ADIPATI PURWATA tercenung menatap ke arah hutan rimba belantara di lereng bukit di mana dia berdiri di atas kuda tunggangannya. Itulah Rimba Dandaka, hutan belantara yang dinyatakan terlarang dan tak boleh dimasuki. Perintah itu datang dari Baginda Raja sejak delapan belas tahun yang lalu.
Adipati Purwata memegang jabatan sebagai Adipati baru berkisar antara lima tahun. Kerajaan GIRI BRATA selama itu tak menampakkan adanya kegoncangan, baik di luar maupun didalam Kota Raja. Selama ini hubungan dengan Kerajaan Mataram tetap membaik.
Sebagai kerajaan kecil yang berdiri dibawah naungan Kerajaan Mataram yang besar, memang tak perlu merasa khawatir adanya kerusuhan dan pemberontakan dari luar, karena bila terjadi sesuatu tentu pihak Kerajaan Mataram akan membantu menyelesaikan kerusuhan.
Namun hal itu selama Kerajaan Giri Brata masih mematuhi peraturan yang berlaku dan dite-tapkan oleh pihak Mataram. Dan tentu saja pengiriman upeti setiap tahun harus diberikan sebagai salah satu dari peraturan yang telah ditetapkan.
Pada tahun-tahun permulaan tampaknya peraturan itu tak menjadi masalah. Bahkan sejak berjalan sampai enam belas tahun tak ada kejadian apa-apa. Namun sejak dua tahun terakhir ini terjadi kemacetan. Pengiriman upeti telah dua kali tak sampai ke Mataram.
Pada pengiriman pertama barang upeti dilaporkan lenyap ketika para prajurit pengawal beristirahat disebuah tempat dekat kota Ungaran. Hal itu dilaporkan oleh Tumenggung PRAGOLA yang bertugas menyampaikan upeti ke Kerajaan Mataram.
Peristiwa itu diusut sampai tuntas. Dalam persidangan luar biasa yang diadakan di Istana Tumenggung Pragola menolak tuduhan bahwa dia sengaja menyelewengkan upeti, dan menyogok para prajurit pengawal untuk menutup mulut. Namun akhirnya tuduhan itu dibebaskan, karena tak ada bukti kuat bahwa Tumenggung Pragola menyelewengkan upeti. Itupun setelah diadakan pemeriksaan secara ketat dan teliti.
Peristiwa kedua adalah ketika pengiriman upeti dikepalai oleh Tumenggung Jaga Ludira. Ketika melintas disisi hutan Dandaka, rombongan telah dicegat oleh sesosok makhluk berbulu yang merampas upeti, dan menewaskan belasan prajurit. Tumenggung Jaga Ludira berhasil menyelamatkan nyawanya dengan luka parah. Lalu melaporkan kejadian itu pada Baginda Raja.
Hal itulah yang membuat Adipati Purwata harus menyelidiki rimba angker itu yang telah dinyatakan oleh Baginda Raja sebagai wilayah terlarang untuk dimasuki. Karena makhluk berbulu yang telah membunuh belasan prajurit dan merampas upeti itu menghilang di rimba Dandaka.
Dari atas bukit dia memandang ke bawah, melihat betapa luasnya hutan rimba belantara itu. Rasa penasarannya untuk mencari jejak makhluk aneh yang telah merampas upeti semakin menjadi-jadi. Sayang keinginannya terbentur oleh undang-undang yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja yang melarang memasuki wilayah hutan itu.
“Haih! Kalau hal ini berlangsung terus menerus, akan membahayakan keadaan Kerajaan. Karena telah dua kali pihak Kerajaan Mataram menagih upeti. Mengapa sang Prabu tak mau melaporkan kejadian sebenarnya pada pihak Kerajaan Mataram?” menggumam Adipati Purwata.
Matanya kembali menatap ke bawah bukit di-mana terbentang hutan rimba yang misterius itu. “Hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja! Aku harus mengungkap rahasia Rimba Dandaka, dan menyelidiki benarkah ada makhluk aneh yang telah merampas upeti? Sebangsa manusia atau dedemitkah si perampas upeti itu?” berkata dalam hati sang Adipati.
Setelah menghela napas beberapa saat kemudian laki-laki abdi Kerajaan ini keprak kudanya untuk menuruni bukit. Sementara hatinya masih diganduli kemelut. Kabut hitam seperti terbentang didepan mata. Ma-salah ini memang sangat rumit, entah bagaimana dia harus memecahkannya.
Baru saja Adipati muda ini tiba dibawah bukit, mendadak dari jauh terlihat seekor kuda berpenunggang berlari cepat mendatangi dari arah depan. Dia kerutkan kening dan agak menahan kudanya. Ketika semakin dekat, segera dia mengenali siapa si penunggang kuda tersebut. Ternyata seorang gadis berpakaian serba putih.
Sepintas mirip seorang laki-laki karena dara ini menggulung rambutnya menyembunyikan dalam kain ikat kepala. Melihat yang datang adalah adik perempuannya, Adipati Purwata tertegun. Gadis cantik yang gagah dan cekatan itu menahan kuda dan berhenti dihadapannya.
“Ada apa PURWANTI..? Mengapa kau menyusulku?” sentaknya terkejut.
“Ada surat dari Senopati GENDOLA. Maaf, terpaksa aku menyusulmu, karena tampaknya surat ini penting sekali isinya...” sahut si gadis dengan napas agak memburu.
“Surat dari Senopati Gendola?” Adipati muda ini kerutkan keningnya.
“Benar, kakang Adipati. Ini suratnya!” sahut Purwanti seraya memberikan sebuah lipatan kertas pada sang kakak.
Adipati Purwata cepat menerimanya. Tapi sebelum membuka lipatan kertas Adipati ini ajukan pertanyaan. “Dari mana kau mengetahui aku kemari?”
Gadis ini tersenyum seraya memutar kuda. “Hihi... mudah saja! Bukankah kakang Adipati pernah bilang padaku bahwa kakang merasa aneh dengan adanya undang-undang yang telah ditetapkan Baginda Prabu mengenai larangan memasuki Rimba Dandaka. Apalagi setelah adanya kejadian belum lama ini mengenai dirampasnya upeti oleh sesosok makhluk aneh yang menghilang dihutan itu dan membawa korban kematian belasan prajurit. Karena aku tak menjumpai kakang Adipati digedung Kadipaten, aku berpendapat pasti kakang menuju ke tempat ini. Dugaanku ternyata tepat!” sahut gadis ini.
“Perlu kakang Adipati ketahui, akupun pernah kemari, keatas bukit itu, memperhatikan rimba belantara larangan yang penuh rahasia aneh. Seperti juga kakang, akupun penasaran untuk menyusup kehutan larangan itu untuk menyelidiki keanehan itu!” sambung Purwanti.
“Purwanti! Jangan bertindak sembarangan! Kau tak boleh ikut campur dalam urusan ini. Tak boleh....!” bentak Adipati
Purwata terkejut, karena tak menyangka adik perempuannya telah sering kemari, bahkan berniat menyelidiki Rimba Dandaka. Akan tetapi gadis ini cuma tersenyum menang-gapi kata-kata kakaknya.
“Ingatlah kakang, aku adalah seorang kepala Prajurit dibarisan laskar gusti Senopati. Urusan ini bukan cuma urusan kakang Adipati saja, tapi urusan kita sebagai hamba Kerajaan. Kakang tak perlu khawatir dengan diriku. Aku dapat menjaga diri sendiri. Walau bukan sekarang saatnya, tapi aku penasaran kalau belum dapat membekuk makhluk aneh Rimba Dandaka dan mengirim kepalanya kehadapan Baginda Prabu..!” berkata Purwanti dengan sikap gagah.
Adipati Purwata cuma tercenung. Bahkan ketika gadis itu membedal kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu, dia masih termangu-mangu diatas kudanya. Dia tahu watak keras adik perempuannya yang masih satu perguruan dengan dia. Apa yang dikatakan Purwanti memang benar. Kekacauan dalam Kerajaan bukan urusan perseorangan. Setiap hamba Kerajaan harus memikirkannya. Dan siapapun berhak membuat keputusan bila keadaan mengancam Kota Raja.
Mendadak dia teringat pada surat dari Senopati Gendola yang masih tergenggam ditangannya. Cepat-cepat dia membuka lipatan kertas, lalu membacanya. Isi surat itu singkat yang mengatakan agar dia segera menghadap Senopati Gendola malam ini.
“Hm, apakah yang akan dirundingkan Senopati Gendola padaku? Tampaknya penting sekali...” menggumam Adipati ini.
Setelah termenung sejenak, Adipati Purwata menyimpan lipatan kertas itu kebalik pakaian. Kemudian segera membedal kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Saat itu senja telah tiba. Adipati Purwata mengambil keputusan tak kembali ke Kadipaten dulu, tapi langsung menemui Senopati Gendola ditempat yang telah ditentukan...
SENOPATI Gendola adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun lebih. Ber-perawakan kekar dengan wajah lebar, berkumis tebal serta cambang bauk lebat. Sikapnya tampak tegas dan berwibawa sesuai dengan jabatan yang disandangnya sebagai kepala pasukan di Kota Raja.
Tampaknya dia seperti tak sabar menanti kedatangan orang yang sedang dinantikannya, yaitu Adipati Purwata. Sebentar-sebentar dia bangkit dari kursinya. Memandang keluar pondok Empu Badar yang cuma diterangi cahaya lentera redup.
Sementara sang Empu yang dipercayakan sebagai orang yang ahli membuat senjata-senjata itu baru selesai membuat kopi. Laki-laki ini beranjak dari ruang dapur membawa baki berisi tiga gelas air kopi. Lalu menghidangkan dimeja yang ada dihadapan Senopati.
“Hm, belum juga datang sudah selarut ini, apakah Purwanti tak menjumpai Adipati Purwata digedungnya? Maksudku apakah dia sedang keluar...?” berkata Senopati ini.
“Sabarlah, gusti Senopati. Mungkin tak lama la-gi gusti Adipati pasti tiba...” sahut Empu Badar tersenyum, seraya mempersilahkan untuk mencicipi kopi seduhannya.
Baru saja Empu Badar menindakkan kaki untuk melangkah kedapur menyimpan baki, mendadak lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda. Empu Badar tersenyum. Senopati Gendola bangkit berdiri dengan pandangan mata menatap keluar pondok.
Benar saja. Adipati Purwata tampak melompat turun dari atas kuda. Setelah menambatkan binatang tunggangannya disisi pondok, segera beranjak melangkah memasuki pondok Empu tersebut.
“Ah, tampaknya paman Senopati sudah lama menunggu...” berkata Adipati Purwata seraya menjura dihadapan laki-laki itu.
“Tak terlalu lama adik Adipati. Silahkan duduk...!” sahut Senopati mempersilahkan Adipati Purwata dengan tersenyum.
Setelah mereka duduk berhadapan dan sesaat setelah Adipati Purwata beristirahat sambil menghirup kopi yang telah disungguhkan, maka Senopati Gendola membuka pembicaraan.
“Sebenarnya hal yang akan kubicarakan ini sudah bukan rahasia lagi adik Adipati. Tapi, karena masalah ini adalah diluar tugas Kerajaan, maka sengaja aku mengadakan pertemuan di rumah Empu Badar...”
Adipati Purwata manggut-manggut, walau dia memang belum paham dengan apa yang akan dibicarakan sang Senopati. Setelah menghela napas sejenak, Senopati meneruskan kata-katanya.
“Sebagaimana kau ketahui peristiwa upeti yang telah dua kali mengalami kegagalan dalam pengiringan ke Mataram, maka perundingan yang akan kita adakan adalah mengenai masalah itu...” kata Senopati.
“Bagaimana rencana paman Senopati dalam membahas masalah yang mengkhawatirkan itu?” tukas Adipati dengan penuh perhatian.
“Yah! hal ini memang diluar tugas dari sang Prabu, akan tetapi demi kepentingan Kerajaan, kita harus melakukan tindakan atau upaya demi mencegah hal-hal yang akan membahayakan bagi pihak Kerajaan. Walau bagaimana kita harus mengusut lenyapnya upeti-upeti itu. Peristiwa aneh yang dialami Tumenggung Jaga Ludira yang telah menewaskan belasan prajurit tak dapat dipeti matikan begitu saja. Hal ini harus diselidiki. Terutama mengenai makhluk aneh yang merampas upeti dan lenyap di Rimba Dandaka!”
“Benar paman Senopati ! Akupun sudah merencanakan matang-matang untuk menyelidiki rimba larangan itu!” kata Adipati Purwata.
“Bagus! Aku sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki Rimba Dandaka besok pagi. Kita berangkat berdua. Pertemuan kita adakan diatas bukit sebelah utara, tempat yang biasa kau kunjungi. Ingat! Kepergian kita harus dirahasiakan, dan kukira lebih bagus memakai pakaian biasa saja. Nah, kukira cukup perundingan kita...”
Pertemuan singkat itu tak berlangsung lama, Setelah menghabiskan kopinya, Senopati libatkan jubahnya, lalu mohon diri untuk pulang terlebih dulu. Empu Badar manggutkan kepala dan mengantar sang Senopati sampai kepintu. Tak lama menyusul Adipati Purwata mohon diri pada empu tua tersebut. Tak menunggu terlalu lama Adipati ini segera membedal kuda dengan cepat untuk kembali ke Kadipaten.
Sepeninggal kedua pembesar Kerajaan itu Empu Badar segera meniup pelita kecil didepan pondok, lalu menutup pintu pondoknya. Rumah laki-laki tua itupun kembali sunyi...
Seorang pemuda berambut gondrong berbaju putih dari kain kasar berjalan dengan bersiul-siul dijalan setapak. Siapa adanya pemuda ini tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar. Nanjar berharap dapat menemukan sebuah desa dengan mengikuti jalan setapak yang penuh belukar itu. Akan tetapi semakin jauh jalan yang diikutinya semakin hilang, dan tak ketahuan lagi kemana arahnya. Kini dihadapannya adalah sebuah hutan lebat.
“Haih!? Aku telah salah arah! Jalan setapak ini hilang sampai diujung sini...” Nanjar tercenung beberapa saat. Sementara matanya menjalari keadaan hutan rimba dihadapannya. Mendadak pendengaran si Dewa Linglung yang sang peka ini menangkap suara desah dari arah semak belukar.
