NANJAR melangkah lebar mendekati kuda putih yang tertambat di bawah pohon di muka kedai itu. Lalu mengamati kuda itu sejenak, kemudian menepuk-nepuk leher binatang itu.
"Haha... kuda bagus! Kuda bagus! Tak kecewa aku membelinya..." berkata perlahan pemuda ini dengan tersenyum puas. Lalu membuka tali sanggurdi yang terikat di batang pohon. Kemudian melompat ke atas punggung binatang tersebut. Tak lama si Dewa Linglung telah memacunya dengan cepat berlalu dari muka kedai di sudut kota itu.
Kira-kira sepenanak nasi dan perjalanan yang ditempuhnya telah sampai di ujung jalan memanjang berliku-liku, Nanjar memperlambat lari kudanya. Kepalanya menengadah menatap ke arah matahari.
"Hm, hari masih belum terlalu siang. Aku tak perlu tergesa-gesa. Lagi pula perutku baru saja habis diisi." gumam Nanjar seraya menepuk dan mengusap-ngusap perutnya. "Biarlah nasi turun dulu, dan aku bisa menikmati pemandangan indah di lereng bukit itu." katanya dalam hati.
Nanjar sengaja membelokkan kudanya ke jalan setapak memasuki hutan kecil. Pemandangan disini memang indah. Di sebelah depan tampak lereng bukit yang menghijau. Gemericik suara air terjun yang turun dari atas bukit, serta hutan bambu dan beberapa rumah penduduk terlihat dari tempat itu.
Duduk santai di atas punggung kuda dan membiarkan binatang itu melangkah perlahan sambil sesekali memakan rumput membuat Nanjar teringat masa silam. Masa kanak-kanaknya di lereng gunung Rogojembangan, ketika masih menjadi murid mendiang gurunya Ki Bayu Sheta si Pendekar Bayangan.
Dalam suasana yang sepi, hening dan begitu damai itu Nanjar tak tahan untuk meniup seruling. Lengannya meraba-raba pinggangnya mencari benda itu. Tiba-tiba pemuda ini tersentak kaget. "Hah!? dimana seruling tulangku...?"
Wajah Nanjar nampak berubah seketika, karena tak menjumpai benda itu. Pada saat itu tiba-tiba telinga Nanjar menangkap suara derap kaki kuda. Seekor kuda coklat membedal cepat melintasi jalan. Ketika Nanjar menoleh, dia dapat melihat penunggangnya adalah seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun duduk di atas pelana. Sebentar saja kuda coklat dan penunggangnya itu melintas, dan menghilang di belokan jalan.
Nanjar kerenyitkan keningnya. "Hm, kalau tak salah bukankah bocah laki-laki itu adalah pembantu si tukang kedai? Mau kemana dia? Mengapa melarikan kuda begitu cepat?" Walau hatinya agak heran, tapi diam-diam Nanjar kagum akan kepandaian si bocah pembantu itu yang mahir menunggang kuda.
Baru saja Nanjar mengeprak kuda untuk ke luar dari hutan kecil itu, mendadak kembali terdengar derap kaki-kaki kuda. Si Dewa Linglung jadi terlongong heran, karena kembali melintas tiga ekor kuda. Dua coklat, dan satu hitam. Ketika penunggang kuda itu ternyata dua orang laki-laki bertampang kasar dan tubuh kekar, dan seorang wanita yang berpakaian warna hijau. Wanita berbaju hijau inilah yang menunggang kuda berbulu hitam.
"Kalian kejar terus bocah itu, dan tangkap hidup-hidup!" teriak si wanita baju hijau.
"Baik, ketua...!" menyahut kedua penunggang kuda itu serempak, seraya mempercepat lari kudanya. Sehingga sebentar saja wanita berbaju hijau itu tertinggal jauh. Tiba-tiba wanita mendadak menahan tali kendali. Lalu memutar kuda, dan kembali ke belakang. Matanya yang jeli ternyata telah menangkap adanya manusia di hutan kecil itu.
Suara ringkik kuda terdengar ketika wanita ini menahan lari kuda tunggangannya. Dan wanita ini membentak keras. "Sobat penunggang kuda putih! Segera kau ke luar dari tempat persembunyianmu!"
Tentu saja Nanjar mengetahui kalau kata-kata itu ditujukan padanya. Nanjar yang memang mau ke luar dari hutan kecil itu, tak ayal segera menerobos ke luar. Terpampang jelas kini wajah si penunggang kuda hitam itu. Ternyata dia seorang gadis yang ditaksir berusia dua puluhan tahun. Gadis yang cukup matang dan dewasa, serta tak mungkin tidak tentu mempunyai kepandaian tinggi.
"Ha, tampangnya boleh juga. Cantik, manis... tapi alisnya yang berbulu lebat dan agak lurus itu menandakan dia seorang gadis berwatak keras dan galak. Pantas kalau menjadi seorang ketua. Siapa adanya gadis ini?" berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Melihat penunggang kuda putih itu adalah seorang yang walau pun gagah tapi tampak seperti orang tolol tengah memperhatikan wajahnya, gadis ini tersenyum dingin. "Heh! rupanya kau orangnya yang telah mencuri kuda putih milik Raden BAGUS CITRO? Selain pandai mencuri rupanya kau juga seorang laki-laki hidung belang..." membentak si gadis, seraya lengannya bergerak tahu-tahu ujung cambuk telah menyambar ke wajah si Dewa Linglung.
"Terimalah ini!" bentakan gadis itu mengiringi sambaran ujung cambuknya. Dalam benak gadis ini telah dapat membayangkan si pemuda dogol pencuri kuda itu akan menjerit terkena sambaran ujung cambuknya. Dia memang ingin memberi pelajaran pada pemuda itu.
Akan tetapi diluar dugaan secepat kilat lengan si pemuda telah menyambar ujung cambuknya, dan satu betotan keras membuat cambuknya justru terlepas. Bahkan nyaris saja tubuhnya terjungkal jatuh terbawa betotan keras itu kalau dia tak melepaskan cambuknya. Hal yang sungguh diluar dugaan itu membuat wajah dara ini seketika berubah merah padam.
"Kurang ajar! Rupanya kau punya kepandaian juga maling tengik! Terimalah ini!" bentak si dara cantik. Cepat sekali lengannya bergerak, tahu-tahu tiga benda berkilat meluncur deras ke arah si Dewa Linglung.
Terkejut Nanjar melihat tiga buah berkilat menyambar cepat ke arahnya. "Gila benar-benar telengas!" memaki Nanjar dalam hati. Tapi detik itu juga dia segera gunakan cambuk di tangannya. Dua senjata rahasia terpental kena ujung cambuk, dan satu lagi yang mengarah ke leher dapat ditangkap. Tampak sebuah belati kecil terselip di antara kedua jarinya.
"Serangan yang hebat, tapi sungguh terlalu keji untuk membunuh orang yang belum tentu bersalah!" berkata Nanjar dengan tersenyum. Lalu melemparkan benda itu ke tanah. Adapun dara ini disamping terkejut, tapi diam-diam juga kagum atas kegesitan pemuda itu yang dengan mudah membuat serangan senjata rahasianya luput, bahkan dapat ditangkapnya.
"Huh! sudah jelas kau pencurinya. Apakah kuda putih itu bukan merupakan bukti bahwa kau yang mencuri? Kalau aku tak bertindak telengas pada sebangsa maling picisan macam kau, tentu kau akan bertindak kurang ajar padaku!" berkata dara ini dengan tak menunjukkan keterkejutannya.
"Bagus! Kini setelah dua kali seranganmu gagal, apakah kau tetap penasaran untuk membunuhku?" kata si Dewa Linglung dengan sikap tetap tenang. Bahkan matanya menatap si dara baju hijau.
"Mungkin ya, mungkin juga tidak! Tapi hadapilah dulu senjataku yang ini!" sahut si gadis seraya mencabut sebuah benda di balik punggungnya. Ternyata sebuah kapak pendek bermata lebar.
Nanjar memperhatikan senjata si dara. Mendadak dia tersenyum lebar, dan berkata. "Aha... rupanya kau di rumah sering membantu kakekmu membelah kayu. Mengapa kau pergunakan senjata laki-laki?"
Gadis ini mencibirkan bibir dengan melototkan matanya. Wajahnya seketika kembali memerah dan terasa panas dicemooh demikian. Dan didetik itu dengan membentak keras tubuhnya tiba-tiba melompat dari punggung kuda. Tabasan kapak mendesing ke arah leher si Dewa Linglung. Tapi Nanjar telah melompat dari kuda putihnya. Nyaris saja mata kapak menabas leher binatang itu kalau dia tak mendorong kuda putih itu.
"Aha... kau sangat bernafsu sekali menyerang dengan membabi buta. Kalau kuda putih itu mati jangan-jangan kaulah yang ketempuhan menggantinya pada raden Bagus Citro itu!" berkata Nanjar yang telah berdiri di tanah.
Gadis itu hanya mendengus, dan kembali membentak. Kali ini terjangan kapaknya benar-benar membuat Nanjar terkesiap. Karena serangan yang dilancarkan dara itu begitu cepat. Tabasan-tabasan kapaknya mengandung maut. Bahkan serangan itu diiringi pula dengan jotosan dan tendangan berantai.
Diam-diam Nanjar kagum dengan kegesitan sang dara. Sambil berkelit kesana-kemari Nanjar memperhatikan gerakan-gerakan lawan. Sembilan jurus telah lewat, namun selama itu kapak si gadis belum berhasil menggores kulit si Dewa Linglung, bahkan ujung bajunyapun tidak.
Tiba-tiba dara ini merobah gerakan. Diiringi bentakan melengking kapak di tangannya mendadak berubah menjadi gulungan sinar berkredepan mengurung tubuh Nanjar.
Whut! Whut! Whut!
Serangkai tabasan nyaris membuat kepala si Dewa Linglung menggelinding dari batang lehernya. Akan tetapi saat itu mendadak si pemuda gondrong itu bersiul keras, dan tubuhnya mendadak terhuyung-huyung.
"Hihi... ternyata tenagamu tak seberapa maling tengik!" si dara tertawa mengejek. Dia mengira Nanjar kehabisan napas karena diserang terus menerus, dan terhuyung-huyung karena penglihatannya kabur melihat gulungan sinar putih kapaknya yang menyilaukan mata. Disaat yang baik dara ini mengirim tendangan ke arah bagian tubuh di bawah pusar pemuda itu. Serangan ini akan mengakhiri pertarungan.
Akan tetapi mencelos hati gadis ini, karena diluar dugaan serangan itu kembali lolos. Tubuh pemuda dogol itu kembali terhuyung kebelakang. Tampaknya seperti tak sengaja, karena sepasang mata lawan saat itu terpejam. Mengetahui tendangannya meleset gadis ini cepat menyusulnya dengan jotosan ke arah dada. Dalam keadaan hampir terjerembab itu mana mungkin lawan dapat menghindari serangan.
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Dara ini terperangah kaget. Karena tahu-tahu ka-aknya telah terlepas dari pegangannya, dan jotosan keras ke arah dada mendadak tertahan, karena lengannya kena dicekal oleh pemuda itu. Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya telah berada dalam dekapan pemuda itu, dan entah beberapa kali berguling-guling.
Ketika gulingan tubuh mereka terhenti, dara itu membelalakkan matanya, karena kini si pemuda telah menindih di bagian atas tubuhnya, dan tengah cengar-cengir memandangnya dengan jarak wajah sangat dekat. Bahkan hidung mereka hampir bersentuhan. Dara itu merasa nyawanya terbang dari raganya. Wajahnya pucat pias tak berdarah.
"Keparat! Lepaskan aku...!" berteriak si gadis sambil ke-rahkan tenaga untuk melepaskan diri. Tapi sedikitpun dia tak mampu bergerak.
"Hahaha... kalau sudah begini, kalau kau tak mau menuruti kehendakku lebih baik kau pasrah saja. Kalau kau terus merontapun tak ada gunanya. Cuma menghabiskan tenagamu saja!" berkata Nanjar dengan cengar-cengir.
Merinding rasanya bulu kuduk si gadis ketika mendengar kata-kata pemuda itu. Terbayanglah di hadapannya apa yang bakal terjadi. Celakanya dia mengira berhadapan dengan seorang pemuda hidung belang.
"Tidak! lepaskan aku! Lebih baik mati dari pada menurutkan kehendakmu!" teriak si gadis seraya kembali meronta dan menepiskan wajahnya. Tapi kembali dia mengeluh. Sampai tenaganya hampir habis, dan keringat membasahi sekujur tubuh, toh dia tak mampu melepaskan diri.
"Hm, bukankah sudah kukatakan, lebih baik kau menuruti kehendakku?" kata Nanjar mengulang kata-katanya.
Dara itu tak menjawab selain memejamkan mata. Harapannya adalah pada dua orang anak buahnya yang segera muncul menolong dia. Tapi apakah mereka mampu menghadapi si pemuda dogol ini? Sebelum mereka mampu menolong dirinya, pemuda itu takkan bodoh untuk menotok dia terlebih dulu. Dan perlawanan dua orang anak buahnya sudah diduganya tak akan mampu mengalahkan pemuda ini.
