Si Walet Hitam Jilid 08
Melihat sekelebatan saja, orang akan dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pendekar perantau yang memiliki ilmu kepandaian silat. Oleh karena itu, banyak mata memandangnya dengan kagum, karena memang Lo Sin kelihatan gagah dan cakap sekali.
Apalagi karena ia menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar itu, hingga kuda dan penunggangnya merupakan pasangan yang sedap dipandang dan menimbulkan kagum. Ketika Lo Sin melompat turun dari kudanya dan memberikan kuda itu kepada pelayan rumah penginapan, ia tidak tahu bahwa banyak pasang mata memandang kudanya dengan kagum dan iri.
Lo Sin lalu memilih sebuah kamar dan setelah makan malam, ia lalu beristirahat. Malam hari itu menjelang pagi, tiba-tiba Lo Sin dikejutkan oleh suara kudanya meringkik keras. Ia mengenal suara kuda Pek-liong-ma, maka cepat ia membereskan pakaiannya melompat keluar, langsung menuju ke kandang kuda.
Alangkah terkejutnya ketika mendapat kenyataan bahwa kudanya telah lenyap dari tempat itu! Lo Sin cepat melompat ke atas genteng memperhatikan sekeliling tembok itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kudanya dari jauh, di arah selatan, maka ia lalu cepat melompat turun lagi bagaikan seekor burung walet hitam melayang, lalu berlari mengejar!
Ia merasa marah sekali. Siapakah yang begitu kurang ajar berani mencuri kudanya? Dengan mengerahkan ilmu berlari cepat, Lo Sin mengejar ke arah suara itu, karena gin-kangnya memang sudah mencapai tingkat tinggi, sebentar saja ia telah hampir menyusul. Ia mendengar suara kaki kuda berlari cepat di sebelah depan, dan diantara kabut tebal ia melihat bayangan orang-orang berkuda dengan cepat sekali meluncur ke depan!
“Pencuri kuda yang hina dina?” Lo Sin menegur dan memaki, “Kalian hendak berlari ke mana?”
Melihat bahwa di belakang mereka terdapat seorang pemuda yang berlari luar biasa cepatnya mengejar, ketiga orang penunggang kuda itu lalu memecut kuda masing-masing dan membalap makin cepat. Lo Sin melihat bahwa kudanya berada di tengah-tengah, ditunggangi oleh seorang yang bertubuh tinggi kurus, sedangkan dua orang lain yang menunggang kuda di kanan kiri berpakaian sebagai pelayan-pelayan pembesar.
“Hai, berhenti!” Lo Sin menegur lagi akan tetapi ketiga orang itu bahkan mempercepat jalannya kuda dan kini mereka menghampiri sebuah benteng yang menghadang di depan!
Kuda Pek-liong-ma yang ditunggangi orang kurus itu maju lebih dulu dan masuk melalui pintu gerbang benteng yang terbuka, sedangkan dua orang yang berpakaian pelayan itu menanti di depan pintu benteng sambil memutar tubuh kuda mereka. Ketika Lo Sin datang dekat, mereka berdua membentak.
“Kau ini siapakah dan mengapa berani lancang mengejar kami sampai ke benteng kami? Apakah kau tidak tahu bahwa benteng ini adalah markas tentara?”
Lo Sin tercengang dan juga marah sekali. “Tak perduli tempat apa adanya ini, akan tetapi siapakah yang berani mencuri kudaku tadi? Hayo suruhlah dia keluar dan membawa kudaku untuk dikembalikan kepadaku!”
Seorang diantara mereka tersenyum mengejek dan berkata. “Jangan sembarang menuduh orang, kawan. Tahukah kau siapa orang kurus yang kami iringkan tadi? Dia adalah Hwee-ma-ong (Raja Kuda Terbang) yang terkenal kaya dan memiliki banyak sekali kuda baik. Mana dia mau melihat kudamu?”
Lo Sin terkejut dan tercengang. Ia pernah mendengar nama Hwee-ma-ong ini yang bernama Lie Cit Un, seorang hartawan besar yang terkenal sekali karena kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi juga terkenal sebagai pemilik kuda-kuda bagus hingga kaisar sendiri sampai memesan kuda dari hartawan ini. Akan tetapi, iapun maklum bahwa Raja Kuda Terbang ini tak segan-segan untuk mencuri kuda baik apabila ia tidak bisa mendapatkannya dengan jalan baik.
“Siapa adanya dia. Hwee-ma-ong si Raja Kuda Terbang, maupun Raja Kuda Setan, ia harus keluar dan mengembalikan kudaku.”
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam benteng keluarlah banyak sekali anggauta tentara yang segera menerjang keluar dan mengeroyok Lo Sin. Pemuda ini menjadi marah sekali dan ia lalu memutar pedangnya menangkis serangan ini. Terdengar seruan-seruan kaget karena sekali saja ia memutar-mutar pedangnya, beberapa buah golok dan pedang para pengeroyoknya telah terbabat putus.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menyuruh semua perajurit mundur dan dari pintu gerbang itu melompat keluar seorang perwira tinggi besar seperti raksasa dengan pedangnya yang besar mengerikan di tangan perwira yang bukan lain orang adalah Can Kok In sendiri ini, lalu membentak sambil memutar-mutar sepasang matanya yang lebar.
“Eh, eh, orang gagah darimanakah datang-datang membikin kacau di bentengku??”
Sebelum Lo Sin dapat menjawab, dari pintu gerbang itu keluar pula seorang tinggi kurus berwajah pucat kuning dan ia kenali orang ini sebagai penunggang kudanya tadi. Maka ia lalu menuding kepada orang itu. “Kaukah yang bernama Lie Cit Un berjuluk Raja Kuda Terbang dan yang telah mencuri kudaku?”
Lie Cit Un tertawa bergelak sambil mencabut keluar pedangnya. “Bangsat bermulut lancang. Apa buktinya kau berani menuduh aku sebagai pencuri kudamu?”
Juga Can Kok In merasa heran mendengar ini, lalu berkata. “Jangan sembarangan menuduh. Orang ini adalah Lie-wangwe yang menjadi sahabat baikku dan tak mungkin ia mencuri kuda. Ketahuilah, ia ini adalah seorang pemilik banyak kuda-kuda jempolan, mana ia sudi mencuri kudamu?”
Lo Sin merasa kurang baik untuk berlaku kasar, maka sambil menekan kemarahannya, ia berkata. “Kuda yang kau tunggangi itu adalah kudaku Pek-liong-ma yang kau curi dari rumah penginapan.”
