Si Walet Hitam Jilid 10
Melihat betapa Bwee Hwa telah dirobohkan, Mei Ling menjadi marah sekali, dengan gerak tipu Naga Sakti Mengebut Ekor ia menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan Bong Cu Sianjin. Kakek buntung yang lihai ini, tiba-tiba berjongkok hingga tusukan pedang gadis lewat di atas kepalanya dan dari bawah Bong Cu lalu menyerampang kedua kaki Mei Ling dengan kaki kirinya.
Sabetan kaki ini cepat dan kuat sekali hingga Mei Ling menjadi terkejut. Gadis ini lalu mempergunakan ginkangnya dan ketika ia mengenjot tubuhnya melayang ke atas hingga ia berhasil menghindarkan diri dari serampangan kaki lawan. Akan tetapi, tak tersangka sama sekali, tubuh Bong Cu Sianjin yang tadi masih berjongkok, tahu-tahu telah melompat ke atas pula dan kaki kanannya bergerak cepat menendang ke arah lambung Mei Ling.
Mei Ling berseru keras dan menggunakan tangan kiri menolak tendangan ini, akan tetapi, kaki kiri kakek buntung itu telah menyusul dan dengan tepat menotok iganya hingga sambil mengeluh Mei Ling lalu roboh tak dapat bergerak lagi. Kembali Bong Cu Sianjin tertawa bergelak.
“Ha, ha, ha! Kita tawan mereka, kita tahan keduanya, biar Ang Lian Lihiap sendiri datang menolong mereka!” kata Bong Cu Sianjin.
Tadinya Kong Liang hendak berlaku nekad dan mengamuk karena melihat betapa kedua orang gadis itu telah dirobohkan dan tertawan, akan tetapi ketika mendengar ucapan ini, ia mendapat pikiran lain. Ia maklum bahwa ia tentu takkan dapat menghadapi semua lawan ini seorang diri saja, terutama Bong Cu Sianjin yang amat kosen itu, maka ia lalu melompat mundur dan melarikan diri, diikuti oleh suara tertawa dari Bong Cu Sianjin yang mengejek!
Kedua orang gadis yang tertotok itu lalu diikat kaki tangannya dan dibawa ke kuil, dimasukkan dalam sebuah kamar dan dijaga. Mereka ini tak berdaya sama sekali. Untung bagi mereka bahwa yang menawan mereka bukan Tik Kong sendiri. Kalau saja mereka itu terjatuh dalam tangan Tik Kong, maka keadaan mereka berbahaya sekali.
Akan tetapi, biarpun Tik Kong merasa girang dan hatinya tergila-gila melihat kecantikan dua orang tawanan ini, namun di situ ada Hek Li Suthai dan Bi Mo-li yang membuat ia tidak berani bermain gila dan tidak berani mengganggu Mei Ling atau Bwee Hwa.
Kong Liang dengan hati bingung sekali masih berada di dalam hutan itu. Ia tidak melarikan diri jauh dan dengan hati marah dan berduka melihat dari tempat persembunyiannya betapa adiknya dan gadis gagah itu diikat kaki tangannya dan dibawa ke dalam sebuah kuil tua.
Di dalam hatinya ia sedikit merasa lega oleh karena maklum bahwa keadaan kedua orang gadis itu untuk sementara waktu tidak sangat mengkhawatirkan oleh karena agaknya Bong Cu Sianjin hendak mempergunakan mereka sebagai orang-orang tawanan atau umpan untuk memancing datangnya Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong!
Akan tetapi, sampai berapa lamakah keselamatan kedua gadis itu terjamin? Untuk kembali ke Tit-lee dan mengabarkan hal ini kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, terlalu lama. Ia tidak tega untuk meninggalkan adiknya dalam tangan orang-orang jahat itu.
Akan tetapi, untuk turun tangan menolong, juga sukar baginya oleh karena hal ini takkan berguna, bahkan besar kemungkinan ia sendiri akan roboh! Kalau ia sendiri sampai roboh di tangan Bong Cu Sianjin atau terluka dan tertawan, akan lebih buruk lagi keadaan mereka dan akan lebih tipis harapan untuk menolong.
Maka ia duduk di dalam hutan itu sambil termenung dan berduka. Ia Memutar-mutar otaknya mencari jalan, akan tetapi agaknya tidak ada jalan lain kecuali nekad menyerbu seorang diri atau cepat-cepat pergi ke Tit-lee mengabarkan dan minta pertolongan kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Sementara itu, hari telah menjelang senja dan keadaan telah mulai gelap. Kong Liang telah mengambil keputusan tetap, untuk pergi ke Tit-lee, ia tidak tega meninggalkan adiknya lama-lama di tangan musuh-musuh itu. Maka ia mengambil jalan kedua, yakni setelah hari menjadi gelap, ia hendak menyerbu dan mencoba menolong mereka. Lebih baik mati bersama adiknya daripada adiknya terganggu oleh mereka dan ia tidak berdaya menolong.
Pada saat ia masih duduk dengan bengong, tiba-tiba terdengar suara orang menegur, “Song taihiap, mengapa kau duduk di sini seorang diri?”
Kong Liang merasa terkejut dan tak terasa pula ia melompat berdiri sambil mencabut pedangnya. Akan tetapi ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya ia mengurungkan maksud hendak mencabut pedang, dan dimasukkan lagi pedang yang sudah tercabut setengahnya itu.
“Kau di sini?” tanyanya dan memandang kepada wajah Yap Bun Gai dengan tajam.
Ternyata bahwa yang berdiri di depannya itu adalah pemuda petani yang dulu dijumpainya di puncak Hoa-mo-san, yakni pemuda murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini berhati baik, namun betapapun juga pemuda ini adalah murid Bong Cu Sianjin, maka Kong Liang bersikap dingin kepadanya.
“Song taihiap, ada terjadi apakah? Kau pucat dan kelihatan khawatir sekali. Apakah kau telah berkelahi lagi dengan suhu?”
Tentu saja Kong Liang merasa malu untuk mengakui betapa ia dan adiknya kembali dikalahkan oleh Bong Cu Sianjin, maka ia lalu menjawab dengan ketus, “Kau boleh ikut bergirang hati. Gurumu yang gagah dan baik itu telah dapat menawan adikku dan seorang gadis lain.”
Tiba-tiba berubah wajah Bun Gai yang tampan dan jujur. “Adikmu tertawan? Ah......” hanya demikian ia berkata dan kemudian ia cepat hendak pergi dari situ, seakan-akan ia tergesa-gesa sekali.
