Gelang Kemala Jilid 02
Thian Lee mengerutkan alisnya dan mengepal tinju yang kecil. "Akan tetapi, Ibu. Kenapa mereka mengeroyok Ibu dan Ayah? Kenapa mereka membunuh Ayah?"
"Karena ayahmu membantu Bu Cian ketika menghajar pangeran dan para pengawalnya. Seperti juga Bu Cian, ayahmu dituduh sebagai pemberontak."
"Ah, akan tetapi Ayah tidak memberontak. Ayah hanya memberi hajaran kepada orang yang memaksa seorang gadis!"
"Benar, akan tetapi sungguh tidak kebetulan sekali, orang itu adalah seorang pangeran. Jadi, ayahmu dituduh memukul seorang pangeran, dianggap melawan pemerintah dan memberontak."
"Ayah mati penasaran, Ibu!"
"Memang penasaran sekali, dan engkau belajarlah baik-baik agar kelak menjadi seorang pendekar yang lihai untuk membalas dendam kematian ayahmu. Kalau bisa, basmi semua pangeran yang ada!"
Thian Lee mengerutkan alisnya. Sekecil itu dia sudah pandai membaca dan ibunya sudah banyak memberi dia bacaan kitab sejarah orang-orang gagah, maka dia dapat mempertimbangkan bahwa pesan ibunya itu tidak adil.
"Akan tetapi, Ibu. Yang menjadi sebab kematian Ayah hanyalah satu orang pangeran. Pangeran yang memaksa gadis itulah yang bersalah, dan dia yang akan kucari, bukan semua pangeran."
"Semua pangeran adalah bangsawan Mancu, penjajah tanah air dan bangsa kita, Thian Lee. Semua pangeran harus dibasmi dan pemerintah penjajah Mancu harus dibasmi!" kata ibunya penuh semangat sehingga Thian Lee tidak membantah lagi.
Thian Lee meraba gelang kemala yang diikatkan di lehernya dengan tali, yang sejak dia masih kecil selalu tergantung di lehernya. "Dan gelang ini, Ibu. Kenapa aku harus selalu memakainya sebagai kalung? Ibu selalu hanya mengatakan bahwa ini merupakan pesan Ayah dan aku harus selalu memakainya. Akan tetapi mengapa seorang anak laki-laki diberi gelang kemala?"
"Hal itu pun engkau boleh mengetahui sekarang, Thian Lee. Biarpun usiamu baru sepuluh tahun, akan tetapi aku percaya bahwa engkau telah dapat memaklumi kehendak ayahmu. Ketahuilah bahwa gelang kemala ini adalah tanda ikatan perjodohanmu."
"Ehh? Jodoh, Ibu? Perjodohanku bagaimana maksud Ibu?"
"Thian Lee, sejak berusia satu tahuh engkau telah diikat dengan perjodohan oleh ayahmu dan sahabatnya, yaitu mendiang Bu Cian yang mempunyai seorang anak perempuan, ketika itu baru berusia tiga bulan. Atas persetujuan ayahmu dan Bu Cian, engkau dijodohkan dengan anak perempuan itu, namanya Bu Cin Lan. Aku rnemiliki sepasang gelang kemala peninggalan ibuku, sepasang gelang kemala yang serupa benar.
"Nah, sebuah di antara sepasang gelang itu oleh ayahmu diberikan kepada anak Bu Cian itu sebagai pengikatan perjodohan. Yang sebelah lagi adalah yang kaupakai itu, Thian Lee. Kelak, engkau harus mencari tunanganmu itu. Gadis yang mempunyai gelang kemala yang persis dengan gelang yang kaupakai sebagai kalung itulah tunanganmu."
Thian Lee tertegun. "Aihh, baru berusia setahun sudah dijodohkan?" Dia berkata lirih dan perlahan, seperti orang tidak percaya.
"Itu adalah kehendak ayahmu, Thian Lee. Dan sudah selayaknya engkau taat kepada pesan mendiang ayahmu kalau engkau ingin menjadi seorang anak yang berbakti. Karena itu gelang ini kuberi tali agar dapat engkau kalungkan di lehermu sampai tiba saatnya engkau bertemu dengan tunanganmu itu kelak setelah engkau dewasa."
Thian Lee tidak berani membantah biarpun di dalam hatinya dia merasa penasaran sekali. Memang sudah semestinya dia mentaati pesan ayah ibunya, akan tetapi dalam hal perjodohan, suatu perkara yang dia sama sekali tidak tahu menahu, sama sekali belum terpikirkan olehnya, mengapa ayahnya telah memberl penentuan?
Dia pun tidak mempedulikan lagi dan melupakan urusan yang dlanggapnya tidak penting itu, Maklumlah, dia baru berusia sepuluh tahun sama sekali belum mengerti dan tidak mau memikirkan tentang perjodohan.
Biarpun Kaisar Kian Liong melanjutkan pimpinan kakeknya yang memegang keras peraturan dan bertindak keras ter-hadap pembesar yang menyalahgunakan kekuasaanmu, namun hal itu hanya dapat diawasi terhadap para pembesar di kota raja saja.
Terhadap perbuatan para pembesar di luar kotaraja, apalagi para pembesar daerah, tidak dapat dilakukan pengawasan ketat. Karena itu, tetap saja banyak pembesar dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukan dan wewenang mereka.
Sudah menjadi kelemahan manusia pada umumnya terhadap harta kekayaan dan terhadap kekuasaan. Mereka yang kebetulan memiliki kekuasaan, kebanyakan menjadi mabuk kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang untuk bertindak menuruti hasrat hati sendiri. Mereka mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi dan untuk mencapai itu, mereka tidak segan mempergunakan wewenang dan kekuasaan mereka.
Maka tidaklah mengherankan kalau seorang kepala dusun bertindak dan bersikap seperti seorang maharaja kecil yang melakukan tindakan sesuka hatinya terhadap rakyat di daerah kekuasaannya. Seperti seorang raja lalim, apa yang dikehendaki sang kepala dusun harus terlaksana.
Memang ada pula pejabat yang jujur dan adil, yang benar-benar menjadi pemimpin rakyat yang baik, yang melakukan segala sesuatu demi kemajuan dusunnya, demi kepentingan rakyatnya.
Pamrihnya bukan untuk kesenangan diri pribadi, inelainkan memenuhi tugas sebaiknya, yaitu sebagai kepala dusun memperhatikan kepentingan dusun dan penduduknya. Akan tetapi dibandingkan dengan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan menyeleweng, jumlah mereka yang jujur dan adil sediklt sekali.
Kepala Dusun Nam-kiang-jung adalah seorang pejabat yang buruk itu. Dia memerintah dusunnya seperti seorang raja lalim. Dan sudah menjadi ciri seorang pembesar yang tidak baik bahwa dia selalu menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Bermuka-muka kepada atasan, akan tetapi menekan dan menginjak bawahan untuk memperlihatkan kekuasaannya.
Bouw-cungcu (Lurah Bouw), demikian nama kepala dusun Nam-kiang-jung, mempunyai tukang-tukang pukul untuk membela kepentingannya dan untuk menegakkan kekuasaannya.
Dua losin tukang pukul ini disebutnya sebagai pasukan keamanan dusun dan sebagai orang yang berkuasa, dia mempunyai pula penjilat-penjilat yang bermuka-muka dan menjadi anteknya untuk menyenangkan hatinya.
Pada suatu hari, ketika Bouw-cungcu sedang duduk menghisap cangklong tembakau bercampur madat, datanglah A-keng, seorang anteknya, menghadap.
A-keng tersenyum-senyum gembira dan setelah memberi hormat dia berkata, "Selamat, Taijin, selamat!"
Bouw-cungcu memang selalu menghendaki agar orang-orang menyebutnya taijin (orang besar), sebutan yang biasa dipakai orang terhadap seorang pembesar tinggi! "He, apa engkau sudah gila? Aku sedang menghisap cangklong, tidak mendapat keuntungan apa-apa dan engkau datang-datang memberi selamat. Apa-apaan ini?"
