Gelang Kemala Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 03 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 03

Selama dua tahun menjadi murid Liok-te Lo-mo, dia hanya diajar langkah-langkah dan kuda-kuda sebagai dasar ilmu silat, dan latihan sinkang menggunakan es dan api itu. Sama sekali belum diajar ilmu silat.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Karena itu, apabila ingin melatih silat, Thian Lee melatih ilmu silat yang pernah diajarkan ibunya, yaitu ilmu silat mendiang ayahnya yang menjadi tokoh Kunlun-pai. Dan dia mendapat kenyataan betapa ilmu silat Kun-lun-pai ini sekarang dapat dia mainkan dengan lebih mantap. Gerakannya mantap dan kuat.

Pada suatu sore setelah selesai semua pekerjaannya, seperti biasa Thian Lee berlatih silat di pekarangan belakang, bersilat dengan ilmu silat Kun-lun-pai. Yang dimainkannya itu adalah Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) yang gerakannya gagah dan kedua lengan seolah menjadi sayap burung elang, dipentang ke kanan kiri dan setiap pukulan seperti tamparan sayap burung itu. Setiap tendangan seperti cakaran burung elang.

Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan belas jurus dan semua jurus telah dimainkan Thian Lee dengan bersungguh-sungguh. Pukulan dan tendangan anak berusia dua belas tahun ini mendatangkan angin menyambar-nyambar, dan ini adalah berkat sin-kang yang dimilikinya ketika melatih diri dengan air beku dan api.

Baru saja dia rnenyelesaikan jurus terakhir, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Hemmm, bagus. Cuma herannya mengapa Liok-te mengajarkan silat Kun-lun-pai kepada muridnya? Tidak tahu malu sekali tosu kurus kering itu, mencuri ilmu Kun-lun-pai dan diajarkan kepada orang lain."

Thian Lee terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata di situ telah berdiri seorang kakek yang usianya tentu tidak lebih muda dari Liok-te Lo-mo. Apalagi melihat kakek yang rambutnya dibiarkan panjang riap-riapan itu sudah tidak mempunyai gigi lagi dan juga rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Dan kakek itu memegang sebatang tongkat bambu kuning yang dipergu-nakannya untuk menopang tubuhnya yang agak bongkok.

"Saya tidak menerima ilmu silat Kun-lun-pai ini dari Suhu Liok-te Lo-mo," kata Thian Lee. "Locianpwe ini siapakah dan ada keperluan apakah datang ke sini?"

Kakek itu tidak menjawab melainkan memandang Thian Lee dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata, "Anak baik, coba engkau pertahankan dirimu dari seranganku ini!" Dan tanpa banyak cakap. lagi tosu itu lalu menyerang de-ngan tongkat bambunya! Tongkat itu menusuk ke arah mata Thian Lee.

Thian Lee terkejut sekali dan tentu saja dia tidak ingin matanya ditusuk. Dia lalu menggerakkan tubuhnya dan otomatis dia bersilat dengan ilmu silat Elang Terbang yang dikuasainya. Tangan kirinya menangkis tongkat. Akan tetapi tongkat itu gerakannya cepat sekali, begitu ditangkis tangan kiri tahu-tahu sudah menyodok ke arah perut!

Thian Lee menangkis lagi berturut-turut tongkat itu menyerang bertubi-tubi, Thian Lee sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang karena tongkat itu bergerak cepat sekali. Thian Lee tidak sempat mengelak, maka dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

Dan kakek itu memang agaknya hendak menguji tenaga anak itu karena setiap menyerang dia pun menambah tenaga dalam serangannya tongkatnya. Serangan itu semakin cepat dan kuat dan akhirnya, tanpa dapat ditangkis lagi, sebuah totokan ujung tongkat mengenai pundak Thian Lee dan anak itu pun tidak mampu bergerak lagi!

"Ha-ha-ha, bagus, bagus sekali. Engkau anak yang baik, tulang dan otot yang baik!" kakek itu berkata dan sekali tongkatnya bergerak, dia baskan Thian Lee dari totokan.

Thian Lee memandang dengan matanya yang mencorong. "Locianpwe siapa dan apa maksud Locianpwe menyerang saya? Ada keperluan apakah Locianpwe datang ke sini?"

"Aku hanya kebetulan lewat dan melihat engkau berlatih. Siapa namamu, Nak?"

"Nama saya Song Thian Lee."

"Engkau murid Liok-te Lo-mo?"

"Benar."

"Akan tetapi belum diajar silat. Sudah berapa lama engkau menjadi murid-nya?"

"Baru dua tahun."

"Sudah dua tahun belum diajar silat, padahal engkau memiliki bakat yang baik sekali. Lebih baik engkau turut denganku saja, Thian Lee dan engkau akan kuajari ilmu silat yang lebih baik daripada yang dapat diajarkan Liok-te Lo-mo Kepadamu."

Thian Lee mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya tidak ingin ikut Locianpwe, saya lebih senang menjadi murid Suhu Liok-te Lo-mo."

"Ha-ha, sekali aku mengeluarkan keputusan, siapa dapat mengubahnya? Engkau harus menjadi muridku, Thian Lee."

"Hemm, perlahan dulu, Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tangan)!" tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah Liok-te Lo-mo di tempat itu. "Berani engkau hendak merampas muridku?"

"Ha-ha, Liok-te Lo-mo. Tidak perlu murid diperebutkan. Akan tetapi anak ini memiliki bakat yang baik, pantas menerima guru terpandai!"

"Jadi engkau anggap aku ini guru yang kurang pandai?"

"Aku melihat muridmu ini memainkan ilmu silat Kun-lun-pai. Itu membuktikan bahwa engkau tidak becus mengajarnya, maka biarkan aku yang menjadi gurunya."

"Jeng-ciang-kwi, engkau menganggap dirimu lebih berharga menjadi guru daripada pinto?"

"Tentu saja! Boleh kau uji!"

"Baik. Sekarang begini saja. Kita mengadu llmu kepandaian dan siapa yang menang dialah yang berhak menjadi guru Thian Lee!" kata Liok-te Lo-mo yang memiliki watak tidak mau kalah oleh siapa pun, sungguhpun dia tahu bahwa kakek di depannya ini adalah seorang sakti yang lihai sekali. Sudah lama dia mengenal kakek yang berjuluk Setan Seribu Tangan itu, akan tetapi belum pernah mencoba ilmu kepandaiannya, maka kini dia mendapatkan jalan untuk mencobanya.

"Bagus! Memang aku pun ingin mengusulkan demikian. Mari kita main-main sebentar, Liok-te Lo-mo!" kata kakek yang berambut putih itu sambil melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

Liok-te Lo-mo menggerakkan tangan ke balik jubahnya dan nampaklah dia memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Begitu melihat Liok-te Lo-rno, memegang pedang, kakek yang berjuluk Jeng-ciang-kwi itu sudah menyerangkan tongkatnya dengan dahsyat sekali. Tongkat itu menotok belasan jalan darah di sebelah depan tubuh Liok-tek Lo-mo secara bertubi-tubi.

Melihat serangan yang cepat dan dahsyat ini, Lo-mo memutar pedang-nya untuk melindungi tubuhnya. Berkah-kali tongkat bertemu pedang. Anehnya, tongkat yang hanya terbuat dari bambu kuning itu tidak patah bertemu dengan pedang yang demikian tajamnya, walaupun mengeluarkan suara nyaring. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Setan Seribu Tangan itu.

Thian Lee kini terbelalak menonton pertandingan itu. Sekali ini gurunya bertemu tanding sehingga pertandingan itu tidak seperti yang pernah ditontonnya, di mana suhunya dengan amat mudahnya merobohkan lawan-lawannya. Tongkat dan pedang itu seolah telah berubah menjadi banyak sekali sehingga pening dia yang menjadi penonton.

Bahkan tak lama kemudian, pedang dan tongkat lenyap bentuknya dan yang nampak olehnya hanya gulungan dua macam sinar, putih dan kuning, bagaikan dua ekor naga yang bermain-main di angkasa. Bahkan tubuh dua orang itu pun tidak nampak lagi, terbungkus bleh dua gulungan sinar itu.

