Si Walet Hitam Jilid 09
Harus diketahui bahwa gadis ini mendapat latihan ginkang dari neneknya, yakni Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan dan mempunyai kepandaian ilmu pedang yang telah ditambah oleh pelajaran dan petunjuk dari Lian Hwa, maka ilmu pedangnya ini amat cepat dan gesit gerakannya! Akan tetapi, ketika Bun Gai mempermainkan kebutan yang mengeluarkan angin menyambar, baik Cin Han maupun Lian Hwa menjadi kagum sekali.
Mereka dapat menaksir bahwa ternyata Bong Cu Sianjin yang telah buntung tangannya itu telah menurunkan ilmu kepandaiannya kepada pemuda tani ini. Mudah mereka duga bahwa Mei Ling bukanlah lawan pemuda ini dan benar saja, setelah bertempur tigapuluh jurus lebih, pedang Mei Ling sama sekali tak berdaya dan bahkan beberapa kali pedang itu telah terlibat oleh ujung kebutan dan tak dapat dilepaskan!
Akan tetapi, tiap kali Mei Ling sudah merasa bingung dan gemas, Bun Gai sengaja melepaskan libatan kebutannya dan kembali Mei Ling menyerang dengan sia-sia, karena tak sebuahpun serangannya berhasil menyentuh ujung baju Bun Gai! Dan seperti juga tadi, Bun Gai sama sekali tidak mau membalas menyerang. Hal ini membuat Mei Ling penasaran dan mendongkol sekali hingga hampir saja ia menangis!
“Kalau kau memang jantan, kau balaslah!” teriaknya sengit dan dengan isak hingga Lian Hwa dan Cin Han diam-diam geli. Orang sudah mengalah dan tidak mau membalas, akan tetapi gadis itu bahkan minta dibalas!
“Kita tidak bermusuh, mengapa aku harus membalas?” jawab Bun Gai sambil menyampok tusukan gadis itu dengan ujung kebutannya.
“Pengecut! Balaslah… balaslah kalau kau memang laki-laki!” teriak Mei Ling dan kini mengeluarkan dua butir air mata dari matanya. Ia merasa gemas dan sakit hati sekali karena merasa betapa pemuda tani itu mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Entah mengapa, tiba-tiba Bun Gai mengendurkan gerakan kebutannya dan ketika pedang Mei Ling menusuk ke arah dadanya, pemuda ini hanya mengelak sedikit. Terdengar suara kain robek dan dari pundak pemuda ini mengalir darah! Ternyata bahwa kulit pundaknya telah kena tergores pedang!
Melihat ini, tiba-tiba Mei Ling terkejut sekali dan melompat mundur. Gadis yang tadinya merasa gemas sekali ini, tak pernah menyangka bahwa ia akan melukai lawannya dan tahu-tahu sebuah serangan yang demikian sembarangan saja telah dapat melukai pundak pemuda tani itu. Ia seakan-akan dapat menduga bahwa pemuda itu sengaja memberikan kulit pundaknya tergores pedang.
Bun Gai menjura kepada Mei Ling dan tersenyum sambil berkata. “Nona lihai sekali, aku Yap Bun Gai yang bodoh mengaku kalah.”
Cin Han dengan kagum sekali melangkah maju dan berkata. “Saudara Yap, kepandaianmu benar-benar hebat dan pantas sekali kau menjadi murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Kami memang tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan apabila memang ada oleh karena kau mempunyai hubungan dengan suhumu, namun sikapmu ini cukup untuk menghapus semua sikap bermusuh yang ada di dalam dada kami. Sekarang tolong kau beritahukan kepada suhumu tentang kedatangan kami.”
“Maaf, terpaksa siauwte tak dapat memberitahukan di mana adanya suhu karena suhu telah pergi turun gunung kemarin bersama dengan suci Hek Li Suthai dan muridnya, entah ke mana tidak memberitahukan kepada siauwte, sedangkan Niang Niang yang cuwi cari itu sedang bersamadhi di dalam kuil.”
“Agaknya kau tidak mau mengganggu Lan Bwee Niang-niang. Baiklah biar aku sendiri yang memanggilnya keluar.” Setelah berkata demikian, Lian Hwa lalu mengerahkan tenaga khikang pada suaranya lalu memanggil ke arah kuil itu.
“Lan Bwee Niang-niang!! Aku Ang Lian Lihiap telah datang menghadap! Kalau Niang-niang suka menerima kami, silakan keluar!”
Yap Bun Gai terkejut sekali mendengar suara ini yang mengandung tenaga dalam demikian hebatnya. Untung bahwa pendekar wanita ini tadi tidak turun tangan, kalau turun tangan ia merasa tak sanggup melawannya.
Tiba-tiba berkesiur angin dari dalam kuil dan mendengar suara halus. “Siancai!” Dan tahu-tahu tubuh Lan Bwee Niang-niang telah berada di depan mereka dengan tasbeh di tangan kiri dan kebutan di tangan kanan. Semua orang memandang kagum dan Cin Han serta isterinya maklum bahwa ilmu kepandaian pertapa wanita tua ini hebat sekali.
Cin Han berkata sambil menjura, “Niang-niang, apakah semenjak kita berpisah, Niang-niang selalu dalam keadaan baik?”
Pertapa wanita itu tertawa dengan suara ketawanya yang halus dan merdu. “Hwee-thian Kim-hong! Makin tua kau makin gagah dan isterimu juga masih cantik saja. Kau belum berubah dan masih tetap sopan santun seperti dulu, ha, ha!”
“Maaf, Niang-niang,” kata Lian Hwa. “Kami datang memenuhi undangan Bong Cu Sianjin pada beberapa hari yang lalu ketika ia melukai adikku ini dengan tendangannya.”
Lan Bwee Niang-niang memandang kepada Kong Liang, lalu berkata, “Undangan apakah yang kau maksudkan, Ang Lian Lihiap?”
“Dia menantang kami.”
Lan Bwee Niang-niang menghela napas, “Memang Bong Cu masih berdarah panas. Pinni makin tua makin bernasib buruk hingga masih saja terbawa-bawa dan tersangkut oleh urusan permusuhan yang menjijikkan ini.”
“Hek Li Suthai juga sudah memberi penghormatan dan berkunjung di tempat kami!” kata Ang Lian Lihiap dengan suara tegas karena ia bermaksud bahwa dari pihak Lan Bwee Niang-niang masih ada sikap bermusuhan itu.