"Saya menghaturkan selamat karena dusun ini kedatangan seorang bidadari, Taijin. Dan ia sekarang menjadi warga dusun ini. Apakah Taijin tidak menjadi girang mempunyai warga seorang bidadari?"
"Eh? Siapa maksudmu? Katakan cepat," kata Sang Kepala Dusun penuh perhatian sampai dia lupa menghisap cangklongnya.
"Apakah Taijin belum mendengar bahwa di ujung barat dusun itu kini tinggal seorang penghuni baru? Seorang wanita dengan seorang anaknya?"
"Ahhh, seorang wanita dengan anaknya. Apa yang menarik? Tentu sudah tua dan ada suaminya!"
"Wah, keliru, Taijin! Ia adalah seorang janda."
"Ah, janda tua apa artinya? Sudah beranak pula."
"Eh, sama sekali tidak tua! Bahkan kelihatan seperti gadis dua puluh tahun saja. Dan cantiknya! Cantik, muda dan sudah janda pula! Apakah tidak menarik?"
Kini kepala dusun itu menjadi penuh perhatian dan meletakkan cangklongnya ke atas meja. "Benarkah? Masih muda dan cantik janda itu?"
"Seperti bidadari! Tidak mungkin menemui seorang wanita secantik itu di dusun ini, bahkan di kota pun jarang terdapat. Anaknya laki-laki baru berusia sepuluh tahun dan melihat keadaan mereka yang sederhana, mereka tentu miskin dan mudah didapatkan, Taijin!"
"Benarkah? Ah, janda muda secantik bidadari! A-keng, cepat kau pergi kepadanya dan katakan bahwa aku, kepala dusun di sini, akan datang berkunjung karena sebagai kepala dusun, aku harus mengenal setiap orang penduduk baru!"
"Baik, Taijin!" kata A-keng dengan girang karena dia mengharapkan urusan ini berjalan dengan mulus sehingga dia akan memperoleh hadiah besar dari kepala dusun yang kaya raya itu.
"Eh, kalau sudah ke sana, cepat kembali ke sini untuk mengantar aku berkunjung.”
"Baik, Taijin!" Tak lama kemudian A-keng sudah tiba di rumah Kwa Siang.
Melihat ada orang datang berkunjung, janda muda ini me-nyambutnya dengan ramah. "Siapakah saudara dan ada keperluan apa denganku?" tanyanya sambil menyongsong di depan pintu, tanpa mempersilakan tamunya masuk karena merasa tidak enak memasukkan seorang tamu laki-laki yang tidak dikenalnya.
A-keng tersenyum dan membusungkan dadanya. "Perkenalkan, Nyonya. Aku bernama A-keng dan aku adalah pembantu kepala dusun. Bouw-taijin mengutus aku datang menemui nyonya dan memberi tahu bahwa sebentar lagi Bouwtai-jin akan datang berkunjung ke sini."
"Bouw-taijin? Siapa itu?"
"Kepala dusun ini."
"Ah, kepala dusun. Ada keperluan apa dia hendak berkunjung ke rumah kami?"
"Aih, Nyonya. Bouw-taijin adalah kepala dusun kami yang bijaksana dan baik hati. Mendengar bahwa ada seorang penduduk baru, tentu saja beliau ingin sekali berkenalan dan mengetahui keadaan warga dusunnya yang baru."
"0, begitukah? Baiklah kalau begitu, kami akan menyambut kedatangannya dengan baik."
A-keng lalu berpamit dan tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan matanya liar, senyumnya mengejek dan giginya menghitam karena terlalu banyak menghisap tembakau dan madat. Orang ini mengenakan pakaian yang mewah dan lagaknya seperti seorang bangsawan tinggi.
Baru melihat penampilannya saja Kwa Siang sudah merasa sebal, dan dari pengalamannya ia dapat menduga bahwa orang ini tidak memiliki watak yang baik.
"Inilah beliau, kepala dusun kami, Bouw-taijin." A-keng memperkenalkan kepada Kwa Siang.
"Ah, Bouw-cungcu (kepala Dusuh Bouw), silakan masuk dan mari silakan duduk," kata Kwa Siang. Bagaimanapun juga, ia tinggal di dusun itu dan sudah seharusnya ia menghormati kepala dusun.
"Heh-heh-heh, baik... baik....!" kepala dusun Bouw itu melangkah masuk sambil mengipasi dadanya dengan sebatang kipas yang indah? "Engkau tinggal di sini dengan siapa, Nona?"
"Bouw-cungcu, saya bukan nona." kata Kwa Siang.
"Heh-heh, engkau masih pantas disebut nona," kata Sang Kepala Desa sambil meraba dagunya yang berjenggot hanya beberapa helai. "Engkau masih muda dan cantik. Nah, dengan siapa engkau tinggal di sini?"
"Saya tinggal berdua dengan anak saya."
"Di mana anakmu itu? Aku ingin melihat dan mengenalnya."
"Dia berada di belakang. Biar kupanggil dia," Kwa Siang lalu berseru memanggil anaknya yang berada di belakang. Muncullah Thian Lee dan anak ini segera memberi hormat kepada Sang Kepala Dusun memenuhi perintah ibunya.
"Haa, anakmu sudah besar. Berapa usianya?"
"Sepuluh tahun," jawab Kwa Siang.
"Heran, engkau nampak masih begini muda, tidak pantas mempunyai putera sebesar ini! Dan bagaimana semuda ini sudah menjanda? Di mana suamimu?"
Kwa Siang mengerutkan alisnya. Sudah diduga sebelumnya bahwa kepala dusun ini seorang laki-laki yang menyebalkan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Suami saya sudah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu."
"Sembilan tahun menjanda?" Kepala dusun Bouw menggeleng kepalanya dan memicingkan matanya. "Aduh kasihan sekali....! Nona, siapakah namamu?"
"Nama saya Kwa Siang dan anak saya bernama Song Thian Lee," kata ibu muda itu sambil mengerutkan alisnya.
"Kwa Siang, suruh anakmu kebelakang dulu. Aku ingin bicara penting padamu," kata Sang Lurah dan dia pun memberi isarat kepada A-keng agar pembantunya itu keluar dari ruangan itu.
Biarpun merasa heran, Kwa Siang lalu menyuruh puteranya ke belakang sehingga kini mereka hanya berdua saja.
”Begini, Kwa Siang. Aku sungguh merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau seorang janda muda dengan seorang anak, hidupmu susah. Begitu melihatmu, aku merasa suka dan kasihan kepadamu. Engkau dan anakmu ikut saja denganku, engkau menjadi selirku dan anakmu itu akan menjadi anak tiriku. Bagaimana manis?"
Ucapan ini saja sudah membuat hati Kwa Siang marah sekali, apalagi kini kepala dusun itu bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampirinya dan hendak merangkulnya! Kwa Siang hampir tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia masih mengelak dan cepat mundur.
"Cung-cu, harap jangan begitu. Aku tidak mau menjadi selirmu atau menjadi isteri siapa pun. Aku tidak ingin menikah lagi. Harap engkau suka pergi meninggalkan rumah ini!" Dengan marah Kwa Siang menudingkan teiunjuknya ke arah pintu.
Akan tetapi kepala dusun Bouw yang tidak tahu diri itu tertawa menyeringai, "Heh-heh, jangan menjual mahal, Kwa Siang. Aku tahu, seorang janda muda sepertimu ini tentu merindukan seorang laki-laki. Hayolah jangan banyak lagak, nanti kubikin hidupmu makmur dan senang!"
Dan kembali kepala dusun itu menubruk hendak merangkul wanita yang membuatnya bangkit gairahnya itu. Sekali ini Kwa Siang tidak lagi dapat menahan kesabarannya. Melihat lurah itu menubruk dan hendak merangkulnya, ia dengan gerakan kakinya yang mencuat ke depan.
"Dukk....!" Tubuh kepala dusun itu terjengkang menubruk kursi dan dia pun roboh. Akan tetapi dia bangkit kembali dan kini matanya melotot, mukanya merah, telunjuknya menuding-nuding.
