Dewi Ular Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Seri Dewi Ular Jilid 01 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Ular Jilid 01

Tidak dapat di sangkal pula, seperti terbukti dalam catatan sejarah bahwa di antara semua kaisar bangsa Mancu yang memerintah seluruh Cina, Kaisar Kian Liong merupakan seorang pemimpin yang pandai mengambil hati rakyat Cina.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Biarpun bangsa Mancu menjajah Cina, namun kenyataannya, mereka itu mencontoh semua peradaban dan kebudayaan Cina, bahkan berusaha untuk bersikap lebih Cina daripada bangsa Cina sendiri.

Kaisar Kian Liong merupakan seorang pemuda yang suka membaur dengan rakyat di waktu masih menjadi pangeran, bahkan memasuki dunia kang-ouw sehingga dia popular sekali di kalangan dunia persilatan, disenangi dan dihormati banyak pendekar karena sikapnya yang baik.

Namun, sejak masih menjadi pangeran, Kaisar Kian Liong diam-diam juga merupakan kaisar yang romantis, bahkan dapat di bilang mata keranjang. Namun, karena sikapnya yang baik dan bijaksana dan karena keahliannya dalam kesusasteraan dan kesenian, dia di puji banyak orang, bahkan di juluki Pangeran Mulia!

Agaknya memang tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Betapa banyak sifat-sifat baik yang di miliki seseorang, pasti dia memiliki kelemahan dan cacat. Agaknya, satu di antara kelemahan yang dimiliki Kian Liong adalah wanita cantik.

Matanya selalu silau oleh kecantikan wanita, dan dia akan mengejar dan merayunya dengan segala cara untuk memiliki wanita itu. Hanya, karena pandainya dia menyimpan rahasia dan kesenangannya ini dilakukan secara rahasia, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan di waktu keluyuran ke rumah-rumah pelesiran, bersenang-senang dengan wanita-wanita pelacur yang tercantik.

Tentu saja semua ini di lakukan dengan rahasia, dengan menyamar sebagai seorang pemuda hartawan biasa, seorang kongcu (tuan muda) yang tampan dan royal. Ketika dia masih muda, sebagai Pangeran Mulia yang tidak lama lagi akan menggantikan kedudukan Kaisar Yung Ceng.

Pada suatu hari Pangeran Kian Liong bertemu dengan seorang wanita di istana yang membuat dia tergila-gila. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa wanita itu adalah Nyonya Fu Heng, isteri dari salah seorang kakaknya, kakak tiri yang terlahir dari selir.

Nyonya Fu Heng dalam pandang mata Kian Liong nampak demikian cantiknya sehingga setelah pertemuan itu, dia tidak dapat tidur karena bayangan nyonya cantik itu selalu terbayang di depan matanya!

Kian Liong menjadi bingung dan menderita rindu dendam yang tidak dapat di obati dengan wanita-wanita cantik lainnya. Keinginannya hanya satu, yaitu memiliki Nyonya Fu Heng yang wajahnya cantik jelita dan bentuk tubuhnya denok menggairahkan itu!

Tentu saja tidak mudah bagi Pangeran Kian Liong untuk mendapatkan bunga impiannya itu sehingga dia tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur, membuat tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Untung baginya bahwa seorang pembantu pribadinya, Thaikam (sida-sida) Siau Hok Cu yang sangat setia kepadanya, amat memperhatikannya.

Dan thaikam itu tahu bahwa majikannya sedang berada dalam keadaan prihatin. Dengan berani dia menghadap majikannya yang sedang duduk menunjang dagu dan berulang kali menghela napas panjang itu.

“Ah, paduka junjungan hamba, Hamba melihat dalam beberapa hari ini nampak gelisah dan berduka, kalau malam tidur gelisah dan kalau makan selalu tersisa banyak di mangkok. Sudikah paduka memberitahu kepada hamba apa gerangan yang menggelisahkan paduka sehingga hamba dapat berusaha mencarikan obatnya? Apakah paduka berduka karena Yang Mulia Kaisar sedang menderita penyakit berat?”

“Aih, Hok Cu. Tentu saja aku bersedih karena Sri Baginda Kaisar sakit, akan tetapi kenyataan itu sudah dapat ku terima dengan wajar. Bukan, bukan karena Sri Baginda Kaisar sakit, Hok Cu...“

“Kalau begitu, apa gerangan yang membuat tuanku berduka dan gelisah? Percayalah, hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan obatnya“ Pangeran Kian Liong memandang pembantunya yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu dengan penuh harapan. “Benarkah engkau akan dapat mencarikan obatnya, Hok Cu?”

“Kalau saja paduka sudi memberitahukan sebabnya saya akan berusaha sekuat kemampuan saya untuk mencarikan obatnya.“

“Begini Hok Cu. Beberapa hari yang lalu aku melihat seorang wanita di istana ini dan sejak itu aku tidak mampu melupakannya, bayangannya selalu bermain di depan mata sehingga tidurku terganggu dan selera makan ku lenyap. Hok Cu, kalau aku tidak bisa mendapatkan wanita itu, aku akan merasa sengsara hidupku.“

Siau Hok Cu tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. “Ah, kalau cuma wanita yang membuat paduka gelisah, apa sih sukarnya? Wanita mana di dunia ini yang tidak akan membuka lengan dan hatinya untuk menyambut cinta kasih paduka? Katakanlah, pangeran. Siapa wanita yang telah mengusik hati paduka itu?”

“Inilah yang membingungkan hatiku, Hok Cu. Setelah ku selidiki, wanita itu bernama Nyonya Fu Heng dan ia adalah iparku sendiri, isteri dari kakakku Pangeran Kian Ki.“

Siau Hok Cu mengangguk-angguk dan mengusap dagunya yang tidak berambut. “Pangeran Kian Ki adalah kakak tiri paduka, kalau memang paduka menghendaki isterinya, apa sih sukarnya?“ kata Thaikam itu sambil tersenyum.

“Benarkah, Hok Cu? Akan tetapi bagaimana caranya? Tidak mungkin aku berterang menyatakan cintaku kepadanya!”

“Tentu saja tidak demikian caranya, tuanku. Serahkan saja urusan ini kepada hamba dan hamba akan mengatur agar tuanku dapat bertemu berdua saja dengannya!“

Pangeran Kian Liong girang bukan main dan menjanjikan hadiah yang besar kepada Siau Hok Cu kalau keinginannya terkabul. Thaikan itu lalu memutar otaknya yang licik dan cerdik, mengatur siasatnya untuk membantu junjungannya.

Pada suatu senja, Nyonya Fu Heng menerima undangan dari Puteri Ting Ci untuk berkunjung kepadanya di Taman Musim Semi Bahagia. Nyonya Fu Heng tidak merasa aneh dengan undangan ini karena sang puteri itu merupakan saudara perempuan suaminya dan seringkali mengundangnya untuk bersenang-senang di taman.

Sang puteri Ting Ci telah menjalin persahabatan dengannya. Maka, menerima panggilan atau undangan ini, iapun tergesa-gesa pergi memenuhi undangan. Taman Musim Semi Bahagia itu letaknya di sebelah barat istana pusat dan berada di bagian dari Istana Musim Panas. Perjalanan dilakukan dengan duduk di dalam joli yang di gotong oleh empat orang.

Setelah tiba di taman itu, Nyonya Fu Heng turun di sebuah pondok indah yang berdiri di antara pohon-pohon bambu yang terawat, daun-daun bambu berbisik-bisik di goda angina sepoi. Beberapa gadis dayang cekatan dan lincah menyambutnya.

“Selamat datang, Nyonya. Tuan Puteri baru akan tiba di sini setelah satu jam lagi, maka Nyonya dipersilahkan menanti di dalam kamar, dan kalau Nyonya menghendaki, hamba akan menyediakan air hangat untuk mandi.“

Perjalanan dari istana ke tempat ini cukup melelahkan dan panas, maka Nyonya Fu Heng dengan senang hati menerima tawaran itu. Para dayang itu dengan hormat mempersilahkan ia masuk ke kamar mandi dan membantu nyonya cantik itu mandi sehingga tubuhnya terasa segar.