“Hai, kau hendak ke mana?” tegur Kong Liang yang merasa heran juga melihat pemuda ini tiba-tiba muncul di situ.
Bun Gai menahan langkah kakinya. “Aku diperintah oleh Niang-niang untuk menemui suhu di kuil dalam hutan ini.” Kemudian setelah menjura tanpa berkata apa-apa lagi pemuda itu lalu melompat pergi dengan cepat sekali.
Kong Liang menghela napas panjang. Celaka, pikirnya. Kini pihak mereka kedatangan seorang yang tangguh lagi. Ia telah mengetahui kelihaian pemuda tani ini yang dengan mudah dulu telah mempermainkan Mei Ling. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini lebih lihai dari Mei Ling dan bahkan mungkin sekali lebih lihai dari kepandaiannya sendiri. Biarpun pemuda itu dulu memperlihatkan sikap baik, namun apabila berhadapan dengan suhunya, terpaksa pemuda itu tentu harus membantu suhunya.
Kong Liang merasa makin khawatir dan harapannya untuk dapat menolong adiknya makin menipis. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa ia menjadi takut. Bahkan mengambil keputusan nekad untuk mengadu jiwa.
Sementara itu dengan rasa hati tidak keruan, Yap Bun Gai berlari cepat sekali ke kuil di mana Bong Cu dan yang lain-lain berada. Melihat kedatangan muridnya, Bong Cu tertawa lebar dan bertanya.
“Bun Gai, mengapa kau menyusul ke sini? Apakah kau disuruh oleh suci?”
Sambil berlutut di depan suhunya, Bun Gai menjawab, “Betul, suhu. Niang-niang telah memerintahkan kepada teecu untuk menghadap kepada suhu yang telah dicari oleh Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong naik ke Hoa-mo-san.”
Kemudian ia menceritakan semua hal yang terjadi di Hoa-mo-san, akan tetapi ia tidak menceritakan pertempurannya dengan Mei Ling. Ketika mendengar bahwa Lan Bwe Niang-niang telah mengundang Ang Lian Lihiap untuk datang bersama suaminya ke Hoa-mo-san tiga bulan lagi, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak-gelak.
“Bagus, bagus!” katanya. “Suci memang cerdik sekali. Dia telah mengundang datang Ang Lian Lihiap untuk tiga bulan lagi di puncak Hoa-mo-san dan sementara itu, aku dapat mencari kawan-kawan untuk membantuku nanti.”
“Dan Niang-niang berpesan supaya suhu dan saudara-saudara lain jangan turun tangan atau mengganggu pihak musuh sebelum tiba waktu itu, oleh karena Niang-niang khawatir kalau-kalau pihak kita akan dianggap tidak memegang teguh perjanjian.” Bun Gai berkata kembali, dan kali ini yang diucapkan adalah kata-kata menurut suara hatinya.
“Tentu, tentu!” kata Bong Cu Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kita juga orang-orang gagah yang dapat menghargai nama sendiri. Bun Gai ketahuilah aku menawan dua orang musuh-musuh kita dan karena hendak menjaga nama baiklah maka sehingga saat ini kedua orang musuh itu tidak kubinasakan.”
Kemudian dengan suara sombong sekali Bong Cu Sianjin memamerkan kepada muridnya betapa dengan mudah ia menjatuhkan dan menawan Mei Ling dan Bwee Hwa.
Bun Gai sengaja memperlihatkan muka tidak mengacuhkan sama sekali. Biarpun di dalam dadanya, jantungnya berdebar ketika mendengar betapa Mei Ling, gadis jelita yang secara aneh sekali telah membuat ia serba salah, makan tak sedap tidur tak nyenyak dan wajah gadis itu semenjak pertempuran dulu itu terbayang-bayang di depan matanya bahkan muncul tiap malam di alam mimpinya.
Malam hari itu, Kong Liang datang menyerbu. Ia meloncat ke atas genteng kuil dan tentu saja kedatangannya ini telah diketahui oleh Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya yang segera melompat ke atas untuk menyambutnya. Tiba-tiba, kuil di sebelah kiri nampak terbakar hingga Bong Cu Sianjin menjadi terkejut sekali. Ia mengira bahwa Kong Liang datang berkawan maka cepat ia memberi perintah.
“Hai, kau Tik Kong dan Bi-niang menjaga di sebelah kiri dan kau Ceng Hwa, kau menjaga di belakang kuil. Biar aku sendiri menghadapi pemuda ini. Bun Gai, kau menjaga di bawah dan awas jangan sampai ada musuh menyerobot ke dalam dan merampas tawanan kita.”
Semua orang melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakek buntung itu. Tak seorangpun menyangka bahwa pembakaran di sebelah kiri kuil tadi dilakukan oleh Bun Gai yang telah dapat tahu lebih dulu akan serbuan Kong Liang membarengi aksi pemuda itu dengan membakar kuil.
Kebetulan sekali ia diberi tugas menjaga di bawah, maka ia lalu cepat meruntuhkan pintu kamar tahanan Mei Ling dan Bwee Hwa. Ketika Mei Ling melihat siapa orangnya yang datang dengan pedang di tangan, tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Apalagi ketika tanpa banyak cakap Bun Gai lalu menggunakan pedangnya untuk memutuskan semua tali yang mengikat Bwee Hwa kemudian menepuk pundak mereka membebaskan pengaruh totokan, gadis ini berbisik.
“Terima kasih!”
Akan tetapi setelah melepaskan mereka, tiba-tiba Bun Gai berseru nyaring sekali. “Bangsat perempuan rendah! Kalian hendak lari ke mana?” dan ia lalu menyerang Mei Ling dengan pedang di tangan kiri, ia melempar dua batang pedang gadis itu yang tadi telah diambilnya dari ruang dalam di mana pedang kedua orang gadis itu disimpan!
Tentu saja Bwee Hwa menjadi kaget dan heran dan menyangka bahwa orang yang menolongnya ini tentu seorang gila! Akan tetapi, sambil menangkis serangan Bun Gai dengan pedang di tangan kanan dan mengusap matanya yang tiba-tiba terasa pedas dan mengalirkan air mata karena terharu, Mei Ling lalu berkata, “Adik Bwee serang dia!”
Biarpun ragu-ragu karena diharuskan menyerang seorang yang telah menolongnya, akan tetapi karena selama dalam tahanan dan bicara serta mengenal Mei Ling sebagai seorang wanita gagah yang lebih tinggi kepandaiannya dari dia sendiri, juga lebih tua usianya, maka Bwee Hwa segera mentaati perintah ini dan mengeroyok Bun Gai!
