Gelang Kemala Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 04 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 04

“Suhuu...." Sampai serak tenggorokannya memanggil gurunya, akan tetapi sia-sia saja. Bahkan yang muncul bukan gurunya, melainkan seekor harimau hitam!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Harimau itu mengendus-endus dengan mulutnya, mencium bau manusia dan akhirnya dilihatnya pemuda remaja yang tergantung di situ. Berindap-indap harimau itu menghampiri, mengeluarkan suara auman mengerikan. Kemudian dia mendekam dan mengambil ancang-ancang untuk menubruk Thian Lee.

Tentu saja anak itu merasa ngeri bukan main. "Suhu....! Tolonglah teecu...!"

Dia berteriak dan teriakannya mengejutkan harimau itu akan tetapi tidak menbuatnya takut, hanya agaknya menunda terkamannya. Sejenak harimau itu menunggu, akan tetapi karena tidak terjadi sesuatu, dia lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat dan menerkam mangsa itu.

Thian Lee terbelalak memandang harimau itu. Mati aku sekarang, pikirnya dan otomatis mulutnya berseru, "Ibu, tolonglah aku....!"

Pada saat itu harimau melompat dan menerkam. Thian Lee memejamkan matanya, menanti saat dia diterkam. Akan tetapi terdengar suara gedebukan dan harimau itu menggereng keras. Ketika dia membuka mata, dia melihat harimau itu bergulingan dan sebatang kayu sebesar lengan telah menancap di perut harimau itu.

Kemudian harimau itu melarikan diri sambil membawa kayu yang masih menancap di perutnya. Agaknya ada yang menolongnya dan menyerang harimau itu dengan tombak kayu! Tentu gurunya yang menolongnya.

Nampak Jeng-ciang-kwi muncul keluar entah dari mana dan dia pun marah-marah. "Jahanam keparat! Siapa yang berani lancang membunuh harimau dan menolong anak setan ini?"

Thian Lee masih tidak mengerti, mengira gurunya berpura-pura karena selain gurunya, siapa dapat menolongnya tadi dan membuat harimau itu terluka dan melarikan diri? Dia hanya dapat memandang sambil bergantung di tali itu.

"Jeng-ciang-kwi, engkau yang jahanam keparat! Kembalikan jiwa suteku." Terdengar bentakan nyaring suara wanita dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang wanita yang menyeramkan sekali.

Wanita itu sebetulnya tidak buruk wajahnya, bahkan dapat dibilang cantik akan tetapi muka itu pucat seperti muka mayat, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Tubuhnya tinggi kurus, usianya kurang lebih empat puluh tahun dan bajunya serba merah! Di tangan wanita itu terpegang seekor ular merah yang panjangnya hanya setengah meter dan besarnya seibu jari kaki. Ular itu melingkar di lengan kanannya.

Melihat wanita itu, Jeng-ciang-kwi memandang tajam lalu tertawa, "Ha-ha-ha, tentu engkau yang bernama Ang-tok Mo-li (Iblis Wanita Racun Merah)"

Mungkin julukan itu karena ia berpakaian serba merah, dan melihat julukannya pakai racun dapat diduga bahwa ular yang berada di tangannya itu tentu juga beracun! "Sudah mengenal namaku, engkau harus rnembayar hutangmu atas kematian suteku!"

"Hemm, sutemu itu tentu Hek-kak-liong, bukan? Ketahullah, Hek-kak-liong (Naga Tanduk Hitam) berani menentangku dan kami berkelahi. Karena kepandaiannya yang belum seberapa berani menentangku, dan dalam perkelahian dia tewas, apa lagi yang harus diributkah?"

"Dia adalah suteku yang tercinta, sekarang telah kau bunuh, engkau harus mengganti nyawanya!" bentak wanita itu, suaranya nyaring melengking.

"Heh-heh-heh, adik seperguruanmu ataukah kekasihmu? Ha-ha, aku sudah mendengar bahwa Hek-kak-liong itu seorang mata keranjang dan engkau iblis betina ini juga tidak jelek."

"Keparat, engkau harus marasai tanganku!" bentak wanita itu marah dan ia pun sudah menubruk maju dan menyerang kakek itu dengan cakaran tangaf kirinya yang berkuku runcing.

Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat serangan ini yang mendatangkan angin keras dan dia mencium bau amis, tanda bahwa tangan wanita itu, mungkin kukunya, mengandung racun yang berbahaya. Maka dia pun melompat ke belakang lalu mengayun tongkat bambunya menyerang.

Akan tetapi wanita itu dapat bergerak dengan gesit, mengelak dari sambaran tongkat bambu, lalu menyerang lagi, kini lebih hebat karena dia menggunakan tangan kanan dan ular yang tadi melingkar di lengan kanannya itu tiba-tiba terulur dan menggigit ke arah pundak Jeng-ciang-kwi. Kakek ini mendengus dan mengelak sambil memutar tongkat bambunya. Mereka segera saling serang dengan seru dan hebatnya.

Sementara itu, thian Lee yang masih tergantung itu tiba-tiba melihat seorang anak perempuan menghampirinya. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, cantik manis dengan rambut dikepang menjadi dua kuncir dan memakai pita merah. Pakaiannya berkembang-kembang dan tangan kirinya juga membawa seekor ular hitam. Dia mendekati Thian Lee dan bertanya,

"Engkau ini kenapakah diikat dan digantung di sini? Hi-hik, kau lucu sekali, seperti seekor monyet yang tertangkap jebakan, hi-hik."

Thian Lee mengerutkan alisnya. Ucapan anak perempuan itu menyakitkan hatinya. Kalau tadinya dia ingin minta tolong agar dilepaskan, ketika mendengar ucapan itu, maksudnya minta tolong diibatalkan.

"Aku diikat di sini, apa pedulimu? Pergilah, tak perlu engkau mengejek aku!" kata Thian Lee.

Anak perempuan itu tertawa. "Aku tahu, engkau tentu hendak dibunuh oleh kakek jahat itu. Tadi kalau tidak ada aku yang menyambitkan tombak kayu kepada harimau itu, engkau kini tentu sudah berada di dalam perut harimau dan tidak dapat bersikap angkuh seperti ini."

Thian Lee terkejut. Jadi bocah inikah yang tadi telah menyelamatkan nyawanya dari terkaman harimau? Dia menyesal telah bersikap tidak bersahabat. "Ah, engkau yang tadi menolongku? Terima kasih kalau begitu," katanya dan mukanya berubah merah.

"Engkau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa engkau terikat disini?"

"Suhu yang mengikat aku di sini."

"Suhumu? Siapa suhumu?"

"Jeng-ciang-kwi itulah suhuku."

"Dan dia mengikat muridnya sendiri untuk dimakan harimau? Bagaimana ini? Mana ada suhu mengancam begitu?"

"Aku yang bersalah. Aku mencuri baca kitab milik Suhu dan aku dihukum."

"Tidak pantas! Kalau murid membaca kitab gurunya, hal itu sudah semestinya. Menghukum boleh saja, akan tetapi sengaja mengorbankan murid untuk dimakan harimau? Itu sungguh mengerikan dan keji sekali. Mari kubebaskan engkau, maukah?"

"Tentu saja mau."

