Si Walet Hitam Jilid 06
Si Walet Hitam berkelit ke kiri dari sampokan tangan Ong Su, akan tetapi hampir saja ia terkena pukulan tangan Ong Bu hingga cepat-cepat ia menangkis. Tangkisan ini membuat keduanya terkejut oleh karena Ong Bu merasa betapa lengan tangannya sakit sekali sedangkan Lo Sin juga terhuyung beberapa langkah!
“Minggir, minggir! Aku tidak ingin berkelahi dengan siapa juga! Minggirlah semua! Aku hanya ingin menangkap bangsat Lui Tik Kong!” teriak Lo Sin tanpa memperdulikan kedua kakek yang tangguh itu.
“Bangsat muda, apakah kau ingin mati?” Sambil berseru demikian, Ong Su lalu maju menyerang lagi dengan pukulan ke dada Lo Sin, akan tetapi kembali Lo Sin menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga hingga Ong Su terpental dengan penuh heran dan terkejut.
Tak disangka sama sekali oleh Sepasang Naga dari Tit-lee ini bahwa anak muda yang mengamuk itu demikian tangguhnya! Memang semenjak pergi dan pindah dari Tit-lee belasan tahun yang lalu, kedua orang kakek ini tak pernah menginjakkan kaki di Tit-lee hingga mereka tidak kenal kepada Lo Sin dan tidak tahu akan keadaan di kota itu.
Namun, sebagai sepasang pendekar tua yang telah membuat nama besar di dunia kang-ouw, mereka merasa malu kalau sampai mundur dan jerih menghadapi seorang pemuda, maka keduanya lalu mengeroyok.
“Jiwi, mundurlah! Aku tidak ingin bertempur melawan kalian!” Lo Sin berseru sambil menendang-nendang meja yang masih malang melintang di situ.
Ia menendang meja kursi hingga beterbangan bukan saja untuk melampiaskan marah dan mendongkolnya, akan tetapi juga untuk mencari tempat yang agak lega oleh karena ia maklum bahwa ia tentu akan menghadapi pengeroyokan sedangkan kedua orang kakek yang mengeroyoknya ini saja sudah berkepandaian begini tinggi!
Ketika Ong Su dan Ong Bu tetap mendesaknya dengan pukulan-pukulan maut. Lo Sin lalu memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Dengan ginkang warisan ibunya dan lweekang warisan ayahnya ia dapat mempermainkan kedua orang kakek gagah ini bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus!
Tubuhnya berkelebat ke sana ke mari dan tiap kali ia mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan maut, ia hanya mendorong saja tubuh kakek itu hingga Ong Su dan Ong Bu beberapa kali terdorong sampai menabrak kursi atau meja!
Kedua Naga dari Tit-lee menjadi kagum dan juga marah sekali. Diam-diam mereka teringat kepada Ang Lian Lihiap ketika melihat sepak terjang pemuda ini di dalam hati mereka menduga-duga siapa adanya pemuda baju hitam yang luar biasa lihainya ini.
“Tik Kong, keluarlah kamu!!” lagi-lagi Lo Sin berteriak dan ia lalu mendesak kedua pengeroyoknya dan lari ke dalam dengan maksud hendak mencari ke dalam rumah!
Akan tetapi pada saat itu, dari dalam rumah keluarlah seorang tua gagah perkasa dengan pedang di tangan dan orang tua ini tak lain ialah Nyo Tiang Pek sendiri! Wajah orang tua ini merah karena marah dan matanya menyinarkan cahaya yang seakan-akan hendak membakar tubuh Lo Sin yang segera memandangnya dengan sikap hormat.
“Nyo-pekhu, maafkan aku dan harap kau orang tua suka menyerahkan bangsat she Lui itu kepadaku!” kata Lo Sin dengan sikap menghormat.
“Anak muda, apakah benar kau bernama Lo Sin dan putera dari Lian Hwa dan Cin Han?” tanya Nyo Tiang Pek dengan suara keren dan ia menahan marahnya sedapat mungkin.
“Benar, Nyo-pekhu. Akan tetapi kedatanganku ini atas kehendakku sendiri dan aku harus menangkap dan membinasakan bangsat she Lui itu. Serahkanlah dia kepadaku dan lain waktu aku bersama kedua orang tuaku tentu akan datang menghaturkan maaf atas kelancanganku ini.”
Semua orang, terutama Ong Su dan Ong Bu, terkejut mendengar bahwa anak muda ini benar-benar adalah putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang sangat terkenal.
“Lo Sin! Perbuatanmu kali ini sungguh mencemarkan nama orang tuamu! Kau minta hal yang bukan-bukan. Tidak tahukah kau bahwa Lui Tik Kong adalah calon mantuku dan hari ini kami sedang merayakan perkawinannya dengan puteriku?”
“Inilah celakanya! Perkawinan ini harus dibatalkan! Harus, kataku! Puterimu tidak boleh kawin dengan bangsat pengkhianat rendah itu! Dia itu telah membinasakan Kong Sin Ek pek-hu! Dia itu telah menganiaya Kong peh-peh hingga orang tua itu menemui kematiannya. Dia harus dihukum.”
“Kau bohong dan jangan mengandalkan kegagahan orang tuamu untuk mengacau di sini!” seru Nyo Tiang Pek dengan marah.
“Aku tidak membohong, Nyo-pekhu, dan orang tuaku jangan dibawa-bawa dalam hal ini!” jawab Lo Sin yang menjadi marah dan tidak sabar melihat bahwa orang tua ini tidak mau mengerti dan demikian kukuh.
“Anak muda kurang ajar! Jangan kau hendak berlagak di depan Nyo Tiang Pek!” seru si Garuda Kuku Emas dan secepat kilat ia menyerang dengan pedangnya ke arah dada Lo Sin.
“Nyo-pekhu, aku tidak berani mengangkat senjata terhadap kau orang tua!” seru Lo Sin yang cepat menangkis serangan berbahaya itu.
Akan tetapi Nyo Tiang Pek yang sudah menjadi marah sekali oleh karena merasa malu mendengar calon mantunya dihina di depan orang banyak, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi dan setiap serangannya adalah gerakan ilmu pedang kelas tinggi yang amat berbahaya dan lihai!
Tentu saja Lo Sin harus curahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang pendekar tua itu. Sampai duapuluh jurus Nyo Tiang Pek menyerang, akan tetapi berkat kegesitannya yang luar biasa, Lo Sin dapat melesat ke sana ke mari mengelak tanpa berani membalas menyerang!