Air yang di campur dengan minyak bunga itu membuat seluruh tubuhnya segar dan harum. Setelah selesai mandi, para dayang mengantarnya memasuki kamar dan meninggalkannya seorang diri.

Dengan hanya mengenakan pakaian yang longgar dan tembus pandang, Nonya Fu Heng duduk di depan cermin besar dan menyisiri rambutnya yang di biarkan terurai lepas. Rambut itu hitam dan subur, indah sekali dan panjang sampai ke bawah perutnya. Baunya harum ketika ia menyisiri rambut yang mengkilap itu.

Akan tetapi, ia mengangkat muka memandang ke dalam cermin. Pintu yang nampak melalui cermin itu terbuka perlahan dan seorang laki-laki muncul memasuki kamar itu. Alangkah terkejut rasa hati Nyonya muda itu. Hampir ia menjerit, akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul itu Pangeran Kian Liong, ia tidak jadi menjerit akan tetapi sibuk menutupi tubuhnya yang terbungkus pakaian tipis yang tidak sanggup menutupi tubuhnya dengan sempurna.

Ketika Nyonya Fu Heng membalikkan tubuh dan siap untuk menegur sang pangeran, Pangeran Kian Liong cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depannya dan menghunus pedangnya. “Kalau engkau menjerit, aku akan membunuh diri di depan kakimu!” kata sang pangeran sambil menempelkan pedang di lehernya sendiri.

Tentu saja Nyonya Fu Heng menjadi ketakutan. Kalau pangeran itu mati di depan kakinya, tentu ia sendiri juga akan di hukum mati. Dan ia pun teringat bahwa pemuda tampan yang berlutut di depannya itu adalah calon Kaisar, dan tak lama lagi pemuda tampan itu tentu di angkat menjadi kaisar, mengingat bahwa Kaisar yang sekarang sedang rebah dan menderita sakit parah. Maka dengan seluruh muka dan lehernya berubah kemerahan, wanita muda itu berbisik.

“Ssshhhh… jangan begitu, pangeran. Simpan kembali pedangmu yang menakutkan itu….”

Pangeran Kian Liong adalah seorang pemuda yang sudah lama bergaul dengan banyak wanita, maka dia tahu bahwa sikap dan kata-kata Nonya Fu Heng itu menandakan bahwa dia telah memperoleh kemenangan berkat kepintaran Thaikam Siau Hok Cu mengatur siasat ini. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia menyimpan pedangnya dan bangkit lalu memondong tubuh Nyonya Fu Heng.

Bunga curian dari kebun orang memang selalu harum, buah curian dari kebun orang memang selalu manis. Kedua orang muda itu tenggelam dalam lautan nafsu asmara yang memabokkan. Di pondok itu hanya mereka berdua karena memang Puteri Ting Ci tidak hendak pergi ke situ. Mereka berdua bermain-main terbang ke angkasa sampai semalam suntuk.

Sejak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak pernah mau di dekati suaminya dan pertemuannya dengan Pangeran Kian Liong berlangsung terus. Thaikam Siau Hok Cu yang mengatur pertemuan-pertemuan itu, dan andaikata ada yang tahu sekalipun, siapa berani menegur Sang Pangeran calon kaisar?

Andaikata Pangeran Kian Ki mendengar tentang penyelewengan isterinya dengan Pangeran Kian Liong, apa pula yang dapat dia lakukan? Dia hanya seorang pangeran beribu selir, tentu saja kalah pengaruh dan kalah kuasa dibandingkan Pangeran Kian Liong.

Pada suatu hari selagi Pangeran Kian Liong dan Nyonya Fu Heng menikmati anggur pelepas dahaga mereka yang tidak mengenal kepuasan, di siang hari yang dingin, karena musim dingin sudah tiba. Thaikam Siau Hok Cu memasuki kamar itu tergesa-gesa dan memberitahukan kepada Pangeran Kian Liong bahwa Kaisar Yung Chen baru saja meninggal dunia! Pangeran itu cepat bangkit, berpakaian, dan cepat menuju ke istana induk.

Demikianlah, satu di antara kelemahan Pangeran Mulia itu adalah wanita dan kegemaran ini di lanjutkan setelah dia menjadi kaisar Kian Liong. Dia memiliki banyak selir dan dayang. Setiap malam dia berganti wanita. Akan tetapi, di samping kegemaran yang yang menggambarkan kelemahannya ini, harus di akui bahwa Kaisar Kian Liong berjasa besar dalam mengembangkan Kerajaan Ceng.

Dia pandai mengambil hati para pendekar dan sastrawan, menghargai mereka sehingga banyak pendekar masuk menjadi panglima atau perwira dan banyak sastrawan memegang jabatan penting. Karena Kaisar Kian Liong mementingkan kebutuhan rakyat, maka tidak ada rakyat yang memberontak.

Tidak dapat di sangkal bahwa di antara para pendekar dan sastrawan tetap saja ada yang tidak sudi membantu dan bekerja untuk kerajaan penjajah, akan tetapi mereka tidak ada kekuatan dan tidak berani mengadakan gangguan.

Setelah memegang jabatan kaisar selama lima belas tahun, dalam tahun 1750 Kaisar Kian Liong mencapai puncak kejayaannya. Setiap ada pemberontakan di perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa selalu pemberontakan dapat di padamkan.

Dia memiliki banyak panglima yang tangguh, di antaranya Jendral Cao Hui. Jendral inilah yang berjasa besar menundukkan para kepala suku di perbatasan dan menindas pemberontakan-pemberontakan yang timbul.


Sebuah puncak di pegunungan Hong-san di sebut Bukit Ular. Di sebut demikian karena memang daerah itu kaya akan binatang ini. Dari jenis ular yang besar dan tidak beracun, sebesar paha orang dewasa sampai jenis kecil namun beracun dan berbahaya sekali walaupun besarnya hanya seberar kelingking orang dewasa.

Di sini tanahnya tidak subur, banyak mengandung batu-batu padas dan di sana sini terdapat rumpun bambu yang liar dan lebat. Di seputar bukit itu terdapat banyak hutan yang lebat dan hutan-hutan itulah ular-ular mencari mangsanya akan tetapi selalu kembali ke puncak ini. Karena tempat itu terkenal berbahaya, maka jarang atau hampir tidak pernah ada manusia berani mendaki puncak Bukit Ular.

Pada suatu pagi, di puncak Bukit Ular itu terdapat seorang manusia. Tentu bukan manusia sembarangan yang berani berada di situ seorang diri. Kalau orang tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh teramat berbahaya berada di situ. Sekali tergigit ular beracun akan dapat membunuhnya, belum lagi kalau bertemu ular besar yang akan dapat membelit, menggigit dan menelannya.

Orang akan merasa lebih terkejut dan heran kalau melihat bahwa orang yang berada di puncak itu adalah seorang gadis yang cantik jelita. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun. Pakaiannya berwarna cerah berkembang-kembang.

Wajah itu memang manis sekali. Mukanya berbentuk bulat telur, mulutnya yang kecil mungil itu berbibir manis, merah membasah selalu dan seolah tersenyum terus, hidungnya mancung dengan ujung arah menjungat ke atas. Matanya mencorong seperti mata Burung Hong, lembut namun amat tajam kalau ia tertawa atau bicara, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dengan ronce merah dan di pinggang terselip sebatang suling.

Dara jelita itu melangkah dengan perlahan dan hati-hati di antara batu-batu padas. Kalau melihat ada lubang, ia lalu berjongkok di dekat lubang kecil itu, mencabut sulingnya dengan tangan kiri dan meniup suling itu yang mengeluarkan suara lembut dan bernada tinggi mengalun.

Sambil meniup suling dengan tangan kiri, matanya dengan penuh perhatian menatap lubang kecil di depannya. Tak lama kemudian, sebuah kepala ular yang kecil, sebesar ibu jari, muncul dari dalam lubang, agaknya tertarik oleh suara lengkingan suling.