Bun Gai melawan mereka dengan pedangnya yang diputar hebat sekali dan tiada hentinya pemuda ini berteriak-teriak, “Penjahat perempuan! Kali ini kalian pasti mampus di tangan Yap Bun Gai!”
Kemudian, dengan suara perlahan sekali ia berbisik kepada Mei Ling. “Lekas melarikan diri ke atas genteng dan pada saat aku mengejar, jangan ragu-ragu kau lukai aku!”
Mendengar ini, dengan terharu sekali Mei Ling mengangguk dan karena ia maklum bahwa di situ terdapat Bong Cu Sianjin, Hek Li Suthai dan lain-lain yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu berseru. “Adik Bwee mari kita lari!” Mereka lalu melompat keluar dan terus naik ke atas genteng!
“Penjahat-penjahat perempuan, hendak lari ke mana?” Bun Gai mengejar dan juga melompat naik ke atas genteng!
Akan tetapi, baru saja ia naik, Mei Ling sudah mengirim tusukan ke arah dadanya dan ketika melihat betapa pemuda ini sama sekali tidak menangkis, Mei Ling terkejut sekali dan cepat miringkan pedangnya ke atas hingga tidak menusuk ke dada, akan tetapi meleset dan melukai pundak Bun Gai! Darah mengalir dan Bun Gai berteriak keras.
“Aduh!” tubuhnya lalu terguling ke bawah!
Pada saat itu, Bong Cu Sianjin sedang mendesak Kong Liang dengan hebat sekali. Mendengar teriak Bun Gai dan melihat betapa tubuh muridnya itu terguling, kakek buntung ini terkejut dan cepat melompat ke bawah. Melihat betapa muridnya jatuh sambil berdiri dan tidak menderita luka berat, ia marah sekali kepada lawan-lawannya dan berseru.
“Kalian lari ke mana?” Ia hendak melompat mengejar, akan tetapi Bun Gai cepat mencegah.
“Suhu biarlah mereka itu lari. Tiga bulan lagi kita membuat pembalasan di Hoa-mo-san!”
Bong Cu Sianjin teringat dan ia menahan kakinya. Sementara itu Mei Ling cepat berseru kepada Kong Liang. “Koko, lekas lari!”
Kong Liang merasa heran dan girang sekali melihat bahwa adiknya dan Bwee Hwa telah terbebas dari ikatan, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu ikut melarikan diri.
Tiba-tiba Hek Li Suthai, Tik Kong, dan Bi Mo-li yang melihat mereka melarikan diri, lalu mengejar. Hek Li Suthai mengayunkan tangannya berkali-kali dan senjata rahasia yang berwarna hitam dan halus sekali bentuknya menyambar ke arah tiga orang itu.
“Awas jarum rahasia!” seru Kong Liang sambil membalikkan tubuh dan memutar-mutarkan pedangnya untuk melindungi kedua orang gadis itu.
Beberapa batang jarum yang dilepas oleh Hek Li Suthai terpukul oleh pedang itu sedangkan Mei Ling dan Bwee Hwa berlari terus, akan tetapi ketika Kong Liang hendak menyusul kedua kawannya, tiba-tiba ia merasa betapa pundak kirinya sakit sekali. Ia tahu bahwa ia telah terkena senjata rahasia lawan, maka ia lalu cepat menyusul adiknya dan berlari cepat.
Malam itu gelap sekali hingga memudahkan ketiga orang muda itu untuk melarikan diri dan sebentar saja Hek Li Suthai dan kawan-kawannya kehilangan bayangan mereka. Dengan gemas sekali Hek Li Suthai dan kawan-kawannya lalu kembali ke kuil.
Ternyata bahwa tadi ketika tidak melihat musuh, Hek Li Suthai, muridnya dan Tik Kong, lalu memadamkan api yang membakar kuil dan setelah api padam, mereka melihat bayangan Kong Liang dan dua orang gadis itu melarikan diri. Sedangkan Bong Cu Sianjin setelah dicegah oleh Bun Gai untuk mengejar, lalu minta keterangan dari anak muda ini bagaimana tawanan mereka bisa lari.
“Teecu melihat bayangan seorang laki laki tua yang tiba-tiba datang menyerang dan gerakannya demikian cepatnya hingga teecu tidak melihat jelas mukanya. Kemudian orang itu melarikan diri ke dalam kamar tahanan dan teecu melihat bahwa kedua nona yang tertawan itu telah terlepas. Teecu menyerang akan tetapi laki-laki tua itu dengan hebat telah menyambut serangan teecu dan ternyata bahwa ilmu kepandaiannya hebat sekali, membuat teecu tidak berdaya.
"Kemudian orang itu melarikan diri dan melihat bahwa kedua nona itu juga melarikan diri ke atas genteng, teecu lalu mengejar akan tetapi sial teecu karena mendapat luka di pundak akibat kena pedang salah seorang diantara, penjahat-penjahat perempuan itu!”
Di dalam hati Bong Cu merasa heran dan kurang percaya kepada muridnya ini, akan tetapi ia tidak berkata sesuatupun. Ketika Hek Li Suthai mendengar cerita ini, to-kouw tua inipun menyatakan keheranannya.
“Kalau memang musuh yang lihai datang, mengapa dia tidak muncul dan memperlihatkan diri? Siapakah laki-laki lihai itu, apakah barangkali dia Pat-chiu Koai-hiap, guru Kim-gan-eng itu?”
Sambil berkata demikian, Hek Li Suthai memandang tajam kepada Bun Gai, dan ia menaruh hati curiga sekali kepada adik seperguruan ini, akan tetapi oleh karena ia takut menuduh di depan Bong Cu Sianjin, juga oleh karena ia sendiri merasa segan kepada Bun Gai yang diketahui memiliki kepandaian tinggi, maka daripada itu ia juga diam saja.
Pembicaraan mereka itu dilakukan di luar kuil dan dengan suara keras. Tiba-tiba dari tempat gelap terdengar suara orang laki-laki tertawa dan disusul dengan ucapan mengejek. “Bong Cu, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan kau. Nanti saja di Hoa-mo-san kita bertemu!”
Semua orang terkejut dan yang lebih heran lagi adalah Bun Gai. Mereka cepat melompat ke arah suara, akan tetapi karena malam itu gelap sekali, mereka hanya mendengar suara kaki orang cepat berlari, akan tetapi sama sekali tidak melihat orangnya!