Bocah itu lalu mengalungkan ular hitam di lehernya sehingga kini kuncirnya bertambah satu karena ekor ular itu berjuntai seperti kuncir rambut. Kemudian sepuluh jari tangannya yang kecil mungil mulai membuka ikatan pada tubuh Thian Lee sehingga akhirnya Thlan Lee terlepas dan jatuh ke atas tanah. Dia merasa kaki tangannya bekas gigitan ikatan tali itu nyeri-nyeri dan kini dia bangkit memandang kepada gadis cilik itu.

Anak perempuan itu hanya setinggi pundaknya. Diam-diam dia kaget sekali. Masih begitu kecil sudah dapat membuat harimau tadi terluka parah dan melarikan diri, mungkin mati karena perutnya tertembus kayu. Hebat sekali! "Apakah engkau murid wanita yang bertempur melawan guruku itu?"

"Benar, namaku Bu Lee Cin. Engkau siapa?"

"Namaku Song Thian Lee. Lee Cin, terima kasih atas pertolonganmu yang dua kali itu. Membunuh harimau dan mernbebaskan aku dari ikatan. Mudah-mudahan lain waktu aku dapat membalas pertolonganmu ini."

"Hemm, tidak bisa. Agaknya kita sekarang harus tertanding, saling serang. Hayo, mulailah!” anak perempuan itu sudah memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang Thian Lee.

"Eh? Apa-apaan engkau ini? Mengapa kita harus saling serang?"

"Lihat gurumu dan guruku sudah bertanding. Kita sebagai murid-murid mereka harus membela guru, maka marilah kita bertanding."

"Tidak, engkau sudah menolongku, untuk apa aku bertanding? Kalau engkau tadi tidak mpnolongku, aku sudah mati diterkam harimau. Kalau kini engkau hendak menagih, ambillah nyawaku. Bunuhlah aku, aku tidak akan melawan."

Gadis itu tidak jadi memasang kuda-kuda. "Lho, engkau ini bagaimana sih? Apakah engkau tidak hendak membantu gurumu?"

"Tidak, kalau pembelaan itu mengharuskan aku bertanding denganmu. Engkau seorang gadis yang baik, aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuh."

"Kalau begitu, mari kita menonton saja. Kau kira siapa yang akan menang? Guruku atau gurumu?" tanya Lee Cin.

"Tongkat bambu kuning guruku lihai sekali, gurumu tidak akan menang," kata Thian Lee sambil menonton pertempuran yang masih berlangsung seru itu.

"Belum tentu! Engkau tidak tahu. Ular yang dibawa guruku itu adalah ular merah yang racunnya ampuh sekali. Sekali terkena gigitan ular itu, gurumu akan mampus!" jawab Lee Cin tidak mau kalah.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Baru sekarang Jeng-ciang-kwi bertemu tanding yang setingkat. Memang, permainan tongkat bambu kuning di tangannya membuat lawannya terdesak, akan tetapi Ang-tok Mo-li memiliki gerakan yang gesit sekali sehingga biarpun terdesak, tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat yang kekuning-kuningan.

Sementara itu, beberapa kali ularnya hampir dapat menggigit lengan kakek itu sehingga kakek itu rnenjadi lebih hati-hati memutar tongkatnya, tidak memberi lubang sama sekali bagi ular itu untuk mematuk. Ular itu adalah Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah), bukan saja beracun hebat sekali, akan tetapi juga memiliki gerakan yang gesit.

Setiap kali ujung tongkat bambu mengancam kepalanya, ular itu dapat mengelak sendiri. Ekornya membelit pergelangan tangan wanita tua itu dan kepalanya kadang meluncur untuk menyerang. Biarpun ada ular di lengannya, Ang-tok Mo-li masih dapat menggunakan tangan kanan itu untuk menyerang.

Dan kedua tangannya yang membentuk cakar itu juga mengandung racun yang hebat sehingga Jeng-ciang-kwi harus berhati-hati sekali karena sekali saja terkena goresan kuku atau gigitan ular, akibatnya akan berbahaya bagi dirinya.

Perkelahian itu sudah berlangsung hampir dua ratus jurus dan belum ada yang menang atau kalah. Dua orang anak yang menonton itu duduk berdampingan seperti dua orang sahabat baik. Kalau ada orang melihatnya tentu sama sekali tidak akan mengira bahwa mereka adalah murid-murid dari dua orang yang berkelahi mati-matian nampak begitu akur!

"Bagaimana kalau gurumu nanti kalah dan mati, Thian Lee?" tanya Bu Lee Cin.

''Hemm, aku akan pergi merantau dan hidup sebatang kara di kolong langit ini."

"Kau sudah tidak mempunyai ayah ibu dan saudara?"

"Tidak sama sekali, hanya seorang diri sebatang kara."

"Sama saja. Aku pun demikian. Hanya ada Subo disampingku."

"Hemm, bagaimana kalau subomu yang kalah dan tewas?"

"Aku pun akan merantau seorang diri. Aih, alangkah senangnya kalau kita dapat pergi merantau berdua, Thian Lee!"

"Ya, senang sekali. Hemm, bagaimana mungkin? Engkau murid subomu dan aku murid suhuku."

"Engkau tidak menyesal walau suhumu kalah dan tewas?"

"Apa yang disesalkan? Suhu tadi juga hampir membunuhku. Kalau dia kalah dan tewas, adalah kesalahannya sendiri mengapa dia sampai kalah. Bagaimana kalau subomu yang tewas? Apakah engkau tidak menyesal?"

"Tentu saja. Aku akan belajar lebih tekun dan kelak membalas kematian suboku."

Terdengar suara melengking keras yang menghentikan percakapan mereka karena mereka kini memperhatikan lagi jalannya pertandingan yang terlalu cepat bagi mereka. Kadang mereka tidak dapat membedakan mana guru masing-masing kalau kedua orang itu bergerak cepat.

Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan bentakan nyaring, "Kena....!" Dari ujung tongkatnya benar saja telah berhasil menotok pundak lawan.

Ang-tok Mo-li menjerit dan tangan kirinya bergerak, tiba-tiba ular merahnya meloncat dan seperti terbang meluncur ke depan, tahu-tahu sudah menempel di lengan Jeng-ciang-kwi dan menggigit sekali, lalu mencelat lagi kembali ke tangan Ang-tok Mo-li.

Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang dan muntah darah, sebaliknya Jeng-ciang-kwi juga terhuyung lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya rnengerahkan sin-kang untuk melawan racun ular yang telah menggigit lengannya. Ang-tok Mo-li juga duduk dan bersila.

Kedua orang itu sama-sama telah terluka parah, entah siapa yang lebih parah. Ang-tok Mo-li yang tertotok pundaknya ataukah jeng-ciang-kwi yang tergigit ular merah. Ang-hwa-coa memang mempunyai racun yang hebat sekali dan orang yang terkena gigitannya akan sukar mendapatkan obatnya. Ang-tok Mo-li juga terkena totokan di pundaknya yang membuatnya terluka hebat di sebelah dalam dadanya.

Jeng-ciang-kwi cepat menotok siku dan pangkal lengannya untuk menghentikan jalan darahnya agar racun tidak menjalar naik, akan tetapi dia menderita nyeri yang bukan main. Lengannya seperti dibakar.

Thian Lee lari menghampiri gurunya, lalu memapahnya untuk diajak pergi dari situ, untuk kembali ke rumah di puncak Kwi-san. Dan Lee Cin juga memapah gurunya, diajak pergi meninggalkan tempat itu. Kedua orang yang sudah terluka itu menurut saja dipapah muridnya karena mereka khawatir kalau tidak cepat pergi dan lawan dapat menyerang selagi mereka terluka, tentu mereka tidak akan dapat melawan lagi.