Dalam hati dia menyesali kecerobohannya yang menganggap enteng lawan. Siapa kira si pemuda bertampang dogol ini seorang pemuda yang berilmu tinggi.
Sementara itu dua penunggang kuda coklat yang mengejar bocah laki-laki yang membedal kudanya dengan cepat seperti dikejar hantu akhirnya berhasil menyusul bocah itu. Siapa adanya bocah laki-laki berusia tiga belasan tahun ini, memang tak lain dari pembantu si pemilik kedai di sisi kota yang dikunjungi Nanjar.
Ketika bocah ini agak melambatkan lari kudanya, dengan kepala dipalingkan ke kanan kiri memperhatikan sekitarnya, mendadak dia tersentak kaget ketika melihat dua ekor kuda muncul di belakangnya.
"Hm, siapakah mereka...?" membatin dalam hati bocah laki-laki ini. Baru saja dia menepi untuk memberi jalan, justru mereka berhenti. Salah seorang membentak keras.
"Bocah keparat! Kalau tidak anaknya tentu kau keponakan si pencuri kuda putih milik raden Bagus Rono itu. Menyerahlah untuk kami ringkus!"
Tentu saja bentakan itu membuat wajah anak laki-laki ini seketika berubah pucat pias. "Aku... aku..." katanya tergagap. Matanya menatap pada kedua orang bertampang kasar itu lalu menatap pada seruling berukir kepala Naga terbuat dari tulang yang dicekal di tangan kirinya.
Bocah ini terheran, dia tak mengenal kedua orang itu dan mengapa pemuda yang singgah di kedai majikannya itu dituduh pencuri kuda? Padahal dia melihat sendiri pemuda itu telah membeli kuda putih itu dari seorang laki-laki berbaju abu-abu yang duduk mengobrol di kedai majikannya. Bahkan dia melihat ketika pemuda itu memberikan sejumlah uang untuk membayar harga kuda.
Setelah menerima uang bayaran orang laki-laki berbaju abu-abu itu segera meninggalkan kedai. Tak lama si pemuda pembeli kuda itupun segera membayar harga makanan, lalu menghampiri kuda putih yang tertambat di muka kedai. Pemuda berambut gondrong itu seingatnya tadi sewaktu memesan makanan telah pergi ke belakang untuk membuang hajat kecil, dan dia sendiri yang menunjukkan tempatnya.
Ketika pemuda berambut gondrong itu pergi meninggalkan kedai dengan menunggang kuda putih yang telah dibelinya. Mendadak dia ingin membuang hajat kecil pula. Sempat pula dia memperhatikan pemuda beram-but gondrong itu lenyap di balik tikungan jalan. Lalu bergegas dia ke belakang.
Di atas bak tempat air matanya menatap pada sebuah benda tergeletak. Ternyata sebuah seruling. Karena melihat benda itu, dia telah mengurungkan niatnya. Diambilnya seruling berbentuk aneh berukir kepala Naga itu dan dibolak-baliknya dengan mendecak kagum. Tapi milik siapakah benda itu....? Demikian pikirnya.
Karena yang belum lama masuk ke kamar kecil itu adalah si pemuda gondrong itu, akhirnya dia berpendapat benda itu tentu milik pemuda pembeli kuda putih itu. Entah mengapa dalam hatinya mengatakan bahwa dia harus menyusul si pemuda gondrong untuk memberikan benda yang tertinggal itu. Demikianlah, dengan cepat dia selipkan benda itu ke balik baju di belakang punggung. Lalu tanpa setahu majikannya dia me-nyelinap ke belakang.
Pamannya mempunyai seekor kuda yang sudah tua, dan jarang dipergunakan. Apalagi sang paman akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Dulu dia yang sering mencari rumput untuk memberi makan kuda tua itu. Tapi setelah dia bekerja di kedai, dia tak sempat lagi mencarikan rumput.
Pamannya mempunyai seorang anak gadis yang pemalas, kerjanya hanya keluyuran saja. Bahkan akhir-akhir ini pamannya jatuh sakit. Mungkin kesal memikirkan kelakuan anak gadisnya. Tapi sejak pamannya sakit, anak gadis pamannya itu jarang pergi ke luar. Bahkan pernah sekali dia melihat gadis itu mencarikan rumput buat makan kuda tua itu.
Hatinya merasa lega, karena kuda tua itu tentu akan terurus makan minumnya. Sebenarnya dia menyenangi kuda. Ayahnya semasa hidupnya sering mengajari dia menunggang kuda. Kalau saja keadaannya seperti dulu, tentu dia akan meminta kuda tua itu dari pamannya, dan akan dirawatnya baik-baik.
Sayang, kini dia seorang yatim piatu. Kuda milik ayahnya telah dijual. Dan dia harus bekerja di kedai untuk menangsal perut. Pamannya juga bukan dari keluarga orang berada. Bahkan untuk makan sehari-haripun sukar. Dengan hidup berdua bersama anak gadisnya sang paman harus membanting tulang bekerja sebagai orang upahan di Kota Raja.
Agaknya itulah yang membuat kehidupan keluarga sang paman kurang sempurna. Anak gadisnya sejak berusia tiga belas tahun sering ditinggalkan di rumah. Bahkan sampai dua tiga hari dia baru pulang. Akibatnya setelah si gadis meningkat dewasa, dia menjadi seorang anak yang sukar diurus. Bahkan tak begitu memperhatikan keadaan orang tuanya. Ketika dia mendekati kandang kuda yang terletak di samping pondok sang paman, dia mendengar suara anak gadis pamannya.
"Ayah, aku tak dapat lama-lama disini. Uang itu kukira cukup untuk kau makan selama sebulan. Dan obat yang kubelikan harus kau minum agar penyakitmu cepat sembuh. Oh, ya! Sebaiknya kuda tua itu kau jual saja, atau kau berikan pada tetangga karena tak terurus. Dan. hm, kukira Galot sebaiknya kau suruh berhenti bekerja. Dia bisa mengurusmu selama kau sakit menggantikan aku..."
Terdengar suara pamannya menyahut setelah terbatuk-batuk. "Kau mau kemana Jumpeni?"
"Ayah tak usah mengkhawatirkan aku. Aku dapat menjaga diriku. Aku akan kembali sebulan kemudian..." Setelah berkata gadis anak pamannya itu segera pergi.
Suasana kembali hening. Dia berpikir sejenak, apakah akan menemui pamannya dulu, ataukah mengeluarkan kuda dan meminjam binatang itu untuk mengejar si pemuda rambut gondrong? Akhirnya dia memutuskan untuk mengeluarkan kuda. Pelahan-lahan ia membuka pintu kandang, lalu kuda tua itu diseret ke luar. Bina-tang itu meringkik perlahan. Hatinya seketika menjadi berdebar.
"Ssst...!" dia tempelkan jari telunjuknya di atas bibir lalu menepuk-nepuk leher kuda.
Di luar kandang dia berhenti sejenak untuk melihat ke pintu pondok sang paman. Pintu itu masih tertutup. Dia menarik napas lega, karena tak ada tanda-tanda pamannya mencurigai. Dituntunnya kuda itu hingga agak jauh, baru kemudian dia melompat ke punggung binatang itu. Tak lama dia telah membedal kudanya dengan cepat melalui hutan kecil, memotong jalan. Dan selang beberapa saat kemudian dia telah tiba di jalan besar.
"Aku harus segera menyusul laki-laki rambut gondrong itu, dan memberikan benda miliknya yang tertinggal ini..." dia berkata dalam hati.
Kuda tua itu berlari cepat, seolah tena-ganya dikerahkan untuk berlari. Tampaknya bi-natang itu merasa girang karena bosan berada di kandang berbau pengap. Sepanjang jalan dia me-ringkik, seperti mengutarakan rasa girangnya dapat berlari dialam bebas.
Bocah itu tak mengetahui kalau sepeninggal dia menuju rumah pamannya, kedai majikannya telah didatangi oleh tiga orang penunggang kuda. Tiga penunggang kuda itu dua laki-laki bertampang seram dan bertubuh kekar dan seorang lagi adalah seorang dara berbaju hijau menyandang pedang di pinggang.
Begitu turun dari kuda dua laki-laki kekar itu jelalatkan matanya ke dalam kedai, lalu mengawasi sekitarnya. Dara baju hijau masuk ke dalam, dan sekali lengannya bergerak telah mencengkeram leher baju si pemilik kedai.
"Cepat katakan! Apakah kau melihat seseorang menunggang kuda putih singgah di kedaimu?"
Tentu saja si pemilik kedai bergetar ketakutan. "Kalau ti... tidak salah memang seorang tamuku singgah di kedaiku, dan... memang kulihat dia menunggang kuda berbulu putih.." sahutnya tergagap.
"Bagus! Ke mana sekarang dia?" bentak gadis baju hijau itu.
"Sudah.... sudah pergi, den... Oh, ya! Ada apakah sebenarnya, den?"
Tapi dara ini tak menjawab, bahkan kembali membentak. "Ke arah mana dia pergi?!"
Si pemilik kedai ini cepat menunjuk. "Ke... ke sana, den..."
Dara ini arahkan tatapannya pada dua laki-laki kekar itu. Kemudian menatap pada si pemilik kedai. "Awas, kalau kau berdusta, akan kubuat kepalamu menggelinding dari batang tubuhmu!" berkata gadis ini dengan suara dingin. Lalu balikkan tubuh, dan memberi isyarat pada dua laki-laki kawannya untuk segera mengejar orang yang dicarinya.
Laki-laki pemilik kedai ini cuma terlongong memandang mereka yang membedal kuda dengan cepat dari muka kedainya hingga lenyap di tikungan jalan. "Heh... siapakah mereka? Aku tak begitu memperhatikan tetamuku, tapi memang tadi telah datang seorang penunggang kuda dan makan di kedaiku. Lalu muncul lagi seorang pemuda berambut gondrong bertampang tolol. Dua-duanya kemudian pergi setelah membayar makanan..." berkata si pemilik kedai ini dalam hati.
"Eh, kemana si Galot?" sentaknya karena sadar kalau bocah pembantunya tak kelihatan batang hidungnya. "Galot! Galot!" teriaknya sambil mencari-cari bocah itu ke belakang.
Sang pemilik kedai ini tak mengetahui kalau bocah laki-laki yang dicarinya tengah membedal kuda di jalan besar bagai dikejar setan mengejar si pemuda gondrong untuk mengantarkan seruling anehnya yang tertinggal.
NANJAR tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata si gadis baju hijau. "Haha... kau salah terka kalau menuduhku mau memperkosamu, anak manis! Aku hanya mau tanya, siapa kau sebenarnya, dan apa hubungannya dengan raden Bagus Citro, serta siapa adanya orang yang kau sebutkan itu?" berkata Nanjar, seraya lengannya mengelus pundak si gadis.
"Lepaskan dulu aku! Baru akan kujawab pertanyaanmu!" sahut dara ini dengan wajah dija-lari rona merah, dan hati berdebar, khawatir si pemuda dogol itu berbuat kurang ajar.
"Hm, apakah kau mau memegang kata-katamu?" tanya Nanjar.
"Aku akan pegang kata-kataku, tapi kaupun harus pegang pula janjimu tak akan menggangguku..." tukas si gadis yang mulai berani menatap Nanjar dengan sorot matanya yang tajam.
Setelah menegasi diam-diam dia mengakui ketampanan wajah si pemuda. Dari sorot matanya pemuda di hadapannya itu tampaknya tak punya ciri-ciri seorang laki-laki bergajul. Diam-diam dia berharap dugaannya tak meleset. Dia memang telah berlaku gegabah, dan sembarangan menuduh orang. Siapa tahu pemuda ini memang bukan pencurinya. Demikian pikir si dara baju hijau.
Dewa Linglung tertawa berderai mendengar jawaban kata-kata gadis itu. "Haha... jangan khawatir, nona manis! Aku si Dewa Linglung akan pegang janji. Kuakui kau memang cantik, ayu dan... kulit tubuhmu pun putih mulus. Tapi.. sayang adatmu keras dan kaku, juga galak! Kau memang cocok menjadi seorang pesilat, sayangnya kau terlalu bersikap ceroboh. Bagaimana kalau kebetulan aku seorang laki-laki hidung belang? Hehe... tentu siang-siang kau sudah..."
"Cukup!" bentak si dara dengan wajah berubah merah. "Lekas kau buka totokanmu!"
"Haha... baik! Baik, nona manis..." Nanjar gerakkan lengannya membuka totokan di jalan darah si dara jelita itu. Begitu merasai totokan ditubuhnya telah terbuka, gadis itu melompat bangun. Nanjar tetap tenang, bahkan segera berkata. "Nah, sekarang jawab pertanyaanku tadi!"
