Dewi Ular Jilid 02

Cerita Silat Mandarin serial gelang kemala seri dewi ular jilid 02 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Ular Jilid 02

SETELAH berkemas, berangkatlah Lee Cin meninggalkan ayahnya, menuruni pegunungan Hong-san dimana ia telah tinggal bersama ayahnya selama dua tahun lebih. Pagi hari itu Lee Cin menuruni pegunungan. Ada perasaan gembira di hatinya, seperti seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya dan terbang melayang di angkasa bebas merdeka.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Selama tinggal di Hong-san, Lee Cin telah kehilangan rasa bebas lepas ini, karena ia harus melayani ayahnya. Ia sudah rindu akan alam kebebasan, rindu akan petualangan di dunia kang-ouw seperti yang pernah ia lakukan sebelum ia tinggal bersama ayahnya. Banyak yang harus ia lakukan.

Selain mencari si Kedok hitam yang telah melukai ayahnya, pekerjaan yang sukar karena ia tidak tahu bagaimana macamnya si Kedok hitam tahu namanya dan tidak tahu pula dimana ia bisa menemukannya. Ia harus pula menghadap Hui San Hwesio atau Im Yang Sengcu dan ia ingin pula mencari ibu kandungnya, yaitu Ang-tok Mo-li yang tinggal di Bukit Ular Merah di Lembah Huangho.

Orang tidak akan mengira bahwa gadis cantik jelita yang berlenggang menuruni pegunungan Hong-san itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ia masih membawa Ang-tok-kiam (Pedang Racun Merah) pemberian ibunya. Pedang itu tidak nampak dari luar karena ia belitkan di pinggang menjadi semacam sabuk merah yang indah. Sulingnya terselip di ikat pinggang ini dan sekali ini ia tidak membawa ular hitamnya.

Ia melepaskan ular hitam yang jinak itu di Bukit Ular. Ini adalah karena ia menuruti nasehat ayahnya. Kata ayahnya, kalau ia pergi membawa-bawa ular hitam, orang tentu akan menyangka buruk kepadanya, mengira ia seorang tokoh sesat dari dunia kang-ouw. Juga ayahnya berpesan kepadanya agar ia tidak mencari permusuhan di luar dan sama sekali tidak boleh mengumbar nafsu membunuhi orang-orang.

“Orang-orang yang tersesat dalam dunia kejahatan, tidak semestinya kalau di benci, bahkan patut di kasihani. Mereka itu tiada bedanya dengan orang yang sedang sakit, sakit jiwanya karena di cengkram nafsu. Akan tetapi orang sakit, bagaimana beratpun akan sewaktu-waktu sembuh.

Demikian pula orang yang jahat itu sewaktu-waktu dapat menyadari kesalahannya dan bertaubat. Sebaliknya, yang waras dan sehat tidak selamanya demikian, sekali waktu bisa saja terserang penyakit dan jatuh sakit seperti orang yang berbudi baik belum tentu selamanya akan tetap baik, sekali waktu bisa saja ia tergoda dan melakukan kejahatan.

Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia sempurna sepenuhnya di dunia ini, pasti ada kelemahannya. Akan tetapi Tuhan Maha Pengampun dan orang yang merasa berdosa dan mohon pengampunan dari dosanya kepada Tuhan, dia pun harus dapat mengampuni kesalahan orang lain!

Pesan itu masih terngiang di dalam telinganya ketika Lee Cin menuruni lereng terakhir dari pegunungan Hong-san. Kini ia menyadari sepenuhnya betapa gurunya atau juga ibu kandungnya itu hidup dalam kesesatan. Ibunya berhati baja, amat keras dan kejam, tidak pernah mau mengampuni siapa saja yang di anggapnya musuh, dapat membunuhi orang tanpa berkedip.

Dan sejak kecil ia di didik seperti itu oleh ibunya. Akan tetapi kini kini ia menyadari betapa kelirunya watak seperti watak ibunya itu betapa jauh bedanya dengan watak ayahnya. Akan tetapi ayahnya mengatakan bahwa betapa jahatnya seseorang, seperti juga betapa hebat sakit yang di deritanya, orang itu akan dapat menjadi sadar dan bertaubat, seperti juga orang sakit akan dapat menjadi sembuh.

Adakah harapan bagi ibunya untuk menjadi sadar akan kekeliruannya dan kembali ke jalan bersih? Ia akan mencoba menyadarkannya!

Menghadapi beberapa tugas penting itu, Lee Cin menjadi bersemangat dan timbul kegembiraannya. Setidaknya ada tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya.


Kita tinggalkan dulu Lee Cin yang menuruni pegunungan Hong-san untuk melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya dan mari kita melihat peristiwa hebat yang terjadi di bagian lain dari daerah kota raja, dua tahun yang lalu.

Dua tahun yang lalu, terjadi usaha pemberontakan yang di pimpin oleh mendiang Pangeran Tang Gi Lok yang di kenal dengan sebutan Pangeran Tua, di bantu oleh banyak datuk dan tokoh kang-ouw (baca kisah Gelang kemala). Akan tetapi usaha pemberontakan itu gagal oleh para pendekar yang di pimpin oleh pendekar Song Thian Lee yang kini di angkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Kian Liong.

Dan Lee Cin juga ikut pula membantu Song Thian Lee, pendekar muda yang pernah menjatuhkan hati dara perkasa itu, akan tetapi kemudian Lee Cin terpaksa mundur ketika mendapat kenyataan bahwa Thian Lee mencinta gadis lain bernama Tang Cin Lan, puteri dari Pangeran Tang Gi Su, yang kini telah menjadi isteri Panglima Besar Song Thian Lee (semua ini terjadi dalam kisah Gelang Kemala).

Banyak tokoh sesat yang membantu Pangeran Tang Gi Lok atau Pangeran Tua yang tewas dalam penggebrekan pasukan kerajaan, sama pula nasibnya dengan Pangeran Tua yang membunuh diri setelah melihat usaha pemberontakannya gagal sama sekali.

Ada pula yang tertawan dan di hukum, sebagian besar di hukum mati karena memberontak merupakan dosa yang paling besar. Ada pula yang di hukum buang, yaitu mereka yang masih masuk sanak keluarga Kaisar yang ikut-ikutan memberontak atau mereka yang tadinya telah melakukan jasa besar dalam pemerintahan.

Di antara mereka yang tidak di hukum mati itu terdapat seorang datuk sesat bernama Thian-te Mo-ong Koan Ek. Thian-te Mo-ong terbawa dalam pemberontakan karena janji-janji muluk dari Pangeran Tua dan mengingat bahwa dia seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dan bahwa dia hanya ikut-ikutan saja, diapun di hukum buang ke luar tembok besar.

Thian-te Mo-ong yang ikut pula bertempur ketika pusat para pemberontak di serbu pasukan kerajaan, dapat di tangkap ketika dia di hadapi oleh Lee Cin dan Tang Cin Lan yang kini menjadi isteri Song Thian Lee. Dua orang pendekar wanita yang lihai ini akhirnya dapat merobohkan Thian-te Mo-ong dan pasukan lalu menelikung dan menawannya.

Akan tetapi terjadi hal yang di luar dugaan semua orang. Pada saat bekas datuk besar ini di buang, di masukkan ke dalam kerangkeng dan di belenggu kaki tangannya, seperti seekor binatang buas yang berbahaya, dan kerangkeng yang beroda di dorong oleh para perajurit, di kawal oleh seregu perajurit berjumlah dua lusin orang, datuk besar ini memberontak.

Ketika kerangkeng itu tiba di dekat Tembok Besar yang sunyi, tiba-tiba saja Thian-te Mo-ong meronta, belenggu kaki tangannya patah-patah dan sekali ia bergerak, dia telah menjebol kerangkeng itu! Para perajurit tentu saja menjadi kaget dan mengepungnya, akan tetapi apa artinya dua lusin perajurit bagi seorang datuk besar seperti Thian-te Mo-ong?

Biarpun tubuhnya yang tinggi kurus itu tidak nampak kokoh kuat, akan tetapi begitu dia menggerakkan kaki tangannya banyak senjata golok terlempar dan banyak perajurit terpelanting. Kemudian dengan mudahnya dia lari seperti terbang cepatnya, tidak dapat di kejar lagi oleh para perajurit dan diapun lenyap di dalam hutan belukar di pegunungan yang luas dan liar itu.

