Dewi Ular Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala seri Dei Ular Jilid 03 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Ular

PRAJURIT itu mengamati wajah dan tubuh kakek itu dan dia pun tidak lagi meragu. Dia tahu bahwa Song-ciangkun mengenal banyak tokoh kang-ouw dan sudah sering panglima itu menerima tamu yang aneh-aneh dari dunia persilatan. Bagaimanapun juga, sebaiknya dia melapor dulu ke dalam.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Tunggulah dalam gardu sebentar sementara kami akan melaporkan ke dalam," kata perajurit itu.

Thian-tok mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas bangku dalam gardu bersama dua orang perajurit lainnya. Perajurit yang menanyainya tadi lalu melangkah tegap menuju gedung besar itu. Seperti yang telah diduganya, ketika dia melapor bahwa seorang kakek bernama Thian-tok Gu Kiat mohon menghadap.

Panglima Song Thian Lee mengangguk-angguk dan memerintahkan kepada perajuritnya penjaga itu agar mengantarkan tamu itu ke ruangan tamu yang berada di sebelah depan kiri dari gedung itu.

Pembaca kisah Gelang Kemala tentu telah mengenal baik Song Thian Lee yang memegang peran utama dalam kisah itu dan yang karena jasa-jasanya membongkar komplotan pemberontak yang dipimpin Pangeran Tua Tang Gi Lok, telah diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Kian Liong.

Setelah dia diangkat menjadi Panglima Besar dua tahun yang lalu, Song Thian Lee yang kini berusia dua puluh dua tahun itu menikah dengan kekasihnya, Tang Cin Lan puteri dari Pangeran Tang Gi su yang kini diangkat oleh Kaisar Kian Liong menjadi Koksu (Penasihat atau Guru Negara).

Kini Panglima Besar song Thian Lee tinggal di gedung besar pemberian Kaisar itu bersama isterinya. Mereka telah dikarunia seorang anak laki-laki yang kini telah berusia setahun.

Nama besar song Thian Lee mencuat di dunia kang-ouw setelah dia berhasil membongkar komplotan pemberontak yang dibantu tokoh-tokoh kang-ouw bahkan datuk-datuk besar. Panglima yang masih muda itu memang memiliki ilmu silat yang amat hebat. Dia pernah menjadi murid Liok-te Lo-mo, pernah pula digembleng oleh tokoh sesat Jeng-ciang-kwi, kemudian menjadi murid seorang pertapa di Thai-san yang bernama Tan Jeng Kun.

Di tempat ini dia secara kebetulan menemukan kitab pelajaran ilmu menghimpun tenaga sinkang yang disebut Thian-te sin-kang dan sebatang pedang Jit-goat sin-kiam dengan ilmu pedangnya Jit-goat Kiam-sut. Bahkan dia makan banyak jamur ular belang yang membuat tubuhnya kuat dan kebal terhadap segala macam racun. Di dunia kang-ouw, dia dikenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa.

Isterinya, Tang Cin Lan, juga memiliki kepandaian silat tinggi dan lihai sekali. Tang Cin Lan ini pernah menjadi murid seorang tokoh persilatan perantau yang dikenal oleh semua kai-pang (perkumpulan pengemis) bahkan dianggap datuknya, terkenal dengan julukan Pek I Lo-kai (Pengemis Tua Berbaju Putih).

Dengan ilmu tongkatnya yang disebut Hok-mo-tang itu, dia malang-melintang di dunia kang-ouw sebagai murid tunggalnya Tang Cin Lan juga mewarisi ilmu silat tongkat Hok-mo-tang. Bahkan karena pernah digigit ular merah dan ular putih yang merupakan ular yang racunnya berlawanan, ia menjadi kebal terhadap racun, juga mampu menghimpun tenaga dalam Ang-coa-kang dan Pek-coa-kang.

Demikianiah keadaan suami isteri pendekar yang kini memperoleh kedudukan tinggi itu. Mereka hidup berbahagia dengan putera mereka yang baru berusia setahun dan bernama song Hong san. Ketika mendengar laporan bahwa seorang kakek berjuluk Thian-tok dan bernama Gu Kiat Seng datang bertemu dengannya, song Thian Lee menjadi terkejut juga.

Dia sudah pernah mendengar akan nama besar Thian-tok sebagai datuk persilatan daerah barat. Kini datuk itu datang berkunjung, ada keperluan apakah? Dia lalu meninggalkan isterinya yang sedang bermain-main dengan Hong san, dan bergegas menuju ke ruangan tamu lalu duduk menunggu di situ.

Karena dia sedang berada di rumah, tidak bertugas, maka dia pun mengenakan pakaian biasa saja, bukan pakaian seorang Panglima. Dengan langkah santai Thian-tok yang diantar perajurit itu memasuki ruangan tamu yang luas itu. Melihat sang Panglima sudah duduk menanti, perajurit itu memberi hormat lalu mengundurkan diri, keluar dari ruangan tamu.

Thian-tok Gu Kiat seng terbelalak memandang ke arah pemuda tinggi tegap yang duduk di atas kursi itu. Dia menjadi ragu-ragu. Inikah Panglima Besar song Thian Lee itu? Pakaiannya biasa dan sederhana, bukan seperti seorang panglima besar yang mewah.

Thian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada kakek pendek gendut itu. Dari sinar mata kakek itu saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek itu seorang yang lihai dan kuat sinkangnya.

"Selamat datang, Locianpwe. Ada keperluan penting apakah yang mendorong Locianpwe datang berkunjung..."

Thian-tok membalas penghormatan itu dan bertanya, "Apakah aku berhadapan dengan panglima Song Thian Lee?"

"Benar sekali, Locianpwe, silakan duduk!" dengan sikap hormat Thian Lee mempersilakan Thian-tok duduk.

Kakek itu mengangguk-angguk lalu duduk di atas kursi, berhadapan dengan tuan rumah terhalang meja. "Aku telah mendengar banyak tentang dirimu, Song-ciangkun, selama dua tahun ini. Dan sekarang, setelah berhadapan aku merasa lebih kagum lagi akan nama besarmu. Akan tetapi akupun semakin heran dan keherananku itulah yang mendorongku datang berkunjung."

Thian Lee tersenyum memandang wajah kakek itu. Wajah yang lucu, akan tetapi sinar mata itu membayangkan kekuatan yang dahsyat. "Apa yang Locianpwe herankan?"

"Ciangkun, aku sudah mendengar banyak tentang dirimu. Engkau seorang pendekar berkepandaian tinggi, dan aku bahkan mendengar bahwa orang tuamu tewas dalam pengeroyokan pasukan kerajaan. Sudah sepantasnya kalau engkau menjadi seorang pendekar patriot, membela bangsa, membebaskan rakyat kita dari kesengsaraan, menumbangkan pemerintah penjajah."

Thian Lee tersenyum. "Locianpwe, kalau aku boleh bertanya, Locianpwe yang terkenal sebagai datuk barat ini telah berbuat apa saja untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan?"

Wajah Thian-tok menjadi kemerahan. "Aku memang tidak berbuat banyak. Akan tetapi setidaknya aku tidak menjadi seorang pengkhianat yang membiarkan dirinya menjadi kaki tangan penjajah."

"Locianpwe, banyak jalan untuk menolong rakyat, di antaranya bekerja untuk pemerintah. Bahkan bersikap menentang dan berlagak patriot bukan menguntungkan, bahkan merugikan rakyat."

"Song-ciangkun, tidak malukah engkau kepada mendiang ayahmu kalau berkata seperti itu? Ayahmu menentang penjajah sampai meninggal dunia dan engkau mengatakan bahwa perbuatan itu beriagak patriot?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Aku bukan maksudkan Ayah, karena urusan Ayah bukan urusan melawan penjajah melainkan urusan pribadi. Membantu rakyat banyak jalannya, Locianpwe. Kalau sekarang kita melakukan usaha mengusir penjajah, hal itu belum waktunya. Mana kekuatan kita? Pemberontakan kecil-kecil itu hanya meresahkan dan mendatangkan malapetaka bagi rakyat. Untuk usaha perjuangan mengambil alih kekuasaan penjajah belum waktunya dan sementara ini, kita dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat."

"Dengan membiarkan diri menjadi kaki tangan penjajah Mancu?" tanya Thian-tok dengan suara mengejek.