Nyo Tiang Pek merasa gemas, malu dan juga kagum, lalu mendesak makin keras sambil mengertak gigi karena marahnya. Pedangnya berkelebatan bagaikan seekor harimau mengamuk dan mengurung diri Lo Sin dengan sinar pedangnya.
Akan tetapi Lo Sin yang sudah menerima latihan dan gemblengan dari ibunya dalam ilmu gin-kang hingga kepandaiannya dalam hal ini masih lebih tinggi daripada Nyo Tiang Pek, dapat bergerak lebih cepat lagi hingga tubuhnya lenyap dari pandangan mata, merupakan gulungan sinar hitam yang berkelebatan di antara sinar pedang lawannya.
Semua penonton melongo menyaksikan pertempuran hebat yang berlangsung di tengah-tengah ruang pesta perkawinan ini, sedangkan Ong Bu dan Ong Su yang maklum bahwa Nyo Tiang Pek sukar sekali menundukkan pemuda itu, merasa tidak enak kalau tinggal diam saja.
Mereka tadi memang ragu-ragu ketika mendengar bahwa anak muda adalah putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan tidak berani segera turun tangan, akan tetapi kini setelah melihat betapa Nyo Tiang Pek betul-betul hendak menjatuhkan anak muda itu, sebagai dua orang tamu, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membantu tuan rumah menghalau seorang pengacau.
Apalagi tuan rumah ini adalah sahabat karib mereka. Cepat sekali kedua jago tua ini lalu mencari tombak dan dengan tombak di tangan mereka lalu menyerbu. Ilmu silat tangan kosong Sepasang Naga dari Tit-lee memang tidak seberapa tinggi maka mereka tadi dipermainkan oleh Lo Sin, akan tetapi setelah mereka memegang tombak, maka tombak mereka segera terputar mengeluarkan angin dingin dan menambah tebal dan kuatnya sinar pedang Nyo Tiang Pek ketika mereka maju dari kanan kiri mengurung Lo Sin.
Bukan main terkejutnya Lo Sin melihat kehebatan ilmu tombak ke dua saudara Ong yang tua ini. Dengan cepat pemuda ini lalu merobah ilmu pedangnya dan ia lalu menggunakan kepandaiannya dan memainkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian mempertahankan diri, yakni gerak tipu Naga Sakti Mandi di Air.
Tubuh Lo Sin berdiri di tengah-tengah bagaikan seekor naga sakti melingkar dan pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya tertutup oleh sinar pedang dan ketika ia mainkan Ilmu Pedang Naga Sakti Mandi di Air ini, segera terasa hawa yang amat dingin menjalar keluar dari angin gerakan pedangnya.
Nyo Tiang Pek dan kedua saudara Ong menjadi heran dan terkejut sekali. Mereka merasa betapa hawa dingin itu menyerang lengan tangan mereka hingga terasa kesemutan. Dilihatnya bahwa Lo Sin seakan-akan tidak bergerak, akan tetapi pedang di tangan pemuda itu berada di mana-mana dan selalu dapat menangkis dengan tenaga luar biasa pada tiap saat senjata ketiga pengeroyoknya mengancam.
Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang jarang diperlihatkan kepada umum hingga biarpun Nyo Tiang Pek dan kedua saudara Ong itu sendiri selamanya belum pernah menyaksikan ilmu pedang yang luar biasa ini. Dengan ilmu pedangnya yang mujijat, Lo Sin dapat menahan serangan ketiga jago tua itu, biarpun ia sama sekali tidak pernah membalas menyerang.
Tiba-tiba dari dalam berkelebat bayangan putih yang gerakannya cepat sekali dan sebatang pedang tipis menyerbu masuk dan berhasil memasuki tembok baja yang dibuat oleh pedang Lo Sin. Hampir saja pundak Lo Sin terluka oleh pedang ini dan ia menjadi terkejut sekali. Ketika ia memperhatikan, ternyata yang menyerang nya adalah seorang wanita setengah tua yang berwajah cantik dan bergaya lembut.
Wajahnya ini hampir sama dengan wajah Lee Ing dan melihat ilmu gin-kang yang hebat itu Lo Sin dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Coa Giok Lie isteri Nyo Tiang Pek, atau sumoi dari ibunya sendiri.
“Ie-ie…! Kau tentu Ie-ie Giok Lie!” Lo Sin berseru dengan terharu. Memang Ang Lian Lihiap menganggap Giok Lie sebagai adik kandung sendiri maka ia menyuruh anaknya menyebut ie-ie atau bibi kepada nyonya Nyo Tiang Pek itu.
Mendengar seruan ini, terdengar isak tangis dari mulut Giok Lie karena hatinya terharu, dan nyonya ini berkata dengan suara halus. “Lo Sin, janganlah kau melawan pek-humu. Menyerahlah, nak dan mari kita berunding secara baik-baik!”
Lo Sin memikir bahwa ia takkan dapat bertahan terus dengan mempertahankan diri tanpa membalas menyerang, sedangkan untuk menyerang, tidak berani. Apalagi setelah ie-ienya yang berkepandaian tinggi dan memiliki ilmu gin-kang luar biasa itu ikut menyerbu, ia tidak tahu berapa lama pertempuran ini akan berlangsung.
Akhirnya ia tentu akan membalas dan kalau sampai ia kesalahan tangan melukai pek-hunya atau ie-ienya, hal ini tentu akan menimbulkan keributan besar. Setelah memutar otaknya, ia lalu berseru keras.
“Awas pedang!” dan tiba-tiba saja ia merobah ilmu pedangnya dan kini ia mainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Api. Hawa pedangnya tiba-tiba berubah panas dan gerakannya ganas dan dahsyat sekali.
Terkejut sekali para pengeroyoknya dan untuk sesaat mereka melangkah mundur dengan tercengang. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lo Sin. Ia memang hanya ingin menggertak saja agar kepungan itu menjadi terbuka.
Saat itu digunakan olehnya untuk melompat cepat ke dalam rumah. Kecepatannya memang luar biasa dan gerakannya tiada ubahnya seperti seekor burung walet hitam menyambar. Suami isteri Nyo dan kedua saudara Ong terkejut sekali dan Nyo Tiang Pek dengan suara parau lalu berseru.
“Kejar!” Lalu mereka beramai mengejar dengan cepat ke dalam rumah.
Para tamu di luar menjadi geger dan bingung, tak tahu harus berbuat apa. Yang bernyali kecil diam-diam keluar dan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Yang rakus lalu mempergunakan kesempatan pada saat semua orang tidak ada yang memperhatikannya, menyambar makanan dan memenuhi mulutnya dengan hidangan-hidangan terbaik.