Akan tetapi, karena ketika berada dalam tahanan dia menerima penyiksaan berat sehingga sekujur tubuhnya luka-luka dan nyeri semua, ketika dia memaksakan diri melarikan diri, rasa nyeri tubuhnya makin menjadi dan akhirnya dia terpelanting roboh pingsan di tengah hutan dengan kaki tangan masih di lingkari belenggu yang rantainya sudah dia putuskan ketika meronta tadi. Kedua kaki dan tangannya masih terikat belenggu yang belum sempat dia lepaskan.

Ketika Thian-te Mo-ong menggeletak di hutan itu selama lebih dari satu jam, seekor harimau hitam melangkah perlahan-lahan mendekatinya dan mencium-cium dengan hidungnya yang mendengus-dengus. Agaknya harimau itu tidak percaya bahwa ada mangsa yang demikian saja berada di depannya, tanpa dapat melarikan diri atau melawan. Harimau itu menggunakan kaki depannya yang kokoh kuat, mengguling-gulingkan tubuh Thian-te Mo-ong.

Orang tua yang usianya sudah lima puluh lima tahun ini mengerang dan merintih. Ketika dia membuka matanya, dia terbelalak kaget melihat moncong harimau begitu dekat dengan mukanya! Agaknya sudah tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup. Bagaimanapun lihainya, pada saat itu dia kelelahan dan kesakitan, dan harimau itu sudah tinggal menerkam saja dengan kuku-kukunya yang runcing dan menggigitnya dengan taring yang kuat.

Pada saat yang amat gawat baginya keselamatan Thian-te Mo-ong itu, tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan putih. Begitu berkelebat datang bayangan putih itu menggunakan kakinya menendang perut harimau hitam!

“Desss….!“ Harimau itu terlempar sampai tiga tombak. Akan tetapi dia adalah seekor binatang yang kuat sekali. Begitu tubuhnya terbanting jatuh, dia sudah bangkit lagi dan menggereng-gereng memperlihatkan taringnya, memandang dengan marah kepada seorang pemuda berpakaian serba putih yang sudah berdiri dekat Thian-te Mo-ong yang masih rebah.

Sekali lagi harimau itu mengaum dan tubuhnya sudah siap untuk lari maju dan menerkam, akan tetapi pemuda baju putih itu dengan tenang menggerekkan tangan kanannya dan tiga pucuk sinar kilat menyambar kea rah harimau itu. Binatang itu tidak sempat mengelak dan tiga batang pisau belati telah mengenai leher, muka dan lambungnya!

“Craatt-craatt-crrattt….!”

Sabitan pisau terbang itu tepat sekali, terutama yang mengenai muka. Pisau menancap di antara kedua mata binatang itu. Yang mengenai leher dan lambung juga menancap sampai ke gagangnya. Binatang itu melompat ke atas lalu jatuh lagi berdebuk di atas tanah menggeram-geram dan berkelonjotan sekarat.

Pemuda itu tidak memperdulikan lagi harimau yang sekarat itu dan dia berjongkok dekat tubuh Thian-te Mo-ong untuk memeriksa keadaan orang tua yang hampir saja menjadi mangsa harimau hitam yang kelaparan itu.

Tiba-tiba pemuda itu terbelalak dan terkejut bukan main ketika tanpa di duga-duga kedua tangan orang yang di tolongnya itu bergerak dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi kaku terkena totokan yang kuat sekali. Biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, namun dia masih dapat bicara dan pemuda itu berkata dengan suara mengandung penasaran.

“Kenapa engkau lakukan ini kepadaku? Aku telah menolongmu…”

Thian-te Mo-ong bangkit duduk, mengamati wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang kurang lebih dua puluh dua tahun usianya, bertubuh tinggi besar berkulit putih dan berwajah tampan. Rambutnya yang subur dan tebal di kuncir ke belakang dan sepasang matanya mencorong.

“Hayo katakan siapa engkau dan mengapa engkau berada di sini! Awas, sekali engkau berbohong dan menimbulkan kecurigaanku, engkau tentu ku bunuh!” Thian-te Mo-ong memandang ke arah pakaian pemuda itu yang terbuat dari sutera putih bersih dengan garis kuning dan di punggungnya terdapat sebatang pedang. Pemuda ini nampak gagah dan ganteng sekali.

“Aku bernama Ouw Kwan Lok, locianpwe.“, kata pemuda itu yang baru menyadari bahwa kakek yang di tolongnya itu ternyata lihai bukan main. Hanya seorang yang berilmu tinggi saja yang dapat menotoknya dan membuat dia tidak mampu bergerak. Kalau hanya ilmu totokan biasa saja, jangan harap akan dapat membuat tubuhnya yang kebal dengan sinkang itu menjadi tidak berdaya seperti itu.

“Mengapa engkau berada di sini? Dan engkau hendak pergi kemana?” Thian-te Mo-ong mencabut pedang yang berada di belakang punggung pemuda itu dan mengancam pemuda itu dengan menempelkan pedang di lehernya. “Hayo jawab sejujurnya kalau engkau tidak ingin lehermu ku penggal dengan pedangmu sendiri!”

Pemuda itu tenang saja dan tersenyum. “Locianpwe, tidak perlu lagi locianpwe menggertak aku karena aku sudah tidak bergerak, dan aku percaya sepenuh keyakinanku bahwa seorang tua sakti seperti locianpwe tidak akan membunuh seorang pemuda tanpa kesalahan dan tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri!”

Pemuda itu bicara dengan sikap halus dan wajahnya tersenyum. Hal ini diam-diam mengejutkan dan mengagumkan hati Thian-te Mo-ong. Pemuda ini memiliki kecerdikan dan juga ketenangan yang luar biasa. Dalam keadaan terancam nyawanya seperti itu masih bersikap tabah dan sedikitpun tidak kelihatan takut.

“Cepat jawab pertanyaanku tadi!” bentaknya.

“Aku datang dari luar Tembok Besar di utara, sengaja datang ke selatan untuk mencari guruku yang sudah hampir setahun pergi ke selatan dan tidak ada beritanya. Dalam perjalanan ke utara itu ini hari aku lewat di sini dan melihat locianpwe dan harimau hitam tadi.“

“Siapa gurumu itu?”

"Locianpwe seorang sakti tentu sudah mendengar tentang guruku. Dia adalah datuk dari utara yang berjuluk Pak-thian-ong."

Thian-te Mo-ong membelalakkan matanya. Tentu saja dia mengenai pak-thian-ong (Raja Dunia Utara) yang bernama Dorhai dan bahkan mereka berdua telah bekerja sama membantu Pangeran Tua dalam pemberontakannya yang gagal. Pak-thian-ong adalah rekan dan sahabatnya

"Murid Pak-thian-ong?" Thian-te Mo-ong melepaskan pedangnya dan menggerakkan tangan membebaskan totokannya sehingga pemuda yang bernama ouw Kwan Lok itu dapat bergerak kembali. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengannya yang tadi menjadi kaku, lalu mengambil pedangnya dan memasukkannya ke dalam sarung pedangnya kembali.

"Agaknya Locianpwe mengenal baik guruku," kata pemuda itu sambil mengamati wajah Thian-te Mo-ong dan memandang ke arah pakaiannya yang serba hitam dari kain kasar itu.

Thian-te Mo-ong menghela napas panjang. "Bukan hanya mengenal. Gurumu dan aku adalah rekan seperjuangan menentang Kerajaan Ceng. Akan tetapi perjuangan kami gagal dan gurumu tewas dalam pertempuran."

Ouw Kwan Liok mengerutkan alisnya dan memandang wajah Mo-ong dengan penuh perhatian- "suhu tewas....?"

"Gerakan kami gagal, gurumu tewas dan aku sendiri tertawan. Ketika akan dihukum buang, aku memberontak di perjalanan dan melarikan diri sampai di hutan ini. Karena tubuh luka-luka dan kehabisan tenaga, aku agaknya jatuh pingsan di sini dan hampir saja menjadi mangsa harimau. Baiknya engkau datang dan membunuh harimau itu. Bagus, bagaimanapun juga persahabatanku dengan Pak-thian-ong tidak percuma. Ketahuilah ouw Kwan Lok, aku adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek."