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, sobat! Baiklah, aku akan ceritakan siapa aku dan apa hubungannya dengan raden Bagus Citro. Namaku... WIRANINGSIH. Raden Bagus Citro adalah ayah angkatku. Beliau bekas seorang Panglima Kerajaan yang telah mengundurkan diri. Kini beliau mengangkat diri menjadi Ketua Partai Teratai Emas di wilayah timur. Beberapa hari yang lalu ayahku telah kehilangan seekor kuda putih miliknya. Selaku anak dan sebagai ketua dari dua puluh orang bawahanku dalam perusahaan Pengawal Barang Partai Telaga Emas, aku berkewajiban melacak jejak pencuri kuda itu. Apalagi kuda putih itu adalah kuda kesayangan ayahku..." tutur si dara ini sambil menunjuk pada kuda putih yang tengah tenang-tenang makan rumput tak jauh dari mereka.
"Dengan dua orang anak buahku aku segera mencari jejak si pencuri. Dari penjelasan seorang penduduk yang tak berapa jauh dari markas ayahku, dia pernah melihat seseorang menunggang kuda putih melintas di jalan desa. Dengan bekal petunjuk itu aku lalu mengejar pencuri kuda itu, yang dilihatnya menjelang sore kemarin...
"Petunjuk itu semakin jelas ketika di desa Jago Alas ini seorang petani mengatakan baru saja melintas seorang berpenunggang kuda putih. Demikianlah hingga kami temukan bekas-bekas tapak kaki kuda di jalan besar desa yang terus kami lacak. Hingga kemudian kami jumpai sebuah kedai di sudut jalan itu. Kamipun berkeyakinan kalau si pencuri kuda itu pasti singgah di kedai tersebut..." kata gadis bernama Wiraningsih itu mengakhiri penuturannya.
Nanjar tersenyum mengangguk-angguk. "Lalu kalian lantas mengejar setelah mendapat petunjuk dari pak kedai itu, bukan? Dan kau melihat aku menunggang kuda putih ini, lalu langsung saja kau menuduhku si pencuri kuda...!" berkata Nanjar, sambil garuk-garuk tengkuknya.
"Karena aku sudah beberapa hari kesal mencari jejak pencuri kuda itu, kalau kutemukan seseorang menunggang kuda putih yang kukenal adalah milik ayahku tentu saja aku menyangka kau pencurinya!" potong Wiraningsih. Sebelum Nanjar membuka mulut, kembali dia menyambar.
"Baik! Kini kau tak mengakui bahwa kau telah mencurinya, tapi dari mana kau dapatkan kuda putih milik ayahku itu?" tanyanya ketus.
"Hm, memang aku harus menjelaskan padamu, kalau tidak tentu akan terjadi kesalah pahaman..." kata Nanjar dengan tersenyum. Kemudian segera menceritakan secara singkat dari mana asalnya dia memperoleh kuda itu.
Mendengar penjelasan Nanjar gadis ini ker-nyitkan keningnya. "Apakah kau mengenali orang yang telah menjual kuda itu?"
"Wah... aku agak lupa. Bagaimana tampangnya, ya?" berkata Nanjar sambil memegang keningnya.
"Aiih! Sungguh celaka! Kalau kau tak ingat tampangnya bagaimana aku harus meringkus pencuri itu? Dia harus bertanggung jawab atas pencurian itu, dan kami harus menangkapnya!" Wiraningsih tunjukkan sikap kecewa. Diam-diam dara ini juga heran karena pemuda itu bisa tak ingat wajah orang yang telah menjual kuda itu padanya.
"Kalau aku melihat orangnya, pasti aku ingat tampangnya!" kata Nanjar menukas.
Diam-diam geli juga hati dara ini. "Pemuda ini tampaknya seperti orang tolol, apakah memang tolol betulan?" berkata dia dalam hati.
"Sejak kecil sampai sebesar ini, baru kulihat seorang yang masih muda seperti anda telah linglung! Kalau kejadian pertemuan dengan penjual kuda itu belum lama, mengapa anda bisa lupa?"
Nanjar tertawa tergelak-gelak. "Haha... aku memang linglung. Dan sering linglung. Apa lagi kalau di hadapan seorang gadis cantik!"
Tentu saja kata-kata Nanjar membuat Wiraningsih memerah wajahnya. Dara ini palingkan wajahnya dengan tersipu. Tapi alangkah terkejutnya ketika menoleh lagi ternyata pemuda itu telah lenyap dari hadapannya. Untunglah sekilas masih sempat dia melihat bayangan putih berkelebat.
"Nona Wiraningsih! Silahkan kau bawa pulang kuda putih itu. Jangan pikirkan pencuri kuda itu. Serahkan saja padaku, biar aku yang membekuknya!" sesaat setelah sosok bayangan putih itu lenyap, telinganya mendengar suara si pemuda itu. Dara ini tertegun.
Agak lama dia terlongong, dan dari bibirnya terdengar suara menggumam perlahan. "Ah, ternyata dia seorang pendekar muda yang berilmu tinggi. Sayang aku tak sempat menanyakan nama atau gelarnya..." Mendadak alis si gadis terjungkit. "He? Apakah dia yang berjulukan si Dewa Linglung?" sentak hatinya tiba-tiba, karena teringat akan sebuah gelar aneh yang pernah didengarnya dari orang Rimba Hijau yang pernah ber-kunjung ke markas ayahnya.
Diam-diam dalam hati dara ini ada rasa masygul, mengapa tak sedari tadi dia menanyakan siapa adanya pemuda itu? Wiraningsih menghela napas dalam-dalam, lalu berkelebat ke arah kuda putih. Sekali gerakkan tubuhnya, pantat dara ini telah menyentuh punggung kuda. Tak lama dia telah membedalnya dengan cepat ke luar dari hutan kecil itu....
Tadinya Nanjar akan pergi menyusul si penjual kuda yang mengambil jalan berlawanan di jalur jalan besar desa di muka kedai itu. Tapi segera mengurungkan niatnya, karena teringat pada bocah laki-laki pembantu pak kedai yang tadi dilihatnya berkuda dengan cepat. Kemudian menyusul tiga penunggang kuda melintasi sisi jalan dimana dia memasuki hutan kecil itu.
Nanjar mengetahui kalau dua penunggang kuda itu adalah anak buah si dara galak bernama Wiraningsih yang telah dipecundanginya. "Hm, aku khawatir ada terjadi sesuatu dengan bocah itu..." pikir Nanjar. Segera dia berkelebat menyusul kejurusan dua penunggang kuda dan bocah laki-laki itu membedal kuda.
Setelah menyusuri jalan besar yang berliku-liku itu mendadak Nanjar tersentak kaget. Tak jauh di hadapannya tampak tergeletak sesosok tubuh dan dua ekor kuda terkapar ditengah jalan. Dengan gerakan Bangau Sakti Mengejar Mangsa, Nanjar telah tiba di tempat kejadian itu.
Tampaklah si bocah laki-laki yang tadi membedal kuda tunggangannya bagai dikejar setan, dalam keadaan tergeletak dengan tangan dan kaki terikat. Melirik ke arah dua ekor kuda, ternyata kuda-kuda itu adalah milik dua orang anak buah si gadis baju hijau tadi. Kedua binatang itu telah mati dengan kepala hancur.
Cepat Nanjar memeriksa nadi bocah itu. Dalam ketegangan yang mendebarkan itu Nanjar bersyukur karena bocah itu hanya pingsan saja. Segera Nanjar lepaskan ikatannya.
"Apakah yang telah terjadi...?" sentak si Dewa Linglung. Matanya jelalatan mencari-cari di mana adanya dua penunggang kuda yang binatang tunggangannya telah tewas itu. Disaat itu te-linganya mendengar derap suara kaki kuda mendatangi.
Ternyata yang muncul di situ adalah si dara baju hijau tadi. Tentu saja dara ini terkejut melihat adanya Nanjar di tempat itu, serta melihat dua ekor kuda yang dikenali adalah kuda-kuda anak buahnya. Dan di depan si pemuda tampak tergeletak seorang bocah laki-laki. Itulah bocah laki-laki yang tadi dikejar-kejarnya.
"Apa yang terjadi....? Siapa yang membunuh kuda-kuda ini? Dan kemana dua orang anak buahku?" tanya si dara beruntun. Dia telah melompat dari punggung kuda dan berdiri menatap Nanjar dan kuda-kuda yang berkaparan itu, juga memperhatikan si bocah laki-laki yang tergeletak di tanah.
Nanjar mengangkat bahu. "Hm, mana aku tahu? Ketika aku tiba di tempat ini aku hanya melihat bocah ini terikat dengan tali ini. Dan dua ekor kuda ini telah mati!" sahut Nanjar dengan suara hambar. "Apakah kau menyangka aku yang telah melakukan?" sambung Nanjar melihat dara itu terdiam dengan wajah tegang.
"Ti... tidak! Tapi siapa yang telah membunuh kedua kuda, yang mengikat bocah laki-laki ini..." Mata Wiraningsih menjalari sekitar tempat itu. Mendadak dia menunjuk ke arah semak belukar.
"Itu pakaian mereka?" teriaknya. Nanjar dan gadis itu sama-sama melompat ke tempat itu. Tampak seonggok pakaian tersangkut di ranting kayu.
"Coba kau lihat di balik semak!" perintah Nanjar.
Tak menunggu dua kali, dara ini segera melompat menyibak semak belukar. Mendadak tampak dara itu seperti tertegun. Matanya membelalak. Dan... tiba-tiba saja dia berteriak tertahan seraya melompat ke luar.
"Apa yang kau lihat?" tanya Nanjar heran melihat wajah gadis itu tampak pucat pias.
"Aku... aku tak dapat mengatakannya... kau lihat saja sendiri..." sahut Wiraningsih seraya menundukkan wajah dan menutupi dengan kedua tangannya.
Nanjar cepat melompat kebalik semak belukar. Apakah yang terlihat di hadapannya? Ternyata dua sosok tubuh laki-laki tergeletak tanpa pakaian. Dan yang membuat Nanjar membeliakkan matanya adalah kedua barang larangan mereka telah dipotong habis. Darah membanjir menganak sungai. Sebagian tampak telah mengering. Nanjar kembali ke luar dari dalam semak belukar. Tampak olehnya dara baju hijau itu masih tertunduk.
"Apakah kau dapat bisa menduga siapa yang telah membunuhnya?" tanya Nanjar.
"Aku belum bisa menduga dia yang membunuhnya dengan melakukan cara keji seperti itu. Tapi berita yang kudengar sebulan yang lalu, korban yang telah tewas dengan cara demikian telah belasan orang. Bahkan diantaranya terdapat dua orang dari pihak Kerajaan...!" menyahut Wiraningsih.
"Siapakah dia yang kau maksudkan?" Nanjar kerutkan keningnya.
"Orang itu menggelari dirinya si TANGAN DARAH"
Nanjar manggut-manggut. "Melihat cara membunuhnya tentu dia seorang dari jenismu, dan korbannya kukira tentu orang-orang sejenis laki-laki hidung belang...!"
"Mengenai itu aku tak tahu pasti!" tukas Wiraningsih seraya melangkah mendekati kudanya. Sedang Nanjar melompat ke arah bocah laki-laki itu.
"Sobat pendekar Dewa Linglung! Senang sekali aku dapat berkenalan dengan anda. Kalau kau dapat meluangkan waktumu, singgahlah ke markas Teratai Emas. Ayahku tentu senang sekali dengan kedatanganmu..." berkata Wi-raningsih yang telah berada di punggung kuda putih. Kuda yang ditungganginya adalah kuda putih raden Bagus Citro.
Nanjar berdiri menatap dara itu. Sebelah matanya disipitkan. "Kalau sudah beres urusanku, pasti aku ke sana, nona Wiraningsih" ucap Nanjar dengan tersenyum.
Gadis itu tersipu dan tanpa setahu Nanjar dada sang dara berdebar. Sukar untuk dikatakan, kiranya setitik benih cinta telah bersemi di hati si gadis baju hijau anak angkat Ketua partai Teratai Emas itu. Dara ini mengangguk, lalu cepat memutar kuda. Sebelum memacu binatang tunggangannya Wiraningsih kembali menoleh.
"Aku telah meninggalkan kudaku di tempat tadi, di hutan kecil itu. Kalau kau memerlukan binatang itu, kau dapat mempergunakannya..."
Nanjar mengangguk. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, nona manis" sahut Nanjar.
Wiraningsih tak menunggu lama, segera membedal kuda dengan cepat. Sebentar saja kuda putih dan penunggangnya itu telah lenyap di tikungan jalan. Nanjar pondong tubuh bocah laki-laki itu ke atas pundak, kemudian berkelebat meninggalkan tempat itu.
RADEN BAGUS CITRO duduk dikursi rotan berbantalkan kapas empuk yang dibalut dengan kain sutra berwarna gading bersulam benang-benang emas. Matanya memandang ke depan dengan sorot mata yang suram.
Sudah dua hari sejak kembalinya Wiraningsih, dia sering duduk termangu-mangu di kursinya. Tampaknya dia seperti tengah menanti-nanti kedatangan seseorang, atau hatinya sedang resah, seperti ada sesuatu hal yang tengah dipikirkannya. Ketika terdengar suara langkah kaki mendekati ke arah ruangan itu, dia menoleh. Tampak Wiraningsih sang anak angkatnya sedang mendatangi.
