LAKI-LAKI itu usianya sekitar tiga puluh tahun. Rambutnya gondrong tak terurus. Wajahnya ditumbuhi dengan kumis dan jenggot lebat yang hampir menyatu dengan cambang bauk. Kulit muka dan lengannya hitam legam karena terlalu sering kena sengatan panas matahari.
Pakaiannya pun sudah tak keruan bentuknya. Selain compang-camping dan kusam warnanya, juga tak dapat dibilang bersih. Debu dan keringat seperti telah lama menyatu pada pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Saat itu panas terik matahari kulit. Sekujur tubuh laki-laki telah basah oleh keringat. Sesekali laki-laki ini menelan ludah, seperti merasa kering tenggorokannya. Kakinya yang tiada beralas tersa-ruk-saruk melangkah di jalan berdebu yang menuju ke mulut desa. Ranting kayu kering itu tampaknya telah lama menemani kemana dia melangkahkan kaki, dan cukup berguna untuk menahan tubuhnya.
Dari arah belakang mendadak terlihat debu mengepul, disusul dengan munculnya dua ekor kuda berpenunggang dua orang gadis berpakaian cara laki-laki. Seorang bercelana pangsi merah dengan pakaian atas berwarna hijau, dan seorang lagi berpakaian putih-putih.
Sepintas dapat diterka kalau kedua gadis ini bukan gadis-gadis biasa. Karena dari cara berpakaian dan sebilah pedang yang tersoren dimasing-masing punggungnya menandakan mereka adalah orang-orang persilatan.
Gadis berbaju hijau bercelana pangsi merah berada dibagian depan. Dari jauh dia sudah melihat adanya seorang laki-laki yang berada di tengah jalan yang melangkah tersaruk-saruk seperti tak mendengar suara derap langkah kaki kuda di belakangnya. Ketika hampir mendekat gadis ini membentak keras.
“Jembel busuk! Apakah kau mau mampus!” Teriakan itu tendangan kakinya yang melayang deras kearah punggung laki-laki itu.
BUK!
Tak ampun lagi tubuh laki-laki bernasib sial itu terjungkal jatuh bergulingan ditanah berdebu. Sementara kudanya terus membedal cepat meninggalkan debu bergulung-gulung dibelakangnya. Gadis baju putih yang berada dibelakangnya berjarak kira-kira lima tombak perdengarkan teriakan tertahan.
Tampaknya dia begitu terkejut karena tak menyangka kalau gadis didepannya telah melakukan hal itu. Dari jauh dia memang telah melihat adanya seorang laki-laki berbaju compang-camping melangkah terhuyung-huyung ditengah jalan yang akan mereka lalui.
Laki-laki ini merangkak bangun. Rambut dan mukanya penuh debu. Tampak dia seperti sangat terkejut dan merasa nyeri pada punggungnya, karena tahu-tahu dia merasa ada yang menjejak punggungnya hingga dia terjatuh bergulingan.
Seperti baru tersadar, laki-laki ini menatap kearah belakang punggung seorang penunggang kuda diantara kepulan debu, dan suara derap kaki kuda yang semakin menjauh. Tiba-tiba telinganya mendengar pula suara derap kaki kuda dari arah belakang. Laki-laki ini palingkan kepalanya. Matanya menatap dengan terperangah.
Mendadak langkah kaki kuda terhenti, disusul oleh melompatnya si penunggang kuda tepat diha-dapannya. Laki-laki ini menengadah. Yang tampak kini adalah seorang gadis berpakaian putih, menyoren pedang dibelakang punggung tengah menatapnya dengan wajah menampakkan sikap kekhawatiran.
“Ah... kau... kau tak apa-apa, paman....?” tanya si gadis.
Laki-laki itu tak menjawab, selain menatap pada si gadis dengan mata mendelong. Ditatap demikian gadis ini jadi serba salah.
“Kau.... kau bisa bangun?” tanyanya sambil membungkuk.
Diam-diam dia memperhatikan wajah dan pakaian laki-laki itu. Ada perasaan aneh dihati dara ini. “Tampaknya dia bukan penduduk desa ini. Tanpa kumis dan jenggot tampaknya dia tak begitu tua, dan.... aku tak bisa mengatakan dia bertampang jelek! Hm, siapakah laki-laki ini? Mengapa nekat tak mau menepi, atau dia tak mendengar suara langkah kaki kuda?” diam-diam si gadis membathin dalam hati.
Pertanyaan gadis itu seperti menyadarkan laki-laki itu dari terlongonya. “Aku... aku tak apa-apa...” sahut laki-laki ini seraya bangkit berdiri dengan agak terhuyung. Walau dia merasakan nyeri pada punggungnya, namun dia seolah-olah tak merasakan lagi. Wajah cantik gadis baju putih itu seperti mampu mengusir rasa sakit.
“Oh, ya... kuambilkan tongkatmu...” kata si gadis, seraya menjumput ranting kayu kering yang berkilat pada bagian pangkalnya, karena selalu tak pernah terlepas dari tangan laki-laki itu. Dara baju putih ini berikan tongkat kayu itu pada si laki-laki brewok.
“Terima kasih..” ucapnya dengan tersenyum. “Boleh aku mengetahui nama... no...nona?” tanyanya dengan mata tak berkesip memandang wajah dara itu.
Gadis ini cukup rikuh ditatap sedemikian rupa. Mendadak laki-laki jembros, kumal itu menanyakan pula namanya. Sejenak dia tertegun. Tapi segera balikkan tubuh, dan melompat kepunggung kuda. Dara ini keluarkan beberapa keping uang receh dari lapisan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain putih kasar. Seraya melemparkan kepingan uang receh kedepan laki-laki itu, dia berkata.
“Panggil saja aku DORO PETAK! Itu namaku..!” Gadis ini tiba-tiba menahan langkah kudanya. Dia menoleh. “Oh ya! Gunakan uang itu untuk membeli pakaian. Dan mungkin kau akan lebih dihargai dengan pakaian dan penampilan yang lebih baik!” setelah berkata demikian, gadis ini cepat membedal kudanya menyusul gadis kawannya yang telah lenyap dari pandangan.
Laki-laki ini lama terpaku memandang kepulan debu dan suara derap kaki kuda yang semakin menjauh, dan lenyap dari pendengaran. “DORO PETAK....! Ah, nama yang bagus! Dia memang seperti manuk Doro sing wulune petak...! Lincah, luwes, cantik, dan... baik hati...” Menggumam laki-laki ini dengan tersenyum. Tampaknya dia sangat terkesan pada gadis itu. (Manuk doro sing wulune petak, mempunyai arti: Burung Dara berbulu putih).
Laki-laki jembros, kumal ini kebutkan bajunya yang penuh debu, tanpa teringat lagi pada rasa sakit pada punggungnya. Kemudian dia bungkukkan tubuh. Lengannya terjulur menjumput kepin-gan uang receh yang berserak di tanah, menca-rinya diantara debu.
“Hahaha.... cukup untuk beli pakaian, dan menangsal perutku yang sudah tak terisi makanan dua hari ini!”
Laki-laki ini tertawa gelak-gelak. Langkahnya dibelokkan kearah jalan kecil. Tak lama tubuh laki-laki jembros itupun lenyap tak kelihatan lagi....
GADIS baju putih memacu kudanya menyusul gadis baju hijau kawannya yang sudah tak kelihatan lagi entah sampai dimana. Dalam hati gadis bernama Doro Petak ini sebenarnya sangat mendongkol dengan sikap si gadis baju hijau yang dianggap sangat keterlaluan. Tapi dia hanya dapat menghela napas, karena dia tak bisa berbuat apa-apa.
WENING RANI adalah puteri Adipati BENDORO NINGRAT. Sedangkan dia hanya seorang puteri bekas seorang Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri dari jabatan. Tentu saja tingkah laku dan perbuatan gadis itu dia tak berani mengadukan pada gurunya Ki Ageng GIRING. Karena dia tahu watak Wening Rani yang keras.
Hari itu Wening Rani meminta izin ke Kota Raja, dan meminta Doro Petak menemaninya. Ki Ageng Giring mengizinkan mereka pergi. Sebenarnya Doro Petak agak enggan keluar pesanggrahan. Tapi tak enak hati untuk menolak keinginan Wening Rani. Maka merekapun berangkat.
Tapi baru saja melintasi jalan desa Tambak Sari, yang tak seberapa jauh dari Pesanggrahan TAMBAK REJO tempat mereka berguru, Wening Rani telah membuat hati gadis ini menjadi mengkal karena ulah perbuatan gadis itu.
Tujuan Doro Petak adalah selain menemani Wening Rani ke Kota Raja, dia sekalian akan menyambangi ayahnya didesa KLARAS LOR. Sudah lebih dari enam bulan dia tak menengok sang ayah. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Secepat itu Doro Petak memacu kuda, tapi belum kelihatan kuda yang ditunggangi Wening Rani.
“Gila! Mengapa dia tak menungguku?” gerutu gadis ini dalam hati. “Kalau dia inginkan aku menemani, mengapa tak mau jalan seiring? Apakah dia mau menunjukkan kemahirannya menunggang kuda?” memikir demikian, timbullah kemengkalan hati Doro Petak. Mendadak dia memperlambat lari kuda tunggangannya. Pendapatnya tak perlu dia harus tergesa-gesa seperti orang dikejar setan.
Kudanya berjalan pelahan. Sesekali binatang itu memperdengarkan ringkikan. Sementara hati Doro Petak mengembara kemana-mana. Selama ini dia telah turutkan keinginan hati sang ayah, menuntut ilmu kedigjayaan pada Ki Ageng GIRING di pesanggrahan TAMBAK REJO, sejak ibunya meninggal secara aneh tiga tahun silam. Dan ayahnya mengundurkan diri dari jabatan Tumenggung. Kemudian kembali kedesa kelahirannya didesa Klaras Lor.
Ada perasaan kasihan pada ayahnya yang selama ini tak ada yang merawat. Doro Petak telah berniat setelah dia menamatkan pelajaran, akan kembali kedesa. Sampai saat ini belum ada niat dihati si gadis untuk berumah tangga. Mendadak bayangan wajah laki-laki brewok itu terbayang lagi dalam ingatannya. Tak terasa bibirnya tersenyum. Hatinya girang dapat menolong laki-laki itu, memberikan beberapa keping uang.
Uang itu adalah pemberian ayahnya sekitar enam bulan yang lalu ketika dia menjenguknya di desa Klaras Lor. Ayahnya memang memiliki beberapa hektar tanah warisan kakeknya, yang sebagian telah dijual untuk membiayai hidupnya, dan memberikan padanya separuhnya.
Selagi dia menjalankan kuda dengan pikiran menerawang kemana-mana mendadak didengarnya suara ringkik kuda dikejauhan. Tampak dua orang prajurit Kadipaten mengendarai kuda membedal cepat mendatangi. Gadis ini kerutkan keningnya. Walau hatinya agak terkejut, tapi dengan tenang dia menantikan kedatangan mereka. Dua ekor kuda berpenunggang dua laki-laki prajurit Kadipaten itu hentikan kudanya didepan Doro Petak.
“Kami membawa surat dari Den Ayu WENING RANI untuk nona....” kata salah seorang setelah menjura, seraya mengeluarkan secarik lipatan kain kertas dan memberikannya pada gadis ini.
“Ndoro Ayumu telah tiba di Kota Raja?” tanya Doro Petak.
Dua laki-laki itu mengangguk. “Kami hanya menyampaikan surat itu sesuai dengan tugas kami. Dan kami segera akan kembali ke Kadi-paten!” kata prajurit tadi.
Doro Petak belum sempat membuka lipatan surat, ketika dua prajurit itu cepat-cepat mohon diri. “Hm, baiklah! Dan terima kasih atas surat yang anda berdua sampaikan ini...” sahut Doro Petak manggutkan kepala. Tak menunggu lama kedua prajurit segera putar kedua binatang tunggangannya lalu dengan cepat membedal kuda kembali kearah Kota Raja.
Doro Petak menatap mereka sampai kedua prajurit berkuda itu lenyap dari pandangan. “Hm, apakah isi surat ini...?” menggumam gadis ini, seraya cepat-cepat membuka lipatan kertas kain ditangannya. Tertera tulisan yang seperti di-tulis secara cepat.
“DORO PETAK! sebaiknya kau pulang saja. Atau kalau kau mau pergi ketempat ayahmu, silahkan...! Tapi sekembalinya, katakan pada guru, bahwa mulai hari ini aku mengundurkan diri dari perguruan.”
Dari aku WENING RANI. Gadis ini kerenyitkan keningnya. Hatinya bergelut dengan bermacam pertanyaan. “Ada apakah sebenarnya? Mengapa Wening Rani memutuskan berhenti berguru?” benaknya memikir. Sejenak dia merenung.
Tapi tak mengerti, ada persoalan apakah sebenarnya hingga Wening Rani mengambil keputusan seperti itu. Hal itu dianggapnya sangat tidak sopan. Seharusnya Wening Rani membicarakan pengunduran dirinya dengan sang Guru, dan bukan dengan cara seperti itu.
Doro Petak tak dapat memikirkan lebih panjang tindakan aneh gadis saudara seperguruannya itu. Cepat disimpannya surat itu dibalik ikat pinggangnya. Bibirnya menggumam. “Hm, perduli dengan segala tindakannya. Dan aku toh tak perlu tahu urusan dia?”
Sejenak dia tercenung diatas punggung kuda. Akan kemanakah dia kini? Kembali kepesanggrahan TAMBAK REJO atau terus kedesa KLARAS LOR....?
