Si Walet Hitam Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Si Teratai Merah Seri Ke 2, Si Walet Hitam Jilid 13 Karya Kho Ping Hoo

Si Walet Hitam Jilid 13

“Ing-moi, biarkan aku yang menghadapi ular siluman ini. Menyingkirlah!”

Lee Ing memang sudah merasa ngeri, maka ia lalu menurut dan berlari ke bawah sekelompok pohon siong yang besar di sebelah kanan. Lo Sin lalu menghadapi ular itu dengan pedang Kim-hong-kiam di tangan. Ular itu mendesis-desis lagi lalu tiba-tiba kepalanya meluncur ke depan dengan mulut terbuka lebar, menyerang ke arah leher Lo Sin!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pemuda ini mengelak ke samping lalu mengirim bacokan dengan pedangnya, tepat di leher ular itu, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya itu meleset seakan-akan membacok sesuatu yang amat licin dan keras! Ia terkejut sekali dan cepat menyingkir.

Akan tetapi, ular itu memang liar dan ganas, ketika merasa betapa lehernya diserang, ia sengaja tidak mau berkelit akan tetapi membarengi dengan sabetan ekornya! Sabetan ini bukan main kerasnya, dan agaknya akan celakalah Lo Sin kalau kena tersabet!

Namun pemuda ini lebih gesit lagi. Dengan mudah ia melompat tinggi dan dari atas ia melihat betapa leher ular yang dibacoknya tadi mengeluarkan lendir yang berminyak hingga tentu saja kulit yang keras itu menjadi licin! Ketika ular itu menyerang, Lo Sin hanya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari terkaman mulut ular dan dari semburan hawa beracun.

Ia memandang dengan penuh perhatian dan akhirnya melihat betapa sisik ular itu bertumpuk-tumpuk ke belakang hingga kalau diserang dengan sabetan biasa takkan dapat terluka. Ia lalu menyerang lagi dan kini ia meneruskan pedangnya dari arah belakang dan benar saja, serangannya berhasil baik!

Ujung pedangnya ambles ke bawah sisik dan melukai kulit ular itu. Ular hitam menjadi marah sekali dan kesakitan, tubuhnya lalu melingkar dan cepat sekali kepala dan ekornya menyerang dari dua jurusan!

Lo Sin berlaku waspada. Ia melompat ke atas menghindarkan dua serangan itu dan ketika ular itu meluncurkan kepalanya ke atas untuk menggigit kakinya, pemuda ini berjumpalitan di tengah udara dan menusukkan pedangnya pada mulut ular yang ternganga itu!

Pedang Kim-hong-kiam amblas sampai di leher ular itu dan menembus leher! Uap hitam yang berbau amis sekali menyambar, akan tetapi Lo Sin dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melompat jauh hingga terhindar dari semburan hawa berbisa.

Ular itu berkelojotan dan menggeliat-geliat menyemburkan uap bisa hingga tanah di sekitarnya penuh dengan bisa hitam yang amat berbahaya. Makin lama gerakannya makin lemah dan untuk mengakhiri penderitaan binatang itu, Lo Sin melompat lagi dari belakang ular itu dan menggerakkan pedangnya ke arah leher binatang itu. Kini sekali menabas saja putuslah leher ular itu!

Melihat bahwa ular itu telah binasa. Lo Sin lalu menggosok-gosokkan pedangnya pada kulit ular untuk menghilangkan bekas darah yang mungkin berbisa, kemudian ia melompat untuk menghampiri Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon siong dengan pedang di tangan, siap menghadapi kalau-kalau ada kawan-kawan ular itu datang! Hatinya tadi ngeri dan cemas sekali melihat betapa ular itu benar-benar lihai dan ia takut kalau-kalau kekasihnya akan terkena bisa ular.

Akan tetapi pada saat Lo Sin berlari menghampiri Lee Ing dari atas pohon tiba-tiba melayang turun bayangan hitam dan gerakan yang amat cepat dan gesit ini membuat Lo Sin tercengang juga. Ternyata bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang yang kurus kering dan pendek hingga tubuhnya kelihatan kecil dan kate.

Laki-laki ini usianya sebaya dengan ayah Lo Sin, dan rambutnya masih hitam. Jenggotnya tebal dan panjang, sedangkan rambutnya diikatkan ke atas dengan sebuah selampai putih, ikat pinggangnya juga putih. Akan tetapi seluruh pakaiannya berwarna hitam, hingga sama benar dengan warna pakaian Lo Sin.

Selagi Lo Sin memandang heran, dan juga Lee Ing yang berada agak jauh dari situ memandang heran pula, tiba-tiba laki-laki setengah tua itu mengangkat kedua tangan dan menjura sambil berkata.

“Benar-benar gagah perkasa si Walet Hitam!”

Lo Sin terkejut sekali ketika merasa bahwa dari kedua kepalan tangan yang diangkat menghormatnya itu menyambar angin yang kuat dan dingin, memukul ke arah mukanya! Dengan heran dan terkejut Lo Sin mengangkat tangan kiri ke depan dan melangkahkan kaki kiri ke belakang.

Gerakan tangan kirinya dapat menangkis angin pukulan yang lihai itu. Ia lalu memasukkan kembali pedang yang masih dipegangnya ke dalam sarung pedang, lalu ia bertanya kepada laki-laki kecil yang datang-datang menyerangnya dengan pukulan gelap dan keji itu.

“Sahabat siapa dan datang dari manakah maka memberi penghormatan demikian besarnya kepada siauwte yang muda?”

Sementara itu, Lee Ing yang juga sudah menyimpan pedangnya, lalu melompat menghampiri dan berdiri di dekat Lo Sin, memandang kepada laki-laki kecil yang aneh ini. Ia tidak tahu bahwa tadi Lo Sin telah mendapat serangan gelap dari kedua kepalan laki-laki ini.

Laki-laki itu tertawa bergelak dan suara ketawanya berbeda benar dengan tubuhnya yang kecil. Siapakah laki-laki yang aneh ini? Laki-laki ini adalah seorang begal tunggal yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho sebelah barat, oleh karena ilmu silatnya yang tinggi dan lihai.

Sebenarnya laki-laki ini masih terhitung adik seperguruan Bong Cu Sianjin sendiri oleh karena dia ini adalah murid tunggal dari Kheng To Siansu. Sedangkan Kheng To Siansu adalah adik seperguruan dari guru Bong Cu dan Lan Bwee Niang-niang, yang bernama Kheng Kong Siansu.

Semenjak mudanya, Kheng To Sianjin merantau ke dunia barat dan lama sekali tinggal di India. Setelah kembali ke daratan Tiongkok dan merantau di Go-bi-san, ia lalu mengambil seorang murid yang bertubuh kecil ini dan yang bernama Khu Mo In.