"Ayah...! Tak adakah pemuda pendekar itu berkunjung kemari?" tanya gadis ini seraya duduk di tikar permadani di hadapan laki-laki beru-sia lima puluhan itu.
Raden Bagus Citro menggeleng. Jari-jari lengannya mengelus sejumput jenggotnya yang tumbuh di dagu. Matanya kembali dilayangkan ke arah depan. "Disamping aku tengah menunggu kedatangannya, aku juga tengah menanti kedatangan seorang tetamu, seorang sahabat lamaku!" berkata raden Bagus Citro.
"Sahabat lama ayah...? Siapakah dia?" tanya Wiraningsih.
Laki-laki ini tak menyahut, pendengarannya yang peka telah dapat menangkap suara ketukan tongkat di luar markasnya. "Hm... dia telah datang..." katanya lirih. Wiraningsih menoleh ke arah pintu, akan tetapi tak melihat ada orang yang muncul.
"Pergilah anakku, tinggalkan ruangan ini. Biar aku yang menerima kedatangannya" kata raden Bagus Citro memberi isyarat pada gadis itu.
Walaupun Wiraningsih belum melihat ada sosok tubuh yang muncul di ruangan itu, tapi dia telah dapat menduga yang bakal datang adalah bukan orang sembarangan, dan masih sahabat gurunya. Tentu saja ilmunya sangat tinggi. Tak menunggu sampai diperintah dua kali, cepat dia beranjak meninggalkan ruangan itu.
"Pendengaran ayah sangat tajam, tentu dia telah mendengar dan mengetahui kedatangan tetamu, sahabatnya itu, Entah siapa adanya orang itu...?" membatin si gadis dalam hati seraya menyelinap ke luar pintu. Tapi diam-diam dia menngintip dari balik tirai dengan perasaan tegang ingin tahu.
Sesosok bayangan berkelebat di belakang gadis ini, tahu-tahu Wiraningsih tersentak kaget, karena sepasang lengan telah membekap mulut dan memeluk pinggangnya. Gadis ini merasa angin menerpa deras, ketika tubuhnya dibawa berkelebat. Jantungnya serasa copot, karena kejadian itu tiada terduga.
Entah siapa adanya orang yang telah memasuki markas Teratai Emas itu tanpa seorangpun anak buah raden Bagus Citro yang mengetahui. Akan tetapi dia dapat merasakan orang yang telah membawanya berkelebat itu adalah seorang wanita.
Diluar tahu Wiraningsih, ternyata ada sesosok bayangan pula yang berkelebat cepat membuntuti di belakang mereka. Wiraningsih merasakan hidungnya mencium bau harum yang membuat sesak napasnya ketika sehelai kain menyumpal hidungnya. Selanjutnya dia terkulai pingsan tak sadarkan diri, dan tak tahu apa-apa lagi....
Sosok tubuh ini gerakannya cepat bagai walet, melompat bagaikan terbang ke luar dari pagar tembok, lalu melesat ke arah hutan. Dan bayangan sosok tubuh di belakangnya terus membuntuti. Gerakannya pun tak kalah cepat dengan sosok tubuh di depannya.
Sementara itu tetamu yang dinantikan raden Bagus Citro bagaikan Malaikat saja layaknya tahu-tahu telah muncul di hadapan laki-laki itu. Tampak jelas kini siapa adanya orang ini. Ternyata seorang laki-laki tua yang usianya hampir sebaya dengan umur raden Bagus Citro.
Laki-laki tua ini bertubuh kurus bagai galah. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai memutih. Jubahnya pun putih. Kecuali tongkat yang dicekalnya yang berwarna hitam berkilat. Tam-paknya terbuat dari logam keras.
"Selamat datang dimarkas Teratai Emas, sobat Tongkat Iblis! Aku Bagus Citro sudah lama menunggu..." berkata raden Bagus Citro ketua Partai Teratai Emas ini. Walau sikapnya tampak seperti biasa saja, tapi diam-diam hati laki-laki ini terkejut, karena kemunculan orang yang ditunggunya ini bagaikan siluman saja. Bahkan dalam hati Bagus Citro berkata. "Aku sudah menduga ilmunya tentu bertambah tinggi. Ah, agaknya hari ini tak dapat tidak adalah hari penentuan mati hidupku..."
Bagus Citro bangkit dari kursinya, seraya menjura membungkukkan tubuh. Dengan gerakan ini Bagus Citro telah mempersiapkan tenaga dalam yang disalurkan kedua lengannya.
"Hm, Pendekar Kipas Darah! Aku lebih suka memanggilmu dengan nama WIRANGGENI! Agaknya sekarang kau tampak hidup senang dan mandiri, tidak menggantungkan hidup pada Kerajaan lagi!"
"Ya! Tampaknya memang begitu, tapi... aku justru merasa sebaliknya. Dan kau tampaknya masih tetap sehat, dan ilmu kepandaianmu semakin maju pesat, sobat Kendil Liwung!" sahut Bagus Citro yang nama sebenarnya adalah Wiranggeni.
Mendengar kata-kata Bagus Citro orang tua jubah putih ini tertawa terkekeh. Selesai mengumbar tertawa mendadak suaranya berubah dingin. "Wiranggeni! Tentu kau sudah maklum dengan kedatanganku! Dan tentu kau telah siap pula untuk menghadapiku!"
Bagus Citro tampak tetap bersikap tenang, bahkan segera menyahut. "Persoalan lama itu agaknya tak dapat hilang dari ingatanmu, Kendil Liwung! Kau selalu menganggap aku yang telah menjebloskan kau dalam penjara Liang Kubur dibukit Hantu..." kata Bagus Citro disertai helaan napasnya.
"Hm, bukan masalah itu yang lebih berat bagiku, Wiranggeni. Tapi tuntutan arwah SULASMI, adikku. Dia mengharapkan kematianmu dan akulah yang diwakilkannya untuk merenggut nyawamu. Lima tahun terkurung dipenjara Liang Kubur justru telah membuat aku bertambah ilmu kepandaian seperti kau lihat. Aku masih tetap segar bugar!" berkata Kendil Liwung dengan nada sedingin es dan suara yang parau menggelitik jantung.
Kalau saja ada petir menyambar saat itu tentu tak membuat seterkejut saat itu, ketika Bagus Citro mendengar disebut-sebutnya nama Sulasmi. Akan tetapi laki-laki tua ini pandai menyembunyikan keterkejutan hatinya, dengan bersikap biasa saja tanpa berubah parasnya.
"Kau menyebut-nyebut Sulasmi yang telah hidup tenang di alam Baka. Kuharap kau tak menghubungkan urusan ini dengan arwah mendiang istriku itu, Kendil Liwung..." berkata Bagus Citro, seolah menyangkal adanya arwah sang istri yang telah menuntut kematiannya.
"Hm, racun yang kau bubuhkan untuk membunuh adikku untuk menutup rahasia dirimu itu kurang sempurna, Wiranggeni. Sebelum nyawanya benar-benar lepas, aku telah membongkar kuburannya, dan dia sempat menceritakan kelicikanmu!" berkata dingin Kendil Liwung.
"Perampokan harta benda Kerajaan lima tahun yang lalu itu memang didalangi olehmu. Sebelumnya kau memang telah berniat menyingkirkan adikku, karena dengan hartamu kau bisa menggaet wanita cantik lain. Hm, apakah kau masih tetap mempertahankan kesucian dirimu tanpa noda? Huh! Kesucian taik! Kau tak lebih dari musang berbulu ayam, atau serigala berbulu domba yang bermanis mulut di hadapan Sang Prabu, tapi kau menikam dari belakang.
"Kemudian kau fitnah istrimu, bahwa dia telah berbuat serong dengan diriku. Sungguh licik kau Wiranggeni! Aku memang bukan saudara kandung sedarah dengan Sulasmi, tapi otakku tak sekotor dan sebejat otakmu!" Kata-kata Kendil Liwung terdengar di telinga Bagus Citro bagaikan hunjaman belati yang menusuk jantungnya.
Seketika berubahlah paras muka laki-laki ini. Apa yang dikatakan Kendil Liwung memang benar. Akan tetapi sungguh dia tak menyangka kalau Kendil Liwung masih bisa bertahan hidup setelah dipenjarakan di penjara Liang Kubur selama lima tahun, dengan tuduhan telah melakukan perampokan harta benda Kerajaan, dan mau menggagahi Sulasmi adiknya yang telah diperistri oleh Bagus Citro.
Usia Sulasmi memang berbeda jauh dengan Wiranggeni yang telah berganti nama dengan nama raden Bagus Citro sejak dia menjabat sebagai Penasihat Kerajaan. Sejak mendengar berita kemunculan Kendil Liwung yang telah bangkit dari "Liang Kubur" itu, Bagus Citro sudah terkejut. Kegiatan usaha pengantar barang pun mulai dihentikan untuk sementara, karena anak buahnya digunakan untuk memperketat penjagaan di dalam dan di luar markas.
Akan tetapi sampai beberapa bulan tak ada tanda-tanda kemunculan Kendil Liwung, hingga dia kembali mengaktifkan anak buahnya. Hingga kemudian dia kehilangan kuda putih tunggangannya, setelah dia menerima sepucuk surat yang dikirim oleh Kendil Liwung, dan menghubungkan hilangnya kuda itu dengan Kendil Liwung. Diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan laki-laki tua itu.
"Bagus! Kalau kau sudah tahu rahasiaku, maka kaupun tak mungkin kubiarkan untuk mengambil nyawaku. Justru kaulah yang harus berhati-hati dengan jiwamu!" bentak Bagus Citro. Mendadak meja di hadapannya digulingkan. Detik itu juga membersitlah ratusan senjata rahasia meluruk ke arah Kendil Liwung.
Terkejut Kendil Liwung melihat jebakan yang telah dipasang Wiranggeni. Tampaknya sulit bagi laki-laki tua itu untuk meloloskan diri dari serangan jebakan itu. Akan tetapi di detik itu tiba-tiba Kendil Liwung acungkan tongkatnya di depan dada.
Suatu hal yang sangat menakjubkan tampak di depan mata. Ratusan senjata rahasia berupa jarum beracun itu seketika menempel pada bagian pangkal tongkat hitam Kendil Liwung. Tentu saja kejadian itu membuat berubah paras Wiranggeni. Namun secepat itu pula dia telah mengeluarkan senjata Kipas mautnya yang terkenal dengan julukan Kipas Darah.
Membersit sinar kekuningan menyambar ke arah batok kepala Kendil Liwung. Serangan ini dibarengi dengan pukulan tangan kiri yang mengandung kekuatan tenaga dalam.
BHLAR! DHES!
Lantai ruangan itu hancur beserpihan. Terdengar teriakan tertahan Wiranggeni. Tampak tubuh laki-laki ketua partai Teratai Emas itu terhuyung. Ternyata hantaman pukulannya telah mendapat sambutan dari Kendil Liwung. Laki-laki tua jubah putih itu rebahkan tubuhnya ketika serangan senjata lawan menyambar. Lalu menggeser tubuh ke samping. Bersamaan dengan hancurnya lantai ruangan, ujung tongkatnya berhasil menyodok ke arah dada lawan.
Hal itu sangat diluar dugaan Wiranggeni. Karena dia telah memperhitungkan bila serangan senjata rahasia lolos, maka senjata mautnya yang akan dapat menghabisi lawan. Sungguh diluar dugaan kalau bukan saja dia terperangah kaget melihat ratusan senjata rahasia tak satupun yang menyentuh kulit lawan, bahkan dadanya sendiri kena sodokan tongkat laki-laki tua itu.
"Benar-benar tak salah kalau orang menjuluki si Tongkat Iblis!" memaki Wiranggeni dalam hati, seraya memeluk sebuah tiang pilar di dekatnya. Wajahnya tampak menyeringai menahan sakit pada dadanya. Kalau dia tak siang-siang menyalurkan tenaga dalam sekujur tubuh tentu tulang dadanya telah ambrol.
"Kau tak akan lolos dari tanganku, manusia licik!" membentak Kendil Liwung. Tubuh laki-laki tua itu berkelebat. Tongkatnya menyambar.
BRAKK!
Tiang pilar itu hancur. Tapi Wiranggeni telah lenyap dari tempat itu. Mendadak terdengar suara aneh dari sekitar ruangan. Puluhan lubang-lubang kecil tampak terbuka di sekitar dinding. Tahu-tahu membersitlah puluhan anak panah ke arah Kendil Liwung.
Laki-laki ini membentak keras. Tubuhnya melompat gesit dan menempel dilangit-langit. Puluhan anak panah tampak bersyiuran dibawahnya. Lagi-lagi suatu hal yang diluar dugaan Wiranggeni. Jebakan kedua yang telah disediakan itu lolos, karena Kendil Liwung memiliki ilmu cecak, hingga tubuhnya dapat menempel di langit-langit ruangan.
Kendil Liwung menggeram marah, dan melompat ke bawah begitu serangan anak panah itu habis. Lalu menghambur ke luar ruangan, mengejar Wiranggeni yang bayangan tubuhnya terlihat berkelebat ke lain ruangan. Baru saja dia tiba diruangan itu tiba-tiba puluhan laskar partai Teratai Emas telah mengurung dengan senjata-senjata terhunus.