Suara ini otomatis melenyapkan keraguan di hati Bong Cu dan Hek Li Suthai dan mereka kini percaya penuh akan keterangan Bun Gai tadi bahwa benar-benar ada seorang laki-laki pihak lawan yang lihai telah datang menolong tawanan-tawanan itu!
Sedangkan di dalam hatinya, Bun Gai menduga-duga dengan penuh keheranan. Laki-laki yang diceritakannya tadi hanyalah karangan kosong belaka untuk memperkuat kedudukannya agar jangan sampai menimbulkan curiga, akan tetapi, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki datang memperkuat cerita bohongnya!
Baik Bun Gai sendiri, maupun yang lain-lain itu sama sekali tidak tahu bahwa yang datang itu bukan lain ialah Mei Ling. Gadis ini telah berhasil melarikan diri, lalu teringat kepada Bun Gai yang telah menolongnya. Ia merasa terharu sekali, terutama kalau ia teringat betapa untuk menolongnya, pemuda itu tidak ragu-ragu untuk menerima tusukan pedang dengan dadanya!
Pemuda itu rela berkorban jiwa untuk menolong dia! Alangkah mulia hatinya. Ia bergidik kalau teringat betapa Bun Gai tadi sama sekali tidak menangkis tusukannya dan kalau ia tidak lekas-lekas merobah gerakan pedangnya, tentu dada pemuda itu telah tertembus oleh pedangnya!
Dan sekarang pemuda itu tentu berada dalam bahaya karena kalau sampai diketahui oleh gurunya dan lain-lain orang tentang pengkhianatannya, tentu ia akan menderita celaka! Mengingat hal ini, Mei Ling berlari mengucurkan air mata! Dan aku… aku melarikan dengan selamat, membiarkan dia menderita bencana karena telah menolongku, pikirnya!
Tiba-tiba ia berkata kepada Kong Liang dan Bwee Hwa. “Kalian berangkatlah dulu, aku perlu kembali sebentar!”
Kong Liang dan Bwee Hwa terkejut dan hendak bertanya, akan tetapi Mei Ling sudah melompat dan berlari kembali. Terpaksa mereka lalu menanti di dalam hutan. Semenjak tadi, sebetulnya Kong Liang telah merasa payah sekali akibat luka di pundaknya yang terkena jarum yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai.
Akan tetapi oleh karena mereka sedang melarikan diri, dia tidak mau mengganggu kedua orang gadis itu diam-diam ia menahan lukanya dan berlari terus. Sekarang, setelah ia berhenti berlari, luka di pundaknya terasa sakit hingga tak terasa lagi ia menjatuhkan diri sambil mengeluh dan memegangi pundaknya.
Bwee Hwa terkejut dan karena malam itu gelap sekali, ia tidak dapat melihat wajah Kong Liang. “Kau... kau kenapa...?” tanyanya sambil berjongkok di depan Kong Liang yang duduk menyandarkan tubuh di batang pohon.
“Pundakku... aku terluka oleh jarum yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai... agaknya mengandung bisa…” jawabnya dengan napas memburu karena ia menahan sakitnya.
Bwee Hwa merasa bingung sekali dan hatinya berdebar penuh kekhawatiran. Semenjak Kong Liang dan Mei Ling datang menolong ketika ia tertawan oleh Bong Cu Sianjin tadi, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Kong Liang yang gagah dan tampan. Dan sekarang pemuda ini terkena jarum beracun, tentu saja ia merasa bingung sekali. Tak terasa pula ia mengulurkan tangan dan meraba pundak orang.
“Di mana…? Di mana yang terkena jarum?” Gerakan ini adalah terdorong oleh rasa khawatir hingga pada saat itu ia tidak ingat akan rasa malu-malu atau kesopanan.
“Yang kiri…” jawab Kong Liang dalam gelap, dan membantu dengan memegang tangan Bwee Hwa yang meraba-raba pundak kanannya lalu membawa tangan yang berkulit halus itu ke atas pundak kirinya.
Bwee Hwa berlutut di dekatnya dan gadis ini dengan cekatan lalu merobek baju Kong Liang di pundak itu, kemudian kedua tangannya meraba-raba. Benar saja, ia meraba sebatang jarum yang halus sekali menancap di pundak pemuda itu.
“Aduh!” Kong Liang berseru dengan suara tertahan ketika jari tangan Bwee Hwa menyentuh jarum.
“Hm, ini dia!” kata Bwee Hwa sambil meraba-raba jarum dan tahulah ia bahwa daging di sekitar jarum yang menancap itu, telah membengkak dan panas sekali. “Engko Kong Liang, kau diamlah dan jangan bergerak, aku hendak mencabut jarum ini!”
“He, kau telah tahu namaku?” tanya Kong Liang hingga di dalam gelap Bwee Hwa tersenyum.
“Aku tahu namamu dari cici Mei Ling. Sudahlah, kau diam saja aku mencabut jarum ini!” Sambil berkata demikian, Bwee Hwa menggunakan tangan kiri menahan pundak Kong Liang dan dengan jari-jari tangan kanan ia menjepit jarum itu lalu mencabutnya perlahan.
Gadis ini telah mendapat banyak pelajaran dari suhunya tentang segala senjata rahasia, maka dalam melakukan pencabutan jarum ini, ia tidak berani mencabut dengan cepat, khawatir kalau-kalau jarum itu di ujungnya mempunyai kaitan. Banyak terdapat senjata rahasia keji yang dipasangi kaitan seperti pancing hingga kalau dicabut, kaitan itu akan mengait daging bahkan ada kaitan yang sengaja dipasang sedemikian rupa hingga kalau senjata rahasia itu dicabut, maka kaitannya akan tertinggal di dalam daging.
Kong Liang merasa sakit sekali, karena biarpun jarum itu kecil, namun mengandung racun yang membuat ia merasa panas dan perih pada lukanya. Pemuda ini menggigit bibirnya dan akhirnya jarum itu terlepas dari pundaknya. Ketika meraba dengan hati-hati sekali ujung jarum itu Bwee Hwa merasa lega sekali jarum ini tidak dipasangi kaitan.
Rasa sakit membuat tubuh Kong Liang agak menggigil dan Bwee Hwa pun tahu akan hal ini, maka diam-diam ia merasa amat kasihan kepada pemuda ini.
“Kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengetahui namamu,” kata Kong Liang hingga lagi-lagi Bwee Hwa tersenyum dalam gelap. Di dalam menderita sakit, ternyata pemuda ini masih teringat akan soal nama tadi. Sungguh lucu.