Pertandingan itu memang seru bukan main. Keduanya adalah orang-orang sakti yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Mereka itu saling serang dan mencoba untuk merobohkan lawan dengan serangan jurus-jurus terampuh. Namun semua serangan dapat dihindarkan lawan sehingga pertandingan berjalan sampai dua ratus jurus belym Juga ada yang menang atau kalah.

Akan tetapi akhirnya ternyata bahwa kakek itu sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan gerak dibandingkan Liok-te Lo-mo dan lewat dua ratus jurus, mulailah dia mendesak. Bagi Thian Lee yang menonton pertandingan itu sebagai saksi tunggal, dia hanya melihat betapa gulungan sinar kuning tadi menjadi lebih lebar dan mnlai menggulung sinar putih.

Tiba-tiba sinar putih yang mengecil itu mencuat ke belakang dan narnpaklah gurunya berdiri dengan pedang dilintangkan depan dada. Wajahnya nampak agak pucat dan jubah di bagian dadanya terobek lebar. Sinar kuning pun lenyap dan nampaklah kakek berambut putih itu berdiri sambil tersenyum.

"Bagaimana, Lo-mo?" tanya kakek itu sambil bertopang pada tortgkat bambunya.

"Jeng-ciang-kwi, engkau semakin tua semakin hebat saja. Hari ini terpaksa aku mengakui keunggulanmu dan engkau boleh membawa Thian Lee bersamamu."

"Ha-ha-ha, bagus! Itu tandanya bahwa engkau benar-benar mengakui keunggulanku. Hayo, Thian Lee, bawa pakaianmu. Engkau ikut bersamaku!"

"Tidak! Tadi sudah saya katakan kepadamu, Locianpwe, bahwa saya tetap akan ikut Suhu dan tidak mau berguru kepadamu," kata Thian Lee.

Dan sikap anak ini mengejutkan kedua orang tua itu. Mereka tidak tahu bahwa Thian Lee bersikap demikian sesuai dengan ajaran mendiang ibunya yang selalu berpesan agar dia menjadi seorang yang setia. Kesetiaan adalah ciri khas seorang gagah, demikian pesan ibunya. Tanpa kesetiaan, maka orang akan menjadi pengecut. Demi kesetiaan dia harus berani menghadapi apa pun, karena mati dalam kesetiaan lebih berharga daripada hidup tidak memiliki kesetiaan.

Inilah sebabnya dia menolak keras menjadi murid kakek rambut putih karena dengan demikian dia harus meninggalkan suhunya yang selama ini bersikap baik kepadanya. Gurunya pernah menyelamatkan nyawanya, sudah mendidiknya, bagaimana mungkin dia meninggalkannya begitu saja untuk ikut Jeng-ciangkwi walaupun kakek rambut putih itu menang berebutan dengan suhunya?

"Engkau tidak mau ikut? Heh, sekali aku memutuskannya, engkau pun tidak bisa mengubahnya!"

Tiba-tiba tongkat itu meluncur dan tubuh Thian Lee sudah tidak mampu bergerak lagi. Dia tentu sudah roboh dengan lemas kalau kakek rambut putih itu tidak cepat menyambar tubuhnya dan memanggul di atas pundaknya. Kemudian dia pergi dengan langkah lebar tanpa menoleh lagi kepada Liok-te Lo-mo yang memandang dengan muka pucat.

Liok-te Lo-mo merasa kehilangan sekali setelah Thian Lee dibawa pergi. Akan tetapi untuk mencegah tidak mungkin. Selain dia sudah mengadakan perjanjian dengan Jeng-ciangkwi dan dia kalah, dia pun merasa tidak mampu merebut Thian Lee dari tangan kakek sakti itu.

Sementara itu, Thian Lee sama sekali tidak berdaya dalam pondongan kakek berambut putih. Dan ia memejamkan mata ketika melihat betapa kakek itu berlari cepat bagaikan terbang saja. Angin bertiup di mukanya dan rambut putih kakek itu pun menyapu-nyapu pipinya.

Tahulah dia bahwa dia tidak mungkin lagi menolak karena dalam tangan kakek rambut putih ini, dia tidak berdaya sama sekali. Bagaimanapun juga dia tidak melanggar kesetiaannya, apalagi karena Liok-te Lo-mo juga tidak mencegahnya dibawa pergi Jeng-ciang-kwi.

"Locianpwe, ke mana engkau hendak membawa aku?" tanya Thian Lee ketika dia terbebas dari totokan. Mereka telah pergi jauh sekali dari tempat tinggal Liok-te Lo-mo.

"Eh, engkau telah terbebas? Bagus, ini menunjukkan bahwa tubuhmu memiliki kekuatan," kata kakek itu lalu menurunkan Thian Lee. Akan tetapi kakek itu nengerutkan alisnya. "Wah, engkau sama sekali tidak membawa bekal pakaian. Salahmu sendiri, engkau tidak mau kubawa...."

"Locianpwe...."

"Tolol! Sebut aku Suhu! Aku adalah gurumu, engkau boleh mau atau tidak. Aku gurumu dan engkau harus menyebut aku suhu, atau aku akan menotokmu lagi sampai engkau tidak bisa bangkit kembali untuk selamanya."

Thian Lee seorang anak yang cerdik. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lebih aneh, mungkin lebih kejam dibandlngkan Liok-te Lo-mo. Dia belum ingin mati sedemikian mudahnya. Oleh karena itu, dia mengalah.

"Suhu, mengapa Suhu berkeras mengambil murid padaku? Dan ke mana Suhu hendak membawaku?"

"Pendeknya, ke manapun engkau ikut saja. Aku akan membawamu menonton keramaian di puncak Luliang-san. Semua tokoh kang-ouw akan hadir di sana untuk memilih seorang bengcu."

"Apakah bengcu itu, Suhu?" Thian Lee tertarik mendengar bahwa tokoh-tokoh kang-ouw akan berkumpul dan dia akan diajak menonton keramain itu.

"Bengcu adalah pimpinan dunia kang-ouw, dan mungkin akan diadakan pertandingan silat di sana untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi bengcu. Sudah, tidak perlu banyak bertanya, sekarang kita pergi mencari pakaian untukmu dan juga untukku."

Mereka memasuki sebuah kota dan kakek itu ternyata memiliki banyak uang emas dan perak. Dia membeli beberapa potong pakaian untuk Thian Lee dan dirinya sendiri, membungkus dalam sebuah buntalan dan menyuruh Thian Lee menggendong buntalan itu. Thian Lee merasa agak lega hatinya. Setidaknya, gurunya yang baru ini tidak mencuri seperti yang dilakukan Liok-te Lo-mo.

Setelah makan dan membeli pula makanan kering untuk bekal di perjalanan, Jeng-ciang-kwi mengajak Thian Lee mulai melakukan perjalanan ke barat, menuju Luliang-san.

Sudah menjadi kebiasaan di dunia kang-ouw pada waktu itu bahwa setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang tokoh kang-ouw yang dihormati dan dipandang tingg, oleh seluruh dunia kang-ouw.

Tokoh bengcu ini memang diperlukan oleh mereka, bukan saja untuk menjadi pemimpin dalam semua urusan yang terjadi mengenai tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan juga untuk mewakili seluruh tokoh kang-ouw dalam urusan menghadapi pemerintah.

Kalau pemerintah hendak mengumumkan sesuatu kepada para tokoh kang-ouw atau perkumpulan persilatan, pemerintah hanya menghubungi bengcu ini saja dan bengcu ini yang akan menyebar-luaskan pengumuman itu.

Juga kalau ada persoalan timbul di antara warga dunia kang-ouw sendiri, untuk mendapatkan keadilan dan keputusan, maka orang-orang itu pergi melapor kepada bengcu. Maka, teramat penting kedudukan bengcu ini bagi dunia kang-ouw.

