Siluman Gila Guling

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Siluman Gila Guling Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Siluman Gila Guling

SATU

MUNCULNYA MANUSIA IBLIS yang menimbulkan tragedi berdarah disekitar wilayah utara kerajaan GIRIJAYA sebuah kerajaan yang cukup besar pengaruhnya di pesisir pantai utara Pulau Jawa membuat resah Adipati GANTRA.

Cerita Silat Indonesia Karya Ginanjar

Sebagai orang yang dikuasai untuk membina kesejahteraan diwilayahnya, Adipati Gantra merasa bertanggung jawab atas kejadian itu. Bukan mustahil suatu ketika diri dan keluarganya lah yang akan menjadi korban.

Selama tiga pekan belakangan ini telah terjadi tiga peristiwa yang mengejutkan. Tiga peristiwa yang meminta korban jiwa. Yaitu terbunuhnya Tumenggung Penjali beserta keluarganya yang dibantai habis seluruh keluarga-nya, termasuk istri dan anaknya juga para pembantu. Belum lagi korban para prajurit yang sedikitnya ada belasan orang.

Kematian mereka secara aneh. Karena menurut saksi mata dari salah seorang korban yang masih hidup, si pembunuh itu hampir sukar sekali dilihat sosok tubuhnya. Karena berkelebat begitu cepat bagaikan bayangan hantu.

Kejadian terjadi dimalam hari dikala para prajurit Tumenggung tengah beristirahat sambil berjaga. Ketika tahu-tahu bayangan putih berkelebat keluar dari dalam pendopo setelah beberapa saat sebelumnya terdengar suara jeritan dari kamar Tumenggung PENJALI.

Para pengawal cepat bertindak mengejar dengan senjata-senjata terhunus. Akan tetapi bayangan itu tahu-tahu lenyap. Dan muncul dibelakang mereka. Selanjutnya yang terdengar adalah suara jerit para pengawal yang roboh tersungkur dengan berlumuran darah. Dari salah seorang pengawal yang masih hidup itulah didapat keterangan.

Yang didapati dalam keadaan luka hampir mati oleh seorang utusan dari Kadipaten dipagi harinya. Tumenggung PENJALI beserta anak dan istrinya mati terbunuh. Setelah memaparkan apa yang dilihatnya, si prajurit itupun tewas tak tertolong jiwanya.

Kejadian kedua adalah terbunuhnya seorang bangsawan, yang juga bekas abdi kerajaan, bernama Wongso Kumitir. Laki-laki itu tak mempunyai anak, kecuali belasan pembantu. Kedapatan mati terbunuh dengan isi perut terburai diatas tempat tidur. Sedang istrinya tewas dalam keadaan tergantung ditiang penglari.

Kejadian ketiga, pembunuhan ketiga terjadi pada seorang carik desa yang merangkap sebagai guru silat, berada di wilayah perbatasan sebelah timur. Carik desa itu tewas dalam keadaan mengerikan. Kedua tangan dan kedua kakinya putus, isi perutnya juga terbuai keluar. Tubuh laki-laki berusia setengah abad itu digantung ditiang depan gedung tempat tinggalnya.

Tak seorangpun dari para murid dan anak buahnya mengetahui. Karena kejadian itu mungkin dilakukan dimalam hari. Semua anak buah dan para muridnya malam itu tertidur pulas seperti kena pengaruh ilmu sihir. Ketika menjelang pagi, mereka terperanjat mengetahui darah berceceran dari kamar keluar ruangan. Dan dijumpai mayat carik desa bernama Loh Jento tergantung ditiang depan gedung dengan keadaan kaki dan tangannya putus, serta isi perut yang memburai mengerikan.

Hal kejadian itulah yang membuat Adipati Gantra tak tenang hatinya. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun ini mondar-mandir diruangan pendopo. Jari-jari tangannya menarik-narik jenggotnya yang lebat dan meremasnya dengan perasaan tak menentu.

"Apakah yang harus aku lakukan?" berdesis suara laki-laki ini. "Kejadian ini tak boleh dibiarkan. Sebelum aku mengirim laporan kepada Raja sebaiknya kuselidiki dahulu siapa gerangan manusia iblis yang telah berbuat keji itu!" berkata Adipati dalam hati. Sementara otaknya bekerja keras untuk menyingkap tabir pembunuhan itu yang di duga pasti ada penyebabnya.

"Loh Jento adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Tapi dia bisa tewas dalam keadaan demikian mengerikan tanpa seorang prajuritpun mengetahuinya sungguh kejadian aneh! Bukan mustahil si pembunuh itu seorang tokoh yang luar biasa tinggi ilmunya, disamping menguasai ilmu Aji PENYIEREP..!" Entah siapa gerangan manusia sadis itu!?" bergumam Adipati Gantra dengan memijit-mijit keningnya.

Sementara keringat dingin telah turun merembes didahi laki-laki itu yang telah banyak berkerut. Setelah merenung agak lama, Adipati Gantra bangun dari duduknya yang dalam keadaan gelisah. Lalu beranjak masuk ke dalam ruangan.

Dua orang penjaga sejak tadi cuma memperhatikan tingkah laku junjungannya yang seperti amat gelisah sebentar berdiri sebentar duduk, tanpa berkata-kata. Melihat junjungannya masuk ke ruang dalam dua penjaga ini saling mendekati.

"Gusti Adipati sepertinya sedang kacau pikirannya!" bisik penjaga yang satu. "Benar! kukira peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini yang tengah dipikirkan..."

"Apa pendapatmu dengan pembunuhan yang telah meminta korban jiwa sangat mengerikan itu?" bertanya kawannya.

"Kukira itu bukan perbuatan manusia!" sahut sang kawan yang bertubuh pendek.

"Ngaco! jadi perbuatan siapa? perbuatan setan?! Mana mungkin setan membunuh seperti itu! bahkan bisa menggantung orang yang dibunuhnya sedemikian rupa!"

"Maksudku... bukan perbuatan manusia yang wajar! Tentu saja manusia, tapi manusia yang telah kemasukan roh iblis! hingga dia bisa melakukan pembunuhan yang begitu keji!" si pendek cepat-cepat menjawab.

"Ya, ya... pendapatmu bisa masuk akal...!" sang kawan manggut-manggut membenarkan.

"Tetapi maksudku, apakah pemb...." pengawal ini tak meneruskan kata-katanya ketika terdengar langkah kaki di belakang mendekati. Belum sempat dia menoleh, bahunya telah ditepuk orang. Dan terdengar suara ditelinganya.

"Maksudmu apakah si pembunuh itu punya dasar dendam pada para korbannya hingga dia melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu? bukankah begitu maksudmu?"

"Beb... Benar! Hah? siapakah no... nona? dari mana kau masuk?" tergagap pengawal yang bernama Prono ini ketika melihat tahu-tahu di hadapannya, telah berdiri seorang wanita cantik yang masih muda berpakaian sehelai kain warna hijau yang cuma menutupi tubuhnya dari betis sampai ke dada.

Begitu juga mata si pengawal pendek. Sepasang matanya membelalak tak berkedip menatap manusia dihadapannya, yang tahu-tahu muncul tanpa diketahui dari mana munculnya.

"Hihihi... sejak tadi aku di ruangan ini!" menjawab wanita itu dengan tertawa menampakkan lesung pipit dikedua belah pipinya.

"Ha? aneh? mengapa aku tak melihatnya? Siapakah kau? Dan. a... ada urusan apa memasuki gedung pendopo kadipaten? Siapa yang memberimu izin masuk kemari?" bertanya Prono dengan terheran.

Sementara dalam hati sungguh mati dia tak mempercayai kata-kata si wanita itu. Rasanya mustahil, karena tahu-tahu wanita itu muncul secara mendadak dari arah belakang sesaat setelah Adipati Gantra masuk ke ruangan dalam di mana saat itu dia baru bercakap-cakap dengan si pendek.

Mendadak sepasang mata wanita yang tadinya jeli itu telah berubah menjadi nyalang menyeramkan bagai mata serigala. Senyumnya lenyap dalam sekejap mata.

"Hm, akulah si PEMBUNUH yang tengah kau percakapkan barusan! Kalian tak perlu mengetahui siapa aku. Akan tetapi yang perlu kau ketahui adalah, hari ini aku akan mengambil nyawa adipatimu, termasuk nyawa kalian berdua para pengawal bodoh!"

Selesai berkata mendadak lengan wanita itu bergerak cepat sekali. Dan tahu-tahu kedua tubuh pengawal itu berdiri dengan tubuh kaku dan mata mendelik. Namun dari lehernya telah mengalir darah hitam kental yang memancur ke dada. Sebuah lubang sebesar jari-jari tangan terlihat di bagian tenggorokan kedua orang pengawal itu. Tak bisa dipungkiri lagi kedua pengawal yang bernasib naas itu telah tewas seketika dalam keadaan berdiri.

DUA

NANJAR yang sedang dalam perjalanan memasuki batas Kota Raja terkejut ketika melihat beberapa orang penduduk berlarian dengan berteriak-teriak.

"Kanjeng Adipati tewas dibunuh penjahat!"

"Kanjeng Adipati tewas mengerikan sekali dibunuh manusia iblis!"

Desa yang cukup ramai itu serentak menjadi gaduh dengan seketika. Beberapa orang yang sedang duduk-duduk di warung makanan berlompatan memburu tiga orang laki-laki yang membawa berita itu. Sementara Nanjar terpaku berdiri di sisi jalan tak bergeming.

"Dari mana kalian tahu hal itu?"

"Apa beritamu benar?"

"Hei!? katakan! apakah kalian melihat dengan mata kepala sendiri?" Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan bertubi-tubi kepada tiga penduduk desa yang berdiri terengah-engah dengan wajah pucat bagai mayat.

"Kami lihat di halaman gedung Kadipaten banyak para prajurit berkerumun. Kami penasaran ingin tahu. Ketika kami melihat kesana, ternyata... ah, sungguh mengerikan! Hiii... Kanjeng Adipati mati tergantung di tiang pendopo. Keadaan mayatnya sungguh mengerikan se... sekali..." Salah seorang memberi penjelasan dengan tersengal-sengal.

"Benar! kami melihat sendiri! Kami lalu cepat-cepat berlari kemari untuk memberitahukan berita ini!" tegaskan pula kawannya. Pucatlah seketika wajah sekelompok laki-laki yang merubung ketiga laki-laki pembawa berita itu.

"Ha!? ini tentu perbuatan manusia iblis itu!"

"Benar! aku yakin ini perbuatan manusia iblis yang telah membunuh Tumenggung Penjali dan Carik desa diperbatasan timur!"

Sebentar saja ketiga laki-laki itu telah dikerumuni penduduk yang memadati tempat itu. Namun tak lama mereka bubar untuk kembali pulang ke masing-masing rumahnya. Mereka khawatir manusia iblis yang ditakuti itu menyatroni rumahnya dan mengganggu keluarga mereka.

Ginanjar yang berada diantara kerumunan orang itu tersentak kaget. Dia termangu-mangu sambil berpikir. "Manusia iblis? Yang telah membunuh beberapa orang penting di wilayah ini? Haiih! lagi-lagi aku harus menjumpai kerusuhan. Padahal kedatanganku kemari untuk menyelidiki asal-usulku, disamping mencari tahu siapa dan dimana kedua orang tuaku..."

Nanjar yang tengah terlongong itu seperti bingung mengambil keputusan. Apakah dia tak ambil peduli dengan kejadian itu, ataukah dia pergi ke gedung Kadipaten untuk melihat mayat sang Adipati? Ketika tengah berpikir, demikian tiba-tiba Nanjar tersentak kaget dan merasa aneh.

Karena disaat para penduduk gaduh berlarian kesana-kemari, justru ada seorang laki-laki tua yang berpakaian lusuh penuh tambalan berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Bahkan orang ini berjingkrakan sambil menari-nari.

"Hahaha... hehe... hahaha.. syukur! syukur! Biar adipati keparat itu mampus! Biarkan para cecunguk-cecunguk rakus itu mampus dilumat si manusia iblis! Hahaha... hehehe... kalau tidak punya dosa masakan dibunuh si manusia iblis? Kalau tidak punya dosa masakan dicincang sampai mengerikan? Hahaha... hahaha…!"

Tentu saja kata-kata serta sikap laki-laki tua berbaju lusuh itu membuat Nanjar jadi bengong terlongong. "Siapa kakek tua ini? apakah dia gila?" guman Nanjar dengan alis dikerutkan.

Sementara si orang tua itu terus berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Ditangannya menggenggam sebuah buli-buli berisi minuman arak yang sebentar-sebentar ditenggaknya. Sedangkan mulutnya tak hentinya berceloteh. Saat itu serombongan laki-laki yang masih berada ditempat itu telah berlompatan mendekati si kakek tua kumal yang ngoceh tak karuan itu.

"Hei! tua bangka pemabukan! Apa katamu barusan? Kau malah menyumpahi kematian Kanjeng Adipati! Jangan-jangan kau bersekongkol dengan pembunuh terkutuk itu!" Bentak salah seorang laki-laki dari rombongan pemuda-pemuda itu justru membuat tertawa si kakek kumal berbaju tambalan ini semakin mengakak geli hingga terpingkal-pingkal.

"Hehehe... hahaha... kalian tahu apa bocah-bocah bau bawang mentah? Orang-orang yang diberi kekuasaan oleh kerajaan itu banyak dosa, makanya mampus dicincang si manusia iblis! Kalian tukang-tukang penagih pajak liar berlidah busuk! Hehehe... lidah kalian berulat. Juga hati kalian! Kalian tak tahu dikala kalian masih bocah banyak peristiwa yang tidak enak! Ya, ya... banyak yang tidak enaknya, kecuali arak inilah yang enak! hahaha... hehehe..."

Si kakek kumal mirip orang siting itu mengoceh, dan kembali menenggak araknya hingga sampai berpuncratan membasahi bajunya. Mendengar kata-kata si kakek sinting itu seketika wajah laki-laki yang rata-rata masih berusia muda dan bertambang sangar-sangar itu seketika berubah merah padam.

"Sialan! kau menghina kami, tua bangka!" membentak kasar seorang laki-laki yang brewok. Lengannya bergerak mencengkeram kedada si kakek. Akan tetapi seperti secara kebetulan saja tubuh si laki-laki tua kumal itu seperti terhuyung ke belakang mau jatuh. Tentu saja cengkeraman laki-laki brewok itu lolos.

Melihat cengkeramannya luput, si brewok ini naik pitam. Dia tak membuang waktu lagi untuk bertindak mengumbar emosinya. Lengannya mengayun ke arah dada si kakek. Tinjunya yang besar itu meluncur kearah dada si kakek tua yang tulang iganya bertonjolan. Dapat dibayangkan kalau tinju yang besar dan kuat itu jika diadu dengan tulang tipis si kakek tua apa jadinya.

Akan tetapi saat itu si kakek terbatuk-batuk. Agaknya arak yang ditenggaknya terselak ditenggorokan. Didetik yang gawat itu justru kembali tubuh si kakek setengah sinting itu terhuyung ke samping. Hal mana ternyata telah membuat jotosan si brewok kembali luput!

Nanjar yang memperhatikan semua kejadian itu di depan mata, tak terasa memuji. "Haiih! jurus mengelak yang hebat! Seperti jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayangnya Roro Centil!"