Thian Lee memapah gurunya yang bersandar kepadanya dan berjalan terta-tih-tatih. "Jangan... jangan bawa aku pulang.... bawa ke sana, ke barat, ke hutan itu."

"Akan tetapi, Suhu, kenapa tidak pulang dan mau apa ke hutan itu?" tanya Thian Lee heran.

"Aku mendengar dari para suhengmu bahwa di sana terdapat seorang tabib sedang mengumpulkan daun-daun dan akar obat. Mungkin dia akan dapat menolong dan mengobatiku."

"Baik, Suhu." Thian Lee lalu menuju ke hutan dan suhunya tetap berpegang pada pundaknya dan melangkah perlahan-lahan menahan nyeri.

"Thian Lee...."

"Ya, Suhu?"

"Kenapa engkau mau menolongku? Aku hampir saja membunuhmu, membiarkanmu menjadi mangsa harimau."

"Teecu telah bersalah mencuri baca kitab dan Suhu telah menghukum teecu, itu sudah sepantasnya. Kini Suhu terluka dan teecu menolong Suhu, juga sudah sepatutnya."

"Thian Lee, engkau anak yang baik, terlalu baik. Kelak kebaikanmu malah akan menyusahkan dirimu sendiri."

Akan tetapi Thian Lee sudah tidak mau mempedulikan lagi kepada suhunya dan melangkah terus memasuki hutan. Tak lama kemudian benar saja dia melihat seorang yang berpakaian longgar sedang mencari daun-daun di antara semak belukar.

"Locianpwe...!" Thian Lee memanggil dan orang itu menengok, melihat anak yang memapah seorang kakek bongkok kurus.

"Eh, siapakah engkau, Nak? Ada urusan apa mencari dan memanggil pinto?"

Kiranya orang itu seorang tosu, maka Thian Lee cepat memberi hormat. "Totiang, kami datang mencari Totiang untuk memohon pertolongan Totiang."

"Pertolongan apa yang dapat pinto berikan?"

Kini Jeng-ciang-kwi yang berkata, "Sobat, aku mohon pertolonganmu untuk mengobati aku. Seekor ular menggigit lenganku dan nyerinya bukan kepalang. Ular itu tentu berbisa sekali."

Tosu itu kelihatan kaget mendengar ini dan cepat dia menghampiri Jeng-ciang-kwi. Dia menyuruh kakek itu duduk, kemudian diperiksanya luka di lengan itu. Ketika dia melihat denyut nadinya, tahulah dia bahwa jalan darah telah dihentikan di bagian siku dan pangkal lengan.

"Untung jalan darahmu dihentikan, kalau tidak tentu sudah menjalar ke atas. Akan tetapi, racun ini hebat bukan main. Seperti apakah bentuk dan warna ular itu?"

"Ularnya berwana merah, sebesar jari dan panjangnya setengah meter." kata Jeng-cian-kwi.

"Siancai....! Sudah kuduga. Tentu ular itu Ang-hwa-coa yang racunnya luar biasa sekali hebatnya!

Akan tetapi agaknya Thian belum menghendaki engkau tewas maka engkau bertemu dengan pinto. Sungguh kebetulan sekali baru kemarin ini pinto menemukan buah Coa-cu (Mestika Ular) yang dapat memunahkan racun Ang-hwa-coa. Padahal buah seperti ini amat langka. Agaknya Thian memberikan kepada pinto justeru untuk menolongmu, sobat. Nah, kau makanlah buah itu, rasanya pahit dan getir dan merupakan obat mujarab untuk menolong nyawamu."

Dengan penuh semangat Jeng-ciane-kwi menerima dan makan buah sebesar kepalan tangan itu. Rasanya amat pahit dan getir, akan tetapi sambil memejamkan matanya dimakannya semua buah itu sampai habis dan terasa perutnya panas.

"Sekarang pinto harus melukai lengan yang tergigit untuk mengeluarkan darah yang sudah keracunan," kata tabib itu dan dia mengeluarkan sebilah pisau potong daun yang tajam lalu ditorehnya luka di lengan yang tergigit ular itu, selebar dua senti sampai mengenai uratnya. Lalu dia mengurut-urut lengan itu dan darah bercucuran dari lukanya. Darah yang menghitam!

Setelah beberapa saat lamanya, dia berkata, "Nah, sekarang sudah selamat, engkau boleh mengalirkan darahmu kembali ke lengan yang terluka," katanya sambil membubuhkan obat bubuk ke atas luka itu yang sebentar saja mengering.

Jeng-ciang-kwi lalu menggunakan jari tangan kiri untuk membebaskan totokan lengan kanannya sehingga darahnya berjalan lancar kembaii. Rasa panas di perutnya makin lama makin menghilang dan dia tidak merasakan nyeri lagi pada lengannya.

Setelah menggerak-gerakkan lengannya yang sudah pulih kembali kekuatannya, Jeng-ciangkwi memandang kepada tosu itu. Tosu itu pun memandang kepadanya dan berkata, "Siancai, engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi masih saja dapat dikalahkan musuh. Entah sampai bagaimana hebatnya kepandaian musuhmu itu."

"Siapa kalah? Aku tidak kalah!" bentak Jeng-ciang-kwi. "Engkau yang mengira bahwa aku dikalahkan orang harus kubunuh agar jangan menyebar berita bohong itu!" Berkata demikian, Jeng-ciang-kwi sudah mengangkat tangan untuk menyerang tabib itu.

Melihat ini, Thian Lee menjadi penasaran sekali. Dia meloncat ke depan gurunya untuk menghalangi gurunya menyerang tabib itu dan berteriak, "Suhu , tidak boleh berbuat seperti itu!"

"Heh, engkau berani menghalangi kehendakku?"

"Tentu saja teecu berani karena Suhu memang bertindak salah besar. Totiang ini telah menyelamatkan nyawa Suhu, sepatutnya Suhu bersukur dan berterima kasih kepadanya, bukan malah hendak membunuhnya!"

"Kalau engkau berani menghalangi, aku tidak segan untuk membunuhmu pula!" bentak Jengciang-kwi marah.

”Setelah teecu bersusah payah menolong Suhu dan mencarikan tabib, Suhu malah hendak membunuhnya. Memang kami berdua tidak dapat melawan Suhu, akan tetapi kalau Suhu membunuh kami, maka kami akan mati penasaran dan roh kami akan selalu mengutuk dan mengejar Suhu!" bantah Thian Lee dengan sikap menantang, sama sekali tidak takut.

Anehnya, kini Jeng-ciang-kwi yang merasa ngeri. Dia tidak takut melawan manusia yang mana pun, akan tetapi kalau benar nanti roh kedua orang itu akan selalu mengutuk dan mengganggunya, bagaimana dia akan dapat melawan roh yang penasaran?

"Huh, aku tidak sudi mempunyai murid sepertimu lagi. Pergilah kalian!"

Mendadak dia mengamuk, kedua tangannya memukul dari jarak jauh ke arah Thian Lee dan tabib itu. Kedua orang ini terjengkang karena dilanda hawa pukulan yang amat dahsyat, bahkan Thian Lee yang berdiri di depan, langsung pingsan sedangkan tosu itu muntah darah.