Pada waktu itu, kedudukan bengcu lowong karena bengcu yang tadinya memegang pimpinan, yaitu Ouw Hui Sian, seorang pendekar tua sakti yang terkenal dengan julukan Si Golok Sakti telah meninggal dunia karena usia tua. Maka para tokoh kang-ouw lalu mengadakan perundingan untuk mengadakan pertemuan di puncak Luliang-san, untuk memilih seorang bengcu baru.

Pada hari yang ditentukan itu, berbondong-bondong para wakll dari perkumpulan-perkumpulan silat, juga tokoh-tokoh perorangan, mendaki Gunung Luliang-san untuk menghadiri pemilihan bengcu.

Bahkan dari pihak pemerintah juga datang seorang wakil yang terkenal karena panglima yang datang ini dahulunya juga seorang pendekar dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli pedang bernama Gui Tiong In yang berjuluk Hok-liong-kiam (Pedang Penaluk Naga). Gui-ciangkun datang bersama tiga orang pembantunya.

Karena pertemuan ini untuk memilih bengcu baru merupakan pertemuan amat penting, maka banyak sekali yang datang hadir. Wakil dari Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Khong-tong-pai juga hadir, belum lagi dari perkumpulan-perkumpulan orang gagah dan perguruan-perguruan silat, namun diwakili tokoh-tokoh mereka. Para pendekar perorangan juga banyak yang hadir sehingga jumlah mereka yang berkumpul di situ tidak kurang dari seratus orang!

Setelah semua orang berkumpul, dengan suara bulat mereka menunjuk Gui-ciangkun untuk menjadi ketua pemilihan bengcu. Semua orang setuju karena biasanya, dalam pemilihan bengcu, sering kali terjadi perebutan dan pertentangan. Dengan adanya orang dari pemerintah yang memimpin pemilihan, diharapkan tidak akan terjadi pertentangan dan pemilihan akan berjalan tertib tanpa tindak kekerasan dari pihak mana pun.

Gui-ciangkun yang mengerti akan pentingnya pemilihan ini bagi pemerintahnya, setuju dan demikianlah, Gui-ciangkun bersama para pimpinan perkumpulan yang diang-eap sebagai kaum tua yang berkedudukan lebih tinggi, duduk di panggung, sedangkan para undangan lain duduk di bawah panggung.

Gui-ciangkun bangkit berdiri dan setelah memberi hormat kepada para lo-cianpwe yang duduk di panggung kehormatan, dia lalu berkata kepada hadirin dengan suara lantang, "Cu-wi (Saudara sekalian) yang hadir, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memimpin pemilihan ini. Untuk memberi kebebasan memilih kepada Cu-wi, seperti biasanya, sebaiknya kalau Cu-wi memilih calon masing-masing untuk kemudian dari sekian calon itu kini memilih bengcu berdasarkan suara terbanyak. Silakan Cu-wi mengajukan nama calon masing-masing."

Semua yang hadir kini sibuk bicara sendiri, agaknya untuk merundingkan dengan kelompok masing-masing siapa yang akan mereka angkat sebagai calon. Akan tetapi wakil dari Bu-tongpai, yaitu Tong Bu Leng yang bertubuh tinggi besar bangkit berdiri dan terdengar suaranya yang lantang,

"Gui-ciangkun, kami dari Bu-tong-pai berpendapat bahwa kalau terlalu banyak diajukan calon merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Biasanya dalam pemilihan yang lalu, makin banyak calon, menjadi semakin kacau karena terjadi perebutan dan persaingan. Oleh karena itu, kami usulkan agar mengangkat satu dua orang calon saja yang benar-benar pantas untuk menjadi bengcu, kemudian dilakukan pemilihan bengcu!"

"Saya setuju sekali dengan usul Tong-enghiong dari Bu-tong-pai. Bagaimana pendapat Cu-wi yang hadir? Setujukah dengan usul itu untuk mengangkat atau menunjuk satu dua orang calon saja agar pemilihan bengcu menjadi lebih sederhana dan cepat, tidak sampai menimbulkan perebutan dan persaingan?"

Serentak semua orang menyatakan pendapatnya, "Setuju....!"

Kemudian terdengar suara nyaring seorang tosu yang bangkit berdiri dari tempat duduknya di panggung kehormatan. "Pinto merasa setuju sekali. Memang tidak semestinya kalau setiap golongan memilih calon bengcu dari kalangan sendiri sehingga terjadi perebutan dan persaingan. Kita semua memilih bengcu bukan untuk kepentingan kelompok sendiri, melainkan untuk kepentingan dunia kang-ouw pada umumnya. Pinto mengusulkan agar Im Yang Sengcu dari Kun-lun-pai ditunjuk sebagai calon.

"Beliau pantas menjadi bengcu karena kedudukan beliau sebagai Ketua Kun-lun-pai yang merupakan partai besar dan kuat, juga mengingat pengalaman beliau yang sudah berusia lanjut serta kesaktian beliau yang tiada bandingannya. Bagaimana pendapat Cu-wi? Setujukah kalau kita ajukan Im Yang Sengcu sebagai calon?"

Yang bicara ini adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus. Dia adalah Ciong Jin Tosu, berusia lima puluh tahun, tokoh Kong-thong-pai yang mewakili perkumpulannya hadir di situ dan mendapat tempat duduk di panggung kehormatan pula.

Yang ditunjuk itu adalah Im Yang Sengcu, Ketua Kun-lun-pai yang kebetulan hadir pula di situ. Dia seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, bersikap tenang dan anggun dengan jenggot panjang putih. Kumis dan rambutnya masih hitam akan tetapi yang mencolok adalah alisnya yang sudah putih semua. Karena alisnya itulah dia mendapat sebutan Pek-bi Lo-jin (Orang Tua Beralis Putih).

Ketua Kun-lun-pai ini terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan bijaksana, ilmu silatnya tinggi dan dia disegani oleh seluruh tokoh kang-ouw. Mendengar dirinya ditunjuk sebagai calon bengcu, Im Yang Sengcu bangkit berdiri dari kursinya dan cepat dia memberi hormat kepada semua orang dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya.

"Siancai, siancai....!" Suaranya halus lembut namun dapat menembus kegaduhan itu sehingga semua orang berdiam diri untuk mendengarkan. Tadinya semua orang ribut menyatakan dukungan mereka dan persetujuan mereka dengan Jiangkatnya Im Yang Sengcu menjadi calon. Kini setelah tosu itu bicara, mereka semua diam mendengarkan penuh perhatian.

"Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi menunjuk pinto menjadi calon. Akan tetapi sungguh pinto merasa tidak sanggup. Kedudukan bengcu adalah kedudukan yang istimewa pentingnya, sedangkan pinto adalah seorang ketua perkumpulan yang sudah sibuk sekali dengan tugas pinto dalam perkumpulan. Juga pinto merasa tidak sanggup mewakili dunia kang-ouw untuk menghadapi urusan besar.

"Karena itu, pinto usulkan agar mengangkat sahabat pinto, yaitu Hui Sian Hwesio yang kini hadir di sini. Dia adalah wakil Ketua Siauwlim-pai, selain cakap dan memiliki tingkat kepandaian tinggi, juga kita semua mengetahui bahwa hubungan antara Siauw-lim-pai dan pemerintah amatlah dekatnya. Dengan mengangkat wakil Siauw-lim-pai sebagai bengcu, maka semua urusan dengan pemerintah akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimana pendapat Cu-wi, setujukah dengan usul pinto ini?"

Hui Sian Hwesio yang tinggi gendut seperti Jilaihud itu juga seorang tokoh yang amat terkenal. Biarpun dia hanya wakil ketua, akan tetapi untuk urusan luar, Ketua Siauw-lim-pai sendiri, tidak pernah maju. Hui Sian Hwesio inilah yang mewakili ketua maju dalam setiap urusan keluar, sehingga namanya lebih terkenal. Dan pada waktu itu, memang Agama Buddha lebih diterima permerintah Mancu daripada Agama To, maka semua orang yang mendengar ucapan Im Yang Sengcu itu serentak menyatakan setuju.