“Sebaiknya aku terus kedesa Klaras Lor menemui ayah...” Setelah mengambil keputusan, gadis ini segera bedal kudanya dengan cepat. Pada jalan bercagak, dia membelok kearah timur. Jalan ini melewati sisi hutan dibawah bukit. Jalanannya penuh batu-batu, tapi merupakan jalan terdekat menuju kedesa itu.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya gadis itu memikirkan tindakan aneh yang dilakukan Wening Rani. Walau dia telah memu-tuskan tak mau mencampuri dan tak mau tahu urusan orang, tapi kenyataannya tetap saja dia memikirkannya. Sementara matahari telah mulai agak condong kearah barat.
WENING RANI berdiri dimuka pendopo, menatapkan pandangan matanya kepintu gerbang Kadipaten. Suara langkah kaki di belakangnya telah membuat dia menoleh. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun lebih mengenakan pakaian warna hitam bersulam benang emas melangkah menghampiri.
“Wening... anakku! Surat apa yang kau tulis tadi, dan kau suruh pengawal mengantarkannya?” laki-laki ini menyapa. Ternyata laki-laki itu Adipati BENDORO NINGRAT.
“Aku benar-benar sebal pada gadis itu. Sok welas asih, sok dermawan, dan menganggap dirinya seolah orang-orang keturunan Ningrat! Aku benar-benar sebal! Benci...!” menyahut Wening Rani dengan muka cemberut.
“Ada apa sebenarnya Wening? Siapa gadis yang kau maksudkan? Kau baru saja tiba, langsung marah-marah...” kata Adipati terheran menatap anak gadisnya.
“Siapa lagi kalau bukan DORO PETAK! Anak bekas Tumenggung yang gila itu!” sahut gadis ini dengan mata membinar dan dada turun naik. Adipati Bendoro Ningrat kerutkan keningnya.
“Doro Petak...? Hm, bukankah dia seperguruan denganmu?” tanya laki-laki ini setelah paham siapa yang dimaksud anak gadisnya.
“Benar! Dia itu perempuan murahan. Tingkah lakunya bikin muak aku. Huh! Mengobral cinta pada semua laki-laki di pesanggrahan. Ketika kuajak kemari untuk menemaniku pun ternyata ditengah jalan main cinta dengan laki-laki. Sungguh bikin aku sebal dan muak!” berkata gadis ini.
“Hm, lalu surat apa yang kau tulis itu, dan untuk siapa?” tanya Adipati Bendoro Ningrat manggut-manggutkan kepala.
“Dia kutinggalkan diperjalanan kemari. Surat itu kutulis buat dia. Tadinya aku hanya meminta dia menemani sampai keperbatasan Kota Raja, sekalian dia akan menemui ayahnya didesa Klaras Lor. Tapi ditengah jalan ada laki-laki yang telah menunggunya...”
“Apa isi suratmu?” tanya Adipati.
“Aku menyuruh dia kembali saja ke pesanggrahan. Sengaja kularikan kuda dengan cepat agar dia tak mampu menyusul. Dan... dalam surat kutulis agar dia menyampaikan pada Ki Ageng GIRING, bahwa aku keluar dari perguruan!” sahut Wening Rani dengan tegas.
Adipati Bendoro Ningrat tersentak kaget. Dia benar-benar terkejut mendengar apa yang diucapkan anak gadisnya. “Maksudmu? Mengapa kau mengambil keputusan mendadak? Bukankah tak ada sangkut pautnya dengan kelakuan anak itu?” tanyanya dengan menatap heran Wening Rani.
“Huh! Tak ada sangkut pautnya, memang! Tapi aku diperguruan merasa dianak tirikan! Tampaknya Ki Ageng Giring lebih menyayangi Doro Petak!” sahut gadis ini ketus.
“Maksudmu... gurumu pilih kasih?” sentak Adipati Bendoro Ningrat. Dadanya tampak bergerak lebih cepat. Tampaknya dia telah termakan kata-kata anak gadisnya.
Wening Rani mengangguk. Matanya masih menatap kearah pintu gerbang. Tapi jelas terlihat sepasang mata gadis ini tampak agak berkaca-kaca. Semua itu tak luput dari penglihatan ayahnya.
Sejenak Adipati ini terdiam beberapa saat. Walau dadanya bergemuruh menahan marah karena pengaduan anak gadisnya, tapi dia masih bisa menahan diri. Lalu ujarnya setelah menghela nafas, dan menimbang-nimbang kebenaran kata-kata anak gadisnya.
“Wening...! Anakku...! Apakah selama ini kau belajar sungguh-sungguh? Dan apakah pilih kasih yang kau maksudkan itu dalam hal kasih sayang atau dalam hal pelajaran?” Pertanyaan Adipati Bendoro Ningrat adalah, karena dia menganggap gadis itu wajar mendapat kelebihan kasih sayang, karena Doro Petak adalah seorang gadis yang telah piatu. Ki Ageng Giring tentu telah menganggap gadis itu sebagai anaknya sendiri.
Wening Rani mengumbar isak. Dia menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu. Tentu saja sang ayah jadi geleng kepala tak mengerti.
“Sudahlah anakku...! Tak usah kau pikirkan hal itu. Sebenarnya akupun tak mempercayakan kau seterusnya pada orang tua itu. Aku hanya ingin kau memiliki dasar ilmu silat. Agar kau tak dianggap rendah orang. Aku akan membawamu ketempat seseorang yang berilmu tinggi. Dia seorang tokoh ahli Yoga, dari Hindustan!” kata Adipati seraya membelai rambut anak gadisnya.
Wening Rani mengangkat kepalanya. Matanya menatap laki-laki Adipati itu dengan membelalak bersinar. “Ahli Yoga? Ilmu apakah itu ayah?”
“Itulah ilmu yang sangat langka. Kelak kalau kau sudah mempelajari, kau akan mengetahui kehebatannya!” sahut Adipati dengan tersenyum.
“Ayah! Aku mau berguru pada orang itu. Dimanakah dia bertempat tinggal? Seorang laki-laki atau perempuan?” tanyanya beruntun.
“Dia seorang perempuan!” menyahut Adipati.
“Ah...! Apakah perempuan itu sebaya dengan ibu?” tanyanya mendesak. Laki-laki alat Kerajaan ini menggeleng. Bibirnya tersenyum.
“Dia seorang perempuan yang hampir menjadi nenek. Mungkin usianya sepuluh tahun lebih tua dari ibumu!” sahutnya.
Wening Rani manggut-manggut. Tampaknya dia sangat girang mendengar niat ayahnya untuk menjadikan dia murid sahabat sang ayah yang berilmu tinggi itu.
“Nah! Lupakanlah gadis nakal Doro Petak itu, juga Ki Ageng Giring! Tapi kuharap kau mau bersabar menunggu beberapa hari sampai tiba saatnya aku membawamu ketempat sahabatku perempuan tua ahli Yoga itu! Kalau kau benar-benar belajar sungguh-sungguh, kau pasti tak akan kecewa...!” kata Adipati Bendoro Ningrat.
Saat itu tampak dua prajurit berkuda mendatangi pintu gerbang. Salah seorang melompat turun dari kuda, dan berlari-lari mendatangi pendopo. “Apakah surat itu sudah kau sampaikan?” tanya Wening Rani mendahului bertanya. Cepat-cepat prajurit itu menjura.
“Sudah, Ndoro Ayu...”
“Bagus! Baiklah...! Kau boleh istirahat!” kata Wening Rani, lalu balikkan tubuh dan beranjak memasuki ruangan. Adipati Bendoro Ningrat masih berdiri dimuka pendopo. Matanya menatap jauh kedepan.
“Hm...Ki Ageng Giring tampaknya tak menghargai aku. Apakah dia menganggap dirinya seperti sudah tak ada tandingannya?” desis laki-laki ini dengan wajah mengelam. Sesaat antaranya laki-laki inipun beranjak memasuki ruangan...
Tepat ketika seorang wanita berpakaian kuning emas dengan perhiasan lengkap keluar dari ruangan dalam, seperti baru bangun tidur. “Kakang Adipati...! Kudengar suara perempuan seperti Wening Rani! Apakah anak kita datang?” tanyanya.
Laki-laki ini manggutkan kepala. “Ya, dia baru saja masuk kamarnya...” sahutnya.
“Oh...! mengapa kau takut membangunkan aku?” katanya, seraya bergegas menuju keruangan kamar gadis itu.
“Biarkanlah dia beristirahat, dia masih lelah...” kata Adipati Bendoro Ningrat sambil melangkah masuk keruang dalam.
Sementara itu si gadis berbaju pulih Doro Petak telah sampai disisi hutan-hutan yang akan dilewatinya. Mendadak kudanya meringkik panjang se-raya mengangkat kaki depannya. Tentu saja dara ini jadi terkejut bukan main. Sebelum binatang itu roboh tersungkur, dia telah melompat dari punggung kuda.
Alangkah terkejutnya Doro Petak melihat binatang tunggangannya berkelojotan meregang nyawa. Selang sesaat binatang itupun melepaskan nyawa. Doro Petak membelalakkan mata melihat binatang itu tertancap sebatang ranting kayu hingga tembus, dan mencucurkan darah.
“Hah! Siapa yang telah membunuh kudaku?” tersentak si gadis, terperangah kaget. Seketika jantungnya berdetak keras. Perasaannya memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Benar saja. Dari atas dahan dan dari balik semak belukar depan dan belakang tiba-tiba bermuncu-lan beberapa sosok tubuh.
Doro Petak tersurut mundur. Pandangan matanya memutar melihat sekelilingnya. Enam orang laki-laki bertampang kasar, dengan pakaian warna hitam telah mengurungnya dari segala penjuru.
“Siapa kalian?” membentak dara ini dengan suara keras. Diam-diam dia memperhatikan tampang orang-orang itu. Ternyata diantaranya terdapat seorang laki-laki yang memakai cadar hitam penutup muka. Kecuali kedua matanya saja yang menyembul diantara dua buah lubang.
“Cepat tangkap dia!” perintah si laki-laki bercadar. Serentak kelima orang merapatkan kepungan. Dua diantaranya mengeluarkan gulungan tambang.
Melihat demikian Doro Petak mencabut pedangnya. Dalam hati dia membathin. “Siapa sebenarnya mereka? Dan.... siapa pula orang bercadar itu?”
Namun Doro Petak tak dapat berpikir lama, karena lima orang itu telah menerjang. Pedang di-tangan gadis ini berkelebat menyambar kesetiap sosok tubuh yang mendekat. Ternyata mereka sangat gesit. Gerakan melompatnya begitu cepat. Dua berkelebat menghindar, dua maju merangsak, seperti memencarkan perhatian si gadis.
Si laki-laki bercadar juga turut maju mengepung. Sementara dua laki-laki yang mencekal tambang, hanya berkelebatan kesana kemari mencari kesempatan melemparkan tali jeratannya. Doro Petak yang baru pertama kali diserang oleh sekelompok pembegal itu benar-benar bertarung mati-matian mengeluarkan segenap ilmu pedangnya demi mempertahankan diri.
Pedangnya menyambar-nyambar disertai bentakan-bentakan nyaring. Namun sejauh itu dia bertempur, tapi tak sedikitpun ujung pedangnya mampu menggores kulit tubuh lawan. Walaupun dia sudah mandi keringat. Mereka memang gesit menghindarkan diri. Dan sengaja menyerang dengan tangan kosong agar tak melukai tubuhnya.
Lama-kelamaan semakin gusar gadis ini, karena merasa dipermainkan. Mendadak dia membentak keras. Serangan pedangnya tiba-tiba berubah ganas. Kilatan pedang membentuk gulungan cahaya putih berkredepan. Gadis ini gunakan jurus ilmu pedang Seribu Elang Mengejar Mangsa. Sekejap saja tubuh dara ini seperti terbungkus cahaya perak, saking cepatnya dia memainkan pedang.
Perubahan gerakan gadis ini agak membuat mereka terkejut. Kilatan cahaya pedang disiang terik itu cukup menyilaukan pandangan mata mereka. Mendadak dara itu keluarkan bentakan nyaring sekali lagi. Tahu-tahu tubuhnya meletik keudara. Berbareng dengan letikan tubuh gadis itu, lengan dara ini mengibas. Dan menyambarlah tiga larik cahaya putih ketiga penjuru.
“Awas! Senjata rahasia!” teriak si laki-laki bercadar.
Namun peringatan itu terlambat. Seorang yang membawa tambang penjerat terjungkal, dan seorang lagi dari pengepungnya terkena sasaran. Sedangkan si laki-laki bercadar itu berhasil menangkap sambaran senjata rahasia gadis itu yang menyambar deras kearahnya. Dengan menjerit parau dua pengeroyok itu terkapar roboh.
Mendelik mata si laki-laki bercadar melihat pisau belati kecil disela jepitan jari tangannya. Tampaknya laki-laki bercadar ini agak jerih melihat kehebatan ilmu pedang gadis itu. Dia memberi isyarat pada tiga orang kawannya.
“Mari kita pergi!” teriaknya. Lalu mendahului berkelebat melompat masuk hutan. Tiga orang ka-wannya cepat berkelebatan menyusul. Sebentar saja kawanannya pembegal itu telah lenyap dari pandangan mata gadis itu.