Melihat serangan yang kedua kalinya mengalami kegagalan, semakin merah padam muka si brewok. Akan tetapi kali ini kedua kawannya telah siap membantu.

"He! biar kubantu menghajar kakek dan ini, Jabrig!" teriak salah seorang dari dua pemuda itu. Dan dua bayangan berkelebat menerjang dari kiri dan kanan. Lagi-lagi Nanjar berseru kagum, karena dengan tubuh terhuyung-huyung si orang tua sinting itu berhasil lolos dari dua sambaran pukulan kedua pemuda itu. Sementara itu si brewok telah mencabut goloknya yang terselip dipinggang.

"Mundur kalian! Biar kuhabisi saja nyawa kakek sinting pemabukan ini" berkata demikian si brewok melompat kearah si kakek. Goloknya menabas kearah pinggang, sementara di sebelah lengannya tergenggam tiga buah senjata rahasia.

Serangan itu lolos. Tubuh si kakek meliuk kebelakang seperti terjengkang. Dan loloslah serangan maut barusan. Akan tetapi hal seperti ini sudah diduga oleh si brewok. Saat itu sebelah lengannya secepat kilat melontarkan tiga buah paku yang terjepit diantara jari-jari tangannya.

Dapat dibayangkan sudah kalau kali ini si Kakek takkan mampu mengelak. Namun didetik itu juga si kakek seperti terbatuk dan semburkan arah di mulutnya. "Frrruuh!"

Menjerit seketika si brewok. Tubuhnya terjungkal roboh. Dua orang kawannya tersentak kaget melihat si brewok berkelojotan seperti ayam disembelih. Ketika sesaat kemudian tubuh laki-laki garang itu berhenti tak berkutik. Dua pemuda itu memburu. Ketika memeriksanya, terlihat tiga buah paku senjata rahasia milik si brewok itu telah menancap di leher, kening dan dadanya.

"Orang tua keparat! kubunuh kau!" membentak salah seorang seraya berbalik dengan mencabut senjatanya. Betapa gusarnya dia melihat kematian si brewok. Akan tetapi mulutnya ternganga dengan, sepasang mata mendelong. Karena tubuh si kakek sinting itu telah lenyap entah kemana....

TIGA

Tubuh Nanjar berkelebat mengejar kearah berkelebatnya tubuh si kakek sinting. Gerakan melompat si kakek itu sungguh mengagumkan. Tubuhnya membuat tiga kali letikan di udara hingga beberapa kejap saja dia, telah melewati puncak-puncak pohon dan lenyap dibalik hutan.

Tentu saja Nanjar tak kalah sebat untuk mengejar. Tubuhnya melompat ke udara setinggi enam tombak. Sepasang kakinya menjejak dahan pohon. Dan melesatlah tubuhnya bagaikan anak panah lepas dari busur ke arah berkelebatnya sosok tubuh tua renta itu.

Dengan ringan bagaikan seekor bangau yang hinggap di tanah, Nanjar mendarat di balik hutan itu. Sepasang matanya menatap ke beberapa arah untuk mencari dimana gerangan orang yang dikejarnya. Akan tetapi terheran dia, karena jejak si kakek sinting itu lenyap tak berbekas.

"Aneh!? begitu cepatnya dia lenyap. Padahal barusan saja kulihat dia melompat ke sini...,!" membatin Nanjar. Sementara Nanjar celingak-celinguk ke beberapa arah yang juga tak dapat diketahui di mana sembunyinya si kakek, Nanjar diam-diam berfikir. "Kakek itu berilmu tinggi! Entah siapa gerangan dia adanya. Aku perlu mengorek keterangan dari dia, mengenai si manusia iblis! Kuyakin dia tidak gila!"

Sementara itu Nanjar diam-diam juga mengagumi kepandaian si kakek yang tadi melompat dengan menggunakan buli-bulinya sebagai injakan kakinya untuk membuat letikan dua kali diudara. Buli-buli itu terikat oleh seutas tali, dimana ketika si kakek melepaskan buli-bulinya seraya menotol dengan ujung kakinya. Disaat itu tubuhnyapun melesat lagi dengan kekuatan tenaga totokan tersebut.

Selanjutnya dia telah menangkap lagi buli-bulinya, dan mengulangnya seperti tadi, hingga dalam beberapa kejap dia telah lenyap dibalik hutan. Gerakan demikian kalau bukan dilakukan oleh seorang yang telah mencapai tingkat ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna sukar dilakukan oleh orang biasa, baik yang telah mendalami ilmu silat sekalipun.

Sementara Nanjar mengagumi orang lain dia sendiri dikagumi pula oleh orang. Siapa lagi kalau bukan si kakek sinting itu. Sejak tadi si kakek sinting itu ongkang-ongkang kaki, duduk didahan pohon. Akan tetapi Nanjar tak melihatnya. Tentu saja, karena si kakek kumal itu berada di atas Najar, tanpa bergeming sedikitpun.

Si kakek sinting itu tiba-tiba tersenyum menyeringai. Entah ada hal apa yang membuatnya lucu. Ketika pelahan-lahan dia membuka tali celananya. Dan.....

Serrrrr....!

Terkejut Nanjar bukan kepalang ketika tahu-tahu pundaknya basah terkena guyuran air. "He? Air memancur dari atas? Aneh!" Baru dia menggumam, seraya menggeser berdirinya, terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Terkejut Nanjar seraya mendongak ke atas pohon.

Mendelik mata Nanjar melihat si kakek sinting yang dicarinya berada di puncak pohon. Duduk di dahan dengan celana terbuka yang mengucurkan air bagai pancuran kecil. "Hah!? Sialan! aku dikencingi setan tua itu!" memaki Nanjar. Dan serta merta dia telah mengendus bau pesing yang membuat dia kaget setengah mati.

"Hei! setan tua gila! turunlah kau!" teriak Nanjar. Betapa mendongkolnya tak dapat dibayangkan Nanjar mengetahui tubuhnya kena diguyur air kencing si kakek kumal itu. Akan tetapi diam-diam dia terkejut, karena tak mengetahui kalau orang yang dicarinya berada diatas pohon.

"Hehehe... hahaha... lucu! lucu! ada monyet kecil mandi air kencing! Hahaha... hehehe... hehehe.." tertawa terpingkal-pingkal si kakek hingga dahan pohon itu berguncangan. Merah dan panaslah rasanya wajah Nanjar.

"Sialan kau setan tua! kalau kau tak mau turun biarlah aku yang akan menarik kakimu agar kau turun!" Selesai berkata tubuh Nanjar membuat lompatan dengan jejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya meluncur ke atas. Dan selanjutnya Nanjar melompat-lompat dengan gerakan cepat sekali, bagaikan kera yang memanjat pohon.

Tentu saja hal demikian membuat si kakek terkejut karena dia belum lagi sempat membenarkan tali, celananya, sedangkan tahu-tahu Nanjar telah julurkan tangan untuk membetot kakinya. Akan tetapi kakek ini tak kalah gesit. Tubuhnya telah melompat pindah ke lain dahan sebelum lengan Nanjar berhasil menangkap pergelangan kakinya.

"Setan tua! aku takkan melepaskanmu sebelum aku balas mengencingi kau!" teriak Nanjar. Tubuhnya telah berkelebatan melompat untuk mengejar.

"Hehehehe.... ayo kejarlah aku monyet kecil!" teriak si kakek dengan tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya berkelebat cepat sekali melompat dari puncak pohon ke puncak pohon.

Akan tetapi Nanjar selalu berada di belakangnya yang juga melompat dengan gerakan cepat mengejar si kakek. Terjadilah kejar-kejaran di puncak-puncak pohon itu. Sepintas dari jauh sepertinya dua kera saja yang saling berkejar-kejaran menimbulkan suara berkerosakan.


Kita tinggalkan dulu keadaan Nanjar yang mengejar si kakek sinting, yang telah mengencingi tubuhnya. Dua-duanya boleh dikatakan manusia-manusia yang juga sinting. Karena Nanjar mana mau berhenti mengejar kalau belum membalas mengencingi si orang tua misterius yang berkepandaian tinggi itu.

Sementara keadaan di wilayah Kota Raja kerajaan Giri Jaya dilkisanak kekisruhan dengan ulah si pembunuh keji yang terakhir telah merenggut nyawa Adipata Gantra itu, kita beralih ke lain tempat.

Di sebuah ngarai terjal yang diapit oleh dua buah bukit diantara deretan perbukitan dipegunungan Dieng, tampak suatu pemkisanakngan aneh terlihat di udara. Sekelompok burung elang yang terbang memutari lembah itu, tiba-tiba perdengarkan suara memekik terkejut. Kelompok burung elang itu terbang membuyar.

Apakah gerangan yang terjadi? Kiranya segelombang angin yang berputar keras telah mengganggu kelompok burung elang itu yang muncul dari dasar lembah. Pusaran angin yang hebat itu agaknya tak mampu membuat kawanan burung elang untuk menghindari diri dari bahaya.

Dalam beberapa kejap saja tubuh mereka terbawa pusaran angin dahsyat itu dan telah menghisapnya masuk ke celah dua bukit tersebut. Seperti ditelan bumi saja layaknya belasan kawanan burung elang itu lenyap...

Ternyata angin puting-beliung itu berasal dari mulut sebuah goa yang berada di dinding tebing di dasar lembah. Sekejapan saja elang-elang itu telah lenyap meluncur masuk kedalam mulut goa itu.

Sukar untuk dipercaya karena dalam goa itu duduk di atas batu seorang kakek yang memejamkan matanya. Kakek ini memakai jubah hitam yang membungkus seluruh tubuhnya. Dan ternyata belasan ekor burung elang itu telah berada dihadapannya dalam keadaan lemas tak berdaya.

Gelombang angin dahsyat itu telah lenyap sirna. Kakek tua renta yang berperawakan gemuk berambut putih yang bergelung diatas kepala itu tampak membuka sepasang matanya.

EMPAT

Hehehe... bagus! aku telah berhasil menguasai ilmu tenaga dalam gaib dengan mempergunakan ilmu batin. Ilmu ini kunamakan ilmu ANGIN DEWA PRAHARA! Dua belas tahun aku mendekam di goa ini akhirnya aku berhasil menguasai ilmu-ilmu gaib yang dapat kupergunakan kelak untuk menghancurkan kerajaan Giri Jaya! Tak akan puas hatiku sebelum aku turun tangan sendiri membunuh manusia-manusia binatang yang telah membuat aku menderita tanpa daksa!" menggumam si kakek.

Kelihatannya kakek ini berwajah ramah, namun dihatinya tersimpan dendam yang luar biasa yang selama ini tetap berkobar di dadanya. Dia menetap ke arah belasan ekor burung elang yang dalam keadaan lemas tak berdaya dihadapannya. Tampak bibirnya berkomat-kamit seperti membaca mantera-mantera. Sementara sepasang matanya tetap menatap tak berkedip pada binatang-binatang itu.

Tiba-tiba terjadilah keanehan. Ketika si kakek membuka mulutnya belasan ekor elang itu berkelojotan sekarat ketika hawa panas keluar dari rongga mulut kakek. Dalam beberapa kejap saja bulu-bulu burung elang itu rontok-rontok hangus!

Hawa panas itu lenyap ketika si kakek mengatupkan bibirnya. Namun tak lama itupun angin halus menerpa bulu-bulu itu hingga bertaburan lenyap, ketika si kakek monyongkan sedikit bibirnya untuk meniup.

Tak lama dia telah ngangakan lagi mulutnya. Dan hawa panas kembali menerpa ke tubuh-tubuh belasan elang yang sudah bersih terkuliti bulu-bulunya. Beberapa saat kira-kira sepemanggangan, maka terciumlah bau wangi sedapnya panggang daging burung. Barulah si kakek katupkan lagi mulutnya. Bibirnya tersenyum menyeringai.

"Hahaha... perutku lapar ! Sebelas ekor panggang burung elang ini cukup untuk menangsal perutku sambil menunggu kedatangan si Cantrik..."

Kelihatannya memang aneh, karena kakek ini makan tanpa mempergunakan tangan. Tentu saja, karena sepasang lengannya kutung sebatas pangkal lengan. Entah bagaimana seekor panggang burung seperti terhisap melompat ke arahnya, dan dengan sigap sepasang lengan buntung itu menangkapnya. Dengan mempergunakan lengannya yang buntung itulah dia menyantap makanan enak itu.

Siapakah gerangan kakek aneh yang bukan saja sepasang lengannya buntung, akan tetapi juga sepasang kakinyapun buntung sebatas paha. Siapakah gerangan kakek aneh yang berilmu batin tinggi serta memiliki kekuatan tenaga gaib yang amat luar biasa itu?

Segera kisanak akan mengetahui, karena pada saat tiga ekor burung elang masuk ke perut kakek ini, tiba-tiba kakek ini mengendengus. Wajahnya berubah tak sedap dipandang. Dan...

"Frruuuh! dia telah menyemburkan sisa kunyahan daging di mulutnya. Matanya menatap ke arah mulut goa. Bibirnya bergerak mengeluarkan suara desisan. "Heh! agaknya hari ini aku akan kedatangan tetamu-tetamu..! siapa gerangan mereka? Hm, sejak selama dua belas tahun tempat ini tak pernah dijamah manusia. Tapi hari ini ada empat manusia berdatangan ke tempatku! Ya, empat orang! Apakah di antaranya ada si Cantrik anak gadisku?"

Dengan berdesis demikian si kakek tampak miringkan telinga seperti meneliti melalui pendengarannya. Pada saat itulah terdengar suara dari luar goa.

"Heeiii! SILUMAN GILA GULING!."

"Betul dugaanku! Si Cantrik sari ada diantara mereka, dan telah tertawan! kurang ajar!" berkata pelahan si kakek.

"Silahkan kalian masuk, orang-orang gagah! Aku sedang malas untuk menyambut kedatangan tetamu! Sebutkan diri kalian! Kalian telah menjadi tetamu pertamaku! Akan tetapi bocah perempuan itu jangan kalian pakai untuk menjadi sandera, karena aku tak akan memperdulikan mampus atau tidak!"

Suasana kembali hening. Tak ada sahutan dari luar. Setelah beberapa saat tak ada suara maupun reaksi dari para "tetamu"nya untuk memasuki ruangan goa, si kakek perdengarkan suara tertawa terkekeh-keheh.

Sementara itu keadaan di luar goa, terlihat tiga orang laki-laki berusia hampir rata-rata setengah abad berdiri tegak menghadap ke arah mulut goa. Pandangan mata mereka seperti tegang. Ternyata mereka adalah tokoh-tokoh dunia Rimba Hijau yang punya nama cukup besar.

Diantaranya adalah si KAPAK SETAN seorang yang bertubuh pendek memakai jubah kuning. Dipinggangnya terselip dua belas kapak. Laki-laki ini mengenakan kalung yang berbandulan kepala tengkorak berukuran kecil.

Laki-laki kedua adalah seorang yang bertubuh jangkung kurus. Kumisnya panjang menjuntai hampir sejengkal. Wajahnya lonjong, berkulit muka hitam. Memakai jubah kuning. Lengannya mencekal sebuah tongkat berduri. Dialah si Iblis Tongkat Racun! Sedangkan orang ketiga adalah seorang laki-laki bertubuh tegap. Otot-ototnya bertonjolan.