Setelah suhunya meninggal dunia, Khu Mo In lalu menjadi seorang berandal dan merajalela di sepanjang Sungai Huang-ho sebelah barat hingga ia dijuluki orang Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam karena selain tubuhnya kecil dan pendek, iapun paling suka mengenakan pakaian hitam!

Karena sudah lama ingin sekali bertemu dengan saudara-saudara seperguruan, maka pada suatu hari Hek-siauw-mo Khu Mo In merantau ke timur dan hendak mencari Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin di puncak Hoa-mo-san, tetapi di jalan ia bertemu dengan Bong Cu Sianjin yang telah buntung kedua tangannya dan yang kebetulan sekali memang sedang mencari kawan-kawan untuk menghadapi Ang Lian Lihiap pada bulan ketiga nanti.

Pertemuan ini menggirangkan hati kedua pihak dan ketika mendengar bahwa Bong Cu Sianjin telah menjadi buntung dalam pertempuran melawan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya. Khu Mo In lalu menjadi marah dan ingin membalas dendam.

Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian sutenya ini, maka ia sengaja mengobrol dan membikin panas hati adik seperguruan ini yang berjanji hendak membantu pada bulan ketiga nanti di puncak Hoa-mo-san! Bong Cu Sianjin juga menceritakan tentang kelihaian putera Ang Lian Lihiap dan menceritakan bagaimana macam dan pakaian pemuda itu.

Karena masih ada dua bulan lagi sampai tiba waktu perjanjian pertempuran di Hoa-mo-san, maka Khu Mo In lalu melanjutkan perantauannya dan menunda kepergiannya ke Hoa-mo-san sampai bulan ketiga. Ia lalu merantau dan menikmati pemandangan alam di timur yang jauh bedanya dengan di bagian barat ini.

Akhirnya pada hari itu, kebetulan sekali ia melihat pertempuran antara Lo Sin dan seekor ular hitam yang ganas. Ia lalu melompat ke atas pohon dan diam-diam menonton pertempuran itu. Ketika memperhatikan pakaian dan bentuk badan Lo Sin, teringatlah ia akan cerita Bong Cu Sianjin tentang putera Ang Lian Lihiap yang berjuluk Ouw-yan-cu, maka ketika Lo Sin sudah berhasil membinasakan ular hitam itu, ia sengaja mencegat pemuda ini dan menyerangnya dengan kepalan yang diangkat sebagai pemberian hormat.

Khu Mo In terkejut dan kagum juga melihat betapa dengan tangan kirinya pemuda itu dapat menolak serangannya. Kini mendengar Lo Sin dengan hormat bertanya tentang namanya, ia tertawa bergelak hingga mengejutkan Lee Ing yang segera menghampiri Lo Sin.

“Kau ingin tahu namaku? Nanti dulu sobat, bukankah kau ini yang berjuluk Ouw-yan-cu si Walet Hitam? Dan siapa pulakah gadis gagah ini?”

Lo Sin merasa mendongkol juga melihat sikap yang amat sombong dan memandang rendah ini. Akan tetapi karena maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian tinggi, maka ia menjawab juga sambil menekan kemarahannya.

“Memang benar. Siauwte bernama Lo Sin dan dijuluki orang Ouw-yan-cu, sedangkan nona ini adalah Nyo-siocia.”

Khu Mo In sudah mendengar dari Bong Cu Sianjin bahwa diantara musuh-musuhnya terdapat pula Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, maka kini mendengar bahwa nona ini she Nyo, ia lalu bertanya lagi. “Apa bukan puteri Garuda Kuku Emas Nyo Tiang Pek?”

Kembali Lo Sin dan Lee Ing memandang heran. Bagaimana orang yang sama sekali tak mereka kenal ini dapat menduga tepat dan mengetahui nama mereka dan nama Nyo Tiang Pek? “Sahabat, kau ternyata bermata awas. Dugaanmu memang betul, karena nona ini adalah puteri Nyo Tiang Pek.”

“Dan kau tentu putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong?” tanya Khu Mo In lagi.

“Sekali lagi benar,” jawab Lo Sin. “Dan siapakah kau yang agaknya mengenal baik orang tua kami itu?”

“Ha, ha, ha! Apa gunanya kalian ketahui? Kuberitahukan juga kalian takkan mengenalku, jangankan kalian, bahkan orang-orang tuamu pun takkan mengenalku, karena aku datang dari tempat jauh! Dengarlah, aku bernama Khu Mo In dan di barat orang mengenalku dengan nama poyokan Hek-siauw-mo!”

Tiba-tiba Lee Ing tertawa geli mendengar ini hingga Lo Sin dan Khu Mo In ini memandangnya dengan heran.

“Mengapa kau tertawa?” tanya Khu Mo In penasaran.

“Karena lucu!” jawab Lee Ing sambil menahan suara ketawanya.

“Apanya yang lucu?”

“Nama julukanmu itu! Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam, sungguh cocok sekali dengan orangnya!”

Khu Mo In menjadi marah sekali. “Nona kecil, jangan kau main-main, biarpun namaku kecil, akan tetapi telah tak terhitung banyaknya orang gagah yang bernama besar kujatuhkan dengan kedua lenganku ini!”

Mendengar orang itu menyebut kedua lengannya, maka Lo Sin teringat lagi akan serangan orang itu tadi. “Hek-siauw-mo, mengapa kau tadi datang-datang menyerang dengan pukulan gelap?” tanyanya.

“Aku mendengar dari Bong Cu suheng bahwa dua bulan lagi akan diadakan pibu di atas Hoa-mo-san. Kabarnya kau juga akan datang ke sana, maka sebelum pibu itu diadakan, ingin sekali aku melihat sampai di mana kelihaian calon lawan-lawanku. Kalau kepandaiannya masih rendah, untuk apa aku harus bersusah payah naik ke Hoa-mo-san? Melelahkan dan menjemukan saja!”

Lo Sin maklum bahwa orang ini biarpun agaknya berkepandaian tinggi namun mempunyai watak yang sombong sekali dan memandang rendah orang lain, maka diam-diam ia merasa mendongkol sekali.

“Hek-siauw-mo, kalau kau hendak membantu Bong Cu Sianjin, lebih baik kau pulang dulu dan belajar lagi barang sepuluh tahun, agar kau tidak akan mendapat kekecewaan dan malu besar di puncak Hoa-mo-san.”

Lo Sin sengaja mengeluarkan ucapan yang merendahkan ini untuk memanaskan hati Setan Hitam itu. Benar saja, walaupun mulut Khu Mo In masih tersenyum, namun kulit mukanya berubah merah dan sepasang matanya berkilat.