Begitu ular itu muncul sepanjang jari tangan dari lubang, secepat kilat tangan kanan gadis itu menyambar dan tahu-tahu ia telah menjepit leher ular itu dengan ibu jari dan telunjuk kanannya. Ia meletakkan sulingnya ke atas tanah, lalu mengambil sebuah bumbung bambu dari ikat pinggangnya. Ia membuka tutup bambu itu dengan giginya, lalu menggunakan jari tangan kanan untuk membuka mulutnya.

Ia mendekatkan kepala ular diatas lubang bambu dan ketika ia memperkuat jepitannya pada leher dan kepala ular, maka cairan hijau menghitam keluar dari taring ular itu dan jatuh ke dalam bumbung bambu. Kiranya gadis itu sedang memaksa ular mengeluarkan bisanya dan di tampung ke dalam bumbung bambu!

Setelah dari mulut ular tidak menetes racun lagi, ia melepaskan ular yang dengan lemah lalu merayap kembali ke dalam lubangnya. Kemudian ia menutup bumbung, menyelipkan kembali ke ikat pinggangnya dan ia berjalan lagi seperti tadi, meneliti ke bawah untuk mencari liang ular yang di kehendakinya.

Dari bentuk liangnya, gadis itu dapat mengetahui jenis ular yang menjadi penghuninya dan agaknya ia hanya mencari ular tertentu seperti yang di tangkapnya tadi. Ular belang-belang hitam kuning yang amat berbahaya, dan sekali menggigit orang akan sukarlah bagi orang itu untuk dapat hidup.

Kalau bertemu dengan liang yang di kehendakinya, gadis itu berhenti dan mengulang perbuatannya yang tadi, menangkap ular belang hitam kuning setelah ular itu di pancing keluar dengan bunyi sulingnya untuk di perah racunnya dan di tampung dalam tabung bambunya.

Agaknya jenis ular yang di carinya itu merupakan ular yang langka dan tidak banyak terdapat di Bukit Ular itu. Ia melangkah terus sampai tiba di bawah sebatang pohon besar. Di atas pohon itu terdapat ular-ular besar yang melingkar di cabang-cabang pohon.

Agaknya seekor di antara ular-ular itu, yang terbesar, sedang lapar. Maka, begitu gadis itu duduk di atas pohon yang menonjol di permukaan tanah, ular itupun bergerak perlahan menuruni cabang dimana tadinya dia melingkar. Sama sekali tidak ada suara terdengar ketika tubuhnya merayap turun.

Kulitnya yang berwarna kuning kehijauan itu tampak sangat indah, bagaikan lukisan bunga-bunga yang beraneka bentuk. Memang ular itu di sebut Bunga Ular karena lukisan di kulitnya itu. Kulit seperti ini berharga mahal dan di kehendaki banyak orang untuk dijadikan barang-barang dari kulit seperti tas, dompet dan sebagainya lagi.

Gadis itu bukan tidak tahu bahwa pohon itu menjadi tempat tinggal banyak ular besar, akan tetapi ia seperti tidak peduli. Biarpun ia tidak mendengar gerakan ular yang mendekatinya, namum hidungnya dapat menangkap bau yang dikeluarkan ular itu, penciumannya amat tajam.

Tanpa menengok ke atas dari mana bahaya maut mengacamnya, gadis ini mengeluarkan suling dari ikat pinggangnya. Padahal ular itu sudah dekat dengan kepala nya dan sekali terkam saja, kepala gadis itu akan masuk ke moncongnya kemudian perlahan-lahan seluruh tubuh gadis itu akan di telan memasuki perutnya yang besar!

Begitu gadis itu menempelkan lubang suling pada bibirnya yang merah basah, terdengarlah suara lengkingan suling yang aneh dan merdu. Suaranya mengalun, kadang tinggi kadang rendah akan tetapi bukan sejenis lagu yang enak di dengar, melainkan amat aneh dan asing bagi pendengaran manusia.

Akan tetapi, terjadilah keanehan yang akan membuat orang bengong terlongong menyaksikan akibat dari permainan suling itu. Ular besar tadi lalu melorot ke bawah sama sekali tidak kelihatan buas dan liar lagi, melainkan merayap mendekati gadis itu dengan sikap seolah ketakutan.

Dan bukan ular itu saja yang menjadi seperti setengah lumpuh. Bahkan ular-ular lain yang masih berada di atas pohon, semua merayap ke bawah dan mengepung gadis itu dalam jarak dua meter, lalu mendekam dan diam saja seperti tertidur!

Setelah melihat ular-ular yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh lima ekor itu seolah berlutut menyembah kepadanya, gadis itu menghentikan tiupan sulingnya dan bangkit berdiri. Ia tersenyum dan sekali menggerakkan kedua kakinya ia sudah melompat jauh melampaui kepungan ular. Setelah tidak terdengar lagi suara suling, ular-ular itu pun perlahan-lahan mulai bergerak dan merayap naik lagi ke atas pohon.


Siapakah gadis cantik jelita yang dapat menguasai ular-ular itu? Ia seperti seorang pawang ular yang pandai! Memang demikianlah. Gadis itu bernama Souw Lee Cin yang tinggal berdua saja dengan ayahnya di Puncak Hong-san. Bukan saja ia pandai menguasai ular, dari ular kecil beracun sampai ular besar, namun ia pandai pula bermain silat.

Ayahnya pun bukan orang sembarangan. Ayahnya bernama Souw Tek Bun yang dua tahun lalu di angkat oleh para tokoh kang-ouw sebagai Beng-cu (Pemimpin)! Ayahnya di kenal orang sebagai Souw-taihiap dan pendekar ini amat di segani karena selain ilmu pedangnya terkenal sebagai ilmu pedang keluarga Souw, juga watak dan sikapnya yang gagah perkasa, dapat dipercaya dan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan.

Karena watak inilah maka dia di pilih menjadi bengcu, walaupun masih banyak datuk persilatan yang tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Untuk menjadi bengcu, orang harus memenuhi tiga syarat, yaitu berilmu tinggi, gagah perkasa dan adil. Souw Tek Bun memenuhi semua syarat itu.

Souw Lee Cin ini, baru dua tahun tinggal bersama ayahnya. Bahkan baru dua tahun ia tahu bahwa Souw Tek Bun adalah ayah kandungnya! Sejak kecil Lee Cin tinggal bersama subonya (ibu gurunya) yang berjuluk Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah) yang tinggal di Bukit Ular Merah di Lembah Huang-ho.

Sejak kecil ia di gembleng ilmu-ilmu yang tinggi oleh gurunya itu yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Setelah Lee Cin berusia tujuh belas tahun, ia di perintahkan oleh gurunya itu untuk pergi mencari Souw Tek Bun dan membunuh musuh besar gurunya itu!

Lee Cin berhasil bertemu dengan Souw Tek Bun dan menantangnya, akan tetapi pendekar itu dapat menduga bahwa Souw Lee Cin yang ketika itu memakai nama marga Bu, menjadi Bu Lee Cin, bukan lain adalah puterinya sendiri yang di lahirkan Bu Siang atau yang berjuluk Ang-tok Mo-li itulah!

Setelah ibunya atau gurunya muncul dan memaksanya menyerang Souw Tek Bun, baru Lee Cin percaya bahwa pendekar itu adalah ayah kandungnya dan gurunya itu bukan lain adalah ibu kandungnya! Melihat betapa jahat ibunya, Lee Cin bahkan membantu ayah kandungnya dan berhasil keduanya mengusir Ang-tok Mo-li.

Semenjak itulah Lee Cin tinggal bersama ayahnya dan mengubah namanya menjadi Souw Lee Cin bukan marga Bu lagi. Kalau ia teringat akan ibunya, bermacam perasaan menggetarkan hatinya. Ia mencinta gurunya itu sebelum ia tahu akan rahasia antara ayah dan ibunya. Dan tentu saja ia mencinta wanita itu setelah mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya.

Akan tetapi ia pun merasa penasaran dan menyesal sekali mengapa ibunya demikian jahat, hendak mengadu domba antara ia dan ayahnya sendiri, ingin melihat ia membunuh ayahnya atau di bunuh ayahnya! Ia merasa menyesal mengapa ibunya demikan jahatnya sehingga ayahnya dahulu tidak mau menikahinya setelah melihat betapa ibunya adalah seorang tokoh sesat di dunia persilatan.