Doro Petak menatap kearah dua laki-laki dari kawanan pembegal itu yang tergeletak tak bergerak. Pada dada dan lehernya tertancap belati-belati maut senjata rahasianya. Gadis ini diam-diam bersyukur dalam hati, karena para pembegal itu tak terus mengepungnya. Seraya memasukkan pedangnya kedalam serangka, dia pun segera berke-lebat meninggalkan tempat itu.
Sambil berlari-lari cepat melewati jalan setapak, gadis ini tak hentinya memikir dalam benak. Siapa adanya kawanan begal itu. Terutama laki-laki bercadar hitam itu yang tak dikenal wajahnya.
“Untunglah mereka melarikan diri... Kalau tidak, tak tahulah aku. Apakah aku sanggup meng-hadapi yang lainnya? Rasanya ada yang aneh? Jurus itu tak pernah terpikir olehku untuk mengeluarkannya. Tapi aku telah mempergunakannya diluar kesadaranku...” berkata gadis ini dalam hati.
Sementara itu mulut desa KLARAS LOR telah kelihatan didepan mata. Dara ini memperlambat larinya. Napasnya tampak memburu. Dan lututnya terasa lunglai. Pertarungan tadi baru pertama kali dihadapi selama dia berguru dipesanggrahan Tambak Rejo.
Rumah tua milik ayahnya yang berada di ten-gah kebun kopi, telah kelihatan dari jauh. Doro Petak seperti tak sabar untuk segera tiba. Entah mengapa hatinya berdebaran aneh. “Apakah akan ada terjadi sesuatu lagi?” pikirannya dalam benak. Langkahnya dipercepat.
Ketika dia tiba didepan pintu rumah tua milik ayahnya, sejenak dia tertegun. Matanya menatap kearah pintu dengan rumah tua itu yang menjeblak terbuka. Tapi ada sesuatu yang aneh. Sebelah daun pintu itu agak miring. Hatinya tercekat. Cepat dia melompat, setengah berlari mendaki anak tangga.
Kini jelaslah. Pintu rumah tua itu lepas engselnya sebuah. Sejenak dia terpaku menatap. Matanya menjalari sekitar teras. Lalu memutar tubuh, dan mengarahkan pandangan kesekitar kebun kopi. Kalau-kalau dia dapat melihat ayahnya disana. Tapi tempat itu sunyi. Tak ada suara siapa-siapa. Begitu lengangnya dan sangat mencekam. Sementara matahari semakin menggelincir kearah bukit.
Dia tersentak ketika mendengar suara berkeriutnya daun pintu. Ketika dia balikkan tubuh, tampak seseorang berdiri dimuka pintu. “Seorang wanita? Siapakah...?” jantungnya menyentak.
“Masuklah...cah ayu...! Mengapa kau hanya berdiri diluar saja?” Perempuan tua itu menyapa. Tampak bibirnya mengulas senyum, lalu sosok tubuh itu lenyap, beranjak masuk lagi kedalam rumah.
“Siapakah perempuan tua itu? Apakah seorang tetangga ayah yang bekerja dirumah ini?” bertanya-tanya si gadis dalam hatinya.
Lambat-lambat dia melangkah. Lalu melebarkan daun pintu. Terdengar suara berkeriut dari sisi pintu. Agaknya pintu rumah itu sudah mulai tua dan berkarat. Kepala Doro Petak menjulur melihat keadaan didalam.
Tampak perempuan tua tadi tengah duduk di kursi rotan tua. Di atas meja ada seperangkat pakaian dan sebuah keranjang jahitan. Melihat Doro Petak masuk, diam meletakkan pakaian yang tengah dijahitnya. Bibir perempuan tua itu kembali mengulas senyum.
“Silahkan duduk cah ayu...!” kata wanita tua ini ramah. Doro Petak mengangguk sambil menjura. Mulutnya baru membuka untuk ajukan pertanyaan, tapi wanita tua itu telah lebih dulu berkata.
“Kau Wening Rani, bukan? Ah, ilmu pedang-mu sangat luar biasa, cukup mengagumkan...! Kau cukup punya keberanian, dan banyak akal. Tampaknya tak sia-sia kau menuntut ilmu kedigjayaan pada Ki Ageng Giring!”
Tentu saja Doro Petak jadi melengak heran. Cepat-cepat dia menyahut. “Aku...” tapi belum lagi dia melanjutkan, wanita tua itu telah memotong.
“Sudahlah! Sebaiknya kau beristirahat dulu! Pergilah mandi kebelakang. Tubuhmu penuh keringat. Kau tentu lelah sehabis melakukan perjalanan jauh. Apa lagi kau baru habis bertempur, dan kau terpaksa jalan kaki kemari. Aku telah memasak makanan enak. Kau tentu belum pernah mencicipi masakan Hindustan!” kata wanita tua itu.
“Masakan Hindustan...?” sentak Doro Petak dalam hati. Ya, untung hanya dalam hati. Sesuatu yang aneh telah tersirat dibenak gadis ini. Siapakah wanita ini yang menyangka dia Wening Rani...? Seraya mengangguk, dan melangkah cepat keruang belakang, Doro Petak mereka-reka dalam hati.
“Ini benar-benar aneh! Kemanakah ayah...? Perempuan itu menyangka aku Wening Rani. Apakah hubungan Wening Rani dengannya? Dan apa pula hubungannya dengan ayahku...?” Sambil melangkah, mata gadis ini melirik kearah pintu kamar yang agak sedikit terbuka.
“Tak ada siapa-siapa...! Aneh! kemanakah ayah...?” sentaknya dalam hati. Dengan benak agak kalut, Doro Petak melangkah juga menuju kamar mandi. “Sebaliknya aku tak mengatakan dulu siapa aku sebenarnya. Kesempatan sebelum Wening Rani muncul akan kugunakan untuk menanyakan ayahku. Setidak-tidaknya dia mengetahui keadaan seorang laki-laki tua bekas seorang Tumenggung yang memiliki rumah ini...” pikir si gadis mengatur rencana.
Sambil membuka pakaiannya setelah menutup pintu kamar mandi, benak Doro Petak terus memikir. Satu hal yang cukup aneh pula, adalah perempuan tua itu mengetahui pertarungan dia dengan para pembegal. Hatinya mulai curiga. Dia teringat kematian ibunya tiga tahun yang lalu yang secara aneh.
Di ingat ketika itu ayahnya tengah pergi bertugas kelain wilayah. Cuma dia dan ibunya yang berada digedung Ketumenggungan di Kota Raja. Karena ayahnya akan bertugas selama sepekan, Doro Petak tak pergi kemana-mana. Biasanya dia sering berkeliling disekitar Kota Raja dengan menunggang kuda. Dia sangat gemar menunggang kuda. Tapi selama sepekan itu terpaksa mengeram dirumah menemani ibunya.
Pada malam pertama seperginya ayahnya, Doro Petak tidur satu tempat tidur disamping ibunya. Demikian pula pada malam kedua dan ketiga, karena ibunya minta ditemani. Akan tetapi pada malam ketiga, Doro Petak merasa panas luar biasa. Hingga sekujur tubuhnya berkeringat. Dilihatnya ibunya tidur lelap seperti tak merasakan udara yang begitu panas.
Lambat-lambat dia bangun dari pembaringan. Setelah mengawasi ibunya, dia membuka jendela sedikit agar angin dapat masuk. Lalu merebahkan lagi tubuhnya. Tapi hawa panas tetap membuat dia gelisah. Akhirnya dengan hati-hati dia keluar dari kamar ibunya. Doro Petak masuk kekamarnya, dan membuka jendela lebar-lebar. Udara dari luar cukup membuat dia merasa nyaman beberapa saat.
Matanya kembali merasakan kantuk, setelah menghirup udara malam yang cukup segar. Dirapatkannya jendela sedikit. Dan dibaringkan tubuhnya dengan harapan dia bisa tidur, dan bangun agak lebih pagi. Sebentar saja dia telah teridap dalam mimpi.
Ketika dia terbangun ternyata matahari telah menyorot masuk dari jendela. Gadis ini terkejut dan melompat bangun. Dia merasa telah tertidur sangat lelap. Bergegas dia kebelakang untuk mencuci muka. Lalu kedapur untuk menyalakan tungku. Tapi sejenak dia tercenung. Sudah bangunkan ibunya? Biasanya kalau dia bangun terlambat, ibunya telah memasak air.
Mendadak dia mendengar suara ibunya berteriak-teriak. Tentu saja membuat dia terkejut, dan melompat seperti terbang kearah kamar ibunya. Apa yang dilihatnya. Didapati ibunya dalam keadaan aneh. Dia menjambaki rambutnya sambil berteriak-teriak. Pakaiannya tak keruan. Doro Petak menghambur mendekati. Tapi dia telah dibentak oleh ibunya.
Gadis ini menyurut mundur dengan terheran dan mata membelalak. Tak seperti biasanya sang ibu bersikap demikian. Dan belum pernah selama hidup dia dibentak seperti itu. Ibunya sangat menyayanginya.
Doro Petak jadi panik dan kebingungan. Ibunya kembali menjerit-jerit dan melemparkan apa yang ada didekatnya. Gadis ini tak berani mendekat. Dia cuma bisa menangis dengan ketakutan. Setelah mengamuk dan berteriak-teriak akhirnya ibunya tak sadarkan diri. Banyak orang datang berkerumun kegedungnya untuk melihat keadaan ibunya, dan memberi pertolongan.
Sehari sebelum kedatangan ayahnya, ibunya menghembuskan napas yang terakhir. Setelah beberapa orang tabib dan dukun silih berganti mencoba menyadarkan ibunya yang pingsan lebih dari dua hari dua malam. Doro Petak menangis tak berkeputusan.
Dan sejak kematian ibunya yang secara, aneh itu, ayahnya menampakkan perubahan. Seperti kurang beres ingatannya. Terkadang bila sedang sadar dia menangis tersedu-sedu. Tapi bila sedang kumat penyakitnya, dia tertawa-tawa. Kelakuannya mirip orang yang tidak waras.
Dalam keadaan demikian, Adipati Bendoro Ningrat sering datang menyambangi ayahnya. Banyak memberi nasihat, dan menghibur hati mereka. Lambat laun penyakit ayahpun sembuh. Tapi beberapa hari kemudian, ayahnya menghadap Adipati, dan menyatakan pengunduran diri.
Sejak itu ayah mengajak dia pindah kedesa Klaras Lor, tempat kelahiran dan kampung halaman ayahnya. Belum sebulan mereka pindah didesa yang sunyi itu, ayahnya mengutarakan maksudnya untuk membawa dia pada seorang sahabatnya didesa lain. Ayahnya menginginkan dia mempela-jari ilmu kedigjayaan. Doro Petak tak dapat menolak.
Demikianlah, untuk menyenangkan hati sang ayah, diapun menetap dipesanggrahan Tambak Rejo, berguru pada Ki Ageng GIRING hingga sampai saat ini. Ternyata sebelum kedatangannya kepesanggrahan itu, Wening Rani telah lebih dulu berguru pada orang tua itu. Perbedaannya tak berapa jauh.
Karena gadis itu baru sekitar sebulan dipesanggrahan itu. Tentu saja dia mengenal Wening Rani, karena gadis anak Adipati Bendoro Ningrat itu adalah kawan bermainnya. Mereka sama-sama gemar menunggang kuda....
Ingatan masa lalu itu mendadak lenyap. Doro Petak tersadar dari lamunannya. “Ah, aku telah melamun terlalu jauh. Aku harus cepat mengetahui keadaan ayah...!”
Doro Petak tak ingin peristiwa lalu itu menimpa ayahnya. Gadis ini cepat-cepat melepas pakaian terakhir. Air yang meng-guyur tubuhnya membuat dia merasa segar. Tapi tak dapat melenyapkan ketegangan yang kian memuncak saat itu. Doro Petak tak ubahnya bagai api dalam sekam....
DALAM KAMAR, DORO PETAK rebahkan tubuhnya dipembaringan. Hatinya gelisah. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Memikirkan keadaan ayahnya yang tak diketahui kemana perginya, sepasang mata gadis ini berkaca-kaca. Hatinya mulai menduga-duga siapa adanya wanita asing itu.
Mendadak telinganya mendengar suara derap kaki-kaki kuda, seperti mendatangi kearah rumah tua itu. Hati Doro Petak tercekat. “Siapa yang datang...?” sentaknya dalam hati.
Diam-diam dia membuka jendela dan meregangkan sedikit. Matanya membelalak melihat seorang laki-laki menunggang kuda memasuki halaman rumah. Dia mengenal betul siapa adanya laki-laki itu.
“Adipati Bendoro Ningrat...?” jantung Doro Petak menyentak. Mendadak bayangan buruk terlintas dimata gadis ini. Cepat dia beranjak dan dengan berjingkat mengunci pintu kamar. Sengaja dia membiarkan jendela itu merenggang. Bila keadaan tak mengizinkan, dia bisa melompat dari jendela, dan melarikan diri.
Doro Petak duduk dipembaringan dengan gelisah. Mendadak bayangan masa silam terpampang dibenaknya. Ketika Adipati Bendoro Ningrat menyambangi ayahnya yang sedang sakit goncangan jiwa setelah kematian ibunya, dia tak dapat melupakan tatapan mata liar Adipati itu ke arahnya.
Seperti seakan-akan tatapan matanya menguliti tubuhnya. Ada sedikit prasangka buruk terhadap Adipati itu yang dihubung-hubungkan dengan kejadian aneh yang menimpa ibunya, hingga sampai ajal merenggut nyawa ibunya. Tapi dia telah memendamnya dalam hati.