“Gila!” teriak Si Raja Kuda Terbang. “Kuda itu adalah kudaku sendiri!” lalu ia memberi tanda kepada dua orang pelayannya tadi untuk mengambil kuda itu.
“Coba ambil kuda putihku itu ke sini!”
Dua orang pelayan itu lalu berlari ke dalam dan tak lama kemudian mereka menuntun kuda putih yang Lo Sin kenali bukan lain adalah kudanya sendiri.
“Nah, kau lihatlah, apakah tandanya bahwa kuda ini kudamu?” Si kurus menantang.
Lo Sin tersenyum. “Jangan kau pergunakan akal bangsat. Kuda ini adalah kudaku dan ia tentu menurut segala omonganku. Lihat!” Lo Sin lalu berkata kepada kudanya itu. “Pek-liong! Kau ke sinilah!”
Akan tetapi aneh, kuda itu hanya menggunakan kaki depannya untuk mencakar-cakar tanah hingga debu mengebul, akan tetapi tidak menurut perintah Lo Sin. Pemuda ini membelalakkan mata dengan heran sekali. Belum pernah kudanya ini membantah perintahnya. Ia memandang lagi dengan penuh perhatian dan ternyata bahwa kuda ini benar-benar adalah kudanya Pek-liong-ma.
“Pek-liong! Siapa yang mengganggumu? Berlututlah!”
Akan tetapi kuda itu tetap berdiam dan menggaruk-garuk tanpa memperdulikan suara perintah Lo Sin.
“Ha-ha-ha!” Lie Cit Un tertawa geli. “Maling kecil, jangan kau memperlihatkan lelucon busuk di sini. Terang bahwa kuda itu tidak menurut perintahmu. Bukti apa lagi yang dapat kauperlihatkan bahwa kuda ini benar-benar kudamu?”
Can Kok In juga memandang marah. “Sobat, kau seorang berpakaian begini indah dan sikapmu gagah. Mengapa kau tidak malu mengaku kuda orang lain sebagai kudamu?”
Lo Sin menjadi pucat dan serba salah. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa Pek-liong-ma kali ini tidak mau mentaati perintahnya. Ia lalu berkata. “Entah apa yang terjadi dengan kudaku ini. Akan tetapi, orang she Lie. Kau berkukuh mengaku bahwa kudaku ini adalah kudamu, apa pula tanda-tandanya?”
“Ha-ha-ha! Kau hendak mempergunakan senjata yang kukeluarkan? Aku tidak sedungu kau, sobat. Lihatlah ini!”
Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah paha kiri kuda putih itu dan Lo Sin menjadi terkejut dan marah sekali ketika melihat bahwa kulit paha kuda itu terdapat tanda cap huruf “Lie”, tanda yang selalu terdapat pada paha semua kuda milik Lie Cit Un.
Pemuda ini memandang terheran-heran. Bagaimanakah hal ini bisa terjadi? Mengapa kudanya telah mempunyai tanda cap itu dan mengapa pula Pek-liong-ma tidak mau menurut perintahnya? Ia memutar-mutar otak, akan tetapi tidak mendapat jawaban.
Tentu saja ia tidak berdaya menghadapi Lie Cit Un, penggemar dan pemelihara kuda yang telah berpengalaman dan mempunyai banyak sekali akal bulus itu. Kuda Pek-liong-ma dicap olehnya pada saat ia mencurinya dari rumah penginapan itu dan karena ia memang mahir sekali dalam hal menjinakkan kuda, maka ia mempunyai semacam obat yang apabila dimakan oleh seekor kuda, binatang itu menjadi jinak dan penurut. Obat ini pulalah yang membuat Pek-liong-ma lupa akan suara perintah majikannya.
“Bangsat, kau telah menyihir kudaku tiba-tiba Lo Sin berkata sambil menggerakkan pedangnya. Akan tetapi pedang panjang besar di tangan Can Kok In berkelebat dan menangkis pedangnya hingga Lo Sin terkejut karena tenaga perwira raksasa itu benar-benar mengagumkan. Ia hendak mengamuk, akan tetapi, merasa bahwa ia tentu akan dianggap keterlaluan karena sudah nyata bahwa kuda itu ada tanda-tanda memang benar milik orang she Lie.
Tiba-tiba Can Kok In dapat melihat perhiasan burung walet hitam di kepala Lo Sin. Matanya yang sudah lebar itu makin melebar dan ia lalu berkata, “Hai! Bukankah kau ini si Walet Hitam?”
Ketika Lo Sin mengangguk, Can Kok In melanjutkan. “Aneh. Aku mendengar bahwa Ouw-yan-cu si Walet Hitam adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi tidak tahunya ia sekarang datang mengacau bentengku dan hendak merampas kuda orang. Bukankah ini aneh sekali? Atau, barangkali kau ini Ouw-yan-cu palsu?”
Lo Sin menjadi serba salah dan maklum bahwa keadaan makin sulit. Hendak menggunakan kekerasan, selain menghadapi banyak lawan tangguh dan keroyokan ratusan tentara, juga ia merasa betapa pihaknya akan mendapat kesan buruk sekali. Peristiwa ini tentu akan tersebar luas dan nama Walet Hitam akan menjadi rusak sebagai seorang maling kuda hina dina.
Ia lalu menjura kepada Can Kok In dan berkata. “Maafkanlah semua kekasaranku tadi. Mungkin aku telah keliru sangka dan mungkin sekali kuda ini memang mempunyai persamaan luar biasa dengan kudaku yang hilang. Nah, selamat tinggal!”
“Ouw-yan-cu, nanti dulu! Telah lama aku mengagumi namamu, maka sudilah kau mampir sebentar agar kita bisa bercakap-cakap sambil minum arak!” teriak Can Kok In.
Akan tetapi, Lo Sin yang merasa amat malu, penasaran dan menyesal itu tentu saja tidak sudi menerima undangan ini. Sambil mengucapkan terima kasih, tubuhnya lalu berkelebat cepat dan meninggalkan tempat itu.
“Sayang…” kata Can Kok In sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar, “aku ingin sekali mencoba kepandaiannya.”
Mereka lalu menutup pintu benteng dan kembali ke dalam benteng untuk menjamu tamunya yang baru datang, yakni Lie Cit Un si Raja Kuda Terbang!
Dengan tubuh terasa lemas, Lo Sin meninggalkan benteng itu. Hatinya berduka dan pikirannya kacau balau. Ia amat sayang kepada kudanya dan kini tahu-tahu kuda itu lenyap, atau bukan lenyap melainkan berubah hebat sekali. Ia tidak merasa ragu-ragu lagi bahwa kuda yang berada di dalam benteng itu pasti kudanya Pek-liong-ma, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti mengapa kudanya bisa berubah seperti itu!