“Hm, apakah dibalik semak itu ada seekor binatang buas?” pikirnya seraya menjumput sebuah ranting. Lalu dilemparkan kearah semak dihadapannya. Mendadak sesosok bayangan kuning berkelebat melompat dari semak tersebut. Gerakannya cepat sekali. Sebentar saja lenyap dikerimbunan pepohonan.
“Heh! manusia atau hantu...” sentak Nanjar terkejut. Dia agak ragu-ragu untuk mengejar. Setelah merenung sesaat, akhirnya Nanjar mengambil keputusan.
“Akan kucoba memasuki hutan ini. Kuingin tahu siapakah sosok bayangan kuning itu? Kalau ada hantu di siang bolong begini ingin kutahu bagaimana ujudnya...” berkata Nanjar dalam hati.
Setelah mengambil keputusan si Dewa Linglung segera menyusup masuk kedalam hutan itu. Selain mempertajam pendengarannya, Nanjar juga telah siap menghadapi berbagai kemungkinan bila terjadi sesuatu.
Semakin masuk menyusup ke tengah hutan, Nanjar semakin waspada. Mendadak telinganya mendengar suara tertawa berderai yang tak ketahuan dari mana arahnya. Seolah suara itu datangnya dari berbagai tempat.
Dewa Linglung tersentak, karena suara itu sangat mempengaruhi dirinya. Tahulah dia kalau suara itu mengandung suatu tenaga dalam. Telinganya terasa sakit oleh suara yang nyaring itu seperti memukul-mukul gendang telinganya.
“Hm, rupanya hutan ini berpenghuni orang-orang berilmu tinggi, yang sengaja menjajal diriku...” Berkata Nanjar dalam hati. Kemudian merogoh seruling yang terselip di pinggang dibalik bajunya.
Ketika benda itu ditempelkan ke bibirnya maka membersitlah suara melengking yang membuyarkan pengaruh kekuatan tenaga dalam lawan. Suara tertawa itu mendadak lenyap, dan berganti dengan suara bentakan keras yang menggetarkan udara.
“Bocah lancang! Kau rupanya punya andalan juga, hingga berani memasuki hutan larangan ini! Siapakah kau sebenarnya?” Suara bentakan itu disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh dari atas pohon besar.
Nanjar menatap tajam orang ini. Ternyata seorang laki-laki tua bertubuh kurus memakai sorban warna hitam. Bajunya berwarna hijau gelap, hingga pantaslah kalau Nanjar tak melihatnya ketika orang itu bersembunyi diatas pohon.
“Hm, namaku Nanjar! Aku tak sengaja memasuki hutan ini. Tadi aku melihat sesosok bayangan kuning, dan kini yang muncul adalah kau orang tua baju hijau. Apakah aku boleh mengetahui pula siapa dirimu?” sahut Nanjar balik bertanya.
“Haha...heheh...bayangan kuning yang kau lihat itu adalah muridku, dia seorang gadis cantik. Tapi kau telah melemparnya dengan ranting kayu. Aku Kala Bajra penjaga hutan larangan ini!” sahut laki-laki tua bersorban hitam ini.
Nanjar terhenyak sesaat. Kemudian selipkan serulingnya kebalik baju, seraya berkata. “Ah, aku sungguh tak mengetahui... aku mengira seekor binatang buas yang mau menerkamku!”
Sementara dalam hati diam-diam Nanjar terkejut, karena jelaslah dalam hutan ini terdapat orang-orang persilatan yang berilmu tinggi. Di lain pihak diam-diam laki-laki tua bersorban itupun memperhatikan dirinya. Sesaat kemudian Kala Bajra perdengarkan suara suitan macam suara burung.
Mendadak dari arah semak belukar disamping Nanjar berkelebat sesosok bayangan kuning. Mata Nanjar jadi membelalak lebar menatap tajam-tajam. Kini jelaslah makhluk yang merupakan bayangan kuning itu. Apa yang dikatakan laki-laki tua itu memang benar. Seorang gadis berwajah bulat telur dengan sepasang mata bulat berbulu mata lentik mengenakan baju berwarna kuning, tampak telah berdiri dihadapannya.
Di pinggang gadis ini terselip se-buah pedang pendek. Walaupun berpakaian mirip laki-laki dengan menyembunyikan rambutnya da-lam ikat kepala, namun Nanjar dapat menerkanya kalau dia seorang gadis. Apalagi laki-laki tua bernama Kala Bajra itu telah mengatakan sebelumnya.
“Ah, inikah muridmu, sobat Kala Bajra yang kusangka binatang buas itu...?” sentak Nanjar.
“Benar...! Sengaja aku menyuruhnya memunculkan diri, karena aku percaya kau telah berkata jujur!” sahut Kala Bajra.
Tahulah Nanjar kalau kedua orang itu tak bermaksud jahat atau berniat bermusuhan dengan dia. Segera dia menjura pada laki-laki tua dan gadis murid si Kala Bajra tersebut. “Ah... ada apakah sebenarnya dengan semua ini...? Aku sungguh-sungguh tak mengerti.”
“Hm, kau ikutlah aku...!” berkata Kala Bajra, seraya memberi isyarat pada Nanjar. Sementara gadis itu dengan cepat telah melompat mendekati laki-laki tua itu. Kala Bajra berjalan cepat didepan diikuti gadis muridnya.
Nanjar dengan hati penasaran mengikuti di belakang mereka. Setelah melalui jalan yang berliku-liku, di belakang sebuah bukit Kala Bajra memasuki sebuah lorong goa tersembunyi tertutup belukar. Tak lama kemudian mereka telah duduk saling berhadapan.
“Sebenarnya aku adalah Senopati Gendola dari Kerajaan Giri Brata. Dan gadis ini adalah adik Adipati Purwata, bernama Purwanti...”
Nanjar yang sejak tadi sering melirik gadis itu segera mengangguk dengan tersenyum, tapi juga terkejut mendengar penjelasan laki-laki tua itu. “Jadi sebenarnya anda berdua dalam penyamaran?” tanya Nanjar.
“Benar sekali, sobat Nanjar. Kami tengah menyelidiki rahasia Rimba Dandaka yang terlarang untuk dimasuki dan mendapat larangan keras dari Baginda Raja bagi setiap orang Kerajaan, baik memasuki atau menyelidiki...! Kami terpaksa menyamar untuk melakukan penyelidikan. Kami berharap dapat menemukan rahasia selama delapan belas tahun itu.
"Selama lebih dari sepekan ini kami tak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Akan tetapi rekan kami Adipati Purwata telah menghilang entah kemana. Aku tak mengetahui apakah yang telah terjadi pada dirinya...” Kala Bajra alias Senopati Gendola menjelaskan. Sementara si gadis sejak tadi tak bicara apa-apa.
Sejenak Nanjar tercenung. Sejak mendengar cerita Senopati Gendola dari pertama kali mengenai adanya berita munculnya makhluk aneh berbulu yang merampas upeti bagi Kerajaan Mataram, Nanjar merasa sangat penasaran untuk menyelidiki. Tentu saja lenyapnya Adipati Purwata membuat dia lebih terkejut. Berarti telah bertambah lagi kemelut yang melanda pihak Kerajaan.
“Apakah lebih baik diselidiki dulu, apakah Adipati Purwata telah pulang terlebih dulu kembali ke Kota Raja?” Nanjar menukas.
Senopati Gendola menggeleng. “Rasanya tak mungkin. Kami memang melakukan penyelidikan secara berpencar, dan harus kembali ditempat yang telah ditentukan. Tapi lebih dari satu hari Adipati Purwata tak muncul. Hingga kami terpaksa mencarinya. Namun sampai saat ini kami tak menemukan jejaknya...” sahut laki-laki tua bertubuh kekar ini.
“Hm, urusan ini tak bisa aku berpeluk tangan. Walau kalian tak meminta pertolonganku, aku akan berusaha menyelidiki hutan ini dan mencari jejak Adipati Purwata!”
“Kau akan pergi sendiri...? Apakah tak sebaiknya kita pergi bertiga. Tapi... hem, kukira cukup berdua saja! Dan kau... Purwanti, lebih baik kau menanti disini sampai kami kembali!” kata Senopati Gendola.
“Biarlah aku pergi sendiri saja!” potong Nanjar seraya berdiri dan melangkah keluar goa.
“Paman Senopati! Aku akan turut menemaninya. Adipati Purwata adalah kakakku. Aku akan berusaha mencari jejaknya, atau menemukan mayatnya!” Gadis yang sejak tadi tak bersuara itu tiba-tiba berkata seraya melompat berdiri.
Senopati Gendola baru saja mengangakan mulutnya untuk menyahut, tapi saat itu si gadis telah berkelebat menyusul Nanjar yang telah berkelebat terlebih dulu. Dia memang tak ingin ditemani siapa-siapa, karena Nanjar berpendapat lebih leluasa bergerak. Laki-laki tua abdi Kerajaan ini tadinya mau bergerak mengejar untuk turut mengikuti mereka. Tapi segera mengurungkan niatnya seraya menghela napas.
“Oh... apakah yang harus kuperbuat? Aku sudah terlanjur melanggar peraturan yang dikeluarkan sang Prabu...”
Senopati Gendola jatuhkan pantatnya keatas batu, dan duduk termangu-mangu. Namun akhirnya bangkit berdiri. “Hm, aku percaya anak muda itu seorang pendekar gagah dan berhati bersih. Kejujuran tampak terlihat pada sinar matanya. Biarlah aku melacak jejak Adipati Purwata kearah lain...”
Setelah mengambil keputusan, Senopati Gendola segera berkelebat meninggalkan goa tersembunyi itu...
SOBAT Nanjar....! Tunggu!”
Teriakan gadis ini membuat Nanjar menahan gerakan kakinya. Lalu menoleh ke belakang. Dari balik-balik batang pohon di kejauhan segera terlihat bayangan kuning berkelebat lincah bagaikan seekor kijang, gadis bernama Purwanti itu menyusulnya.
“He? Mengapa kau tak turut perintah paman Senopati Gendola?” tanya Nanjar menatap gadis yang sudah berdiri dihadapannya.
“Aku akan pergi mencari bersamamu, apakah kau keberatan?” tanya si gadis.
Nanjar tersenyum seraya menjawab. “Sama sekali tidak! Kau punya ilmu meringankan tubuh yang sempurna siapakah gurumu?”
“Apakah perlu aku mengatakannya?”
“Sesukamulah...! Tidakpun tak mengapa.” sahut Nanjar dengan tertawa.
“Hm, kau terlalu memuji. Apakah kau selalu memuji pada setiap gadis?” bertanya Purwanti.
“Adakalanya ya, tapi ada kalanya tidak!” menyahut si Dewa Linglung dengan garuk-garuk tengkuknya. Sementara diam-diam dalam hati Nanjar berkata. “Gadis aneh! Kalau aku bertanya, dibalasnya dengan pertanyaan pula.”
Gadis ini mendehem seraya melangkah mengikuti Nanjar. “Kemana arah yang akan kita tuju?” tanyanya tanpa memalingkan wajahnya kearah Nanjar.
“Kira-kira kemana arah yang cocok menurut pendapatmu?” kini Nanjar yang balik bertanya.
Purwanti terdiam sesaat. “Aku telah memutari sekitar hutan ini lebih dari tiga kali, tapi tak ada tanda-tanda mencurigakan. Diujung sebelah sana ada sebuah bukit, dan di balik bukit itu masih terdapat hutan lagi yang lebih lebat. Kami mencobanya mencari kesana...” kata si gadis.
“Kalau begitu kita menuju kesana. Siapa tahu kita menemukan tanda-tanda kakakmu tersesat dihutan itu...” sahut Nanjar.
Gadis ini mengangguk. “Baiklah! aku setuju!”
Tak lama keduanya telah berjalan cepat, terka-dang melompati semak belukar. Gerakan kedua-nya sepintas bagaikan dua bayangan putih dan kuning yang bergerak cepat dan lincah merambas hutan belantara. Selang tak berapa lama keduanya telah berada diatas bukit. Nanjar sengaja berhenti untuk menyelidiki sekitar bukit itu, serta memberi kesempatan gadis itu mengatur napas.
Purwanti memang tampak lelah, karena telah beberapa hari melacak jejak kakaknya yang lenyap tak tentu rimbanya. Ketika Nanjar tengah memperhatikan sekitar bukit, tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritan gadis itu.
Alangkah terkejutnya ketika menoleh dilihatnya Purwanti berada dalam cengkeraman sesosok makhluk hitam berbulu seperti seekor kera besar. Jeritan gadis itu terhenti, tampaknya dia tak berdaya melepaskan diri dari lengan kekar makhluk itu. Nanjar belalakkan mata terperangah. Tapi segera melompat disertai bentakan keras.
“Keparat! Lepaskan dia!”
Mendadak makhluk itu kibaskan lengannya. Tahu-tahu serangkum angin keras menyambar kearah Nanjar. Karena saat itu Nanjar tengah melakukan lompatan di udara, hal itu membuat dia tersentak kaget. Namun dengan cepat Nanjar silangkan lengannya melindungi diri dari serangan.
“BUK!
Satu benturan keras membuat tubuh si Dewa Linglung terlempar. Jelas angin pukulan makhluk itu mengandung kekuatan tenaga sangat besar. Untunglah Nanjar telah sempat melindungi diri, dan gunakan salto hingga ketika menyentuh tanah dengan kaki terlebih dulu.
Tapi akibat dari serangan itu, Nanjar telah kehilangan jejak. Makhluk itu lenyap tak ketahuan kemana berkelebatnya. Nanjar berkelebatan kesana-kemari mencari dimana adanya makhluk itu, merambas semak belukar memasuki hutan di bawah bukit tersebut. Namun makhluk berbulu itu hilang lenyap.
“Gila! Kemana perginya makhluk itu? Ah, cela-ka! Aku harus menemukannya. Purwanti.... haih! Alangkah lambannya aku dan kurang waspada, hingga tak kuketahui munculnya makhluk itu...” Nanjar memaki dirinya sendiri.