"Ha-ha-ha, kalian tidak perlu menjadi setan penasaran, kubiarkan hidup agar lain kali aku dapat memukul kalian lagi kalau berjumpa!" kata Jeng-ciang-kwi dan dia pun lalu pergi berkelebat dari situ.

Thian Lee siuman ketika merasa kepala dan mukanya diguyur air dingin. Kiranya dia sudah berada di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih sekali dan tosu tabib itu sudah duduk di dekatnya, sedangkan dia rebah telentang di iatas rumput. Thian Lee hendak bangkit duduk, akan tetapi dia merasa dadanya sesak dan rebah kembali.

"Jangan bangkit dulu, rebah sajalah. Engkau menderita luka dalam yang cukup parah."

Thian Lee teringat akan perbuatan Jeng-ciang-kwi yang tadi memukul mereka dari jarak jauh. "Dan Totiang sendiri....? Bukankah tadi juga terpukul....?"

"Pinto sudah menelan obat, luka pinto sudah hampir sembuh. Tinggal engkau yang harus menelan obat ini untuk menyembuhkan luka dalam di dadarnu. Nah, lima butir pel ini telanlah dan minumlah dengan air ini."

Tosu itu memasukkan lima pel ke dalam mulut Thian Lee lalu memberinya minum air dari daun yang lebar. Setelah menelan lima butir pel itu, Thian Lee merasa dadanya hangat dan rasa nyeri banyak berkurang. Dia lalu bangkit duduk dan memberi hormat kepada tabib itu.

"Banyak terima kasih atas pertolongan Totiang."

"Tidak ada tolong menolong, tidak perlu berterima kasih. Perbuatan yang dianggap pertolongan, bukanlah perbuatan baik lagi. Perbuatan yang mengandung pamrih adalah perbuatan palsu dan buruk sekali."

Mereka duduk di tepi anak sungai. Agaknya tosu itu membawa Thian Lee ke anak sungai. Pemandangan di situ indah sekali, dan udaranya sejuk. Suara air gemercik itu sungguh mendatangkan rasa tenang dan tenteram.

"Kalau begitu, apa yang dinamakan kebaikan itu, Totiang?" tanya Thian Lee tertarik. Kalau perbuatan baik dianggap pertolongan bukan perbuatan baik lagi, lalu yang disebut kebaikan itu yang bagaimana?

"Orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa dia melakukan kebaikan, maka dia terjerumus ke dalam kepalsuan dan timbullah pamrih dalam batinnya untuk mendapatkan imbalan dari perbuatannya itu. Kalau ada perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan mendorong orang untuk menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan pamrih untuk kesenangan' diri pribadi.

"Mungkin pamrih itu berupa keinginan agar dianggap atau disebut baik oleh orang lain, keinginan untuk mendapatkan imbalan jasa dari yang ditolongnya, atau bahkan keinginari untuk mendapatkan berkah atau pahala cari Tuhan karena perbuatan baik kita.

Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan apa pun macamnya pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi perbuatannya itu hanya merupakan cara untuk memperoleh apa yang diinginkan. Bukankah perbuatan begini palsu adanya dan munafik?"

"Kalau begitu perbuatan yang baik itu bagaimana, Totiang?"

"Tidak ada perbuatan baik bagi si pelaku bijaksana. Yang ada hanyalah perbuatan yang benar dan ini dianggapnya sebagai suatu kewajiban dalam hidup. Hidup haruslah ada kasih sayang di antara manusia dan dari kasih sayang inilah timbul perasaan iba yang mendorong kita berbuat benar dan membantu siapa yang berada dalam kesukaran.

"Perbuatan yang didorong oleh kasih ini sama sekali tidak berpamrih, bahkan si pelaku tidak menya-dari bahwa perbuatannya itu baik atau ti-dak. Dia hanya yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah benar karena menurutkan dorongan kasih sayang antara manusia."

"Kakau begitu, kita tidak perlu membalas kebaikan orang kepada kita, Totiang?"

"Hutang budi sama saja dengan hutang dendam. Keduanya menuntut balasan. Balas budi atau balas dendam. Ini dapat terjadi pada hati yang tidak mengenal kasih sayang. Bagi orang yang mengenal kasih sayang, tidak ada melepas budi atau hutang budi, tidak ada melepas hutang yang menimbulkan dendam dan tidak ada pula dendam."

"Akan tetapi, Totiang, bagaimana mungkin kita hidup terbebas dari budi dan dendam?"

"Terserah kepada pribadi masing-masing akan membiarkan dirinya terbebas ataukah tidak. Akan tetapi siapa masih terbelenggu budi dan dendam, pastilah dia akan mengalami duka sengsara. Kedua perasaan itu, budi dan dendam, adalah racun yang menggelapkan mata hati."

"Mengapa begitu, Totiang?"

"Contohnya. Orang yang berhutang budi pada seseorang dan ingin membalas budi itu, tentu menganggap orang yang dihutangi budi itu seorang yang benar dan baik walaupun semua orang menganggap dia seorang yang jahat. Sebaliknya, orang yang mendendam kepada seseorang dan ingin membalas dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang dendam itu seorang yang salah dan jahat walaupun semua orang menganggap dia seorang yang budiman. Sudahlah, engkau masih terlalu muda untuk dapat mengerti semua itu. Siapakah namamu, Nak?"

"Nama saya Song Thian Lee, Totiang. Dan bolehkah saya mengetahui nama Totiang?"

"Hemm, orang-orang menyebut pinto Kim-sim Yok-sian (Dewa Obat Berhati Emas), padahal pinto hanyalah seorang tukang obat biasa saja. Jadi engkau adalah murid orang tadi. Siapakah dia itu?"

"Dia berjuluk Jeng-ciang-kwi, Totiang."

"Siancai....! Kiranya datuk sesat itu. Pantas sikapnya seperti itu. Dan engkau muridnya? Aneh, mengapa dia malah hendak mebunuhmu? Dan mengapa engkau berbeda sekali dengan gurumu?"

"Saya belum lama menjadi muridnya dan ini pun karena dia memaksa saya, Totiang. Dia marah kepada saya karena saya mencuri baca kitab pelajaran silat miliknya, maka hendak membunuh saya."

Lalu Thian Lee menceritakan bagaimana dia digantung oleh gurunya itu akan tetapi ditolong oleh seorang anak perempuan murid Ang-tok Mo-li. Kemudian betapa gurunya berkelahi dengan Ang-tok Mo-li dan tergigit ular merah.

"Dan sekarang, setelah gurumu meninggalkanmu, engkau hendak ke mana? Sebaiknya kalau engkau kembali kepada orang tuamu. Di mana mereka tinggal?"

"Totiang, kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Saya hidup sebatang kara, tidak memiliki keluarga lagi, tidak memiliki tempat tinggal."

"Dan sekarang engkau hendak kemana? Sungguh kasihan, sekecil ini sudah hidup sebatang kara."

"Saya tidak mempunyai tujuan tetap, Totiang. Saya akan pergi merantau ke mana kaki saya membawa saya, dan saya ingin belajar silat agar kelak tidak akan tertekan oleh orang jahat, juga saya akan mampu mempergunakan ilmu silat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan!" kata Thian, Lee penuh semangat.

"Siancai....!" Tosu itu menjadi semakin heran mendengar niat seperti itu diucapkan oleh murid seorang datuk seperti Jeng-ciang-kwi. "Aku heran mendengar ucapanmu, Thian Lee. Coba kau ceritakan riwayatmu."