"Harap Locianpwe bersabar dan mendengarkan dulu penjelasanku. Yang dinamakan kaki tangan penjajah adalah mereka yang bekerja untuk pemerintah penjajah dengan menekan dan menyengsarakan rakyat. Akan tetapi, kita bisa bekerja untuk pemerintah demi kepentingan rakyat jelata.

"Dengan kedudukan kita, kita dapat mencegah terjadinya pemerasan dan penindasan, dengan demikian kita sudah melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat. Kalau tidak ingin menjadi pekerja pemerintah, kita dapat menjadi pendekar yang membela rakyat, membasmi para penjahat dan juga para pejabat yang memeras rakyat. Kalau hanya pemberontakan kecil-kecilan saja, apa artinya?

"Apakah Locianpwe setuju dengan cara yang dipergunakan Pek-lian-pai, berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan mereka? Aku bekerja menjadi panglima bukan demi kesenangan pribadi, bukan untuk mengejar kemuliaan dan harta, melainkan untuk membantu Kaisar dalam usaha-usaha yang baik dan menguntungkan rakyat jelata juga membasmi para gerombolan penjahat yang memakai kedok perjuangan.

"Kalau Kaisar tidak bijaksana, akupun tidak mungkin mau menjadi panglima. Kurasa hal ini Locianpwe yang berpengalaman sudah mengetahuinya sendiri dengan baik. Apakah para tokoh kang-ouw yang membantu pemberontakan yang diadakan Pangeran Tua dua tahun yang lalu itu benar? Pemimpin pemberontakan seperti Pangeran Tua itu hanya karena ingin merampas kedudukan. Andaikata dia yang berhasil menjadi kaisar, tentu keadaan rakyat kita semakin celaka!"

Thian-tok mengerutkan alisnya menunduk dan meraba-raba dagunya yang tidak berambut. Dia menghela napas panjang, lalu memandang wajah Thian Lee dan berkata lirih, "Kalau begitu, engkau hendak mengatakan bahwa perjuangan meruntuhkan kekuasaan penjajah adalah keliru? Kita harus tunduk dan membiarkan bangsa dan negara kita terjajah terus?"

"Sama sekali tidak, Locianpwe. Sudah kukatakan tadi bahwa kita harus menanti waktu dan kesempatan yang baik. Kita harus memiliki pasukan yang kuat dan pemimpin perjuangan yang benar-benar bekerja demi kebebasan bangsa. Bukan sekedar membuat kekacauan dan kerusuhan kecil-kecilan yang akhirnya akan dibasmi juga oleh pemerintah. Dan untuk itu membutuhkan waktu, Locianpwe. Kalau kita merasa lemah, kita harus cerdik.

"Dan sementara itu, kita dapat berbuat banyak untuk membantu rakyat jelata seperti yang kukatakan tadi. Aku menghargai sikap keras terhadap penjajah, akan tetapi aku tidak menganggapnya bijaksana. Bahkan tidak ada manfaatnya bagi rakyat. Coba saja Locianpwe ingat, pengorbanan nyawa orang tuaku yang tewas karena menentang pemerintah, membuahkan apa bagi rakyat?

"Kalau waktunya tiba dan sudah masak untuk mengadakan perjuangan menentang penjajah, aku akan berdiri di barisan terdepan!" Thian Lee berkata penuh semangat karena dia terbakar juga karena dianggap sebagai seorang pengkhianat.

"Hemm, kalau Kaisar Kian Liong mengetahui isi hatimu, apakah mungkin engkau menjadi panglima besar?"

"Locianpwe keliru. Beliau tahu benar akan isi hatiku. Beliau adalah Kaisar Mancu, akan tetapi beliau juga mengetahui bahwa tidak ada rakyat di dunia ini yang suka negerinya dijajah. Beruntunglah kita mempunyai seorang kaisar penjajah seperti beliau. Beliau selalu mementingkan kebutuhan rakyat dan di lubuk hatinya, beliau mencintai rakyat jelata.

"Karena cintanya itulah maka beliau mengangkat aku menjadi panglima besar, maklum bahwa dengan kedudukanku aku pasti akan membela rakyat dan membasmi mereka yang menindas rakyat. Apakah dengan kedudukan ini bukan berarti aku lebih banyak berbakti kepada rakyat daripada para tokoh kang-ouw yang hanya dapat mencaci akan tetapi tidak melakukan sesuatu?"

Thian-tok mengangguk-angguk dan dia sekarang tersenyum lebar. "Bagus sekarang baru aku mengerti benar akan isi hati Song-ciangkun. Terima kasih atas semua keterangan itu yang melegakan hatiku. Aku dapat menemukan kebenaran dalam semua keteranganmu tadi. Selamat tinggal, Ciangkun, aku mohon diri dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi."

Song Thian Lee tersenyum dan bangkit berdiri "Apakah Locianpwe tidak ingin minum-minum dulu denganku?"

"Tidak usah, terima kasih. selamat tinggal."

"Selamat jalan, Locianpwe Thian-tok."

Thian-tok Gu Kiat Seng melangkah keluar dengan cepat dan ketika dia melewati gardu penjagaan, tiga orang perajurit penjaga memberi hormat karena mereka tahu bahwa kakek pendek gendut itu adalah kenalan panglima mereka. Thian-tok membalas dengan lambaian tangan, lalu keluar dari pekarangan itu.

Setelah keluar dari kota raja, dengan mengerahkan ilmu berlari cepat Thian-tok menuju ke barat. Biarpun tubuhnya gendut dan pendek, kedua kakinya juga pendek. akan tetapi Thian-tok dapat berlari cepat sekali karena dia menggunakan ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakannya ringan dan cepat seperti terbang.


Di luar kota Pao-teng sebelah timur merupakan daerah yang sunyi karena penuh dengan hutan belukar. Daerah ini disukai para pemburu karena mengandung banyak binatang hutan seperti babi hutan, kijang, kelinci dan sebagainya.

Pada suatu pagi yang cerah, terdengar derap kaki kuda datang dari barat memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tampaklah tiga orang penunggang kuda. orang akan memandang, kagum kalau melihat tiga orang penunggang kuda itu.

Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda tampan gagah berpakaian mewah. orang ke dua seorang gadis cantik manis dengan pakaian mewah pula. Adapun orang ke tiga juga seorang gadis cantik, namun pakaiannya tidaklah semewah gadis pertama.

Siapakah tiga orang muda yang mengagumkan ini? Mereka adalah tokoh-tokoh Kim-liong-pai, yaitu perkumpulan yang mengelola perusahaan pengawal barang kiriman. Barang kiriman itu dikawal oleh para piauwsu (pengawal barang) dari Kim-liong-pai dan kalau di atas kereta barang itu terdapat bendera Naga Emas, para penjahat tidak berani mengganggunya.

Bendera Kim-liong (Naga Emas) itu bergambar seekor naga emas dan dibawahnya ditulisi tiga huruf "Kim Liong Pai". Gadis yang cantik berpakaian mewah itu bernama Souw Hwe Li, berusia dua puluh tahun. la adalah puteri tunggal dari Souw Can pendiri Kim-liong-pai, seorang tokoh Kun-lun-pai berpusat di kota Pao-ting, di mana keluarga Souw tinggal.

Gadis ke dua bernama Liu Ceng atau biasa dipanggil Ceng Ceng, berusia sebaya dengan Souw Hwe Li, dua puluh tahun dan ia adalah keponakan dari Souw Can, saudara misan Hwe Li. Gadis yang cantik sederhana ini pun mendapat pelajaran ilmu silat dari pamannya, dan biarpun ilmu silatnya tidak setangguh Hwe Li, namun Ceng Ceng mempunyai cukup kepandaian untuk menjaga dan membela diri.

Pemuda itu bernama Lai Song Ek. Dia berusia dua puluh dua tahun dan putera Jaksa Lai di kota Pao-ting. sejak kecil dia belajar ilmu silat dari Souw Can dan merupakan murid yang paling dekat karena dia putera jaksa dan pergaulannya dengan kedua gadis itu akrab. Bahkan tampak jelas bahwa Lai Siong Ek ini telah jatuh cinta kepada sumoinya Hwe Li.