Kembali Lan Bwee Niang-niang menarik napas panjang. “Ya, ya, memang aku tahu dan aku harus mempertanggung-jawabkan segala sepak terjang mereka. Akan tetapi, Bong Cu yang mengundang kalian, kebetulan sedang turun gunung. Kalau kalian bertemu dengan dia atau dengan muridku di jalan dan terjadi pertempuran, aku orang tua yang sudah hampir mati tidak mau ambil perduli. Sebaliknya kalau kalian tetap hendak mengadakan pertandingan di atas puncak Hoa-mo-san ini, sekarang akulah yang mengundangmu dan datanglah di sini tiga bulan lagi pada saat bulan sedang purnama!”
Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang tua sekali itu lalu menganggukkan kepala tanda memberi salam, lalu berjalan kembali memasuki kuil dengan perlahan.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang, kemudian mereka turun gunung setelah mengucapkan terima kasih kepada Bun Gai.
Pemuda tani ini berkata, “Siauwte juga merasa berduka sekali dengan adanya permusuhan-permusuhan yang tidak sehat ini. Mengapa orang harus bermusuhan? Apakah kita mempelajari sedikit ilmu kepandaian hanya untuk saling melukai dan saling membunuh?”
Sambil berkata demikian, ia melirik ke arah Mei Ling dengan pandangan mata yang jujur sehingga gadis itu menundukkan kepala dengan wajah merah.
Cin Han berkata, “Saudara Yap, kau memang baik sekali dan kamipun akan merasa gembira dan beruntung apabila suhumu memiliki kejujuran dan kemuliaan hati seperti kau! Dalam hal ini, agaknya kau harus menjadi guru dari Bong Cu!”
Bun Gai tercengang dan ia memandang kepada empat orang itu sampai keempatnya lenyap di bawah gunung. Pemuda ini berdiri termenung dan bayangan Mei Ling yang manis serta gagah itu terbayang di depan matanya.
Entah mengapa, selama hidupnya baru kali ini ia tertarik dan suka sekali kepada seorang gadis! Ia berdiri termenung lama sekali, kemudian ia mengambil cangkulnya dan mencakul tanah demikian kerasnya seakan-akan ia merasa gemas terhadap sesuatu, sehingga air lumpur memercik ke atas dan mengotori pakaiannya namun tidak dihiraukannya sama sekali!
Setelah berhasil menawan Tik Kong, Lo Sin bersama Lee Ing pergi meninggalkan perwira raksasa Can Kok In, lalu berhenti di sebuah jalan perempatan dan Lo Sin berkata kepada Lee Ing,
“Ing-moi, sekarang kita harus berpisah. Kau harus segera pulang dan menuturkan segala pengalamanmu kepada orang tuamu. Aku hendak mengantar bangsat ini ke Pek-ma-san agar ia mengakui semua perbuatannya di depan makam Kong-pehpeh. Setelah itu, jangan khawatir, aku tentu akan pergi menghadap Nyo-pekhu untuk memohon maaf dan aku akan menerima saja apabila Nyo-pekhu hendak memberi hukuman kepadaku.”
Akan tetapi Lee Ing memandangnya dengan matanya yang indah dan gadis ini menggeleng kepala.
“Ing-moi, jangan begitu. Kau pulanglah. Tidak kasihankah kau kepada ayah-ibumu? Mereka tentu merasa berkhawatir sekali karena kau pergi tanpa pamit. Lebih baik kau pulang sekarang juga agar mereka merasa tenteram dan girang.”
Kembali gadis itu menggeleng kepala, kali ini keras-keras dan sambil menggigit bibirnya.
“Eh, kenapa Ing-moi?” tanya Lo Sin dengan heran sekali.
Pertanyaan yang diucapkan dengan suara halus dan mengandung penuh perhatian ini merupakan dorongan terakhir bagi Lee Ing sehingga gadis ini tidak kuat lagi menahan tangisnya! Ia berdiri dengan tubuh bergoncang-goncang dan kedua tangannya menutupi muka. Dari celah-celah jari tangannya, butiran-butiran air mata menitik turun.
Lo Sin terkejut sekali dan ia mendiamkan saja kudanya yang makan rumput sedangkan Tik Kong masih pingsan dan rebah melintang di atas punggung kuda bagaikan seikat kayu. Pemuda ini merasa kasihan sekali dan ia tidak dapat menahan hatinya melihat gadis ini menangis demikian sedihnya dan tak terasa lagi kedua tangannya lalu terulur ke depan dan memegang kedua pundak gadis itu dengan sentuhan mesra.
“Ing-moi.... jangan menangis, Ing-moi… ak… aku tidak tahan melihatmu….”
Mendengar suara ini dan merasa betapa pundaknya terpegang dengan mesra, entah mengapa, Lee Ing merasa hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin menghebat lagi. Ia menangis sampai tersedu-sedu dan tubuhnya menjadi lemas dan kakinya menggigil karena perasaan hatinya yang menggelora. Ia merasa berduka sekali walaupun pada saat itu ia sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa demikian sengsara dalam hatinya!
“Ing-moi.... diamlah, Ing-moi... tenangkanlah hatimu…” bisik Lo Sin dan ia mendekap kepala itu ke dadanya!
Untuk beberapa lama Lee Ing tidak bergerak dan menangis di atas dada pemuda itu. Ia merasa amat senang, aman dan sentausa dalam dekapan pemuda itu seakan-akan seorang anak kecil dipeluk ibunya.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan merenggutkan kepalanya dari dada Lo Sin. Ia melangkah mundur dua tindak dan ketika melihat pandang mata Lo Sin yang mesra dan penuh perasaan itu, ia membelalakkan mata seperti seekor kelinci melihat ular! Bencinya timbul seketika terhadap pemuda ini.
“Kau… kau…. orang kurang ajar. Laki-laki tidak sopan……!” Jari telunjuknya menuding ke arah muka Lo Sin dan jari itu gemetar.
Lo Sin terkejut sekali. “Ing-moi... mengapa kau begitu marah? Apakah salahku terhadapmu?”
“Kau… kau… laki-laki kurang ajar! Kau mempergunakan kelemahan hatiku untuk berbuat kurang ajar dan memelukku! Lo Sin, kau seorang suami yang tidak setia! Kau mengkhianati dan mencurangi isterimu!” Gadis ini lalu menutup mukanya dan menangis lagi.