Dadanya bidang dan ditumbuhi bulu lebat. Kulit mukanya kasar. Matanya cuma melek sebelah. Orang ini tak mengenakan baju bagian atas, kecuali celana pangsi yang berwarna hitam. Dialah si KEBAL PICAK. Orang kuat yang kulitnya sekeras besi!

Orang keempat adalah seorang wanita yang kepalanya terbungkus kain hitam. Wanita itu kedua tangannya terikat, dan dalam keadaan menekuk lutut didekat kaki si Kebal Picak. Ketiga orang ini seperti ragu untuk memasuki goa, Mereka, khawatir kena jebakan musuh. Sedangkan kata-kata si Siluman Gila Guling telah membuat mereka jadi terpaku, karena jelaslah kalau adanya tawanan ditangan mereka tak berarti sama sekali.

Tiba-tiba segelombang angin menerpa ketiga laki-laki itu. Terkesiap ketiganya karena angin itu keluar dari mulut goa. Dan lebih-lebih terkejutnya mereka karena tubuh mereka seperti tersedot oleh hisapan angin itu yang merangkum mereka untuk menarik masuk ke dalam mulut goa. Akan halnya si wanita yang tertutup kepalanya oleh kain hitam itu, tak ampun lagi sudah tersedot masuk kedalam goa.

Tinggallah ketiga laki-laki itu yang tampak bertahan sekuat tenaga menahan hisapan gelombang angin itu. Si Iblis Tongkat Racun tancapkan tongkatnya dalam-dalam ke tanah. Dan dia segera cepat berpegangan pada tongkat agar tak terhisap angin. Sedangkan si Kebal Picak gunakan ilmu kekuatan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh. Sedangkan si Kapak Setan melompat untuk batang pohon.

Saat itulah terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari dalam goa. "Heheheh... heheh... cukuplah kau merasai kehebatan ilmu yang kupertunjukkan! Segera kalian kembalilah pulang! Aku tak memerlukan keterangan apa-apa, karena muridku akan menceritakan siapa kalian! Akan tetapi lain hari jangan menyangka aku akan memberi hidup nyawa kalian!"

Selesai berkata mendadak gelombang angin dahsyat itu lenyap sirna. Suasana di luar goa kembali tenang seperti sediakala. Ketiga laki-laki itu menghela napas lega. Wajah-wajah mereka tampak pucat bagai mayat. Ketiganya saling pandang seperti kebingungan. Akan meneruskan melabrak si Siluman Gila Guling ataukah kembali pulang dengan membawa kesialan?

Karena sedianya wanita tawanan itu akan dipergunakan untuk menyandera tapi telah lepas dari tangan mereka. Kehebatan ilmu si Siluman Gila Guling sukar untuk dijajagi. Jangan-jangan justru mereka akan kehilangan nyawa sia-sia. Memikir demikian, ketiganya sama mengangguk untuk tak menyia-nyiakan kesempatan emas dengan diberinya peluang hidup pada mereka.

"Mari kita pergi!" berdesis si Iblis Tongkat Racun.

Sekejap ketiganya telah berkelebatan pergi meninggalkan lembah itu. Suasana disekitar tempat sunyi yang tempat angker dan misterius itupun kembali lengang, seolah tak ada tkisanak-tkisanak kehidupan.

LIMA

TUBUH si wanita yang meluncur masuk ke dalam goa terhisap angin dahsyat ciptaan si kakek Siluman Gila Guling itu telah berada di hadapan dengan si kakek keadaan masih berlutut. Kekuatan tenaga gaib si kakek membuat tubuh wanita itu melayang turun pelahan di hadapannya tanpa cidera.

Bukan itu saja, karena tutup kepala kain hitam yang menyembunyikan wajah wanita itu kini telah terbuka. Wajahnyapun segera tampak nyawa kalau dia seorang wanita berparas cantik berusia antara sembilan belas tahun. Wanita ini ternyata wanita yang muncul di gedung Kadipaten.

"Cah ayu... Cantrik! ceritakan sejujurnya mengapa hal ini bisa terjadi? Tak seharusnya kau tertawan oleh tiga "tetamu" kurang ajar itu! Mereka telah mengetahui tempat tinggalku! tentu kau yang menjadi penunjuk jalan! katakan, siapakah mereka? dan ceritakan juga apakah kau telah melaksanakan tugas-tugas yang kuberikan padamu?" berkata si kakek.

Gadis ini tak segera menjawab selain menundukkan kepalanya. Semen-tara kedua pergelangan tangannya masih terikat tali kulit di belakang punggung.

"Hm..! mendengus si kakek. Sepasang matanya menatap si gadis. "Membaliklah kebelakang!" ujarnya. Gadis ini tak ayal segera turutkan perintah si kakek. Sepasang Mata kakek ini menatap tajam ke arah tali pengikat yang membelenggu kedua lengan dara itu. Aneh, cuma sekejapan saja tali kulit yang atot itu telah putus, dan terbuka ikatannya, ketika secercah sinar biru menyambar tali-temali itu.

Cepat gadis itu balikkan tubuhnya, lalu menjura di hadapan sang kakek dengan bersujud. "Maafkan aku, ayah! aku tak segera menjawab pertanyaanmu. Terima kasih atas pertolongan ayah..." berkata dia.

"Nah! segera kau ceritakan apa yang terjadi sebenarnya, dan siapa adanya ketiga "tetamu" kurang ajar itu? Dan bagaimana dengan tugas-tugasmu?"

Tanpa diperintah untuk kedua kali, segera dara bernama Cantrik Sari ini tuturkan kejadian dari awal hingga akhir. Ketika digedung kadipaten tengah terjadi keributan dengan terbunuhnya Adipati Gantra yang mayatnya tergantung di tiang pendopo dengan keadaan mengerikan, sesosok tubuh berkelebat cepat melintasi perbatasan Kota Raja.

Dialah wanita yang telah membunuh dua orang pengawal kadipaten. Setengah hari melakukan perjalanan, gadis ini diam-diam telah dikuntit oleh tiga sosok tubuh yang terus membuntuti langkahnya.

Naluri dara ini agaknya cukup tajam karena dia merasa ada yang mengekor di belakangnya. Tapi ter-lambat sudah, karena ketika dia ber-henti untuk memperhatikan telah terdengar bentakan keras. Dan tiga sosok tubuh telah berkelebatan mengurungnya.

Mereka tak lain dari tiga orang laki-laki kaum Rimba Hijau yang menyatroni tempat tinggal gurunya dan yang telah menawannya seperti diceritakan dibagian depan. Yaitu si Kebal Picak si Iblis Tongkat Racun dan si Kapak Setan!

"Kurang asem! kiranya yang selama ini dijuluki si manusia iblis dan telah membunuhi orang-orang kerajaan secara sadis adalah kau seorang gadis cantik!?" membentak si Raja Tongkat Racun dengan mata mendelik.

"Siapa kalian?" berkata lantang dara ini. Matanya tajam menatap ketiga laki-laki yang mengurungnya.

"Hehehe... aku dijuluki si Iblis Tongkat Racun! Untuk wilayah pegunungan Kendeng orang telah tahu siapa diriku! Dan kedua kawanku ini adalah si Kapak Setan dan seorang lagi adalah si Kebal Picak!" menyahut si Iblis Tongkat Racun seraya menunjuk pada kedua laki-laki kawannya.

"Hm, dengan dalih apa kalian menuduh aku yang telah melakukan perbuatan seperti yang kau tuduhkan padaku?"

"Heh! mengakulah saja kau bocah ayu! Selama ini aku dan kedua kawanku ini telah menyelidiki setiap terjadi pembunuhan secara sadis itu. Kali terakhir aku dengan mata kepala sendiri telah menyaksikan perbuatanmu membunuh dua orang pengawal kedipaten dan membunuh Adipati Gantra serta menggantungnya di tiang pendopo gedung kadipaten! Apakah kau masih mau mungkir?" berkata si Iblis Tongkat Racun dengan menyeringai.

Gadis ini merah seketika wajahnya. Tapi dia mendengus seraya meludah. "Cuih! baik, aku mengaku! Memang aku yang melakukan semua pembunuhan. Lalu apa maksud kalian mencampuri urusanku? bukankah kalian sendiri adalah tokoh-tokoh golongan sesat?" berkata si gadis. Dara ini memang telah mendengar nama ketiga tokoh hitam Rimba Hijau itu dari si Kakek.

"Benar kami dari golongan kaum sesat. Tapi tak tahukah kau bahwa orang-orang yang kau bunuh itu ada hubungannya dengan kami? Kecuali guru silat bernama LOH JENTO itu yang lainnya adalah orang-orang yang punya hubungan erat dengan kami, termasuk Adipati Gantra!" berkata si Iblis Tongkat Racun.

Gadis ini kerutkan keningnya. Sepasang alisnya terjungkit. Tampaknya dia agak terheran mendengar jawaban si Iblis Tongkat Racun. Akan tetapi dia tak mau banyak bertanya. Segera dia berkata ketus. "Aku tak peduli! apakah mereka konco-konco atau bukan. Yang jelas apa yang kulakukan adalah berdasarkan perintah guruku!"

"Bagus! Siapakah gurumu?" bertanya si Iblis Tongkat Racun.

"Ya! katakan siapa adanya manusia yang menitahkan kau membantai orang-orang abdi kerajaan itu?" si Kapak Setan yang sedari tadi diam saja ikut pentang mulut buka suara.

"Hm, baiklah! kukira aku tak perlu merahasiakan lagi. Guruku bergelar SILUMAN GILA GULING!" menyahut lantang si gadis.

Mendengar nama gelar demikian ketiga laki-laki itu sama saling pandang dengan kawannya. Mereka baru pernah mendengarnya. "Siluman Gila Guling? aku belum pernah mendengar? Dari golongan manakah gurumu itu? Apakah dia sebangsa siluman atau manusia?" bertanya si Iblis Tongkat Racun dengan terperangah.

"Hihihi... Dikatakan golongan siluman masuk akal, tapi dimasukkan golongan manusia juga tidak salah!" tertawa lucu dara ini, akan tetapi sepasang matanya tampak berubah nyalang, hingga menampakkan wajah yang sadis.

"Kalian tak perlu banyak tahu tentang guruku, Seperti juga orang- orang abdi kerajaan yang sudah mampus itu. Itulah perintah guruku. Kalian telah mengetahui julukan guruku, maka terpaksa aku harus membunuh kalian, karena kalian termasuk konco-konconya orang yang diperintahkan guruku untuk membunuhnya!" berkata tkisanaks wanita ini sebelum tiga laki-laki itu buka suara. Mendengar kata-kata gadis ini ketiga laki-laki itu saling pkisanakng dengan kawannya.

"He? dengarkah kau apa katanya? Bocah perempuan manusia Iblis ini mau membunuh kita! Apakah kalian akan biarkan isi perutmu dikeluarkan dan kaki tanganmu dibuntungi seperti korban-korban yang telah dibunuh dia?" bertanya si Iblis Tongkat Racun seraya menatap pada dua kawannya.

"Hahaha... kalau dia mampu mengupas kulit perutku, aku rela isi perutku akan kuberikan padanya!" berkata jumawa si Kebal Picak. "Justru aku mau menangkapmu, gadis cantik! Ingin kutahu apakah kau mampu berbuat seperti korban-korbanmu terhadapku?"

Selesai berkata si Kebal Picak melompat kehadapan dara ini. "Gadis semontokmu tak seharusnya melakukan pekerjaan sadis, sebaiknya kau menemani aku tidur! hahaha..." Lengan si Kebal Puncak meluncur ke arah dada untuk mencengkeram buah dada gadis ini yang membuat matanya membinar. Sementara lengannya yang satu lagi bergerak cepat untuk menotok ke arah jalan darah ditubuh sang gadis.

"Kurang ajar!" memaki dara ini seraya dengan cepat miringkan tubuh menghindari serangan. Sebelah lengannya digunakan untuk menangkis. Akan tetapi dengan gerakan cepat si Kebal Picak robah serangan. Kedua lengannya digunakan untuk menangkap pergelangan tangan dara ini.

Terkejut si gadis. Namun apa yang dilakukan dara ini membuat si Kebal Picak membuang tubuhnya ke samping, karena detik itu si gadis telah mengirim serangan kilat ke arah perut.

Buk!

Terhuyung laki-laki ini. Kalau dia tak berilmu kebal, tentu akan dapat merasai akibat pukulan mengandung tenaga dalam itu. Namun tak urung si Kebal Pucat rasakan perutnya mual.

"He? kalian mengapa cuma jadi penonton saja? Hayo bantu aku menangkapnya!" teriak si Kebal Picak seraya berpaling pada si Iblis Tongkat Racun dan si Kapak Setan.

Tanpa menunggu lebih lama lagi kedua laki-laki ini telah berlompatan untuk membantu. Menghadapi keroyokan dari ketiga laki-laki golongan hitam sudah berpengalaman didunia Rimba Hijau ini agaknya si gadis harus keluarkan seluruh kelihaiannya. Bahkan setelah lewat dua puluh jurus dia nampak terdesak.

Hal tersebut menggembirakan ketiganya. Dengan saling bantu-membantu akhirnya tongkat si Raja Racun berhasil menotok urut jalan darah di tubuh gadis itu. Dan lengan si Kebal Picak berhasil menangkap pergelangan sang dara ini yang langsung memuntirnya ke belakang. Saat itu kapak maut si Kapak Setan meluncur deras kearah kepala si gadis.

"Kubikin mampus saja sekalian!" teriak laki-laki ini. Akan tetapi terdengar bentakan keras.

"Tahan!" Kalau saja lengan si Kebal Picak tak menangkap mata kapak itu nyaris akan terbelahlah kepala si gadis yang saat itu telah terkulai tak berdaya.

"Bodoh!" memaki si Kebal Picak. "Kalau kau membunuhnya berarti selamanya kau tak akan tahu dimana adanya dan siapa sebenarnya si Siluman Gila Guling itu. Gadis ini bisa menunjukkan tempat tinggal siluman itu. Dan... hampir aku kehilangan tubuh empuk yang masih menggiurkan ini!"

Demikianlah, dengan keadaan tertotok dan tak berdaya gadis ini berada dalam cengkeraman ketiga laki-laki itu. Si Kebal Picak yang tampaknya sangat bernafsu melihat kemontokan tubuh si dara. Tak dapat menahan kesabarannya untuk segera memondongnya dan membaringkan tubuh dara itu di rumput yang tebal.

"Eh, kalian menyingkirlah dulu. Kalau kalian juga mengingini kehangatan tubuh si cantik ini, nantilah setelah aku!" berkata si Kebal Picak.

"Wah! ini tidak adil! Kita meringkusnya bertiga tapi kau yang mengangkangi duluan!" sungut si Iblis Tongkat Racun.

"Benar! seharusnya diundi! siapa yang menang dialah yang duluan!" si Kapak Setan itu bicara.

"Baik! dengan cara undian bagaimana yang kalian inginkan?" berkata si Kebal Picak seraya bangkit berdiri. Sebenarnya hatinya mendongkol karena usul si Kapak Setan. Padahal kalau tak ditangkapnya mata kapak yang sedianya membelah kepala gadis itu, tentulah gadis cantik ini telah tewas.