“Ha, ha, Walet Hitam, baru saja dapat mengalahkan seekor ular yang tidak ada artinya, kau sudah berani berlaku sombong di depanku?” Sambil berkata demikian Khu Mo In melangkah maju dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

Lo Sin telah bersiap-sedia, maka ia lalu miringkan tubuh dan menggunakan tangan kanan untuk menyampok pergi pukulan itu. Ketika tangannya bertemu dengan lengan tangan Khu Mo In, maka maklumlah Lo Sin bahwa lawannya adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang yang tangguh sekali, maka diam-diam ia menjadi terkejut dan bergerak dengan hati-hati sekali.

Khu Mo In tertawa menghina dan menyerang lagi lebih cepat. Angin pukulannya menyambar-nyambar hingga Lee Ing yang berada di situ menjadi terkejut dan cepat menyingkir agak jauh. Lo Sin maklum bahwa dalam hal lweekang, mungkin lawan ini lebih tangguh darinya, maka ia tidak mau mencoba-coba, karena menghadapi seorang lawan yang mempunyai tenaga lweekang yang seimbang atau bahkan lebih tangguh, adalah berbahaya sekali untuk mengandalkan tenaga itu untuk mengadu jiwa.

Ia lalu mempergunakan kegesitannya yang berdasarkan ginkang yang tinggi, dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ternyata ia masih menang setingkat. Tubuh Lo Sin berkelebat pergi datang hingga merupakan burung walet hitam yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan membalas setiap serangan Khu Mo In dengan gerak tipu yang hebat.

Kini terkejutlah Khu Mo In. Ketika untuk pertama kalinya Lo Sin menangkis, ia tahu bahwa dalam hal tenaga, ia tak usah merasa kalah, maka ia masih memandang rendah sekali dan bertempur sambil tertawa mengejek. Akan tetapi setelah Lo Sin mengeluarkan ginkangnya yang luar biasa, benar-benar Khu Mo In menjadi heran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang memiliki ginkang yang demikian sempurna.

Di daerah barat selama ia menjelajah dan malang-melintang di daerah Sungai Hoang-ho, belum pernah ia dikalahkan dalam hal ginkang. Tak pernah disangkanya bahwa di daerah timur ia akan bertemu dengan seorang lawan muda yang berhasil membuat ia menjadi bingung karena cepatnya gerakannya. Ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang diandalkan, yakni ilmu gerakan Gajah Putih Mengamuk semacam ilmu silat Tionghoa yang telah dikombinasikan dengan ilmu gumul dari India.

Ia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan tenaga lweekang sepenuhnya hingga kedua tangan itu dapat diumpamakan dua buah gading yang amat kuat dan tajam, sedangkan tiap kali ia memukul, selalu pukulan itu diakhiri dengan cengkeraman tangan yang seolah-olah merupakan belalai gajah dan celakalah lawan yang dapat tertangkap oleh tangan yang kuat ini.

Serangan-serangan berbahaya ini masih ditambah lagi dengan tendangan kedua kaki yang tidak kalah berbahayanya dan lihainya daripada kedua tangannya. Benar-benar ilmu silat ini merupakan serangan yang amat berbahaya karena datangnya serangan bertubi-tubi yang kesemuanya disertai tenaga raksasa hingga tak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas menyerang.

Selama ia mengembara di barat, apabila ia menghadapi lawan tangguh dan mengeluarkan ilmu silat ini, belum pernah ada lawan yang kuat menghadapinya lebih lama daripada duapuluh jurus.

Akan tetapi ia sekarang menghadapi putera tunggal dari Ang Lian Lihiap pendekar wanita gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian ginkang tinggi sekali, dan putera tunggal dari Hwee-thian Kim-hong, seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian ilmu pedang tertinggi di kalangan persilatan.

Lo Sin maklum akan berbahayanya serangan-serangan lawannya ini, bahkan Lee Ing yang berdiri di bawah pohon, terkejut sekali melihat gerakan Setan Kecil Hitam yang luar biasa dahsyatnya itu. Hingga ia diam-diam mengaku bahwa kalau ia yang menghadapi serangan seperti itu, tentu ia takkan sanggup bertahan lebih lama kecuali mempergunakan ginkang untuk melompat jauh.

Akan tetapi Lo Sin merasa malu kalau harus melompat pergi seakan-akan gentar menghadapi ilmu silat lawan ini. Ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri dan tangan kakinya tiada hentinya bergerak mengimbangi gerakan lawan untuk menyampok pergi tiap pukulan dan tendangan yang datang.

Ia maklum bahwa karena tenaga orang ini besar sekali, maka perbuatannya ini amat berbahaya. Akan tetapi Lo Sin mengandung suatu maksud, ia pikir bahwa Khu Mo In ini kelak akan merupakan lawan yang tangguh di puncak Hoa-mo-san, maka dalam kesempatan ini, ia hendak mencoba dengan mengalami serangan dari ilmu silatnya yang terlihai agar kelak kalau menghadapinya di puncak Hoa-mo-san, ia takkan mudah dikejutkan oleh ilmu-ilmu silat itu!

Setelah bertempur limapuluh jurus lebih dan belum dapat juga merobohkan lawan, sebaliknya pemuda itu dengan tenangnya mengelak, dari semua serangan dan memandang semua gerakannya dengan penuh perhatian, tiba-tiba Khu Mo In menjadi sadar dan dapat menangkap maksud Lo Sin, maka ia segera menghentikan serangannya dan melompat mundur.

“Hebat! Benar-benar kau gagah sekali, Ouw-yan-cu!”

“Mengapa tidak kau lanjutkan seranganmu, Hek-siauw-mo?” Lo Sin sengaja tersenyum mengejek.

“Ia memang licik!” tiba-tiba Lee Ing berseru dari bawah pohon. “Kalau diteruskan, pasti ia akan kalah maka lebih baik ia mundur teratur daripada roboh tersungkur!”

Merah muka Khu Mo In mendengar sindiran-sindiran itu. Inilah yang dikehendaki oleh Lo Sin agar ia dapat mengukur kepandaian orang ini. “Ouw-yan-cu, aku mendengar bahwa kau adalah ahli pedang yang lihai, nah, sekarang cobalah kau lawan pedangku!”

Lo Sin dan Lee Ing merasa heran karena si kate kecil itu tidak kelihatan membawa pedang. Akan tetapi Khu Mo In berseru keras dan mencabut sesuatu dari dalam bajunya dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, benda yang digenggamnya itu barulah menjadi sebatang pedang yang amat tipis yang berkilau saking tajamnya!