“Nanti saja soal itu,” jawabnya, “Sekarang yang perlu aku harus mengeluarkan bisa dari pundakmu. Kalau tidak, racun jarum ini akan menjalar ke dalam tubuh dan hal ini akan berbahaya sekali.”
Hati Kong Liang berdebar karena baru ia teringat bahwa Hek Li Suthai terkenal sebagai ahli racun. Ia ingat akan penuturan Ang Lian Lihiap tentang kelihaian mereka ini mempergunakan benda-benda berbisa yang berbahaya. Maka ia lalu diam tak bergerak dan merasa khawatir juga.
“Bagaimana kau bisa melakukan hal itu?” tanyanya dengan perlahan karena sesungguhnya debar hatinya bukan hanya karena kekhawatirannya belaka, akan tetapi sebagian besar adalah karena adanya Bwee Hwa yang duduk demikian dekat dengannya hingga ia seakan-akan dapat mendengar detak jantung gadis itu dan dapat merasai hawa panas yang keluar dari pernapasannya.
“Liang-ko, kau diamlah saja dan mudah-mudahan aku akan dapat mengeluarkan racun ini.”
Alangkah merdunya suara ini, dan alangkah mesranya panggilan yang keluar dari mulut gadis ini. Belum pernah Kong Liang merasa sesenang ini. Ia meramkan mata dan tiba-tiba ia berseru kesakitan karena merasa betapa ujung pedang yang tajam ditusukkan perlahan pada daging pundaknya.
“Aduh…”
“Tahankanlah, Liang-ko. Aku perlu membuat jalan keluar bagi darah dan racun.”
Kong Liang menggigit bibirnya dan menahan sakit. Karena keadaan amat gelap, maka ia tidak dapat melihat betapa gadis itu mengeluarkan bungkusan dari kantong bajunya dan menelan tiga butir pel ke dalam mulutnya. Bwee Hwa mengunyah pel ini, kemudian ia mendekatkan mulutnya pada pundak yang terluka itu.
Kong Liang tiba-tiba mencium keharuman rambut Bwee Hwa yang mengusap mukanya dan ia merasa heran sekali, juga kagum dan senang. Tiba-tiba pemuda itu merasa betapa mulut gadis itu ditempelkan di pundaknya dan dari luka yang dibuat oleh ujung pedang tadi, gadis itu lalu menyedot dengan mulutnya.
Kong Liang merasa betapa tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, akan tetapi ia sedikitpun tidak mengeluh. Ia bukan terlalu kuat menahan sakit, akan tetapi karena memang pada saat itu ia tidak dapat mengeluh.
Agaknya, biar lehernya ditusuk pedang, ia takkan merasa sama sekali, karena seluruh perasaannya sedang tergetar oleh haru dan bahagia. Bibir gadis itu yang menempel di pundak dan menyedot keluar darah dan racun, agaknya telah menyedot semangatnya keluar dari tubuh. Hampir saja ia tidak percaya akan semua ini. Gadis itu telah menggunakan bibirnya yang indah dan lemas untuk menyedot racun dari lukanya. Hebat sekali.
Memang, Bwee Hwa tidak melihat jalan lain untuk menolong Kong Liang dari bahaya dan ancaman racun kecuali menyedot keluar bisa itu dari pundak Kong Liang. Dan gadis ini selalu membawa pel anti racun pemberian gurunya, maka ia lalu melakukan perbuatan menolong jiwa pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi.
Untung sekali baginya bahwa keadaan di sekitar mereka gelap sekali hingga wajah orang yang berada dekat di depan pun tidak kelihatan jelas. Kalau keadaan di situ terang, tentu ia akan merasa kikuk dan malu sekali.
Kini ia dapat bekerja dengan leluasa tanpa merasa sungkan, apalagi di situ tidak ada orang lain yang melihatnya. Ia perlu menolong pemuda ini, perlu membalas budinya, dan ia melakukannya dengan segala kerelaan hatinya bahkan ia merasa bangga dan bahagia dapat menolong pemuda yang amat baik ini.
Setelah akhirnya menyedot keluar darah yang encer, Bwee Hwa tahu bahwa racun telah dikeluarkan dari tubuh Kong Liang. Tadi ia berkali-kali menyedot dan meludahkan darah kental bercampur racun, dan Kong Liang masih saja duduk bersandar pohon tanpa berani berkutik!
“Nah, racun telah keluar semua,” bisik Bwee Hwa yang cepat mengunakan sapu tangan pembungkus rambutnya untuk membalut pundak itu. Tiba-tiba Kong Liang memegang tangannya dan menggenggam jari-jari tangannya erat-erat.
“Kau… kau… siapakah namamu...?”
Kini setelah bahaya yang mengancam pemuda itu telah lenyap, mendengar pertanyaan ini meledaklah suara tertawa Bwee Hwa. Ia cepat-cepat membetot tangannya yang digenggam itu dengan gerakan halus, lalu mengundurkan diri dalam gelap. Ia anggap pemuda ini lucu sekali.
“Namaku Coa Bwee Hwa.”
“Indah sekali namamu… Bwee Hwa…” bisik Kong Liang.
“Akan tetapi kalau kau sudah tahu benar siapa aku sebetulnya, kau tentu takkan menganggapnya indah lagi,” kata Bwee Hwa sambil menghela napas panjang.
“Mengapa begitu? Aku selamanya akan menganggap kau seorang yang termulia, seorang yang paling baik di atas dunia ini, seorang yang…”
“Sst…” cegah Bwee Hwa, kemudian karena tahu bahwa pemuda itu sudah terbebas daripada bahaya maut. Ia berkelakar. “Agaknya sedikit racun telah menjalar ke dalam kepalamu hingga kau bicara melantur tidak karuan!”
“Tidak, Bwee Hwa… aku... aku berhutang budi besar sekali padamu, aku... suka padamu.”
“Biarpun aku seorang perampok jahat, biarpun aku seorang perempuan ganas?”
“Tak mungkin! Siapa yang bilang bahwa kau seorang perempuan jahat dan ganas? Akan kurobek mulutnya!”
“Aku… aku adalah....”
Sampai lama Kong Liang menanti kelanjutan pengakuan ini, akan tetapi agaknya berat bagi Bwee Hwa untuk mengaku hingga ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tertawa dan berkata. “Koko, dia adalah Kim-gan-eng yang terkenal gagah perkasa!”