Entah cara bagaimana mereka melakukan undian, tapi yang jelas ternyata si Kebal Picak berhasil memenangkan undian, dan dia tetap yang berhak paling dulu menggarap korban. Dengan nafsu yang bergejolak si laki-laki berkulit kebal ini membukai pakaian gadis itu, sementara kedua kawannya menyingkir pergi.

Demikianlah! tak dapat ditawar lagi lenyaplah kehormatan sang gadis, oleh si Kebal Picak. Yang selanjutnya secara bergiliran si Iblis Tongkat Racun dan si Kapak Setan pun mendapatkan gilirannya.

Selesai dengan urusannya mereka mengikat tangan gadis itu, lalu membuka totokan dan memaksanya menunjukkan tempat tinggal si Siluman Gila Guling. Dengan menahan air mata serta kebencian yang sedalam lautan si gadis yang dijuluki si manusia iblis itu menggangguk.

"Baik! aku bersedia mengantar kalian ke tempat guruku!" sedangkan dalam hati dia memaki. "Tunggulah saat kematian kalian kelak! Aku akan membunuh kalian dengan cara yang lebih sadis lagi! Akan kubuat kematian kalian secara perlahan-lahan!"

Demikianlah! si dara cantik ini paparkan semua kejadian yang dialaminya, juga diceritakan mengenai keberhasilan tugas-tugasnya membunuh orang-orang abdi kerajaan termasuk yang terakhir adalah Adipati Gantra.

"Bagus! anakku! selesailah sudah tugasmu! Kini kau bebas menentukan nasibmu sendiri! Pengorbananmu cukup besar, Cantrik Sari. Hingga kau harus kehilangan nasib kehormatanmu. Haiih! kisanak! Aku tahu ketiga cecungkuk itu telah memperkosamu, tentu aku tak membiarkan mereka minggat dalam keadaan masih bernyawa!" berkata si kakek.

Sementara itu terlihat sepasang mata dara cantik itu basah bersimbah air mata. Akan tetapi kesedihan itu ditahannya dengan menggigit bibir. Gadis ini telah banyak menderita dan selama ini dia hidup dalam kekerasan dalam gemblengan seorang kakek tanpa daksa yang menyimpan dendam sedalam lautan terhadap orang-orang kerajaan Giri Jaya.

Kepedihan hatinya mendadak lenyap mendengar kata-kata kakek itu yang seperti menyuruhnya pergi, bahkan dia bebas untuk menentukan nasib sendiri.

"Ayah... kau mengusirku, apakah aku sudah tak berguna lagi? Sebagai seorang anak, aku bertanya... Apakah kau memutuskan hubungan darah antara kita? Lalu kita tak akan bertemu lagi?"

ENAM

"Kau bukan anakku!" berkata pendek si kakek Siluman Gila Guling.

"Hah!? aku bukan anakmu? lalu anak siapakah aku? Siapa ayahku dan siapa ibuku?" tersentak kaget Cantrik Sari.

Sejurus laki-laki tua ini terdiam, seperti mengingat akan peristiwa belasan tahun yang silam. Dan dia menghela napas. Lalu berkata. "Cah ayu Cantrik Sari! Kau adalah seorang gadis yang bernasib malang. Akan tetapi aku juga seorang yang lebih malang dari kau! Carilah seorang laki-laki tua bernama Kebo Layung. Dia bekas seorang tukang kuda di istana kerajaan Giri Jaya sebelum dirajai oleh raja yang sekarang ini. Dia akan membeberkan anak siapa sebenarnya kau. Tapi kau harus katakan bahwa selama ini kau dibesarkan dan dididik ilmu-ilmu kedigjayaan oleh aku. Namun kau jangan katakan aku si Siluman Gila Guling. Karena dia takkan mengenalnya. Katakan bahwa kau selama ini bersama Panembahan "BROMO REKSO!"

Mendengar kata-kata itu si gadis tercenung menyimak kata-kata si kakek. "Dimana aku harus mencari orang bernama KEBO LAYUNG itu, ah... ayah?" Agak ragu Cantrik Sari memanggil laki-laki tua tanpa daksa itu dengan kata-kata ‘ayah’. Karena si kakek telah mengatakan dia bukanlah anak kandungnya.

"Panggillah aku Kakek penambahan Bromo Rekso!" berkata si kakek.

"Ya, kakek panembahan Bromo Rekso...!" ucap Cantrik Sari. Terasa lidahnya kaku mengucapkan kata-kata itu.

"Ya, ya..! mengenai orang yang bernama Kebo Layung itu aku tak mengetahui dimana adanya. Kau carilah disekitar wilayah kota Raja! Mungkin dia masih tinggal disalah satu desa sekitar wilayah Kota Raja itu!" ujar Siluman Gila Guling alias Ki Bromo Rekso.

"Apakah masih ada pesan kakek penambahan yang lain?" bertanya Cantrik Sari.

"Kukira tidak! Nah, pergilah! mumpung hari masing siang!" ujar orang tua tanpa daksa ini seperti ingin agar si gadis cepat-cepat berlalu.

Merasa dirinya sudah tak perlu berdiam lebih lama lagi ditempat itu, apalagi dia memang sudah merasa jemu untuk terus tinggal didalam goa. Saat-saat dia keluar goa untuk menjalankan tugas baginya amat menyenangkan. Karena dia bisa melihat keadaan ditempat keramaian.

Tugas itu kini telah selesai. Dan dia bebas menentukan cara hidupnya sendiri. Apalagi telah diizinkan bahkan diperintah oleh si Siluman Gila Guling untuk dia pergi. Maka segeralah dia mohon diri.

Tak banyak berkata-kata, si kakek hanya mengangguk. "Pergilah! Semoga Tuhan melindungi setiap langkahmu, dan semoga kau bisa mengetahui siapa ayah ibumu serta bertemu dengan orang yang bernama Kebo Layung itu!"

Cantrik Sari mengangguk, lalu balikkan tubuh. Dan... dia segera melangkah lunglai keluar dari goa. Di depan mulut goa dia berhenti sejenak. Terdengar suara helaan napasnya. Namun sesaat kemudian dia telah berkelebatan pergi, dan lenyap di ujung jalan di lembah lengang itu.


Kita beralih lagi pada kedua orang yang tengah berkejaran, yaitu si kakek sinting pemabukan yang dikejar terus-terusan oleh Nanjar. Gara-gara Nanjar kena dikencingi tubuhnya oleh kakek sinting itu, dia mendongkol setengah mati. Hingga dia terus mengejar. Bahkan Nanjar belum puas bila belum membalas mengencingi mulut si kakek konyol itu.

"Tunggu pembalasanku kau kakek sinting!" memaki Nanjar dalam hati.

"Heei! mengapa kau berhenti mengejar?" teriakan si kakek menggema di lembah itu. Dia telah berdiri di atas lamping batu, melihat kepada Nanjar yang berdiri sembulkan kepala di puncak pohon.

Nanjar memang sedang berpikir mencari akal untuk membalas perlakuan si kakek. Justru si kakek itu berhenti melompat dan berdiri di atas batu.

"Kakek tua, sudahlah! aku menyerah kalah! ilmu melompatmu sungguh membuat aku kagum. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukanmu?" bertanya Nanjar seraya melompat keatas batu tak jauh dari si kakek.

"Hehehe..." si kakek tak menjawab. Dia julurkan lengannya untuk meraih buli-buli di pinggangnya. Lalu menenggak araknya tanpa memperdulikan pertanyaan orang.

Saat itulah Nanjar cepat menjumput sepotong ranting. "Sialan! ditanya malah minum arak. Ini kesempatan yang baik!" berkata Nanjar. Dan dengan gerakan kilat ranting di tangannya telah meluncur ke arah si kakek.

Tentu saja si kakek ini terkejut merasai sambaran benda ke arahnya. Seraya berteriak, "Aaiiiyaa..!" dia melompat ke belakang untuk menghindar.

Nanjar sudah menduga akan hal itu. Pada saat itulah tubuhnya berkelebat cepat dan lengannya bergerak menyambar buli-buli. Dan... Nanjar berhasil merampas buli-buli itu dari tangan si kakek. Akan tetapi Nanjar lupa kalau buli-buli itu terikat seutas tali yang terbelit di pinggang kakek itu. Tubuhnya tersentak tali, dan buli-buli itu nyaris terlepas lagi.

"Celaka!" pikir Nanjar! Akan Tetapi dia tak kehilangan akal. Segera dia melompat dan gubatkan tali di sebatang pohon. Di balik batang pohon itulah Nanjar dengan cepat membuka tali celananya. Dan... Serrrrrr! Suara berdesirnya air yang memancur dari tengah pangkal pahanya itu dibarengi dengan suara tertawa Nanjar yang mengakak terbahak-bahak. Bahkan sampai terbatuk-batuk.

Sementara dengan terheran si kakek memandang ke arah Nanjar yang berada di belakang pohon dimana tali buli-bulinya terentang. "He! monyet kecil! apa yang kau lakukan di situ?" teriaknya. Dia tak berani melompat untuk mendekati karena khawatir kena serangan gelap yang dilakukan Nanjar. Namun dia lebih menghkawatirkan isi buli-bulinya.

Justru pada saat itu Nanjar muncul dari balik pohon dengan tertawa nyengir. "Hehe... hahaha... arakmu baik sekali, setan tua! Terima kasih atas kebaikanmu!" berkata Nanjar sambil menyeka mulutnya.

"Monyet kecil! kurang ajar! apa kau telah menghabiskannya?" mendelik mata si kakek.

"Hahaha... jangan khawatir. Aku tak serakah untuk meludaskannya. Aku hanya sekedar menghilangkan hausku karena mengejarmu...!" Ujar Nanjar seraya lemparkan buli-buli kepada si kakek.

Tak ayal lengan si kakek segera menyambar kearah buli-bulinya. Lalu digerak-gerakkan untuk mengetahui apakah masih ada isinya. "Heh! Kau main serobot seenakmu dan menenggak arakku tanpa sopan-santun, monyet kecil? Haiih! kau tak tahu arak ini adalah bagian dari hidupku! Aku tak dapat hidup tanpa arak. Dan selamanya arak akan tetap menjadi minumanku. Sesuai dengan gelarku si Gila Pemabukan!" Selesai berkata dia telah menenggak araknya dengan rakus dan sampai habis!

Saat itulah Nanjar tak dapat menahan rasa gelinya. Dan dia tertawa terbahak-bahak hingga terpingkal-pingkal. Sementara si kakek seperti baru menyadari kalau ada sesuatu yang ganjil dengan arak yang diminumnya. Bau pesing yang menyambar di hidung itulah yang cepat menyadarkan dia. Tapi arak sudah terlanjur tertelan.

"PRRUAAH!" Tak ayal dia telah menyemburkan araknya lagi, dan muntah-muntah karena tak tahan dengan bau dan rasa mual di perut. "Sialaaaan!" memaki si kakek dengan wajah merah padam. "Kau monyet kecil sialan! Kau berani kencingi buli-buliku? Kuhajar kau!"

Bentakan si kakek menggeledek yang dibarengi dengan menerjangnya si kakek untuk melakukan hantaman ke arah kepala Nanjar. Serangan hebat itu membuat Nanjar tersentak kaget. Untunglah dia masih mampu mengelakkan diri dengan melompat ke kiri. Apa yang dilakukan Nanjar adalah dia memanjat pohon dengan cepat bagai kera yang naik ke pohon. Sekejap saja sudah berada dipuncaknya.

"Kurang ajar!" terdengar bentakan si kakek. Dan...

BRRAAKKK! Batang pohon itu hancur kena hantaman pukulan si kakek yang murka. Dengan suara berkrotakan pohon besar itu roboh. Namun Nanjar telah melompat turun ke arah lain dengan gerakan "terbang"nya dan hinggap di atas dataran berbatu-batu cadas.

TUJUH

Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk!

Buli-buli si kakek menyambar deras ke arah Nanjar yang dibarengi dengan hantaman-hantaman pukulan dahsyat. Akan tetapi dengan gerakan lincah Nanjar berhasil menghindari. Bahkan dengan tertawa-tawa dia berkata.

"Hahaha... setan tua! mengapa kau marah? Bukankah kini hutangmu sudah impas? Kau telah mengencingiku dari atas pohon. Dan kini kau ganti yang meminum air kencingku! Kau sudah tak punya hutang apa-apa lagi padaku. Bahkan kau telah membayar dengan bunganya sekalian! hahaha...haha...,"

Mendengar kata-kata itu sejenak si kakek terpaku, dan berhenti menyerang. Bila dinilai kata-kata pemuda di hadapannya itu benar juga. Akan tetapi sungguh keterlaluan kalau sampai dia meminum air kencing orang. Terlalu dan sungguh memalukan.

"Kau bocah licik siapakah namamu?" membentak si kakek.

"Waduh! aku lupa lagi namaku, kek! Entah siapa namaku. Bahkan ayah ibuku sendiripun aku tak mengetahui!"

"Bocah linglung! Baru aku menjumpai orang yang lupa namanya sendiri. Bahkan nama ayah ibumu pun kau tak mengetahui. Apakah kau dilahirkan keluar dari liang batu?"

"Haha...mungkin juga! Kau sebut sajalah aku si Dewa linglung!" berkata Nanjar.

Dia memang tak mau menyebutkan namanya. "Mengenai aku dilahirkan dari liang batupun aku tak mengetahui. Liku-liku hidupku aneh. Sejak kecil aku telah dipelihara oleh seorang kakek bernama Ki BAYU SETHA yang bergelar si Pendekar Bayangan. Namun sampai matinya guruku tak pernah menyebutkan anak siapa aku?"

"Bocah konyol! eh!? siapa? kau mengatakan Ki BAYU SETHA?" bertanya si kakek dengan tertegun. Nyatalah kalau kakek ini sebenarnya tidak sinting. Karena dia mampu mengingat nama orang yang sudah puluhan tahun lewat.

"Ya! apakah kau mengenal guruku itu?" bertanya Nanjar.

"Ya, ya! aku pernah mendengar namanya pada lebih dari dua puluh tahun yang silam. Dialah seorang pendekar yang agung. Penjunjung tinggi kebenaran dan pembela keadilan. Banyak orang mengagumi kebesaran namanya pada waktu itu!" bertutur si kakek. "Kau mengatakan sampai matinya dia tak menceritakan siapa kedua orang tuamu. Apakah dia sudah tak ada di dunia ini?" berkata si kakek.

"Benar, kematiannya oleh seorang tokoh golongan hitam yang bergelar si Dewa Tengkorak!" ujar Nanjar. "Akan tetapi si Dewa Tengkorak sendiripun tewas membunuh diri diakhir pertarungan dengan Ki Bayu Setha!" tutur Nanjar.

"Hm... dari mana kau peroleh keterangan? Apakah kau melihatnya sendiri?"

"Seorang perempuan yang pertama menjadi saudara seperguruanku sendiri yang menyaksikan pertarungan beliau dengan si Dewa Tengkorak!" jawab Nanjar. "Dia bernama Roro. Lengkapnya RORO CENTIL!" sambungnya.

Mendengar disebutnya nama itu alis si kakek terjungkit naik. "Bukankah dia si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang tersohor itu?" tanyanya heran.

"Tidak salah! He? kau tampaknya banyak tahu kek? apakah kau juga mengetahui dimana adanya dia saat ini?" bertanya Nanjar. Entah mengapa dia ingin sekali berjumpa dengan pendekar perkasa yang masih saudara seperguruannya itu dan yang pernah digandrunginya setengah mati.