Ini adalah semacam pedang yang sukar didapat. Pedang ini demikian tipisnya hingga dapat digulung dan disimpan di dalam kantung baju! Baja yang tak dapat patah dan mudah digulung menunjukkan logam yang masih murni dan baik, maka Lo Sin maklum bahwa pedang tipis itu tentulah berbahaya sekali.

“Nah, kau cobalah menahan serangan pedangku!” teriak Khu Mo In yang segera maju menyerang.

Lo Sin memperhatikan gerakan pedang dan ia menjadi kagum. Oleh karena tipisnya, maka ketika digerakkan dan sengaja digetarkan dengan tenaga lweekang, pedang itu seakan-akan berubah menjadi lima atau enam batang, yang menyerang dengan berbareng dan sukar sekali dilihat manakah pedang yang asli dan mana yang hanya bayangan saja! Ia lalu mengangkat Kim-hong-kiam ke atas dan menangkis dan tiba-tiba ia berseru kaget karena hampir saja ia mendapat celaka.

Ternyata ketika bertemu, pedang yang tipis itu dapat melengkung dan ujungnya langsung menusuk ke arah lengan tangan yang memegang pedangnya! Baiknya Lo Sin berlaku hati-hati hingga ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung pedang yang tiba-tiba melipat dan menyerang tangannya itu dan keburu menarik pedang dan tangannya.

Dan ia merasa bersyukur dan lega bahwa dalam gebrakan pertama Khu Mo In telah memperlihatkan kelihaian pedangnya ini hingga selanjutnya ia dapat berlaku hati- hati, karena kalau sedang dalam pertempuran mati-matian, akal ini mungkin sekali akan dapat berhasil baik dan lengan tangannya akan terluka!

Pedang di tangan Khu Mo In ini ringan sekali dan karenanya maka gerakannya juga luar biasa cepatnya hingga ketika si kate kecil itu memutar-mutarnya dengan cepat dalam penyerangannya, maka yang nampak hanyalah sinar pedangnya yang berwarna putih bergulung-gulung bagaikan asap! Biarpun dengan tenaga lweekangnya yang besar Khu Mo In dapat mengeluarkan tenaganya hingga pedang yang lemas itu dapat menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk mengirim serangan menusuk.

Akan tetapi Khu Mo In maklum bahwa ia menghadapi lawan yang juga memiliki tenaga yang tidak lemah, maka ia tidak mau menyerang dengan tusukan, akan tetapi selalu menggunakan pedangnya untuk membabat dan pedang yang tajam pada kedua mukanya itu menyambar-nyambar ganas sekali.

Lo Sin tidak berani berlaku sembrono dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian mempertahankan diri, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Air. Gerakan ini sempurna sekali dan terkenal merupakan benteng baja yang tak mudah ditembus, akan tetapi menghadapi ilmu pedang yang aneh dari Khu Mo In, ia harus berlaku hati-hati sekali. Ia sengaja belum mau membalas karena memang ia hendak mengukur sampai di mana kelihaian lawan!

Bukan main kagumnya Khu Mo In menyaksikan kepandaian istimewa dari si Walet Hitam ini, maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba ia menambahi serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang berdasarkan tenaga lweekang dan khikang! Kepalan kirinya tak usah mengenai tubuh lawan, karena anginnya saja cukup melukai lawan yang tangguh!

Lee Ing yang berdiri menonton pertempuran, menjadi terkejut sekali karena melihat bahwa gerakan ilmu pukulan tangan kiri ini hampir sama dengan gerakan pukulan Gin-san-ciang! Maka tak terasa pula ia berseru. “Sin-ko, hati-hatilah terhadap tangan kirinya!”

Sebetulnya tak perlu lagi Lo Sin diperingatkan, karena pemuda yang memang berlaku hati-hati sekali ini telah maklum akan kehebatan serangan lawan, maka tiba-tiba gerakan pedangnya dirobah dan kini ia memainkan ilmu pedang bagian menyerang, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Sinar pedangnya berkelebat hebat sekali dan angin pedangnya mendatangkan hawa panas!

Angin pedang yang luar biasa ini otomatis dapat menolak serangan pukulan tangan kiri Khu Mo In hingga si kate kecil ini merasa terkejut luar biasa! Tak terasa lagi ia berseru memuji dan kini dialah yang menjadi pihak terserang karena menghadapi Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang ini, ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang lagi!

Pedang Lo Sin bagaikan telah berubah menjadi seekor naga sakti yang menyambar-nyambar dan menyemburkan hawa panas dari mulutnya. Namun Khu Mo In benar-benar lihai sekali. Biarpun terdesak hebat namun ia tetap dapat mempertahankan dirinya dengan memutar pedang tipisnya itu yang merupakan tembok baja yang teguh dan kuat.

Juga tenaga lweekangnya yang amat tinggi itu merupakan pertahanan yang sukar ditembus oleh Lo Sin. Menyaksikan kehebatan ini, diam-diam Lo Sin merasa kagum sekali karena ia maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari ilmu kepandaian Bong Cu Sianjin tingkatnya!

Khu Mo In maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia memikir lebih baik mengundurkan diri untuk lebih giat melatih diri mengadakan persiapan menghadapi musuh tangguh ini di puncak Hoa-mo-san kelak! Maka ia lalu melompat mundur sambil berseru.

“Cukup Ouw-yan-cu! Kepandaianmu cukup memenuhi syarat dan mendatangkan kegembiraanku untuk kelak ikut bertanding di puncak Hoa-mo-san!”

Melihat betapa si kate kecil itu kuat menghadapi serangan Lo Sin sampai hampir seratus jurus, maka Lee Ing menjadi kagum sekali dan gadis ini tidak berani mengejeknya lagi. Lo Sin hanya tersenyum saja dan tidak menjawab kata-kata Khu Mo In yang cepat melompat pergi meninggalkan tempat itu.

Lima orang pemburu yang tadi menyaksikan bagaimana Lo Sin dengan gagahnya membunuh ular siluman, menjadi girang sekali dan beramai datang melihat bangkai ular. Akan tetapi ketika Lo Sin diserang oleh seorang kate kecil, mereka merasa terkejut sekali.

Apalagi ketika melihat betapa dua orang itu bertempur sedemikian hebatnya hingga bagi mata mereka yang nampak hanyalah gulungan sinar pedang yang luar biasa, maka mereka hanya berdiri berkumpul dan menonton dari tempat jauh.

Kini melihat bahwa orang kate lihai itu telah pergi, beramai-ramai mereka menghampiri Lo Sin dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Lo Sin cepat-cepat menyuruh mereka itu bangun.

“Taihiap yang gagah perkasa sungguh membuat kami merasa kagum sekali dan berterima kasih. Ular jahat ini sekarang telah terbunuh hingga kami dapat berburu di hutan ini tanpa khawatir lagi dan dengan terbunuhnya siluman itu, berarti sakit hati kawan kami telah terbalas pula.”