Hui Sian kini bangkit berdiri dan mukanya yang penuh senyum lebar itu amat menyenangkan hati orang yang ikut-ikut tersenyum. "Omitohud! Sungguh elok sekali. Lima tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan bengcu di Thai-san, masih terjadi persaingan dan perebutan, seolah kedudukan bengcu merupakan kedudukan yang berharga untuk dimiliki, seolah menjadi sumber rejeki sarana nama besar. Akan tetapi apa yang pinceng lihat sekarang? Yang ditunjuk malah tidak mau menerima dan mengoperkan kepeda orang lain!"

"Kalau begitu, harap Losuhu tidak mengoperkan pula kepada orang lain!" Terdengar teriakan dan semua orang tertawa sambil berteriak-teriak menyetujui ucapan itu.

"Omitohud, bukan maksud pinceng untuk mengelak. Pinceng hanya menjelaskan keadaan saja. Keadaan yang berbeda sekarang ini di mana tidak mendapat perebutan dan persaingan, menunjukkan dengan jelas bahwa yang hadir semua ini adalah para pendekar yang tidak haus akan kedudukan. Dahulu, kalau diadakan pemilihan bengcu, golongan sesat selalu ikut mencampuri dan merekalah yang berdaya upaya keras untuk merebut kedudukan bengcu agar kepentingan golongan mereka terjarnin.

"Sekarang keadaan lain lagi karena itu kita harus memilih dengan bijaksana jangan sampai salah pilih. Apa yang diucapkan oleh sahabat Im Yang Sengcu tadi memang betul sekali. Kedudukan bengcu amat penting untuk kita semua, karena itu kita harus memilih seorang yang benar-benar tepat untuk kedudukan itu."

"Losuhu, yang paling tepat untuk menjadi bengcu!" terdengar seseorang berteriak dan teriakan ini diikuti pula suara setuju.

Hui Sian Hwesio mengangkat tangan ke atas dan semua orang diam. "Omitohud, bukan semata-mata pinceng menolak, akan tetapi adalah karena alasan yang amat kuat. Cu-wi mengetahui bahwa pinceng adalah wakil ketua perkumpulan yang besar sekali, bukan saja mengurus urusan umum dengan dunia kang-ouw, akan tetapi juga urusan penyebaran agama.

"Menjadi bengcu atau pemimpin haruslah seorang yang jujur, setia dan dapat mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk jabatannya itu. Dia tidak boleh memiliki kedudukan rangkap, karena dengan demikian dia tentu tidak akan dapat mencurahkan tenaga seluruhnya. Pinceng mempunyai seorang calon dan Cu-wi tentu akan setuju dengan calon yang pinceng usulkan itu.

"Mengenal ilmu silat, dia jauh lebih hebat dari pinceng. Mengenai pengalaman, dia sudah malang melintang di dunia kang-ouw selama puluhan tahun. Dan namanya yang besar juga bersih sebagai seorang pendekar budiman yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Pemimpin haruslah seorang yang tidak mementingkan diri sendiri.

"Dan calon pinceng ini memenuhi semua persyaratan itu. Dia masih muda, berpengalaman di dunia kang-ouw, selama ini sepak terjangnya sebagai seorang pendekar meyakinkan, dan namanya pun baik di mata pemerintah. Pinceng usulkan Taihiap (Pendekar Besar) Souw Tek Bun untuk menjadi ketua!"

Kini riuh rendah orang bersorak menyambut nama yang diusulkan oleh wakil Ketua Siauwlim-pai itu. Siapa yang tidak mengenal pendekar Souw Tek Bun? Dia berjuluk Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis), seorang pendekar yang memiliki ilmu pedang turunan dari keluarga Souw.

Nenek moyang Souw Tek Bun adalah Souw Cian, seorang pendekar sakti ratusan tahun yang lalu, yang telah merangkai ilmu pedang Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Penakluk Iblis) yang hanya dipelajari oleh keturunannya. Souw Tek Bun sudah terkenal sebagai seorang pendekar budiman, membantu pemerintah membasmi para penjahat sehingga namanya dihormati semua tokoh kang-ouw dan juga dihormati pemerintah. Bahkan Kaisar sendiri berkenan memberi hadiah sebatang pedang kepadanya!

"Hidup Souw-taihiap!" Terdengar sorakan mereka.

Di antara tamu yang duduk di panggung kehormatan, seorang pria bangkit berdiri dengan tenang. Dia bertubuh tegap, berwajah tampan berwibawa, usianya sekitar empat puluh tahun dan pakaiannya yang sederhana itu ringkas. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.

Wajahnya yang segi empat itu gagah sekali, dengan sepasang alis tebal, mata mencorong dan mulut selalu tersenyum tenang dan sabar, namun lekuk di dagunya yang tidak berjenggot itu menunjukkan kekerasan hatinya.

Inilah dia Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hokmo. Pedang di punggungnya itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka hadiah dari Kaisar Kian Liong kepadanya karena jasanya membasmi banyak gerombolan penjahat. Perjaka yang tinggal seorang diri di puncak Hong-san.

Souw Tek Bun memang hidup sebatang kara, kedua orang tuanya telah tiada, ayahnya juga seorang pendekar tewas oleh pengeroyoknya banyak tokoh sesat. Ibunya menyusul ayahnya setelah sakit berat sehingga Souw Tek Bun hidup sebatang kara. Sampai berusia empat puluh tahun, dia tidak mau menikah dan tinggal seorang diri di puncak Hong-san, hanya ditemani oleh seorang pelayan pria yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.

Mendengar dirinya dipilih sebagai bengcu seperti diusulkan oleh wakil Ketua Siauw-lim-pai, Souw Tek Bun lalu bangkit berdiri dengan sikap tenang sambil tersenyum, mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isarat agar semua orang diam. Setelah suara gaduh itu terhenti, terdengar suaranya yang mantap, lembut namun mengandung wibawa,

"Cu-wi yang terhormat! Saya tidak perlu berpura-pura. Memang sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggalang persatuan di antara semua tokoh kang-ouw demi keamanan negara dan kesejahteraan rakyat. Dan kalau memang benar Cu-wi memilih saya, maka saya pun tidak akan berani menolak.

Hanya perlu diingat bahwa saya yang muda, masih kurang pengalaman, oleh karena itu saya baru berani menjadi bengcu kalau dua orang Locianpwe yang saya sebutkan namanya ini suka menjadi penasehat sehingga dalam memutuskan semua perkara, saya lebih dulu mendapatkan nasihat mereka.

Kedua Locianpwe yang saya mohon menjadi penasihat adalah pertama Locianpwe Pek Bi Lojin atau Im Yang Sengcu Ketua Kun-lun-pai, dan kedua adalah Locianpwe Hui Sian Hwesio dari Siauw-limpai. Bagaimana, apakah Cu-wi setuju dengan permintaan saya ini? Dan terutama sekali, apakah Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Gagah Perkasa) dapat menerima permohonan saya?''

Mendengar ucapan yang tegas itu, semua orang bersorak mendukungnya. Im Yang Sengcu tertawa ketika mendengar ucapan itu dan dia bangkit dari kursinya. Semua orang terdiam, ingin mendengarkan bagaimana pendapat tosu yang di-angkat menjadi penasihat itu.

"Siancai....! Kalau Souw-taihiap yang menjadi bengcu, tentu dengan gembira sekali pinto suka menjadi penasihatnya. Pinto yakin bahwa sepak terjang Souw-taihiap selalu menurut jalan kebenaran. Pinto setuju!"

"Omitohud, benar apa yang diucapkan oleh Im Yang Sengcu, pinceng juga setuju saja menjadi penasihat mendampingi Souw-taihiap yang menjadi bengcu!"

Semua orang menyambut dengan gembira. Mendengar semua ini, Gui-ciangkun tersenyum dan dia pun bangkit berdiri sambil mengacungkan tangan minta kepada semua orang untuk tenang.