Lai Siong Ek yang menyadari bahwa dia putera seorang yang berpangkat tinggi dan berkuasa di Pao-ting, mempunyai watak yang tinggi hati. Apalagi setelah menguasai ilmu silat yang dipelajarinya dari Souw Can, dia semakin sombong. Sifat ini agaknya menular kepada Souw Hwe Li. Gadis ini juga tinggi hati, angkuh dan merasa dirinya paling cantik dan paling lihai.

Berbeda dengan watak kedua orang ini, Ceng Ceng yang menyadari bahwa ia seorang gadis yatim piatu yang hanya mondok saja di rumah pamannya, berwatak sederhana, pendiam dan rendah hati. Bahkan kedua orang muda itu, Siong Ek dan Hwe Li, kadang bersikap angkuh terhadap Ceng Ceng dan memperlakukannya seperti seorang pembantu saja.

Akan tetapi Ceng Ceng menerima perlakuan itu dengan wajar dan ia memang menyadari sepenuhnya bahwa ia hanya seorang yang numpang hidup dan kedudukannya sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan Hwe Li. Ia mencoba menutupi rasa rendah diri itu dengan mempelajari ilmu silat dari pamannya, Souw Can, dengan tekun.

Akan tetapi karena dalam mengajarkan ilmu silat pun Souw Can pilih kasih, maka tingkat kepandaian silat Ceng Ceng hanya sejajar dengan tingkat Lai Siong Ek saja, tidak dapat menyamai tingkat Hwe Li yang paling lihai di antara mereka bertiga.

Yang membuat hati Ceng Ceng selalu merasa tidak enak adalah kalau Siong Ek bicara dan memandang kepadanya. Dalam pandang matanya terpancar nafsu yang seolah menelanjanginya, padahal ia tahu benar bahwa Siong Ek naksir Hwe Li. Hal ini membuat hatinya tidak tenang dan kadang gelisah.

Ketika mereka bertiga pada hari itu berkuda dan hendak berburu di hutan sebelah timur, Ceng Ceng selalu menjaga agar kudanya berlari paling belakang dan membiarkan Hwe Li menunggang kudanya berdampingan dengan Siong Ek.

Setelah tiba agak jauh dari kota Paoting, tiba-tiba Hwe Li menahan kudanya. Melihat ini, Siong Ek dan Ceng Ceng juga menghentikan kuda mereka. Hwe Li melambaikan tangan ke arah belakang dan Ceng Ceng menjalankan kudanya menghampiri saudara misannya itu.

"Ceng Ceng, sebaiknya engkau pulang saja untuk memberitahukan kepada Ayah bahwa aku dan Lai-suheng pergi berburu, sore nanti baru pulang. Kita tadi belum memberitahu Ayah, khawatir Ayah akan marah. Engkau tidak perlu ikut dengan kami, Ceng Ceng."

"Ah, mengapa, sumoi? Biarkan Ceng Ceng ikut membawakan nanti kalau kita mendapatkan binatang buruan."

"Tidak usah, engkau sendiri dapat membawakan, suheng. Ia harus pulang, aku tidak ingin mendapat marah dari Ayah karena tidak memberitahukan lebih dulu."

"Baiklah, Hwe Li. Aku akan pulang saja dan memberitahukan Paman," kata Ceng Ceng melihat perbantahan itu. Ia tidak ingin dibela oleh Siong Ek. Setelah berkata demikian, ia memutar kudanya dan melarikan kudanya kembali ke barat, menuju kota Pao-ting. Hwe Li juga melanjutkan perjalanan diikuti oleh Siong Ek.

Ceng Ceng tidak merasa kecewa disuruh pulang. Tadi pun ia diajak oleh Hwe Li maka ia ikut. Sedapat mungkin ia tidak ingin melakukan perjalanan bersama Lai Siong Ek yang pandang matanya jalang terhadap dirinya itu. selagi ia menunggang kudanya dengan santai, tiba-tiba nampak debu mengebul dari depan dan serombongan penunggang kuda mendatangi dari depan.

"Tar-tar-tar Minggir kamu...." Penunggang paling depan meledakkan cambuknya dan membentak kepada Ceng Ceng dengan kasar.

Penunggang kuda ini bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh cambang bauk menyeramkan. Ceng Ceng merasa mendongkol juga, akan tetapi ia mengalah dan cepat minggirkan kudanya. Rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu lewat dan meninggalkan debu mengebul tinggi.

"Orang-orang kasar!" Ceng Ceng memaki dalam hatinya dan tiba-tiba ia mengerutkan sepasang alisnya.

Kalau Hwe Li dan Siong Ek yang dibentak seperti itu, kedua orang itu pasti akan menjadi marah sekali. Dan rombongan penunggang kuda itu membalapkan kuda mereka, tentu akan dapat mengejar Hwe Li dan Siong Ek. Kalau kedua orang itu menjadi marah tentu akan terjadi keributan dan perkelahian. Ah, hatinya merasa tidak nyaman dan ia pun cepat memutar kudanya dan melarikan kudanya mengejar rombongan yang menuju ke timur itu.

Hwe Li dan Siong Ek menjalankan kuda mereka dengan santai. Mereka memandang ke kanan kiri dalam hutan itu, melihat-lihat kalau ada binatang buruan. Kuda mereka berjalan berdampingan di atas jalan yang sunyi itu Tiba-tiba terdengar derap kaki dari arah belakang mereka dan segera terdengar bentakan orang didahului dengan bunyi cambuk meledak-ledak.

"Tar-tar-tar Minggir kalian semua" Bentakan itu kasar dan nyaring sekali. Hwe Li dan Siong Ek menengok dan melihat rombongan itu, mereka menjadi marah.

"Gila, apa mereka kira jalan ini milik pribadi mereka?" kata Hwe Li dan gadis ini sengaja melintangkan kudanya menghadang. Hal yang sama dilakukan pula oleh Siong Ek dan keduanya sudah siap untuk menghadapi apa saja sebagai akibat sikap mereka yang menentang.

"Heii, minggir kalian Apa kalian sudah bosan hidup?" bentak laki-laki tinggi besar yang bercambang bauk itu sambil memutar-mutar cambuk mereka di atas kepalanya.

Namun Hwe Li dan Siong Ek tentu saja tidak mau minggir, bahkan Hwe Li menudingkan cambuknya kepada tujuh orang yang terpaksa menahan kuda mereka agar jangan menabrak dua ekor kuda yang dipalangkan itu. Karena tadinya berlari cepat lalu mendadak dihentikan, tentu saja kuda itu mengangkat kedua kaki depan mereka ke atas dan meringkik-ringkik.

"Hemm, bukan kami yang harus minggir, melainkan kalian" hardik Hwe Li marah. "Dan bukan kami yang bosan hidup, melainkan kalian yang mencari mampus sejak tadi kami sudah berkuda dijalan ini, kalau kalian hendak lewat, harus minta jalan dengan sopan, bukan berteriak-teriak seperti orang gila."

Tujuh orang penunggang kuda itu marah sekali. Ada seorang gadis muda berani bicara seperti itu kepada mereka, sungguh luar biasa sekali. Penunggang kuda yang brewokan itu juga marah bukan main. Dia meloncat dari atas kudanya, diikuti oleh enam kawannya. Tujuh orang itu sudah turun dari atas kuda mereka dan si Tinggi Besar bercambang bauk itu lalu membentak dengan nyaring.

"Gadis kurang ajar. Berani engkau besikap seperti itu kepada kami? Hayo lekas kau berlutut minta ampun, baru kami akan mengampunimu." si Tinggi Brewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu bertolak pinggang dan berdiri dengan kedua kaki terpentang. Teman temannya juga sudah bersiap-siap untuk berkelahi.

"Twako, ia cantik sekali. Biarlah kita ampuni ia kalau ia mau ikut dengan kita" kata kawannya yang termuda dan ucapan ini disambut suara tawa mereka.

Hwe Li menjadi merah mukanya dan ia pun meloncat turun dari atas punggung kudanya sambil mencabut pedang. "Kalian orang-orang kasar dan kurang ajar, cepat kalian berlutut minta ampun kepadaku atau pedangku akan membuat kalian menjadi setan-setan tanpa kepala."