Lo Sin tersenyum dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Kemudian ketika ia mengajak Lee Ing melanjutkan perjalanan dan hendak mengembalikan kuda hitam itu kepada para pemburu, mereka menolak keras dan berkata dengan suara memohon.

“Taihiap, biarlah kuda ini ji-wi pakai saja, karena pemiliknya telah tewas oleh ular siluman.”

“Jangan begitu, kawan-kawan. Kami berdua melakukan pertolongan bukan untuk mengharapkan hadiah dan kami melakukan dengan hati tulus ikhlas dan sukarela, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap manusia untuk menolong sesama hidup di dunia ini.”

Mendengar ucapan itu, kelima orang pemburu itu menjadi terharu sekali, bahkan pemimpin pemburu itu sampai mengalirkan air mata ketika ia berkata. “Taihiap, ucapanmu tadi hanya menambah kagum dan tunduk kepada kami orang-orang bodoh dan kasar. Ji-wi telah menolong kami, bahkan menolong seluruh penduduk di sekitar tempat ini. Ji-wi sudah pula membalaskan sakit hati kawan kami dan sakit hati banyak kurban yang telah menjadi mangsa siluman ular. Kami berlima tidak dapat membalas apa-apa untuk menyatakan terima kasih kami, maka biarlah kuda mendiang kawan kami itu yang mewakili kami dan membantu sedikit kepada ji-wi di dalam perjalanan. Anggaplah kuda ini sebagai kami sendiri yang ingin sekali membalas budi!”

Lo Sin dan Lee Ing terharu juga mendengar pernyataan orang-orang kasar tapi jujur dan polos hatinya ini. Terpaksa mereka menerima kuda hitam itu dan menyatakan terima kasih. Kemudian mereka berdua lalu melanjutkn perjalanan menuju ke utara.


Suku bangsa Turki setelah menyerbu dan menaklukkan suku bangsa Yujan lalu bergerak menembus tembok besar dan menduduki beberapa puluh dusun dan kota di sebelah dalam tembok besar. Rakyat pedalaman Tiongkok melakukan perlawanan hebat, akan tetapi oleh karena tentara negeri terlambat datangnya, maka rakyat dapat dipukul mundur oleh para pemberontak dan pengacau itu. Banyak bangsa Han dibunuh, diculik dan harta benda mereka habis dirampok oleh suku bangsa Turki.

Pemimpin para pemberontak ini bernama Jingar Khan yang selain pandai mengatur barisan dan pandai sekali menunggang kuda, juga memiliki ilmu kepandaian silat Mongol yang amat tinggi. Selain ini, Jingar Khan juga mempunyai banyak anak buah yang berkepandaian tinggi. Dengan mudahnya, Jingar Khan memimpin barisannya menembus tembok besar dan menjajah makin dalam.

Beberapa kelompok pasukan negeri yang bertugas menjaga di utara, telah dihancurkannya dengan mudah. Ribuan rakyat berbondong-bondong mengungsi ke selatan, melarikan diri dari serbuan pengacau yang ganas dan kejam itu.

Setelah para pengacau sudah maju jauh, barulah kaisar mengerahkan pasukan negeri untuk mengusir musuh. Usaha pemerintah ini mendapat bantuan sepenuhnya dari para patriot yang gagah berani. Orang-orang gagah dari seluruh pelosok, tanpa diminta, telah datang dan membantu dengan suka rela untuk melawan para pemberontak yang merusak dan mencelakakan rakyat.

Ketika Lo Sin dan Lee Ing yang merantau menuju ke utara mendengar tentang kekejaman pengacau-pengacau suku bangsa Turki itu, keduanya tidak mau tinggal diam dan cepat melarikan kuda menuju ke Lok-sin-chung di mana pemberontak sedang mengamuk dan sedang terjadi pertempuran terus-menerus antara mereka dan tentara negeri.

Pada waktu itu, Lok-sin-chung menjadi pusat pertempuran dan kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga mereka di tempat ini. Agaknya perebutan daerah inilah yang akan menentukan menang atau kalahnya pihak pemberontak. Jingar Khan sendiri bahkan datang pula di daerah itu untuk memimpin sendiri pasukannya! Semua perwiranya juga berkumpul di tempat itu untuk memperkuat pasukan Turki.

Sedangkan di pihak tentara negeri, yang memimpin adalah seorang panglima besar yang datang dari kota raja, seorang ahli perang bernama Kwee Ong. Kwee-ciangkun ini selain pandai ilmu perang, juga bertenaga besar dan ilmu silatnya cukup tinggi.

Oleh karena Kwee-ciangkun bersikap baik dan ramah terhadap para eng-hiong (orang-orang gagah) yang datang membantu dengan sukarela, maka para eng-hiong itu amat menghargainya dan tunduk akan perintahnya. Kwee-ciangkun lalu membagi-bagi tenaga orang-orang gagah ini untuk diperbantukan pada tiap pasukan negeri, membantu pekerjaan kepala pasukan.

Pertempuran telah berjalan dua pekan lebih, kadang-kadang bertempur seru, kadang-kadang berhenti dan saling menjaga. Berkat bantuan para orang gagah, maka selama diadakan pertempuran, tentara negeri berhasil memukul mundur pihak pengacau.

Kedatangan Lo Sin dan Lee Ing disambut oleh Kwee-ciangkun dengan gembira dan girang sekali. Panglima tua ini telah mendengar akan kegagahan si Walet Hitam, maka tentu saja ia menerima bantuan Lo Sin dan Lee Ing dengan senang. Setelah bercakap-cakap dengan ramah-tamah, Lo Sin dan Lee Ing lalu mengundurkan diri dari depan pembesar itu untuk melihat-lihat keadaan dan berkenalan dengan kawan-kawan dan perwira lain.

Ketika mereka sedang berjalan keluar dari markas besar Kwee-ciangkun, tiba-tiba terdengar suara keras memanggil, “Ouw-yan-cu!”

Lo Sin dan Lee Ing cepat menengok dan mereka melihat seorang perwira yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang memandang mereka dengan wajah berseri. “Can Kok In ciang-kun!” seru Lo Sin dengan gembira pula.

Dengan tindakan kaki lebar Kok In si perwira raksasa itu sambil tersenyum-senyum lalu menghampiri Lo Sin dan Lee Ing dan memberi hormat dengan gagah cara militer! “Bagus sekali kau datang juga, Ouw-yan-cu!” kata Kok In. “Dengan adanya bantuanmu di sini, sebentar saja pengacau-pengacau itu akan kita pukul hancur. Dan terutama sekali, yang lebih baik lagi, dengan adanya kau di sini, aku tidak usah pergi mencari-carimu lagi.”

