedatangan Lo Sin secara baik-baik sebagai tamu, tentu akan disambutnya dengan pelukan mesra, akan tetapi pemuda itu datang malam-malam dengan pedang di tangan dan dengan maksud membunuh calon mantunya!
Memikirkan ini semua, tentu saja Nyo Tiang Pek menjadi bingung, marah dan menyesal. Ia hendak cepat-cepat melangsungkan pernikahan anaknya, lalu kemudian ia hendak segera mencari Cin Han dan mengadukan kekurangajaran Lo Sin itu.
Malam hari itu dilewati oleh keluarga Nyo tanpa dapat memeramkan mata dan dalam keadaan tidak bahagia dan semua ini adalah gara-gara Lo Sin. Maka bertambah bencilah Nyo Tiang Pek kepada pemuda itu.
Lo Sin meninggalkan rumah keluarga Nyo dengan penuh keheranan. Ia tidak pergi jauh, bahkan lalu kembali dan bersembunyi di atas sebatang pohon yang tinggi dan besar dan dari situ ia mengintai ke arah genteng dan pintu rumah Nyo Tiang Pek, mengintai dengan penuh perhatian oleh karena ia menanti munculnya Lui Tik Kong dari dalam rumah itu.
Sambil menanti, tak habis ia heran memikirkan kelihaian tuan rumah atau ayah gadis itu. Ia benar-benar merasa heran oleh karena belum pernah ia menghadapi seorang lawan segagah orang tua tadi. Kalau saja ia tidak berlaku cepat, dalam tiga jurus yang berbahaya itu saja pasti ia akan dirobohkan.
Ternyata ia menanti dengan sia-sia. Sampai fajar menyingsing dan matahari mulai muncul, ia tidak melihat bayangan Lui Tik Kong keluar dari rumah gedung itu, hingga Lo Sin merasa benar-benar kesal dan gemas. Kemanakah perginya penjahat itu?
Ia takkan mau berhenti mencari sebelum berhasil membekuk batang leher Lui Tik Kong. Ia mempunyai kecurigaan sepenuhnya bahwa pemuda keparat itu tentu masih bersembunyi di dalam rumah kepala kampung itu. Maka dengan hati-hati ia menghampiri rumah itu dari depan.
Lo Sin merasa heran sekali melihat bahwa rumah itu ternyata terhias indah dan banyak tamu yang bermalam di situ telah nampak duduk-duduk di ruang depan. Siapakah tuan rumah ini? Lo Sin lalu menemui seorang penduduk kampung dan bertanya kepada orang yang sudah tua ini.
“Lopek, mohon tanya, siapakah pemilik rumah ini dan sedang diadakan pesta apakah di situ?”
Kakek petani itu memandang kepada Lo Sin dengan heran. “Bukankah tuan juga hendak bertamu? Rumah itu adalah rumah Nyo-chungcu yang sedang merayakan perkawinan puterinya.”
Tiba-tiba bagaikan baru sadar dari mimpi, Lo Sin teringat akan bunyi surat Nyo Tiang Pek kepada orang tuanya, maka cepat-cepat dan dengan wajah berubah ia bertanya. “Lopek yang baik, siapakah nama kepala kampung she Nyo ini dan siapa pula nama puterinya, hendak dikawinkan dengan siapa?”
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi ini membuat kakek itu tercengang, akan tetapi kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Pertanyaan-pertanyaanmu ini aneh, Nyo-chungcu bernama Nyo Tiang Pek, seorang pendekar gagah yang berjuluk Kim-jiauw-eng si Garuda Kuku Emas. Sedangkan puterinya yang hendak dikawinkan adalah nona Nyo Lee Ing yang cantik dan yang gagah pula. Calon suami Nyo-siocia juga bukan sembarangan orang. Dia adalah seorang perwira yang cakap dan gagah serta berkedudukan tinggi. Namanya Lui Tik Kong dan…”
“Terima kasih, lopek!” Lo Sin memotong kata-kata ini dengan muka pucat sekali, lalu ia lari dari depan kakek itu yang memandangnya dengan melongo keheranan.
Sambil berlari Lo Sin merasakan betapa jantungnya memukul keras. Ah, jadi orang tua yang gagah perkasa adalah Nyo-pekhu, pikirnya. Pantas saja ia demikian gagah dan ilmu pedangnya demikian tinggi. Dan gadis itu, gadis yang dulu dilihat di dekat rumahnya, yang berdiri kehujanan di tepi jalan, gadis yang menarik hatinya, yang selalu terbayang di depan matanya gadis itu adalah Nyo Lee Ing, puteri Nyo Tiang Pek.
Amboi… gadis ini adalah gadis pilihan kedua orang tuanya, yang telah dilamar untuk dijodohkan dengannya dan yang telah membuat ia marah kepada ayah ibunya. Kini gadis ini hendak dikawinkan dengan Lui Tik Kong si keparat yang hendak dibunuhnya. Memikirkan semua ini Lo Sin menjadi pening dan debar jantungnya makin mengeras.