Sementara itu, fajar telah berganti pagi dan dengan hati tidak karuan dan pikiran ruwet, Lo Sin berjalan sambil menundukkan kepala. Ia berjalan perlahan dan tiba-tiba ia menahan tindakan kakinya. Ia teringat akan sesuatu dan wajahnya yang tampan itu berseri menyinarkan harapan baru. Mengapa ia begitu bodoh dan tidak ingat akan hal ini? Ia harus mempergunakan sulingnya!
Semenjak kuda Pek-liong-ma masih muda, binatang itu senang sekali mendengar suara sulingnya, bahkan ia mempunyai semacam lagu yang khusus untuk kuda Pek-liong-ma! Dan setiap kali, ia menyuling dan memainkan lagu Pek-liong-ma itu, kudanya pasti akan datang menyusulnya, di manapun ia berada.
Pernah ia dan kedua orang tuanya mencoba dan mengikat kuda itu erat-erat di kandang, lalu ia pergi ke tempat yang cukup jauh lalu menyuling lagu Pek-liong-ma dan kuda itu dengan nekad lalu memberontak, memutuskan tali ikatan dan mengejar ke tempatnya.
Teringat akan hal ini, Lo Sin lalu berdiri di atas sebuah batu besar dan mencabut keluar sulingnya. Ia menenteramkan hatinya dan mengatur pernapasannya agar pikirannya yang ruwet menjadi tenang, karena apabila pikirannya ruwet, ia takkan dapat meniup suling dengan baik.
Kemudian ia menempelkan ujung suling itu pada bibirnya dan ditiupnya perlahan suling itu. Maka terdengarlah bunyi suling yang merdu di pagi hari itu. Burung-burung pagi yang tadinya ramai berkicau di pohon-pohon dekat tempat Lo Sin berdiri, tiba-tiba berhenti bernyanyi seakan-akan mereka ikut menikmati bunyi suling yang ditiup Lo Sin.
Pemuda ini memang pandai sekali bersuling hingga suara sulingnya terdengar melengking nyaring dan terdengar sampai jauh. Ia merasa yakin bahwa suara sulingnya pasti terdengar sampai di dalam benteng di mana Pek-liong-ma berada.
Ia menyuling terus memainkan lagu Pek-liong-ma yang sengaja dimainkan untuk menarik perhatian kudanya. Ia dapat membayangkan bahwa sebagaimana biasanya, kudanya itu tentu akan mengamuk, memutuskan tali pengikatnya dan sebentar lagi berlari mendatangi ke tempat ini, maka wajah Lo Sin berseri girang dan meniup sulingnya makin kuat.
Akan tetapi, sudah habis lagu itu ditiupnya, belum juga ia mendengar kaki kudanya berlari datang. Ia mulai gelisah dan kecewa, dan pada saat ia mengharap-harapkan kedatangan kudanya Pek-liong-ma, tiba-tiba terdengar kaki orang berjalan ke arahnya dari kanan.
Lo Sin mengerling dan tiba-tiba suara sulingnya berhenti. Suara sulingnya yang diharapkan akan datangnya Pek-liong-ma itu, ternyata telah mendatangkan mahluk lain yang sama sekali tak pernah diduganya akan ia lihat di situ. Yang datang ini bukan lain ialah Lee Ing.
Lo Sin berdiri seperti patung, kedua tangan masih memegang suling dan ujung suling masih berada di dekat mulutnya. Ia menengok ke kanan dan tak berani bergerak, seakan-akan takut kalau pandangan ini akan lenyap jika ia menggerakkan tubuhnya. Ia melihat Lee Ing dengan cantik dan gagah sekali datang ke arahnya dengan tindakan kaki tetap dan lenggang menggiurkan.
Alangkah gagahnya gadis ini, alangkah manisnya, alangkah cantik jelita. Tangan kiri Lee Ing berada di gagang pedang yang tergantung di pinggang dan biarpun wajah dara ini nampak agak pucat dan kurang tidur namun kecantikannya tidak berkurang, bahkan nampak sewajarnya. Gadis itu datang menghampiri dengan mata menatap wajah Lo Sin yang bengong bagaikan patung batu itu.
“Kau... kau…?” akhirnya Lo Sin hanya dapat menegur, tak lebih dari pada itu.
Sedangkan Lee Ing ketika melihat betapa pandang mata pemuda itu memancarkan cahaya aneh seperti dulu ketika mula-mula bertemu di bawah hujan badai, merasa sebal sekali. Ia telah dapat merasakan pandang mata itu dan kembali ia menjadi marah, karena sebagai seorang yang telah beristeri, Lo Sin tidak berhak memandang dia dengan pandang mata seperti itu.
Lee Ing lalu menundukkan muka, tak berani menentang pandang mata Lo Sin, lalu katanya sambil cemberut, “Musuh berada di dekat, dan kau enak-enakan meniup suling. Bukankah kau sedang mencari bangsat rendah Lui Tik Kong?”
Mendengar disebutnya nama ini, Lo Sin merasa betapa kepalanya seakan-akan disiram air dingin. Lenyaplah lelah dan lesunya, dan tiba-tiba terlupa sama sekali olehnya akan peristiwa yang menimpa kudanya. Segera seluruh urat di tubuhnya menegang dan ia siap untuk menerkam Tik Kong. Inilah sifat yang diwarisinya dari ibunya.
“Mana...? Mana penjahat hina dina itu?” tanyanya dengan mata tajam hingga Lee Ing memandang kagum. Sama benar mata pemuda ini dengan mata Ang Lian Lihiap kalau ia sedang marah.
Dengan singkat Lee Ing lalu menuturkan betapa ia mengejar-ngejar Tik Kong sampai di tempat ini dan betapa Lui Tik Kong bersembunyi dan berlindung di dalam benteng itu.
“Apa??” Lo Sin memandang heran dan terkejut. “Di benteng itu??”
Lee Ing merasa heran melihat sikap Lo Sin ini. “Apakah kau takut menghadapi perwira raksasa yang lihai itu? Memang di sana banyak terdapat orang-orang pandai!” katanya menyindir.
Lo Sin menggeleng-geleng kepalanya. “Untuk menangkap bangsat she Lui itu, jangankan baru ada benteng yang melindunginya, biar ia lari ke neraka sekalipun, aku tidak takut untuk mengejarnya.”
“Kau... kau agaknya sangat benci kepadanya,” kata Lee Ing.
