Begal Dari Gunung Kidul
AWAN berguling di leher. Desah angin dipuncak pohon seperti napas-napas yang memburu merengkuh kebebasan. Dahan-dahan pohon bergelinjangan dalam hempasan lembut yang membuai dan terkadang kasar, hingga tak kuasa untuk menahan daun-daunnya yang berlepasan helai demi helai.
Matahari seperti gelisah dalam himpitan mega kelabu. Dalam keadaan tubuh setengah telanjang dia mencoba mengusik mega dengan sinarnya yang melemah. Namun dia tak berdaya dalam rengkuhan awan hitam yang berguling-guling, dan menelan tubuhnya yang setengah telanjang itu bulat-bulat!
Senja yang rupawan itu tak mampu disinari lagi dengan cahaya merahnya, karena awan hitam tampak begitu buas, dan perkasa membawa benih air hujan untuk ditaburkan dan disemai dirahim bumi.
Setelah didahului dengan jilatan-jilatan lidah petir yang melukis langit diselingi suara menggelegar diangkasa, maka hujanpun turun dengan lebatnya, diiringi deru dan hempasan badai yang kian menggila... Oh, Alam...!
Dalam hujan badai yang menggila itu ternyata sesosok tubuh tampak berlari-lari jatuh bangun. Dia seorang wanita berambut beriapan. Wajahnya pucat bersimbah air hujan yang deras mengguyur tubuh. Terpaan angin keras membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Entah berapa kali dia mengeluh karena jatuh terjerembab, namun dia bangkit lagi... Lalu meneruskan berlari dengan napas tersengal-sengal.
Kira-kira lima belas tombak dibelakangnya tampak sesosok tubuh berjalan cepat merambas semak belukar menyongsong hujan dan badai memburu ke arah depan. Ketika kilatan petir melukis udara, tampak sekilas siapa adanya sosok tubuh itu.
Ternyata dia seorang laki-laki bertubuh kekar bertelanjang dada. Berwajah brewok. Matanya nyalang seperti mata seekor serigala yang haus darah. Tangannya menggenggam sebilah keris.
Apakah yang terjadi sebenarnya? Sepintas saja sudah dapat diterka kalau laki-laki itu mengejar gadis tadi. Apakah keris telanjang ditangannya akan digunakan untuk membunuh buruannya, atau hanya untuk menakut-nakuti gadis itu saja. Entahlah! Yang jelas laki-laki brewok ini terus berjalan cepat merambas hujan dan badai yang menggila untuk mengejar gadis itu...
Sementara gadis itu tampak mulai semakin le-mah tenaganya. Beberapa kali dia jatuh tersungkur. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Dia kembali bangkit untuk meneruskan berlari. Akan tetapi tulang lututnya terasa ngilu. Kakinya kian terasa berat untuk melangkah. Sementara gebu napasnya semakin memburu. Jantungnya melonjak-lonjak karena rasa takut dan cemas semakin menggerogoti jiwanya.
Di saat itulah suara berkrosakan dibelakangnya tampak semakin jelas terdengar. Dia melihat semak belukar bergoyang karena disibakkan tangan lelaki kekar itu yang terus memburunya. Gadis ini merasakan jantungnya seperti berhenti berdenyut. Matanya mulai nanar. Harapannya untuk bisa menyelamatkan diri dari tangan laki-laki itu semakin tipis...
Di saat itulah kilatan petir membelah angkasa. Kilatan cahaya terang sekilas itu telah membuat mata gadis ini membelalak. “Aku melihat ada sebuah bangunan tua di sebelah depan... Oh, aku bisa bersembunyi ditempat itu...” sentaknya dalam hati.
Harapan yang semula kandas itu mendadak tersembul lagi. Seperti mendapat tenaga baru saja layaknya, dia bangkit berdiri dan berlari cepat kea-rah bangunan tua dihadapannya. Sesaat kakinya telah menginjak tangga batu yang licin berlumut. Sementara badai mulai mereda, namun hujan masih terus menggila.
Dia melihat pintu bangunan itu setengah terbuka. Tak berayal segera dia melangkah masuk dengan setengah menyeret tubuhnya. Aneh! Dia melihat ruangan yang kosong itu tampak terang oleh dua buah lampu. Namun lagi-lagi aneh! Dia melihat dua buah lampu seperti bergerak mendekat, sedangkan ruangan dibelakang lampu kembali gelap pekat. Tiba-tiba...
“Ngeeooooong....!”
Hampir saja gadis ini menjerit saking terkejutnya. Karena dua buah lampu itu adalah sepasang mata seekor kucing berbulu hitam. Binatang itu mengeong dan sepasang lampu aneh itupun lenyap!
Gadis ini merasakan ada hembusan angin yang lewat disela kakinya. Hampir saja dia pingsan saking terkejutnya. Ternyata kucing berbulu hitam itu melintasi keluar dari pintu yang dikuakkannya. Kini ruangan itu kembali gelap pekat! Tapi hati gadis ini sudah nekat. Tak perduli bangunan tua ini adalah rumah hantu atau rumah iblis.
Dari pada dia terkejar oleh laki-laki brewok itu lebih baik dia mati dicekik hantu! Demikian pikirnya. Dengan cepat dia menutup pintu. Kemudian lengannya meraba-raba mencari-cari apa saja yang bisa digunakan untuk mengunci pintu dari dalam. Beruntung dia menemukan palang pintu. Lalu dengan cepat dia menggunakannya untuk mengganjal daun pintu itu.
Sesaat dia bisa bernapas lega. Kini matanya mencoba menembus kegelapan. Dia melihat ada pintu lagi yang menuju ke ruangan lain. Bergegas dia melangkah dengan berhati-hati dan jantung berdebar. Tapi tanpa rasa takut lagi. Dia hanya khawatir kakinya terantuk dan jatuh terjerembab.
Sementara itu laki-laki brewok ini terus melangkah cepat merambas semak belukar. Matanya mencari-cari dimana adanya gadis yang tengah dikejarnya. Sesaat dia berdiri terpaku dan memutar pandangan dalam rinai air hujan.
“Bedebah! Kemana perginya perempuan itu...!” bergumam laki-laki dalam gemetar tubuhnya karena hawa dingin yang menembus ke tulang sumsum. Getar suaranya bercampur dengan hawa amarah. Sudah dapat dipastikan tujuan laki-laki brewok ini adalah untuk melenyapkan nyawa gadis itu.
“Hujan keparat!” Laki-laki ini memaki. Lengannya bergerak menepiskan air hujan yang meluncur ke dahi. Kemudian setelah menduga-duga ke arah mana dia harus mengejar segera dia meneruskan berjalan cepat setengah berlari untuk mengejar buruannya.
“Hm, dia tak akan jauh dari sekitar tempat ini...! Atau bisa saja dia telah jatuh pingsan tanpa setahuku...” berpikir laki-laki ini dalam benak. Dalam cuaca gelap dan hujan lebat demikian mana mungkin dia menemukan orang yang jatuh pingsan dalam semak belukar selebat itu. Namun rasa penasaran dihati si laki-laki brewok membuat dia tak berhenti mencari.
“Aneh...! Tak ada tanda-tanda gerakan atau suara desah napasnya di sekitar sini. Apakah dia benar-benar pingsan?” laki-laki ini berkata dalam hati. Ketika dia memutar langkah ke arah kanan, mendadak kakinya terantuk sesuatu. Dia mengaduh, dan nyaris jatuh terjerembab. Untung dia sempat menahan tubuhnya dengan kedua telapak tangan menempel ditanah.
“Benda apakah yang terantuk kakiku?” mendesis si brewok. Di saat itu kilatan petir membelah angkasa. Mata laki-laki ini membesar. Dan dia tersentak kaget, ketika melihat gundukan tanah dihadapannya. Secara tak disadari dia telah melangkahi sebuah kuburan manusia, dan kakinya menyandung batu nisan hingga benda itu miring dan hampir tercongkel.
“Edan! Rupanya aku tersasar ke kuburan tua...!” rutuk si laki-laki brewok dengan tengkuk agak meremang. Kini hatinya mulai ragu untuk menemukan gadis itu, karena disamping malam mulai merambah juga rasa enggan untuk mengu-bak-ubak sekitar tempat itu.
Tapi baru saja dia mau beranjak untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba matanya membelalak melihat sebuah bangunan tua yang terlihat dari sela semak belukar. Saat itu hujan mulai agak mereda. Dan tak berapa lama kemudian hujanpun berhenti sama sekali.
“Sebuah gedung kuno...? Ah, ternyata dalam hutan ini ada sebuah gedung tua yang tersembunyi...” mendesis laki-laki brewok ini. Mendadak dia tersenyum menyeringai. Laki-laki brewok ini berkata dalam hati.
“Ha ha... kalau dia tak bersembunyi ke tempat itu, ke mana lagi...?” Dengan harapan yang pasti segera dia memburu ke tempat itu. Matanya nyalang memperhatikan sekitar bangunan tua itu.
Saat itu rembulan mulai muncul walau sinarnya tak begitu terang. Laki-laki ini mulai melangkah mendaki tangga batu. Pandangan matanya tertuju pada bekas-bekas telapak kaki. Tampak kembali seringainya dibibir.
Dengan langkah perlahan dia mengikuti bekas-bekas telapak yang penuh tanah itu. Barulah dia menghentikan langkahnya, tepat didepan pintu gedung tua itu. Seringainya melebar.
Sebelah lengannya terjulur ke arah pintu. Lalu digerakkan lengannya untuk mendorong. Seperti sudah diduganya, dia mendapatkan pintu itu terkunci.
“Hm, kau kira aku tak dapat membukanya...?” berkata si brewok dalam hati. Dia mundur dua langkah memasang kuda-kuda. Dan...
Brrakk!
Terdengar suara papan berderak. Tendangan keras sepenuh tenaga yang digunakannya telah membuat pintu gedung tua yang memang sudah lapuk itu hancur berserpihan, berikut palang pintu yang mengganjal dari sebelah dalam.
Saat berikutnya dia telah melompat masuk. Matanya liar merambah dalam kegelapan ruangan itu. Dengan langkah pasti laki-laki brewok itu terus beranjak ke dalam.
Sementara dia memasang telinga baik-baik untuk mendengar suara yang bisa membuat dia mengetahui dimana gadis itu bersembunyi. Tapi ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya remang-remang dari sinar rembulan yang menerobos dari pintu gedung itu, begitu sunyi lengang.
Gemetar tubuh gadis ini mendengar suara berderak itu. Dalam ruangan gelap itu wajahnya pucat pias. “Celaka...!?” sentaknya berdesis. Apakah yang akan dilakukan kini? Sementara telinganya mendengar langkah-langkah yang kian mendekat.
Ternyata laki-laki brewok itu justru melangkah ke ruangan dimana dia bersembunyi. Sebisa-bisa gadis ini menahan napasnya yang memburu. Dadanya tampak bergelombang, dan detak jantungnya kembali memacu. Dia merapatkan tubuhnya didinding ruangan. Akan tetapi gadis ini tersentak karena kakinya dirayapi sesuatu. Tentu saja tak terasa mulutnya mengeluarkan suara, yang dibarengi dengan mengangkat kakinya.
“Ciit...! Ciiit...!”
Seekor tikus melompat, dan lenyap disudut ruangan. Karena ulah tikus itulah si laki-laki brewok segera mengetahui dimana gadis itu bersembunyi.
“Haha... keluarlah dari tempat persembunyianmu, manis...! Aku tak akan menyakitimu kalau kau mau bicara baik-baik!” berkata laki-laki brewok itu.
“Kau... tak akan membunuhku..?” terdengar gadis itu menyahut dengan suara bercampur isak.
“Percayalah! Tak selembar rambut ditubuhmu yang akan kuganggu, asal kau mau bicara baik-baik padaku!” mengulang si laki-laki brewok. Menyahut si brewok. Tapi dalam hati laki-laki ini berkata lain. “Haha... setelah aku gagal merampok, kalau tak kudapatkan kehangatan tubuh anak seorang Demang calon istri muda Adipati, bukanlah aku Warok Sobrah Si Begal dari Gunung Kidul! Hitung-hitung penebus kesialan ku...!”
Mata si laki-laki brewok liar berkilat-kilat menatap ke arah pintu ruangan dimana gadis itu bersembunyi. Tiba-tiba dia kembali menggembor keras. “Cepat kau keluar! Atau aku yang akan masuk untuk menyeretmu?”
Tak ada pilihan lain, keluar atau tak keluar sa-ma saja. Maka lambat-lambat gadis itu munculkan diri. Mata si laki-laki brewok berkilat melihat sosok tubuh gadis yang basah kuyup itu. Walau cahaya remang-remang namun dia masih bisa melihat lekuk-liku tubuh dara itu.
“Bagus! Mendekatlah, manis...! Ah, kasihan... kau pasti kedinginan sekali...” berkata laki-laki sambil menyimpan kerisnya dibelakang punggung.
“Kau berjanji tak akan menggangguku, bukan?” kata gadis ini dengan suara gemetar. Mendengar kata-kata gadis itu, laki-laki brewok ini tertawa bergelak.
“Jangan khawatir! WAROK SOBRAH akan menepati janjinya!” kata laki-laki ini seraya melang-kah mendekati. Tampaknya gadis ini sudah percaya betul dengan kata-kata laki-laki jembros itu, walau diam-diam hatinya kebat-kebit.
Sesaat Warok Sobrah tercenung menatap gadis yang berdiri dihadapannya dengan tubuh gemetar itu. “Siapa namamu, nduk...?” tanyanya lembut.
“Sumanti...!” sahut gadis ini.
“Ah, nama yang bagus, sebagus orangnya...” Kepala laki-laki brewok ini manggut-manggut. Se-belah lengannya mengusap mukanya yang basah oleh air hujan tadi.
“Mengapa kau lari dari rumah ayahmu Ki Demang Sunggoro?” Tiba-tiba Warok Sobrah bertanya. Gadis ini menyeka air matanya yang menggenang.
“Aku tak sudi dikawinkan dengan Adipati yang sudah mempunyai empat orang isteri itu!” sahut gadis ini dengan suara terisak. Lalu menyambung kata-katanya.
“Ki Demang bukanlah ayah kandungku...”
“Bukan ayah kandungmu?... Hm, jadi kau tak mengetahui terjadinya perampokan itu?”
“Perampokan? Siapa yang dirampok?” balik bertanya gadis bernama Sumanti itu. Tampak wajahnya berubah memucat.
“Hm, ternyata banyak hal yang harus kau ketahui. Aku segera akan menuturkannya padamu. Tapi... kau tunggulah disini. Aku akan memeriksa bangunan tua ini, siapa tahu dapat kutemukan kain usang untuk pengganti pakaianmu yang basah kuyup. Kau tampaknya kedinginan sekali...”
Memang saat itu Warok Sobrah melihat si gadis beberapa kali bergidik kedinginan. Selesai berkata Warok Sobrah segera melangkah pergi untuk memeriksa salah satu ruangan. Sementara gadis bernama Sumanti ini berdiri terpaku menatap laki-laki brewok itu. Terdengar mena-rik napas perlahan. Rasa khawatirnya seketika hilang lenyap melihat sikap Warok Sobrah diluar dugaan. Setelah memeriksa ruangan demi ruangan dalam gedung tua itu. Tampaknya laki-laki brewok itu menemukan seperangkat pakaian usang dalam sebuah lemari yang sudah lapuk dan digunakan sarang tikus. Dia melompat keluar membawa setumpuk pakaian ke hadapan gadis itu.
Dan menjatuhkannya dilantai. Dua ekor tikus kecil rupanya ikut terbawa dalam lipatan pakaian usang itu. Ketika Warok menjatuhkan pakaian itu kelantai, binatang kecil itu berlompatan sambil mencicit. Tentu saja membuat gadis ini kembali tersentak untuk kedua kalinya.
“Hahaha... hanya dua ekor tikus yang tak menggigit!” kata Warok Sobrah sambil tertawa. “Nah! Kau carilah pakaian yang cocok dan cukup baik untuk pengganti pakaianmu. Aku akan mencari kayu kering untuk membuat api unggun!” selesai berkata kembali dia memasuki sebuah ruangan.