Mendengar nama ini, Kwan Lok lalu menjatuhkan diri bertutut di depan kakek itu "Maafkan aku yang tidak mengenal Locianpwe sehingga bersikap tidak hormat. sudah lama aku mendengar akan nama besar Locianpwe disebut-sebut oleh suhu."

Thian-te Mo-ong mengangguk-angguk dan hatinya semakin tertarik dan senang. Seorang pemuda yang tabah, tenang, ramah dan juga tahu diri, pandai membawa diri. "Sudah, jangan memakai banyak peradatan. Tubuhku lemah dan perutku lapar sekali. Apakah engkau tidak membawa bekal makanan?" tanpa malu-malu kakek itu bertanya, sambil memandang buntalan kain kuning yang tadi diletakkan di atas tanah oleh pemuda itu ketika memeriksa tubuhnya.

"Aku tidak membawa bekal makanan, Locianpwe. Akan tetapi di sini terdapat daging harimau yang tentu akan lezat sekali. Tunggu akan kupanggangkan daging harimau yang dapat menyehatkan kembali tubuh Locianpwe."

Tanpa menanti jawaban, dengan cekatan Kwan Lok lalu menghampiri bangkai harimau hitam dan menggunakan pisau yang menancap di leher harimau untuk memotong bagian yang mengandung daging dari binatang itu. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun dan memanggang daging harimau yang ditusuknya dengan kayu yang banyak terdapat di situ. Dia pun memberi garam dan bumbu yang diambilnya dari buntalannya sehingga daging itu berbau sedap ketika dipanggang.

"Silakan, Locianpwe. Silakan makan daging panggang ini dan kebetulan sekali aku masih mempunyai persediaan anggur yang baik."

Dengan lahap Thian-te Mo-ong makan daging harimau panggang dan minum anggur itu dan tubuhnya terasa segar dan sehat kembali. Pemuda itu pun ikut makan dan keduanya merasa akrab satu sama lain.

Setelah selesai makan, ouw Kwan Lok bertanya, "Locianpwe Thian-te Mo-ong...."

"Jangan sebut-sebut lagi Thian-te Mo-ong. Nama itu sudah menjadi buronan pemerintah Kerajaan Ceng. Namaku Koan Ek. Sebut saja namaku, tanpa julukan apapun."

"Baiklah, Koan-locianpwe. setelah Locianpwe berhasil meloloskan diri dari hukuman, lalu apa yang akan Locianpwe lakukan selanjutnya? Apakah Locianpwe akan kembali selatan?"

"Dan engkau sendiri, bagaimana? setelah kau ketahui bahwa Pak-thian-ong tewas, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku belum tahu, Locianpwe. Aku menjadi bingung kehilangan pegangan. Apakah Locianpwe akan kembali ke selatan? Bukankah Locianpwe terkenal sebagai Datuk selatan?"

"Tidak. Aku tidak bisa kembali ke sana."

"Kalau begitu, mengapa Locianpwe tidak tinggal saja di utara? Locianpwe dapat tinggal bersamaku, menjadi pengganti suhu."

Thian-te Mo-ong atau yang sekarang menggunakan nama aselinya, Koan Ek bangkit berdiri dan berjalan hilir-mudik seperti seekor singa dalam ruangan tertutup. Dia harus berpikir keras. Dia tahu bahwa perbuatannya meloloskan diri dari para perajurit yang mengantarnya ketempat pembuangannya, tentu akan tersebar luas dan dia menjadi buronan pemerintah yang mengerahkan banyak perwira yang pandai dan tangguh, akhirnya dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi.

Kembali ke selatan sama dengan ular mendekati pemukul, sama dengan mencari penyakit atau menyerahkan diri, sebaliknya kalau dia memenuhi usul pemuda ini, dia akan bersembunyi di utara. Tidak akan ada orang menyangka sedikitpun bahwa Datuk selatan itu kini berada di utara, di luar Tembok Besar. Dan pemuda ini menarik hatinya. Seorang pemuda yang akan menyenangkan sekali kalau menjadi murid.

Pemuda ini sudah cukup lihai sebagai murid Pak-thian-ong, kalau kini dia ajarkan ilmu-ilmunya, pemuda ini kelak akan dapat membalaskan sakit hatinya kepada musuh-musuhnya. Dia masih ingat benar bahwa kejatuhannya sampai dia tertawan pasukan adalah ketika dia melawan dua orang gadis. Yang seorang adalah murid Ang-tok Mo-li dan puteri Bengcu yang bernama Souw Tek Bun.

Gadis itu sendiri bernama souw Lee Cin. Dan gadis ke dua bernama Tang cin Lan, puteri dari Pangeran Tang Gi su. Kalau ouw Kwan Lok menjadi muridnya, dia tentu akan dapat pergi dengan leluasa ke selatan, mencari dua orang gadis itu dan membunuh mereka.

"Baik, Ouw Kwan Lok. Aku mau tinggal bersamamu asalkan engkau suka menjadi muridku." Akhirnya Koan Ek mengambil keputusan.

Mendengar ucapan ini, Kwan Lok lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dengan wajah girang sekali. "Suhu, harap jangan khawatir. Teecu akan melayani semua keperluan suhu can teecu akan belajar dengan tekun dan memenuhi semua perintah suhu dengan patuh."

"Bagus Aku percaya kepadamu seperti aku percaya kepada Pak-thian-ong. Aku akan mengajarkan semua ilmuku kepadamu dan mengingat bahwa engkau pernah menjadi murid Pak-thian-ong sejak kecil, tingkat kepandaianmu tentu sudah tinggi dan dalam waktu dua tahun saja engkau akan dapat mempelajari semua ilmuku dengan baik. Akan tetapi aku memberikan semua ilmuku kepadamu dengan maksud agar kelak engkau dapat mewakili aku untuk membunuh musuh-musuhku yang telah mencelakakan aku."

Ouw Kwan Lok adalah seorang pemuda yatim piatu yang sejak kecil menjadi murid Pak-thian-ong. Dia lihai dan cerdik sekali, pembawaannya menyenangkan, lembut dan sopan maka dahulu Pak-thian-ong juga sayang sekali kepadanya dan telah mewarisi semua ilmunya. Mendengar ucapan gurunya yang baru itu, dia cepat berkata,

"Teecu siap, sebutkan saja nama dan tempat tinggal musuh-musuh suhu dan kelak teecu (murid) akan membasmi mereka membalaskan sakit hati suhu."

"Bagus, duduklah." setelah pemuda itu duduk di atas batu berhadapan dengan Koan Ek, bekas datuk selatan yang tadinya berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja lblis Langit Bumi), menceritakan dengan singkat nama musuh-musuhnya.

"Para musuhku ini juga menjadi musuh Pak-thian-ong pula, yang membuat gurumu yang pertama sampai tewas dan membuat aku celaka. Orang pertama yang harus kau binasakan adalah seorang muda bernama Song Thian Lee. Hati-hatilah kalau menghadapi orang ini karena dia lihai sekali. Akan tetapi setelah engkau mewarisi ilmu-ilmu Pak-thian-ong ditambah dengan ilmu-ilmu dariku pula, aku yakin engkau akan mampu menandinginya. Bunuhlah Song Thian Lee itu. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang gadis."

"Dua orang gadis?" tanya Kwan Lok seolah dia merasa heran meniapa gurunya dapat mendendam kepada dua orang gadis.

"Mereka pun bukan orang-orang sembarangan. Yang seorang bernama Souw Lee Cin. Ia ini murid Ang-tok Mo-li maka lihai sekali, dan gadis kedua bernama Tang Cin Lan, puteri Pangeran Tang Gisu. Nah, tidak perlu kusebutkan yang lain-lain, karena musuh-musuh utamaku adalah tiga orang ini. Dan engkau harus berhasil membunuh mereka."

"Akan teecu catat dan ingat nama-nama itu, suhu. Dan teecu berjanji akan menaati perintah Suhu, membunuh tiga orang itu."

Giranglah hati Koan Ek. Setelah melepaskan lelah, dia lalu mengikuti muridnya pergi ke utara. Mendiang Pak-thian-ong mempunyai sebuah rumah besar di sebuah kampung orang-orang Hui dan di tempat tersembunyi itulah Koan Ek tinggal bersama ouw Kwan Lok, dengan tekun mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu.

Bukan main girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kwan Lok memiliki bakat yang besar dalam ilmu silat, juga amat ralin berlatih.