Thian Lee tidak ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya kepada kakek yang sudah menyelamatkan nyawanya itu. Diceritakannya betapa ibunya tewas oleh orang-orang jahat dan dia melarikan diri agar jangan dibunuh pula. Betapa ayahnya juga telah tewas ketika dia masih kecil.

"Bagaimana ayahmu tewas dalam usia muda itu?" tanya Yok-sian tertarik.

"Ayah saya tewas dikeroyok pasukan pemerintah dengan tuduhan memberontak karena Ayah berani menghajar seorang pangeran yang memaksa seorang gadis dusun, demikian menurut cerita mendiang Ibu." Kemudian Thian Lee bercerita betapa dia bertemu Liok-te Lo-mo dan menjadi murid kakek itu selama dua tahun.

"Murid Liok-te Lo-mo?" Tosu itu terbelalak. "Hebat, bagaimana seorang anak seperti engkau menjadi murid datuk-datuk yang sesat dan sakti? Lalu bagaimana? Lanjutkan ceritamu." Yok-sian semakin tertarik.

Thian Lee lalu bercerita betapa dia diperebutkan antara Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi dan akhirnya perebutan itu dimenangkan oleh Jeng-ciang-kwi se-hingga dia dibawa kakek iblis itu untuk menjadi muridnya sampai mereka bertemu dengan Ang-tok Mo-li yang menolongnya ketika dia digantung oleh Jeng-ciang-kwi.

"Demikianlah, Totiang. Guru saya yang ke dua itu memang lihai bukan main. Dia pernah mengajak saya untuk mengacaukan pemilihan bengcu dan tidak ada yang mampu menandinginya. Akan tetapi dia terluka keracunan ketika bertanding melawan Ang-tok Mo-li, walaupun dia juga melukai wanita itu. Bagaimanapun juga, dia adalah guruku maka saya memapahnya untuk mencari Totiang dan minta agar Totiang suka mengobatinya. Sungguh tidak saya sangka dia sedemikian jahatnya, setelah disembuhkan Totiang berbalik malah hendak membunuh Totiang."

Yok-sian menghela napas panjang. "Memang demikianlah sepak terjang para datuk sesat. Sungguh pengalamanmu hebat sekali, bertemu dengan mereka bahkan dijadikan murid. Ahh, sedikit banyak engkau tentu telah mempelajari ilmu silat mereka. Apakah engkau benar ingin belajar ilmu silat, Thian Lee?"

"Benar, Totiang. Saya ingin belajar ilmu silat dengan sungguh-sungguh. Menurut pesan mendiang Ibu, saya harus menjadi seorang pendekar seperti juga mendiang ayahku. Kalau Totiang sudi menerima saya sebagai murid, saya akan berterima kasih sekali."

"Siancai....! Aku hanya tukang obat! Akan tetapi pinto mempunyai seorang suheng. Guru kami memang memiliki dua macam ilmu, yaitu ilmu silat dan Ilmu pengobatan dan beliau mengajarkan kepada kami sesuai dengan bakat kami. Pinto berbakat dalam ilmu pengobatan maka Suhu mengajarkan ilmu pengobatan, sebaliknya suheng pinto berbakat dalam ilmu silat dan dia digembleng ilmu silat tinggi. Kalau engkau suka, pinto akan mengajakmu menghadap Suheng, mudah-mudahan dia mau menerimamu sebagai murid."

"Saya akan senang sekali, Totiang."

"Baiklah. Mulai sekarang engkau membantuku mencari daun obat sambil melakukan perjalanan ke barat. Suhengku itu kini menjadi seorang pertapa di Peau-nungan Hlmalaya dan kita harus melaku-kan perjalanan jauh sekali untuk mencapai tempat tinggalnya."

"Saya akan melayani Totiang dengan baik dan saya sanggup melakukan perjalanan jauh," kata Thian Lee dengan gi-rang dan tosu itu lalu mengajak dia me-ninggalkan tempat itu.

Thian Lee yang mengikuti Kim-sim Yok-sian merantau ke barat dan setelah lewat waktu hampir setahun, barulah keduanya tiba di Pegunungan Himalaya! Akan tetapi perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat berguna bagi Thian Lee. Bukan saja membuka matanya melihat keadaan hidupnya suku-suku bangsa di barat.

Akan tetapi juga setiap harinya dia membantu Yok-sian yang sering kali berhenti di sebuah dusun yang dilanda wabah penyakit untuk menolong orang. Dan sedikit demi sedikit dia men-dapat pula pengajaran pengobatan dari Dewa Obat itu, terutama sekali menge-nai pengobatan luka-luka dan penyakit biasa yang sering kali diderita manusia.

Suheng dari Kim-sim Yok-sian adalah seorang biasa, bukan pendeta, seorang laki-laki berpakaian siucai (sastrawan) berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya tenang penuh kesabaran. Dia tinggal di sebuah puncak di antara sekian banyak puncak-puncak Pegunungan Himalaya.

Sebuah puncak yang tidak terlalu tinggi akan tetapi hawanya cukup dingin dan tempatnya sunyi. Dia memiliki sebuah pondok sederhana dengan kebun yang luas. Nama pendekar yang mengenakan jubah sastrawan ini adalah Tan Jeng Kun.

Berbeda dengan sutenya, Kim-sim Yok-sian yang memperoleh nama julukan karena dia berkecimpung di dunia kang-ouw, Tan Jeng Kun ini tidak dikenal orang kang-ouw karena semenjak muda dia mengasingkan diri dan bertapa seperti seorang yang sudah menjauhkan diri dari dunia ramai.

Ketika Yok-sian dan Thian Lee tiba di tempat itu, mereka melihat tuan ru-mah yang hidup menyendiri itu sedang memasak air di atas api unggun yang dibuatnya di halaman depan rumahnya. Ketika melihat Yok-sian, orang itu terbelalak gembira, lalu bangkit berdiri dan kedua kakak beradik seperguruan ini lalu saling memberi hormat, kemudian saling merangkul.

"Sute, angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Sudah sepuluh tahun berpisah, baru hari ini tiba-tiba engkau muncul, betapa senangnya hatiku'" kata Tan Jeng Kun sambil tertawa gembira.

"Suheng, setelah berpisah sepuluh tahun kini engkau kelihatan makin muda dan gagah saja. Agaknya selama ini eng-kau tidak menyia-nyiakan ilmumu dan berlatih terus!" jawab Yok-sian.

Tan Jeng Kun menghela napas panjang mendengar ucapan sutenya itu. "Nah, itulah tidak enaknya belajar silat, Sute. Aku sekarang merasa menyesal sekali mengapa dulu aku tidak mempelajari saja llmu pengobatan seperti engkau. Sekali paham ilmu pengobatan, tidak usah berlatih setiap hari. Berbeda dengan ilmu silat, kalau tidak dilatih lama-lama akan lenyap atau berkurang tingkatnya. Juga, ilmu silat hanyalah untuk memukul orang, sedangkan ilmu pengobatan untuk menolong dan menyembuhkan orang. Aih, Sute, engkau jauh lebih beruntung daripada aku. Eh, siapakah anak ini? Engkau... malah sudah mempunyai seorang murid?"