Melihat sumoinya sudah marah dan mencabut pedang, Siong Ek juga mencabut pedangnya dan dia pun membentak. "Gerombolan berandal, kalian mencari penyakit. Hayo cepat berlutut minta ampun seperti yang diperintahkan sumoiku."

Melihat muda-mudi itu sudah mencabut pedang, tujuh orang itu pun menjadi semakin marah. Mereka semua menggerakkan tangan kanan kepunggung dan di lain saat mereka sudah mencabut golok mereka yang tadi diselipkan di belakang punggung. Golok mereka berkilauan saking tajamnya dan sikap mereka semakin bengis.

Si Tinggi brewokan berteriak sambil memutar goloknya di atas kepala. "Tangkap yang perempuan dan bunuh yang laki-laki. Rampas kuda mereka."

Tujuh orang itu lalu bergerak menyerang muda-mudi yang sudah siap sedia itu. Terdengar bunyi nyaring ketika golok bertemu pedang. Hwe Li dan Siong Ek menggerakkan pedang mereka dan memainkan ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang diajarkan oleh Souw Can. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang indah dan hebat dan gerakan dua orang muda itu menunjukkan bahwa mereka telah berlatih dengan baik.

Apalagi Souw Hwe Li. Dara ini mengamuk dengan pedangnya dan memaksa para pengeroyoknya untuk berlompatan ke belakang. sayang mereka berdua itu kurang pengalaman dan terlalu berhati-hati sehingga mereka tidak terlalu mendesak tujuh orang pengeroyoknya. Andaikata Hwe Li dan Siong Ek terus mendesak dan mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya, tentu tujuh orang itu dapat dikalahkan dan tidak memakan waktu lama.

Hwe Li dan Siong Ek lebih banyak menanti serangan lawan untuk dielakkan atau ditangkis, baru balas menyerang. Kalau lawan-lawannya melompat mundur, mereka tidak mendesak sehingga memberi kesempatan kepada para peneroyoknya untuk maju lagi.

Selagi pertandingan berlangsung seru, tiba-tiba terdengar teriakan, "Hwe Li, aku datang membantumu."

Yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Ceng. Melihat Hwe Li dikeroyok, ia cepat mencabut pedangnya dan terjun dalam pertempuran membantu Hwe Li. Lima orang mengepung kedua orang gadis ini dan yang dua orang lagi mengeroyok Siong Ek.

Tadi pun sebelum Ceng Ceng datang membantu, tujuh orang berandalan itu sudah kesulitan menghadapi pedang Hwe Li dan Siong Ek. Kini datang lagi bantuan Ceng Ceng yang ilmu pedangnya setingkat dengan kepandaian Siong Ek, maka tentu saja tujuh orang berandalan itu menjadi semakin kerepotan.

Dan Ceng Ceng ternyata tidak menanti seperti mereka, melainkan terus menyerang untuk menolong Hwe Li. Tak lama kemudian, Ceng Ceng berhasil melukai seorang pengeroyok dengan pedangnya. Pundak kanan pengeroyok ini terluka dan mengucurkan banyak darah sehingga orang itu terpaksa mundur dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokannya. Pedang Hwe Li menyambar ke arah pemimpin gerombolan itu.

Si Tinggi Brewokan berteriak dan goloknya terlepas dari pegangan karena lengan kanannya terluka parah di dekat siku. Dia pun terpaksa mundur tidak dapat melanjutkan pengeroyokan. Melihat ini Siong Ek mempercepat gerakan pedangnya dan seorang pengeroyok roboh dengan paha terluka parah.

Melihat keadaan para temannya, si Muka Brewok lalu memberi aba-aba, "Gawat, kita lari."

Dia sendiri sudah cepat meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh dua orang teman yang terluka. Empat orang lainnya segera berlompatan ke belakang dan mengikuti jejak pemimpinnya, dantak lama kemudian tujuh orang itu sudah membalapkan kuda mereka melarikan diri.

"Kita kejar mereka" Siong Ek berseru.

"Musuh yang lari tidak perlu dikejar, dapat berbahaya bagi kita." kata Ceng Ceng memperingatkan, seperti yang pernah dinasihatkan pamannya.

"Tidak usah mengejar. Tikus-tikus seperti itu tidak ada harganya untuk dikejar. Baru mereka tahu rasa, berani mengganggu kita." kata Hwe Li dengan sikap bangga, lalu menoleh kepada Ceng Ceng. "Ceng Ceng, aku sudah menyuruh engkau pulang, kenapa engkau masih berada di sini?"

"Ya, tidak perlu bantuanmu pun kami berdua akan membasmi mereka" kata Siong Ek. Akan tetapi matanya memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh gairah, dan menyimpan kembali pedangnya dengan lagak gagah.

"Aku berpapasan dengan mereka di jalan dan melihat sikap mereka yang kasar, aku khawatir mereka akan mengganggu kalian, maka aku lalu kembali. Benar saja mereka mengeroyok kalian maka aku cepat membantu," kata Ceng Ceng.

"Hemm, melawan tikus-tikus macam itu, aku atau suheng sendiri pun akan mampu mengalahkan mereka. Kami tidak memerlukan bantuan." kata Hwe Li dengan nada menyalahkan.

"Bagus, pendekar-pendekar Kun-lun-pai sungguh mengagumkan." tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang pemuda.

Tiga orang murid Souw Can itu segera memutar tubuh menghadapi orang itu Mereka merasa heran. Pemuda itu berpakaan serba putih dari sutera halus, dipunggungnya nampak gagang sepasang pedang dan diikat pinggangnya nampak belasan gagang belati bergagang hitam.

Pemuda itu berusia kira-kira dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sikapnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, akan tetapi sepasang matanya meneorong dan mengandung sinar dingin atau kejam. Pemuda ini bukan lain adalah ouw Kwan Lok. pemuda murid mendiang Pak-thian-ong yang kemudian diambil murid Thian-te Mo-ong.

Seperti kita ketahui, setelah dia tamat belajar ilmu kepada Thian-te Mo-ong, dia lalu terjun ke dunia kang-ouw dengan tugas dari gurunya untuk membalas dendam guru pertamanya dan guru ke dua itu kepada musuh-musuh mereka seperti yang dipesankan Thian-te Mo-ong. Musuh-musuh itu adalah song Thian Lee, Tang cin Lan dan Souw Lee Cin.

Dia sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja untuk menyelidiki musuh-musuhnya itu ketika di tempat itu dia sempat menyaksikan tiga orang muda itu dikeroyok oleh tujuh gerombolan jahat. Dia bersembunyi dan tidak mencampuri, apa lagi melihat betapa pemuda dan dua orang gadis cantik itu tidak kalah. setelah mereka bertiga menang dan mendengar ucapan mereka, barulah dia muncul dan mengeluarkan suara pujian.

Hwe Li dan Ceng Ceng memandang kepada pemuda itu dengan bimbang karena mereka ini tidak tahu orang macam apakah adanya pemuda tampan berpakaian putih itu. Akan tetapi Siong Ek menjadi marah karena pemuda itu tampan dan bersikap ramah, seolah hendak menarik hati kedua orang sumoinya dan menyainginya.

Siong Tek menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu dan menghardik, "Sudah tahu kami pendekar-pendekar Kun-lun-pai mengapa engkau berani sembarangan muncul disini?"

Souw Kwan Lok memperlebar senyumnya, akan tetapi sinar matanya yang tajam seolah-olah hendak menusuk dada Siong Ek. "sobat, aku memuji kalian bukan karena ilmu silat kalian, melainkan kalian yang masih muda, tidak ada pengalaman dan dengan ilmu silat yang begitu-begitu saja berani menentang tujuh orang gerombolan tadi."

Siong Ek membelalakkan matanya juga Hwe Li memandang dengan marah sekali karena apa yang diucapkan Kwan Lok itu merupakan penghinaan bagi mereka. Hanya Ceng Ceng yang menjadi khawatir karena pemuda berpakaian putih itu pasti bukan membual kosong belaka.

"Hwe Li, mari kita pulang saja. Aku khawatir nanti Paman Souw Can akan menanti-nanti dan mengkhawatirkan kepergian kita," bujuk Ceng Ceng yang sebetulnya merasa enggan untuk bercekcok dengan pemuda asing itu.

Akan tetapi Hwe Li yang sudah marah itu membentaknya, "Engkau pulanglah sendiri kalau merasa takut. Kami tidak takut kepada pemuda sombong ini."