Akan tetapi, semua ilmu yang dimilikinya adalah gemblengan ibunya. Ibunya memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada ayahnya. Dari ibunya dia memiliki keahlian sebagai pawang ular. Selain ilmu aneh ini, ia pun menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, di antaranya yang dahsyat adalah Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah).

Yaitu ilmu silat tangan kosong dengan pukulan tangan mengandung hawa beracun, dan juga Ang-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) yang dimainkan dengan pedangnya yang bersinar merah dan tipis sekali dapat di pakai sabuk dan bentuknya seperti ular, di sebut Ang-co-kiam (Pedang Ular Merah).

Baru dua macam ilmu silat itu saja sudah membuat Lee Cin menjadi seorang gadis yang sukar di cari tandingnya, apalagi dara perkasa ini pernah menerima ilmu totokan It-yang-ci dari In Kong Thaisu, ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu. Tingkat kepandaiannya demikian tinggi sehingga ayahnya sendiri, Souw Tek Bun yang menjadi Bengcu, masih kalah olehnya!

Pada pagi hari itu, Lee Cin mengumpulkan racun ular belang hitam kuning untuk dibuat obat penawar racun dari gigitan binatang beracun lain. Racun dari ular hitam kuning ini selain mengandung racun yang amat kuat, juga kalau di campur dengan beberapa macam rempah-rempah tertentu, racun ini dapat menjadi obat yang menawarkan segala macam bisa. Pengetahuan ini ia dapatkan dari ayahnya yang menyetujui kalau ia mencari dan mengumpulkan bisa itu.

Setelah melepaskan diri dari ular-ular besar, Lee Cin melangkah perlahan hendak menuruni Puncak Bukit Ular itu. Tiba-tiba ia melihat bayangan tiga orang mendaki puncak dari arah lain dan melihat betapa tiga orang itu dapat bergerak cepat ketika mendaki, tahulah ia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu berlari cepat.

Ia melihat betapa mereka bertiga itu dengan ringan meloncati batu-batu dan melihat pakaian mereka yang ringkas, masing-masing membawa tongkat panjang dan karung, ia dapat menduga bahwa mereka tentulah sebangsa pemburu binatang. Tadinya ia tidak memperdulikan.

Akan tetapi ia teringat akan sesuatu. Kalau mereka itu pemburu binatang hutang, mengapa naik ke puncak Bukit Ular ini? Seharusnya mereka memburu binatang di dalam hutan. Ah, tidak salah lagi, mereka pasti akan memburu ular-ular!

Lee Cin mengerutkan alisnya yang kecil hitam dan ia pun lalu mempergunakan keringanan tubuhnya untuk kembali mendaki puncak itu. Kini ia melihat betapa tiga orang tadi sudah berkumpul di bawah pohon besar yang menjadi tempat tinggal ular-ulang besar.

Mereka memegang tongkat panjang yang ternyata adalah semacam tombak yang ada kaitannya. Ketika mereka menggerakkan tombak di tangan dan di lontarkan ke atas, jatuhlah tiga ekor ular besar yang kepalanya telah tertancap tombak-tombak itu!

“Wahhh, yang ini besar sekali!” kata seorang.

“Kulitnya indah lagi, tentu akan laku mahal! “ seru orang kedua.

“Dagingnyapun perlu di bawa, daging ular sebesar ini akan menjadi santapan lezat dan berharga mahal!" kata orang ke tiga.

Melihat dan mendengar ini, Lee Cin sudah marah sekali. Ia melihat tiga orang itu sudah mencabut tombak mereka dari kepala tiga ekor ular yang menggeliat-geliat sekarat dan sudah siap untuk melontarkan tombak mereka kepada korban lain.

“Tahan...!“ Ia membentak dan sekali melompat ia telah tiba di belakang orang-orang itu.

Tiga orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh, terbelalak melihat seorang gadis yang cantik jelita di tempat itu. “Nona, kenapa engkau menahan kami?” tanya seorang.

“Seorang gadis muda seperti engkau, mau apa berada di tempat seperti ini?” kata orang ke dua.

“Tempat ini berbahaya sekali bagi seorang gadis seperti engkau!” kata orang ke tiga.

Kini Lee Cin melihat betapa tiga orang itu memakai sepatu yang tinggi sampai ke lutut. Kulit kering yang kuat melindungi kaki mereka dari bahaya gigitan ular-ular berbisa. “Kalian bertiga tidak boleh membunuhi ular-ular itu!” kata Lee Cin dengan suara ketus.

“Kenapa tidak boleh?” Tanya seorang.

“Kami sudah membunuh tiga ekor!” kata orang ke dua.

“Kami memang pemburu ular, ada hak apakah engkau melarang kami?” kata orang ke tiga.

“Tidak perlu banyak cakap. Pokoknya, kalian tidak boleh berburu ular di Bukit Ular ini! Aku berhak melarang karena ini termasuk wilayah kekuasaanku!”

Tiga orang itu saling pandang dan merasa lucu. Mereka adalah orang-orang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan sudah belasan tahun mereka menjadi pemburu ular. Baru sekali ini bertemu dengan seorang gadis cantik yang melarang mereka berburu ular.

Setelah saling pandang, ketiganya tertawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, tidak gentar menghadapi binantang hutan yang bagaimana pun buasnya. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi seorang gadis begitu cantik.

“Bagaimana kalau kami melanjutkan perburuan kami dan membunuh sebanyak mungkin ular?” Tanya mereka hampir berbareng.

Sepasang mata Lee Cin mencorong. “Kalau begitu kalian pilih mati di tanganku atau mati di keroyok ular!”

Mendengar ini, tiga orang itu menjadi marah sekali. Selama hidup mereka baru sekali ini ada orang melarang mereka berburu ular dengan ancaman akan di bunuh pula!

“Eh, nanti dulu, nona! Apa kau kira kami bertiga ini anak-anak kecil yang takut mendengar ancamanmu yang tidak masuk di akal? Orang selemah engkau ini bagaimana akan dapat membunuh kami? Dan ular-ular itu bagaimana pula dapat mengeroyok kami?”

“Hemmm, dengan mudah sekali aku akan membunuh kalian bertiga.“ kata Lee Cin dengan mulut tersenyum dingin.

Tiga orang itu memegang tombak mereka di tangan kanan dan kembali mereka saling pandang lalu tertawa. Mereka anggap gadis cantik ini lucu sekali.

“Eh eh, dengan apa engkau akan membunuh kami, nona manis?” ejek orang kedua.

“Dengan ini!” kata Lee Cin dan begitu ia menggerakkan tangan ke pinggang, ia telah meloloskan “ikat pinggang” hitam yang kemudian ternyata adalah seekor ular hitam yang panjang! Ketika tadi melilit pinggang gadis yang ramping itu, semua orang mengira bahwa hitam-hitam itu adalah sabuk ikat pinggang. Siapa kira benda itu adalah seekor ular hitam yang hidup!

“Wah, jangan main-main, nona. Biarpun engkau menggunakan seekor ular sebagai senjata, kau tidak akan mampu menandingi kami. Dengan memiliki sedikit ilmu silat, jangan engkau menggertak dan menakut-nakuti kami!“

“Majulah kalian bertiga dan dalam waktu singkat kalian bertiga akan mati!”

Tiga orang itu kini menjadi marah sekali dan menganggap bahwa gadis itu seorang yang tidak waras otaknya atau seorang gadis yang sombong sekali. Mereka tidak berniat mencelakai gadis cantik itu, akan tetapi panas perut mereka mendengar tantangan itu.

“Mari kita beri hajaran kepadanya!” kata orang pertama.

Tiga orang itu mengepung Lee Cin, tersenyum-senyum seperti tiga orang dewasa mempermainkan seorang anak kecil yang nakal. Akan tetapi Lee Cin berdiri saja dengan tenang, sama sekali tidak bergerak walaupun dua orang berdiri di belakangnya dan siap untuk menyerangnya.

Karena tiga orang pemburu ular itu menganggap gadis itu hanya menggertak saja dan juga karena mereka tidak ingin mencelakai Lee Cin, maka mereka bertiga melepaskan tombak mereka dan bermaksud menyerang gadis itu dengan tangan kosong saja.