"Anak ini bernama Song Thian Lee, seorang anak yatim piatu dan sebatang kara yang kebetulan bertemu dengan pinto di jalan. Sejak menjadi yatim piatu, berulang kali dia terjatuh ke tangan datuk sesat, bahkan pernah dipaksa menjadi murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciangkwi! Akan tetapi karena pada dasarnya dia berjiwa baik maka dia tidak suka menjadi murid mereka."

Yok-sian lalu menceritakan sedikit riwayat Thian Lee kepada sutenya itu. "Kalau begitu engkau mendapatkan murid yang baik, Sute," kata Tan Jeng Kun!

"Tidak, Suheng. Dia saya bawa ke sini agar menjadi muridmu. Anak ini kulihat memiliki dasar yang luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau menjadi murid-mu. Thian Lee, berilah hormat kepada suhengku."

Thian Lee segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada sastrawan itu. Akan tetapi sastrawan itu memandang dengan alis berkerut.

"Menjadi muridku? Ah, Sute, untuk apa menjadi muridku? Aku tidak suka mengajarkan ilmu kepada orang lain yang kelak hanya akan dia pergunakan untuk melukai atau membunuh orang saja. Engkau tahu kenapa aku bersembunyi di tempat sunyi ini? Agar jangan terpancing berkelahi dengan orang. Tidak aku tidak suka mengajarkan silat kepada siapa pun!"

"Suheng, kenapa berkata demikian? Semua ilmu ada manfaat masing-masing. Baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakan ilmu itu. Bagaimana andaikata ada orang jahat melakukan kejahatan kepada orang lain? Apa yang dapat kita lakukan kalau kita lemah dan tidak memiliki ilmu silat? Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan, mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa memiliki kekuatan untuk itu?"

"Hemmm, bicara memang mudah, Sute. Lihat aku ini. Jauh sekali aku bersembunyi, tetap saja ada orang-orang yang mencariku untuk mengajak bertanding! Kalau aku tidak mempunyai ilmu silat, tentu tidak ada orang akan mencari gara-gara mengajak berkelahi. Tidak, Sute, sekali lagi aku tidak mau meng-angkat murid."

"Tapi, Suheng. Anak ini sudah kuajak ke sini, melakukan perjalanan yang memakan waktu hampir satu tahun!"

"Itu adalah urusanmu sendiri, Sute. Aku tidak menyuruhmu. Sudahlah, mari kita bicarakan urusan lain saja. Akan halnya anak ini, biarlah dia menjadi muridmu saja. Kelak dia dapat mengamalkan ilmunya itu untuk menolong banyak orang seperti yang telah kaulakukan."

Pada saat itu, terdengar teriakan lantang sekali dari luar rumah. Mereka tadi sudah memasuki rumah ketika Tan Jeng Kun menyambut kedatangan sutenya. Suara dari luar itu terdengar nyaring sekali, membuat pondok itu seolah tergetar.

"Tan Jeng Kun, kalau engkau memang laki-laki keluarlah dan lawanlah aku!"

Tan Jeng Kun menghela napas. "Nah, kau lihat sendiri, Sute! Mereka adalah orang-orang yang selalu mencariku untuk mengajak adu ilmu. Kalau yang satu kalah muncul yang lain dengan dalih menebus kekalahan saudara atau kawannya. Apakah ini tidak tolol? Apakah aku disuruh mengajarkan ilmu seperti ini kepada seorang murid agar kelak murid itu pun mengalami hal seperti aku? Tidak, Sute!"

"Haiii, Tan Jeng Kun, jangan sembunyi seperti perempuan! Keluarlah!" kembali terdengar teriakan itu dan Tan Jeng Kun melangkah keluar, diikuti oleh Kim-sim Yok-sian dan Thian Lee.

Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dengan perut gendut sekali, mukanya hitam dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Orang ini segalanya serba bundar dan besar, kepalanya, matanya, hidungnya, mulutnya dan telinganya, serba besar. Rambutnya diikat ke atas dengan semacam kain kuning dan bajunya berwarna biru. Di punggungnya terdapat sebatang ruyung yang menggiriskan, besar dan berduri-duri.

Akan tetapi sebelum Tan Jeng Kun menghampirinya, tiba-tiba dari belakang batang-batang pohon bermunculan empat orang dan mereka ini segera mengepung Si Raksasa Hitam sambil berteriak marah, "Hek-bin Mo-ko (Setan Bermuka Hitam), engkau harus membayar hutang nyawamu terhadap saudara kami!"

Raksasa yang disebut Hek-bin Mo-Ko itu memandang dan memutar tubuhnya untuk memandangi empat orang yang mengepungnya itu, lalu dia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, agaknya kalian ini adalah empat orang dari Toat-beng Ngo-houw (Lima Harimau Pencabut Nyawa)? Ha-ha-ha, saudaramu mampus di tanganku karena dia berani menentangku. Kalau kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"

Empat orang itu sudah marah sekali. Mereka berempat mencabut golok masing-masing dan langsung saja mereka maju mengeroyok dengan golok mereka.

Melihat ini, Thian Lee berseru penasaran, "Pengecut, tidak adil sekali empat orang mengeroyok seorang!"

Akan tetapi empat orang itu tidak peduli dan golok mereka sudah menyambar-nyambar mencari korban. Namun ternyata raksasa muka hitam itu lihai bukan main. Biarpun tubuhnya tinggi besar dan perutnya gendut, namun dia dapat bergerak dengan gesit dan beberapa kali kakinya melangkah dan tubuhnya berkelebatan, empat batang golok yang menyambar itu luput semua.

Di lain saat dia telah mencabut ruyung dan terdengar suara berdesing ketika ruyung itu dia gerakkan dengan kekuatan dahsyat. Empat orang itu dengan nekat menyerbu dan ketika golok mereka bertemu ruyung, berturut-turut golok mereka terpental dan terdengar bentakan Si Raksasa Hitam empat kali dan ruyungnya menyambar empat kali.

Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan jatuh satu demi satu dengan kepala pecah dan tewas seketika!

"Siancai....!" Kim-sim Yok-sian berseru ngeri dengan wajah agak pucat dan suaranya gemetar.

Akan tetapi Thian Lee memandang kagum. Bukan main raksasa itu. Empat orang pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa gebrakan saja!"

Dan kini raksasa yang berjuluk Hek-bin Mo-ko itu memanggul ruyungnya menghadapi Tan Jeng Kun. "Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun. Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada yang menemaninya, bahkan sekaligus empat orang. Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan aku!"

"Hek-bin Mo-ko, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa hari ini engkau mencari dan menantangku berkelahi? Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku dengan pembunuhan ini! Engkau seharusnya malu!"

"Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa Tan Jeng Kun adalah seorang jagoan yang mengasingkan diri. Lupakah engkau bahwa tiga bulan yang lalu engkau telah mengalahkan seorang pengemis tua di sini? Dia adalah seorang sahabatku, setelah mendengar bahwa sahabatku itu kalah olehmu, aku merasa penasaran dan ingin mencoba kepandaianmu! Hayo lawan aku kalau engkau bukan perempuan!"

Tan Jeng Kun melangkah maju menghadapi raksasa itu dan menarik napas panjang beberapa kali. "Sobat, pengemis tua itu datang tanpa sebab dan langsung saja menantangku mengadu ilmu. Kalah atau menang dalam adu ilmu sudahlah wajar, kenapa engkau merasa penasaran?"