Sementara itu Purwanti merasakan tengkuknya seperti di totok, lalu tubuhnya terkulai, dan dia tak ingat apa-apa lagi karena saat itu juga dia tak sadarkan diri. Kemana gerangan makhluk aneh berbulu mirip seekor kera ini melarikan gadis itu? Ternyata di dalam hutan itu terdapat banyak jalan rahasia. Makhluk itu lenyap tak terlihat oleh Nanjar karena telah memasuki sebuah lorong tertutup semak belukar.
Dalam lorong gelap itu ternyata mata si mak-hluk aneh mampu melihat jalan. Tampak sepasang matanya memancarkan cahaya merah. Lorong itu ternyata berliku-liku. Tapi tak lama di bagian depan terlihat cahaya terang. Itulah rupanya ujung terowongan. Dalam waktu tak berapa lama makhluk ini telah sampai ditempat terbuka.
Ternyata dihadapannya adalah sebuah tempat rahasia yang tersembunyi. Dikelilingi batu bukit tampak sebuah pelataran berumput hijau dan bersih. Ditempat ini terdapat sebuah bangunan berbentuk pesanggrahan tua. Tiang-tiangnya dari kayu jati dan penuh ukiran indah.
Dari dalam pesanggrahan itu terdengar suara tertawa terkekeh diiringi munculnya sesosok tubuh berjubah merah. Ternyata seorang nenek tua berwajah keriput. Ditangannya tercekal sebuah tongkat yang di bagian ujung menyerupai tanduk rusa.
“Bagus! Kau telah berhasil menawan gadis itu. Bawa masuk, dan masukkan dalam kerangkeng!” berkata nenek tua ini.
Sosok makhluk berbulu ini bertubuh tegap. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan bulu hitam lebat dan kasar. Wajahnya menyerupai manusia biasa namun penuh cambang bauk dan bulu-bulu yang lebat, dan tak mengenakan pakaian kecuali sehelai cawat yang menutupi auratnya.
Mendengar perintah itu, makhluk ini mengangguk, lalu berjalan cepat kearah samping pesanggrahan. Lalu memasuki sebuah pintu berukir di bagian paling kiri. Sementara si nenek berjubah merah itu kembali lenyap memasuki pesanggrahan. Ketika Purwanti sadarkan diri dia sangat terkejut mendapatkan dirinya berada dalam sebuah penjara berjeruji besi.
“OH...!? Dimana aku? Tempat apa ini...?” sentaknya dengan mata membelalak memperhatikan sekitarnya. Lalu meraba-raba tubuhnya. Tampak dia menarik napas lega, karena merasa tak ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya.
“Makhluk berbulu itu kemana perginya...? Tentu dia yang telah memenjarakan aku ditempat ini. Ah... selama hidupku baru aku menjumpai makhluk yang menyeramkan begitu! Makhluk itu mirip seekor kera, tapi berwajah manusia. Apakah makhluk itu yang menjadi penghuni hutan Dandaka?” bertanya-tanya Purwanti dalam hati.
Ketika teringat pada Nanjar, gadis ini tercenung beberapa saat. Dia masih dapat mengingat ketika pemuda itu berteriak membentak di saat dirinya dalam cengkeraman makhluk itu yang tahu-tahu muncul dihadapannya lalu menyergapnya. Dalam keadaan terkejut itu secara reflek lengan Purwanti bergerak untuk menghantam, tapi gerakan makhluk aneh itu teramat cepat. Tahu-tahu pinggangnya telah kena dicengkeram.
Dia berusaha melepaskan diri dengan menjerit ketakutan, tapi satu totokan keras pada tengkuknya membuat pandangan matanya menjadi gelap. Sekujur urat tubuhnya menjadi kaku, dan dia tak sadarkan diri lagi.
Sementara itu si Dewa Linglung terus melacak jejak makhluk berbulu yang misterius itu. Namun sampai menjelang senja usaha yang dilakukannya sia-sia saja. Makhluk aneh yang melarikan Purwanti lenyap tanpa bekas. Akhirnya Nanjar memutuskan untuk kembali keatas bukit dimana terjadinya peristiwa dan munculnya makhluk aneh itu.
“Sekalian aku bermalam disana.... siapa tahu makhluk itu muncul didepan mataku, dan aku segera membekuknya!” pikir Nanjar seraya berkelebat kembali kearah yang menuju keatas bukit. Akan tetapi baru saja dia melakukan dua kali lompatan, mendadak sebuah bayangan merah berkelebat dihadapannya.
“Siapa kau?!” bentak Nanjar seraya menahan tindakan kakinya. Seorang nenek tua berwajah keriput tampak menyeringai dihadapannya, yaitu si nenek jubah merah yang mencekal tongkat berkepala tanduk rusa.
“Hehe...he... hik...hik... anak muda! Nyalimu sungguh besar berani memasuki wilayah hutan Dandaka! Siapakah kau anak muda? Tampaknya kau bukan orang Kerajaan...!” bertanya si nenek.
“Benar! Aku memang rakyat biasa! Namaku Nanjar. Aku mencari jejak sesosok makhluk berbulu menyerupai kera yang telah melarikan temanku seorang gadis. Apakah kau melihatnya? Dan siapakah kau orang tua?” sahut Nanjar dengan menatap tajam wanita tua itu.
Nenek jubah merah ini kembali perdengarkan suara tertawa terkekeh. Kemudian berkata. “Aku bukan tak mau memperkenalkan diri, tapi kemunculanmu dihutan Dandaka bakal mengacaukan keadaan diwilayah ini. Tahukah kau bahwa hutan ini terlarang bagi siapa saja untuk menginjaknya?”
Nanjar kerutkan keningnya. “Heh! Siapa yang membuat larangan itu?” tanya Nanjar walau sebenarnya Nanjar telah mengetahui dari Senopati Gendola.
“Hehe...hik...hik...hik... Sang Prabu Gempar Wiyaksa raja kerajaan GIRI BRATA telah melarang setiap orang baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat jelata untuk memasuki wilayah hutan Dandaka. Dan hal itu telah berlaku selama delapan belas tahun! Apakah kau baru mendengarnya?”
“Hm, aku adalah orang luar yang tak tahu menahu dengan urusan segala larangan itu!” sahut Nanjar dengan sikap tetap tenang. “Yang kutanyakan adalah mengenai gadis kawanku itu, nenek tua! Apakah kau melihatnya? Dan siapakah dirimu...?” Nanjar ajukan pertanyaan.
Nenek ini naikkan alisnya hingga terjungkat. Matanya tajam menatap Nanjar. “Hm, baik! Orang muda seperti kau memang berwatak ugal-ugalan dan maunya menang sendiri. Gadis yang kau cari itu telah menjadi tawananku, mungkin dalam waktu dekat aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Larangan memasuki hutan Dandaka tak dapat dirobah. Siapa yang datang harus menemui kematian, tak terkecuali sang Prabu atau kau sendiri. Namun, aku masih bisa memaafkan kau, anak muda! Asalkan kau tak mencampuri urusan ini...!” berkata si nenek.
Otak Nanjar cepat bekerja. “Hm, yang menculik dan melarikan Purwati adalah makhluk berbulu yang misterius itu. Kalau kini gadis itu berada dalam tawanan nenek ini sudah tentu makhluk itu adalah makhluk piaraannya.”
“Haha... nenek tua! Bagaimana aku tak mencampuri urusanmu kalau kau telah menculik temanku? Bahkan aku mau membongkar kejahatan dan rahasia dihutan Dandaka ini, karena membiarkan suatu kejahatan adalah suatu perbuatan tak terpuji yang bertentangan dengan tujuan kaum pendekar!"
“Hm, mulutmu terlalu enteng berbicara. Apakah kau mampu menghadapi tongkatku?” bentak si nenek dengan mata memancarkan hawa amarah.
“Dengan senang hati aku akan mencobanya, hingga aku bisa mengetahui kehebatan tongkatmu, nenek tua! Tapi tunggu dulu, kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah namamu atau julukanmu orang tua...?” berkata Nanjar dengan senyum seperti mengejek.
“Kau akan mengetahui kalau nyawamu telah melayang ke Akhirat!” bentak si nenek seraya berkelebat. Tongkatnya menyambar menimbulkan siuran angin keras. Nanjar melompat ke samping. Tak dinyana tongkat tanduk rusa itu terus mencecarnya. Bahkan serangan-serangannya teramat cepat, sehingga...
Breet!
Nanjar tersentak kaget karena ujung tanduk rusa tongkat lawan telah membuat koyak bajunya di bagian dada dan memutuskan sederet kancing bajunya. Nanjar melompat menjauh. Tampak tubuh bagian dadanya terbuka, dan menampakkan sebuah gambar tatto seekor Naga. Hal tersebut ternyata tak luput dari pandangan mata si nenek yang tajam. Sejenak dia menahan serangan.
“Hm, gambar tatto di dadamu mengingatkan aku akan sebuah pedang mustika yang bernama Naga Merah. Apakah hubunganmu dengan si Pendekar Naga Merah alias si Dewa Linglung yang kudengar namanya sangat santar di dunia Rimba Hi-jau?” sentak si nenek terkejut.
“Hm, nenek tua! kalau kau percaya itulah aku sendiri!” sahut Nanjar.
Mendengar kata-kata pemuda ini si nenek mendadak tertegun beberapa saat. “Kaukah si Dewa Linglung itu?” sentaknya seperti tak percaya.
“Sudah kukatakan memang akulah orangnya, apakah kau kurang pendengaran nenek tua? Nah, kini apa maumu? Apakah masih tetap akan membunuhku?” sahut Nanjar.
“Cukuplah sampai disini saja, pendekar Dewa Linglung. Kau bukanlah musuhku, dan memang tak seharusnya aku menempurmu sebelum aku mengetahui siapa dirimu. Kau ikutilah aku ke tempat tinggalku. Kau bisa membawa pulang kawan gadismu itu...!” selesai berkata nenek tua ini segera berkelebat dari depan Nanjar.
Mau tak mau si Dewa Linglung segera mengikuti walau dalam hati bertanya-tanya. “Aneh...!? Mengapa sikapnya mendadak berubah begitu mengetahui diriku...? Bagus Aku bisa membongkar teka-teki aneh yang menjadi sebab dari larangan memasuki hutan Dandaka itu, serta mengetahui siapa adanya makhluk berbulu. Dan siapa tahu aku bisa menemukan pula jejak Adipati Purwata...”
Namun begitu Nanjar tetap waspada, khawatir kalau diam-diam si nenek itu memasang jebakan untuk menjebak dia. Baru beberapa saat si nenek berkelebat mendadak dia merandek berhenti. Tentu saja Nanjar pun menghentikan pula gerakannya dengan agak heran. Ternyata telinga nenek tua ini mendengar suara yang dikirim dari jarak jauh membersit ditelinganya.
“Sobat Nini Cempati! Kukira kau takkan melakukan penghianatan, bukan? Kau tahu apa akibatnya membocorkan rahasia dihutan Dandaka...?”
Nenek tua ini tampak tersentak kaget. Perubahan sikap si nenek walaupun raut mukanya tetap kaku telah membuat Nanjar merasa aneh.
“Ada apakah nenek tua? Mengapa kau tiba-tiba berhenti?” tanya Nanjar terheran.
“Hm, tak ada apa-apa sobat pendekar Dewa Linglung. Mari kita lanjutkan perjalanan...” sahut si nenek jubah merah, seraya kembali berkelebat. Nanjar segera mengikuti di belakang wanita tua itu.
Pada detik itulah sebuah bayangan hitam berkelebat, dan tahu-tahu menghadang didepan si nenek jubah merah. Ternyata sesosok tubuh yang membungkus sekujur tubuhnya dengan jubah hitam hingga menutupi kepala. Cuma sepasang matanya saja yang tampak terlihat dari dua buah lubang di bagian muka.
Sosok manusia berjubah hitam itu memperdengarkan dengusan di hidung. Sepasang matanya memancarkan cahaya kemarahan menatap si nenek. Tanpa berkata-kata si manusia jubah hitam merogohkan tangannya kebalik jubah, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Kemudian melemparkannya pada wanita tua itu. Dengan cepat nenek tua ini menanggapinya.
Nanjar terheran. Dalam hati dia berkata. “Siapakah orang ini? Dan benda apa yang dilemparkan pada si nenek tua...?”
Akan tetapi keheranan Nanjar mendadak berubah menjadi terkejut bukan kepalang karena tahu-tahu si nenek perdengarkan suara jeritan panjang. Tubuhnya mendadak terhuyung ke belakang, lalu roboh terjungkal. Detik itu juga si manusia jubah hitam berkelebat cepat sekali dan lenyap dalam kerimbunan semak belukar.
Mata Nanjar cukup jeli ketika melihat sedetik setelah melemparkan lipatan kertas, mendadak si manusia jubah hitam melihat lengan manusia misterius yang disembunyikan di belakang punggung mendadak mengibas. Tahu-tahu si nenek menjerit panjang dan roboh terjungkal.
“Iblis jubah hitam. Jangan lari!” membentak Nanjar. Tadinya dia berniat mengejar, tapi segera urungkan niatnya lalu memburu kearah si nenek tua. Nanjar segera memeriksa keadaan wanita tua itu. Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat tiga buah belati kecil menancap di bagian dada wanita tua ini.
Sementara itu si nenek tua dalam keadaan kritis meregang nyawa. Darah mengucur dari bagian dada merembes kejubahnya yang merah, hingga semakin merah. Tampaknya wanita tua ini belum tewas terburu-buru. Melihat keadaannya memang sangat tak memungkinkan untuk bisa hidup lama.
Melihat Nanjar menghampiri, nenek ini melebarkan matanya. Bibirnya yang menyeringai mendadak memperlihatkan senyum. Senyum yang sangat menggiriskan dan sangat kaku.
“Nenek tua... siapa iblis jubah hitam itu? mengapa ia menyerang mu...?” bertanya Nanjar.
“Anak... muda... mendekatlah. Aku akan mengatakan siapa diriku...” Nanjar tak berayal segera menuruti perintah si nenek. “Sebelum ajalku tiba, lekas kau lihat apa isi surat ini...” katanya lirih. Lengan si nenek tergetar mencoba mengangkat lengannya.
Cepat Nanjar mengambil lipatan kertas dalam genggaman tan-gan si nenek. Lalu membukanya. Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat kertas itu kosong.
“Kosong, nek! Tak ada tulisan satu huruf pun!” kata Nanjar terheran.