“Lihat serangan kami!”. Orang yang berhadapan dengan Lee Cin membentak dan mulai menyerang dengan cengkraman tangan ke depan. Berbareng pada saat itu, dua orang temannya yang berada di belakang Lee Cin juga sudah menyerang. Seorang mencengkram kea rah pundak kiri dan seorang lagi menampar kea rah punggung.

Dengan gerakan tenang namun lincah sekali, Lee Cin mengelak dari tiga serangan itu dengan jalan meloncat ke kiri membalik dan menangkis penyerang yang menampar punggungnya. Ia sudah melibatkan ular hitam di lehernya dan melihat tiga orang itu tidak menggunakan senjata ia pun tidak ingin menggunakan ular hitamnya.

“Dukkk!” Orang yang tertangkis pukulannya itu terpelanting. Bukan main kagetnya ketika bahwa lengannya seperti bertemu dengan baja yang amat kuat. Akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting roboh.

Tiga orang itu menyerang, kini lebih berhati-hati. Akan tetapi Lee Cin bergerak cepat, dan tiba-tiba mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu lenyap dari tengah kepungan mereka.

Sebelum mereka sempat membalikkan tubuh, dua kali tangan Lee Cin menampar dan dua orang dari mereka terjengkang dan terbanting dengan keras ke atas tanah berpadas. Yang seorang lagi cepat membalikkan tubuh, akan tetapi hanya untuk menerima sebuah tendangan yang mengenai dadanya dan diapun terpelanting roboh!

Baru terbukalah mata tiga orang pemburu ular ini bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai, yang mampu merobohkan mereka bertiga hanya dalam dua gebrakan saja! Mereka menjadi marah dan menyambar tombak masing-masing, kini mengepung lagi dengan tombak di tangan.

Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum mengejek. Kini telah mengukur kepandaian mereka dan maklum bahwa baginya tiga orang itu merupakan lawan yang lunak sehingga tidak perlu ia harus menggunakan senjata maupun ularnya. Tiga batang tombak menyerangnya dengan ganas dari tiga jurusan, akan tetapi tubuh Lee Cin mencelat ke atas sehingga tiga ujung mata tombak tidak mengenai sasaran.

Ketika tiga orang itu mengejarnya dengan tombak menyerang ke atas, bagaikan seekor burung Lee Cin hinggap dengan kakinya menginjak tiga ujung tombak yang runcing, lalu melompat lagi ke atas berjungkir balik dan dalam keadaan kepala di bawah kini ia menukik ke bawah, berhasil menampar dua orang dengan kedua tangannya.

“Pla-plak!” Dua orang itu kembali terjungkal. Yang seorang menusukkan tombaknya, namun tombak itu dapat di tangkap Lee Cin dari samping dan sekali membuat gerakan menekuk, tombak itu patah pada tengahnya dan sebuah tendangan membuat orang ke tiga ini terjengkang. Sekali ini tamparan dan tendangan Lee Cin lebih kuat lagi sehingga tiga orang itu tidak dapat segera bangkit. Lee Cin tersenyum mengejek.

“Tiga orang macam kamu berani melawan nonamu? Sekarang hadapilah kematianmu di keroyok ular!” Gadis itu lalu mencabut sulingnya, meniup suling sehingga terdengar suara melengking-lengking.

Tiga orang itu tadinya tidak mengerti mengapa gadis yang lihai itu meniup suling, akan tetapi mereka tidak bertahan mendengar lengkingan suling yang seolah-olah akan memecahkan telinga mereka. Ketiganya lalu menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga mereka.

Akan tetapi kini mereka terbelalak dengan wajah pucat. dari mana-mana berdatangan ular yang banyak sekali. Semua ular yang berada di pohon itu merayap turun dan dari empat penjuru juga berdatangan ular-ular besar kecil dan banyak ular yang memiliki bisa yang jahat sekali!

Melihat betapa ular-ular itu makin mendekat dan mengepung mereka sedangkan gadisi cantik itu tetap berdiri meniup suling, tiga orang ini menjadi ketakutan dan segera menjatuhkan diri berlutut.

“Nona, ampunkan kami… ampunkan kami...!“ Mereka meratap dan menangis saking ngeri dan takutnya melihat banyak ular mendesis-desis marah.

Sejak kecil Lee Cin di gembleng oleh gurunya yang juga ibu kandungnya sendiri, Ang-tok Mo-li. Wanita ini merupakan seorang datuk sesat dunia kang-ouw yang berwatak keras dan kejam. Karena di gembleng oleh wanita seperti itu, Lee Cin menjadi dewasa dengan watak yang keras pula, dan kalau perlu dapat bertindak kejam terhadap musuh-musuhnya.

Akan tetapi begitu melihat tiga orang itu berlutut dan merayap minta ampun, ia teringat akan nasehat ayahnya dengan siapa ia hidup bersama selama dua tahun ini.

“Jangan sembarangan membunuh orang, kecuali kalau terpaksa untuk membela diri sendiri. Jangan membunuh lawan yang sudah tidak mampu melawan lagi dan jangan sekali-kali membunuh orang yang sudah minta ampun.“ demikian ayahnya pernah menasehatinya.

Pada saat itu, ia pun membayangkan wajah seorang pendekar muda yang pernah menjatuhkan hatinya, Pendekar muda yang kini telah menjadi seorang panglima besar di kota raja dan telah menikah dengan seorang pendekar wanita pula.

Pendekar itu adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana yang tidak pernah berlaku kejam biarpun terhadap musuh besarnya. Teringat akan ayahnya dan pemuda bekas pujaan hatinya itu, seketika Lee Cin menjadi lemah lunglai. Kebekuan hatinya mencair, dan ia merasa malu kepada diri sendiri yang sedang hendak menyiksa dan membunuh tiga orang pemburu ular itu.

Tiba-tiba ia mengubah suara sulingnya. Kini terdengar seperti orang marah dan mengancam dan sungguh mengagumkan sekali, mendengar lengkingan suara suling ini, ular-ular itu berhenti bergerak, nampak ketakutan lalu melarikan diri cerai berai, pergi bersembunyi sehingga sebentar saja di tempat itu sudah tidak nampak ada ular seekorpun, kecuali yang masih bergantung di leher Lee Cin.

Tiga orang yang berlutut itu terbelalak dan merasa lega. Mereka menatap gadis yang berdiri di depan mereka. Seorang gadis cantik jelita dengan seekor ular hitam panjang membelit lehernya! Menyeramkan sekali! Bagaikan seorang Dewi Ular yang cantik menarik namun menyeramkan.

“Kalian boleh pergi, akan tetapi lebih dulu kalian harus berlutut minta ampun kepada ular-ular di pohon itu, kemudian menguburkan tiga bangkai ular yang kalian bunuh itu dengan baik. Laksanakan!”

Tanpa banyak cakap cakap lagi tiga orang pemburu itu lalu berlutut menghadap ke arah pohon yang menjadi sarang banyak ular besar itu, mereka berlutut dan mengucapkan permintaan ampun. Kemudian, mereka sibuk membuat lubang yang cukup besar untuk mengubur bangkai tiga ekor ular yang tadi mereka bunuh. Lee Cin masih berdiri tegak dan mengamati pekerjaan mereka.

Setelah mereka selesai mengubur bangkai tiga ekor ular itu, Lee Cin menghardik, “ Sekarang pergilah dan jangan sekali-kali berani mendaki bukit ini kalau kalian ingin selamat!”

Saking girangnya karena mereka yang nyaris tewas mengerikan itu mendapat pengampunan, tiga orang yang masih berlutut itu menghadap Lee Cin dan berkata seperti di komando, “ Terima kasih, Sian-li...!”

Lee Cin tersenyum geli mendengar mereka menyebutnya Sian-li (Dewi) dan segera membentak, “Pergilah!”

Tiga orang itu bangkit dan setelah membungkuk-bungkuk melewati Lee Cin mereka lalu berlari secepatnya menuruni bukit itu. Setelah mengalami peristiwa menakutkan itu, Tiga orang pemburu itu bercerita kepada siapa saja bahwa di Bukit Ular mereka bertemu dengan Bi-Coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memiliki kecantikan dan menguasai semua ular!