Dia masih terlalu muda untuk memikirkan hal yang terlalu jauh. Dan prasangka buruk itupun lenyap sendiri. Apalagi dari keterangan ayahnya, ibunya memang sering mengalami hal demikian sejak mengandung anak yang pertama, yaitu dirinya sendiri. Diam-diam gadis ini memasang telinga untuk mendengar pembicaraan. Terdengar suara perempuan itu menyambut kedatangan Adipati.
“Selamat datang tuan Adipati...!”
Tapi disusul dengan suara. “Ssssss....! Apakah ada seorang gadis kemari?”
“Bukanlah dia...” menyahut suara si perempuan asing. Suaranya agak perlahan. Sesaat hening. Lalu terdengar suara bisik-bisik Adipati. “Jadi dia...” Suara si wanita agak tercetus sedikit keras, tapi kemudian suara mereka lenyap.
Doro Petak memasang telinga sampai beberapa saat. Tak terdengar suara apa-apa lagi. Tapi selang sesaat terdengar suara derit pintu seperti suara pintu yang dibuka perlahan, dan ditutup. Selanjutnya semua kembali lengang, sepi dan sangat mencekam bagi telinga gadis ini. Dia tak tahu lagi apa yang dilakukan Adipati dan perempuan asing itu.
Setelah memikir bolak-balik, akhirnya Doro Petak memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Setelah menyorenkan pedangnya ke belakang punggung, berindap-indap dia mendekati jendela. Dikuakkan pintu jendela lebih lebar. Beruntung gadis ini karena engsel jendela tua itu tak menimbulkan bunyi berderit.
Dengan hati-hati sekali agar tak menimbulkan suara, serta menahan napas, Doro Petak merambat turun dari jendela. Lalu dengan sangat hati-hati melangkah melalui jalan disisi rumah, menuju kearah halaman.
Tampak kuda putih Adipati Bendoro Ningrat berada di halaman. Sesaat dia berhenti untuk mengawasi keadaan. Pintu depan rumah tua itu agak setengah terbuka. Doro Petak menatap sejenak. Lalu melompat mendekati kuda. Gerakannya cukup ringan untuk tak menimbulkan suara.
Secepat itu juga lengannya membuka tali penggrudi yang terikat ditiang. Tapi secepat itu pula dia telah melompat cepat kepunggung binatang itu. Detik berikutnya Doro Petak telah membedal kuda dengan cepat keluar dari halaman rumah tua itu.
Tak ada tanda-tanda gerakan orang keluar dari dalam rumah tua itu. Tapi selang sesaat setelah bayangan tubuh gadis dan kuda putih itu lenyap dibalik pohon-pohon kopi, direlung bukit, terden-gar suara si perempuan asing dari arah ruang kamar. Pintu kamar itu tampak masih tertutup seperti semula.
“Tuan Adipati membiarkan dia pergi....?”
Adipati Bendoro Ningrat perdengarkan suara tertawa perlahan. “Biarlah dia pergi...! Orang-orangku telah siap untuk menawannya lagi. Dan... kita toh tak ingin ketenangan kita terganggu, bukan?” menyahut suara Adipati.
Terdengar suara wanita asing itu tertawa manja. Kemudian kelengangan kembali merayapi rumah tua itu.
HARI itu pasar diwilayah Kota Raja tampak lebih ramai dari hari-hari biasa. Penjual barang-barang pecah-belah sampai pakaian dan makanan, bahkan mainan anak-anak didagangkan orang. Pembeli simpang siur mencari barang yang akan dibelinya. Pantas kalau hari itu pasar Kota Raja sangat ramai, karena hari itu adalah hari pasaran yang selalu lebih ramai dalam setiap satu pekan sekali.
Seorang laki-laki jembros berpakaian kain kasar warna kuning, dan celana pangsi warna hitam, tampak berjalan mondar-mandir diantara simpang-siurnya pembeli. Entah apa gerangan yang akan dibelinya. Matanya menatap kesetiap toko. Mendadak dia merandek didepan sebuah toko barang kelontong. Toko tersebut menjual berbagai alat rumah tangga yang terbuat dari bambu.
Pandangan mata si laki-laki jembros tertuju pada sebuah topi capil dari bambu berlapis pelepah daun pinang. Ternyata topi capil itulah yang dicarinya. Lantas saja dia menghampiri toko itu, lalu lengannya menunjuk kebenda tersebut ketika sipenjual barang-barang menghampiri.
“Yang ini, paman?” tanya pedagang kelontong itu. Dia seorang laki-laki yang masih cukup muda.
“Wah! paman beruntung. Barang ini tinggal satu-satunya. Kalau terlambat, mungkin tak ke bagian. Ini topi capil paling kuat. Barang kiriman dari desa Tamblong. Terkenal kuat, dan rapi anyamannya!” kata si pedagang kelontong.
“Mm, berapa harganya?” tanya si laki-laki jembros, setelah mengamati dan mencoba dikepala nya.
Pedagang itu tersenyum dan berpikir sejenak. Lalu berkata. “Tadi kujual lima ketip. Karena topi capil ini tinggal satu-satunya, biarlah paman bayar saja, empat ketip!”
Si laki-laki jembros termenung sesaat. Menghitung-hitung uangnya dalam genggaman. Selang sesaat dia berkata. “Uangku tinggal empat ketip. Kalau kuberikan semua, aku tak ada buat menangsal perut. Bagaimana kalau tiga ketip saja? Sisanya satu ketip un-tuk beli makanan?” Si pedagang terdiam sesaat.
“Baiklah! Aku percaya paman tak punya uang lagi. Nah, ambilah...” katanya memberikan topi capil itu.
Laki-laki jembros segera membayarnya. Sisa uang satu ketip itu dimasukkan dalam sakunya. Laki-laki jembros itu ucapkan terima kasih.
“Hm, lumayan. Bisa menahan kepalaku dari sengatan panas matahari...” gumam si laki-laki jembros, seraya mengenakan topi capil itu. Kemudian melangkah pergi. Baru beberapa langkah dia berjalan, diantara simpang-siurnya orang yang be-lanja dan melihat-lihat, mata laki-laki ini tiba-tiba tertuju pada punggung seorang wanita berbaju hijau bercelana pangsi warna merah yang merah yang menunggang kuda. Sejenak dia tertegun. Sebentar saja dia telah mengenali siapa adanya gadis itu.
“Kemanakah Doro Petak....?” menggumam si laki-laki brewok. Ternyata dia adalah laki-laki yang pernah ditendang dari atas kuda, ketika tengah berjalan ditengah jalan desa.
Gadis penunggang kuda itu memang WENING RANl adanya. Dia tengah melihat-lihat keramaian dipasar Kota Raja. Entah apa yang akan dibelinya. Si laki-laki brewok terilis memperhatikan gadis itu berkeliling-keliling pasar. Sambil terus memperhatikan dengan sudut matanya, laki brewok ini menghampiri seorang pedagang telur.
“Kau mengenal gadis penunggang kuda itu?” tanya si laki-laki brewok.
Pedagang telur itu mengangguk. “Ya! Dia puteri Adipati BENDORO NINGRAT!” sahutnya menatap heran pada laki-laki itu.
Pedagang dipasar itu memang hampir semua mengenal gadis itu. Dan tak seorang pedagangpun berani menolak bila gadis itu menginginkan suatu barang yang dipintanya.
Laki-laki brewok ini manggut-manggut. Sebelum si pedagang telur menanyakan maksudnya lebih jauh, cepat-cepat laki-laki ini angkat kaki, dan menyelinap diantara kerumunan pedagang penjual barang obral.
Sementara itu WENING RANI tampaknya tak tertarik untuk “membeli” sesuatu. Dia cuma melihat-lihat keramaian saja. Tak lama dia menjalankan kudanya keluar dari pasar. Mendadak disebelah luar terdengar suara ramai seperti ada terjadi keributan.
Seorang pengawal tampak tengah membentak-bentak seorang laki-laki jembros bertopi capil, dikerumuni banyak orang yang menonton. Tak ayal Wening Rani segera membedal kuda menghampiri.
“Kau bicara apa tadi dengan tukang telur? Matamu selalu memandang ke arah Ndoro Ayu Wening Rani!” Bentak pengawal itu.
“Aku... aku... tidak bicara apa-apa....” sahut si laki-laki brewok tergagap.
“Bangsat! Kalau bicara dihadapanku, buka topi capilmu!” hardik perwira Kerajaan itu.
“Ya...! Baik, tuan!” kata si laki-laki Jembros, seraya membuka topi capilnya.
“Bagus! Kini katakan, apa yang kau bicarakan pada tukang telur itu?” bentak si pengawal lagi.
“Sungguh, tuan aku tak bicara apa-apa...” menyahut si brewok.
“Dusta! Aku telah dengar sendiri dari tukang telur, bahwa kau memburuk-burukkan Den Ayu WENING RANI? Kau pasti mata-mata. Aku sering melihat kau dalam beberapa hari ini berada dipasar!”
Tentu saja kata-kata keras pengawal itu terdengar oleh Wening Rani. Seketika wajah gadis ini berubah merah padam.
“Sungguh tuan! Aku... tidak... tidak...”
Akan tetapi kata-kata laki-laki brewok itu terputus oleh suara bentakan si pengawal. “Bangsat! kau masih menyangkal?”
Buk!
Tinju pengawal itu melayang menghantam dada laki-laki brewok itu, membuat dia berteriak kesaki-tan, dan roboh terjengkang.
“Minggir....!” Satu teriakan nyaring membuat semua kepala menoleh kearah datangnya suara itu. Wening Rani telah melompat dari atas punggung kuda. Dan, dengan wajah marah padam menghampiri si laki-laki brewok.
Melihat kedatangan gadis ini, sipengawal menjura dalam-dalam. “Den Ayu... aku telah lama mencurigai orang ini. Tampaknya dia bermaksud tidak baik terhadap Den Ayu... Mungkin dia mata-mata!” kata si pengawal.
Wening Rani tak menyahut. Matanya menatap tajam laki-laki brewok itu. Mendadak dia tertawa gelak-gelak, dan berkata dengan suara dingin.
“Heh! Kiranya kau si jembel busuk yang pernah kutendang di jalan desa beberapa hari yang lalu? Kau memata-matai? Pasti orang tua bernama Ki Ageng GIRING itu yang menyuruhmu memata-matai aku!”
Laki-laki jembros ini balas menatap gadis itu seraya berkata. “Lupakanlah soal kecil itu, nona! Saat itu mungkin aku yang bersalah, karena tak mendengar suara kuda mendatangi dari arah belakang. Saat itu aku tengah melamun...! Tapi kalau nona menuduh aku mata-mata guru silat pesanggrahan Tambak Rejo itu, sungguh salah besar. Aku hanya mau menanyakan, dimanakah gadis kawan serperguruan nona yang bernama Doro Petak itu?“
“Heh! Mau apa kau menanyakan dia?” berkata sinis Wening Rani.
Pada saat itu tiga orang prajurit kadipaten berkuda telah mendatangi. Orang-orang yang mengerumun melihat pertikaian itu segera menyingkir pergi. Ketiganya melompat turun dari atas kuda. Salah seorang menghadap gadis puteri Adipati itu.
“Den Ayu...! Kanjeng Gusti Adipati memanggilmu...!” kata prajurit ini. “Baik! Aku segera kembali! Sekalian kalian tangkap mata-mata pemberontak ini! Dan bawa ke Kadipaten!” kata Wening Rani seraya melompat kepunggung binatang tunggangannya.
Serentak ketika pengawal itu berlompatan kearah si laki-laki jembros. Terkejut laki-laki itu. Tanpa melawan lagi, karena tak ada gunanya, dia mandah saja ketika lengannya dibrogol.
“Hayo! Cepat naik!” bentak pengawal yang satu. Setelah menyeret laki-laki itu mendekati salah seekor kuda.
Mau tak mau laki-laki jembros itu terpaksa naik keatas kuda. Wening Rani memerintahkan ketiga prajurit Kadipaten itu berangkat lebih dulu. Ketika pengawal itupun segera membedal kuda dengan membawa tawanan laki-laki itu.
Wening Rani menghampiri pengawal petugas pasar, yang membungkuk hormat. “Hm, kau telah bertugas dengan baik! Aku akan laporkan pada Kanjeng Adipati agar gajimu dinaikkan!”
“Oh, terima kasih, Gusti Ndoro Ayu...” menya-hut pengawal itu dengan wajah berubah girang.
“Siapa namamu?” tanya Wening Rani.
“Suro Tomo, Gusti Ayu...!” sahutnya.
Wening Rani mengangguk. “Ya, ya! Pergilah kau bertugas lagi!” kata gadis ini, kemudian putar ku-danya, dan membedalnya dengan cepat menyusul ketiga prajurit kadipaten tadi.
TUDUHAN WENING RANI terhadap si laki-laki brewok itu cukup membuat Adipati Bendoro Nin-grat semakin berang terhadap Ki Ageng GIRING. Apalagi Adipati Bendoro Ningrat sudah merasa terhina dengan perlakuan guru silat itu terhadap puterinya.
Yang lebih jelas, Ki Ageng GIRING kini merupakan perintang yang harus disingkirkan. Karena orang tua itu lambat-lambat pasti akan mencium apa yang telah dilakukan. Telah beberapa hari ini dia merencanakan sesu-atu untuk memulai langkah tindakannya. Adipati Bendoro Ningrat tampak tersenyum. Dia telah mempersiapkan beberapa rencana jitu segera akan dilaksanakannya.