"Keparat! Kalian hanya mencari mati saja!" membentak Kendil Liwung. Dua puluh orang menerjang dengan bentakan-bentakan riuh. Senjata-senjata mereka siap merencah tubuh laki-laki tua ini. Kendil Liwung menggeram marah. Mendadak dia kibaskan ujung lengan jubahnya ke pangkal tongkat...
Menghamburlah ratusan jarum-jarum maut yang tadi menempel di pangkal tongkat itu. Dan detik selanjutnya terdengar suara jeritan-jeritan parau menyayat hati. Enam belas tubuh roboh terjungkal dan sekarat meregang nyawa dan tewas seketika.
"Hayo maju yang sudah bosan hidup!" bentak Kendil Liwung menyeringai menggertak. Tampaknya nyali laskar partai Teratai Emas agak ciut. Tapi mendadak empat orang telah maju ke depan, dan mengepung Kendil Liwung di tempat penjuru.
"Jangan takabur, monyet tua! Hadapilah kami Empat Harimau Teratai Emas!"
Kendil Liwung memutar pandangan berkeliling menatap empat laki-laki yang mengurungnya. Sementara itu melihat munculnya empat orang pentolan partai Teratai Emas, yang lainnya segera mundur dan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas.
"Hm, kalian hanya bertangan kosong?" berkata dingin Kendil Liwung.
Empat Harimau Teratai Emas saling pandang dengan kawannya dan tertawa gelak-gelak. Mendadak mereka sem-bulkan sepasang lengan masing-masing yang ter-tutup ujung lengan baju.
"Ini senjata kami!" teriak mereka hampir berbareng. Tampak sepasang lengan mereka yang menyerupai cakar harimau dengan kuku-kuku runcing, terbuat dari baja.
Kendil Liwung mendengus, walaupun agak terkejut melihat sepasang cakar mereka masing-masing berwarna kebiruan. Jelas senjata cakar Harimau itu telah direndam dengan racun.
"Bagus! Majulah kalian. Biar kalian cepat berangkat ke Neraka!" bentak Kendil Liwung yang sedikitpun tak merasa jeri.
Empat Harimau Teratai Emas menggembor keras, dan menerjang. Bau amis segera menye-bar, di ruangan itu ketika empat pasang cakar Harimau itu berseliweran menyambar. Kendil Li-wung putar tongkat besinya, dan menghantam se-tiap lengan yang mendekat.
Akan tetapi kali ini dia menghadapi empat orang yang sangat gesit gerakannya. Mereka menyerang saling bergantian. Gerakan tubuh mereka melebihi gesitnya seekor tupai yang bergerak lincah melompat menghindari serangan, dan kembali menerjang dengan serangan ganas. Sekali kulit tubuh si kakek kena gores cakar Harimau itu, akan sangat berakibat fatal bagi Kendil Liwung.
Delapan belas jurus telah berlalu. Empat Harimau Teratai Emas tetap pada cara menyerang seperti semula. Namun bau amis semakin tajam menusuk hidung. Lasykar Teratai Emas lainnya telah menjauhi ruangan itu dan berjaga-jaga diluar. Mereka yakin empat pentolan partai Teratai Emas akan mampu merobohkan tetamu tak diundang itu.
Diam-diam dalam hati Kendil Liwung membatin. "Celaka... mereka main akal licik! Dengan cara bertarung seperti ini aku akan kehabisan tenaga."
Dia memang mempunyai obat pemunah racun yang disembunyikan di dalam jubahnya, tapi tak ada kesempatan untuk mengambilnya, karena keempat lawan terus menghujani serangan. Sementara pernapasannya mulai terasa sesak karena bau amis yang ditimbulkan dari empat pasang cakar baja berwarna biru itu.
BREET! BREEET!
Kendil Liwung tersentak kaget karena jubahnya dua kali kena sambaran serangan cakar harimau lawan. Wajahnya seketika berubah merah karena marahnya. Tiba-tiba dia membentak keras. Mendadak dia memutar tongkatnya lebih dahsyat. Entah dari mana tenaga yang ditimbulkannya, padahal tampak jelas orang tua ini tenaganya kian melemah, dan gerakannya mulai lamban.
Gerakan Kendil Liwung yang berubah secara mendadak itu membuat terkejut Empat Harimau Teratai Emas. Akibatnya cukup fatal. Dua dari empat orang itu perdengarkan jeritan panjang, dan roboh terjungkal. Darah memercik ke lantai. Ternyata ujung tongkat Kendil Liwung telah menghunjam di leher salah seorang lawannya ini, dan seorang lagi batok kepalanya rengat kena bantam tongkat mautnya.
Dua dari Empat Harimau Teratai Emas terperangah kaget. Tapi detik itu juga menerjang dengan serangan maut. Dua pasang cakar Harimau itu mendadak terlepas, dan meluncur deras ke arah sasaran.
CRAS! CRAS! CRAS! CRAS!
Sukar untuk dielakkan lagi serangan dengan kecepatan yang tak terduga itu. Kendil Liwung tak dapat menghindarkan diri lagi. Empat cakar baja itu menghunjam menembus ke empat bagian tubuhnya. Laki-laki tua ini mengerang. Tubuhnya terhuyung limbung. Gigi gerahamnya gemeretuk. Tampak matanya menyorotkan tajam menggidigkan. Tubuhnya gemetar, dan tiba-tiba tanpa menghiraukan keempat cakar baja yang menghunjam ditubuhnya, Kendil Liwung menerjang dua manusia di hadapannya. Tongkat mautnya menyambar deras.
PRAKK! PRAKKK!
Dua dari Empat Harimau Teratai Emas ini seperti tertegun melihat sorot mata Kendil Liwung yang mengandung hawa aneh menggidigkan. Didetik itu dia tak sempat berbuat apa-apa atau melakukan tindakan menyelamatkan diri. Tahu-tahu tongkat Kendil Liwung telah menghantam hancur batok kepala mereka. Dan tanpa sempat berteriak lagi dua orang ini terjungkal roboh dengan kepala remuk!
Namun bersamaan dengan itu tubuh Kendil Liwung pun terjungkal roboh, diiringi geraman parau yang menyeramkan. Tampak laki-laki ini meregang nyawa. Namun tak lama tubuhnya terkulai. Nyawanya pun melayang ke Akhirat.
Bagus Citro alias Wiranggeni melompat ke luar dari tempat persembunyiannya. Laki-laki ini berdiri tegak menatap tubuh Kendil Liwung yang terkapar tak bernyawa. Bibirnya mendesis. "Hm, akhirnya kau mampus juga Kendil Liwung keparat!"
Tapi baru saja dia mau menindakkan kaki meninggalkan ruangan itu mendadak berkelebat sesosok bayangan putih. Tahu-tahu dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh...
"TANGAN DARAH!" sentaknya terperangah kaget. Membelalak seketika mata Wiranggeni melihat siapa adanya orang itu. Keringat dingin mengembun di tengkuknya ketika terdengar suara dingin seperti membekukan jantungnya.
"Wiranggeni! Sudah saatnya kau pulang ke Neraka!"
Menggeletar sekujur tubuh Bagus Citro alias Wiranggeni ini. Tulang-tulang anggota tubuhnya serasa lumpuh. Tatapan yang mengandung kekuatan hebat mempengaruhi batinnya itu tak mampu untuk dia menggerakkan kaki sedikitpun.
BRET! BRET! BRET!
Tahu-tahu baju yang dipakainya robek hancur ketika orang di hadapannya menggerakkan lengannya. Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, Wiranggeni menjerit parau menyayat hati. Darah menyemburat dan memercik di lantai.
Wiranggeni menekap ke arah barang larangannya. Matanya mendelik juling. Darah memancur dari sela jari-jari lengannya. Sementara sosok tubuh di hadapannya perdengarkan suara tertawa mengikik membangunkan bulu roma.
"Hihi… hihi... manusia sepertimu sangat tepat kalau mati dengan cara seperti ini!" Selesai berkata sosok tubuh ini membantingkan "benda kenyal" bersimbah darah itu ke lantai, hingga hancur lumat! Dan detik berikutnya sosok bayangannya telah berkelebat melesat lenyap dari hadapan Wiranggeni.
Wiranggeni ambruk ke lantai. Lalu berkelojotan meregang nyawa. Tak lama tubuhnyapun terkulai. Nyawanya pulang ke Akhirat.
"BERHENTI...!" Bentakan keras yang terdengar santar itu membuat si wanita yang memondong tubuh Wiraningsih tersentak kaget, karena tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri menghadang di hadapannya.
"Siapa kau?" bentak wanita ini dengan mata membeliak marah. Ternyata dia seorang dara yang usianya tak berbeda jauh dengan Wiraningsih.
Laki-laki dihadapannya itu tampak cengar-cengir, dan menggaruk-garuk tengkuknya memandang wanita itu, seraya berkata. "Haha... lagi-lagi yang kujumpai adalah seorang gadis cantik! Hm, namaku Nanjar. Kegemaranku adalah gadis-gadis cantik seperti nona yang kau tawan itu, juga kau sendiri. Tentunya kau telah paham mengapa aku mencegatmu, bukan? Boleh aku bertanya, siapa nona? Dan akan kau bawa kemana gadis itu?" Ternyata si penguntit itu tiada lain dari si Dewa Linglung.
"Hm, ternyata kau seorang laki-laki hidung belang?" berkata wanita ini. Tampaknya bibirnya sunggingkan senyuman.
Sementara Nanjar yang telah menduga kalau wanita yang ditawan itu adalah Wiraningsih, kini semakin jelas bahwa betul adanya gadis yang ditawan itu adalah orang yang akan dikunjunginya. Nanjar memang tengah mencari-cari letak gedung markas Teratai Emas, ketika dia menemukan tempatnya, mendadak melihat ada sosok tubuh berkelebat dengan memondong seorang gadis.
Diam-diam dia menguntit. Dalam menguntit itu Nanjar menduga-duga siapa adanya wanita yang dilarikan oleh sosok tubuh itu yang belum jelas laki-laki atau wanita. Sambil menguntit dia memperhatikan terus bentuk tubuhnya. Akhirnya dia paham kalau si penculik itu adalah seorang wanita, walau rambutnya disembunyikan dalam lipatan leher baju.
Lalu menduga-duga siapa gerangan yang diculik wanita itu. Dari pakaiannya yang berwarna hijau, Nanjar menduga gadis itu adalah Wiraningsih. Ternyata dugaannya tepat setelah dia mencegat si wanita penculik itu, dan dapat melihat jelas wajah orang yang berada dalam pondongan si wanita.
"Sayang sekali aku tak dapat menyebutkan siapa diriku. Tapi kalau kau ingin mengetahui lebih banyak tentang aku, silahkan ikut aku!" kata wanita ini dengan mengerlingkan mata.
Nanjar tersenyum. Pancingannya dengan berpura-pura sebagai seorang laki-laki hidung belang ternyata membawa hasil. Dia bisa mengetahui siapa adanya dara itu dan akan dibawa kemana gadis bernama Wiraningsih itu. Ketika wanita itu kembali berkelebat, tak ayal Nanjar segera membuntuti di belakangnya.
Ternyata yang dituju wanita itu adalah ke arah sebuah telaga di tengah hutan rimba. Di tengah telaga berair jernih itu tampak sebuah pulau kecil yang terdapat bangunan berbentuk kerucut. Ban-gunan ini beratap rumbia dan bertiang kayu bulat.
Wanita ini bertepuk tangan tiga kali. Dan tiba-tiba sebuah perahu tersembul dari belakang bangunan kerucut itu. Pendayung perahu seseorang yang bertudung lebar. Dengan cepat perahu sampan itu meluncur ke tepian.
"Ketua menyuruhku membawa gadis ini kemari!" kata si wanita. Pendayung perahu itu mengangguk, lalu bangkit berdiri dan membuka tudung lebarnya. Mendadak wajah wanita ini berubah pucat pias melihat siapa adanya orang bertudung itu.
"Tangan Darah...!?" sentaknya terkesiap. Belum lagi dia sempat berbuat apa-apa mendadak sebuah benda berkilat telah menyambar ke lehernya. Dara ini terpekik dengan suara tertahan di tenggorokan. Lalu jatuh terjungkal ke tepi telaga. Tapi sebelum tubuh Wiraningsih ikut terbanting ke tanah, sesosok bayangan telah berkelebat menyambar tubuh gadis itu...
Ternyata yang menyambar tubuh gadis itu tak lain dari Nanjar. "Mengapa kau membunuhnya?" bentak Nanjar dengan mata menatap tajam sosok tubuh itu. Kini jelaslah bahwa sosok tubuh bertudung lebar itu adalah seorang wanita bercadar hitam.
"Hm, kau tahu apa dengan urusanku?" berkata dingin si wanita. Siapa adanya wanita ini jelas telah diketahui Nanjar, karena disaat gadis pemondong tubuh Wiraningsih itu terkejut, telah menyebut nama "Tangan Darah".
"Apakah kau yang bergelar si Tangan Darah?" tanya Nanjar dengan sikap tetap tenang.