“Ada perlu apakah kau mencari-cariku, Can-ciangkun?”

Kok In tertawa. “Aku sudah bertemu dengan ibumu dan sudah menerima kehormatan dari pendekar wanita itu, benar-benar ibumu luar biasa lihainya! Akan tetapi dengan kau aku masih belum mendapat kesempatan mengukur tenaga!”

Lo Sin tersenyum juga, dan berpikir bahwa perwira raksasa ini benar-benar jujur dan kasar. “Kalau tugas kita telah selesai dengan baik, tiada salahnya kita main-main sebentar, Can-ciangkun,” jawabnya singkat.

Ketika Lo Sin dan Lee Ing melanjutkan perjalanannya melihat-lihat keadaan, tak terduga sama sekali, mereka bertemu dengan Kong Liang dan Mei Ling di tempat itu! Ternyata bahwa kedua saudara kembar ini dalam perantauan mereka mencari Lo Sin atau Cin Han, telah mendengar pula tentang pemberontakan para pengacau dan semangat kegagahan mereka membuat keduanya segera pergi ke situ untuk membantu usaha mengusir para pengacau.

Telah empat hari kedua saudara ini berada di situ dan mereka berjasa banyak dalam pertempuran-pertempuran karena kegagahan mereka membuat setiap lawan yang menghadapi mereka roboh tak berdaya atau lari tunggang-langgang!

Ketika dua saudara kembar ini melihat Lo Sin dan Lee Ing, bukan main girangnya hati mereka. Kong Liang melompat dan memeluk pundak Lo Sin, sedangkan Mei Ling dan Lee Ing lalu saling menubruk dan saling peluk sambil bertangis-tangisan! Mei Ling merasa terharu sekali ketika melihat Lee Ing menangis terisak-isak di dadanya, dan diam-diam Mei Ling dan Kong Liang mengakui bahwa Lee Ing dan Lo Sin tepat sekali kalau dijodohkan.

Banyak sekali hal yang mereka bicarakan, akan tetapi sebagian besar peristiwa yang mereka alami telah mereka ketahui. Ketika Mei Ling dan Kong Liang mendengar tentang kecurangan Tik Kong dan tentang pemalsuan surat Ang Lian Lihiap hingga menimbulkan kesalah-pahaman dan persoalan yang ruwet itu, Kong Liang dan Mei Ling merasa gemas dan marah sekali!

“Kalau penjahat busuk itu terjatuh ke tanganku, pasti aku takkan memberi ampun padanya!” kata Kong Liang sambil mengepal tinju.

Baik Kong Liang maupun Mei Ling, tidak meragukan lagi akan hubungan cinta kasih yang terjalin di hati Lo Sin dan Lee Ing, dan hal ini mudah sekali dilihat dari sikap dan pandang mata kedua anak muda itu. Diam-diam mereka merasa girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri bahwa mereka akan membantu sedapat mungkin untuk membela kedua orang ini dihadapan orang tua masing-masing.

Selain Mei Ling dan Kong Liang ternyata di situ masih terdapat beberapa orang gagah lain yang menjadi pembantu suka rela. Diantara mereka itu, ada juga yang dikenal oleh Lo Sin, dan yang boleh dianggap berkepandaian tinggi di antara mereka San-tung Siang-hiap (Sepasang Pendekar dari San-tung) bernama Lim Pok dan Lim Cauw, seorang pendeta tosu bernama Souw Hong Kiat berjuluk Houw-san Lojin (Orang Tua dari Houw-san), dan masih ada beberapa orang lagi.

Pada senja hari itu, kembali terjadi pertempuran hebat yang dimulai dari sebelah barat Lok-sin-chung. Agaknya Jingar Khan mengerahkan tenaga barisannya karena yang datang menyerbu adalah pasukan yang besar jumlahnya dan yang dipimpin para perwira yang gagah perkasa!

Lo Sin dan Lee Ing tidak mau ketinggalan. Bersama pendekar-pendekar lain, mereka maju menyerbu. Pedang mereka bergerak dengan ganas dan mengamuk hebat mendatangkan kerugian besar di pihak musuh. Setelah senja berganti malam yang gelap, pertempuran ditunda dan pihak pemberontak mengundurkan diri dengan menderita banyak kerugian.

Semenjak serangan pada senja hari itu, selama tiga hari tidak ada pertempuran, hanya bentrokan-bentrokan kecil di sana-sini tidak berarti. Agaknya pihak pemberontak mulai ragu-ragu karena maklum bahwa pihak tentara negeri, mendapat bantuan-bantuan orang-orang gagah dan kedudukannya kuat sekali.

Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali, seorang suku bangsa Turki yang menunggang kuda besar dan gagah, memasuki Lok-sin-chung. Karena ia memegang bendera tanda utusan, maka tak ada yang mau mengganggunya. Orang ini lalu dibawa menghadap kepada panglima Kwee, dikawal oleh beberapa orang perwira dengan pedang terhunus di tangan, menjaga kalau kalau utusan musuh ini melakukan serangan gelap. Utusan itu hanya menyerahkan sesampul surat kepada Kwee-ciangkun dan tanpa menanti jawaban, ia lalu pergi lagi ke tempat pasukannya sendiri.

Setelah membaca surat yang dikirim oleh Jingar Khan ini Kwee-ciangkun lalu memanggil semua eng-hiong yang membantu dengan suka rela hingga mereka merasa heran sekali. Belum pernah Kwee-ciangkun berlaku begini sungguh-sungguh dan mengumpulkan mereka untuk merundingkan sesuatu yang agaknya penting sekali. Setelah semua orang gagah berkumpul, Kwee-ciangkun mengeluarkan surat dari Jingar Khan dan berkata dengan suaranya yang tenang dan besar.

“Cuwi Eng-hiong sekalian! Kami telah menerima sebuah surat dari Jingar Khan yang maksudnya merupakan tantangan bertempur antara saudara sekalian melawan jago-jago dari bangsa Turki. Menurut isi surat Jingar Khan, ia menuduh kita berlaku curang dengan mengajukan orang-orang yang berkepandaian untuk menghadapi anak buah tentara yang tak pandai bersilat.

“Oleh karena itu, agar dapat diambil ketentuan siapa di antara mereka dan kita yang lebih pandai, besok pagi-pagi disebelah barat hutan di luar dusun ini, ia menantang kita untuk melakukan pertempuran antara jago-jago kita dan jago-jago mereka, pertempuran seorang lawan seorang dan bukan keroyokan! Bagaimana pendapat saudara sekalian, terserah!”