Tak lama dia telah keluar lagi dengan membawa sepotong kayu lapuk. Kayu itu dihancurkannya menjadi kepingan kecil-kecil. Kemudian mengumpulkannya diatas lantai. Selesai menumpuk serpihan kayu, lengan Warok Sobrah menggerayang kesela ikat pinggangnya yang lebar. Ternyata pada ikat pinggang kulit itu ada terdapat sebuah kantung kecil tempat menyimpan alat pembuat api.
“Hm, untunglah alat pembuat api ini tak basah terkena air hujan.” menggumam si laki-laki brewok. Tak menunggu lama segera di menggunakannya.
Setelah beberapa kali mencoba, maka sumbu pada alat itupun menyala. Sementara Warok Sobrah membuat api unggun, gadis ini memilih-milih pakaian usang, dan memeriksanya satu persatu.
Dengan adanya cahaya api unggun yang sudah dinyalakan Warok Sobrah, maka gadis ini mene-mukan sebuah pakaian usang yang masih cukup baik. Yaitu sebuah kebaya panjang. Juga selembar kain yang tak terlalu buruk. Walau warnanya sudah kusam, tapi kain itu masih cukup baik. Sumanti cepat berdiri, ketika melihat laki-laki brewok itu menghampiri.
“Kau sudah menemukannya?” tanya Warok Sobrah. Gadis ini mengangguk.
“Nah, cepatlah ganti pakaianmu...!”
Tapi gadis ini tampaknya sepergi bingung atau serba salah. Karena tak mungkin kalau dia harus berganti pakaian dihadapan laki-laki itu.
Warok Sobrah tersenyum, lalu lengannya menunjuk, seraya berkata. “Gantilah pakaianmu diruangan itu! Tak usah takut ada setan! Setannya cuma aku!”
Sesaat Sumanti menatap laki-laki brewok itu. Tapi segera palingkan wajahnya karena melihat sepasang mata laki-laki itu tampak begitu tajam menatap kearahnya, seolah-olah menguliti tubuhnya.
Tak berayal segera dia melangkah cepat ke balik ruangan. Dalam ruangan yang tak begitu gelap ka-rena adanya cahaya api unggun, gadis ini cepat melepaskan pakaiannya. Lalu menggantinya dengan pakaian usang. Terasa bau pengap melanda hidung dari pakaian itu.
Hatinya lega, karena sampai dia selesai berganti pakaian, Warok Sobrah tampak masih berjongkok memilih-milih pakaian yang bisa dikenakannya. Melihat dirinya muncul, laki-laki brewok itu menoleh.
“Wah! Kau cantik sekali dengan pakaian kuno itu...!” katanya sambil tersenyum. “Nah! kau duduklah dekat api unggun itu untuk menghan-gatkan tubuhmu”.
Tampaknya Warok Sobrah telah pula menemukan seperangkat pakaian usang. Tak terlalu bagus, bahkan ada bekas gigitan tikus dibeberapa bagian ujung celana pangsi hitam itu. Tapi hanya itu yang masih utuh. Lainnya sudah tak berbentuk lagi.
Tapi dia beruntung karena dapatkan sebuah kemeja tanpa leher berukuran besar yang juga berwarna hitam dari bahan sutera tebal yang alot. Pantaslah masih utuh, karena gigi tikus tak kuat menggerogotinya.
Melihat Sumanti sudah beranjak mendekati api unggun, dia segera lepaskan celananya yang ba-sah. Tepat saat itu si gadis menoleh sambil berjongkok. Tentu saja seketika wajahnya berubah merah. Cepat-cepat dia berpaling.
Warok Sobrah ini cuek saja mengenakan celana barusan (baru usang) itu. Lalu selesai mengenakan celana, lengannya menyambar kemeja sutera hitam, dan langsung dikenakannya. Barulah dia membalut pinggangnya dengan ikat pinggang ku-litnya yang lebar.
Tampaknya laki-laki brewok ini girang sekali mendapatkan pakaian yang cocok dengan kesenangannya. Setelah berdiri mematut-matut, segera dia balikkan tubuh, dan beranjak mendekati api unggun.
“Coba kau lihat, apakah aku pantas dengan pakaian ini?” tanya Warok Sobrah. Sumanti menoleh untuk memandang laki-laki itu.
“Kau tampak gagah dengan pakaian itu..” sahutnya memuji. Pujian itu memang tak sekedar pujian. Dalam hati gadis ini diam-diam memang memuji dengan sesungguhnya.
Walau laki-laki itu memang tampak tua, setidak-tidaknya berusia empat puluhan tahun, tapi tubuhnya yang kekar dan kesegaran wajahnya tak menampakkan ketuaannya. Bahkan seandainya laki-laki itu mencukur jembrosnya tentu akan kelihatan lebih muda dan gagah.
Warok Sobrah tampaknya senang sekali mendapat pujian itu. Hidungnya kelihatan kembang-kempis, dan bibirnya segera menampakkan senyum melebar.
“Benarkah aku masih tampak gagah? Hm, apakah aku tak setua Adipati? Masih lebih muda dan gagah mana aku dengan Adipati“ bertanya Warok Sobrah.
Gadis ini tersenyum. Agaknya baru kali ini dia bisa tersenyum karena melihat sikap laki-laki jembros itu yang lucu. “Tentu saja lebih muda dan... jauh lebih gagah kau...” sahut Sumanti jujur.
“Sungguh...?” tanya Warok Sobrah menatapnya semakin tajam.
“Sungguh!” sahut Sumanti. Mau tak mau kedua pasang mata mereka sama-sama beradu tatap. Tapi cepat-cepat Sumanti mengalihkan tatapannya. Mendadak dia merasa ada getaran aneh didadanya. Tatapan mata si laki-laki jembros tampaknya tak seliar mata seekor serigala.
Tatapan itu seperti mengandung arti yang dalam yang menelusup kerelung hatinya. Apakah hal itu karena dia mulai menaruh kepercayaan pada laki-laki itu? Entahlah! Yang jelas dia merasa sudah terlepas dari bahaya yang sangat ditakutinya...
KEJADIAN APAKAH sebenarnya di belakang peristiwa ini? Keluarga siapakah yang mengalami perampokan? Marilah kita simak kisah dibelakang sebelum kemunculan si laki-laki jembros Warok Sobrah yang mengejar gadis anak angkat Ki Demang SUNGGORO, yang melarikan diri dari rumahnya...
Desas-desus yang didengar penduduk desa Ku-to Anyar semakin santar, bahwa anak gadis Ki Demang Sunggoro yang bernama Sumanti telah di-lamar oleh Adipati KUNCORO SETHO DENING PROJO untuk dijadikan isterinya yang kelima. Betapapun tadinya hal itu dirahasiakan, namun tak urung berita itu sampai juga ke telinga penduduk.
Ternyata secara diam-diam penduduk desa Kuto Anyar dan sekitarnya kurang menyenangi Ki De-mang Sunggoro. Bahkan juga terhadap Adipati Kuncoro Sheto Dening Projo yang terlalu menekan rakyat dengan pajak-pajak berat, serta bermacam peraturan yang dibebankan pada penduduk.
Hal itu sudah berlangsung lama... hingga kea-daan rakyat semakin tertekan. Disamping itu me-reka melihat kehidupan Ki Demang semakin mewah. Gedungnya diperbesar, lengkap dengan gudang-gudang untuk menampung berkarung-karung beras, kopra dan sebagainya hasil pajak dari penduduk.
Belum setahun Adipati itu menjabat, ternyata sudah tiga kali mengaet gadis-gadis untuk dijadikan isterinya. Kehidupan Adipati sendiri tampaknya lebih mewah. Disamping cara mengatur pemerintahan yang dibebankan pihak Kerajaan padanya tidak sempurna, alias semrawut, juga seenaknya saja memungut pajak tanpa mau tahu ke-susahan rakyat.
Dalam pandangannya mungkin pajak yang di-bebankan pada penduduk adalah cukup memadai. Tapi dibelakang Adipati bukan sedikit pajak tambahan yang dikenakan pada rakyat, yang dipungut oleh orang-orang bawahannya, termasuk Ki Demang Sunggoro.
Kemarahan penduduk yang merasa terus tertekan itu tertumpah pada Ki Demang Sunggoro. Timbullah kerawanan yang membengkak, hingga beberapa orang desa diwilayah itu telah merencanakan suatu perampokan terhadap Ki Demang mereka.
Siapakah sebenarnya Warok Sobrah? Dia adalah seorang begal ulung yang bekerja sendiri, dan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebelum melakukan pembegalan atau perampokan, biasanya dia akan melacak terlebih dulu siapa yang bakal dijadikan korbannya.
Sebenarnya yang menjadi sasarannya kali ini adalah Adipati Kuncoro Setho Dening Projo. Tentu saja dia dapat mengetahui kekayaan harta Adipati itu, karena sering terdengar dimana-mana yang dibicarakan penduduk adalah Adipati itu. Kekayaan serta tingkah laku dan perbuatannya bukan dongeng lagi.
Keluhan rakyat yang hasil panennya tak cukup untuk menghidupi anak-isteri sampai menunggu hasil panen selanjutnya, karena pajak dan peraturan ini-itu. Sumbangan untuk pembangunan gedung dan gudang yang mencekik leher dan diharuskan, dan sebagainya, mendengung-dengung di-telinga Warok Sobrah.
Sementara diam-diam Adipati itu masih pula melamar seorang gadis untuk dijadikan isterinya yang kelima. Yaitu anak Ki Demang Sunggoro. Tampaknya Ki Demang seperti ingin memperkuat kedudukan dengan memberikan anak gadisnya yang seolah-oleh dijadikan jembatan penghubung bagi kelangsungan dan kelanggengan jabatannya.
Seperti dikatakan tadi, sasaran Warok Sobrah adalah Adipati Kuncoro Setho Dening Projo. Tapi mendengar berita itu sasaran Warok Sobrah kini beralih pada Ki Demang. Diam-diam dia ingin tahu juga anak gadis Ki Demang Sunggoro. Secantik apakah gadis anak Ki Demang itu hingga diingini oleh Adipati?
Kemunculan Warok Sobrah ternyata hampir bersamaan dengan minggatnya Sumanti dari rumah Demang itu. Dia melarikan diri karena tak mau di jadikan isteri kelima Adipati. Warok Sobrah berpapasan dengan anak buah Ki Demang yang mencari jejak gadis yang minggat dipagi subuh tadi. Demikian menurut penjelasan salah seorang dari para pencari jejak gadis itu yang ditanyai.
Niat untuk melihat situasi dikediaman Ki Demang sebelum melakukan perampokan segera diurungkan. Dia melibatkan diri dalam pencarian jejak gadis itu. Di saat itulah ditempat kediaman Ki Demang Sunggoro terjadi perampokan. Belasan orang bertopeng telah merambas masuk ke dalam gedung penguasa itu. Terjadilah kegaduhan didalam gedung itu.
Ki Demang tersentak kaget melihat belasan sosok orang-orang bercadar menyerbu masuk ke dalam ruangan dengan golok dan senjata terhunus. Tentu saja dia membentak marah, dan terjadilah pertarungan. Dalam keadaan kalut karena lenyapnya anak gadis yang telah dilamar oleh Adipati, Ki Demang jadi kalap melihat kemunculan para perampok yang memasuki gedungnya.
Akan tetapi perlawanannya sia-sia. Para perampok itu berhasil membunuhnya. Bahkan membunuh pula isterinya. Lalu merampok apa saja yang dapat mereka bawa. Tak terkecuali bahan pangan, dan sebagainya. Bahkan karena geramnya, para perampok itu telah membakar gedung itu.
Melihat asap mengepul dikejauhan, membuat Warok Sobrah terkejut. Dia segera berlari untuk melihatnya. Alangkah kagetnya laki-laki brewok ini melihat rumah Ki Demang sudah terbakar. Untunglah api belum membesar. Dengan bantuan beberapa orang-orang Ki Demang api berhasil dipadamkan. Akan tetapi mereka menjumpai Ki Demang dan isterinya telah menjadi mayat....
Dari keterangan salah seorang penduduk, segera diketahui kalau belum lama telah terjadi perampokan yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng. Setelah menguras harta benda dan membakar gedung para perampok bertopeng itu melarikan diri, dan lenyap entah kemana perginya.
Sesaat lamanya Warok Sobrah tercenung. Tapi dia tak punya urusan dengan masalah itu. Warok memutuskan untuk mencari gadis anak Ki Demang yang melarikan diri itu. Hingga akhirnya dia menemukan jejak Sumanti...
GADIS INI termangu-mangu mendengar penuturan Warok Sobrah. Tampak sepasang matanya berkaca-kaca. Dia tak menyangka kalau kepergiannya justru bersamaan dengan musibah itu. Walau bagaimana buruknya kelakuan Ki Demang, namun orang tua itulah yang telah merawat dirinya sejak kecil.
Dan isteri Ki Demang sangat baik sekali terhadapnya. Wanita setengah tua itu tak mampu berbuat apa-apa dengan keputusan Ki Demang suaminya yang telah menerima lamaran Adipati. Sumanti menahan isaknya, sementara air matanya tak terbendung lagi meluncur turun dikedua pipinya.
“Sudahlah, Sumanti...! Aku tahu kesedihan hatimu. Tapi tak usahlah sampai terlalu bersedih hati, karena semua sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa...” hibur Warok Sobrah.
Malam semakin melarut... keheningan semakin mencekam dalam gedung kuno itu. Namun api unggun masih tetap menyala didalam halaman di tengah gedung tersebut. Warok Sobrah masih duduk didepan api unggun. Sebentar-sebentar dia menambahnya dengan kayu kering yang cukup banyak tersedia didalam ruangan gedung.
Kemanakah gadis bernama Sumanti itu? Ternyata gadis itu telah tertidur pulas dilantai beralaskan kain-kain usang. Sesekali Warok menengok ke arah gadis itu yang terlena dalam pelukan malam yang lengang dan berhawa dingin.
Entah berapa kali laki-laki brewok ini menarik napas. Termangu-mangu dalam kesendirian. Seolah-olah dia merenungi masa-masa silam, dan apa yang selama ini dilakukannya. Dalam relung hatinya seperti ada yang berkata.
“Warok Sobrah...! Kau adalah manusia tak lebih kejam dari para perampok yang telah membunuh Ki Demang dan isterinya. Belasan nyawa telah melayang diujung kerismu. Puluhan gadis telah kau perkosa, dan banyak harta telah kau rampas dari pemiliknya...! Apakah tujuan hidupmu sebenarnya?
“Ya! apakah tujuan hidupku sebenarnya?” mendesis Warok Sobrah.
Kembali dia termangu-mangu dalam senyapnya malam. Dalam desah napas gadis malang yang tidur dalam kebimbangan. Tak tahu nasib apa yang kelak bakal dihadapinya nanti. Suara berkeretekannya kayu yang terbakar, dan lelatu api yang sesekali memercik, serta panasnya api unggun, yang seperti menampar-nampar pipinya. Seolah api unggun itu berbicara padanya dengan mengejek.
“Warok Sobrah! Lihatlah aku! Saat ini aku berguna buat mengusir hawa dingin, buat menerangi kegelapan! Aku punya jasa buat manusia. Tapi akupun bisa membuat manusia sengsara karena amukanku! Aku bisa membuat orang menangis karena kehilangan rumah dan harta benda. Bahkan mungkin juga kehilangan seorang anak yang dikasihaninya yang tertambus dalam kobaran kemarahanku!
"Tapi aku hanyalah sesosok makhluk tak berakal! Makhluk yang berada dibawah kekuasaan alam dan manusia. Aku bisa dipergunakan untuk amal kebajikan, tapi bisa juga untuk membuat malapetaka! Sekarang aku ingin bertanya... Samakah aku dengan kau? Dan samakah kau dengan aku?”
Warok Sobrah terpaku menatap api unggun yang dengan rakus melahap kayu kering yang dis-odorkan kedalam mulutnya. Tiba-tiba dia seperti mendengar seolah-olah sang api unggun yang semakin membesar itu kembali meneruskan bicaranya.
“Lihat Warok Sobrah! Betapa rakusnya aku. Betapa tamaknya aku melahap kayu kering yang empuk dan menjadi kesukaanku! Tapi rakusnya aku adalah karena perantaraanmu! Perantaraan manusia, yang mengetahui watak dan tabiatku! Aku tak ubahnya setitik hawa nafsu yang berada dalam bathinmu! Kalau kau biarkan aku berkobar, maka akan membakar tubuhmu.