"Kau... kau berani menolakku dan menendangku!" bentaknya dan kini dia nekat menerjang maju hendak merangkul. Kwa Siang menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
"Plak! Plak...!"
Dan kepala dusun Bouw itu terhuyung kebelakang dua tangan memegangi kedua pipinya yang menjadi bengkak dan membiru, nyerinya bukan kepalang, giginya terasa seperti rontok semua. "Aduhh... aduhhh... A-keng... tolong....!" Dia berteriak-teriak.
A-keng yang tersenyum-senyum di bagian depan rumah itu terkejut mendengar teriakan majikannya. Dia cepat berlari masuk dan melihat kepala dusun itu memegangi mukanya sambil mengaduh-aduh. "Kenapa, Taijin?"
"la... ia... berani memukulku...." kepala dusun itu berkata terengah-engah.
"Heii, kenapa engkau berani memukul Bouw-taijin?" A-keng membentak dan menegur Kwa Siang.
"Engkau pun layak dipukul!" kata Kwa Siang yang tahu benar orang macam apa adanya penjilat ini dan tangannya sudah bergerak menampar.
"Plakk!" Tamparan itu cukup keras, membuat bibir A-keng berdarah dan dia mengaduh-aduh.
Kemudian dia menyambar tangan majikannya dan dibawa lari keluar dari rumah itu. Para tetangga yang mendengar suara ribut-ribut segera berdatangan dan bertanya kepada Kwa Siang apa yang telah terjadi, mengapa kepala dusun berlari keluar dari rumah itu sambil memegangi mukanya yang bengkak-bengkak.
"Aku telah menghajarnya. Jahanam itu hendak kurang ajar kepadaku!" kata Kwa Siang marah.
Beberapa orang tetangga menyatakan kegembiraan hati mereka bahwa ada orang yang berani melawan kepala dusun itu. Akan tetapi seorang tetangga yang setengah tua segera berkata, "Toanio, engkau berada dalam bahaya. Sebaiknya engkau bawa lari anakmu dari tempat ini. Kepala dusun tentu tidak akan tinggal diam saja!"
"Aku tidak takut. Biar dia datang lagi kalau berani, akan kuhancurkan mulutnya yang busuk!" Kwa Siang menantang.
Tiba-tiba tampak serombongan orang berlari ke tempat itu dan para tetangga segera kembali bersembunyi di rumah masing-masing karena mereka mengenal siapa rombongan yang datang itu. Para tukang pukul kepala dusun!
Dua losin orang tukang pukul itu telah berada di depan rumah Kwa Siang dan wanita itu pun berdiri di depan pintu dengan sikap gagah. Thian Lee juga sudah keluar dari belakang dan berdiri di belakang ibunya. Anak ini memiliki ketabahan seperti ibunya dan dia sediklt pun tidak kelihatan takut, biarpun berhadapan dengan dua losin orang laki-laki yang nampaknya bengis.
Kepala dusun Bouw sendiri berdiri di belakang gerombolan itu dan terdengar dia berteriak, "Ini orangnya! Tangkap perempuan itu!"
Mendengar teriakan ini, dua lusin orang tukang pukul seperti berlomba untuk meringkus Kwa Siang yang cantik. Akan tetapi wanita ini menyambut mereka dengan pukulan dan tendangar.
Melihat ibunya mengamuk dan dikeroyok, Thian Lee hanya berdiri di pintu sambil memandang dengan sepasang matanya terbelalak. Ibunya rnerobohkan banyak pengeroyok dengan tamparan dan tendangan dan dia merasa bangga sekali kepada ibunya. Ibunya seorang wanita yang gagah perkasa, pikirnya.
Akan tetapi, betapa pun lihainya Kwa Siang, menghadapi pengeroyokan dua losin orang laki-laki yang kuat-kuat, akhirnya ia dapat diringkus setelah merobohkan delapan orang.
"Ikat kaki tangannya, dan bawa masuk ke sini!" kata Kepala Dusun Bouw yang mendahului masuk.
Thian Lee menyelinap ke belakang pintu, memandang dengan hati khawatir melihat ibunya kini sudah diikat kaki tangannya, lalu atas perintah kepala dusun, ibunya dilempar di atas pembaringan di dalam kamar. Melihat ini, Thian Lee tidak dapat menahan diri lagi. Sambil berteriak keras, dia lalu melompat maju hendak membebaskan ibunya dari ikatan.
Akan tetapi dia disambut tamparan seorang tukang pukul. Tubuh anak itu terpelanting dan jatuh bergulingan, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini Thian Lee mengamuk, menyerang para tukang pukul itu.
Repot juga para tukang pukul menghadapi anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang mengamuk seperti anak harimau itu, akan tetapi akhirnya mereka menggunakan kekerasan dan tubuh Thian Lee menerima tendangan dan pukulan keras, membuat anak itu terlempar ke sudut dan pingsan!
"Kalian keluarlah dan jaga di luar, aku mau membalas dendam kepada perempuan binal ini!" kata Kepala Dusun Bouw kepada anak buahnya. Para tukang pukul itu tersenyum-senyum dan mereka pun keluar. Semua orang melupakan Thian Lee yang sudah miring dan pingsan disudut ruangan.
"Ha-ha-ha, perempuan liar! Inilah jadinya kalau engkau tidak menuruti kehendakku. Engkau berani memukulku, ya? Hemm, sekarang rasakan. Aku tetap akan mendapatkan dirimu, walau dengan kekerasan!" Setelah berkata demikian, kepala dusun itu menghampiri Kwa Siang dan terdengar kain robek ketika dia merenggut dan merobeki pakaian yang menutupi tubuh wanita itu.
Kwa Siang menyadari sepenuhnya bahaya apa yang mengancam dirinya. la meronta dan berusaha melepaskan dirinya, akan tetapi ikatan pada kedua kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga ia tidak dapat membebaskan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha, engkau boleh meronta-ronta, ha-ha-ha!" kepala dusun itu mengejek dan kedua tangannya mulai menggerayangi tubuh Kwa Siang.
Wanita ini tahu benar bahwa ia akan diperkosa. la tidak akan membiarkan kehormatannya dihina, maka ketika kepala dusun itu menundukkan mukanya untuk menciumnya, tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya dan sebelum kepala dusun itu menyadari apa yang terjadi, Kwa Hong telah menggigit tenggorokannya.
Kepala Dusun Bouw meronta, akan tetapi gigitan itu makin dalam dan semakin kuat. Dia mengeluarkan teriakan, akan tetapi karena tenggorokannya digigit, yang keluar dari mulutnya hanya suara aneh seperti kerbau disembelih.
Dia meronta dalam sekarat sehingga tubuh mereka berdua terguling dari pembaringan ke atas lantai. Namun, gigitan Kwa Siang tidak pernah melepaskan tenggorokan itu. Darah mulai mengcur dari tenggorokan yang robek itu.
Mendengar suara gedebukan dan teriakan aneh para tukang pukul menjadi curiga dan mereka mendorong pintu kamar. Mereka terbelalak melihat wanita yang terikat kaki tangannya itu kini dengan pakaian terlepas semua, menggigit leher kepala usun yang berkelojotan.
Seorang tukang pukul berusaha menarik tubuh Kwa Siang dari atas tubuh kepala dusun, namun tidak berhasil karena gigitan itu sama sekali tidak dapat dllepaskan lagi. Dengan marah seorang tukang pukul mencabut pedangnya dan menikam Kwa Siang dari atas.
"Crapp....!" Pedang itu menembus punggung Kwa Siang.
Wanita ini mengeluh, gigitannya terlepas dan ia terpelanting miring, tak bergerak lagi. Akan tetapi ketika para tukang pukul memeriksa keadaan kepala dusun, mereka tekejut karena kepala dusun juga sudah tewas dengan kerongkongan remuk tergigit. Sekali lagi ada pedang menusuk tubuh Kwa Siang, akan tetapi wanita ini sudah tidak bergerak lagi.