Lai Siong Ek sudah mencabut kembali pedangnya dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ouw Kwan Lok. "Kalau engkau mengatakan ilmu silat kami hanya begitu-begitu saja, coba perlihatkan ilmu silatmu. Beranikah engkau melawan aku?" siang Ek membusungkan dadanya dan sikapnya menantang sekali.

Kwan Lok tertawa, "Heh-heh, harimau yang belum tajam taringnya dan belum kuat kukunya berani bicara besar. Jangankan melawan engkau seorang biarpun dikeroyok tiga aku tidak akan takut, dan aku akan menghadapi kalian hanya dengan tangan kosong saja."

Hampir meledak rasa perut Hwe Li mendengar ucapan itu Andaikata ia dan suhengnya bersombong, pemuda ini ternyata lebih sombong lagi. Dikeroyok tiga pedang dengan tangan kosong saja?

"Bangsat sombong!! Jangan lari dari pedangku!" teriak Hwe Li dan ia pun sudah mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat. Melihat ini, Siong Ek juga sudah menggerakkan pedangnya, mengirim serangan yang dahsyat.

Akan tetapi Kwan Lok adalah seorang pemuda yang pernah digembleng oleh dua orang datuk besar dari utara dan selatan. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat dua orang pengeroyoknya itu. Dengan kedua tangan kosong dia menyambut dua serangan itu. Mula-mula dia memperiihatkan ilmunya meringankan tubuh.

Dua pedang yang menjadi dua gulungan sinar menyambar-nyambar itu selalu dielakkan dan tubuhnya bagaikan bayangan yang menghilang ke sana muncul ke mari, membingungkan Hwe Li dan Siong Ek. Setelah mendemonstrasikan kelincahannya, Kwan Lok mengeluarkan suara mengejek,

"Ha-ha, tidak kena Ah, luput lagi. Hayo keluarkan semua ilmumu."

Tentu saja Hwe Li dan Siong Ek menjadi semakin penasaran dan marah. Sementara itu, Ceng Ceng yang menjadi penonton, tidak mau membantu. Ia melihat bahwa pemuda itu tidak berniat buruk. Kalau dia berniat buruk tentu dia akan mencabut senjatanya. Dia hanya melawan dengan tangan kosong saja dan ini saja menunjukkan bahwa pemuda baju putih itu tidak berniat jahat.

Dugaannya benar karena setelah mereka bertanding, Ceng Ceng melihat pemuda itu berkelebat kesana sini dengan kecepatan seperti seekor burung walet dan dua orang pengeroyoknya tidak mampu berbuat banyak. Kalau pemuda itu seorang jahat, biarpun betapa kuatnya, Ceng Ceng pasti akan membantu dan mengeroyoknya.

Akan tetapi, pemuda itu bukan orang jahat, mengapa mesti dikeroyok dan diserang mati-matian? Ia hanya menonton saja sambil mengerutkan alisnya karena ia melihat betapa Hwe Li dan siang Ek semakin marah dan serangan mereka semakin hebat, merupakan serangan-serangan maut.

Kini Kwan Lok memamerkan kehebatan sinkangnya. Dia tidak lagi mengelak ke sana ke mari, melainkan menangkis dua batang pedang itu dengan telapak tangannya. Bacokan atau tusukan pedang disambut begitu saja dengan tangan terbuka dan kedua senjata itu sama sekali tidak mampu melukai telapak tangannya.

Ceng Ceng menjadi semakin kagum dan khawatir. Mengapa Hwe Li dan Siong Ek tidak mau berhenti saja? Apakah mereka tidak melihat bahwa pemuda itu lihai sekali dan kepandaiannya amat tinggi?

Memang Hwe Li dan siang Ek sama saja. Mereka terlalu tinggi hati dan manja, menganggap diri sendiri paling hebat sehingga sukar bagi mereka untuk mengakui kekalahan.

"Haiiiitt." Hwe Li menusukkan pedangnya ke arah lambung kiri Kwan Lok. Pemuda baju putih ini menggerakkan tangan kiri dan menangkap pedang itu. Begitu ditangkap, pedang itu seolah melekat pada tangannya dan betapapun Hwe Li menariknya, pedang itu tidak dapat terlepas dari cengkeraman tangannya.

"Haiiitt." Siong Ek menggunakan kesempatan itu untuk membacokkan pedangnya ke arah leher Kwan Lok. Kini tangan kanan Kwan Lok menyambar dan pedang Siong Ek itu pun dapat ditangkapnya dan tidak dapat ditarik lepas.

Selagi Hwe Li dan Siong Ek menarik-narik, sekuat tenaga, tiba-tiba Kwan Lok berkata lembut, "Pergilah kalian."

Dia mengerahkan sin-kangnya dan "krak... krak" dua pedang yang dipegang kedua tangannya itu patah dan pemilik masing-masing terdorong ke belakang dan terjengkang lalu terbanting ke atas tanah. Hwe Li dan Siong Ek merangkak bangkit dengan muka pucat. Akan tetapi Kwan Lok tidak mempedulikan mereka. sekali menggerakkan tubuh, Kwan Lok sudah meloncat ke dekat Ceng Ceng.

"Nona yang baik, engkau ikut dengan aku."

Ceng Ceng terkejut dan hendak membantah, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Kwan Lok menotok punggung Ceng Ceng, membuat gadis ini menjadi lemas dan akan terkulai roboh. Kwan Lok menyambar tubuhnya, dipanggulnya gadis itu dan sekali berkelebat dia sudah lenyap dari depan Hwe Li dan Siong Ek.

Hwe Li dan Siong Ek saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Celaka, dia menculik Ceng Ceng!" kata Siong Ek dengan alis berkerut karena khawatir.

Hwe Li memandang pedang di tangannya yang tinggal gagangnya, dengan gemas ia membanting pedang itu ke atas tanah. "Hhmm, agaknya Ceng Ceng yang tergila-gila kepada pemuda itu." gerutunya.

"Ehhh? Mengapa engkau menuduh begitu, sumoi? Ceng Ceng telah diculik orang, apa yang harus kita katakan kepada suhu?"

"Kalau Ceng Ceng tidak tergila-gila kepada pemuda itu, mengapa ia tidak membantu ketika kita mengeroyok pemuda baju putih itu? Tidak salah lagi, Ceng Ceng tentu tergila-gila kepadanya dan pemuda itu mengetahuinya maka membawanya pergi. Hemm, sungguh gadis yang tidak tahu malu, mencemarkan nama keluarga kami dengan perbuatannya yang tidak tahu malu sungguh hina sekali"

Akan tetapi hati Siong Ek tetap saja merasa gelisah. "Pemuda itu tidak meninggalkan nama, kita tidak tahu siapa dia dan bagaimana kita harus melapor kepada suhu?"

"Katakan saja bahwa Ceng Ceng ikut pergi dengan seorang pemuda yang tampan, tidak tahu ke mana dan kita tidak dapat menghalanginya karena pemuda itu lihai sekali."

Siong Ek tidak berani membantah lagi, akan tetapi diam-diam dia merasa cemburu sekali. Diam-diam dia pun tertarik kepada Ceng Ceng yang manis dan lembut hati, walaupun dia jatuh hati kepada Hwe Li.

Mereka segera menunggang kuda masing-masing dan pulang. Siong Ek menuntun kuda yang tadi ditunggangi Ceng Ceng. setelah tiba di rumah, tentu saja Souw Can terkejut melihat mereka pulang menuntun kuda Ceng Ceng, dan gadis itu tidak tampak di antara mereka.

"Di mana Ceng Ceng? Kenapa hanya kudanya saja yang kembali?" tanya Ketua Kim-long-pang itu.

"Entah, dia dibawa pergi seorang laki-laki muda." jawab Hwe Li dengan alis berkerut tidak senang.

"Apa? Dia pergi dengan seorang laki-laki?" tanya Souw Cin tidak percaya. "Siong Ek, apa yang telah terjadi?" Dia bertanya kepada muridnya karena dia tahu bahwa Hwe Li bersikap galak terhadap saudara misannya itu dan keterangannya amat meragukan.