Setelah dua tahun tinggal bersama, Kwan Lok sudah dapat menguasai semua ilmu silat yang diajarkan gurunya. Pada suatu pagi, Koan Ek memanggil muridnya untuk menghadap. "Semua ilmuku telah dapat kau kuasai dengan baik, murid ku. sekarang tibalah saatnya engkau membalas budi kepadaku dengan mencari dan membunuh tiga orang musuh besarku itu."

Kwan Lok mengangguk-angguk dan berkata, "Teecu juga pikir begitu, Suhu. Sudah tiba waktunya bagi teecu untuk berkecimpung di dunia kang-ouw dan melaksanakan perintah Suhu. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang musuh besar suhu itu pun musuh besar Suhu Pak-thian-ong, hal ini menambah semangat kepada teecu. Akan tetapi, teecu masih asing di dunia kang-ouw, tidak mengetahui keadaan di dunia kang-ouw, siapa yang boleh diajak berkawan dan siapa yang harus dilawan."

Koan Ek bercerita kepada muridnya. Dia mengatakan bahwa dua tahun yang lalu, dunia kang-ouw mengenal empat orang datuk besar. sebagai datuk besar selatan adalah dia sendiri dengan julukan Thian-te Mo-ong, sebagai datuk besar utara adalah mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar barat adalah Thian-tok Gu Kiat Seng dan datuk besar dari timur adalah siangkoan Bhok.

"Sekarang, setelah namaku sebagai datuk besar selatan telah terhapus, dan Pak-thian-ong sebagai datuk utara sudah tewas, yang tinggal hanya datuk timur siangkoan Bhok yang berjuluk Tung Ong tinggal sebagai majikan di Pulau Naga, dan Thian-tok Gu Kiat seng yang tinggal di daerah sin-kiang sebagai datuk barat."

"Di samping kedua datuk timur dan barat itu, siapa lagi di antara tokoh dunia persilatan yang berilmu tinggi, suhu?"

"Memang hal ini amat penting bagimu yang baru akan terjun ke dunia kangouw. Ada tokoh yang berjuluk Liok-te Lo-mo (lblis Bumi Tua) yang tinggal di kaki Pegunungan Tai-hang-san. Ada pula yang lebih lihai, yaitu Jeng-ciang-kwi (setan tangan seribu) yang tinggal di Guha Tengkorak di lembah iblis Pegunungan Kwi-san."

"Apakah hanya ada empat orang itu, suhu?"

"Empat orang itu yang sealiran dengan kita, bebas dan berkuasa di wilayah masing-masing, sering kali dimusuhi oleh para ahli silat yang menyebut diri mereka sendiri pendekar."

"Dan di antara para pendekar itu, apakah tidak ada yang lihai dan perlu dikenal namanya?"

"Wah, banyak sekali. Akan kuperkenalkan nama-nama yang kukenal saja, pertama adalah Im-yang seng-cu Ketua Kun-lun-pai yang juga berjuluk Pek-bi Lojin (Kakek Beralis Putih). Ke dua adalah Hui Sian Hwesio wakil Ketua siauw-lim-pai. Ke tiga adalah Tan Jeng Kun yang bertapa di pegunungan Thai-san. Ke empat adalah Pek I Lo-kai yang perantau dan tidak tentu tempat tinggalnya dan jangan dilupakan orang ke lima bernama Im Keng Thaisu Ketua siauw-lim-pai di Kwi-cu.

"Lima orang ini adalah orang-orang sakti dan engkau harus berhati-hati kalau berjumpa dengan mereka. Ada lagi wanita yang lihai berjuluk Ang-tok Mo-li yang wataknya aneh, tidak berpihak kepada kita juga tidak berpihak kepada para pendekar."

"Teecu akan ingat nama-nama besar itu, suhu, dan tidak akan bertindak sembarangan."

Setelah menerima banyak petunjuk gurunya, Kwan Lok lalu berangkat meninggalkan gurunya diperkampungan suku Hui itu dan membawa bekal uang sekadarnya, pakaian yang dibuntal kain kuning, pisau-pisau terbangnya dan sepasang pedang yang diterimanya dari suhunya.

Kemudian dia melakukan perjalanan ke selatan, seorang diri dengan pakaian serba putih. Dia melakukan perjalanan cepat, bagaikan seekor burung rajawali putih yang keluar dari sarangnya, lembut namun garang dan berbahaya.


Pulau itu kalau dilihat dari kejauhan, memang kelihatan seperti seekor naga. Karena bentuknya ini, maka pulau itu disebut Pulau Naga. setiap orang nelayan dan tukang perahu di seluruh pantai Lautan Timur, tentu mengenal pulau ini.

Akan tetapi mereka tidak berani terlalu keras membicarakan tentang Pulau Naga. Apa lagi, tidak ada yang berani mendekati pulau itu. Bahkan apa bila perahu mereka berlayar, mereka menghindari agar jangan terlalu dekat dengan pulau yang mereka takuti itu.

Ada apakah di Pulau Naga? Pulau itu menjadi tempat tinggal seorang datuk besar golongan sesat yang berjuluk Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur). Bahkan dia menjadi majikan pulau itu, karena pulau itu sudah dianggap sebagai miliknya sendiri. Pulau itu tidak terlalu besar, akan tetapi memanjang seperti bentuk tubuh naga. Luasnya sekitar dua puluh hektar dan pulau ini mempunyai tanah yang subur, dengan bukit kecil di tengah-tengah.

Karena pulau ini menjadi milik perorangan, maka penghuni pulau itu semua adalah anak buah datuk itu. Merupakan sebuah perkampungan besar dan Tang-hai-ong siangkoan Bhok menjadi majikannya atau raja keciinya. Anak buah datuk ini kurang dari seratus orang banyaknya, dan semua tinggal dipulau itu bersama keluarganya.

Para penghuni Pulau Naga itu rata- rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Dan bagi semua bajak laut, siangkoan Bhok dianggap sebagai datuknya, dan para bajak laut selalu memberi semacam upeti kepada keluarga siangkoan, tanda takluk.

Siapa berani melanggar tentu akan mengalami malapetaka. selain menerima upeti dari para bajak laut yang membuat keluarga siangkoan menjadi kaya-raya, juga para anak buah Pulau Naga bekerja sebagai nelayan di laut dan petani di darat. Keadaan Pulau Naga menjadi makmur.

Keluarga macam apakah siangkoan itu? Keluarga Siangkoan terdiri dari Siangkoan Bhok yang berusia lima puluh tujuh tahun, seorang isteri dengan seorang putera, dan belasan orang selir. Siangkoan Bhok seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah perkasa bermuka merah seperti Kwan Keng (tokoh dalam kisah Sam Kek). Ilmu silatnya tinggi sekali dan senjata dayungnya amat ditakuti lawan disegani kawan.

Dia merupakan seorang datuk besar dunia kang-ouw yang jarang memasuki daratan dan hidup dipulau itu seperti seorang raja. Untuk menjaga keamanan pulau yang dikuasainya, siangkoan Bhok mengadakan peraturan sendiri, yaitu bahwa wilayahnya yang tidak boleh dilanggar orang luar mencapai satu mil dari pantai ke laut. Karena siapa pun orangnya yang melanggar, perahunya tentu ditenggelamkan dan orangnya dibunuh.

Maka tidak ada lagi tukang perahu berani mendekatkan perahunya ke pulau itu. Tidak ada yang usil dan berani menentang kekuasaan siangkoan Bhok. bukan hanya karena anak buahnya banyak, akan tetapi terutama sekali karena kelihaian datuk besar ini. siangkoan Bhok menguasai bermacam-macam ilmu silat, bahkan pernah mempelajari ilmu silat Jepang dari seorang pendekat samurai ketika dia masih muda.

Dan yang terkenal di antara ilmu-ilmunya adalah ilmu tongkat swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang) yang dimainkan dengan dayung bajanya, ilmu silat Kui-liong-kun (silat Naga setan) yang dirangkainya sendiri, juga ilmu tangan beracun Ban-tok-ciang (Tangah selaksa Racun).

Datuk tinggi besar yang tampan dan gagah ini mempunyai seorang Isteri yang cantik, lembut dan di balik kelembutannya itu tersembunyi kekerasan hati yang mengerikan. Siangkoan Hujin (Nyonya siangkoan) ini berusia lima puluh dua tahun, masih tampak cantik menarik dalam usianya yang banyak itu, selalu berpakaian sutera halus dan indah.