Tentu saja Lo Sin menjadi bengong dan memandang ke arah gadis itu dengan khawatir. Gilakah gadis ini karena kesedihannya? Ia melangkah maju dan mendekati. “Ing-moi, tenanglah dan sadarlah kau! Aku tidak mengerti apa arti kata-katamu tadi. Suami tidak setia? Mencurangi isteri? Apa.... apa maksudmu?”
“Penipu busuk! Kau masih mau bersandiwara di depanku?” gadis itu memandang dengan mata merah. “Bukankah kau sudah beristeri? Dan kau masih memandang padaku dengan mata seperti itu? Cih, tidak tahu malu!”
Lo Sin merasa seakan-akan ada pedang tajam ditodongkan ke dadanya. Tak terasa lagi ia melangkah mundur dua tindak. Matanya terbelalak menatap wajah Lee Ing. “Ing-moi, apa maksudmu? Siapakah yang sudah beristeri? Dari siapa kau mendengar berita gila ini? Aku belum pernah beristri! Apa kau mengimpi?”
Kini Lee Ing yang merasa terheran sehingga ia lupa untuk menangis. “Apa? Kau belum beristeri? Dan… dan surat orang tuamu dulu……?”
Kini tahulah Lo Sin bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak beres. Ia melangkah maju dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Ing-moi, apakah yang kau baca dalam surat orang tuaku?”
Setelah menelan ludah beberapa kali, gadis ini berkata, “Dulu orang tuamu mengirim surat kepada orang tuaku, malah A-kwi, pesuruh kami itu terbunuh oleh perampok akan tetapi surat orang tuamu itu berhasil ditemukan oleh Tik Kong… dan.....”
Tiba-tiba Lee Ing menjadi pucat sekali dan memandang dengan mata terbelalak, ke arah tubuh Tik Kong yang masih menggantung di punggung kuda. Kemudian, tiba-tiba gadis ini tertawa bergelak-gelak dengan keras sehingga Lo Sin harus menangkap tangannya dan membentak.
“Lee Ing! Diamlah! Kau seperti mayat tertawa!”
Lee Ing masih menahan geli hatinya dan dengan air mata masih bercucuran, ia mendekap mukanya lagi dan suara ketawanya masih terdengar. “Aku tahu.... ha, ha, aku tahu sekarang… ha, ha… alangkah bodohnya kita... ha-ha.....”
“Ing-moi, sabarlah dan ceritakan padaku dengan tenang!!”
“Ah, Sin-ko… kami sekeluarga ternyata telah menjadi korban pengkhianatan dan kejahatan bangsat rendah itu! Dulu kami menyuruh A-kwi untuk memberi surat kepada orang tuamu, kemudian A-kwi pulang sambil membawa surat orang tuamu sebagai balasan. Dan A-kwi terbunuh oleh perampok, yakni menurut cerita bangsat itu, dan surat orang tuamu itu dibawa oleh Tik Kong. Dan… dan isi surat itu menyatakan bahwa kau… kau telah beristeri.”
Lo Sin tiba-tiba melepaskan lengan Lee Ing dan ia membanting-banting kaki. “Keparat busuk! Jahanam besar!! Kalau saja tidak hendak membawanya ke Pek-ma-san, sekarang juga kuhancurkan kepala jahanam ini! Dengarlah, Ing-moi! Kau belum mengetahui semuanya. Di dalam surat orang tuaku sama sekali tidak disebut bahwa aku telah beristeri, bahkan ayah ibuku telah mengajukan...... lamaran padamu! Dapat kau bayangkan betapa menyesal hati ayah dan ibu ketika surat lamaran itu tidak dibalas oleh orang tuamu, bahkan tahu-tahu datang surat undangan bahwa kau…… akan menikah! Memang jahat benar Lui Tik Kong ini, tentu dia yang telah membunuh A-kwi dan telah mengubah isi surat orang tuaku!”
Keduanya diam untuk beberapa lama, memikirkan kecurangan yang jahat dari perwira she Lui itu, yang telah berhasil membuat Nyo Tiang Pek tertipu. Akhirnya dengan wajah kemerah-merahan Lee Ing bertanya.
“Tidak… tidak salahkah kata-katamu tadi?”
“Kata-kata yang mana?”
“Bahwa… bahwa keluarga Lo… melamar aku……?” Ia menundukkan muka dan tidak berani menentang pandang mata Lo Sin yang memandangnya dengan tersenyum.
“Mengapa salah? Agaknya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi ayah, terutama bagi ibu, untuk berbesan dengan Nyo-pehpeh dan menjodohkan aku dengan kau!”
Lee Ing mengerling tajam tanpa berani memandang langsung. “Dan kau sendiri?”
“Lebih-lebih aku! Ing-moi… aku… aku......” Lo Sin merasa betapa hatinya berdebar, mulutnya kering dan ia tak kuasa menggerakkan bibirnya lebih lanjut.
“Kau… apakah, Sin-ko? Teruskan kata-katamu!”
“Aku suka kepadamu, Ing-moi,” akhirnya Lo Sin berbisik perlahan.
Lee Ing menundukkan kepala makin dalam hingga dagunya menempel di dada dan wajahnya makin merah sampai ke telinganya. “Mungkinkah putera Ang Lian Lihiap yang gagah perkasa, putera pendekar besar yang terkenal pandai, suka kepada seorang bodoh, berkepandaian rendah dan bermuka buruk seperti aku?” bisiknya.
Lo Sin melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu. “Ing-moi,” bisiknya dengan suara gemetar karena penuh perasaan, “aku tidak perduli kau ini siapa dan puteri siapa, yang terpenting bagiku ialah kau sendiri, pribadimu yang menarik hatiku, semenjak aku melihatmu di dalam hujan badai itu sungguhpun aku belum tahu siapa adanya kau, aku… aku telah yakin…”
“Teruskan, Sin-ko,” bisik Lee Ing tanpa berani mengangkat muka.