Tidak bisa! Tidak bisa! Ia harus menghalangi perkawinan ini, biarpun ia harus berkorban dengan nyawa sekalipun. Puteri Nyo-pekhu tidak boleh menjadi isteri bangsat penjahat pengkhianat itu. Lo Sin berlari cepat menuju ke rumah Nyo Tiang Pek. Ia marah sekali, marah kepada Lui Tik Kong. Bencinya terhadap pemuda itu meluap dan membuatnya menjadi seperti orang gila.
Ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarga Nyo dan melihat betapa para tamu telah duduk dengan wajah gembira, ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil menerjang masuk dan menendang roboh meja-meja yang terpasang di situ hingga meja kursi beterbangan ke sana ke mari membuat para tamu terkejut dan geger, ia berteriak-teriak bagaikan orang gila.
“Lui Tik Kong, bangsat hina dina! Keluarlah untuk terima binasa!”
Sebagian besar para tamu itu terdiri dari orang-orang yang mengerti ilmu silat, hingga mereka yang merasa diri berkepandaian dan berkewajiban membela tuan rumah yang mereka hormati, lalu berdiri dengan muka tidak senang. Dua orang muda yang mengerti ilmu silat lalu maju menghalang di depan Lo Sin sambil menuding dan memaki.
“Bangsat gila dari mana berani datang membuat kekacauan?”
Mata Lo Sin menjadi merah melihat adanya orang-orang yang berani menghadang. Ia menubruk sambil berseru. “Minggir kau!”
Dua orang tamu muda itu mencoba untuk mengelak dan membalas menyerang akan tetapi tanpa mereka ketahui bagaimana Lo Sin bergerak, tahu-tahu leher mereka telah tertangkap oleh kedua tangan Lo Sin dan sekali pemuda ini menggerakkan kedua tangannya, tubuh mereka terlempar jauh ke kanan kiri dan roboh menimpa tamu-tamu lain!
Empat orang tamu yang menjadi marah maju lagi, akan tetapi dalam dua gebrakan saja, kembali empat orang ini dibikin jatuh tunggang langgang oleh Lo Sin yang sedang marah dan mengamuk.
“Bangsat besar Lui Tik Kong! Hayo keluarlah menebus dosa!” kembali Lo Sin berseru dengan keras bagaikan orang kemasukan setan. Kembali ia menendang-nendang meja kursi di kanan kirinya hingga keadaan menjadi makin kalut.
Memang pada saat itu Lo Sin sudah lupa akan segala-galanya, yang teringat hanyalah malapetaka yang menimpa keluarga Nyo dengan datangnya penjahat she Lui yang entah bagaimana telah berhasil memikat hati mereka hingga hendak diambil mantu, dijodohkan dengan gadis keluarga Nyo yang manis dan menarik hati itu!
Malapetaka yang mengancam ini terlampau berat menekan perasaan Lo Sin yang masih muda, maka hal ini menggelorakan semangat perlawanannya dan menambah rasa bencinya kepada Lui Tik Kong! “Bangsat she Lui! Benar-benarkah kau begitu pengecut tak berani keluar? Kong peh-peh telah menantimu di pintu akhirat!”
Diantara para tamu yang berkepandaian tinggi, terdapat pula dua orang kakek pendekar yang menjadi kawan baik Nyo Tiang Pek, bahkan juga menjadi kawan baik Kong Sin Ek dan Ang Lian Lihiap serta Cin Han di waktu para pendekar itu masih muda. Mereka ini dulu ketika mudanya tinggal di Tit-lee dan mendapat julukan Sepasang Naga dari Tit-lee.
Mereka adalah dua orang hiap-kek bersaudara yang bernama Ong Su dan Ong Bu. Keduanya merupakan anggauta rombongan Nyo Tiang Pek yang dulu ketika masih muda menyerbu dan menghancurkan perkumpulan jahat Pek-lian-kauw dan boleh dibilang bahwa Ong Su dan Ong Bu ini adalah sahabat-sahabat kekal dari Nyo Tiang Pek, juga sahabat-sahabat baik Cin Han dan Lian Hwa.
Keduanya membuat nama besar di kalangan kang-ouw ketika muda oleh karena permainan tombak mereka memang lihai sekali. Kini kedua kakek ini sengaja datang memenuhi undangan Nyo Tiang Pek, maka mereka hadir di situ pada saat Lo Sin mengamuk.
Ketika Sepasang Naga dari Tit-lee melihat amukan seorang pemuda berpakaian hitam yang sedang marah bagaikan kemasukan iblis mereka menjadi tidak senang. Apalagi setelah Lo Sin menjatuhkan beberapa orang tamu dengan mudahnya, mereka lalu melompat maju sambil membentak keras,
“Pengacau muda tak tahu adat! Jangan berlaku kurang ajar!” Mereka ini lalu maju menyampok tangan ke arah muka Lo Sin....