Nyonya siangkoan juga bukan wanita lemah, ilmu pedangnya indah dan berbahaya dan ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang disebut Toat-beng-tok-ciam (Jarum Beracun Pencabut Nyawa). Biarpun hatinya keras, namun agaknya ia penyabar menghadapi suaminya yang di waktu mudanya merupakan seorang pria mata keranjang. Bahkan setelah berusia lima puluh tujuh tahun, Siangkoan Bhok mempunyai belasan orang selir.

Nyonya siangkoan agaknya tidak peduli akan hal ini, akan tetapi dengan satu syarat bahwa apabila ada selir suaminya yang mempunyai anak, maka anak itu akan dibunuhnya Karena keputusan yang mengerikan dari isterinya ini, Siangkoan Bhok tidak mempunyai anak lain kecuali yang dilahirkan isterinya.

Anak itu adalah seorang anak laki-laki yang kini telah berusia dua puluh dua tahun dan bernama siangkoan Tek. siangkoan Tek bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah seperti ayahnya. Gerak-geriknya lembut seperti ibunya, akan tetapi wataknya seperti ayahnya. Dia seorang pemuda mata keranjang. Karena tinggal diperkampungan anak buah Pulau Naga, maka yang menjadi korbannya tentu saja adalah gadis-gadis anak para anggauta Pulau Naga sendiri.

Tidak ada gadis puteri anak buah yang berwajah cantik terlewat. Semua menjadi korban pengumbaran nafsu Siangkoan Tek. Dan tidak ada gadis pulau itu yang menolak karena selain berwajah tampah gagah siangkoan Tek juga merupakan majikan muda mereka. Para anak buah Pulau Naga juga tidak ada yang berani menghalangi bahkan mereka bangga bahwa puteri mereka disukai majikan muda itu.

Sebagai putera tunggal siangkoan Bhok dan isterinya, tentu saja sejak kecil siangkoan Tek digembleng ilmu silat oleh ayah ibunya dan dalam usia dua puluh dua tahun, kini dia telah menguasai semua ilmu yang dimiliki ayah dan ibunya.

Akan tetapi dia memilih pedang sebagai senjatanya, seperti ibunya. Walaupun dia pandai pula memainkan swe-kut-pang, akan tetapi dia tidak suka kalau ke mana-mana harus membawa dayung atau tongkat seperti ayahnya. Membawa pedang dipunggungnya lebih gagah baginya.

Nafsu itu sifatnya seperti api. Kalau dibiarkan berkobar makin lama semakin menjadi. segala apa dilalapnya, tidak pernah mengenal puas, bahkan makin banyak yang dimakannya, makin lapar dan hauslah dia Dan sudah menjadi sifat nafsu, kalau dituruti lambat atau cepat dia akan menjadi bosan dengan yang sudah didapatkannya dan selalu haus akan "makanan" yang baru.

Demikian pula dengan siangkoan Tek yang dikuasai nafsu sejak dia masih amat muda, kini telah menjadi bosan dengan gadis-gadis diperkampungan pulau Naga, bosan dengan anak-anak perempuan para anggauta Pulau Naga sendiri.

Demikianlah setelah berusia dua puluh dua tahun, siangkoan Tek mulai suka keluyuran keluar dari Pulau Naga, pergi ke daratan untuk bersenang-senang. Dia adalah seorang pemuda yang tampan gagah, berpakaian indah bersikap lembut memiliki banyak uang.

Tentu saja amat mudah baginya untuk menjatuhkan hati para gadis di daratan. Beberapa tahun yang lalu ayahnya pernah mengajaknya merantau selama setengah tahun dan dalam perantauannya ini siangkoan Tek mendapatkan banyak pengalaman dan bertemu dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw (baca kisah Gelang Kemala).

Pada suatu hari, siangkoan Tek meninggalkan Pulau Naga, berperahu seorang diri menuju kepantai daratan. Sedikitnya sebulan sekali dia pergi ke daratan untuk bersenang-senang. Dengan harapan akan mendapatkan kesenangan luar biasa dan dapat menemukan mangsa-mangsa baru.

Siangkoan Tek mendayung perahunya sambil bersenandung. Pakaiannya mewah, sepatunya baru, kepalanya memakai topi yang biasa dipakai orang-orang muda golongan bangsawan atau hartawan, di sakunya banyak uang, dia mendayung perahu seenaknya.

Setelah tiba dipantai daratan, dia mengikatkan perahunya dipantai, mengambil sehelai bendera kecil bertuliskan "Pulau Naga" dan menancapkan tangkai bendera di kepala perahunya. Tak seorang pun akan berani mencuri perahu itu kalau melihat bendera ini yang menunjukkan bahwa perahu itu milik Pulau Naga.

Setelah itu, dia meninggalkan perahunya, yakin bahwa tidak ada orang akan berani mengganggu perahu itu. Dia tidak mempedulikan dusun-dusun yang dilewatinya, melainkan langsung menuju ke kota Yen-tai yang tidak jauh dari tempat itu.

Akan tetapi, di tengah perjalanan ini dia menyusul serombongan orang yang mengiringkan sebuah joli yang digotong dan rombongan ini diramaikan oleh bunyi alat-alat musik yang dimainkan di sepanjang perjalanan dengan gembira juga wajah orang-orang yang mengiringkan joli itu nampak cerah gembira.

Siangkoan Tek segera mengetahui bahwa rombong an itu adalah orang-orang yang mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria dan melihat bahwa mempelai wanita yang diantarkan ke rumah mempelai pria, mudah diduga bahwa mempelai prianya tentu seorang bangsawan atau setidaknya seorang yang kaya-raya dan terpandang.

Siangkoan Tek tidak peduli akan hal itu dan hatinya sudah tertarik sekali. Kalau ada gadis dusun yang dipilih oleh seorang bangsawan atau hartawan yang tinggal di kota, maka mudah diduga bahwa gadis itu pasti seorang yang cantik sekali. Dia lalu berjalan cepat mendahulu rombongan itu sambil menengok ke arah joli untuk melihat mempelai wanita itu. Akan tetapi jolinya tertutup tirai merah dan dia tidak dapat melihat ke dalamnya.

Siangkoan Tek cepat mengambil dua buah batu kerikil dan tanpa ada yang mengetahuinya dia melontarkan dua buah batu itu ke arah pemikul joli. Dua dari empat orang pemikul joli itu mengaduh dan terguling sehingga joli itupun miring. cepat dua orang pemikul yang lain menurunkan joli agar tidak sampai terpelanting dan gegerlah semua orang, ingin mengetahui apa yang terjadi.

Suara suling dan tambur dihentikan dan semua orang merubung dua orang pemikul tandu yang tadi mengaduh dan terguling. Tirai joli disingkap oleh sebuah tangan yang mungil dan tampaklah seorang gadis yang cantik jelita dirias sebagai mempelai muncul dari balik tirai. Mempelai wanita itu pun agaknya tertarik dan hendak melihat apa yang terjadi.

Inilah yang dikehendaki siangkoan Tek dan begitu melihat wajah mempelai wanita, jantungnya berdebar dan seluruh, tubuhnya tergetar. Alangkah cantiknya mempelai wanita itu Keadaan menjadi semakin gempar ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan orang melompat dekat joli dan menyambar tubuh mempelai wanita lalu wanita itu dipanggulnya dan dibawa lari, cepat sekali.

Semua orang hanya melihat bahwa penculik itu seorang pemuda yang berpakaian indah, akan tetapi tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena siangkoan Tek bergerak dengan cepat sekali. Mempelai wanita itu menjerit-jerit akan tetapi lalu bungkam ketika siangkoan Tek cepat menotoknya dan membuatnya pingsan.

Tentu saja para pengantar mempelai itu menjadi terkejut dan marah. Di siang bolong ada orang berani menculik mempelai wanita, sungguh peristiwa ini luar biasa. Mereka lalu melakukan pengejaran, bahkan dua orang di antara mereka yang sejak tadi menunggang kuda dan menjadi semacam "pengawal" bagi rombong an mempelai itu, lalu membalapkan kudanya melakukan pengejaran.