Para tukang pukul dengan cemas lalu membawa jenazah Kepala Dusun Bouw kembali ke rumah kepala dusun itu, meninggalkan jenazah Kwa Siang yang telanjang di dalam lantai kamarnya.
Setelah semua tukang pukul pergi, Thian Lee siuman dari pingsannya. Dia bergerak dan merasa betapa tubuhnya sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan tadi. Akan tetapi begitu teringat kepada ibunya, dia dapat bangkit dan berseru, "Ibu...!"
Dan dia lari ke dalam kamar mereka di mana tadi ibunya dilempar ke atas pembaringan. Dan dia terbelalak! Ibunya sudah menggeletak miring di atas lantai, mandi darah dan dengan tubuh tanpa pakaian, kaki tangan masih terikat.
"Ibuuuu...!" Dia menjerit-jerit dan memeluki tubuh ibunya yang masih hangat. Melihat ibunya telanjang bulat, dia lalu menyambar sehelai selimut dan menutupi tubuh itu dengan selimut sambil menangis.
Tetangga berdatangan dan mereka merasa ngeri melihat Kwa Siang sudah tewas mandi darah. Akan tetapi di antara mereka tadi ada yang mengintai dari dalam rumah dan melihat betapa Kepala Dusun Bouw digotong oleh para tukang a pukulnya. Tetangga tua yang tadi menganjurkan Kwa Siang melarikan diri, kini mendekati Thian Lee.
"Anak yang baik, percayalah nasihatku. Mereka tentu akan kembali dan nyawamu berada dalam bahaya. Kalau mereka melihat engkau masih hidup, tentu mereka akan mengejar dan membunuhmu. Mungkin ibumu telah membunuh kepala Dusun Bouw, dan mereka tentu tidak mau sudah begitu saja. Pergilah, Nak. Pergilah cepat meninggalkan dusun ini dan bersembunyilah."
"Tapi... tapi, Paman. Jenazah Ibuku..." Thian Lee berkata dengan sedih sekali.
"Jangan khawatir, Nak. Jenazah ibumu akan kami urus dan kami kuburkan dengan baik. Sekarang pergilah cepat sebelum terlambat."
Para tetangga yang lain juga membujuk agar Thian Lee cepat melarikan diri. Akhirnya anak itu membawa buntalan pakaiannya dan setelah berulang kali dia menubruk dan menangisi ibunya, akhirnya mereka berhasil membujuknya pergi melarikan diri keluar dari dusun Namkiang-jung.
Dia keluar dari pintu gerbang dusun sebelah selatan dan terus memasuki sebuah hutan di luar dusun itu. Bajunya sudah robek-robek dan sepatunya juga berlubang dipakai melarikan diri menyusup-nyusup ke dalam hutan. Napasnya terangah-engah, akan tetapi Thian Lee tidak berani berhenti.
Dia mendengar suara banyak orang mengejarnya! Akhirnya dia menembus hutan itu dan tiba di padang rumput, akan tetapi para pengejarnya masih terus berada di belakangnya. Bahkan setelah kini dia keluar dari dalam hutan, dia dapat terlihat oleh para pengejarnya. Belasan orang kelihatan mengejarnya dan mereka itu adalah para tukang pukul tadi.
Benar seperti dikhawatirkan kakek yang tetangganya itu, tak lama setelah dia melarikan diri, para tukang pukul itu mendatangi rumah ibunya dan menanyakan di mana adanya anak laki-laki tadi. Semua tetangga menyatakan tidak tahu dan mereka lalu melakukan pengejaran.
Thian Lee yang menggendong buntalan itu tiba-tiba kehilangan akal lagi ketika di depannya terhalang oleh sebuah anak sungai. Dia tidak dapat lari lagi dan para pengejarnya sudah semakin dekat. Biar aku melawan mereka, demikian dia mengambil keputusan nekat. Biar aku mengamuk membalaskan kematian Ibu, dan kalau perlu aku mati menyusul Ibu!
Tujuh belas orang tukang pukul itu segera mengepung ketika melihat anak yang mereka kejarkejar itu kini berdiri tegak dengan sikap gagah, sama sekali tidak kelihatan takut, pakaiannya robek-robek dan napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal tinju!
"Nah, ini dia! Ini anak siluman itu!" terdengar seorang di antara mereka berseru.
Mendengar ibunya disebut siluman, Thian Lee marah. "Ibuku bukan siluman! Kalian adalah iblis-iblis yang keji dan jahat!" katanya dan dia segera mengamuk, menyerang mereka yang terdekat dengan pukulan-pukulannya.
Biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi sejak berusia lima tahun dia sudah mempelajari ilmu silat dari ibunya, maka biarpun baru berusia sepuluh tahun, gerakannya cukup gesit dan pukulannya juga mengandung tenaga. Seorang di antara tukang-tukang pukul itu memandang rendah.
Ketika Thian Lee memukul, cepat dia menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi dengan cepat sekali Thian Lee memutar lengannya dan kakinya menendang, mengenai lutut orang itu. Orang itu terkejut kesakitan dan membungkuk, akan tetapi dagunya bertemu dengan pukulan tangan Thian Lee sehingga dia terjengkang!
Teman-temannya menjadi marah dan mereka lalu mengeroyok anak itu tanpa malu-malu lagi dan tubuh Thian Lee menjadi semacam bola di antara mereka yang menendang dan memukulinya.
Pada saat itu, seorang di antara mereka sudah mengangkat goloknya ke atas. "Lepaskan dia, biar kuhabiskan riwayatnya!" katanya sambil mengayun golok.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan Si Pemegang Golok itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan dahi ditembus sebatang ranting yang meluncur seperti anak panah!
Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Tiba-tiba terdengar suara orang, "Siancai... belasan ekor anjing srigala mengeroyok seekor harimau yang masih kecil. Sungguh tidak tahu malu!"
Para pengeroyok cepat membalikkan tubuhnya dan mereka melihat seorang kakek yang usianya tentu sudah lewat enam puluh tahun berdiri di situ. Melihat pakaiannya dan rambutnya yang digelung ke atas, mudah diketahui bahwa kakek ini seorang tosu. Pada waktu itu, para pendeta Agama To ini tidak dihargai oleh pemerintah.
Kaisar dan Pemerintah Mancu lebih menghargai para hwesio dan mengembangkan ajaran Nabi Khongcu, sehingga para tosu yang dianggap sebagai dukun klenik menjadi tersisih. Karena itu, para tukang pukul juga tidak menghargai pendeta berjubah kuning itu, apalagi mereka melihat seorang kawannya tewas.
"Siapa engkau? Berani engkau membunuh seorang kawan kami!" bentak pemimpin rombongan tukang pukul itu.
"Kalian tidak cukup berharga untuk mengetahui siapa pinto, akan tetapi kalau kalian melanjutkan pengeroyokan terhadap anak itu, kalian semua akan mati di tangan pinto." Ucapan tosu itu memandang rendah sekali dan mulutnya tersenyum mengejek, sikapnya angkuh sekali.
Jumlah para tukang pukul itu masih ada enam belas orang. Tentu saja mereka tidak gentar menghadapi seorang tosu tua yang tubuhnya nampak loyo.
"Engkau yang sudah bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan dengan golok di tangan dia menerjang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, belum sempat golok dibacokkan, tosu itu menggerakkan tangannya mendorong dan orang itu terjengkang roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Kini para tukang pukul menjadi marah dan mereka serentak maju menghujankan senjata mereka.
Akan tetapi, begitu kakek itu menggerakkan kedua tangannya secara berturut-turut, berjatuhanlah para pengeroyok. Dalam waktu singkat saja enam orang telah roboh dan tidak mampu, bergerak lagi. Melihat ini, sisanya menjadi gentar dan melarikan diri tunggang-langgang seperti melihat setan!
Thian Lee sudah setengah mati keadaannya. Akan tetapi dia masih mampu merangkak menghampiri tosu itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Terima kasih, Locianpwe..." katanya lemah.