Ketika Lo Sin melompat ke dalam ruang dalam, ternyata keadaan di situ sepi oleh karena semua pelayan laki-laki dan wanita telah lari bersembunyi ketakutan ketika di luar terjadi pertempuran tadi! Lo Sin memandang ke sana ke mari mencari-cari, dan ketika itu melihat seorang pelayan hendak melarikan diri dari pintu belakang.
Ia cepat melayang dan menangkap pundak pelayan itu, ia menempelkan pedangnya di leher orang lalu membentak dengan suara mengancam. “Di mana adanya calon pengantin laki-laki? Hayo cepat beritahukan padaku!”
“Dia… dia telah semenjak tadi melarikan diri kebelakang!”
Dalam keadaan yang tegang itu, Lo Sin masih teringat kepada Lee Ing, maka ia lalu bertanya lagi. “Dan di mana nona Lee Ing?”
“Nyo-siocia… berlari mengejar pengantin laki-laki dengan pedang di tangan!”
Lo Sin lalu mendorong pelayan itu hingga terjengkang, dan saat itu Nyo Tiang Pek dan yang lain-lain telah mendatangi dengan pedang terangkat.
“Bangsat muda she Lo jangan lari!” teriak Nyo Tiang Pek sambil mengirim serangan hebat.
Lo Sin menangkis dengan keras hingga Nyo Tiang Pek merasa telapak tangannya tergetar, kemudian Lo Sin melompat pergi melalui pintu belakang sambil berteriak. “Nyo-pekhu, lain waktu aku akan datang memohon maaf darimu!”
Ketika Nyo Tiang Pek, Giok Lie dan kedua saudara Ong mengejar ke belakang, mereka tidak melihat lagi bayangan Lo Sin. Giok Lie segera berlari memasuki kamar Lee Ing, akan tetapi dengan terkejut ia mendapatkan pakaian pengantin telah rusak dan tersobek berhamburan di atas pembaringan, sedangkan gadis itu sendiri telah pergi entah ke mana! Pedang Lee Ing yang biasanya tergantung di dinding juga turut lenyap! Giok Lie menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis dan memanggil-manggil nama puterinya!
Nyo Tiang Pek berlari ke kamar di mana Lui Tik Kong bersembunyi akan tetapi ia juga tidak dapat menemukan bayangan calon mantunya ini! Nyo Tiang Pek dan Giok Lie lalu bertanya kepada para pelayan dan ketika semua pelayan melihat bahwa pengacau telah pergi, mereka datang berkerumun dan ramai menceritakan peristiwa yang terjadi di ruang dalam pada saat di luar terjadi pertempuran itu.
Ternyata bahwa pada saat Lo Sin berteriak-teriak memaki-maki nama Lui Tik Kong dan mengamuk di ruang tamu, Lee Ing mendengar juga. Gadis ini dengan hati tidak karuan rasa lalu menjenguk ke luar dan melihat betapa Lo Sin dikeroyok oleh ayah ibunya dan oleh kedua orang tua she Ong. Ia merasa malu sekali oleh karena peristiwa hebat yang terjadi pada saat perkawinannya dirayakan ini tentu akan menjadi buah tutur orang-orang dan memalukan nama keluarganya.
Aneh, ia tidak menjadi marah kepada Lo Sin yang dianggapnya telah menolongnya daripada bahaya dikawin oleh seorang penjahat! Bahkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Lui Tik Kong. Pada saat itu, Tik Kong yang ketakutan dengan wajah pucat sekali keluar pula dari kamarnya dan ketika melihat Lee Ing, ia lalu berkata,
“Niocu, marilah kita melarikan diri!”
“Ah, orang tak tahu malu! Mengapa melarikan diri? Hayo kau keluar dan lawanlah dia kalau kau memang laki-laki gagah!”
“Niocu, jangan begitu. Dia… dia mau membunuhku. Bukankah aku suamimu? Hayo kau pergi ikut aku melarikan diri!”
“Bangsat hina!” Lee Ing berseru sambil memaki-maki dan berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Di situ Lee Ing lalu melepaskan baju pengantin dan merobek-robeknya hingga berkeping-keping, kemudian dengan cepat ia mengenakan pakaian ringkas dan mengambil pedangnya terus digantung di pinggang. Pada saat itu, kembali terdengar suara Lui Tik Kong di luar kamarnya.
“Niocu, isteriku yang manis, marilah kita pergi meninggalkan tempat yang berbahaya itu!”
Bukan main marah dan sebal hati Lee Ing mendengar ini. Ia menendang daun pintu kamarnya dan mencabut pedangnya. “Tutup mulutmu yang kotor! Siapa sudi menjadi isterimu?”
Bukan main kagetnya Tik Kong melihat bahwa Lee Ing telah berganti pakaian dan bahkan kini berdiri dengan sikap mengancam dan pedang di tangan, maka ia lalu melarikan diri.
“Bangsat jangan kau lari, kau harus membuat pengakuan dulu tentang terbunuhnya Kong Sin Ek!”
Mendengar ini, Lui Tik Kong makin takut oleh karena maklum bahwa rahasianya telah diketahui oleh calon isterinya itu, maka tanpa menoleh lagi ia berlari makin keras meninggalkan tempat itu. Lee Ing sambil memaki-maki lalu lari mengejar dengan pedang di tangan!
Melihat bahwa Lui Tik Kong telah melarikan diri oleh karena takut kepada Lo Sin dan betapa Lee Ing juga melarikan diri, sedangkan Lo Sin yang menjadi biang keladi kekacauan itu tidak tertangkap, maka saking marah dan malunya Nyo Tiang Pek berseru keras dan roboh pingsan!
Giok Lie menangis dengan sedih, bingung dan juga malu. Akan tetapi nyonya ini yang mempunyai kesabaran lebih besar dan mempunyai kebijaksanaan lalu bertindak tegas. Dengan segera ia mengangkat tubuh suaminya yang pingsan itu ke dalam kamar, merebahkannya di atas pembaringan dan minta kepada semua orang supaya jangan mengganggu dan semua pelayan lalu diperintahkan pulang meninggalkan rumahnya. Setelah itu, nyonya ini lalu bertindak keluar dan menjura kepada semua tamunya dan dengan hormat berkata,
“Cuwi sekalian yang mulia. Kami merasa sangat menyesal bahwa kami telah mengecewakan cuwi sekalian oleh karena terpaksa kami mengumumkan bahwa perayaan ini dibatalkan. Cuwi maklum bahwa telah terjadi peristiwa yang semua timbul oleh karena kesalahpahaman dan kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami untuk tidak menyiarkan berita mengenai peristiwa ini agar jangan sampai ditambah-tambah dan dibesar-besarkan oleh mulut orang-orang yang tak tahu malu dan jail! Namun kami percaya penuh bahwa cuwi tentu bukan tergolong orang-orang yang jail seperti itu.