Si nenek tampak tertegun. “Iblis keparat itu memang sangat... li..cik!” berkata si nenek dengan suara terputus. “Biarlah... tak mengapa. Kini cepat kau kelupas kulit mukaku....! Wajahku yang sebenarnya ada dibalik... topeng yang ku...kenakan ini...” kata si nenek selanjutnya.
Nanjar sejenak tertegun, tapi segera menurutkan perintahnya. Benar saja! Nanjar melihat satu wajah lagi dibalik topeng tipis menyerupai kulit manusia itu. Kini tampak seraut wajah seorang wanita berkulit putih. Seraut wajah yang menampakkan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh limaan tahun dan tampak masih tersisa kecantikannya.
“Siapakah sebenarnya anda...?” tanya Nanjar.
Lagi-lagi “nenek” ini tersenyum. Tapi kini senyum dari seorang wanita yang tak begitu tua. Tampak manis dengan lesung pipit dikedua pipinya. Namun senyum yang membayangkan kepedihan hati, di saat datangnya maut yang sebentar lagi akan menjemputnya.
“Aku adalah bekas permaisuri Sang Prabu GEMPAR WIYAKSA, raja kerajaan Giri Brata. Selama... delapan belas tahun aku dibuang di hutan Dandaka oleh sang Prabu, karena... aku melahirkan seorang bayi yang tak diakui sebagai anak keturunannya...”
Nanjar tersentak kaget. Matanya membelalak. Kini rahasia hutan Dandaka mulai tersingkap, walau belum begitu jelas. Wanita ini berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Tampak dia mengerenyitkan keningnya seperti menahan sakit pada dadanya. Nanjar cepat menotok dibeberapa tempat disekitar luka. Tak lama berselang wanita ini tampak tersenyum karena merasa rasa sakitnya agak berkurang.
Kemudian wanita ini melanjutkan kata-katanya yang semakin lirih dan terputus-putus. “Orang yang menyerangku... adalah.... orang yang telah menyelamatkan jiwaku...” lanjutnya dengan mata semakin meredup. Dan dari sela-sela kelopak matanya tampak mengalir air bening ke pipinya.
Nanjar belalakkan matanya terheran. ”Tapi... mengapa dia menyerangmu?” tanya Nanjar tak mengerti.
Wanita ini tersenyum. Mendadak napasnya kembali tersengal-sengal dan wajah wanita ini semakin memucat. “Anak muda... aku... hanya mohon kau melindungi... a...anakku...” katanya dengan suara terputus-putus.
Nanjar tersentak. “Siapa anakmu...? Dan siapa orang yang menyerangmu itu?” tanya Nanjar seraya mengangkat kepala wanita itu dan menguncang-guncangkannya. Akan tetapi kepala wanita ini telah terkulai. Nyawanya telah melayang ke Alam Baka.
Nanjar membelalakkan mata tersentak. Dengan penuh kekecewaan perlahan dia membaringkan kembali kepala si wanita. Lama dia terpekur menatap mayat wanita bekas permaisuri Raja itu. Se-mentara otaknya berfikir keras untuk menemukan jawaban wanita itu.
Pada saat itulah sesosok makhluk mendadak muncul dari semak belukar. Sepasang mata makhluk ini memancarkan hawa amarah dari kedua biji matanya yang merah. Dalam kesenyapan didalam hutan itu telinga Nanjar menangkap suara berkrosakan dibelakangnya, segera dia balikkan tubuh dan melompat ke belakang penuh kewaspadaan.
Alangkah terkejutnya si Dewa Linglung melihat sesosok makhluk berbulu yang beberapa saat yang lalu telah melarikan diri setelah menawan Purwanti itu kini berada dihadapannya. Akan tetapi pada detik itu makhluk aneh itu telah melompat dan menerjang dengan sesuatu menggerung parau.
“Tunggu...! Siapa sebenarnya kau? Dan apa hubunganmu dengan perempuan ini...?” teriak Nanjar seraya menghindar dengan melompat jauh.
Makhluk berbulu itu kembali mengerung dahsyat. Suara gerungannya menggetarkan udara meron-tokkan daun-daun kering dari pepohonan. Diam-diam Nanjar terkejut, karena jelas kekuatan tenaga dalam makhluk itu sangat luar biasa. Pada saat itu tiba-tiba Nanjar merasakan sesuatu menyambar didepan hidungnya.
Dia tersentak kaget karena tak diketahui dari arah mana datangnya tahu-tahu wajahnya telah tertutup oleh sehelai kain tipis yang berbau harum. Terenduslah bau harum yang menusuk hidung. Cepat dia menepiskan benda yang menutupi mukanya.
Ternyata selembar sapu tangan berwarna putih bersulam setangkai bunga, entah bunga apa. Selagi dia terheran dan jelalatkan matanya mencari si pelempar benda tersebut mendadak kepalanya terasa berdenyutan. Selanjutnya dengan mengeluh pendek, Nanjar terhuyung roboh tak sadarkan diri...
KETIKA Nanjar sadarkan diri dia terkejut karena tubuhnya terbaring disebuah pembaringan berseprai putih, bersulamkan kembang disekelilingnya. Ketika Nanjar melihat sulaman kembang tersebut tersentak kaget, dan seketika melompat bangun.
Ingatannya kembali pulih. Dirabanya keningnya yang masih tersisa rasa pening setelah sebelum dia tak sadarkan diri mencium bau harum dari sapu tangan yang menutupi wajahnya.
“Heh!? dimanakah aku...? Dan siapa yang membawaku ketempat ini?” bertanya-tanya Nanjar dalam hati. Sementara matanya menjalari sekitar ruangan. Ketika memperhatikan sulaman kembang itu, memang sangat mirip dengan sulaman pada sapu tangan yang membekap wajahnya.
Diam-diam dia meraba punggungnya. Alangkah terkejutnya Nanjar karena baik pedang dan seruling tulangnya yang terselip di pinggang serta buntalan kain yang selalu menggemblok di punggungnya telah lenyap.
“Celaka aku...” keluh Nanjar. Mendadak wajahnya berubah pias. Sadarlah dia kalau orang telah membawa dia ketempat itu telah membenahi barang-barang miliknya.
“Manusia macam apakah orang yang main curang membekap wajahku dengan kain berbau ha-rum itu...? Hm, kalau kudapatkan manusianya, jangan harap aku akan memberi ampun.” Namun diam-diam dia terheran, karena orang yang membawanya ketempat ini tak menotoknya, karena dia merasa tak ada kelainan dari anggota tubuhnya.
Diam-diam dia merasa heran dan penasaran untuk mengetahui si pembokong aneh itu. Tengah dia terlongong mendadak terdengar suara tertawa nyaring berderai memenuhi isi ruangan kamar.
“Hihihi... kau sudah mendusin rupanya pendekar Dewa Linglung? Hihi.. syukurlah! Jangan khawatir, kau takkan kehilangan barang-barangmu. Apa lagi barang terlarangmu. Kalau kurang yakin boleh kau periksa dulu...”
Seorang wanita berwajah cantik dengan dagu terbelah dan tahi lalat dibawah hidung tahu-tahu telah muncul dari balik tirai yang disingkapkan. Nanjar terkejut, karena tak menyangka dibalik tirai itu ada sebuah pintu. Mendengar kata-kata konyol wanita itu mau tak mau merah juga muka si Dewa Linglung.
“Hm, kaukah yang telah melemparkan sapu tangan berbau bacin hingga menutup mukaku? Perbuatanmu sungguh tak dapat dimaafkan. Siapapun adanya kau aku tak perlu tahu. Yang penting lekas kembalikan barang-barangku dan minta maaf atas perbuatan kurang ajarmu padaku, dengan mencium ujung kakiku!” berkata Nanjar dengan wajah sinis.
Wanita itu kembali tertawa berderai. Dadanya yang membusung, dimana dua buah benda kenyal tertutup pakaian berwarna biru, tampak bergerak-gerak ketika dia tertawa terpingkal-pingkal.
“Hihihi... hihi... ternyata aku tak salah memilih kawan. Kaupun seorang pendekar konyol seperti aku. Hm, baiklah, tuan pendekar! Aku akan kembalikan barang-barangmu, tapi silahkan ambil sendiri. Benda-benda milikmu kuletakkan diatas meja diruang dalam!” berkata wanita ini, seraya menyingkapkan kain tirai, lalu lenyap dibalik tirai itu.
“Haaa…! Bagus!” teriak Nanjar seraya melompat dari atas tempat tidur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget, karena tubuhnya tanpa pakaian sama sekali, dan hanya terbungkus kain selimut.
Pucatlah seketika wajahnya. “Hah!? Gila! Apa yang telah terjadi?” teriak Nanjar dengan mata membelalak. Mau tak mau dia cepat sambar kain selimut yang merosot, lalu membuntal lagi tubuhnya.
Wanita tadi tiba-tiba muncul lagi dari balik tirai. Melihat Nanjar yang membuntal tubuhnya dengan kain selimut, wanita ini kembali tertawa terpingkal-pingkal, seraya berkata. “Hihi... kau benar-benar seorang pendekar kolokan. Apakah kau ingin agar aku memondongmu dari tempat tidur?”
“Kau... kau gila! Apa-apaan ini? Apa yang telah kau lakukan terhadapku?” bentak Nanjar dengan mata melotot. Tatapan matanya beradu dengan sorot mata si wanita yang memancarkan suatu kekuatan aneh yang tersembunyi.
Nanjar tersentak kaget, karena merasa ada suatu pengaruh yang sangat luar biasa membuat dia tertegun. Entah bagaimana tahu-tahu Nanjar melihat sesosok tubuh polos dihadapannya. Tak diketahui lagi sejak kapan wanita itu melepaskan pakaiannya.
Darah Nanjar berdesir dan terasa mengalir lebih cepat. Matanya membinar terkesima melihat wanita itu yang bagaikan sebuah arca manusia dari batu pualam putih, dengan rambut terurai dan bibir sunggingkan senyum merekah, dan sepasang mata berbulu lentik tengah menatap padanya.
Saat itu telinganya seperti mendengar suara mendesah yang menyentakkan jantungnya hingga berdebaran. “Dewa Linglung... Dekaplah aku...! Peluklah aku...! Mengapa kau diam saja?”
Keringat dingin membasahi tengkuk Nanjar, Napasnya memburu, dan suatu hasrat yang seperti tak terbendung meronta-ronta membuat tubuhnya tergetar seperti terserang demam. Entah sejak kapan, tahu-tahu wanita itu telah berada dalam dekapannya. Terasa benda kenyal merapat didadanya, hingga terasa degup jantungnya sendiri.
Bibir wanita yang merekah itu menimbulkan hasrat yang luar biasa untuk mengecupnya. Terasa bau harum kembali menyambar hidung. Sebisa-bisa dia bertahan, tapi dia tak dapat membendung lagi hasratnya.
Disaat dia akan merengkuh sepasang bibir yang indah menawan itu, mendadak Nanjar terkejut, karena dari kedua sisi bibir wanita itu tersembul sepasang taring. Mata Nanjar membelalak. Dan semakin membelalak lebar karena ini terasa dadanya seperti menyentuh dengan bulu-bulu kasar menusuk kulit.
Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat tu-buh wanita yang putih bagaikan batu pualam itu mendadak kini penuh dengan bulu-bulu hitam kasar yang lebih menyerupai seekor kera besar. Bahkan sepasang mata si cantik yang indah berbulu mata lentik itu kini telah berubah menjadi sepasang mata yang menyeramkan dengan sorot mata yang menggidigkan.
Detik itu juga Nanjar melepaskan pelukannya, dan mendorong tubuh dalam pelukannya itu dengan berteriak. “Tidak....! Tidak....! Tidaaak! Oh! pergi kau! Pergiii...!”
Whuuk! Whuuuk!
Tangannya bergerak menghantam ke depan. Terdengar suara teriakan tertahan diiringi suara menggelegar akibat pukulan mengandung tenaga dalam itu mengenai sasaran. Saat setelah terdengar teriakan seseorang yang diiringi terhuyung roboh sesosok tubuh, Nanjar nampak membelalakkan mata, dan mengucak-ucak kedua matanya seperti tak percaya pada yang dilihatnya. Ternyata dia berada diatas sebuah kuburan disebuah hutan dipuncak bukit.
Peluhnya mengucur deras dikening, dan sepasang matanya tampak memerah. Napasnya memburu. Dia tak melihat lagi adanya wanita yang aneh yang berubah menyeramkan itu. Yang didapati adalah dua buah pohon besar roboh. Nanjar menggaruk-garuk tengkuknya, seraya menggumam.
“Hah...!? Jadi... jadi... aku cuma bermimpi...? Tapi... mengapa aku berada ditempat ini? Dan mengapa aku bisa tidur diatas kuburan?” sentak Nanjar, walaupun nampak lega, tapi dia terheran-heran.
Ketika meraba pedangnya dipunggung ternyata benda itu masih berada ditempatnya. Juga pakaiannya dalam keadaan utuh, dan seruling tulang yang diselipkan dipinggangpun masih pula tetap ditempatnya.
Nanjar melompat turun dari kuburan itu dengan terheran-heran. Lalu memeriksa kuburan berukuran besar itu memperhatikan tulisan yang tertera dibatu nisan. Tulisan itu masih bisa terbaca walaupun penuh dengan lumut, dengan jalan membersihkannya terlebih dulu. Tampak sederet tulisan yang berbunyi: Disini disemayamkan jenazah Prabu DANDAKA.
Terkejut Nanjar melihat tulisan itu, karena jelas kuburan itu adalah kuburan seorang Raja, yang bernama Prabu Dandaka. Nanjar tercenung beberapa lama memikirkan kejadian demi kejadian aneh yang menimpa dirinya. Kini ditemui pula sebuah kuburan yang aneh pula. Kuburan seorang Raja yang bernama Prabu Dandaka.
Tiba-tiba Nanjar tersentak karena mendengar seperti suara orang mengeluh. Diapun baru ingat ketika di saat dia mengigau dan menghantamkan dua pukulan berturut-turut diluar kesadarannya, telah mendengar suara teriakan tertahan sekilas.
“Apakah ada orang yang terkena sasaran pukulanku...?” berkata Nanjar dalam hati, seraya berkelebat melompat kearah suara yang didengarnya.