Para penghuni dusun-dusun di kaki pegunungan Hong-san adalah orang-orang dusun yang sederhana dan tahyul. Mendengar cerita itu mereka lalu mempunyai pujaan baru yang mereka sembahyangi dan di mintai berkah, yaitu Dewi Ular yang di anggap sebagai penjaga Bukit Ular!


Lee Cin sudah merasa cukup mengumpulkan racun ular belang hitam kuning. Ia lalu menuruni Bukit Ular. Pemandangan di pagi hari itu teramat indahnya. Matahari telah naik agak tinggi di timur, tersenyum menebarkan cahayanya yang masih lembut dan mempunyai daya hidup. Lee Cin merasa kagum dan ia berhenti melangkah, memandang penglihatan di bawah yang amat indah.

Terhampar persawahan yang tiada batasnya. Daerah pegunungan Hong-san memang terkenal bertanah subur, kecuali tentu saja Bukit Ular. Sawah ladang luas dengan tanaman padi-padian yang masih menghijau karena belum berkembang. Bagaikan permadani hijau yang menyejukkan mata, kalau angin bertiup, permadani hijau itu berubah menjadi lautan hijau yang berombak. Amat mempesonakan.

Sekumpulan burung pipit terbang lalu, tidak menghiraukan padi-padian yang belum menumbuhkan padi. Di musim seperti itu, burung-burung itu harus terbang sampai jauh untuk memperoleh makanan. Nanti kalau sudah dekat masa panen, ketika padi-padian telang menguning, ribuan burung pipit akan berpesta pora di swah-sawah, berlomba dengan para petani yang berusaha mengusir mereka dengan orang-orangan yang di gerakkan dengan tali yang di tarik-tarik.

Lee Cin menghela napas panjang. Seringkali ia merasa tenggalam kalau sedang mengamati keindahan alam, tenggalam kedalam keindahan itu sendiri sehingga tidak ada batas ruang antara ia dan pemandangan itu. Ia juga menjadi satu dengan alam di sekelilingnya. Kalau sudah begitu, ia merasa dirinya tidak ada lagi, tidak ada lagi si aku yang mengaku-ngaku, yang ada hanyalah keutuhan alam itu.

Kembali ia menghela napas panjang. Begitu pikirannya bekerja, lenyap perasaan bersatu itu dan ia kembali menjadi Lee Cin yang sedang memandangi keindahan alam dan timbul rasa kehilangan yang aneh, yang membuatnya menghela napas panjang berulang kali.

Lee Cin menuruni lereng terakhir dari Bukit Ular dan tibalah ia di daerah pegunungan yang bertanah subur. Mulailah ia bertemu dengan orang-orang. Ketika melihat sepasang suami isteri tua sedang membersihkan rumput-rumput liar yang yang tumbuh di dekat batang-batang padi, bekerja sama dengan rukun dan nampak asyik, ia termenung.

Pria itu sebaya dengan ayahnya dan wanita itu tentu isterinya. Mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun. Begitu rukun bekerja sama. Keakraban yang nampak tanpa kata. Dan hati Lee Cin merasa terenyuh. Ia teringat akan ayah dan ibunya. Ayahnya Souw Tek Bun yang kini berusia empat puluh tujuh tahun. Sudah menyadari akan kesalahannya ketika dia dahulu meninggalkan ibunya.

Ayahnya ingin berkumpul lagi dengan ibunya, namun ibunya mendendam sakit hati yang berlebihan. Padahal ia sudah membunuh isteri ayahnya. Akan tetapi ibunya masih juga penasaran dan sakit hatinya itu hanya akan dapat terobati kalau sudah dapat membunuh ayahnya!

Ah, betapa akan bahagia rasa hatinya kalau ayah dan ibunya dapat hidup bersama sebagai suami isteri, seperti sepasang petani itu. Ayahnya sudah merasa bersalah dan hendak menebus kesalahannya dengan membahagiakan ibunya kalau ibunya mau hidup bersama.

“Ayah, kasihan engkau“, Lee Cin berbisik membayangkan betapa ayahnya sering kali duduk melamun seperti orang kehilangan akal. Ia tahu benar betapa ayahnya amat merindukan ibunya. Mengingat keadaanayahnya ini, Lee Cin segera berlari pulang ke lereng Hong-san yang sudah nampak dari situ.

Setelah tiba di pondok tempat tinggal ia dan ayahnya, sebuah pondok kayu yang sederhana namun kokoh kuat dan bersih, di kelilingi taman bunga yang di rawat oleh Lee Cin sendiri, gadis itu melihat keadaan di situ sunyi sekali, tidak seperti biasanya. Biasanya ayahnya bangun pagi-pagi sekali, berlatih silat untuk menjaga kesehatannya.

emudian ayahnya akan membelah kayu atau mencari air di pancuran air belakang rumah mereka atau kalau tidak ada sesuatu yang dikerjakan, ayahnya tentu akan duduk di taman bunga, menghirup hawa segar. Jarang ayahnya berdiam di dalam rumah saja. Akan tetapi, ketika ia tiba di pekarangan rumah mereka, tidak nampak bayangan ayahnya.

“Ayah....!” Ia memanggil. Sepi saja. Dengan heran Lee Cin berlari ke pintu depan yang terbuka, lalu masuk ke dalam ia mendengar rintihan dan cepat ia memasuki kamar ayahnya. Dan ayahnya berada di kamarnya, rebah telentang sambil merintih lirih.

“Ayahhhhhh….!! Engkau kenapa…..?” Lee Cin cepat menghampiri ayahnya, duduk di tepi pembaringan dan segera memeriksa tubuh ayahnya.

Ia melepaskan ular hitam yang melilit pinggangnya dan melemparkannya ke bawah. Ular itu, bagaikan binatang peliaharaan yang telah jinak, merayap ke sudut kamar dan melingkar di sana. Setelah memeriksa dengan kaget Lee Cin melihat ada tanda telapak jari di dada ayahnya. Pukulan yang mengandung sinkang kuat telah melukai ayahnya.

“Ayahh ….!” Ia memanggil lagi.

Akan tetapi agaknya Souw Tek Bun masih setengah pingsan, hanya dapat merintih sedikit akan tetapi belum membuka matanya. Lee Cin tahu apa yang harus di lakukannya. Ia merobek baju ayahnya, kemudian duduk bersila di dekat ayahnya, menempelkan kedua telapak tangannya di dada ayahnya, lalu mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh pukulan tangan hitam itu.

Ia merasa betapa ada hawa panas menyambut kedua tangannya, akan tetapi ia melawan dan mengerahkan tenaganya untuk mengusir hawa panas dari pukulan telapak hitam itu. Setelah ia berkeringat dan melawan sampai setengah jam, barulah ayahnya kembali merintih, kini agak kuat rintihannya dan ia melihat ayahnya membuka matanya.

“Ayah….!”

Souw Tek Bun memandang puterinya dan memanggil lirih, “Lee Cin....“

“Ayah, siapa yang telah melakukan ini kepadamu? Katakanlah siapa orangnya?” Tanya Lee Cin hampir menangis. Tanda telapak tangan hitam itu masih belum lenyap, menandakan bahwa pukulan itu memang hebat sekali.

“Lee Cin… Aku tidak mengenal dia siapa…?“

Melihat ayahnya harus mengerahkan kekuatan untuk bicara, Lee Cin kembali menaruh kedua tangannya ke dada ayahnya sambil berkata, “Ayah jangan bergerak atau bicara dulu. Akan ku coba mengusir hawa pukulan itu!”

Souw Tek Bun membiarkan puterinya melawan hawa pukulan itu sampai satu jam lamanya. Dahi dan leher gadis itu sudah penuh keringat. Warna telapak tangan itu tidak begitu hitam lagi, akan tetapi masih belum hilang.

“Cukup Lee Cin. Jangan memaksakan dirimu, engkau bisa terluka“ Bengcu itu mencoba untuk bangkit duduk, di bantu puterinya. Dia dapat duduk bersandar bantal.