“Pernikahan puteri kami dibatalkan dan anggaplah bahwa perkawinan ini tidak jadi diadakan. Kami minta maaf sebanyak-banyaknya kepada cuwi sekalian oleh karena suami saya tidak dapat mengantar cuwi keluar dan tidak dapat menghaturkan maaf sendiri oleh karena suami saya menderita sakit dengan tiba-tiba. Sekali lagi maaf dan banyak-banyak terima kasih kami haturkan atas budi kebaikan cuwi sekalian.”
Semua tamu mendengar suara yang diucapkan dengan halus, tetapi nyaring dan mengandung sindiran yang melarang mereka menyiarkan terjadinya peristiwa itu, tidak ada yang berani membuka mulut dan kemudian mereka pergi seorang demi seorang berpamitan dan meninggalkan tempat itu pulang ke tempat masing-masing. Setelah semua orang pergi, Ong Su dan Ong Bu juga berpamitan sebagai orang-orang yang terakhir.
Ketika menghadapi kedua saudara Ong, yang telah menjadi sahabat baiknya itu, tiba-tiba sikap Giok Lie berubah. Tadi ia bersikap gagah dan tidak mau memperlihatkan kelemahannya terhadap para tamu, akan tetapi sekarang menghadapi kedua saudara Ong yang telah dikenalnya sebagai sahabat-sahabat baik, ia tidak dapat menahan lagi jatuhnya air mata dan menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi!
Ong Bu dan Ong Su saling memandang sambil menghela napas. “Sudahlah jangan terlalu bersedih, toanio,” hibur Ong Su, “hal ini harus kau hadapi dengan tabah dan tenang. Lebih baik segera dapat dibereskan.”
“Benar, toanio. Berduka saja tidak ada artinya bahkan akan merusak semangat dan kesehatan sendiri. Sekarang perkenankanlah kami berdua kembali dulu,” berkata Ong Bu.
Giok Lie mengangkat muka dan mengangguk, bibirnya bergerak menyatakan terima kasihnya. Setelah kedua saudara Ong ini pergi, ia lalu kembali ke kamar suaminya dan ternyata Nyo Tiang Pek telah sadar dari pingsannya dan kini duduk di atas pembaringan sambil menghela napas panjang pendek.
Ketika melihat isterinya masuk, ia lalu berkata dengan tetap, “Isteriku, kita harus segera pergi ke Tit-lee untuk membalas sakit hati ini kepada Cin Han dan Lian Hwa. Kalau kedua orang itu tidak bisa mengajar anak mereka, biarlah kita yang menghajar mereka. Biarlah, betapapun pandai dan lihainya Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, aku Nyo Tiang Pek kalau disinggung kehormatanku, tidak merasa takut dan hendak mengadu jiwa dengan mereka!”
Giok Lie terkejut, lalu dengan gerakan halus duduk di samping suaminya. “Suamiku, di mana ketenanganmu yang dulu, dan jangan melakukan sesuatu menuruti nafsu marah yang sedang menggelombang. Siapa tahu kalau cici Lian Hwa dan suaminya tidak tahu menahu dalam hal ini, hingga kalau kita tiba-tiba muncul sambil marah-marah bukankah kita yang keterlaluan? Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati dan berpikir luas.
“Memang tindakan Lo Sin itu keterlaluan dan terlalu menghina kita, sama sekali tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan oleh pengacauannya itu hingga kita mendapat malu besar. Akan tetapi, bukankah lebih baik kita selidiki secara teliti sebab-sebab yang menjadikan ia bersikap demikian? Dan mengapa pula anak kita sampai lari mengejar Tik Kong sambil membawa pedang? Semua ini terlalu aneh dan membingungkan bagiku, maka lebih baik kita berlaku hati-hati.”
Untuk sejenak Nyo Tiang Pek berdiam saja, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. Kemudian ia menghela napas dan berkata. “Dasar anak kita yang keras kepala! Kita jangan terlalu percaya kepada anak kurang ajar she Lo itu! Memang, kalau kita memikirkan keadaan orang tuanya, kita bisa menjadi lemah. Bukankah kau dan aku sudah tahu sampai habis sikap Tik Kong yang benar-benar jujur dan baik? Sudahlah, kalau kau tidak setuju kita menyerbu ke Tit-lee, sedikitnya aku mau menulis surat tegoran kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong agar mereka mau menyelidiki keadaan putera mereka yang tidak tahu adat itu!”
Giok Lie menghela napas dan ia cukup tahu akan kekerasan hati suaminya. Sedikitnya ia telah berhasil menahan maksud Nyo Tiang Pek yang hendak menyerbu dan mengadu jiwa dengan Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Nyo Tiang Pek lalu membuat sepucuk surat kepada Cin Han dan Lian Hwa. Oleh karena ketika menulis surat itu hatinya masih panas dan marah, maka sudah tentu saja suaranya berbunyi keras dan marah pula. Ia lalu menutup surat itu dan menyuruh seorang kampung untuk segera berangkat ke Tit-lee pada hari itu juga untuk mengantar surat itu kepada Lo Cin Han. Ia bahkan memberi seekor kuda kepada pesuruh itu agar dapat segera sampai di Tit-lee.
Oleh karena mendapat pesan dari Nyo Tiang Pek agar cepat-cepat mengantar surat tanpa banyak menunda perjalanan, maka pesuruh itu lalu membalapkan kudanya menuju ke Tit-lee. Sepekan kemudian, dengan pakaian penuh debu dan lelah sekali, pesuruh itu tiba di Tit-lee lalu menyerahkan surat Nyo Tiang Pek kepada Lo Cin Han suami isteri.
Kebetulan sekali pada waktu itu Lian Hwa dan suaminya sedang duduk di ruang depan dan mereka heran melihat datangnya seorang penunggang kuda. Ketika penunggang kuda itu sudah turun dari kudanya dan menanyakan nama mereka, lalu ia mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Cin Han.
“Terima kasih, akan tetapi saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan taihiap, oleh karena saya setelah memberikan surat ini harus segera kembali tanpa menanti balasan,” jawab penunggang kuda itu yang terus menaiki kudanya kembali dan pergi dari situ.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dan mengangkat pundak karena merasa heran dan tidak mengerti melihat sikap penunggang kuda itu. Keduanya segera ingin sekali mengetahui apakah gerangan isi surat Nyo Tiang Pek. Dibukanya surat itu dan dibaca oleh mereka berdua dengan berbareng.