Siong Ek yang tidak setuju dengan keterangan Hwe Li, melirik kepadanya dan menjelaskan. "Begini, suhu. Tadi ketika kami bertiga sedang menunggang kuda di tengah hutan di sebelah timur kota, mendadak ada tujuh orang gerombolan menyerang kami. Kami bertiga melawan dan akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir mereka."

"Tujuh orang gerombolan? Siapa mereka? Apakah kalian tidak bertanya siapa mereka dan dari golongan mana?"

"Kami tidak sempat bertanya, suhu. Mereka menyerang dan mengeroyok kami."

"Hhmm, lalu bagaimana? Ke mana perginya Ceng Ceng?"

"Setelah gerombolan itu pergi, muncul seorang pemuda berpakaian serba putih. Dia menghina dan mengejek ilmu silat kami. Tentu saja kami menjadi marah dan terjadilah perkelahian. Teecu bersama sumoi Hwe Li maju menyerang pemuda baju putih itu. Akan tetapi... hemm, ini anehnya, suhu, sumoi Ceng Ceng tidak membantu kami, hanya menonton saja. Akhirnya, kami berdua terpaksa mengakui kekalahan kami, suhu.

"Pemuda itu lihai bukan main. Dengan tangan kosong dia melawan kami dan dapat mematahkan pedang kami. Kemudian tanpa berkata apa-apa, dia meloncat mendekati sumoi Ceng Ceng, menotoknya dan memanggulnya lalu membawanya pergi."

Souw Can terbelalak kaget. "Siapa nama pemuda berpakaian putih itu?"

Siong Ek menundukkan mukanya yang berubah merah. Dia tidak mampu menjawab. Hwe Li yang menjawab, "Kami tidak sempat bertanya karena kami sudah marah sekali, Ayah. Akan tetapi melihat betapa Ceng Ceng tidak membantu kami, itu menunjukkan bahwa Ceng Ceng agaknya tertarik, kepada pemuda itu, Ayah. Dia memang tampan dan ilmu silatnya tinggi."

"Ah, celaka. Apa yang akan terjadi dengan Ceng Ceng. Ke mana pemuda itu membawanya pergi? Aku harus mengerahkan semua anak buah untuk melakukan pengejaran dan mencarinya."

Souw Can lalu mengumpulkan semua anggauta Kim-liong-pang yang jumlahnya lima puluh orang lebih, semuanya merupakan piauwsu (pengawal pengiriman barang) yang berpengalaman dan pandai silat, lalu memerintahkan mereka berpencar untuk mencari jejak pemuda yang melarikan Ceng Ceng.


Mari kita ikuti perjalanan ouw Kwan Lok yang melarikan Ceng Ceng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kwan Lok memondong Ceng Ceng yang sudah ditotoknya itu dan akhirnya, setelah jauh sekali dari tempat tadi, dia berhenti di dalam sebuah hutan, di lereng terbawah sebuah bukit. Dia menurunkan tubuh gadis itu dan merebahkannya di atas rumput tebal.

Sejenak dia menatap wajah Ceng Ceng yang cantik manis itu. Ceng Ceng tidak mampu bergerak atau bicara, akan tetapi pandang matanya yang penuh permohonan itu menggerakkan hati Kwan Lok untuk membebaskan totokannya. Begitu terbebas dari totokan Ceng Ceng menggerak-gerakkan kaki tangannya yang masih terasa agak lemas, lalu ia bangkit duduk lalu berdiri sambil memandang kepada Kwan Lok.

Kwan Lok juga bangkit berdiri sambil tersenyum. Melihat pandang mata dan senyum itu, diam-diam berdiri bulu roma Ceng Ceng. la melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata dan senyum itu. "Mengapa... mengapa engkau membawaku ke tempat ini?" tanyanya lirih karena terkandung rasa ngeri dan takut.

"Mengapa? Untuk kuajak bercakap-cakap. Di sini jauh dari dua orang muda besar kepala itu. Aku melihat bahwa engkau lain dari mereka. Engkau seorang gadis yang cantik manis dan bijaksana, dan aku merasa berbahagia sekali karena engkau suka kepadaku. Nona manis, siapakah namamu?"

"Aku bernama Liu Ceng, akan tetapi aku... aku tidak merasa suka kepadamu... aku tidak mengenalmu...."

Pemuda itu tersenyum mengejek. "Tidak usah kau katakan juga aku sudah tahu bahwa engkau tertarik, dan suka kepadaku, Adik Liu Ceng. Dan aku bukan orang yang tidak tahu membalas budi baik. Engkau tidak ikut mengeroyok. Itu berarti engkau suka kepadaku, bukan? Tidak usah malu-malu, kalau kita berdua saling tertarik. untuk apa dibuat malu?"

Sambil berkata demikian, Kwan Lok mejulurkan tangan dan memegang lengan Ceng Ceng. Ada sesuatu perasaan dalam sentuhan itu yang membuat Ceng Ceng melompat ke belakang dan menarik tangannya.

"Engkau salah mengerti. Aku tidak ikut mengeroyok karena aku melihat bahwa engkau tidak hendak mencelakai mereka. Aku dapat menduga bahwa ilmumu amat tinggi dan kami bukan tandinganmu. Terima kasih bahwa engkau tidak mencederai mereka. sekarang, ijinkan aku pulang. selamat berpisah." Ceng Ceng membalikkan tubuh untuk lari dari tempat itu.

"Nanti dulu" Kwan Lok berkata dan Ceng Ceng tidak dapat lari karena lengannya sudah ditangkap tangan Kwan Lok.

"Lepaskan aku." Ceng Ceng meronta-ronta. Akan tetapi tangkapan itu kuat sekali sehingga tidak mampu ia melepaskan lengannya.

"Ceng-moi, engkau begini cantik, Aku tidak mencelakai mereka karena aku melihat engkau. Kalau tidak ada engkau, tentu dua orang manusia sombong itu sudah kubunuh. Nah, aku begini baik kepadamu, apakah engkau tidak ingin bersahabat denganku? Engkau akan menjadi pacarku yang istimewa dan kusayang, bahkan aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu agar engkau menjadi lihai dan dapat mengalahkan dua orang sombong itu."

Kwan Lok menarik lengan itu dan hendak merangkul. Akan tetapi Ceng Ceng meronta dengan marah sekali dan kini ia dapat melepaskan lengannya. "Jangan mendekat Jangan sentuh aku. Aku bukan gadis macam itu, mudah saja kau permainkan."

"Ha-ha-ha, bagus Aku senang dengan gadis-gadis yang keras hati, binal seperti seekor kuda liar, tidak mudah menyerah," kata Kwan Lok yang sudah melangkah maju lagi hendak memeluk, akan tetapi Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan lari sekuat tenaga.

Setelah berlari sejauh kurang lebih satu mil, Ceng Ceng menengok dan tidak melihat dirinya dikejar. ia merasa lega dan bernapas panjang. Akan tetapi baru saja melangkah ke depan, ia terbelalak melihat pemuda itu sudah berada di depannya, bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. lalu mengembangkan kedua lengannya.

"Mari, mari ke sini, manis. Engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari pelukanku."

Bukan main bingung hati Ceng Ceng. Ia menengok ke kanan kiri, tidak ada seorang pun di tempat yang lebat penuh pohon-pohon itu, tidak ada orang yang dapat dimintai tolong. Lalu ia mencabut pedangnya. Ia bertekad untuk melawan sampai akhir hayatnya. Lebih baik mati daripada menyerah ke dalam tangan pemuda yang halus tampan seperti seekor ular berbisa itu.

"Baik, apa boleh buat. sekarang aku akan melawanmu sampai mati. Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu."

"Ha-ha-ha, aku senang sekali. Engkau bukan gadis murahan. Engkau mempertahankan kehormatanmu dengan taruhan nyawa. Bagus, engkau memang gadis yang patut menjadi sisihanku."

"Hyaaattt..." Ceng Ceng sudah menyerang dengan memainkan jurus yang paling hebat untuk membunuh pemuda yang membuatnya merasa ngeri itu.

Akan tetapi dengan amat mudahnya Kwan Lok mengelak sambil menggoda. "Keluarkan semua ilmumu, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu, sayang."

Kemarahan dan ketidak berdayaan membuat Ceng Ceng menjadi nekat dan semangatnya yang besar untuk melawan menambah kekuatannya. Pedangnya berkelebatan dan membentuk segulung sinar yang menyambar ke arah pemuda itu.