“Aku…… aku telah yakin bahwa kaulah orangnya, bahwa kau seoranglah dan bukan gadis lain, yang patut menjadi pujaanku……”
Mengalirlah air mata di kedua pipi dara itu, karena hatinya merasa terharu, girang, berduka, dan amat berbahagia. Tanpa terasa lagi, jari-jari tangannya membalas pegangan tangan Lo Sin hingga jari-jari tangan sepasang anak muda ini saling menekan dengan erat dan mesra. Pada saat mereka saling memandang dengan mesra dan penuh rasa cinta kasih, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bentakan keras,
“Bangsat muda kurang ajar! Kau mencemarkan nama orang tuamu!” Dan tiba-tiba Nyo Tiang Pek dengan mata liar karena marahnya dan pedang di tangan telah berdiri di dekat mereka. Kemesraan tadi telah membuat Lo Sin dan Lee Ing tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan orang tua gagah ini!
“Ayah…!” seru Lee Ing dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Jangan menyebut ayah kepadaku, anak yang membikin cemar nama orang tua!” katanya dan dua butir air mata mengalir dari kedua mata si Garuda Kuku Emas ini.
Kemudian ia memandang kepada Lo Sin seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat lalu berseru. “Lo Sin, kau mengandalkan kepandaianmu dan kegagahan orang tuamu untuk menghina dan merendahkan aku! Kau telah melukai calon mantuku, merusak nama baikku dan kini kau menggoda puteriku! Bagus, hari ini kalau bukan kau tentu aku Nyo Tiang Pek yang mati di ujung pedang!” Setelah berkata begitu, ia menerkam maju, melakukan serangan kilat dengan pedangnya ke arah dada pemuda itu.
“Nyo-pehpeh, tahan dulu!” seru Lo Sin dengan terkejut sekali dan cepat mengelak.
“Siapa sudi menjadi peh-pehmu?” seru Nyo Tiang Pek yang menyerang lagi lebih hebat.
“Nyo-pehpeh!” teriak Lo Sin dengan bingung sekali, akan tetapi ia cepat melompat jauh menghindarkan serangan yang hebat dan berbahaya itu. Akan tetapi, Nyo Tiang Pek dengan marah yang meluap-luap mengejar dan menyerangnya lagi.
“Ayah……!” Lee Ing berteriak ngeri sambil menangis.
Akan tetapi, Nyo Tiang Pek yang sudah seperti gila karena marahnya, mendengar teriakan puterinya ini, menjadi makin marah dan terus menyerang makin hebat.
Lo Sin sibuk juga menghadapi serangan ini dengan tangan kosong, dan untuk mencabut pedangnya, ia tidak berani, karena maklum bahwa hal ini bahkan akan menambah kebencian orang tua ini kepadanya. Sambil mengelak cepat ia lalu berseru. “Nyo-pehpeh, dengarlah keteranganku!”
“Tutup mulut dan cabutlah pedangmu kalau kau memang gagah!” Si Garuda Kuku Emas mendesak terus.
“Ayah……! Aku…… aku cinta padanya…...” kata Lee Ing tanpa disadarinya dengan suara memilukan.
Nyo Tiang Pek tersentak kaget. Tangannya menjadi lemas dan ia berhenti menyerang, memandang kepada puterinya dengan wajah pucat. “Apa......? Anak durhaka, anak put-hauw (tidak berbakti)! Kau memalukan orang tua! Kau… kau tergila-gila kepada seorang yang sudah beristeri? Jahanam rendah... ah, Tiang Pek.... dosa apakah yang telah kaulakukan dulu......?” Pendekar ini menundukkan kepala dengan wajah sedih sekali.
“Nyo-peh-peh, dengarlah...... aku...... belum......”
”Diam kau, diam!! Jangan membuka mulutmu yang busuk dan penuh tipu muslihat! Pergilah kau!” Ia menuding kepada Lee Ing dan membentak marah. “Pergi kau dari padaku. Pergi!!”
“Ayah……!” Lee Ing menjerit lagi.
“Cukup……!” Pergi lekas, kalau tidak, akan terjadi ayah membunuh anaknya!”
“Marilah, Ing-moi.” Lo Sin menghampiri gadis itu dan menarik tangannya. “Marilah kita pergi saja dulu. Tak ada jalan lain......”
Sambil terisak-isak Lee Ing menurut saja tangannya ditarik pergi oleh Lo Sin. Nyo Tiang Pek berdiri tak bergerak, memandang ke bawah seperti patung. Tiba-tiba terdengar rintihan dan suara lemah, “Gak-hu (ayah mertua)……”
Pendekar tua ini menengok dan pada saat itu, Lui Tik Kong yang sudah siuman kembali lalu mencoba untuk bergerak, akan tetapi karena tubuhnya lemah sekali, ia bahkan terguling dari atas punggung kuda.
“Tik Kong...!” seru Nyo Tiang Pek perlahan dan ia memburu kepada pemuda itu.
Sedangkan Pek-liong-ma ketika merasa betapa beban di punggungnya telah lenyap dan melihat Lo Sin pergi meninggalkan tempat itu, lalu meringkik dan tiba-tiba ia berlari mengejar ke arah majikannya yang telah pergi jauh.
Sementara itu, Lee Ing yang ditarik tangannya oleh Lo Sin, berkali-kali menoleh dan memandang ayahnya dengan muka pucat dan mata penuh air mata. Tiba-tiba ia membetot tangannya hendak berlari kembali kepada ayahnya, akan tetapi Lo Sin memegang lengannya erat-erat dan pemuda ini menghibur.
“Jangan kau ganggu dia, Ing-moi. Ayahmu sedang marah sekali dan kemarahan telah menggelapkan pikirannya. Biarkanlah dulu, kelak kalau ia telah sadar dan dapat melihat duduknya persoalan, tentu dia akan menyesal dan akan mencarimu.”
Karena sedihnya melihat betapa ayahnya tadi memaki-makinya, memandangnya dengan penuh kebencian, bahkan lalu mengusirnya, Lee Ing berseru perlahan dengan hati hancur dan roboh pingsan.
Lo Sin cepat memeluk dan memondong tubuhnya. Pada saat itu, Pek-liong-ma berlari mendatangi dan Lo Sin sambil memondong tubuh Lee Ing lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu secepatnya meninggalkan tempat itu.
Dengan hati marah sekali dan sakit hatinya kepada Lo Sin makin besar, Nyo Tiang Pek menolong Tik Kong, kemudian ia mempergunakan kepandaiannya untuk mengobati luka di dada Tik Kong. Oleh karena luka ini terjadi karena pukulan Gin-san-ciang yang dilakukan oleh Lee Ing, maka tentu saja Nyo Tiang Pek tahu cara pengobatannya.