"Kalau benar, apakah yang akan kau lakukan?" balik bertanya wanita itu.
"Hm, pembunuhan-pembunuhan yang kau lakukan terhadap laki-laki dengan cara keji seperti itu tentunya kau yang melakukan. Yang ingin kutanyakan atas dasar apakah kau melakukan pembunuhan seperti itu?"
Wanita itu tertawa dingin. Suaranya yang sedingin es itu tak urung membuat tengkuk Nanjar basah oleh keringat. Nanjar tahu kalau wanita di hadapannya adalah wanita berkepandaian tinggi dan berdarah dingin.
"Tampaknya kau seorang laki-laki yang suka usil dengan urusan orang. Sebenarnya aku benci dengan laki-laki semacam kau. Tapi nasibmu mujur, kali ini aku tak ada selera membunuh orang!" sahut wanita bercadar ini.
Diam-diam Nanjar menarik napas lega. Cepat dibaringkan tubuh Wiraningsih di tanah, lalu berdiri menatap wanita itu. "Kuucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Aku dan gadis ini pernah menjalin persahabatan. Dia adalah anak angkat Raden Bagus Citro, ketua partai Teratai Emas...!" kata Nanjar sambil menunjuk ke arah Wiraningsih yang masih tak sadarkan diri.
"Heh! Aku telah mengirim jiwa tua bangka itu ke liang Neraka! Kalau kau tak munculkan diri, tentu siang-siang aku telah membunuhnya!" berkata si wanita bercadar sambil menatap ke tengah telaga.
Nanjar tersentak kaget. Ada permusuhan apakah wanita itu dengan raden Bagus Citro?
"Nah! perjumpaan kita cukup sampai di sini dulu, sobat! Mungkin diperjumpaan kedua kau akan lebih mengenal diriku..!" Selesai berkata tubuh wanita bercadar itu berkelebat, dan lenyap dari hadapan si Dewa Linglung yang terpaku memandang ke arah lenyapnya sosok bayangan wanita misterius itu.
"Nama gelar TANGAN DARAH ternyata lebih mengerikan ketimbang melihat manusianya. Aku belum melihat wajah di balik cadar hitam itu, tapi kukira diapun seorang perempuan berwajah cantik..! Atau mungkin pula wajah yang mengerikan..?" berkata Nanjar dalam hati menduga-duga.
Kemudian cepat menghampiri gadis bernama Wiraningsih itu. Dari saku Bajunya Nanjar menjumput sebungkus kain berisi beberapa butir pel. Sebutir dijejalkan kemulut gadis itu, kemudian menantinya beberapa saat. Kira-kira sepemakanan nasi tampaklah gadis itu mengeluh, dan membuka matanya. Tiba-tiba dia melompat bangun dengan mata membelalak menatap Nanjar.
"Kau... kau... apa yang telah kau lakukan terhadapku?" bentak gadis ini. Tampak wajahnya pucat pasi.
Tentu saja Nanjar tertawa tergelak-gelak melihat gadis itu terkejut setengah mati, bahkan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya. "Haha... jangan main sangka dan tuduh saja, nona manis! Kau lihat mayat itu? Dialah yang telah main curang menotokmu dan membiusmu dengan obat yang bisa membuat orang pingsan. Dan dia yang membawa kau ke tempat ini..." kata Nanjar.
Wiraningsih balikkan tubuh, dan segera terlihat sesosok tubuh tertelungkup di sisi telaga. Dari sela lehernya tampak mengalirkan darah yang masih belum tuntas.
"Kau yang telah membunuhnya?" tanya Wiraningsih. Rasa khawatir dengan keadaan dirinya segera lenyap, setelah dia merasa tubuhnya tak mengalami kelainan apa-apa.
Nanjar menggeleng. "Bukan aku, tapi si TANGAN DARAH!"
"Tangan Darah...?" sentak Wiraningsih terkesiap.
Nanjar kembali menganggukkan kepala. "Kalau kau mau mendengarkan ceritaku, duduklah baik-baik!" ujar si Dewa Linglung.
Wiraningsih ternyata menuruti kehendak Nanjar, segera dia duduk di hadapan si pemuda. Nanjarpun segera menceritakan apa yang telah terjadi....
"Jadi dia telah membunuh ayahku...?" sentaknya dengan suara parau, dan wajah berubah pucat pias.
"Menurut penjelasannya memang demikian, tapi kita memang belum membuktikan!" kata Nanjar. "Apakah kau mengetahui ada permusuhan apa ayahmu dengan wanita bergelar Tangan Darah itu?" sambung Nanjar.
Wiraningsih menggeleng. "Aku tak mengetahui urusan ayah. Tapi sejak adanya berita kemunculan si Tangan Darah itu, tampaknya beliau sering gelisah. Dia mengatakan bahwa hari ini akan kedatangan seorang sahabat. Apakah sahabat yang dimaksudkan adalah si Tangan Darah...?" menyahut Wiraningsih dengan suara lirih.
"Sudahlah! Kita melihat ke markas Teratai Emas untuk membuktikan kata-kata perempuan itu!"
Wiraningsih tak menyahut, tapi termangu-mangu memandang ketanah. Dari sudut kelopak matanya tampak mengalir air bening membasahi pipinya yang putih kemerahan. "Aku tak akan melihatnya..." sahutnya lirih disertai isak tersendat di kerongkongan.
Nanjar menghela napas. Dia sudah dapat membayangkan, gadis itu tak ingin melihat kengerian yang kedua kali setelah melihat mayat dua orang anak buahnya yang bernasib naas. "Kalau begitu maukah kau ikut aku...?" tanya Nanjar seraya mencekal pundak dara itu.
Wiraningsih tengadahkan wajahnya. Sepasang matanya yang berkaca-kaca itu menatap si Dewa Linglung. Dia mengangguk pelahan. Jiwanya dalam keadaan goncang mendengar berita kematian ayah angkatnya. Tawaran Nanjar yang diutarakan terhadapnya seperti air dingin yang sejuk menyi-ram kekalutan hatinya.
Nanjar bimbing lengan dara itu untuk berdiri. Sejenak dia menoleh ke arah bangunan berbentuk kerucut di tengah telaga. Ada niatnya untuk memeriksa tempat itu, tapi Nanjar batalkan niatnya.
"Galot tentu menungguku di dalam goa di lereng bukit itu. Aku harus segera ke sana menemuinya. Sebaiknya aku mengantarkan saja bocah itu kembali ke desanya, tapi dia berkeras akan turut bersamaku kemana aku pergi... Haih! Mengapa urusanku jadi kian runyam?" berkata Nanjar dalam hati.
Cahaya matahari yang menerobos ke dalam hutan tampak agak redup. Udara tampaknya berubah. Karena angin berhembus terasa dingin menyentuh kulit.
"Mari kita tinggalkan tempat ini....!" kata Nanjar, seraya menggamit pinggang dara baju hi-jau itu. Tak lama tampak kedua tubuh pemuda dan gadis itu beranjak dari sisi telaga, dan lenyap terhalang rimbunnya hutan lebat....
HUJAN deras bagaikan dicurahkan dari langit... Angin keras menderu-deru menerbangkan titik air bagaikan embun. Hawa dingin menyentuh kulit, membuat tubuh menggigil. Nanjar rapatkan tubuhnya ke dinding batu gunung. Tak jauh di sebelahnya tampak Wiraningsih memeluk lengan dengan tubuh menggigil.
Tampaknya dara ini sangat kedinginan. Di sebelah bawah tampak sebuah sungai yang airnya keruh, dan mengalir dengan keras. Tadinya mereka akan menyebrangi sungai itu, tapi mendadak hujan turun dengan deras bak dicurahkan dari langit. Terpaksa mereka meneduh. Beruntung menemukan sebuah lamping batu yang menonjol. Merekapun bernaung di situ menunggu hujan reda.
Nanjar menggeser tubuhnya hingga bersentuhan dengan pundak dara itu, seraya menggumam. "Huu... dinginnya bukan main."
"Akupun kedinginan, kak Nanjar..." kata Wiraningsih dengan suara gemetar. Tampak tubuhnya menggigil. Kini dara itulah yang merapatkan tubuhnya ke tubuh si Dewa Linglung.
Hawa hangatpun menjalar di sekujur tubuh mereka. Dengan saling merapatkan tubuh seperti ini hawa dingin agak berkurang. Sementara hujan terus mencurah lebat, anginpun bertiup kencang seperti kian menggila. Sentuhan tubuh dari sepasang manusia berlainan jenis ini ternyata menimbulkan perasaan lain, karena detak jantung si dara baju hijau itu terasa semakin cepat.
Apalagi sepasang lengan si pemuda itu kini memeluk tubuhnya. Nanjar yang merasa kasihan pada gadis itu tak sampai hati melihatnya. Dengan berbuat begitu dia bisa menyalurkan hawa hangat dari tubuhnya.
Berbeda dengan apa yang terasa di hati Wiraningsih. Dekapan itu telah membuat dia merasakan suatu perasaan tersendiri. Sejak berusia empat belas tahun dia telah kehilangan kedua orangtuanya. Ayah ibunya tewas ketika terjadi perampokan di desa tempat tinggalnya. Diapun hidup terlunta-lunta dan nyaris diperkosa serom-bongan begal.
Untunglah ada seseorang yang telah menolongnya. Orang itulah yang kini menjadi ayah angkatnya, yaitu raden Bagus Citro. Selama lima tahun bukan saja dia dirawat dengan baik, tapi juga dia diberi pelajaran ilmu kedigjayaan oleh sang ayah angkat. Hingga dia memiliki ilmu kepandaian bermain pedang.
Wiraningsih telah menganggap raden Bagus Citro sebagai ayah angkatnya, atas permintaan raden Bagus Citro. Dan dia sendiri bahkan menganggap sebagai ayahnya sendiri pengganti ayahnya yang telah tiada.
Entah beberapa kali dia mengalami pertarungan dengan sekawanan perampok, dan berhasil membunuh beberapa orang perampok dengan pedangnya. Walau belum diketahui pasti diantara perampok itu adalah orang yang telah menewaskan kedua orang tuanya, tapi dia cukup puas telah membalas sakit hati dan dendamnya.
Karena keberaniannya, Wiraningsih diangkat oleh raden Bagus Citro menjadi kepala pengawal barang, dimana partai Teratai Emas yang diketuai sang ayah angkat membuka usaha demikian itu. Kini keadaan telah berubah. Munculnya seseorang yang menamakan dirinya si Tangan Darah telah merubah kehidupannya.
Adalah suatu kebahagiaan dalam kekalutan jiwa seperti itu Wiraningsih merasa ada orang yang menggantikan ayah angkatnya. Pemuda pendekar bergelar Dewa Linglung itu muncul dan mengisi hati serta jiwanya yang kosong. Kehangatan seperti itu baru dirasakan seumur hidupnya.
Tentu saja membuat dia terlena, dan terpukau dengan perasaan yang sukar terlukiskan. Naluri kewanitaannya bergejolak. Dan ada perasaan tenteram dan bahagia menyentuh relung hati dan jiwanya.
"Kak Nanjar... apakah kau telah mempunyai pacar atau seorang kekasih...?" tanya si gadis lirih bercampur getar yang memenuhi dadanya. Sementara jantungnya berdetak tak menentu.
"Pacar...? Haha... ada-ada saja, kau Ningsih! Mana ada gadis yang mau padaku? Tampang laki-laki sepertiku ini akan membuat gadis lari ketakutan!" gurau Nanjar.
"Tapi aku tidak!" sanggah Wiraningsih dengan tersenyum.
"Ya, cuma kau yang berani... agaknya nasibku memang sedang mujur!" kata Nanjar tersenyum.
Debaran jantung Wiraningsih semakin menggebu. Betapa inginnya dia. Dipeluk lebih erat lagi, dan dia bahkan mengharapkan lebih dari itu. Mata gadis ini tampak kian sayu. Betapa dia sangat mengharapkan sesuatu yang sangat membahagiakan dirinya dalam saat-saat seperti itu.
"Kak Nanjar... di sebelah sana ada batu yang lebih menonjol. Sebaiknya kita ke sana, kukira lebih baik dari tempat ini" berkata Wiraningsih. Lengannya menunjuk ke arah sebelah depan.
"He eh! Benar katamu. Mari kita kesana..." kata Nanjar.
"Tapi kakiku..." kata si gadis mengeluh.
"Kenapa kakimu?"
"Kakiku kesemutan... aku tak dapat melangkah" sahut Wiraningsih.
Nanjar garuk-garuk tengkuknya. "Hm, kalau begitu biarlah aku memondongmu." ucap si Dewa Linglung. Dan tak berayal lagi dia segera memondong gadis itu, kemudian membawanya melompat dari tempat itu.
Ketika tiba di tempat yang dituju, benar saja di tempat ini air hujan tak membasahi tubuh mereka. Tampaknya cukup leluasa untuk berteduh menunggu hujan berhenti. Akan tetapi ketika Nanjar membungkukkan tubuh untuk menurunkan tubuh Wiraning-sih dari pondongan, mendadak si gadis mempere-rat rangkulannya.