"Hahaha... baru kuingat kini! baru kuingat! Ya, ya! aku baru ingat!" Tiba-tiba si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Sejak tadi dia selalu memperhatikan Nanjar dikala bicara. Bahkan pertanyaan Nanjar yang menanyakan dimana adanya Roro Centil pun tak didengarnya. Karena kakek ini rasakan jantungnya berdebar. Bayangan masa lalu terbayang dipelupuk matanya.

"Apa maksudmu, kek? apakah yang kau ingat?" tanya Nanjar terheran.

Tapi yang ditanya diam seperti arca. Matanya mendelong menatap ke depan. Namun tak tahu apa yang tengah diperhatikannya. Ternyata dia terkenang pada masa yang silam. Wajah seorang wanita terbayang di pelupuk matanya. Wanita yang cantik berkulit putih. Wanita yang lugu dengan ciri khas kedesaannya. Juga seorang wanita yang setia pada seorang suami. Dialah istriya. Kejadian dimasa pemberontakan pada masa yang lalu, pada masa Kerajaan MEDANG, terkuak di depan matanya lagi.

Kerusuhan yang dimana-mana dimasa yang sedang gawat itu, dia masih berusia tiga puluh lima tahun. Istrinya bernama GINARSIH. Dan dia sendiri bernama ANJAR SUBRATA. Disaat mengungsi dari Kota Raja akibat kerusuhan yang melanda kerajaan Medang dengan terjadinya pemberontakan itu, sang Istri melahirkan. Ya! kelahiran yang tak diduganya sama sekali.

Ginarsih melahirkan bayi laki-laki yang montok dan sehat. Akan tetapi sesaat setelah kelahiran sang jabang bayi, Ginarsih menghembuskan napas yang penghabisan. Goncangan-goncangan hati didalam kekalutan itu serta kekhawatiran pada sang jabang bayi dalam perutnya membuat daya tubuhnya melemah. Hingga sesaat berselang setelah melahirkan, sang istri menghembuskan nafasnya.

Masih terngiang ditelinganya kata-kata terakhir Ginarsih sesaat sebelum berpulang. Yang menyuruhnya menjaga sang jabang bayi dengan baik, dan mendidiknya agar menjadi seorang pendekar pembela kebenaran, serta berbakti pada kerajaan Medang.

Tentu saja dia berjanji untuk mewujudkan apa, yang menjadi keinginan istrinya yang amat dikasihinya itu. Suasana kekacauan masih belum reda. Sang jabang bayi segera diberinya nama seusai pemakaman sang istri. Akan tetapi bayi itu perlu perawatan. Terutama perlunya air susu ibu. Dari mana dia mendapatkannya?

Tak ada jalan lain selain menyerahkan sang jabang bayi untuk dirawat sementara oleh seorang penduduk dikaki gunung BISMO. Sementara dia sendiri terlibat dalam suasana kekacauan yang berada dimana-mana. Penjahat dan perampok juga kaum golongan sesat yang memanfaatkan kekeruhan itu mencari mangsa untuk kepentingan dirinya.

Terpaksa Anjar Subrata berpindah-pindah tempat untuk menghindari penjahat-penjahat itu. Hatinya berduka dan dia menyesali akan kebodohannya yang tak punya kepandaian. Hingga dia tak mampu berbuat apa-apa. Sementara tuntutan sang istri memenuhi benaknya. Dia harus berkepandaian, demi cita-cita itu! Dia harus ikut berjuang menegakkan kebenaran membela Kerajaan Medang.

Pergilah dia ke tempat sunyi. Disana dia tafakur memencilkan diri serta memuji kebesaran Tuhan, bahwa dirinya masih bisa selamat. Dia memang punya kepandaian. Tapi sedikit kepandaian itu tak berarti apa-apa. Untuk menghadapi kekuatan para penjahat yang merajalela memeras rakyat dia tak berkemampuan apa-apa.

Bahkan nyaris dia tewas ketika membela penduduk dari tindasan kaum pemberontak yang menguasai beberapa buah desa. Dia bersyukur karena kejadian itu tak berada di wilayah lereng gunung Bismo. Gunung Bismo terlalu jauh dari tempat kerusuhan itu. Dan di lereng gunung itu cuma ada sebuah desa kecil. Tak nantinya kaum penjahat menyatroni ke sana.

Demikianlah! dengan memencilkan diri itu, Anjar Subrata memperdalam ilmunya seorang diri. Dia menciptakan ilmu kepandaian dengan ciptaan sendiri. Keuletan dan kesabaran serta kemauan keras membuat dia berhasil menguasai ilmu-ilmu kepandaian tanpa guru.

Lebih dari lima tahun dia menyekap diri dalam hutan. Dan akhirnya setelah dia merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya, dibulatkan hatinya untuk turun gunung keluar dari tempat tersembunyi itu. Tujuan utamanya adalah untuk menemui anaknya si bayi mungil yang dititipkan pada seorang desa di lereng gunung BISMO.

Terasa lega hatinya karena kekacauan tampaknya sudah mereda. Kejahatan memang tak bisa sirna, dan tetap ada dimana-mana. Dia tak mengetahui tentang keadaan aman atau tidaknya keadaan kerajaan. Rasa rindu untuk menjumpai sang anak semakin menggebu. Berangkatlah Anjar Subrata menuju ke lereng gunung Bismo.

Akan tetapi yang dijumpai membuat hatinya tersentak. Karena desa dimana dia menitipkan bayinya telah rusak binasa. Tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Hutan di lereng gunung Bismo seperti baru dilkisanak kebakaran hebat. Pohon-pohon mati gersang. Rumput kering dan tanah yang tandus. Dimana-mana yang tampak adalah serpihan arang dan debu hitam.

O, betapa hancurnya hati Anjar Subrata. Betapa pilunya hati seorang ayah yang tak mengetahui dimana dan bagaimana nasib sang anak. Sejak saat itulah dia tak mendengar lagi tentang anaknya itu. Dan sampai saat ini. Kejadian itu membuat dia tertekan batinnya.

Hingga dia mengalihkan kegoncangan jiwanya pada minuman arak. Sejak itulah arak menjadi sebahagian dari hidupnya. Namun nama anak itu masih tetap diingatnya. Dan tetap terukir dibenaknya, walau sampai mati sekalipun.!

"Ya! anakku kuberi nama GINANJAR! aku masih mengingatnya dan takkan pernah aku melupakannya!" berkata kakek ini dalam hati.

"He! bocah! sebutkan siapa namamu!" tiba-tiba si kakek ajukan pertanyaan dengan mata memkisanakng tajam pada Nanjar.

Sejak tadi Nanjar melihat pada orang tua di hadapannya dengan rasa aneh! Kini mendadak kakek itu menanyakan namanya. Nanjar tertawa ketika ingat bahwa si kakek ini rada-rada sinting. Dia tertawa seraya menyahut.

"Hahaha... bukankah sejak tadi sudah kukatakan aku tak ingat namaku lagi. Kau sebut sajalah aku si Dewa Linglung!"

"Baik! baik! Dewa Linglung! Apakah kau merahasiakan namamu ataukah kau memang benar-benar lupa. Akan tetapi ketahuilah! Aku pernah punya anak laki-laki pada dua puluh tahun lebih yang silam. Bocah laki-laki itu kutinggalan dilereng gunung BISMO pada seorang penduduk desa, karena aku tak bisa merawatnya. Orang yang kutitipi anakku itu mempunyai seorang bayi perempuan, hingga anakku bisa menumpang menyusu padanya. Kutitipkan anakku padanya karena ibunya telah mati! Kalau dia hidup, saat ini tentu seusia denganmu!" berkata si kakek dengan wajah murung.

"Siapakah nama anakmu itu, kek?" tiba-tiba Nanjar ajukan pertanyaan. Wajahnya berubah serius, dan olok-oloknya lenyap seketika yang tadinya dia berniat menggoda orang.

"Dia kuberi nama Ginanjar!" sahut si kakek.

Tersentak kaget Nanjar mendengar jawaban si kakek. "Benarkah itu?" pekik dihatinya. "Ba... bagaimana ciri-ciri anakmu itu? apakah kau masih mengingatnya?" Penasaran Nanjar kembali ajukan pertanyaan. Walau hatinya terasa kaget dan girang bukan main, tapi dia tak bisa menerima begitu saja si kakek ini ayah kandungnya. Didunia ini banyak nama-yang sama.

"Anakku aku ingat betul ciri-ciri pada tubuhnya. Dia mempunyai tanda hitam sebesar ibu jari dipantatnya!" menyahut si kakek dengan wajah sungguh-sungguh.

"Ha? ti... tidak salahkah, kek?" tanya Nanjar tergagap. Tanda itu ada padanya. Bahkan Roro sering mentertawakan kalau dia sedang mandi melihat tanda hitam sebesar ibu jari tangan yang ada di pantatnya.

"Aku... aku mempunyai tanda yang kau sebutkan itu, kek! kau lihatlah!" berkata Nanjar setengah berteriak. Dan tak ayal lagi, dia segera buka celananya. Kemudian tunggingkan pantat dihadapan si kakek.

Membelalak mata si kakek melihat tanda itu. Penasaran dia menghampiri dan memperhatikan dengan teliti. "Benar! Tak salah lagi, kau... kau benar anakku!" tergetar suara si kakek. Sepasang matanya menatap Nanjar dengan membelalak.

Nanjar tak sempat untuk kancingkan celananya lagi karena seketika si kakek telah memeluk dengan erat, seraya berteriak girang.

"GINANJAR! Oh, Ginanjar! Kau... kau benar anakku! kau benar bayi yang kutitipkan dua puluh tahun lebih yang lalu! Oooh, anakku...!"

Nanjar tak dapat membendung perasaannya lagi, diapun mendekap tubuh si kakek dengan teriak-isak. "Ah., ayah! ayah...! Oh, kau... kau ternyata ayahku! Betapa aku amat merindukanmu, ayah!" Suara Nanjar tergetar bercampur isak. Air matanya meleleh membasahi pipinya. Begitupun si kakek. Kedua matanya berkaca-kaca penuh genangan air mata.

"Maafkan aku ayah, aku telah berlaku kurang ajar padamu...!" berkata Nanjar menyesali perbuatannya.

"Tak apa anakku, tadi aku yang bikin gara-gara" Tukas Ki Anjar Subrata dengan tertawa. Betapa girang dan bahagianya hati kedua insan yang baru saling berjumpa dan saling mengenali itu sukar untuk diceritakan...

DELAPAN

Nanjar duduk diatas batu di tepi sungai berair jernih dipagi yang sejuk itu. Matahari baru saja sembulkan dirinya dari ufuk timur. Sementara Ki Anjar Subrata baru saja selesai bercerita mengenai pengalamannya seusai tadi malam menceritakan tentang riwayat Nanjar.

Nanjar pun telah menceritakan pengalaman hidupnya yang mempunyai beberapa orang guru. Hingga yang terakhir dia menjadi murid Raja Siluman Kera, Raja Siluman Ular, Raja Siluman Biawak dan Raja Siluman Harimau serta yang terakhir adalah Raja Siluman Naga. Secara tidak langsung Nanjar telah menjadi pewaris ilmu tokoh persilatan golongan hitam yang bergelar si Enam Iblis Pulau Kambangan.

Kakek tua yang bernama Ki Anjar Subrata itu tercenggang mendengar penuturan Nanjar. "Jadi terakhir guru-gurumu adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"

"Benar, ayah! Akan tetapi jangan khawatir! Anakmu tak akan menjadi orang sesat. Aku hanya memetik ilmunya saja yang akan kupergunakan untuk bekal langkah-langkahku selanjutnya. Aku bercita-cita menjadi seorang pendekar tulen. Dan ilmu-ilmu kepandaian yang kumiliki akan kupergunakan untuk membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan!" sahut Nanjar dengan suara gagah.

Ki Anjar Subrata manggut-manggut. Dia tampak amat girang sekali. Sungguh tak disangka dia akan dapat berjumpa dan berjodoh untuk kembali bertemu dengan sang anak. "Sukurlah, kalau demikian anakku, Nanjar! Tak ada kebahagiaan lain bagiku selain melihat anaknya berhasil menjadi seorang pendekar yang gagah!" ujar Ki Anjar Subrata. "Tak sia-sia almarhum ibumu mengharapkan kau menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Semoga kau dapat gunakan ilmu-ilmu yang kau miliki untuk membela yang lemah dan menindak yang jahat! Terutama sekali kau bisa membela dan menjaga keutuhan dan ketenteraman kerajaan Mataram dari para pemberontak!" tutur ki Anjar Subrata selanjutnya.

"Terima kasih, ayah! Kelak suatu saat akupun akan menghambakan diri pada Kerajaan Mataram. Akan tetapi saat ini aku masih senang mengembara. Aku ingin banyak pengalaman di dunia Rimba Hijau. Juga masih banyak penindasan, kekerasan dimana-mana. Hal itu menjadi tugasku untuk turun tangan menyumbangkan tenaga membela yang tertindas!" ujar Nanjar tegas.

Ki Anjar Subrata manggut-manggut. "Aku tak dapat menghalangimu, anakku. Dimasa muda akupun senang mengembara... akan tetapi aku tak sehebat kau...! Ilmu meringankan tubuhmu luar biasa! Aku sungguh kagum melihat kemampuanmu mengejarku, juga mengelakkan serangan-seranganku yang mengandung maut!" berkata laki-laki tua itu.

"Ah, ayah dibandingkan kau, aku bukan apa-apa..." tukas Nanjar merendah. Akan tetapi dia tampak senang sekali dipuji oleh ayahnya.

Dalam pembicaraan itu tiba-tiba Nanjar teringat pada kejadian pembunuhan yang baru saja kemarin terjadi. Juga kejadian-kejadian pembunuhan oleh orang yang disebut si manusia iblis itu.

"Ayah! apakah kau mengetahui siapa manusianya yang melakukan serangkaian pembunuhan-pembunuhan keji belakangan ini? Termasuk juga pembunuhan seorang Adipati kemarin ini?" bertanya Nanjar. Teringat Nanjar ketika ayahnya tertawa sambil mabuk yang justru menyumpahi orang-orang kerajaan yang terbunuh.

Ki Anjar Subrata diam sejurus. Lalu menghela napas sesaat, dan ujarnya. "Sebenarnya aku tak mengetahui sama sekali siapa adanya pembunuh misterius itu. Akan tetapi orang-orang kerajaan Giri Jaya yang terbunuh itu adalah orang-orang yang bekerja sama dengan para penjahat. Mereka adalah orang-orang Munafik yang bekerja dibelakang kekuasaan Raja akan tetapi diam-diam memeras dan menindas rakyat serta mencari keuntungan pribadi memperluas kekuasaan. Aku khawatir suatu ketika mereka justru menjadi pemberontak-pemberontak kerajaan! Dibalik kejadian-kejadian itu tentu ada sebab-sebabnya. Akan tetapi pemhunuh itu memang terlalu keji dalam melakukan pembunuhan!" ujar Ki Anjar Subrata.