"Kami sungguh merasa gembira sekali. Baru sekali ini pemilihan bengcu berjalan demikian lancar, mudah dan semua suara menyetujui, tidak ada pertentangan sama sekali. Oleh karena itu, kami, sebagai pimpinan pemilihan bengcu ini, dengan ini menyatakan bahwa Tai-hiap Souw Tek Bun, menurut hasil pemilihan yang sah, ditetapkan menjadi...."

"Ha-ha-ha-heh-heh, tunggu dulu! Tidak semudah itu orang menjadi bengcu, memimpin seluruh dunia kang-ouw. Tidak, semudah itu!"

Semua orang terkejut. Suara itu lirih dan lembut, akan tetapi terdengar jelas dan nada suaranya mengandung ejekan. Melihat bahwa yang mengeluarkan suara celaan menghentikan ucapan tadi adalah seorang kakek yang bongkok kurus berjenggot putih.

Gui Tiong In atau Gui-ciangkun adalah seorang panglima yang dahulunya juga seorang pendekar yang terkenal, tentu saja pengalamannya sudah banyak di dunia kang-ouw dan banyak pula tokoh kang-ouw yang dikenalnya. Akan tetapi dia merasa tidak mengenal kakek ini, maka dia segera memberi hormat, mengangkat tangan ke depan dada dan berkata dengan suara hormat,

"Locianpwe siapakah dan mengapa berkata demikian? Pemilihan ini dilakukan dengan sah dan sudah menurut keputusan rapat."

"Ha-ha-ha, rapat yang diputuskan hanya karena pemungutan suara terbanyak bukanlah rapat orang gagah! Pemilihan bengcu biasanya dilakukan bukan dengan mengadu suara, melainkan mengadu senjata dan siapa yang paling gagah dan menang, dialah yang pantas menjadi bengcu. Apa jadinya kalau seorang beng-cu yang memimpin orang-orang gagah hanya seorang yang lemah? Bisa menjadi tertawaan dunia."

"Locianpwe, pandangan Locianpwe ini keliru sama sekali," kata Gui-ciangkun. "Tidak sesuai dengan pandangan pemerintah. Seorang bengcu haruslah seorang yang gagah perkasa, memang, akan tetapi bukan seorang jagoan yang menduduki jabatan bengcu karena kekerasan. Kalau demikian, dia akan memimpin dengan kekerasan pula.

"Seorang bengcu haruslah seorang yang bijaksana, berhati jujur dan bersih, menentang kejahatan dan kepalsuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, selalu berusaha untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, bukan sebaliknya menindas rakyat dan melakukan kejahatan mengganggu ketenteraman. Karena Souw-taihiap memiliki semua syarat itu, maka kami memilihnya sebagai bengcu."

"He-he-he, Ciangkun. Itu adalah pandanganmu sebagai seorang pejabat pemerintah. Akan tetapi pandangan seorang kang-ouw lain lagi. Seorang bengcu haruslah nomor satu di dunia, baru dia berhak menjadi bengcu!"

Tiba-tiba Hui San Hwesio bangkit dari kursinya dan menudingkan telunjukrya ke arah kakek bongkok yang memegang tongkat bambu kuning itu. "Omitohud, kalau pinceng tidak keliru, melihat tongkat bambu kuning itu, engkau adalah Jeng-ciang-kwi, benarkah? Apa maksudmu datang ke tempat pertemuan ini? Bengcu sudah terpilih, apa kehendakmu sekarang?"

"Ha-ha. Hui Sian Hwesio dari Siauw-lim-pai bersikap angkuh! Aku tidak menghendaki apa-apa, hanya aku ingin mengatakan bahwa aku baru mau mengakui adanya seorang bengcu dunia kang-ouw kalau bengcu itu mampu mengalahkanku!"

Semua orang yang hadir kini memandang dengan hati tegang. Biarpun belum pernah bertemu dengan orangnya, akan tetapi mereka semua sudah mengenal nama Jeng-ciang-kwi, seorang datuk sesat yang namanya annat terkenal, akan tetapl jarang dapat ditemui orang itu.

Sementara itu, Thian Lee yang tadi datang dan berdiri di belakang gurunya mendengarkan dan memandang dengan penuh perhatian. Dia dapat menduga bahwa orang-orang yang hadir di situ adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tentu memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi gurunya yang seorang diri itu agaknya hendak menentang mereka! Dan mendengar perbantahan itu, dia menganggap gurunya benar. Menjadi pemimpin para tokoh persilatan tentu saja haruslah seorang yang ilmu silatnya tanpa tanding.

"Jeng-ciang-kwi, apakah maksudmu menantang bengcu baru terpilih ini untuk merampas kedudukan bengcu? Apakah engkau bermaksud ingin menjadi bengcu dengan jalan kekerasan, mengadu ilmu silat?"

"Ho-ho-ha-ha, siapa mau menjadi bengcu, mengikatkan kaki tangannya kepada kedudukan? Tidak, aku tidak ingin merampas kedudukan bengcu. Akan tetapi aku tetap berpendirian, bahwa siapa yang menjadi bengcu haruslah dapat mengalahkan aku, kalau tidak mana aku mau mengakuinya sebagai bengcu?

"Juga semua rekanku tidak akan sudi mengakuinya sebagai bengcu. Nah, aku tantang bengcu pilihan kalian itu. Ataukah dia tidak berani menyambut tantanganku mengadu ilmu? Seorang bengcu yang ketakutan menghadapi tantangan? Ha-haha, alang-kah lucunya!"

Sejak tadi Souw Tek Bun sudah merasa penasaran sekali. Dia pun pernah mendengar nama besar Jeng-ciang-kwi, akan tetapi belum pernah bertanding dengannya. Tentu saja dia tidak menjadi gentar, hanya tadi menahan kesabaran agar jangan terjadi keributan.

Sekarang, mendengar tantangan dan ejekan bahwa dia takut menghadapi tantangan itu, dia tidak dapat menahan sabar lagi dan banekit dari tempat duduknya. Kemudian dengan langkah lebar dia menuju ke te-ngah panggung dan memberi hormat ke arah Jeng-ciang-kwi yang masih berada di bawah panggung.

"Aku Souw Tek Bun bukanlah seorang pengecut. Aku sudah lama mendengar nama besar Jeng-ciang-kwi dan kalau Jeng-ciang-kwi menantangku, sudah tentu akan kulayani untuk membuktikan bahwa aku bukan seorang pengecut walaupun dalam ilmu silat tentu aku bukan lawan Jeng-ciang-kwi yang amat tersohor itu!

"Bagus sekali, ini baru namanya se-orang calon bengcu yang gagah," kata Jeng-ciang-kwi dan sekali tongkatnya me-notol tanah, tubuhnya sudah melayang naik ke atas panggung.

"Jeng-ciang-kwi, ketahuilah bahwa bukan aku yang minta menjadi bengcu melainkan para Locianpwe dan udara yang berada di sini yang mermlih aku untuk menjadi bengcu. Lalu apa kehendakmu sekarang?"

"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi. Engkau menjadi bengcu baik-baik saja, akan tetapi untuk dapat menerima pengakuanku dan pengakuan orang-orang kang-ouw yang saat ini tidak ikut hadir, engkau harus lebih dulu mengalahkan aku."

"Aku tidak pernah menolak tantangan, apalagi di antara kita tidak pernah ada permusuhan, hanya merupakan tantangan mengadu ilmu saja. Silakan, Jeng-ciang-kwi, aku sudah siap untuk melayanimu!" kata Souw Tek Bun dan sekali tangan kanannya bergerak ke belakang tangan itu kini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan mengeluarkan sinar hijau. Itulah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar Kian Liong kepadanya.

"Ho-ho, pokiam (pedang pusaka) yang bagus!" kata kakek itu memuji.

"Ini adalah Ceng-liong-kiam, pemberian Sri Baginda Kaisar untuk membasmi kejahatan!" jawab Souw Tek Bun dengan gagah.

"Ha-ha-ha, asal saja jangan anggap aku seorang penjahat yang patut dibasmi" kata kakek itu tertawa mengejek.

"Tergantung dari sepak terjangmu, Jeng-ciang-kwi. Nah, aku sudah siap menghadapi tantanganmu." jawab Souw Tek Bun dengan suara tegas.