Akan tetapi, biarpun memanggul tubuh seorang gadis dewasa, siangkoan Tek dapat lari cepat sekali sehingga tidak dapat dikejar dua orang penunggang kuda itu. Akan tetapi siangkoan Tek juga tidak dapat meninggalkan jauh. Setelah tiba di tepi pantai, siangkoan Tek cepat melepaskan tali pengikat perahunya dan membawa gadis itu meloncat ke dalam perahunya yang sudah ditariknya ke air.

Dua orang penunggang kuda itu masih sempat melihat bendera bertuliskan Pulau Naga di kepala perahu dan mereka mendadak berhenti dengan muka pucat. Mereka berdua tidak berani mengejar lagi, apa pula perahu itu sudah mulai didayung ke tengah lautan oleh siangkoan Tek. Keluarga mempelai wanita menjadi geger setelah mendengar bahwa mempelai wanita diculik orang Pulau Naga. Pihak mempelai pria segera diberitahu akan peristiwa itu.

Keluarga mempelai pria adalah seorang pejabat tinggi di kota Yen-tai, merupakan komandan pasukan penjaga keamanan di daerah pesisir dan kota Yen-tai. Komandan pasukan itu bernama Su Tian Ho dan yang menikah adalah puteranya bernama Su Keng Bi.

Ketika menerima laporan bahwa calon mantu perempuannya diculik oleh orang Pulau Naga, Panglima su menjadi marah sekali. Dia memang tidak pernah bentrok dengan Pulau Naga dan tidak mau mengganggu Pulau Naga karena tidak pernah ada laporan bahwa orang-orang Pulau Naga melakukan kekacauan.

Di samping itu, dia pun segan bermusuhan dengan penghuni Pulau Naga yang ditakuti orang itu. Asal orang-orang Pulau Naga tidak membikin kerusuhan, dia pun tidak ambil peduli. Akan tetapi sekali ini dia yang terpukul. Mantunya dilarikan orang Pulau Naga, hal itu berarti penghinaan besar baginya. Kalau dia tidak bertindak, apa akan kata orang? Dia adalah komandan pasukan keamanan!!

Dengan geram Komandan Su lalu mengumpulkan seratus orang perajurit, mempergunakan belasan buah perahu dan memimpin pasukannya itu menyeberang ke Pulau Naga dengan persenjataan lengkap sebelum mereka tiba di Pulau Naga, orang-orang Pulau Naga dengan kaget melihat datangnya belasan buah perahu yang mendekati pulau itu.

Mereka cepat memberi laporan kepada Siangkoan Bhok. Majikan pulau ini menjadi marah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa ada belasan buah perahu penuh dengan penumpangnya menghampiri pulau.

"Kenapa kalian melapor kepadaku? Bukankah sudah kuperintahkan untuk membinasakan semua orang yang berani mendekati pulau?" bentak Siangkoan Bhok.

"Ampunkan kami, To-cu (Majikan atau Ketua Pulau), kami tidak berani sembarangan bertindak karena perahu-perahu itu memakai bendera pemerintah. Mereka adalah para perajurit kerajaan yang dipimpin oleh seorang perwira bertubuh tinggi besar. Kami menunggu perintah dari To-cu, baru berani kami bertindak."

Mendengar ini, Siangkoan Bhok terkejut. Memang bukan main-main kalau harus menyerang dan membinasakan banyak perajurit kerajaan. Selama ini dia sudah bersikap hati-hati, menjauhkan perbuatan yang akan dapat mencelakakan diri sendiri, yaitu bermusuhan dengan pemerintah.

Ini pula yang menyebabkan dia tidak mau ikut campur ketika beberapa orang datuk mendukung pemberontakan yang dilakukan Pangeran Tua. Maka, ketika pemberontakan itu dihancurkan, namanya tetap bersih dan dia tidak dimusuhi pemerintah. Kenapa sekarang ada perajurit-perajurit mendatangi pulaunya?

Siangkoan Bhok segera berganti pakaian yang mewah, kemudian memimpin orang-orangnya menuju ke pantai pulau ke arah mana perahu-perahu itu berlayar menghampiri. Dia memerintahkan anak buahnya agar jangan sembarangan bergerak sebelum mendapat perintah darinya.

Perahu-perahu itu kini merapat ke pantai pulau dan semua penghuni pulau Naga memandang dengan hatitegang. Haruskah mereka bertempur melawan pasukan pemerintah? Namun siangkoan Bhok bersikap tenang saja, seperti tuan rumah yang menanti datangnya tamu kehormatan.

Su-ciangkun melompat dari atas perahunya ke darat. Dia sudah pernah berjumpa dengan Siangkoan Bhok dalam undangan pesta-pesta di kota Yen-tai, karena orang-orang penting di kota itu tidak melupakan majikan pulau Naga itu kalau merayakan sesuatu dan mengundang orang-orang kalangan atas.

Maka, begitu su-ciangkun melompat ke daratan pulau itu, Siangkoan Bhok yang segera mengenalnya mengangkat kedua tangan depan dada dan bertanya dengan suara lantang, "Kunjungan Su-ciangkun membawa pasukan, sungguh mengejutkan. Ada urusan apakah gerangan yang membuat Ciangkun datang seperti hendak melakukan pertempuran?"

Dalam suaranya, biarpun cukup sopan akan tetapi ada nada mengejek. Seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada pasukan yang seratus orang banyaknya itu. "Agaknya ada urusan yang sangat penting yang dibawa Ciangkun?"

Agak tergetar juga perasaan hati Su-ciangkun melihat sikap majikan pulau itu dan melihat puluhan orang anak buah Pulau Naga berjaga-jaga dan tidak bergerak bagaikan barisan patung. Sungguh besar wibawa majikan pulau Naga ini. Maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata,

"Tepat sekali dugaan To-cu bahwa kami datang membawa urusan yang amat penting. Ketahuilah bahwa hari ini putera kami hendak menjemput calon isterinya, akan tetapi di tengah perjalanan, calon mantuku itu diculik orang. Penculiknya seorang pemuda dan melihat dia melarikan calon mantuku dengan perahu yang ada bendera Pulau Naga, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta agar mantu perempuan kami itu dikembalikan dan pelakunya dihukum."

Tanpa diberi keterangan dua kali, Siangkoan Bhok sudah menduga bahwa pelaku penculikan wanita itu tentu puteranya siapa lagi yang berani melakukan hal itu kalau bukan puteranya? Dia sudah mengenal watak puteranya dan biasanya dia mendiamkan saja semua ulah siangkoan Tek yang gila wanita itu.

Akan tetapi sekali ini lain, Yang diculik adalah calon mantu Su-ciangkun. Pasti akan terjadi malapetaka besar kalau gadis itu tidak dikembalikan. Kalau hanya menghadapi Su-ciangkun dan seratus orang perajurit saja, dia sama sekali tidak gentar. Akan tetapi bagaimana kalau pasukan kerajaan menyerbu pulau itu dengan ribuan orang perajurit?

"Hemm, memang ucapan ciangkun benar. Kalau ada anak buah kami yang melakukan perbuatan, pasti akan kami hukum seberat-beratnya dan calon mantu Ciangkun kami kembalikan. Berilah waktu kepada kami sampai besok pagi, akan kami selidiki lebih dulu dan besok akan kami serahkan kepada Ciangkun dipantai daratan."

Mendengar jawaban ini, Su-ciangkun terpaksa menahan kemarahannya. Ucapan majikan Pulau Naga itu memang masuk di akal, pelakunya harus diselidiki lebih dulu. Maka dia lalu dengan suara lantang, "Kami dapat menerima usul To-cu. Kami akan menarik diri dan menanti dipantai daratan sampai besok pagi. Kalau sampai besok pagi tidak ada berita ketentuan dari To-cu, jangan salahkan kami kalau terpaksa kami bertindak."

Siangkoan Bhok juga menahan rasa dongkolnya. Dia saling memberi hormat dengan Su-ciangkun yang segera memasuki perahunya kembali dan dia memerintahkan pasukannya untuk kembali ke daratan.

Siangkoan Bhok melihat betapa dalam menyambut pasukan pemerintah itu, semua anggauta Pulau Naga keluar, kecuali siangkoan Tek. Dugaannya semakin kuat dan setelah keadaan pulih kembali, dia lalu cepat menuju ke rumah puteranya itu. sejak berusia dua puluh tahun, Siangkoan Tek memang minta tinggal di rumah terpisah dari orang tuanya sehingga dia dapat leluasa melakukan apa saja yang dikehendakinya.