“Apakah kau juga tidak benci padanya?” jawab Lo Sin. “Dia seorang rendah dan jahat, dia telah menganiaya Kong peh-peh. Ini masih belum hebat, akan tetapi, dia… dia berani sekali hendak menipu ayahmu dan hendak… mengawini kau!” kata-kata ini terdengar penuh kemarahan.
“Kalau begitu, hayo kita pergi! Mau tunggu apalagi?” kata gadis itu dan Lo Sin lalu selipkan suling di punggungnya dan keduanya lalu berjalan cepat menuju ke benteng.
“Dengar... Nyo-siocia (nona Nyo)…!”
“Jangan sebut aku siocia. Bukankah kau ini putera Lo-siokhu (paman Lo)?” tegur Lee Ing hingga Lo Sin menjadi ma kin gugup.
“Baiklah, Ing-moi. Biar selanjutnya aku menyebutmu Ing-moi saja. Kau juga tahu bahwa bangsat she Lui itu takut sekali kepadaku maka apabila aku ikut masuk ke dalam benteng tentu ia akan menyembunyikan dirinya dan tidak berani muncul. Kalau ia tidak mau muncul, bagaimana kita bisa mencarinya di dalam benteng yang besar dan yang didiami ratusan tentara itu? Lebih baik kau masuk seorang diri dulu dan aku diam-diam mengikutimu. Kalau dia sudah keluar, barulah aku turun tangan. Setujukah kau?”
Lee Ing merasa setuju dan menganggap akal ini amat cerdik. Gadis ini dengan gagahnya lalu menghunus pedang dan menerjang pintu benteng sambil berseru keras.
“Bangsat Tik Kong pengecut besar! Apakah kau benar-benar tidak berani keluar dan sembunyi seperti seekor tikus busuk?”
Beberapa orang penjaga lalu mengurungnya, akan tetapi sambil memutar pedangnya, Lee Ing membuat mereka ini mundur dengan jerih dan gadis ini dengan cepat dan berani sekali melompat masuk ke dalam benteng.
“Bangsat perempuan tak tahu diri! Kau benar-benar datang mencari mampus!” teriak Tik Kong yang telah melompat keluar dengan pedang di tangan.
Sesungguhnya ia maklum bahwa kepandaian pedang gadis ini lihai sekali, namun karena ia berada di dalam benteng di mana terdapat banyak sekali kawan-kawannya, ia tidak merasa takut dan menyerang dengan gagahnya. Can Kok In juga sudah keluar bersama Lie Cit Un dan mereka juga membawa pedang. Perwira raksasa itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar.
“Sungguh seorang gadis yang keras hati dan berkepala batu! Alangkah beraninya ia memasuki benteng ini!”
Ia selalu melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok Lee Ing dan hanya berdiri sambil menonton pertempuran yang terjadi antara Lee Ing dan Tik Kong. Akan tetapi, dalam kemarahannya, Lee Ing berkelahi dengan nekad dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya hingga baru bertempur kurang lebih tigapuluh jurus saja, Tik Kong sudah terdesak hebat dan ujung pedang Lee Ing menyambar-nyambar mengarah jiwanya.
“Ganas, ganas!” seru Can Kok In yang melompat maju dan menangkis dengan pedangnya yang panjang dan berat.
Tik Kong melompat mudur dengan wajah pucat sedangkan Lee Ing yang melihat betapa perwira tinggi besar itu kembali membantu Tik Kong, lalu mengertak gigi dan melawan dengan nekad. Akan tetapi, kepandaian dan tenaga Can Kok In benar-benar mengagumkan.
Dengan tangkisan yang tepat dan yang dilakukan dengan keras, ia berhasil membuat pedang Lee Ing terlepas dari pegangan. Akan tetapi, perwira raksasa ini hanya tertawa besar dan tidak mau menyerang Lee Ing.
Pada saat itu, dari atas tembok benteng melayang turun bayangan hitam yang berseru. “Can-ciangkun tak baik menghina orang!”
Can Kok In cepat memandang dan ia terkejut sekali melihat bahwa yang datang ini adalah Lo Sin si Walet Hitam yang kemarin datang mengacau hendak merampas kuda. “Ouw-yan-cu! Apakah kau datang lagi hendak merampas kuda orang?” bentaknya.
Lo Sin tertawa geli. “Perwira she Can! Kau hanya besar tubuhmu saja, akan tetapi pikiranmu sempit sekali. Kuda itu adalah kudaku sendiri yang harus kuambil kembali, dan kedatanganku tidak saja hendak memberi hajaran kepada maling kuda yang kau lindungi, akan tetapi juga menawan bangsat rendah Lui Tik Kong yang ternyata kaulindungi pula.”
Sementara itu, melihat kedatangan Lo Sin, Lui Tik Kong menjadi pucat dan hendak melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba Lee Ing yang biarpun telah bertangan kosong, melompat dengan cepat sambil menyerangnya dan membentak. “Bangsat pembunuh hina dina! Jangan kau mencoba hendak lari!”
Terpaksa Lui Tik Kong mengelak dan membalas menyerang dengan pedangnya. Ia dapat menetapkan hatinya oleh karena di saat itu terdapat banyak kawannya yang tentu akan menghalangi Lo Sin menyerangnya, maka ia lalu mainkan pedangnya dengan tetap.
Sedangkan Can Kok In ketika melihat betapa Lee Ing menghadapi Tik Kong dengan tangan kosong saja, merasa lega dan ia tidak perlu menguatirkan keadaan Tik Kong. Ia yakin bahwa menghadapi gadis yang bertangan kosong itu, Tik Kong takkan kalah.
Akan tetapi, tetap saja Tik Kong merasa gugup dan takut. Ia juga kuatir kalau-kalau Lee Ing membongkar rahasianya, dan ia maklum bahwa biarpun seorang perwira, namun Can Kok In adalah seorang jujur dan raksasa muda itu amat mengagumi Kong Sin Ek.
Kalau sampai Can-ciangkun tahu bahwa ia telah menyiksa dan membunuh si Dewa Arak itu, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali karena bantuan raksasa itu takkan dapat diharapkan. Maka ia lalu membentak.
“Lee Ing, gadis liar! Tidak baik kita mengacaukan benteng. Kalau kau memang gagah, mari kita bertempur mati-matian di luar benteng!”
“Tik Kong bangsat rendah! Kau kira aku jerih kepadamu? Keluarlah dan kau akan kubinasakan di luar benteng!”
Tik Kong melompat keluar dari pintu gerbang, diikuti oleh Lee Ing dan setelah tiba di luar, Tik Kong terus berlari menjauhi benteng itu.