Alangkah terkejut mereka membaca surat yang keras bunyinya itu sehingga keduanya menjadi merah mukanya dan menahan napas. Bunyi surat itu memang keras sekali.
Saudara Lo Cin Han dan Han Lian Hwa! Kalau sekiranya aku tidak ingat bahwa kalian adalah sahabat-sahabat baikku dan kalau saja isteriku tidak mencegahku, mungkin bukan surat ini yang kini berada di hadapan kalian, akan tetapi aku sendiri dengan pedang di tangan!
Seperti kalian ketahui, kami merayakan hari perkawinan anak kami Lee Ing, dan kalian pun sudah kami undang, sungguhpun kalian tidak mau datang menjenguk. Hal ini bukan apa-apa dan aku takkan merasa menyesal sedikitpun, akan tetapi ketahuilah bahwa pada saat perayaan perkawinan dilakukan, tiba-tiba datang seorang pemuda yang mengacaukan pesta dan mengandalkan kepandaiannya menghina kami sekeluarga!
Tahukah kalian apa yang dilakukan oleh pemuda itu? Ia memaksa hendak membunuh mati calon mantuku! Bahkan ia telah berani menghadapi dan bertempur dengan aku, bahkan telah menyerang pula saudara Ong Bu dan Ong Su, kawan-kawan lama kita itu! Entah apa yang terjadi antara pemuda itu dengan calon mantuku yang bernama Lui Tik Kong, akan tetapi menurut penuturan Tik Kong pemuda itu adalah seorang perampok jahat!
Hal ini aku belum dapat membuktikan kebenarannya. Akan tetapi yang sudah pasti dan terbukti ialah bahwa pemuda itu benar-benar kurang ajar, tidak memandang mata kepada kami dan bahkan menghina kami, membuat kami malu dan mencemarkan nama keluarga kami.
Dengan pengacauannya yang kurang ajar itu perkawinan menjadi batal, calon mantuku melarikan diri, karena takut, bahkan anak perempuanku juga melarikan diri sehingga sekarang belum kembali. Sayang kami tidak dapat membekuk batang leher pemuda pengacau itu!
Dan tahukah kalian siapa orang muda tak tahu adat itu? Dia bukan lain adalah puteramu! Dia adalah Lo Sin, yang mengandalkan kepandaian dan mungkin mengandalkan nama orang tuanya untuk menghina aku, Nyo Tiang Pek. Kalian tentu mengerti bahwa aku marah dan menyesal kepadamu berdua. Tak dapatkah kalian mengajar adat kepada anakmu itu?
Dengan terjadinya peristiwa yang mencemarkan nama keluarga kami itu, mulai sekarang aku tidak menganggap keluargamu sebagai kawan lagi dan harap kalian menjaga jangan sampai bertemu dengan Nyo Tiang Pek, oleh karena pertemuan itu hanya akan diakhiri dengan pertumpahan darah kita! Sekian dan harap maklum!
Dari aku,
Nyo Tiang Pek
Dapat dimengerti bahwa bunyi surat itu membuat wajah kedua suami isteri ini merah sampai ke telinga. Mereka heran, bingung, marah dan menyesal sekali. Bahkan tangan Cin Han yang memegang surat itu sampai menggigil.
Sampai tiga kali mereka berdua membaca isi surat itu seakan-akan tidak percaya kepada mata sendiri, akan tetapi makin sering dibaca makin memerahkan telinga. Cin Han yang biasanya lebih sabar saja tidak kuat menahan marahnya, apalagi Ang Lian Lihiap yang terkenal keras hati.
“Brakk!!” tiba-tiba meja di depan nyonya ini roboh dan remuk berkeping-keping terkena pukulan tangan Ang Lian Lihiap. “Nyo Tiang Pek! Kau orang tua tak tahu diri! Makin tua kau tidak makin bijaksana, sebaliknya kau berpemandangan sempit dan berotak gelap! Apakah kau kira aku Ang Lian Lihiap takut kepadamu?”
Muka yang cantik itu merah bagaikan kepiting direbus sedangkan kedua tangannya mengepal tinju. Sepasang matanya bersinar-sinar memandang ke arah jauh tanpa berkedip, seakan-akan pada saat itu Nyo Tiang Pek berdiri di depannya.
“Sabar, sabar, isteriku! Tenanglah kau!”
“Sabar? Kau kata aku masih harus bersabar sedangkan orang seperti si Garuda Kuku Emas itu menghina kita?? Apakah kau belum dapat mengerti atau menduga akan timbulnya peristiwa yang ia sebutkan itu? Sudah jelas bahwa calon mantunya adalah Lui Tik Kong, murid murtad dari Kong-twako yang membunuh dan menganiaya gurunya sendiri, seorang pemuda palsu dan durhaka.
"Maka ketika Sin-ji mencari-cari dan mendapatkan jejaknya, lalu mengetahui bahwa Tik Kong berada di tempat Nyo-twako dan bahkan akan dipungut mantu, tentu saja Sin-ji merasa marah dan hendak menghalangi perkawinan itu untuk menolong puteri Nyo-twako dan juga untuk membinasakan bangsat she Lui itu.
“Akan tetapi, agaknya mata Nyo Tiang Pek telah menjadi buta, tidak dapat melihat mana yang benar mana yang salah dan bahkan menyangka anak kita itu perampok dan pengacau. Ah, sungguh terlalu! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian tua bangka she Nyo itu!” Sambil berkata demikian cepat sekali tangan Han Lian Hwa mencabut pedang yang akhir-akhir ini selalu dipakainya setelah terjadi penyerbuan Hek Li Suthai.
Cin Han terkejut melihat ini. Ia mengangkat kedua tangannya dan berkata. “Eh, eh, kau mencabut-cabut pedang segala ini mau apakah?”
“Hendak kulihat kelihaian orang she Nyo yang telah menghina dan mencaci maki anakku yang berarti ia menghina aku sendiri!”
“Sabar, sabar! Nyo-twako tidak berada di sini, mengapa kau mengamuk tidak karuan dan mencabut pedang? Sadarlah isteriku, kalau dilihat orang dari luar, dikira kau marah-marah dan mencabut pedang hendak menikam aku!”
Cin Han mencoba untuk meredakan kemarahan isterinya dengan berkelakar. Ia telah dapat menekan kemarahannya dan dapat pula berlaku tenang, oleh karena ia yakin bahwa di sini tentu telah terjadi kesalah pahaman. Setelah dihibur-hibur suaminya, Lian Hwa mulai sabar dan memasukkan kembali Kong-hwa-kiam di sarung pedangnya.