"Heh-heh, saudara sekalian menjadi saksi apakah dia pantas menjadi bengcu ataukah tidak. Sin-kiam Hok-mo, demi-kian julukanmu, bukan? Ha-ha, biarlah aku menjadi Lo-mo (Iblis Tua) apakah benar pedangmu itu dapat menundukkan iblis! Sambutlah seranganku ini!"

Kakek itu menggerakkan tongkatnya. Dengan lambat saja tongkat itu menyambar, akan tetapi angin pukulannya terasa oleh mereka yang jarak duduknya tidak terlalu jauh sehingga semua orang terkejut. Souw Tek Bun maklum akan kelihaian kakek itu, maka dia pun sudah memasang kuda-kuda yang kuat dan begitu tongkat bambu kuning itu menyambar, dia langsung saja menangkis dengan bacokan kuat untuk mematahkan tongkat itu.

Agaknya Jeng-ciang-kwi juga khawatir kalau tong-kat bambunya terpotong oleh pedang yang ampuh itu, maka sebelum tongkatnya bertemu pedang tiba-tiba saja tongkat itu ditarik kembali dan kini tongkat itu melanjutkan serangan dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah yang mematikan di sebelah depan tubuh lawan.

Souw Tek Bun cepat berlompatan untuk mengelak dan kadang menangkis serangkaian serangan yang berbahaya itu. Dan dia pun berusaha untuk membalas serangan. Akan tetapi ilmu tongkat kakek itu memang aneh sekali dan luar biasa.

Daya serangan tongkat itu seperti bersambung-sambung tiada habisnya, setiap kali dielakkan atau ditangkis tongkat itu sudah melayang lagi dengan ujungnya yang lain sehingga serangan menjadi bertubi-tubi dan Souw Tek Bun sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Maka, akhirnya Souw Tek Bun hanya dapat memutar pedangnya menjadi perisai gulungan sinar yang melindungi tubuhnya dari hujan serangan itu.

Melihat ini, kakek itu mengendurkan serangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Souw Tek Bun untuk balas menyerang dengan tusukan kilat. Kakek itu nampak lambat gerakannya menghindar sehingga pedang itu menyerempet dadanya dan merobek bajunya, akan tetapi pada saat itu tongkatnya sudah dua kali menotok, mengenai kedua paha Souw Tek Bun dan pendekar ini tak dapat dicegah lagi sudah jatuh berlutut!

Jeng-ciang-kwi menghentikan serang-annya dan tertawa, "Ha-ha-ha, kalian lihat. Belum apa-apa dia sudah bertekuk lutut kepadaku, apakah yang begini pantas menjadi bengcu dunia kang-ouw?"

Thian Lee merasa gembira sekali melihat gurunya dapat mengalahkan lawan dan ini membuktikan bahwa gurunya memang seorang yang lihai sekali. Untunglah dia mempunyai seorang guru yang demikian tangguh, yang tentu akan mengajarkan ilmu-ilmu hebat kepadanya.

Tak terasa lagi saking gembiranya dia bertepuk tangan memuji. Kakek itu menoleh dan tersenyum kepadanya. Dalam keadaan itu, tak seorang pun memihak padanya kecuali muridnya dan hal ini menyenangkan hatinya.

"Omitohud, Jeng-ciang-kwi sungguh sombong. Biarpun Souw-taihiap kalah dalam ilmu silat olehmu, tetap saja dia seratus kali lebih pantas menjadi bengcu daripada kamu. Kalau pinceng tetap memilih dia sebagai bengcu, habis engkau mau apa?"

"Ha-ha-ha, bengcunya tidak bisa apa-apa, tentu pemilihnya tidak becus lagi. Hui Sian Hwesio, seharusnya engkau memilih bengcu yang cakap dan pantas, setidaknya yang dapat menandingi aku. Kalau tidak demikian, pilihanmu hanya menyatakan kebodohanmu dan akan menjadi bahan tertawaan dunia kang-ouw saja."

"Jeng-ciang-kwi, apakah ini berarti bahwa engkau juga menantang pinceng?"

"Engkau dan siapa saja boleh mencoba-coba menandingiku, agar kalian baru terbuka mata bahwa pilihan kalian itu sama sekali keliru. Carilah orang yang setidaknya setingkat dengan kepandaianku."

"Kau sombong!" Pendeta Siauw-lim-pai itu membentak dan tubuhnya sudah melayang ke depan Jeng-ciang-kwi.

Sementara itu Souw Tek Bun yang jelas sudah kalah itu terpaksa mundur sambil menyimpan pedangnya. Wajahnya agak kemerahan karena merasa penasaran. Hui Sian Hwesio sudah berdiri berhadapan dengan Jeng-ciang-kwi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pen-ss.a deta setlnggi tubuhnya.

"Hemm, wakil Ketua Siauw-lim-pai hendak turun tangan sendiri menguji kepandaianku?" kata Jeng-ciang-kwi de-ngan suara mengejek.

"Tidak perlu membawa-bawa nama Siauw-lim-pai dalam urusan ini. Karena semua memilih Souw-taihiap memang sebagai wakil dari perkumpulan masing-masing, akan tetapi kini pinceng menghadapimu sebagai Hui Sian Hwesio pribadi. Kalau sebagai wakil Ketua Siauwlim-pai tentu pinceng tidak sudi berurusan dengan orang seperti engkau. Kita lagi berdua berdiri berhadapan sebagai pribadi-pribadi yang saling membela kebenaran sendiri. Nah, pinceng sudah siap, mulailah!"

"Bagus, hendak kulihat sampai di mana kehebatan Lo-han-pang (Ilmu Tongkat Orang Tua) darimu. Sambutlah!" Jeng-cian-kwi sudah menggerakkan tongkat bambu kuningnya melakukan serangan.

Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya lalu membalas dan dalam beberapa menit keduanya sudah saling serang dengan hebatnya. Tongkat dan ba-tang bambu itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga yang bermain di angkasa. Setiap kali bertemu mendatangkan getaran yang terasa oleh semua yang hadir di situ.

Menandakan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwee-kang (tenaga dalam) yang amat dahsyat. Dan kadang-kadang kedua tongkat itu kalau bertemu mengeluarkan bunyi nyaring, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seolah kedua senjata itu terbuat dari bahan yang lunak.

Bukan main serunya pertandingan antara kedua orang tokoh tua yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi itu. Bahkan sebagian besar para penonton tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik karena kadang gerakan keduanya demikian cepat sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar kuning dan putih yang panjang melingkar-lingkar. Akan tetapi ada kalanya mereka bergerak lambat sekali dan mengadu tenaga sin-kang melalui tongkat mereka.

Setelah lewat seratus jurus lebih, tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan suara bentakan melengking dan kedua tangannya memegang bambu kuning itu mendorong ke depan. Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya dan terdengar suara keras ketika tongkatnya patah menjadi dua potong! Terpaksa dia melompat ke belakang.

"Omitohud....! Engkau memang tangguh sekali, Jeng-ciang-kwi!" terpaksa dia mengakui keunggulan lawan.

"Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak bertanding dengan aku? Kulihat Im Yang Sengcu berada di sini. Selain dia, kiranya tidak ada yang pantas menjadi lawanku, ha-ha-ha!"

Im Yang Sengcu adalah seorang ketua dari perkumpulan besar Kun-lun-pai. Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding begitu saja di depan umum melawan seorang yang tidak ada urusan apa-apa dengan dirinya pribadi atau dengan Kun-lun-pai, maka dia merasa serba salah. Akan tetapi melihat Hui Sian Hwesio sudah dikalahkan, Im Yang Sengcu juga merasa tidak enak kalau diam saja.

Dia lalu bangkit berdiri menghampin Jeng-ciane-kwi dan setelah berhadapan, dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan berkata, "Siancai, pinto Ketua Kun-lun-pai tidak mempunyai alasan untuk bertanding denganmu. Akan tetapi pinto merasa kagum sekali atas kepandaianmu yang tinggi, Jeng-ciangkwi. Terimalah hormat pinto.