"Tapi kalau kau bisa mempergunakannya, maka kau akan mendapat hikmah dari diriku yang bisa menenteramkan jiwamu...! Nah, samakah aku dengan kau, dan samakah kau dengan diriku?”
Tergetar tubuh Warok Sobrah. Mukanya terasa panas bagai bara. Laki-laki jembros ini mendadak bangkit berdiri. Matanya nyalang melihat ke arah api unggun yang berkobar-kobar dihadapannya. Napasnya membu-ru tersengal-sengal. Tiba-tiba dia berteriak sekuat-kuatnya.
“Tidaaaaaaaaaaaaak...!”
Tentu saja teriakannya membuat si gadis yang tertidur lelap jadi terjaga dan terlonjak kaget. “Ada apakah Paman Warok..?” bertanya Sumanti dengan membelalak memandang laki-laki jem-bros itu.
Warok Sobrah bagai baru tersadar dari pengaruh yang bergejolak dalam jiwanya. Dia menoleh pada Sumanti sambil tersenyum. “Tidak ada apa-apa....! Kau tidurlah lagi, anak manis...” sahutnya seraya menghampiri. Lengannya terjulur memagut dagu gadis itu.
“Kau memanggilku paman...? Ah, senang sekali aku mendengarnya. Ya! kau boleh panggil aku dengan sebutan paman Warok!” sambungnya dengan senyum semakin melebar. Sepasang matanya menatap gadis ayu itu dengan pandangan penuh kasih sayang dan perasaan kasihan yang mendalam.
Sumanti tersenyum dan agak tersipu. Dia sendiri merasa aneh, mengapa tiba-tiba menyebutnya dengan kata-kata paman? “Paman Warok mengigau...?” tanya Sumanti perlahan.
“Yya...ya... aku mengigau. Aku bermimpi melihat seekor ular mau mematuk dirimu. Ular itu besar sekali. Tentu saja tak kubiarkan binatang itu mengganggumu. Dalam mimpiku, aku mengambil sepotong kayu. Sambil membentak kuhantam kepala ular itu hingga remuk! Dan... aku... aku melompat bangun...!” kata Warok Sobrah berdusta.
“Tapi... tapi ular itu tidak ada kan, paman Warok?” menukas Sumanti.
“Haha... ha… ha... tentu saja tidak, anak manis. Itu hanya dalam mimpiku. Nah, sekarang tidurlah lagi. Hari masih larut malam. Besok kita periksa rumah tua ini...” Warok mengedipkan sebelah matanya dengan tersenyum.
Sumanti menatapnya sesaat. Dia melihat ada sebutir air bening dipelupuk mata si laki-laki brewok. Tapi dia tak berani bertanya apa-apa. Warok Sobrah kembali duduk dekat api unggun. Diam-diam dia menyeka air matanya dengan lengan bajunya. Tampak bibirnya tersenyum, dan terdengar helaan napasnya menyibak kelengangan.
DUA HARI KEMUDIAN.... Tiga penunggang kuda muncul dihalaman depan gedung kuno itu. Ternyata ketiganya adalah tiga orang perwira Kerajaan. Salah seorang dari tiga perwira ini melompat turun dari punggung kuda. Lalu melompat masuk kedalam gedung tua itu. Sesaat dia memperhatikan pintu depan gedung yang hancur berantakan.
Laki-laki perwira Kerajaan ini terdengar menghembuskan napas di hidung. Sret! Dia telah menarik keluar klewangnya. Lalu melompat memasuki ruangan dalam. Salah satu penunggang kuda yang menunggu diluar turut melompat turun.
Tampaknya dia tertarik pada bekas-bekas telapak kaki penuh tanah yang terdapat ditangga batu. Perwira ini segera menyusul kawannya, melompat masuk keruangan dalam setelah menghunus senjatanya.
Penunggang satunya tak turun dari atas kuda. Dia memperhatikan sekitar gedung. Mendadak dia gerakkan kudanya melangkah ke arah samping kiri bangunan kuno itu. Matanya menatap pada secarik kain usang yang tercecer ditanah.
Dia melompat turun dari atas kuda. Lalu menjumput kain usang itu. Dan memperhatikan beberapa saat lamanya. Mendadak matanya liar menatap jejak telapak-telapak kaki yang setelah diikutinya dengan pandangan matanya, ternyata menjurus ke arah hutan disebelah kanan gedung kuno itu. Hatinya tersentak.
Tepat disaat itu dua orang perwira kawannya melompat keluar dari pintu depan gedung kuno itu. Salah seorang berkata dengan memaki. “Keparat! Laki-laki brewok itu sudah kabur dari tempat ini bersama gadis itu!”
“Kita terlambat!” teriak perwira satunya. “Eh!? apakah yang kau temukan?” tanyanya tiba-tiba ketika melihat kawannya yang menunggu diluar tengah memegangi sehelai kain usang.
Kedua perwira ini segera melompat menghampiri. “Mereka belum jauh! Lihat jejak-jejak kaki itu! Kain usang ini walau sudah usang tapi masih bersih, dan belum lama dicampakkan!” berkata laki-laki perwira yang menemukan kain itu.
“Bagus! Mari kita kejar mereka! Dengan mem-bawa gadis itu si laki-laki brewok itu tak akan da-pat berlari cepat!” kata perwira satunya.
Ketiga perwira Kerajaan ini segera melompat ke punggung kuda masing-masing. Dan tak lama kemudian segera merambas masuk kehutan kecil dimana bekas jejak-jejak telapak kaki itu lenyap. Salah seorang perwira Kerajaan itu menabaskan klewangnya pada sebatang pohon pisang...
Cras! Cras!
Dua kali tabas batang pisang itu roboh berkerosakan. Agaknya perwira satu ini mendongkol sekali karena buruannya telah keburu meloloskan diri. Hingga dia menumpahkan kemarahannya pada batang pisang yang dilewati kudanya.
Warok Sobrah mencekal lengan gadis itu untuk berjalan cepat menyusuri tepi sungai. Sumanti yang sudah menyerahkan nasibnya pada laki-laki brewok itu hanya menuruti saja kemana dia akan dibawa. Dia memilih keputusan ini karena tak mau dijadikan isteri kelima Adipati. Sudah jelas kepergiannya akan dicari oleh orang-orang Adipati.
Dugaan itu memang tidak meleset, karena saat itu tiga perwira Kerajaan memang tengah mencari jejak gadis itu. Bahkan telah mengetahui kalau gadis calon isteri muda Adipati itu dilarikan oleh si laki-laki brewok.
“Kita akan pergi kemana, paman Warok?” tanya Sumanti dengan napas tersengal.
“Kita menyeberangi sungai ini. Disebelah sana ada sebuah rakit yang kusembunyikan...” tapi tiba-tiba laki-laki ini merandek. Langkahnya terhenti. Matanya menatap ke arah air sungai yang kecoklatan, dan mengalir deras.
“Celaka...! Aku lupa kalau hujan besar telah membuat air sungai ini naik dan banjir. Rakit itu sudah pasti hanyut terbawa air deras...!”
“Lalu apa yang kita lakukan?” tanya Sumanti cemas.
Sesaat Warok Sobrah tak menjawab. Tampaknya dia tengah memikir jalan yang terbaik untuk meloloskan diri dari wilayah itu. “Hm, sebaiknya kita kembali ke atas. Lalu menyusuri lereng bukit sebelah timur. Dikaki bukit ada sebuah desa yang kukenal. Kita membeli kuda, dan pergi meninggalkan wilayah ini...!”
“Kau punya uang untuk membeli kuda?” tanya Sumanti.
Mendengar pertanyaan gadis itu Warok Sobrah tersenyum. Lengannya mengeluarkan sebuah buntalan kain sebesar dua kepala dari balik bajunya yang gombrong. “Uang emas ini cukup untuk membeli dua puluh ekor kuda! Bahkan masih tersisa cukup untuk membangun sebuah rumah dengan isinya...!”
Cringng..! Laki-laki brewok ini menepak buntalan kain itu dengan tangan kirinya.
“Ahh.. dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu?” sentak Sumanti dengan mata membelalak.
Warok Sobrah masukkan buntalan itu ke balik bajunya lagi, lalu menyahut. “Aku menemukannya dalam sebuah ruangan dalam gedung kuno itu. Entah milik siapa...! Terpaksa kuambil karena aku memerlukannya. Mungkin dan pasti banyak gunanya dalam perjalanan kita.”
Sumanti tak berkata apa-apa selain tersenyum. Tapi dalam hati dia berkata. “Aneh! Siapa yang menaruh uang sebanyak itu didalam ruangan gedung kuno tersembunyi itu?”
“Cepat, Sumanti! Aku punya dugaan kita tengah dalam pengejaran orang-orang Kerajaan. Setidak-tidaknya orang-orang suruhan Adipati. Karena kemarin malam aku melihat ada dua orang menyelinap pergi dari balik semak belukar. Aku menduga mereka orang-orang Ki Demang Sunggoro yang melacak jejakmu. Kejadian di rumah ayah angkatmu itu pasti sudah diketahui Adipati...!”
Sumanti ulurkan lengannya. Warok Sobrah cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu. Lalu menariknya untuk mendaki jalanan menanjak keatas yang licin. Susah payah mereka merayap naik. Ternyata untuk kembali naik ke atas tak semudah turunnya. Sampai diatas tempat ketinggian itu napas Sumanti tersengal-sengal.
“Ooh...h...h...aku capek sekali...” keluh gadis ini. Warok Sobrah sesaat tercenung, kemudian berkata. “Apakah kau izinkan aku memondongmu?”
Sumanti sesaat terdiam, tapi kemudian mengangguk perlahan. Memang tak ada jalan lain selain itu, karena dia merasa letih luar biasa dan tak sanggup untuk meneruskan langkah kakinya. Tak berayal Warok Sobrah segera memondong gadis itu.
Bersamaan dengan itu telinga laki-laki brewok ini lapat-lapat mendengar suara derap kaki-kaki kuda dikejauhan. Hatinya tersentak, dan tak menunggu waktu lagi segera dia melangkah cepat memasuki hutan kecil itu....
SEORANG PEMUDA berbaju putih berkelebat memasuki sebuah jendela tua yang menjeblak terbuka. Itulah jendela salah satu ruangan gedung kuno yang baru beberapa saja ditinggal Warok So-brah dan Sumanti. Pemuda ini bersembunyi disudut ruangan. Tak lama telinganya mendengar suara seorang wanita berteriak memanggil dikejauhan.
“Nanjar...! Nanjar...! Dimana kau?” Tampak seorang gadis berbaju merah berlari merambas semak belukar. Tapi gadis ini merandek ketika pandangan matanya melihat sebuah bangunan tua di hadapannya.
“Hm, gedung kuno milik siapakah ditempat ter-sembunyi ini?” berkata dara ini dalam hati. Dia melompat kehalaman depan gedung itu. Setelah beberapa saat lamanya memperhatikan, maka gadis ini memastikan bahwa gedung tua tak berpenghuni.
“Huh! Pasti dia bersembunyi digedung kuno ini...” membathin si gadis. Tapi baru saja dia mau melompat masuk, mendadak terdengar bentakan diiringi berkelebatnya sesosok tubuh.
“Tunggu...!”
Tentu saja dia menahan gerakannya, dan balikkan tubuh dengan cepat. Terkejut si gadis baju merah melihat seorang laki-laki berkulit putih berkumis kecil berusia diatas empat pulu-han tahun tahu-tahu berada dihadapannya.
“Hm, siapa kau, anak manis? Apa maksudmu memasuki gedung ini?” bertanya laki-laki yang berpakaian warna gelap itu. Sepasang matanya berkilat dan kelihatan liar menatap gadis berbaju merah ini.
“Aku...”
Akan tetapi baru saja gadis ini mau menjawab mendadak cepat sekali gerakan tangan laki-laki itu menotok dibagian tubuhnya. Karena gerakan orang sangat tak terduga, maka tak ampun gadis ini menjerit kecil, dan roboh dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan. Baru saja gadis itu tergeletak ditanah yang baru mengering, laki-laki ini telah menerkamnya. Bahkan tangannya meremas dibagian dada.
“Keparat! Jahanam!? Lepaskan aku!” teriak dara ini dengan wajah pucat. Dia berusaha menggerakkan lengannya, akan tetapi tenaganya lenyap entah kemana.
“Haha.... katakan apa maksudmu ke tempat ini!” kata laki-laki ini dengan mata liar merayapi sekujur tubuh dara itu. Dalam hati laki-laki ini berkata. “Hm, gadis secantik ini berani kelayapan ditempat sesunyi ini kalau bukan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian rasanya tak mungkin...!”
“Lepaskan aku, keparat! Kau akan menyesal mengganggu diriku!” bentak gadis ini dengan marah, karena terasa lengan laki-laki itu kembali meremas dadanya.
“Heh! Kau berani memakiku! Kau juga akan menyesal, anak manis kalau kau mengetahui siapa aku!” berkata dingin laki-laki ini. “Akulah Adipati Kuncoro Sheto Dening Projo yang berkuasa penuh diwilayah ini!”
Tentu saja penjelasan laki-laki itu yang mem-perkenalkan dirinya membuat si gadis terperangah kaget. “Ah... maafkan kata-kataku, Gusti Adipati. Tapi...”
Belum selesai gadis ini meneruskan kata-katanya, terdengar suara yang menyambung dari arah ruangan dalam gedung kuno.
“Tapi patutkah seorang Adipati bertingkah laku sangat memalukan?”
Bagai disengat kala, laki-laki ini melompat berdiri, dan berpaling. Pandangan matanya segera terbentur pada sesosok tubuh yang berdiri dipintu depan gedung kuno yang sudah tak berdaun pintu lagi.
“Kurang ajar! Rupanya kau si bocah tengik yang tempo hari pernah dihajar oleh orang-orang bawahanku. Ki Demang Renggono...?” walau berkata demikian, namun diam-diam dia terkejut karena tak mengetahui kalau pemuda gondrong itu berada didalam ruangan gedung.
Beberapa hari yang lalu memang anak buahnya ada yang melaporkan tentang munculnya seorang pemuda gondrong, dengan ciri-ciri seperti yang dilihatnya saat itu. Pemuda gondrong itu telah berani terang-terangan membela seorang penduduk yang sudah berkali-kali ditagih uang pembayaran pajak, tapi belum juga membayar.
Tahu-tahu muncul pemuda gondrong yang mirip orang sinting mau membela penduduk yang membandel itu. Tentu saja ketiga orang anak buah Ki Demang menghajarnya hingga sungsang sumbal.
Demikian laporan yang diterima dari salah seorang anak buah Ki Demang kepadanya ketika dia berkunjung ketempat kediaman Ki Demang Sunggoro untuk menjenguk calon isterinya.
Mendengar kata-kata Adipati itu, Nanjar kerutkan kening terheran. Tapi segera dia berkata sambil tersenyum, dan menggaruk tengkuknya. “Tampaknya ceritanya jadi terbalik, sobat Adipati! Kukira anak buah Ki Demang keliru melaporkan...!”
“Keliru apanya bocah tengik?” membentak Adipati ini. Ternyata bentakannya disusul dengan mengirim pukulan keras ke arah batok kepala Nanjar. Tentu saja membuat terkejut si Dewa Linglung, karena tak menyangka kalau akan diserang begitu rupa.
Whuuk!
Sambaran pukulan lewat sejengkal diatas kepala ketika dengan cepat pemuda gondrong ini merundukkan kepala.
Brassssh!
Angin pukulan yang lewat dibelakangnya menghantam tembok bangunan gedung tua yang seketika mengelupas. Nanjar tersentak karena pukulan itu sangat berbahaya. Sadarlah kalau Adipati itu mau melenyapkan jiwanya.
“Bagus! Ternyata kau memiliki ilmu kepandaian juga, bocah tengik!” membentak Adipati. Tapi dalam hati dia sangat terkejut karena pukulan maut yang dilontarkan untuk membungkam mulut pemuda gondrong itu selamanya telah luput.
Dalam hati Adipati ini berkata. “Heh! Bocah tengik ini harus dilenyapkan jiwanya, karena dia telah mengetahui ulahku..! Hm, jangan-jangan dia telah menggeratak didalam ruangan gedung ini...” mendadak Adipati ini teringat dengan tujuannya ketempat itu. “Aku harus segera membereskannya! Lebih cepat, lebih baik!”