“He, pengecut, hendak lari ke mana?” seru Lee Ing yang mengejar terus.
Sementar itu, Lo Sin lalu berkata kepada Can Kok In. “Can-ciangkun, sekarang harap kau suka mengembalikan kudaku. Sekarang aku ingat bahwa ketika kuda itu terjatuh, ia mendapat luka di lehernya dan kurasa luka itu sampai sekarang masih ada, tertutup oleh bulunya. Silakan periksa kalau kau tidak percaya.”
Can Kok In memang seorang jujur, maka ia lalu menyuruh orang mengeluarkan kuda itu dan ketika ia sendiri memeriksa kulit leher kuda dan menyingkap bulu-bulu yang halus dan gemuk itu, ternyata benar bahwa di situ terdapat bekas luka. Perwira raksasa ini memandang kepada si Raja Kuda Terbang dengan muka penuh pertanyaan, akan tetapi Lie Cit Un tersenyum mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya.
“Ouw-yan-cu hanya ngawur saja dan mengatakan hal yang kebetulan atau ia memang sudah tahu sebelumnya hingga mengeluarkan bukti palsu! Sudah jelas bahwa kuda ini kudaku, maka semua desakannya berarti menghinaku! Aku tantang Ouw-yan-cu untuk menentukan hak milik atas kuda ini dengan bertanding pedang!”
“Maling kuda! Tanpa ditantang akupun ingin sekali mengajar adat kepadamu!” bentak Lo Sin sambil mencabut pedangnya.
“Bagus! Lihat pedang!” Lie Cut Un berseru dan menyerang dengan cepat. Ia menggunakan ilmu pedang Pek-ho-kiam-hwat (Ilmu Pedang Burung Ho Putih) dari cabang persilatan Thai-san-pai, gerakannya cukup kuat dan cepat.
Akan tetapi Lo Sin yang merasa marah sekali kepada maling kuda yang curang ini, segera berseru nyaring sekali dan tubuhnya melompat, maka pedangnya terputar cepat menangkis pedang lawan lalu pemuda ini mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang hebat!
Lie Cit Un menjadi berkunang-kunang matanya ketika melihat betapa sinar pedang lawannya berkelebatan dan tubuh pemuda itu lenyap dari depannya. Ia mencoba untuk memutar pedangnya dengan gerak tipu Dalam Hujan Membuka Payung, sebuah gerakan mempertahankan diri dari serangan lihai hingga pedangnya terputar merupakan payung yang menjadi perisai dan yang melindungi tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak kenal akan kelihaian ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut apabila ia mengira bahwa ia akan mudah saja menghadapi ilmu pedang dengan gerakan Dalam Hujan Membuka Payung.
Tiba-tiba pedangnya yang diputar cepat itu berhenti gerakannya seakan-akan menempel pada sesuatu yang kuat sekali dan ternyata bahwa pedangnya telah menempel dengan pedang di tangan Lo Sin, dan betapapun ia membetot dan menarik pedangnya tak dapat terlepas.
Saat itu tangan kiri Lo Sin meluncur ke depan dan dua jari tangan pemuda itu dengan cepatnya menotok jalan darah twi-hai-hiat hingga tubuhnya menjadi kaku dan ia berdiri tak dapat bergerak bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya.
“Ha, ha, maling kuda yang jahat. Apakah sekarang kau masih mau merampas kudaku?”
“Lihai sekali!” tiba-tiba Can Kok In berseru keras dan perwira raksasa ini melompat maju dan dengan tangan kiri ia menepuk pundak Lie Cit Un dan dengan tangan kanannya ia menampar ke arah Lo Sin.
Si Walet Hitam melihat datangnya tamparan yang amat kerasnya itu, sengaja tidak berkelit dan bahkan iapun memukulkan tangan kirinya dengan kepalan terbuka untuk menyambut datangnya tamparan tangan Kok In. Dua telapak tangan bertemu hebat sekali dan akibatnya adalah Lie Cit Un yang menderita celaka.
Ternyata bahwa Can Kok In yang memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) luar biasa besarnya itu, tadinya memandang rendah dan mengira bahwa biarpun ilmu pedangnya membuat ia kagum, akan tetapi tenaga pemuda itu tentu tidak berapa hebat, maka ia membagi tenaganya menjadi dua. Yang sebagian kecil ia gunakan melalui tangan kiri untuk membebaskan Lie Cit Un dari pengaruh totokan Lo Sin, sedangkan sebagian pula yang terbesar ia gunakan untuk menampar Lo Sin.
Akan tetapi, ketika Lo Sin yang mengerahkan tenaga dalamnya menerima pukulan ini dengan tangan hingga dua tenaga raksasa ini bertemu dengan hebat. Can Kok In merasa terkejut dan tenaga pukulannya membalik. Untuk menjaga agar ia jangan mendapat luka di dalam, perwira raksasa ini menyalurkan tenaga yang kembali itu melalui tangan kirinya masih terpentang dan akibatnya terdengar suara “krek!!” dan patahlah tulang pundak Lie Cit Un karena tekanan tangan kiri Kok In yang berat dan keras.
Si Raja Kuda Terbang yang telah terbebas dari totokan, akan tetapi bahkan menderita tulang patah ini, menjerit kesakitan dan jatuh sambil memegang-megang pundaknya yang sakit sekali.
Can Kok In terkejut dan heran. Tak pernah di sangkanya bahwa Ouw-yan-cu selihai itu hingga tidak saja dapat menghadapi tamparannya, bahkan dapat pula mengembalikan tenaga pukulan itu hingga tanpa disengaja ia telah melukai si Raja Kuda Terbang. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya penasaran. Ia lalu mencabut pedangnya yang panjang dan besar, dan membentak.
“Ouw-yan-cu! Kau benar-benar lihai sekali. Biarlah aku mencoba sampai di mana ketajaman pedangmu.”
Akan tetapi Lo Sin yang merasa bahwa ia telah terlalu lama berada di dalam benteng, sedangkan si pencuri telah mendapat bagiannya dan kudanya telah kembali, dan ia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Lee Ing dan Tik Kong, maka ia lalu menjura dan berkata.
“Can-ciangkun, tenagamu hebat sekali. Biarlah lain kali saja kita bermain-main lagi!” Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu keluar dari pintu benteng.
Para anggauta tentara hendak mengejar, akan tetapi Can Kok In membentak. “Jangan bergerak, biar aku sendiri yang mengejar!” Iapun lalu melompat ke atas seekor kuda yang besar dan mengejar keluar.