Telah dua kali dengan sekarang ini Lui Tik Kong terkena pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing, akan tetapi kali ini amat hebat hingga biarpun telah diobati oleh Nyo Tiang Pek, pemuda ini tetap saja harus digendong ketika Nyo Tiang Pek membawanya pulang.
Nyo Tiang Pek membawa perwira muda itu kembali ke Bong-kee-san dan ia disambut oleh isterinya dengan khawatir. Ketika dengan marah sekali Nyo Tiang Pek menceritakan kepada isterinya betapa ia telah mendapatkan Lee Ing dan Lo Sin yang telah melukai Lui Tik Kong dan menceritakan pula betapa telah mengusir Lee Ing karena gadis itu dengan cara tidak tahu malu telah mengaku akan cintanya kepada si Walet Hitam.
Giok Lie menangis tersedu-sedu. “Mengapa kau sekejam itu......?” tegurnya kepada suaminya. “Kau mengusir anak kita, ke mana aku harus mencarinya......?” ia menangis dengan sedih sekali.
“Biarlah, dia lebih cinta kepada bangsat rendah itu daripada kepada kita! Dia pergi melarikan diri dengan Lo Sin, pemuda liar itu! Kalau aku bertemu lagi dengan mereka, akan kubunuh kedua-duanya! Jahanam benar!!” Nyo Tiang Pek murka sekali dan kedua matanya menjadi merah.
Coa Giok Lie memandang kepada suaminya dan ketika melihat betapa dari ke dua mata suaminya itu turun menitik dua butir air mata dan melihat betapa dibalik kemarahan itu terbayang kedukaan yang maha hebat dan yang membuat mukanya menjadi nampak tua, tiba-tiba ia memeluk suaminya dan menjatuhkan mukanya di dada suami itu sambil menangis tersedu-sedu!
Nyo Tiang Pek mendekap kepala isterinya dan iapun menangis dan menyembunyikan mukanya di rambut isterinya. “Nasib kita yang buruk, Giok Lie......” bisiknya.
Giok Lie tidak menjawab, hanya menangis terisak-isak, akan tetapi di dalam lubuk hati nyonya ini, terdapat rasa girang dan puas yang aneh sekali, yang merupakan nyala lampu yang menerangi keadaan yang gelap. Perasaan ini timbul ketika ia mendengar bahwa anaknya mencinta Lo Sin, dan bahwa anaknya pergi bersama pemuda putera Lian Hwa itu!
Nyo Tiang Pek merawat luka Tik Kong dengan telaten. Ia merasa kasihan sekali melihat Lui Tik Kong yang bernasib malang. Ia menganggap pemuda ini telah disakitkan hatinya oleh Lee Ing, akan tetapi tak sepatahpun kata penyesalan pernah diucapkan oleh pemuda itu kepadanya.
Tik Kong hanya berkali-kali menghela napas dan kelihatan sedih. Bahkan Giok Lie juga tertipu oleh sikap Tik Kong ini dan nyonya inipun timbul perasaan iba di dalam hatinya kepada pemuda ini.
Setelah sembuh dari lukanya, Nyo Tiang Pek lalu memberi pelajaran silat kepada pemuda itu. Ia menganggap bahwa Tik Kong patut dikasihani dan oleh karena ilmu kepandaian pemuda itu masih belum sempurna hingga berkali-kali ia mengalami kekalahan dan penghinaan, maka Nyo Tiang Pek lalu menurunkan ilmu kepandaian pedang dan juga Gin-san-ciang kepada pemuda ini.
Tik Kong merasa girang sekali dan ia melatih diri dengan giat. Oleh karena ia memang telah mempunyai dasar kepandaian yang cukup, maka ia dapat menerima pelajaran itu dengan mudah dan cepat.
Sebulan kemudian, Lui Tik Kong berpamit karena ia hendak kembali dan mengurus tugasnya sebagai perwira penjaga dan ia menyatakan bahwa ia akan keluar dari pekerjaan itu untuk pergi mencari Lo Sin dan membalas dendamnya.
“Baik, kau pergilah, Tik Kong!” kata Nyo Tiang Pek. “Dan mungkin sekali kau masih belum dapat melawan Lo Sin yang berkepandaian tinggi, akan tetapi jangan khawatir, orang yang benar tentu akan menang.”
Nyo Tiang Pek yang merasa kasihan dan terharu melihat keadaan pemuda ini, bahkan lalu memberikan pedangnya Ceng-lun-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu kepada Tik Kong. Tentu saja Lui Tik Kong merasa girang sekali dan ia pergi turun gunung dan setelah menyerahkan kembali tugasnya sebagai perwira kepada perwira lain, pemuda ini lalu pergi mulai dengan perantauannya untuk membalas dendam kepada Lo Sin.
Padahal sebenarnya ia merasa jerih sekali kepada si Walet Hitam dan ia bukan hendak membalas dendam dengan tangan sendiri, akan tetapi mau mencari kawan-kawan untuk bersekutu dan kemudian baru bersama-sama mencari dan mengeroyok Lo Sin si Walet Hitam yang gagah.
Pada suatu hari, Tik Kong tiba di dalam sebuah dusun yang ramai. Pemuda ini kini telah bebas dari tugas sebagai perwira, telah memiliki kepandaian tinggi karena pelajaran yang diterima dari Nyo Tiang Pek, bahkan kini memiliki pedang Ceng-lun-kiam yang ampuh, maka timbullah kembali nafsu jahatnya.
Ia merasai bahwa ia kini menjadi seorang gagah yang tidak takut kepada siapapun juga. Dan ia merupakan seekor burung alap-alap yang garang dan buas. Ketika ia sedang lewat di depan sebuah rumah seorang hartawan itu, tiba-tiba ia melihat seorang gadis menjenguk dari jendela loteng rumah itu.
Hatinya berdebar karena wajah gadis itu amat cantiknya. Gadis itu ketika melihat bahwa di bawah ada seorang pemuda tampan dan gagah sedang memandangnya, ia lalu cepat menarik kepalanya dari tirai jendela dengan wajah berubah merah.
Pemandangan ini sudah cukup untuk menggelorakan darah di dalam tubuh Lui Tik Kong dan menimbulkan pikiran jahat dalam kepalanya. Ia tidak jadi melanjutkan perjalanannya, bahkan lalu mencari rumah penginapan di dusun itu. Dan pada malam harinya, ketika suasana menjadi sunyi, ia lalu mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng dan menuju ke rumah hartawan di mana terdapat gadisnya yang cantik itu.