"Kak Nanjar..." bisik Wiraningsih lirih. Tampak sepasang mata dara itu meredup. Bibirnya setengah terbuka.
Jantung Nanjar tersentak, dan barulah dia menyadari bahwa suatu perasaan kelaki-lakian menggerayangi tubuhnya. Bibir yang merekah itu membuat mata Nanjar tak kuasa untuk melihatnya lebih lama lagi, dan sepasang benda kenyal yang menempel didadanya menimbulkan rang-sangan hebat untuk dia melakukan sesuatu menurutkan gejolak kelaki-lakiannya.
Dan tanpa menunggu sedetik lagi, Nanjar merengkuh bibir sang dara jelita itu. Melumatnya dengan napas memburu bagai napas kuda pacuan di gurun sahara yang gersang. Wiraningsih memeluk kian erat seperti tak mau pemuda itu melepaskannya lagi. Hawa dingin seperti lenyap ketika mereka saling merapatkan tubuhnya. Dan desah angin diluar semakin menggebu-gebu. Hujan kian deras membasahi bumi seolah akan mengkaramkan jagat.
Ketika hujan mereda, tampak Nanjar bangkit berdiri dengan lesu. Melangkah pelahan ke luar dari relung batu. Matanya memandang ke langit. Tampaknya cuaca mulai berangsur cerah. Wiraningsih beranjak mendekati. Tampak dara ini membenahi rambutnya. Sepasang matanya agak sayu menatap Nanjar.
"Hujan sudah berhenti, apakah kau akan meneruskan perjalanan?" tanya si gadis lirih dan berdiri di samping Nanjar.
Nanjar tak menjawab, agaknya kejadian barusan masih teringat dalam benaknya. Bersyukur Nanjar karena tak sampai mengumbar hawa nafsu hingga perbuatan terlarang itu tak terjadi. Pemuda ini menghela napas. Lalu berkata perlahan dengan mata masih memandang ke arah depan.
"Ya, kita akan meneruskan perjalanan. Bocah laki-laki itu tentu menungguku di goa di lereng bukit sana. Aku harus mengantarkan dia kembali ke desanya..."
Wiraningsih mengangguk. "Marilah kita berangkat..." katanya lirih. Tapi sebelum mereka beranjak ke luar dari relung batu itu Wiraningsih mencekal lengan Nanjar. Gadis menatap pemuda di hadapannya dengan sorot matanya yang bening. "Kak Nanjar kuharap kau... kau memaafkan aku..."
Nanjar tersenyum balas menatap sang gadis. "Mengapa kau minta maaf? Kau tak bersalah apa-apa padaku" sahut Nanjar.
Lengan Nanjar menyentuh dagu dara ini, yang seketika membuat si gadis menundukkan wajahnya. Wajahnya memerah dadu. Dan dari bibirnya terdengar kata-kata lirih. "Asal kau mengerti saja, kak Dewa Linglung. Aku... aku mencintai dirimu..."
Nanjar tertegun beberapa saat. "Haih, keterusteranganmu membuat aku jadi linglung, Ningsih! Jangan bicara soal cinta dulu lah, kukira kau perlu banyak pengalaman. Aku khawatir kau akan kecewa kelak..." berkata Nanjar seraya alihkan tatapannya ke lain arah.
"Kau menyesali kejadian barusan?" tanya sang gadis.
Nanjar menggeleng. "Tidak... Justru aku merasa senang. Mengapa kau bertanya begitu?" tukas Nanjar.
Wiraningsih tak menjawab. Dia menunduk mempermainkan jemari tangannya.
Nanjar memegang kedua bahu dara ini, dan berkata. "Ningsih...! Terus terang aku menyukai kepolosan hatimu. Dan kaupun cantik, menyenangkan hati bila kumemandangmu. Sebenarnya akupun menaksir kau. Tapi... aku khawatir kelak aku akan mengecewakan dirimu, karena aku hanyalah seorang petualang yang hidupnya tak menentu. Kupikir lebih baik aku tak bermain asmara. Cinta itu terlalu indah dan suci untuk dikotori. Kau masih terlalu muda, dan belum mengenal apa arti cinta sebenarnya..."
Wiraningsih menengadahkan wajahnya. Sepasang mata dara ini tampak berkaca-kaca. Kedua belah bibirnya gemetar seperti hendak berkata, tapi tak sepatah katapun yang ke luar dari mulutnya. Tiba-tiba dara ini memeluk Nanjar erat-erat. Dan menangis terisak-isak.
Nanjar jadi trenyuh juga hatinya. Didekapnya gadis itu dengan perasaan kasih sayang. Dibelainya rambut gadis itu dan diciuminya. "Sudahlah Ningsih, tak baik bersikap cengeng. Seorang gadis pendekar tak boleh bersikap begitu. Bagaimana kalau kita bersahabat saja? Aku akan menganggap kau sebagai adikku, dan kau menganggap aku sebagai kakakmu" kata Nanjar menghibur seraya melepaskan dekapannya dan menggamit dagu sang dara jelita itu.
Tampak sepasang mata yang berkaca-kaca itu seperti bersinar, dan wajah Wiraningsih berubah cerah. Dia tersenyum sambil mengangguk, dan berkata lirih. "Terima kasih kakak Dewa Linglung, aku senang sekali..."
Awan hitam telah lenyap, dan cahaya mentari kembali bersinar cerah secerah hati Wiraningsih yang kembali menampakkan kegembiraan. Ditariknya lengan pemuda itu. "Hayo kita melanjutkan perjalanan, apakah kau tak ingin cepat-cepat menemui Galot? Bocah laki-laki itu tentu menanti-nantikan kedatanganmu...!"
"Ya, mari kita tinggalkan tempat ini" sahut Nanjar dengan tertawa.
Ketika mereka tiba di goa tempat ditinggalkannya bocah laki-laki bernama Galot itu ternyata goa itu telah kosong. Nanjar mencari-cari kemana jejak kepergiannya, tapi tak ada menjumpainya. Sesaat lamanya Nanjar menatap ke luar goa. Benaknya memikir.
"Apakah yang telah terjadi sepeninggalku? Ah, Galot! Ada-ada saja kau...! Apakah dia telah meninggalkan goa ini?" Tiba-tiba telinga Nanjar mendengar pekikan suara wanita di luar goa. Tersentak si Dewa Linglung. Detik itu juga dia telah berkelebat ke arah suara itu.
Membelalak mata Nanjar melihat bocah bernama Galot itu tampak tengah menyerang Wiraningsih dengan ganas. Di tangannya tampak sebuah pisau berkilat. Wiraningsih menghadapinya dengan tangan kosong, sambil berteriak memanggil Nanjar.
Serangan bocah itu sangat ganas. Entah dari mana bocah laki-laki itu memiliki ilmu kepandaian, karena setahu Nanjar, Galot tak berkepandaian ilmu silat. Anehnya mengapa tahu-tahu muncul dan menyerang Wiraningsih?
Melihat kemunculan Nanjar, Wiraningsih melompat mendekati pemuda itu. Tampak Galot menghentikan serangan. Wajah bocah laki-laki itu menyeringai. Sepasang matanya memancar dengan sinar menggidigkan. Pisau di tangannya diacungkan dan siap melakukan serangan.
Nanjar sejenak tertegun melihat kejadian aneh itu. "Galot! Ada apa dengan kau? Mengapa kau jadi begini?"
Jawabannya adalah suara gerungan bocah laki-laki ini disertai gerakan menerjang ganas. Belati ditangannya menyambar-nyambar. Nanjar cepat berkelebatan menghindar. Diam-diam dia tersentak kaget, karena angin serangannya terasa dingin dari hawa aneh yang menggidigkan.
Mendadak bocah ini hentikan serangan, dan tiba-tiba perdengarkan suara menggeram, lalu balikkan tubuh dan berkelebat lari ke arah hutan lebat. Nanjar tersentak heran. Tapi dia tak berlaku ayal, dan secepat itu pula mengejar bocah laki-laki itu.
Gerakan lari Galot ternyata sangat cepat. Entah dia punya ilmu lari dari mana, karena Nanjar sampai sejauh itu tak mampu mendekati lebih dari sepuluh tombak. Satu hal yang membuat heran si Dewa Linglung ialah, dia merasa ada kekuatan aneh yang menahan tubuhnya, hingga gerakannya seakan dibatasi.
"Gila!" maki Nanjar dalam hati. Rasa penasaran dihati Nanjar semakin menjadi untuk mengetahui hal ini. Entah berapa lama Nanjar mengejar. Mendadak ketika melewati serumpun hutan bambu, tiba-tiba Nanjar kehilangan jejak. Beberapa kali Nanjar berputar-putar di sekitar tempat itu, namun bocah itu tak ditemukan.
"Ah...! Benar-benar gila! Edan! Dan gemblung!" desis Nanjar dengan mata mendelong mengawasi sekitarnya.
Akhirnya Nanjar memutuskan untuk kembali ke goa. Saat itu cuaca tampak mulai berangsur gelap. Aneh! Hati pemuda ini merasa agak was-was. Dia merasa ada suatu ketidak wajaran. "Bocah laki-laki itu pasti ada yang mempengaruhi dengan kekuatan ilmu hitam yang tinggi. Hm, jangan-jangan ini suatu pancingan agar aku meninggalkan goa..." pikir Nanjar.
Dan seketika itu juga Nanjar berkelebat cepat dari tempat itu ketika teringat pada Wiraningsih yang ditinggalkan-nya disaat dia mengejar Galot. Rasa khawatir pada dara itu seketika menyelinap dibenaknya. "Aku harus cepat kembali...!" sentak Nanjar dalam hati.
Sementara itu Wiraningsih tadinya akan turut mengejar bocah itu yang sudah diduganya adalah Galot. Tapi tiba-tiba telinganya mendengar suara tertawa dingin di belakangnya. Ketika dia menoleh, tersentak gadis ini.
"Siapa kau?!" bentak Wiraningsih melihat sesosok tubuh tegak berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Hm, bukankah kau mencari si penjual kuda putih? Akulah orangnya!" menyahut orang ini. Ternyata yang berdiri dihadapan gadis itu adalah seorang laki-laki berjubah putih, berusia sekitar lima puluhan tahun. Kumis dan janggut-nya yang panjang menjuntai memutih bagai-kapas. Rambutnya terurai menjela bahu.
"Aku tak berniat mencari jejak si pencuri kuda putih ayahku lagi. Tak ada gunanya, karena ayahkupun telah tewas! Partai Teratai Emas telah hancur. Kuharap kau memperkenalkan namamu, orang tua. Siapakah sebenarnya anda?" sahut Wiraningsih yang agak tertegun melihat kakek jubah putih itu mengaku si pencuri kuda.
Laki-laki tua ini tertawa terkekeh. Suaranya membuat bulu kuduk gadis ini meremang. "Kau memang tak ada sangkut pautnya dengan kejahatan ayahmu, Bagus Citro....! Manusia licik dia memang patut menemui kematian dengan cara yang mengerikan di tangan si TANGAN DARAH! Aku adalah seorang yang bernasib mujur dapat memperpanjang hidupku setelah lima tahun disekap di penjara Liang Kubur! Semua itu karena fitnah keji ayahmu yang aku mengetahui adalah ayah angkatmu." berkata laki-laki ini tanpa menjawab pertanyaan Wiraningsih. Kakek ini melanjutkan kata-katanya.
"Dalam pertarungan dengan ayahmu yang nama sebenarnya adalah Wiranggeni, aku berhasil mengelabuinya dengan mempergunakan ilmu MALIH RAGA. Dia menganggap aku telah tewas, setelah sebelumnya berbagai kelicikan telah digunakan manusia itu untuk membunuhku! Nasibnya ternyata tak lebih baik dari kematian di tanganku, karena saat itu muncul si TANGAN DARAH. Seperti yang kau dengar dari sahabatmu si pendekar Dewa Linglung, ayah angkatmu itu tewas dengan mengerikan di tangan perempuan itu...!"
Wiraningsih terperangah mendengar penuturan laki-laki tua itu. Sungguh tak dinyana kalau ayah angkatnya adalah seorang yang berakhlak rendah. Siapakah sebenarnya kakek ini? Kalau dia yang bertarung dengan raden Bagus Citro sebelum kemunculan si Tangan Darah, tentu dia adalah tetamu yang dinantikan ayah angkatnya saat itu... Pikir Wiraningsih.
Terdengar kakek ini menghela napas, lalu berkata lagi. "Akulah yang bernama KENDIL LIWUNG! Aku menyenangi dirimu, cah ayu! Kalau kau mau aku bersedia mengangkatmu sebagai muridku!"
Wiraningsih belalakkan mata seperti tak percaya pada pendengarannya. Rasa girang dan terkejut menjadi satu. Saat itu juga gadis ini telah jatuhkan tubuhnya di hadapan kakek tua itu. "Dengan senang hati dan rasa terima kasih tak terhingga, aku Wiraningsih bersedia menjadi muridmu, kakek Kendil Liwung. Mulai detik ini apapun perintah guru akan hamba kerjakan!"