Lui Tik Kong yang melarikan diri sengaja memancing Lee Ing ke sebuah tempat sunyi di mana terdapat batu-batu karang dan banyak rumput. Setelah berada jauh dari benteng itu, tiba-tiba Lui Tik Kong memutar tubuh dan menyerang.
“Lee Ing perempuan tak tahu diri! Kau menghina suamimu sendiri!”
Marahlah wajah Lee Ing. Ia berkelit ke kiri sambil memaki. “Bangsat rendah bermulut kotor! Siapa sudi menjadi isterimu? Kita belum melangsungkan perkawinan, maka janganlah mulutmu yang sebentar lagi akan kuhancurkan itu menyebut-nyebut tentang suami isteri. Cis, anjing tak tahu malu!”
Kebetulan sekali mereka berkelahi tempat di mana kedua orang pelayan si Raja Kuda Terbang berada. Mereka ini sedang mencari rumput gemuk atas perintah majikan mereka untuk diberikan kepada kuda putih hasil curian itu! Melihat dua orang bertempur mati-matian, mereka berdiri diam tak berani bergerak bagaikan patung dan hanya memandang dengan hati berdebar.
Lui Tik Kong menyerang dengan penuh kegemasan dan mainkan pedangnya dengan cepat sekali, akan tetapi Lee Ing biarpun bertangan kosong, berkat gin-kangnya yang sempurna dapat mengelak dengan cepat dan membalas dengan serangan-serangannya. Ia mempergunakan kedua tangannya untuk membalas dengan totokan-totokan maut, bahkan kakinya juga selalu mencari kesempatan untuk mengirim tendangan maut kepada pemuda yang amat dibencinya ini.
Mereka bertempur mati-matian sampai limapuluh jurus lebih dan tiba-tiba Lee Ing teringat akan ilmunya Gin-san-ciang atau Pukulan Bubuk Perak yang lihai. Melihat bahwa dengan tangan kosong ia sukar sekali mendesak Tik Kong, tiba-tiba ketika Tik Kong menusuk dengan gemas dan ia berjongkok hingga ujung pedang lewat di atas kepalanya, dari bawah Lee Ing memukul dengan kedua tangan ke arah dada pemuda itu! Biarpun kedua tangannya tidak menyentuh dada lawan, namun tenaga Gin-san-ciang yang hebat itu telah menghantam dada Tik Kong dengan tepat!
Lui Tik Kong memekik ngeri dan tubuhnya terpental hingga kepalanya terbentur batu dan ia roboh pingsan sambil mengeluarkan darah dari mulutnya! Dengan gemas dan girang, Lee Ing memungut pedangnya yang tadi dipakai oleh Tik Kong untuk menyerangnya, dan dengan pedang di tangan ia melangkah maju untuk mengirim tusukan maut! Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara kaki kuda dan terdengar seruan Lo Sin.
“Ing-moi, tahan!” Lo Sin cepat melompat turun dan menghampiri gadis itu yang memandangnya heran. Mengapa pemuda ini mencegahnya membunuh pemuda jahat itu?
“Ing-moi, aku hendak membawa bangsat ini ke Pek-ma-san, agar ia suka membuka pengakuan di depan makam Kong-pehpeh!” kata Lo Sin sambil memeriksa luka Tik Kong akibat pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing.
Lo Sin menggeleng-geleng kepala dan berkata. “Hebat sekali pukulanmu, Ing-moi. Kalau kau sudah melatih pukulan Gin-san-ciang itu dengan matang, kau akan menjadi lihai sekali!”
Keadaan Tik Kong memang payah. Untung baginya bahwa Lee Ing memang belum matang betul latihannya dalam ilmu pukulan ini hingga ia hanya menderita luka dalam yang hebat akan tetapi yang tidak membahayakan keselamatan jiwanya.
Pada saat itu, terdengar suara kaki kuda dan nampak Can Kok In si perwira raksasa itu mendatangi dan melompat turun dari kudanya. “Ouw-yan-cu! Kau telah menyerang dan melukai seorang perwira kerajaan. Sudah menjadi kewajibanku untuk menangkapmu karena kau telah memberontak!” Sambil berkata demiklan, Kok In mencabut pedangnya.
“Can-ciangkun! Aku kenal namamu sebagai seorang perwira yang gagah perkasa dan jujur. Kau tahu bahwa aku dan adikku ini terhadap Lui Tik Kong, terdapat permusuhan yang besar sekali. Aku tidak menyerang dan menangkap seorang perwira kerajaan, akan tetapi aku menangkap seorang penjahat besar bernama Lui Tik Kong. Lihat!”
Kedua tangan Lo Sin bergerak cepat sekali dan tahu-tahu topi perwira dan tanda pangkat di dada baju Lui Tik Kong telah dicabut dan dirobek-robek, lalu dilempar ke atas tanah. “Nah, bukankah dia sekarang Lui Tik Kong penjahat biasa saja dan bukan seorang perwira?”
Can Kok In memutar-mutar sepasang matanya yang bundar dan bulat, kemudian ia mengangguk-angguk. “Aku memang tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, aku masih ingin sekali mengadu ilmu kepandaian dengan putera Ang Lian Lihiap yang tersohor!”
“Kalau kita berdua masih sama-sama hidup, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk bermain-main sebentar, Can-ciangkun. Akan tetapi sekarang ini aku dan saudaraku ini mempunyai urusan besar yang penting sekali. Maafkan kami!” setelah berkata demikian, Lo Sin lalu menangkap leher Tik Kong, menaikkan tubuh yang sudah lemas itu ke punggung Pek-Iiong-ma, lalu ia mengajak Lee Ing pergi dari tempat itu.
Can Kok In hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang sampai bayangan Lo Sin dan Lee Ing lenyap di sebuah tikungan, kemudian ketika melihat dua orang pelayan si Raja Kuda Terbang yang masih berdiri seperti patung, ia melompat ke depan mereka dengan pedang di tangan.
“Hayo katakan sebetulnya! Kalau kalian membohong, pedangku takkan mengenal ampun! Sebetulnya, kuda putih itu milik siapakah?”
Dengan tubuh gemetar kedua pelayan itu lalu berterus terang, menceritakan bahwa kuda itu benar-benar kepunyaan Lo Sin yang dicuri oleh majikan mereka dari rumah penginapan. Setelah mendengar ini, Kok In dorong kedua orang pelayan itu sampai terguling-guling, lalu melompat ke atas kudanya dan cepat kembali ke dalam benteng. Dan pada saat itu juga ia mengusir keluar Lie Cit Un dari bentengnya!