Ternyata yang datang ini adalah Mei Ling dan yang secara main-main melanjutkan kata-kata Bwee Hwa! Kong Liang merasa terkejut karena ia pernah mendengar nama Kim-gan-eng sebagai perampok wanita tunggal yang disegani. Akan tetapi, pernah ia mendengar dari Ang Lian Lihiap yang menyatakan bahwa biarpun seorang perampok, akan tetapi Kim-gan-eng tidak jahat dan diam-diam pemuda ini menarik napas lega, karena betul gadis ini tidak jahat bahkan berhati mulia.
“Bagus sekali,” katanya dan mengubah suaranya menjadi biasa lagi, “kita telah berkenalan bahkan ditolong oleh seorang pendekar wanita yang terkenal gagah perkasa!”
Mei Ling tertawa lagi dan suara tertawanya membuat Kong Liang dan Bwee Hwa bermerah muka di dalam gelap, karena mereka merasa betapa Mei Ling mentertawakan mereka. Agaknya gadis ini sudah lama berada di situ hingga mencuri dan mendengar percakapan mereka tadi!
“Mei Ling, kau tadi pergi ke mana saja?” Kong Liang menegur dengan suara keras untuk mengalihkan perhatian mereka dan memecahkan keadaan yang membuat nya merasa malu itu.
Mei Ling lalu menuturkan pengalamannya. Terus terang ia mengaku bahwa karena mengkhawatirkan nasib Yap Bun Gai yang telah menolong dia dan Bwee Hwa, maka ia sengaja mengintai dan ketika mendengar percakapan yang terjadi antara Bun Gai dan gurunya, ia lalu membantu dan memperkuat alasan itu dengan menirukan suara laki-laki dari dalam gelap.
Tiba-tiba terdengar Bwee Hwa bertepuk tangan gembira dan berkata, “Bagus, bagus. Pemuda she Yap itu memang gagah dan berbudi, sudah sepantasnya kalau cici Mei Ling pergi membelanya.”
Syukur sekali bahwa Mei Ling berada di dalam gelap, kalau tidak tentu ia akan bermerah muka karena merasa betapa sindiran Bwee Hwa itu tepat mengenai hatinya. Kong Liang merasa tertarik sekali lalu bertanya.
“Akupun telah menduga bahwa tentu pemuda itu yang menolong kalian. Bagaimanakah terjadinya?”
Dengan suara gembira Bwee Hwa lalu menceritakan pengalamannya. Ia sengaja melakukan ini karena ia ingin membalas godaan Mei Ling tadi, maka ia menceritakan semua dengan sejelasnya kepada Kong Liang, betapa Yap Bun Gai melepaskan mereka, menipu gurunya dan bahkan rela dilukai oleh pedang Mei Ling pada pundaknya.
Mendengar ini, dengan suara terharu Kong Liang berkata, “Nyata bahwa Yap Bun Gai adalah seorang yang berbudi dan mulia. Telah dua kali ia sengaja menerima tusukan pedang Mei Ling untuk membela dan menolong dia. Ia boleh diumpamakan setangkai bunga teratai yang indah bersih tumbuh di dalam lumpur.”
Kata-katanya ini mendatangkan dua akibat. Pertama, Mei Ling yang ingat akan kebaikan dan pengorbanan Bun Gai dan teringat betapa Bun Gai yang malang itu hidup diantara orang-orang jahat, maka ia merasa terharu sekali hingga ke dua matanya menjadi basah, sedangkan akibat kedua ialah bahwa Bwee Hwa merasa tertarik sekali mendengar ini dan lalu minta kepada Kong Liang untuk menceritakan mengapa Bun Gai sudah dua kali menerima tusukan pedang Mei Ling.
Kong Liang lalu menceritakan pengalaman mereka di atas bukit Hoa-mo-san dan kembali Bwee Hwa memuji kebijaksanaan pemuda she Yap itu. Biarpun Mei Ling dengan terharu sekali mengalirkan air mata, namun tentu saja kedua orang yang lain itu tidak melihatnya.
“Eh, cici Mei Ling, mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menganggap bahwa pemuda she Yap itu benar-benar mulia sekali hatinya?”
Terdengar jawaban Mei Ling disertai tarikan napas panjang. “Memang ia seorang yang baik hati.”
“Akan tetapi aku tidak tahu siapakah pemuda, yang berada di antara mereka itu,” kata Kong Liang.
Dan Bwee Hwa lalu menceritakan bahwa pemuda itu adalah Lui Tik Kong yang menjadi musuh Lee Ing, lalu ia menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Lee Ing yang mengejar-ngejar Tik Kong. Kong Liang dan Mei Ling mendengarkan penuturan ini dengan hati tertarik dan mereka merasa makin bingung dan ruwet melihat persoalan yang hanya mereka ketahui setengah-setengah itu.
Mereka mendengar penuturan Ang Lian Lihiap bahwa Tik Kong adalah murid Kong Sin Ek yang murtad dan bahwa justru pemuda ini dipilih oleh Nyo Tiang Pek untuk dijodohkan dengan Lee Ing puteri tunggal Nyo Tiang Pek dan kemudian Lo Sin datang mengacau hingga kedua pengantin itu melarikan diri dan akibatnya Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali kepada Lo Sin bahkan lalu menulis surat kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Akan tetapi, mengapa kini Bwee Hwa menceritakan bahwa Lee Ing mengejar-ngejar Tik Kong dan hendak membunuhnya? Mereka diam-diam memuji Lee Ing yang merasa benci kepada calon suami itu karena telah mengerti bahwa Tik Kong telah menganiaya Kong Sin Ek, akan tetapi kemanakah perginya Lee Ing dan ke mana perginya Lo Sin?
Oleh karena melihat bahwa Bwee Hwa telah menjadi seorang kawan yang baik dan boleh dipercaya penuh, maka Kong Liang dan Mei Ling menceritakan hubungan mereka dengan Ang Lian Lihiap dan menceritakan pula bahwa mereka sedang menuju Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek dan mendamaikan urusan itu.
Ketika malam berganti fajar dan mereka bisa saling melihat wajah masing-masing, tak terasa pula Kong Liang dan Bwee Hwa menjadi malu dan tidak berani saling pandang. Ketika mendengar betapa Bwee Hwa telah menyembuhkan luka Kong Liang, diam-diam Mei Ling merasa bersyukur sekali dan ia telah mengambil keputusan di dalam hati untuk mengusulkan kepada cicinya, yakni Ang Lian Lihiap, untuk menjodohkan kakaknya itu dengan Bwee Hwa.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kong Liang mempunyai maksud yang sama, yakni hendak minta pertolongan Cin Han untuk menjodohkan adiknya dengan pemuda Yap Bun Gai! Bwee Hwa yang sudah jatuh “jatuh hati” betul-betul kepada Kong Liang dan suka pula kepada Mei Ling, lalu mengajukan permintaan untuk menyertai kedua saudara kembar itu menuju ke Bong-kee-san untuk mencari Nyo Tiang Pek.