“Marilah kita bicarakan dengan kepala dingin!” kata Cin Han sambil menarik tangan isterinya untuk duduk di sampingnya. “Jangan kita meniru-niru Nyo-twako yang tidak dapat menahan marahnya itu. Kita bukanlah anak-anak kecil yang sedikit-sedikit lalu menjadi marah tidak karuan. Kita cukup tahu bahwa Nyo-twako tidak biasanya menghina orang, apalagi kepada kita yang menjadi kawan baiknya.”
“Tidak ingatkah kau akan surat undangan itu?” tiba-tiba Lian Hwa yang masih panas hatinya itu memotong bicaranya. “Semenjak semula pun Nyo-twako telah memandang rendah kepada kita! Kita dengan baik-baik melamar puterinya, akan tetapi ia tidak perduli sama sekali, bahkan menjawabpun tidak! Tahu-tahu ia mengirim surat undangan dan memberitahukan bahwa puterinya hendak dikawinkan dengan orang lain tanpa menyebut-nyebut perihal peminangan kita.
“Bukankah itu sudah cukup menghina? Kita sudah cukup bersabar dan tidak menyatakan penyesalan kita, akan tetapi sekarang ia menulis surat macam ini, memaki-maki anak kita! Kau masih mau bilang bahwa Nyo Tiang Pek tidak biasa menghina orang? Suamiku, kesabaran ada batasnya dan kalau kau memaksa-maksa aku supaya bersabar menghadapi penghinaan yang berkali-kali ini, jantungku bisa meledak!”
Cin Han memegang tangan isterinya dengan mesra dan tersenyum. “Jangan isteriku. Kalau jantungmu meledak, siapa yang akan susah selain suamimu?”
Akan tetapi Lian Hwa menarik tangannya dan cemberut. “Memang sikap Nyo-twako yang tidak menjawab surat lamaran kita itu sangat keterlaluan dan hal itu perlu penjelasan sejujurnya apabila kita bertemu dengan mereka. Aku akan bertanya kepadanya secara laki-laki dan secara sahabat baik. Adapun peristiwa yang terjadi dengan Sin-ji inipun perlu pula diselidiki lebih jauh. Mungkin Sin-ji yang ketularan adat keras darimu, tidak dapat menahan marah melihat Tik Kong sehingga berlaku kasar di depan Nyo-twako.
“Harus diingat bahwa pengacauan yang dilakukan oleh Sin-ji untuk menangkap Tik Kong itu telah membatalkan perkawinan anak mereka, dan tentu saja mereka menjadi malu sekali! Hal ini harus kita pertimbangkan masak-masak dan baiklah kita menanti sampai Sin-ji datang kembali untuk ditanya bagaimana duduknya peristiwa yang sebenarnya.”
Di dalam, hatinya, Lian Hwa mengakui kebenaran pandangan suaminya ini, maka hatinyapun menjadi agak sabar, akan tetapi mulutnya tetap mengomel.
“Mengapa Sin-ji tidak membiarkan saja? Biarlah, biar Nyo Tiang Pek tahu rasa dan mendapatkan seorang menantu bajingan, besar!”
“Sttt, isteriku, apakah kau tidak kasihan kepada mereka? Apakah kau tidak ingat kepada Giok Lie yang begitu mencintaimu? Ingatlah, surat itu ditulis oleh Nyo-twako, bukan oleh Giok Lie. Mungkin sekali pada saat ini Giok Lie sedang menangis sedih menyesalkan sikap suaminya dan ia sedang terkenang kepadamu.”
Mendengar disebutnya nama Giok Lie, tiba-tiba Lian Hwa lalu menjatuhkan mukanya di pundak suaminya dan menangis terisak-isak.
“Giok Lie.... kasihan kau, Giok Lie ,” keluhnya dengan suara perlahan.
“Nah, nah, kau sekarang menangis! Kau mengingatkan daku akan Ang Lian Lihiap, gadis jelita yang bisanya hanya dua macam saja itu, yakni menangis dan marah-marah!” kata Cin Han sambil mengusap-usap rambut isterinya.
Setelah agak reda tangisnya, Lian Hwa lalu berkata kepada Cin Han. “Kita tidak boleh mendiamkan hal ini begini saja oleh karena rasa tidak enak hati dan permusuhan akan makin mendalam. Lebih baik sekarang juga kita berangkat ke Bong-kee-san mencari Nyo-twako untuk menjelaskan dan membereskan semua perkara ini dengan damai,” katanya dengan suara perlahan.
Cin Han mengangguk. “Demikian pula pendapatku. Biarpun Nyo-twako telah mengeluarkan ancaman, akan tetapi jalan satu-satunya untuk membikin terang perkara yang ruwet ini hanyalah menjumpainya dan bicara dari hati ke hati sebagai sahabat-sahabat lama.”
Tiba-tiba pada saat itu, dari pintu luar berkelebat masuk bayangan orang dengan gesitnya dan terdengar seruan seorang wanita dengan suara nyaring.
“Lian Hwa cici, tolonglah kami!”
Cin Han dan Lian Hwa terkejut sekali dan serentak bangkit dari tempat duduk mereka. “Mei Ling kau kenapakah?” tanya Han Lian Hwa sambil memandang kepada seorang gadis cantik yang berusia kurang lebih duapuluh lima tahun dan yang segera menubruk dan memeluknya dengan menangis.
Juga Cin Han terkejut sekali. “Mei Ling duduklah dengan tenang dan ceritakan mengapa kau datang-datang menangis dengan sedih.”
Gadis ini adalah seorang dara pendekar yang berilmu silat tinggi. Namanya Song Mei Ling, dan dia ini bukan lain adalah cucu dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan yang menjadi guru Han Lian Hwa. Oleh karena Mei Ling juga menjadi murid neneknya, maka Lian Hwa boleh dibilang adalah sucinya (kakak seperguruan).
Song Cu Ling atau Dewi Tanpa Bayangan adalah seorang li-hiapkek yang terkenal sekali di waktu masih hidup. Akan tetapi nasibnya malang dan ia ditinggal mati suami dan puteranya yang meninggalkan sepasang anak kembar, yakni cucunya yang bernama Kong Liang dan Mei Ling, sepasang anak kembar laki perempuan.
Oleh karena ayah kedua anak ini telah meninggal, maka Song Cu Ling memberi she Song kepada mereka, dan ia menggunakan seluruh kepandaiannya untuk mendidik kedua anak kembar ini hingga menjadi sepasang hiap-kek yang berkepandaian tinggi.