"Ayah! aku berniat menyelidiki siapa si pembunuh misterius itu. Dendam kesumat apakah hingga si pembunuh misterius itu melakukan pembantaian!" berkata Nanjar seraya bangkit berdiri. Nanjar manggut-manggut. "Dari mana ayah mengetahui para abdi kerajaan Giri Jaya itu bersengkongkol dengan para penjahat?" tanyanya.

"Hm, tiga orang tokoh hitam yang bergabung dan bekerja sama dengan abdi-abdi kerajaan itu aku mengetahuinya. Dialah si Iblis Tongkat Racun, si Kebal Picak dan si Kapak Setan!!" sahut Ki Anjar Subrata.

"Ayah! aku berniat menyelidiki si pembunuh misterius itu, juga mencari ketiga manusia yang ayah sebutkan itu! Dimanakah ayah berdiam selama ini? kelak aku akan mengunjungimu bila telah kuselesaikan urusanku!" berkata Nanjar.

Disebut-kannya nama-nama ketiga tokoh itu telah membuat Nanjar tersentak kaget. Karena ketiga tokoh itulah yang tengah dicarinya. Kejadian beberapa pekan yang lain disaat dia melakukan perjalanan ke utara Nanjar telah memergoki kejadian mengenaskan. Yaitu terbunuhnya puluhan manusia, yang terdiri dari anak-anak buah sebuah perguruan silat yang bernama perguruan Elang Suci. Bahkan ketua dan wakilnya serta terlihat diantaranya seorang pendeta terbunuh tewas.

Dari keterangan yang diperolehnya pembantaian itu dilakukan oleh tiga orang yang masing-masing bergelar si Kapak Setan, si Iblis Tongkat Racun dan si Kebal Picak. Namun mengenai hal tersebut Nanjar tak mau menceritakan pada sang ayah.

Setelah termenung sejurus, ki Anjar Subrata berkata. "Aku tak dapat menghalang-halangi niatmu! Memang tugas seorang pendekar adalah melenyapkan kebatilan. Kau sudah mengetahui bahwa ketiga manusia yang kusebutkan itu adalah tokoh-tokoh hitam yang diam-diam merongrong kewibawaan kerajaan Giri Jaya. Sedikit banyaknya kau mengetahui perbuatan mereka diluar! Akan tetapi hati-hatilah! Menurut yang kudengar ketiganya berilmu tinggi!"

"Jangan Khawatir, ayah! Hidup dan mati berada ditangan Tuhan. Disamping itu ingin kuselidiki apakah si manusia iblis yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu punya dendam tersendiri, ataukah dia justru orang yang akan menghancurkan kerajaan Giri Jaya!"

"Benar, anakku! akupun mengkhawatirkan hai itu!" tukas Ki Anjar Subrata. "Sebaiknya kau berangkatlah sekarang. Sebenarnya aku mau turut membantumu, akan tetap saat ini aku merasa tenaga dalamku jauh berkurang, dan sedikit ada luka dalam di tubuhku. Aku hanya menunggu berita darimu saja. Temuilah aku di lereng bukit Karang Luhur, dilereng gunung itu!" ujar Ki Anjar Subrata sambil menunjuk.

"Baiklah, ayah! Kukira aku tak berlama-lama lagi. Nah, selamat tinggal ayah. Sampai ketemu lagi!" ujar Nanjar seraya balikkan tubuh dan beranjak melangkah.

"Selamat jalan anakku, Nanjar! Semoga Tuhan melindungimu..." sahut Ki Anjar Subrata.

Nanjar mengangguk. Dan sekejap Nanjar alias si Dewa Linglung telah berkelebat lenyap.

"Bocah hebat! Sungguh tak kusangka anakku telah menjadi seorang yang berilmu tinggi. Dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya kukira dia cukup mandiri untuk melakukan tugas kependekarannya..." berkata pelahan laki-laki tua ini. Hatinya; merasa bangga.

Sesaat setelah menghela napas, kakek pemabukan ini meraih buli-bulinya. Ditatapnya sejenak benda terbuat dari besi itu. Sekali renggut putuslah tali pengikat buli-buli. Dan dilemparkannya benda itu dengan berteriak, "Selamanya aku tak akan mempergunakan kau lagi untuk minum arak!" Kemudian laki-laki tua itupun berkelebat pergi dari tempat itu.

SEMBILAN

CANTRIK SARI meninggalkan lembah sunyi itu dengan hati lega. Udara cerah siang hari itu. Arah yang kini tengah ditujunya adalah Kota Raja.

"Aku harus cari orang yang bernama KEBO LAYUNG itu. Apakah aku akan berhasil menjumpainya dalam waktu dekat ataukah sampai kapan, aku tak mengetahui. Tapi yang jelas disamping mencari orang tua itu aku perlu melacak jejak ketiga manusia keparat yang telah merusak kehormatanku!" berpikir Cantrik Sari.

Gadis ini memang tak dapat tidak harus membunuh ketiga manusia yang telah menggagahinya. Yaitu si Iblis Tongkat Racun, si Kapak Setan dan si Kebal Picak. Mengingat akan nasibnya dara ini kembali air matanya menggenang.

"Tunggulah kalian manusia-manusia laknat! Aku, akan membunuh kalian dengan kematian yang lebih sadis, agar kalian rasakan penderita-annya!" mendesis Cantrik Sari. Dan wajahnya seketika menjadi beringas. Matanya berubah nyalang bagai mata serigala. Tubuh dara inipun berkelebat melesat ke arah utara.


Sementara itu kita beralih pada tiga manusia yang gagal menyandera Cantrik Sari untuk membunuh si Siluman Gila Guling. Bahkan mereka lari tunggang-langgang meninggalkan lembah angker itu. Ketika tokoh Rimba Hijau golongan hitam ini melangkah cepat ke arah lereng gunung setelah melewati hutan lebat. Malam tadi mereka menginap di dalam hutan sambil menyusun rencana mereka selanjutnya. Dalam perjalanan itu mereka bercakap-cakap.

"Kau tetap pada pendirianmu untuk meninggalkan Kota Raja, sobat Iblis Tongkat Racun?" bertanya si Kebal Picak.

"Ya! aku punya firasat tidak enak! Jangan-jangan setelah orang-orang pihak kerajaan itu yang dibunuhnya, nyawaku pula yang diancam oleh si manusia Siluman Gila Guling. Bukan mustahil, kalau dia tak turun tangan sendiri untuk membantai kita. Apakah kalian tak mengkhawatirkan hal itu?" menjawab si Iblis Tongkat Racun.

"Hehehe... siapapun akan mengkhawatirkan kehilangan nyawanya. Akan tetapi aku tak setolol kau. Manusia Siluman Gila Guling itu bisa kita hadapi bersama-sama dengan orang-orang kerajaan. Tak mungkin pihak kerajaan berdiam diri. Setidaknya mereka akan mencari bantuan untuk membunuh manusia lembah itu. Bila berhasil, tentunya jabatan tinggi telah menunggu kita!" berkata si Kebal Picak.

Sedangkan si Kapak Setan mangut-manggut membenarkan. "Benar, sobat Iblis Tongkat Racun. Mengapa kau tak terus bergabung membantu kami? Apakah kau tak mengiler dengan jabatan tinggi di kerajaan. Dengan modal memberitahukan dimana adanya si Manusia Iblis penyebar maut itu pada Raja, kita sudah punya jasa pada Kerajaan! Dan bila kita berhasil menjadi orang-orang kerajaan, perempuan cantik mana yang bisa menolak kalau kau melamarnya? hehehe... hahaha..."

Si Kapak Setan tertawa gelak-gelak. Tentu saja tujuannya adalah membujuk si Iblis Tongkat Racun agar tetap bergabung bersamanya. Karena walau bagaimana mereka merasa khawatir merasa banyak musuh disebabkan banyaknya perbuatan jahat yang mereka lakukan.

"Tidak! sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Aku tak bodoh untuk mengambil resiko besar yang telah kupikirkan masak-masak. Makanya aku tak mau unjukkan diri di Kota Raja!" sahut si Iblis Tongkat Racun dengan tegas.

Pada saat mereka saling berebut omong itulah, sesosok tubuh diam-diam menguntit mereka dan mendengarkan pembicaraan. Siapa adanya penguntit itu ternyata tak lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung.

"Tidak salah! ketiga orang ini tak lain dari si Iblis Tongkat Racun, si Kebal Picak dan si Kapak Setan! Bagus, aku tak payah-payah mencari mereka!" berkata Nanjar dalam hati. Nanjar terus mengikuti percakapan ketiga orang itu yang bersitegang.

Ternyata si Iblis Tongkat Racun tetap pada pendiriannya. Akhirnya kedua kawannya tak dapat menghalangi. Akan tetapi baru saja si Iblis Tongkat Racun mau beranjak pergi mendadak terdengar suara bentakan,

"Manusia-manusia keparat! Jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan masih bernyawa!" Diiringi kata-kata itu berkelebat sesosok tubuh. Siapa adanya pendatang ini? Tak lain dari Cantrik Sari.

Tersentak kaget si Iblis Tongkat Racun maupun kedua orang kawan laki-laki ini. Namun melihat siapa yang datang, si Kebal Picak tertawa gelak-gelak.

"Hahaha... kukira siapa! Tak tahunya nona..! Sudah kuduga kau pasti akan mencari kami. Tentunya kau merasakan nikmatnya berada dalam pelukanku. Apakah kau ingin aku mengulanginya? Kita-kita sih bersedia saja tak menolak. Bukankah begitu sobat Kapak Setan?" berkata si Kebal Picak dengan cengar-cengir. Akan tetapi si Kapak Setan cepat-cepat berbisik.

"Sssst! jangan sembrono. Aku khawatir dia datang bersama gurunya si Siluman Gila Guling!"

Seketika wajah si Kebal Picak pun berubah agak pucat. Matanya menatap jelalatan ke sekitar tempat. Lalu berpaling lagi dengan cepat menatap wanita dihadapannya. "Eh, apakah kau datang bersama gurumu si Siluman Gila Guling?" bertanya dia.

"Tak perlu kau menanyakan guruku bersamaku atau tidak. Yang jelas aku datang untuk mengirim nyawa-nyawa kalian ke liang Akhirat!" menjawab ketus Cantrik Sari.

Sementara itu Nanjar ditempat persembunyian merasa heran dengan kedatangan gadis ini. "Siapakah si Siluman Gila Guling itu? Sebuah nama gelar yang aneh!" membatin Nanjar dalam hati.

Saat itu Cantrik Sari dengan membentak nyaring telah menerjang kedua orang dihadapannya. Terutama yang ditujunya adalah si Kebal Picak. Karena manusia itulah orang yang pertama kali memperkosanya.

Serangan-serangan gencar yang dilakukan gadis itu untuk merangsak lawan mendapat sambutan kedua orang itu yang segera berkelit kesana kemari. Berbeda dengan pertarungan tempo hari yang dengan mudah Cantrik Sari dapat dirobohkan. Akan tetapi kali ini si dara merangsak hebat dengan cengkeraman-cengkeraman yang berbahaya. Apalagi Cantrik Sari menyimpan dendam sedalam lautan pada lawan-lawannya.

Sementara itu si Iblis Tongkat Racun tak ikut ambil bagian untuk turut membantu bertarung. Justru disaat pertarungan terjadi dia cepat berkelebat untuk angkat kaki. Namun baru saja dia menyelinap ke balik tikungan jalan disisi bukit, mendadak sesosok tubuh berkelebat menghadang.

"Tunggu, sobat Iblis Tongkat Racun!" Sekejap Nanjar telah berdiri menghalangi dihadapannya.

Melihat seorang laki-laki muda berambut gondrong berbaju kumal menghalangi jalan di depannya, si Iblis Tongkat Racun membentak di samping terkejut. "Siapa kau!?"

"Ahaha... sebut saja aku si DEWA LINGLUNG!" sahut Nanjar dengan menepuk-nepuk tanah dengan ujung kakinya. Tingkahnya yang jumawa itu membuat si Iblis Tongkat Racun jadi mendongkol. Apa lagi mendengar julukan yang disebutkan barusan baru didengarnya.

"Apa maumu menghadangku?!" bentak lagi laki-laki setengah abad ini.

"Hm, apakah kau yang bergelar si Iblis Tongkat Racun?" bertanya Nanjar.

"Kalau benar apa yang kau inginkan dariku?" tukasnya kasar.

"Hahaha... aku ingin kau serahkan dirimu untuk jadi tawananku. Aku akan membawamu menghadap Raja Kerajaan Giri Jaya untuk kau mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Bukankah kau telah bersengkongkol dengan Adipati Gantra dan orang-orang hamba kerajaan yang diam-diam menindas rakyat. Bahkan sudah kudengar kejahatanmu termasuk kedua koncomu itu yang telah tidak sedikit membuat onar. Terakhir aku mendengar kalian membantai orang-orang perguruan Elang Suci, termasuk seorang pendeta!" berkata Nanjar sambil menyengir.

"Kurang ajar! Apa urusannya dengan kau?" membentak si Iblis Tongkat Racun. Namun diam-diam dia terkejut. Seorang pemuda telah berani menghadangnya berarti tak mungkin kalau pemuda ini tak berkepandaian tinggi!

SEPULUH

Namun sebagai seorang yang sudah berkecimpung lama didunia Rimba Hijau menghadapi seorang yang dapat dikatakan masih bocah ingusan, dia tak dapat digertak begitu saja. Walaupun pemuda itu mengetahui rahasia hubu-ngannya dengan Adipati Gandra.

"Bocah keparat! siapakah gurumu? Kau berani berkata begitu sombong didepan mataku?" membentak si Iblis Tongkat Racun.

"Walah...! Kalau mau tahu siapa guruku, kakek buyut gurumu yang menurunkan ilmu silat pada murid-muridnya dan terakhir adalah kau sendiri itulah salah satu dari keroconya guruku!" sahut Nanjar seenak perutnya.

Merah padam seketika wajah si Iblis Tongkat Racun. Betapa menghinanya bocah kemarin sore itu padanya. Kemarahannya meluap sampai ke ubun-ubun. Dengan membentak keras laki-laki ini telah gerakkan tongkatnya untuk menusuk ke arah leher Nanjar. Bukan itu saja sebelah lengannya yang telah diisi dengan tenaga dalam membarengi menghantam batok kepala pemuda kita.

Akan tetapi dengan doyongkan tubuh lalu jungkir balik bersalto, serangan maut itu luput. Bahkan kembali pemuda dihadapannya itu cengar-cengir persis kera. "Hehe.. haha.. nguk! nguk! jurus pukulan Mencolek Terasi macam itu dan jurus Menusuk Tahu yang kau pergunakan sebaiknya kau gunakan bertarung dengan binimu di rumah! Mengapa kau pergunakan untuk menyerang aku? haha..haha.." Nanjar tertawa bergelak-gelak.

Tentu saja semakin gusar si Iblis Tongkat Racun. Diujung Tongkatnya itu terdapat sebuah lubang kecil yang jika alat yang terdapat dekat gagangnya digunakan tentu akan mengeluarkan racun bila dia menghendaki membinasakan lawan dengan cepat. Serangan barusan adalah menguji sampai dimana tingkat ilmu kepandaian pemuda itu.