Setelah tiba di rumah puteranya, Siangkoan Bhok langsung saja menuju ke kamar puteranya yang pintunya tertutup dan dari luar kamar dia sudah mendengar isak tangis seorang wanita. Dia marah sekali, bukan marah karena Siangkoan Tek menculik seorang wanita, melainkan karena perbuatan puteranya itu mengandung permusuhan dengan pasukan kerajaan. Sekali tendang pintu kamar itu jebol dan siangkoan Bhok melangkah masuk.

Dia mengerutkan alisnya melihat siangkoan Tek sedang merangkul seorang gadis cantik yang menangis terisak-isak. Pemuda itupun terkejut dan cepat meloncat ketika melihat ayahnya memasuki kamarnya dengan menjebol daun pintu.

"Ada apakah, Ayah?" tanyanya heran karena belum pernah ayahnya marah melihat dia mempermainkan wanita. biasanya ayahnya tidak peduli bahkan pura-pura tidak tahu kalau dia membawa gadis-gadis ke dalam kamar rumahnya.

Siangkoan Bhok memandang kepada puteranya dengan mata marah. Lalu dia memandang kepada gadis itu yang nampak ketakutan dan turun dari pembaringan lalu berjongkok di sudut kamar. "Inikah gadis yang menjadi pengantin dan kau culik?" tanya siangkoan Bhok.

Siangkoan Tek tersenyum, masih tidak percaya bahwa ayahnya akan marah kepadanya hanya karena soal kecil itu. Dia mengangguk dan menjawab, "Benar, Ayah. Apakah Ayah menghendaki?"

"Goblok!! Tolol!! Tidak tahukah engkau siapa dia? Ia adalah calon mantu Su-ciangkun. Tadi dia membawa pasukan mendarat ke Pulau Naga dan hendak menggunakan kekerasan."

"Ah, takut apa, Ayah? Kita lawan saja." kata siangkoan Tek penasaran.

"Dasar bodoh tak pandai menggunakan otak!" Siangkoan Bhok memaki marah. "Dapatkah engkau melawan kalau kerajaan mengirim ribuan pasukan ke sini?"

Mendengar ucapan ayahnya itu, Siangkoan Tek terkejut, matanya terbelalak dan dia menundukkan mukanya. Tak disangkanya kalau perbuatannya itu dapat berakibat luas. "Ah, maafkan, Ayah. Aku tidak menyangka akan berakibat begitu. Aku tidak tahu bahwa ia calon mantu Su-ciangkun."

Pemuda itu menoleh ke arah gadis yang masih mendekam di sudut. "Kalau begitu, kita kembalikan saja gadis itu kepada Su-ciangkun."

"Tolol! Hal itu bahkan akan membuat Su-ciangkun semakin marah. Mengembalikan gadis setelah semalam engkau keram di sini? Jangan katakan bahwa engkau belum mengganggunya, karena aku tidak akan percaya."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ayah?" kini Siangkoan Tek menjadi kebingungan dan gugup.

Siangkoan Bhok menudingkan telunjuknya ke arah pedang yang tergantung di dinding kamar itu, "Bunuh ia, cepat."

Siangkoan Tek mengerti apa yang dikehendaki ayahnya. Cepat dia meloncat, mencabut pedangnya dan di lain saat, gadis yang malang itu telah tewas dengan dada tertusuk pedang dan tidak sampai berteriak lagi.

"Sekarang cepat cari seorang yang dianggap menculik gadis itu, bunuh dia dan bawa ke sini" Kembali Siangkoan Bhok memerintahkan kepada puteranya.

Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik dan licik. Tanpa diberi penjelasan tahulah dia sudah apa yang akan dilakukan ayahnya. Dia berkelebat lenyap dari situ, berlari keluar dan di lain saat dia sudah mendayung perahunya menjauhi Pulau Naga. Yang diincarnya adalah sebuah perahu nelayan yang sedang mencari ikan, di luar wilayah perairan pulau Naga. Nelayan itu seorang yang masih muda dan perawakannya seperti siangkoan Tek. Inilah yang dicarinya.

Nelayan itu terkejut dan heran ketika perahu siangkoan Tek mendekatinya. Akan tetapi hanya sebentar dia terheran karena di lain saat dia sudah menggeletak tewas dan dipindahkan ke perahu siangkoan Tek. Pemuda ini mendayung perahunya kembali ke Pulau Naga, meninggalkan perahu nelayan yang terapung-apung tanpa pemiliknya.

Setelah tiba di pantai, dia memondong mayat itu menuju ke rumahnya, di mana siangkoan Bhok masih menunggu. Sementara itu, hari telah hampir gelap karena senja telah tiba.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar siangkoan Bhok telah naik perahunya yang cukup besar, dikawal oleh belasan orang anak buahnya yang mengemudikan perahu. Tujuan mereka ke pantai daratan- Setelah dekat dengan pantai dia melihat belasan perahu yang kemarin mendatanginya masih berada di tepi pantai dan tampak pasukan itu masih bergerombol di pantai.

Perahunya tiba di pantai dan siangkoan Bhok melihat Su-ciangkun sendiri yang maju menyambutnya. siangkoan Bhok meloncat ke daratan menjumpai Su-ciangkun. "Bagaimana, To-cu? Sudahkah engkau berhasil menemukan calon mantuku dan jahanam yang menculiknya itu?"

Siangkoan Bhok tersenyum. "Sudah kami temukan dan sudah kami hukum pelakunya." Dia memberi tanda kepada anak buahnya dan beberapa orang anak buah Pulau Naga menggotong dua mayat yang sudah dimasukkan peti mati terbuka.

Dua peti mati itu diletakkan di depan Su-ciangkun yang memandang dengan mata terbelalak!! Dia melihat gadis calon mantunya sudah tewas, dan seorang pemuda yang berpakaian mewah mati pula di dalam peti mati itu. "Bagaimana calon mantuku sampai tewas?" tanya perwira itu.

"Kami menemukan penculik ini di hutan pulau kami dan ketika kami menghampiri, dia menusuk mati gadis ini. Kami turun tangan dan dia melawan, terpaksa kami membunuhnya pula. Ternyata dia bukan anak buah kami, Ciangkun."

"Akan tetapi dia menggunakan sebuah perahu yang ada benderanya."

"Memang itu perahu kami. Dia mencurinya dan menggunakan nama Pulau Naga untuk melakukan kejahatannya," Siangkoan Bhok menghela napas panjang. "Untung kami dapat menemukan penculik ini, kalau tidak tentu Ciangkun akan menuduh kami."

Su-ciangkun juga menghela napas. "Bukan maksud kami untuk menuduh sembarangan. Akan tetapi pelakunya sekarang sudah dapat ditemukan dan dibunuh. Sudahlah. Kematian calon mantuku lebih baik daripada hidup menanggung aib yang akan menodai nama seluruh keluarganya dan keluarga kami. Terima kasih, To-cu."

Komandan itu lalu memerintahkan pasukannya untuk membawa dua peti mati itu, yang wanita untuk dikubur sepatutnya, sedangkan yang pria untuk digantung di luar tembok kota agar semua orang melihatnya. Setelah pasukan dan komandannya pergi, barulah Siangkoan Bhok kembali ke perahunya dan memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke Pulau Naga.

"Siangkoan Tek. Sekali ini engkau bertindak ceroboh. Hampir saja engkau mencelakakan kita semua. Engkau terlalu mata keranjang dan tidak pilih bulu siapa yang akan menjadi korbanmu," Siangkoan Bhok mengomeli puteranya ketika mereka berdua berada di dalam kamar.

Nyonya siangkoan memasuki kamar itu dan Ia masih sempat mendengar omelan suaminya terhadap puteranya. Ia pun sudah mendengar akan peristiwa penculikan yang terjadi dari suaminya ketika ia bertanya mengapa ada ribut-ribut.

"Sudahlah, diomeli juga tidak ada gunanya, salahmu sendiri. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa anak ini harus segera dikawinkan. Usianya sudah dua puluh dua tahun dan aku benar-benar menginginkan gadis murid Pek I Lo-kai itu menjadi mantuku. Siangkoan Tek juga sudah menyatakan suka kepada gadis cantik yang lihai itu. Ia pantas untuk menjadi mantu kita."

"Hemm, ia bukan saja murid Pek I Lo-kai, akan tetapi juga puteri Pangeran Tang Gi su yang sekarang menjadi Koksu Negara" kata siangkoan Bhok.