Ia sama sekali tak pernah menduga bahwa di dalam rumah gedung itu pada malam hari itu sedang menerima tiga orang tamu yang lihai yakni tiga orang tosu dari Kun-lun-san. Seorang diantara tosu ini adalah kakak daripada tuan rumah.
Maka, bukan main terkejutnya ketika baru saja ia mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba dari bawah berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu seorang tosu berdiri di depannya sambil membentak. “Penjahat dari mana berani datang main gila?”
Dalam gugupnya, Tik Kong lalu mencabut Ceng-lun-kiam dan menyerang tosu itu. Karena keadaan pada malam hari itu gelap sekali, maka ia tidak dapat melihat muka orang dengan jelas, demikian pun tosu itu tidak tahu sedang menghadapi siapa.
Melihat berkelebatnya pedang yang bersinar hijau itu, tosu ini menjadi terkejut dan cepat-cepat mencabut pedangnya dan menangkis. Akan tetapi begitu pedangnya bertemu dengan Ceng-lun-kiam, pedang itu menjadi patah.
Tik Kong memang berhati kejam sekali. Melihat hasil ketajaman pedangnya ini, ia lalu menusuk dengan serangan maut ke arah dada lawannya. Tosu itu terkejut dan mengelak sambil mengangkat kaki menendang. Tik Kong amat gesit dan dengan mudahnya ia dapat pula mengelak, lalu tiba-tiba ia berseru keras sambil mengayun tangan kirinya ke arah dada musuh.
Inilah pukulan Gin-san-ciang yang baru saja dipelajarinya. Namun, pukulan ini cukup lihai karena tubuh tosu dari Kun-lun-san itu terhuyung, setelah ia mengeluarkan seruan kaget. Dan pada saat tubuhnya terhuyung ke belakang, Tik Kong melangkah maju dan pedang Ceng-lun-kiam lalu menusuk tepat ke dada tosu itu hingga tembus! Si tosu berteriak mengerikan dan mencoba untuk mencengkeram tangan Tik Kong yang memegang pedang.
Tik Kong terkejut sekali karena ia tidak menyangka bahwa dalam keadaan dada tertembus pedang, tosu itu masih sempat menggunakan ilmu Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau). Terpaksa pemuda ini melepaskan pegangannya pada gagang pedang, untuk menghindarkan cengkeraman hebat itu dan tubuh tosu itu lalu jatuh menggelinding ke bawah genteng dengan pedang masih tertancap di dadanya.
Lui Tik Kong merasa menyesal sekali mengapa ia melepaskan pedangnya dan ia lalu cepat melompat turun untuk mengambil pedang itu dari tubuh tosu yang telah tewas itu. Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam rumah berkelebat keluar dua orang tosu lain dengan pedang di tangan.
Tik Kong terkejut sekali karena melihat betapa gerakan dua orang tosu ini bahkan lebih hebat dan cepat dari pada gerakan tosu yang ia bunuh tadi, maka tanpa dipikir panjang lagi ia melarikan diri. Ia mendengar seruan-seruan kaget dan menduga bahwa kedua orang tosu itu tentu mendapatkan kawan mereka yang mati.
Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi menuju ke rumah penginapannya, mengambil barang-barangnya dan malam itu juga ia pergi melarikan diri keluar dari dusun itu. Hatinya menyesal sekali karena baru beberapa hari saja pedang Ceng-lun-kiam pemberian Nyo Tiang Pek itu telah ia bikin hilang.
Sementara itu, kedua orang tosu setelah mencari-cari Tik Kong dengan sia-sia, lalu memeriksa keadaan saudara mereka yang tewas. Ketika melihat luka di dada bekas- pukulan Gin-san-ciang, dan terutama melihat pedang Ceng-lun-kiam, tosu-tosu terkejut sekali.
“Hei! Bukankah ini perbuatan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas?” teriak Cu Bin Tosu, kakak tuan rumah. Kawannya, Cu Gi Tosu. Mengangguk-angguk sambil mengerutkan kening.
“Tak salah lagi,” katanya, “pukulan Gin-san-ciang dan pedang Ceng-lun-kiam ini adalah bukti-bukti nyata. Hanya aku merasa heran sekali mengapa Nyo Tiang Pek memusuhi kita orang-orang Kun-lun? Hal ini harus kita laporkan segera kepada su-couw!”
Dan pada keesokan harinya, kedua tosu dari Kun-lun-pai ini setelah mengurus jenazah kawannya, segera membawa pedang Ceng-lun-kiam kembali ke Kun-lun-san dan berita itu disambut oleh seluruh pendeta Kun-lun dengan marah! Mereka mengambil keputusan untuk membalas dendam ini kepada Nyo Tiang Pek!
Sementara itu, dengan menyesal sekali Lui Tik Kong melanjutkan perjalanannya. Ia mengunjungi sahabat-sahabatnya yang banyak terdapat di tiap kota besar dan ia bertanya-tanya dan mencari-cari Hek Li Suthai. Memang Tik Kong mempunyai maksud hendak bersekutu dengan to-kouw yang lihai itu.
Akhirnya, ia dapat mencari to-kouw itu dan bertemu dengan Hek Li Suthai dan Bi Mo-li yang menjadi girang sekali karena Setan Cantik ini memang merasa suka kepada Tik Kong, yang muda dan tampan.
Lui Tik Kong merasa berbesar hati oleh karena melihat bahwa Bong Cu Sianjin, pertapa buntung itupun berada bersama Hek Li Suthai. Ia telah mendengar tentang kelihaian kakek buntung ini dan dari Kong Sin Ek dulu seringkali ia mendengar tentang permusuhan yang ada antara kakek buntung ini dengan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya.
Kalau ia mendekati kakek ini, berarti ia mendapat seorang pembela yang tangguh, bahkan seorang yang menjadi musuh Ang Lian Lihiap, hingga dengan sendirinya Lo Sin juga menjadi musuh mereka. Ia kini tak perlu merasa takut lagi, bahkan ia pergunakan kepandaiannya untuk menarik dan mengambil hati Bong Cu Sianjin.
Dan betul saja, baru saja beberapa hari berkumpul, Bong Cu Sianjin, seperti juga Kong Sin Ek, Nyo Tiang Pek dan yang lain-lain, telah terpikat oleh sikap Tik Kong yang pandai membawa diri dan mengambil hati hingga Bong Cu Sianjin merasa senang sekali dan bahkan melatih pemuda ini dengan berbagai ilmu silat.