Tosu itu menundukkan muka memandang anak itu. Sinar matanya menyatakan kekagumannya. "Engkau mau ikut pinto?"
Thian Lee hampir tidak kuat bicara. Tubuhnya nyeri dari kepala sampai ke kaki dan tenaganya habis. Akan tetapi dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hayo ikuti pinto!" Setelah berkata demikian, tosu itu lalu berjalan pergi.
Thian Lee mengerahkan seluruh tenaganya, bangkit berdiri dan mengikuti kakek itu. Beberapa kali dia tersaruk dan terjungkal jatuh, akan tetapi dia mengeraskan hatinya, bangkit lagi dan melangkah lagi di belakang kakek itu. Hanya dengan menggunakan kemauan yang nekat sajalah anak itu dapat bertahan untuk mengikuti tosu itu. Dan tosu itu pun terus melangkah, menengok satu kali pun tidak, seolah dia sudah melupakan bahwa ada anak yang mengikutinya!
Thian Lee melangkah terus, mengepal kedua tinju dan menggigit bibirnya agar tidak keluar keluhan dari mulutnya. Akan tetapi ketahanan tubuh ada batasnya dan akhirnya dia pun terguling roboh dalam keadaan pingsan!
Thian Lee merasa betapa ada getaran hebat yang terasa hangat memasuki tubuhnya. Dia membuka matanya dan mendapatkan dirinya sedang rebah telentang dan tosu itu duduk bersila di dekatnya, tangan kanan tosu itu menempel di dadanya dan dari telapak tangan itulah masuknya getaran hangat itu.
Getaran itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, lalu berkumpul di pusarnya dan menghilang ketika tosu itu mengangkat ta-ngannya. Dia tersenyum ketika melihat anak itu sudah membuka matanya.
"Sudah hilang lelahmu?" tanyanya sambil bangkit berdiri.
Thian Lee merasakan tubuhnya segera dan biarpun kelelahan itu masih terasa, namun dia menguatkan dirinya dan bangkit berdiri. Dipandangnya kakek itu dan tahulah dia bahwa kakek itu adalah seorang sakti seperti yang dia sering mendengar penuturan ibunya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan.
Maka, tanpa ragu lagi karena kakek itu juga sudah menyelarnatkan nyawanya, dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua "Locianpwe, saya mohon diterima menjadi murid Locianpwe."
Orang tua itu tersenyum mengejek, "Hemm, tidak mudah begitu saja untuk menjadi murid Liok-te Lo-mo (Iblis Bumi) yang selamanya belum pernah mernpunyai murid."
"Locianpwe, saya akan menaati semua petunjuk Locianpwe, akan melakukan apa saja yang locianpwe perintahkan dan akan menjadi murid yang taat dan rajin."
"Siapa namamu?"
"Nama saya Song Thian Lee."
"Di mana orang tuamu?"
"Ayah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu dan Ibu... Ibu... baru tadi pagi Ibu... meninggal dunia...."
Thian Lee menelan tangisnya ketika teringat akan ibunya. Terbayang dalam benaknya tubuh ibunya yang terikat kaki tangannya, telanjang bulat, rebah miring mandi darah dan tak bernyawa lagi di lantai kamar mereka di pondok baru yang sederhaa itu.
"Bagaimana ibumu mati?"
"Dibunuh oleh jahanam-jahanam tadi Locianpwe," kata Thian Lee sambil mengepal tinjunya.
"Baru tadi ibumu mati dan sekarang engkau hendak turut dengan pinto menjadi murid pinto? Bagus, bagus! Memang tidak perlu lagi menyusahkan yang sudah mati, apalagi matinya ibumu karena kesalahannya sendiri. Kalau ia pandai menjaga diri, tentu ia akan dapat melawan dan mengalahkan semua anjing tadi.
"Orang hidup harus pandai menjaga diri dan mengalahkan semua tantangan yang datang. Kalau kalah dan mati, yaitu sudah salahnya sendiri," kata tosu itu tanpa perasaan kasihan sedikit pun. "Dan kalau engkau ingin menjadi muridku, pertama kali engkau harus pantang menangis dan berduka. Mengerti?"
Bukan main girangnya hati Thian Lee. Biarpun dia harus menelan semua kedukaannya, akan tetapi jawaban kakek itu menunjukkan bahwa dia diterima menjadi murid. Dia lalu memberi hormat sambil berlutut. "Teecu (murid) mengerti, Suhu, dan teecu akan menaatinya."
"Bagus, kalau begitu, ikuti pinto."
Kembali kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Bergegas Thian Lee mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dan mengikuti gurunya pergi meninggalkan tempat itu.
Mereka tiba di tepi Sungai Kuning dan gurunya melihat seorang yang berperahu. Perahu itu kecil saja dan orang itu agaknya seorang nelayan. Gurunya berteriak memanggil dan menggapaikan tangannya. Si Nelayan Tua mendayung perahunya ke tepi.
"Ada apakah, Totiang?" tanya nelayan itu setelah dia mendarat dan menarik tali perahunya ke tepi.
Tosu yang tadi mengaku bernama Liok-te Lo-mo itu berkata, "Pinto ingin meminjam perahumu untuk menyeberangi sungai."
"Ah, mana bisa, Totiang? Aku akan mempergunakannya untuk mencari ikan!" bantah nelayan itu sambil menggeleng kepala.
"Kau tidak dapat membantah!" kata tosu itu sambil menghampiri dan sekali tangannya bergerak, nelayan tua itu roboh tertotok. "Nanti kau boleh ambil kembali perahumu di seberang sana! Hayo Thian Lee, kita naik perahu."
Diam-diam Thian Lee. merasa terkejut dan tidak senang melihat cara gurunya meminjam perahu, akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya merasa kasihan kepada nelayan tua itu yang hanya dapat memandang dengan mata terbelalak. Guru dan muri itu naik perahu dan ketika tosu itu nienggerakkan dayungnya perahu meluncur cepat sekali.
Thian Lee duduk termenung di dalam perahunya, diam-diam memikirkan tentang gurunya. Teringat olehnya betapa dengan mudahnya tosu itu merobohkan dan membunuhi tukang-tukang pukul dusun itu, kemudian betapa tosu itu dengan kejinya merampas perahu dari nelayan tua.
Tentu saja dia merasa tidak setuju sama sekali dan bertanya-tanya, orang macam apa gurunya ini. Memang kesaktiannya tidak perlu disangsikan lagi, akan tetapi sikap dan tindakannya sungguh luar biasa, bahkan kejam. Biarlah, kemu-dian dia mengambil keputusan, aku ikut dia untuk belajar ilmu silat, bukan mencontoh perbuatannya yang tidak benar.
Setelah tiba di seberang, tosu itu meninggalkan perahu begitu saja di daratan dan karena hari telah berganti malam, tosu itu mengajak Thian Lee untuk melewatkan malam di sebuah kuil , tua kosong yang berada di tepi sungai. Tosu itu memberikan beberapa keping uang kepada Thian Lee sambil berkata lembut.
"Di sebelah utara, tak jauh dari sini terdapat sebuah dusun. Pergi kau ke sana dan cari makanan untuk makan malam. Dan ini tempat arakku sudah kosong, beli dan isilah sampai penuh." Tosu itu menyerahkan sebuah guci arak yang kosong.
"Makanan apakah yang Suhu inginkan? Maksudku, apakah Suhu juga makan daging?"
"Tentu saja, aku tidak pantang makan apa pun!" kata tosu itu sambll tertawa.
Thian Lee membawa uang dan guci arak itu, lalu berjalan cepat menuju ke utara. Benar saja, tak lama kemudian tibalah dia di sebuah dusun nelayan. Dari para nelayan itu dia dapat membeli dua ekor ikan yang sebesar betisnya, juga garam dan bumbu, lalu dari sebuah kedai minuman kecil, dia membeli arak dan mengisi guci gurunya dengan arak sampai penuh. Kemudian, bergegas dia kembali ke kuil itu.