"Ha-ha, bagus sekali. Engkau berbakat dan setelah menjadi pacarku, engkau akan kuajarkan ilmu pedang yang lebih hebat pula."

"Tidak Lebih baik aku mati" kembali Ceng Ceng menyerang dengan hebat.

Sekali ini Kwan Lok menangkap pedang itu sehingga tidak dapat ditarik kembali oleh Ceng Ceng dan tangan kirinya meraih ke depan, menyambar tangan kiri gadis itu dan dia mendekatkan mukanya untuk mencium. Ceng Ceng mengelak dengan memalingkan mukanya ke kiri dan kanan. Akan tetapi kedua tangannya tidak mampu digerakkan lagi dan agaknya elakannya tidak akan berhasil terus.

Tiba-tiba angin lembut menyambar ke arah punggung Kwan Lok disertai bentakan, "Pemuda jahat, lepaskan gadis itu."

Kwan Lok terkejut karena hembusan angin lembut pada punggungnya itu terasa membawa tenaga yang kuat sekali. Dia cepat meloncat ke samping dan melepaskan kedua tangan Ceng Ceng sambil mendorongnya sehingga Ceng Ceng terhuyung dan tentu akan terjengkang kalau saja tidak ada sesuatu yang menangkap tangan kirinya dan menahannya sehingga tidak sampai terjatuh.

Ketika dia melihat, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek gendut pendek yang memegang sebatang kebutan. Bulu kebutan berwarna putih itu yang melibat pergelangan tangan Ceng Ceng sehingga ia tidak sampai terjengkang dan bulu kebutan itu pula yang tadi mengancam punggung Kwan Lok. Ceng Ceng maklum bahwa ada seorang kakek yang menolongnya, maka ia lalu meloncat ke belakang kakek itu untuk berlindung.

"Ha-ha-ha, jangan takut, Nona. Tidak ada yang dapat mengganggumu selama aku berada di sini."

Kwan Lok adalah seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Biarpun dia merasa marah dengan bercampur tangannya kakek itu, akan tetapi dia bersikap tenang saja. Dia maklum bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia memandang penuh perhatian dan melihat kakek pendek gendut yang memegang kebutan berbulu putih.

Dia segera dapat menduga dengan siapa dia berhadapan. sebelum dia berangkat merantau, Thian-te Mo-ong telah menceritakan padanya tentang pada datuk dan tokoh persilatan yang terkenal. Dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, "Ah, kiranya Locianpwe Thian-tok Cu Kiat Seng yang datang selamat datang dan selamat berjumpa, Locianpwe."

Thian-tok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang lihai. Akan tetapi pemuda itu agaknya sudah mengenalnya dengan baik. Dia segera tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aih, dunia telah mengalami kemajuan. Seorang pemuda telah memiliki ilmu silat tinggi dan juga bermata tajam mengenal orang. siapakah engkau, orang muda yang pandai?"

"Saya bernama Ouw Kwan Lok. Locianpwe. Saya mengenal nama Locianpwe dari suhu saya dan saya yakin bahwa Locianpwe tentu sudah mengenal baik kedua orang suhuku."

Ceng Ceng masih berdiri di belakang tubuh kakek itu dan mendengarkan dengan penuh perhatian. ia sendiri juga tidak mengenal siapa itu ouw Kwan Lok dan ia masih bergidik kalau mengingat akan bahaya yang mengancarnnya tadi dan ia tahu bahwa tanpa bantuan kakek itu, ia tentu tidak akan terlepas dari cengkeraman pemuda yang seperti srigala buas itu.

Thian-tok memandang penuh selidik ketika dia bertanya, "Orang muda, siapakah kedua gurumu itu?"

"Guruku yang pertama adalah mendiang suhu Pak-thian-ong, dan guruku yang ke dua adalah suhu Thian-te Mo-ong."

"Wah-wah-wah... Kiranya engkau murid mereka? Aku tahu bahwa Pak-thian-ong sudah tewas, dan aku mendengar pula bahwa Thian-te Mo-ong tertawan pasukan kerajaan. Pantas engkau, begini lihai, kiranya engkau murid kedua orang datuk itu."

Kembali Kwan Lok mengangkat kedua tangan depan dada. "Karena Locianpwe mengenal kedua orang guruku, bahkan kalau tidak salah mereka adalah segolongan dengan Locianpwe, maka kuharap Locianpwe suka melihat muka mereka dan tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku cinta kepada gadis itu, harap Locianpwe suka membiarkan aku menangkapnya."

"Ho-ho-ho, engkau mau enaknya sendiri saja, Ouw Kwan Lok. Aku memang mengenal kedua orang gurumu, akan tetapi di antara kami tidak ada hubungan apapun. Dan engkau hendak memaksa gadis ini, mana mungkin aku mendiamkan saja? Kalau kalian saling mencinta, aku orang tua tidak akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi coba kutanya dulu Nona ini."

"Tidak. aku tidak kenal padanya, tidak cinta padanya. Dia hendak memaksa aku" seru Ceng Ceng tanpa ditanya karena dia sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau kakek itu akan memenuhi permintaan pemuda bernama Kwan Lok itu.

Thian-tok melambaikan tangannya kepada Kwan Lok. "Nah, engkau mendengar sendiri, orang muda. Mana mungkin cinta bertepuk sebelah tangan. Mana mungkin aku menyerahkannya kepadamu walaupun engkau mengaku cinta kalau gadis ini tidak mau dan tidak cinta kepadamu?"

Kwan Lok mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakek gendut pendek itu dengan tajam, mulutnya tersenyum aneh dan ujung kedua bibirnya agak gemetar sedikit, tanda bahwa dia marah sekali.

"Thian-tok Gu Kiat Seng, engkau seorang tua yang tidak ingin dihormati orang muda. Jangan mengira bahwa aku takut kepadamu. sekali lagi kuperingatkan jangan mencampuri urusanku dan lebih baik engkau cepat pergi dari sini sebelum terlambat."

"Hemm, Kwan Lok. Engkau sungguh beruntung dapat menjadi murid dua orang Datuk selatan dan Datuk Utara itu. Hanya sayang sekali, engkau bukan hanya mewarisi ilmu-ilmu mereka, melainkan juga kejahatan mereka. sebaiknya engkau menyadari akan hal ini dan mengubah kelakuanmu, karena kelakuanmu sendiri itu yang kelak akan membinasakan engkau."

Kwan Lok menjadi marah sekali walaupun tidak nampak pada wajahnya yang masih tersenyum-senyum. "Thian-tok. Engkau orang tua yang bosan hidup," teriaknya dan begitu kedua tangannya bergerak cepat, beberapa sinar menyambar ke arah kakek gendut itu. Jarak antara mereka tidak begitu jauh, hanya empat meter dan sambitan pisau terbang itu cepat sekali.

Akan tetapi, Thian-tok tidak akan menjadi datuk barat kalau dia menjadi korban dari serangan gelap macam itu. Dia menggerakkan kebutan berbulu putih di depan tubuhnya dan runtuhlah lima batang pisau terbang itu, terpukul bulu kebutan.

Akan tetapi Kwan Lok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia telah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Gerakan pedangnya selain cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat.

Thian-tok menyambut dengan kebutannya. Bulu- bulu halus kebutan itu kadang dapat menjadi kaku seperti kawat baja dan begitu bertemu pedang, bepercikan bunga api. Mereka saling serang dengan hebatnya.

Kwan Lok adalah murid dua orang datuk dan hampir seluruh ilmu kedua orang datuk itu telah dipelajarinya sehingga tentu saja dia menjadi seorang pemuda yang amat tangguh. Akan tetapi lawannya juga seorang Datuk Barat yang telah membuat nama besar, maka tidak mudah bagi Kwan Lok untuk memperoleh kemenangan dalam pertandingan itu.

Mereka saling serang sampai lima puluh jurus lebih. Ceng Ceng yang sejak tadi nonton menjadi amat khawatir kalau-kalau kakek itu tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu. Kalau kakek itu kalah, bukan hanya kakek itu yang celaka atau mungkin mati, akan tetapi ia sendiri pun akan terancam bahaya yang mengerikan. setelah berpikir demikian, dengan nekat Ceng Ceng lalu melompat dan menyerang pemuda itu dengan pedangnya.