Kakak beradik ini setelah ditinggal mati oleh nenek mereka, lalu hidup sebagai perantau-perantau yang seringkali menolong sesama hidup hingga terkenal sebagai sepasang pendekar budiman. Lian Hwa dan suaminya sudah sering kali minta supaya kedua anak yatim piatu ini tinggal saja bersama mereka.
Akan tetapi Kong Liang dan Mei Ling tidak mau, bahkan ketika mereka mengunjungi Nyo Tiang Pek Coa Giok Lie yang juga terhitung suci mereka, keluarga Nyo minta mereka di Bong-kee-san, akan tetapi keduanya lebih suka melakukan pengembaraan berdua.
Anehnya sepasang anak kembar ini tidak mau kawin, agaknya mereka ini belum menemukan jodoh yang cocok sehingga pada waktu itu Kong Liang telah berusia duapuluh lima tahun, demikianpun adiknya, dan mereka masih tinggal membujang. Seringkali keduanya datang mengunjungi Lian Hwa untuk beberapa hari, kemudian pergi lagi merantau, bagaikan dua ekor burung yang bebas lepas di udara tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.
Oleh karena belum pernah sekali juga melihat Mei Ling datang seorang diri, maka Lian Hwa lalu bertanya, “Mei Ling, mengapa kau datang seorang diri? Mana Kong Liang?”
Mendengar nama kakaknya disebut, kembali Mei Ling mengalirkan air mata, sehingga Lian Hwa memandang wajah yang cantik itu dengan khawatir. “Mei Ling, lekas ceritakan apakah yang telah terjadi?”
“Cici Lian Hwa, kami mendapat kecelakaan. Kami telah bertemu dengan si iblis wanita Hek Li Suthai dan muridnya yang bernama Bi Mo-li. Ketika mereka tahu bahwa Liang-ko dan aku adalah murid dan cucu Song Cu Ling, mereka lalu menyerang kami. Akan tetapi kami berdua berhasil memukul mundur mereka. Tidak tersangka sama sekali, pada malam harinya mereka kembali bersama seorang pendeta tua sekali yang kedua lengan tangannya buntung.”
“Bong Cu Sianjin!” kata Lian Hwa dan Cin Han dengan suara berbareng dan kaget sekali.
“Benar, pendeta itu adalah Bong Cu Sianjin yang dulu pernah menjadi ketua Pek-lian-kauw yang dipecahkan oleh cici dan kawan-kawan lain, termasuk pula nenek kami itu. Biarpun kedua lengan tangannya telah buntung, akan tetapi Bong Cu Sianjin ini lihai sekali. Setelah bertempur mati-matian, akhirnya Liang-ko terkena tendang olehnya sehingga mendapat luka parah pada dadanya.”
Lian Hwa dan Cin Han terkejut. “Dan di mana sekarang kakakmu itu berada?” tanya Cin Han penuh hati khawatir.
“Liang-ko kusembunyikan dalam sebuah kelenteng dan dirawat oleh kepala hwesio di kelenteng itu. Setelah Liang-ko kena tendang, aku berhasil menolong dan melarikannya di dalam gelap, sedangkan Bong Cu Sianjin lalu berkata menantang Song Cu Ling, cici dan cihu berdua, Nyo-twako berdua dan semua orang yang pernah menyerbu dan menghancurkan Pek-lian-kauw.”
“Bangsat tua Bong Cu sombong sekali,” Ang Lian Lihiap memaki. “Apakah ia mengatakan di mana ia menantang kita?” tanya Cin Han yang juga merasa gemas.
“Ya, dia mengatakan bahwa dia menanti kita di Bukit Hoa-mo-san.”
“Hm, tentu Lan Bwee Niang-niang masih berada di sana. Agaknya Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa) itu masih belum mengubah sifatnya!” kata Cin Han lagi.
“Marilah kita mengunjungi Kong Liang untuk melihat keadaannya. Kemudian kita pergi ke Hoa-mo-san untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Ang Lian Lihiap yang tabah dan keras hati.
Cin Han menghela napas. “Belum juga urusan pertama kita bereskan, datang lagi urusan kedua.”
“Biarlah, urusan dengan Nyo-twako kita tunda dulu dan menengok Kong Liang serta membalaskan sakit hatinya lebih penting lagi.”
Inilah sifat Ang Lian Lihiap, selalu mementingkan keperluan orang lain dan membelakangkan keperluan sendiri. Apalagi, pendekar wanita ini memang sayang sekali kepada Kong Liang dan Mei Ling yang ia anggap sebagai adik-adiknya sendiri.
Setelah mengadakan persiapan, Lian Hwa dan Cin Han lalu berangkat bersama Mei Ling hari itu juga, pergi ke kelenteng di mana Mei Ling menyembunyikan Kong Liang untuk diobati dari luka di dalam dadanya.
Memang benar dugaan Cin Han suami isteri dan keterangan Mei Ling. Pertapa buntung yang lihai dan melukai Kong Liang itu adalah seorang pertapa tua yang tinggi ilmu kepandaiannya dan bernama Bong Cu Sianjin.
Bong Cu Sianjin dulu pernah mendirikan perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan oleh karena perkumpulan ini diperalat oleh kaisar yang hendak mengadu domba dan membasmi para enghiong dan anak buah Pek-lian-kauw banyak yang melakukan kejahatan mengandalkan pengaruh perkumpulan dan kepandaian mereka, maka perkumpulan ini lalu bentrok dengan Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong dan kawan-kawannya.
Ketika itu suami-isteri ini masih muda, bahkan kawin, mereka berdua bersama Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Ong Su dan Ong Bu Sepasang Naga dari Tit-lee dan dengan bantuan para locianpwe yang luar biasa seperti Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan guru Lian Hwa, Gwat Liang Tojin guru Cin Han, bahkan akhirnya mendapat bantuan dari seorang pertapa sakti setengah dewa yang bernama Beng San Siansu yang akhirnya menjadi guru suami isteri Lo Cin Han dan Han Lian Hwa.
Mereka semua ini naik ke sarang Pek-lian-kauw dan di situ terjadi pertempuran-pertempuran yang luar biasa hebatnya dan yang berakhir dengan runtuhnya Pek-lian-kauw. Di dalam pertempuran hebat ini pulalah Bong Cu Sianjin kehilangan kedua lengan tangannya hingga menjadi buntung. Ia lalu ditolong oleh kakak seperguruannya yang bernama Lan Bwee Niang-niang dan berjuluk Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa) dan yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada Bong Cu Sianjin.