Berpikir demikian Adipati Kuncoro segera cabut sebuah tombak pendek berunce biru dari belakang punggungnya. Tanpa membuang waktu laki-laki ini langsung menyerang. Tombak pendek ditangannya meluncur ke arah leher si Dewa Linglung dengan kecepatan kilat.
“Aih! sungguh telengas seranganmu, Adipati!” berkata Nanjar. Mendadak tubuhnya terhuyung-huyung seperti mau jatuh. Akan tetapi gerakan itu justru meluputkan serangan maut Adipati.
Melihat dua kali serangannya lolos, marahlah Adipati Kuncoro. Dengan membentak keras, laki-laki ini menghujani pemuda itu dengan serangan-serangan beruntun. Ujung tombaknya menyambar-nyambar bagaikan seekor ular mematuk.
Diam-diam si Dewa Linglung terkesiap juga melihat serangan lawan yang ganas. Dia terpaksa merubah jurus Langkah Dewa Mabuk dengan jurus Kera Sakti. Tampak tubuh si Dewa Linglung berkelebatan melompat menghindari serangan-serangan maut Adipati Kuncoro.
Akan tetapi Adipati ini segera merubah serangan dengan pukulan dan tendangan. Hal itu tampaknya suatu taktik untuk memancing lawan. Benar saja, si Dewa Linglung terpancing, dengan pukulan-pukulan dan tendangan itu. Dia tak perlu melompat-lompat seperti kera.
Akan tetapi cukup menggunakan jurus-jurus semula, yaitu jurus Langkah Dewa Mabuk. Walau dalam hati laki-laki ini cukup kagum dengan gerakan terhuyung macam orang mabuk itu, tapi dia telah memasang perangkap maut.
Mendadak dia membentak keras, seraya mengirim tendangan kilat ke arah tempat kosong. Tentu saja serangan aneh itu membuat si Dewa Linglung agak terheran. Tapi tahu-tahu gerakan tendangannya berubah memutar berikut berputarnya tubuh Adipati. Nanjar terhuyung ke arah kanan. Lengannya siap menghantam ke arah ujung kaki lawan.
Hal tersebut sudah diperhitungkan. Dia sudah cukup mengelak terus menerus, kini siap melakukan serangan balasan. Tapi yang muncul ternyata bukan ujung kaki, karena cepat kilat Adipati menarik kaki dengan menekuk. Dan satu hantaman tangan kiri menyambar ke lambungnya. Terpaksa Nanjar membuang tubuhnya ke samping kanan. Di saat itulah tiba-tiba menyambar ujung tombak Adipati, meluruk deras ke arah jantung.
“Edan...!?” Nanjar merutuk. Tak ada jalan selain gunakan jurus Naga Melipat Ekor. Mendadak tubuh Nanjar melengkung setengah lingkaran.
Whesss!
Ujung mata tombak lewat lima inci dibawah rusuk. Sedikit kulit dadanya tergores, dan.... Breeet! ujung bajunya terkoyak.
“Ahhh...!” Gadis baju merah tanpa sadar menjerit. Akan tetapi dara ini segera melihat tubuh Nan-jar meletik bagai seekor belalang ke udara...
Ternyata walaupun dalam keadaan rebah ditanah, si gadis baju merah menyaksikan jalannya pertarungan. Dalam hati dia bersorak girang melihat serangan maut Adipati itu kembali luput. Akan tetapi disaat itulah tombak Adipati menyambar keatas.
Nanjar tampaknya sudah menduga serangan lawan. Lengan kirinya siap digunakan untuk menangkis serangan lawan. Namun Nanjar tak menyangka kalau serangan tombak Adipati itu akan berhenti ditengah jalan. Dan... tahu-tahu belasan jarum halus meluncur dari pangkal mata tombak.
Tentu saja serangan tak terduga itu membuat Nanjar tersentak, merasai adanya sambaran halus. Urung menghantam karena melihat serangan tombak terhenti ditengah jalan justru menguntungkan lawan, dan belasan jarum halus itu meluruk tanpa rintangan. Nanjar terkesiap kaget. Tak ada kesempatan lain selain dia gembungkan pipinya untuk meniup!
Beberapa jarum melencong dari sasaran, tapi dua buah jarum menancap juga disebelah kanan bahu. Jarum lainnya merambas lewat menembus baju gombrongnya yang melambai dibagian bawah. Dewa Linglung mengeluh. Tubuh sebelah kanannya terasa kesemutan.
Dan pada tempat yang tertancap jarum terasa gatal dan panas. Dengan gerakan salto Nanjar jejakkan kakinya ke tanah. Akan tetapi tampak tubuhnya langsung terguling roboh.
“Luar biasa! Ternyata cukup memeras tenaga untuk melumpuhkan bocah tengik ini...!” mendesis Adipati. Tapi wajahnya tampak menyeringai girang. “Bagus! Aku harus segera mengirim jiwanya ke Akhirat!” berkata dalam hati Adipati Kuncoro. Tubuhnya berkelebat melompat... Ujung tombak pendeknya meluncur deras untuk menamatkan riwayat pemuda itu.
Akan tetapi didetik itu terdengar teriakan si gadis baju merah. “Tahan! Jangan bunuh dia...!“ Tentu saja Adipati ini segera menahan gerakannya. Dia berpaling menatap gadis yang rebah terlentang ditanah itu dengan tatapan mata berkilat.
“Haha... mengapa kau melarang aku membunuhnya?” tanya Adipati.
Tampak sepasang mata si gadis baju merah berkaca-kaca. Dia menyahut dengan suara bercampur isak. “Tidak malukah kau sebagai seorang Adipati membunuh orang yang sudah tak berdaya..?”
Adipati Kuncoro mendenguskan napasnya dihidung. Lalu berpaling memandang ke arah tubuh pemuda berbaju putih itu yang tertelungkup lima tombak di rerumputan tak bergerak.
“Hm, baiklah! Aku menunda membunuhnya. Toh, dia tak akan lama bertahan dari racun berbisa dalam jarum mautku...!” ujar laki-laki ini. Kini dia menatap gadis itu dengan tatapan liar. Yang ditatap justru menangis sesenggukan. Dalam hati gadis ini menjerit pilu.
“Nanjar...! Oh, seandainya kau benar-benar tak tertolong jiwamu, pastilah aku segera akan menyusulmu ke Alam Baka...”
“Sudahlah, tak perlu kau tangisi nasib kawanmu itu. Eh, kawanmu atau kekasihmu?” kata Adipati ini seraya berjongkok didepan si gadis baju merah. Lengannya terjulur menggamit dagu si gadis.
Dara ini gerakkan kepalanya menghindar. Napasnya memburu. Dia sudah mendapat pirasat buruk, tak nantinya Adipati itu membiarkan dia begitu saja.
“Lepaskan aku Gusti Adipati! Apakah kesalahanku?” kata gadis ini dengan suara ketus. Sikap kurang ajar Adipati itu membuat dia muak.
“Aku akan melepaskanmu, tapi nanti, tidak sekarang...! Nah, kau tunggulah disini!“ seraya menyahut, laki-laki ini menggerakan jarinya menotok urat suara dipangkal leher gadis itu.
Lalu berkelebat masuk ke dalam ruangan gedung. Sesaat dia menatap pada pintu gedung yang jebol berantakan. Dia mengerutkan keningnya. Lalu melompat masuk. Adipati Kuncoro berkelebat memasuki ruangan disebelah dalam. Tapi segera merandek untuk memperhatikan bekas-bekas api unggun.
Lalu menatap ke arah pakaian usang yang ber-ceceran dilantai. Hatinya semakin tersentak. Tak berayal segera dia melompat masuk kesalah sebuah ruangan kamar paling ujung. Dalam ruangan inipun terdapat sebuah lemari lapuk yang penuh pakaian usang. Hatinya lega melihat tempat itu sepertinya utuh tanpa disentuh tangan manusia. Tampak bibir laki-laki ini menyunggingkan senyuman.
Cepat dia beranjak melangkah mendekati lemari itu. Ternyata lengannya tak menjamah tumpukan pakaian usang pada lemari yang tak berpintu itu. Melainkan merogohkan tangannya ke belakang lemari. Ketika dia mengeluarkan tangannya lagi, ternyata telah menggenggam sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Cepat dia memeriksa peti itu dengan membuka tutupnya.
Melihat sebuah buntalan kain yang masih utuh dalam peti kecil itu, segera dia menutupnya lagi. Kemudian membungkus peti itu dengan kain usang yang diambil dari rak lemari. Lalu diselipkan dibalik bajunya. Tak lama dia telah berkelebat melompat keluar dari ruangan itu. Terdengar suaranya mendesis.
“Bagus! Untunglah orang yang bermalam digedung kuno ini tak menggeradah ruangan kamar itu. Haha... seandainya dia menggeradah, toh tak akan menemukan dimana aku menyimpan uang emas ini...” Adipati Kuncoro tersenyum sendiri. Lalu berkelebat keluar dari dalam bangunan tua itu.
Setiba diluar gedung, dia masih melihat gadis berbaju merah itu terlentang ditempat semula. Akan tetapi ketika menatap ke arah dimana pemuda gondrong itu menggeletak tertelungkup, ternyata pemuda itu telah lenyap. Akan tetapi Adipati ini hanya tersenyum sinis. Dia berkata sendiri.
“Haha.... seandainya kau bisa kabur saat ini, toh tak akan sempat tertolong jiwamu...!”
Tanpa membuang waktu segera dia memondong gadis yang tergeletak itu dan menyampirkan tubuh dara berwajah cantik itu keatas pundak. Tak lama dia segera membawanya meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.
Kemanakah tujuan Adipati Kuncoro? Ternyata dia menuju ke arah timur dimana terbentang hu-tan lebat dikaki bukit. Sambil berjalan cepat merambas semak belukar benaknya terus memikir. Dia berkata dalam hati.
“Saat ini tampaknya kedudukanku mulai terancam... Baru tadi pagi ada laporan ke Kadipaten, bahwa telah terjadi perampokan dan pembunuhan di rumah Ki Demang Sunggoro. Aku kurang perhitungan...! Tampaknya penduduk mulai merasa tertekan. Aku telah menyuruh tiga orang perwira untuk mencari jejak Sumanti yang minggat dari rumah ayahnya. Edan! Ada berita gadis itu dilarikan seorang laki-laki brewok! Siapakah dia? Hm, jangan-jangan perampokan dan pembunuhan itu di-dalangi si brewok itu...”
Mendadak Adipati Kuncoro teringat sesuatu. Dia merandek. “Hm, aku sepertinya melihat jejak tapak kaki-kaki kuda dihalaman gedung kuno itu... Apakah ketiga orang perwira suruhanku itu melacak jejak anak gadis Ki Demang ketempat rahasia itu?” bertanya-tanya Adipati ini dalam hati. Tapi segera dia mempercepat langkahnya...
Tak jauh dari mulut hutan tampak sebuah pondok. Tampak bibirnya tersenyum menyeringai. Ka-rena dipondok kosong itulah dia akan melepaskan hasratnya. Pondok itu tempat tak terawat. Pagar dibagian depan roboh, dan rumput menjalar sam-pai ke tiang rumah. Tampaknya pondok itu telah lama kosong ditinggalkan pemiliknya.
Adipati Kuncoro letakkan bebannya diatas balai-balai bambu tanpa alas. Tampak matanya liar menatap gadis yang terlentang dibalai-balai itu. “Haha... setelah selesai urusanku, segera kukembali ke Kadipaten untuk melihat keadaan. Santapan ini kalau kubiarkan sungguh sayang sekali. Entah anak siapakah gadis ini? Tampaknya dia seorang gadis persilatan. Bocah tengik yang saat ini sudah mampus itu tentu kekasihnya...” berkata Adipati dalam hati.
Adipati Kuncoro segera mempersiangi pakaian gadis itu satu persatu hingga polos. Matanya menjalari sekujur tubuh dihadapan-nya. Napasnya mulai memburu. Kemudian meloloskan tombak pendeknya, dan ditaruh disisi balai-balai.
Tak berayal segera dia membuka bajunya. Terlebih dulu dia mengeluarkan bungkusan kain berisi kotak dari perak itu, lalu menutupinya dengan bajunya. Ronde berikutnya dia memerosotkan celananya. Dengan mendengus bagai seekor kerbau liar, dia merengkuh tubuh polos memutih yang menggairahkan itu...
Akan tetapi mendadak Adipati ini membelalakkan matanya lebar-lebar. Bahkan hampir-hampir kedua biji matanya melejit dari kelopak mata. Mulutnya ternganga, dan dia berteriak kaget, seraya melompat bagai dipagut ular.
Apakah yang dilihatnya? Ternyata yang direngkuhnya dengan hasrat dan hawa nafsu berkobar-kobar itu tak lain dari sebongkah batang pisang yang kulitnya terkelupas hingga tampak putih bersih.
“Gila...! Mimpikah aku...? Mengapa berubah jadi b...bat...batang pis...pis...a...n...g...???”
Adipati Kuncoro melompat keluar dari pondok itu dengan wajah merah padam, dan terasa panas kulit mukanya. Seumur hidup barulah dia mengalami hal seperti ini. Dalam hati dia memaki dan meruntuk habis-habisan pada orang yang telah mempermainkan dia. Tapi diam-diam benaknya memikirkan. Siapakah orang yang memiliki ilmu sihir yang sedemikian hebatnya, hingga menipu pandangan matanya?
“Apakah si bocah tengik bertampang dogol itu yang mempermainkan aku? Hm, rasanya mustahil! Pasti ada seseorang yang diam-diam telah menolong pemuda gondrong itu, lalu menyihir batang pisang hingga menyerupai gadis itu. Kemudian membawa pergi disaat aku memasuki gedung kuno...”
“Edaann...! Tiba-tiba Adipati Kuncoro berteriak marah. Matanya mendelik lebar ketika melihat isi kain buntalan yang berada dalam peti perak ternyata bukan berisi uang emas, melainkan batu-batu kerikil. Dengan geram dibantingnya kain buntalan berisi bebatuan itu ke tanah lumpur hingga melesak lenyap. Sialnya cipratan lumur itu menyemprot ke mukanya dan mengotori pakaiannya.
“Haram jadah! Sial dangkalan!” memaki Adipati Kuncoro.
Karena geramnya, kotak perak itu ditendangnya hingga terpental jauh. Akan tetapi tampak mulutnya menyeringai menahan sakit pada ujung kakinya. Karena kotak perak itu berpinggiran tajam, tentu saja telah melukai ujung jari-jari kakinya. Dengan muka celemongan lumpur dan berjalan terpincang-pincang Adipati Kuncoro yang bernasib sial ini meninggalkan tempat itu.
Untung saja tak ada yang mengetahui kejadian itu. Kalau saja ada yang melihat Adipati yang berjalan terpincang-pincang sambil menyeringai dengan muka bercelemongan, pasti akan tertawa terpingkal-pingkal. Karena saat itu Adipati Kuncoro tak ubahnya seperti seekor kera yang baru keluar dari kubangan lumpur.
Dewa Linglung berlari cepat diikuti si gadis berbaju merah dibelakangnya. Tampak Nanjar berlari sambil memegangi bahunya yang sebelah kanan. Wajahnya agak menyeringai seperti menahan sakit. Lengan sebelah kanannya tampak menggantung seperti lumpuh. Gadis baju merah membuntuti si Dewa Linglung dengan perasaan cemas.
Kira-kira dua ratus tombak dari gedung kuno itu, Nanjar segera memperlambat larinya. Kemudian berhenti dibawah sebatang pohon rindang. Nanjar jatuhkan pantatnya direrumputan. Gadis baju merah memburunya.
“Nanjar...! Kau... kau terkena jarum beracun itu...?” bertanya gadis ini. “Oh, apa yang harus kulakukan? Aku tak mau kau...kau..mati...!”
Nanjar tak menyahut, walau dalam hati dia tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. Kelumpuhan sebelah lengan Nanjar adalah karena dia telah menotok jalan darah dibeberapa bagian tubuhnya untuk mencegah racun menjalar.
Nanjar membuka sebahagian bajunya, hingga tampak racahan bergambar Naga di bagian dadanya yang bidang. Diam-diam gadis baju merah ini memperhatikan racahan itu. Keningnya agak mengerut. Dia mau mengucapkan sesuatu.