Tentu saja Tik Kong merasa girang dan ilmu kepandaiannya makin maju. Dan dengan berterang ia lalu menjadi kekasih Bi Mo-li, hingga hubungan mereka makin erat saja. Hek Li Suthai yang tidak perdulikan sama sekali tentang hal ini, juga menaruh kepercayaan kepada Tik Kong dan menganggap pemuda ini sebagai orang sendiri.
Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai mempergunakan sebuah kuil kosong dan kuno sebagai tempat tinggal sementara. Dengan pandai, Tik Kong lalu menuturkan perihal permusuhannya dengan Lo Sin, berpura-pura tidak tahu akan permusuhan yang ada antara mereka dengan keluarga Lo.
Tentu saja ketiga kawannya makin suka dan percaya kepadanya, dan mereka lalu bermufakat untuk mencari dan membalas dendam kepada si Walet Hitam. Pada suatu hari mereka berempat bertemu dengan Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa, gadis perantau yang perkasa itu.
Kim Gan Eng sedang berjalan seorang diri karena ia hendak mencari Lee Ing, kawan barunya yang menarik hatinya itu. Ia lalu mendengar bahwa Lee Ing tinggal di Bong-kee-san dengan ayahnya, Nyo Tiang Pek yang tersohor, maka ia lalu mengambil keputusan untuk berangkat ke Bong-kee-san mencari Lee Ing dan sekalian bertemu dengan si Garuda Kuku Emas yang telah lama ia kagumi namanya.
Akan tetapi, ketika lewat di dalam hutan, tak tersangka-sangka ia berhadapan dengan Tik Kong, Hek Li Suthai, Bi Mo-li, dan seorang pendeta buntung. Tentu saja Kim-gan-eng terkejut sekali oleh karena ia maklum bahwa mereka ini adalah, orang-orang jahat musuh Lee Ing yang lihai sekali. Maka ia lalu bermaksud hendak melarikan diri, akan tetapi, Hek Li Suthai melompat dan mencegatnya, sambil tersenyum iblis dan berkata.
“Kim-gan-eng. Gurumu dulu menghinaku dan sekarang kaulah yang harus menebus penghinaan itu!!"
Dalam keadaan terjepit, Bwee Hwa timbul ketabahannya dan ia berlaku nekad, lalu mengeluarkan pedangnya dan membentak. “To-kouw jahat! Kau takut menghadapi suhuku, dan hendak mendesak aku! Boleh, boleh! Apa kaukira aku, takut kepadamu?” Lalu ia menubruk dan menyerang dengan hebat.
Ilmu kepandaian Bwee Hwa sudah maju pesat sekali setelah perjumpaannya dengan gurunya akhir-akhir ini karena Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan telah melatihnya lagi dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka serangannya juga luar biasa berbahayanya. Hek Li Suthai terkejut dan cepat mengeluarkan ilmu sepasang pedangnya yang lihai dan membalas serangan Bwee Hwa dengan tak kalah serunya.
Mereka lalu bertempur ramai dan biarpun Bwee Hwa masih kalah setingkat ilmu kepandaiannya apabila dibandingkan dengan Hek Li Suthai, namun kegesitan dan kenekadannya membuat Hek Li Suthai sukar sekali untuk dapat mengalahkannya.
Melihat hal ini, Lui Tik Kong yang tertarik oleh kecantikan Bwee Hwa, menjadi tidak sabar dan ia lalu melompat maju hendak mengeroyok, akan tetapi Bong Cu Sianjin lalu menegurnya.
“Jangan main keroyokan, memalukan aku saja!” kemudian, kakek buntung ini berseru kepada Hek Li Suthai.
“Ceng Hwa, kau mundurlah dan biarkan aku menangkap gadis ini.”
Mendengar seruan ini, Hek Li Suthai lalu melompat mundur dan tiba-tiba Bwee Hwa melihat berkelebatnya bayangan yang luar biasa gesitnya dan tahu-tahu kakek buntung itu telah berdiri di depannya dengan senyum lebar!
Ia maklum bahwa kakek ini adalah Bong Cu Sianjin yang ternama sekali karena lihai dan jahatnya maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan pedangnya. Betapapun lihainya, masa ia akan kalah oleh kakek yang sudah tidak bertangan ini, pikirnya!
Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kaki kiri Bong Cu Sianjin melayang ke atas dan menendang pergelangan tangannya yang memegang pedang! Hampir saja pergelangan tangannya kena tendangan, sedangkan angin tendangan itu saja sudah menggetarkan tangannya!
Ia berlaku hati-hati dan menyerang lagi dengan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai. Akan tetapi, tanpa pindah dari tempatnya sambil masih tetap tersenyum, lagi-lagi Bong Cu Sianjin menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan gadis itu.
Dengan perlawanan begini saja, Bwee Hwa sudah tak berdaya oleh karena setiap serangannya selalu dipecahkan oleh tendangan kaki yang benar-benar hebat itu. Selagi ia merasa sibuk, tiba-tiba tubuh Bong Cu Sianjin bergerak maju cepat sekali dan kakinya digerakkan berganti-ganti mengirim tendangan-tendangan kilat!
Tentu saja Bwee Hwa menjadi sibuk sekali, ia mencoba untuk memutar pedangnya membabat kaki yang mengancamnya itu, akan tetapi ketika pedangnya terbentur oleh kaki itu, pedangnya melayang karena terlepas dari pegangannya, dan sebelum ia dapat mengelak, ujung kaki kiri Bong Cu Sianjin telah melayang ke atas dan tahu-tahu ujung kaki itu telah dapat menotok jalan darahnya hingga ia roboh tak dapat bergerak lagi!
Bi Mo-li segera melangkah maju dengan pedang di tangan. Ia bermaksud membunuh Kim-gan-eng, akan tetapi tiba-tiba Hek Li Suthai mencegahnya.
“Bi-niang jangan kau bunuh dia! Pat-chiu Koai-hiap tidak pernah mengganggu kita, hanya menghinaku sedikit. Kitapun harus membalas hinaan itu dan untuk sementara waktu menahan Kim-gan-eng sampai Oei Gan datang menolong muridnya ini!”