Terkejut Nanjar melihat seorang gadis tergeletak ditanah. Bajunya bagian pundak sampai kedada tampak robek hangus. Wanita ini setelah mengeluh kembali pingsan. Nanjar membelalakkan mata melihat dara ini mirip sekali dengan gadis yang berada dalam mimpinya, yaitu gadis yang berubah jadi makhluk berbulu yang menyeramkan.
“Hm, apakah ini suatu kebetulan, ataukah memang sebenarnya...?” pikir Nanjar dalam hati. Tapi dia tak banyak berfikir lagi, dan tak perduli apakah yang bakal menjadi kenyataan sebenarnya. Yang penting dia harus menolong gadis itu secepatnya. Dia yakin gadis itu telah terkena serangan di saat dia mimpi dan mengigau tadi.
Segera diperiksanya luka gadis itu. Tampak warna biru lebam disekitar pundak dan punggung leher. Nanjar menghela napas. “Heh, untunglah dia hanya terserempet saja, tapi sangat berbahaya. Aku harus segera menolongnya. Nanjar memondong gadis itu, lalu dibawanya berkelebat dari tempat itu.
BEBERAPA hari sudah Nanjar merawat gadis itu dengan penuh kesungguhan, maka berangsur-angsur luka gadis itupun mulai sembuh. Nanjar berharap dapat menanyai siapa adanya dara itu sebenarnya. Kini melihat sang gadis mulai agak segar, Nanjar mendekati.
“Maafkan aku, nona... karena perbuatanku yang diluar sadar dan dalam pengaruh mimpi yang aneh, aku telah kelepasan tangan melakukan pukulan. Untung luka itu tak membahayakan jiwa-mu, “kata Nanjar.
“Tak mengapa. Aku sudah sembuh, dan sehat kembali. Akar ramuan yang kau berikan padaku sangat mujarab...” sahut si wanita sambil tersenyum. Kedua lesung pipit dan tahi lalat dibawah hidung itu sungguh serasi sekali hingga nampak wanita itu sangat cantik luar biasa, membuat dia diam-diam mengagumi kencantikannya.
“Oh, itu adalah akar-akar obat yang selalu kubawa, untuk dapat kupergunakan dimana kuperlukan. Oh, ya... siapa namamu...?”
“Panggilah aku Walangi, itu namaku” sahut si gadis sambil tersenyum dan membenarkan sobekan bajunya di bagian dada yang sedikit tersingkap. Diam-diam Nanjar memperhatikan sikap gadis itu. Nyatalah kalau gadis ini berbeda dengan gadis dalam impiannya, walaupun raut mukanya jelas mirip dengan gadis dalam mimpinya.
“Gadis ini tampak sopan... tak mungkin bila dia adalah gadis seperti dalam mimpiku, yang bisa berubah menjadi makhluk berbulu seseram itu...” pikir Nanjar.
“Kukira sudah saatnya aku menanyakan hal yang selama ini kusimpan dalam benakku, nona Walangi, yaitu mengenai kejadian setelah sehelai sapu-tangan berbau wangi membekap wajahku... selanjutnya aku tak tahu apa-apa lagi. Kemudian aku bermimpi aneh. Dan ketika aku terbangun tahu-tahu aku tertidur diatas kuburan.” ujar Nanjar. Lalu melanjutkan kata-katanya. “Yang akan kutanyakan adalah siapa yang membawa aku ketempat itu, dan apakah kau yang telah melemparkan sapu tangan berbau harum itu?” tanya Nanjar dengan menatap sang dara.
Walangi bangkit berdiri, lalu menyahut. “Aku tak memiliki sapu tangan berbau harum seperti itu. Yang membawa kau ketempat itu adalah guruku. Bahkan aku sendiri tak mengetahui mengapa kau diletakkan diatas kuburan tua itu. Aku hanya diperintahkan guru untuk menjagamu. Tiba-tiba kau berteriak-teriak dan melepaskan pukulan yang nyaris menewaskan diriku...”
“Gurumu...? Siapakah gurumu? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nanjar dengan kerutkan keningnya.
“Guruku bernama Ki Bangun Jugala. Dia seorang yang aneh. Aku sendiri selama menjadi muridnya hampir dikatakan jarang sekali bertemu muka.” sahut si gadis.
“Aneh! Lalu bagaimana caranya kau mengikuti pelajaran?”
“Dia selalu meninggalkan tulisan dinding goa. Ya, goa inilah, yang secara kebetulan kau membawaku ketempat ini...”
Nanjar tersentak. “Ha? pantas... aku melihat diruangan ini banyak guratan tangan berbentuk tulisan. Akan tetapi sudah tak dapat dibaca...” kata Nanjar memperhatikan dinding goa sekitarnya.
“Tentu saja tak dapat kau baca lagi, karena setelah aku paham mempelajari, aku lalu menghapusnya.” sahut si gadis tersenyum.
Nanjar mengangguk-angguk. “Pintar juga kau, dengan begitu tak ada orang yang mengetahui jurus-jurus silat yang kau pelajari.”
“O, ya. Sampai hari ini aku tak melihat gurumu muncul. Apakah dia telah mengetahui keadaanmu dan aku ditempat ini?” tanya Nanjar.
Walangi menggeleng. “Aku tak tahu dimana beliau berada...”
“Sebaiknya kita mencarinya, dan... aku ingin sekali menyelidiki kuburan kuno itu. Apakah kau mau menemaniku melihat-lihat?” berkata Nanjar.
“Bagus sekali. Aku sudah bosan berada dalam goa ini. Aku akan bantu kau menyelidiki sobat pendekar... eh, siapa namamu?”
“Panggil saja aku Nanjar...” sahut Nanjar sambil tertawa. Tapi kini dia makin yakin bahwa gadis ini adalah bukan gadis seperti dalam mimpinya. Karena gadis yang dialam mimpi mengenal dirinya, dan menyebut dia si Dewa Linglung.
Nanjar mendahului beranjak keluar, diikuti si gadis dengan gerakan yang sebat. Nampaknya dia benar-benar telah sembuh. Kuburan kuno itu diperiksa oleh Nanjar untuk kedua kalinya, meneliti susunan batu-batu di sekitarnya. Dia berharap dapat menemukan suatu rahasia yang dapat mengungkap keanehan ditempat itu. Terutama tentang mimpi anehnya, dan mengapa dia dibaringkan ditempat itu.
Disaat itu samar-samar di kejauhan terdengar suara bentakan-bentakan menyibak kelenggangan, Nanjar tersentak. Lalu memberi isyarat pada Walangi untuk waspada.
“Iblis keparat! Musuh dalam selimut! Kini kau tak akan lolos lagi dari tanganku!” terdengar bentakan keras disusul dengan menghambur keluar dari semak belukar sesosok tubuh. Ternyata seseorang berjubah hitam. Detik berikutnya sesosok bayangan berkelebat mengejar, dan lepaskan pukulan kearah punggung orang ini.
Nanjar terkejut karena mengetahui orang berjubah hitam itu dalam keadaan terluka. Pada saat itu terdengar teriakan Walangi.
“Guru...!? Awas serangan!”
Orang berjubah hitam ini mendadak gulingkan tubuhnya menghindari serangan, dan melompat keatas kuburan. Serangan itu lolos menimbulkan suara berdentum yang membuat tanah berlubang.
Ternyata penyerangnya adalah seorang laki-laki berbaju putih yang tiada lain dari Adipati Purwata. Dengan membentak gusar dia berkelebat mengejar orang berjubah hitam itu. Mendadak orang berjubah hitam itu memutar batu nisan, menghamburlah ratusan senjata rahasia bersamaan dengan meletupnya suatu ledakan yang menimbulkan uap hijau.
Adipati Purwata terperangah kaget. Tak ada kesempatan lagi bagi dirinya untuk menghindar. Seketika dia menjerit parau dan terhuyung-huyung. Sementara Nanjar sendiri terkejut bukan main karena begitu terdengar letupan itu, uap hijau berbau amis menyambar hidungnya. Detik itu juga dia berkelebat melompat menjauh.
Letupan demi letupan tiba-tiba terdengar disana-sini. Nanjar belalakan mata dengan terperanjat. Seketika dia teringat pada Walangi. Cepat dia tutup pernapasannya, dan berkelebat melompat mencari gadis itu diantara uap-uap hijau.
Sementara itu diluar tahunya, sosok berjubah hitam itu telah menyambar tubuh Walangi dan membawanya berkelebat. Dalam beberapa kejap saja sosok tubuh itupun lenyap...
“Keparat!” teriak Nanjar. Mendadak dia gerakkan kedua lengannya. Seketika menghembuslah angin keras menyapu uap hijau itu. Udara kembali menjadi bersih. Akan tetapi terkejut si Dewa Linglung karena tak menjumpai Walangi.
Sejenak dia tertegun. Tapi segera berkelebat melompat mendekati sosok tubuh yang terkapar tak jauh dari tempatnya berdiri. Baru saja dia memeriksa orang itu yang belum diketahui kalau orang tersebut adalah Adipati Purwata, mendadak terdengar suara teriakan.
“Celaka...! Aku terlambat!” Diiringi berkelebat muncul sesosok tubuh yang tiada lain dari Senopati Gendola.
“Sobat Senopati...! Ah, kiranya kau...” sentak Nanjar terkejut dan girang, karena dia dapat mengetahui kedatangan teman sendiri.
“Siapakah orang ini, paman Senopati?” tanya Nanjar.
“Dialah Adipati Purwata yang kita cari-cari. Apakah yang terjadi? Tentu iblis hitam itu yang mencelakainya!” berkata Senopati Gendola.
“Benar...! Ah, sungguh tak kusangka kalau setelah aku menemuinya dalam keadaan seperti ini...”
“Bagaimana keadaannya? Apakah masih bisa ditolong?” tanya Senopati penuh kekhawatiran.
Wajah Nanjar tampak murung menatap pada sekujur tubuh Adipati Purwata yang penuh dengan jarum. Sekujur tubuh laki-laki ini telah berubah menghijau. Napasnya tinggal satu-satu. Nanjar hanya menggelengkan kepala, dan sedetik kemudian Adipati Purwata menghembuskan napasnya. Senopati Gendola tersentak dengan ber-teriak pilu.
”Adik Adipati... Ah...” katanya dengan mata berkaca-kaca. Lalu tundukkan kepala. Dua tetes air bening meluncur turun membasahi tanah. Nanjarpun hanya tercenung tak berkata apa-apa, selain menghela napas. Sementara kesunyian merayapi sekitar tempat itu.
ORANG berjubah itu membawa tubuh Walangi berkelebat menembus hutan. Ternyata yang dituju adalah kearah sebuah telaga yang terletak disisi bukit. Lagi-lagi dia memasuki sebuah tempat ra-hasia dibalik air terjun. Dengan gerakan ringan dia melompati batu-batu sungai dan lenyap dibalik air terjun.
Orang ini membaringkan tubuh Walangi yang terkulai pingsan karena mengendus bau hawa beracun. Dengan gerak cepat dia tempelkan mulut-nya ke hidung gadis ini. Kemudian dengan tak ayal lagi lalu menyedot hawa racun yang mengendap di pernapasan dara ini dengan mulutnya.
Kemudian melepaskan hembusan napas ke udara. Tampak uap hijau menyebar diruangan itu. Namun tidak membahayakan lagi karena cuma sedikit. Uap itupun lenyap. Kemudian dengan cepat jejalkan sesuatu seperti sebutir pel ke mulut dara itu. Lalu membantunya mendorong dengan air ludahnya sendiri dengan menempelkan mulut-nya ke mulut sang gadis.
Selang sesaat Walangi tampak mulai sadarkan diri. Dia melompat bangun dan membelalakkan mata. Ketika melihat dirinya berada disebuah pembaringan batu beralasan jerami, dan hawa dingin yang menyebar dari mulut goa yang meng-gericik oleh suara air terjun, dia terperanjat. Terpandang sosok tubuh dihadapannya yang tengah menatap tajam-tajam.
“Guru... Ah, dimana aku? Apa yang terjadi...? Dan dimanakah ini?” sentak Walangi membelalak menatap sosok berjubah hitam itu.
“Hehehe... inilah tempat tinggalku selama ini, muridku. Barusan aku mengusir racun uap hijau yang mengendap dalam tubuhmu melalui pernapasanmu. Sukurlah kau sudah sehat lagi.” sahut si orang berjubah.
“Guru... selama ini kau selalu bersikap aneh terhadapku, dan sampai-sampai wajahmupun aku tak pernah mengetahuinya. Karena kau selalu menyelubunginya. Apakah sebenarnya dengan sikapmu itu.... Dan sampai kapan aku menyelesaikan masa berguru padamu...?”
“Sekaranglah saatnya! Kau boleh pergi kemana yang kau sukai. Akan tetapi, kau harus menyelesaikan dulu tugasmu. Aku akan memberi kau dua macam tugas. Yang pertama harus kau laksanakan sekarang, dan yang kedua dapat kau lakukan dalam waktu panjang...!”
“Apakah tugas yang pertama, dan apakah tugas yang kedua, guru? Tapi sebelumnya aku ingin mengetahui, apa maksudmu dengan menyuruh aku menjaga seorang pendekar muda yang kau baringkan diatas kuburan kuno dihutan itu, dan siapa orang yang telah mengejarmu?” bertanya Walangi dengan rasa penasaran menatap sang guru.
Orang berjubah ini menghela napas. Lalu berkata. “Sebenarnya pemuda itu adalah seorang pendekar muda yang bergelar si Dewa Linglung. Aku menyelamatkan dia dari tangan si Iblis Racun Asmara. Dia adalah seorang perempuan yang punya kegemaran mencari laki-laki gagah, setelah diajaknya bergaul lalu dibunuhnya! Kuburan itu adalah kuburan leluhur kerajaan Dandaka yang bergelar Prabu Dandaka. Aku adalah bekas Patih Kerajaan Dandaka yang telah musnah.
"Munculnya kerajaan Giri Brata telah melanggar peraturan turun-temurun kerajaan Dandaka, karena yang menjadi raja adalah keturunan Prabu Dandaka. Sedangkan menurut peraturan turun temurun yang berlaku di kerajaan Dandaka adalah tidak diperkenankan seorangpun keturunan sang Prabu mendirikan kerajaan baru...” orang berjubah hitam itu menuturkan.