Sekarang kita ikuti perjalanan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang mengikuti Mei Ling untuk melihat keadaan Kong Liang yang terluka oleh tendangan Bong Cu Sianjin yang lihai. Dengan hati penuh kekhawatiran, Ang Lian Lihiap dan suaminya lalu mengajak Song Mei Ling untuk mempercepat perjalanan mereka dengan gadis cantik itu membawa mereka ke sebuah kelenteng yang terletak di luar kota Bun-ciang.
Song Kong Liang rebah di atas balai-balai dan mendapat perawatan kepala hwesio di kuil itu. Ketika melihat kedatangan Lian Hwa dan Cin Han, Kong Liang mencoba untuk bangun dan memberi hormat, akan tetapi Lian Hwa dan suaminya buru-buru mencegahnya dan mereka duduk di dekat pembaringan pemuda itu.
Wajah yang tampan itu nampak pucat sekali, akan tetapi setelah suami isteri pendekar itu memeriksa luka pada dadanya, mereka merasa lega, oleh karena biarpun tendangan itu amat hebat hingga mematahkan sebuah tulang rusuk, namun berkat keuletan dan kekuatan tubuh Kong Liang, maka pemuda ini terhindar dari bahaya maut.
Apalagi ia cepat mendapat pertolongan pengobatan dan perawatan dari kepala hwesio yang mengerti tentang ilmu pengobatan, maka sekarang ia telah hampir sembuh, hanya tinggal menanti tersambungnya tulang rusuk yang patah.
“Jangan khawatir, Kong Liang,” kata Ang Lian Lihiap. “Kita pasti akan membalaskan lukamu ini dan memberi hajaran kepada Bong Cu yang ternyata belum mau merobah adatnya yang buruk.”
“Dia lihai sekali, suci,” kata Kong Liang. “Biarpun ia telah buntung kedua lengannya, akan tetapi tendangannya hebat sekali dan sukar dilawan.”
Lian Hwa dan Cin Han tentu saja dapat memaklumi hal ini oleh karena sebelum terbuntung kedua lengannya, memang kepandaian Bong Cu amat hebat dan lihai, bahkan lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Song Cu Ling nenek kedua anak kembar itu.
Dan dulu ketika Cin Han turun tangan dibantu oleh Lian Hwa dan Tiang Pek, barulah mereka bertiga dapat mendesak Bong Cu! Maka kini tidak mengherankan apabila pertapa buntung itu masih dapat mempergunakan kedua kakinya untuk merobohkan Kong Liang!
Beberapa hari kemudian luka di dada Kong Liang telah sembuh sama sekali dan mereka berempat lalu beramai-ramai naik ke Hoa-mo-san untuk mencari Bong Cu Sianjin dan memenuhi tantangannya!
Sebenarnya, Cin Han dan Lian Hwa terlalu sembrono dan gegabah berani naik ke bukit ini, karena betapapun juga, harus diketahui bahwa di puncak bukit itu selain ada Bong Cu Sianjin yang lihai, dan ada pula anak murid Bong Cu Sianjin dan anak murid Lan Bwee Niang-niang, juga si pertapa wanita yang amat tinggi ilmu kepandaiannya ini masih berada di situ pula!
Dulu pernah mereka mengalami sendiri betapa hebatnya ilmu kepandaian Lan Bwee Niang-niang dan apabila tidak keburu datang Beng San Siansu maka tentu di pihak mereka tidak ada yang sanggup menghadapi pertapa wanita ini. Akan tetapi, Ang Lian Lihiap memang terkenal tabah dan pemberani sekali. Melihat betapa Kong Liang terluka, hati nyonya ini telah menjadi demikian marahnya hingga ia tidak mengadakan perhitungan lagi dan mendesak kepada suaminya untuk naik ke Hoa-mo-san!
Cin Han juga mengerti akan kelihaian lawan yang berada di puncak Hoa-mo-san, akan tetapi pendekar pedang inipun tidak merasa jerih, oleh karena setelah kini ia memiliki ilmu Hwie-sian-liong-kiam-sut, gabungan ilmu pedangnya dan ilmu pedang Lian Hwa dan kini keduanya pergi bersama, apalagi yang harus ditakuti?
Kalau saja pada waktu itu Bong Cu Sianjin kebetulan berada di puncak bukit, pasti akan terjadi pertempuran yang dahsyat dan hebat sekali. Akan tetapi, kebetulan sekali Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai serta Bi Mo-li baru kemarin turun gunung untuk mencari tahu tentang musuh-musuh mereka.
Karena Bong Cu merasa penasaran mendengar betapa berkali-kali Hek Li Suthai mengalami kekalahan dari Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, bahkan telah dikalahkan pula oleh si Walet Hitam putera Ang Lian Lihiap, kemudian kalah juga menghadapi Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dia.
Ketika Cin Han dan isterinya beserta sepasang muda-mudi kembar itu tiba di kuil Teratai Putih di puncak bukit Hoa-mo-san, kuil itu nampak sunyi. Di depan kuil ini nampak seorang pemuda berusia kurang lebih sebaya dengan Kong Liang, pemuda bertubuh tinggi besar berkulit kehitam-hitaman dan pakaiannya seperti seorang petani sederhana.
Memang ia seorang petani tulen, terbukti dari kecakapannya mengayun cangkul yang pada saat itu dikerjakannya untuk mencangkul tanah di depan kuil. Agaknya pemuda petani itu hendak menanam sayur dan sedang bekerja dengan penuh perhatian hingga ia tidak melihat kedatangan empat orang tamu itu.
Ketika Cin Han dan kawan-kawannya sudah datang dekat, barulah ia mendengar suara mereka dan ia segera menunda pekerjaannya dan menengok. Pada wajahnya yang gagah dan tampan itu nampak sepasang matanya yang memandang heran dan sekali lihat saja Cin Han dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berhati polos dan jujur. Ia lalu menjura kepada petani muda itu sambil bertanya.
“Saudara yang baik, dapatkah kau memberitahu kepada kami di mana adanya Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin?”
Wajah petani muda itu tiba-tiba berubah dan terang bahwa ia merasa terkejut dan heran. Sepasang matanya yang bersinar terang itu memandang ke arah tamu-tamu itu seorang demi seorang dan secara sopan ia segera mengalihkan pandang matanya ketika ia menatap wajah Mei Ling, hingga diam-diam Lian Hwa merasa suka kepada petani muda yang tahu akan kesopanan ini.