“Bagus! Tawanan itu dapat membantu aku mempetimatikan perbuatanku. Untuk itu aku memerlukan bantuan orang yang selama ini banyak berjasa padaku...! Dan... perempuan ahli Yoga sahabatku itu bisa di manfaatkan tenaganya!” berdesis Adipati Bendoro Ningrat. Lalu beranjak meninggalkan ruang kamar pribadinya.
Adipati Bendoro Ningrat ternyata menuju kearah ruang tahanan, untuk melihat tawanan itu. Dua orang pengawal menjura dipintu tempat ruang tahanan, lalu membuka pintu berjeruji dimana didalamnya meringkuk si laki-laki jembros itu.
“Siapa namamu?” bertanya Adipati.
Laki-laki jembros itu tidak menyahut. Tapi matanya melirik dari sela lengannya yang memeluk lutut. Dia tetap diam tak bergeming.
“He! Tulikah kau?” bentak Adipati.
Tapi tetap saja laki-laki itu meringkuk memeluk lutut disudut ruang penjara, dan diam tak menyahut. Dengan wajah merah padam Adipati Bendoro Ningrat meninggalkan ruang tahan itu. Dua pengawal itu segera mengunci lagi ruang kamar tahanan itu.
WENING RANI membedal kudanya menuju gedung kediaman Tumenggung ASMORO. Tumenggung yang baru, pengganti Tumenggung KERTOSONO yang telah mengundurkan diri, yaitu ayah DORO PETAK. Laki-laki yang baru menjabat Tumenggung satu bulan yang lalu itu masih muda. Usianya sekitar tiga puluhan tahun.
Ketika seorang pengawal melapor kehadapannya, Tumenggung ini mengangguk. “Katakan, sebentar aku datang menemui!!” katanya. Pengawal itupun melangkah pergi. Tumenggung Asmoro memasuki ruang kamarnya. Mengganti baju kemejanya dengan warna biru gelap. Menyisir rambutnya didepan kaca. Lalu kenakan topi ketumenggungan, dan keluar dari kamar.
Wening Rani tak terlalu lama menunggu diruang pendopo. Dia telah melihat kedatangan laki-laki Tumenggung itu. Dengan menjura serta menggambar senyum, Tumenggung Asmoro berkata.
“Ada keperluan apakah, Den Ayu Wening kemari? Tentu ada hal yang sangat penting...”
Gadis puteri Adipati ini mengangguk. Diam-diam hati dara ini agak terpikat melihat ketampanan wajah Tumenggung muda itu. Telah dua kali dia bertemu, sejak dua pekan, setelah dia kembali menetap di Kota Raja. Pertama ketika Tumenggung muda itu datang ke Kadipaten. Kedua ketika dia pulang dari pasar Kota Raja, ketika membawa ta-wanan laki-laki jembros itu.
“Aku membawa surat dari ayahanda...!” kata Wening Rani. Lalu gadis ini berikan secarik lipatan kertas kain pada laki-laki itu. Cepat Tumenggung Asmoro membaca surat tersebut.
“Hm, baiklah! Terimakasih atas surat yang kau sampaikan ini, Den Ayu...”
“Kalau begitu, aku permisi...” Wening Rani bangkit dari kursinya.
“Ah, mengapa terburu-buru...? Sebaiknya kusediakan minuman untuk menjamu Den Ayu Wening. Oh, ya! kudengar Den Ayu telah mengundurkan diri dari pesanggrahan Tambak Rejo? Apakah Den Ayu telah menamatkan pelajaran?” sambung Tumenggung muda itu.
Wening Rani memang menantikan kata-kata yang ditunggunya. Dia ingin agak lama bercakap-cakap mengenai apa saja dengan laki-laki muda itu. Wening Rani mengangguk. “Benar! Aku memang telah keluar dari perguruan itu. Ayah menyesal membawaku kesana. Tapi ayah telah mencarikan aku seorang guru lain. Seorang tokoh persilatan dari Hindustan. Menurut ayah seorang ahli ilmu Yoga!” sahut Wening Rani.
Tumenggung Asmoro manggut-manggut. “Wah! Den Ayu beruntung. Kelak tentu akan memiliki ilmu yang sangat tinggi, dan langka...!” kata laki-laki ini.
“Apa yang diharapkan ayah memang demikian!” menyahut gadis ini.
“Oh, ya...! Kuambilkan minuman untukmu. Tunggulah sebentar”
Wening Rani mengangguk. Dan Tumenggung muda itu beranjak masuk keruang dalam. Tak berapa lama telah keluar lagi dengan membawa dua cawan minuman. “Aku telah lama menyimpan anggur wangi ini. Enak, dan sangat menyegarkan. Den Ayu suka?”
“Sekali-sekali aku suka minum anggur. Tapi belum pernah mencicipi anggur sewangi ini...” kata Wening Rani seraya menyambut cawan. Hidungnya mengendus bau harum minuman dalam cawan itu.
“Cobalah...! Segar sekali rasanya!” kata Tu-menggung Asmoro seraya mendahului meneguk. Wening Rani menyeruputnya sedikit. Kemudian meminumnya beberapa teguk.
“Bagaimana?” tanya Tumenggung Asmoro.
“Enak, menyegarkan tenggorokan. Tapi agak keras....!” sahut Wening Rani.
“Jangan kuatir! Den Ayu tak akan mabuk!” Tumenggung Asmoro tersenyum.
“Justru aku ingin mabuk...” kata Wening Rani. Entah mengapa ketika melihat Tumenggung muda itu tersenyum, hatinya berdebar aneh. “Bolehkah aku beristirahat sejenak dikamarmu?” tanya Wening Rani dengan atas setengah terkatup.
“Mengapa tidak? Mari kuantar, Den Ayu...” sahut Tumenggung Asmoro.
Wening Rani bangun berdiri dengan agak terhuyung. Cepat-cepat Tumenggung muda ini memayangnya keruang dalam.
UDARA MALAM YANG DINGIN menyelimuti sekitar kadipaten. Wening Rani menarik kain selimutnya. Membuntal tubuhnya dengan kain tebal itu. Sukar sekali dia memicingkan mata. Kejadian siang tadi digedung ketumenggungan selalu membayang dalam ingatannya.
Seolah-olah dekapan lengan Tumenggung muda itu masih terasa. Dan sesuatu hal yang sukar dia melupakannya membuat darahnya mengalir lebih cepat. Dan terpanarlah dia dalam kesendirian, dengan napas memburu.
Mendadak ada perasaan benci yang membludak pada ayahnya, ketika ingatan masa silam kembali membayang dalam ingatannya. Dia memang tak dapat melupakannya. Walau dia dapat menutup rahasia itu rapat-rapat.
“Ayah memang binatang....!” mendesis gadis ini dengan air mata menitik dikelopak matanya. Terbayang dimatanya ketika suatu malam yang sunyi sepi ayahnya bangkit dari pembaringan dengan tubuh bersimbah peluh. Dia hanya dapat menatap dari balik air matanya dengan mulut terkatup dan isak tertahan dalam dada.
Saat itu dia berkata. “Mengapa kau lakukan ini, ayah...? Bagaimana kalau aku.... aku hamil?” Suara yang dilontarkannya hanya berupa desis. Ayahnya hanya tersenyum, dan menggeleng. Lengannya membelai rambutnya penuh kasih sayang, seraya katanya.
“Kau tak akan hamil, cah ayu....! Percayalah...! Dan kau harus menutup rahasia ini sampai kapan pun. Sampai mati! Aku bersumpah tak akan mengulangi lagi....! Maafkan aku, anakku...”
Wening Rani mengangguk, dan ketika lengan laki-laki yang disebut ayah itu memeluknya, dia terisak-isak di-dada sang ayah. Waktu itu dia sangat kasihan pada ayahnya. Ayahnya sangat kesepian, sejak keluarga mereka berantakan. Entah apa yang menjadi sebab seringnya terjadi pertengkaran, hingga berakhir dengan perpisahan kedua orang tuanya.
Hal itu terjadi ketika ayahnya masih menjabat sebagai Tumenggung. Dan sejak itu ayah sering melamun. Hingga setahun kemudian ayahnya menjabat pangkat Adipati. Kemudian ayahnya menikah dengan seorang wanita yang menjadi ibu tirinya. Dan dia kemudian dibawah kepesanggrahan Tambak Rejo, memenuhi keinginannya untuk mempelajari ilmu bela diri.
Demikianlah, hingga sampai saat itu, rahasia tersebut masih tetap ditutupnya rapat-rapat. Tak seorangpun yang mengetahui. Cuma yang jelas, Tumenggung muda itu pasti mengetahui dirinya sudah tidak perawan lagi....
WENING RANI menghela napas. Disekanya air matanya dengan ujung selimut. Dan dia mencoba untuk memicingkan mata. Mendadak dia teringat pada surat yang disuruh ayahnya disampaikan pada Tumenggung Asmoro.
“Entah perintah apa yang dititahkan ayah pada Tumenggung muda itu...?” berkata Wening Rani dalam hati.
Sampai subuh, gadis itu tak dapat memicingkan mata. Ingatannya menerawang kemana-mana. Tiba-tiba dia bangkit dari tempat tidurnya. Mendadak dia teringat pada tawanan itu. Si laki-laki brewok, yang ditawan dikamar tahanan. Seperti tak tertahan dia menahan dorongan kuat hatinya untuk melihat laki-laki itu dikamar tahanan.
Wening Rani perlahan berjingkat mendekati pintu. Lalu membuka pintu kamarnya. Kemudian melangkah keruang belakang. Setelah melewati beberapa pintu lagi, lalu membelok kesebelah kanan. Inilah pintu keluar yang menghubungkan gedung Kadipaten itu dengan tempat kamar tahanan yang terletak terpisah disamping gedung.
Hati gadis itu tersentak, ketika melihat dua pengawal menggeletak dipintu kamar tahanan. Ketika dia memeriksa, ternyata kedua pengawal itu telah tewas. Alangkah terkejutnya gadis puteri Adipati ini ketika melihat jeruji besi kamar tahanan telah merenggang lebar. Ruang tahanan itu kosong.
“Edan! Laki-laki itu telah meloloskan diri!” sentak Wening Rani terkejut. “Aneh...!? Pasti ada yang melepaskannya. Aku mengetahui dia tak memiliki ilmu kepandaian apa-apa... Heh! Siapa yang telah melepaskan orang itu?” Bentak Wening Rani dipenuhi pertanyaan.
“Hm, aku harus membangunkan ayah! Melaporkan hal ini....!” desis gadis ini, seraya melompat kembali kedalam gedung, dan berlari kedalam.
Tetapi ketika itu sebuah bayangan berkelebat dari balik pintu. Dan dengan gerakan cepat membekap gadis ini. Dia tak sempat berteriak lagi, karena segera terkulai dengan mengeluh. Ternyata sosok tubuh ini telah menotoknya. Lalu membawanya melompat dari jendela dan lenyap dikeremangan pagi subuh.
Mendengar suara gaduh, para pengawal yang tidur dibarak sebelah timur terbangun. Belasan orang berlompatan kearah gedung Adipati. “Ada apa?”
“Cepat periksa kamar tahanan! Jangan-jangan laki-laki itu meloloskan diri!” bergegas beberapa orang melompat pergi melihat keruangan tempat menyekap tawanan. Tekerjutlah mereka ketika melihat jeruji penjara yang merenggang lebar, dan menjumpai dua orang pengawal telah tewas dengan tulang leher patah.
Gemparlah seketika seisi gedung Kadipaten. Para pengawal berteriak-teriak gaduh, membuat Adipati Bendoro Ningrat melompat keluar dari kamar tidurnya.
“Celaka, Gusti Adipati...! Penjara bobol! Tawanan itu lepas!”
“Hah!? Goblok! Bagaimana tawanan sampai dapat lepas?” Bentak Adipati dengan marah. Lalu bergerak memeriksa keruang tahanan. Didapatkan dua pengawal tewas terkapar. Mendadak dia teringat pada Wening Rani. Bergegas pula Adipati ini melompat kekamar puterinya. Didapatkan gadis itu tak ada dikamar tidurnya, dan jendela ruang tengah lepas engselnya.
“Bedebah! Anakku ada yang menculik!” keluh Adipati dengan napas memburu, dan wajah pucat.
“Anak kita Wening, diculik orang...? Oooh...” teriak istri Adipati dengan wajah pucat, dan membuat kusut masai, menghambur ke luar dari kamar.
Hingga cuaca berangsur terang tanah, keadaan digedung Kadipaten masih tampak sibuk. Beberapa prajurit bergerombol di sana-sini. Mereka menjumpai dua penjaga pintu gerbang telah pulang menjadi mayat dengan kepala remuk. Tak berapa lama tampak Adipati Bendoro Ningrat membedal kuda, keluar dari pintu gerbang Kadipaten....
Adipati Bendoro Ningrat melarikan kudanya bagaikan terbang, melintasi perbatasan sebelah timur, menuju kearah lereng bukit. Yang ditujunya adalah rumah tempat kediaman bekas Tumenggung, yaitu laki-laki yang bernama Kertosono.
Ketika kuda yang ditungganginya memasuki halaman rumah tua itu, dari dalam rumah melompat keluar seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan perempuan asing ahli Yoga dari Hindustan itu. Adipati ini melompat turun dari atas kuda. Perempuan asing sahabatnya itu cepat menghampiri.
“Ada kejadian apakah tuan Adipati?” tanyanya.
Adipati Bendoro membisikkan kata-kata ke telinga perempuan itu. Tampak wanita itu manggut-manggut. “Hihi... itu soal mudah. Kapankah aku mulai bertindak...?” tanyanya.