Gurunya girang sekali melihat gucinya penuh arak. Dia mencicipi araknya dan mengangguk-angguk. "Arak yang cukup baik! Dan apa yang kau beli itu? Bagaimana memasaknya? Kita tidak mempunyai prabot masak!" Tosu itu mencela.
"Teecu sudah membeli garam dan bumbu, dan teecu akan membakar ikan ini menjadi ikan panggang."
"Bagus kalau begitu. Engkau pandai juga! Cepat, perutku sudah lapar!"
Thian Lee mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Kemudian Liok-te Lo-mo memberinya sebuah pisau belati dan dia lalu membersihkan dua ekor ikan itu, memberinya bumbu dan garam dan tak lama kemudian dia sudah memanggang ikan itu di atas api.
Bau sedap ikan panggang itu membuat perut Liok-te Lo-mo berkeruyuk dan diam-diam dia merasa sayang kepada Thian Lee. Muridnya itu agaknya seorang anak yang pintar, rajin dan penuh akal.
Setelah dua ekor ikan itu matang, Liok-te Lo-mo makan daglng ikan sambil minum arak. Dua ekor ikan itu cukup besar sehingga dagingnya cukup untuk dimakan mereka berdua. Kemudian inereka mengaso. Tosu itu tidak merebahkan diri, melainkan duduk bersila dan agaknya dia tidur sambil bersila.
Thian Lee tidur sambil rebah miring, akan tetapi hanya setengah tidur karena dia harus menjaga agar api unggun tidak padam dengan selalu menambahkan kayu kering. Udara amat dingin-nya dan hanya dengan adanya api unggun yang besar maka hawa menjadi hangat dan nyaman.
Lewat tengah malam, ketika Thian Lee kembali bangun untuk menambah kayu kering pada api unggun sehingga api unggun membesar kembali, tiba-tiba dia melihat beberapa bayangan orang berkelebat di luar kuil. Thian Lee menjadi kaget dan heran sekali. Apakah para jagoan itu mengejarnya sampai ke tempat ini?
Dia menoleh kepada suhunya. Suhunya masih duduk bersila kembali memejamkan matanya. Tidurkah suhunya? Dia tldak berani mengganggunya walaupun ingin dia memberi tahu tentang bayangan-bayangan orang itu. Dia tidak rebah tidur lagi melainkan duduk di dekat api unggun, memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam meloncat dan tahu-tahu di depan pintu kuil itu berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan mengenakan kedok hitam dari kain pula. Tangan kanannya memegang sebatang golok yang berkilauan.
Melihat ini, Thian Lee cepat mengambil sebatang kayu yang ujungnya sedang terbakar menyala, lalu dia melontarkan kayu berapi itu ke arah orang berpakaian serba hitam itu. Akan tetapi orang itu menangkis dengan goloknya dan kayu berapi itu terbacok putus dan apinya padam. Lalu orang itu menggerakkan tangan kirinya.
Sinar-sinar hitam menyambar ke arah tubuh Liok-te Lo-mo yang masih duduk bersila. Tosu itu yang nampaknya tidur sambil bersila, tiba-tiba menggerakkan kedua tangan dan dia sudah menangkap empat batang paku dalam jepitan jari-jari tangannya! Kemudian, tanpa menengok sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya berulang kali.
Thian Lee melihat bayangan hitam di depan pintu itu terpelanting dan terdengar suara gedobrakan dan mengaduh di jendela yang terbuka dan di pintu belakang. Kiranya suhunya telah menyerang, bukan saja orang yang berada di depan pintu, akan tetapi agaknya ada pula orang-orang lain di pintu belakang dan jendela. Setelah itu lalu sunyi, hanya terdengar langkah kaki yang berat meninggalkan kuil.
Thian Lee menoleh dan melihat suhunya masih seperti tadi, bersila dengan kedua mata terpejam. Bukan main rasa kagum dan heran rasa hati Thian Lee. Dalam keadaan bersila dengan mata terpejam, tanpa menggerakkan kaki, hanya dengan gerakan tangan, suhunya telah berhasil mengusir beberapa orang musuh yang agaknya datang untuk melakukan pembunuhan!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa lagi. Liok-te Lo-mo membuka matanya dan bangkit berdiri, seperti tidak pernah terjadi sesuatu semalam.
"Di belakang kuil itu terdapat sebuah sumber mata air, kita dapat membersihkan tubuh di sana, Thian Lee," kata Liok-te Lo-mo sambil melangkahkan kakinya menuju ke belakang kuil diikuti oleh Thian Lee.
Air itu jernih dan dinginnya bukan main. Sampai menggigil Thian Lee ketika mencuci mukanya di situ. Akan tetapi gurunya mandi dan membenamkan kepala di dalam air yang merupakan kolam kecil itu. Sedikit pun gurunya tidak kelihatan kedinginan. Mereka meninggalkan mata air itu dalam keadaan segar.
Setelah mereka berjalan lagi, Thian Lee menggendong buntalan pakaiannya yang disatukan dengan pakaian bekal milik gurunya, anak itu memberanikan dirinya bertanya, "Suhu peristiwa semalam itu...."
"Hemm, hanya beberapa ekor anjing yang mengganggu. Akan tetapi kepalanya tentu akan muncul. Engkau diam sajalah dan jangan melakukan sesuatu kalau mereka muncul nanti. Bagimu, mereka itu berbahaya sekali."
Thian Lee tidak berani bertanya lagi akan tetapi jantungnya berdebar tegang. Agaknya dengan menjadi murid tosu ini, dia telah terjun ke dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan dan bahaya seperti yang belum pernah dia alami sebelumnya. Gurunya ini orang sakti yang aneh, wataknya sukar ditebak.
Yang jelas dia lihai sekali seperti telah dibuktikan ketika menghajar para tukang pukul dusun Nam-kiang-jung dan ketika semalam mengusir penyerang-penyerang gelap tanpa membuka mata dan tanpa menggerakkan tubuh, hanya kedua tangannya saja yang seperti menangkap sinar-sinar hitam lalu bergerak melontarkan sesuatu ke segala jurusan!
Diam-diam Thian Lee merasa gembira sekali. Dia tentu akan banyak menyaksikan pertandingan yang seru dan menyaksikan lebih lanjut kelihaian gurunya itu.
Mereka mendaki sebuah bukit. Ketika tiba di lereng bukit, di sebuah tanah datar penuh batu gunung yang besar-besar, tiba-tiba saja muncul dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya pendek gemuk sehingga nampaknya bulat. Dua puluh lebih orang itu berpakaian serba hitam, akan tetapi tidak memakai kedok kain seperti orang semalaman.
Pemimpin mereka itu pun mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang dikuncir tebal itu digulung ke atas dan ditutup dengan topi kain, juga hitam. Orang ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan semua ang-gauta tubuh orang ini nampaknya bulat.
Matanya, hidungnya, mukanya dan mulutnya, semua serba bundar dan tubuhnya yang pendek gemuk itu nampak kuat sekali. Di punggungnya yang pendek tergantung sebatang pedang.
"Liok-te Lo-mo!" bentak Si Gemuk Pendek. "Akhirnya kami dapat menemukan kau di sini. Tentu engkau tahu mengapa kami menghadangmu!"
"Siancai, kiranya kalian dari Hek-i-pang (Perkumpulan Baju Hitam) yang semalam mencoba untuk mengganggu pinto di kuil tua? Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup."
"Liok-te Lo-mo, engkau telah membunuh adikku dan merampas sekantung emas darinya. Aku, Hek-i-pangcu (Ketua Hek-i-pang) Lauw Ki Seng tidak dapat membiarkannya begitu saja. Engkau harus menyerahkan kembali sekantung emas itu berikut nyawamu!"
"Ha-ha-ha, seperti engkau tidak tahu saja peraturan di dunia kang-ouw. Dalam memperebutkan sesuatu, dia yang lebih kuat tentu yang menang dan berhak mendapatkan. Ha-ha-ha, engkau hendak merebut sekantung emas itu? Boleh, boleh!"