Akan tetapi segera mengurungkan, karena melihat pemuda itu tampak menekan jari-jari tangannya pada sisi bagian bawah bahu kanannya dimana terdapat lingkaran warna merah kehitaman. Disitulah tempat tertanamnya jarum berbisa yang menancap ke dalam daging.
Sebatang jarum berwarna hitam sebesar ujung lidi tampak tersembul keluar. Nanjar dekatkan mulutnya pada jarum yang mencuat keluar itu. Lalu menggigit dengan giginya. Dan menjatuhkannya keatas rumput. Kemudian kembali memencet dibagian sebelah kanan dekat ketiak. Dibagian sekitar bahu dan dada sebelah kanan Nanjar me-mang ada terdapat dua buah lingkaran berwarna merah kehitaman.
Sebatang jarum kembali muncul mencuat. Kembali Nanjar menggigitnya dengan gigi, lalu menjatuhkannya ke rumput. Gadis baju merah tak berani menjumput jarum yang berlumur darah menghitam itu. Sebentar dia menatap ke arah dua buah jarum diatas rumput, lalu menatap ke arah dua buah luka didada kanan pemuda itu. Tampak dari bekas tercabutnya jarum itu mengalir darah kental berwarna kehitaman.
Walau hatinya bergidik melihatnya, namun dalam hati si gadis ini telah merasa lega, dan girang karena dua buah senjata rahasia mengandung maut itu berhasil tercabut dari tubuh sang pemuda pujaannya. Tiba-tiba gadis baju merah ini bangkit berdiri. Lalu membalikkan tubuhnya. Dan...
Weeek! Weeek! Breeeeet!
Apa yang dilakukannya? Ternyata dia telah merobek pakaian dalamnya. Tentu saja membuat si Dewa Linglung tertegun menatap. Ketika gadis baju merah itu membalikkan tubuhnya, tampak belahan payudaranya yang membuntal padat itu tersembul sebagian.
Karena yang disobek adalah baju lapisan dalam, tentu saja pakaian yang menutup bagian terlarang gadis itu terbuka, dan gadis baju merah ini karena tergesa-gesa terlupa mengancingkan bajunya lagi.
Mata si Dewa Linglung mau tak mau menatap pemandangan indah itu. Tapi segera dia cepat-cepat palingkan wajahnya, menghijrahkan pandangan matanya ke arah dua batang jarum yang tadi dijatuhkan ke atas rumput. Lalu tangannya menjulur untuk menjumput dua batang jarum maut itu.
“Aku baru ingat kalau membawa obat ramuan anti racun!” ujar gadis ini seraya merogohkan lengannya ke kantung celana yang tersembunyi di sebelah dalam. Dari dalam kantung celana itu dike-luarkan sebuah lipatan kain. Lalu cepat dia melompat ke belakang si Dewa Linglung.
Gadis ini segera membuka lipatan kain kecil itu. Ternyata berisi serbuk ramuan berwarna kehi-jauan. Diambilnya sejumput, lalu di balurkan pada lubang disekitar luka. Dua kali dia berturut-turut membalurkan obat ramuan anti racun itu, segera dia dengan cepat membalut luka itu dengan sobekan kain bajunya.
Begitu cekatan sekali pekerjaan si gadis baju merah. Hingga selang tak lama dia telah selesai membalut dengan rapih. Nanjar menatap gadis itu dengan tatapan matanya yang berkilat. Ternyata gadis itu justru tengah menatapnya dengan bibir tersenyum. Bahkan baru saja gadis ini menarik napas lega. Tentu saja kedua pasang mata mereka saling bentrok. Nanjar merasa darahnya berdesir cepat.
Senyum gadis itu terlalu manis. Bibirnya yang tipis berwarna merah delima yang setengah merekah itu membuat dia terkagum menatap. Dan ketika senyum gadis itu melebar, tampak sederet gigi yang putih rata membuat si Dewa Linglung sejenak terkesima. Mau tak mau dia memang mengagumi kecantikan gadis itu.
Melihat Nanjar hanya terpaku bagai patung, da-ra ini mendadak berkata dengan wajah berubah cemberut. Tapi justru makin cantik kelihatannya.
“Kau... kau menatapku begitu rupa, apakah kau tak senang aku membalut lukamu?”
“Eh..!? Bu., bukan begitu, adik manis... Tapi... tapi...” sahut Nanjar tergagap.
“Tapi...tapi apa? kau selalu berusaha menghindariku. Telah beberapa kali kau meninggalkan aku. Kalau kau memang tak senang, biarlah aku pergi...!” kata gadis ini. Mendadak wajahnya berubah seperti orang berduka. Dan tampak sepasang mata dara ini berkaca-kaca. Mendadak dia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
“Eh...!? Tu...tunggu...!” teriak Nanjar seraya bangkit berdiri. Jarum yang berada ditangannya dilemparkan ke semak belukar. Dan dia melompat mengejar gadis baju merah yang berlari cepat sambil terisak-isak itu.
“Tunggu, adik manis...! Dengar penjelasanku!” teriak Nanjar.
“Tak perlu kau menjelaskan lagi! Aku sudah tahu kau tak akan sudi bersahabat denganku..!” menyahut si gadis tanpa menoleh. Dan sebentar saja sosok tubuh gadis baju merah itu semakin menjauh, dan lenyap dibalik bukit.
Nanjar tak mengejar. Sesaat dia berdiri terpaku. Lalu merapihkan bajunya dengan tatapan mata masih terarah ke tempat gadis itu lenyap. Kemudian lengannya menggaruk tengkuk dengan menghela napas.
“Biarlah dia pergi...! Mudah-mudahan saja dia sadar, bahwa dia telah bertindak salah. Dan kembali pulang untuk menamatkan pelajarannya. Salah-salah Tumenggung Mahesa bisa menuduhku melarikan anak gadisnya dari rumah perguruan...” menggumam si Dewa Linglung. Lalu segera memutar tubuh, dan berkelebat pergi dari tempat itu.
–––––––– TUJUH WAROK SOBRAH bergulingan ditanah ketika klewang-klewang panjang berkilatan itu merencah tubuhnya. Akan tetapi senjata maut itu terus memburu nyawanya. Terpaksa dia mencabut ke-risnya untuk melindungi diri dan menangkis serangan senjata-senjata ketiga perwira Kerajaan itu....
Sumanti hanya terpaku memandang dengan wajah pucat pias. Jantungnya melonjak keras. Dia sangat mengkhawatirkan nasib laki-laki brewok itu.
Crass...!
Satu tabasan klewang mengenai pundak kirinya. Untunglah hanya menyerempet sedikit kulit, tak sampai menoreh terlalu dalam. Tapi cukup membuat Warok Sobrah meringis menahan nyeri. Dan darah mengucur dari lukanya. Satu tebasan klewang dari sebelah kanan membuat dia terpana.
Sementara dari arah kiri perwira satunya mengayun klewang untuk menabas ke arah leher. Trang! Detik yang gawat itu masih sempat di-pergunakan Warok Sobrah untuk menangkis dengan kerisnya. Akan tetapi tabasan perwira satunya....?
Cras!
Tabasan itu nyaris memutuskan urat lehernya. Untunglah dia masih sempat menghindar dengan menggulingkan tubuhnya kesamping. Tabasan klewang mengandung maut itu lewat disamping kepala. Benda tajam itu menghunjam ketanah memapas rerumputan.
Gadis bernama Sumanti ini tak terasa menjerit ngeri dan menutupi wajahnya. Seperti sudah terbayang dalam benaknya kepala si laki-laki jembros itu terpisah dari tubuhnya.Kesempatan baik sebelum perwira itu mengangkat klewangnya segera dipergunakan Warok Sobrah untuk melayangkan kakinya menendang pangkal lengan si perwira.
Perwira itu roboh terguling. Klewangnya terlepas dari tangannya. Warok Sobrah segera membarengi gerakannya dengan melompat berdiri. Matanya menatap ke arah salah seekor kuda dari ketiga perwira Kerajaan itu yang tak jauh berada didekatnya. Selintas dia terniat di benaknya untuk melompat ke punggung kuda, dan melarikan diri. Tapi mendadak dia urungkan niatnya ketika teringat pada gadis itu.
“Tidak! Tak seorangpun kuperbolehkan menyentuhnya...! “ mendesis laki-laki ini. Di saat itulah dua perwira Kerajaan kembali menerjangnya dengan tusukan dan tabasan klewang...
Dengan menggerung keras, laki-laki ini terpaksa menangkis dan melompat menghindar serangan. Namun serangan kedua perwira itu tiada putusnya. Bahkan semakin gencar menyerang dengan tabasan klewang yang menderu-deru dari kiri dan kanan. Tampaknya perwira-perwira Kerajaan itu sangat bernapsu sekali untuk melenyapkan nyawanya. Itu disebabkan karena mereka telah mengetahui siapa adanya laki-laki itu.
“Haha... menyerahlah kau Warok Sobrah! Atau terpaksa kami akan mengantar nyawamu ke Neraka!” berkata salah satu perwira yang bernama Gantar Mangu. Dia adalah bekas seorang kepala prajurit yang diperbantukan pada Tumenggung Mahesa sebelum diperbantukan pada Adipati Kuncoro.
Tentu saja dia mengenal siapa laki-laki jembros itu. Karena beberapa bulan yang lalu dalam suatu peristiwa perampokan yang dilakukan oleh Warok Sobrah diwilayah utara, perwira ini memergoki perbuatannya. Sayang saat itu Warok Sobrah berhasil melarikan diri dalam penggerebekan yang dilakukan oleh Tumenggung Mahesa untuk menjebak laki-laki jembros itu.
Nama Warok Sobrah yang bergelar si Begal dari Gunung Kidul sudah tidak asing lagi ditelinga orang-orang Kerajaan. Dengan berhasilnya menangkap hidup-hidup atau membunuh dan membawa kepala Warok Sobrah, tentu hadiah besar dari Baginda Sultan Pekik Hadiwijoyo sudah menanti.
Oleh sebab itulah perwira-perwira Kerajaan itu terus merangsak dengan tabasan-tabasan klewangnya yang ganas. Ternyata ketiga perwira itu adalah perwira-perwira Kerajaan kelas satu. Tentu saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Hingga sukarlah bagi Warok Sobrah untuk melepaskan diri dari kepungan ketat, walaupun hanya dua orang perwira yang saat itu dihadapinya.
Sementara itu perwira yang tadi kena tendang pangkal lengannya sudah melompat bangun berdiri. Segera dia menjumput klewangnya yang tertancap ditanah. Akan tetapi mendadak mata perwira ini melihat sebuah kain buntalan menggeletak direrumputan tak jauh dari klewangnya yang menancap ditanah.
Tentu saja juluran tangannya membelok, dan menjumput benda itu terlebih dulu. Mendadak hati perwira satu ini jadi berdebar. Cepat ia membuka kain buntalan kecil yang besarnya kira-kira dua kepalan tangan itu. Tentu saja sepasang matanya seketika membelalak melihat isi kain buntalan itu adalah uang emas. Tak pelak lagi benda itu pasti terjatuh dari sela baju Warok Sobrah si laki-laki brewok itu disaat tubuhnya berguling-guling menghindari serangan.
Menyeringai girang perwira ini. Cepat dia menyelipkan dalam kantung bajunya sebelah dalam. Sementara matanya menatap ke arah pertarungan. Tampak Warok Sobrah masih tetap bertahan mati-matian menghadapi serangan gencar kedua perwi-ra kawannya.
Perwira ini cepat memungut klewangnya yang tertancap ditanah. Mendadak dia teringat pada gadis itu. Matanya segera mencari-cari dimana gadis yang dilarikan Warok Sobrah. Segera saja ia melihatnya. Ternyata Sumanti tengah berdiri di dekat semak belukar dengan wajah pucat dan pipi bersimbah air mata.
Tentu saja Sumanti melihat perwira itu memungut kain buntalan yang tercecer dari dalam baju Warok, dan melihat perwira itu membukanya, lalu memasukkan dalam sela bajunya. Hatinya tersentak ketika beradu tatap dengan mata perwira itu. Tahu-tahu perwira itu melompat ke arahnya. Pucat pias seketika wajah gadis ini.
Akan tetapi dengan tersenyum perwira itu berkata. “Jangan takut, nona...! Kami datang untuk menolongmu dari tangan penjahat. Kini kau sudah selamat. Tak lama lagi kedua kawanku tentu akan meringkus si Begal dari Gunung Kidul itu, atau mengirim nyawanya ke Akhirat...!”
“Tapi... tapi...” berkata Sumanti dengan wajah semakin pias memucat.
“Mengapa nona? Apakah kau tak senang kami menolongmu?” tanya perwira ini. Sambil berkata mata perwira ini menjalar menatap bagian-bagian tubuh gadis dihadapannya. Tampaknya perwira ini selain mata duitan juga mata keranjang! Tiba-tiba saja lengannya telah terlulur menangkap pinggang gadis itu.
Tentu saja Sumanti tersentak kaget karena ta-hu-tahu lengan perwira itu telah memeluk ping-gangnya. Dia berusaha meronta untuk melepaskan diri sambil menjerit keras. Akan tetapi suaranya tertahan karena dengan cepat lengan perwira itu telah menekap mulutnya.
Perwira ini bekerja cepat. Setelah memungut klewangnya yang tadi dilepaskan karena lengan-nya digunakan untuk menekap mulut dara cantik itu, segera dia menyeret tubuh Sumanti mendekati kuda tunggangannya.
Sumanti tak berdaya dalam himpitan tangan laki-laki kekar itu. Bau keringatnya saja yang keluar dari ketiak perwira itu sudah menusuk hidung, dan hampir-hampir membuat dia pingsan. Sebelum menaikkan keatas kuda, terlebih dulu dia menyumpal mulut gadis itu dengan sobekan baju kebaya panjang dibagian dada si gadis. Sesaat matanya membeliak membinar melihat tersembulnya sepasang payudara yang membuntal padat.
Tapi dia tak dapat berlama-lama untuk berada ditempat itu. Dengan menelan ludah cepat dia melompat terlebih dulu keatas punggung kuda, sementara lengannya yang sebelah masih tetap mencekal pergelangan tangan si gadis. Klewangnya telah terlebih dulu dimasukkan dalam serangka dipinggang. Kemudian segera menarik tubuh gadis itu untuk dinaikkan ke punggung kuda.
“Haha...beres! Aku harus segera angkat kaki dari sini! Dan., tak perlu lagi aku kembali ke Kadipaten. Dengan uang emas sebanyak ini dan seorang gadis cantik yang menemaniku, aku bisa hidup senang...! Uang sebanyak ini tak akan kudapatkan seumur hidupku. Hanya orang bodohlah yang tak memanfaatkan kesempatan sebaik ini...” berkata dalam hati si perwira.
Di saat dia menghentakkan kakinya diperut kuda untuk segera meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Warok Sobrah menggembor keras. “Sumantiiiii....!?”
Ternyata Warok Sobrah mendengar suara teriakan gadis itu. Dan melihat gadis itu dalam pelukan salah seorang perwira Kerajaan. Akan tetapi dia tak ada kesempatan untuk meloloskan diri dari kepungan dua perwira Kerajaan itu. Melihat Sumanti telah berada diatas punggung kuda dan siap dilarikan oleh perwira itu, laki-laki brewok ini menggembor keras.
“Haha... biarkan gadis itu diantarkan ke Gusti Kanjeng Adipati! Kau boleh menyusulnya setelah nyawamu terbang ke Akhirat!” berkata Gantar Mangu seraya mempergencar serangannya. Laki-laki perwira ini tadi sempat melirik ke arah perwira kawannya yang melarikan kuda dengan membawa gadis itu.
Karena dalam keadaan kalut melihat Sumanti dilarikan perwira itu. Warok terlengah menghin-darkan diri dari tabasan klewang perwira yang berada dibelakangnya.
Crass...! Brret!
Warok Sobrah mengerang kesakitan. Dia jatuhkan tubuhnya berguling ditanah. Laki-laki ini merasakan perih dibagian punggungnya. Dan bagian depan bajunya terkoyak oleh tabasan klewang perwira satunya. Akan tetapi dia melompat berdiri dengan terhuyung. Tampak baju bagian belakangnya juga terkoyak lebar.
Darah mengalir dari luka memanjang yang menoreh kulit dan mengiris daging di bagian punggungnya. Saat itulah Warok tersentak ketika teringat sesuatu. Lengan meraba kebalik bajunya yang terkoyak. Wajahnya mendadak berubah pucat.