Biarpun hatinya merasa gemas karena cemburu melihat betapa Tik Kong selalu menujukan pandang matanya dengan penuh gairah kepada gadis itu, namun Bi Mo-li tidak berani membantah perintah gurunya, maka ia mengeluarkan sabuk suteranya dan mengikat kedua tangan Kim-gan-eng dengan sabuk itu.
Pada saat itu, dari jauh berlari-lari datang dua bayangan yang cepat sekali larinya seakan-akan terbang. Setelah dua orang itu datang dekat, mereka terkejut juga karena yang datang adalah dua orang saudara kembar she Song, yakni Kong Liang dan Mei Ling!
Bagaimana kedua saudara kembar bisa kebetulan datang di tempat itu? Ternyata bahwa setelah mereka berdua bersama suami isteri Cin Han dan Lian Hwa turun dari Hoa-mo-san karena gagal menjumpai dan mencari Bong Cu Sianjin, Lian Hwa dengan sedih menuturkan tentang surat Nyo Tiang Pek. Mendengar hal ini, kedua saudara kembar itu terkejut sekali.
“Jangan khawatir suci, kami berdua akan pergi menemui Nyo-twako dan mendamaikan urusan ini,” kata Kong Liang.
“Benar, cici, ini adalah kewajiban kami berdua. Kesalahpahaman ini harus dibereskan dan diterangkan,” kata Mei Ling.
Maka berangkatlah kedua saudara kembar ini dengan tergesa-gesa karena mereka merasa gelisah sekali menghadapi urusan yang ruwet itu. Dan ketika mereka tiba di hutan, mereka melihat betapa Bong Cu Sianjin, Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan seorang pemuda tampan sedang menawan seorang gadis cantik dan gagah. Tentu saja melihat musuh besarnya ini, Kong Liang dan Mei Ling menjadi marah sekali.
“Bagus sekali, Bong Cu. Kami mencarimu di Hoa-mo-san, akan tetapi kau tidak berada di sana. Tidak tahunya kau berada di sini melakukan perbuatan sewenang-wenang.”
Melihat Kong Liang, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha. Kong Liang, kau masih belum mampus? Majulah, anak muda agar kau dapat berkenalan untuk kedua kalinya dengan sepasang sepatuku!”
Kong Liang menjadi marah sekali, akan tetapi Mei Ling yang merasa sakit hati karena kakaknya pernah terluka oleh pendeta buntung ini, mendahuluinya dan menyerang dengan pedangnya sambil berseru. “Pendeta rendah budi. Lihat pedang!”
Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian Mei Ling, maka ia cepat mengelak dan balas menyerang dengan tendangan kakinya yang lihai. Sementara itu, ketika melihat Kim-gan-eng rebah di atas tanah dengan tangan dan kaki diikat, dan melihat betapa gadis yang cantik jelita itu memandangnya dengan mata memohon pertolongan, tergeraklah hati Kong Liang. Secepat kilat ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Bi Mo-li yang sedang mengikat kaki Bwee Hwa.
Bi Mo-li terkejut sekali dan melompat jauh karena ia telah mengenal lihainya pemuda ini yang pernah mengalahkan gurunya. Dan ketika Hek Li Suthai melangkah maju hendak menyerang, Kong Liang telah menggerakkan pedangnya dan sekali babat saja putuslah ikatan tangan dan kaki Bwee Hwa.
Melihat bahwa gadis ternyata lemas tak dapat bergerak, Kong Liang maklum bahwa gadis ini tentu terkena totokan, maka ia lalu mencabut keluar saputangannya dan dengan menggunakan kain ini ia mengebut ke arah pundak Bwee Hwa. Seharusnya untuk membebaskan totokan, orang harus mempergunakan ujung jari tangannya.
Akan tetapi agaknya Kong Liang merasa malu-malu dan sungkan untuk menyentuh pundak Kim-gan-eng dengan jari tangannya, maka sebagai pengganti jari tangan, ia mempergunakan ujung saputangannya, yang digerakkan dengan lweekang.
Perbuatan ini amat mengagumkan hati Bwee Hwa, oleh karena tidak saja memperlihatkan kelihaian Kong Liang, akan tetapi juga menunjukkan bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu ternyata berwatak sopan.
Kong Liang menolong Bwee Hwa bukan hanya karena ia merasa kasihan, akan tetapi juga karena terdorong oleh kecerdikannya. Ia telah maklum akan kelihaian Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai, maka dengan menolong gadis yang kelihatan gagah itu, berarti di pihaknya akan bertambah seorang pembantu lagi.
Memang benar dan tepat dugaannya, karena begitu terbebas dari totokan, Bwee Hwa memandangnya dengan penuh pernyataan terima kasih, kemudian, tanpa berkata apa-apa, Bwee Hwa lalu memungut pedangnya yang tadi terlempar ke atas tanah, lalu membantu Mei Ling mengeroyok Bong Cu Sianjin!
Sementara itu, Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan Tik Kong lalu maju mengeroyok Kong Liang! Pertempuran hebat terjadi dan kedua pihak berkelahi mati-matian. Bong Cu Sianjin yang berlengan buntung, biarpun dikeroyok oleh Mei Ling dan Bwee Hwa, namun ia dapat bergerak cepat, bahkan kakinya yang lihai itu dapat mendesak kedua orang gadis itu.
Sebaliknya, Kong Liang juga merasa sibuk menghadapi keroyokan ketiga lawannya, terutama Tik Kong dan Hek Li Suthai. Tik Kong telah mendapat kemajuan hebat dalam ilmu silatnya, berkat latihan-latihan yang diterimanya dari Nyo Tiang Pek dan baru-baru ini dari Bong Cu Sianjin, dan desakan-desakannya membuat Kong Liang terheran-heran, karena ia mengenal ilmu pedang Nyo Tiang Pek.
Ia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan ini, akan tetapi ketiga orang lawannya tak memberi kesempatan padanya untuk banyak bertanya atau menaruh perhatian kepada Tik Kong seorang saja. Terpaksa ia mempergunakan ginkang yang hebat untuk menghadapi ketiga orang lawan yang amat tangguh ini.
Lebih dari seratus jurus mereka bertempur seru dan di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara senjata mereka berdua pihak. Tiba-tiba terdengar Bong Cu Sianjin tertawa berkakakan dan ketika Kong Liang melihat, ia menjadi terkejut sekali karena untuk kedua kalinya, Bwee Hwa telah roboh terkena tiam-hwat (ilmu totokan) ujung kaki Bong Cu Sianjin yang benar-benar lihai....