“Sekarang!” menyahut Adipati.
Perempuan itu mengangguk. Dan tak menunggu lama lagi, tubuh perempuan itu berkelebat cepat keluar dari halaman rumah. Ilmu meringankan tubuhnya ternyata sangat hebat. Dalam waktu beberapa kejap saja tubuh perempuan itu telah melesat bagaikan terbang, dan lenyap dilereng bukit.
“Hm, sekarang aku harus menemui Tumenggung Asmoro, untuk memberitahukan perihal Wening, anakku!” berdesis laki-laki. ini. Tak lama Adipati Bendoro Ningrat telah membedal kuda dengan cepat meninggal tempat itu. Ternyata dia menuju kearah hutan Jati. Baru saja dia memasuki mulut hutan, sesosok tubuh telah berkelebat keluar dari balik semak.
“Tumenggung Asmoro!” sebut Adipati ini. “Dimana kau menyembunyikan kudamu? Sudah lama kau kemari?”
“Sejak subuh tadi, Gusti Adipati. Kudaku ku-sembunyikan disana....!” sahutnya sambil menunjuk.
“Ada peristiwa yang mengejutkan, dan merobah rencanaku, adik Tumenggung!” berkata Adipati dengan wajah muram.
“Peristiwa mengejutkan?” tanya Tumenggung Asmoro.
“Ya! Laki-laki tawanan itu telah lolos dari tahanan. Dia menjebol terali besi, membunuh empat pengawal tadi subuh, dan melarikan anakku WENING RANI!” sahut Adipati ini.
“Bagaimana bisa terjadi, Gusti?” sentak laki-laki ini dengan wajah menampakkan keterkejutan.
Sementara Adipati Bendoro Ningrat memperhatikan sikap Tumenggung muda itu penuh selidik. “Hm, memang sangat aneh! Menurut anakku, tawanan itu seorang laki-laki yang tak berkepandaian apa-apa. Kalau dia bisa meloloskan diri, bahkan menculik anakku, tentu seseorang telah menolongnya!” kata Tumenggung Bendoro Ningrat.
“Gusti Adipati mencurigai hamba?” tanya laki-laki ini, karena merasa sorotan mata yang terasa aneh dan begitu tajam menusuk.
“Aku tidak mengatakan bahwa aku mencurigaimu. Tapi yang akan kutanyakan adalah, dimana kau menyembunyikan gadis bernama DORO PETAK itu?” sahut Adipati. “Dan aku perlu bukti mayat bekas Tumenggung itu, apakah kau telah melenyapkan nyawanya seperti yang kuperintahkan?”
Sejenak Tumenggung Asmoro tertegun. Begitu cepat Adipati Bendoro Ningrat beralih kelain persoalan, seolah-oleh tak mengkhawatirkan keselamatan anak gadisnya.
“Baiklah! Kalau itu yang Gusti Adipati tanyakan, aku bersedia menunjukkan!” jawab Tumenggung Asmoro. Lalu sambungnya. “Yang manakah yang akan gusti lihat dulu? Apakah ketempat mayat bekas Tumenggung itu, atau ketempat aku menyimpan gadis, itu?” Kali ini Adipati Bendoro Ningrat yang terdiam beberapa saat.
“Kau bisa diajak kerja sama, bukan?” kata Adipati ini setelah beberapa merenung.
“Seperti telah hamba katakan sebelumnya. Aku hanya mengharapkan imbalan yang patut kuterima, sebagai balasan atas apa yang telah aku jalankan!” sahut Tumenggung muda ini dengan tersenyum kaku.
“Bagus! Aku percaya padamu!” Adipati Bendoro Ningrat melompat turun dari atas kuda. Lengan-nya meraba sela bajunya. Lalu mengeluarkan se-buah bungkusan kain berwarna hitam.
“Terimalah ini, separuh dari apa yang telah kujanjikan!”
Tumenggung Asmoro menangkap benda yang dilemparkan kearahnya. Sejenak dia menatap laki-laki dihadapannya. Lalu dengan cepat mem-buka kantong kain hitam itu. Dari dalam kantong dikeluarkan sebuah benda. Ternyata sebuah emas batangan. Tumenggung muda itu tersenyum. Lalu menyimpan lagi benda itu dalam kantong kain, dan menyelipkan kebalik baju.
“Apa perintah selanjutnya yang hamba kerjakan?” kata Tumenggung Asmoro.
“Saat ini aku telah menitahkan SHAKILA, sahabatku perempuan asing itu untuk melenyapkan nyawa Ki Ageng GIRING! Menggantikan tugasmu semula. Kini tugasmu adalah mencari jejak laki-laki tawanan itu. Bila kau menjumpainya, habisi nyawa kedua orang itu!”
Tumenggung muda itu terperangah kaget. “Mengapa Gusti Adipati menyuruhku membunuh puteri Gusti Adipati sendiri?” tanyanya dengan mata membelalak.
“Hm, WENING RANI itu bukan anak kandungku!” sahut laki-laki ini dengan suara tegas. Tumenggung muda itu manggut-manggut.
“Baiklah kalau begitu. Tugas itu segera hamba jalankan!” kata Tumenggung ini.
“Tapi ingat! Rahasiaku hanya kau yang mengetahui. Dan kau harus tutup mulutmu, jangan sampai bocor!”
“Beres, Gusti Adipati! Jangan khawatir, aku akan menjaga rahasia ini, dan tak akan seorang pun didunia ini yang mengetahui selain aku!” sahut Tumenggung muda itu dikeluarkan secarik kain hitam dari balik baju. Ternyata sebuah topeng. Kemudian digunakan membungkus wajahnya.
Ketika Tumenggung muda itu akan beranjak pergi, Adipati cepat menahannya. “Tunggu! sebaiknya kau tunjukkan dulu dimana kau menimbun mayat laki-laki bekas Tumenggung itu!”
“Baik! Silahkan Gusti Adipati mengikutiku...!” sahut Tumenggung, seraya beranjak melangkah keluar hutan. Tak lama mereka telah berlari cepat menuju lereng bukit. Dan pada tempat ketinggian, dekat air terjun, Tumenggung Asmoro menghentikan larinya. Dia menunjuk kearah sisi bukit didepannya.
“Ditempat itulah aku menimbun mayatnya!” kata Tumenggung Asmoro. Adipati Bendoro Ningrat melompat kearah yang ditunjukkan itu. Tampak dihadapannya segundukan tanah. Dan, ketika tatapan mata laki-laki ini melihat sepotong lengan yang tersembul keluar, dia tersenyum.
“Kini aku percaya...!”
“Apakah hamba perlu membongkarnya agar Gusti Adipati lebih yakin lagi?” tanya Tumenggung Asmoro.
“Tak perlu! Tak perlu! Aku benar-benar percaya penuh padamu! Kini tunjukkan dimana kau menyembunyikan gadis bernama DORO PETAK itu!”
“Apakah hamba perlu juga mengantarkan ke tempat itu?” tanya Tumenggung.
“Tak perlu! Kau katakan saja mana jalan yang harus kutempuh!” menyahut Adipati cepat-cepat. Dalam pikirnya dia toh tak perlu harus terburu-buru. Semua urusan sudah diserahkan pada orang-orangnya.
Tumenggung memberitahu jalan yang harus dilalui. Kemudian diapun segera mohon diri untuk menjalankan tugas...
KI AGENG GIRING terpaku diruang depan pesanggrahan. Kepergian dua orang murid perempuannya selama lebih dari dua pekan telah merisaukan hati laki-laki tua ini. Terutama sekali kekhawatiran itu tertuju pada DORO PETAK. Karena dia mengetahui gadis itu puteri sahabatnya, KERTOSONO, bekas Tumenggung yang telah mengundurkan diri dari jabatan.
Sedikit banyak dia mengetahui perihal rumah tangga laki-laki itu. Tapi dia harus membungkam mulut, karena ancaman Adipati Bendoro Ningrat. Sebagai rakyat jelata, guru silat ini tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi adanya puteri Adipati itu dipesanggrahannya. Membuat dia harus lebih berhati-hati. Karena keselamatannya bisa terancam.
Kalau saja ayah Adipati yang telah almarhum itu bukan bekas kawan seperjuangannya, tentu dia sudah angkat kaki dari tempat itu, dan membongkar kasus perbuatan itu pada Tumenggung Kertosono sejak lama.
“Adipati Bendoro Ningrat memang berwatak bejat! Sungguh jauh berbeda dengan mendiang ayahnya. Aku sangat mengkhawatirkan nasib DORO PETAK. Kertosono telah menitipkan anak gadis satu-satunya itu padaku. Kalau dia menemui bahaya, sungguh tak mengenakkan hatiku...” berkata laki-laki tua ini dalam hati. Pikirannya kusut. Dan sampai saat ini dia belum membuat satupun suatu keputusan yang dirasa baik.
Setelah menghela napas panjang seperti mele-paskan beban berat yang menindih dadanya, Ki Ageng GIRING beranjak masuk kedalam ruangan. Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melang-kah, mendadak terdengar suara tertawa melengk-ing, diiringi kata-kata.
“HIHIHI...HIHI... KI AGENG GIRING! Apakah tulang-tulang tuamu masih sanggup untuk menghadapi beberapa jurus ilmu Yoga dari negeri Hindus-tan?”
Tersentak laki-laki tua ini, ketika tahu-tahu sebuah bayangan putih berkelebat, dan tahu-tahu didepan pesanggrahan telah berdiri sesosok tubuh. Mata tua Ki Ageng Giring agak melebar melihat seorang wanita berambut panjang dikepang terurai sampai sebatas lutut, berpakaian putih telah ber-diri menatapnya.
“Siapakah anda...?” tanya laki-laki tua ini, dengan mengerenyitkan keningnya.
“Hihi...hik... sudah lama aku ingin kemari, melihat tampang orang yang pernah mengalahkan kakakku dengan jurus ilmu pedangnya yang hebat. Ternyata baru kali ini kesempatan itu datang!” berkata wanita asing ini dengan logat yang pasih.
“Kakakmu? Hm, dengan kau sendiri aku belum pernah mengenal. Apalagi kakakmu? Siapakah kau sebenarnya? Dan siapa pula kakakmu?” ujar Ki Ageng Giring dengan hati terkejut.
“Sudah kukatakan, aku adalah seorang ahli ilmu Yoga dari negeri Hindustan. Kalau kau mau tahu lebih jelas siapa aku, baiklah kusebutkan siapa adanya kakakku itu. Dialah seorang laki-laki yang bernama BHUTAN! Dalam dunia persilatan dia dijuluki si Tangan SAKTI! Apakah kau pernah mendengar namanya, dan apakah kau lupa bahwa kau pernah mengalahkannya dengan jurus ilmu pedangmu delapan tahun yang silam?” kata wanita asing berhidung mancung yang dihiasi oleh seben-tuk perhiasan semacam cincin dari emas.
Sejurus Ki Ageng GIRING tercenung. Agak lama dia merenung. Sementara itu beberapa orang murid-muridnya telah bermunculan dan menatap wanita asing itu dengan heran. Karena mereka tak mengetahui kemunculannya.
“Hm, ya! Aku ingat kini! Hal itu sudah lama berlalu. Dan pertarungan itu bukan berdasarkan dendam. Tapi kami hanya saling menguji ilmu kepandaian.”
“Dendam atau bukan bagiku bukan alasan untuk kini menebus kekalahan kakakku. Tahukah kau akibat dari kekalahannya? Dia telah membuntungi sebelah tangannya, karena malu pada guruku!” sahut wanita ini.
Tentu saja penjelasan si wanita asing membuat Ki Ageng Giring tersentak. Tapi segera berkata. “Hal itu bukanlah kesalahanku! Dan aku tak menyuruh kakakmu membuntungi sebelah lengannya!” kata si kakek dengan tetap tenang.
“Cukup! Bagiku kekalahan itu sudah merupakan alasan untuk aku menjajal kehebatan ilmu pedang yang tersohor dan sangat kau andalkan itu, orang tua! Aku SHAKALA telah bersumpah untuk menghadapimu, dan kalau aku kalah, maka bukan sebelah tanganku yang akan kubuntungi untuk menutup malu, melainkan batang leherku ini sebagai penebus kekalahanku!”
Terperangah Ki Ageng Giring. Dengan berkata begitu, berarti wanita itu telah siap mempertaruh-kan nyawa menghadapinya.
“Mana pedang pusakamu? Hayo, kau hadapi jurus-jurus ilmu Yoga ku!” bentak Shakila dengan memasang kuda-kuda. Sebelah kaki terangkat, dan dua lengan terentang. Melihat demikian belasan murid Ki Ageng GIRING berlompatan mengurung dengan senjata terhunus.
“Minggirlah kalian!” berkata laki-laki tua ini memberi perintah menyingkir pada para muridnya. Lalu maju selangkah. “Ambilkan senjataku!” katanya seraya menoleh pada seorang murid laki-laki disebelahnya.
“Guru! Biarlah kami yang menghadapi perempuan liar ini!” kata laki-laki muda ini.
“Hm, kalian bukan tandingannya. Dan pertarungan ini hanya cuma aku yang harus menghadapi!”
Sang murid tak dapat membantah. Segera dia berkelebat melompat kedalam ruang kamar gurunya. Tak lama telah melompat keluar dengan lengan mencekal sebuah pedang berwarna hijau. Cepat laki-laki ini memberikan pada gurunya.