“Nah, seperti yang telah terjadi sejak delapan belas tahun sampai saat ini GEMPAR WIYAKSA keturunan dari sang Prabu Dandaka telah memerintah kerajaan baru Giri Brata. Kerajaan itu harus dimusnahkan. Karena pelanggaran tersebut telah mengakibatkan terjadinya kutukan para Dewa terhadap semua keturunan sang Prabu Dandaka. Bahkan aku sendiri terkena kutukan itu..“ lanjut Ki Bangun Jugala.
“Gurupun terkena kutukan?” sentak Walangi terperangah mendengarkan cerita Ki Bangun Jugala.
“Kau lihatlah wajahku ini, yang mungkin selama ini kau baru mengetahuinya.” kata laki-laki ini. Ki Bangun Jugala melepaskan penutup wajahnya.
Dan saat itu juga Walangi berteriak kaget dengan mata membelalak lebar. Tampaklah seraut wajah penuh bulu hitam lebat dan sepasang taring mencuat dari kedua sudut bibir laki-laki itu.
“Nah! Kini kau mengerti mengapa aku selalu menutup wajahku, dan aku tak mau unjukkan diri dihadapanmu...” kata Ki Bangun Jugala.
Walangi menutup wajahnya dengan perasaan ngeri. Sementara laki-laki Ki Bangun Jugala menutup lagi wajahnya, dan menarik napas panjang, tampak agak mengerutkan kening seperti menahan sesuatu yang nyeri pada dadanya. Kemudian berkata.
“Walangi, muridku...! Tugasmu yang pertama adalah mencari pemuda bergelar Dewa Linglung itu. Kau harus membujuknya agar bisa terjadi persanggamaan denganmu. Karena dia harus menjadi salah seorang dari kita, demi untuk menghancurkan kerajaan Giri Brata! Itulah sebabnya aku membaringkan dia diatas kuburan leluhur sang Prabu Dandaka, yang berarti dia telah memenuhi persyaratan untuk menjadi orang yang berhak atas pembelaan terhadap kerajaan Dandaka yang telah dinodai, hingga terjadinya kutukan para Dewa itu...”
Walangi mengangkat wajahnya dengan hati tersentak kaget. “Aku... aku harus...” dia tak melanjutkan kata-katanya selain terpaku menatap gurunya.
“Ya! Itulah tugasmu yang kedua...! Sedangkan tugasmu yang pertama adalah kau harus mengadakan hubungan seperti suami-istri terhadap aku! Karena kaupun sebelumnya harus menjadi bagian dari orang-orang bekas kerajaan Dandaka!”
Kalau ada halilintar menggelegar saat itu tidaklah akan membuat seterkejut itu ketika Walangi mendengar apa yang dikatakan gurunya. Seketika itu juga wajahnya berubah pucat pias bagai kertas.
“Tidak... tidak, Guru! Aku tak mau...! Jangan kau lakukan hal itu. Dan mengapa hal itu harus dilakukan...?” tergagap Walangi dengan tubuh tergetar hebat.
“Mengapa harus kau lakukan? Bocah bodoh! Karena itulah persyaratannya!” bentak Ki Bangun Jugala. Sepasang matanya menatap tajam gadis dihadapannya memancarkan hawa aneh yang menggidikkan.
Walangi tersurut mundur. Wajahnya kian berubah pias. Napasnya tersengal, dan keringat dingin meremang ditengkuknya. Sementara hatinya me-ronta. “Tidak! Aku tak mau terseret dalam kutukan! Aku tak akan melakukan perbuatan bejat itu! Tidak...! Tidaaak!”
Detik itu juga dia telah melompat dari atas pembaringan batu. Mendadak secepat kilat lengan Ki Bangun Jugala bergerak kebalik jubah dan melemparkan sehelai kain sapu tangan berbau harum. Sapu tangan itu menyambar deras dan tanpa dapat dielakkan lagi telah menutup wajah dara ini. Tentu saja hal itu membuat si gadis gelagapan.
Dan harum yang menyengat hidung mau tak mau terendus hidungnya. Detik berikutnya Walangi merasakan kepalanya menjadi pening, dan dengan mengeluh panjang tubuhnya limbung, lalu roboh tak sadarkan diri. Ki Bangun Jugala perdengarkan suara tertawa bergelak.
“Heheheh... bocah goblok! Sebenarnya kalau aku mau sudah sejak lama aku merusak kegadisanmu, tapi... aku hanya mengulur waktu agar kau menyelesaikan dulu pelajaranmu. Sementara aku sendiri juga harus menyelesaikan urusanku. Heheheh... kinilah saatnya kau harus mewariskan kutukan pada diriku, dan kau harus membantuku untuk mencapai cita-citaku merebut kerajaan Giri Brata dari tangan GEMPAR WIYAKSA si keparat itu!”
Laki-laki ini beranjak mendekati tubuh Walangi yang tergeletak. Sesaat matanya menjalari sekujur tubuh dara itu. Tampak Ki Bangun Jugala menelan air liurnya. Napasnya memburu. Sepasang matanya kian membinar melihat sobekan baju dara itu di bagian dada yang menyembulkan auratnya.
Detik itu juga lengannya bergerak menyambar, dan... breet! breeet! Semakin jelas kini sepasang daging kembar yang menyembul di bagian dada dara itu ketika laki-laki ini merobek pakaiannya. Sepasang matanya tambah membinar-binar. Kini lengannya bergerak kearah lutut Walangi.
SENOPATI Gendola meletakkan mayat Adipati Purwata keatas punggung kuda. Lalu dia sendiri melompat kepunggung kuda tersebut. Kemudian menoleh pada Nanjar yang berdiri memperhatikan.
“Sampai bertemu lagi, sobat pendekar Dewa Linglung. Sesuai dengan saranmu, aku akan mengantarkan jenazah Adipati Purwata ke Kota Raja...” katanya dengan suara agak parau. Tampak wajah laki-laki ini diliputi mendung kemasygulan, karena musibah yang tak disangka-sangka.
“Selamat jalan, sobat Senopati. Jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jejak Purwanti. Harap kaupun berhati-hati, karena aku mengkhawatirkan di Kota Raja terjadi sesuatu sepeninggalmu!” sahut Nanjar.
Senopati Gendola mengangguk. Hatinya diam-diam membenarkan pendapat Nanjar. Tak menunggu lama lagi segera Senopati Gendola membedal kuda dengan cepat. Sebentar saja telah lenyap dari pandangan Nanjar.
Nanjar menarik napas panjang, dan berkata dalam hati. “Urusan ini tampaknya kian rumit. Akan tetapi aku mulai menemukan titik sasaran, yaitu munculnya orang berjubah hitam itu yang telah beberapa kali aku berjumpa. Pertama ketika dia membokong perempuan yang menyamar sebagai seorang nenek tua berwajah keriput.
"Ternyata dalam pengakuannya dia adalah bekas seorang permaisuri yang diasingkan dirimba Dandaka, yaitu bekas permaisuri Prabu Gempar Wiyaksa yang merajai kerajaan Giri Brata. Dan kedua adalah yang membaringkan aku diatas kuburan besar. Kuburan itu tengah kuselidiki, entah siapa adanya sang Prabu Dandaka yang dikuburkan dihutan itu?” Nanjar masih berdiri dengan benak terus memikirkan peristiwa demi peristiwa.
“Yang masih kurasakan aneh adalah, siapakah yang telah melemparkan kain sapu tangan berbau harum itu hingga membuat aku tak sadarkan diri? Menurut Walangi, gurunya tak memiliki saputan-gan semacam itu. Kalau bukan Ki Bangun Jugala guru gadis itu yang melakukan, apakah ada orang lain yang melakukannya?” pikir Nanjar sambil memijit-mijit keningnya.
Tapi akhirnya dia berpendapat tidak mungkin seorang laki-laki membawa-bawa sapu tangan. Mendadak dia teringat pada peristiwa yang terjadi belum lama berselang, yaitu ketika munculnya orang berjubah hitam itu dihutan dimana dia tengah memeriksa kuburan kuno tersebut.
“Hm, kini semakin jelas! Bau uap hijau yang mengandung racun disekitar kuburan akibat dari ledakan-ledakan yang ditimbulkan setelah Ki Bangun Jugala memutar batu nisan, sangat mirip dengan sapu tangan itu. Kalau bukan dia sendiri yang melakukan untuk membongkong aku dengan sapu tangan itu, tentu dia mempunyai kawan atau saudara seperguruan...”
Nanjar memutuskan untuk mencari jejak Ki Bangun Jugala yang lenyap bersama dengan Walangi yang diketahui adalah murid laki-laki berjubah hitam itu. Semakin kuat tekadnya untuk membuka rahasia rimba Dandaka. Apalagi dengan tewasnya Adipati Purwata dan keanehan-keanehan Ki Bangun Jugala.
Serta lenyapnya Purwanti dan adanya makhluk berbulu dirimba Dandaka, membuat dia harus menyelesaikan urusan itu sampai tuntas. Di samping itu dia merasa bertanggung ja-wab dengan lenyapnya Purwanti, adik Adipati Purwata.
“Haiiih! Dewa Linglung! Pekerjaanmu berat! Dan sampai saat ini kau berlaku lamban, kurang waspada terhadap kelicikan orang...!” Nanjar memaki diri sendiri. Lalu berkelebat memasuki hutan belantara...
Sementara itu didalam rimba Dandaka, sesosok tubuh tampak keluar dari balik semak belukar yang merupakan mulut lubang dari lorong rahasia. Siapa adanya sosok tubuh ini tiada lain dari si makhluk berbulu.
Makhluk ini memondong seorang gadis yang terkulai pingsan. Gadis itu tiada lain dari Purwanti. Dengan langkah cepat dia berjalan cepat menembus hutan. Gerakannya sebat menyusup kesemak belukar, entah akan dibawa kemana gadis adik Adipati Purwata itu.
Ternyata yang ditujunya adalah hutan dimana adanya kuburan kuno, yaitu kuburan leluhur sang Prabu Dandaka. Setiba ditempat tujuan, dia cepat membaringkan tubuh sang dara diatas kuburan tersebut. Kemudian beranjak ke depan dan berlutut didepan batu nisan.
“Wahai kakek, leluhur kerajaan Dandaka... Sudah saatnya aku membalas dendam. Karena terjadinya kutukan para Dewa adalah akibat pelanggaran Prabu Gempar Wiyaksa, maka izinkanlah aku untuk keluar dari hutan Dandaka ini, guna membalas dendam, dan membunuh Gempar Wiyaksa. Serta mencari jejak seorang laki-laki muda yang telah membunuh ibuku. Menurut keterangan dari gadis yang kutawan ini, dia bernama Nanjar dan bergelar si Dewa Linglung. Tidaklah puas hatiku sebelum mencincang tubuhnya, dan akan kupersembahkan kepalanya untuk arwah ibuku!”
Laki-laki bertubuh penuh bulu ini tampak menggeletar tubuhnya. Dan dari sepasang matanya yang memancarkan cahaya merah tampak mengalir dua titik air bening yang mengalir dikedua belah pipinya.
Dia berhenti berkata dan mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Tapi tak lama wajahnya berubah membesi. Sepasang matanya memancarkan hawa pembunuhan. Lalu dia bangkit berdiri, dan berkata parau.
“Wahai leluhurku, perempuan ini adalah salah satu dari orang kerajaan Giri Brata. Hari ini aku akan persembahkan kepalanya untuk menenteramkan arwahmu, dan akan kuminum darahnya untuk kekuatan serta tekadku demi melenyapkan orang-orang kerajaan Giri Brata!”
Sementara itu diatas pohon besar sepasang mata memperhatikan keadaan ditempat itu. Siapa adanya orang ini tiada lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung. Ternyata telah sejak tadi dia berada ditempat itu. Tujuannya adalah menyelidiki kuburan leluhur yang dirasakan penuh keanehan.
Dia yakin kuburan itu adalah sebuah tempat rahasia, karena jelas ketika si orang berjubah hijau memutarkan batu nisan telah menyambar ratusan jarum-jarum maut yang menewaskan pengejarnya, yaitu Adipati Purwata.
Disaat dia tengah meneliti, mendadak telinganya mendengar suara orang mendekati. Gerak langkahnya yang menggetarkan tanah membuat Nanjar cepat melompat keatas pohon besar untuk mengintai siapa adanya orang yang datang itu. Ternyata yang muncul adalah sesosok makhluk berbulu, yang memondong seorang gadis.
Bukan main girangnya hati Nanjar melihat gadis itu tiada lain dari Purwanti yang justru tengah dicari-carinya. Pucuk dicinta ulam tiba. Tapi melihat keadaan Purwanti yang pingsan dan dibaringkan diatas kuburan seperti dirinya membuat dia menahan napas tak berani sembarangan bertindak. Diam-diam dia ingin tahu apa yang akan dilakukan makhluk itu.
Tentu saja terkejut bukan main hati Nanjar ketika mendengar gadis itu akan dikorbankan untuk arwah sang leluhur Prabu Dandaka, dan darahnya akan dihirup untuk penambah kekuatan makhluk berbulu tersebut. Baru saja makhluk berbulu itu menghampiri Purwanti dan julurkan lengannya untuk menjamah tubuh sang gadis, Nanjar membentak keras.
“Tahan dulu sobat lutung!” bentakan Nanjar diiringi gerakan mendorong ke tubuh laki-laki berbulu itu.
Tentu saja membuat si laki-laki berbulu ini terhuyung. Tapi tiba-tiba dia berbalik dengan cepat seraya menggeram dan kibaskan lengannya ke depan. “Grrrr! Siapa kau?!”
Hebat sambaran angin pukulan makhluk ini karena menerbitkan uap putih berhawa panas. Nanjar pun telah siap menghadapi, karena tahu lawannya tak boleh dianggap enteng. Nanjar telah membentengi tubuhnya dengan tenaga Inti Api dan Inti Es. Begitu merasai hawa panas menyambar, segera dia lepaskan hawa Inti Es melalui telapak tangannya. Seketika hawa panas berganti menjadi hawa dingin luar biasa.
Makhluk ini nampak terkejut melihat munculnya orang yang justru telah dikenalnya, dan sangat didendamnya karena dia menganggap Nanjarlah orang yang telah menewaskan ibunya. “Grrr... manusia pembunuh! Kau harus tebus jiwa ibuku dengan darah dan nyawamu!”