"Apa salahnya? Itu malah baik, akan mengangkat derajat kita" bantah Nyonya siangkoan. "Anak kita cukup baik dan berharga untuk menjadi mantu Pangeran."

"Akan tetapi, siapa tahu ia telah bertunangan atau bahkan telah menikah," bantah pula siangkoan Bhok. "Aku juga mempunyai pandangan, seorang gadis cantik lihai, yaitu murid Ang-tok Mo-li."

Mendengar ucapan ayahnya, siangkoan Tek berkata, "Kedua-duanya aku suka, Ayah"

"Huh, mana bisa keduanya? Engkau harus pergi dari sini sekarang, agar tidak terjadi kehebohan lagi. Engkau berangkatlah dan kau selidiki tentang dua orang gadis itu, apakah mereka belum bertunangan atau menikah, baru aku yang akan pergi melakukan pinangan."

"Ayahmu benar, Nak. Pergilah cepat, selidiki dua orang gadis itu, sukur kalau mereka berdua itu belum menikah atau seorang di antara mereka masih bebas, sehingga ayahmu dapat melakukan pinangan. Akan tetapi kalau keduanya sudah menikah atau bertunangan...."

"Akan kuculik saja, lbu. Kubawa ke sini dan kami akan menikah" sambung siangkoan Tek.

"Hush, ngaco" bentak ibunya. "Aku tidak sudi mempunyai mantu seorang janda. Kalau mereka berdua sudah menikah, engkau merantaulah sampai bertemu seorang gadis yang baik dan pantas menjadi mantuku."

"Akan tetapi jangan terlalu lama. Merantaulah untuk mencari jodoh dan pengalaman di dunia kang-ouw. Paling lambat setahun engkau sudah harus pulang," kata Siangkoan Bhok.

Pemuda itu menyatakan setuju dan dia lalu berkemas. Membawa buntalan pakaian, bekal uang secukupnya, membawa pedang dan kantung jarum yang menjadi senjata rahasia ibunya dan sudah diajarkan kepadanya. Kemudian berangkatlah pemuda tampan gagah yang berpakaian mewah ini, meninggalkan Pulau Naga diantar sampai ke seberang oleh seorang anak buah.

Di sepanjang pelayaran menuju pantai daratan itu, Siangkoan Tek duduk diam di perahu, termenung. Dia teringat akan pembicaraannya dengan ayah ibunya dan kini dia terkenang akan pengalamannya bersama ayahnya dua tahun yang lalu. Dia telah bertemu dengan Tang Cin Lan dan Bu Lee Cin, dua orang gadis yang sama cantik jelita dan menariknya, dan keduanya sudah menjatuhkan hatinya.

Kalau diumpamakan bunga, Tang Cin Lan adalah setangkai bunga seruni yang indah dan tumbuh di dalam taman anggun dan indah. Sedangkan Bu Lee Cin ibarat bunga mawar hutan, harum liar dan berduri. Akan tetapi baginya, kedua orang gadis itu sama menariknya dan kalau memperisteri seorang di antara mereka, hatinya akan merasa puas.

Teringat dia peristiwa pada dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia dan ayahnya bertemu dengan dua orang gadis itu (baca Kisah Gelang Kemala). Mereka bertanding dan dia bersama ayahnya sudah hampir dapat menaklukkan dua orang gadis itu.

Dia sudah memesan kepada ayahnya agar jangan membunuh mereka karena dia ingin menawan mereka dan memiliki keduanya. Akan tetapi kemudian muncul pemuda bernama song Thian Lee itu yang membantu mereka dan menggagalkan usaha dia dan ayahnya untuk menawan dua orang gadis itu.

"Awas kau Song Thian Lee. Kalau bertemu lagi denganmu, aku tidak akan mengampunimu." desisnya di antara giginya dengan dendam. Kini dia telah memperdalam ilmu-ilmunya, pasti dia tidak akan kalah oleh pemuda itu.

Setelah tiba dipantai daratan, siangkoan Tek melanjutkan perjalanan seorang diri menuju ke barat. Melihat dandanan dan sikapnya, orang tentu akan mengira dia seorang sastrawan muda yang kaya-raya atau berdarah bangsawan, akan tetapi melihat pedang yang menempel dipunggung bersama buntalan kain biru, orang akan menjadi ragu karena hanya orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan membawa buntalan pakaian dan pedang.


Pada suatu pagi yang cerah, seorang kakek berusia lima puluh dua tahun, bertubuh pendek gendut, berpakaian jubah pertapa, rambutnya digelung ke atas dan dipotong pendek, memasuki kota raja dari pintu gerbang barat. Kakek ini tampak lucu.

Bentuk tubuhnya serba bulat. Perutnya, kepalanya, kaki dan tangannya yang pendek gemuk itu membuat dia tampak seperti kanak-kanak. tangan kirinya memegang sebuah kebutan berbulu putih.

Akan tetapi, orang yang mengenalnya akan terkejut sekali melihat kakek ini di kota raja. Dia bukan orang sembarangan, bukan tokoh tak terkenal di dunia kang-ouw karena kakek gendut pendek ini adalah Datuk Besar dari barat. Namanya Gu Kiat seng dan julukannya adalah Thian-tok (Racun Langit).

Ilmu kepandaiannya amat tinggi. Kesaktiannya setingkat dengan kesaktian para datuk lain seperti Thian-te Mo-ong dari selatan, mendiang Pak-thian-ong dari utara atau Siangkoan Bhok dari timur. orang akan terheran-heran melihat datuk ini memasuki kota raja. selama ini Thian-tok tidak pernah berhubungan dengan kerajaan.

Biarpun dia tidak secara langsung membantu pemberontakan para pejuang dan patriot, namun dia pun tidak pernah mau bekerja sama dengan pemerintah Ceng. Di dalam hatinya, dia bahkan membenci bangsa Mancu yang menjajah bangsa dan tanah airnya. Karena itu, dia memandang rendah para pendekar yang suka bekerja pada pemerintah Mancu.

Setelah berada di tengah kota raja, Thian-tok berhenti di depan seorang laki-laki tua yang berjualan buah-buahan lalu bertanya, "Sobat, maukah engkau menunjukkan kepadaku, di mana rumah sang Panglima Besar?"

Penjual buah itu memandang Thian-tok dengan heran dan penuh perhatian. Orang yang tidak tahu di mana adanya rumah Panglima Besar tentu seorang asing yang sama sekali tidak mengenal kota raja. Siapa yang tidak tahu rumah Song-thai-ciangkun, Panglima Besar souw Thian Lee yang terkenal itu?

Akan tetapi melihat sepasang mata kakek itu mencorong memandangnya, penuh wibawa walaupun seluruh muka Thian-tok tersenyum lucu, penjual buah itu segera menjawab,

"Rumah Song-thai-ciangkun? Itu di ujung jalan ini, rumah yang besar bercat hijau dan depannya terjaga oleh perajurit," jawabnya.

Thian-tok mengucapkan terima kasih lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh penjual buah, dan tak lama kemudian tibalah dia di depan gedung besar bercat hijau dan di depan gedung itu, dekat pintu halaman, terdapat sebuah gardu di mana ada tiga orang perajurit sedang berjaga.

Melihat seorang kakek gendut memakai jubah pendeta berdiri di pintu halaman dan memandang ke arah gedung, seorang di antara tiga perajurit itu lalu menegur Thian-tok. "Hei, orang tua. Mau apa engkau berhenti di situ dan memandang ke arah gedung?"

Karena teguran itu mengandung kecurigaan, Thian-tok yang wajahnya selalu berseri itu tersenyum dan wajahnya yang bulat itu seperti lenyap terselimut senyum lebar itu. "Maafkan aku. Benarkah ini rumah Panglima Besar Song Thian Lee?"

"Benar, dan engkau mau apa?"

"Aku bermaksud untuk menghadap Song-tai-ciangkun, ada urusan penting yang hendak kubicarakan dengannya."

Pemimpin regu penjaga itu mengerutkan alisnya. "Urusan penting apakah? Engkau harus memberitahu kami dulu, baru akan kami laporkan ke dalam."

Melihat perajurit itu agaknya mencurigainya, Thian-tok tertawa, "Katakan saja bahwa Thian-tok Gu Kiat Seng mohon menghadap. Song-ciangkun tentu mengenalku dan suka menerimaku...."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.