Tentu saja permintaan ini diterima dengan baik dan dengan girang hati, oleh karena selain gadis ini merupakan teman seperjalanan yang menyenangkan, juga kehadiran gadis ini dihadapan Nyo Tiang Pek perlu sekali karena Bwee Hwa dapat menjadi saksi untuk meyakinkan jago tua ini bahwa ia telah salah pilih dan bahwa Lui Tik Kong memang benar-benar seorang pemuda jahat. Demikianlah, mereka bertiga lalu berangkat, ke Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek!
Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong maklum bahwa nanti apabila terjadi pertempuran di puncak Hoa-mo-san keadaan musuh kuat sekali. Apalagi kalau Lian Bwee Niang-niang sendiri turun tangan, maka sukar bagi mereka berdua untuk mendapat kemenangan.
“Kalau saja ada Nyo-twako seperti dulu, tentu keadaan kita lebih kuat,” kata Cin Han.
“Sudahlah jangan mengharapkan bantuan orang,” jawab Lian Hwa, “Apakah tanpa bantuan orang she Nyo itu, kita tak dapat berdiri sendiri? Kau, aku dan Sin-ji bertiga cukup untuk menghadapi Lian Bwee Niang-niang dan kawan-kawannya.”
Cin Han menarik napas panjang. “Kau terlampau memandang rendah keadaan lawan. Dan pula, kita tidak tahu bila Sin-ji akan pulang, bahkan sekarangpun kita tidak tahu dia berada di mana.”
“Mengapa kau tidak pergi mencarinya? Carilah dia, kitapun perlu mendengar tentang usahanya menangkap penjahat yang menganiaya Kong-twako.”
Mendengar ucapan isterinya ini darah perantau bergolak pula di dalam hati Cin Han. Ia tertarik sekali untuk pergi mencari puteranya sambil merantau, mengunjungi tempat-tempat indah, menengok sahabat-sahabat lama. “Isteriku, mengapa kita berdua tidak pergi dan menikmati perjalanan lagi seperti dulu?” katanya gembira.
Untuk sejenak Lian Hwa terpengaruh oleh kegembiraan dan ajakan suaminya itu, akan tetapi ia lalu menggelengkan kepalanya. “Kalau kita berdua pergi, siapa yang menunggu rumah? Pula kalau sewaktu-waktu Sin-ji datang bukankah dia akan mencari-cari kita ke mana-mana? Tidak, suamiku. Sekarang bukan waktunya untuk melancong. Pergilah kau sendiri mencari Sin-ji, sedangkan aku akan menunggu saja di sini, menanti kedatangan Sin-ji dan kedatangan Kong Liang dan Mei Ling dari Bong-kee-san. Aku khawatir kalau-kalau pihak Bong Cu akan datang mengganggu dan kalau kita berdua pergi, siapa yang akan menyambutnya?”
Setelah berpikir-pikir akhirnya Cin Han menyetujui pendapat isterinya dan pada keesokan harinya, dengan membawa buntalan terisi pakaian dan bekal, Hwee-thian Kim-hong berangkat melakukan perjalanannya untuk mencari anaknya.
Pada suatu pagi, dua hari kemudian setelah suaminya pergi, seorang diri Lian Hwa berlatih silat di kebun belakang rumahnya. Ia akan menghadapi pertempuran besar beberapa bulan lagi, maka ia hendak melatih ilmu pedangnya untuk melemaskan tangan dan menyempumakan gerakan-gerakan yang paling sulit dan sukar dari ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pendekar wanita yang gagah perkasa ini berlatih silat seorang diri dengan gesitnya dan dalam pakaiannya yang berwarna putih itu tubuhnya lenyap berubah menjadi sinar putih yang dikelilingi cahaya berkeredepan dari pedangnya yang bergerak secara luar biasa sekali!
Tiba-tiba terdengar seruan memuji yang diucapkan dengan keras sekali. “Bagus, bagus! Ang Lian Lihiap ternyata hebat sekali ilmu pedangnya!”
Lian Hwa cepat-cepat memasukkan kembali pedangnya ke belakang punggung dan memandang. Ternyata yang datang memasuki kebunnya tanpa permisi adalah seorang perwira muda tinggi besar yang luar biasa gagahnya, seperti seorang raksasa saja!
Lian Hwa memandang kagum karena belum pernah ia melihat seorang pemuda yang sehebat ini tubuhnya, tinggi besar dan kelihatan amat kuat, sedangkan senyum pada wajahnya membayangkan hati yang jujur dan polos. Perwira muda ini tak lain ialah Can Kok In sendiri. Lian Hwa bertanya dengan heran, “Ciang-kun yang muda ini siapakah dan apakah keperluanmu mengunjungi tempatku ini?”
Dari pertanyaan ini saja dapat diketahui bahwa Lian Hwa sekarang sudah jauh sekali bedanya dengan dulu ketika masih muda. Kalau saja tabiat dan kekerasan hati Lian Hwa masih seperti dulu ketika masa mudanya, tentu ia akan marah sekali melihat ada orang berani masuk ke dalam kebunnya tanpa permisi, akan tetapi sekarang ia memiliki pandangan tajam dan dapat membedakan orang baik atau jahat.
Can Kok In tertawa bergelak karena sesungguhnya ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan pendekar wanita yang telah lama sekali dikagumi namanya itu. “Aku bernama Can Kok In, anak murid Kun-lun-pai! Aku sengaja datang ke sini hendak mencari Lo Sin, puteramu si Walet Hitam itu. Kebetulan sekali aku pernah bertemu dengan dia, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mengukur kepandaiannya. Ang Lian Lihiap, harap kau suka memanggil keluar Lo Sin agar aku dapat mencoba kepandaianhya.”
Mendengar ucapan yang polos dan kasar ini Lian Hwa makin tertarik. Benar-benar seorang yang jujur dan kasar, pikir nya. “Anak muda, kau ini murid siapakah?”
Can Kok In tertawa lagi. “Guruku adalah Lui Siok Tojin dari Kun-lun-san.”