“Bagus! Cabutlah senjatamu itu, Ki Ageng Giring! Pendekar Pedang Hijau! Dan hadapi jurus ilmu Yogaku!” bentak Shakila.
SREK!
Sinar hijau membersit keluar ketika pedang pusaka itu dicabut keluar dari serangkanya. Wanita asing ini tak menunggu lama lagi. Dengan membentak keras dia menerjang...
WHUT! WHUT! WHUT!
Gerakan salto Shakila demikian cepat. Tahu-tahu tendangan-tendangan kakinya secara kilat telah menyambar dahsyat. Akan tetapi dengan gesit Ki Ageng Giring Membuang tubuh ke samping. Beberapa kali dia mengegos menghindari serangan. Diam-diam dia mengagumi gerakan wanita itu.
Tapi laki-laki ini terperangah kaget, karena angin hantaman kaki itu saja telah membuat tubuh-nya terhuyung. Nyata tenaga dalam wanita itu sangat hebat. Sekali kena sasaran, tulang anggota tubuhnya bisa remuk.
Kini Ki Ageng Giring telah pasang kuda-kuda. Pedangnya menyilang didepan dada. Ketika serangan kembali tiba, pedangnya menebas dan menyambar-nyabar membentuk kilatan-kilatan hijau.
Hebat wanita asing itu dengan tubuh yang berkelebatan lincah, serangan itu lolos. Bahkan yang disangka lawan serangannya akan menemui sasaran, ternyata luput. Tubuh Shakila tiba-tiba menekuk dengan kepala merendah. Sambaran pedang lewat diatas kepala. Akan tetapi diluar dugaan sepasang kakinya bagaikan ekor Kalajengking, tiba-tiba menyambar melewati kepalanya.
WHUK! WHUK! BUK!
Satu sambaran kaki Shakila berhasil mengenai lambung lawannya dengan telak. Ki Ageng Giring terhuyung kebelakang. Wajahnya tampak menyeringai. Saat itu telah dibarengi dengan lompatan tubuh wanita itu. Dan...
WHUK! WHUK! WHUK!
Lagi sepasang kaki wanita itu menyambar kearah kepala dan dada laki-laki guru silat ini. Dalam keadaan seperti itu sukar bagi orang yang belum berpengalaman untuk menghindari serangan. Apalagi saat itu Ki Ageng Giring merasakan lambungnya nyeri.
Kalau dia tak memiliki tenaga dalam tinggi, dan menggembungkan perut menahan hantaman itu, tentu isi perutnya telah hancur. Secepat kilat dia menabas dengan pedangnya. Cepat sekali melebihi gerakan Ki Ageng Giring, sepasang kaki Shakila mendadak berubah arah. Satu keatas satu kebawah. Dan...
KREP!
Tahu-tahu sebelah lengan Ki Ageng Giring yang mencekal pedang telah kena jepit sepasang kaki wanita itu. Terkejut laki-laki pendekar tua ini. Namun lengan kirinya cepat meluncur menghantam kedada lawan yang berada satu jengkal diatas tanah. Serangan itu disambut dengan pukulan lengan pula oleh lawannya.
PLAK!
Dua pukulan saling beradu. Seketika itu juga terdengar teriakan tertahan Ki Ageng Giring, tubuhnya terjungkal, berbareng dengan tubuh lawannya yang menindih tubuhnya. Pedangnya terlepas. Jepitan sepasang kaki Shakila mengendur, namun dengan gerak cepat lagi-lagi tubuh wanita asing itu melompat dengan gerakan salto. Sekejap dia telah berdiri tegak diatas tanah.
“Hihi... ternyata ilmu pedangmu sudah rapuh, Pendekar Pedang Hijau!” mengejek wanita ini. Tapi mendadak wajahnya berubah pucat. Apa sebabnya Sungguh dia tak menyangka kalau laki-laki tua itu masih mampu menyerang. Bahkan secara tak terduga. Tahu-tahu ujung kaki Ki Ageng GIRING telah menendang gagang pedang yang tergeletak di tanah.
Tepat ujung pedang itu menghadap kearahnya. Membersitlah sinar hijau menyambar kearah dadanya. Sukar untuk diikuti kecepatan sambaran pedang itu yang meluncur bagai anak panah. Tahu-tahu Shakila menjerit kaget. Dan…
BLES!
Pedang itu telah menembus dada kirinya sampai kepunggung. Murid-murid pesanggrahan TAMBAK REJO bersorak girang. Sejak tadi mereka mengikuti jalannya pertarungan. Tampak tubuh wanita ini terhuyung kebelakang, dan roboh terjungkal. Ki Ageng Giring sendiri tak menyangka kalau serangan mendadak itu bakal menemui sasaran.
Akan tetapi terkejutnya Ki Ageng Giring dan murid-muridnya tak alang ke-palang. Tahu-tahu tubuh wanita yang tergeletak itu melompat bangun. Kilatan sinar hijau menyambar kearah ulu hati Ki Ageng Giring, diiringi bentakan keras wanita itu. Sesosok bayangan berkelebat diiringi teriakan kaget.
“Awas...!” tapi terlambat. Ujung pedang itu telah menembus sedikit kulit dada Ki Ageng Giring.
Namun sebelum menembus jantung laki-laki tua itu, mendadak wanita asing ini tersentak kebelakang. Pedang dalam genggamannya terlepas. Tahu-tahu seorang pemuda berambut gondrong telah berada di tempat itu. Sebelah lengannya baru saja menghantam kearah wanita asing itu. Dan sebelah lengannya lagi memayang tubuh laki-laki guru silat itu.
Siapa adanya pemuda itu? Tak lain dari si Dewa Linglung. Ternyata pemuda itu sejak tadi telah mengikuti jalannya pertarungan. Dia memang tengah membuntuti Shakila yang dijumpai di jalan desa berlari cepat bagai terbang. Ternyata menuju ke pesanggrahan ini. Ketika terjadi pertarungan tadi, Nanjar dapat melihat bahwa serangan-serangan wanita asing itu sangat hebat, walaupun hanya bertangan kosong.
Tahulah dia siapa adanya perempuan itu. Dan persoalan apa dengan laki-laki tua ketua pesanggrahan bernama Ki Ageng Giring itu. Tapi serangan pedang Ki Ageng Giring juga tak kalah hebatnya. Nanjar sendiri hampir menyangka pedang laki-laki tua itu telah menembus dada lawan.
Tapi kecepatan matanya masih mampu melihat gerakan lengan Shakila yang bergerak merenggang, dan menjepit badan pedang dengan ketiaknya. Tapi Nanjar agak terkecoh karena wanita itu roboh terjungkal.
Saat itu Nanjar telah melompat lebih dekat. Mendadak tubuh wanita itu meletik, dan tahu-tahu pedang telah dalam genggaman tangan wanita itu, dan secara cepat digunakan menusuk kearah dada Ki Ageng Giring. Nanjar melompat seraya berteriak memberi peringatan. Tapi terlambat. Ujung pedang telah menembus kulit dada laki-laki tua itu.
Nanjar memang kalah cepat dalam bertindak, karena dia memang tak menduga sama sekali. Tapi dalam detik maut itu dia masih bisa mengejar keterlambatannya walau hanya setengah detik. Pukulan tangannya mampu membuat tertahannya ujung pedang, dan tubuh wanita itu terlempar kebelakang.
Tampak pedang pusaka itu menempel didada laki-laki tua itu. Nanjar cepat mencabutnya, dan siap dilemparkan ketubuh wanita asing itu karena mendongkolnya. Tapi hebat si wanita asing itu. Baru saja tubuhnya menggabruk ketanah, mendadak dia gunakan gerakan salto. Detik berikutnya wanita itu telah berada diatas tembok pagar pesanggrahan. Tampak wanita ini berdiri tegak menatap kearah mereka yang terperangah kagum.
Sepasang mata Shakila membersit tajam menatap si pemuda berambut gondrong itu. Wajahnya tampak menyeringai seperti dia telah terluka da-lam akibat pukulan itu. “Bagus! Kau telah berhasil menyelamatkan nyawanya, pemuda gagah. Tapi suatu saat kelak, aku akan datang mencarimu!” berkata wanita itu. Selesai berkata demikian, tubuh perempuan ahli Yoga itu berkelebat dari atas tembok, dan lenyap tak kelihatan lagi.
Para murid pesanggrahan TAMBAK REJO bagai tersadar dari tercengangnya, serentak memburu kearah guru mereka. Nanjar merebahkan tubuh laki-laki tua itu. Tampak dadanya mengucurkan darah. Cepat Nan-jar membuka kain buntalan dibelakang punggung, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Setelah memeriksa luka itu, dia berkata.
“Bubuhkan obat bubuk ini pada lukanya. Lalu balut dengan kain. Darah akan berhenti mengalir. Dalam dua hari, kalau pedang ini tak beracun, luka akan mengering...!”
Nanjar berikan bungkusan kecil itu pada salah seorang murid laki-laki tua itu. “Terimakasih, atas pertolongan anda, tuan pendekar...!” kata murid-murid lainnya.
Nanjar bangkit berdiri, menatap sejenak pada laki-laki yang pingsan itu. “Mudah-mudahan jiwanya dapat tertolong...” kata Nanjar lirih. Kemudian cepat sekali Nanjar berkelebat melesat keluar dari halaman pesanggrahan itu. Sebentar saja bayangan tubuhnya lenyap.
Para murid Ki Ageng Giring cuma terpana memandang dengan terlongong kagum, juga terheran-heran. Dari mana munculnya pemuda gondrong itu? Begitu cepat memberikan pertolongan, kemudian berkelebat pergi bagai angin lewat.
“Siapakah pemuda aneh itu?” berkata salah seorang dengan berdiri menjublak, menatap kearah lenyapnya bayangan tubuh si pemuda gondrong.
Tapi mereka segera tersadar bahwa guru mereka memerlukan pertolongan secepatnya. Maka sibuklah mereka memberikan pertolongan...
KALAU hari itu ada burung bangau raksasa terbang di angkasa, burung bangau itu adalah si Dewa Linglung. Nanjar telah mempergunakan ilmu anehnya yang langka, yaitu salah satu jurus ilmu “terbang” yang diwariskan salah seorang gurunya, yaitu si Raja Siluman Bangau.
Namun sesaat kemudian manusia burung itu telah lenyap, ketika menukik, dan menyusup masuk kedalam hutan dibawahnya. Saat itu suara orang saling bentak terdengar dari arah hutan bambu di lereng bukit itu. Apakah gerangan yang tengah terjadi? Dan siapakah mereka?
Tampak seorang laki-laki yang tiada lain dari Adipati Bendoro Ningrat tengah bertarung dengan seorang laki-laki bercadar merah. Orang itu adalah si penjaga mulut goa yang berada dilereng bukit tersebut.
“Apakah kau tak mengetahui tanda ini?” bentak Adipati, seraya keluarkan sebuah benda tanda pengenal bahwa dia seorang alat Kerajaan, seperti yang dikatakan Tumenggung, kalau dia menemukan kesulitan setelah menjumpai goa dimana Tumenggung itu menyekap DORO PETAK.
“Aku tak perduli dengan segala macam tanda pengenal! Kau boleh masuk menemui gadis itu kalau kau telah langkahi mayatku!” bentak laki-laki bercadar merah itu dengan suara berat parau.
“Keparat! Bedebah...! Kau mau mampus? Baiklah, kalau begitu!” bentak Adipati ini dengan muka terasa panas. Dia merasa dipermainkan, dan benar-benar merasa terhina.
Sekali lengannya bergerak, dia telah mencabut keris dari pinggangnya. “Kerisku ini telah makan korban lebih dari empat puluh orang. Kalau kau mampus berarti kaulah korban yang keempat puluh satu!” berkata Adipati Bendoro Ningrat dengan suara dingin.
Laki-laki bercadar merah tertawa bergelak, suara tertawanya begitu menggidikan jantung. “Haha... ha... diantara korban yang telah kau bunuh itu bukankah ada seorang wanita, isteri seorang saudara seperguruanmu bernama JAKA BAJUL...? Setelah kau perkosa kemudian kau bunuh dengan keji! Semua itu kau lakukan ketika saudara seperguruanmu itu tengah menjalankan tugas sebagai prajurit Kerajaan Mataram. Perbuatan kejimu itu sudah lewat lebih dari lima tahun. Tahukah kau bahwa prajurit yang dikabarkan telah tewas itu ternyata masih hidup? Dan dia telah mencarimu yang buron dari perguruan, karena perbuatanmu diketahui gurumu! Dan tahukah kau siapakah aku? Akulah JAKA BAJUL?”
Setelah berkata demikian, laki-laki bercadar merah itu tiba-tiba membuka cadar penutup wajahnya. Alangkah terkejutnya Adipati Bendoro Ningrat melihat laki-laki itu tak lain dari tawanan yang meloloskan diri dari tahanan di gedung kadipaten, dan yang telah menculik Wening Rani.
“Jadi kau... Jaka Bajul?” sentak Adipati ini dengan terperangah kaget.
“Apakah kau lupa pada tampangku, yang kini penuh dengan brewok ini?” berkata si laki-laki brewok dengan suara parau penuh dendam.
Keringat sebesar-besar kacang menetes turun dari dahi laki-laki bergelar Adipati ini. Tak terasa dia melangkah mundur setindak. Dari dalam goa mendadak muncul dua sosok tubuh, membuat Adipati ini lagi-lagi membelalakkan mata, karena kedua orang itu adalah WENING RANI dan Tumenggung ASMORO.