Mengetahui lawan benar-benar memiliki ilmu kegesitan tubuh luar biasa. Iblis Tongkat Racun tak lagi main-main untuk menganggap remeh lawannya walaupun usia pemuda itu separoh dari umurnya. Segera dia menyerang dengan jurus-jurus lainnya yang lebih hebat. Tongkatnya berkelebat menyambar-nyambar. Suaranya berdesis bagaikan ratusan ular. Yang terlihat adalah bayangan hitam yang berkelebatan mengancam jiwa Nanjar. Bahkan sesekali ujung tongkatnya menyemburkan uap racun.

Nanjar terkejut melihat perubahan serangan lawan. Segera dia pasang inderanya dengan sungguh-sungguh. Salah-salah jiwanya bisa melayang. Untuk itu Nanjar gunakan serangan-serangan balasan dari jurus Ular, warisan si Raja Siluman Ular gurunya.

Terkejut si Iblis Tongkat Racun melihat lawan mudanya mendadak rubah gerakan tubuhnya menjadi meliuk-liuk ular. Bahkan sepasang tangannya digunakan untuk mematuk kearah bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya. Untuk melindungi tubuhnya, si Iblis Tongkat Racun segera putar tongkatnya sedemikian rupa. Hingga menderu angin berbau amis yang membuat Nanjar harus merenggangkan tubuh sambil menahan napas.

"Hahaha... mana kehebatanmu kunyuk kecil!?" tertawa Iblis Tongkat Racun menggertak dengan mengumbar tawa. Kini ganti dia yang merangsak hebat menerjang Nanjar. Hantaman-hantaman pukulan tenaga dalamnya digunakan bertubi-tubi dengan jurus-jurus maut yang lebih berbahaya.

Sepuluh jurus berlalu sudah. Namun sedikitpun Iblis Tongkat Racun tak mampu menyentuh sedikitpun kulit tubuh Nanjar. Ketika dia tengah berpikir keras untuk merobohkan lawan.

Mendadak Nanjar berteriak. "Awas senjata rahasia!"

Dibarengi teriakan itu sebelah lengan Nanjar bergerak mengibas. Tersentak laki-laki tua ini. Darahnya tersirap karena hal itu terjadi disaat posisi tubuhnya dalam keadaan tak menguntungkan. Secepat kilat dia buang tubuh ke samping untuk bergulingan.

Akan tetapi justru Nanjar telah mendahuluinya melompat ke arah itu. Lengannya bergerak menghantam dengan pukulan yang berhawa dingin. Tersentak kaget Iblis Tongkat Racun. Namun detik itu dia telah gerakkan tongkatnya menusuk disertai memuncratnya cairan racun tepat ke arah muka Nanjar.

Bila hal itu tak terhindari maka akan butalah mata Nanjar. Kalau saja Nanjar tak cepat bertindak gesit menghindari diri tentu akan celakalah dia. Secepat kilat Nanjar menekuk lehernya hingga seperti lenyap dikedua pundak. Itulah ilmu warisan si Raja Siluman Biawak yang digunakan. Lengannya yang menghantam tetap tak terhalang.

BUK!

Hantaman keras itu mengenai sasarannya. Terlemparlah tubuh si Iblis Tongkat Racun bergulingan. Tongkatnya terlepas dari genggaman tangannya. Sementara Nanjar sehabis menghantam, kembali berdiri kukuh dengan sepasang kaki tegak di tanah. Menatap lawan yang menggelosor di tanah terbawa tenaga pukulan.

Pukulan Nanjar ternyata tak menggunakan sepertiga bagianpun tenaga dalamnya. Karena dia cuma berniat merobohkan lawan tanpa membunuh. Hal itulah yang menyebabkan dengan cepat si Iblis Tongkat Racun dapat kembali melompat berdiri. Akan tetapi wajahnya menyeringai kesakitan. Tubuhnya tergetar seperti diserang demam. Ternyata hawa dingin telah menjalar di sekujur tubuh. Dan paru-parunya seperti ditusuk-tusuk jarum.

"Hahaha... aku tak punya senjata rahasia apa-apa, sobat! Mengapa kau begitu ketakutan sekali menghindarkan diri?" berkata Nanjar sambil tertawa. Mendelik sepasang mata laki-laki tua ini.

"Setan keparat! kunyuk licik! aku akan adu jiwa denganmu!" membentak dia. Sekejap dia telah mampu mengusir hawa dingin dengan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke dada. Dengan menggerung keras laki-laki ini menerjang Nanjar.

Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat disamping Nanjar. Tahu-tahu kejap berikutnya si Iblis Tongkat Racun menjerit panjang dengan teriakan parau. Tubuhnya berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan pada dadanya tertancap tongkat racun miliknya sendiri. Di dekat tubuh yang limbung itu berdiri tegak seorang dara yang tak lain dari cantrik sari.

"Kk..ka...kau...?" terengah-engah suara si Iblis Tongkat Racun. Namun sesaat tubuhnya telah ambruk ke tanah. Nyawanya telah melayang.

Apa yang membuat Nanjar terlongong adalah dia melihat sesosok bayangan telah menyambar tongkat si laki-laki tua itu yang tertancap di tanah. Dan berkelebat memapaki tubuh lawan yang tengah menerjang ke arahnya. Tak dapat dielakkan lagi amblaslah tongkat itu memanggang dada si Iblis Tongkat Racun.

SEBELAS

"Terima kasih atas bantuanmu membekuk si manusia ini, hingga aku dapat membunuhnya!" berkata Cantrik Sari seraya melompat menghampiri Nanjar.

"Ah, sayang sekali kau telah membunuhnya. Aku cuma mau menangkapnya hidup-hidup karena aku perlu keterangan darinya!" berkata Nanjar dengan garuk-garuk kepala.

"Keterangan apakah yang kisanak inginkan?" bertanya Cantrik Sari. Diam-diam dia memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Banyak keterangan yang kuperlukan! Eh, apakah kau telah membunuh pula kedua kawan orang ini?"

"Marilah! kau bisa lihat sendiri!" sahut Cantrik Sari dengan angkuh, lalu berkelebat mendahului Nanjar.

Mendelik sepasang mata Nanjar, karena dihadapannya terlentang dua sosok tubuh si Kebal Picak dan si Kapak Setan dalam keadaan sekarat. Apa yang membuat mata Nanjar membelalak adalah karena kedua laki-laki itu sekarat karena masing-masing alat vitalnya dalam keadaan hancur.

"Mengapa kau tak membunuhnya sekalian?" berkata Nanjar dengan wajah merah jengah berpaling menatap si gadis. Terasa kasihan Nanjar melihat keduanya yang sekarat meregang nyawa.

"Biarlah dia merasakan sakitnya dengan kematian secara perlahan itu. Kukira ganjaran itu sesuai untuk perbuatannya!" berkata ketus Cantrik Sari. Sementara dikedua pelupuk mata gadis ini mengenang air mata.

"Mereka telah memperkosamu?" tanya Nanjar yang segera menyadari, karena dia mendengar kata-kata si Kebal Picak, ketika gadis ini munculkan diri. Gadis ini tak menjawab. Tapi membuang muka menahan isak.

Rasa sedih, mendongkol, malu dan lain sebagainya terkumpul menjadi satu di hati Cantrik Sari, membuat dia tak mampu berkata-kata selain menahan isaknya yang tersendat di kerongkongan. Dan detik itu juga dia telah balikkan tubuh dan berlari menutupi mukanya dengan terisak-isak.

"Heeeii! nona! tunggu dulu!" Nanjar berteriak seraya melompat mengejar. Akan tetapi gadis ini bahkan mempercepat larinya berkelebatan meninggalkan tempat di sisi bukit itu.

Nanjar tak mau biarkan dara itu hilang begitu saja dia perlu keterangan darinya mengenai si manusia iblis pembunuh misterius. Siapa tahu gadis itu mempunyai keterangan yang diperlukan. Dengan gunakan ilmu melompat yang terkadang juga ilmu "terbang"nya, Nanjar berkelebat menyusul si gadis.

Sebentar saja kedua orang itu telah lenyap dari tempat yang sunyi itu, dimana satu nyawa telah melayang, dan dua nyawa dalam keadaan sekarat yang sebentar lagi akan dijemput oleh kematian...

"Mau apa kau mengejarku!?" membentak Cantrik Sari. Sepasang matanya nyalang menatap Nanjar. Mata yang basah berair yang mengalirkan air mata membasahi kedua pipinya.

"Walah, walah…! Habislah sudah bedakmu terguyur air mata. Sayang, wajah yang cantik kalau banyak menangis kulitnya cepat peot!" berkata Nanjar dengan menyengir.

"Peduli apa dengan kulit mukaku? mau peot seperti kulit ular atau biawak bukan urusanmu!" Berkata ketus Cantrik Sari.

"Hahaha... aku cuma mau memberi penjelasan!" berkata Nanjar.

"Penjelasan mengenai apa?"

"Mengenai... mengenai kulit muka! Kulit biawak peot masih bisa laku dijual, akan tetapi kulit muka yang peot?" sahut Nanjar yang ternyata tujuan kata-katanya masih berkisar disitu.

"Kurang ajar! mengapa kau usil dengan urusan orang? Mau menangis atau tertawa, peot atau tidak! Laki-laki ceriwis!" Memaki Cantrik Sari tapi dalam hati dia tertawa geli.

Siapa gerangan pemuda gagah ini? Apakah laki-laki dihadapannya juga laki-laki buaya yang hendak menggoda orang tapi punya maksud jahat? Pikirnya dalam benak. Namun tak disangsikan lagi, diam-diam wajah dan perawakan Nanjar membuat dia merasa simpati menaksirnya.

"Kau ini siapakah? Mau apa sebenarnya?" bertanya Cantrik Sari seusai menghapus air matanya.

Merasa mendapat angin, Nanjar tertawa, seraya membungkuk menjura. "Haiiih, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Maafkan aku nona gagah yang cantik jelita!" ujarnya. "Namaku... eh, namaku siapa ya?" Nanjar pura-pura lupa dan berpikir sambil memijit-mijit keningnya. Sikap Nanjar yang aneh itu membuat mau tak mau si gadis tersenyum lucu.

"Aneh! Linglung! Masakan namamu sendiri kau lupa?" tak tahan dia untuk berkata.

"Ya...! Tidak salah, itulah namaku!" berjingkrak Nanjar setengah berteriak, membuat Cantrik Sari terlongong heran.

"Namamu Linglung?" tanyanya dengan membelalakkan mata.

"Betul! lengkapnya Dewa Linglung! ya, ya Dewa Linglung!" ulang Nanjar. "He? tapi itu,... julukanku. Namaku sendiri siapa ya?" berkata Nanjar tiba-tiba dengan menggoyang-goyangkan tangannya. Dan setelah sejenak dia berpikir. "Yah! sudahlah! aku tak mampu mengingatnya. Kau sebut sajalah aku si Dewa Linglung!" ujar Nanjar sambil garuk-garuk kepala.

Tentu saja senyum si gadis bernama Cantrik Sari itu semakin melebar. "Pemuda aneh!" gumamnya. Lalu ujarnya. "Baiklah! kukira nama julukanmu itu sudah cukup untuk mengenalmu! Katakanlah apa yang kau ingin korek keterangan dariku?" Cantrik Sari segera teringat ketika pemuda ini menyesali dia membunuh si Iblis Tongkat Racun.

"Baiknya kau sebutkan dulu siapa namamu, nona? bukankah bisa lebih leluasa kita bicara. Disamping itu kita bisa saling mengenal. Kukira kau tak keberatan menceritakan pula riwayat hidupmu!" berkata Nanjar.

Sejurus Cantrik Sari tercenung. Pandangan matanya mendelong menatap ke depan, dengan pandangan kosong. Sementara air matanya kembali meleleh ke pipi. Melihat demikian Nanjar jadi serba salah, dan garuk-garuk kepala tidak gatal.

"Aiiih, sudahlah nona, mengapa lagi-lagi kau menangis? Janganlah terlalu memikirkan nasib. Bukankah kau telah membalaskan sakit hatimu" berkata Nanjar membujuk.

"Aku...aku sudah terlalu banyak dosa, sobat! Ya, terlalu banyak! Entah dengan apa aku akan menebus dosaku, Mungkin dengan kematian agaknya yang layak" berkata Cantrik Sari dengan terisak-isak.

Nanjar untuk sementara berdiam diri membiarkan dara itu mengumbar kesedihannya. Diam-diam benaknya berpikir dosa apakah yang telah dilakukan gadis ini sehingga dia merasa dosanya tak terampuni lagi? Setelah reda kesedihannya, Cantrik Sari tanpa diminta segera tuturkan riwayat hidupnya pada Nanjar yang mendengarkan penuh perhatian.

DUA BELAS

Terkejutnya Nanjar tak dapat dikatakan lagi mendengar bahwa pembunuhan sadis yang selama ini terjadi adalah akibat perbuatan Cantrik Sari yang diperintah oleh gurunya yaitu si Siluman Gila Guling. Sejenak Nanjar menatap dara itu dengan terpukau.

"Dasar dendam apakah gurumu hingga menyuruhmu melakukan perbuatan demikian terhadap orang-orang kerajaan?" tanya Nanjar. Walaupun sebenarnya dia telah ketahui dari ayahnya tentang orang-orang kerajaan itu, namun dasar dendam hingga dibunuhinya orang aparat kerajaan itu perlu diketahui.

"Aku kurang mengetahui tentang hal itu. Akan tetapi guruku adalah seorang laki-laki tanpa daksa yang tak mempunyai lengan dan kaki!" menyahut Cantrik Sari.

"Ah..?" tersentak Nanjar. Sejurus kembali dia tercenung. "Pantas korban-korban yang dibunuh Cantrik Sari demikian sadis. Tentulah dendam kesumat orang yang menamakan dirinya si Siluman Gila Guling itu amat dalam sedalam lautan." Nanjar menghela napas... "Kini apa yang tengah kuselidiki telah menjadi terang. Apakah langkah selanjutnya yang akan kau tempuh?" bertanya Nanjar.

"Entahlah! aku sendiri tak mengetahui apa langkahku selanjutnya! Karena aku tak mengenal siapa kedua orang tuaku. Memang aku telah ditunjuki jalan untuk mencari tahu siapa adanya kedua orang tuaku oleh guruku, yaitu mencari orang tua yang bernama Kebo Layung. Akan tetapi aku seperti tak berhasrat lagi. Kedatanganku ke seputar wilayah Kota Raja untuk mencari orang itu hanya akan menambah pedihnya hatiku mengingat perbuatan-perbuatan yang telah kulakukan.

"Kukira... kukira jalan sebaiknya bagiku adalah kematian! Kau telah mengetahui akulah penjahat yang kau cari-cari, sobat Dewa Linglung! Nah! tunggu apa lagi? Kau bunuh sajalah aku! Dengan demikian aku terbebas dari kekalutan dan kesedihan serta penyesalan yang menggerogoti jiwaku!" Kata-kata Cantrik Sari tersendat. Dan dia telah bangkit berdiri menatap Nanjar serta membusungkan dada menunggu keputusan Nanjar.

"Aiih! mengapa kau berkata begitu? Orang-orang yang kau bunuh itu kudengar adalah abdi-abdi kerajaan yang berhati busuk. Yang bekerja sama melakukan kejahatan dan perbuatan nista di belakang punggung Raja. Pantaslah kalau mereka mati. Juga kau melakukan itu atas dasar menjalankan perintah gurumu. Kukira dosamu tak begitu besar!" ujar Nanjar.