Liok-te Lo-mo lalu mengambil sebuah kantung dari dalam buntalan yang digendong Thian Lee lalu melemparkan kantung itu ke atas tanah. "Inikah yang hendak kau rebut? Boleh, asal engkau dapat mengalahkan pinto, seperti peraturan dalam dunia kang-ouw kita. Nah, siapa yang berani mengambil kantung itu, ambillah!"
Melihat kantung yang dijadikan rebutan itu, Lauw Ki Seng terbelalak. Lalu dia memberi isarat anggukan kepala kepada dua orang pembantunya. Dua orang pembantu itu lalu menubruk maju untuk mengamil kantung itu sedangkan Lauw Ki Seng mencabut pedangnya lalu menyerang Liok-te Lo-mo!
Entah dari mana datangnya, mungkin diambilnya dari balik jubahnya yang panjang, tahu-tahu Liok-te Lo-mo telah memegang sebatang pedang dan pedang itu menangkis bacokan Lauw Ki Seng dengan amat kerasnya sehingga pedang Ketua Hek-i-pang itu terpental. Dan pada saat itu juga, kaki Liok-te Lo-mo bergerak dua kali dan dua orang pembantu yang menubruk untuk merampas kantung emas itu terjengkang ke belakang.
"Ha-ha-ha, tidak mudah untuk merampas kantung ini dari tangan pinto!" kata Liok-te Lo-mo sambil tertawa dan dia sudah menyimpan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian sekali tangannya bergerak, pedangnya juga sudah lenyap ke balik jubahnya.
Akan tetapi, Liok-te Lo-mo tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Hek-i-pang itu. Dengan isaratnya, tiba-tiba empat orang anak buahnya telah menubruk dan menangkap Thian Lee. Bocah ini berusaha melawan, memukul dan menendang, akan tetapi dia tidak mampu melawan empat orang yang bertubuh kuat itu dan dia segera dapat diringkus.
Kini Si Pendek Gendut itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, Liok-te Lo-mo! Aku tidak percaya bahwa hanya untuk sekantung emas engkau akan nnembiarkan muridmu ini terbunuh. Serahkan kantung emas itu kalau engkau tidak menghendaki muridmu kupenggal lehernya!"
Thian Lee yang sudah diringkus mengharapkan agar suhunya menyerahkan sekantung emas itu untuk menyelamatkannya, demikian pula Lauw Ki Seng sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa musuhnya menyerahkan sekantung emas itu kembali kepadanya. Kantung emas itu adalah hasil pencurian adiknya yang terkenal sebagai seorang pencuri yang pandai.
Akan tetapi pada malam itu, setelah berhasil mencuri emas, adiknya bertemu dengan Liok-te Lo-mo dan dalam perebutan emas itu adiknya terluka parah dan sebelum mati adiknya memberi tahu bahwa yang melukainya dan merampas kantung emasnya adalah Liok-te Lomo. Kini dia yakin tosu itu akan mengembalikan emas itu demi menyelamatkan muridnya.
Akan tetapi baik Thian Lee maupun Ketua Hek-i-pang itu kecelik dan mereka memandang heran ketika melihat tosu itu tertawa mengejek, "Heh-heh-heh, seratus kali kalian boleh membunuh anak itu, pinto tidak merasa rugi apa pun! Akan tetapi karena kalian telah berani mengancan pinto, kalau anak itu dibunuh, kalian semua akan mampus di tanganku, tak seorang pun akan tinggal hidup!
"Hek-pangcu, engkau adalah seorang gagah, terkenal sebagai Ketua Hek-i-pang, apakah engkau tidak memiliki keberanian untuk memperebutkan kantung emas ini dengan pinto? Mari kita bertanding satu lawan satu dan pinto akan menghadapimu dengan tangan kosong.
"Kalau pinto kalah, pinto akan menyerahkan sekantung emas ini, sebaliknya kalau engkau yang kalah, engkau harus melepaskan anak itu. Nah, beranikah engkau menyambut tantanganku!"
Ditantang di depan para anak buahnya seperti itu, tentu saja Lauw Ki Seng sebagai Ketua Hek-i-pang merasa malu dan tidak enak kalau menolak. Menolak berarti mengaku kalah dan menyatakan takut, padahal dia pun terkenal sebagai seorang jagoan yang selama beberapa tahun menjadi Ketua Hek-i-pang belum pernah bertemu tanding.
Apalagi tosu itu menantangnya untuk melawan dengan tangan kosong! Betapa sombongnya! Dan dia memiliki ilmu pedang yang disebut Liu-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Kilat)!
"Baik, dan engkau tidak akan mampu ingkar janji!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pedangnya.
Serangan ini saja sudah menunjukkan bahwa Ketua Hek-ipang itu adalah seorang yang licik. Serangan mendadak tanpa peringatan lagi seperti layaknya orang yang mengadu ilmu silat. Biasanya dalam suatu pertandingan silat, dia yang mulai menyerang akan mengeluarkan ucapan yang sifatnya memperingatkan dan sebagai pembukaan serangan.
Akan tetapi Lauw Ki Seng langsung menyerang menyambung katakatanya dan serangannya memang dahsyat. Sesuai dengan nama ilmu pedangnya "Sinar Kilat!" pedang itu menyambar dengan cepat sekali sehingga yang nampak hanya si-narnya saja yang berkilat. Kilat itu me-nyambar ke arah dada Liok-te Lo-mo.
Akan tetapi jauh sebelum Ketua Hek-i-pang itu menyerang, Liok-te Lo-mo su-dah dapat menduganya dan sejak tadi dia sudah waspada. Maka begitu sinar pedang itu menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, dia dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan dengan tangan terbuka dia menepiskan pedang itu sehingga tusukan itu luput.
Tangan yang menepis pedang itu berputar menjadi cengkeraman ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang, sedangkan tangan kiri mencengkeram dari atas ke arah kepala Lauw Ki Seng. Gerakan ini serba otomatis dan cepatnya bukan main.
Lauw Ki Seng merasa terkejut sekali. Tadi dia menyerang, malah kini berbalik dia menghadapi serangan pada pergelangan tangan dan kepalanya!
"Heiiit....!" Dia membentak sambil melompat jauh ke belakang sambil memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Kemudian, dia menerjang ke depan lagi dengan penyerangan yang lebih dahsyat. Kini pedang itu menyambar-nyambar untuk membabat ke arah lawan.
Namun, dengan ringannya tubuh tosu itu bergerak dan berkelebatan di antara sambaran sinar pedang. Gerakan tosu itu sedemikian cepatnya sehingga betapapun ketua Hek-i-pang itu mempercepat serangannya, pedangnya tldak pernah dapat menyentuh tubuh tosu itu. Bahkan tosu itu dapat pula membalas serangan yang tidak kalah hebatnya.
Setiap tamparan atau tendangan tosu itu, kalau mengenai sasaran, tentu akan merobohkan lawan. Mulailah Ketua Hek-i-pang menjadi terkejut sekali. Pantas saja adiknya tewas di tangan tosu ini, kiranya memang tosu ini seorang yang amat tangguh. Dia mengeluarkan seruan keras lagi.
"Hiaaattt...." Dan tubuhnya merendah, pedangnya menyambar ke arah kedua kaki tosu itu.
Liok-te Lo-mo meloncat ke atas membiarkan pedang lewat di bawah kakinya. Ketika kedua kakinya turun, lawan telah menyerangnya dengan tusukan pedang ke arah dadanya. Dia mengelak ke samping sambil memutar tubuh dan tusukan itu kembali telah mengejarnya dengan tusukan berikutnya, demikian cepatnya pedang bergerak sehingga tosu itu tidak sempat lagi nampaknya untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi dia masih memiringkan tubuhnya dan pedang itu lewat di dekat dada. Liok-te Lo-mo menggerakkan lengannya menJepit pedang itu di bawah ketiaknya dan tangannya terjulur ke depan seperti seekor ular, tahu-tahu jari tangannya mencengkeram ke arah tangan Jawan yang memegang pedang!