“Celaka...! Uang emas dalam buntalan kain itu lenyap! Pasti terjatuh...” berkata Warok dalam hati. Tapi saat itu tampaknya Warok Sobrah sudah tak memperdulikan uang emas itu lagi. Pikirannya tertuju pada Sumanti.
“Aku harus mengejar perwira itu! Takkan kubiarkan seorangpun menyentuh tubuhnya!” mendesis laki-laki brewok itu. Warok Sobrah memang harus cepat mengambil keputusan, karena dilain pihak nyawanya diinginkan oleh perwira Kerajaan itu. Bahkan dengan membentak keras dua perwira itu kembali mener-jang sambil mengayunkan klewangnya.
“Warok Sobrah! Serahkan jiwamu!”
Trang! Whuuut!
Dua tabasan klewang itu menderu dan dua arah berlawanan. Sambaran yang menabas ke pinggang dielakkan dengan membuang tubuhnya ke samping kanan, sambil gerakkan kerisnya menangkis tusukan deras yang mengarah ke jantungnya.
“Keparat! Kalian benar-benar menginginkan jiwaku? Majulah kalian kunyuk-kunyuk Kerajaan!” menggembor keras Warok Sobrah. Dadanya tampak berombak-ombak, sepasang matanya menatap bengis kedua perwira itu. Tiba-tiba menerjanglah Warok Sobrah dengan serangan membabi buta.
Kerisnya menyambar-nyambar menimbulkan suara bersiutan. Serangan yang dibarengi dengan ke-marahan meluap-luap itu ternyata membuat ke-dua perwira ini tersentak kaget. Tampaknya si laki-laki jembros itu sudah tak menghiraukan jiwanya lagi. Akan tetapi justru hal itu membuat kedua perwira itu terkejut setengah mati, karena serangan Warok Sobrah yang kalap itu sangat membahayakan jiwa mereka.
Kini keduanyalah yang terdesak hebat. Satu jeritan ngeri terdengar ketika keris laki-laki brewok itu menghunjam dijantung salah satu dari kedua perwira Kerajaan itu. Tak ampun lagi perwira itu roboh terjungkal, dan menggelepar merenggang nyawa. Lalu tewas seketika.
Gantar Mangu tersentak kaget. Nyalinya seketika menjadi ciut melihat kawannya tewas kena tikaman keris laki-laki brewok itu. Dia melompat mendapat kudanya untuk melarikan diri. Baru saja dia membedal binatang tunggangannya untuk angkat kaki, tiba-tiba perwira Kerajaan ini menjerit parau lalu jatuh tengkurap diatas kuda.
Ternyata punggungnya tertembus klewang yang dilontarkan Warok Sobrah. Kuda itu terus membedal lari dengan meringkik panjang. Disisi lereng bukit beban dipunggungnya terlepas. Tubuh perwira yang telah tak bernyawa itu terguling ke bawah lereng.
Warok Sobrah dengan cepat melompat ke punggung kuda milik si perwira kerajaan. Lalu membedalnya dengan cepat untuk mengejar gadis yang dilarikan itu....
ALANGKAH TERKEJUTNYA Adipati Kuncoro ketika melihat keadaan digedung Kadipaten telah dijaga ketat oleh para perwira Kerajaan. Tampak berdiri di altar pendopo Senopati Tohpati dengan wajah tampak mengelam seperti tak sabar menunggu yang ditunggu kemunculannya.
Dihalaman gedung Kadipaten terlihat Tumenggung Mahesa yang sedang bercakap-cakap dengan seorang gadis berbaju merah. Pucatlah seketika wajah Adipati Kuncoro, melihat gadis baju merah itu adalah gadis yang baru beberapa saat yang lalu telah ditotoknya di depan gedung kuno ditengah hutan tersembunyi. Dan ketika dia teringat pada batang pisang, seketika wajahnya berubah merah padam.
“Linggar Wati! Lain kali kau tak kuizinkan meninggalkan padepokan sebelum kau menamatkan pelajaranmu...! Untung saja pendekar muda itu berhasil menyelamatkan dirimu. Jangan sementang kau berguru pada Nyi Soko Murti yang bibimu sendiri, hingga kau menjadi bengal dan sukar dibimbing! Padahal semua itu untuk kepentingan dan kebaikan dirimu sendiri. Wajarlah kalau bibimu bersikap keras. Ketika kau lari dari padepokan tanpa sepengetahuannya, bibimu telah menemuiku di Kota Raja dan melapor padaku...!" Hm, bagaimanakah keadaan luka pendekar muda itu?”
Adipati Kuncoro mendengar suara Tumenggung Mahesa yang berbicara pada si gadis baju merah.
“Aku... aku telah membalut lukanya, ayah...! Dan sebelumnya telah kububuhi serbuk anti racun. Untunglah aku membawanya. Tampaknya keadaannya sudah membaik, karena dua buah jarum mengandung racun itu sudah berhasil tercabut keluar. Tapi...tapi...” Gadis baju merah yang bernama Linggar Wati ini tak meneruskan kata-katanya, karena seketika wajahnya berubah seperti mau menangis.
“Hm... tapi kenapa, anakku...? Apakah yang telah terjadi?” bertanya Tumenggung Mahesa melihat perubahan wajah anak gadisnya.
“Aku... aku benci dia, ayah...! Dia... dia telah menyakiti hatiku!” menyahut Linggar Wati dengan suara bercampur isak. Tampak sepasang matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
“Menyakiti hatimu? Hm, aku tak mengerti... bukankah dia telah menyelamatkan dirimu dari napsu rendah si Kuncoro itu?”
Linggar Wati mengangguk. Lalu sahutnya dengan wajah cemberut. “Aku telah ucapkan terima kasih atas pertolongannya, tapi dia tak mengucapkan terima kasih ketika aku membalut lukanya...”
“Haih...! Mengapa kau merisaukan hal sekecil itu, anakku...?” menukas Tumenggung Mahesa sambil tersenyum, seraya mencekal pundak anak gadisnya yang manja dan bengal itu. “Sudahlah! mengucapkan atau tidak tak menjadi masalah. Apakah kau ikhlas menolongnya?”
“Tentu saja, ayah...!” sahut Linggar Wati sambil menunduk.
“Nah! Menolong orang dengan ikhlas adalah perbuatan yang sangat terpuji. Dan perbuatan yang terpuji adalah tak mengharapkan imbalan, walaupun yang kau tuntut hanyalah berupa ucapan terima kasih. Kukira walaupun pemuda pendekar gagah itu tak mengucapkannya, tapi dalam hatinya dia sangat berterima kasih padamu...!
"Tahukah kau, anakku? Sampai saat ini ayahmu belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Dia pernah menolongku dari bahaya maut beberapa hari yang lalu. Ketika kudaku terperosok akibat tanah longsor. Kuda tungganganku mati terhempas ke dasar jurang dalam.
Untunglah disaat tubuhku melayang ke mulut jurang lenganku berhasil menangkap akar gantung yang tumbuh disisi jurang. Akan tetapi aku tak dapat naik, sementara dibawah maut siap menanti. Kalau tak muncul pendekar muda itu yang menolongku, tak tahulah bagaimana nasibku... Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, ternyata pendekar muda itu telah berlari pergi!”
Tentu saja penuturan singkat ayahnya membuat gadis ini terpaku, dan tersipu. Tumenggung Mahesa menepuk-nepuk pundak anak gadisnya. Lalu bertanya lagi. “Nah! Begitu perlukan sebuah ucapan terima kasih?”
Linggar Wati menggeleng sambil tersenyum. Dan menyeka air matanya.
“Kau masih membencinya?” tanya lagi Tumenggung Mahesa.
Gadis ini menggeleng, tapi segera menyahut dengan tergagap. “Sebenarnya... sebenarnya bukan ucapan te... terima kasih itu yang aku membencinya ayah... Tapi... tapi aku benci karena dia tak mau bersahabat padaku!”
“Haha... aku tahu watak pendekar muda itu, anak manis! Dia tahu kau pergi diam-diam dari padepokan tanpa setahu gurumu. Mana sudi dia mengajak berkawan seorang gadis bengal macam kau?” ujar Tumenggung Mahesa.
“Maafkan aku, ayah...! Aku yang salah...!” Akhirnya Linggar Wati mengakui kesalahannya. Tampak wajahnya semakin menunduk. Tapi ayahnya memujinya sambil membelai rambutnya penuh kasih sayang.
“Aku senang mendengar pengakuanmu yang jujur. Haih! Lagi-lagi kita telah berhutang budi pada pendekar itu. Hampir saja aib menimpa dirimu. Perbuatan Kuncoro sudah melebihi batas. Dia tak patut menjadi seorang Adipati. Saat ini kita tengah menanti kedatangannya untuk menangkap manusia sesat itu! Semua kejahatannya telah terbongkar.
Tidak saja dia melakukan pemerasan pada penduduk, tapi juga telah menyuap orang kepercayaan Gusti Sultan untuk berkhianat, dan menyelewengkan uang perbendaharaan Kerajaan. Telah beberapa hari terjadi kekisruhan dalam istana, patih Mangkudilaga dituduh menggelapkan uang kas Kerajaan, dan bersekongkol dengan Senopati Tohpati untuk menumbangkan kekuasaan Sultan.
Telah ditemui sepucuk surat dikamar Bendahara yang dibuat secara rahasia atas nama Patih Mangkudilaga. Akan tetapi Patih Mangkudilaga tak mengakui. Untunglah penggelapan uang kas Kerajaan itu segera diketahui dengan dibekuknya wakil Bendahara Kerajaan...” tutur Tumenggung Mahesa.
“Apakah yang dilakukan wakil Bendahara kerajaan itu, ayah?” bertanya Linggar Wati dengan wajah berubah kaget. Dia tak menyangka kalau urusan Adipati yang perbuatan tak senonohnya dilaporkan pada ayahnya, ternyata berekor panjang. Bahkan telah terjadi kekisruhan yang membengkak di Istana. Setelah menghela napas, Tumenggung Mahesa menyahut.
“Hm.! Dia telah mencuri cap Kerajaan, dan memalsukannya! Bukan itu saja dia juga telah memalsukan tanda tangan para pembesar Kerajaan. Mudah saja bagi dia menirunya, karena sehari-hari bekerja menjadi bawahan Bendahara Kera-jaan. Semua itu adalah atas suruhan Adipati Kun-coro.
"Dan dengan tanda tangan serta cap Kerajaan palsu itu, dengan mudah Adipati Kuncoro mengeruk uang kas Kerajaan. Bangsat licik itu benar-benar edan! Pantas dia semakin mewah hidupnya. Dalam waktu setahun saja sudah menyimpan banyak isteri muda! Bahkan dia sudah melamar lagi anak Ki Demang untuk menjadi isterinya yang keempat...!”
“Kudengar Ki Demang Sunggoro tewas dalam suatu perampokan, dan isterinya juga dibunuh perampok! Benarkah ayah?” memotong Linggar Wati.
“Benar! Kukira hal itu wajar. Karena penduduk sudah merasa tertekan dengan pajak-pajak berat yang dibebankan pada mereka. Para perampok bertopeng itu tak dapat disamakan dengan perampok sungguhan. Dimanapun adanya berdiri suatu pemerintahan, tetapi pemerintahan itu menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang, maka disana akan timbul suatu pemberontakan!
"Perbuatan Ki Demang Sunggoro yang kaki tangan Adipati Kuncoro itu pantas mendapat balasan yang layak dengan kekejamannya. Tinggal kini menangkap biang keladi kejahatan besar ini. Kuncoro edan itu bukan saja telah memfitnah para pembesar Kerajaan, tapi juga melakukan perbuatan melanggar susila, berbuat sewenang-wenang dengan kekuasaannya! Suatu hal yang tak terpuji! Dialah yang membuat surat fitnah terhadap Patih Mangkudilaga seolah-olah bersekongkol dengan Senopati Tohpati!”
Tumenggung Mahesa menuturkan pada anak gadisnya. Tentu saja membuat Linggar Wati jadi marah bukan main pada manusia yang bukan saja gila harta, tapi juga gila perempuan itu.
“Adipati itu layak dihukum mati, ayah! Tapi enaknya disiksa dulu, biar matinya secara perlahan-lahan, dan dia merasakan sakit disaat sekaratnya! Atau.... enaknya digantung kepala dibawah kaki diatas. Lalu ditaruh dikandang...”
“Wah, wah, wah....! Urusan itu adalah urusan Gusti Sultan yang berhak memberi hukuman!” memotong Tumenggung Mahesa dengan terse-nyum. Kepala gadis bengal itu diusap-usapnya seraya berkata memerintah.
“Sudahlah jangan mengaco terus anak manis. Mulutmu yang comel itu kau sumpal dulu dengan makanan. Pergilah ke dapur memanggang sate untuk mengisi perutmu!”
Gadis baju merah itu mengangguk gembira, seraya beranjak pergi untuk menuju ke barak di se-belah belakang gedung Kedipatian. Tapi masih sempat gadis ini menoleh, sambil menyeloteh ber-kata kepada ayahnya.
“Membakar sate adalah kesenanganku. Tapi aku lebih senang lagi kalau menyate tubuh Adipati sinting itu!” Selesai berkata gadis itu berlari kecil menuju ke belakang gedung. Beberapa orang prajurit yang mendengar percakapan dan kata-kata gadis itu jadi tersenyum.
“Haih...! Dasar bocah nakal...” menggumam Tumenggung ini sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap ke punggung anak gadisnya.
Bagai terbakar rasanya dada Adipati Kuncoro, disamping terkejut mendengar pembicaraan Tumenggung Mahesa. Tumenggung ini baru saja memutar tubuh untuk menghadap Senopati Tohpati. Tiba-tiba saja laki-laki tua itu tersentak kaget mendengar suara berdesis dibelakangnya. Itulah sambaran pukulan jarum beracun yang meluruk dari rimbunan daun pohon besar yang tumbuh di luar pagar tembok gedung Kedipatian.
Tumenggung ini kibaskan lengan bajunya ke belakang seraya membuang tubuh ke samping. Tak urung dia mengaduh kesakitan, karena tiga batang jarum menghunjam dipangkal lengan. Tentu saja membuat terkejut para prajurit yang berada dihalaman gedung itu.
Mendengar teriakan ayahnya, Linggar Wati balikkan tubuhnya. Seketika wajahnya berubah pucat melihat laki-laki tua itu terguling ditanah dengan mengerang kesakitan. Tak ayal dia menjerit seraya memburu ke tempat ayahnya menggeletak.
“Ayaaah..!?”
Senopati Tohpati yang tengah berdiri dan duduk seperti tak sabar menunggu kemunculan Adipati Kuncoro seketika terperanjat mendengar kegaduhan itu. Dia melompat dari ruang pendopo. Matanya tertuju pada Tumenggung yang menggeletak ditanah. Tiba-tiba dia melihat gerakan dahan pohon besar disamping tembok halaman gedung itu bergerak.
“Bedebah! Jangan lari!!” membentak laki-laki Senopati Kerajaan ini. Bentakannya disusul dengan berkelebat tubuhnya mengejar keluar dari pin-tu gerbang gedung Kedipatian. Belasan prajurit dan perwira Kerajaan tersentak. Mereka segera turut memburu keluar.
Adipati Kuncoro melompat cepat ke punggung kuda setelah melepas jarum maut ke arah Tu-menggung Mahesa, lalu membedal kudanya den-gan cepat.
“Kejar...! Tangkap!” Gaduhlah seketika keadaan ditempat itu. Belasan prajurit berlari mengejar. Tapi segera berhenti, karena apa artinya mengejar orang yang melarikan diri dengan menunggang kuda yang membedal tunggangannya bagai dikejar setan?
Namun saat itu empat perwira Kerajaan muncul dipintu gerbang, membedal kudanya dengan cepat mengejar orang yang melarikan diri itu. Senopati Tohpati kembali memasuki pintu gerbang. Tampaknya wajahnya merah padam karena marahnya. Hampir saja seorang prajurit melanggar tubuhnya, karena tak mengetahui kalau saat itu Senopati Tohpati melangkah masuk.
“Ah..!? Ma.. maaf, Gusti..!” sentak prajurit itu dengan wajah pucat, seraya cepat-cepat menyingkir memberi jalan.
“Hm, mau kemana kau?” bentak Senopati Tohpati.