"Karena seorang sahabat baikku telah kalah, tentu saja aku merasa penasaran dan hari ini aku menantangmu untuk mengadu ilmu. Hayolah, majulah, atau aku akan hancurkan kepalamu dengan ruyung ini!" Si Raksasa itu mengancam.

Kini pandang mata Tan Jeng Kun mencorong marah. "Hemm, Hek-bin Mo-ko, tidak usah engkau menantang. Baru perbuatanmu melakukan pembunuhan di pekaranganku ini saja sudah merupakan suatu pelanggaran besar. Aku bukan saja menerima tantanganmu, bahkan aku pun harus memberi hajaran kepadamu agar engkau bertaubat."

"Ha-ha-ha, sombong benar engkau. Jangan mengira bahwa setelah engkau mengalahkan sahabatku Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti), engkau akan mampu mengalahkan aku' Nah, cepat ambil pedangmu."

"Seperti ketika aku melawan tongkat Sin-ciang Mo-kai, aku pun bertangan kosong. Maka aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti engkau yang kejam!"

"Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan terlakan melengking, lalu menyerang dengan dahsyatnya.

Thian Lee sendiri merasakan sambaran angin yang telah menghancurkan kepala empat orang itu. Ruyung itu masih berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun. Akan tetapi, suheng dari Kim-sim Yok-sian itu bersikap tenang saja. Ketika ruyung sudah menyambar dekat, dla menundukkan kepala dan ruyung menyambar ke atas kepalanya. Pada saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan lawan.

Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil menarik lengan kanannya, kemudian memutar pergelangan tangan sehingga ruyungnya menyambar balik ke arah dada lawan.

Tan Jeng Kun miringkan tubuhnya dan dengan lengan kanan menangkis ruyung yang terpental ketika bertemu lengan tangan siucai itu. Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran sekali dan dia sudah memutar ruyungnya dengan hebat sekali sambil mengeluarkan bentakan-bentakan menyerang bertubi-tubi sambil berusaha mendesak lawan yang bertangan kosong.

Namun Tan Jeng Kun dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sambaran ruyung dan tak pernah benda berat itu menyentuh tubuhnya. Sebaliknya, totokan-totokannya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk sekali.

Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan. Setiap pukulan, totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam itu terpaksa melempar tubuh belakang dan berjungkir balik untuk nnenghindarkan diri dari serangan yang demikian cepatnya.

Setelah lewat iima puluh jurus, Hek-bin Mo-ko menjadi terdesak hebat dan tiba-tiba dia melompat ke belakang, kernudian dia mengerahkan tenaga ke arah kedua tangannya, menjatuhkan ruyungnya dan menggunakan kedua tangan yang terisi tenaga sin-kang dahsyat untuk memukul lawan dari jarak jauh. Menghadapi serangan ini, Tan Jeng Kun juga memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Inilah kesalahan Hek-bin Mo-ko.

Dalam mengadu kekuatan sin-kang, dia mempercepat kekalahannya karena tingkat kekuatan sin-kang lawannya masih lebih tinggi di atasnya. Begitu kedua tangan yang mengandung sin-kang itu berseru, tubuh Hek-bin Mo-ko tergetar hebat dan tak lama kemudian dia terpental ke belakang dan jatuh terjengkang!

Masih untung bagi Hek-bin Mo-ko bahwa Tan Jeng Kun hanya sekali tidak bermaksud untuk membunuhnya. Maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan mengalami luka dalam yang membuat dia muntah darah. Dia merasa bahwa dia tidak mampu melawan lagi, maka dia mengambil ruyungnya, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah pun kata, juga tanpa menoleh lagi kepada lawan.

Tan Jeng Kun menghela napas panjang dan memandang empat mayat yang berserakan dl situ. "Nah, kau lihat seridiri apa yang kumaksudkan, Sute! Beginilah kalau orang mempelajari ilmu silat. Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."

"Akan tetapi, Locianpwe," tiba-tiba Thian Lee berkata dengan suara membantah penasaran, "Kalau orang yang datang hendak menantang berkelahi dengan Locianpwe, itu bukan berarti Lo-cianpwe yang bersalah, melainkan kesalahan mereka sendiri. Untung Locianpwe memiliki ilmu silat yang lihai, tidak demikian, tentu Locianpwe yang menggeletak mati seperti mereka berempat. Ilmu silat ada gunanya untuk membela diri."

"Apa yang dikatakan Thian Lee ada benarnya, Suheng," bujuk pula Kim-sim Yok-sian. "Justeru dengan adanya para pendekar yang berkepandaian tinggi maka sepak terjang dan ulah orang-orang sesat itu dapat dibendung. Bayangkan saja, Suheng, andaikata di dunia kang-ouw ini tidak ada para pendekar, maka tentu orang-orang sesat akan semakin merajalela, dan mereka melaksanakan hukum rimba seenak perutnya sendiri.

Thian Lee bercita-cita menjadi pendekar untuk menentang mereka yang menggunakan ilmu silat untuk berbuat kejahatan. Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia.

Dan Suheng mempelajari ilmu silat untuk menentang serangan orang jahat terhadap manusia pula. Apa bedanya? Karena itu, Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah Suheng mempunyai murid yang kelak akan memanfaatkan ilmu silat untuk menentang kaum penjahat."

Tan Jeng Kun menghela napas lagi. Ucapan Thian Lee dan sutenya itu agak-nya membuka hatinya. Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian, dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah kembali.

"Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan sutenya.

"Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."

Kim-sim Yok-sian gembira sekali mendengar ini dan dia berkata kepada Thian Lee, "Thian Lee, cepat memberi hormat kepada gurumu dan katakan bahwa engkau siap menerima syarat apa pun darinya."

Thian Lee lalu maju berlutut dan memberi hormat kepada Tan Jeng Kun. "Suhu, teecu akan menaati semua petunjuk Suhu dan berjanji akan melaksanakan semua syarat dari Suhu."

"Bagus, dan sekarang, disaksikan oleh susiokmu Kim-sim Yok-sian, ucapkan sumpahmu bahwa kelak engkau tidak boleh menonjolkan ilmu silatmu, engkau harus berpura-pura tidak mampu ilmu silat, menyembunyikan ilmu silatmu agar tidak ada yang tahu bahwa engkau pandai silat, dan hanya menggunakan ilmu silatmu dalam keadaan terpaksa saja untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."

Dengan suara lantang Thian Lee mengucapkan sumpahnya, "Teecu bersumpah bahwa kelak teecu tidak menonjolkan ilmu silat dan menyembunyikan ilmu silat teecu dan hanya menggunakan dalam keadaan terpaksa saja!"

"Bagus, sekarang beri hormat kepada susiokmu!"

Thian Lee lalu berlutut di depan Dewa Obat dan menyebut, "Susiok, terimalah hormat teecu."

Kim-sim Yok-sian menjadi girang sekali. "Aku pun akan tinggal di sini barang setahun untuk memberi pelajaran ilmu pengobatan kepadamu agar kelak dapat kaupergunakan demi keselamatan orang-orang lain, Thian Lee," katanya.

Demikianlah, mulal hari itu, Thian Le menerima pelajaran ilmu silat dar Tan Jeng Kun dan ilmu pengobatan dari Kim-sim Yok-sian. Selain llmu silat dan ilmu pengobatani Thian Lee juga memperdalam ilmu sastra dari kedua orang gurunya itu, dan mulai membaca kitab-kitab kuno tentang sejarah dan Agama To dan Agama Buddha, juga tentang pelajaran Nabi Khong-cu. Dari Dewa Obat, dia menerima banyak nasihat tentang kehidupan.