Satu tenaga yang tak kelihatan memaksa gadis ini untuk kembali bangkit berdiri. Hal itu membuat Wiraningsih terpana, karena satu kekuatan hebat telah mengangkat tubuhnya hingga dia tak kuasa untuk menahannya dan bangun berdiri. Tahulah gadis ini kalau orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Diam-diam hatinya sangat girang.
"Cukup cah ayu! Kau telah syah menjadi muridku. Tak usah terlalu banyak peradatan..." ujar Kendil Liwung.
"Ada peristiwa yang sangat aneh, guru...! Kuharap kau sudi mendengarkan penuturanku..." kata Wiraningsih memberanikan diri berkata.
"Hm, aku sudah mengetahui! Biarlah pendekar muda itu menyelesaikan urusannya. Nah, ikutlah padaku!" berkata si kakek.
Gadis ini mengangguk. Tampak dua titik air bening menyembul di sudut di pelupuk matanya. "Kak Nanjar... semoga kelak kita bisa berjumpa lagi..." terdengar suara menggumam lirih dara ini.
Ketika menoleh dilihatnya kakek tua jubah putih telah melangkahkan kaki. Dengan langkah cepat segera dia menyusulnya...
NANJAR menahan langkahnya, ketika telinganya menangkap suara tertawa diiringi kata-kata...
"Hihi... hihi... Dewa Linglung! Kalau kau inginkan serulingmu mengapa kau berhenti mengejar bocah itu? Ternyata ilmumu terlalu dangkal, dan kau cepat berputus asa. Sayang pendekar gagah semacammu selalu dibayangi rasa curiga. Gadismu telah pergi bersama seorang tua sakti bernama KENDIL LIWUNG! Orang tua itu telah mengangkat gadis itu menjadi muridnya...!"
Nanjar tertegun sejenak. Hatinya membatin. "Heh! itu suara si TANGAN DARAH! Dan... haih! Aku benar-benar terlupa dengan serulingku. Ah, dasar LINGLUNG!" Nanjar bahkan tubuh, dan kembali berkelebat ke arah semula. Dalam berlari-lari itu benak Nanjar berpikir. "Kalau benar apa yang dikatakan si Tangan Darah mengenai Wiraningsih, aku sungguh sangat bersyukur bila dia diangkat menjadi murid seorang tua sakti. Nama orang tua itu Kendil Liwung...? Aku baru mendengarnya. Siapa adanya orang tua itu, dan apa hubungannya dengan si Tangan Darah?"
Cuaca kian bertambah gelap. Nanjar teringat akan cemoohan si Tangan Darah. Hatinya sangat mendongkol, walau ada benarnya juga. Dia memang terlalu mengkhawatirkan keselamatan Wiraningsih. Dan juga mudah berputus asa. Diam-diam dia berpendapat wanita bergelar si Tangan Darah itu bukanlah seorang tokoh jahat. Pembunuhan yang dilakukan setidak-tidaknya mempunyai dasar hingga dia melakukannya dengan cara keji seperti itu.
Kini hutan bambu itu telah berada di depan matanya, tempat lenyapnya Galot. Sejenak Nanjar tertegun berdiri di tempat itu. Ditatapnya hutan bambu yang rapat itu dengan seribu satu pertanyaan dibenaknya.
"Apakah hutan bambu ini merupakan hutan ciptaan si Tangan Darah? Dan kemana aku harus mencari bocah laki-laki itu?" Dalam keadaan demikian, Nanjar tiba-tiba teringat pada suatu ilmu penolak sihir. Segera dia merapal ayat-ayat itu, dan diulangnya hingga beberapa kali.
Sepasang matanya dipejamkan, dan hatinya tertuju kepada Yang Maha Pencipta. Selang beberapa saat dia membuka matanya. Hampir saja Nanjar berseru tertahan saking terkejutnya. Karena yang tampak di hadapannya adalah sebuah telaga.
"Aneh! Benar-benar seperti mimpi!" gumam Nanjar dengan mata mendelong menatap ke tengah telaga. Bangunan berbentuk kerucut itu tampak masih seperti yang dilihatnya beberapa waktu yang lewat.
Saat itu sebuah perahu mendadak meluncur dari samping bangunan berbentuk kerucut. Nanjar tertegun karena perahu itu tanpa seorangpun yang mendayungnya. Ketika perahu menepi tak jauh di hadapannya, tiba-tiba terdengar suara dari tengah telaga, diiringi suara tertawa merdu.
"Hihi.... silahkan naik perahu itu sobat Dewa Linglung. Apakah kau mau jadi patung disitu? Hihi... jangan khawatir, kau tak akan tenggelam!"
"Huh! Siapa yang takut tenggelam? Mengapa tak kau suruh buaya yang menjemputku?" teriak Nanjar, seraya melompat ke dalam perahu. Ringan sekali kakinya mendarat di lantai papan perahu. Begitu ringannya hingga sampai-sampai perahu itu olengpun tidak.
Begitu kakinya menginjak lantai perahu, maka perahu itupun meluncur dengan cepat ke arah bangunan ditengah telaga. Belum lagi menepi, Nanjar telah melompat ke darat. Matanya merayapi bangunan aneh itu, mencari-cari dimana adanya si Tangan Darah.
"Silahkan masuk sobat gagah...!" suara merdu si Tangan Darah terdengar menyiblak kesunyian yang mencekam. Dan satu kekuatan aneh telah memaksa kaki Nanjar untuk melangkah ke arah pintu yang menjeblak terbuka.
Memasuki ruangan bangunan tersebut, hidung Nanjar mencium bau harum asap dupa. Tampaklah di tengah ruangan si wanita bercadar hitam duduk di atas permadani yang terhampar di lantai marmer hijau. Di langit-langit ruangan tergantung lampu minyak yang menerangi ruangan.
Sedangkan tak jauh di depannya di atas sebuah peti kayu berukir tampak tergolek seruling tulang berukir kepala Naga milik si Dewa Linglung. Ternyata asap dupa itu timbul dari sebuah tempat pedupaan yang berada di sebelah kiri wanita itu.
"Selamat datang sobat pendekar Naga Merah!" terdengar suara si wanita bercadar hitam itu. "Silahkan duduk...!" katanya.
"Hm, apa yang tengah kau kerjakan di tempat ini, Tangan Darah? Dan kemana bocah laki-laki kawanku itu?" Tanya Nanjar. Matanya mencari-cari Galot.
"Tenanglah, sobat muda yang gagah. Bocah itu tak kurang suatu apa. Dia dalam keadaan segar bugar. Duduklah. Ada hal yang akan kututurkan padamu, dan kukira hanya kaulah yang patut untuk mendengarkannya..."
"Manusia aneh! Tindak-tanduknya juga membingungkan orang. Siapakah sebenarnya kau, dan apa yang akan kau inginkan dariku?" berkata Nanjar.
"Bukankah kau kehilangan sebuah benda milikmu? Aku akan mengembalikannya padamu. Benda ini kudapatkan dari tangan Galot yang dirampas oleh dua penunggang kuda anak buah orang partai Teratai Emas! Nah! Aku akan mengembalikan benda milikmu ini, tapi sebelumnya dengarkanlah dulu penuturanku...!" menyahut si Tangan Darah. Suaranya terdengar datar dan sangat berwibawa, hingga Nanjar terpaksa menu-ruti kehendaknya.
"Kau tentu ingin melihat wajahku bukan? Nantipun kau akan mengetahui rupaku. Tak usah takut! Rupaku tak seperti setan yang menakutkan!" kata si Tangan Darah.
"Nah, dengarkanlah penuturanku. Aku adalah seorang gadis yang hidup terabaikan oleh orang tuaku. Terutama ayahku! Di samping nasibku yang buruk, akupun bernasib baik, karena sampai saat ini aku masih hidup dan dapat membalas jasa orang yang kusebut ayahku. Peristiwa demi peristiwa kuhadapi. Dan aku jatuh ke tangan setiap laki-laki silih berganti.
"Selama itu aku tak lebih dari sebuah boneka pemuas hawa nafsu kaum laki-laki. Selama lima tahun aku bergelimang dosa, dan selama itu pula aku mendapatkan suatu ilmu yang kemudian membuat aku terkenal dengan sebutan si Tangan Darah! Aku tak tahu apakah dosa ibuku yang terwaris kepadaku?
"Yang jelas setelah diriku penuh berlumur dosa, akupun menambah pula dosa itu dengan membunuh setiap laki-laki dengan cara keji, yaitu menghancurkan biang penyakit kaum hawa. Yaitu anggota terlarang milik kaum laki-laki! Orang terakhir dari kaum laki-laki yang kubunuh adalah raden Bagus Citro, ketua partai Teratai Emas!
"Dan laki-laki terakhir yang kutemui adalah kau, sobat Dewa Linglung...! Saatnya telah tiba bagiku untuk menebus dosa. Karena masa petualanganku telah berakhir. Sayang ilmu yang kumiliki adalah ilmu sesat yang tak berguna untuk kuturunkan pada siapapun..."
Sampai disini wanita itu berhenti bertutur. Tampak dia menghela napas seperti melepaskan beban yang menindih dadanya. Nanjar tertegun mendengar penuturan si Tangan Darah.
"Nah terimalah serulingmu..." kata wanita ini. Mendadak benda di atas peti kayu itu terangkat dan bergerak meluncur ke arah Nanjar. Dengan cepat Nanjar menangkapnya.
"Saatnya telah tiba..." kata si wanita dengan suara parau. Tiba-tiba lantai tergetar. Lampu minyak bergoyang-goyang. Getaran semakin hebat, seolah-olah bangunan itu digoyang gempa. Air danau memercik tumpah memasuki lantai, membasahi ruangan itu. Nanjar tersentak kaget dan melompat berdiri.
"Hah!? Ada apa lagi ini...?" sentak si Dewa Linglung dalam hati. Pada saat itulah terdengar jeritan panjang si wanita bercadar. Tubuh wanita ini terjungkal roboh dan terkapar tak bergeming.
Asap dupa lenyap. Dan gempa aneh itu berangsur-angsur berhenti. Nanjar melompat mendekati si Tangan Darah. Pada saat itulah terdengar suara teriakan seseorang dari arah belakang.
"Kakak pendekar Nanjar!"
"Hah!? Galot...?" sentak Nanjar. Bocah laki-laki ini memandang si Dewa Linglung dengan wajah pucat. Sinar matanya tak mengandung keganjilan dan menggidigkan lagi. Sejenak mereka saling pandang.
"Galot! Apa yang terjadi denganmu? Kau tak apa-apa bukan?" tanya Nanjar. Dia menyadari keadaan Galot yang sudah kembali berubah wajar.
"Kakak pendekar... oh, aku takut..." teriaknya seraya memburu ke arah Nanjar. Cepat Nanjar mendekapnya serasa mendekap adiknya sendiri.
"Galot! Galot! Oh, sukurlah kau telah sembuh..." kata Nanjar dengan haru. Entah berapa lama mereka saling berpelukan. Tak lama kemudian Nanjar melepaskan dekapannya. Nanjar teringat pada wanita bercadar yang bergelar si Tangan Darah itu. Perlahan Nanjar mendekati, dan... lengannya terjulur membuka cadar hitam penutup wajah wanita itu.
Ketika cadar terlepas, Galot terpekik kaget, dan berteriak tertahan. "Kakak Jumpeni...!?" Bocah laki-laki ini menghambur ke arah wanita itu yang telah terkapar tak bergeming. Tampak dari mulut, mata, telinga dan hidupnya mengucur darah kental berwarna hitam.
"Kau mengenalinya?" tanya Nanjar menatap Galot.
"Dia... dia anak pamanku..." sahut Galot dengan air mata berlinang.
Nanjar manggut-manggutkan kepala, dan terpekur dengan wajah tertunduk. Selang sesaat Nanjar pun segera memondong tubuh wanita itu.
"Galot! Mari kita tinggalkan tempat ini...!" kata si Dewa Linglung. Bocah laki-laki itu mengangguk, kemudian mengikuti Nanjar ke luar dari bangunan aneh itu.
Mendadak Nanjar hentikan tindakan kakinya. "Bawa peti kayu berukir itu!" perintahnya kepada Galot.
Galot telah dikembalikan ke kampung halamannya. Peti kayu itu ternyata berisi harta benda yang tak ternilai harganya. Dalam peti itu ditemukan sepucuk surat yang ditujukan kepada ayah gadis itu. Tulisannya berbunyi:
"Ayah! Walau kau tak menghidupi aku dengan berkecukupan, tapi aku layak membalas budimu. Terimalah apa yang ada di dalam peti ini untuk menyambung hidupmu, dan mengobati penyakitmu hingga sembuh seperti sediakala. Rawatlah Galot seperti merawat anakmu sendiri..."
Kemana gerangan si Dewa Linglung? Pemuda itu tengah melangkah gontai di jalan desa. Sebentar-sebentar dia tersenyum. Apa yang di bayangkannya adalah dia teringat pada gadis cantik dan galak bernama Wiraningsih. Dan tengah membayangkan ketika dia tengah mencium dan melumat bibir mungil sang dara.
"Ah... begitu lembut bibirnya..." gumamnya mendesah diantara desahnya angin gunung...