“Me.. mengejar pen.. penjahat itu, Gusti..!” sahutnya tergagap.
“Penjahat sudah sampai ke seberang lautan, kau baru mau mengejar?” bertanya Senopati sambil melototkan mata.
Tentu saja membuat prajurit itu gelagapan tak bisa menjawab. Tampak wajahnya pucat pias bagai tak berdarah. Akan tetapi sebagai basa-basi dan untuk menghilangkan keterkejutannya, prajurit ini berkata. “Sudah sampai ke., ke seberang lautan, Gusti? Wah... cepat sekali...???”
Seketika prajurit lainnya jadi tergelak tak dapat menahan geli. Akan tetapi segera dibentak oleh Senopati Tohpati. Bagai suara jengkerik terinjak, seketika semua diam.
“Hm, kesinilah kau!” Senopati memanggil prajurit dungu itu.
“Siap, Gusti! Perintah Gusti Senopati kami junjung diatas kepala. Hamba siap menjalankan tugas!” sahut si prajurit dengan menyembah.
“Bagus..!” kata Senopati Tohpati dengan tersenyum kaku. “Kuperintahkan sekarang juga kau pergi ke tepi laut untuk mencuci mukamu yang macam cecurut sakit itu!” Selesai berkata melayanglah kaki Senopati menyepak prajurit itu hingga terguling-guling.
“Am.. ampun Gusti..! Ampuuun..!” Prajurit itu cepat bangkit dan menyembah sambil meringis-ringis menahan sakit pada punggungnya yang kena tendangan.
“Kalian semua goblok! Mengapa sampai tak mengetahui ada penjahat menyelundup?” bentaknya sambil menatap pada semua prajurit yang berkerumun ditempat itu.
Serentak semuanya menundukkan kepala tanpa ada berani berkata sepatah katapun. Senopati Tohpati memang sedang berang hatinya karena telah difitnah oleh Adipati Kuncoro. Tentu saja gagalnya menangkap penjahat yang belum diketahui siapa adanya itu ditumpahkan pada para prajuritnya.
Dengan wajah merah padam segera dia beranjak melangkah ke arah kerumunan beberapa orang prajurit Kadipaten yang tengah melakukan pertolongan pada Tumenggung Mahesa.
Untunglah Linggar Wati membawa serbuk anti racun. Setelah jarum berhasil dikeluarkan dari pangkal lengan ayahnya segera dia membubuhkan serbuk itu. Lalu membalutnya dengan kain perban yang dibawa seorang prajurit.
Dari keterangan si gadis berbaju merah Linggar Wati itulah Senopati Tohpati mengetahui kalau penjahat yang menyelundup itu adalah Adipati Kuncoro yang memang tengah dinantikan kemunculannya untuk ditangkap!
EMPAT PERWIRA KERAJAAN yang mengejar kuda putih berpenunggang Adipati Kuncoro itu terkejut ketika berhasil mengejar buruan mereka ternyata si penunggang kuda putih itu adalah seorang kakek tua renta berambut semrawut, dan berwajah kaku berkeriput. Si kakek tua renta menatap keempat perwira Kerajaan yang mengurungnya dengan pandangan terheran.
“Ah..? Siapakah kau kakek?” membentak salah seorang perwira.
“Heheheh.. ada kepentingan apa kalian menanyakan aku?” balik bertanya yang ditanya.
Tentu saja membuat perwira itu jadi mendongkol. “Kami mengejar seorang laki-laki berkuda putih untuk menangkapnya!” sahut perwira ini dengan setengah membentak.
“Siapa laki-laki itu? Dan apa kesalahannya?” tanya si kakek.
“Dia Adipati Kuncoro yang telah berkhianat pada Kerajaan!” sahut salah seorang perwira kawannya.
Si kakek tampak manggut-manggutkan kepala. Mendadak kakek itu menyelinapkan lengannya ke balik jubah. “Apakah dia si pemilik senjata ini?” tanyanya seraya mengeluarkan sebuah tombak pendek berunce merah.
Empat pasang mata perwira itu segera menatapnya. Tentu saja keempatnya mengetahui senjata itu milik Adipati Kuncoro. “Benar! Itu memang senjatanya!” menyahut keempat perwira hampir serempak.
Mendadak lengan si kakek bergerak menghunjamkan tombak itu ke tanah. Tampaknya gerakannya ringan saja. Akan tetapi membelalak mata keempat perwira itu melihat senjata itu amblas masuk ke dalam tanah hingga lenyap tak kelihatan lagi.
“Kalau itu manusia yang kau cari, aku telah mengikatnya dibalik pohon itu! Silahkan kalian membawanya!” ujar si kakek, seraya menunjuk lalu memutar kuda, dan membedalnya perlahan meninggalkan tempat itu.
“Hei..! Tunggu dulu..!?” berteriak seorang perwira menahan kepergian laki-laki tua aneh itu. Tentu saja perwira itu tak percaya begitu saja pada ucapan si kakek.
Akan tetapi tiga perwira kawannya telah membedal kuda menuju ke arah sebatang pohon besar yang ditunjuk kakek itu. Benar saja mereka mendapatkan Adipati Kuncoro dalam terikat oleh seutas tali kulit. Itulah tali sanggurdi kuda yang telah digunakan mengikat.
Melihat ketiga kawannya melompat turun dari punggung kuda dekat dibawah pohon besar itu, perwira ini segera membedal kuda untuk melihat. Sementara keempat perwira Kerajaan itu sibuk menggotong Adipati Kuncoro yang dalam keadaan tertotok tak berdaya, si kakek aneh telah lenyap dari tempat itu.
Akan tetapi ketika keempat perwira itu membawa tubuh Adipati Kuncoro yang dalam keadaan terikat dinaikkan kepunggung kuda, kemudian keempat perwira itu membedal kuda meninggalkan tempat itu, tahu-tahu si kakek aneh muncul kembali, dan mengikuti dibelakang mereka.
Tampaknya kakek aneh itu khawatir keempat perwira itu melepaskan lagi manusia yang telah berhasil diringkusnya. Ternyata keempat perwira itu adalah perwira tulen, bukan begundalnya Adipati Kuncoro. Mereka membawa masuk tawanan memasuki pintu gerbang halaman gedung Kedipatian.
Kira-kira lima puluh tombak dari pintu gerbang itu si kakek aneh belokan kudanya merambas hutan kecil, lalu lenyap ditelan kerimbunan pepohonan....
WAROK SOBRAH melarikan kudanya bagai orang kesurupan. Pandangan matanya liar mencari jejak dimana perwira berkuda itu membawa lari gadis bernama Sumanti itu.
Sementara darah terus mengalir dari luka-lukanya. Warok merasa punggungnya nyeri sekali. Luka torehan klewang perwira Kerajaan itu mengganggu gerakan tubuhnya untuk mengendalikan kuda yang berlari cepat.
Saat itu hari mulai merambah senja. Ketika kuda tunggangannya melewati tanah licin berbatu-batu, kaki kuda tergelincir. Binatang itu meringkik keras dan mengangkat kaki depannya. Tak ampun Warok Sobrah kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dia terjungkal masuk ke semak belukar. Kuda itu terus membedal lari sambil meringkik tiada henti, dan lenyap merambas hutan belantara.
Warok Sobrah mengerang menahan sakit pada tubuhnya. Pakaiannya yang sudah koyak-koyak semakin banyak sobekan disana-sini, karena tersangkut ranting semak yang tajam, dan menggores pula kulit tubuhnya. Dengan susah payah dia keluar dari semak belukar yang menggerombol.
Laki-laki jembros ini memperhatikan sekitarnya. Mendadak telinganya mendengar suara gemericik air. Hatinya tercekat. Dia menelan ludah. Saat itu tenggorokannya terasa kering. Segera dia mencari dari mana datangnya suara gemericik itu. Setelah beberapa saat melangkah merambas onak dan du-ri, akhirnya dia menemukan sebuah sungai berair jernih.
Sepasang mata Warok berkilat-kilat. Semangatnya kembali muncul. Direngkuhnya air bening itu, dan direguknya sepuas-puasnya. Kemudian dia membasahi pula wajahnya. Terasa segar kini tubuhnya. Akan tetapi percikan air yang mengenai lukanya membuat dia menyeringai.
Namun dia bisa menarik napas lega, dan bersyukur menemukan sungai itu. Beberapa saat lamanya dia termangu-mangu memandangi aliran air sungai yang bersuara gemericik disela batu-batu berlumut. Dalam termangu itu ingatan Warok Sobrah tetap saja memikirkan Sumanti.
“Ah... dimanakah dia saat ini? Kemanakah aku harus mencari? Apakah perwira itu membawa Sumanti ke Kota Raja?” berkata dalam hati si laki-laki brewok ini. Tampak wajahnya kelihatan san-gat berduka. Sepasang matanya yang kemerahan itu tampak berkaca-kaca.
“Sumanti.... oh, anak manis... mengapa nasibmu begitu buruk seperti aku..?” mendesis Warok Sobrah dengan suara bergetar.
“Akupun telah kehilangan semua yang kumiliki... Anakku, isteriku... harta bendaku... dan juga harga diri... Aku telah menjadi sampah manusia! Hidupku kotor menjijikkan. Apa yang ku lakukan adalah sebagai balas dendam terhadap kekalahanku terhadap ketidak adilan Tuhan yang kurasakan waktu itu. Tapi ternyata aku salah kaprah. Tuhan Maha Adil dan Maha Pemurah. Tuhan masih memberiku hidup sampai saat ini. Hingga aku kembali sadar akan arti hidup yang sebenarnya. Aku sadar bahwa semua ini adalah cobaan hidup di alam Dunia yang tidak langgeng. Untuk menguji umatnya..! Ternyata aku telah jauh tersesat, mengumbar nafsu angkara, membunuh, memperkosa, merampok, membegal dan sebagainya..!”
Warok berhenti mengucapkan kata-kata lirihnya yang berupa penyesalan dan kutukan pada dirinya sendiri. Dia terguguk menangis bagai anak kecil dengan pipi bersimbah air mata. Tiba-tiba dia menengadah ke langit dan membuka kedua telapak tangannya. Terdengar suaranya bergetar.
“Ya... Tuhan, penguasa Alam Semesta! Yang telah memberiku hidup sampai saat ini. Bila Kau berkehendak menghukumku, maka hukumlah aku! Matikanlah aku saat ini... tapi ampunilah segala dosaku! Ampunilah segala kekhilafanku selama ini! Aku rela meninggalkan dunia fana ini. Aku percaya Engkaulah Tuhan Yang Maha Tunggal, yang menciptakan seluruh Alam dengan segala isinya...! Ya, Tuhan Yang Maha Pengasih..! Sebelum kau cabut nyawaku, pertemukanlah aku pada Sumanti. Selamatkanlah dia... dari bencana...”
Selesai berkata, tampak napas Warok Sobrah tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya tampak bergetar. Dia telah menumpahkan seluruh perasaan dalam relung jiwanya kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Keadaan lukanya memang cukup parah. Dan darah banyak keluar dari tubuhnya. Dengan terhuyung-huyung Warok Sobrah bangkit berdiri.
Masih ada tersisa semangatnya untuk menemukan gadis itu. Akan tetapi ketika itu pandangan mata si laki-laki brewok tampak nanar. Bumi yang dipijaknya serasa berputar. Akhirnya Warok Sobrah terhuyung roboh ditepian sungai berbatu. Laki-laki itu seketika tak sadarkan diri.
Mendadak langit berubah gelap. Angin keras membersit bersiutan. Tampak kilatan petir membelah di angkasa. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Seolah-olah Yang Maha Agung telah menerima do’anya. Alam kembali tenang seperti sediakala.
Dan senja terus merayap. Keheningan tambah mencekam ketika suara burung-burung yang be-rebut mencari tempat bermalam telah melenyap. Sepi... lengang..! Gemericik air sungai yang mengalir diantara sela bebatuan itu semakin terdengar nyata. O, Alam..!
SEEKOR KUDA BERBULU COKLAT sejak tadi berdiri ditepi hulu sungai berbatu-batu itu. Tampaknya dia setia menunggu majikannya sambil memakan rerumputan yang tumbuh ditepian sungai.
Ternyata dibalik-balik pohon berakar gantung bertanah lembab itu terdapat sebuah relung batu menyerupai sebuah goa. Dari sebelah dalam terdengar suara gemerincing, dan sesekali diseling oleh suara tertawa kecil seorang laki-laki.
Siapa adanya laki-laki itu, anda pasti sudah menerkanya. Ya! Siapa lagi kalau bukan perwira Kerajaan yang rakus dan tamak pada harta benda, hingga dia rela mencopot gelar perwira Kerajaan yang disandangnya. Apalagi dia bersama seorang gadis cantik yang menggairahkan, berkulit putih dan bertubuh mulus...
“Haha... lebih dari seratus keping emas..! Cukup untuk bersenang selama dua atau tiga tahun... haha.. ha... aku kaya dalam sekejap. Dan... disampingku ada gadis cantik yang menemani. Ah, alangkah beruntungnya aku..” berkata sendiri perwira Kerajaan yang telah melepas pakaian perwiranya itu.
Tadinya dia telah berniat melampiaskan nafsu bejatnya karena tak tahan melihat gadis telah yang pingsan itu dalam keadaan setengah membugil. Tapi dia penasaran untuk mengetahui banyaknya uang emas dalam kain buntalan itu.
Hasratnya kembali muncul setelah dia selesai menghitung uang yang dimilikinya. Tumpukan uang emas itu disorongkannya kesisi bebatuan. Sementara matanya menjalari sekujur tubuh gadis itu yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Sesaat antaranya dia sudah mendekati.
“Oh, manisku... alangkah cantik parasmu... Kau akan hidup senang mendampingiku...” terdengar suara laki-laki perwira Kerajaan itu mendesis entah menggumam.
Tatapan matanya terhenti disepasang payudara si gadis yang tersembul dari sela sobekan baju ke-baya yang menutupinya. Napas si perwira mulai memburu. Hidungnya kembang-kempis. Lengan-nya terjulur menepis pipinya yang mengalirkan keringat. Kembali mulutnya mendesis.
“Benar-benar luar biasa...”
Perwira ini melemparkan pakaiannya di atas onggokan bajunya, diatas batu. Lalu menatap sejenak untuk menikmati pemandangan indah didepan matanya. Saat itu sesuatu telah bergerak menjulur dari libatan akar. Sesuatu yang kelihatan licin berkilat...
Laki-laki ini tampaknya sudah tak sadar untuk segera merengkuh tubuhnya yang pasrah itu. Akan tetapi baru saja dia menggulirkan tubuhnya, tiba-tiba perwira ini menjerit parau, lalu roboh terguling. Entah dari mana munculnya seekor ular hitam berkulit licin berkilat telah mematuk punggung laki-laki itu. Lalu membelit lehernya.
Tubuh laki-laki itu meregang-regang bergeleparan dengan mata membeliak dan lidah terjulur. Tapi tak lama kepalanya terkulai. Gerakan tubuhnya terhenti. Nyawanya langsung melayang ke Akhirat.
Ular sebesar betis itu melepaskan belitannya, dan... tiba-tiba lenyap sirna berubah jadi gumpalan asap putih. Namun tak lama asap putih itupun lenyap...
Beberapa saat antaranya Sumanti sadar dari pingsannya. Tentu saja terperanjat melihat keadaan dirinya. Matanya membeliak melihat sesosok tubuh laki-laki membugil tertelungkup tak bergerak. Sadarlah dia apa yang terjadi. Tapi setelah merasai keadaan dirinya tak kurang suatu apa.
Dia cepat beringsut setengah merayap menjauhi laki-laki yang membugil terkurap tak bergerak itu. Lalu bergegas mengenakan pakaiannya. Detik itu juga dengan wajah pucat pias dia menghambur keluar dari relung batu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Sesaat dia menatap laki-laki itu. Tampak ada darah mengalir dari telinga, dan hidung laki-laki itu.
Barulah dia tersentak kaget ketika melihat mata laki-laki itu membeliak memutih, dan lidahnya terjulur keluar. Dari mulutnya yang setengah terbuka itu tampak ada darah mengalir, dan masih menetes. Darah kental berwarna kehitaman. Yakinlah Sumanti kalau perwira itu sudah tak bernapas lagi. Mendadak kakinya menyentuh tumpukan uang emas yang berada disisi batu.