"Tranggg...." Pedang Ceng Ceng tertangkis dan terpental, akan tetapi gadis itu menyerang lagi dengan nekat dan dengan sepenuh tenaganya untuk membantu Thian-tok.

Menghadapi Thian-tok sendiri saja, Kwan Lok belum juga mampu mengalahkannya, apa lagi sekarang kakek itu dibantu oleh Ceng Ceng. Biarpun tingkat kepandaian gadis ini masih jauh di bawah Kwan Lok, akan tetapi ia telah mewarisi ilmu pedang Kun-lun-pai yang cukup lihai.

Masuknya gadis ini dalam pertempuran itu membuat Kwan Lok terdesak karena Thian-tok mempergunakan kesempatan itu untuk memutar kebutannya dan menggunakan pukulan dorongan tangan kirinya yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok. Hawa pukulan yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah Kwan Lok.

Pemuda itu maklum bahwa kini dirinya yang terancam, maka dia mengelebatkan sepasang pedangnya menyerang dengan hebat. Menghadapi sambaran pedang itu, Ceng Ceng melompat ke belakang dan Thian-tok menangkis dengan kebutannya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kwan Lok untuk melompat jauh dan melarikan diri dengan cepatnya.

Thian-tok tersenyum memandang kepada Ceng Ceng dan berkata, "Bagus, Nona. Kalau engkau tidak membantu, belum tentu dia akan melarikan diri. Bocah itu lihai bukan main."

Ceng Ceng sudah menyimpan pedangnya, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe telah menyelamatkan saya dari kematian yang mengerikan. Sampai mati saya tidak akan dapat membalas budi kebaikan Locianpwe."

"Ha-ha, engkau sendiri sebetulnya sudah memiliki ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Sayang masih belum sempurna. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmumu, belum tentu pemuda tadi dapat mengganggumu."

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat memberi hormat sambil berlutut. "Saya mohon sudilah kiranya Locianpwe membantu saya menyempurnakan ilmu silat saya."

"Hemm, engkau memang berbakat dan aku pun belum mempunyai murid. sukakah engkau menjadi muridku, Nona?"

"Justeru itu yang saya harapkan, Locianpwe."

"Bagus, akan tetapi engkau harus langsung ikut dengan aku meninggalkan ayah ibumu. Apakah engkau tega melakukan hal itu?"

"Suhu, teecu sudah tidak mempunyai ayah bunda. Teecu yatim piatu," kata Ceng Ceng yang langsung saja menyebut kakek itu dengan sebutan suhu.

"Ha-ha-ha, ini namanya jodoh. Bagus sekali kalau begitu."

"Akan tetapi, suhu. selama ini teecu ikut dan mondok di rumah Paman Souw Can, Ketua Kim-liong-pang di Pao-ting. Rasanya tidak enak kalau teecu pergi tanpa pamit, akan tetapi untuk pamit pun teecu merasa tidak enak karena Paman dan Bibi tentu akan melarang. Teecu hanya ingin memberitahu bahwa teecu pergi bersama suhu untuk mempelajari ilmu."

"Hemm, jangan khawatir. Malam ini juga kita kesana dan menyampaikan pemberitahuanmu."

"Baik, suhu. Saya akan mentaati semua perintah suhu."

"Bagus, engkau murid yang baik. siapa namamu?"

"Nama teecu Liu Ceng, biasa dipanggil Ceng Ceng."

"Nah, Ceng Ceng, kita berangkat ke Pao-ting, memasuki kota itu setelah malam tiba."

Berangkatlah guru dan murid ini, melangkah perlahan dan santai menuju ke kota Pao-ting. Malam itu ketika Souw Can dan isterinya masih belum tidur, bahkan mendengarkan lagi cerita Hwe Li dan Siong Ek tentang hilangnya Ceng Ceng, tiba-tiba mereka mendengar suara di atas genteng,

"Paman Souw Can dan Bibi, saya mohon diri untuk mengikuti suhu mempelajari ilmu."

"Ceng Ceng...." Souw can cepat melayang ke atas genteng, diikuti pula oleh Hwe Li dan Siong Ek. Di atas genteng yang diterangi bulan mereka bertiga melihat Ceng Ceng berdiri di depan seorang kakek gendut pendek.

"Ceng Ceng." kata Souw Can. "Engkau akan pergi ke mana dan dengan siapa?"

Kakek gendut itu yang menjawab sambil tersenyum lebar, "Souw-pancu, mulai sekarang Ceng Ceng menjadi murid ku, setelah tamat belajar ilmu barulah ia akan kembali ke sini."

"Akan tetapi siapa kah engkau? Aku paman dan juga guru Ceng Ceng, tidak dapat membiarkan engkau membawanya begitu saja."

"Ayah, kakek ini tentu teman pemuda yang menculiknya itu."

"Suhu, serang saja dia, dia tentu bukan orang baik-baik"

Hwe Li dan Siong Ek maju menyerang kakek itu. Akan tetapi, sekali berkelebat kakek gendut itu lenyap pula.

Lalu terdengar suara kakek itu, "Souw-pangcu, lebih baik engkau mengajarkan kesopanan kepada puteri dan murid mu."

"Paman, Bibi, selamat tinggal, saya pergi" masih terdengar lapat-lapat suara Ceng Ceng lalu sunyi.

Souw Ceng menghela napas panjang. Ketika dia melihat Hwe Li dan Siong Ek hendak melakukan pengejaran, dia berkata, "Tidak perlu dikejar. Kalian tidak akan mampu menyusulnya. Kakek itu seorang yang amat sakti. Kalau Ceng Ceng menjadi muridnya, hal itu malah baik sekali."

Mereka semua lalu turun dan semalam itu mereka membicarakan soal Ceng Ceng yang pergi secara aneh itu. Gadis itu sama sekali tidak membawa bekal pakaian dan semua barangnya ditinggalkan di kamarnya.


Lee Cin berjalan santai di bukit itu. Pemandangan alam pada pagi hari itu teramat indahnya. Matahari bersinar cerah. Langit biru dan awan-awan putih, berarak seperti sekumpulan domba berbulu putih. Di bawah kakinya, sawah ladang terbentang luas kehijauan jauh di sebelah kanan tampak sebuah pedusunan dengan genteng-genteng rumahnya berwarna kemerahan.

Kalau atap rumah pedusunan itu sudah memakai genteng semua, hal itu menandakan bahwa dusun itu sudah lumayan keadaannya, sudah cukup kebutuhan hidup penghuninya. Di atas sana, dekat puncak, tampak sebuah bangunan dengan menara yang berbentuk kerucut, bersusun delapan.

Agaknya itu merupakan sebuah bangunan semacam kuil atau tempat pemujaan, kelihatan begitu menyendiri di lereng atas terkurung pohon-pohon, semua kelihatan demikian tenteram dan penuh damai.

Dia melangkah terus, mendaki sebuah lereng. Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh manusia menggeletak di antara semak-semak, Lee Cin menjadi heran dan cepat ia menghampiri Yang menggeletak dengan napas tinggal satu-satu itu adalah seorang pemuda.

Sebetulnya pemuda itu berwajah tampan, akan tetapi wajah itu amat pucat seperti mayat dan tubuh itu pun kurus. seperti seorang pemuda yang kehabisan banyak darah sehingga di wajah itu sudah hampir tidak darahnya lagi. Lee cin berjongkok dekat pemuda itu dan memeriksa nadinya. Begitu lemahnya, tinggal satu-satu.

Agaknya sentuhan jari tangan Lee Cin menggugah pemuda itu siuman dari pingsannya. Dia mengeluh dan membuka matanya yang sayu, nampak kaget melihat Lee Cin dan mendadak seperti mendapat tenaga baru, dia menudingkan telunjuknya ke muka Lee cin sambil berseru lemah,

"Iblis cantik... kau iblis cantik...."

Lee Cin terkejut, akan tetapi ia memegang lengan orang itu dan bertanya cepat, "Apa maksudmu? siapa iblis cantik?"

"Kau... kau... iblis cantik, lepaskan aku... lepaskan...." Dan orang itu terkulai lemas. Ketika Lee cin memeriksanya lagi, ternyata orang itu sudah tewas...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.