“Pukulannya hebat sekali. Pukulan itu merusak otot-otot di tubuhku. Masih terasa nyeri sekali, jaringan otot-ototku seperti di gigiti ribuan semut….. ahhh…..“ Dia menekan dadanya menahan nyeri.

“Nanti dulu ayah. Aku pernah mempelajari It-yang-ci, dan menurut locianpwe In Kong Thaisu, ketua Siauw-lim-pay yang mengajarkan ilmu itu, dapat mengobati luka-luka dalam yang hebat. Akan ku cobakan kepadamu.“

Souw Tek Bun mengangguk, lalu duduk bersila tegak, Lee Cin menghimpun tenaganya kemudian ia mengisi jari-jari tangannya dengan tenaga sakti itu, mengerahkan ilmu totokan It-yang-ci dan menotok beberapa bagian di pundak dan dada ayahnya.

“Uhh….!” Souw Tek Bun muntah darah menghitam, akan tetapi dadanya terasa lega dan tidak begitu nyeri lagi.

“Cukup, Lee Cin. Agak enakan sekarang, tidak begitu nyeri lagi. Akan tetapi, aku harus minum obat pembersih darah dan penguat badan. Kau ambilkan bungkusan obat itu dan cepat masak, ku rasa sekarang tidak ada lagi bahaya maut bagiku.“

Lee Cin melaksanakan permintaan ayahnya. Ia memberi obat itu kepada ayahnya untuk di minum, kemudian ia mengambilkan ganti pakaian ayahnya karena bajunya sudah robek. Ia memakaikan baju itu, lalu menyuruh ayahnya rebah kembali, menyelimutinya.

“Ayah, apakah ayah telah merasa nyaman? Kalau belum kuat benar, jangan ayah banyak bicara dulu.“

“Sudah enakan sekarang, tidak ada yang menusuk-nusuk dan menggigiti lagi. Ku rasa nyawaku telah dapat di selamatkan. Ilmu totokan It-yang-ci darimu itu memang ampuh. Sungguh beruntung engkau dapat menerima ilmu itu dari In Kong Thaisu.“

Mendengar kata-kata ayahnya sudah keluar dengan lancar dan tidak perlu menggunakan banyak tenaga, Lee Cin lalu bertanya. “ Ayah, apa yang telah terjadi?”

Souw Tek Bun menghela napas panjang. “Sejak dahulu, aku sudah tidak begitu suka di angkat menjadi seorang bengcu. Memang benar bahwa sebagai bengcu aku di hormati orang seluruh dunia kang-ouw karena mereka memandang aku sebagai pemimpin yang akan mengadili kalau terjadi suatu kesalah pahaman atau permusuhan di antara orang kang-ouw.

Akan tetapi, kedudukan inipun membuat banyak orang kangouw menjadi iri hati. Ketika terjadi pemilihan Bengcu beberapa tahun yang lalu, sudah ada saja datuk kangouw yang merasa tidak setuju dan hendak menguji kepandaianku sehingga terjadi pertandingan. Semenjak itu aku selalu merasa khawatir kalau kedudukanku sebagai bengcu membuat banyak orang tidak senang, dan hari ini kekhawatiranku itu terbukti.“

“Ayah, siapakah datuk yang merasa tidak setuju ketika ayah di angkat menjadi bengcu?”

“Dia adalah Jeng-Ciang-Kwi (Iblis Bertangan Seribu)“

Dengan alis berkerut Lee Cin bertanya, “ Di mana adanya iblis itu, ayah?”

“Dia tinggal di Guha Tengkorak di Lembah Iblis Pegunungan Kwi-san. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan itu, Lee Cin?”

“Aku akan mencarinya. Kalau benar dia yang melukai ayah, aku akan mengadakan perhitungan dengan dia!”

“Jangan, Lee Cin. Aku hampir pasti bahwa penyerangku itu bukan Jeng-ciang-kwi. Iblis itu sekarang sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sedangkan orang berkedok hitam itu, melihat tubuhnya yang ramping, tentu muda. Pula punggungnya tidak bongkok seperti punggung Jeng-ciang-kwi.“

“Bagaimana sih terjadinya, ayah?”

Souw Tek Bun bercerita. Pagi tadi, seperti biasa, dia bangun pagi lalu berlatih silat di taman bunga sebelah kiri pondoknya. Taman di bagian ini memang di lengkapi dengan sepetak tanah berumput yang memang di sediakan untuk berlatih silat di alam terbuka.

Souw Tek Bun dan puterinya selalu berlatih silat di tangan kosong selama setengah jam, lalu bermain silat pedang selama setengah jam pula sehingga tubuhnya sudah berkeringat di pagi hari itu. Baru saja dia menyelesaikan silat pedangnya, terdengar orang berseru.

“Hemmm, kiranya begini saja beng-cu antek Kaisar Mancu itu!”

Souw Tek Bun terkejut bukan main. Kalau orang dapat datang ke tempat itu tanpa dia ketahui, hal itu sudah menunjukkan bahwa orang itu memiliki gin-kang yang lihai. Apa lagi mendengar sebutan “antek kaisar Mancu“ dia menjadi kaget dan cepat memutar tubuh menghadapi orang itu. Dia mengerutkan alisnya melihat seorang yang memakai kedok hitam di mukanya, rambutnya juga tertutup topi hitam.

Melihat pakaian yang ringkas dan pedang di punggung orang itu, dia dapat menduga bahwa yang datang ini tentu seorang kalangan kang-ouw. “Sobat“, katanya dengan tenang. “Kalau engkau hendak bicara dengan aku, silahkan membuka kedok. Hanya orang pengecut saja yang tidak berani memperkenalkan mukanya dan aku yakin engkau bukan seorang pengecut!”

“Ha-ha-ha!” Orang itu tertawa dan dari suaranya, Souw Tek Bun menduga bahwa dia adalah seorang pria muda. “Souw Tek Bun eh….. Beng-cu, kau boleh mengoceh apa pun juga selagi engkau masih bernapas. Aku datang untuk membunuh seorang antek Kaisar Mancu yang tidak tahu malu seperti engkau!”

Souw Tek Bun menduga bahwa orang ini tentu seorang pejuang patriot yang membenci kaisar penjajah. Memang banyak di antara pendekar yang membenci pemerintah Mancu yang menjajah tanah air.

Akan tetapi, dia sendiri biarpun bukan seorang pembenci Kaisar Mancu, bahkan yang pernah membantu Pemerintah Kerajaan Mancu dengan membasmi kawanan perusuh sehingga dia mendapat hadiah Pedang Ceng-liong-kiam dari kaisar Kian Liong.

Namun tidak sudi di sebut antek Kaisar Mancu. Kaisar itu hendak menganugerahkan pangkat besar kepadanya, namun hal itu di tolaknya. Dan selama ini, dia menghormati para patriot yang hendak berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan orang Mancu.

“Sobat, engkau salah duga kalau mengira aku seorang antek Mancu, walaupun aku tidak pernah menentang pemerintah Mancu. Aku bukan anteknya dan aku tidak membenci Kaisar karena dia seorang yang baik dan tidak menindas rakyat.“

“Hemmm, pandai engkau bersilat lidah! Engkau mau menjadi bengcu karena yang memilih adalah Panglima utusan Kaisar. Padahal, kepandaianmu tidak pantas untuk menjadikan engkau seorang bengcu. Coba buktikan kalau engkau seorang bengcu dan hadapi pedangku ini!”

Orang berkedok hitam itu meraih ke belakang punggungnya dan tampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedangnya.

Souw Tek Bun masih memegang Ceng-Liong-Kiam, akan tetapi dia tidak mengangkat pedangnya. “Sobat, ku kira engkau seorang patriot yang membenci pemerintah Mancu. Aku tidak pernah menghalangi perjuangan para patriot dan aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian!“

“Souw Tek Bun, beginikah sikap seorang bengcu dunia kangouw? Percuma saja engkau di pilih dan mau menjadi bengcu kalau engkau hanya seorang pengecut yang tidak berani melawan kalau di tantang orang! Kalau engkau jantan, hayo lawan aku atau aku akan membunuh engkau begitu saja seperti cacing!”