Petani muda ini membalas memberi hormat ketika ia menjawab, “Maaf, siauwte yang muda berlaku lancang menjadi wakil tuan rumah, karena sesungguhnya selain pekerjaan mencangkul dan menanam sayur siauwte tidak tahu apa-apa. Cuwi (saudara sekalian) ini siapakah dan ada kepentingan apa hendak bertemu dengan Niang-niang dan Bong Cu Suhu?”
Cin Han dan kawan-kawannya tercengang mendengar ucapan ini karena ucapan yang penuh kesopanan dan teratur ini menandakan bahwa petani ini bukanlah petani biasa, dan mereka menyangka bahwa pemuda petani ini tentulah murid dari Lan Bwee niang-niang atau Bong Cu Sianjin. Akan tetapi, oleh karena petani muda itu bicara dengan sopan, Cin Han juga menjawab dengan halus pula.
“Tolong beritahu kepada Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin bahwa kami berempat, Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, dan kedua saudara Song datang hendak bertemu memenuhi tantangan Bong Cu Sianjin yang diucapkan bebeberapa hari yang lalu. Dan saudara ini siapakah?”
Bukan main terkejutnya pemuda itu yang bukan lain adalah Yap Bun Gai, murid dari Bong Cu Sianjin. Ia segera menjura dengan hormat sekali kepada mereka berempat, terutama kepada Cin Han dan Lian Hwa, “Maaf, maaf, siauwte yang rendah berlaku kurang hormat. Tidak tahunya kami kedatangan pendekar-pendekar ternama yang berilmu tinggi. Siauwte yang bodoh bernama Yap Bun Gai, dan Bong Cu Sianjin adalah guruku.”
Ci Han dan Lian Hwa merasa heran sekali, karena tak pernah disangkanya bahwa Bong Cu Sianjin mempunyai seorang murid yang begini sopan-santun sikapnya yang mempunyai sepasang mata demikian jujur. Akan tetapi, ketika mendengar bahwa petani muda ini murid Bong Cu Sianjin yang telah melukai kakaknya, Mei Ling tak dapat menahan sabar lagi dan ia melompat maju dan mengirim tamparan pada muka petani muda itu.
Plok!! Tamparan ini tepat mengenai pipi Bun Gai dan karena Mei Ling menampar dengan mempergunakan tenaga lweekang, maka apabila yang kena tangan itu bukan orang yang memiliki kepandaian, tentu tulang rahangnya akan terlepas dan giginya akan copot semua.
Akan tetapi, ketika ditampar pipinya, kulit muka Bun Gai hanya menjadi merah saja dan pemuda ini sedikitpun tidak mengeluh atau memperlihatkan rasa sakit, sungguhpun tamparan itu telah membuat ia merasa perih dan pedas pada pipinya. Hal ini dapat menyatakan betapa tingginya ilmu kepandaian Bun Gai.
Cin Han dan Lian Hwa juga maklum akan hal ini dan hendak mencegah Mei Ling berlaku lancang, akan tetapi, gadis ini ketika melihat betapa tamparannya diterima dengan tersenyum saja oleh Bun Gai, menjadi marah sekali dan kali ini ia mengirim pukulan hebat ke arah ulu hati pemuda tani ini.
“Maaf, aku yang bodoh menjaga diri!” kata Bun Gai dan cepat ia mengelak dari serangan Mei Ling yang berbahaya itu.
Cin Han hendak memisah mereka, akan tetapi tiba-tiba Lian Hwa memegang tangan suaminya dan berbisik. “Biarlah kita lihat sampai di mana kelihaian murid Bong Cu ini!”
Ternyata bahwa ilmu silat Bun Gai benar-benar lihai. Tubuhnya biarpun tidak segesit Mei Ling yang memiliki ginkang sempurna, namun ia ternyata tenang sekali dan dapat menjaga diri dengan amat baiknya. Pertahanannya kokoh kuat dan tenaga lweekangnya cukup tinggi hingga biarpun Mei Ling telah mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, ia tidak dapat mendesak lawannya!
Yang paling mengherankan dan membuat Cin Han dan Lian Hwa melongo karena tidak mengerti adalah sikap pemuda tani murid Bong Cu itu. Bun Gai ternyata sama sekali tidak mau membalas serangan-serangan Mei Ling yang datang bertubi-tubi itu dan hanya menjaga diri dengan kuatnya! Alangkah bedanya sifat pemuda ini dengan suhunya yang kejam.
Tadinya Kong Liang hendak membantu adik perempuannya, akan tetapi ketika melihat betapa pemuda tani itu sama sekali tidak mau membalas dan tidak mau menyerang Mei Ling, terpaksa ia urungkan niatnya karena merasa malu. Terlalu sekali kalau iapun harus turun tangan mengeroyok seorang lawan yang sama sekali tidak mau membalas!
Mei Ling merasa penasaran, malu, dan gemas sekali karena mendapat kenyataan bahwa ia sama sekali tidak berdaya terhadap pertahanan pemuda tani yang kelihatan bodoh itu! Ia malu karena iapun tahu betapa pemuda itu tidak mau membalasnya, dan bahkan kalau menangkis selalu mempergunakan ilmu lweekang hingga lengan tangan pemuda itu menjadi lunak seakan-akan pemuda itu merasa khawatir alau akan mendatangkan rasa sakit pada lengannya yang berkulit halus dan putih bersih itu! Dalam kemarahannya, ia lalu mencabut pedangnya yang berkilau saking tajamnya!
“Mei Ling!” Cin Han menegur akan tetapi lagi-lagi tangan isterinya menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia heran sekali melihat betapa isterinya memandang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum!
“Maaf, maaf!” kata lagi Bun Gai yang terkejut juga melihat kenekatan Mei Ling dan ketika ia merogoh saku bajunya yang lebar, ia telah mengeluarkan sebuah kebutan. Ternyata pemuda ini mempelajari cara suhunya mempergunakan senjata yang istimewa, yakni sebuah kebutan.
Sebetulnya disamping kebutan ini, Bun Gai juga mempelajari permainan tasbeh dari suhunya yang lihai sekali, akan tetapi oleh karena ia entah bagaimana tidak tega untuk menyerang dan tidak senang untuk bermusuh dengan para tamunya yang didengarnya dari orang-orang berilmu tinggi yang amat tersohor, maka ia tidak mau mengeluarkan tasbeh itu dan hanya mempergunakan kebutan untuk menjaga diri.
Mei Ling cukup gagah untuk sudi menyerang orang yang bertangan kosong, maka ia tadi menanti sampai pemuda tani itu menarik keluar kebutannya, kemudian ia membentak. “Lihat pedang!” dan menikam dengan hebat...