“Laki-laki hidung belang! Manusia jahanam! Kiranya kau tak lebih jahat dari pada iblis!” membentak Wening Rani. Matanya menatap Adipati Bendoro Ningrat dengan sorot mata berapi-api.
“Tumenggung Asmoro! Apa artinya ini?” bentak Adipati ini dengan suara bergetar karena terkejut dan marah.
Tumenggung muda ini tertawa gelak-gelak. Lalu berkata. “Tanyakan saja pada anak gadismu, kukira dia bisa menjelaskan!”
Tentu saja Adipati Bendoro Ningrat lebih tak mengerti. Dia menatap pada Wening Rani, lalu kearah Tumenggung Asmoro, dan beralih lagi pada si laki-laki brewok alias Jaka Bajul. Kemudian kembali kearah Wening Rani.
“Ayah! Biarlah aku menyebut ayah padamu untuk yang terakhir kali. Katakanlah! Apakah aku benar-benar bukan anakmu? Kalau aku bukan anakmu, lalu siapakah sebenarnya kedua orang tuaku? Dan, mengapa kau mau melenyapkan nyawaku?” berkata Wening Rani dengan suara parau mengandung isak dan agak tergetar karena menahan perasaan yang menekan dadanya.
“Aku... aku tak dapat mengatakannya...” sahut Adipati dengan suara tergagap. Wajahnya seketika menjadi pucat pias.
“Kau harus mengatakannya!” bentak Wening Rani lengan suara keras setengah menjerit. Sesaat suasana menjadi hening mencekam.
“Baik! Aku akan mengatakannya!” kata Adipati ini setelah menyeka peluh yang turun kedahi.
“Kau memang bukan anakku! Tujuh belas tahun yang lalu aku menemukan seorang bayi yang tergeletak didepan pintu kamarku. Aku tak tahu siapa yang telah meletakkannya disitu. Kemudian aku memberikan bayi itu pada seorang pelayan digedung ayahku! Dialah yang merawat bayi itu. Ketika ayahku meninggal, bayi itu telah tumbuh menjadi besar. Bocah perempuan itu berumur kira-kira tujuh atau delapan tahun. Kemudian aku menikah dengan seorang janda. Ketika itu aku masih berpangkat Tumenggung. Bocah itu kemudian dirawat oleh isteriku. Sayang isteriku tak berumur panjang. Setelah kematian ibu tirimu, kaupun kuserahkan pada Ki Ageng GIRING, bekas pembantu Istana yang telah mengundurkan diri, dan membuka perguruan silat didesa Tambak Sari...” tutur Adipati Bendoro Ningrat.
“Jadi tak seorangpun mengetahui siapa ayah ibuku?” berkata Wening Reni dengan terisak. Sepasang matanya telah bersimbah air mata.
Adipati Bendoro Ningrat tampaknya tak memperdulikan lagi terhadap Wening Rani. Kini dia pentang mata menatap pada Tumenggung Asmoro. “Kini katakan siapa dirimu, manusia pengkhianat!” bentak Adipati ini dengan darah serasa mendidih.
Mendadak Wening Rani maju selangkah mendekati Tumenggung muda itu. “Biarlah aku yang menjelaskan. Hm, tahukah kau wahai manusia yang kelakuannya lebih rendah dari pada binatang! Tumenggung Asmoro adalah Panglima KERAJAAN MATARAM yang telah ditugaskan menangkapmu, dan telah mendapat izin dari Sri Sultan untuk melacak jejak buronan kerajaan Mataram!” berkata Wening Rani dengan suara lantang.
Pucatlah seketika wajah Adipati Bendoro Ningrat. Kalau ada geledek disiang hari tak akan membuat dia seterkejut itu mendengar apa yang dikatakan Wening Rani.
“Aku membawa bukti, bahwa aku memang diperintahkan menangkapmu!” kata Tumenggung Asmoro, seraya lemparkan segulung kertas kain pada laki-laki itu.
Membelalak mata Adipati Bendoro melihat surat perintah itu memang dari Raja Kerajaan Mataram. Lengkap dengan tanda tangan dan cap Kerajaan. “Keparat! Kalian tak akan mampu menangkapku!” bentak Adipati ini dengan menggeram marah. Surat perintah itu dibantingkannya ketanah.
“Kau memang tak perlu ditangkap lagi, Adipati busuk! Karena aku segera akan mengirim nyawamu ke Neraka!” bentak Jaka Bajul, seraya menerjang dengan beringas.
Dalam sekejap saja terjadilah pertarungan seru antara kedua laki-laki bekas saudara seperguruan itu. Keris ditangan Adipati Bendoro Ningrat mengeluarkan cahaya biru yang menimbulkan hawa dingin, menyambar-nyambar dengan ganas.
Namun Jaka Bajul yang bertangan kosong dapat mengimbangi serangan lawannya dengan pukulan-pukulan berbahaya. Jurus-jurus tangan kosongnya membaurkan hawa panas menindih hawa dingin yang keluar dari badan keris. Jaka Bajul mengetahui keris itu adalah keris pusaka gurunya yang telah dicuri laki-laki bernama Bendoro itu. Untuk itu dia bertarung dengan hati-hati.
Sementara itu Wening Rani hanya menatap dengan terperangah. Dia tak menyangka kalau laki-laki brewok yang disangkanya tak memiliki kepandaian apa-apa itu, ternyata seorang yang berkepandaian tinggi. Dan ilmunya setingkat dengan Adipati itu.
Selang empat belas jurus, tampak serangan keris Adipati Bendoro Ningrat mulai agak berkurang. Karena terpecah perhatiannya melihat munculnya dua sosok tubuh dari dalam goa.
Siapa adanya dua orang itu tak lain dari si gadis bernama Doro Petak, dan seorang laki-laki tua yang membuat jantungnya terlonjak, saking terkejutnya. Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari KERTOSONO, laki-laki bekas Tumenggung yang telah mengundurkan diri.
Akibat pecahnya perhatian Adipati itu, telah membuat dia lengah. Satu hantaman keras kearah dada tak dapat dielakkan lagi. Adipati ini rasakan dadanya seperti dihantam palu godam. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah kebelakang.
Kesempatan itu telah dinanti-nantikan Wening Rani sejak tadi. Mendadak tubuh gadis ini melompat kearah Doro Petak. Lengannya menyambar pedang yang tersoren dipinggang gadis itu. Dan dengan gerakan cepat Wening Rani berkelebat kearah Adipati Bendoro Ningrat. Seraya membentak keras, dengan bercampur isak, gadis ini hujamkan pedang ditangannya kearah dada laki-laki itu.
Terdengar teriakan parau membelah udara. Sukar terelakkan lagi serangan secara tiba-tiba itu, karena saat itu Adipati Bendoro Ningrat dalam keadaan terhuyung akibat hantaman pukulan Jaka Banjul. Pedang itu amblas tepat kejantung laki-laki itu.
Membelalak mata Adipati Bendoro Ningrat. Tapi sesaat tubuhnya oleng, dan ambruk ketanah, setelah beberapa saat menggelepar sekarat, tubuh laki-laki itupun terkulai tak bergeming. Nyawanya telah melayang ke Akhirat.
Wening Rani menatap laki-laki itu dengan senyum dibibir. Hatinya puas telah menamatkan riwayat manusia durjana yang telah merusak kehormatannya itu. Akan tetapi mendadak wajahnya berubah pias. Senyum itu lenyap bagai tersapu angin. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh. Terperangah kaget semua yang ada disitu, karena dilambung gadis ini tampak tertancap keris pusaka Adipati itu.
Darah mengalir turun kekakinya. Wening Rani tiba-tiba melangkah kearah Doro Petak. Terdengar suaranya menggetar ketika berkata. “Doro Petak....! Sebelum aku mati, maukah kau memaafkanku?”
Gadis baju putih bekas saudara satu pesanggrahan itu melompat mendekati. Lengannya terulur menyambut lengan Wening Rani yang terulur menggapai. Akan tetapi sebelum lengan Doro Petak sempat menyambutnya, tubuh Wening Rani telah terhuyung roboh. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, jiwanya telah terlebih dulu melayang.
Sesaat ketika semua orang tengah memandang kearah gadis itu dengan tertegun, dan gadis bernama Doro Petak itu terpaku menatap Wening Rani dengan air mata mengembang.
Tumenggung Asmoro berdehem. “Tampaknya urusan ini telah selesai...! Dan tugas sementaraku sebagai Tumenggung telah pula berakhir. Maka sebaiknya aku memberi penjelasan.” kata Tumenggung Asmoro.
Diantara semua orang yang ada disitu, cuma si laki-laki brewok Jaka Bajul yang perlihatkan senyum, menatap Tumenggung muda itu.
“Sebenarnya Panglima Kerajaan Mataram itu bukanlah aku. Tapi sobat Jaka Bajul inilah orangnya! Kami telah bekerja sama untuk membekuk buronan dari Mataram ini!” kata Tumenggung Asmoro.
“Benar! Akulah Panglima Kerajaan Mataram yang sebenarnya!” kata Jaka Bajul sambil tersenyum. Matanya menatap pada dua orang di hadapannya.
Doro Petak geleng-gelengkan kepala sambil berkata. “Wah, kalian ini benar-benar orang yang pandai main sandiwara. Tadinya aku mengira tuan Tumenggung adalah orang yang jahat, karena telah menculikku dan membawa ketempat ini...! Ternyata aku dipertemukan dengan ayahku...”
“Haha... mungkin kau akan lebih terkejut kalau mengetahui ayahmu adalah pemain sandiwara yang lebih pandai dari kami!” kata Tumenggung Asmoro.
Doro Petak belalakkan mata, seraya berpaling menatap sang ayah. “Permainan sandiwara macam yang telah ayah lakukan...?” tanya gadis ini dengan heran.
“Doro Petak, anakku....! Sebenarnya aku belum mengundurkan diri dari jabatan ketumenggunganku!” jawab Kertosono.
“Hah!?” Hanya itu yang diucapkan oleh Doro Petak, si Burung Dara Berbulu Putih itu. Matanya membelalak menatap kearah semua orang. Tiba-tiba ajukan pertanyaan pada Tumenggung Asmoro. “Jadi kau ini siapa?” tanyanya.
Jaka Bajul menepuk-nepuk pundak dara itu. “Dialah seorang pendekar muda yang bergelar si Dewa Linglung. Atau si Pendekar Naga Merah, yang telah banyak membantu aku melacak jejak buronan dari Mataram ini!” kata Jaka Bajul sambil menunjuk pada mayat Adipati Bendoro Ningrat.
“Haih! Sobat Panglima terlalu membesarkan gelar orang. Namaku Nanjar. Tentang gelar itu, kalaupun orang mau menyebut aku si Tolol dari atas pohon Jengkol pun tak menjadi soal...!” kata Nanjar sambil tertawa.
Mendengar gurauan Tumenggung muda itu semua jadi tertawa geli.
“Sudahlah! Kini saatnya aku memenuhi permintaan sahabatku ini!” Kata Nanjar sambil menepuk bahu Panglima Jaka Bajul. Sebelum laki-laki itu menyanggah, karena merasa tak punya permintaan apa-apa, Nanjar telah menjura dihadapan Tumenggung Kertosono.
“Dengan segala kerendahan hati, aku mewakilkan sahabatku Panglima Jaka Bajul untuk melamar nona Doro Petak, anak bapak Tumenggung untuk dijadikan isterinya. Semoga bapak Tumenggung bersedia menerimanya...!”
Berseri seketika wajah Tumenggung Kertosono. Seraya balas menjura dia berkata. “Bagiku lamaran itu sangat menggirangkan hatiku, seolah-olah mimpi rasanya karena aku akan memperoleh menantu seorang Panglima dari Kerajaan Mataram. Tapi semua itu aku hanya bisa memasrahkan pada anakku...”
Sejenak Doro Petak tertegun menatap Nanjar, lalu beralih kepada laki-laki brewok yang berdiri menjublak terlongong, karena dia benar-benar tak mengerti kalau kata-kata itu yang diucapkan si Dewa Linglung.
“Kau... kau...” katanya dengan tergagap memandang kearah Nanjar yang cepat-cepat memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Cepat-cepat Nanjar mendekati gadis itu.
“Nona Doro Petak, sudikah kau menerima lamaran itu? Dia sangat mendambakan seorang isteri. Dan sejak lama dia jatuh cinta padamu!”
“Oh... aku harus berkata apa?” kata gadis ini dengan wajah berubah merah.
“Cukup dengan kau mengangguk satu kali, maka kau sudah menjawab lamaran itu...!” Nah, mengangguklah...!” kata Nanjar berbisik. Dalam keadaan demikian sukar bagi seorang gadis yang dilamar secara tiba-tiba begitu. Walau sebenarnya dihati dara ini ada perasaan aneh, sejak pertama kali berjumpa dengan laki-laki itu.
Akhirnya gadis tak punya jalan lain selain mengangguk. Seketika itu juga melompatlah si Dewa Linglung sambil tertawa gelak-gelak. “Selamat! Selamat! Selamat!” kata Nanjar disela tertawanya. Kemudian sekali berkelebat, lenyaplah sosok tubuh pendekar muda itu.
Mereka hanya melihat melintasnya bayangan putih yang membumbung keudara, melintasi pucuk-pucuk pepohonan dihutan itu. Panglima Kerajaan Mataram ini tertegun beberapa saat. Dan ketika tatapan matanya beradu dengan tatapan gadis itu, kedua-duanya sama tertunduk dengan wajah memerah.