Lalu sambungnya lagi. "Untuk masalah ini gurumulah yang bertanggung-jawab. Bahkan dia bertanggung jawab juga atas dosamu! Oleh sebab itu jangan kau berputus asa. Jalan hidupmu masih panjang. Sebaiknya kau mencari orang yang bernama Kebo Layung itu untuk mendapat tahu siapa kedua orang tuamu!" Nanjar mengusulkan demikian karena khawatir si dara ini membunuh diri setelah dia memberi keterangan panjang lebar.

Tercenung beberapa saat Cantrik Sari. Tak lama terdengar dia menghela napas. Kesedihannya telah berkurang. Dara itu kembali duduk di atas batu. "Pendapatmu baik juga, sobat Dewa Linglung. Terima kasih atas nasehat-nasehat yang kau berikan. Lalu apakah langkah yang akan kau lakukan?" bertanya Cantrik Sari.

"Tentu saja aku harus menemui gurumu si Siluman Gila Guling alias Ki Bromo Rekso itu di lembah tanpa nama. Namun sebelum kau berangkat mencari Kebo Layung..." berkata Nanjar seraya bangkit mendekati.

"Kukira kau tak keberatan bukan? Kau cuma menunjukkan tempatnya saja, lalu kau boleh segera tinggalkan pergi. Namun pesanku selama kau mencari jejak orang yang bernama Kebo Layung itu sebaiknya kau melakukan penyamaran!"

Cantrik Sari manggut-manggut. Wajahnya tampak cerah secerah matahari. Dia merasa baru keluar dari satu lembah yang menakutkan. Kata-kata Nanjar ibarat cahaya yang menerangi hidupnya. Tak terasa air matanya berlinang. Ditatapnya Nanjar dengan tertegun entah mengapa dia seperti enggan berpisah dengan pemuda aneh yang gagah namun berpandangan luas itu. Hatinya yang gersang seperti mendapatkan tempat bernaung disaat didalam jiwanya terselip beribu kekalutan!

Nanjar pun menatap tajam. Tatapan mata yang seolah ingin melihat isi hati dara ini apakah dapat mengerti kata-kata dan nasihatnya? Yang ditatap tertunduk dengan wajah merona merah. Entah mengapa dia merasa kulit mukanya menjadi panas. Darahnya tersirap dan degup jantungnya berdebaran cepat.

"Tidak! tidak! kau terlalu jauh berpikir," Cantrik Sari. "Kau tak mungkin mencintainya. Keadaanmu sudah lain, karena kau sudah tidak suci lagi. Lagi pula keadaanmu sendiri masih kalut. Persoalan belum tuntas. Karena kau perlu mencari tahu siapa kedua orang tuamu sebenarnya...." berkata Cantrik Sari dalam hati kecilnya yang memperingati hasrat kewanitaannya, yang menggeliat tergelitik apa yang bernama cinta.

"Kapan kau mengambil keputusan untuk berangkat?" bertanya Cantrik Sari memutus lamunannya yang melantur.

"Sekarang!" sahut Nanjar.

Cantrik Sari mengangguk. "Baiklah, mari kita berangkat!" ujarnya. Akan tetapi baru saja Cantrik Sari selesai berkata mendadak...

"Hehehe.... hehe.... tak usah mengunjungi lembah itu bocah-bocah muda! karena aku telah datang dan berada ditempat ini!"

Bukan main terkejutnya Nanjar dan Cantrik Sari tak terkirakan karena seusai suara tertawa dan kata-kata bernada parau itu, tampak terlihat angin menggebu bergulung-gulung di hadapan mereka. Keduanya terperangah memandang tak berkedip. Terutama Nanjar yang merasa keanehan ini baru dialami.

Mendadak angin lenyap sirna bagai ditelan bumi. Dan samar-samar di depan mereka tampak bayangan hitam sesosok tubuh manusia. Makin lama makin jelas. Dan kejap berikutnya segera terlihat sesosok tubuh seorang kakek bertubuh gemuk mengenakan jubah warna hitam. Berambut putih dengan kumis dan jenggot lebat.

Melihat siapa adanya orang ini, Cantrik Sari mundur selangkah. Sedangkan Nanjar ternganga dengan membelalak. Sosok tubuh laki-laki itu persis seperti apa yang diceritakan si gadis, dan memang dia bertujuan untuk menjumpai orang ini. Tak terasa dari bibirnya terluncur kata-kata kaget.

"Siluman Gila Guling...!?" be… benarkah kau orangnya...?"

Terdengar suara parau berat. Rahang kakek tanpa daksa itu bergerak-gerak. "Benar! Tidak salah! akulah si Siluman Gila Guling alias ki Bromo Rekso!" menyahut kakek ini.

"Bagus! bagus...! kisanak sungguh berbaik hati orang tua! Aku si Dewa Linglung memang mau menemui kisanak untuk menanyakan padamu apakah yang menjadi sebab kisanak membunuhi orang-orang abdi kerajaan Giri Jaya? Kukira kisanak bisa menjelaskan! Lalu mengapa kisanak sekejam itu menyuruh murid kisanak yang melakukan, tanpa kisanak menyebutkan permasalahannya. Mengapa kisanak tak turun tangan sendiri?"

"Heheheh... pertanyaanmu bagus sekali bocah muda! Julukanmu lucu dan orangnya pun juga gagah. Kau sepadan bila bersanding dengan muridku Cantrik Sari!" berkata Siluman Gila Guling dengan tertawa mengekeh. Lalu lanjutnya. "Kau menanyakan dendam apakah hingga aku membantai orang-orang abdi Kerajaan Giri Jaya? Hm, dendamku bukanlah sembarang dendam. Karena dalamnya lautan masih lebih dalam dendam kesumat yang mengeram dalam dadaku ini, yang telah kusimpan selama belasan tahun!

"Kau lihatlah keadaan anggota tubuhku ini. Aku telah orang tanpa daksa yang tak berguna. Semua ini adalah akibat perbuatan manusia-manusia yang telah kuperintahkan Cantrik Sari menghabisi nyawanya. Bahkan memperlakukan dengan sadis seperti halnya mereka memperlakukan aku. Bahkan lebih sadis lagi!" berkata Siluman Gila Guling.

Tertegun Nanjar dan Cantrik Sari mendengar kata-kata si kakek.

"Tahukah kau apa sebabnya aku menamakan diriku dengan julukan Siluman Gila Guling? Heheheh... karena aku memang telah berbuat gila! Bahkan lebih gila lagi dari para abdi kerajaan yang telah mampus itu, sebagai pembalasan dendamku. Tahukah kau apa tujuanku? Aku takkan puas sebelum membunuh semua orang-orang Kerajaan Giri Jaya! Guling berarti aku akan menggulingkan kerajaan Giri Jaya. Menghancurkan! Memusnahkan! Agar ditanah Jawa ini tak akan pernah berdiri lagi kerajaan yang bernama Giri Jaya!"

Suara kata-kata Siluman Gila Guling menggembor keras yang diucapkan dengan berapi-api. Betapa begitu mendendamnya dia untuk menumbangkan kekuasaan Kerajaan Giri Jaya tidaklah terkatakan!

Nanjar terperangah mendengar kata-kata yang menggetarkan tanah itu. Keringat dingin menetes kedahinya. "Celaka!? kehancuran Kerajaan Giri Jaya harus dicegah. Manusia ini amat membahayakan, karena dendam telah merubah dirinya menjadi hawa napsu yang tak terkendali. Bahayanya akan menimpa pada rakyat jelata. Karena bukan mustahil kalau tindakan selanjutnya yang akan diambil olehnya mengumbar hawa nafsu semaunya?" berkata Nanjar dalam hati.

"Bolehkan, aku mengetahui siapakah sebenarnya kisanak?" tanya Nanjar yang tetap berlaku tenang.

"Aku adalah orang yang paling berhak atas kerajaan Giri Jaya, karena akulah orang yang paling banyak berjasa ketika mendirikan kerajaan! Aku adalah bekas seorang kepala komplotan Bajak Laut dimasa perebutan kekuasaan merampas kerajaan kecil bernama Giri Langka, yang kemudian dirubah menjadi Giri Jaya!

"Tidaklah mudah menumbangkan kekuasaan kerajaan Giri Langka kalau tidak dengan kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi setelah berhasil merebut kerajaan, dan berdiri megah kerajaan Giri Jaya, ternyata jerih payah keringatku disia-siakan. Kawan-kawan seperjuanganku menganggap aku tak pantas menjadi raja. Dianggapnya aku tak akan mampu menjadi seorang raja yang harus memimpin rakyat. Padahal sebelumnya aku yang mereka andalkan untuk melakukan perebutan kekuasaan itu!" berkata keras dan berapi-api si Siluman Gila Guling lalu lanjutnya.

"Lalu apa yang dilakukan rekan-rekanku? Ternyata mereka tetap akan mengangkat raja kerajaan Giri Langka untuk menjadi raja. Akan tetapi dibawah pengaruh mereka. Aku tak menyetujui usul itu. Aku bersikeras untuk membunuh saja raja Giri Langka. Akhirnya mereka mengeroyokku. Aku dapat mereka robohkan, akan tetapi aku tak dibunuh. Tapi aku telah dipotong semua anggota tubuhku seperti kau lihat sekarang ini!

"Hingga jadilah aku seorang tanpa daksa yang tak berguna! Sungguh menyakitkan sekali bukan? Mengapa mereka tak membunuhku saja sekalian? Kukira itu lebih baik. Dapat kau bayangkan betapa penderitaan yang aku rasakan. Aku dibuang disatu lembah yang tak pernah dikunjungi manusia. Nyaris binatang buas menerkamku kalau aku tak beruntung bisa menyelamatkan diri.

"Di goa tempat tinggalku selama belasan tahun itulah aku menggembleng diriku dengan ilmu-ilmu gaib dengan dendam kesumat yang suatu saat akan kubalaskan! Tahukah kau siapa yang menemaniku selama ini?" Berkata demikian Siluman Gila Guling menatap pada Cantrik Sari.

"Muridku itulah yang menemaniku! Dia berada bersamaku sejak dia berusia tujuh tahun!" kakek ini menjawab sendiri pertanyaannya. Lalu dia menatap tajam pada Cantrik Sari "Cah ayu, Cantrik Sari muridku, mendekatlah kemari nak..!" berkata dia.

Gadis ini yang sejak tadi mendengarkan dengan berdebar-debar seperti ditarik besi sembrani telah maju melangkah mendekati kakek itu.

"Bagus! kau memang seorang murid tiada duanya. Kau merawatku selama belasan tahun menemaniku tinggal dalam goa. Sebagai imbalan aku telah memberimu pelajaran ilmu silat, bahkan juga ilmu gaib! Walaupun tak seberapa tinggi namun kenyataannya kau telah berhasil menjalankan tugas yang kubebankan padamu!" kakek ini tersenyum menatap sang murid. Lalu sambungnya.

"Tahukah siapa yang telah mengantarkan kau ke tempatku untuk menemani aku?" bertanya Ki Bromo Rekso.

Cantrik Sari menggeleng.

"Hehehe... heheh... kau tak dapat mengingatnya, karena usiamu masih terlalu kecil. Dialah yang bernama Kebo Layung! Dia adalah salah seorang anak buahku yang paling setia. Dialah yang hampir setiap saat datang ke lembah untuk membawa makanan. Sengaja dia tak pernah menampakkan diri padamu, karena aku yang melarang. Dan tahukah kau anak siapakah kau? Heheheh....kau adalah anak tumenggung Penjali yang telah kau bunuh itu! Kebo Layung telah kuperintahkan untuk menculiknya dan membawanya ke lembah itu!

"Satu lagi yang belum kuceritakan padamu yaitu orang yang bernama Kebo Layung itu sebenarnya telah kubunuh, setelah aku berhasil menguasai ilmu-ilmu dan dia sudah tak kuperlukan lagi. Hal itu sengaja kulakukan agar tak bocornya rahasia siapa adanya kau dan menutup mulut Kebo Layung!"

Sampai disini Ki Bromo Rekso alias Siluman Gila Guling menghentikah penuturannya. Dia menatap tajam pada Cantrik Sari yang diam seperti arca. Mulutnya ternganga, sepasang matanya membelalak lebar tak percaya apa yang diucapkan kakek itu.

"Jadi... jadi aku... aku telah membunuh kedua orang tuaku sendiri?" Tergetar kata-kata Cantrik Sari mengucapkan kata-kata itu.

"Benar karena aku menginginkan demikian, agar kau membunuh Tumenggung Penjali. Karena dialah manusia pertama yang memutuskan sepasang lenganku!" Kata-kata Siluman Gila Guling begitu tegas.

Seketika pucatlah air muka Cantrik Sari. Pandangan matanya berkunang-kunang. Dengan menjerit histeris lengannya bergerak menghantam batok kepalanya sendiri.

Terkejut Nanjar melihat apa yang terjadi didepan mata. Tak sempat lagi dia bertindak menolong sedikitpun, karena gadis itu telah roboh ke tanah dengan batok kepala hancur berpuncratan darah dan otaknya. Nanjar melompat kearah si Siluman Gila Guling dengan membentak keras. Lengannya menghantam dengan pukulan Inti Es.

"Manusia iblis! perbuatanmu sungguh bukan perbuatan manusia!"

WHUUUK,..! BLLLAARRR!

Terjadilah ledakan keras. Hawa dingin mengembara ke sekitar tempat itu. Batang-batang pohon di depan Nanjar berderak patah bertumbangan dan bergumpalan dengan lapisan es. Akan tetapi si Siluman Gila Guling tak menampakkan bayangannya.

"Iblis keparat keji! keluarlah kau! Tampakkan dirimu pengecut!" teriakan Nanjar menggema berpantulan. Suasana lengang mencekam. Tak ada tanda-tanda kemana berkelebatnya si Siluman Gila Guling.

Dalam ketegangan yang mencekam itu tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Dan dihadapan Nanjar kembali muncul bayangan tubuh kakek itu. Muncul dengan aneh, seolah datang dari alam gaib.

"Hehehe.. heheheh... bocah hebat! kau takkan mampu membunuhku saat ini, karena aku akan tetap mewujudkan cita-citaku! Kau bocah hebat yang kuberikan kesempatan padamu untuk kau memperdalam ilmu kedigjayaanmu. Kelak aku akan menguji kekuatanmu. Saat ini kau bukanlah apa-apa bocah linglung!" Selesai berkata, si kakek Siluman Gila Guling tertawa terkekeh-kekeh. Dan sekejap tubuhnya kembali lenyap sirna tak berbekas.

Nanjar tertegun menatap tak bergeming. "Manusia atau hantukah dia?" pikir Nanjar. Mulutnya ternganga. Sementara telinganya mendengar suara angin bergemuruh. Dibarengi suara angin yang mengguruh yang menerbangkan dedaunan itu lapat-lapat terdengar suara tertawa si Siluman Gila Guling yang semakin menjauh dan semakin jauh. Akhirnya deru anginpun lenyap. Suara tertawa itupun tak kedengaran lagi.

Lama Nanjar terpaku memandang. Lama dia berdiri bagai arca. Namun kemudian dia tersadar. Matahari sudah menggelincir ketika pemuda itu perlahan-lahan beranjak meninggalkan tempat itu. Meninggalkan timbunan tanah yang telah digalinya untuk mengubur jenazah Cantrik Sari...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.