“Tahan dulu sobat lutung! Eh, siapa namamu sebenarnya? Maaf, terpaksa aku memanggilmu si Lutung, karena kau berbulu macam kera!” berkata Nanjar dengan sikap waspada. Diam-diam dia memperhatikan makhluk itu dari ujung rambut sampai ke kaki.
“Kau tak perlu tahu siapa aku, tapi jelas kau telah merusak keadaan di Rimba Dandaka! Kau harus dikorbankan untuk arwah leluhurku termasuk gadis ini!” bentak si manusia berbulu.
“Hm... apakah tak sebaiknya kau bersabar dulu untuk mendengarkan kata-kataku. Aku kemari tak bermaksud jahat, apa lagi untuk merusak atau mengotori Rimba Dandaka! Dan yang perlu kau ketahui, ibumu telah membuka rahasia mengenai dirinya. Dia bukan tewas olehku. Maksudku bukan aku yang membunuhnya, tapi seseorang berjubah hitam yang membokongnya.
"Ibumu telah berpesan padaku agar melindungimu. Oleh sebab itu sudilah kau bersabar dan tak main hantam kromo menuduh dan menyerang orang. Bahkan aku bersedia membantumu kalau tujuanmu dapat dibenarkan...!” berkata Nanjar dengan menyerocos hingga si makhluk berbulu terpaksa mendengarkan karena tak ada kesempatan mengumbar kemarahan.
Sementara itu Purwanti mulai sadar dari pingsannya. Matanya membelalak melihat dia terbaring diatas kuburan. Purwanti mulai mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. Seingatnya ketika dia sadar dari pingsan dia telah berada dalam sebuah ruang tahanan berjeruji yang tak diketahui dimana adanya.
Seperti diceritakan di bagian depan Purwanti tertawan dan dalam cengkeraman makhluk berbulu tersebut, kemudian dibawa kelorong bawah tanah, dan di masukkan dalam ruang tawanan disebuah tempat atas perintah seorang nenek tua yaitu ibu si mak-hluk berbulu.
Purwanti merasa dirinya terancam bahaya. Selain mengkhawatirkan nasib Nanjar, juga keadaan dirinya sendiri. Akan tetapi Purwanti terkejut ketika merasa tubuhnya tertotok dan tak dapat berkutik. Gadis yang berhati keras ini segera gunakan kekuatan serta berbagai daya upaya untuk melepaskan diri. Tapi di saat hampir berhasil, mendadak makhluk berbulu itu muncul kembali, dan membuka pintu kerangkeng.
Dia tersurut mundur dengan wajah pucat. Ternyata makhluk itu dapat berkata seperti manusia. Dengan suara dingin dia menanyakan siapa pemuda kawannya. Karena takut dengan sorot mata makhluk itu yang memancarkan cahaya merah menyeramkan, dan khawatir dirinya akan celaka maka dia mengatakan bahwa kawannya adalah seorang pemuda bernama Nanjar yang berjulukan si Dewa Linglung.
Selesai mendapat jawaban lengan makhluk terulur dan memencet urat lehernya membuat dia kembali tak sadarkan diri. Ketika melihat makhluk berbulu itu tengah berhadapan dengan seorang pemuda berbaju putih, segera dia mengenali orang itu adalah Nanjar. Tentu saja hatinya girang bukan main. Tentulah Nanjar yang telah menolong dirinya. Tak berlaku ayal lagi didalam kesempatan itu segera Purwanti berusaha melepaskan pengaruh totokan pada tubuhnya.
Di lain pihak, si makhluk berbulu tampaknya sukar diberi penjelasan. Bahkan dengan menggeram-geram penuh nafsu membunuh dia menyerang Nanjar. Terpaksa Nanjar melayani serangan-serangan makhluk itu dengan menghindari serangan. Nyatalah kalau tenaga dalam si manusia berbulu luar biasa besar, hingga beberapa kali Nanjar harus menahan napas karena dua kali bajunya terkoyak oleh cengkeramannya yang ganas.
Nanjar segera gunakan ilmu kera untuk berkelebatan kesana-kemari. Sementara dia melihat keadaan Purwanti yang telah sadar dari pingsannya. Sayang dia tak ada kesempatan untuk mendekati gadis itu. Nanjar sendiri terheran karena melihat gadis itu tetap terbaring tak bergerak, sementara dahinya penuh dengan keringat yang mengalir.
Tahulah Nanjar kalau Purwanti dalam keadaan tertotok. Mendadak dia berseru keras seraya berlompatan melakukan gerakan jungkir balik di udara. Makhluk berbulu mengejar. Diam-diam Nanjar bergirang karena akalnya kali ini akan berhasil.
Demikianlah, beberapa kali dia melakukan hal yang sama hingga jarak antara pertarungan mereka dengan Purwanti semakin menjauh. Setelah dirasa cukup, kembali Nanjar melompat dan lenyap dari pandangan mata makhluk itu.
Dengan menggeram-geram makhluk itu mengobrak-abrik hutan belantara. Pohon-pohon bertumbangan dilanda terjangan tangannya yang bertenaga besar. Akan tetapi pemuda yang dicarinya telah lenyap entah kemana. Makhluk berbulu ini akhirnya kembali ke tempat semula. Alangkah terkejutnya dia ketika mengetahui gadis tawanannya telah lenyap.
Makhluk ini menggeram dahsyat hingga tanah bergetar dan daun-daun rontok. Lalu dengan men-geluarkan suara lengkingan yang terdengar sangat pilu dia berkelebat pergi dari tempat itu...
SEMENTARA itu jauh disisi hutan Dandaka dua sosok tubuh berlari-lari cepat dengan gerakan gesit. Seorang berbaju putih dan seorang lagi berpakaian warna abu-abu. Siapa adanya dua orang ini tak lain dari si Dewa Linglung dan Purwanti.
Wajah Purwanti kelihatan berduka. Hal itu dapat dimaklumi, karena berita kematian Adipati Purwata telah diceritakan pada gadis itu oleh Nanjar. “Sebentar lagi hari akan menjelang malam. Untuk ke Kota Raja jalan manakah yang terdekat, nona Purwanti? mungkin kau mengetahui”, berkata Nanjar.
Gadis itu menggeleng seraya sahutnya. “Entahlah...! Aku tak mengetahui...” Kata-katanya tampak seperti sukar diucapkan dan agak parau.
Ketika Nanjar menoleh dilihatnya sepasang mata dara itu tampak berkaca-kaca. “Kau menangis, nona Purwanti...?” Tanya Nanjar seraya memperlambat larinya mengikuti gerakan si gadis yang mengendur.
Gadis ini merandek berhenti. Terpaksa Nanjar pun menahan langkah kakinya. Tampak Purwanti menundukkan wajahnya. Cepat-cepat Nanjar menghampiri lalu ulurkan lengannya untuk memegang pundaknya. Tapi segera diurungkan.
“Hm, biarlah dia mengumbar kesedihan hatinya. Tentu dia sangat bersedih mendengar kematian kakak kandungnya...” berkata Nanjar dalam hati. Sejenak Nanjar menghela napas, dan mem-biarkan dara itu menangis terisak-isak menutupi wajahnya. Nanjar melompat keatas batu dan jatuhkan pantatnya untuk duduk.
Tiba-tiba telinga Nanjar mendengar suara mencurigakan dari arah sebelah depan. Saat itu si gadis tengah membelakangi, sambil menutup wajahnya dengan kedua lengannya. Nanjar tadinya akan menyuruh gadis itu menunggunya sementara dia akan memeriksa suara itu. Tapi lagi-lagi dia mengurungkan niatnya. Dan...
Set! set! Tubuhnya telah melesat ke udara dengan tak menimbulkan suara. Dalam beberapa kali lompatan, dia telah hinggapkan kaki disebatang dahan pohon. Matanya memandang ke bawah tebing yang cukup curam. Tanah di bagian bawah dasar tebing adalah tanah yang becek dan lebih merupakan rawa-rawa berlumpur. Hati Nanjar tercekat ketika melihat sesuatu tampak bergerak-gerak diatas semak belukar dipermukaan rawa.
“Aaah... to... toloooong...”
Akhirnya terdengar suara lirih meminta pertolongan. Tubuh Nanjar telah melayang ke bawah bagaikan seekor cecak terbang. Kini terlihatlah oleh si Dewa Linglung, seorang wanita terperosok dipermukaan rawa-rawa berlumpur dibawah tebing itu. Wanita ini dalam keadaan yang sangat kritis, karena tubuhnya telah terbenam sebatas dada. Wajahnya pucat pias, dan lengannya menggapai-gapai.
Ketika tadi dia meronta menggerakkan tubuhnya sambil berteriak, tubuh wanita ini amblas lebih dalam lagi hingga hampir mencapai leher. Hampir tak percaya Nanjar pada penglihatannya, karena segera dia mengenali siapa adanya gadis yang terperosok dirawa-rawa itu.
“WALANGI...! Hah? apa yang telah terjadi?” sentak Nanjar terkejut tak terhingga. Tampak wajah gadis itu telah semakin memucat.
Nanjar cepat mencari sebatang ranting kayu. Setelah didapatkan kemudian dipergunakan untuk menolong sang gadis. Ujung ranting dijulurkan kearah Walangi, seraya berkata. “Cepat kau berpegang erat-erat. Aku akan menarikmu keluar dari lumpur maut ini...!”
Walangi cepat turuti perintah Nanjar. Sepasang lengannya cepat mencekal ujung ranting. Akan tetapi gerakan itu justru membuat tubuhnya kembali amblas beberapa inci. Gadis ini sudah putus asa tampaknya. Matanya membelalak menatap Nanjar dengan pandangan penuh harapan.
Ya! Harapan memang ada ditangan si Dewa Linglung. Sedetik saja terlambat maka maut akan menjemput nyawa gadis itu. Gadis ini memejamkan matanya yang berkaca-kaca. Dicekalnya erat-erat ujung ranting itu, dan dibayangkan seolah-olah lengan pemuda pendekar itu yang dicekalnya.
Tiba-tiba dara ini merasakan tubuhnya menyentak dengan keras, dan terasa beban berat yang mengganduli tubuhnya lenyap. Ketika dia membuka mata, alangkah terkejutnya karena kini tubuhnya tengah melayang di udara. Disaat itulah sesosok bayangan putih telah berkelebat menyambar tubuhnya.
Walangi benar-benar takjub, karena kini dia tengah melayang di udara bagaikan seekor burung saja. Hampir-hampir dia tak percaya ketika melihat disebelah kirinya tampak Nanjar si Dewa Linglung mencekal lengannya erat-erat. Saat itu keduanya bagaikan dua ekor burung yang melayang di udara.
“Sobat Nanjar...!?? Ah, kau... hebat!” berkata Walangi terlongong menatap sang perkasa.
Nanjar tersenyum, tapi tiba-tiba berteriak memberi peringatan. “Awas...! Kita segera terjun!”
Bersamaan dengan peringatan Nanjar, Walangi merasa tubuhnya mendadak menjadi berat. Dan... tahu-tahu meluncur ke bawah dengan cepat. Beberapa detik kemudian.
BYURRR!
Ternyata disebelah bawah adalah sebuah sungai berair jernih. Walangi merasa tubuhnya menjadi segar. Agak megap-megap dia sembulkan kepala dipermukaan air. Sungai itu tak seberapa dalam, hanya sebatas dada saja. Tapi dengan demikian sekujur tubuh Walangi yang penuh lumpur telah terbasuh air.
Dengan girang dia segera membersihkan tubuhnya. Walangi berenang ketepi, sementara matanya jelalatan mencari-cari si Dewa Linglung. Tapi hingga dia melompat kedarat, pemuda yang telah menolong dirinya tak kelihatan batang hidungnya.
“Hm, kemanakah dia...?” berkata Walangi dalam hati. Diam-diam dia bersyukur karena jiwanya tertolong. Sayang pemuda pendekar itu tak mau unjukkan diri setelah menolong dirinya dari bahaya maut. Walangi jatuhkan tubuhnya untuk bergulir direrumputan. Matanya menatap sekitarnya. Suara gemericik air terdengar begitu syahdu melagukan irama ketenangan, kedamaian... Ah, mengapa nasibnya begitu penuh liku? Dia termangu-mangu beberapa lamanya.
Bagaimanakah sampai Walangi berada di rawa-rawa itu, dan terperosok dilumpur maut? Hingga kalau tak secara kebetulan Nanjar mendengar suara mencurigakan ketika tengah melakukan perjalanan bersama Purwanti, tentu jiwanya telah melayang...
Ternyata seperti diceritakan di bagian depan, Walangi tak berdaya dalam cengkeraman Ki Bangun Jugala yang siap memindahkan kutukan dirinya pada gadis itu melalui persanggamaan. Akan tetapi di saat hal itu hampir terjadi, Ki Bangun Jugala mendengar suara orang tertawa nyaring menyakitkan gendang telinga yang terdengar dari luar goa.
Terkejut Ki Bangun Jugala mengenali suara orang itu. Terpaksa dia urungkan niatnya terhadap Walangi, lalu melompat keluar goa. Hatinya panas karena diejek bahwa dirinya tak ubahnya seperti seorang banci, yang menggunakan senjata milik seorang perempuan, dan senjata yang dipergunakan andalan dari merebut milik orang lain.
Siapa adanya yang datang itu tak lain adalah seorang wanita berkulit putih, mengenakan baju sutera merah dengan perbagai perhiasan di tubuhnya. Siapa orang ini tiada lain tokoh Rimba Hijau yang menamakan dirinya si Iblis Racun Asmara.
Demikianlah, di saat kedua tokoh itu bertarung dengan serunya, Walangi siuman dari pingsannya. Melihat kesempatan baik, dia segera menyelinap keluar dari goa tersebut, dan melarikan diri. Karena kurang berhati-hati Walangi terperosok dari atas tebing, dan jatuh kedalam rawa-rawa yang penuh dengan bahaya maut.
DI SAAT Walangi termangu-mangu Nanjar tahu-tahu telah berada di belakangnya, dan berindap-indap mendekati. Nanjar memang senang menggoda orang. “Hm, akan kubuat dia terkejut dengan ular ini...” berkata si Dewa Linglung dalam hati seraya dengan berjingkat-jingkat mendekati sang dara yang pakaiannya basah kuyup hingga bagian-bagian tubuhnya nampak jelas.