Tentu saja kekalahan-kekalahan hebat ini membuat Bong Cu Sianjin dan Lan Bwee Niang-niang menjadi sakit hati. Bong Cu Sianjin dibawa oleh sucinya ini ke atas puncak Gunung Hoa-mo-san dan di situ ia mendapat rawatan sehingga luka-lukanya sembuh. Biarpun kedua lengannya telah buntung, akan tetapi karena dorongan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya, Bong Cu Sianjin tiada bosannya melatih diri, bahkan ia melatih kedua kakinya yang menjadi anggauta yang kini amat diandalkan oleh karena ia tidak berlengan lagi.
Ia melatih bermacam-macam ilmu tendangan yang hebat-hebat hingga ilmu kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada dulu sebelum lengannya buntung! Kini tenaga lweekangnyapun makin kuat dan seluruh tenaganya dikumpulkan pada dua kakinya.
Lan Bwee Niang-niang sebetulnya sudah kapok dan bosan mengurus urusan dunia yang selalu mendatangkan kecewa dan duka, maka urusan sakit hati ini tidak terlalu mendalam menggores hatinya. Pertapa yang berkepandaian tinggi ini mengerti bahwa ia telah makin tua dan dalam usianya yang tua ia tidak mau mencari perkara dan bertempur.
Oleh karena itu, ia lalu menerima seorang murid yang berbakat dan ia melatih murid ini menjadi seorang yang lihai sekali. Muridnya ini bukan lain ialah Hek Li Suthai yang berkepandaian tinggi. Juga Bong Cu Sianjin menerima seorang murid lelaki. Akan tetapi berbeda dengan Hek Li Suthai yang sudah berusia tinggi juga, murid Bong Cu Sianjin ini adalah seorang pemuda yang berusia paling banyak duapuluh enam tahun dan belum kawin.
Pemuda ini bernama Yap Bun Gai dan berasal dari keluarga tani. Oleh karena pemuda ini berbakat baik, maka Bong Cu Sianjin lalu menerimanya sebagai murid dan menurunkan seluruh kepandaiannya. Ketika mula-mula diterima menjadi murid Yap Bun Gai baru berusia limabelas tahun.
Yap Bun Gai ini selain berwajah tampan gagah dan bertubuh tinggi besar, juga ia mempunyai pikiran yang baik dan hati yang jujur. Juga ia amat setia kepada suhunya, oleh karena ia memang kasihan sekali melihat kakek berilmu tinggi yang buntung ini. Baik Bong Cu Sianjin, maupun Lan Bwee Niang-niang, mendidik kedua orang murid itu dengan sungguh-sungguh dan dengan maksud agar supaya murid-murid ini mewakili mereka membalas sakit hati kepada musuh-musuhnya.
Oleh karena kepandaian Hek Li Suthai telah tinggi, maka Lan Bwee Niang-niang lalu menuturkan siapa adanya musuh-musuhnya yang harus dibalas oleh murid ini, bahkan ia lalu memerintahkan muridnya ini untuk turun gunung dan pergi menyelidiki di mana adanya musuh-musuhnya itu.
Sedangkan Bong Cu Sianjin yang memang seorang berpikiran licin dan pintar, biarpun kepandaian Bun Gai tidak lebih rendah daripada Hek Li Suthai, namun kakek buntung ini tidak mau melepaskan Bun Gai pergi lebih dulu. Bong Cu Sianjin hendak mendengar dulu keadaan musuh-musuhnya dari Hek Li Suthai, kalau to-kouw ini sudah kembali. Oleh karena itu ia tidak mau menyuruh muridnya turun gunung untuk kemudian dikalahkan oleh musuh-musuhnya!
Maka Yap Bun Gai belum mengerti tentang sakit hati dan usaha pembalasan dendam dari gurunya ini. Pemuda ini selain mencintai dan kasihan kepada gurunya, juga ia taat dan takut sekali, maka iapun tidak berani banyak bertanya. Beberapa hari yang lalu, Hek Li Suthai dan muridnya yang bernama Bi Mo-li dengan cepat naik ke atas puncak Hoa-mo-san.
Sambil menangis Hek Li Suthai menceritakan kepada gurunya bahwa ia bertemu dengan sepasang saudara kembar yang bernama Kong Liang dan Mei Ling di sebuah dusun di kaki bukit Hoa-mo-san ini. Karena ia mendengar bahwa kedua saudara kembar ini adalah adik-adik seperguruan Ang Lian Lihiap, maka ia segera menyerangnya, akan tetapi sungguh celaka, kedua saudara kembar itu terlampau tangguh dan ia tidak kuat melawannya.
Pada saat itu, Lan Bwee Niang-niang tengah duduk bercakap-cakap dengan sutenya, yakni Bong Cu Sianjin. Mendengar kekalahan muridnya, pendeta wanita yang kini sudah banyak sabar ia tersenyum dan berkata.
“Ceng Hwa mengapa kau begitu bersedih hanya oleh karena sebuah kekalahan saja? Ketahuilah bahwa kepandaian manusia memang tidak ada batasnya, siapa yang pandai tentu ada orang lain yang melebihinya. Kau kalah dengan murid-muridnya Song Cu Ling? Jangan kau bersedih, sekarang jangan kau kembali merantau. Kau tinggal saja di sini untuk menerima pelajaran-pelajaran baru. Kutanggung dalam beberapa bulan saja kepandaianmu akan meningkat dan kau takkan dapat dikalahkan oleh murid-murid Song Cu Ling.”
Akan tetapi, Bong Cu Sianjin yang mendengar tentang kekalahan murid keponakannya dan bahwa dua murid Song Cu Ling berada di bawah gunung, segera mengajak Hek Li Suthai untuk melihat sendiri sampai di mana kehebatan murid-murid Song Cu Ling itu! Lan Bwee Niang-niang tak dapat mencegah sutenya, hanya tertawa melihat betapa sutenya itu masih saja berdarah panas!
Demikianlah, ketika Bong Cu Sianjin dengan diantar oleh Hek Li Suthai dan Bi Mo-li turun gunung dan bertemu dengan Kong Liang dan Mei Ling, akhirnya mereka bertempur dan tentu saja Kong Liang dan Mei Ling tidak kuat melawan Bong Cu Sianjin yang berilmu tinggi hingga akhirnya Kong Liang kena ditendang oleh kaki Bong Cu Sianjin yang, lihai dan dahsyat!
Baiknya Mei Ling dapat menolong dan membawa lari kakaknya dan berkat ginkangnya yang tinggi ia dapat menghilang di dalam kegelapan malam hingga mereka berdua tak sampai dibinasakan oleh tangan musuh-musuh mereka itu...!