Orang itu mengelebatkan pedangnya terus menusuk kearah dada Souw Tek Bun. Bengcu ini miringkan tubuhnya mengelak, akan tetapi pedang orang itu membalik dan membacok kea rah lehernya. Souw Tek Bun masih mengalah dengan loncatan ke belakang.

Akan tetapi orang berkedok itu tidak menghentikan penyerangannya, bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Karena serangan selanjutnya merupakan serangan maut yang dahsyat sekali, Souw Tek Bun tidak dapat mengelak terus dan menangkis dengan Ceng-liong-kiam sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

“Traanngggg….!” Akan tetapi Souw Tek Bun kecelik kalau mengira bahwa pedang lawan akan patah bertemu pedang pemberian Kaisar itu. Dia bahkan merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat, tanda bahwa orang itu pun memiliki singkang yang amat kuat. Tahu bahwa lawannya bukan orang sembarangan, Souw Tek Bun lalu balas menyerang dan terjadilah perkelahian yang seru.

Souw Tek Bun memainkan ilmu pedang keluarganya yang membuat dia pernah di juluki Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis). Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar. Akan tetapi alangkah kaget hati bengcu ini ketika lawannya juga memainkan pedang secara hebat.

Dua gulungan sinar pedang saling belit dan saling desak dengan hebatnya. Mereka saling serang bergantian dan Souw Tek Bun mendapat kenyataan betapa lawannya itu memang lihai bukan main. Katakanlah dia masih menang sedikit dalam ilmu pedang.

Akan tetapi dia harus mengaku bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah setingkat. Tenaga sakti orang berkedok itu kuat bukan main sehingga setiap kali beradu lengan kiri, dia yang terdorong ke belakang sampai dua tiga langkah.

Mereka bertanding sampai seratus jurus lebih! Saling desak dan saling mengeluarkan jurus-jurus terampuh menjadi serangan maut. Pada suatu saat, ketika lengan kiri mereka beradu dan Souw Tek Bun terhuyung ke belakang, lawannya mendesak dengan tusukan pedang kearah dada. Souw Tek Bun sudah memperhitungkan hal ini.

Maka dia miringkan tubuh ke samping dan dari samping dia mengelebatkan pedangnya yang mengenai lengan kanan lawan sehingga baju dan kulitnya terobek berdarah! Akan tetapi, dengan tiba-tiba tanpa di duga-duga oleh Souw Tek Bun, tangan kiri orang itu memukul dadanya dengan kekuatan hebat sekali.

“Desss…..!!” Tubuhnya terpental sampai tiga meter dan dia terbanting jatuh ke atas tanah. Pukulan itu demikian hebatnya sehingga Souw Tek Bun merasa dadanya panas dan seperti pecah, terasa nyeri bukan main.

Si kedok hitam itu tertawa bergelak. “Cukup sekali pukulan itu saja, Souw Tek Bun. Pukulan yang sekali itu kalau tidak membunuhmu, sedikitnya akan melenyapkan tenaga sinkangmu selama bertahun-tahun. Itulah ilmu pukulan merontokan Jalan darah! Selamat tinggal dan selamat mampus ha-ha-ha!” Si Kedok hitam itu lalu meloncat dan lenyap dari taman itu.

Souw Tek Bun menghela napas panjang sambil memandang Lee Cin yang sejak tadi mendengarkan penuturan ayahnya dengan penuh perhatian.

“Demikianlah, Lee Cin. Aku sendiri tidak tahu siapa orang itu, berapa usianya. Hanya yang ku ketahui, bicaranya teratur baik, tidak kasar dan bentuk tubuhnya sedang saja. Mungkin dia seorang pria muda yang terpelanjar dan ilmu silatnya sungguh hebat, terutama sekali tenaga saktinya. Ucapannya itu bukan sekedar bualan belaka. Aku merasa bahwa aku telah terkena pukulan istimewa biarpun andaikata tidak membuat aku mati, akan tetapi mungkin sekali aku tidak akan dapat menggunakan tenaga sinkang lagi sampai lama sebelum aku sembuh benar.“

Lee Cin bangkit dengan marah. Kedua tangannya di kepal dan dengan muka merah ia berkata, “Aku tidak terima! Aku akan mencari dia sampai dapat dan aku akan membuat perhitungan dengannya!“ Matanya mencorong dan ia membanting-banting kaki, cuping hidungnya berkembang-kempis.

Souw Tek Bun memandang dengan bengong. Dia seperti melihat ibu gadis itu, Bu Siang yang di waktu masih gadis persis seperti Lee Cin. “Jangan, Lee Cin. Selain amat sukar mencari seorang yang belum kita ketahui mukanya, juga apa artinya? Dia seorang patriot yang membenci penjajah Mancu, membenci Kaisar mancu yang di anggap membelenggu rakyatnya.“

“Kalau dia membenci Kaisar mancu, mengapa bukan Kaisar mancu saja yang dia serang atau bunuh? Mengapa harus ayah yang menjadi tumpahan marahnya? Aku tetap tidak mau terima dan harus mencarinya sekarang juga! Gadis itu melangkah hilir mudik dalam kamar ayahnya, seperti seekor singa betina dalam kerangkeng.

“Aku tidak mungkin tinggal diam saja. Akan tetapi ayah... bagaimana kalau ku tinggal seorang diri? Ah, aku akan mencari seseorang di dusun bawah lereng sana, akan ku minta dia untuk melayani ayah. Sekarang juga aku akan mencari seorang pembantu, ayah!” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban ayahnya, gadis itu sudah berlari keluar.

Souw Tek Bun hanya menghela napas panjang. Dia mengerti betapa keras hati puterinya dan akan celakalah orang itu kalau dapat di temukan puterinya. Biarpun si kedok hitam itu lihai, akan tetapi kalau melawan puterinya, sukar baginya untuk dapat menang.

Bertanding melawan dirinya saja sampai lebih dari seratus jurus baru mendapatkan kemenangan. Itu pun dengan lengan terluka pedangnya. Padahal, ilmu silat yang di miliki Lee Cin jauh lebih tinggi daripada tingkatnya.

Tak lama kemudian, Lee Cin datang kembali di ikuti seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Dia seorang petani yang hidup sebatang kara di dusun berdekatan dan segera menyatakan kesediannya ketika di minta tolong oleh Lee Cin untuk merawat ayahnya, tentu saja dengan menerima uang pembayaran secukupnya.

Melihat kekerasan hati puterinya untuk mencari orang yang telah menyerang dan melukainya. Souw Tek Bun memesan kepada puterinya. “Baiklah, kalau kukuh keinginanmu untuk mencari si Kedok Hitam itu, aku pesan agar engkau berkunjung ke Kun-lun-pai atau Siuw-lim-pay, temui Im Yang Sengcu atau Hui Sian Hwesio dan laporkan kepada seorang di antara mereka bahwa aku mengundurkan diri dari kedudukan bengcu.“

Lee Cin mengerutkan alisnya. ia tidak keberatan akan keputusan ayahnya ini karena menjadi bengcu banyak tidak enaknya. Keuntungannya tidak ada, bahkan kerugian yang di derita karena banyak orang menjadi iri hati. Akan tetapi ia tidak tahu mengapa harus mengunjungi Kun-lun-pai atau Siauw-lim-pai?

“Ayah mengapa ayah harus melapor kepada mereka berdua kalau ayah mengundurkan diri? Apa hubungannya dengan mereka?“

“Kedua orang tokoh itulah yang dahulu menolak kedudukan bengcu dan mengalihkan kepadaku. Karena di desak dan di minta banyak orang, aku tidak dapat menolak dan mau menjadi bengcu dengan syarat bahwa kedua orang tokoh itu mau menjadi penasehat dan pembantuku. Karena itu, sekarang aku mengembalikan kedudukan itu kepada mereka berdua atau seorang di antara mereka.“

“Baik, ayah. Akan tetapi karena Siauw-lim-pai di Kwi Cu lebih dekat dari pada Kun-lun-pai, aku hendak mencarinya ke Kwi-cu dan kalau Hui Sian Hwesio tidak berada di sana, aku akan melapor saja kepada ketua Siauw-lim-pai yang sudah ku kenal, yaitu In Kong Thaisu...“

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.