Ketika tosu itu memberi hormat dengan mengacungkan kedua tangan depan dada, ada serangkum hawa yang menyambar dari kedua tangannya ke depan. Jeng-ciang-kwi segera maklum bahwa tosu itu hendak menguji kekuatan sin-kangnya, maka dia pun cepat membalas penehormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke depan sambil mengerahkan sin-kang.

Terjadi adu tenaga sakti yang amat dahsyat di udara. Mereka yang berada agak dekat dapat merasakan getaran itu dan otomatis mereka meiangkah mundur. Dan dalam adu tenaga sakti itu, Ketua Kun-lun-pai tergetar dan kedudukan kakinya berubah, akan tetapi sebaliknya Jeng-ciang-kwi melangkah mundur dua kali.

Ini merupakan tanda bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Iblis Tangan Seribu itu masih kalah setingkat. Dia terkejut sekali dan merasa beruntung bahwa Ketua Kun-lun-pai itu menjaga martabat dan tidak mau mengadu Imu kepandaian dengannya, karena kalau demikian halnya, besar kemungkinan dia akan kalah melawan Ketua Kun-lun-pai itu.

Sementara itu, Gui Tiong In sudah bangkit dan melangkah maju menghadapi Jeng-ciang-kwi dan suaranya terdengar menggeledek ketika dia berkata, "Jeng-ciang-kwi, kami minta engkau suka mundur dan jangan membikin kacau pemilihan bengcu yang sudah berjalan tertib ini. Kalau engkau tidak mau menghentikan pengacauanmu, engkau akan berhadapan dengan pemerintah!"

Jeng-ciang-kwi merasa jerih ditantang seperti itu. Bagaimanapun juga, kalau sampai dia dianggap musuh oleh pemerintah dan harus menghadapi pasukan besar yang kokoh kuat, tentu dia tidak akan merasa aman lagi hidupnya. Ke manapun dia pergi, dia akan menjadi orang buruan dan akhirnya tentu dia akan tertawan juga, atau terbunuh.

"Ha-ha-ha, siapa yang membikin kacau? Aku hanya ingin menguji kepandaian bengcu dan sekarang juga aku akan pergi. Hanya lucu sekali kalau pemerintah mulai mencampuri urusan dunia kang-ouw. Thian Lee, mari kita pergi!" Dia lalu memutar tubuhnya, melompat turun dari panggung dan melangkah pergi diikuti oleh Thian Lee.

Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mengatasi kesukaran dalam kehidupan, untuk mencari kesejahteraan dan kebahagiaan, seperti alat-alat lain yang ada pada diri manusia. Ilmu tidaklah jahat ataupun baik, semua itu tergantung kepada pemakainya, kepada manusia. Baik dan buruknya ilmu sebagai alat manusia, tergantung kepada manusianya.

Kalau ilmu dipergunakan untuk berbuat jahat, tentu saja ilmu itu menjadi ilmu jahat, sebaliknya ilmu apa pun kalau dipergunakan, untuk berbuat kebaikan, ilmu itu menjadi ilmu yang baik. Yang baik atau jahat bukanlah ilmunya, bukanlah alatnya, melainkan manusianya. Dan betapa pun tinggi ilmu, betapa pun baiknya, apa artinya apabila ilmu tidak diamalkan untuk berbuat kebaikan? Ilmu yang dipergunakan untuk berbuat jahat, akhirnya akan mencelakakan manusianya sendiri.

Orang seperti Jeng-ciang-kwi menganggap ilmu untuk menang-menangan, untuk bersaing dan menonjolkan diri sebagai jagoan tak terkaiahkan. Dengan sendirinya pendapat seperti ini hanya mendatangkan permusuhan belaka.

Bagaimanapun juga, orang yang dikalahkan tentu akan mendendam dan akan mempelajari ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kekalahannya. Dan orang begini tentu selalu memandang diri sendiri yang terpandai, tak terkalahkan, merendahkan orang lain sehingga terpupuk kesombongan dalam hatinya.

Setelah Jeng-ciang-kwi pergi, rapat pertemuan itu dilanjutkan dan akhirnya diambil keputusan bahwa yang menjadi bengcu adalah Souw Tek Bun. Pendekar ini bertempat tinggal di puncak Hong-san, tinggal seorang diri karena dalam usianya yang empat puluh tahun itu dia masih membujang. Biarpun tingkat kepandaian pendekar ini belum mencapai puncaknya dan masih dikalahkan oleh Jeng-ciang-kwi.

Akan tetapi kedudukannya sebagai bengcu cukup kuat karena dia mendapat dukungan wakil-wakil partai besar, tokoh-tokoh kang-ouw ternama dan terutama sekali mendapat dukungan dari pemerintah Ceng.

Kerajaan Ceng, terutama ketika dipegang oleh Kaisar Kian Liong, memang pandai mengambil hati orang-orang pandai. Karena dunia kang-ouw juga sudah dirangkulnya, maka tentu saja para pendekar tidak lagi memiliki semangat untuk memberontak, tidak ada pikiran untuk berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan.

Apalagi karena sang penjajah mementingkan kebutuhan rakyat, tidak menekan, bahkan lebih baik daripada ketika rakyat diperintah oleh bangsa sendiri, maka rakyat pun merasa lega dan tidak mempunyai keinginan untuk memberontak. Kalau pemerintah sudah mendapat dukungan rakyat terbanyak, tentu saja pemerintah itu menjadi kuat.

Jeng-ciang-kwi membawa muridnya ke tempat tinggalnya, yaitu di Bukit Kwi-san yang berada di utara. Di Kwi-san ini terdapat sebuah lembah yang disebut Lembah Iblis dan di tengah lembah itu terdapat sebuah guha yang dari jauh bentuknya mirip tengkorak manusia, karena itu disebut Guha Tengkorak.

Di Lembah Iblis ini, Jeng-ciang-kwi tinggal sebagai majikannya dan dia mempunyai selosin anak buah yang selalu menjaga tempat itu. Jalan masuk ke tempat tinggal Jeng-ciang-kwi hanya satu, yaitu melalui guha yang seperti tengkorak itu. Ketika Thian Lee tiba di situ bersama gurunya, dia merasa ngeri melihat guha yang mirip tengkorak itu.

Kemudian bermunculan dua belas orang yang berpakaian serba hitam dan mereka itu kelihatan bengis dan bertubuh kuat. Mereka semua memberi hormat kepada Jeng-ciang-kwi sambil berlutut di kanan kiri guha.

"Terjadi apakah selama aku pergi?" tanya Jeng-ciang-kwi.

"Tidak terjadi sesuatu yang penting, Kokcu (Majikan Lembah)," seorang di antara mereka melapor.

"Bagus! Kalian lihat baik-baik, anak ini adalah Song Thian Lee, muridku yang baru. Kalian harus bersikap baik-baik kepadanya. Dan Thian Lee, mereka ini adalah para pelayanku, juga murid-muridku dan anak buahku. Engkau harus menghormati mereka."

"Baik, Suhu. Para suheng, kalian baik-baik sajakah?" tegur Thian Lee kepada mereka. Dua belas orang itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Aku ingin merayakan kepulanganku bersama Thian Lee, sediakan arak dan, makanan," kata pula Jeng-ciang-kwi dan dia mengajak Thian Lee memasuki guha tengkorak. Ternyata guha itu besar dan dalam. Dan di sebelah dalamnya merupakan terowongan yang lebar dan panjang yang menembus ke sebuah taman yang luas pula.

Dan di tengah-tengah aman itu berdirilah sebuah bangunan yang megah dan besar. Kiranya kakek itu memiliki tempat tinggal yang besar dan bagus, pikir Thian Lee terheran. Mereka memasuki rumah itu dan Thian Lee mendapatkan sebuah kamar di tengah. Dua belas orang itu memiliki kamar-kamar di bagian belakang rumah besar itu.