Lian Hwa terkejut dan merasa girang. Lui Siok Tojin adalah seorang kenalan baik yang dulu bahkan pernah berusaha mendamaikan permusuhan yang timbul antara dia dan pihak Pek-lian-kauw, akan tetapi usahanya ini gagal. Ia maklum bahwa Lui Siok Tojin berilmu tinggi dan lihai sekali, maka ia dapat menduga pula bahwa perwira muda yang seperti raksasa ini tentu lihai juga.
“Ah, tidak tahunya kau adalah murid Lui Siok Tosu yang lihai. Bagaimana, apakah suhumu baik-baik saja?”
“Entahlah, suhu sudah tua dan tinggal di gunung saja sedangkan telah beberapa tahun aku tidak naik ke Kun-lun, Ang Lian Lihiap, harap kau orang tua suka memanggil keluar si Walet Hitam.”
“Can-ciangkun mengapa kau berkeras hendak mengadu kepandaian dengan Lo Sin? Apakah puteraku itu berbuat sesuatu yang salah dan yang menyakitkan hatimu?”
“Tidak, tidak! Puteramu gagah perkasa dan tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku, akan tetapi, kami telah berjanji hendak bertemu dan saling menguji kepandaian!”
Ang Lian Lihiap menjadi lega hatinya. “Kalau begitu, sayang sekali, Can-ciangkun. Puteraku itu sampai sekarang belum juga pulang. Sedangkan aku sendiripun sedang menanti-nanti kembalinya.”
Can Kok In kelihatan kecewa sekali. Alis matanya yang tebal dan panjang bergerak-gerak dan sepasang matanya yang bundar besar itu menatap wajah Ang Lian Lihiap, kemudian ia mencabut pedangnya yang panjang dan besar itu dari sarung pedang.
“Kalau begitu, Ang Lian Lihiap, kau wakililah puteramu itu dan mari kita mencoba-coba ilmu kepandaian kita.” Sambil berkata demikian, Can Kok In menggerak-gerakkan pedang besar itu di tangannya hingga berkesiurlah angin pedang bersiutan. Gerakan ini menandakan bahwa pemuda raksasa ini benar-benar memiliki tenaga yang kuat sekali.
Ang Lian Lihiap terkejut dan berkata, “Apakah perlunya itu, Can-ciangkun? Antara kita tidak terdapat permusuhan sesuatu, bahkan antara aku dan suhumu terdapat tali persahabatan yang erat, bagaimana aku dapat bertempur melayanimu? Kalau hal ini terdengar oleh suhumu, bukankah aku akan menjadi malu? Tidak, aku tak dapat melayani kau, anak muda. Kau tunggulah sampai puteraku pulang. Kalian anak-anak muda boleh main-main menguji tenaga, akan tetapi jangan kau mengajak aku berpibu!”
Akan tetapi Can Kok In telah datang dari tempat jauh dengan maksud mengukur tenaga. Sudah lama sekali ia kagum mendengar nama Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, maka setelah kini bertemu dengan pendekar wanita ini, mana ia mau melepaskannya begitu saja tanpa bertanding lebih dulu?
“Ang Lian Lihiap! Kalau anakmu tidak ada, panggilah suamimu keluar, biar dia yang mewakili Walet Hitam! Sudah lama aku mengagumi Hwee-thian Kim-hong dan ingin sekali menyaksikan sampai dimana kehebatannya!”
“Suamiku juga tidak berada di rumah, sedang pergi. Hanya aku sendiri yang berada di sini.”
“Ha, ha, ha! Kalau begitu mau tidak mau kau orang tua harus melayani aku yang sudah datang dari jauh! Bagiku sama saja. Walet Hitam atau si Teratai Merah, maupun si Burung Hong! Marilah, kau cabut pedangmu dan biarkan aku merasakan kelihaianmu sebentar!”
Sambil berkata demikian, Can Kok lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki bersilang, mengangkat tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorongkan ke depan dan tangan kanan yang memegang pedang panjangnya itu diangkat ke atas kepalanya, siap untuk melancarkan serangan. Inilah gerak pembukaan dari ilmu pedang Kun-lun yang lihai.
Melihat ini, Ang Lian Lihiap menjadi bingung. Ia merasa segan untuk melayani perwira muda yang kasar tapi jujur ini, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada Lui Siok Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabatnya itu. Maka ia lalu mengangkat kedua lengannya untuk mencegah pemuda itu bertindak jauh dan berkata.
“Jangan, jangan, Can-ciangkun! Aku tidak mau turun tangan terhadap murid sahabatku. Ilmu kepandaianmu tinggi dan kalau kita bertanding, sukar menjaga pukulan yang tak bermata,” kata-kata ini mengandung sindiran bahwa kalau mereka bertanding, besar kemungkinan perwira raksasa itu akan terluka olehnya.
Akan tetapi Can Kok In terlalu polos hatinya untuk dapat menangkap sindiran ini. Ia bahkan tertawa bergelak sambil berkata. “Eh, apakah Ang Lian Lihiap yang tersohor gagah perkasa itu takut menghadapi Can Kok In?”
Ucapan yang sedikit ini cukup membuat alis Ang Lian Lihiap berdiri karena marah dan penasaran. Ang Lian Lihiap takut? Ah, pendekar wanita ini semenjak mudanya belum pernah mengenal kata-kata takut! Perasaan takut menjadi pantangan besar baginya. Orang boleh berkata apa saja terhadapnya dan ia mungkin dapat menahan kesabarannya, akan tetapi janganlah orang berani mengatakan, bahwa dia takut!
Mendengar ucapan ini, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat dan ia lalu membentak. “Can Kok In, orang muda kasar! Aku takut kepadamu? Hm, kau belajarlah seratus tahun lagi dan belum tentu aku Ang Lian Lihiap akan merasa takut padamu. Majulah dan perlihatkan kebodohan!”
Can Kok In terkejut sekali melihat perubahan ini. Kalau tadi Ang Lian Lihiap bersikap halus dan lemah-lembut hingga agaknya seperti orang takut, kini pendekar wanita itu berubah menjadi ganas dan menyeramkan. Sinar matanya saja sudah cukup membuat kuncup hati seorang laki-laki gagah, seakan-akan dari kedua mata yang jeli dan tajam itu melayang keluar anak panah yang runcing sekali!
Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghunus pedang dan memalukan sekali kalau ia mundur lagi. Dengan cepat ia melangkah maju dan menyerang dalam gerak tipu Raja Ular Menyambar Burung sambil berseru,
“Awas pedang!” Ia heran sekali melihat betapa pendekar wanita itu tidak mau mencabut pedangnya untuk menangkis, maka cepat-cepat Kok In menahan serangannya....