Sementara Walangi sendiri tengah tercenung memikirkan sikap gurunya Ki Bangun Jugala yang aneh dan dianggapnya sangat mengerikan. Dia bersyukur dapat terlepas dari cengkeraman sang guru. Karena begitu terhanyutnya dalam alam lamunan, Walangi tak menyadari kemunculan Nanjar dibelakangnya.
Tiba-tiba seekor ular melayang jatuh dirumput tepat dihadapannya. Gadis ini terpekik kaget, dan dengan gerak reflek dia melompat ke belakang. Saat itulah tiba-tiba dirasakan pung-gungnya bersentuhan dengan sesuatu benda, dan tahu-tahu sepasang lengan telah memeluk bahunya.
Walangi terperanjat seketika. Wajahnya berubah memucat, dan hatinya diam-diam membatin. “Celaka aku! Sekali ini aku tak dapat melepaskan diri lagi...” Alangkah terkejutnya dia ketika tiba-tiba mendengar suara tertawa yang sangat dikenalnya.
“Hahaha...haha... jangan khawatir nona Walangi! Ular itu tak berbahaya lagi...”
Disamping terkejut, Walangi juga sangat bergirang. Tak ayal dia segera balikkan tubuhnya. Dan tampaklah pemuda pendekar yang telah menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut itu berdiri dihadapannya dengan tersenyum.
“Nanjar...! Dewa Linglung...!? Ah, kau... kau pandai menggoda orang! Hampir-hampir aku mati ketakutan...” berkata Walangi dengar suara bergetar karena girang, juga hatinya mendadak menjadi trenyuh.
Tiba-tiba dia telah memeluk pemuda pendekar itu dengan isak tersendat dikerongkongan. “Nan-jar...! Nanjar...! Jangan kau tinggalkan aku lagi...” ucapnya dengan suara lirih penuh keharuan.
“Aih... sudahlah, nona Walangi. Jangan macam anak kecil. Kau tak akan mati ketakutan, dan tak akan mati karena ditinggalkan aku.” kata Nanjar. Diam-diam si Dewa Linglung merasai kehangatan tubuh sang dara yang bajunya basah kuyup itu.
“Benar, sobat Dewa Linglung. Tapi... aku khawatir guruku tak akan memberi ampun padaku.” berkata Walangi dengan tersipu seraya melepaskan pelukannya.
“Hm, duduklah, Walangi...! Ceritakanlah apa yang telah terjadi dengan dirimu” Nanjar menggamit lengan gadis itu dan diajaknya duduk direrumputan.
Setelah menghela napas seperti melepaskan be-ban yang menindih dadanya, gadis ini segera men-ceritakan apa yang terjadi dengan dirinya. Serta menceritakan ancaman Ki Bangun Jugala sang guru terhadap dirinya. Semua yang dikatakan Ki Jugala diceritakannya pada si Dewa Linglung...
“Kau telah menolong jiwaku, sobat Nanjar. Aku tak dapat membalas budi kebaikanmu selain dengan cintaku yang tulus dan suci. Akan kupasrahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk mengabdi padamu...” berkata gadis ini dengan sepasang mata berlinangan air mata.
Sementara itu dari tempat tersembunyi sepasang mata bening juga berkaca-kaca tampak memperhatikan mereka. Itulah sepasang mata milik si gadis bernama Purwanti.
Disaat itulah tiba-tiba gadis ini menjerit panjang lalu roboh terjungkal. Darah memuncrat membasahi bajunya. Dan sesosok makhluk berjubah hitam yang dikenali Walangi adalah wajah menyeramkan milik Ki Bangun Jugala, gurunya. Nanjar dan Walangi yang telah melompat ketempat kejadian menatap makhluk itu dengan membelalakkan mata.
“Heheheh... grrr.. kalian harus mampus semua, karena telah mengetahui rahasia rimba Dandaka!” berkata menggeram Ki Bangun Jugala.
Nanjar telah mengetahui siapa adanya makhluk itu dari Walangi. Segera dia cabut pedang mustika Naga Merah. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan.
“Manusia iblis! Cita-citamu untuk merebut kekuasaan Kerajaan Giri Brata tak akan terlaksana! Kau telah memfitnah leluhur kerajaan Dandaka, dan menyembunyikan barang upeti rampasan itu didalam kuburan leluhurku! Bahkan kau telah menipu semua orang kerajaan, dan mengatakan bahwa orang-orang bekas abdi kerajaan Rimba Dandaka terkena kutukan!
"Padahal kau telah mempelajari ilmu sesat, hingga menghasilkan keturunanmu yang mirip seekor lutung dari pada manusia! Kau telah merebut permaisuri Prabu Gempar Wiyaksa dan menyekapnya dihutan Dandaka selama delapan belas tahun! Kini telah terbuka kedokmu. Ternyata kau tak lain adalah EMPU BADAR!”
Orang yang muncul itu tiada lain dari Senopati Gendola. Tampak Ki Bangun Jugala melangkah mundur dengan wajah agak berubah. Senopati Gendola mengeluarkan sehelai gulungan kain, seraya berkata. “Atas perintah Baginda Prabu Gempar Wiyaksa, raja kerajaan Giri Brata kami harus menangkapku, Empu keparat! Dan ini adalah surat perintah dari sang Prabu!”
Ki Bangun Jugala tampak kembali menyurut mundur. Akan tetapi wajahnya tiba-tiba berubah menyeramkan. Sepasang taringnya muncul di kedua sudut bibirnya. Dengan menggeram dia menerjang ke depan. Lengan yang berlumuran darah yang telah merobek punggung Purwanti itu kini meluncur deras mencengkeram leher sang Senopati. Akan tetapi saat itu juga terdengar bentakan keras.
“Sobat Senopati, minggir! Biar aku yang menghadapi makhluk edan ini!” bentak Nanjar. Cahaya merah merambas udara.
Ki Bangun Jugala tiba-tiba tahan serangannya, lalu balikkan tubuh mengalihkan serangan ke arah Nanjar. Pantulan cahaya merah dari pedang mustika Naga Merah mendadak lenyap terbungkus uap hitam yang mengepul keluar dari Ki Bangun Jugala alias Empu Badar.
Nanjar terkejut karena merasakan pandangannya melihat gumpalan uap hitam itu berubah menjadi sepasang lengan raksasa yang meluncur mencengkram kearahnya. Pedangnya digunakan untuk menabas. Tapi tak berarti apa-apa. Lengan-lengan raksasa itu bagaikan bayangan saja terus menerobos kepungan pedangnya yang diputar sedemikian rupa.
Terpaksa Nanjar berkelebat menghindarkan diri. Saat itu Empu Badar tampak merapal mantera-mantera. Senopati Gendola diam-diam mencabut klewangnya. Lalu menerjang Empu Badar alias Bangun Jugala. Akan tetapi tampaknya orang ini telah waspada. Sebelah lengannya terangkat, dan...
WHUUUK!
Senopati tua ini tahu serangan pukulan Empu Badar tak dapat dibuat permainan. Tapi dia telah memapaki serangan menangkis dengan mengerahkan dua pertiga tenaga dalam. Dua pukulan bertenaga dalam saling beradu.
BLANGNG...!
Senopati Gendola perdengarkan teriakan kaget. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Tampak dia melepaskan klewangnya, dan memegangi dadanya. Dari mulutnya mengalir darah kental berwarna hitam.
Melihat demikian Walangi menyerbu dengan tangan kosong kearah Empu Badar alias gurunya, tanpa menghiraukan keselamatan dirinya lagi. Karena dia merasa dipihak yang benar, walaupun musuhnya adalah gurunya sendiri.
“Bocah keparat! Rasakan ini!” membentak Ki Bangun Jugala. Terjangan Walangi mendapat sambutan pukulan deras yang dialiri tenaga dalam untuk menghabisi jiwa gadis itu.
Tapi di saat itu tiba-tiba sepasang cahaya merah menyambar kearah laki-laki tua itu diiringi gera-man menggetarkan udara. Terpaksa Ki Bangun Jugala menahan serangan untuk menghindarkan diri. Pukulan itu kini diarahkan kesebelah kirinya.
Yang muncul tiada lain dari si makhluk berbulu. Saat Ki Badar menghindarkan diri, makhluk ini gunakan kekuatan lengannya untuk menghantam dengan pukulan dahsyat bertenaga dalam. Justru pukulan itu beradu dengan pukulan yang dilepaskan Empu Badar.
BHLARRR!
Empu Badar terhuyung-huyung. Wajahnya berubah pucat. Sementara lawannya terjungkal jatuh bangun. Jurus yang dipergunakan adalah jurus maut. Tapi lawannya juga bertenaga dalam tinggi. Hingga akibatnya dia harus merasakan dadanya nyeri. Apalagi saat itu dia telah terluka dalam.
Alangkah terkejutnya Empu Badar ketika melihat yang menjadi lawannya adalah si makhluk berbulu. “Keparat! anak iblis!” memaki dia dengan mata melotot gusar pada si makhluk berbulu.
“Ayah terkutuk! Kalau aku anak iblis tentu bapaknya juga iblis! Kau terimalah ini, manusia keparat yang memalukan diriku! Karena ilmu sesat yang kau pelajari hingga aku dilahirkan dalam keadaan seperti ini!” membentak makhluk itu, seraya menerjang dengan ganas.
Terjadilah pertarungan hebat. Tapi tak lama terdengar bentakan Empu Badar menggeledek. “Bocah iblis! Aku tak mengakui kau anakku! Kau anak iblis! Kau bukan anak keturunanku!”
Kata-kata itu membuat si makhluk berbulu berhenti menyerang. Matanya menatap laki-laki dihadapannya dengan mata mendelong. “Aku bukan anak keturunanmu!!!”
Akan tetapi detik itulah maut segera menjemputnya, karena di saat itu Empu Badar lepaskan pukulan maut!
PRAAKKK...!
Darah memuncrat. Tubuh makhluk itu terjungkal roboh dan terkapar tak bergerak lagi. Tampak batok kepalanya telah pecah berhamburan.
Sementara itu Nanjar tampak masih dicekam perasaan heran luar biasa, karena sampai sejauh itu dia tak mampu melepaskan diri dari kejaran sepasang lengan raksasa yang terus mengejarnya. Akan tetapi mendadak lengan raksasa itu lenyap sirna. Sukar untuk dipercaya, karena selang tak lama terdengar suara tertawa menyeramkan. Dan selanjutnya apakah yang terjadi? Sepasang lengan raksasa itu ternyata muncul dan berputar-putar diatas kepala Empu Badar.
“Manusia tengik! Kau tak mengakui bocah itu keturunanmu? Bagus! Kini saatnya kau harus mampus! Kau telah mengkhianati janjimu sendiri manusia terkutuk! Jiwamu tak dapat diampuni lagi!”
Suara itu hanya Empu Badar yang dapat mendengarnya. Tentu saja hal itu membuat wajah laki-laki ini berubah pucat pias. “Tidak! Tidaak! Ampuni selembar nyawaku! Jangan bunuh aku! Jangaaan...!”
Nanjar tertengun, demikian juga Senopati Gendola yang terluka dalam, dan Walangi yang berdiri mematung tak berkedip. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena segera terdengar jeritan panjang Empu Badar. Sukar untuk dibayangkan kejadiannya. Karena saat itu juga lengan-lengan raksasa itu telah mencengkeram batok kepalanya.
Mendadak cuaca berubah gelap. Kilat-kilatan petir membelah angkasa. Anginpun berhembus keras menerbangkan dedaunan. Ketika cuaca mendadak kembali pulih seperti sediakala, tampak tubuh Ki Bangun Jugala alias Empu Badar telah tercecer menjadi tiga bagian. Kepalanya terpisah dari tubuhnya. Dan keempat anggota tubuhnya bercerai berai...
Menyaksikan keadaan demikian, Nanjar, Senopati Gendola dan Walangi saling pandang. Suasana berubah jadi hening mencekam. Namun segera dipecahkan oleh suara Senopati Gendola yang memburu kearah jenazah Purwanti. Laki-laki abdi Kerajaan ini memeluk tubuh gadis itu dengan terisak-isak. Nanjar dan Walangi cuma menatap dengan terharu...
Senjapun terus merayap. Waktupun terus merambat. Menjelang pagi tampak Walangi berlari-lari mengejar sesosok bayangan yang berkelebat cepat meninggalkan tempat yang penuh gundukan tanah tersebut.
“Nanjar...! Jangan tinggalkan aku...! Tunggulah aku. Aku akan pergi menyertaimu...!” Suara gadis ini terdengar begitu pilu. Dari sepasang matanya tersembul air bening. Dia berlari cepat mengejar keatas bukit dimana lenyapnya bayangan si Pendekar Dewa Linglung. Akan tetapi dia tak menjumpai pemuda itu lagi.
“Nanjar...! Dewa Linglung...! Jangan tinggalkan aku...!” kembali dia berteriak, hingga suaranya berpantulan keseluruh lembah. Di antara desah angin yang menerpa rambutnya terdengarlah lapat-lapat suara si Dewa Linglung.
“Walangi...! Pergilah ke Kota Raja. Tenagamu sangat dibutuhkan untuk menggantikan kedudukan Purwanti. Jangan kau ikuti diriku yang hidup tak menentu! Kau tak akan mati tanpa aku...!”
Gadis itu tertegun. Suara itu adalah suara Nanjar yang dikirim dari jarak jauh. Lama dia tertegun memandang ke depan dengan, tatapan kosong. Tapi tak lama dia menghela napas. Bibirnya sunggingkan senyuman, bersamaan dengan luruhnya air matanya membasahi pipi.
“Benar, katamu pendekar gagah...! Aku tak akan mati tanpa kau. Tapi aku akan mati tanpa membawa amal kebaikan bila yang kukejar adalah cinta! Aku memang harus menghambakan diriku pada kerajaan Giri Brata, sebagai penebus dosa atas kesalahan guru...” berkata Walangi dalam hati. Lambat-lambat dia melangkah meninggalkan bukit itu. Dan kembali dia tersenyum diiringi luruhnya air mata duka dan sukacita....