Houw-san Lojin menjawab dengan suaranya yang tenang sekali. “Oleh karena Kwee-ciangkun yang menjadi pemimpin di sini, maka menurut pendapat pinto, segala keputusan terserah di tangan Ciang-kun.”

“Memang betul! Pendapat Souw Suhu ini,” kata Kwee-ciangkun, “Akan tetapi harus diingat bahwa tantangan dari Jingar Khan ini semata-mata ditujukan kepada Cuwi sekalian. Adapun tugasku sebagai panglima hanyalah memimpin barisanku menghadapi barisan pemberontak, sedangkan tantangan musuh sekarang ini bukanlah merupakan perang antara barisan, akan tetapi lebih merupakan urusan pribadi yang terpisah daripada urusan perang. Maka diterima atau tidaknya tantangan ini, tak lain saya hanya menyerahkan kepada Cuwi sendiri.”

“Kwee-ciangkun,” tiba-tiba Lo Sin berkata, “Maafkan pendapatku yang bodoh karena sesungguhnya aku kurang paham tentang siasat peperangan. Akan tetapi, tantangan Jingar Khan ini sedikitnya mendatangkan curiga dalam hatiku. Apakah ini bukan merupakan siasat memancing harimau keluar dari gua? Bagaimana kalau dia sengaja memancing para eng-hiong keluar dari Lok-sin-chung dan kemudian ia melakukan serangan besar di sini pada saat kami sedang bertempur menghadapi jago-jago mereka?”

Mendengar uraian ini, semua orang menganggukkan kepala menyatakan setuju, sedangkan Kwee-ciangkun sendiri memandang kepada Lo Sin dengan kagum. “Pandangan taihiap ini menunjukkan bahwa kau tidak saja lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pandangan luas. Sesungguhnya, akupun telah mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi, menurut pendapatku, lebih baik kita penuhi tantangannya itu.

“Pertama kalau kita menolak, mereka tentu mempunyai alasan untuk menghina kita dan menganggap kita tidak berani menghadapi jago-jago mereka. Kedua, untuk menantang Cuwi sekalian, tentu saja Jingar Khan akan mengajukan jago-jagonya, hingga biarpun kami di sini cuwi tinggalkan, akan tetapi sebaiknya pihak mereka juga ditinggalkan jago-jago mereka yang harus menghadapi cuwi. Selain daripada itu, kami juga masih mempunyai perwira-perwira yang cukup boleh diandalkan.”

Para eng-hiong itu kembali menyatakan setuju karena mereka maklum bahwa diantara para perwira memang banyak terdapat ahli-ahli silat tinggi, seperti Can Kok In dan beberapa orang perwira lain lagi. Memang mereka juga merasa malu dan rendah kalau sampai tantangan pibu dari Jingar Khan itu ditolak. Maka setelah menyatakan persetujuan bulat untuk memenuhi tantangan itu, mereka lalu memilih pemimpin rombongan yang hendak menghadapi jago-jago dari pihak Turki.

Banyak orang memilih Lo Sin atau Kong Liang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi kedua orang muda ini berkeras memilih Souw Hong Kiat, yakni Houw-san Lojin yang tertua diantara mereka dan yang lebih banyak memiliki pengalaman.

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rombongan orang gagah itu di bawah pimpinan Houw-san Lojin, berangkat menuju ke tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian dengan pihak musuh. Mereka ini dikawal oleh sepasukan tentara untuk menambah kegagahan dan bendera-bendera beraneka warna yang dipegang oleh para anggauta tentara dan yang ditulisi dengan huruf-huruf besar.

“Orang-orang gagah pembasmi pemberontak” itu berkibar-kibar dengan megahnya! Rombongan orang gagah itu terdiri dari Houw-san Lojin, Kong Liang, Mei Ling, Lo Sin, Lee Ing, San-tung Siang-hiap, dan orang gagah lain, semuanya berjumlah sebelas orang.

Ketika mereka tiba di tempat terbuka dekat hutan yang ditentukan itu, benar saja, di situ telah menanti rombongan musuh dengan gagahnya. Di depan sekali kelihatan Jingar Khan sendiri, duduk di atas punggung kuda dengan sikap dan pakaian perang yang gagah.

Pemimpin pemberontak ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap gagah sekali. Sepasang matanya yang kebiru-biruan itu mengeluarkan sinar tajam. Di kanan kirinya, berdiri dengan kedua kaki terpentang ke kanan kiri dan senjata golok dan lain-lain di pinggang, terdapat belasan orang yang melihat sikap mereka dapat diduga bahwa mereka inilah jago-jago mereka itu!

Juga di belakang mereka berdiri pasukan tentara Turki yang membawa bendera dan diantara bendera-bendera itu ada yang ditulisi “Jago-jago pilihan dari Barisan Langit!”

Mereka ini memang menyebut barisan sendiri sebagai barisan langit! Setelah rombongan Houw-san Lojin tiba di depan mereka, Jingar Khan menyapa para eng-hiong itu dengan sinar matanya, kemudian ia bertanya dalam bahasa Han yang cukup lancar. “Siapa pemimpin kalian?”

Houw-san Lojin melangkah maju dan menjawab tenang. “Pintolah yang menerima kehormatan menjadi ketua kawan-kawan ini!”

Sekali lagi mata Jingar Khan menyapu ke arah para eng-hiong yang berdiri dengan gagahnya dihadapannya itu. Agak lama ia menatap wajah Kong Liang, Mei Ling, Lo Sin dan Lee Ing. Terutama sekali ia memandang Lo Sin dengan penuh perhatian. Agaknya ia telah mendapat keterangan tentang semua pendekar yang berdiri dihadapannya dan telah mendengar pula tentang sepak terjang keempat anak muda itu. Kemudian ia kelihatan girang dan puas, lalu ia berkata lagi kepada Houw-san Lojin.

“Oleh karena kami melihat bahwa Kwee-ciangkun sendiri tidak hadir, maka sudah sepatutnya kalau kami mengundurkan diri pula dan mengangkat seorang wakil untuk mengepalai rombongan jago ini!” Jingar Khan lalu menunjuk seorang bangsa Turki yang bertubuh gemuk sekali hingga tubuhnya nampak bulat. “Kaulah yang kuangkat menjadi pemimpin!”

Orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat. Setelah itu, Jingar Khan menarik kendali kudanya dan mengundurkan diri. Berdebarlah hati para eng-hiong, karena timbul dugaan macam-macam pada pikiran mereka. Jingar Khan itu jelas kelihatan amat cerdik dan berbahaya sekali, maka mereka tak dapat menduga apa yang dilakukan oleh pemimpin pemberontak itu.