“Oh... Tuhan..! Aku... aku selamat...” mendesis gadis ini dengan wajah berubah girang. Tak ayal lagi segera dia membungkus keping-keping uang emas itu, membuntal dan mengikatnya dengan erat.
Dia tahu uang emas itulah yang tercecer dari pakaian Warok Sobrah, dan ditemukan oleh laki-laki perwira Kerajaan itu. Kini manusia yang membawa lari dirinya itu telah tewas entah siapa yang telah membunuhnya.
Selang tak lama Sumanti bergegas meninggalkan relung batu itu. Sesaat dia menatap ke arah seekor kuda ditepian sungai. Gadis ini mengetahui itulah kuda si perwira Kerajaan. Segera dia menghampiri, lalu menariknya untuk dibawa menyeberangi sungai dangkal berbatu-batu itu. Kemudian menyusuri tepian sungai dengan hati agak bimbang. Kemana yang akan ditujunya...?
SUARA MENYIBAK bergemericiknya air sungai yang ditingkah sesekali oleh suara dengus dan ringkik perlahan seekor kuda, membuat sosok tubuh berjubah kelabu ini menyingkap semak belukar untuk melihat ke arah seberang sungai. Siapa adanya sosok tubuh ini tak lain dari si kakek aneh yang telah meringkus Adipati Kuncoro.
Matahari baru saja menyembul dibalik bebukitan. Suara burung masih terdengar berkicau menyambut munculnya sang Matahari. Malam tadi telah dilewati si kakek dengan bermalam diatas dahan pohon, sementara kuda putihnya diikatkan dibawah pohon. Semalam-malaman dia mendengar suara aneh seperti orang mengerang atau merintih. Terkadang terdengar jelas terbawa angin, terkadang lenyap.
Sebenarnya kakek itu mau memeriksa dimana adanya suara-suara aneh itu. Akan tetapi segera mengurungkan, dan akan menyelidikinya besok pagi. Ketika dipagi harinya dia agak kesiangan terbangun, lalu mencari sungai untuk mencuci muka, mendadak dia mendengar suara air menyibak, dan ringkik suara seekor kuda.
Ketika dia menyibak semak untuk melihat, tampak seorang gadis menuntun seekor kuda, berjalan menyusuri sungai berbatu-batu itu. Tam-paknya kakek ini mau munculkan diri. Segera dia menutup lagi semak yang disibakkan. Lalu diam-diam menguntit gadis itu.
Selang beberapa saat lamanya dia melihat gadis itu menghentikan langkahnya. Lalu beranjak ke darat. Gadis itu duduk diatas batu. Sepasang matanya tampak kuyu, seperti kurang tidur atau entah kebanyakan menangis.
Sumanti memang kurang tidur malam tadi. Karena malam hampir tiba, dia beranjak naik ke darat. Lalu mendaki tempat ketinggian. Untunglah dia menemukan sebuah dangau reyot. Di dangau tua yang sudah tak terawat pada tanah kering penuh rumput alang-alang itulah dia bermalam, dengan ditemani seekor kuda.
Semalam-malaman gadis itu tak dapat tidur, karena pikirannya tertuju pada si brewok Warok Sobrah yang tak diketahui bagaimana nasibnya. Barulah pada pagi harinya dia kembali menyusuri sungai dangkal berbatu-batu itu. Dia berharap diujung sungai itu dapat menemukan sebuah muara yang terus menuju ke arah laut. Mungkin dia bisa menemukan seorang nelayan, dan pergi meninggalkan wilayah itu.
Akan tetapi rasa penat telah memaksanya untuk beristirahat. Tiba-tiba mata gadis itu membelalak melihat sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari tempat dia melepaskan lelah. Alangkah terkejutnya Sumanti ketika melihat orang itu adalah Warok Sobrah.
“Paman Warok...!?” teriaknya dengan suara menggetar bercampur isak, juga perasaan girang luar biasa. Akan tetapi tampak terselip suatu pera-saan cemas melihat laki-laki itu.
“Apakah yang terjadi dengan paman Warok? Matikah dia?” berkata gadis ini dalam hati. Ma-tanya menatap nanar bersimbah air mata. Dia me-lihat laki-laki brewok itu tak bergerak. Cepat-cepat dia mendekatkan kepalanya, lalu menempelkan telinganya didada laki-laki itu.
Wajah Sumanti berubah agak cerah. Dia masih mendengar denyut nadi laki-laki itu walaupun sangat lemah. Gadis ini memutar pandangan ke kiri dan ke kanan. Dia bermaksud meminta tolong, kalau-kalau saja ada orang disekitar tepi sungai itu.
Tiba-tiba pandangannya terbentur pada sesosok tubuh seorang kakek bungkuk yang tongolkan kepala disemak belukar diseberang sungai.
“Siapapun adanya kau orang tua, tolonglah pamanku ini...” teriak Sumanti dengan suara bergetar bercampur isak.
“Pamanmukah orang itu..?” sahut kakek aneh itu dengan mata agak dibesarkan.
“Benar, orang tua... Tolonglah dia. Dia terluka parah, dan dalam keadaan pingsan..!” menyahut Sumanti. “Ah, siapakah laki-laki tua aneh itu? Mudah-mudahan dia mau menolongku...” berkata Sumanti dalam hati.
“Baik..! Baik aku akan menolongmu..!” kata kakek aneh yang wajahnya kelihatan aneh itu. Gerakan tubuhnya ringan sekali ketika menyeberangi sungai berbatu-batu. Seolah-olah kakinya tak menyentuh batu sama sekali.
Hingga membuat Sumanti kagum, tapi juga terkesima melihat orang tua itu dalam beberapa kejap saja sudah berada dihadapannya. Tapi yang lebih terkesima adalah melihat wajah si kakek yang kini semakin nyata keanehannya.
Karena dia melihat kakek bungkuk itu cuma memiliki sebelah kumis dan sebelah jenggot. Ketika kakek bungkuk itu membungkukkan tubuhnya lagi untuk memeriksa Warok Sobrah. Wajah Sumanti tampak memuncat pias.
“Ular..! ular! Dipunggungmu ada ular..!” teriaknya sambil menunjuk. Tentu saja membuat kakek itu tersentak kaget. Secara reflek dia melompat bangun berdiri lalu berjingkrakan mengebutkan jubahnya dibagian belakang.
“Mana ularnya?” teriak si kakek dengan mata melotot, karena tak melihat adanya binatang berbisa itu. Bahkan dia tak merasakan sama sekali sesuatu yang merayap dipunggungnya.
“I., itu... ular bulu! Aku... aku takut pada ular bulu..!” menyahut Sumanti yang melihat binatang yang menjijikkan dan kalau terkena kulit bisa gatal-gatal itu sudah terjatuh menemplok diatas batu.
Tentu saja mata di kakek jadi mendelik semakin lebar. Tak terasa lengannya menggaruk tengkuknya. Mulutnya mengomel. “Haiih! Kukira ular apa, tak tahunya ular bulu..?”
Baru saja dia selesai menggerutu, mendadak dia berjingkrak kaget. “Celaka!? Aku lupa kalau aku seorang kakek bungkuk..! Wah, lebih celaka lagi. Kumis dan jenggotku hilang sebelah...?!?”
Saat itu si kakek tampak melihat gadis dihadapannya memalingkan wajah sambil menutupi mulutnya. Mau tak mau Sumanti tersenyum, dan hampir saja tak dapat menahan tertawa melihat si kakek bungkuk dalam sekejap mendadak sembuh bungkuknya. Dan punggungnya kembali lempang. Bahkan sejak tadi dia sudah hampir tertawa melihat jenggot dan kumis memutih kakek itu cuma sebelah-sebelah.
“Wah, percumalah aku menyamar lagi...!” gumam si kakek, seraya mencabut kumis dan jenggot palsu yang tinggal sebelah-sebelah itu. Lalu membuka jubahnya. Ternyata si kakek itu adalah Nanjar si Dewa Linglung. Sambil tersenyum dia melemparkan jubah yang dilepaskan dari tubuhnya ke arah gadis itu. Sejak mengintai dari balik semak, dia melihat keadaan aurat gadis itu sudah terlihat. Karena baju kebaya yang dipakai dara itu sobek lebar dibagian depan.
“Hehe... aku memang bukan seorang kakek tua jelek dan bungkuk. Nah, kau pakailah pakaian ini agar kau tak masuk angin!” kata Nanjar.
Tentu saja girangnya hati si gadis bukan kepalang menerima pemberian pemuda gagah itu. Seketika wajahnya berubah memerah ketika sadar bahwa sepasang auratnya menyembul keluar sejak tadi. Pasti pemuda penyamar itu sejak tadi sudah melihatnya. Pikirnya dibenak. Tapi tanpa ayal lagi segera dia mengenakan jubah pemberian itu.
Sementara itu dilihatnya si pemuda gondrong tengah membungkuk memeriksa keadaan si laki-laki brewok. Hati Nanjar tersentak ketika mengenal laki-laki itu adalah orang yang tengah dikejarnya, seperti ciri-ciri yang disebutkan Tumenggung Mahesa.
“Bukankah laki-laki ini Warok Sobrah si Begal dari gunung Kidul?” sentaknya dalam hati. Namun Nanjar segera salurkan hawa murni ke tubuh laki-laki yang terkapar pingsan itu. Lalu membantunya dengan mengurut dibeberapa jalan darah. Nanjar terkejut melihat darah merembes dari bagian belakang punggung laki-laki itu. Ketika dia membalik tubuh si jembros, ditemukan sebuah luka lebar. Perlahan dia menggulirkan lagi tubuh laki-laki itu.
“Laki-laki ini banyak kehabisan darah. Dan tampaknya dia demam. Tubuhnya panas sekali... Setelah dia siuman kucoba membalut lukanya..!”
Selang tak lama tampak laki-laki brewok itu membuka matanya. Tampaknya dia mulai siuman. Tahulah Nanjar kalau suara yang semalam didengarnya adalah suara rintihan laki-laki ini.
Sumanti segera menyobek pakaiannya yang sudah dilepaskan, lalu mengambilnya selebar sapu tangan. Dia telah mengenakan jubah pemberian si Dewa Linglung. Kemudian membasahi dengan air sungai. Girang hati gadis ini melihat Warok Sobrah sudah sadarkan diri.
Dia berjongkok di sebelah tubuh Warok Sobrah. Kain basah itu diusapkan kekening si laki-laki brewok perlahan. Lengannya membelai rambutnya. Tampak sepasang mata dara ini berkaca-kaca. Dan setetes air bergulir kepipi Meluncur turun dan... menetes ke wajah laki-laki itu.
Mata Warok semakin membuka lebar. Dia merasakan usapan lembut dikepalanya. Dan melihat seraut wajah cantik yang sepasang matanya menggenang air mata. “Ya... Tuhan..! Engkau ka.. kabulkan do’a ku...” tampak bibir laki-laki ini bergerak mengucapkan kata-kata berdesis. “Su.. man.. ti... benarkah kau.. Su.. manti...?” bertanya Warok Sobrah.
“Benar, paman Warok..! Aku menemukan kau menggeletak ditempat ini” menyahut Sumanti. Lalu berpaling pada Nanjar. “Kakak inilah yang telah berusaha membuat kau kembali sadarkan diri...” sambungnya seraya kembali menatap Warok Sobrah.
Perlahan Warok menggerakkan kepalanya untuk memandang si Dewa Linglung. Dia dapatkan seorang pemuda gagah tengah tersenyum menatapnya. Mendadak dia membesarkan matanya, ketika melihat racahan bergambar Naga yang tersembul dari belahan baju dibagian dada pemuda itu.
“Ah... kalau... aku tak.., sa... salah, tentu anda si Pendekar Naga Merah... yang terkenal dengan sebutan si Dewa... Linglung..! Benarkah dugaanku..?” berkata Warok dengan suara lamban bergetar.
Nanjar mengangguk, sambil tersenyum. “Memang itu gelar yang diberikan orang persilatan padaku..! Bukankah anda yang benama... Warok Sobrah?” balik bertanya Nanjar.
Laki-laki itu tersenyum menganggukkan kepala perlahan. “Girang hatiku bertemu anda... Aku memang Warok Sobrah si Begal dari gunung Kidul. Tapi... nama itu telah lenyap... dan tak akan terdengar lagi... selamanya...! Terima., kasih atas pertolonganmu, pendekar gagah...” Kemudian dia berpaling menatap Sumanti.
“Kau..., kau selamat, anak manis...?” tanyanya penuh perasaan girang yang tak terlukiskan.
Sumanti mengangguk sambil menyeka air matanya. “Tuhan masih melindungi diriku, paman Warok. Aku selamat, tak kurang suatu apa. Perwira jahat yang membawa lari aku kutemukan telah tewas. Dan... aku menemukan uang emas yang terjatuh dari bajumu, paman Warok..!” sahut Sumanti seraya membuka buntalan yang tersangkut dipinggangnya, lalu menunjukkan pada Warok Sobrah.
“Sukurlah... Tapi berikan uang emas itu pada pendekar muda ini agar dapat dikembalikan pada pemilik sebenarnya...” kata Warok seraya berpaling menatap Nanjar. “Aku telah menemukan... uang emas itu disebuah gedung kuno. Tak tahu siapa... pemiliknya...” kata Warok pada si Pendekar Naga Merah.
“Hm, untunglah kau menemukannya, sobat Warok! Pasti Adipati Kuncoro yang telah menyembunyikan digedung kuno itu!” kata Nanjar.
Dia segera teringat pada peristiwa ketika bersama si gadis baju merah, yang nyaris diperkosa oleh Adipati itu. Di saat dia tertelungkup ditanah, dan Adipati itu tak jadi menyerang dengan tombak pendeknya karena dicegah gadis itu, dia melihat Adipati itu memasuki gedung kuno. Tentu untuk mengambil uang emas yang telah disembunyikannya.
“Adipati Kuncoro telah ditangkap, dan bakal dihukum gantung untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang merugikan rakyat dan Kerajaan!” kata Nanjar lebih lanjut.
Sepasang mata Warok membinar. Bibirnya tersenyum. “Oh, sukurlah...” lalu dia menoleh pada Sumanti seraya berkata.
“Anak manis... jangan menangis. Kau beruntung berjumpa dengan pendekar gagah Dewa Linglung. Kelak... kalau aku sudah tak ada... kau mengikutlah... padanya..!”
“Paman Warok,... kau akan sembuh, paman! Kau tak boleh mati! Kau... kau harus hidup!” teriak Sumanti dengan menyentak kaget.
Tapi Warok menatapnya dengan tersenyum. “Manusia tak dapat menentang takdir, anak manis..! Tuhan telah mengabulkan doaku... hingga disaat aku sadar dari kekhilafanku selama ini dengan menjadi... seorang begal yang hina dina, aku... aku telah menemukan anak gadisku yang hilang..! Anakku hilang belasan tahun yang silam dalam suatu musibah peperangan..! Dan... anakku itu adalah kau sendiri...”
Selesai berkata, tiba-tiba kepala Warok Sobrah terkulai... Gadis ini tersentak kaget dengan membelalakkan matanya. Tiba-tiba dia menjerit dan memeluk laki-laki brewok itu. Dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
“Paman Warok! Paman Warook! Benarkah ucapanmu? Benarkah kau ayahku..?? Ohh... hh... tidak! Kau tak boleh pergi meninggalkan aku! Jangan pergi, pa...paman...” teriak Sumanti dengan menangis, dan mengguncang-guncangkan tubuh Warok Sobrah.
Tapi laki-laki itu sudah lepaskan nyawanya dengan tersenyum. Dia telah berpulang diambil Yang Maha Kuasa. Dia pergi dengan ik-hlas, seikhlas-ikhlasnya, karena dia telah bertobat sebelum ajal. Dan ternyata Tuhan Maha Pengasih. Dia telah dipertemukan dengan Sumanti anak gadisnya, serta dalam keadaan selamat.
Menjeritlah Sumanti sekuat-kuatnya ketika mengetahui Warok Sobrah sudah melepaskan nyawanya. “Ayaaaah... h. h. h..!”
Bersamaan dengan teriakannya menyebut ayah pada si laki-laki jembros Warok Sobrah itu, gadis inipun terkulai pingsan tak sadarkan diri. Tinggal si Dewa Linglung yang menjublak terpaku sambil menggaruk tengkuknya.