"Ahhh....!" Lauw Ki Seng terkejut sekali. Tadi ketika pedangnya terjepit lengan dan dada, dia sudah girang sekali karena pedangnya yang tajam tentu dapat dia gerakan untuk melukai dada dan lengan itu, akan tetapi tidak disangka-sangkanya tangan lawan telah mengancam tangannya yang memegang pedang. Untuk menolong tangannya, tangan kirinya menangkisan tetapi pada saat itu, tangan kiri Liok-te Lo-mo telah memukulnya dengan tangan terbuka.
“Desss....!" dorongan tangan kiri itu sempat mengenai dada Lauw Ki Seng. Ketua Hek-i-pang ini merasa dadanya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Dia terlempar ke belakang dan terpaksa melepaskan pedangnya yang tertinggal dalam jepitan ketiak lawan! Dia jatuh terjengkang dengan keras dan dadanya terasa sesak sehingga napasnya terengah-engah.
Semua anak buahnya memandang terbelalak seolah tidak percaya akan pandang mata sendiri. Pimpinan mereka yang mereka banggakan itu, dengan bersenjata pedang, kalah sedemikian mudahnya oleh tosu itu yang bertangan kosong!
Lauw Ki Seng juga tahu diri. Dia maklum bahwa lawannya itu lihai sekali dan tosu itu pun tidak peduli kalau dia membunuh muridnya. Akan tetapi kalau dia membunuh muridnya yang tidak ada gunanya itu, tentu mereka semua akan dibasmi dan dibunuh oleh tosu itu dan inl bukan sekedar gertakan kosong. Dengan ilmu kepandaiannya yang setinggi itu, bukan hal yang mustahil kalau mereka semua akan dapat terbunuh olehnya.
"Lepaskan anak itu!" katanya dengan napas terengah. Para anak buahnya membebaskan Thian Lee yang segera menghampiri suhunya.
"Heh-heh-heh, engkau baru mengenal kelihaianku'" kata Liok-te Lo-mo sambil memegang pedang yang tadi terjepit di ketiaknya. Kemudian sambil melontarkan pedang itu kepada pemiliknya dia berkata, "Nih, pinto kembalikan pedangmu!"
Lontaran itu kuat sekali dan pedang meluncur bagaikan anak panah cepatnya. Lauw Ki Seng yang masih terengah-engah itu mencoba untuk menghindarkan dirinya, namun tetap saja pahanya tertusuk pedangnya sendiri sampai tembus dan dia pun roboh lagi. Darah mengalir dari pahanya membasahi celananya dan ketua itu merintih kesakitan.
"Heh-heh-ha-ha-ha!" Liok-te Lo-mo tertawa bergelak, kemudian berkata kepada Thian Lee, "Mari kita pergi!" dan dia pun melenggang seenaknya tanpa menengok lagi, diikuti oleh Thian Lee dan belakang.
Anak ini merasa semakin tidak senang kepada gurunya. Gurunya telah membunuhi banyak tukang pukul dusun dengan kejam, kemudian merampas perahu nelayan tua yang tidak berdaya. Dan sekarang, setelah menang adu kepandalan, dia masih melukai Ketua Hek-i-pang yang sudah kalah. Gurunya ini sungguh seorang yang kejam dan tidak mempedulikan penderitaan orang lain, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri.
Padahal, sejak kecil dalam benak Thian Lee telah ditanamkan watak dan sifat pendekar oleh ibunya. Dia tidak boleh membenci, dan menentang kejahatan bukan karena benci kepada orangnya. Kebencian akan menimbulkan tindakan kejam.
Apalagi dia tidak boleh merampas hak milik lain orang. Dan Liok-te Lo-mo ini sudah merampas perahu nelayan, bahkan merampas pula sekantung emas dari orang-orang Hek-i-pang. Guru macam apa yang dia temukan ini?
Akan tetapi karena tosu itu telah menyelamatkan nyawanya, maka mau tidak mau dia haruslah menyatakan terima kasihnya dengan menaatinya. Pula, dia ingin memetik ilmu-ilmu dari tosu ini, bukan mencontoh kejahatan dan kekejamannya.
Akhirnya perjalanan mereka sampai Nam-bun-tiang, sebuah kota di sebelah barat kota Pao-ting dan berada di kaki Pegunungan Tai-hang-san. Tosu tu berhenti di kota ini untuk berbelanjd. Beberapa guci besar arak, daging kering dan terigu, juga bumbu-bumbu masak.
Setelah itu, dia mengajak Thian Lee untuk mendaki Bukit Tai-hang-san melalui lereng-lereng yang terjal. Thian Lee kelelahan karena dia diharuskan memikul barang-barang belanjaan tadi.
Setelah tiba di sebuah lereng yang rata, di mana terdapat sebuah bangunan yang menyendiri, tosu itu mengajaknya berhenti di depan rumah itu. Liok-te Lo-mo membuka pintu rumah dan ternyata itulah rumah tinggalnya. Sebuah pondok yang lumayan besarnya, dan ternyata lengkap dengan prabot rumah tangga yang serba baru.
“Nah, itulah rumah pinto. Thian Lee, rumah ini sudah lama pinto tinggalkan. Lihat kotor sekali. Hayo cepat bersihkan rumah ini agar enak ditempati."
Thian Lee menanti perintah gurunya. Dari pagi itu sampai sore, sehari penuh ia membersihkan rumah itu, mengebut, menggosok dan menyapu sehingga rumah itu kini nampak bersih semua dinding dan lantainya, juga perabot-perabotnya. Senanglah hati Liok-te Lo-mo melihat kerajinan muridnya yang tentu akan menjadi pembantu yang amat berguna baginya.
Dan memang demikianlah. Setiap hari Thian Lee bekerja keras untuk keperluan suhunya. Membersihkan rumah dan halaman, menyirami tanaman bunga dan tanaman obat, mencuci pakaian, memasak, pendeknya semua pekerjaan dia lakukan. Dan tak pernah dia mengeluh dalam mengerjakan semua itu.
Hal ini agaknya memuaskan hati Thian-te Lo-mo dan mulailah dia merasa suka kepada Thian Lee. Dia mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi yang dikuasainya dan lebih girang lagi hatinya melihat betapa anak berusia sepuluh tahun itu memiliki dasar yang kuat dan baik sekali.
Ketika musim salju tiba, Thian Lee melihat betapa suhunya suka merendam kedua lengan sampai ke siku ke dalam air yang membeku menjadi air es sampai berjam-jam! Setelah itu, suhunya memanggang kedua lengannya itu di atas api unggun besar yang panas sekali! Dan untuk permulaan, dia pun diharuskan merendam kedua lengannya ke dalam air membeku.
Tentu saja dia merasa tersiksa sekali. Rasa dingin menyusup sampai ke tulang sumsum, sampai ke hatinya, dan setelah dia hampir tidak kuat bertahan, baru gurunya membolehkan dan membebaskan tangannya dari selimutan air es itu.
Akan tetapi setelah setiap hari dilatih, sebelum musim salju lewat, Thian Lee mulai dapat menahannya dengan menyalurkan hawa dari tian-tan (bawah pusar) ke kedua lengannya sehingga biarpun direndam es, kedua lengan terasa hangat dan dia dapat bertahan sampai berjam-jam!
Di luar tahunya, dia telah mulai melatih diri dengan sinkang yang amat kuat. Pada tahun ke dua, dia mulai dilatih memanggang kedua lengan di atas api unggun. Mula-mula memang tak tertahankan, kulit kedua lengannya sampai menjadi kemerahan. Akan tetapi sebelum kulitnya melepuh, gurunya sudah menghentikannya dan memarami kedua lengannya dengan daun obat.
Setelah dilatih terus menerus, mulailah dia dapat melawan hawa panas itu dengan saluran sinkang yang membuat kedua lengannya dingin seperti kalau direndam dalam es. Dan mulailah dia dapat bertahan memanggang kedua lengannya sampai berjam-jam di atas api...!