Demikianlah, mulai hari itu Thia Lee tinggal di rumah besar Jeng-ciang-kwi. Dan mulai pula dia menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya. Karena Thian Lee sudah memiliki pengetahuan dasar ilmu silat tinggi yang dipelajari selama dua tahun dari Liok-te Lo-mo, dan karena memang dia berbakat baik.

Maka dengan mudah dia dapat berlatih sesuai dengan pelajaran yang diberikan Jeng-ciang-kwi. Juga Iwee-kang yang pernah dilatihnya dari Liok-te Lo-mo dengan cara merendam tangan di dalam es, lalu memanggang di atas api, telah mendatangkan sin-kang yang lumayan.

Selama setengah tahun menjadi murid Jeng-ciang-kwi, Thian Lee merasa bahwa apa yang diajarkan Jeng-ciang-kwi amat-lah lambat. Dan selain menjadi murid dan belajar silat, waktunya dihabiskan untuk bekerja di dalam rumah itu. Mem-bersihkan semua perabotan, menyapu lantai dan segala macam pekerjaan yang dia lakukan setiap hari.

Ada satu hal yang membuat Thian Lee merasa penasaran. Di dalam rumah itu terdapat sebuah kamar yang pintunya selalu tertutup. Gurunya melarang dia memasuki kamar itu, apalagi membersihkannya. Sudah lajim bagi siapa saja, hal yang dilarang itu bahkan menarik hati, Karena dilarang memasuki kamar itu, Thian Lee merasa penasaran dan ingin sekali dia melihat apa sebetulnya yang berada di kamar itu.

Pada suatu hari, Jeng-ciang-kwi memanggil Thian Lee, "Thian Lee aku akan meninggalkan rumah barang tiga hari. Engkau jaga rumah baik-baik dan jangan lupa untuk melatih jurus yang baru ku-ajarkan kepadamu kemarin. Juga jangan lupa membersihkan rumah. Ingat, jangan keluar dari dalam guha kalau aku sedang tidak berada di rumah."

"Baik, Suhu." kata Thian Lee.

Setelah gurunya pergi, dia menyapu lantai rumah yang luas itu seperti biasa. Ketika dia menyapu tiba di depan kamar yang terlarang itu, dia berhenti dan termenung memandangi pintu kamar. Apa sih yang berada di dalam kamar ini, pikirnya ingin sekali tahu. Gurunya sedang tidak berada di rumah dan para anak buah gurunya juga tidak berada di rumah itu.

Mereka itu selalu berada diluar rumah untuk bekerja mengurus keperluan sehari-hari dan juga untuk berjaga rumah di sebelah luar. Kalau tidak dipanggil oleh Jeng-ciang-kwi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani memasuki rumah. Tidak ada orang lain di dalam rumah, pikir Thian Lee. Kalau aku menjenguk ke dalam kamar, apa salahnya?

Karena keinginan tahu yang amat mendesak, yang timbul dari larangan suhunya, akhirnya Thian Lee mendorong daun pintu. Daun pintu itu tidak dikunci dan biarpun agak berat, dapat juga terbuka. Dan ternyata, kamar itu penuh dengan kitab! Berderet-deret di rak buku dan juga kotor berdebu!

Thian Lee adalah seorang penggemar membaca kitab. Maka melihat demikian banyaknya kitab, hatinya menjadi girang sekali. Kalau hanya kitab-kitab isi kamar ini, mengapa dirahasiakan oleh gurunya?' Melihat kitab-kitab itu demikian kotor, Thian Lee segera membersihkannya dengan pengebut bulu. Juga lantainya kotor bukan main. Dia mengebut lalu menyapu lantainya sehingga kamar itu bersih.

Akan tetapi selain itu, dia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat-lihat kitab itu. Ada sebuah kitab yang kelihatan sudah tua sekali. Dibukanya kitab itu dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran silat. Judul kitab itu "Pat-kwa-sin-kun" (Ilmu Silat Sakti Delapan Segi) dan segera dibacanya.

Membaca satu bagian Thian Lee menghafalnya di luar kepala, lalu dia mengernbalikan kitab itu dan keluar dari dalam kamar. Malamnya, di dalam kamarnya, dia mengingat kembali apa yang telah dibacanya dan mencoba untuk memainkan jurus ilmu silat yang telah dibacanya. Ternyata lebih mengasyikkan daripada apa yang telah dipejari dari gurunya.

Sekali membaca bagian pertama, Thian Lee menjadi penasaran dan setiap kali terdapat kesempatan, dia selalu menyelinap masuk ke dalam kamar pustaka dan membaca kitab Patkwa-sin-kun. Sedikit demi sedikit dia membaca dan menghafalkan lalu melatih dirinya di dalam kamar.

Sebetulnya ilmu silat Pak-kwa-sin-kun yang dipelajari Thian Lee itu hanyalah ilmu silat biasa saja, akan tetapi karena dia mempelajari sambil sembunyi-sembunyi, maka menarik sekali dan dia merasa seolah menemukan suatu ilmu rahasia yang hebat. Akan tetapi pada suatu hari, ketika dia sedang membaca kitab di dalam kamar tiba-tiba terdengar tindakan kaki di luar kamar. Dan terdengar suara gurunya,

"Benarkah bahwa dia sering kali memasuki kamar ini?"

"Benar, Kokcu. Saya tidak berani berbohong!" terdengar suara seorang anak buah.

Mendadak kamar itu terbuka. Gurunya sudah berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah Thian Lee yang sedang membaca kitab itu menjadi demikian kaget sehingga kitab itu terjatuh ke atas lantai.

"Kau....! Berani engkau melanggar laranganku?" bentak Jeng-ciang-kwi.

Karena sudah ketahuan, Thian Lee tidak dapat membela diri. Dia hanya menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Ampunkan teecu, Suhu!"

"Enak saja minta ampun. Hayo keluar!" Bentak gurunya.

Thian Lee keluar dan pintu kamar itu kembali ditutup oleh Jeng-ciang-kwi. Kemudian dia menarik Thian Lee diajak pergi keluar dari rumah, terus melalui terowongan dari keluar dari dalam guha tengkorak. Seperti terbang kakek itu lari sambil menggandeng tangan Thian Lee yang tergantung dan seperti diterbangkan saja.

Setelah tiba di kaki bukit, barulah kakek itu berhenti. "Engkau tahu dosamu?"

"Teecu mengaku salah, Suhu," kata Thian Lee dan dalam suaranya terkandung ketakutan melihat wajah gurunya yang demikian bengisnya.

"Engkau pantas dihukum mati! Belum pernah ada orang yang melanggar laranganku!" Dia mengeluarkan sehelai tali yang agaknya dibawanya sejak tadi dan sekali dia melempar tali itu, tubuh Thian Lee sudah terlibat dan terikat tali.

"Maafkan teecu Suhu," kata Thian Lee.

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, melainkan dengan satu hentakan tubuh Thian Lee yang sudah terikat tali itu melayang ke atas pohon dan di lain saat dia telah tergantung dari pohon dengan kedua tangan terikat pada tubuhnya.

Dia digantung di situ sehingga kepalanya berada di bawah kakinya di atas, sama sekali tidak mampu meronta karena kedua lengan dan kaki terbelit-belit tali yang kuat sekali. Dia tergantung kira-kita satu meter dari tanah dan kakek itu mengikatkan ujung tali pada batang pohon.

"Aku akan membiarkan engkau di sini sampai ada harimau atau binatang buas lain memakanmu! Inilah hukumanmu!" kata kakek itu dan dia segera pergi dari situ meninggalkan Thian Lee tergantung dari pohon itu.

Thian Lee merasa ngeri. Dia tahu bahwa di sekitar tempat ini memang banyak terdapat binatang buas sepepti harimau, ular dan semacam srigala yang buas. "Suhu, lepaskan teecu...."

Berulangkali dia memohon akan tetapi tidak ada suara jawaban. Agaknya kakek itu sudah meninggalkan dia dalam keadaan tidak berdaya. Kalau benar muncul harimau atau binatang liar lainnya, tentu dia akan mudah dijadikan mangsa binatang itu tanpa dapat melawan atau melarikan diri sama sekali...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.