Pemimpin jago-jago Turki yang dipilih Jingar Khan ini adalah seorang yang berwatak sombong sekali. Ia adalah seorang bangsa Turki barat yang bernama Hwa Yung dan menjadi seorang diantara tiga orang jago terbesar dalam barisan Turki. Dua orang gagah lain ialah Thai-yong dan Kinaka. Yang lain-lain adalah jago-jago yang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi masih berada di bawah tingkat mereka.

“Pendeta tua!” katanya kepada Houw-san Lojin, “karena pertandingan ini dilakukan seorang lawan seorang dan di pihakmu ada sebelas orang, maka akupun akan mengeluarkan sebelas orang jagoku. Kita hitung saja, apabila di dalam sebelas kali pertempuran ini pihakku yang menang lebih banyak, maka pihakmu dianggap kalah dan demikian sebaliknya. Tidak boleh diadakan pengeroyokan atau bermain curang, dan seorang jago hanya boleh maju satu kali saja!”

“Baiklah, sobat,” kata Houw-san Lojin dengan tenang. “Majukanlah jagomu yang pertama!”

Harus diketahui bahwa dalam pertandingan ini, pihak Turki telah mendapat keuntungan besar, yakni mereka telah tahu siapa yang tangguh diantara para jago jago Han karena mereka telah memperhatikan dan mencatat sepak terjang para jago-jago ini, sedangkan di pihak Houw-san Lojin, tidak ada yang mengenal atau tahu akan tingkat kepandaian mereka itu.

Hwa Yung si gemuk itu lalu mengajukan seorang jagonya yang bertubuh tinggi sekali tetapi kurus hingga seperti rangka hidup. Houw-san Lojin lalu mengajukan seorang pendekar yang bernama Tan Kong. Keduanya lalu bertempur dengan tangan kesong dan ternyata bahwa pihak lawan memiliki ilmu berkelahi dari ilmu silat Mongol, yakni yang mengutamakan gerakan membanting dan mencengkeram.

Sebenarnya untuk menghadapi ilmu silat seperti ini, orang harus menjaga diri dan berusaha jangan berkelahi secara dekat, akan tetapi mempergunakan kecepatan dan kegesitan untuk menyerang dan menjauhkan diri agar jangan sampai tertangkap. Akan tetapi, Tan Kong terlalu memandang rendah lawannya oleh karena baru beberapa jurus saja ia telah berhasil memukul pundak lawan ini hingga roboh terguling-guling.

Akan tetapi, ternyata bahwa tubuh si tinggi kurus itu kuat sekali. Begitu jatuh, ia terus melompat dan berseru keras lalu menubruk dan menyerang secara membabi buta. Tan Kong menangkis dengan lengannya dan inilah kesalahannya. Lengan kanannya kena ditangkap dan sebelum ia dapat menarik lengan itu, lawannya telah menggunakan gerakan cepat dan tak terduga, begitu tubuhnya memutar dan membungkuk sambil menarik lengan Tan Kong, tidak ampun lagi Tan Kong kena terbanting keras sekali hingga tidak dapat bangun lagi!

Sorak sorai riuh rendah terdengar pecah di atas para tentara Turki yang berdiri menonton di satu pihak, sedangkan di pihak tentara Han terdengar keluhan-keluhan kecewa. Biarpun mendapat kekalahan dalam pertandingan pertama, namun hal ini menjadi pengalaman baik bagi para eng-hiong yang lainnya. Kini mereka sedikitnya telah mengetahui di mana letak kelihaian ilmu silat para lawan mereka. Jago kedua maju dan Houw-san Lojin juga mengajukan jago kedua.

Mereka berdua kini mempergunakan senjata golok dan bertempur dengan hebat! Akan tetapi, setelah bertempur tigapuluh jurus lebih, kembali jago pihak Han kena terbacok pundaknya dan roboh mandi darah. Terdengar lagi sorakan hebat dan wajah Hwa Yung berseri-seri gembira, sebaliknya pihak Houw-san Lojin nampak terkejut sekali.

“Mengapa Totiang mengajukan kawan-kawan yang paling lemah lebih dulu?” bisik Lo Sin menegur Houw-san Lojin. “Kekalahan-kekalahan melemahkan semangat kawan-kawan lain.”

Akan tetapi Houw-san Lojin hanya tersenyum. “Baru dua kali kalah, tidak apa.”

Ketika jago ketiga dari pihak lawan maju, kembali Houw-san Lojin mengajukan jago ketiga, akan tetapi kali ini ia menyuruh Lim Pok, seorang diantara San-tung Siang-kiap untuk menghadapi lawan. Lim Pok yang sudah merasa gatal tangan itu merasa gembira sekali dan ia segera melompat maju. Akan tetapi, baru sepuluh jurus saja, dengan mudah Lim Pok telah berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat! Lim Pok bersungut-sungut dan ia merasa tidak puas sekali.

“Curang, curang!” teriaknya sambil menuding ke arah Hwa Yung yang berdiri dengan senyum mengejek. “Kau mengajukan seekor cacing tanah untuk melawanku!”

“Seorang sekali sudah cukup!” kata Hwa Yung memperingatkan hingga Lim Pok makin marah dan hendak maju menyerang Hwa Yung, akan tetapi Houw-san Lojin membentaknya hingga terpaksa ia melompat mundur dengan mendongkol sekali.

Memang, orang yang menjadi lawannya tadi berkepandaian biasa saja dan jauh lebih rendah daripada dua orang yang maju lebih dulu. Pihak Houw-san Lojin maklum pula akan kelicikan ini dan mereka tahu bahwa Hwa Yung sengaja memutarbalikkan kedudukan jago-jagonya untuk mencari kemenangan!

Untuk menghemat tenaga yang boleh diandalkan, maka Houw-san Lojin mengajukan jago-jago yang lebih rendah tingkat kepandaiannya dan ternyata kedua jagonya yang lain telah dikalahkan pula! Bahkan seorang diantara jagonya telah terpukul binasa! Keadaan mereka kini menjadi empat satu untuk kemenangan pihak Turki Tentara Turki bersorak girang sekali karena dua kali lagi saja mendapat kemenangan berarti bahwa pihak mereka akan menang!

Pertandingan kelima dimulai dan Houw-san Lojin kini mengajukan Mei Ling sebagai jagonya! Di pihak musuh nampak ada keributan karena agaknya para jago itu berebut untuk diperbolehkan menghadapi nona yang cantik manis ini.

Akan tetapi mereka terpaksa tunduk terhadap keputusan Hwa Yung yang mengajukan seorang jagonya yang lihai, yakni adik seperguruannya sendiri bernama Thai Yong, seorang laki-laki pendek berusia tigapuluh tahun lebih dan sikapnya yang tenang dan pendiam itu membuat Mei Ling tidak berani memandang rendah kepadanya...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.