Hidup adalah belajar, demikian antara lain kata Kim-sim Yok-sian. Siapa yang tidak mau belajar dari kehidupan, dia orang yang bodoh. Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita mau membuka mata, maka terdapat pelajaran tentang hidup dan pengalaman merupakan guru terbaik. Lihat di sekelilingmu dan engkau akan menemukan contoh-contoh yang jelas sekali.

Di samping mempelajari semua itu setiap hari Thian Lee juga bekerja dengan rajin. Mencuci, membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pekerjaan lain untuk melayani kedua orang tua itu. Di waktu musim semi dan musim panas, dia mencangkul dan menanam sayur-sayuran dan segala macam tanaman yang dapat dimakan. Kalau tiba musim rontok dan musim salju, dia pergi sampai jauh untuk berburu dan memancing.

Pendeknya, Thian Lee rajin sekali sehingga kedua orang tua itu amat menyayangnya karena dalam pelajaran pun dia maju pesat. Terutama dalam ilmu silat, Tan Jeng Kun percaya akan kebenaran sutenya bahwa Thian Lee adalah seorang anak yang memiliki bakat yang hebat.

Selama tiga tahun mempeiajari ilmu silat, Thian Lee telah matang dalam gerakan dasar dan, bahkan telah mempunyai sin-kang yang lumayan. Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia telah berhasil menghimpun tenaga yang kuat sekali.


Pada suatu hari di musim rontok, Thian Lee pergi meninggalkan pondok untuk berburu binatang. Usianya kini sudah lima belas tahun dan tubuhnya tinggi tegap. Biarpun usianya baru tingkat remaja, namun wajahnya sudah tampak dewasa karena sejak kecil dia sudah biasa berdikari, bahkan dia bekerja untuk keperluan mereka bertiga.

Dengan senjata sebatang busur dan beberapa batang anak panah, dia pergi berburu. Akan tetapi sampai jauh meninggalkan pondok, dia belum bertemu binatang buruan seperti kelinci dan sebagainya. Akhirnya terpaksa dia mendaki puncak yang lebih tinggi. Padahal gurunya pernah menceritakan bahwa puncak itu berbahaya dan kabarnya ada semacam binatang ajaib di puncak itu yang amat ganas sehingga tidak pernah ada orang yang berani naik ke puncak itu.

Menurut penuturan Tan Jeng Kun, makhluk yang berada di puncak itu memang aneh, mirip manusia bagi yang pernah melihatnya dari jauh, berjalan dengan kedua kaki belakang akan tetapi tubuhnya berbulu abu abu kecoklatan mirip biruang. Penduduk Tibet menyebutnya dengan Yeti dan menganggapnya sebagai manusia salju yang dikeramatkan dan dianggap sebagai dewa yang berada di puncak-puncak yang tinggi.

Thian Lee yang penah mendengar cerita itu tidak takut. Kenapa takut kalau dia tidak mempunyai niat buruk? Dia hanya akan mencari binatang buruan untuk dimakan. Kalau benar ada manusia salju, dia tidak akan mengganggunya. Biarpun musim salju belum tiba, namun di puncak itu sudah tertutup oleh salju.

Bahkan di waktu musim panas sekalipun, puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju. Sungguh sial hari itu bagi Thian Lee. Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju.

Tiba-tiba dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu. Akan tetapi sekali ini dia bermaksud merobohkan seekor beruang yang tampak di depan itu. Beruang itu sedang mendekam diatas salju dan menghadapi sebuah lubang.

Ternyata di depan beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju seluruhnya dan beruang itu membuat lubang, agaknya untuk mencari ikan. Kadang-kadang tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.

Thian Lee memasang sebatang anak panah dan merayap mendekati. Setelah jaraknya cukup dekat, tinggal belasan meter lagi dia lalu mementang busurnya dan melepaskan anak panah mengarah dada binatang yang mendekam itu.

Srrrt…. Cappp!!! Panah itu tampaknya menancap di dada biruang itu dan binatang besar itu jatuh terjengkang.

Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang sudah menggeletak miring di atas salju itu. Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang.

Makhluk itu tinggi sekali, dua kali lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan mukanya seperti manusia, atau seperti kera, tubuhnya berbulu kelabu kecoklatan, matanya berkedip-kedip dan anak panah tadi sama sekali tidak menancap di dadanya melainkan dijepit di bawah lengannya atau terjepit ketiak. Kini makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.

Saking kagetnya Thian Lee sampai tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Mulutnya lalu berkata gugup, "Maafkan aku... maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau adalah seekor biruang."

Dia lalu teringat bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang manusia, dan teringat dia akan cerita gurunya tentang Yeti, Si Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakan, mengeluarkan suara seperti gerengan dan matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.

Thian Lee berpikir bahwa kalau makhluk itu menyerangnya, akan berbahayalah baginya. Makhluk setinggi itu tentulah memiliki tenaga yang dahsyat. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya hendak melarikan diri. Akan tetapi baru dua langkah dia pergi, tiba-tiba tubuhnya ditangkap dari belakang dan sekali Yeti itu menariknya, diapun roboh terjengkang.

Celaka, pikir Thian Lee. Binatang atau makhluk ini menyerangku dan benar saja tenaganya luar biasa sekali. Karena tidak ingin mati konyol tanpa melawan, Thian Lee lalu meloncat bangun berdiri dan memasang kuda-kuda, siap menghadapi serangan makhluk itu.

Akan tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu, dan menghadapi lawan yang begini kuatnya dia memerlukan senjata.

Entah mengerti atau tidak makhluk itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua tangannya menubruk ke depan! Thian Lee menangkis dengan busurnya, akan tetapi sekali renggut, busur itu terampas dan dibuang jauh-jauh, kemudian kembali makhluk itu menubruk dan biarpun Thian Lee sudah mengelak cepat, tetap saja pinggangnya dapat dirangkul dan tubuhnya diangkat tinggi, dipanggul dan dibawa lari cepat sekali.

Thian Lee merasa ngeri. Makhluk itu lari mendaki puncak yang penuh salju. Kalau dia meronta atau memukul sehingga makhluk itu roboh, tentu ia akan ikut pula terjatuh, padahal di kanan kiri terdapat jurang menganga lebar! Dia pun diam saja, bahkan tidak berani bergerak, membiarkan dirinya dibawa lari diatas pundak makhluk itu.

Akhirnya makhluk itu tiba di depan sebuah gua di antara puncak bukit bersalju dan masuk ke dalam gua. Thian Lee lalu diturunkan dengan perlahan. Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat untuk melukainya. Akan tetapi ketika tubuhnya berada di atas lantai yang berbatu, dia terkejut sekali karena didepannya terdapat kerangka manusia yang masih dusuk bersila.

Dia merasa serem sekali. Kerangka itu masih utuh, dan mengapa ada kerangka tidak runtuh terlepas melainkan masih dalam keadaan bersila seolah antara tulang-tulangnya terdapat sambungan atau saling melekat? Juga tengkorak itu masih utuh, hanya giginya sudah tidak ada lagi, mulut itu terbuka seolah tertawa.

Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali. Dan dia melihat makhluk Yeti itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kerangka itu...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.